Pencarian

Lambang Kematian 2

Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian Bagian 2


memperhatikan wajah putrinya.
"Ya...," desah Intan Delima.
"Katakan saja, Anakku."
"Ayah tidak akan marah?"
Adipati Rakondah tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangannya mengusap usap
-rambut Intan Delima dengan penuh kasih.
"Kenapa Ayah harus marah" Katakan saja," lembut suara Adipati Rakondah.
Sejenak Intan Delima berpikir. Sepertinya dia berat untuk mengucapkannya.
Beberapa kali dia hanya
menarik napas panjang, dan menghembuskannya
dengan kuat. "Ayah tahu, kau pasti ingin menanyakan persoalan yang sedang Ayah hadapi, kan?"
tebak Adipa Rakondah.
Intan Delima terperanjat. Sungguh dia tidak
menyangka kalau ayahnya bisa menebak demikian tepat.
"Kau memang sudah besar, Anakku. Berapa usiamu sekarang?"
"Delapan belas, Ayah."
"Tidak kusangka, kau sudah begitu dewasa. Sudah pantas kau mengetahui persoalan
dunia," Adipati Rakondah seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Ayah, apa sebenarnya yang sedang terjadi?" tanya Intan Delima langsung menjurus
ke pokok per-soalannya. Dia tidak ingin ayahnya mengingat ingat kembali masa- -masa lalu. Lebih lebih kalau sudah mengenang istrinya.
-Intan Delima jadi teringat dengan ibunya. Seorang wanita yang lembut dan selalu
menerima apa adanya, sebagaimana kodratnya sebagai wanita. Masa masa yang indah
-dan tidak bisa terlupakan begitu saja.
Namun sayang, rupanya Tuhan menghendaki lain.
Ibunya meninggal saat Intan Delima baru menginjak usia tujuh tahun.
"Intan, persoalan yang sedang Ayah hadapi memang cukup serius. Suatu persoalan
yang menyangkut hidup dan matiku...," Adipati Rakondah mulai bercerita.
Tampak Intan Delima mendengarkan dengan serius.
Sedikit pun dia tidak menyelak kata kata ayahnya, meskipun laki laki setengah
- -baya itu terdiam untuk
beberapa saat. "Aku memang bukan seorang Ayah yang baik. Masa laluku dilumuri dengan dosa dan
darah. Ilmuku memang tangguh, dan sukar dicari tandingannya. Tapi aku salah
menggunakannya. Aku selalu menuruti hawa nafsu dan kepentingan pribadi. Hingga
satu saat...," Adipati Rakondah kembali menghentikan kata katanya.
-"Teruskan, Ayah," pinta Intan Delima tidak dapat lagi menahan diri.
"Dalam pengembaraanku, di sebuah desa aku bertemu dengan seorang wanita. Aku
tahu, kalau wanita itu sudah bersuami, tapi kecantikannya mem-buatku mata gelap
dan ingin memilikinya. Kemudian aku memaksakan kehendakku, dan hampir memperkosa
wanita itu, tapi seorang pendekar berhasil menyelamat-kannya. Dia mengalahkanku,
Intan. Aku dendam dan berjanji akan menghancurkannya kelak. Kau tahu, Intan.
Siapa nama pendekar itu" Dialah Pendekar Dewa Pedang, Ayah dari Bayu si Pendekar
Pulau Neraka."
"Jadi, Ayah telah membunuhnya?" Intan Delima seperti tidak percaya.
"Bukan aku saja, Intan. Banyak tokoh tokoh lain yang ikut membunuh dan -menghancurkan padepokan yang dipimpinnya. Dan semua itu juga berkat istri muda
Dewa Pedang yang berhasil kami hasut dengan memutarbalikkan fakta yang
sebenarnya."
Intan Delima memandangi ayahnya tidak percaya.
Sungguh dia sulit untuk percaya kalau ayahnya bisa sekejam itu. Semula dia sudah
berharap bahwa ayahnya akan membantah semua cerita Pendekar Pulau Neraka, tapi
yang didapatnya sekarang benar benar di luar
-dugaannya sama sekali. Ternyata masa lalu Adipati Rakondah begitu kelam dan
penuh dengan dosa.
"Tidak...! Tidak mungkin...!" Intan Delima menggeleng gelengkan kepalanya seraya
-bangkit dari duduknya. Tatapan matanya mengandung ketidak-percayaan dengan apa
yang barusan didengarnya. Gadis itu kemudian melangkah mundur pelahan lahan.
-"Intan...," suara Adipati Rakondah tersekat di tenggorokannya.
"Tidak...! Katakan padaku, Ayah. Kau tidak melakukan itu. Kau tidak tahu apa
-apa. Katakan, Ayah!
Katakan kalau kau telah berdusta!" mendadak Intan Delima jadi histeris.
"Aku tidak dusta, Anakku. Memang pahit, tapi semua itu sudah berlalu, dan aku
sudah melupakan semuanya, Intan. Kalaupun sekarang muncul putra Dewa Pedang, dan
ingin membalas dendam, aku harus menghadapinya secara ksatria."
"Oh, tidak...," lirih suara Intan Delima.
"Intan...!"
Namun Intan Delima sudah keburu berbalik, dan langsung berlari masuk ke dalam
bangunan besar yang indah itu. Sedangkan Adipati Rakondah hanya bisa tertunduk
lemas. Ada sedikit rasa penyesalan di hatinya, tapi hal itu memang harus dia
lakukan. Cepat atau lambat, Intan Delima pasti tahu.
"Maafkan ayahmu, Intan...,"
desah Adipati Rakondah. *** Malam terus merayap semakin larut. Suasana di Istana Kadipaten Jati Anom semakin
sepi. Hanya beberapa penjaga yang masih tampak terlihat di tempat tempat yang -terlindung dari cahaya bulan dan lampu pelita. Dan di taman belakang, Adipati
Rakondah juga masih terlihat duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu.
Beberapa kali terdengar tarikan napasnya yang panjang dan dalam. Tampaknya dia
masih merenungi sikap putrinya yang langsung berubah begitu dia menceritakan
masa lalunya itu. Tapi, bagaimanapun juga dia tidak bisa menyalahkan Intan
Delima kalau gadis itu sampai membencinya. Adipati Rakondah sadar, bahwa dirinya
memang patut untuk dibenci. Memang penyesalan datangnya selalu belakangan.
Tepat ketika Adipati Rakondah bangkit dari
duduknya, tiba tiba secercah cahaya keperakan melesat cepat bagai kilat mengarah
-dirinya. Dan dengan satu gerakan refleks, adipati itu memiringkan tubuhnya
sedikit ke kanan. Dan cahaya keperakan itu lewat sedikit di depan dadanya. Namun
belum juga dia sempat menarik tubuhnya kembali, mendadak satu cahaya keperakan
kembali meluncur deras mengancam nyawa nya.
"Uts!"
Untung saja Adipati Rakondah kembali berhasil mengelak dengan menjatuhkan
tubuhnya ke tanah. Dan matanya yang tajam sempat menangkap berkelebatnya satu
sosok bayangan yang melompati tembok benteng bagian belakang.
"Pengawal...!" teriak Adipati Rakondah keras.
Setelah berkata begitu, secepat kilat dia melentingkan tubuhnya mengejar sosok
bayangan tadi. Dan pada saat yang sama, enam orang prajurit pengawal sudah
berdatangan. Mereka sempat melihat bayangan Adipati Rakondah melompati tembok.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka langsung mengejar. Dari cara
berlari dan melompati tembok, sudah dapat dilihat kalau enam orang prajurit itu
memiliki ilmu olah kanuragan yang tidak rendah. Mereka adalah para prajurit
pilihan yang sengaja didatangkan oleh Panglima Bantaraji dari kerajaan.
Sementara itu Adipati Rakondah masih tetap berdiri di balik tembok belakang. Dia
telah kehilangan jejak.
Bayangan yang dilihatnya tadi langsung hilang ditelan kegelapan malam. Tak lama
kemudian enam orang pengawal kadipaten sudah berada di belakangnya.
"Cepat kalian cari di sekitar benteng!" perintah Adipati Rakondah.
"Baik, Gusti," sahut enam orang prajurit pilihan itu serentak.
Sedangkan Adipati Rakondah segera melentingkan tubuhnya melewati tembok. Dan
pada saat kakinya menjejak tanah, di depannya sudah berdiri Panglima Bantaraji
yang didampingi sekitar sepuluh orang prajurit dengan pedang terhunus.
"Ada apa?" tanya Panglima Bantaraji bernada cemas.
"Dia sempat datang, tapi langsung kabur," sahut Adipati Rakondah seraya
melangkah. Panglima Bantaraji pun segera memerintahkan pada
sepuluh orang prajuritnya untuk mencari orang yang dilihat Adipati Kakondah.
Kemudian dia melangkah
mengikuti Adipati Jati Anom itu. Mereka lalu berhenti di depan sebuah pilar yang
terbuat dari kayu jati bulat yang berukir. Adipati Rakondah segera menjulurkan
tangannya dan mencabut dua buah logam berwarna keperakan yang menancap di pilar
itu. Dua benda itu berbentuk bintang bersegi enam.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Panglima Bantaraji begitu melihat benda
tersebut. Sejenak Adipati Rakondah berbalik dan menatap Panglima Bantaraji. Kemudian
tatapannya beralih pada benda benda yang kini di dalam genggamannya.-"Berapa buah yang dia lontarkan?" tanya Panglima Bantaraji.
"Dua," sahut Adipati Rakondah pelahan.
"Hm..., itu berarti dua hari lagi," gumam Panglima Bantaraji.
Adipati Rakondah menatap tajam ke bola mata Panglima Bantaraji. Dia seperti
meminta penjelasan.
"Pendekar Pulau Neraka selalu memberi tanda kedatangannya dengan mengirimkan
bintang perak bersegi enam. Dan hari yang ditentukan berjumlah sama dengan
bintang yang dilemparkan," Panglima Bantaraji seperti mengerti tatapan mata itu.
"Hm, jadi dia akan datang menantangku dua hari lagi?"
"Tidak."
"Maksudmu?"
"Mulai melakukan tekanan dan teror dua hari lagi."
"Aku..., aku tidak mengerti maksudmu, Kakang?"
"Pendekar Pulau Neraka selalu membuat teror untuk melemahkan lawannya."
"Apa yang akan dia lakukan?"
"Entahlah, tapi kau harus lebih berhati hati dan jangan terpancing. Terutama
-sekali pada anakmu, aku merasa Intan Delima akan diperalat untuk melemahkan
kepercayaanmu."
"Phuih! Cara apa itu" Pengecut!" dengus Adipati Rakondah.
Adipati Rakondah terus bersungut sungut sambil melangkah ke dalam istananya.
-Sementara Panglima Bantaraji segera mengikutinya dari belakang. Dia yang selama
ini selalu mengikuti sepak terjang Pendekar Pulau Neraka, sudah bisa mengetahui,
kalau kejadian barusan adalah merupakan suatu tanda akan datangnya sebuah
malapetaka di Kadipaten Jati Anom ini. Suatu tanda sebagai lambang kematian bagi
adik kandungnya!
*** Dua hari dilalui dengan cepat dan penuh ketegangan.
Sudah berapa kali Panglima Bantaraji memperingatkan adiknya agar bisa
mengendalikan diri dan jangan terpancing Tapi rasanya sulit bagi Adipati
Rakondah, apalagi sekarang sikap Intan Delima padanya jadi lain.
Gadis itu tidak mau lagi berbicara padanya. Hatinya sudah terluka menghadapi
kenyataan pahit ini. Suatu kenyataan yang tidak diduganya sama sekali.
Laki laki yang sangat dihormati dan dianggap yang terbaik selama ini ternyata -mempunyai masa lalu yang sangat buruk. Masa lalu yang memalukan untuk dikenang.
Intan Delima benar benar kecewa. Luka yang menggores hatinya begitu dalam,
-rasanya sulit untuk
disembuhkan lagi.
Hari ini adalah hari ketiga setelah terlontarnya bintang sebagai tanda
dimulainya suasana berselimut maut. Dan selama tiga hari ini juga Intan Delima
terus mengurung diri di dalam kamarnya. Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan
masuk. Pintu kamar itu selalu tertutup rapat dan terkunci dari dalam. Tapi
sampai tiga hari dilalui, belum ada tanda tanda kalau Pendekar Pulau Neraka
-mulai melakukan tekanan.
"Intan...!" Adipati Rakondah memanggil sambil mengetuk pintu kamar anaknya.
Tidak ada sahutan dari dalam. Adipati Rakondah terus mengetuk pintu sambil
memanggil manggil.
-Mendadak perasaannya jadi tidak enak, karena dari dalam kamar anaknya itu tidak
terdengar suara sedikit pun. Maka tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung
mendobrak pintu kamar itu. Seketika tubuhnya melesat masuk ke kamar bersamaan
dengan hancurnya daun pintu.
"Intan...!" seru Adipati Rakondah mulai cemas.
Tak ada seorang pun di dalam kamar itu. Buru buru Adipati Rakondah berlari ke
-arah jendela yang terbuka lebar. Dan kedua matanya langsung membeliak begitu
mendapati sebuah bintang yang berwarna keperakan, dan bersegi enam tertancap
pada dinding dekat jendela.
"Intan...!" teriak Adipati Rakondah panik.
Tentu saja suara gaduh itu mengundang beberapa prajurit berdatangan. Begitu pula
dengan Panglima Bantaraji, dia langsung berlari masuk ke kamar.
"Ada apa..."!" tanya Panglima Bantaraji terkejut.
Adipati Rakondah tidak menjawab. Dia hanya
terduduk lemas di tepi tempat tidur yang berantakan.
Matanya beredar berkeliling. Keadaan kamar itu seperti baru saja terjadi
pertarungan. Tampak pecahan guci berserakan di lantai. Dan meja kursi juga
berantakan. Panglima Bantaraji segera mencabut senjata yang berbentuk bintang bersegi enam
berwarna perak dari dinding. Sejenak dia mengamati benda yang kini berada di
tangannya itu, lalu tatapannya beralih pada Adipati Rakondah yang masih terduduk
lemas di tepi pembaringan.
"Cepat geledah seluruh pelosok kadipaten! Tanyai semua orang!" perintah Panglima
Bantaraji. Dan tanpa menunggu perintah dua kali, para prajurit yang berada di kamar itu
langsung pergi melaksanakan perintah itu. Sedangkan Panglima Bantaraji
menghampiri adiknya dan ikut duduk di sampingnya. Tidak sedikit pun Adipati
Rakondah mengangkat kepalanya Berbagai macam perasaan kini tengah berkecamuk di
dalam dadanya. "Aku sudah peringatkan padamu, Adik Rakondah.
Sekarang semua sudah terjadi, dan kita hanya bisa berharap agar Intan Delima
bisa selamat dari maut,"
kata Panglima Bantaraji pelan.
"Ini semua memang salahku, Kakang. Seharusnya aku tidak menceritakan
semuanya...," keluh Adipati Rakondah lirih.
Seketika Panglima Bantaraji menatap tajam pada adiknya itu. Dia sepertinya tidak
percaya dengan pendengarannya barusan.
"Adik Rakondah, apa yang kau katakan tadi?"
"Maafkan aku, Kakang. Aku terpaksa menceritakan
semuanya pada Intan. Dan aku tidak menyangka kalau akan begini jadinya."
Panglima Bantaraji bangkit dari duduknya. Kemudian dia melangkah pelan pelan -dengan kepala tertunduk.
Dan ketika sampai di ambang pintu, dia berbalik. Tepat pada saat itu Adipati
Rakondah tengah menatapnya.
Sejenak mereka saling berpandangan.
"Jadi itulah sebabnya Intan Delima mengurung diri di kamar, Adik Rakondah?"
Panglima Bantaraji ingin penjelasan.
"Ya," sahut Adipati Rakondah mendesah.
"Hhh...!" Panglima Bantaraji menarik napas panjang.
Kemudian dia berbalik lagi.
"Kakang...," pelan suara Adipati Rakondah.
"Ada apa lagi?" Panglima Bantaraji tidak berbalik lagi.
"Terus terang, aku tidak tahu lagi, apa yang harus kulakukan...?" keluh Adipati
Rakondah. Panglima Bantaraji tidak menjawab. Dia terus mengayunkan kakinya meninggalkan
kamar itu. Dia sendiri tidak tahu, apa yang harus dilakukan. Sampai saat ini,
tindakan Pendekar Pulau Neraka memang sulit untuk ditebak dan dimengerti.
Tindakannya sangat ganjil!
Melakukan tekanan, membuat lawan jadi lemah
mentalnya dan kehilangan kepercayaan diri. Kemudian muncul dengan didahului
suatu tanda yang aneh dan mengejutkan.
Panglima Bantaraji benar benar merasakan suatu suasana yang membingungkan. -Sepertinya dia tengah berada pada satu lingkungan yang terkepung oleh makhluk
-makhluk haus darah. Kini keadaannya benar
-benar seperti di dalam neraka. Apa pun yang dilakukan, sepertinya Pendekar Pulau
Neraka bisa mengetahui, dan menciptakan neraka baru yang lebih mengerikan dan
menyakitkan. *** 5 Benarkah Intan Delima telah diculik oleh Pendekar Pulau Neraka"
Sebenarnya, Intan Delima memang sengaja meninggalkan istana kadipaten Dia pergi dengan membawa kehancuran dan rasa kecewa yang
sangat dalam di hatinya. Kepergian gadis itu diketahui oleh Bayu si Pendekar
Pulau Neraka, yang selalu mengamati suasana di sekitar Istana Kadipaten Jati
Anom. Kemudian dia memanfaatkan kesempatan itu dengan menyusup ke dalam kamar
gadis itu, dan membuatnya seolah olah seperti telah terjadi pertarungan dengan -meninggalkan sebuah bintang keperakan bersegi enam.
Lalu, ke mana sebenarnya Intan Delima pergi" Tak ada seorang pun yang tahu,
kecuali Bayu. Sekarang Intan Delima berada di sebuah goa kecil di Lereng Gunung
Panjaran. Setiap waktu dihabiskannya di dalam goa. Dan dia baru ke luar dari
dalam goa kalau merasakan perutnya lapar. Rasa kecewa yang dalam terhadap
ayahnya telah membuat gadis itu seperti ingin menghilang dari dunia ramai.
Pagi itu Intan Delima baru saja ke luar dari mulut goa tempatnya mengasingkan


Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri. Langkah kakinya
langsung terhenti ketika tiba tiba di depannya sudah berdiri seorang laki laki
- -muda berwajah tampan dengan tubuh tinggi tegap. Laki laki itu mengenakan baju
-dari kulit harimau. Kedua tangannya melipat di depan dada.
"Mau apa kau datang ke sini?" ketus suara Intan
Delima. Pemuda gagah itu hanya tersenyum saja, kemudian dia melangkah mendekati. Dan
dengan enak dia lalu duduk di atas akar pohon yang menyembul dari dalam tanah.
Sedangkan Intan Delima hanya memandanginya saja dengan wajah tidak menunjukkan
persahabatan. "Terus terang, aku heran denganmu. Keadaan Kadipaten Jati Anom kini sedang
kacau, kau malah enak-enakan menyendiri di sini," kata pemuda itu kalem.
Sepertinya dia tidak tahu menahu dengan suasana yang ditimbulkannya.
-"Itu semua gara gara kau!" bentak Intan Delima.
-"Tidak juga, kalau ayahmu tidak membuat persoalan lebih dulu," pemuda itu
mengelak. "Jangan bersilat lidah! Katakan saja terus terang, apa maumu datang ke sini?"
"Hanya ingin melihatmu."
"Huh!" Intan Delima mencibirkan bibirnya seraya memalingkan wajahnya.
Namun dia merasakan wajahnya jadi panas. Kata-kata yang meluncur dari mulut
pemuda gagah itu membuat jantungnya seperti berhenti berdetak. Intan Delima
tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Dia sudah terpikat sejak pertemuannya
yang pertama kali di Hutan Naga. Rasa simpatinya semakin menebal setelah
mengetahui persoalan dan kemelut hidup pemuda yang bernama Bayu itu. Tapi kalau
mengingat persoalan yang sedang terjadi antara Bayu dengan Adipati Rakondah,
Intan Delima seperti terjepit pada dua sisi yang menyulitkan
Di satu pihak, dia begitu menyayangi dan mencintai
ayahnya. Meskipun hatinya sempat terluka dan kecewa.
Dan di pihak lain, hatinya sudah terukir suatu kata kata yang sulit untuk -dihapuskan kembali. Kini Intan Delima tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan.
Rasanya tidak mungkin lagi dia untuk membujuk Bayu agar me-madamkan api
dendamnya. Dia bisa mengerti dan memahami dendam yang sudah bersemayam kuat di
dalam dada pemuda itu Tapi dia juga tidak mungkin berdiam diri melihat nyawa
ayahnya terancam oleh Pendekar Pulau Neraka ini.
"Adik Intan...," lembut suara Bayu.
"He! Kau..., kau memanggilku adik..."!" Intan Delima terperangah setengah tidak
percaya. Dia sampai berbalik dan menatap tajam ke bola mata pemuda itu, namun
cepat cepat dialihkan pandangannya ke arah lain.
-"Kenapa" Apakah aku tidak pantas menyebutmu adik?"
"Tidak! Eh..., boleh..., boleh," Intan Delima jadi gugup.
"Antara aku dan ayahmu memang saling ber-musuhan, tapi aku tidak mau kau ikut
memusuhiku. Di dunia ini aku hidup sendiri, tanpa teman dan kerabat.
Semua orang memandangku dengan benci, sepertinya kehadiranku hanya akan
menimbulkan malapetaka saja.
Yah..., mungkin memang sudah takdirku harus hidup sendiri tanpa seorang pun yang
mau menjadi teman bicara," Bayu mengeluh.
Kata kata Bayu yang bernada keluhan itu membuat hati Intan Delima tergerak. Dia
-kemudian kembali menatap dalam ke bola mata pemuda itu, seakan akan
-ingin mencari kebenaran pada sinar matanya. Dan gadis itu sedikit tersentak
begitu melihat sepasang bola mata itu berkaca kaca. Dan tanpa sadar, dia segera
-menghampiri dan berlutut di depannya.
"Kau benar benar cantik, Adik Intan. Aku memang seorang yang tidak tahu diri,
-terlalu banyak berharap untuk bisa berteman denganmu. Terlalu jauh per-bedaan
yang ada, terlalu dalam jurang pemisah di antara kita. Maaf, tidak seharusnya
aku berharap bisa berteman denganmu," pelan dan lirih suara Bayu.
Intan Delima tidak lagi bisa berkata kata. Sebenarnya banyak yang ingin dia
-ucapkan, tapi tenggorokannya serasa tersekat, sulit untuk mengucapkan satu kata
pun. Hanya sinar matanya saja yang memberikan banyak perasaan yang tak bisa
dilukiskan. Pelahan lahan Bayu bangkit seraya mendesah
-panjang. Kemudian kakinya terayun pelan meninggalkan gadis itu. Sementara Intan
Delima juga ikut berdiri.
Rasanya dia ingin ikut melangkah, tapi kakinya seperti terpaku, sulit untuk
digerakkan. "Kakang...," ke luar satu kata dari bibirnya yang bergetar.
Bayu segera menghentikan langkahnya. Dia membalikkan tubuhnya dan menghadap pada
gadis itu. Sesaat mereka hanya berdiam diri saling tatap. Namun teriihat kepala pemuda itu
rnenggeleng geleng lemah, dan tanpa berkata apa apa lagi, tubuhnya langsung - -melenting cepat dan lenyap ditelan oleh lebatnya pepohonan di Lereng Gunung
Panjaran itu. "Oh.... Kasihan kau, Kakang. Ternyata nasibmu lebih buruk dariku," desah Intan
Delima lirih. Gadis itu tetap berdiri terpaku dengan pandangan mata lurus ke arah kepergian
Pendekar Pulau Neraka.
Lama juga Intan Delima berdiri di depan goa. Hingga sampai matahari berada tepat
di atas kepala, baru dia melangkah meninggalkan tempat itu. Perutnya sudah
berkeruyuk minta diisi. Kemudian Intan Delima ber lalan gontai menembus
-kelebatan hutan di Lereng Gunung Panjaran.
*** Sementara itu suasana di Kadipaten Jati Anom semakin tidak menentu. Di seluruh
pelosok kota, penjagaan semakin ditingkatkan. Namun sampai saat ini tidak ada
yang bisa mengetahui tempat persembunyian Pendekar Pulau Neraka. Dan keadaan
semakin bertambah parah, ketika satu persatu para prajurit yang didatangkan dari
kerajaan, tewas dengan dada tertembus senjata yang berbentuk bintang perak
bersegi enam. Hal itu tentu saja makin membuat Adipati Rakondah dan Panglima
Bantaraji kalang kabut.
-Lebih lebih Adipati Rakondah, kepercayaan pada dirinya sendiri semakin goyah.
-Emosinya sudah tidak terkontrol lagi. Perang urat syaraf yang ditimbulkan oleh
sepak terjang Pendekar Pulau Neraka benar benar telah membuat Adipati Rakondah
- -dan Panglima
Bantaraji seperti kehilangan diri.
"Gila! Ini benar benar gila!" geram Adipati Rakondah ketika pagi itu dia
mendapat laporan bahwa seluruh kuda kuda di istal hilang.
-Adipati Rakondah yang selalu didampingi kakaknya,
Panglima Bantaraji segera melihat istal yang sudah kosong tanpa seekor kuda pun
di dalamnya. Dia langsung menggerutu sendiri, mencaci maki tidak karuan! Perang
-urat syaraf yang dilontarkan Pendekar Pulau Neraka benar benar menyakitkan.
-Setegar apa pun jiwa seseorang, pasti akan rapuh juga jika terus-menerus dilanda
teror tanpa mampu untuk berbuat sesuatu.
"Kendalikan dirimu, Adik Rakondah," kata Panglima Bantaraji berusaha
menenangkan, padahal di dalam dadanya sendiri juga bergemuruh.
"Bagaimana aku bisa tenang, Kakang. Dia sudah mengambil anakku, kemudian disusul
dengan tewasnya sebagian prajurit prajurit kita! Sedangkan apa yang sudah kita
-lakukan" Diam...! Diam terus!" Adipati Rakondah jadi semakin berang.
"Lalu apa yang akan kau lakukan" Mengobrak abrik seluruh kadipaten?" Panglima -Bantaraji juga jadi gusar.
"Aku akan mencari sendiri bajingan itu!"
"Rakondah...!"
Peringatan Panglima Bantaraji tidak digubris lagi.
Adipati Rakondah bergegas meninggalkan istal yang sudah kosong itu. Hatinya
benar benar panas, tidak tahan lagi menghadapi tekanan yang datang secara
-beruntun. Rasanya tidak ada lagi yang bisa dia lakukan, selain mencari pendekar
itu dan menantangnya untuk bertarung sampai salah satu di antara mereka ada yang
tewas! "Rakondah!" Panglima Bantaraji menyentakkan bahu adiknya hingga adipati itu
berbalik dan menghadangnya.
Sejenak Adipati Rakondah menatap tajam pada
kakaknya itu. Kini mereka tidak peduli lagi dengan jabatan yang disandang
masing masing. Mereka terus saling tatap dengan tajam, seperti dua orang musuh
-yang sudah siap mengadu nyawa.
"Bagaimanapun juga kau harus bisa mengendalikan diri, Adik Rakondah. Aku sudah
menyebarkan puluhan telik sandi terpercaya untuk menemukan tempat persembunyian
Pendekar Pulau Neraka," kata Panglima Bantaraji terus berusaha menenangkan
adiknya. "Percuma, Kakang. Lebih baik segera kau tarik kembali para prajuritmu untuk
pulang. Aku tidak mau lagi lebih banyak korban berjatuhan," sahut Adipati
Rakondah bernada putus asa.
"Kau sepertinya tidak mempercayai kemampuanku, Rakondah."
"Maaf, Kakang. Pendekar itu hanya menginginkan diriku. Rasanya sia sia saja
-meskipun kau datangkan seluruh prajurit pilihan kerajaan. Dia sangat licik dan
punya siasat yang kejam. Maaf, aku harus segera mengambil tindakan sebelum
terlambat," tegas kata kata Adipati Rakondah.
-"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Panglima Bantaraji.
"Mengosongkan istana."
"Gila! Apa kau mau bunuh diri, Rakondah" Pendekar Pulau Neraka sukar dicari
tandingannya. Kita berdua saja belum tentu mampu menghadapinya!' Panglima
Bantaraji terkejut setengah mati.
"Tapi itu lebih baik. Kakang. Daripada semakin banyak orang yang tidak berdosa
-tewas di tangannya,
Aku akan semakin merasa berdosa jika membiarkan orang orang tidak berdosa ikut
-tewas karena membela ku. "
"Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri, Rakondah. Ingat, masih ada aku,
masih banyak sahabat-sahabat kita yang memiliki ilmu tinggi. Kalau kita mau
menghubungi, mereka pasti mau membantumu," kata Panglima Bantaraji.
Adipati Rakondah segera menggeleng gelengkan-kepalanya.
"Sudah terlambat, Kakang. Rasanya tidak ada lagi yang harus jadi korban. Kini
semuanya benar benar sudah terlambat. Hidup pun tidak ada gunanya lagi bagiku.
-Terima kasih, kau telah berkorban banyak untuk membelaku, Kakang. Sebaiknya kau
segera kembali saja ke kerajaan, dan bawa semua prajuritmu," kata Adipati
Rakondah tetap pada pendiriannya.
"Adik Rakondah..."
"Maaf, aku tidak bisa lagi menerima bantuanmu.
terima kasih, Kakang," tegas kata kata Adipati Rakondah.
-Panglima Bantaraji tidak bisa lagi menahan kepergian adiknya. Dia sudah tahu
betul akan watak adiknya itu.
Keras dan teguh pada pendiriannya! Ada rasa ke-kaguman pada hatinya melihat
sikap adiknya yang berjiwa ksatria itu. Benar benar sudah jauh berbeda lengan
masa masa lalunya. Kini Panglima Bantaraji hanya bisa memandangi Adipati
-Rakondah yang melangkah gontai menuju istana.
"Kasihan kau, Adikku," desah Panglima Bantaraji pelan. "Kau harus menanggung
semua akibat per
-buatanmu sendiri."
Dan dengan langkah pelan, Panglima Bantaraji juga meninggalkan halaman depan
istal yang sepi itu.
Tampak pengurus kuda tengah duduk melamun di samping pintu istal Kini tidak ada
lagi yang bisa dia kerjakan. Semua kuda kuda telah lenyap semalam, tanpa sisa
satu ekor pun. Suatu kejadian yang aneh, dan baru pertama kali terjadi. Semua
orang seperti kena sirep, tidur lelap dan tidak mendengar suara apa pun.
*** Meskipun sudah berkali kali disuruh pulang, tapi Panglima Bantaraji tetap tidak
-mau meninggalkan Kadipaten Jati Anom. Bagaimanapun juga, dia tidak tega untuk
meninggalkan adik kandung satu satunya menghadapi maut seorang diri. Meskipun
-sudah jelas bahwa adiknya yang bersalah!
Adipati Rakondah sendiri kini sudah mengosongkan istananya. Semua pelayan dan
abdi setianya sudah disuruh meninggalkan istana. Bahkan para pejabat kadipaten
tidak diperbolehkan datang lagi. Tidak ada seorang pun yang berani membantah,
mereka seperti sudah mengerti dengan semua persoalan yang sedang dihadapi
junjungannya itu. Sekarang yang masih tinggal di lingkungan Istana Kadipaten,
hanya Adipati Rakondah sendiri dengan Panglima Bantaraji dan dua puluh orang
prajurit pilihan dari kerajaan. Suasana di istana kadipaten benar benar sudah
sunyi. Suatu kesunyian yang mencekam dan berselimut maut!
Sejak sore, Adipati Rakondah duduk merenung di
beranda depan istananya. Di sampingnya duduk pula Panglima Bantaraji. Sementara
empat orang prajurit yang bersenjata pedang di pinggang berdiri di belakang
mereka. Tak ada yang bicara sedikit pun sejak senja tadi. Masing masing sibuk -dengan pikirannya. Sedangkan di bagian halaman depan, tampak enam belas prajurit
berjaga jaga dengan senjata yang sudah terhunus di tangan.
-"Huh! Seperti sedang menunggu mati saja!" dengus Panglima Bantaraji mengeluh.
Sejenak Adipati Rakondah menoleh dan memandang
sayu pada kakaknya.
"Sudah dua malam kita duduk di sini. Mau sampai kapan lagi begini terus...?"
lagi lagi Panglima Bantaraji mengeluh.
-"Jangan mengeluh terus, Kakang. Aku sudah memintamu untuk meninggalkan Kadipaten
Jati Anom,"
rungut Adipati Rakondah
"Meninggalkanmu sendirian dicincang"
"Kalaupun aku harus mati, ini adalah kesempatanku untuk mati secara ksatria,
Kakang." Kini Panglima Bantaraji menatap tajam pada adiknya.
Selama ini dia belum pernah mendengar kata kata seperti itu ke luar dari mulut
-adiknya itu. Dia seperti tidak percaya, bahwa adiknya yang selama ini berada di
jalan hitam sudah benar benar berubah. Apakah Adipati Rakondah sudah putus asa"
-Atau memang dia sudah bertobat dan ingin menebus segala dosa dosanya di masa
-lalu" Tidak ada seorang pun yang tahu!
Sementara malam terus merayap semakin larut.
Kedua. bersaudara itu terus berbincang bincang
-mengenang kembali masa masa lalu. Di mana mereka terkenal sebagai tokoh yang
sangat disegani di rimba persilatan, dengan julukan Sepasang Gagak Hitam dari
Utara. Dan meskipun mereka selalu bersama sama mengarungi keganasan rimba
-persilatan, namun watak dan tindakan mereka selalu bertentangan. Yang satu
selalu mementingkan orang lain dan membela
kebenaran, sedangkan satunya lagi selalu bertindak sangat bertentangan, namun
anehnya mereka bisa ber-satu seiring sejalan. Hal itu tentu saja membuat tokoh-
tokoh sakti rimba persilatan jadi bingung menentukan mereka berada dalam
golongan mana. Satu hari mereka memberantas kejahatan bersama-sama, tapi pada hari berikutnya
mereka bisa bentrok dengan pendekar golongan putih. Mereka berdua memang bisa
saling bantu dan mendukung satu sama lainnya, tapi untuk kepentingan pribadi
tidak mau saling mencampuri.
"Kakang, awas...!" tiba tiba Adipati Rakondah berseru nyaring sambil melompat -dan menubruk kakaknya.
Dan pada saat yang bersamaan, secercah cahaya keperakan meluncur deras bagai
kilat. Kakak beradik itu jatuh bergulingan, dan sinar keperakan itu langsung
menghantam seorang prajurit yang tengah berdiri tepat di belakang Panglima
Bantaraji. Jeritan melengking terdengar disusul dengan ambruknya prajurit itu.
Panglima Bantaraji bergegas melompat dan menghampiri prajurit yang malang itu.
Dan kemudian dia segera mencabut benda berbentuk bintang berwarna keperakan dari
dada prajurit itu.
Wut, wut, wut...!
Belum lagi rasa terkejut mereka hilang, tiba tiba tiga buah benda bercahaya
-keperakan kembali meluncur dan menancap berjajar pada daun pintu. Seketika
Adipati Rakondah dan Paglima Bantaraji melompat begitu mereka melihat
berkelebatnya sebuah bayangan melompati tembok.
"Hey! Berhenti...!" seru Adipati Rakondah lantang.
Namun begitu kakinya hinggap di atas tembok benteng yang tinggi dan tebal,
bayangan itu sudah lenyap tak berbekas. Sejenak Adipati Rakondah mengedarkan
pandangannya berkeliling, menembus kegelapan malam. Sedangkan Panglima Bantaraji
tetap menunggu di bawah.
"Huh! Sial...!" rutuk Adipati Rakondah menggeram seraya meluncur ke bawah.
Dan dengan manis sekali kakinya segera hinggap di tanah, tepat di depan Panglima
Bantaraji. Tampak di beranda depan, dua orang prajurit tengah menggotong seorang
prajurit yang tewas tertembus bintang perak bersegi enam. Sesaat Adipati
Rakondah dan Panglima Bantaraji saling berpandangan.
"Apa maksudnya dia mengirimkan senjata itu, Kakang?" tanya Adipati Rakondah
tetap memandang ke bola mata kakaknya.
"Hari penentuan," sahut Panglima Bantaraji setengah mendesah.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang?"
"Berapa yang dia lemparkan?" Panglima Bantaraji malah balik bertanya.
"Empat, dan satu berhasil menewaskan seorang
prajuritmu," sahut Adipati Rakondah.
"Berarti tiga buah, dan itu tandanya tiga hari lagi dia akan datang menantangmu.
Satu lontaran yang
pertama tadi merupakan peringatan," Panglima Bantaraji menjelaskan.


Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adipati Rakondah segera terdiam mendengar penjelasan itu. Dan dengan kepala
tertunduk lesu, dia melangkah kembali ke beranda depan istananya.
Sementara Panglima Bantaraji segera mengatur sisa para prajuritnya untuk tetap
berjaga jaga dari segala mungkinan yang ada.
- *** Tanpa seorang pun yang mengetahui, sesosok tubuh
berada di kerimbunan pepohonan yang tidak jauh dari benteng bagian Barat Istana
Kadipaten Jati Anom.
Sepasang matanya yang bening bercahaya, menatap tajam mengawasi sekitar bangunan
besar dan megah itu. Dan tatapannya langsung terpaku pada seorang laki-laki
setengah baya yang mengenakan pakaian indah seorang panglima.
Sosok tubuh itu terus mengamati setiap gerak gerik Panglima Bantaraji. Tampak -Panglima Bantaraji melangkah menuju ke bagian belakang bangunan megah itu. Tak
ada seorang prajurit pun yang terlihat di sana.
Semua prajurit dikhususkan untuk menjaga bagian depan.
Beberapa saat kemudian, sosok tubuh itu melenting ringan ke bawah tanpa
menimbulkan suara sedikit pun.
Lalu kembali dia melentingkan tubuhnya, dan hinggap di
atas atap. Dan hanya dengan menginjakkan sedikit ujung jari kakinya, sosok tubuh
itu meluruk turun dan langsung mendarat di depan Panglima Bantaraji!
"Heh!" Panglima Bantaraji terkejut, langsung melompat mundur dua tindak.
Sosok tubuh itu ternyata seorang pemuda gagah berwajah tampan. Badannya yang
tegap berisi, teringkus baju dari kulit harimau. Tangannya tampak melipat di
depan dada. Tampak di pergelangan tangan kanannya menempel sebuah lempengan
logam yang berwarna keperakan. Benda itu berkilauan tertimpa oleh cahaya bulan
yang mengintip dari balik awan hitam. Tatapan matanya tajam menembus langsung ke
bola mata Panglima Bantaraji.
"Pendekar Pulau Neraka ," desis Panglima Bantaraji.
"Kau pasti Panglima Bantaraji," dingin dan datar suara pemuda gagah itu yang
ternyata adalah Bayu si Pendekar Pulau Neraka.
"Benar! Akulah Panglima Bantaraji!" sahut Panglima Bantaraji sudah bisa
mengendalikan dirinya dengan tenang.
"Di antara kita tidak pernah punya persoalan. Maka aku minta padamu, agar jangan
mencampuri urusanku, Panglima Bantaraji," tegas kata kata Bayu.
-"Aku sudah tahu persoalan yang kau bawa ke sini, tapi kau juga harus tahu, bahwa
antara aku dan Adipati Rakondah tidak dapat dipisahkan. Kami adalah dua
bersaudara yang berjuluk Sepasang Gagak Hitam dari Utara!" tegas juga jawaban
Panglima Bantaraji.
"Hm..., mereka memang benar. Aku tidak mungkin bisa memberi peringatan padamu,"
gumam Bayu. "Apa yang kau katakan, Pendekar Pulau Neraka?"
"Ketahuilah, Panglima Bantaraji. Sebagian prajurit Kadipaten Jati Anom ini masih
sayang pada nyawanya.
Dan mereka mau menuruti kehendakmu. Tapi prajurit-prajurit yang kau bawa itu
sikapnya tidak jauh berbeda denganmu. Keras kepala! Maaf aku harus menyingkirkan
semua yang menjadi penghalangku!"
"Jadi..."!" Panglima Bantaraji terperangah.
"Tidak satu pun penduduk maupun prajurit kadipaten yang berpihak lagi pada
Adipati Rakondah.
Mereka semua sudah tahu, siapa sebenarnya manusia iblis yang berkedok adipati
itu!" "Pengecut! Kau hasut mereka untuk memberontak, heh!" geram Panglima Bantaraji.
"Mereka manusia manusia yang masih mempunyai pikiran wajar, Panglima. Mereka -tidak akan memberontak, mereka telah menyerahkan segalanya padaku. Dan mereka
menyesal telah mengabdi pada manusia iblis itu. Nah, Panglima Bantaraji. Kalau
kau masih punya otak waras, ikuti jejak mereka. Sedangkan anaknya sendiri tidak
mau lagi bertemu dia!"
"Keparat...! Tidak kusangka, nama Pendekar Pulau Neraka yang begitu terkenal
ternyata seorang manusia pengecut dan licik!"
"Tidak jauh berbeda dengan cara kalian memperoleh jabatan, Panglima. Kau dan
adikmu juga menggunakan akal licik dan pengecut. Menjilat Gusti Prabu, dan
menyingkirkan orang orang yang tidak menyukai kalian dengan cara kotor dan
-keji!" "Heh...!" Panglima Bantaraji tersentak kaget. Benar-benar di luar dugaan, kalau
pemuda gagah yang
kondang namanya ini mengetahui seluruhnya tentang kehidupan masa lalu diri
mereka. Kini Panglima Bantaraji benar benar dibuat tidak berkutik lagi.
-Kedoknya sudah terbuka lebar di hadapan pemuda ini.
"Panglima, sekali lagi aku memintamu untuk tidak ikut campur, karena aku sudah
tahu siapa kau. Jika kau mau menuruti kata kataku, hidupmu akan bisa lebih
-panjang lagi, dan kau bisa tenang berada di keraton memimpin ribuan prajurit,"
kata Bayu lagi.
"Phuih! Kau bocah kemarin sore berani mengatur-ku!" dengus Panglima Bantaraji.
Bagi Panglima Bantaraji, memang tidak ada pilihan lagi. Dia sudah kepalang
basah, dan tidak akan mundur setapak pun juga, meskipun nyawa sebagai
taruhannya. Lagi pula, dia memang tidak mungkin meninggalkan adiknya menantang maut seorang
diri. Mereka sudah dikenal sebagai sepasang tokoh yang tangguh, dan sudah
kenyang mengenyam pahit getirnya kehidupan rimba persilatan selama puluhan
tahun. "Hm..., rupanya benar kata mereka, kau benar benar seorang yang keras kepala! -Sebenarnya aku enggan berhadapan denganmu, Panglima. Tapi karena kau memaksaku
juga, apa boleh buat, kita terpaksa bertemu dalam arena pertarungan nanti."
Setelah berkata begitu, Bayu langsung melentingkan tubuhnya bagai kilat
meninggalkan tampat itu.
"Hey, tunggu ..!" sentak Panglima Bantaraji.
Namun begitu Panglima Bantaraji menggenjot
tubuhnya, bayangan Pendekar Pulau Neraka itu sudah tidak terlihat lagi. Pendekar
itu bagaikan hilang ditelan kepekatan malam. Sementara Panglima Bantaraji hanya
bisa mengeluh pendek, dan tidak jadi mengejar. Malam terus merayap semakin
larut, suasana di Kadipaten Jati Anom benar benar sepi. Tak ada seorang penduduk
-pun yang terlihat berada di luar rumah. Mereka semua sudah mengetahui persoalan
yang kini sedang dihadapi oleh Adipati Rakondah, dan mereka juga sudah
mengetahui, siapa sebenarnya adipati itu. Hal ini semua karena pekerjaan
Pendekar Pula Neraka.
Meskipun segala tindakannya dapat dikatakan
kejam, namun kekejaman itu hanya ditujukan pada orang orang yang memang harus
-diberi tindakan begitu. Pendekar Pulau Neraka tidak akan pernah melukai atau
menyakiti orang yang tidak mempunyai urusan dengannya, kecuali mereka yang
benar benar keras kepala dan menghalangi tindakannya.
-"Benar benar hebat dia. Aku jadi sangsi, apakah mampu untuk menandinginya...?"
-desah Panglima Bantaraji bimbang.
Panglima Bantaraji kemudian melangkah pelan
memasuki bangunan istana Kadipatan Jati Anom itu. Di benaknya terus berputar dan
dipenuhi oleh kata kata Pendekar Pulau Neraka barusan. Dalam hati kecilnya, dia
-tidak membantah kalau kata kata pemuda itu memang benar. Selama hidupnya, dia
-memang berada di jalur yang tidak bisa ditentukan. Dia sendiri sebenarnya tidak
pernah menyetujui dan membenarkan tindakan adiknya, tapi mengingat Adipati
Rakondah adalah adik kandung satu satunya, dia tidak bisa meninggalkannya begitu
-saja! Dan sekarang mereka sedang menghadapi suatu
persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Lawan
mereka kali, ini bukan lawan sembarangan. Dia ialah seorang pendekar yang selalu
bertindak kejam!
Mengingat semua itu, Panglima Bantaraji jadi bergidik.
Dia jadi ingat akan nasib yang telah dialami Jantara, si Tongkat Samber Nyawa.
Kedua kakinya dibuntungi dan matanya dibutakan, persis seperti ketika Jantara
nembuntungi dan membutakan Gardika.
"Hhh..., apakah Adik Rakondah juga akan dicincang seperti dia mencincang Dewa
Pedang...?" kembali Panglima Bantaraji mendesah lirih.
*** 6 Pagi hari itu di Lereng Gunung Panjaran, Intan Delima tengah duduk merenung di
atas akar sebuah pohon besar yang menyembul dari dalam tanah. Jari jari -tangannya yang lentik dan halus menyentil nyentilkan batu kerikil ke sungai
-kecil di depannya. Wajahnya kelihatan murung, dan sinar matanya redup menatap
lurus ke arah sungai kecil yang berair jernih depannya.
Gadis itu sama sekali tidak menyadari kalau sejak tadi ada sepasang mata yang
memperhatikannya.
Sepasang mata yang bening itu memancarkan cahaya penuh ketegasan dan kekerasan
hati. Pelahan lahan pemilik sepasang mata itu menghampirinya. Mendadak gadis itu
-tersentak begitu mendengar suara batuk keluar dari belakangnya. Dia langsung
menoleh, dan menggeser duduknya begitu melihat pemuda gagah suda berdiri di
belakangnya. Pemuda itu kemudian mengambil tempat, dan duduk di rerumputan di
depan Inta Delima.
"Sudah tiga hari ini kau kelihatan murung. Ada apa, Adik Intan?" tanya pemuda
gagah itu. Suaranya lembut, dan sinar matanya juga lembut menata langsung ke
bola mata gadis itu.
"Entahlah, Kakang Bayu. Aku sendiri tidak tahu,"
sahut Intan Delima mendesah lirih.
"Kau rindu dengan ayahmu?" tebak Bayu.
Intan Delima tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap pemuda itu dengan sinar
mata yang sulit
untuk diartikan. Sebenarnya dia memang rindu dengan ayahnya, tapi mengingat
kekecewaan hatinya yang sudah demikian mendalam, kerinduannya itu pupus.
Dan Intan Delima membiarkan saja ketika tangan Bayu mulai menggenggam tangannya.
Dia juga tak bergeming saat pemuda itu pindah duduk di sampingnya.
"Maafkan aku, Intan Seharusnya kita tidak bertemu dalam suasana seperti ini,"
lembut suara Bayu.
"Kakang...," suara Intan Delima terputus. Kepalanya tampak menggeleng geleng
-lemah. Sedangkan tatapan matanya mengandung sejuta kata kata yang sulit untuk
-diucapkan. "Kau ingin mengatakan sesuatu, Intan" Katakanlah, apa pun yang akan kau katakan,
aku akan mendengarkan," kata Bayu tetap lembut.
"Kau tidak akan marah?"
Bayu menggeleng dan tersenyum manis.
"Juga tidak akan membenciku?"
Tidak ada alasan untuk membencimu, Intan."
"Kakang, aku. , aku...," Intan Delima sepertinya sulit untuk berkata. Pelahan-lahan dia kemudian menundukkan kepalanya.
Sementara Bayu terus memperhatikan wajah gadis itu. Dan dengan pelahan lahan dia
-lalu mengangkat kepala Intan Delima dengan ujung jarinya. Sesaat mereka saling
bertatapan. Tanpa kata, tanpa suara!
Mereka terus bertatapan dengan sejuta kata yang terpancar dari sinar mata.
Pelahan lahan sekali Bayu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Napasnya yang
-hangat menerpa langsung membuat paras wajah Intan Delima bersemu merah dadu.
Namun belum sempat gadis itu menyadari apa yang
akan dilakukan Bayu, mendadak tubuhnya menggeletar bagi tersengat ribuan lebah.
Intan Delima merasakan tubuhnya seperti melayang, jauh menembus mega.
Napasnya pun jadi terasa sesak, sedangkan dadanya berdebar keras bagai genderang
yang dipukul bertalu-talu. Bibirnya bergetar hebat dalam kuluman bibir Bayu
Hanggara. Intan Delima langsung menundukkan kepalanya
begitu Bayu melepaskan pagutannya. Merah sudah seluruh wajahnya. Berbagai
perasaan kini berkecamuk di dalam dadanya. Entah dia menyukai semua itu, atau
malah membencinya. Belum pernah sekali pun dia melakukan hal itu. Namun Intan
Delima seolah ingin merasakannya lagi, dan lagi! Pagutan Pendekar Pulau Neraka
itu benar benar menghanyutkan. Indah, dan...
-Ah! "Kau cantik sekali, Intan...," bisik Bayu lembut dan lirih di telinga Intan
Delima. "Kakang...," desah Intan Delima tidak mampu lagi untuk mengatakan sesuatu.
Kembali Intan Delima tidak mampu menolak saat tangan yang kekar itu merengkuh
dan memeluknya dengan erat. Gadis itu hanya mampu mendesah dan mengeluh lirih.
Kepalanya menengadah ke atas dengan mata yang terpejam. Bibirnya dia gigit
sekuat kuatnya menahan sesuatu yang begitu kuat mendesak dirinya.
-Ciuman ciuman yang hangat di lehernya benar benar telah membuat gadis itu lupa
- -diri. "Oh, ahhh..., Kakang. ," desis Intan Delima lirih.
Gadis itu menggelinjangkan tubuhnya saat jari jenari
- tangan Bayu mulai menjelajahi tubuhnya. Kembali gadis itu tidak mampu menolak,
saat Bayu membimbingnya ke bawah sebuah pphon besar dan rindang. Intan Delima
menurut saja ketika dirinya dibaringkan di atas rerumputan di bawah pohon
rindang itu. Sementara cahaya matahari pagi hanya mampu nengintip malu dari
balik kerimbunan daun.
Ciuman ciuman hangat, elusan lembut jari jari, dan bisikan halus dari Pendekar - -Pulau Neraka membuat Intan Delima bagai terbang ke suatu tempat indah yang belum
pernah dia datangi sebelumnya. Gadis itu hanya bisa mengeluh dan merintih lirih
dalam dekapan Bayu Hanggara. Keangkuhan dan ketegarannya luruh hari itu juga.
Intan Delima bagaikan seekor anak ayam yang pasrah berada di tangan serigala.
"Kakang, akh...!" pekikan tertahan terdengar. Bersamaan dengan mengejangnya
tubuh di dalam dekapan Bayu.
"Ohhh..."
*** Intan Delima segera merapikan pakaiannya.
Wajahnya tampak pucat, dan setirik air bening menggulir jatuh di pipinya yang
putih kemerahan.
Sejenak melirik pada Bayu yang rebah di sampingnya.
Tampak keringat membasahi tubuh mereka. Bayu mengangkat tubuhnya dan duduk di
samping Intan Delima. Dengan lembut dia kembali merengkuh tubuh gadis itu ke
dalam pelukannya.
Kini Intan Delima tidak mampu lagi menahan air
matanya. Air bening langsung mengucur deras jatuh menimpa dada Bayu yang masih
telanjang. Sedangkan pemuda itu hanya bisa memeluk dan mengusap usap punggung
-Intan Delima yang terbuka. Pakaian gadis itu belum seluruhnya rapi. Punggungnya
masih terlihat terbuka lebar, menampakkan kulit punggung yang putih mulus tanpa
cacat. "Kau menyesal, Intan?" bisik Bayu lembut. Intan Delima merenggangkan tubuhnya,
dan bergegas merapikan pakaiannya. Dan dengan punggung tangannya dia menghapus air mata yang
membasahi pipinya.
Gadis itu tidak tahu lagi, apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu,
perasaan apa yang dialaminya saat ini.
Apakah dia bahagia" Sedih" Kehilangan" Atau....
Entahlah. Yang jelas semuanya sudah terjadi tanpa ada paksaan. Penyesalan juga
tidak ada gunanya lagi, sesuatu yang sudah hilang tidak akan bisa kembali lagi.
Dan tanpa berkata sedikit pun, Intan Delima berdiri dan berjalan meninggalkan
pemuda itu. Sementara Bayu juga bergegas mengenakan pakaiannya, lalu bangkit dan
mengejar gadis itu. Dia mensejajarkan langkahnya di samping Intan Delima. Mereka
terus berjalan pelan pelan tanpa berkata kata.- -"Intan..."
Intan Delima menghentikan langkahnya. Dia
menoleh dan menatap langsung ke bola mata Bayu.
Bibirnya yang selalu merah, tampak bergetar. Sedangkan sepasang bola matanya
juga masih merembang, namun tidak setitik pun air bening yang memenuhi kelopak
matanya itu jatuh.
"Maafkan aku, Intan. Seharusnya hal itu tidak perlu
terjadi," kata Bayu menyesaj.
"Kau harus menikahiku, Kakang. Kau harus menemui ayahku, dan melamarku," kata
Intan Delima agak tersendat suaranya.
"Mustahil! Tidak mungkin, Intan. Masih banyak pekerjaanku yang belum selesai.
Lagi pula aku tidak mungkin menarik kembali kata kataku! Aku sudah memberikan
-waktu pertarungan. Aku atau ayahmu yang harus mati!" kata Bayu mantap.
"Aku mencintaimu, Kakang. Dan aku tidak mau kehilanganmu, juga ayahku. Hentikan
semua dendam-mu, Kakang." Intan Delima setengah merengek.
Kini Bayu hanya bisa menggeleng gelengkan kepalanya. Baginya tidak mungkin untuk
-mencabut kembali ucapannya. Dia memang menyukai gadis itu, tapi dendamnya pada
ayah gadis itu tidak bisa dilupakan begitu saja. Seperti apa pun rintangan yang
menghadang, Bayu tetap bertekad untuk melaksanakan dendam itu.
"Aku mohon padamu, Kakang. Kita bisa hidup tenang dan bahagia, tanpa harus
dibebani dengan segala macam dendam. Aku bisa meminta pada Paman
Panglima Bantaraji agar kau diberi kedudukan yang tinggi di kerajaan," bujuk
Intan Delima. Bayu diam saja.
"Ayah pasti mau memaafkan dan menerimamu Kakang. Aku yakin, Ayah pasti akan
menyesali perbuatannya yang telah lalu," sambung Intan Delima tetap membujuk.


Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf, Intan. Aku benar benar tidak bisa menuruti permintaanmu. Hari pertarungan
-sudah ditentukan dan aku sudah memberikan tanda sebagai lambang
kematian baginya!?" kata Bayu tegas.
"Kakang...!" suara Intan Delima tercekat.
"Jangan membujuk lagi, Intan," tegas kata ka Bayu.
-Kini Intan Delima tidak kuasa lagi membendung air matanya. Dan dia hanya bisa
berdiri terpaku dengan bibir bergetar. Sementara Bayu mulai melangkah
meninggalkannya. Pertentangan batin melanda di gadis itu. Hatinya judah terpaut
kuat oleh ketampanan dan kegagahan pendekar muda itu, tapi dia juga mencintai
ayahnya. Tidak mungkin membiarkan ayahnya tewas di tangan orang yang sudah
menggoreskan tinta merah di hatinya.
"Kakang...!" teriak Intan Delima memanggil.
Namun Bayu tetap melangkah meninggalkannya.
Sedikit pun dia tidak menoleh ke belakang. Buru buru Intan Delima berlari -mengejar sambil memanggil-manggil. Dia melewati Pendekar Pulau Neraka itu, dan
langsung berdiri menghadangnya. Di tangannya kini sudah tergenggam sebilah
pedang yang berkilat te timpa cahaya matahari. Tentu saja Bayu tersentak melihat
Intan Delima telah menghunus pedangnya.
"Jangan main main, Intan. Masukkan kembali pedangmu!" sentak Bayu keras.
-"Tidak Bayu! Sebelum kau berjanji tidak akan bertarung dengan ayahku, aku akan
tetap menghadang-mu!" suara Intan Delima terdengar bergetar.
"Intan! Apa apaan kamu?" sentak Bayu.
-"Aku mohon padamu, Kakang. Batalkan pertarungan itu! Aku benar benar
-mencintaimu...," rengek Intan Delima. Air matanya berderai tak terbendung lagi.
"Jangan main main, Intan. Masukkan kembali
-pedangmu!"
"Tidak! Sebelum kau berjanji tidak akan bertarung dengan ayahku!" suara Intan
Delima agak bergetar.
"Mengertilah, Intan. Aku...."
"Kau tidak mencintaiku, Kakang"!" potong Intan Delima cepat.
"Intan...," Bayu jadi kebingungan juga.
"Kau kejam, Kakang. Kau hanya bermaksud mempermainkan aku!" tangis Intan Delima
meledak Hatinya benar benar serasa hancur begitu menyadari kalau pemuda yang
-telah merenggut segala galanya itu tidak mencintainya.
-"Aku..., aku menyukaimu, Intan," suara Bayu me lembut.
"Tidak! Kau hanya menginginkan tubuhku! Kau tidak mencintaiku! Kau kejam,
Kakang...! Kejam...!' Intan Delima jadi histeris.
"Intan...!"
Bayu tidak mampu lagi melanjutkan ucapannya.
Intan Delima sudah keburu mengibaskan pedangnya dengan cepat. Untung saja
Pendekar Pulau Neraka itu cepat cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga
-ujung pedang Intan Delima lewat beberapa helai rambut di depan dadanya.
Dan belum lagi Bayu sempat menyadarkan gadis itu, mendadak Intan Delima sudah
kembali menyerangnya dengan ganas. Tampaknya gadis itu sudah tidak bisa lagi
mengendalikan dirinya. Rasa kecewa yang bertumpuk membuat jiwanya terguncang
hebat. Baginya lebih baik mati, atau pemuda itu tewas di tangannya daripada
hidup menanggung malu dan kekecewaan.
"Intan! Hentikan, dengarkan aku dulu..., uts!"
Buru buru Bayu menarik kepalanya ke belakang begitu ujung pedang Intan Delima -hampir membabat
!ehernya. Pendekar Pulau Neraka itu benar benar tidak diberi kesempatan sama
-sekali. Jangankan untuk membalas menyerang, untuk bicara saja dia tidak punya
kesempatan lagi! Serangan serangan yang dilancarkan Intan Delima benar benar
- -dahsyat dan mengarah pada bagian bagian tubuh yang mematikan. Rasa cinta, kecewa
-dan marah telah menggulung dirinya menjadi satu! Hilang sudah kelembutan dan
kemanisan di wajahnya yang kini memerah kaku bagai seekor singa betina yang
kehilangan anaknya.
"Huh! Gadis ini benar benar ingin membunuhku!"
-keluh Bayu dalam hati.
Serangan serangan Intan Delima benar benar berbahaya, dan Bayu tidak punya
- -pilihan lain lagi. Begitu pedang Intan Delima mejuruk deras ke arah dadanya,
dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu mengegoskan tubuhnya ke samping, dan
bagaikan seekor ular marah, tangannya bergerak cepat menepuk punggung tangan
gadis itu. "Akh!" Intan Delima memekik tertahan.
Tepukan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu membuat pegangan pedang
gadis itu terlepas.
Dan tanpa dapat dicegah lagi, pedang bercah keperakan itu meluncur dan menancap
pada sebatang pohon cemara.
Belum lagi Intan Delima menyadari apa yang terjadi, satu totokan lembut sudah
bersarang di pundak kirinya.
Dan disusul satu totokan lagi mendarat di dada kanan.
Maka tanpa ampun lagi gadis itu ambruk dengan tubuh lemas tertotok jalan
darahnya. Bayu segera memburu dan berlutut di samping gadis itu.
"Intan...."
"Bunuhlah aku, Kakang. Ayo bunuhlah aku...!" jerit Intan Delima histeris. Air
matanya yang sudah kering kembali mengalir deras.
"Maafkan aku Intan. Aku menyukaimu, tapi...."!
"Kau kejam, Kakang! Kejam...!" jerit Intan Delima memotong cepat. Kepalanya
menggeleng geleng.
-Bayu menarik napas panjang. Kemudian jari jari tangannya bergerak lembut ke
-beberapa bagian tubuh Intan Delima. Setelah itu dia bangkit berdiri. Sejenak,
dipandanginya wajah gadis itu, kemudian melangkah mundur. Intan Delima
menatapnya tajam dengan sinar, mata yang penuh dengan perasaan cinta, benci dan
kecewa yang bercampur menjadi satu.
"Sebentar lagi pengaruh totokanku hilang. Maaf, aku harus segera pergi," kata
Bayu dengan nada suara agak tertahan.
Bende Mataram 15 Serigala Dari Kunlun Long Cu Ya Sim Karya Kwao La Yen Bunga Penyebar Maut 2
^