Pencarian

Lima Setan Dari Barat 1

Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat Bagian 1


LIMA SETAN DARI BARAT Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Lima Setan dari Barat
128 hal; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Ratna Wulan berlutut di depan kedua orang
tua angkatnya, yang selama ini telah mengurus
dan membesarkannya. Ayah Ratna Wulan berna-
ma Ki Wanasa, seorang saudagar yang cukup kaya
di Kadipaten Talagan. Mereka mengangkat anak
pada Ratna Wulan sejak masih bayi merah. Se-
mentara itu, Bayu hanya memperhatikan saja
tanpa berbicara sedikit pun.
"Jadi tekadmu sudah bulat, Wulan?" tanya Ki Wanasa seakan-akan ingin meyakinkan
dirinya. "Tentu, Ayah. Maafkan aku...," sahut Ratna Wulan perlahan seraya berdiri dan
duduk di kursi, tepat di depan Nyai Wanasa, ibu angkatnya.
Mereka semua kembali terdiam.
"Tapi aku tetap anakmu. Aku tidak akan me-
lupakan kalian, sebagai orang tuaku," kata Ratna Wulan lagi, masih dengan suara
pelan. "Sebenarnya, aku tidak ingin melepaskanmu
pergi, Wulan. Apalagi, kau pergi tanpa tujuan pas-ti. Tapi...," Nyai Wanasa
tidak melanjutkan ucapannya.
'Tapi kenapa, Bu?" tanya Ratna Wulan ingin
tahu. "Aku akan merelakan mu jika memang itu su-
dah jadi keinginanmu, Ratna Wulan. Terlebih lagi, kau akan didampingi Bayu. Kau
tahu, Nak. Ayah
Bayu adalah seorang pendekar digdaya. Dan anta-
ra kami telah terjalin tali persaudaraan," lanjut Nyai Wanasa.
"Benar, Wulan. Aku dan orang tua Bayu sudah mengangkat sumpah. Siapa pun yang
mempunyai keturunan, berarti juga keturunan kami. Yaaah..., ternyata nasib memang harus
memisahkan kita
semua. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain
menyerahkan segalanya pada Hyang Widi," sambung Ki Wanasa.
"Kalau orang tuamu masih hidup, dia pasti
akan mengenalmu dengan kalung itu," kata Nyai Wanasa lagi.
Ratna Wulan memandangi kalung yang dike-
nakannya. Seuntai kalung yang talinya hanya ter-
buat dari urat binatang. Sedangkan bandulannya
terbuat dari batu hitam berbentuk bulan sabit,
bergambarkan dua bilah pedang yang saling me-
lintang. Kalung ini sudah dikenakannya sejak ma-
sih bayi. Ratna Wulan juga baru tahu kalau ka-
lung ini memiliki arti yang cukup dalam bagi di-
rinya. "Kau ditemukan suamiku ketika sedang berbu-
ru. Dan kalung itu sudah ada di lehermu. Ma-
kanya, aku selalu meminta kau untuk mema-
kainya dan jangan sampai hilang. Karena, hanya
itu satu-satunya yang ada pada dirimu, Wulan,"
sambung Nyai Wanasa.
"Lalu namaku...?" Ratna Wulan ingin tahu.
"Kami yang memberi nama padamu. Waktu
itu, sama sekali kami tidak tahu namamu. Dan la-
gi, aku sangat senang ketika suamiku membawa
kau pulang. Yaaah..., memang kami tidak dikaru-
niai anak seorang pun. Jadi, kaulah satu-satunya tumpahan kasih sayang di
keluarga ini," kata Nyai Wanasa lagi.
"Kalau saja aku tidak tahu siapa diriku, tentu tidak akan begini jadinya, Bu,"
ujar Ratna Wulan juga menyesali semua ini.
"Apa yang telah terjadi, sudah menjadi kehendak Hyang Widi. Jadi kau tidak perlu
menyesali, Wulan. Aku tahu, suatu saat kau pasti akan tahu
tentang dirimu yang sebenarnya. Dan sekarang
waktunya telah tiba. Kau sudah tahu, dan ingin
bertemu orang tua kandung yang melahirkan mu.
Itu suatu kodrat alam, Anakku. Setiap anak pasti ingin mengetahui siapa orang
tuanya, dan dari
mana asalnya," kata Ki Wanasa, lembut sekali na-da suaranya.
"Aku berjanji, kalau sudah bertemu pasti akan kembali lagi ke sini. Bagaimanapun
juga, kalian adalah orang tua yang telah merawat dan membe-
sarkan ku sejak masih bayi. Entah apa jadinya kalau aku tidak ada di sini," agak
mendesah suara Ratna Wulan.
"Oh, Anakku...."
Nyai Wanasa tidak dapat lagi membendung
keharuannya. Langsung dia menghambur dan
memeluk gadis itu. Air matanya pun tidak dapat
lagi terbendung. Sedangkan Ratna Wulan hanya
diam saja, membalas pelukan ibu angkatnya ini.
Memang berat rasanya meninggalkan dua orang
tua yang telah merawat dan membesarkannya se-
jak kecil. Tapi itu harus dilakukan, dan lagi Ratna Wulan memang sudah
memantapkan hatinya.
Yang jelas, dia harus pergi mencari orang tua kandungnya.
Meskipun dalam hati ada sedikit kemarahan
atas tindakan orang tua kandungnya yang telah
meninggalkannya begitu saja di dalam hutan, tapi hatinya sudah bertekad untuk
mengetahui siapa
orang tuanya yang telah tega berbuat keji seperti itu. Orang tua yang tega
membiarkan darah da-gingnya sendiri tergeletak tanpa daya dalam hu-
tan. Kalau tidak ditemukan Ki Wanasa, mungkin
dia sudah menjadi santapan binatang buas.
Agak lama juga Nyai Wanasa menangis dan
memeluk anak angkatnya ini. Pelukannya baru di-
lepaskan setelah suaminya menepuk lembut pun-
daknya. Wanita berusia sekitar lima puluh tahun
itu kembali duduk di kursinya. Sementara di
samping Ratna Wulan, Bayu hanya tertunduk sa-
ja. Seakan-akan perasaannya tidak sanggup lagi
menyaksikan semua ini.
"Kapan kalian akan berangkat?" tanya Ki Wanasa.
"Bagaimana, Kakang...?" Ratna Wulan malah bertanya pada Pendekar Pulau Neraka
yang duduk di sampingnya. Dan gadis itu memang sudah membiasakan di-
ri memanggil kakang pada Bayu. Karena, usianya
memang lebih muda daripada Pendekar Pulau Ne-
raka itu. Bayu sendiri tidak berkeberatan gadis itu memanggilnya seperti itu.
Dan itu malah menambah keakraban di antara mereka berdua nantinya.
"Sebaiknya, besok saja. Pagi-pagi sekali be-rangkatnya," sahut Bayu setelah
terdiam beberapa saat.
"Baiklah...," desah Ratna Wulan menyetujui.
*** Malam ini, Bayu memang harus tinggal di ru-
mah Ki Wanasa yang begitu besar, bagai sebuah
istana kecil. Memang, rumah-rumah di Kadipaten
Talagan ini besar-besar. Dan kebanyakan penghu-
ninya adalah para saudagar kaya yang tinggal di
kadipaten ini. Bahkan tidak sedikit para pembesar kerajaan yang tinggal di sini.
Sehingga, tidak heran jika setiap saat selalu terlihat barisan prajurit mengawal
pembesar kerajaan di jalan.
Kadipaten Talagan ini memang tidak pernah
tidur dari segala macam kesibukan. Banyak tem-
pat hiburan di kota ini, yang selalu buka sepan-
jang malam hingga pagi. Keadaan yang selalu ra-
mai itu membuat Bayu benar-benar sulit meme-
jamkan mata. Sudah berulang kali dicoba, tapi tetap saja tidak mau terpejam.
"Huuuh...!"
Sambil mengeluh panjang, Pendekar Pulau Ne-
raka bangkit dari pembaringan. Kakinya melang-
kah mendekati jendela kamar yang disediakan Ki
Wanasa untuk istirahatnya malam ini. Perlahan
jendelanya dibuka lebar-lebar. Keningnya lang-
sung berkerut, begitu melihat Ratna Wulan duduk
sendiri di bangku taman. Jendela kamar ini me-
mang langsung menghadap ke taman samping
rumah ini. "Hup...!"
Ringan sekali Pendekar Pulau Neraka melom-
pat keluar melalui jendela. Kemudian kakinya me-
langkah ringan. Tanpa terdengar suara sedikit
pun, kakinya menjejak rerumputan taman yang
terawat rapi, bagai permadani tergelar.
"Kau belum tidur juga, Kakang...?"
"Eh..."!" Bayu jadi tersentak mendengar suara Ratna Wulan.
Dan gadis itu masih tetap duduk di bangku
taman tanpa menoleh sedikit pun. Bayu memuji
dalam hati akan ketajaman pendengaran gadis ini.
Padahal tadi, Pendekar Pulau Neraka mempergu-
nakan ilmu meringankan tubuh saat mendeka-
tinya dari belakang. Dan memang, seluruh ke-
mampuan ilmu meringankan tubuhnya tidak dike-
rahkan. "Duduklah di dekat ku, Kakang," ujar Ratna Wulan seraya menepuk kursi yang
didudukinya. Kursi dari bahan rotan itu memang cukup
panjang, dan bisa diduduki empat orang dewasa
seperti mereka. Bayu kemudian duduk agak jauh
di samping gadis ini. Dipandanginya wajah Ratna Wulan yang tampak begitu cantik,
dalam siraman cahaya bulan yang bersinar penuh malam ini. Per-
lahan Ratna Wulan berpaling, sehingga pandan-
gannya langsung beradu dengan sorot mata Pen-
dekar Pulau Neraka. Tapi, Ratna Wulan cepat-
cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Seharusnya kau tidak perlu melibatkan diri dalam urusanku, Kakang. Tugasmu
sebagai pendekar sudah terlalu banyak menyita waktu, tena-
ga, dan pikiranmu. Kau akan semakin banyak ke-
hilangan waktu istirahat mu nanti," kata Ratna Wulan panjang.
"Kau masih ingat, apa yang dikatakan Ki Wa-
nasa...?" tanya Bayu, seperti tidak menanggapi perkataan Ratna Wulan tadi.
'Tentu saja aku ingat," sahut Ratna Wulan seraya mengangguk.
"Aku adalah putra Dewa Pedang. Dan itu be-
rarti, aku juga putra mereka, Wulan. Jadi, sudah menjadi kewajibanku untuk
membantumu. Apalagi kau anak angkat mereka. Jadi, kau adalah
adikku juga, Wulan," jelas Bayu.
"Kau akan tetap menganggapku adik...?" Ratna Wulan ingin menegaskan.
"Mungkin iya, mungkin juga tidak."
"Jawabanmu tidak tegas, Kakang."
"Sulit rasanya untuk menganggapmu adik,
Wulan. Tapi keadaan sudah menentukan begitu.
Dan aku merasa sulit merubah keadaan ini. Kecu-
ali...," Bayu tidak meneruskan ucapannya.
"Kecuali apa, Kakang?" desak Ratna Wulan ingin tahu.
"Kecuali kau sudah bertemu orang tuamu,"
sahut Bayu terus menatap wajah cantik gadis ini.
"Kenapa begitu?"
"Entahlah... Aku sendiri tidak tahu," sahut Bayu mendesah.
"Kakang...," pelan sekali suara Ratna Wulan.
Perlahan Ratna Wulan menaruh tangannya di
atas tangan Bayu. Beberapa saat, mereka hanya
saling pandang saja. Bayu menggenggam tangan
yang berkulit putih dan halus itu erat-erat. Seakan-akan dia ingin membagi
kehangatan pada ga-
dis ini. Ingin rasanya Bayu memeluknya, tapi itu tidak mungkin dilakukan di
rumah ini. Dia begitu menghormati Ki Wanasa, yang sudah mengangkat
saudara pada ayahnya. Dan itu berarti Bayu juga
menjadi anaknya.
"Aku tahu, kau ingin mengatakan sesuatu,
Kakang," kata Ratna Wulan dengan suara begitu perlahan.
'Tidak...," sahut Bayu agak mendesah.
"Jangan membohongi diri sendiri, Kakang. Aku tahu, ada sesuatu yang ingin kau
katakan padaku," desak Rama Wulan.
"Lalu kau sendiri...?" Bayu malah bertanya.
"Aku..." Aku...," Ratna Wulan jadi gugup.
Gadis itu menarik tangannya hingga terlepas
dari genggaman Pendekar Pulau Neraka. Kemu-
dian, duduknya bergeser menjauh. Entah kenapa,
wajahnya jadi memerah dan terasa panas sekali.
Ratna Wulan memalingkan wajahnya, tidak ingin
Bayu terus memandangi wajahnya yang jadi me-
merah. Perlahan Bayu menggeser duduknya, sampai
merapat dengan gadis itu. Bisa didengarnya detak jantung Ratna Wulan yang begitu
cepat memburu. Dan ketika tangan gadis itu disentuh, Bayu mera-
sakan tangan itu dingin sekali. Bahkan terasa basah oleh keringat.
"Kau cantik sekali, Wulan...," bisik Bayu perlahan.
"Oh...," Ratna Wulan hanya bisa mendesah sa-
ja. Gadis itu tidak tahu, apa yang sedang dirasakan saat ini. Tapi ada suatu
rasa kebahagiaan ter-selip di hatinya saat mendengar pujian Bayu yang begitu
lembut menyejukkan. Perlahan Ratna Wulan berpaling. Kembali mereka saling
berpandan- gan, dengan sinar mata yang berbinar bagai langit penuh bintang. Cukup lama juga
mereka terdiam saling berpandangan, tanpa sadar kalau ada dua
pasang mata sejak tadi memperhatikan dari balik
jendela sebuah kamar yang sedikit terbuka.
Dua pasang mata itu adalah Ki Wanasa dan is-
trinya. Mereka terus memperhatikan, sejak Bayu
tadi melompat keluar dari jendela kamarnya. Ja-
rak yang tidak begitu jauh, membuat mereka bisa


Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar semua yang dibicarakan dua insan
muda itu. "Kau dengar, apa yang mereka katakan,
Nyai...?" bisik Ki Wanasa perlahan, seraya menutup rapat jendela kamarnya ini.
"Aku bahagia jika mereka benar-benar bersatu, Ki," sahut Nyai Wanasa.
"Aku juga senang, Nyai. Itu berarti perjanjian-ku dengan Pendekar Dewa Pedang
bisa terlaksana.
Tapi sayang...."
"Ada apa, Ki?"
"Wulan...."
"Kau menyesal karena Wulan bukan anak
kandung kita?"
"Kalau saja Wulan anak kandung kita, tentu
kebahagiaan ini akan terasa lain, Nyai," pelan sekali suara Ki Wanasa.
"Ya.... Memang akan terasa lain kalau Wulan anak kandung kita sendiri, Ki. Tapi
walaupun begitu, aku tetap bahagia."
"Kita memang bahagia, Nyai."
Ki Wanasa kembali membuka jendela kamar-
nya sedikit, dan mengintip ke luar. Tapi, Bayu dan Ratna Wulan tidak lagi
terlihat di kursi taman itu.
Entah ke mana mereka. Dan Ki Wanasa hanya
tersenyum saja sambil mengangguk-anggukkan
kepala, kemudian menutup kembali jendela kamar
ini. Kini, kakinya melangkah perlahan ke pemba-
ringan. Sambil menghembuskan napas panjang,
laki-laki tua itu membaringkan tubuhnya di ran-
jang berukuran cukup besar ini.
"Sudah malam, Nyai. Tidurlah. Jangan sampai bangun kesiangan besok," ujar Ki
Wanasa. "Rasanya aku masih berat untuk berpisah
dengan Wulan, Ki," desah Nyai Wanasa.
"Sudahlah.... Kita harus merelakan kepergiannya. Dia pergi untuk mencari orang
tua kandung- nya. Dan itu sudah kita sadari sejak semula. Ka-
laupun tidak tahu siapa dirinya, pasti dia akan pergi juga meninggalkan kita
kalau sudah bersu-ami."
Nyai Wanasa tersenyum tipis, kemudian mem-
baringkan tubuhnya di samping suaminya. Tak
ada lagi yang bicara. Namun mata mereka sama
sekali tidak dapat terpejam. Entah apa yang ada di dalam pikiran masing-masing.
Sementara malam
terus merayap semakin larut. Kesunyian begitu terasa menyelimuti sekitarnya.
Begitu sunyi, sehing-ga detak jantung mereka terdengar begitu jelas di telinga.
*** Bayu sudah bersiap hendak meninggalkan
rumah Ki Wanasa pagi ini. Matanya memandangi
Pedang Api yang tergeletak di atas meja. Pedang
itu memang berpamor dahsyat, yang diambilnya
dari Ratu Gua Setan. Pendekar Pulau Neraka me-
nyambar Pedang Api, lalu digenggamnya erat-erat.
Kemudian, kakinya melangkah ke pintu. Namun
baru saja membuka pintu kamar ini, tiba-tiba sa-
ja.... "Hayo...!"
"Oh..."!"
Bayu jadi tersentak kaget begitu tiba-tiba Rat-
na Wulan muncul dengan mengejutkan. Gadis itu
tertawa terbahak-bahak, dan langsung berlari se-
belum Bayu bisa mengumpat. Pendekar Pulau Ne-
raka hanya bisa memaki dalam hati sambil meng-
geleng-gelengkan kepala. Kemudian, dia melang-
kah keluar dari kamar ini.
Bayu terus mengayunkan kakinya dengan te-
gap, melintasi ruangan tengah yang berukuran
cukup besar. Tak ada seorang pun yang dijumpai.
Dan Pendekar Pulau Neraka baru bertemu Ki Wa-
nasa dan istrinya serta Ratna Wulan setelah bera-da di beranda depan rumah ini.
Memang, hari ma-
sih terlalu pagi. Malah, matahari belum lagi me-
nampakkan dirinya. Hanya rona merah saja yang
membias di ufuk Timur. Kicauan burung-burung
sudah terdengar ramai sejak tadi.
"Kalian akan berangkat sekarang...?" ujar Nyai Wanasa.
"Benar, Nyai," sahut Bayu.
"Hati-hatilah.... Terutama kau, Wulan. Kau harus menuruti apa yang dikatakan
kakakmu. Jan- gan keras kepala, dan jangan berbuat macam-
macam. Bayu lebih berpengalaman di dunia luar
daripadamu," pesan Nyai Wanasa.
"Baik, Bu," sahut Ratna Wulan sambil mengangguk.
Gadis itu kemudian berlutut di depan wanita
separuh baya ini. Diambilnya tangan ibunya dan
diciumnya. Kemudian dia berpindah pada Ki Wa-
nasa. Ratna Wulan kembali bangkit berdiri di
samping Bayu. "Ayo, Kakang...," ajak Ratna Wulan.
"Tunggu dulu," ujar Bayu.
"Ada apa lagi?" tanya Ratna Wulan.
"Ini," Bayu menyerahkan Pedang Api. "Seperti janji ku, pedang ini menjadi
milikmu sekarang."
Ratna Wulan tersenyum, dan menerima pe-
dang itu dengan hati gembira. Dia sudah tahu ke-
dahsyatan pedang ini. Dan hatinya jadi yakin bisa menggunakannya. Karena, Ratu
Gua Setan sudah
memberikan jurus-jurus pedang yang dahsyat
(Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode
"Dewi Asmara Darah"). Gadis itu kemudian mengi-kat tali pedang itu ke
punggungnya. "Kami berangkat, Ki," pamit Bayu seraya membungkuk memberi hormat.
"Ya, hati-hatilah kalian. Cepat datang lagi ke sini kalau sudah bertemu orang
tuamu, Wulan,"
sahut Ki Wanasa.
'Tentu, Ayah," sahut Ratna Wulan seraya tersenyum.
Mereka kemudian berangkat meninggalkan pa-
sangan suami istri tua itu dengan hanya berjalan kaki saja. Padahal, Ki Wanasa
ingin memberikan
kuda. Tapi, dengan halus Bayu menolaknya. Pen-
dekar Pulau Neraka memang lebih senang berjalan
kaki, daripada harus menunggang kuda. Baginya,
berjalan kaki lebih leluasa.
Sementara, Ki Wanasa dan istrinya terus me-
mandangi kepergian anak-anak muda itu sampai
jauh, dan tak terlihat lagi setelah melewati tikungan jalan yang menuju Selatan.
Ki Wanasa agak berkerut keningnya, melihat Bayu dan Ratna Wu-
lan menuju Selatan.
"Kenapa mereka ke Selatan, Nyai...?" tanya Ki Wanasa seperti untuk diri sendiri.
"Aku tidak tahu," sahut Nyai Wanasa.
"Bukankah semalam mereka mengatakan akan
ke Timur, Nyai...?"
"Mungkin mereka punya rencana lain, Ki. Aku yakin, mereka akan melihat tempat
saat kau menemukan Wulan. Bukankah kalau ke Selatan
akan menuju ke hutan itu...?"
"Kau benar, Nyai. Mungkin mereka akan meli-
hat tempat aku menemukan Wulan dulu."
"Ayo, Ki...," ajak Nyai Wanasa.
Mereka kemudian berbalik dan hendak me-
langkah masuk ke dalam rumah. Tapi belum juga
melangkah, tiba-tiba saja....
Wusss...! "Heh...!"
Wuk! Tap! Cepat sekali Ki Wanasa memutar tubuhnya
sambil mengibaskan tangan kanan, ketika tiba-
tiba mendengar desiran angin yang begitu halus
ke arah dirinya. Dan tahu-tahu, di tangan kanan-
nya sudah tergenggam sebatang ranting kering se-
panjang jengkalan tangan.
"Ada apa ini, Ki...?" tanya Nyai Wanasa seraya cepat memutar tubuhnya berbalik.
"Ada tamu, Nyai," sahut Ki Wanasa.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begi-
tu keras menggelegar. Pasangan suami istri itu ja-di terkejut. Dan belum lagi
lenyap rasa keterkejutan mereka, tiba-tiba saja berkelebat sebuah
bayangan hitam dari atas sebatang pohon beringin yang berdaun rimbun. Begitu
cepat kelebatannya,
tahu-tahu di depan beranda rumah itu sudah ber-
diri seorang laki-laki berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Dia mengenakan baju
jubah warna hi-
tam. *** 2 Belum lagi Ki Wanasa bisa membuka suara,
dari balik dua pohon beringin yang berada di ha-
laman depan rumahnya, muncul dua orang laki-
laki juga berusia lanjut dan dua orang wanita yang sudah tua. Mereka kemudian
berdiri di belakang
laki-laki tua berjubah hitam yang pertama muncul tadi. Ki Wanasa jadi terbeliak
melihat kemunculan lima orang yang sudah dikenalnya.
"Siapa mereka, Ki?" tanya Nyai Wanasa yang rupanya tidak mengenal lima orang
itu. Ki Wanasa tidak menjawab pertanyaan is-
trinya, walaupun mengenal kelima orang tua yang
muncul tiba-tiba itu. Yang muncul pertama kali
adalah Setan Jubah hitam. Kemudian yang berada
paling kanan adalah seorang laki-laki yang juga
sudah berusia lanjut. Bajunya merah menyala
yang dikenal berjuluk Setan Jubah Merah. Lalu,
berturut-turut Setan Jubah Kuning, Setan Jubah
Biru, Setan Jubah Hijau, dan Setan Jubah Putih.
Mereka dikenal berjuluk Lima Setan dari Barat.
Masing-masing membawa tongkat dari besi baja
yang warnanya sama dengan pakaian yang dike-
nakan. "Kau masuk saja, Nyai. Ini urusanku dengan
mereka," kata Ki Wanasa.
"Tapi, tampaknya mereka tidak bermaksud
baik, Ki," elak Nyai Wanasa, merasa khawatir.
"Sudahlah, masuk sana...!" agak menyentak
suara Ki Wanasa. "Kunci Pintunya, Nyai."
"Baik...."
Nyai Wanasa agak ragu-ragu sebentar, kemu-
dian melangkah mundur mendekati pintu. Lalu,
dia bergegas masuk ke dalam rumah, seraya me-
nutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Seben-
tar wanita tua itu masih memperhatikan dari balik jendela, kemudian bergegas
melangkah melewati
ruangan depan rumah ini yang berukuran cukup
besar. Dan kini, perempuan tua itu sudah menghi-
lang di balik dinding penyekat ruangan depan
dengan ruangan tengah.
Sementara itu, Ki Wanasa sudah melangkah
keluar dari beranda depan rumahnya. Dia berhenti melangkah setelah jaraknya
tinggal sekitar setengah batang tombak lagi di depan Setan Jubah Hi-
tam. Be-berapa saat, mereka tidak ada yang berbicara.
"Mau apa kalian datang ke sini?" tanya Ki Wanasa, agak dalam nada suaranya.
"Kami datang untuk minta bagian, Ki Wanasa.
Aku yakin, kau tidak lupa bagian kami," sahut Setan Jubah Hitam.
Suara Setan Jubah Hitam terdengar begitu be-
rat. Dan Ki Wanasa hanya menelan ludahnya.
Tentu saja hal itu tidak akan dilupakannya. Dan
dia tahu, kedatangan Lima Setan dari Barat ini
akan menuntut bagiannya. Sesuatu yang tentu ti-
dak mungkin dilakukan. Karena dia tahu, siapa
lima orang tua yang berada di depannya ini.
"Sudah kukatakan, tidak ada lagi yang bisa kalian dapatkan dariku di sini.
Kalian sudah peroleh semua yang kalian inginkan. Dan aku ingin kete-nangan di
masa tuaku ini. Sebaiknya, kalian pergi saja. Tidak ada gunanya berada di sini.
Aku sudah tidak punya apa-apa lagi yang bisa kuberikan," ka-
ta Ki Wanasa, agak bergetar suaranya.
"Aku tahu, pasti ada yang kau sembunyikan,
Ki Wanasa. Dan aku ingin simpananmu itu!" dengus Setan Jubah Hitam.
"Tidak ada yang ku sembunyikan...."
"Jangan membuat kesabaranku habis, Wana-
sa!" bentak Setan Jubah Hitam keras menggelegar.
Pada saat itu, dari samping rumah bermuncu-
lan pemuda-pemuda penjaga rumah ini. Mereka
langsung bergerak mengepung halaman depan
rumah Ki Wanasa yang berukuran besar. Lima Se-
tan dari Barat hanya mendengus saja, merayapi
pemuda-pemuda berjumlah sekitar tiga puluh
orang itu. Mereka semua sudah menghunus golok
masing-masing. "Kau benar-benar membuat kesulitan sendiri, Wanasa, " desis Setan Jubah Hitam
agak mengge-ram.
"Sebaiknya, kalian segera pergi dari sini. Mereka bisa melakukan apa saja jika
kalian tidak sege-ra angkat kaki dari sini," ancam Ki Wanasa tidak kalah
dinginnya. "Ha ha ha...! Kau benar-benar buta, Wanasa!"
Ki Wanasa hanya tersenyum tipis saja. Hatinya ja-di gembira, karena istrinya
sudah bisa mengerti
apa yang diinginkannya, saat menyuruhnya ma-
suk ke dalam. Dan begitu berpaling melihat ke
atas atap rumah, tampak di atas sana sekitar dua puluh orang laki-laki muda
telah siap dengan bu-sur dan anak panah terentang. Bahkan di sekelil-
ing rumah ini, sudah terlihat kepala-kepala me-
nyembul dengan anak panah terpasang pada bu-
sur. "Phuih...!" Setan Jubah Hitam menyemburkan ludahnya.
Lima Setan dari Barat langsung bisa menyada-
ri keadaan yang benar-benar tidak menguntung-
kan ini. Meskipun mereka sudah terkenal tangguh
dalam kehidupan rimba persilatan, tapi terlalu besar akibatnya jika menghadapi
kepungan yang be-
gitu ketat. Se-tangguh apa pun ilmu kedigdayaan
yang dimiliki, rasa-nya memang tidak mungkin bi-
sa menghadapi orang yang berjumlah lebih kurang
seratus ini. Terlebih lagi, mereka semua sudah
siap melepaskan anak-anak panahnya.
Sementara, Ki Wanasa sudah bergerak mun-


Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dur. Dia kemudian berdiri di undakan kedua tang-
ga beranda rumahnya. Senyuman lebar tampak
tersungging di bibir laki-laki tua ini. Dia tahu, kalau Lima Setan dari Barat
tidak akan mungkin be-
rani menantang bahaya, menghadapi kepungan
yang begitu ketat dari orang-orangnya ini.
"Kau benar-benar licik, Wanasa. Tunggu pem-
balasanku nanti," desis Setan Jubah Hitam.
Setelah berkata demikian, Setan Jubah Hitam
mengegoskan kepala. Dua orang yang menjaga di
pintu gerbang segera membuka pintu itu, begitu
lima orang tua yang berjuluk Lima Setan dari Ba-
rat melangkah cepat meninggalkan halaman ru-
mah Ki Wanasa yang cukup luas ini. Pintu ger-
bang langsung ditutup begitu mereka berada di
luar. *** "Siapa mereka, Ki...?" tanya Nyai Wanasa langsung, begitu suaminya masuk ke
dalam. "Lima Setan dari Barat," sahut Ki Wanasa seraya menghempaskan tubuhnya di kursi
dekat jendela, yang langsung menghadap ke halaman
depan. Tampak orang-orangnya yang rata-rata masih
berusia muda, tetap berjaga-jaga di sekitar halaman dan sekeliling rumah ini.
Memang, Ki Wanasa
adalah seorang saudagar kaya. Dan dia memiliki
banyak orang berkepandaian cukup tinggi untuk
menjaga keselamatan dan rumahnya. Bahkan se-
tiap kali bepergian, tidak kurang dari lima puluh orang selalu mengawalnya. Tapi
dari jumlah yang
lebih kurang seratus itu, tak ada satu pun yang
dekat dengannya. Ki Wanasa tidak pernah mem-
bedakan antara yang satu dengan lainnya, meski-
pun tingkatan kepandaian yang mereka miliki ten-
tu berlainan. "Ada urusan apa kau dengan mereka, Ki?"
tanya Nyai Wanasa ingin tahu.
"Urusan lama. Dan seharusnya, mereka tidak
perlu datang ke sini. Semuanya sudah lama be-
rakhir, sebab apa yang diinginkan sudah mereka
dapatkan. Dan aku juga sudah memperoleh se-
mua yang kuinginkan. Tidak ada lagi yang perlu
dipersoalkan," sahut Ki Wanasa masih merahasia-kan.
"Kalau tidak ada apa-apa lagi, kenapa mereka datang ke sini, Ki?"
"Mereka memang serakah, sehingga mengin-
ginkan juga semua yang kumiliki."
"Maksudmu...?"
Ki Wanasa tidak menjawab, tapi malah bangkit
berdiri dan hendak melangkah. Tapi, istrinya su-
dah lebih dulu menghadang. Ki Wanasa hanya
menghembuskan napas saja. Selama ini laki-laki
itu memang menyimpan suatu rahasia yang ter-
simpan begitu rapat. Bahkan istrinya sendiri tidak tahu, apa yang
disembunyikannya. Tapi, kemunculan Lima Setan dari Barat itu sudah membuat
Nyai Wanasa mencium ada suatu rahasia yang
disembunyikan suaminya ini. Dan dia benar-benar
terkejut, begitu mengetahui kalau suaminya mem-
punyai urusan dengan Lima Setan dari Barat.
Nyai Wanasa memang sering mendengar nama
itu, dari beberapa tamu suaminya yang kebanya-
kan orang-orang persilatan. Teman-teman Ki Wa-
nasa itu seringkali menyebut-nyebut nama Lima
Setan dari Barat. Dan selama ini, Nyai Wanasa tidak pernah peduli. Karena, dia
memang tidak kenal orang-orang yang disebutkan itu. Tapi sekarang persoalannya jadi lain.
Bagaimanapun juga
sebelum menjadi istri Ki Wanasa, dulu dia juga
seorang pendekar wanita yang malang melintang
di rimba persilatan. Seperti juga Ki Wanasa, yang sebelum menjadi saudagar
adalah seorang pendekar kelana.
Jadi, tidak heran jika pasangan suami istri tua
ini begitu disegani banyak kalangan lapisan ma-
syarakat. Selain sebagai saudagar kaya, mereka
juga memiliki kepandaian yang tidak bisa dikata-
kan rendah. "Katakan padaku, Ki. Apa sebenarnya yang terjadi" Apa hubunganmu dengan
mereka...?" desak Nyai Wanasa ingin tahu.
"Sudah kukatakan, itu persoalan lama yang
seharusnya tidak perlu diungkit lagi. Mereka
orang-orang serakah. Sudah...! Aku tidak ingin la-gi membicarakannya," sahut Ki
Wanasa, agak keras suaranya.
Nyai Wanasa tidak mencegah lagi ketika sua-
minya meninggalkan ruangan ini. Perempuan itu
hanya dapat memandangi saja dengan sinar mata
yang masih diliputi rasa penasaran dan keinginta-huan. Dia yakin, pasti ada
sesuatu yang disembu-
nyikan suaminya.
"Aku yakin, ada satu persoalan penting yang disembunyikan. Kata-katanya tidak
pernah seka- sar itu," desah Nyai Wanasa setengah menggumam. "Aku harus tahu semua ini...."
*** Ki Wanasa tersentak kaget begitu tiba-tiba ter-
dengar suara ribut dari luar. Cepat dia melompat turun dari pembaringannya, lalu
bergegas berlari ke. luar. Sementara Nyai Wanasa yang juga mendengar suara ribut
itu, segera turun dari pemba-
ringan. Tangannya sempat menyambar sebilah pe-
dang yang tergantung di dinding. Lalu, dia bergegas keluar dari kamar ini.
"Heh..."!"
Ki Wanasa jadi terperanjat bukan main, begitu
tiba di beranda depan rumahnya. Tampak orang-
orangnya tengah bertarung melawan lima orang
tua yang semuanya mengenakan jubah berlainan
warna. Tubuh tak bernyawa dan berlumuran da-
rah sudah banyak yang bergelimpangan di hala-
man depan. Jerit kematian terdengar saling sam-
but, bercampur denting senjata dan teriakan-
teriakan pembangkit semangat bertarung.
"Keparat...!" geram Ki Wanasa begitu mengenali lima orang yang mengamuk itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Ki
Wanasa melompat sambil mengerahkan ilmu me-
ringankan tubuh. Langsung tombaknya dike-
butkan pada salah seorang yang mengenakan ju-
bah warna merah. Tapi serangan yang mendadak
dilakukan Ki Wanasa, dengan manis sekali dapat
dihindari. Bahkan wanita berjubah merah yang
dikenal berjuluk Setan Jubah Merah itu langsung
melancarkan serangan.
Ki Wanasa cepat melompat ke belakang,
menghindari serangan itu. Dan baru saja menjejak
tanah, satu batang tongkat mengarah ke kepa-
lanya. "Hait...!"
Ki Wanasa merundukkan kepalanya, meng-
hindari kebutan tongkat itu. Kemudian sambil
memutar tubuh, tombaknya langsung ditusukkan
ke arah dada Setan Jubah Biru. Tapi sebelum bisa menghunjam dada laki-laki tua
berjubah biru itu, satu batang tongkat sudah menghantam tombaknya dengan keras
sekali. Trak! "Ikh...!"
Ki Wanasa terpekik kaget. Buru-buru Ki Wa-
nasa melompat mundur sambil memindahkan
tombaknya ke tangan kiri. Sungguh tidak disang-
ka kalau tenaga dalam yang dikerahkan Setan Ju-
bah Merah begitu besar, sehingga seluruh tangan
kanannya jadi bergetar.
Sementara tiga orang tua lainnya masih terus
mengamuk, menghajar anak-anak muda penjaga
keamanan rumah Ki Wanasa ini. Tingkat kepan-
daian mereka yang dikenal berjuluk Lima Setan
dari Barat itu memang lebih tinggi daripada para penjaga keamanan rumah Ki
Wanasa. Sehingga,
mereka seperti tidak mengalami kesulitan sama
sekali. Walaupun pemuda-pemuda lain mulai berda-
tangan dan langsung masuk ke dalam pertempu-
ran, tapi Lima Setan dari Barat tidak gentar sama sekali. Apalagi jumlah mereka
sudah berkurang
banyak. Dan hal ini membuat amukan Lima Setan
dari Barat semakin dahsyat saja. Gerakan-gerakan yang dilakukan begitu cepat
luar biasa. Sehingga, sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Dan
tak ada seorang pun yang bisa menyentuh ujung
bajunya. Jerit dan pekik melengking mengantar kema-
tian, semakin sering terdengar saling sambut.
Dan, semakin banyak saja tubuh-tubuh tak ber-
nyawa berlumuran darah yang bergelimpangan
memenuhi halaman depan rumah Ki Wanasa yang
cukup luas ini. Sementara, Ki Wanasa sendiri
tampak kewalahan menghadapi dua orang lawan-
nya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Laki-laki tua itu sudah semakin
terdesak, dan entah
berapa kali harus menerima pukulan maupun
tendangan keras yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Darah sudah mengucur dari hidung dan mu-
lutnya. Bahkan dadanya tampak sudah robek
mengeluarkan darah. Tapi, Ki Wanasa tidak sudi
menyerah begitu saja. Dia terus bertahan, dan
mencoba untuk menyerang dua orang lawannya
yang sama-sama sudah berusia lanjut ini. Pada
saat itu, Nyai Wanasa terlihat melompat hendak
membantu suaminya yang sudah kelihatan payah.
Tapi belum juga sampai, tiba-tiba saja berkelebat satu bayangan putih memotong
lompatan-nya. "Uts...!"
Nyai Wanasa cepat-cepat memutar tubuhnya,
melenting ke belakang menghindari tebasan seba-
tang tongkat berwarna putih keperakan yang men-
garah dadanya. Lalu, manis sekali kakinya menda-
rat di tanah, bersamaan dengan mendaratnya seo-
rang perempuan tua berjubah putih yang meng-
genggam tongkat berwarna putih keperakan. Di-
alah yang dikenal berjuluk Setan Jubah Putih.
"Jangan harap bisa membantu suamimu,
Nyai...," desis Setan Jubah Putih dingin.
"Huh!" Nyai Wanasa hanya mendengus saja.
Sret! Perlahan Nyai Wanasa mencabut pedangnya,
dan menggenggam sarung pedangnya pada tangan
kiri. Lalu, perlahan-lahan kakinya bergeser sambil menatap tajam untuk mengamati
gerakan kaki Setan Jubah Putih yang juga bergerak menggeser
dengan arah berlawanan.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Setan Jubah Putih melompat ce-
pat, sambil berteriak keras menggelegar.
"Hup! Yeaaah...!"
Pada saat yang bersamaan, Nyai Wanasa juga
melenting ke udara. Dan secepat kilat pula pe-
dangnya dikebutkan. Tapi, Setan Jubah Putih su-
dah lebih cepat lagi menangkis tebasan pedang itu dengan tongkatnya. Lalu, cepat
sekali tongkatnya diputar, yang langsung ditusukkan ke arah dada
Nyai Wanasa. "Hait...!"
Trang! Dengan sarung pedang yang tergenggam di
tangan kiri, Nyai Wanasa menangkis tusukan
tongkat yang berujung runcing itu. Tapi hatinya jadi tersentak, karena sarung
pedangnya terpental ke udara. Bahkan seluruh tangan kirinya jadi
menggeletar bagai tersengat kala berbisa. Maka
buru-buru tubuhnya diputar ke belakang, dan
kembali meluruk turun.
Yeaaah...!"
Pada saat itu, Setan Jubah Putih meluruk de-
ras sambil memutar tongkatnya dengan kecepatan
luar biasa. Hal ini membuat Nyai Wanasa jadi terperangah. Cepat-cepat tubuhnya
dibanting ke ta-
nah, dan bergulingan beberapa kali untuk meng-
hindari hunjaman tongkat Setan Jubah Putih yang
begitu cepat dan beruntun.
*** Sementara itu di lain tempat, tampak Ki Wa-
nasa semakin terdesak saja oleh dua orang tua
lawannya. Dan laki-laki tua itu benar-benar sudah tidak mampu lagi memberi
perlawanan berarti.
Tubuhnya terombang-ambing menjadi bulan-
bulanan dua orang tua lawannya ini. Hingga ak-
hirnya.... "Mampus kau, Keparat! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Setan Ju-
bah Merah melayang deras sambil menghunjam-
kan ujung tongkatnya yang runcing ke arah dada
Ki Wanasa. Padahal saat itu, Ki Wanasa baru saja berhasil menghindari satu
pukulan menggeledek
yang dilepaskan Setan Jubah Putih. Dan matanya
hanya bisa terbeliak melihat ujung tongkat ber-
warna merah meluruk deras ke arah dadanya. Tak
ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar.
Dan.... Bres! "Aaa...!" Ki Wanasa menjerit keras melengking tinggi.
Begitu dalamnya tongkat Setan Jubah Merah
menghunjam dada Ki Wanasa, sehingga ujungnya
yang runcing sampai menembus ke punggung. Pa-
da saat itu juga, Setan Jubah Biru mengebutkan
tongkatnya ke leher sambil mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya.
"Hiyaaat...!"


Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cras! Ki Wanasa tidak lagi bersuara. Laki-laki tua itu hanya dapat berdiri kaku dengan
mulut dan mata terbuka lebar. Dan begitu Setan Jubah Merah
mencabut tongkatnya dari dada laki-laki tua ini, seketika itu juga tubuh tua itu
langsung ambruk
ke tanah. Tampak kepalanya menggelinding terpi-
sah. Darah seketika menyembur deras dari dada
dan lehernya yang buntung tak berkepala lagi.
Kematian Ki Wanasa rupanya sempat juga ter-
lihat oleh Nyai Wanasa. Wanita tua itu jadi geram setengah mati. Maka, langsung
ditinggalkannya
Setan Jubah Putih. Dan dengan kecepatan bagai
kilat, pedangnya dikebutkan ke arah kepala Setan Jubah Biru.
"Awas...!" teriak Setan Jubah Merah memperingatkan.
"Uts! Hyeaaa...!"
Setan Jubah Biru cepat-cepat membungkuk-
kan tubuhnya. Dan secepat itu pula tongkatnya
dikebutkan ke belakang sambil memutar tubuh-
nya dengan bertumpu pada satu kaki. Nyai Wana-
sa yang sudah dirasuki hawa amarah, tidak dapat
lagi mengendalikan diri. Begitu cepatnya serangan balik yang dilancarkan Setan
Jubah Biru, sehingga tubuhnya yang sedang meluncur deras di udara
tidak bisa lagi ditarik.
Wuk! Bret! "Akh...!" Nyai Wanasa terpekik keras agak tertahan.
Ujung tongkat Setan Jubah Biru berhasil me-
robek perut Nyai Wanasa yang langsung terguling
ke tanah beberapa kali. Dan dia jadi terhuyung
begitu melompat cepat bangkit berdiri. Wajahnya
jadi memerah melihat darah mengucur dari perut-
nya yang sobek. Namun belum juga sempat me-
nyadari apa yang terjadi pada dirinya, Setan Ju-
bah Putih sudah kembali melompat menyerang
begitu cepat. "Hiyaaat...!"
Wuk! Bagai kilat Setan Jubah Putih mengebutkan
tongkatnya ke arah kepala Nyai Wanasa. Namun,
wanita tua itu segera mengangkat pedangnya.
Kontan ditangkisnya kebutan tongkat perempuan
tua berjubah putih ini.
Trang! "Ikh...!" lagi-lagi Nyai Wanasa terpekik.
Begitu kerasnya kebutan tongkat Setan Jubah
Putih, sehingga Nyai Wanasa tidak dapat lagi
mempertahankan pedangnya yang langsung terle-
pas dari genggaman. Pedang itu kini melambung
tinggi ke udara. Pada saat itu, Setan Jubah Merah meluruk deras seraya
melepaskan satu pukulan
keras bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Begkh! "Akh...!" kembali Nyai Wanasa terpekik keras.
Pukulan Setan Jubah Merah bersarang telak di
dada, sehingga membuat Nyai Wanasa terpental ke
belakang sejauh beberapa tombak. Keras sekali
tubuhnya jatuh menghantam tanah dan bergulin-
gan beberapa kali. Darah muncrat dari mulutnya.
Nyai Wanasa berusaha bangkit berdiri, tapi tidak mampu lagi. Dia langsung
menggeletak tak bergerak-gerak lagi.
Sementara itu, dua orang dari Lima Setan dari
Barat nampaknya tidak lagi memerlukan bantuan.
Mereka benar-benar sudah bisa menguasai lawan-
lawan yang sudah tidak mampu lagi bertahan.
Bahkan tak seorang pun yang bisa melarikan diri.
Mereka langsung dikejar, dan dibabat habis tanpa sedikit pun mengenal rasa
ampun. "Ayo ke dalam! Kita obrak-abrik rumahnya,"
ajak Setan Jubah Biru.
Tanpa menunggu waktu lagi, Setan Jubah Me-
rah dan Setan Jubah Putih segera berlari mengi-
kuti Setan Jubah Biru yang sudah lebih dulu
menghilang ke dalam rumah. Sementara perta-
rungan masih terus berlangsung di halaman ru-
mah itu. Tapi, kini pertarungan benar-benar dikuasai dua orang tua berjubah
hitam dan kuning.
Dan tampaknya, mereka benar-benar tidak lagi
memberi kesempatan pada lawan-lawan untuk te-
tap hidup. Tak seorang pun yang dibiarkan melo-
loskan diri. Jeritan-jeritan panjang melengking menyayat,
semakin jarang terdengar. Hingga akhirnya tak
ada lagi seorang pun yang bisa hidup. Setan Ju-
bah Hitam dan Setan Jubah Kuning saling ber-
pandangan sejenak sambil mengatur nafasnya
yang memburu agak ter-sengal. Pertarungan ini
memang benar-benar menguras tenaga. Hampir
seratus orang harus dihadapi. Dan untungnya, ti-
dak sekaligus datangnya. Sehingga, mereka bisa
mengalahkan semuanya. Bahkan tak ada seorang
pun yang tersisa lagi.
"Mereka sudah ke dalam rumah, Kakang," kata Setan Jubah Kuning.
"Aku tidak yakin Wanasa menyembunyikannya
di dalam rumah. Kau tahu, begitu banyak jumlah-
nya. Dan dia pasti memerlukan tempat yang khu-
sus untuk menyembunyikannya," kata Setan Jubah Hitam.
'Tapi apa salahnya kalau kita geledah seluruh
rumah ini, Kakang...?"
"Baiklah. Ayo, jangan buang-buang waktu la-
gi." Tanpa bicara lagi mereka berlari masuk ke dalam rumah berukuran besar yang
dikelilingi tem-
bok batu bagai benteng itu. Sementara, tiga orang lainnya sudah sejak tadi
tenggelam di dalam rumah itu. Entah apa yg dilakukan di dalam sana.
Yang jelas terdengar suara-suara gaduh dari ba-
rang-barang yang hancur terbanting ke lantai.
3 Sementara itu tidak jauh dari perbatasan Kota,
Kadipaten Talagan, Bayu dan Ratna Wulan tam-
pak berdiri memandangi hutan yang pepohonan-
nya tampak begitu lebat dan rapat. Sejak tadi
Pendekar Pulau Neraka menepuk-nepuk kaki Ti-
ren, monyet kecil berbulu hitam yang nangkring di pundak kanannya.
"Hhh...!"
"Ada apa, Wulan?" tanya Bayu, setelah mendengar desahan berat gadis itu.
"Entahlah.... Aku merasa tidak enak, Kakang.
Aku jadi ingat di rumah," jawab Ratna Wulan perlahan.
"Orang tua angkatmu sudah merelakan kau
pergi, Wulan. Apa lagi yang jadi pikiranmu?" tanya Bayu. "Sedangkan kau pernah
lebih dari satu pur-nama meninggalkan mereka tanpa pamit. Lalu ke-
napa sekarang jadi merasa berat. Kau kan sudah
pamitan pada mereka. Kau masih merasa bersalah
atas perbuatanmu waktu itu?"
"Bukan.... Bukan itu, Kang. Tapi..."
"Tapi kenapa?"
"Aku tidak tahu. Rasanya, aku ingin kembali ke sana. Aku merasa tidak enak...,"
pelan sekali suara Ratna Wulan.
Bayu mengangkat pundaknya.
"Kita pulang dulu, yuk..." Aku merasa seperti ada sesuatu di rumah," ajak Ratna
Wulan begitu bersungguh-sungguh.
"Baiklah...," desah Bayu menyerah.
Mereka kemudian berbalik dan melangkah
kembali menuju Kota Kadipaten Talagan. Bayu ja-
di heran juga melihat Ratna Wulan berjalan begitu
cepat, seperti ada yang tengah diburunya. Dan wajah gadis itu kelihatan cemas
sekali, seperti ada yang tengah dikhawatirkan. Tapi, Pendekar Pulau
Neraka tidak mau banyak bertanya. Diikutinya sa-
ja ayunan langkah kaki gadis ini.
"Ayah...! Ibu...!"
Ratna Wulan terpekik begitu melihat keadaan
di sekitar halaman rumah orang tua angkatnya
ini. Kedua bola matanya jadi terbeliak merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan
berlumuran darah. Sementara, keadaan rumah itu sudah ru-
sak porak-poranda. Ratna Wulan berlari cepat
memburu Ki Wanasa yang tergeletak dengan kepa-
la terpisah dari lehernya.
"Ayah...!" tersedak suara Ratna Wulan.
Sementara Bayu meneliti satu persatu mayat-
mayat yang bergelimpangan saling tumpang tin-
dih, hampir memenuhi halaman rumah ini. Dia
langsung melompat begitu mendengar rintihan li-
rih tidak jauh dari arah kanannya.
"Ibu...," desis Bayu melihat Nyai Wanasa bergerak sambil merintih lirih.
Bayu langsung mengangkat tubuh perempuan
tua itu. Tampak darah masih melekat di sekujur
tubuhnya. Pada saat itu, Ratna Wulan sudah
mendekati. Gadis itu langsung mengambil ibu
angkatnya ini dari pelukan Bayu, dan memeluk-
nya erat-erat sambil merintih memanggil-manggil.
"Ibu..., ibu...," panggil Ratna Wulan lirih.
Gadis itu tidak dapat lagi menahan air ma-
tanya yang langsung mengucur membasahi pi-
pinya. Tampak Nyai Wanasa membuka matanya
perlahan. Begitu redup sinar mata wanita tua itu.
Sebentar ditatapnya Ratna Wulan, kemudian bera-
lih menatap Bayu yang hanya diam saja meman-
dangi. "Bayu...," panggil Nyai Wanasa lirih.
"Iya, Bu," sahut Bayu perlahan seraya menggeser lebih dekat.
'Tolong jaga adikmu baik-baik. Tidak ada lagi
yang melindunginya...," pesan Nyai Wanasa begitu perlahan suaranya.
Bayu hanya mengangguk saja.
"Dan kau, Wulan...."
"Iya, Bu."
"Dengarkanlah kata-kata Bayu. Ibu senang ji-ka kalian tetap bersama-sama. Kalian
bukan sau- dara kandung, jadi bisa hidup bersama-sama. Aku
senang jika kalian..."
"Ibu...," Ratna Wulan cepat-cepat memutuskan kalimat Nyai Wanasa.
"Ibu.... Siapa yang melakukan semua ini?"
tanya Bayu, cepat mengalihkan perhatian perem-
puan tua yang sudah menjelang ajal ini.
"Ibu tidak tahu, apa urusan mereka dengan
ayahmu, Wulan. Mereka datang tidak lama setelah
kalian pergi, tapi tidak terjadi sesuatu. Dan baru semalam mereka datang lagi ke
sini. Mereka begitu kuat dan tangguh...," semakin perlahan suara Nyai Wanasa.
"Mereka siapa, Bu?" desak Bayu.
"Lima Setan dari Barat...," sahut Nyai Wanasa, semakin lirih suaranya.
"Kenapa mereka melakukan ini semua, Bu?"
tanya Bayu lagi.
"Aku tidak tahu. Tapi mereka punya urusan
rahasia dengan ayahmu, Wulan. Rahasia yang aku
sendiri tidak tahu."
"Di mana mereka sekarang, Bu...?" tanya Ratna Wulan.
"Aku..., aku..., ahhh...!"
Nyai Wanasa mengejang. Matanya terbeliak le-
bar, lalu perlahan kelopak matanya terpejam. Se-
mentara kepalanya langsung berpaling lunglai.
"Ibu...!" jerit Ratna Wulan langsung memeluk wanita tua yang kini benar-benar
menghembuskan napas terakhirnya.
Sementara Bayu hanya tertunduk saja. Se-
dangkan Ratna Wulan tak dapat lagi menyembu-
nyikan tangis dan ratapnya, sambil memeluk tu-
buh ibu angkatnya ini. Perlahan Bayu bangkit
berdiri dengan tubuh lemas. Dirayapinya keadaan
sekitarnya. Sungguh suatu pemandangan yang ti-
dak sedap dinikmati. Di mana-mana terlihat
mayat bergelimpangan saling tumpang tindih. Re-
rumputan tidak lagi berwarna hijau, dan sudah
berubah merah oleh darah.
Perlahan Bayu mengayunkan kakinya menuju
ke beranda. Lalu menghempaskan diri, duduk le-
mas di tangga beranda depan rumah ini. Pandan-
gannya begitu nanar, menatap Ratna Wulan yang
masih menangis memeluki mayat ibu angkatnya.
Selama pengembaraannya ini, Bayu selalu mencari
di mana saja sahabat-sahabat ayahnya tinggal.
Dan Pendekar Pulau Neraka selalu mencari kete-
rangan mengenai ibunya, dari mereka yang men-
genal orang tuanya. Tapi sampai saat ini, hanya
kepahitan saja yang didapatkan. Setiap kali me-
nemukan orang yang mengenal keluarganya, en-
tah kenapa orang itu selalu mengalami nasib naas.
"Ohhh.....Apakah ini kutukan Dewata..." Ke-
napa kedatanganku selalu saja menimbulkan mu-
sibah pada orang lain" Apakah kelahiranku me-
mang sudah ditentukan sebagai pembawa musi-
bah...?" keluh Bayu begitu perlahan, dengan kepala terangkat ke atas.
Bukan hanya sekali ini Pendekar Pulau Neraka
mengeluh begitu. Bayu merasa, kelahirannya di
dunia ini hanya untuk membawa malapetaka bagi
setiap orang yang ditemuinya. Satu persatu saha-
bat-sahabat ayahnya tewas setiap kali dikunjungi.
Bahkan kelahirannya pun menyebabkan kehancu-
ran bagi keluarganya, dan padepokan ayahnya.
Bayu tidak tahu, apakah ini kutukan dari Dewa-
ta..." Sejak dia lahir hingga sekarang ini, hanya malapetaka saja yang ditemui.
"Dewata Yang Agung.... Dapatkah kau memberi ku sedikit saja kebahagiaan...,"
desah Bayu, begitu perlahan suaranya.
*** "Ayo...," ajak Bayu sambil menyentuh pundak Ratna Wulan yang masih berdiri
memandangi pusara kedua orang tua angkatnya.
Kematian Ki Wanasa dan istrinya, serta selu-
ruh orang-orangnya telah membuat kegemparan di
seluruh pelosok Kota Kadipaten Talagan ini. Ham-
pir semua orang yang mengenalnya, membantu
menguburkan mereka. Dan memang, pasangan
tua itu sudah amat dikenal di Kota Kadipaten Ta-


Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagan ini. Terutama, Ki Wanasa yang memang ter-
kenal akan kedermawanannya. Hingga, tidak sedi-
kit orang yang membantu dan mengantarkan ke
tempat peristirahatannya yang terakhir.
Perlahan Ratna Wulan mengangkat kepala,
menatap pemuda tampan berbaju kulit harimau
ini. Kemudian tubuhnya diputar berbalik. Tanpa
berkata sedikit pun, gadis itu terus saja melangkah gontai meninggalkan pusara
kedua orang tua
angkatnya. Bayu mengikuti saja, mensejajarkan
langkahnya di samping gadis ini. Pendekar Pulau
Neraka juga tidak berkata-kata sedikit pun. Sam-
pai jauh melangkah, belum ada seorang pun yang
berbicara. Mereka berjalan terus menuju ke arah
Selatan. Sementara, matahari sudah teramat con-
dong ke Barat. Sinarnya tidak lagi terik memancar, seakan-akan ikut merasakan
duka yang sedang
dialami dua anak manusia ini.
"Bagaimana sekarang, Wulan?" tanya Bayu setelah cukup lama terdiam saja.
"Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa sekarang," sahut Ratna Wulan perlahan.
"Wulan! Kau ingat kata-kata ibu yang terak-
hir?" tanya Bayu.
Ratna Wulan menghentikan ayunan langkah-
nya. Wajahnya berpaling menatap Pendekar Pulau
Neraka. Seperti terbangun dari suatu mimpi bu-
ruk, Ratna Wulan langsung teringat kata-kata te-
rakhir ibu angkatnya. Mereka semua dibantai lima orang yang dijuluki Lima Setan
dari Barat. Dan
kelima orang itu mempunyai urusan rahasia den-
gan ayah angkatnya. Hanya itu yang diucapkan te-
rakhir kali, sebelum Nyai Wanasa menghem-
buskan napas yang terakhir.
"Aku tidak akan memaksamu, Wulan. Tapi,
aku akan mencari dan menuntut balas atas per-
buatan mereka. Orang tua angkatmu adalah sau-
dara angkat ayahku. Dan kematian mereka harus
terbalaskan," tegas Bayu berapi-api.
"Kau tahu, Kakang. Sampai saat ini pun aku
tidak pernah menganggap mereka hanya orang tua
angkat. Mereka sudah merawat dan mendidik ku
sejak kecil. Merekalah sesungguhnya orang tuaku, Kakang. Aku juga tidak akan
membiarkan pembunuh-pembunuh itu tetap berkeliaran," sambut Ratna Wulan penuh
semangat. "Lalu, bagaimana dengan...?"
"Aku bisa menundanya," selak Ratna Wulan tegas. "Persoalan ini lebih penting
daripada per- soalan pribadiku."
"Kita akan bersama-sama menuntut balas,
Wulan." "Ya! Dan aku juga ingin mengetahui, rahasia apa yang disimpan ayah. Bahkan
sampai rela mengorbankan nyawa demi rahasia itu," sahut Ratna Wulan.
"Hm.... Kau akan menghadapi petualangan ba-
ru yang sesungguhnya, Wulan," nada suara Bayu terdengar agak menggumam.
Ratna Wulan hanya tersenyum tipis, kemudian
kembali mengayunkan langkahnya. Tapi baru be-
berapa tindak, langkahnya kembali berhenti dan
berbalik menatap ke arah kuburan yang sudah
jauh ditinggalkan. Bayu juga ikut memandang ke
arah kuburan itu.
Tak ada yang bicara. Setelah beberapa saat
lamanya mereka terdiam memandangi kuburan
yang sepi, kemudian kembali melangkah pergi
dengan ayunan kaki agak lebar dan cepat. Mereka
terus melangkah menuju Selatan. Meskipun masih
memiliki tujuan, tapi sekarang ini mereka tidak
tahu, ke mana arah tujuan yang akan ditempuh.
Mereka tidak tahu, di mana harus mencari Lima
Setan dari Barat yang telah membantai Ki Wanasa
dan istrinya, serta semua orang yang ada di ru-
mah itu. *** Bayu berdiri tegap di bawah naungan dangau.
Pandangannya lurus merayapi petak-petak sawah
yang menghampar bagai permadani tergelar. Pu-
cuk-pucuk daun pohon padi terayun-ayun diper-
mainkan angin. Sementara, Ratna Wulan tampak
duduk memeluk lutut dengan pandangan kosong
ke depan. Sudah tiga hari ini mereka menjelajahi seluruh wilayah Kadipaten
Talagan, tapi sampai
saat ini belum juga mendapat jejak Lima Setan da-ri Barat. Bahkan semua orang
yang ditanyai, tidak ada yang mengenal satu pun.
Ratna Wulan sudah menghubungi semua te-
man-teman ayah angkatnya. Tapi mereka semua
tidak tahu, siapa Lima Setan dari Barat itu. Bahkan setelah tahu kalau Ki Wanasa
dan istrinya di-bunuh Lima Setan dari Barat, sikap mereka seper-
ti ketakutan. Mereka langsung buru-buru menga-
takan kalau tidak pernah mendengar namanya.
"Aku tidak percaya kalau mereka semua tidak tahu, Kakang," ujar Ratna Wulan,
begitu perlahan suaranya.
"Kenapa kau berpikiran begitu, Wulan?" tanya Bayu seraya berpaling menatap gadis
ini. "Dari sikap mereka, Kakang. Mereka seperti
ketakutan setelah mendengar julukan Lima Setan
dari Barat," sahut Ratna Wulan.
Bayu terdiam memandangi gadis itu, kemu-
dian . melangkah dan duduk di samping Ratna
Wulan yang masih duduk memeluk lutut. Selem-
bar tikar daun pandan yang sudah lusuh menjadi
alas duduk mereka di dangau ini. Kembali mereka
terdiam tak berbicara lagi untuk beberapa saat
lamanya. "Mungkin mereka tidak ada lagi di kadipaten ini, Kakang," kata Ratna Wulan
menduga. Suaranya masih tetap terdengar perlahan.
"Mereka datang untuk mencari sesuatu. Dan
itu yang dikatakan Nyai Wanasa. Aku yakin, me-
reka belum meninggalkan Kadipaten Talagan ini
sebelum mendapatkan apa yang dicari, Wulan,"
bantah Bayu. "Sebenarnya, apa yang mereka cari, Kakang?"
tanya Ratna Wulan seperti untuk diri sendiri.
"Itulah persoalannya, Wulan. Nyai Wanasa
sendiri tidak tahu ada rahasia yang disembunyi-
kan suaminya," desah Bayu menyahuti perta-
nyaan Ratna Wulan tadi.
"Kakang, apa sebaiknya kita cari petunjuk di rumah. Siapa tahu, bisa didapatkan
sesuatu di sana," usul Ratna Wulan.
"Hm...," Bayu menggumam perlahan dengan kening berkerut.
"Aku ingat, Kakang...!" sentak Ratna Wulan ti-ba-tiba.
"Apa...?" tanya Bayu.
"Apa kau tidak perhatikan, Kakang...?"
"Maksudmu?"
"Di antara mereka yang tewas, aku tidak me-
nemukan Ki Darpin," kata Ratna Wulan.
"Ki Darpin...?" kening Bayu semakin berkerut dalam mendengar nama itu.
"Iya..., Ki Darpin.... Bukankah dia salah seorang dari murid padepokan milik
ayahmu" Dan
setelah padepokan ayahmu hancur, Ki Darpin ke-
mudian ikut ayahku. Aku ingat sekarang, Ka-
kang.... Setiap kali ayah pergi, Ki Darpin selalu ikut bersamanya. Bahkan tidak
jarang mereka pergi berdua saja tanpa ada pengawal seorang
pun," kata Ratna Wulan lagi.
"Tapi, ayahmu tidak punya orang kepercayaan satu pun juga, Wulan. Dan aku tahu
itu," kata Bayu.
"Aku tahu, Kakang. Memang ayah tidak punya
orang kepercayaan satu pun. Ayah selalu men-
ganggap mereka semua sama kedudukannya. Tapi
selama ini, aku tahu kalau hanya Ki Darpin yang
bisa pergi berdua saja dengan ayah. Bahkan se-
ringkali berbicara berdua sampai jauh malam. Aku
rasa, Ki Darpin mengetahui tentang rahasia itu,
Kakang. Dan di antara mereka yang tewas, hanya
Ki Darpin yang tidak ada. Aku yakin, Ki Darpin
pasti masih hidup dan sekarang bersembunyi," ka-ta Ratna Wulan penuh semangat.
"Hm.... Benar juga apa katamu, Wulan. Me-
mang di antara mereka yang tewas tidak ada Ki
Darpin di sana. Dan sampai sekarang pun kita ti-
dak melihatnya lagi," agak menggumam nada suara Bayu.
"Sekarang kita punya kuncinya, Kakang," ujar Ratna Wulan lagi.
"Tapi kau jangan terlalu banyak berharap, Wulan. Harapan yang tidak terkabul
bisa menimbul- kan kekecewaan. Dan itu sangat berbahaya bagi
pengendalian dirimu. Kau harus ingat. Sekarang
ini kau sudah benar-benar terjun ke dalam dunia
persilatan yang ganas dan penuh daya tipu yang
menjerat," Bayu menasihati.
Tapi Ratna Wulan hanya menyambut dengan
senyuman saja. Gadis itu bangkit berdiri dan me-
langkah keluar dari dangau ini. Sebentar ditatapnya hamparan sawah yang
terbentang di depan-
nya. Kemudian wajahnya berpaling menatap Bayu
yang masih duduk memandangi dari dalam dan-
gau kecil itu. "Ayo, Kakang," ajak Ratna Wulan.
"Ke mana?" tanya Bayu.
"Kita kembali ke rumah. Barangkali saja bisa menemukan sesuatu di sana," sahut
Rama Wulan. Bayu mengangkat bahunya sedikit, kemudian
bangkit berdiri dan melangkah keluar dari dangau kecil ini. Tak berapa lama
kemudian, mereka sudah melangkah bersisian menuju Kota Kadipaten
Talagan kembali.
"Wulan, apakah Ki Darpin tidak punya keluar-
ga?" tanya Bayu sambil terus melangkah di samping gadis cantik yang mengenakan
baju warna me- rah agak ketat ini.
"Tidak," sahut Ratna Wulan singkat. "Ki Darpin tinggal di rumah, dan ada
kamarnya tersendiri.
Aku tidak begitu dekat dengannya. Dan dia sendiri juga jarang sekali berbicara,
kecuali bila ditanya.
Dan jawabannya juga hanya singkat-singkat saja.
Pokoknya, orangnya menjemukan, Kakang."
Bayu jadi tersenyum dikulum. Pendekar Pulau
Neraka memang sudah beberapa kali bicara den-
gan Ki Darpin waktu berada di rumah Ki Wanasa
itu. Dan memang, apa yang dikatakan Ratna Wu-
lan itu benar. Ki Darpin memang paling sulit di-
ajak bicara. Dia terlalu pendiam. Juga, sikapnya teramat kaku.
Ki Wanasa sendiri pernah mengatakan kalau
sejak hancurnya Padepokan Dewa Pedang, Ki Dar-
pin jadi pendiam. Padahal dulunya, Ki Darpin adalah seorang pemuda periang yang
penuh seman- gat. Bahkan Pendekar Dewa Pedang sendiri me-
nyukainya, sehingga dia mendapatkan tambahan
jurus-jurus yang belum diajarkan pada murid-
murid di padepokan itu. Jurus-jurus yang lang-
sung diberikan Pendekar Dewa Pedang sendiri.
Dan sekarang ini, usia Ki Darpin sudah kepala li-ma. Tentunya ketika masih
berada di Padepokan
Dewa Pedang, usianya pasti sebaya dengan Bayu
sekarang ini. "Apa yang kau lamunkan, Kakang?" tegur Ra-ma Wulan.
"Oh, tidak...," sahut Bayu agak tersentak. Te-guran Ratna Wulan langsung
membuyarkan la-
munannya seketika.
"Ingat kekasihmu, ya...?" agak lain nada suara Ratna Wulan.
"Bagaimana mungkin aku bisa punya kekasih,
Wulan..." Hidupku saja masih belum menentu.
Pindah dari satu tempat, ke tempat lain tanpa
arah dan tujuan pasti," sahut bayu langsung bisa mengerti nada Suara gadis itu.
Ratna Wulan kembali diam. Dan Bayu juga ti-
dak bicara lagi. Mereka terus melangkah semakin
mendekati gerbang perbatasan Kota Kadipaten Ta-
lagan. Dua orang berseragam prajurit kadipaten,
terlihat menjaga gerbang perbatasan yang berben-
tuk candi kecil dari batu.
*** 4 Seharian penuh, Bayu dan Ratna Wulan me-
meriksa setiap sudut ruangan dalam rumah pe-
ninggalan mendiang Ki Wanasa. Keadaan di dalam
rumah itu memang sudah porak-poranda bagai
terlanda gempa berkekuatan tinggi. Tapi sampai
lelah, mereka tidak menemukan sesuatu yang be-
rarti. Demikian pula di dalam kamar pribadi Ki
Wanasa. Mereka juga tidak menemukan sesuatu
yang berarti. Hingga akhirnya, mereka terduduk
lemas di ruangan tengah yang sudah hancur be-
rantakan. "Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulaku-
kan. Persoalan ini membuatku lelah...," keluh Ratna Wulan lirih, seperti bicara
pada diri sendiri.
"Kau putus asa, Wulan?" tanya Bayu.
"Apa aku kelihatan putus asa" Aku tidak akan menyerah sebelum memenggal batang
leher mereka semua!" dengus Rama Wulan bernada kesal.
"Aku khawatir, kau tidak akan mampu meng-
hadapinya, Wulan...."
"Heh..."!"
Ratna Wulan begitu terkejut, ketika tiba-tiba
terdengar suara agak berat. Bahkan Bayu lang-
sung melompat berdiri sambil mengedarkan pan-
dangan berkeliling. Ratna Wulan juga ikut berdiri di samping Pendekar Pulau
Neraka. "Siapa itu yang bicara...?" agak lantang suara Bayu.
Tidak ada sahutan sama sekali. Tapi tidak la-
ma kemudian, dari balik dinding penyekat antara
ruangan tengah ini dengan ruangan depan, mun-
cul seorang laki-laki berusia setengah baya. Pa-
kaiannya tampak kelihatan kotor dan begitu lu-


Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suh. Bercak noda darah kering melekat pada pa-
kaiannya. Bayu dan Ratna Wulan jadi terbeliak.
Mereka tentu saja mengenali laki-laki separuh
baya yang rambutnya sudah mulai berwarna dua
itu. "Ki Darpin...," desis Ratna Wulan. Laki-laki setengah baya yang memang Ki
Darpin itu melang-
kah gontai menghampiri. Kemudian, dia berhenti
sekitar tiga langkah lagi di depan Ratna Wulan
dan Pendekar Pulau Neraka.
"Dari mana saja kau, Ki" Kenapa baru muncul sekarang?" Ratna Wulan langsung
menyerang dengan pertanyaan.
"Aku baru saja pulang dari tabib, dan langsung ke sini," sahut Ki Darpin, agak
datar nada suaranya.
"Aku tahu kau masih hidup, Ki. Itu sebabnya, selama tiga hari ini kami berdua
mencarimu," kata Bayu.
"Benar, Ki. Kau tidak ada di antara mereka
yang tewas. Makanya aku begitu yakin kalau kau
masih hidup," sambung Ratna Wulan lagi.
"Ceritakan semua yang terjadi di sini, Ki," pin-
ta Bayu. "Aku ikut bertarung bersama yang lainnya. Salah seorang berhasil memukul ku
hingga pingsan.
Aku tersadar jauh sebelum kalian datang, lalu
pergi mencari pengobatan di rumah seorang tabib.
Setelah merasa sembuh, aku segera ke sini lagi,"
kata Ki Darpin, terdengar perlahan suaranya.
'Tapi kenapa kau tidak memberi kabar, Ki?"
tanya Ratna Wulan seperti menyesali.
"Itu tidak mungkin, Wulan," sahut Ki Darpin.
"Kenapa...?" Ratna Wulan meminta penjelasan.
"Hampir semua sahabat-sahabat Ki Wanasa
mengetahui hubungannya dengan Lima Setan dari
Barat. Dan aku tidak mungkin memberi kabar be-
gitu saja. Mereka bisa menuduhku macam-
macam. Bahkan bukan tidak mungkin, akan me-
nyalahkanku," kata Ki Darpin mencoba menjelaskan.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki," selak Bayu jadi bingung.
"Kalian memang tidak tahu, apa yang dilaku-
kan Ki Wanasa bersama Lima Setan dari Barat itu.
Bahkan sebenarnya semua sahabat Ki Wanasa ju-
ga tidak tahu pasti. Mereka hanya mendengar ka-
bar burung saja, tapi begitu percaya. Hanya saja, mereka tidak bisa berbuat apa-
apa selama Ki Wanasa masih hidup. Mereka tahu, siapa Ki Wanasa
itu. Dia bukan hanya sekadar seorang saudagar,
tapi juga seorang pendekar yang memiliki kepan-
daian tingkat tinggi," sambung Ki Darpin.
"Langsung saja, Ki. Apa yang dilakukan ayah-ku bersama Lima Setan dari
Barat...?" selak Ratna Wulan tidak sabar.
"Lima tahun yang lalu, ketika kau masih berusia empat belas tahun, Ki Wanasa
sempat menjadi orang kepercayaan Adipati Talagan ini. Adipati itu
mempercayakan Ki Wanasa untuk mengantar ba-
rang-barang berharga berupa emas dan perak ke
kotaraja. Sudah beberapa kali hal itu dilakukan Ki Wanasa, dan selalu tiba
dengan selamat. Tapi pa-da pengiriman terakhir yang berjumlah sangat be-
sar, semua barang itu hilang dirampok Lima Setan dari Barat. Semua prajurit
pengawal dari kadipaten tewas. Juga, lima puluh orang yang dibawa Ki Wanasa pun
tewas. Hanya aku dan Ki Wanasa
sendiri yang tetap hidup. Aku dan Ki Wanasa ber-
hasil melarikan diri, dan kembali ke kadipaten untuk melaporkan semua
kejadiannya," tutur Ki Darpin mulai menceritakan.
"Lalu, apa tindakan adipati?" tanya Bayu.
"Adipati Talagan hanya bisa menyesali saja peristiwa itu. Namun beliau tidak
bisa menjatuhkan hukuman apa pun, karena memang semua bukti
begitu nyata. Hanya saja, sampai sekarang Ki Wa-
nasa tidak lagi mendapat tugas mengantarkan ba-
rang ke kotaraja. Tapi beberapa kali adipati meng-ganti orang, selalu saja
amblas dirampok. Hingga, hal itu berlangsung selama dua tahun. Setelah itu tidak
ada lagi terdengar perampokan. Lima Setan
dari Barat seperti menghilang begitu saja. Dan, kali inilah mereka muncul lagi,"
Ki Darpin men-gakhiri ceritanya.
Ki Darpin dan Bayu memandangi Ratna Wulan
yang juga membalas pandangan mereka bergan-
tian. Gadis itu menghembuskan napas panjang
yang terasa begitu berat.
"Aku tahu, apa yang kalian pikirkan. Memang berat untuk mengakui. Tapi kalau
kenyataannya memang begitu, aku tidak bisa berbuat apa-apa,"
ujar Ratna Wulan, agak mendesah suaranya.
"Belum ada bukti yang jelas kalau Ki Wanasa terlibat dalam semua perampokan itu,
Wulan," ka-
ta Bayu mencoba menenangkan perasaan hati ga-
dis ini. "Ki Wanasa memang terlibat," selak Ki Darpin.
Bukan hanya Bayu yang terkejut, tapi juga
Ratna Wulan sampai terbeliak menatap laki-laki
separuh baya berpakaian lusuh dan kotor penuh
bernoda darah ke-ring ini.
"Pada kejadian pertama, memang Ki Wanasa
tidak terlibat. Tapi pada peristiwa selanjutnya, dia memang terlibat," tegas Ki
Darpin lagi. "Bagaimana mungkin bisa begitu, Ki...?" Bayu benar-benar tidak menyangka.
"Ki Wanasa merasa sakit hati dan terbuang
atas sikap Adipati Talagan. Kemudian, dicarinya
Lima Setan dari Barat. Waktu itu aku ikut serta.
Ki Wanasa bukannya ingin membalas, tapi malah
merencanakan bekerjasama dengan imbalan bagi
hasil. Ki Wanasa selalu memberi tahu, kapan akan terjadi pengiriman barang.
Semua keterangan, tentang jumlah kekuatan pengawal, serta berapa ba-
nyaknya barang, diberikan Ki Wanasa. Bahkan ke-
tika Adipati Talaga menjebaknya, Lima Setan dari Barat itu tidak muncul sama
sekali. Memang, mereka telah tahu kalau itu hanya jebakan dan peti-peti
pengangkut barang itu hanya berisi batu kali.
Mereka juga tahu kalau ada dua pasukan kerajaan
membuntuti dari jarak jauh," jelas Ki Darpin.
"Lalu, dari mana Ki Wanasa bisa tahu semua
itu?" "Ada seorang prajurit pengawal adipati yang bersedia bekerjasama dengan imbalan
pula. Tapi, dia mencoba berkhianat. Maka, Ki Wanasa mem-
bunuhnya sebelum rahasianya terbongkar. Lalu,
Lima Setan dari Barat juga dikelabuinya. Dan di
saat mereka pergi, Ki Wanasa memindahkan se-
mua hasil rampokan selama dua tahun itu ke
tempat lain yang hanya dia sendiri yang tahu," sahut Ki Darpin lagi.
"Dan kau sendiri?" tanya Bayu bernada curiga.
"Aku juga tidak tahu. Waktu itu, aku hanya diminta untuk menyiapkan sebuah
kereta besar, yang ditarik sepuluh ekor kuda. Aku tidak tahu,
apa rencananya waktu itu. Dan aku baru tahu
dua hari sebelum mereka datang ke sini," sahut Ki Darpin. Tapi, Ki Wanasa tidak
mau memberi tahu
di mana letaknya. Dia hanya mengatakan...."
"Teruskan, Ki," pinta Bayu mendesak.
"Dia hanya mengatakan kalau harta itu ter-
simpan di tempat yang aman, tapi tidak jauh dari kota kadipaten itu," sambung Ki
Darpin. "Sukar dipercaya, kenapa Ki Wanasa bisa me-
lakukan itu...?" desah Bayu perlahan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Hilangnya kepercayaan Adipati Talaga, mem-
buat usahanya benar-benar hancur. Dan Ki Wa-
nasa hampir bangkrut waktu itu, Bayu. Rasa sakit hatinyalah yang membuatnya
berbuat nekat. Dan
dari harta itu, dia bisa kembali bangkit dari ke-bangkrutannya."
"Memang sulit mencari siapa yang salah dalam hal ini," desah Bayu lagi. "Tapi
bagaimanapun ju-ga, semua yang dilakukan Ki Wanasa tidak benar."
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang, Kakang?" tanya Ratna Wulan jadi
lemas setelah mengetahui semua persoalannya.
"Rasanya, tidak ada yang bisa kita lakukan selain menemukan harta itu dan
mengembalikannya
pada Adipati Talaga," sahut Bayu.
"Itu sama saja mencoreng nama Ki Wanasa,
Bayu," Ki Darpin tampak tidak setuju.
"Kita tidak akan mengatakan kalau Ki Wanasa terlibat, Ki. Katakan saja kalau
Lima Setan dari
Barat itu yang melakukan semuanya. Dan yang
pasti, kita harus bisa melenyapkan mereka. Kalau tidak, mereka akan semakin
merajalela saja. Dan
yang terpenting, harta itu jangan sampai jatuh ke tangan mereka. Harta itu bisa
memperkuat mereka, Ki," tegas Bayu. "Cukup kita bertiga saja yang mengetahui
semua rahasia ini."
"Kau sama dengan ayahmu, Bayu. Selalu me-
lindungi sahabat-sahabatnya," puji Ki Darpin.
"Aku tidak melindunginya, Ki. Aku hanya tidak ingin nama Ki Wanasa rusak,
walaupun jelas bersalah," bantah Bayu, tegas.
'Terima kasih, Kakang," ucap Ratna Wulan
perlahan. Bayu hanya tersenyum saja sambil menepuk
punggung tangan gadis itu. Mereka terus berbica-
ra sampai jauh malam. Ratna Wulan membersih-
kan satu kamar untuk istirahatnya. Sedangkan
Bayu dan Ki Darpin terus berada di ruangan ten-
gah ini, dengan hanya sebuah pelita kecil sebagai penerangan.
*** Malam terus merayap semakin bertambah la-
rut. Bayu dan Ki Darpin masih berada di ruangan
tengah rumah peninggalan mendiang Ki Wanasa.
Sementara, Ratna Wulan sudah masuk ke dalam
kamar yang dibersihkannya untuk beristirahat.
Gadis itu tampak lelah sekali. Apalagi setelah
mengetahui rahasia yang selama ini tersimpan.
Rahasia yang bisa membuat nama baik ayah ang-
katnya tercoreng, karena perbuatannya sendiri
yang melampiaskan rasa sakit hati pada Adipati
Talagan. Memang, selama ini sudah banyak orang yang
menduga, terutama dari kalangan saudagar dan
pembesar Istana Kadipaten Talagan. Tapi, sampai
saat ini mereka tidak memiliki bukti yang cukup
akan keterlibatan Ki Wanasa dalam semua peram-
pokan itu. Hingga tak ada seorang pun yang bisa
menuduhnya secara langsung. Tapi dengan kema-
tian Ki Wanasa oleh Lima Setan dari Barat, mere-
ka semua langsung tahu kalau Ki Wanasa me-
mang terlibat dalam semua kejadian perampokan
itu. Walaupun, itu masih berupa dugaan tanpa
bukti jelas. Dan semua rahasia itu kini sudah ter-pegang Bayu, Ki Darpin, dan
Ratna Wulan. Hanya
mereka bertiga saja yang tahu.
"Ki! Apa Ki Wanasa pernah mengatakan satu
petunjuk penyimpanan harta itu?" tanya Bayu, agak perlahan suaranya.
"Sulit, Bayu. Karena, Ki Wanasa hanya mengatakan tempat penyimpanan harta itu
hanya bisa ditemukan kalau ada yang melihat Cendawan Me-
rah. Di tempat Cendawan Merah itulah letaknya,"
sahut Ki Darpin. "Sedangkan kau tahu sendiri. Tidak sembarang orang bisa
mengetahui, di mana
Cendawan Merah itu berada. Bahkan kabarnya la-
gi, Cendawan Merah hanya tumbuh satu kali da-
lam seratus tahun. Juga ada yang bilang, kalau
Cendawan Merah hanya bisa dilihat oleh orang
yang memang sedang mujur atau orang-orang su-
ci," sahut Ki Darpin lagi.
Bayu jadi tersenyum tipis. Pendekar Pulau Ne-
raka juga sering mendengar tentang Cendawan
Merah. Sebuah tanaman semacam jamur yang
sama sekali belum pernah dilihatnya. Dan begitu banyak macam ragam cerita
tentang cendawan
itu. Bahkan Bayu menganggap kalau Cendawan
Merah tidak ada. Dan itu hanya merupakan don-
geng saja. "Apa Ki Wanasa membuat gambar petunjuk,
Ki?" tanya Bayu lagi.
"Tidak," sahut Ki Darpin. "Katanya, setitik gambar saja bisa membuat malapetaka.
Jadi, Ki Wanasa tidak pernah membuat gambar letak harta
itu." Mereka jadi terdiam beberapa saat lamanya.
"Bayu...."
"Hm."
"Kalau boleh kusarankan, sebaiknya kau tidak perlu mempersoalkan harta itu. Kau
bisa celaka sendiri nantinya. Lima Setan dari Barat bukan
orang-orang sembarangan. Mereka berkepandaian
tinggi dan sukar dicari tandingannya," saran Ki Darpin.
Bayu hanya tersenyum saja sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Ki Darpin bangkit berdiri dan melangkah hendak
meninggalkan ruangan ini.
"Mau ke mana, Ki?" tanya Bayu.
"Ke belakang, buang air," sahut Ki Darpin langsung saja berlari kecil ke ruangan
belakang rumah ini. Bayu hanya menggeleng-gelengkan kepala saja
memperhatikan Ki Darpin yang lenyap di balik
dinding penyekat ruangan. Laki-laki setengah baya itu terus berlari-lari
melewati beberapa pintu yang terbuka, kemudian sampai ke bagian belakang
rumah yang berukuran sangat besar bagai istana
ini. Dia terus berlari-lari kecil memasuki halaman belakang rumah. Tapi belum
jauh keluar dari rumah itu, mendadak saja....
"He he he...!"
"Oh..."!"
Ki Darpin jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh.
Dan belum juga hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja ber-
kelebat sebuah bayangan hitam di depannya. Dan
tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah hitam yang
membawa tongkat
berwarna hitam, yang satu ujungnya berbentuk
runcing. Ki Darpin jadi terlongong dengan mulut terbu-


Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ka lebar. Dan dia semakin bengong begitu muncul
lagi orang-orang tua yang mengenakan jubah ber-
lainan warna yang semuanya membawa tongkat
berwarna sama dengan jubah masing-masing. Ti-
ba-tiba saja, seluruh tubuh Ki Darpin jadi menggeletar hebat. Dan baru disadari,
siapa lima orang tua berjubah berlainan warna yang tahu-tahu
muncul di depannya ini.
*** "Lima Setan dari Barat...," desis Ki Darpin hampir tak terdengar suaranya.
Laki-laki separuh baya itu melangkah mundur
beberapa tindak. Tangan kanannya langsung me-
raba gagang pedang yang tergantung di pinggang.
Sedangkan lima orang tua yang memang Lima Se-
tan dari Barat itu tetap berdiri tegak berjajar menatap tajam Ki Darpin.
"Mau apa kalian datang lagi ke sini?" tanya Ki Darpin, agak bergetar suaranya.
"Kau sudah tahu jawabannya, Darpin," sahut Setan Jubah Hitam, dingin sekali nada
suaranya. 'Tidak ada yang bisa kau dapatkan dariku di
sini," tegas Ki Darpin, semakin jelas getaran suaranya.
"Kau pikir kami orang-orang bodoh..."! Aku ta-hu, kau satu-satunya orang
kepercayaan si Kepa-
rat Wanasa. Kau tentu tahu, apa yang kuinginkan, Darpin. Dan semua itu ada
padamu," semakin
dingin nada suara Setan Jubah Hitam.
"Aku tidak tahu apa-apa. Ki Wanasa tidak pernah mengatakan apa-apa padaku,"
bantah Ki Darpin, agak keras suaranya.
"Jangan menyakiti dirimu sendiri, Darpin.
Hanya kau yang tahu semua ini. Jadi, tidak
mungkin kalau tidak tahu di mana si Keparat Wa-
nasa menyembunyikan harta itu."
"Aku mengatakan yang sesungguhnya. Dan la-
gi, aku bukan orang kepercayaan Ki Wanasa," sahut Ki Darpin mencoba meyakinkan
lima orang tua berjubah itu.
"Ingat, Darpin.... Kesabaran ada batasnya. Dan kami semua sudah tidak sabar
lagi," desis Setan Jubah Hitam bernada mengancam.
"Oh...," Ki Darpin mengeluh kecil.
Wajah laki-laki setengah baya itu jadi memu-
cat seketika. Dia tahu, Lima Setan dari Barat bukanlah tandingannya. Tingkat
kepandaian yang
dimilikinya masih jauh di bawah tingkat kepan-
daian mereka. Perlahan kakinya melangkah mun-
dur. Tangan kanan-nya sudah menggenggam ga-
gang pedang erat-erat.
"Katakan, di mana harta itu...?" desis Setan Jubah Hitam sudah tidak sabar lagi.
"Aku tidak tahu," sahut Ki Darpin.
"Keparat...! Kau akan menyesal, Darpin." Setan Jubah Hitam sudah melangkah maju
satu tindak, tapi keburu dicegah Setan Jubah biru.
"Biar aku saja yang membereskannya, Ka-
kang," pinta Setan Jubah Biru.
"Lakukanlah. Tapi, aku tidak mau dia mati.
Dialah satu-satunya kunci untuk menemukan
harta itu," sahut Setan Jubah Hitam.
"Akan kubuat dia mengaku," janji Setan Jubah Biru.
Setelah berkata demikian, Setan Jubah Biru
langsung melangkah lebar mendekati Ki Darpin.
Bibirnya menyeringai lebar, seakan-akan ingin
mengoyak tubuh laki-laki setengah baya itu. Ki
Darpin jadi bergidik. Kengerian langsung menye-
limuti seluruh rongga dadanya. Dia tahu, tidak
akan mungkin bisa selamat lagi kali ini. Tapi, Ki Darpin tak sudi menyerah
begitu saja. "Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Setan Jubah Biru melompat
sambil mengebutkan tongkatnya cepat sekali ke
arah kepala Ki Darpin. Tapi pada saat itu, Ki Darpin yang memang sudah siap
menghadapi segala
kemungkinan yang bakal terjadi langsung saja
mencabut pedangnya. Secepat itu pula, pedangnya
diangkat untuk menangkis tebasan tongkat ber-
warna biru itu.
"Hait...!"
Trang! "Hih...!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, Setan Jubah
Biru langsung cepat memutar tongkatnya. Dan be-
gitu ujung tongkatnya hampir menyambar ping-
gang, Ki Darpin cepat-cepat melompat ke bela-
kang. Namun pada saat yang bersamaan, Setan
Jubah Biru sudah memberi satu sodokan keras
dengan tangan kirinya.
"Ikh..."!" Ki Darpin jadi terpekik kaget.
Buru-buru tubuhnya dijatuhkan ke tanah dan
bergulingan beberapa kali untuk menghindari so-
dokan tangan kiri Setan Jubah Biru. Lalu, berge-
gas Ki Darpin melompat bangkit berdiri. Dan be-
lum juga sempurna berdirinya, Setan Jubah Biru
sudah langsung melompat menyerang. Tongkatnya
dikebutkan cepat sekali ke sekitar tubuh laki-laki separuh baya itu.
Ki Darpin terpaksa berjumpalitan, meliuk-
liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan
tongkat Setan Jubah Biru. Beberapa kali ujung
tongkat yang runcing itu hampir menghunjam ke
tubuhnya. Tapi, Ki Darpin masih bisa menghindar
meskipun kelabakan juga. Serangan-serangan
yang dilakukan Setan Jubah Biru memang begitu
cepat dan dahsyat.
"Lepas...!" seru Setan Jubah Biru tiba-tiba. Bagaikan kilat, laki-laki tua
berjubah biru itu mengebutkan tongkatnya ke arah kepala Ki Darpin.
Dan secepat itu pula Ki Darpin mengangkat pe-
dangnya menangkis tebasan tongkat itu. Tapi tan-
pa diduga sama sekali, Setan Jubah Biru cepat
memutar tongkatnya. Lalu tongkatnya dikebutkan
ke mata pedang itu dengan mengerahkan kekua-
tan tenaga dalam tinggi.
Trang! "Akh...!" Ki Darpin jadi terpekik.
Begitu kerasnya kebutan tongkat itu, sehingga
Ki Darpin tidak dapat lagi mempertahankan pe-
dangnya yang mental ke udara. Dan sebelum
sempat menyadari, tahu-tahu Setan Jubah Biru
sudah memberikan satu sodokan lunak ke dada
sebelah kiri. Gerakan tangan kirinya begitu cepat, sehingga Ki Darpin tidak
dapat lagi menghindarinya. Dan....
Tuk! "Okh..."!"
Seketika itu juga, Ki Darpin langsung limbung
dan ambruk ke tanah setelah dada kirinya terkena totokan jari tangan kiri Setan
Jubah Biru. Ki Darpin benar-benar tidak mampu lagi menggerakkan
tubuhnya. Jalan darahnya telah tertotok begitu
kuat. Hanya kepalanya saja yang masih bisa dige-
rakkan. Sementara Setan Jubah Biru sudah
menghampiri, dan berdiri di dekat tubuh laki-laki separuh baya ini.
"Ada yang datang. Cepat kau bawa dia...!" sentak Setan Jubah Hitam, agak
tertahan dan tiba-
tiba. "Hup...!"
Setan Jubah Biru cepat mengangkat tubuh Ki
Darpin ke pundaknya. Lalu bagaikan kilat, dia melompat cepat meninggalkan
halaman belakang
rumah ini mengikuti teman-temannya, yang sudah
lebih dulu berlompatan pergi. Pada saat Lima Se-
tan dari Barat lenyap di balik tembok yang mengelilingi rumah ini, dari dalam
rumah muncul Pen-
dekar Pulau Neraka.
"Ki...! Ki Darpin...!" seru Bayu memanggil dengan suara agak keras.
Tentu saja tak ada sahutan sama sekali. Bayu
mengedarkan pandangan ke sekitar halaman be-
lakang ini. Dan pandangannya langsung tertum-
buk pada sebatang pedang yang tertancap di po-
hon. Bergegas dihampirinya pedang itu dan dica-
butnya. Kedua bola matanya agak terbeliak begitu mengenali pedang ini milik Ki
Darpin. "Ki Darpin...!" panggil Bayu kembali berteriak.
Pendekar Pulau Neraka jadi tertegun begitu meli-
hat ada tanda-tanda bekas pertarungan di sini.
Pada saat itu, Ratna Wulan muncul. Gadis itu terbangun mendengar teriakan Bayu
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 19 Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Pendekar Remaja 12
^