Pencarian

Lima Setan Dari Barat 2

Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat Bagian 2


yang memanggil Ki Darpin. "Ada apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan langsung begitu dekat.
"Ki Darpin hilang," sahut Bayu.
*** 5 Sementara itu Bayu dan Ratna Wulan masih
diliputi teka-teki yang semakin sulit dipecahkan, Ki Darpin tengah berteriak-
teriak di dalam sebuah gua yang cukup besar, diterangi api dari beberapa buah
obor. Laki-laki separuh baya itu terikat rantai. dengan tangan terentang.
Seluruh tubuhnya
nampak memar. Kulit tubuhnya tercabik, menge-
luarkan darah. Bajunya tidak lagi kelihatan ben-
tuknya. Ctar! "Akh...!"
Ki Darpin berkelojotan begitu ujung cambuk
kembali merobek kulit tubuhnya. Darah semakin
banyak keluar dari luka-luka di sekujur tubuhnya.
Sementara Setan Jubah Biru terus mengayunkan
cambuknya ke tubuh laki-laki separuh baya ini.
"Cukup, Jubah Biru...!" sentak Setan Jubah Hitam.
Cambuk yang terangkat dan hampir menyayat
kulit yang sudah hancur itu, jadi tertahan. Perlahan Setan Jubah Biru menurunkan
cambuknya. Sementara, Setan Jubah Hitam melangkah men-
dekati Ki Darpin yang sudah lemas tak berdaya la-gi. Dengan ujung kepala
tongkatnya, kepala Ki
Darpin yang tertunduk lemas tanpa daya dan te-
naga lagi diangkatnya.
"Seharusnya, kau tidak perlu mengalami siksaan ini, Darpin. Kau bisa kaya kalau
mau beker- jasama," kata Setan Jubah Hitam masih berusaha membujuk.
Ki Darpin hanya diam saja. Tatapan matanya
begitu redup, bagai tak memiliki cahaya kehidu-
pan lagi. Dia benar-benar sudah pasrah, sean-
dainya harus mati dalam penyiksaan seperti ini.
Memang, tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain pasrah menerima kenyataan ini.
"Katakan saja, di mana harta itu, Darpin. Aku berjanji akan memberimu harta yang
cukup untuk selama tujuh turunan. Harta itu tidak bakal habis, walaupun dibagikan pada semua
orang di Kadipaten Talagan," kata Setan Jubah Merah lagi.
'Terserah apa katamu. Tapi, aku tidak akan
mengkhianati Ki Wanasa, "desis Ki Darpin.
'Tapi dia telah mengkhianati mu, Darpin. Juga
mengkhianati kami semua."
"Dia tidak mengkhianatiku. Semua harta itu
diambilnya karena kalian sudah berniat untuk
menguasainya, dan ingin membunuhnya. Kalian
boleh lakukan apa saja padaku. Tapi jangan harap bisa menemukan harta itu,"
desis Ki Darpin dingin. "Keparat...!" geram Setan Jubah Hitam. "Ayo, bunuh
aku...!" tantang Ki Darpin. Setan Jubah Hitam yang sudah mengangkat tangannya,
tidak jadi menjatuhkan pukulan pada laki-laki setengah
baya ini. Dia hanya mendengus kesal, karena ti-
dak bisa membujuk Ki Darpin untuk mengatakan
tempat penyimpanan harta itu.
"Huh...!" sambil mendengus kesal, Setan Jubah Hitam berbalik, lalu melangkah
menjauhi Ki Darpin. "Hhh!"
Ki Darpin hanya tersenyum sinis. Lima Setan
dari Barat itu berkumpul di dekat mulut gua,
menghadapi sebuah api unggun yang tidak begitu
besar nyala apinya. Sementara Ki Darpin hanya
memperhatikan saja dengan sinar mata penuh
ejekan. Bibirnya terus menyunggingkan senyum
tipis yang terasa begitu sinis.
"Aku tidak tahu lagi, bagaimana cara membu-
ka mulutnya," keluh Setan Jubah Hitam.
"Dia benar-benar keras kepala, Kakang," ujar Setan Jubah Merah.
"Tapi, aku tidak ingin dia mati sebelum mengatakan, di mana harta itu tersimpan.
Hanya dia sa-tu-satunya yang tahu," kata Setan Jubah Hitam lagi. "Bukan hanya
dia, Kakang," selak Setan Jubah Putih.
"Siapa lagi" Kau tahu...?"
"Bukankah Wanasa punya anak angkat.." Sia-
pa tahu, anak angkatnya itu tahu tempat penyim-
panan harta itu," duga Setan Jubah Putih. '
"Hm...," Setan Jubah Hitam menggumam kecil.
"Tapi, kudengar dia pergi mengembara dan belum kembali sampai saat ini," kata
Setan Jubah Merah.
'Tidak! Dia sudah kembali bersama seorang
pemuda. Putra Dewa Pedang, sahabat Wanasa,"
selak Setan Jubah Putih.
'Tapi semua orang tahu kalau Dewa Pedang
sudah mati, dan putranya hilang entah ke mana."
"Kalian semua benar-benar ketinggalan. Putra Dewa Pedang masih hidup. Dia
bernama Bayu, dan sekarang ini dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka," jelas Setan Jubah
Putih. "Pendekar Pulau Neraka..."!"
Mereka semua terkejut mendengar julukan itu.
Tentu saja mereka sudah mendengar julukan Pen-
dekar Pulau Neraka yang sempat menggegerkan
rimba persilatan. Terutama di wilayah Pantai Selatan. Julukan Pendekar Pulau
Neraka memang se-
lalu menjadi bahan pembicaraan di kalangan
orang-orang persilatan dari semua golongan. Me-
reka semua sudah sering mendengar sepak ter-
jangnya. Dan mereka juga tahu, tingkat kepan-
daian Pendekar Pulau Neraka sangat sukar dicari
tandingannya. Terlebih lagi, senjatanya yang bernama Cakra Maut. Sampai saat
ini, belum ada sa-
tu senjata pun yang bisa mengalahkan keheba-
tannya. "Dari mana kau tahu semua itu...?" tanya Setan Jubah Merah..
"Semua orang di Kadipaten Talagan sudah ta-
hu. Dan sekarang, mereka sedang mencari kita
untuk membalas kematian Wanasa."
"Hm...," lagi-lagi Setan Jubah Hitam menggumam perlahan.
"Apa tidak sebaiknya kita mendahului, Ka-
kang?" ujar Setan Jubah Kuning memberi usul.
"Benar, Kakang. Barangkali saja anak angkat Wanasa memang tahu, di mana tempat
penyimpanan harta itu," sambung Setan Jubah Merah.
"Lalu, bagaimana dengan Darpin?" tanya Setan Jubah Hitam.
'Tidak ada gunanya mempertahankan orang
keras kepala begitu, Kakang. Bunuh saja, dan
buang mayatnya ke hutan," dengus Setan Jubah Kuning.
"Lakukan saja apa kehendak kalian. Besok,
baru kita cari anak angkat si Wanasa itu," dengus Setan Jubah Hitam seperti
putus asa. "Kita pasti akan mendapatkan harta itu, Ka-
kang," ujar Setan Jubah merah memberi semangat. Setan Jubah Hitam hanya
tersenyum tipis sa-
ja, kemudian merebahkan tubuhnya tidak jauh
dari api unggun. Sementara Setan Jubah Biru dan
Setan Jubah Kuning sudah menghampiri Ki Dar-
pin. Mereka melepaskan rantai yang membelenggu
tangan laki-laki separuh baya itu, lalu menggi-
ringnya ke Luar gua. Tak berapa lama kemu-
dian.... "Aaa...!"
Satu suara jeritan panjang melengking tinggi
terdengar begitu menyayat, memecah kesunyian
malam ini. Kemudian, keadaan kembali sunyi. Tak
ada seorang pun yang berbicara lagi. Di dalam gua itu hanya tinggal Setan Jubah
Hitam, Setan Jubah Putih, dan Setan Jubah Merah. Sedangkan Setan
Jubah Biru dan Setan Jubah Kuning masih belum
juga kembali setelah membawa Ki Darpin ke Luar
gua ini. *** Siang ini, matahari bersinar begitu terik.
Daun-daun kering banyak berguguran terhempas
hembusan angin. Sejak semalaman, Bayu dan
Ratna Wulan tidak memejamkan matanya sedikit
pun. Mereka tidak mengenal lelah, terus berusaha mencari Ki Darpin yang
menghilang sejak semalam. Sudah seluruh sudut Kota Kadipaten Talagan
ditelusuri, tapi tidak juga ditemukan tanda-tanda Ki Darpin berada. Dan
sekarang, mereka memasuki hutan yang tidak jauh dari perbatasan kota kadipaten
itu. "Kakang...," desah Ratna Wulan tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Bayu.
"Lihat..."
Kelopak mata Bayu agak menyipit, mengarah-
kan pandangan ke arah yang ditunjuk Ratna Wu-
lan. Kemudian, bergegas kakinya melangkah men-
dekati sesosok tubuh yang tergolek di bawah pe-
pohonan. Bukan hanya Pendekar Pulau Neraka
yang terkejut. Bahkan Ratna Wulan sampai terbe-
liak begitu mengenali sosok tubuh penuh luka,
yang ternyata Ki Darpin.
"Dia sudah meninggal...," desah Bayu perlahan, setelah memeriksa keadaan Ki
Darpin. "Kejam...," desis Ratna Wulan. "Siapa yang melakukan perbuatan sekeji ini,
Kakang?" Bayu tidak bisa menjawab. Keadaan tubuh Ki
Darpin memang rusak. Seluruh tubuhnya tercabik
seperti bekas cambukan. Darah yang sudah ham-
pir kering melekat di sekujur tubuhnya. Bahkan
lehernya terkoyak hampir buntung. Tak ada lagi
kata-kata yang bisa diucapkan. Dan mereka saling melemparkan pandangan.
"Lima Setan dari Barat..," desis mereka berba-rengan.
Ternyata, bukan hanya Bayu saja yang men-
duga itu. Malah Ratna Wulan juga langsung men-
duga kalau yang melakukan kekejaman pada Ki
Darpin adalah Lima Setan dari Barat. Bukan
hanya luka-luka cambuk di sekujur tubuhnya dan
leher yang menganga lebar hampir buntung. Tapi,
beberapa lubang bekas tusukan juga terlihat di dadanya. Benar-benar suatu
penyiksaan yang begitu berat dan sangat keji. Ratna Wulan hamper
tidak sanggup membayangkan penderitaan Ki
Darpin dalam menjalani siksaan itu.
"Kakang, lihat tangannya...," kata Ratna Wulan tiba-tiba.
Bayu segera membungkuk, dan mengangkat
tangan kanan Ki Darpin yang terkepal erat. Dibu-
kanya jari-jari yang terkepal kaku itu. Dan dari dalam kepalan tangan Ki Darpin,
Bayu mendapatkan selembar gulungan daun lontar. Pendekar
Pulau Neraka segera membuka gulungan daun
lontar itu. "Sabuk kulit...," gumam Bayu membaca seba-ris kalimat yang tertera pada lembaran
daun lon- tar ini. "Apa maksudnya, Kakang?" tanya Ratna Wulan. Memang hanya dua kata itu saja yang
ada pa- da daun lontar ini. Namun, Bayu tidak menjawab.
Dia kemudian membungkuk dan melepaskan sa-
buk yang terbuat dari kulit binatang yang dikenakan Ki Darpin. Sebentar Pendekar
Pulau Neraka mengamati, lalu membuka kantung kecil pada sa-
buk itu. Dari dalam kantung ini ditemukan poton-
gan bambu berukir, bergambar lingkaran dengan
dua buah titik pada bagian tengahnya.
"Apa itu...?" tanya Ratna Wulan lagi.
"Kau kenali gambar ini, Ratna Wulan?" Bayu malah balik bertanya.
Ratna Wulan mengambil potongan bambu itu,
lalu mengamati gambar yang terukir di situ. Ke-
ningnya jadi berkerut, memperhatikan gambar pa-
da bambu berukuran kecil ini. Kemudian diambil-
nya lembaran daun lontar dari tangan Pendekar
Pulau Neraka. Sebentar diamatinya dua benda
yang begitu dalam menyimpan suatu rahasia. Ke-
mudian ditatapnya pemuda tampan berbaju kulit
harimau itu. "Sepertinya, ini suatu petunjuk penyimpanan harta itu, Kakang," kata Ratna
Wulan. "Iya, tapi apa maksudnya?" tanya Bayu lagi.
"Aku pernah melihat gambar ini sebelumnya,"
agak perlahan suara Ratna Wulan.
"Di mana?" tanya Bayu lagi.
"Di mata tombak milik ayah."
"Mata tombak...?" Bayu jadi tertegun.
"Iya. Senjata kebanggaan ayah. Senjata itu ada di rumah. Aku menyimpannya di
kamar," sahut Ratna Wulan lagi.
"Hm.... Ini seperti suatu mata rantai untuk
menuju tempat harta itu, Wulan," gumam Bayu.
"Aku rasa memang demikian, Kakang."
Bayu memandang tubuh Ki Darpin, kemudian
mengambil dua benda itu dari tangan Ratna Wu-
lan. Lalu dibungkusnya benda itu dengan sehelai
kain yang disobek dari selendang Ratna Wulan,
kemudian diberikannya pada Tiren. Seekor monyet
kecil berbulu hitam yang selalu berada di pundak kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Ikatkan ini di atas pohon, Tiren," perintah Bayu.
"Nguk...!"
Tanpa diperintah dua kali, Tiren segera me-
lompat naik ke atas pohon. Cepat sekali gerakan-
nya. Sebentar saja, monyet kecil berbulu hitam itu sudah berada di puncak pohon
yang begitu tinggi.
Lalu, diikatnya kain merah yang membungkus dua
benda itu pada salah satu dahan. Kemudian, bina-
tang itu bergegas turun. Dan kini Tiren kembali
hinggap di pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Kau kenali pohon ini, Tiren," pinta Bayu Tiren mengangguk sambil
memperdengarkan suara
menggumam kecil. Bayu kini kembali menghampi-
ri tubuh Ki Darpin. Lalu dipondongnya mayat itu, dan terus melangkah ke tempat
yang lebih lapang
dan teduh. Perlahan-lahan diletakkan tubuh laki-
laki separuh baya bekas murid ayahnya yang telah menjadi mayat itu.


Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiren langsung melompat dan berpindah ke
pundak Ratna Wulan, ketika Bayu berdiri tegak
dengan telapak tangan menyaru di depan dada.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka menarik napas
dalam-dalam, lalu....
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu menghentakkan tangannya
ke depan. Dan dari kedua telapak tangannya, se-
ketika meluncur secercah sinar merah yang lang-
sung menghantam tubuh Ki Darpin. Suara leda-
kan keras terdengar menggelegar memekakkan te-
linga. Tampak tubuh Ki Darpin mengepulkan asap
kemerahan. Lalu begitu asap menghilang tertiup
angin, tubuh Ki Darpin lenyap. Yang tertinggal ki-ni hanya seonggok debu.
Bayu melangkah menghampiri onggokan debu
tubuh Ki Darpin. Lalu, dikeluarkannya sehelai
kain putih dari balik sabuknya. Kain itu ditebarkan ke tanah, dan diraupnya debu
berwarna putih keabu-abuan itu. Sedikit demi sedikit debu itu di-pindahkan ke atas kain putih.
Sementara, Ratna
Wulan hanya memperhatikan saja tanpa berbicara
sedikit pun juga. Dia merasa heran melihat semua yang dilakukan Pendekar Pulau
Neraka. Setelah semua debu itu berpindah ke atas
kain, Bayu kemudian membungkusnya dengan
rapi. Kembali kakinya melangkah sambil memba-
wa bungkusan kain berisi debu jasad Ki Darpin.
Pendekar Pulau Neraka tersenyum melihat Ratna
Wulan terbengong keheranan menyaksikan perbu-
atannya ini. "Ini suatu kepercayaan yang dilakukan leluhur ku, Ratna Wulan. Dan itu
diterapkan di padepokan ayahku. Semua murid padepokan yang me-
ninggal, diperabukan. Lalu, abunya dihanyutkan
ke sungai. Mereka akan merasa bangga daripada
dikebumikan," jelas Bayu memberi penjelasan tanpa diminta.
Ratna Wulan masih terdiam.
"Memang tidak semuanya mau mengikuti ke-
percayaan itu. Dan aku sendiri sebenarnya tidak
setuju. Tapi semalam, sebelum menghilang, Ki
Darpin sudah berpesan padaku untuk mempera-
bukan jasadnya jika meninggal. Aku sudah berjan-
ji akan melaksanakannya, meskipun aku sendiri
tidak menyukai cara ini," jelas Bayu lagi.
"Dari mana kau tahu semua itu, Kakang" Se-
dangkan kau sudah berpisah dengan keluargamu
sejak masih bayi," tanya Ratna Wulan ingin tahu.
"Dari para sahabat ayahku, dan beberapa
orang murid ayahku yang masih hidup dan sem-
pat kutemui," sahut Bayu kalem.
"Ilmu apa yang kau gunakan itu tadi?" tanya Ratna Wulan lagi.
"Hanya ilmu warisan. Aku mempelajarinya dari salah seorang guru pengajar di
padepokan ayahku, yang waktu itu sempat selamat ketika padepo-
kan ayahku hancur. Tidak sulit mempelajarinya.
Kau juga bisa mempelajarinya. Paling tidak, hanya butuh dua atau tiga hari untuk
mempelajarinya,"
kata Bayu menjelaskan lagi.
"Secepat itu...?" Ratna Wulan seperti tidak percaya.
"Iya. Tapi ilmu itu tidak bisa digunakan untuk bertarung."
"Kenapa?"
"Karena membutuhkan pemusatan pikiran
yang penuh. Sedangkan di dalam pertarungan, ha-
rus dilakukan dengan cepat. Dan jika digunakan
dalam pertarungan, kau akan mati sebelum sem-
pat mempergunakannya. Lagi pula, ilmu itu tidak
berarti sama sekali jika ditujukan pada makhluk
hidup yang masih bernyawa. Tidak akan memati-
kan. Paling tidak, hanya merasakan sakit sedikit saja. Dan tidak ada pengaruh-
nya sama sekali," jelas Bayu lagi. "Aku sudah pernah mencobanya pa-da binatang.
Tapi, hasilnya memang begitu. Kelinci yang ku pukul dengan ilmu itu, tidak mati
sama sekali. Bahkan terus berlari, setelah terpental sedikit"
"Ilmu aneh...," desah Ratna Wulan.
"Ilmu itu memang diciptakan bukan untuk
menyakiti. Tapi, untuk memberi kebahagiaan dan
kesempurnaan bagi makhluk hidup yang sudah
mati." "Lalu, akan kau apakan abu Ki Darpin itu?"
tanya Ratna Wulan.
"Dihanyutkan ke sungai."
"Kenapa harus ke sungai?"
"Air merupakan sumber kehidupan, Ratna Wu-
lan. Menurut kepercayaan, roh yang dihanyutkan
ke sungai dan tetap hidup abadi, sepanjang sungai itu terus mengalir. Dan sungai
tidak akan berhenti mengalir sepanjang zaman, sampai dunia ini benar-benar
hancur." Ratna Wulan mengangguk-anggukkan kepala.
Meskipun sudah bisa mengerti, tapi seperti apa
yang dikatakan Bayu tadi, tidak semua orang bisa memahami kepercayaan ini. Dan
Bayu sendiri tidak pernah menyetujuinya. Tapi sebagai satu-
satunya pewaris keluarga, dia harus bersedia me-
lakukannya, walaupun hatinya tetap menentang.
"Ayo kita cari sungai dulu," ajak Bayu langsung saja melangkah.
Ratna Wulan mengikuti saja tanpa berbicara
lagi. Gadis itu masih terus memikirkan cara yang dilakukan Bayu terhadap mayat
Ki Darpin. Memang sulit bisa diterima akal biasa. Dan rasanya, Ratna Wulan juga
masih belum bisa memahami
benar. Tapi, dia tidak banyak bertanya dulu. Dan gadis itu kembali memusatkan
seluruh perhatian
pada persoalan yang sedang dihadapinya. Suatu
persoalan teka-teki penuh tanda tanya yang masih sulit diungkapkan.
"Kakang.... Kalau memang benar yang mem-
bunuh Ki Darpin si Lima Setan dari Barat, berarti
mereka masih ada di sekitar sini," kata Ratna Wulan mengisi kebisuan yang
terjadi setelah mereka berjalan cukup jauh.
"Mereka tidak akan meninggalkan Kadipaten
Talagan sebelum mendapatkan harta itu, Wulan,"
sahut Bayu. 'Tidak bisa kubayangkan, berapa banyak harta
itu, Kakang. Bayangkan saja, selama dua tahun
mereka merajalela, dan selalu berhasil," kata Ratna Wulan lagi.
"Kau tergiur...?" goda Bayu.
"Untuk apa" Harta tidak akan membawa ke-
bahagiaan, Kakang," dengus Ratna Wulan.
"Tapi banyak orang yang mengejar harta untuk kebahagiaan, Wulan."
"Mereka salah kalau menyangka harta sebagai sumber kebahagiaan. Kau tahu,
Kakang. Kebahagiaan yang sejati adanya di sini," kata Ratna Wulan seraya
menunjuk dadanya sendiri.
Bayu hanya tersenyum saja. Bisa dimaklumi
ucapan Ratna Wulan barusan. Dan memang, pen-
dapat orang tidak sama. Sedikit pun pasti ada
perbedaan, walaupun sangat kecil. Dan secara ju-
jur, Bayu mengagumi gadis ini. Sungguh berbeda
pada saat pertama kali bertemu, ketika Ratna Wu-
lan masih bergabung dengan Ratu Gua Setan. Be-
nar-benar jauh perbedaannya. Bayu tidak tahu,
apa yang menyebabkan Ratna Wulan bisa berubah
begitu cepat. Dari seorang gadis liar yang brutal, kini menjadi gadis yang
lembut dan berpandangan
luas. Tapi memang diakui, pada dasarnya Ratna
Wulan adalah gadis baik-baik yang terbiasa hidup di lingkungan mewah. Bahkan
segalanya selalu
tersedia lebih dari cukup. Dia hidup di lingkungan terpandang, dan jarang
dimiliki gadis-gadis lain
sebayanya. Tapi, Bayu mengakui kalau Ratna Wu-
lan cukup tabah dalam menerima segala cobaan
hidupnya kali ini.
*** 6 Bayu memandangi tombak berukuran cukup
panjang, yang ujung matanya terbuat dari emas.
Keningnya jadi berkerut melihat mata tombak itu
seperti terbagi dua. Dan pada bagian tengahnya,
terukir sebuah gambar yang sama persis dengan
gambar yang ada pada sepotong bambu dari dalam
kantung sabuk Ki Darpin. Sebentar Pendekar Pu-
lau Neraka memandang pada Ratna Wulan yang
sejak tadi diam saja memperhatikan.
Trak! Sekali sentak saja, tombak itu sudah patah,
tepat pada bagian ujung matanya yang terbuat da-
ri emas. Ratna Wulan agak terkejut melihat tom-
bak kebanggaan ayah angkatnya dipatahkan
Bayu. Tapi, dia tidak bisa lagi berbuat apa-apa.
Gadis itu hanya diam memandangi saja semua
yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu melepaskan Cakra Maut dari pergelan-
gan tangannya. Kemudian, dengan ujung senjata
keperakan berbentuk persegi enam itu, dia meng-
gurat garis tipis pada bagian tengah mata tombak itu. Setelah memasang kembali
Cakra Maut pada
pergelangan tangannya, mata tombak itu dipisah-
kan hingga terbelah menjadi dua bagian.
Ternyata, mata tombak itu berongga pada ba-
gian dalamnya. Dan dari dalam mata tombak ber-
selaput emas itu, Bayu mendapat selembar kulit
kayu tipis berukuran kecil yang ternyata guratan-
guratan gambar. Bayu lalu menunjukkannya pada
Ratna Wulan. "Kau tahu, apa artinya gambar itu, Wulan?"
tanya Bayu. "Hm...," Ratna Wulan menggumam dengan kening berkerut.
Cukup lama juga Ratna Wulan terdiam me-
mandangi guratan-guratan gambar pada lembaran
kulit kayu berukuran kecil itu. Perlahan kemu-
dian, kepalanya terangkat menatap Bayu yang se-
jak tadi terus memperhatikan.
"Aku tahu, Kakang...," desis Ratna Wulan, agak berbinar bola matanya.
"Kau tahu arti gambar itu, Ratna Wulan...?"
tanya Bayu jadi gembira.
"Ayah pasti ingin melukiskan kalau harta itu tersimpan di sekitar Danau
Raguling," sahut Ratna Wulan.
"Danau Raguling..." Di mana itu?" tanya Bayu.
"Ada di sebelah Timur Kadipaten Talagan. Tidak jauh dari sini, Kakang. Tidak
sampai setengah hari perjalanan," jelas Ratna Wulan.
"Hm, lalu apa arti gambar jamur itu?" tanya Bayu lagi.
"Kau ingat apa yang dikatakan Ki Darpin, Kakang?"
Bayu mengangguk.
"Jamur inilah yang dikatakan Ki Darpin sebagai Cendawan Merah," kata Ratna Wulan
lagi. "Hm.... Jadi benar kalau harta itu bisa ditemukan kalau melihat Cendawan
Merah...?" agak
menggumam nada suara Bayu.
"Mungkin memang itu maksudnya, Kakang,"
sahut Ratna Wulan.
Bayu jadi terdiam dengan kening berkerut
agak dalam. Dia langsung teringat cerita-cerita
mengenai Cendawan Merah. Cerita yang selama ini
hanya dianggapnya sebagai dongeng anak-anak
kecil saja. Sama sekali tidak pernah ditanggapinya kalau Cendawan Merah memang
ada. Dan sekarang, rahasia yang harus dipecahkan ini justru
melibatkan Cendawan Merah itu. Inilah satu-
satunya petunjuk untuk menemukan harta yang
disembunyikan Ki Wanasa.
"Sebaiknya, kita cepat ke sana, Kakang. Sebelum ada yang tahu tentang ini
semua," kata Ratna Wulan memberi saran.
"Hm..., ayolah," Bayu cepat menyetujui.
*** Baru saja Bayu dan Ratna Wulan keluar dari
dalam rumah peninggalan Mendiang Ki Wanasa,
tiba-tiba saja dikejutkan oleh munculnya lima
orang tua berjubah yang berlainan warna. Mereka
semua memegang tombak yang warnanya sama
dengan jubah yang dikenakan masing-masing.
"Lima Setan dari Barat...," desis Bayu langsung mengenali lima orang tua yang
dua di antaranya
adalah wanita. Dari ciri-ciri yang diperoleh selama ini, Bayu
bisa langsung mengenali mereka. Maka kakinya
segera melangkah ke depan beberapa tindak. Se-
dangkan Ratna Wulan masih tetap berdiri di un-
dakan tangga beranda depan rumah yang beruku-
ran cukup besar ini.
"Mau apa lagi kalian datang ke sini?" tanya Bayu langsung, bernada ketus.
"Kau tentu sudah tahu jawabannya, Pendekar
Pulau Neraka," sahut Setan Jubah Hitam, juga langsung mengenali pemuda berbaju
kulit harimau yang berdiri di depannya ini.
"Kalau kalian menginginkan harta itu, rasanya tidak ada di sini. Tapi kebetulan,
aku memang sedang mencari kalian untuk membuat perhitun-
gan," terasa dingin sekali nada suara Bayu.
"Ha ha ha...! Kau terlalu pongah, Pendekar Pulau Neraka. Apa kau tidak tahu,
dengan siapa kau berhadapan, heh..."!" lantang sekali suara Setan Jubah Hitam.
"Aku tahu, kalian adalah manusia-manusia ib-lis yang tidak pantas lagi hidup di
dunia! "sahut Bayu ketus.
"Phuih! Kau akan menyesal menghina kami,
Bocah!" dengus Setan Jubah Hitam, langsung
memerah wajahnya.
Bet! Setan Jubah Hitam langsung mengebutkan
tongkat, dan menyilangkannya di depan dada.
Saat itu juga, empat orang yang berada di bela-
kangnya segera berlompatan mengepung. Semen-
tara, Ratna Wulan sudah berada di samping Pen-
dekar Pulau Neraka. Gadis itu menggenggam erat
gagang Pedang Api yang masih tersimpan di dalam
warangka di punggung.
"Hati-hati, Wulan. Mereka bukan orang sembarangan," bisik Bayu memperingatkan.
"Hhh...!" Ratna Wulan hanya mendesis saja.
"Serang, tapi jangan lukai gadis itu...!" perintah Setan Jubah Hitam lantang
menggelegar. "Hiyaaa...!"


Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, Lima Setan dari Barat lang-
sung berlompatan menyerang. Tongkat-tongkat
mereka yang berujung runcing, berkelebatan cepat di sekitar tubuh Bayu maupun
Ratna Wulan. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan
menghindari setiap serangan yang datang begitu
cepat. 'Phuih...!"
Bayu menyemburkan ludahnya, begitu menya-
dari kalau serangan yang dilancarkan serentak itu hanya membuatnya terpisah dari
Ratna Wulan. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tidak bisa lagi ber-
buat banyak. Tiga orang tua berjubah itu sudah
mengeroyoknya dengan jurus-jurus cepat dan
dahsyat. Sedangkan Ratna Wulan harus mengha-
dapi dua orang dari Lima Setan dari Barat itu.
Ratna Wulan tidak sempat lagi mencabut pedang-
nya, karena serangan yang diterimanya begitu ce-
pat dan mendadak.
Tampak jelas tingkat kepandaian yang dimiliki
Ratna Wulan masih jauh dibanding Setan Jubah
Merah dan Setan Jubah Kuning yang menjadi la-
wannya. Dalam beberapa jurus saja, gadis itu su-
dah kelihatan terdesak. Dan dia hanya bisa ber-
jumpalitan menghindari setiap serangan yang da-
tang begitu cepat, beruntun, dan bergantian.
Hingga akhirnya....
Desss! "Akh...!" Ratna Wulan terpekik keras agak tertahan.
Satu pukulan lurus yang dilepaskan Setan Ju-
bah Merah tidak dapat lagi dihindari. Begitu keras, walau tidak disertai
pengerahan tenaga dalam penuh. Namun akhirnya, Ratna Wulan jadi terpe-
lanting, dan bergulingan di tanah beberapa kali.
Hebatnya, gadis itu cepat bisa bangkit berdiri,
meskipun agak terhuyung. Cepat-cepat pedangnya
dicabut ketika Setan Jubah Kuning sudah melom-
pat melakukan serangan kembali.
"Hiyaaat...!"
Sret! Wuk...! "Ikh...!"
Setan Jubah Kuning jadi terkejut setengah ma-
ti begitu tiba-tiba Ratna Wulan mengebutkan pe-
dangnya yang memancarkan api. Cepat-cepat tu-
buhnya diputar ke belakang beberapa kali, meng-
hindari tebasan Pedang Api itu. Kedua matanya
jadi terbeliak melihat pedang berapi tergenggam di tangan Ratna Wulan. Bahkan
Setan Jubah Merah
juga jadi terperangah tidak menyangka kalau ga-
dis yang dianggap enteng itu memiliki sebuah senjata yang berpamor begitu
dahsyat. "Lawanlah pedangku, Setan-Setan Keparat!
Hiyaaat...!"
Entah dari mana datangnya kekuatan itu, tiba-
tiba saja Ratna Wulan merasa kekuatan yang ada
pada dirinya bertambah dua kali lipat. Maka den-
gan cepat sekali dia melompat menerjang Setan
Jubah Merah dan Setan Jubah Kuning sambil
mengebutkan pedang begitu cepat bagai kilat.
"Hup! Yeaaah...!"
"Hait..!"
Serangan-serangan yang dilancarkan Ratna
Wulan memang sangat dahsyat. Udara di sekitar
pertarungan itu jadi terasa panas dan menyesak-
kan. Akibatnya, dua orang tua itu jadi kelabakan menghindarinya. Mereka benar-
benar terkejut dan
tidak menyangka kalau gadis yang dianggap rin-
gan itu ternyata memiliki satu simpanan yang be-
gitu dahsyat dan luar biasa.
Sementara itu, tiga orang tua berjubah lain
yang sedang mengeroyok Pendekar Pulau Neraka
jadi tersentak kaget. Mereka merasakan sambaran
hawa panas. Lebih terkejut lagi, begitu melihat
Ratna Wulan menggunakan pedang yang meman-
carkan api begitu dahsyat.
"Tinggalkan mereka cepat...!" seru Setan Jubah
Hitam tiba-tiba.
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, Lima Se-
tan dari Barat segera berlompatan cepat sekali.
Hingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tu-
buh mereka sudah tidak terlihat lagi. Ratna Wulan bergegas menghampiri Pendekar
Pulau Neraka sambil memasukkan kembali Pedang Api itu ke
dalam warangka. Tampak napas gadis itu teren-
gah-engah, dan keringat mengucur deras dari se-
kujur tubuhnya.
"Ke mana mereka pergi, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Ke arah Utara," sahut Bayu.
"Kita kejar...?"
"Tidak perlu, Wulan. Sebaiknya kita cepat ke Danau Raguling sebelum mereka tahu
apa yang kita dapatkan," ujar Bayu.
Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya saja.
Kemudian kakinya terayun mengikuti ayunan
langkah kaki Pendekar Pulau Neraka. Mereka ber-
jalan tanpa bicara lagi, meninggalkan rumah besar peninggalan Mendiang Ki
Wanasa. "Heran.... Kenapa mereka datang menyerang
kita, Kakang?" tanya Ratna Wulan seperti untuk dirinya sendiri.
"Mereka menginginkan mu, Wulan," sahut Bayu kalem tanpa menghentikan ayunan
langkah kedua kakinya. "Aku..." Untuk apa mereka menginginkan
aku?" tanya Ratna Wulan tidak mengerti.
"Mereka menganggapmu telah tahu tempat pe-
nyimpanan harta itu, karena tinggal kaulah satu-
satunya keluarga Ki Wanasa yang masih hidup.
Apa kau tidak mengerti kata-kata mereka, Wulan"
Mereka menginginkan kau tetap hidup."
"Edan...!" desis Ratna Wulan agak mendengus.
"Mereka akan terus muncul, Ratna Wulan Kau
harus lebih berhati-hati sekarang ini," kata Bayu memperingatkan lagi.
"Aku tahu, Kakang," desah Ratna Wulan perlahan.
Kembali mereka terdiam.
"Hhh.... Benar-benar perjalanan neraka bua-
tku," desah Ratna Wulan perlahan, seperti untuk dirinya sendiri.
Bayu hanya tersenyum saja. Tapi, mendadak
saja senyumnya menghilang. Dia jadi teringat perjalanan hidupnya sejak
dilahirkan hingga seka-
rang ini. Gumaman Ratna Wulan yang mendesah
tadi seperti ditujukan untuk dirinya.
Memang selama ini Bayu merasakan kalau
perjalanan hidupnya seperti perjalanan neraka.
Sedikit pun tak ada kesenangan yang diperoleh. Di manapun berada, yang dijumpai
hanya persoalan
demi persoalan. Sepertinya, semua persoalan hi-
dup tertumpah padanya. Memang tidak enak bila
berada dalam jalur yang menuju neraka. Sega-
lanya serba tidak menyenangkan.
"Ada apa, Kakang?" tegur Ratna Wulan yang melihat wajah Bayu berubah terselimut
mendung. 'Tidak... Tidak ada apa-apa, Wulan," sahut
Bayu, buru-buru, sambil memberi senyuman.
Tapi senyuman Pendekar Pulau Neraka terasa
amat getir. Dan Ratna Wulan rupanya menangkap
kegetiran itu. Tapi, gadis itu tidak bisa bertanya lebih jauh. Dan tampaknya,
Bayu memang tidak
ingin membicarakannya lagi. Mereka kembali ter-
diam dan terus melangkah menuju Danau Ragul-
ing yang berada di sebelah Timur Kadipaten Tala-
gan ini. Dan selama perjalanan ini, Bayu lebih banyak
diam. Ratna Wulan sendiri sulit menduga, apa
yang menjadi beban pikiran Pendekar Pulau Nera-
ka saat ini. Terlalu sulit baginya untuk menduga.
Karena setiap kali ditanyakan, Bayu selalu saja bi-sa cepat menyembunyikan.
Tapi, Ratna Wulan ya-
kin ada sesuatu yang mengganggu pikiran Pende-
kar Pulau Neraka.
"Boleh Tiren bersamaku, Kakang?" pinta Ratna Wulan tidak betah diam terus-
menerus. Bayu hanya tersenyum saja. Kemudian tan-
gannya diangkat ingin mengambil monyet kecil itu.
Tapi belum juga tangan Bayu menyentuhnya, Ti-
ren sudah melompat cepat dan berpindah ke pun-
dak Ratna Wulan. Sehingga, gadis itu jadi tertawa terbahak-bahak. Tiren
mencerecet ribut, berjingkrakan di pundak gadis ini. Bayu hanya tersenyum tipis.
"Dasar...!" dengus Bayu.
"Dia lebih senang pada wanita, Kakang," goda Ratna Wulan.
"Iya, kalau wanitanya secantikmu," balas Bayu.
"Huuuh...!" Ratna Wulan mencibir.
Kini Bayu yang tertawa terbahak-bahak meli-
hat wajah gadis itu jadi memerah. Ratna Wulan
jadi gemas. Dan baru disadari kalau monyet kecil ini berjenis jantan. Maka buru-
buru tangannya di-kibaskan. Tapi, Tiren sudah lebih cepat melompat, berpindah
lagi ke pundak Bayu. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Pulau Neraka semakin
keras tertawa. 'Tidak lucu...!" rungut Ratna Wulan.
*** Bayu mengedarkan pandangan berkeliling di
sekitar Danau Raguling ini. Saat itu, malam sudah jatuh. Sehingga keadaan di
sekitar danau itu tampak gelap. Namun, cahaya bulan yang bersinar
penuh malam ini membuat keadaan di danau ini
kelihatan begitu indah.
Seluruh permukaan danau seperti bermandi-
kan manik-manik mutiara. Sehingga menambah
indahnya pemandangan di sekitar danau ini. Bayu
jadi begitu kagum dibuatnya, sehingga jadi lupa
tujuannya datang ke sini. Pendekar Pulau Neraka
benar-benar menikmati keindahan Danau Ragul-
ing ini. Rasanya, belum pernah dia menyaksikan
keindahan yang begitu alami seperti di Danau Ra-
guling ini. Begitu mempesona, membuat hatinya
jadi terhibur. Dan seketika itu juga, sirnalah semua kegundahan yang merambati
hatinya sejak datang ke Kadipaten Talagan ini.
"Kenapa tersenyum-senyum, Kakang?" tegur Ratna Wulan yang sejak tadi berada di
samping Pendekar Pulau Neraka, dan terus memperhatikan
sikapnya. "Tidak apa-apa. Aku hanya...," Bayu tidak melanjutkan kata-katanya.
"Hanya, apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Bayu masih ingin menutupi apa yang terjadi pada
dirinya. "Ayolah, Kakang.... Ada apa?" desak Ratna Wulan agak merengek.
"Aku..., aku hanya terkesan dengan keindahan pemandangan di sini," sahut Bayu
sedikit gugup. "Danau ini memang indah, Kakang. Dulu aku
sering ke sini bersama ayah," tutur Ratna Wulan seraya mengedarkan pandangan
berkeliling. "Kau tentu tahu betul seluk-beluknya, Ratna Wulan," kata Bayu langsung biasa
lagi. Dan Pen- dekar Pulau Neraka sudah bisa mengalihkan per-
hatian Ratna Wulan yang tadi sempat membuat-
nya gugup. 'Tentu saja. Aku kenal betul setiap jengkalnya,"
sahut Ratna Wulan merasa bangga.
"Sebaiknya, kita mulai mencari tempat per-
sembunyian harta itu, Wulan," ajak Bayu tidak ingin lagi menarik perhatian gadis
ini untuk mengetahui kegelisahan hatinya. "Kau masih menyimpan gambar itu...?"
"Ini," sahut Ratna Wulan sambil mengambil lembaran kulit kayu dari balik lipatan
bajunya. "Kau tahu, kira-kira gambar ini menunjukkan apa, Wulan?" tanya Bayu.
Ratna Wulan terdiam. Diperhatikannya setiap
guratan gambar pada lembaran kulit kayu itu.
Bayu juga ikut memperhatikan. Agak lama juga
mereka terdiam, memperhatikan gambar itu. Lalu,
pandangannya beredar berkeliling. Bayu mengam-
bil lembaran potongan kulit kayu itu, kemudian
melangkah perlahan mendekati danau yang berki-
lauan seperti bertaburkan butiran batu mutiara.
"Hm...," Ratna Wulan menggumam perlahan.
Kembali gadis itu mengamati guratan-guratan ha-
lus di atas lembaran kulit kayu berukuran kecil di tangannya. Kemudian matanya
memandang danau yang berkilauan bagai bertaburkan mutiara
itu. Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja.
Pendekar Pulau Neraka masih diam melihat Ratna
Wulan melangkah sampai ke tepi danau. Bayu
mengikuti dari belakang.
"Perahu siapa ini, Wulan?" tanya Bayu memperhatikan sebuah perahu kecil bercadik
panjang yang tertambat di tepi danau ini.
"Aku belum pernah melihatnya. Tapi di gambar ini.... Kau lihat guratan agak
melengkung ini, Ka-
kang" Aku yakin itu gambar perahu," sahut Ratna Wulan.
"Lalu?"
"Aku merasa kita harus naik perahu ini ke
tengah danau. Atau mungkin ke seberang danau
ini," sahut Ratna Wulan lagi.
"Kenapa harus menunggu waktu lagi, Wu-
lan...?" ujar Bayu.
Mereka segera naik ke dalam perahu itu. Bayu
mengambil dayung, lalu duduk di bagian bela-
kang. Kemudian, perlahan-lahan perahu kecil ber-
cadik itu bergerak menuju ke tengah danau. Angin yang berhembus begitu kencang,
sehingga mene-barkan udara yang begitu dingin menggigilkan.
Bayu terus menggerakkan dayung ini, membuat


Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perahu kecil itu terus meluncur perlahan-lahan ke tengah-tengah danau.
"Berhenti dulu, Kakang," pinta Ratna Wulan memberi perintah.
Bayu menghentikan dayungnya. Perlahan pe-
rahu kecil itu berhenti bergerak. Dan mereka kini sudah berada di tengah-tengah
danau yang cukup
luas. Sepanjang mata memandang, hanya kilauan
air saja yang bercahaya bermandikan sinar bulan
yang indah keperakan.
"Kenapa berhenti di...?" Belum juga pertanyaan Bayu selesai, tiba-tiba saja
permukaan air danau itu bergolak seperti mendidih. Bahkan mampu
membuat perahu yang ditumpangi jadi oleng. Ti-
ba-tiba saja, dari permukaan air yang bergolak itu bermunculan tubuh-tubuh
berlumur dan berlendir seperti ikan. Mereka membawa tombak pan-
jang, yang bagian ujungnya bercabang tiga dari
besi yang berwarna kuning keemasan.
Tanpa memperdengarkan suara sedikit pun ju-
ga, tiba-tiba saja sosok-sosok tubuh berlumut
yang dipenuhi rerumputan air itu, berlompatan
menyerang dua pendekar muda di atas perahu itu.
"Awas, Wulan...!" teriak Bayu memperingatkan.
"Hiyaaat...!"
Ratna Wulan cepat merunduk, menghindari
hunjaman tombak bercabang tiga itu. Lalu cepat
sekali tangan kanannya dihentakkan menyodok ke
arah dada yang tampak kosong. Sodokan Ratna
Wulan yang begitu cepat, tidak dapat dihindari la-gi. Dan tampaknya, makhluk
yang muncul dari
dalam danau itu memang tidak berusaha meng-
hindar sedikit pun. Sehingga, sodokan tangan ka-
nan Ratna Wulan tepat menghantam dadanya.
Desss! Sedikit pun tak ada terdengar suara keluhan.
Apalagi jeritan makhluk air yang berlendir itu. Tubuh yang penuh lumut dan
rerumputan air itu
terpental deras ke belakang, dan kembali tengge-
lam ke dalam air.
Sementara itu, Bayu juga menghadapi bebera-
pa makhluk yang sama-sama muncul dari dalam
air. Mereka menyerang seperti membabi buta, tan-
pa aturan sama sekali. Bahkan tidak sedikit pun
mereka berusaha menghindari setiap serangan
yang dilancarkan dua pendekar muda ini. Sehing-
ga, mudah sekali Pendekar Pulau Neraka maupun
Ratna Wulan membuat mereka berpentalan kem-
bali masuk ke dalam air. Tapi, makhluk-makhluk
itu kembali cepat berlompatan keluar dari dalam
danau, dan terus melakukan serangan secara
sembarangan. "Phuih! Mereka seperti tidak ada habisnya, Kakang!" dengus Ratna Wulan mulai
kesal. "Kau hadapi saja, Wulan!" seru Bayu.
Bergegas Pendekar Pulau Neraka mengambil
dayung. Lalu cepat perahu itu dikayuh sehingga
meluncur deras seperti melayang di atas permu-
kaan danau ini. Karena, Pendekar Pulau Neraka
mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya saat
mengayuh. Tampak makhluk-makhluk air itu
hanya memandangi saja, berdiri di atas permu-
kaan air danau yang sudah tenang kembali. Se-
bentar saja, perahu itu telah sampai di tepi seberang. Kini mereka segera
berlompatan keluar dari dalam perahu itu.
"Phuih...!"
"Edan...!"
*** 7 Kedua pendekar muda itu memandangi mak-
hluk-makhluk aneh yang kembali tenggelam ke
dalam danau. Mereka kini telah berada di sebe-
rang danau. Di belakang mereka tampak hutan
yang begitu lebat dan menghitam kelam. Bulan
masih bersinar penuh. Cahayanya yang kepera-
kan, terpantul oleh permukaan air danau.
"Hhh.... Tidak selamanya keindahan itu bisa nyaman dinikmati...," desah Bayu
seperti bicara pada diri sendiri.
"Sudahlah, Kakang. Sebaiknya kita lanjutkan saja mencari harta itu," kata Ratna
Wulan. "Hm, ya.... Di mana gambar itu, Wulan?"
"Ini, masih ada."
Mereka kembali memperhatikan guratan gam-
bar yang ada pada lembaran kulit kayu berukuran
kecil itu. Kening Ratna Wulan tampak berkerut
saat menatap berkeliling, lalu tertumbuk lurus
pada dua buah batu yang tertanam di tanah se-
perti tonggak. Gadis itu memperhatikan guratan
gambar pada kulit kayu itu. Kemudian kakinya te-
rayun mendekati dua tonggak batu yang berdiri
sejajar, tidak jauh dari tepian danau ini. Sementara, Bayu terus mengikuti dan
mensejajarkan ayu-
nan langkahnya di samping gadis itu.
"Dua garis lurus di dekat lingkaran ini seperti menunjukkan dua batu itu,
Kakang," duga Ratna Wulan sambil menunjuk dua tonggak batu di depannya.
"Maksudnya?" tanya Bayu tidak mengerti.
Bayu memang sama sekali tidak mengerti ca-
ra-cara seperti ini. Dan baru pertama kali dirinya terlibat dalam perebutan
harta seperti ini. Terlebih lagi, yang menggunakan gambar-gambar petunjuk
untuk menemukan harta itu. Tapi, tampaknya
Ratna Wulan memahami akan maksud gambar
itu. Sehingga, Bayu hanya mengikuti saja apa
yang dikatakan gadis ini.
"Rasanya tidak ada lagi gambar yang bisa dilihat, Kakang. Barangkali, memang di
sinilah ayah menyimpan hartanya," jelas Ratna Wulan.
"Coba kuperiksa dulu, Wulan," kata Bayu mulai waspada. "Menjauhlah sedikit.
Barangkali saja ayahmu membuat jebakan untuk melindungi harta itu."
"Hati-hati, Kakang," ujar Ratna Wulan.
Bayu hanya tersenyum saja, kemudian me-
langkah perlahan mendekati dua tonggak batu
yang menjulang sekitar dua batang tombak ting-
ginya. Pendekar Pulau Neraka menajamkan telin-
ganya. Dan pandangannya pun dipertajam untuk
melihat kalau-kalau ada jebakan yang tidak terdu-ga, muncul dari balik tonggak
batu ini. Tapi sampai begitu dekat berada di tonggak
batu itu, belum ada tanda-tanda bakal ada jeba-
kan. Perlahan Bayu mengulurkan tangannya un-
tuk menyentuh batu itu. Dan begitu jari tangan-
nya menyentuh satu tonggak batu itu, tiba-tiba
saja.... "Awas, Kakang...!" teriak Ratna Wulan.
"Hup...!"
Bayu cepat-cepat melompat mundur, seraya
berputaran beberapa kali di udara. Entah apa
yang terjadi, tiba-tiba saja bagian atas tonggak ba-tu itu berguguran, ketika
Bayu menyentuhkan jari tangannya tadi. Suara menggemuruh terdengar
begitu keras. Bumi terasa bergetar, begitu batu-
batu yang berguguran menghantam permukaan
bumi. "Phuuuh...!" Bayu mendenguskan nafasnya begitu menjejakkan kakinya kembali di
tanah. Debu mengepul di sekitar tonggak batu itu.
Tampak batu-batu yang berguguran bertumpuk
menjadi satu. Dan baru saja Pendekar Pulau Ne-
raka melangkah dua tindak ke depan, tiba-tiba sa-ja puluhan anak panah
berhamburan dari arah
depan. "Hup! Yeaaah...!"
Bayu langsung melenting ke udara. Tubuhnya
berputaran beberapa kali sambil cepat menge-
butkan tangan untuk menyampok anak-anak pa-
nah yang berhamburan di sekitarnya. Berpuluh-
puluh, atau bahkan ratusan anak panah berham-
buran menghujani tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Tapi, tak ada satu pun yang berhasil menge-
nainya. Dengan gerakan manis sekali, Pendekar
Pulau Neraka kembali menjejakkan kakinya di ta-
nah. "Kau tidak apa-apa, Tiren?" tanya Bayu sambil menepuk monyet kecil yang masih
nangkring di pundak kanannya.
"Nguk!" Tiren menyahuti dengan mengangguk-
kan kepala. Bayu menatap tajam tonggak batu kembar
yang kini sudah menjadi tumpukan-tumpukan
bongkahan batu. Perlahan kakinya kembali te-
rayun. Sementara, Ratna Wulan berdiri mengawasi
dari jarak yang agak jauh. Tak ada lagi serangan jebakan yang dihadapi, sampai
Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di atas tumpukan bongkahan
batu itu. Pandangannya beredar berkeliling. Ke-
ningnya jadi berkerut, begitu melihat sebuah mu-
lut gua berukuran kecil tersembunyi di balik ge-
rumbul semak belukar.
"Hup...!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pen-
dekar Pulau Neraka melompat mendekati mulut
gua kecil yang berada tidak jauh dari balik tonggak batu kembar yang kini
tinggal onggokan tum-
pukan batu. Dengan sekali lompat saja, Pendekar
Pulau Neraka sampai di depan mulut gua.
Bayu mengambil sebatang kayu yang cukup
panjang ukurannya. Dan dengan kayu itu, semak
yang menutupi mulut gua ini disibaknya. Tak ada
sesuatu yang ditemukan. Perlahan-lahan Pende-
kar Pulau Neraka melangkah mendekati mulut
gua itu. Kepalanya kemudian dijulurkan ke dalam.
Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar begitu melihat ke dalam gua, yang
ternyata tidak seberapa besar dan juga tidak dalam.
"Kau temukan sesuatu, Kakang...?" teriak Ratna Wulan bertanya.
"Ke sinilah cepat, Wulan!" panggil Bayu, agak keras suaranya.
Ratna Wulan bergegas melangkah hendak
menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu
berlompatan ringan melewati tumpukan bongka-
han batu. Kemudian dengan sekali lompatan rin-
gan, dia sudah berada di samping Bayu.
"Coba lihat ke dalam gua ini," ujar Bayu.
Ratna Wulan menjulurkan kepala ke dalam
gua, tapi tak lama sudah ditarik kembali. Dipan-
danginya Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam,
seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dili-
hatnya barusan di dalam gua itu.
"Sebaiknya kita masuk ke dalam sana, Wulan,"
kata Bayu. Ratna Wulan hanya mengangguk saja. Kemu-
dian mereka melangkah memasuki gua yang tidak
begitu besar ini. Mulut gua yang kecil, dan hanya bisa dilewati satu orang. Dan
itu pun harus me-rendahkan badan agar tidak terantuk atap mulut
gua ini. Mereka tidak ada yang bicara, meskipun
sudah berada di dalam gua. Apa yang disaksikan
di dalam gua, memang sukar bisa dipercaya. Se-
dangkan Ratna Wulan sudah begitu yakin kalau
guratan gambar di kulit kayu itu menunjukkan
tempat penyimpanan harta yang memang terletak
di sini. Tapi kenyataannya....
"Mustahil...," desis Ratna Wulan seperti tidak percaya.
*** Memang tidak ada yang bisa didapatkan di da-
lam gua ini, kecuali tumpukan peti-peti kayu ko-
song. Sedangkan harta itu sama sekali tidak ada
di dalam gua ini. Setiap peti yang ada di dalam
gua itu diperiksa. Bahkan setiap jengkal dinding dan lantai sudah di-amati. Kini
sudah tak ada lagi petunjuk di dalam gua ini. Dan peti-peti itu sudah jelas
bekas tempat harta yang selama ini selalu di-ributkan.
"Kakang, coba ke sini...," kata Ratna Wulan ti-
ba-tiba. Bayu bergegas menghampiri Ratna Wulan yang
tengah berdiri tegak memandang ke dinding gua
batu ini. Kening Bayu jadi berkerut saat melihat dinding batu gua ini ternyata
terdapat guratan-guratan seperti sebuah gambar. Bayu menghampi-
ri, dan membersihkan batu-batu itu dari lumut
yang melekat tebal. Kini guratan-guratan itu terlihat lebih jelas lagi.
Tuk! Tuk! Tuk...!
Bayu mengetuk batu yang terdapat guratan
gambar itu. Kemudian langsung ditatapnya Ratna
Wulan, yang juga memandangnya penuh arti. Dari
suaranya sudah bisa dipastikan kalau di balik ba-tu ini tentu berongga. Bayu
melangkah mundur
perlahan dua tindak. Sebentar perhatiannya dipu-
satkan, dan seluruh kekuatan tenaga dalamnya
dikerahkan. Lalu perlahan-lahan tangannya ter-
kepal, dan terangkat sampai sebatas pinggang.
Sambil menarik napas dalam-dalam, kemudian....
"Hiyaaa...!"
Brak! Hanya satu kali pukulan saja, dinding batu
gua itu hancur berkeping-keping. Dan memang, di
balik batu itu terdapat sebuah rongga yang tidak begitu besar. Di dalamnya,
ternyata hanya ada sebuah peti kayu yang kelihatannya sudah lapuk
dimakan rayap. Bayu mengambil peti itu, dan di-
bawanya pada Ratna Wulan.
"Apa isinya, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Entahlah. Sebaiknya, kita buka saja," sahut Bayu.
Pendekar Pulau Neraka membolak-balik peti
itu. Tak ada tutupnya sama sekali. Kemudian pu-
kulannya dihantamkan ke peti kayu itu hingga
hancur berkeping-keping. Dan di dalam peti itu
hanya ditemukan sebuah bambu yang diserut ha-
lus, serta terikat pita berwarna merah. Bayu sege-ra membuka tutup selongsong
bambu itu. Dari da-
lamnya didapatkan selembar daun lontar bertu-
liskan beberapa kalimat berwarna kuning keema-


Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

san. "Aku tahu, ini tulisan ayah, Kakang," kata Ratna Wulan.
"Coba kau baca, Wulan," pinta Bayu seraya menyerahkan lembaran daun lontar itu.
Sebentar Ratna Wulan menatap Bayu. Lalu di-
ambilnya lembaran daun lontar itu. Kini pandan-
gannya mulai diarahkan pada tulisan yang tertera di sana.
"Kalian tidak akan menemukan harta di sini.
Aku sudah menyerahkannya pada Gusti Adipati
Talagan," Ratna Wulan membaca baris-baris kalimat yang tertera pada daun lontar
itu. Bayu tampak mengerutkan kening, sambil
mendengarkan penuh perhatian.
"Oh, Kakang...," desah Ratna Wulan terharu.
Bayu langsung merengkuh gadis itu dan me-
meluknya dengan hangat. Ratna Wulan menyem-
bunyikan wajahnya di dada pemuda tampan yang
bidang dan agak berbulu. Beberapa saat mereka
berpelukan. Memang, pencarian harta yang dila-
kukan tidak membawa hasil. Tapi mereka bahagia,
karena ternyata Ki Wanasa mengembalikan harta
itu pada yang berhak.
"Aku tidak mengerti semua yang dilakukan
ayah, Kakang," ujar Ratna Wulan setelah melepaskan pelukan Pendekar Pulau
Neraka. "Dari yang kudengar, tindakan Ki Wanasa
memang sulit diterka," sahut Bayu, terdengar perlahan suaranya.
'Tapi...," suara Ratna Wulan terputus.
Gadis itu kelihatan ragu-ragu kalau ayah ang-
katnya telah mengembalikan harta itu pada Adipa-
ti Talagan. Dia tahu betul segala watak ayah angkatnya itu. Rasanya, tidak
mungkin kalau Ki Wa-
nasa mengembalikannya. Sedangkan sakit hatinya
tidak bakal tertembus terhadap Adipati Talagan.
"Ada apa, Wulan" Sepertinya kau ragu-ragu...,"
ujar Bayu bisa menebak keraguan gadis ini.
"Aku kenal betul, siapa ayah angkatku itu, Kakang. Aku tidak percaya kalau harta
itu sudah dikembalikan lagi. Sedangkan kau tahu, ayah begitu sakit hati.
Sehingga semua ini dilakukannya untuk membalas sakit hatinya terhadap Adipati
Talagan, yang mendepaknya begitu saja. Padahal ayah
hanya melakukan satu kesalahan kecil yang sama
sekali tidak diinginkan semua orang," kata Ratna Wulan.
"Jadi, kau beranggapan kalau harta itu masih ada, Wulan?"
'Tepat. Kalau sudah dikembalikan untuk apa
Adipati Talagan terus mencarinya, Kakang.?"
"Hm.... Kau benar, Wulan. Adipati Talagan
memang masih mencari hartanya itu sampai seka-
rang. Memang, rasanya tidak mungkin kalau su-
dah dikembalikan, lalu terus mencari lagi," ujar Bayu, agak menggumam suaranya.
"Hanya yang ku herankan, kenapa ayah menu-
lis surat ini, Kakang...?" ujar Ratna Wulan bertanya lagi.
"Mungkin surat itu dimaksudkan untuk Lima
Setan dari Barat, Wulan," sahut Bayu.
"Ya, mungkin juga," desah Ratna Wulan perlahan.
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan?" tanya Bayu.
"Apa lagi..." Kita sudah menemukan tempat-
nya. Dan harta itu tidak ada lagi di sini," sahut Ratna Wulan, agak mendesah
suaranya. Mereka kembali terdiam tak bicara lagi. Me-
mang, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Dan mereka menyadari, seorang pun
tidak mungkin lagi
bisa menemukan harta yang tersimpan itu, kecuali Ki Wanasa sendiri. Sedangkan Ki
Wanasa sudah tewas di tangan Lima Setan dari Barat. Kecil sekali kemungkinan bagi mereka
untuk menemukan
harta itu. "Sebaiknya, kita pergi saja dari sini, Kakang,"
ajak Ratna Wulan setelah cukup lama mereka
berdiam diri. "Kau tidak ingin meneruskan lagi?" pancing Bayu.
Ratna Wulan hanya menggelengkan kepala sa-
ja. "Lalu...?"
"Aku ingin mencari orang tua kandungku saja.
Tidak ada lagi tempat untukku, Kakang. Mungkin
aku akan terus mengembara sampai bertemu
orang tua kandungku. Atau mungkin sampai ajal
ku tiba," sahut Ratna Wulan, agak perlahan suaranya.
Bayu menepuk pundak gadis itu, kemudian
mengajaknya melangkah keluar dari dalam gua.
Mereka tidak lagi berbicara, dan terus melangkah ke luar gua. Tapi begitu berada
di luar, mendadak saja....
"He he he...!"
"Oh..."!"
*** Mereka terkejut bukan main begitu melihat
Lima Setan dari Barat tiba-tiba sudah ada di de-
pan gua ini. Entah dari mana mereka tahu tempat
ini. Dan lagi, kedatangannya sama sekali tidak di-ketahui.
"Bagaimana kalian bisa tahu tempat ini...?"
tanya Bayu, agak kaget juga atas kemunculan Li-
ma Setan dari Barat.
'Tidak sulit, Pendekar Pulau Neraka," sahut Setan Jubah Hitam. "Aku tahu, kalian
memiliki petunjuk tempat penyimpanan harta itu. Dan kami
tentu saja mengikuti kalian sampai ke tempat ini.
He he he...!"
"Kalian benar-benar licik...!" desis Ratna Wulan jadi geram.
"Bukannya licik, Cah Ayu. Tapi pakai ini...,"
Setan Jubah Hitam menunjuk keningnya sendiri.
"Lagi pula, untuk apa kami susah-susah men-
cari kalau petunjuk jalannya sudah ada," sambung Setan Jubah Merah.
"Baiklah...," selak Bayu. "Sekarang kita semua sudah ada di sini. Lalu, apa yang
ingin kalian lakukan?"
"Ha ha ha...! Kau benar-benar bodoh, Pendekar Pulau Neraka. Tentu saja kami
ingin mengambil
harta itu sekarang!" sahut Setan Jubah Hitam.
"Harta itu tidak ada lagi di sini," tegas Bayu.
"Jangan coba-coba mempermainkan Lima Se-
tan dari Barat, Bocah!" sentak Setan Jubah Biru lantang.
"Aku tidak main-main. Harta itu memang tidak ada lagi. Kalian boleh lihat
sendiri," kata Bayu kalem. Setelah berkata demikian, Bayu menarik tan-
gan Ratna Wulan, dan mengajaknya menyingkir
dari mulut gua itu. Lima Setan dari Barat itu saling berpandangan beberapa saat.
Kemudian, Setan
Jubah Kuning bergegas melangkah menuju ke
gua. Sebentar matanya melirik Bayu dan Ratna
Wulan yang sudah menyingkir agak jauh dari mu-
lut gua itu. Setan Jubah Kuning bergegas masuk
ke dalam gua itu, tapi tak berapa lama kemudian
sudah keluar lagi dengan wajah kelihatan meme-
rah. "Bagaimana...?" tanya Setan Jubah Hitam langsung.
"Kosong," sahut Setan Jubah Kuning mendengus kesal.
"Setan keparat...!" geram Setan Jubah Hitam, langsung memuncak amarahnya.
Sementara, Bayu hanya tersenyum saja. Se-
dangkan Ratna Wulan mencibir sinis melihat lima
orang tua itu tampak marah melihat gua itu dalam keadaan kosong. Mereka langsung
berserabutan masuk ke dalam gua, seakan-akan tidak percaya
kalau harta yang selama ini dicari sudah tidak ada lagi di sana. Mereka benar-
benar melupakan ke-hadiran kedua pendekar muda itu.
"Apakah sebaiknya dendam kita dilampiaskan
sekarang, Kakang," bisik Ratna Wulan begitu Lima Setan dari Barat sudah
tenggelam dalam gua.
'Tentu saja. Aku memang harus ingin mem-
buat perhitungan dengan mereka," sahut Bayu.
"Kalau begitu, kenapa gua itu tidak dihancurkan saja, Kakang" Biar mereka
terkubur hidup-
hidup di sana," kata Ratna Wulan langsung berang.
"Aku tidak pernah melakukan perbuatan pen-
gecut, Wulan. Aku akan menantangnya secara
terbuka. Tapi aku yakin, belum ditantang pun,
mereka pasti akan melampiaskan kemarahan pada
kita berdua," kata Bayu lagi.
Pada saat itu Lima Setan dari Barat sudah
kembali bermunculan dari dalam gua. Mereka
langsung menghampiri Bayu dan Ratna Wulan
yang sejak tadi masih menunggu di tempatnya.
Wajah mereka masing-masing kelihatan memerah,
seperti menyimpan kemarahan yang meluap-luap
dan hampir tak tertahankan lagi.
"Kalian pasti menyembunyikannya," desah Setan Jubah Hitam. "Katakan, di mana
harta itu..."!"
"Untuk apa harta bagi kami, Kisanak" Kami
hanya para pengembara yang tidak membutuhkan
harta sebanyak itu. Kalaupun kami temukan tadi,
pasti akan dikembalikan kepada yang berhak," sahut Bayu kalem.
"Setan belang...! Kau benar-benar bocah keparat, Pendekar Pulau Neraka!" geram
Setan Jubah Hitam semakin memuncak amarahnya.
"Harta itu bukan milik siapa-siapa, tapi milik seluruh rakyat Kadipaten Talagan.
Jadi tidak ada di antara kita semua yang berhak memilikinya,"
tegas Bayu, tetap kalem suaranya.
"Phuih! Kau memang pandai berbicara, Pende-
kar Pulau Neraka. Tapi aku ingin tahu, apa kau
juga pandai mempertahankan hidupmu!" dengus Setan Jubah Merah.
"Kalau tidak, mana mungkin aku masih hidup
sekarang...?"
"Keparat...! Mampus kau, Bocah! Hiyaaat...!"
Setan Jubah Merah tidak bisa lagi menahan
kemarahannya yang sudah meluap dalam dada.
Bagaikan kilat, dia melompat menerjang Pendekar
Pulau Neraka. Tongkatnya yang berwarna merah
dan berujung runcing, langsung dikebutkan ke
arah tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Uts...!"
*** 8 Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka menarik
tubuhnya ke belakang, sehingga kebutan tongkat
Setan Jubah Merah manis sekali berhasil dielak-
kan. Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan
kembali, Setan Jubah Merah sudah kembali mela-
kukan serangan cepat dan dahsyat luar biasa.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Setan Jubah Merah melepaskan
satu pukulan menggeledek yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah perut
Pendekar Pulau Neraka. Tapi kali ini pun Bayu
berhasil menghindarinya dengan meliukkan tu-
buhnya begitu indah sekali.
Pada saat itu, Setan Jubah Putih dan Setan
Jubah Biru sudah berlompatan menyerang Ratna
Wulan. Lalu, disusul Setan Jubah Hitam dan Se-
tan Jubah Kuning yang membantu Setan Jubah
Merah menyerang Pendekar Pulau Neraka.
Pertarungan memang tidak dapat dihindari la-
gi. Dan memang seperti yang dikatakan Bayu, ti-
dak perlu menantang pun, Lima Setan dari Barat
itu pasti akan memulai pertarungan ini.
"Gunakan pedangmu, Wulan...!" teriak Bayu yang masih sempat memperhatikan
pertarungan yang dilakukan Ratna Wulan.
"Baik...!" sahut Ratna Wulan. "Hiyaaat.. !"
Seketika itu juga Ratna Wulan melenting ke
udara dengan cepat sekali. Dan sambil melakukan
beberapa kali putaran di udara, gadis itu cepat
mencabut Pedang Api. Seketika itu juga, cahaya
api yang memancar dari pedang itu terasa menye-
barkan hawa panas yang begitu menyesakkan da-
da. "Yeaaah...!"
Bagaikan seekor burung elang, Ratna Wulan
meluruk deras ke arah Setan Jubah Biru. Cepat
sekali gadis itu mengebutkan pedangnya beberapa
kali. Akibatnya Setan Jubah Biru jadi kelabakan menghindarinya. Dengan Pedang
Api di tangan, Ratna Wulan memang benar-benar luar biasa. Ge-
rakan-gerakannya jadi bertambah cepat. Dan ke-
kuatannya pun berlipat ganda. Sehingga, gadis itu jadi seperti sosok malaikat
maut yang hendak
mencabut nyawa kedua lawannya ini.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ratna
Wulan berputaran sambil mengebutkan pedang-
nya dengan kecepatan sungguh luar biasa. Yang
diserang bukan hanya Setan Jubah Biru, tapi juga Setan Jubah Putih yang ikut
mengeroyoknya. Gerakan-gerakan yang dilakukan Ratna Wulan me-
mang sungguh luar biasa, sehingga dua orang tua
itu benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Bah-
kan mereka hanya bisa berjumpalitan menghinda-
ri setiap serangan yang dilancarkan gadis cantik berbaju merah muda ini.
Sementara itu di tempat lain, Bayu semakin
sibuk menghadapi tiga orang lawan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
Sama sekali Pendekar Pulau Neraka tidak memiliki kesempatan untuk
menggunakan senjatanya. Karena, lawan-
lawannya ini seperti mengetahui kedahsyatan sen-
jata Cakra Mautnya. Maka mereka terus mende-
sak dengan hebat.
"Nguk! Craaaikh...!"
Tiba-tiba saja monyet kecil yang berada di
pundak kanan Pendekar Pulau Neraka melompat
cepat. Padahal saat itu Bayu tengah melenting ke
udara untuk menghindari tebasan tongkat Setan
Jubah Kuning yang mengarah ke kakinya. Lalu
dengan gerakan ringan sekali, monyet kecil yang
biasa dipanggil Tiren itu melompat cepat ke arah Setan Jubah Merah.
"Heh..."!"
Setan Jubah Merah jadi terkejut setengah ma-
ti. Bet! Buru-buru tongkatnya dikebutkan ke arah
monyet kecil itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Tiren bisa menghindari kebutan
tongkat itu dengan gerakan indah. Dan binatang itu cepat melesat ke atas kepala
Setan Jubah Merah. Gerakannya
cepat luar biasa, sehingga Setan Jubah Merah terpaksa melompat ke belakang
beberapa tindak


Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghindari terkaman monyet kecil berbulu hitam
itu. Ringan sekali Tiren mendarat di tanah, dan
langsung berjingkrakan sambil mencerecet ribut,
seperti menantang Setan Jubah Merah. Tingkah
monyet kecil itu membuat Setan Jubah Merah jadi
geram setengah mati. Lalu cepat sekali tongkatnya dikebutkan beberapa kali ke
arah monyet itu. Tapi dengan gerakan begitu ringan, Tiren berlompatan
menghindari setiap sabetan tongkat Setan Jubah
Merah. "Monyet keparat...!" geram Setan Jubah Merah berang.
"Nguk! Nguk...!'"
*** Setan Jubah Merah benar-benar merasa di-
permainkan monyet kecil ini. Tongkatnya terus dikebutkan dengan kecepatan bagai
kilat, disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, Tiren me-
mang bukan monyet biasa. Gerakan-gerakannya
sungguh ringan bagai kapas. Tubuhnya berjumpa-
litan indah sekali menghindari setiap kebutan
tongkat orang tua berjubah merah itu.
"Nguk! Nguk! Khraaakh...!"
Tiba-tiba saja Tiren melenting ke udara sambil
menghindari tebasan tongkat Setan Jubah Merah.
Dan tanpa diduga sama sekali, monyet kecil ber-
bulu hitam itu meluruk deras ke arah kepala Se-
tan Jubah Merah. Begitu cepat gerakannya, se-
hingga Setan Jubah Merah tidak sempat lagi
menghindar. Dan....
"Khraaakh...!"
Bres! "Aaa...!" Setan Jubah Merah menjerit melengking tinggi.
Begitu cepat gerakan tangan kecil monyet itu,
hingga Setan Jubah Merah tidak dapat lagi melin-
dungi matanya. Darah seketika muncrat begitu
tangan Tiren berhasil menembus bolamata orang
tua berjubah merah itu.
Setan Jubah Merah menggerung-gerung sam-
bil menutupi wajahnya yang berlumuran darah.
Pada saat itu, Tiren sudah melompat kembali.
Langsung diterkamnya tengkuk orang tua berju-
bah merah itu. Gigi-giginya yang runcing tampak
menghunjam dalam ke tengkuk Setan Jubah Me-
rah. "Aaakh...!" lagi-lagi Setan Jubah Merah menjerit melengking.
Setan Jubah Merah mengebutkan tangan ke
belakang, tapi Tiren sudah lebih cepat menghindar dengan melompat turun dari
tengkuknya. Cepat
sekali Tiren melompat naik ke pohon kelapa, lalu terus merayap tinggi hingga
sampai ke puncaknya.
Dan tak berapa lama kemudian, butir-butir buah
kelapa sudah berjatuhan menimpa Setan Jubah
Merah yang masih merasakan sakit pada matanya
yang bolong tertembus tangan monyet kecil berbu-
lu hitam itu. Setan Jubah Merah jadi kelabakan
setengah mati, begitu Tiren menghujaninya den-
gan butir-butir kelapa dari atas pohon.
"Monyet keparat..! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
Setan Jubah Merah benar-benar marah luar
biasa. Cepat sekali tubuhnya melesat ke udara
mengejar Tiren yang berada di atas puncak pohon
kelapa. Tapi gerakan Setan Jubah Merah jadi ter-
hambat karena Tiren cepat sekali menghujaninya
dengan buah-buah kelapa. Hingga akhirnya....
"Akh...!"
Satu butir buah kelapa tidak bisa dihindari Se-
tan Jubah Merah. Kelapa itu tepat menghantam
kepalanya, hingga menimbulkan suara berderak
keras. Seketika itu juga tubuh Setan Jubah Merah meluncur deras ke bawah, dan
terbanting begitu
keras di tanah. Setan Jubah Merah menggerung-
gerung dan menggelepar di tanah. Tampak darah
mengucur deras dari kepalanya yang retak akibat
ditimpuk kelapa oleh Tiren tadi.
Sementara itu, Tiren sudah merosot turun dari
pohon kelapa ini. Langsung dihampirinya Setan
Jubah Merah yang masih menggelepar mengge-
rung-gerung di bawah pohon kelapa itu. Tiren
mengambil tongkat merah berujung runcing yang
tergeletak di tanah, tidak jauh dari Setan Jubah Merah. Lalu, tiba-tiba saja
monyet kecil itu melompat dan meluruk deras sambil menghunjam-
kan ujung tongkat itu ke arah dada Setan jubah
Merah. Tak pelak lagi, Setan Jubah Merah harus
rela merasakan senjatanya sendiri menghunjam
dadanya. "Aaakh...!" Setan Jubah Merah menjerit keras melengking tinggi.
Jeritan Setan Jubah Merah tentu saja menge-
jutkan mereka yang sedang bertarung. Lebih ter-
kejut lagi, begitu melihat Setan Jubah Merah terkapar berlumuran darah dengan
tongkatnya sen-
diri menghunjam dalam di dadanya. Sedangkan
seekor monyet kecil berdiri di atas tubuh orang
tua berjubah merah itu.
"Bagus, Tiren...!" seru Bayu memuji tulus.
"Nguk! Khraaakh...!"
Tiren berjingkrakan senang sambil mencerecet
ribut di atas tubuh Setan Jubah Merah yang su-
dah terkapar tak bernyawa lagi. Untuk sesaat, pertarungan jadi terhenti. Lima
Setan dari Barat yang kini tinggal empat orang lagi, seperti tidak percaya kalau
Setan Jubah Merah bisa tewas oleh seekor
monyet kecil yang kelihatannya lemah.
*** Tapi keterpanaan mereka hanya sebentar saja.
Memang, kematian Setan Jubah Merah membuat
mereka semakin bertambah berang saja. Maka
mereka langsung berlompatan menyerang lawan
masing-masing. Pada saat itu, Bayu yang sudah
memiliki kesempatan untuk menggunakan Cakra
Maut. Maka cepat tubuhnya merunduk agak mir-
ing ke kiri, lalu menarik kakinya hingga terentang lebar ke samping. Dan begitu
tangan kanannya ditarik ke depan dada, secepat itu pula dikebutkan ke depan.
"Yeaaah...!"
Wusss...! Cakra Maut yang sejak tadi menempel di per-
gelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
seketika melesat cepat ke arah Setan Jubah Kun-
ing yang saat itu tengah melayang di udara.
"Heh..."!"
Setan Jubah Kuning jadi terkejut setengah ma-
ti melihat Cakra Maut meluncur deras bagai kilat ke arahnya. Dan secepat kilat
pula tongkatnya dikebutkan hendak menyampok senjata maut Pen-
dekar Pulau Neraka. Tapi pada saat yang bersa-
maan, Bayu menghentakkan tangan kanannya.
Sehingga, tiba-tiba saja Cakra Maut bisa berubah arah sambil meluncur deras
seperti kilat. Tebasan tongkat Setan Jubah Kuning jadinya hanya mengenai angin
saja,. Bahkan matanya semakin terbe-
liak, karena Cakra Maut terus meluncur ke arah-
nya begitu cepat luar biasa. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar.
Sehingga... Sing...! Crab! "Aaakh...!" Setan Jubah Kuning menjerit keras melengking tinggi.
Dia langsung terpental ke belakang. Tubuhnya
keras sekali menghantam tanah, dan bergulingan
beberapa kali. Setan Jubah Kuning menggelepar
sambil mengerang meregang nyawa. Darah men-
gucur deras dari dadanya yang berlubang tertem-
bus Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau
Neraka tadi. Senjata cakra berbentuk bintang segi enam dan berwarna putih
keperakan itu, kembali
melesat balik begitu Bayu menghentakkan tan-
gannya ke atas kepala. Lalu, senjata itu kembali menempel di pergelangan
Pendekar Pulau Neraka.
Pada saat yang hampir bersamaan, Ratna Wu-
lan tampak mengebutkan pedangnya yang me-
mancarkan api ke arah dada Setan Jubah Putih.
Begitu cepat kibasan pedangnya, sehingga Setan
Jubah Putih tidak bisa lagi menghindari. Dan....
Cras! "Aaakh...!" Setan Jubah Putih menjerit melengking.
Darah langsung muncrat dari dadanya yang
terbelah Pedang Api yang ditebaskan kuat sekali
oleh Ratna Wulan. Setan Jubah Putih terhuyung-
huyung ke belakang sambil mendekap dadanya
yang terbelah mengucurkan darah.
Tewasnya Setan Jubah Merah oleh monyet ke-
cil berbulu hitam bernama Tiren itu memang
mempengaruhi empat orang tua yang dikenal ber-
juluk Lima Setan dari Barat itu. Mereka jadi kehilangan kepercayaan diri. Maka
akibatnya, perta-
hanan mereka benar-benar goyah, hingga dalam
waktu tidak berapa lama saja dua orang lagi su-
dah terjungkal tewas.
Kini Bayu dan Ratna Wulan tinggal mengha-
dapi masing-masing satu orang lawan. Dan tam-
paknya dua orang tua itu sudah mulai merasa
gentar. Buktinya mereka tampak hanya berdiri sa-
ja memandangi lawan masing-masing. Dan tiba-
tiba saja.... "Hup! Hiyaaat..!"
Setan Jubah Biru yang sudah menyadari tidak
bakal unggul lagi, bermaksud melarikan diri. Dia langsung melompat cepat sekali.
"Jangan lari kau, Pengecut! Hiyaaa...!"
Bayu yang melihat hal itu langsung menghen-
takkan tangan kanannya ke arah Setan Jubah Bi-
ru. Bersamaan dengan itu, Ratna Wulan juga me-
lemparkan pedangnya disertai pengerahan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya yang cukup tinggi. Se-
hingga.... Crab! Bres! "Aaa...!"
Setan Jubah Biru langsung terpelanting ke ta-
nah begitu Cakra Maut dan Pedang Api menghun-
jam punggungnya. Dan begitu bayu menghentak-
kan tangan kanannya ke atas kepala, Ratna Wu-
lan sudah melompat menghampiri Setan Jubah
Biru yang langsung tergeletak tak bernyawa lagi.
Ratna Wulan segera mencabut pedangnya, bersa-
maan melesatnya Cakra Maut dari punggung
orang tua berjubah biru itu. Cakra Maut kembali
menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka. Sedangkan Ratna Wulan langsung me-
langkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka
yang berdiri tegak menatap tajam pada Setan Ju-
bah Hitam. "Tinggal kau sendiri, Setan Jubah Hitam. Kau yang bertanggung jawab atas
kematian ayahku...!"
desis Ratna Wulan, begitu dingin nada suaranya.
Saat itu, Tiren sudah melompat naik ke pun-
dak kanan Bayu. Monyet kecil berbulu hitam itu
kembali nangkring di pundak Pendekar Pulau Ne-
raka ini lagi. Sementara, Setan Jubah Hitam me-
mandangi Bayu dan Ratna Wulan secara bergan-
tian. Jelas sekali sinar matanya memancarkan ke-
gentaran yang memang telah menyelimuti hatinya,
melihat ketangguhan dua orang pendekar muda
ini. Dan dia kini benar-benar sendiri sekarang.
"Arwah ayahku akan senang jika kau mati di
tanganku, Setan Jubah Hitam," desis Ratna Wulan lagi, tetap dingin nada
suaranya. Perlahan Ratna Wulan melangkah ke depan
mendekati laki-laki tua berjubah hitam itu. Se-
dangkan Bayu masih tetap berdiri tegak, dengan
kedua tangan terlipat di depan dada. Sementara,
Ratna Wulan sudah berdiri sekitar lima langkah
lagi di depan Setan Jubah Hitam. Perlahan-lahan
pedangnya yang memancarkan api itu diangkat.
Lalu, ujung pedangnya diarahkan lurus ke dada
Setan Jubah Hitam. Pada saat itu, Setan Jubah
Hitam sudah menyilangkan tongkatnya di depan
dada. Memang tidak ada lagi pilihan bagi Setan Ju-
bah Hitam, selain terus bertarung mempertahan-
kan nyawa. Meskipun hatinya semakin dalam dili-
puti kegentaran. Keheningan begitu terasa mence-
kam suasana di sekitar tepian danau ini. Hingga
desir angin yang berhembus begitu lembut, terasa jelas bermain di depan telinga.
"Mampus kau sekarang, Keparat! Hiyaaat...!"
Cepat sekali Ratna Wulan melompat, dan men-
gibaskan pedangnya ke arah leher Setan Jubah
Hitam. "Hait...!"
Setan Jubah Hitam cepat-cepat menghentak-
kan .tongkatnya, menyampok pedang yang me-
mancarkan api untuk melindungi lehernya. Tak
pelak lagi, dua senjata yang berlainan bentuk itu beradu keras tidak jauh dari
leher Setan Jubah
Hitam. Trak! "Heh..."!"
Setan Jubah Hitam jadi terkejut setengah mati.
Tongkat yang menjadi kebanggaannya selama ini,
tiba-tiba saja terpenggal jadi dua bagian, begitu berbenturan dengan Pedang Api
di tangan Ratna
Wulan. "Hup...!"
Buru-buru Setan Jubah Hitam melompat ke
belakang beberapa tindak, tapi Ratna Wulan tidak mau membiarkannya. Dengan cepat
sekali gadis itu kembali melesat. Pedangnya langsung dike-
butkan begitu kuat, disertai pengerahan tenaga


Pendekar Pulau Neraka 31 Lima Setan Dari Barat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam tinggi. "Hiyaaat...!"
Bet! "Uts...!"
Setan Jubah Hitam cepat-cepat memiringkan
tubuhnya, menghindari tebasan pedang gadis itu.
Namun belum juga bisa menegakkan tubuhnya
kembali, mendadak saja Ratna Wulan sudah me-
lepaskan satu tendangan keras menggeledek yang
begitu cepat luar biasa. Sehingga, Setan Jubah Hitam yang memang sudah gentar,
jadi tidak bisa
menghindari tendangan itu.
Desss! "Akh...!"
Setan Jubah Hitam terpental ke belakang begi-
tu tendangan Ratna Wulan bersarang telak di da-
danya. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di ta-
nah, dan cepat-cepat melompat bangkit berdiri.
Tapi belum juga bisa berdiri tegak, tiba-tiba saja Ratna Wulan sudah kembali
melancarkan satu serangan kilat yang begitu cepat sekali.
"Hiyaaat..!"
Setan Jubah Hitam hanya mampu terbeliak
saja begitu Pedang Api berkelebat cepat di depan lehernya. Dan sebelum sempat
berbuat sesuatu,
pedang yang memancarkan api itu sudah lewat
cepat sekali. Sedikit pun tak ada suara yang terdengar. Setan Jubah Hitam
berdiri tegak seperti
patung dengan mata terbeliak lebar dan mulut
ternganga. Sementara, Ratna Wulan sudah melompat
mundur beberapa tindak. Gadis itu cepat mema-
sukkan Pedang Api ke dalam warangka di pung-
gung. Pada saat cahaya api dari pedang itu meng-
hilang, tampak tubuh Setan Jubah Hitam jadi
limbung. Lalu, tubuhnya ambruk di tanah dengan
kepala terpisah menggelinding dari leher. Darah
langsung menyembur dari leher yang buntung tak
berkepala lagi. Sedikit pun tak ada gerakan. Setan Jubah Hitam langsung tewas
seketika itu juga.
"Hhh...!" Ratna Wulan menghembuskan napas panjang.
Bayu melangkah menghampiri gadis itu, dan
berdiri di sampingnya. Tangannya kemudian di-
lingkarkan di pundak gadis ini. Ratna Wulan me-
noleh, menatap wajah tampan Pendekar Pulau Ne-
raka itu. Entah kenapa, mereka sama-sama men-
gembangkan senyum.
"Kita pergi sekarang, Wulan...?" ujar Bayu lembut.
Ratna Wulan hanya menganggukkan kepala
saja. "Kau bersedia menemani mencari orang tua
kandungku, Kakang?" tanya Ratna Wulan seperti ingin meyakinkan diri.
'Tentu saja," sahut Bayu seraya melangkah
meninggalkan tepian danau itu. "Asal kau tidak lagi berharap menemukan harta
itu, Wulan."
"Aku tidak peduli lagi, Kakang. Biarkan saja menjadi harta terpendam. Siapa pun
orangnya yang menemukan, biar menjadi miliknya," sahut Ratna Wulan mantap.
Bayu mengangkat pundaknya. Mereka terus
berjalan sambil bergandengan tangan menyusuri
tepian danau yang luas ini. Mereka sama-sama
menyadari kalau tidak ada gunanya lagi mencari
harta yang disembunyikan Ki Wanasa. Berapa pun
banyaknya, tidak dipedulikan lagi. Karena, me-
mang tidak ada lagi petunjuk untuk menemukan
harta itu. Ki Wanasa sudah memindahkannya ke
tempat yang tak ada se-orang pun mengetahuinya.
Dan memang, harta itu benar-benar menjadi harta
terpendam. "Kakang, apakah kita akan selalu jalan bersa-ma seperti ini?" tanya Ratna Wulan.
Jika Hyang Widi menghendaki," sahut Bayu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Dewi Lintah 2 Gento Guyon 19 Dewa Sinting Tujuh Tumbal Perawan 2
^