Lingkaran Rantai Setan 1
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan Bagian 1
LINGKARAN RANTAI SETAN
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Lingkaran Rantai Setan
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Di pagi buta yang seharusnya hening, tiba-
tiba pecah oleh suara jeritan melengking tinggi.
Tidak berapa lama kemudian terdengar suara-
suara teriakan orang bertarung, disertai denting senjata beradu. Tapi suara
pertarungan itu hanya sebentar. Lalu pertarungan itu pun berhenti,
disusul terdengarnya jeritan melengking tinggi
yang kemudian tenggelam terbawa angin pagi.
Pagi yang masih gelap gulita itu seketika jadi
terang benderang oleh cahaya pelita dan obor
yang dinyalakan dari rumah-rumah.
Sebentar saja sudah banyak orang berlarian
dari dalam rumahnya masing-masing, menuju
ke arah datangnya suara tadi. Mereka berhenti di depan sebuah rumah yang tampak
rusak. Bahkan pada bagian belakangnya terbakar. Api
cepat membesar melahap rumah yang terbuat
dari kayu itu. Tampak seseorang berlari keluar
dengan terhuyung-huyung, dan langsung jatuh
begitu sampai di luar. Orang yang memadati
sekitar rumah itu langsung bergerak menolongnya. "Jruda...! Apa yang terjadi?" tanya seorang laki-laki setengah baya dan berkumis
tebal hampir menutupi bibirnya. Lengannya menopang tubuh pemuda berusia sekitar dua
puluh tahun yang tadi keluar dari dalam rumah
terbakar itu. "Me..., ah!" pemuda yang dipanggil Jruda itu langsung terkulai.
"Jruda...! Jruda...!" laki-laki setengah baya itu menggoyang-goyangkan tubuh
Jruda, tapi tetap
saja pemuda itu tidak bergerak.
"Dalaga.. ," terdengar sapaan lembut dari arah belakang.
Laki-laki setengah baya itu mengangkat
kepalanya. Lalu menoleh ke belakang. Tampak
seorang kakek berjubah putih telah berdiri di
belakang laki-laki setengah baya itu. Rambut
dan janggutnya juga memutih semua. Ditepuknya pundak laki-laki setengah baya
yang namanya dipanggil Dalaga. Dia bangkit
berdiri , sambil memondong tubuh Jruda yang
berlumuran darah.
"Hanya pingsan. Sebaiknya cepat bawa ke
rumahmu," kata kakek tua berjubah putih itu lembut, namun terdengar penuh
wibawa. "Baik, Eyang," sahut Dalaga.
Dalaga melangkah sambil memondong tubuh
Jruda yang pingsan, menyibakkan orang yang
berkerumun. Sementara beberapa laki laki mulai
mencoba memadamkan api yang semakin
membesar melahap rumah dari kayu itu. Pagi
buta yang masih gelap ini jadi terang benderang oleh cahaya api dari rumah yang
terbakar. Dalaga terus melangkah tergesa-gesa menuju
rumahnya yang tidak jauh dari rumah terbakar
itu. Sementara di belakang Dalaga berjalan laki-
laki tua berjubah putih, diikuti beberapa orang bersenjata golok terselip di
pinggang. Dalaga
membaringkan tubuh Jruda di dipan kayu yang
berada di beranda rumahnya. Laki-laki tua
berjubah putih itu memeriksa tubuh Jruda,
kemudian kepalanya terangguk-angguk.
Diberikannya beberapa totokah di sekitar luka
yang terus mengucurkan darah. Totokan itu
ternyata untuk menghentikan darah.
"Eyang Paladi. .," tertahan suara Dalaga.
"Jangan cemas! Adikmu hanya pingsan.
Lukanya tidak seberapa parah. Sebentar juga
siuman," kata Eyang Paladi kalem.
Dalaga membersihkan darah yang mengotori
tubuh Jruda dengan sobekan kain yang dibasahi
air dari tempayan di samping dipan kayu ini.
Sementara Eyang Paladi berbicara dengan enam
orang pemuda yang bersenjata golok di
pinggang. Enam orang pemuda itu bergegas
pergi melangkah tergesa-gesa. Eyang Paladi
kembali duduk di tepi dipan. Sedangkan Dalaga
sudah selesai membalut luka-luka di tubuh
adiknya. "Ini kejadian yang ketiga kalinya, Dalaga.
Kurasa sudah waktunya kau katakan semua
yang terjadi. Bukan hanya keluarga dan sanak
saudaramu yang terancam, tapi juga ketentraman semua penduduk Desa Kiting ini,"
tegas Eyang Paladi.
"Aku tidak tahu, Eyang," ujar Dalaga
sungguh-sungguh.
"Hhh...!" Eyang Paladi menarik napas
panjang. Laki-laki tua itu menatap Dalaga dalam-
dalam, seakan-akan mencari kesungguhan dari
sinar matanya. Kembali ditariknya napas
panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Saat
itu, dua orang bersenjata golok di pinggang
datang. Mereka segera membungkuk hormat
pada Eyang Paladi.
"Eyang, kami menemukan benda ini di depan
rumah Jruda," jelas salah seorang sambil
menyerahkan sebuah rantai yang bertaut
membentuk lingkaran.
Eyang Paladi menerima rantai berwarna
merah darah itu. Ada sepuluh lingkaran yang
saling bertaut Sejenak Eyang Paladi merayapi
benda di tangannya itu, kemudian menatap lebih
dalam pada Dalaga. Sedangkan yang ditatap
hanya menundukkan kepalanya saja.
"Dua peristiwa yang lalu juga ditemukan
benda jenis seperti ini. Hmmm... Aku menduga
kejadian ini akan berbuntut panjang," ujar Eyang Paladi setengah bergumam.
Eyang Paladi kembali menatap dua orang
muridnya yang masih berdiri di depan beranda.
Diperintahkan kedua muridnya untuk pergi.
Dua orang pemuda itu menjura memberi
hormat, kemudian berbalik dan melangkah
pergi. Eyang Paladi kembali duduk di tepi
dipan. Sebentar dipandangi Jruda yang masih
belum sadarkan diri, kemudian pandangannya
beralih pada Dalaga yang tetap tertunduk
merayapi wajah adiknya.
"Dalaga, kuminta besok siang temui aku di
pesanggrahan," pinta Eyang Paladi seraya
bangkit berdiri.
"Baik, Eyang," sahut Dalaga ikut berdiri, dan langsung menjura memberi hormat
"Sebentar lagi adikmu siuman. Rawat sebaik-baiknya, besok siang kau harus
membawanya serta menemuiku," kata Eyang Paladi lagi.
"Baik, Eyang."
"Hm... "
Eyang Paladi melangkah meninggalkan
beranda rumah yang kecil, namun berhalaman
cukup luas ini. Dalaga bergegas menggotong
tubuh adiknya, lalu membawanya masuk ke
dalam. Di dalam, seorang perempuan yang
keadaannya berantakan menyongsongnya. Dia
bergegas membantu Dalaga membawa Jruda,
dan membaringkannya di pembaringan yang
ada di ruangan tengah.
"Kenapa dia, Kakang?" tanya perempuan sambil menggelung rambutnya.
"Aku tidak tahu. Rumahnya terbakar," sahut Dalaga.
"Oh...!" perempuan itu menutup mulutnya terkejut. "Lalu, istri dan anaknya.. ?"
Dalaga tidak menpwab. Dihenyakkan tubuhnya di kursi dekat jendela, binar matanya
kosong, langsung menangkap sosok tubuh
ramping yang berdiri membelakangi pintu
sambil bersandar pada dinding sebuah kamar.
Gadis berusia sekitar delapan belas tahun itu
melangkah menghampiri pembaringan. Diambilnya kendi dan waskom, lalu dituangkan
air kendi itu ke dalam waskom. Diambilnya
secarik kain. Dengan lembut dibersihkan wajah
dan tubuh Jruda dari kotoran debu dan darah
kering. "Aku akan keluar, rawat dia baik-baik," kata Dalaga berpesan.
Dalaga langsung bangkit dan melangkah
keluar. Sedangkan dua wanita di dalam rumah
itu saling berpandangan. Tidak ada yang
membuka suara lebih dahulu. Dari raut wajah
mereka, terlihat jelas kedukaan yang dalam dan
rasa kecemasan.
*** Siang belum lagi naik tinggi. Dua orang laki-
laki berjalan pelahan-lahan menuju sebuah
tempat yang memiliki bangunan bagai kuil.
Bangunan kecil terdiri dari batu-batu bertumpuk, dihiasi pahatan gambar-gambar
penuh makna. Kedua laki-laki itu berhenti
melangkah setelah tiba di depan tangga kuil itu.
Tidak berapa lama, muncul Eyang Paladi dari
dalam kuil itu. Dituruninya undakan itu satu
persatu dengan hati-hati sekali. Tidak ada lagi orang lain di sekitar
pesanggrahan ini. Hanya
mereka bertiga.
Eyang Paladi, Dalaga, dan Jruda. Pembalut
masih terlihat di beberapa bagian tubuh Jruda.
Wajahnya juga masih terlihat pucat.
"Kami datang memenuhi panggilanmu,
Eyang," ujar Dalaga seraya menjura hormat, diikuti Jruda.
"Ikut aku," kata Eyang Paladi.
Dalaga dan Jruda melangkah di belakang
Eyang Paladi, menuju bagian belakang kuil
dengan memutari bagian samping kanan. Ketiga
orang itu berhenti di depan sebuah pendopo
kecil di tengah-tengah halaman belakang. Eyang
Paladi duduk di pendopo itu, sedangkan Dalaga
serta Jruda juga duduk bersila di depan Eyang
Paladi. Dalaga sudah bisa menebak kalau Eyang
Paladi pasti akan membicarakan hal penting
yang ada kaitannya dengan peristiwa malam itu.
Juga dua peristiwa sebelumnya yang meminta
banyak korban nyawa. Pendopo di belakang kuil
Pesanggrahan Bumi Lawa ini oleh Eyang Paladi
selalu dijadikan tempat untuk mengadakan
pembicaraan penting.
"Kau tahu, kenapa aku memintamu datang ke
sini, Dalaga?" ujar Eyang Paladi setengah
bertanya. 'Tentu, Eyang," sahut Dalaga penuh rasa
hormat. "Peristiwa malam itu adalah yang ketiga
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalinya. Sudah banyak korban yang jatuh. Dan
aku tidak ingin lagi melihat korban-korban
lainnya," kata Eyang Paladi memulai percakapannya. "Apa yang harus kulakukan, Eyang?" tanya Dalaga.
"Kau kenal benda ini, Dalaga?" Eyang Paladi mengeluarkan tiga buah rantai
berwarna merah menyala dari balik lipatan jubahnya. Diletakkan tiga rantai yang masing-masing
berjumlah sepuluh lingkaran itu di lantai.
Dalaga memandangi benda-benda itu dengan
kepala tertunduk. Begitu juga Jruda. Kedua
orang itu hanya diam saja sambil menundukkan
kepala dalam-dalam. Sementara Eyang Paladi
memandangi dengan tajam.
"Jujur saja padaku, Dalaga. Juga kau, Jruda.
Kalian berdua adalah muridku yang paling
kusayangi. Bahkan ayah kalian sudah kuanggap
sebagai adik sendiri. Sayang dia terlalu cepat
meninggalkan dunia ini. Kalau saja ayahmu
masih hidup tentu peristiwa ini tidak akan
terulang sampai tiga kali, " ujar Eyang Paladi pelan suaranya.
"Apa yang harus kulakukan, Eyang. Aku
sendiri tidak tahu benda itu," kata Dalaga seraya mengangkat kepalanya.
"Hm...," Eyang Paladi menggumam tidak jelas. Dia menatap Jruda.
Sedangkan yang ditatap hanya menunduk
saja. Malah sebentar-sebentar memijat-mijat
tangan kirinya sendiri. Kain pembalut masih
menutupi tangan kiri sampai ke siku dari
pangkal lengan. Sementara Dalaga hanya diam
saja dengan bibir terkatup rapat.
"Dari semua korban, hanya kau yang bisa
selamat, Jruda. Ceritakan dari awal kejadiannya, hingga kau mendapat luka
seperti itu," pinta Eyang Paladi.
"Kejadiannya begitu cepat, Eyang. Aku hanya melihat dua orang berbaju serba
hitam. Mereka membunuh anak dan istriku, Eyang. Aku
berusaha melawan, tapi mereka terlalu kuat dan
sangat tinggi tingkat kepandaiannya," Jruda mencoba menceritakan singkat
"Kau kenali wajah mereka?" tanya Eyang Paladi.
"Tidak. Mereka memakai topeng. Hanya
matanya saja yang terlihat," sahut Jruda
berusaha mengingat-ingat
"Jruda, apa kedua orang tersebut mengucapkan sesuatu?" tanya Eyang Paladi lagi.
"Tidak. Mereka datang membongkar jendela,
dan langsung membunuh anak dan istriku yang
sedang tidur. Salah seorang mencoba membunuhku, tapi berhasil kuhindari. Aku
tidak sempat lagi mengambil pedang, Eyang.
Mereka berdua mengeroyokku. Sedangkan aku
mencemaskan... Oh.. ," Jruda berhenti, dan kembali tertunduk.
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Jruda.
Bukannya aku ingin membangkitkan kembali
dukamu, tapi hanya ingin menyelesaikan
persoalan ini," kata Eyang Paladi.
Jruda hanya menganggukkan kepalanya saja.
"Sejak terjadi peristiwa kedua, aku memang sudah
menduga bakal ada peristiwa pembunuhan berikutnya hanya saja aku tidak
habis pikir, kenapa hanya ke-luarga dan sanak
keluarga kalian saja yang menjadi korban. Apa kalian punya musuh" Atau,
mungkin sanak keluarga kalian.. ?"
"Entahlah, Eyang. Tapi yang jelas aku sendiri tidak punya musuh," sahut Dalaga
lebih dahulu. "Dan kau, Jruda?" Eyang Paladi menatap pemuda di samping Dalaga.
"Tidak, Eyang. Aku hidup dalam kesederhanaan, tapi merasa bahagia karena
hidup dari hasil kerja memeras keringatku
sendiri. Rasanya aku tidak punya musuh.
Menyakiti sesama saja tidak pernah, Eyang,"
jelas Jruda. "Sejak kecil aku sudah mengenal kalian
berdua. Aku tahu kalau kalian tidak berbohong
dan menyembunyikan sesuatu," ucap Eyang
Paladi. Dalaga dan Jruda saling berpandangan. Kata-
kata Eyang Paladi itu memang terdengar lembut
dan tenang, tapi mengandung kecurigaan yang
dalam. Mereka sudah bersama-sama selama
puluhan tahun, dan sudah bisa mengenal watak
satu sama lain. Tapi baru kali ini Dalaga dan
Jruda menangkap adanya nada ketidakpercayaan dari nada suara Eyang Paladi.
Ketidakpercayaan itu datang karena tiga
peristiwa yang meminta korban jiwa tidak
sedikit. Terakhir, peristiwa malam itu yang
merenggut nyawa istri dan dua anak Jruda serta
lima orang teman-teman Jruda yang kebetulan
malam itu menginap di sana. Dan mereka semua
adalah murid Eyang Paladi.
Eyang Paladi bangkit berdiri, kemudian
melangkah meninggalkan bangunan pendopo
itu. Dalaga dan Jru-p da masih tetap duduk
bersila saling melempar pandang. Mereka
kemudian berdiri dan berjalan pergi setelah
Eyang Paladi jauh meninggalkan pendopo di
belakang kuil Puri Pesanggrahan Bumi Lawa ini.
Tak ada lagi yang membuka suara. Semuanya
diam membisu mengiringi ayunan kaki yang
semakin jauh meninggalkan pesanggrahan itu.
Sementara senja mulai merayap turun. Matahari
hampir tenggelam di balik cakrawala sebelah
Barat. Sinarnya yang redup, terasa lembut
menyentuh kulit. Dalaga dan Jruda tidak
langsung kembali ke rumah, tapi menengok
tegalan dulu. Letaknya memang tidak jauh dari
pesanggrahan itu.
*** Dalaga menghenyakkan tubuhnya di rerumputan yang cukup tebal, ternaungi pohon
beringin. Jruda tetap saja berdiri di samping
kakaknya. Mereka memandang jauh ke depan,
menembus cakrawala yang memerah jingga.
Cukup lama juga mereka berdiam diri, sibuk
dengan pikiran masing-masing.
"Hhh...! Eyang Paladi tidak percaya lagi pada kita, Jruda," desah Dalaga agak
mengeluh. "Ya. Aku juga merasakannya, Kakang. Tapi
kita harus berbuat apa.. " Kita memang tidak
tahu siapa orang yang berbuat itu," sahut Jruda seraya menempatkan diri, duduk
di samping kakaknya. "Benar tidak dapat kau kenali orang itu,
Jruda?" tanya Dalaga.
"Kau sendiri mulai tidak percaya padaku,
Kakang." "Aku percaya. Hanya rasanya, kok aneh.
Selama menuntut ilmu pada Eyang Paladi,
belum pernah aku bertarung secara sungguh-
sungguh. Tidak ada musuh dalam diriku dan
kehidupanku selama ini."
"Kau pikir aku juga punya musuh?"
"Kita berdua sama, Jruda. Kita dilahirkan dan dibesarkan di desa ini. Hm. . Apa
mungkin persoalan ini menyangkut orang tua kita, atau
mungkin juga saudara-saudara kita.. ?" Dalaga menebak-nebak.
"Jangan menduga terlalu jauh dulu, kakang.
Sekarang ini kita seperti berada di dalam lorong gelap, tanpa tahu jalan yang
harus ditempuh,"
Jruda memperingatkan.
'Terus terang, Jruda. Aku jadi penasaran.
Siapa orang yang akan membantai keluarga
kita...?" Dalaga seperti bicara pada dirinya sendiri.
Jruda hanya diam saja. Tidak mudah untuk
menjawab pertanyaan itu. Dia sendiri tidak tahu siapa kedua orang yang membantai
keluarganya, juga lima orang temannya yang kebetulan
menginap malam itu di rumahnya. Meskipun
sempat bertarung beberapa jurus, tapi tidak bisa mengenali dua pembunuh itu.
Malam itu sangat gelap, ditambah lagi dua
pembunuh itu memakai pakaian yang berwarna
gelap. Sukar untuk mengenalinya. Jurus-
jurusnya pun begitu cepat dan dahsyat, tidak
mudah dikenali sumbernya.
Agak lama juga kakak beradik itu terdiam
membisu. Beberapa kali terdengar tarikan napas
panjang dan berat Sementara suasana semakin
meremang. Angin pun sudah mulai menyebarkan udara dingin. Tapi Dalaga dan
Jruda masih tetap duduk di bawah pohon di
pinggir tegalan. Tidak ada lagi orang yang lewat di tempat ini. Semua penduduk
Desa Kiting tidak ada lagi yang berani keluar rumah jika
senja sudah datang. Peristiwa-peristiwa
pembunuhan liar yang terjadi tiga kali di desa ini membuat mereka dicekam
perasaan takut.
"Sudah hampir malam, Kakang," ujar Jruda seraya bangkit berdiri.
"Pulanglah dulu, aku masih ingin di sini,"
ujar Dalaga tetap duduk.
"Kau tidak apa-apa sendirian, Kakang?"
"Katakan pada istriku, sebentar lagi aku
pulang." "Baiklah."
Jruda mengayunkan kakinya meninggalkan
tegalan itu. Sedangkan Dalaga masih tetap
duduk bersandar pada batang pohon. Pandangannya menerawang jauh, memikirkan
kejadian-kejadian yang mengerikan selama ini
Desa yang selama ini tentram dan damai, kini
berubah bagai dipenuhi kabut maut yang setiap
saat bisa saja merenggut nyawa Kabut maut itu
bermula dari terbantainya satu keluarga kakak
sulung Dalaga. Sepekan kemudian, disusul
terbantainya keluarga pamannya. Dan kemarin
malam keluarga adiknya. Semua tewas, hanya
Jruda yang masih bisa diselamatkan nyawanya.
Trrek! "Eh.. !" Dalaga tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar suara ranting patah.
Secepat kilat laki-laki setengah baya itu
melompat bangkit, dan langsung berbalik. Tapi
belum juga bisa berpikir jauh, mendadak saja
seberkas cahaya kuning berkilat melesat cepat ke arahnya. Dalaga langsung
memiringkan tubuh
ke kanan sambil menggeser kakinya sedikit.
Sinar kuning itu lewat di samping tubuhnya, dan terus menghantam sebatang pohon
kelapa hingga tumbang.
"Hup!"
Dalaga bergegas melompat
ke kanan, menghindari pohon kelapa yang jatuh ke
arahnya. Dan belum lagi bisa berbuat sesuatu,
mendadak saja dari balik sebuah pohon muncul
dua orang berbaju biru tua yang sangat ketat,
sehingga membentuk tubuhnya yang ramping
dan tegap berisi.
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalaga terkesiap begitu melihat wajah kedua
orang yang memakai topeng berbentuk muka
babi. Sebilah pedang masing-masing tersampir
di punggung. Mereka juga memakai sabuk
dengan bola-bola emas melilit pinggangnya.
Dalaga tahu kalau cahaya keemasan yang
hampir menghantam tubuhnya tadi adalah salah
satu dari bola-bola kecil berwarna kuning
keemasan dari sabuk orang itu.
"Siapa kalian"!"
tanya Dalaga agak membentak. "Hm...," salah seorang bergumam.
Dan bersamaan dengan terlemparnya sebuah
rantai merah bertaut sepuluh lingkaran, salah
seorang langsung melompat bagai kilat menerjang. Dalaga terkesiap sejenak, lalu buru-
buru membanting tubuhnya ke tanah dan
bergulingan beberapa kali. Namun begitu
melompat bangkit, salah seorang lagi sudah
melompat cepat sambil melayangkan satu
tendangan kilat bertenaga dalam sangat tinggi.
Dalaga tidak mungkin lagi berkelit. Posisi
tubuhnya saat ini tidak memungkinkan. Maka
tendangan keras itu langsung menghantam
dadanya, hingga laki-laki setengah baya itu
terpental jauh ke belakang. Sebongkah batu
besar terguling terlanda tubuh Dalaga.
"Hiaaat. .!"
Dalaga membeliak lebar begitu orang yang
menendangnya kembali melompat sambil mencabut pedang. Cahaya keperakan dari
pedang yang terhunus, berkelebat cepat mengarah ke leher
Dalaga. Dan sesaat kemudian... "Aaa...!" Dalaga menjerit melengking tinggi.
Hanya sebentar Dalaga mampu bergerak,
kemudian roboh menggelepar. Kepalanya telah
terpisah dari leher! Sebelum Dalaga diam, dua
orang bertopeng muka babi itu sudah melesat
cepat meninggalkan tempat itu. Tinggal Dalaga
sendiri meregang nyawa. Dari lehernya yang
buntung tanpa kepala, mengalir darah segar
membasahi rerumputan. Tepat di saat terdengar
suara lolongan panjang anjing hutan, Dalaga
tidak bergerak-gerak lagi. Tubuhnya terbujur
bersimbah darah, sedangkan kepalanya berada
cukup jauh dari lehernya.
*** 2 Kematian Dalaga makin menggemparkan
penduduk Desa Kiting. Sungguh tragis! Kepalanya buntung,
dan hampir seluruh tubuhnya dicabik anjing-anjing hutan yang
kelaparan. Semalaman Dalaga terbujur menjadi
santapan anjing liar. Dan baru pagi harinya
ditemukan, ketika penduduk akan ke tegalan.
Dalam hal ini, yang paling terpukul adalah
Jruda. Semua orang tahu kalau kemarin Jruda
bersama-sama dengan kakaknya. Bahkan ketika
Eyang Paladi meninggalkan pesanggrahan,
mereka masih bersama-sama. Pandangan sinis
dan bernada menuduh terlontar dari mulut
penduduk untuk pemuda itu. Jruda semakin
tertekan. Apalagi Eyang Paladi juga mencurigainya, meskipun dia sudah mengatakan yang sebenarnya. Dia dan Dalaga
memang ke tegalan itu setelah pulang dari
pesanggrahan. Hanya saja Jruda pulang lebih
dahulu, meninggalkan Dalaga sendirian di sana.
Tapi keterangan Jruda tidak ada yang mempercayai, bahkan Eyang Paladi sendiri tidak
percaya. "Kau juga tidak percaya padaku, Rimah?"
datar nada suara Jruda. Pandangannya lurus
menatap istri kakaknya yang tidak henti-
hentinya mengeluarkan air mata.
Rimah diam saja. Disusut air matanya dengan
ujung kebaya. Suaminya sudah terkubur, dan
dia kini sendirian harus mengurus empat orang
anak. Mereka semua duduk di balai bambu di
ruangan tengah: Parti, anak sulungnya hanya
duduk tertunduk saja di samping ibunya.
"Aku akan mencari pembunuh keparat itu!"
desis Jruda geram.
"Apa yang akan kau lakukan, Jruda?" tanya Rimah tersendat
Jruda tidak langsung menjawab. Dia sendiri
tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Laki-
laki berusia sekitar dua puluh lima tahun itu
memandang keluar jendela. Tampak empat
orang murid Eyang Paladi berjaga-jaga di sekitar rumah itu. Jruda tahu kalau
masih ada beberapa
lagi di sekitar rumah ini, dan dia tahu kalau
Eyang Paladi tidak meninggalkan rumah ini
selama dia masih berada di dalam. Sakit hati
Jruda, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Menyalahkan kecurigaan Eyang Paladi saja dia
tidak bisa. Posisinya saat ini memang sulit.
Banyak orang yang melihatnya terakhir bersama
Dalaga di tegalan itu, di mana mayat Dalaga
tergeletak dengan tubuh koyak dan kepala
buntung. "Aku tidak menyalahkan kalian, jika tidak
mengijinkan lagi aku tinggal di sini. Nasib kita sama. Sama-sama kehilangan
orang yang kita
cintai. Tapi sekarang ini aku jadi orang yang
dicurigai sebagai pembunuhnya. Akan kubuktikan kalau aku tidak bersalah," pelan, namun terdengar tegas nada suara
Jruda. "Aku tidak menuduhmu, Jruda. Kau boleh
tinggal di sini. Kami semua membutuhkan
perlindunganmu," ujar Rimah seraya menyusut air matanya.
"Benar! Paman harus tetap tinggal di sini,"
sambung Parti, anak sulung Dalaga. Dia cukup
cantik, masih gadis dan baru berusia sekitar
delapan belas tahun.
"Aku akan melindungi kalian semua, tapi
tidak di rumah ini Aku tidak bisa tinggal di sini lagi. Percayalah pada Eyang
Paladi. Beliau pasti melindungi kalian semua," kata Jruda terharu.
Sebab, hanya keluarga ini saja yang tidak
menuduhnya sebagai pembunuh keji yang telah
menewaskan Dalaga.
"Lalu, kau akan ke mana?" tanya Rimah.
'Tidak jauh dari sini, tapi juga tidak kelihatan orang lain," sahut Jruda.
"Hhh...! Seharusnya Eyang Paladi tidak
melimpahkan tuduhan seperti itu padamu,
Jruda. Aku menyesal.. ," desah Rimah.
"Semua sudah terjadi, Kak. Tidak ada yang
perlu disesalkan lagi. Semua tuduhan itu
kuterima, meskipun aku merasa tidak bersalah.
Aku yakin, ada orang yang menginginkan
keluarga kita hancur," tegas Jruda.
"Siapa...?" Rimah seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Entahlah," sahut Jruda mendesah. "Sekarang ini kita semua belum tahu. Aku
yakin, satu saat nanti akan mengetahuinya!" tekad Jruda.
Untuk beberapa saat tidak ada yang bicara
lagi. Jruda bangkit berdiri dan melangkah
menghampiri jendela. Matanya mengarah keluar, mengamati keadaan sekitarnya. Tampak
sepi. Tidak ada seorang penduduk pun yang
berani keluar rumah, meski hari masih siang.
Terlihat beberapa orang murid Eyang Paladi
berjaga-jaga. Bukan saja di rumah ini, tapi juga di rumah keluarga Jruda yang
lain, serta tempat-tempat yang cukup memungkinkan.
Memang banyak murid Eyang Paladi.
Semuanya udak kurang dari lima puluh orang.
Dan rata-rata masih berusia sekitar dua puluh
tahun. Masih muda-muda, namun memiliki
kepandaian yang lumayan. Eyang Paladi sendiri
sebenarnya masih memiliki murid utama yang
berjumlah sepuluh orang. Rata-rata kemampuannya hampir menyamai Dalaga dan
Jruda yang juga murid tertua Eyang Paladi.
Jruda sendiri menjadi murid Eyang Paladi
setelah berusia sekitar tujuh bglas tahun.
Sebelumnya dia mempelajari ilmu olah kanuragan dari ayahnya sendiri, yang menjadi
salah seorang pendiri Padepokan Mega Kiting.
Padepokan itu kini dipimpin Eyang Paladi
setelah ayah Jruda meninggal.
"Hhh...!"
Jruda menghembuskan napas panjang. Sebentar dia berbalik, lalu menatap pada
Rimah dan keempat anaknya. Langkahnya
pelahan mendekati pintu, dan membukanya.
Tampak dua orang murid Eyang Paladi berjaga-
jaga di depan pintu. Mereka d sempat melirik
sedikit pada Jruda.
"Jadi pergi, Paman Jruda?" tanya salah seorang bernada sinis.
"Hm."," Jruda hanya menggumam kecil. Laki-laki berusia dua puluh lima tahun
berbaju kuning gading itu melangkah setelah menutup
kembali pintunya. Jalannya tidak tergesa-gesa.
Semua murid Eyang Paladi memandanginya
dengan tatapan sinis. Beberapa kepala terlihat
menyembul keluar dari dalam rumah. Para
penduduk Desa Kiting hanya bisa memandang
dari balik pintu dan jendela.
Jruda bisa merasakan pandangan mereka
semua, dan hanya mampu meredam semua yang
bergejolak dalam hatinya. Tapi disadari kalau
mereka semua tidak bisa disalahkan. Jruda terus melangkah menuju arah Timur, ke
arah sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi menjulang dengan pohon-pohon tumbuh subur
merapat "Akan kubuktikan.. !" desis Jruda bertekad dalam hati.
*** Tiga hari setelah kcpergian Jruda, suasana
Desa Kiting semakin tidak menentu. Setiap hari
selalu saja terjadi pembunuhan. Bukan saja
sanak keluarga Jruda, tapi juga penduduk yang
tidak tahu menahu dengan urusan itu. Kabut
tebal menyelimuti seluruh Desa Kiting. Semua
penduduk dicekam rasa takut yang amat sangat
Tidak ada lagi tempat yang aman. Pembunuh
misterius itu dapat masuk ke rumah kapan saja
dia mau, dan selalu meninggalkan mayat.
Siang itu udara panas sekali. Matahari
bersinar terik tanpa terhalang awan sedikit pun di langit Tak ada angin bertiup,
sehingga
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menambah panasnya udara siang ini. Seorang
penunggang kuda hitam membelah jalan
berdebu pelahan-lahan. Penunggangnya masih
muda, berkulit kuning langsat bagai kulit
wanita. Tapi dari raut wajahnya terlihat jelas
kalau itu seorang pemuda.
Penunggang kuda itu sempat melirik seorang
laki-laki yang tengah duduk di tepi jalan sambil berteduh di bawah pohon yang
cukup rindang. Sebelah kakinya sengaja direndam dalam aliran
air yang bening dan sejuk. Pemuda berbaju dari
kulit harimau itu sama sekali tidak peduli pada kuda yang melintas pelahan di
depannya. Malah
matanya agak terpejam dengan kepala bersandar
pada batang pohon.
Kuda hitam tegap jtu terus berjalan
membelah jalan berdebu. Penunggangnya juga
tidak lagi memperhatikan sekelilingnya. Pandangannya tetap lurus mengarah pada
sebuah bangunan yang cukup besar dan
memanjang, dikelilingi pagar kayu bulat yang
cukup tinggi. Kuda hitam itu berhenti tepat di
depan pintu pagar kayu yang dijaga dua orang
bersenjata golok terselip di pinggangnya.
"Maaf. Apakah Eyang Paladi ada?" tanya pemuda itu ramah.
"Kisanak siapa?" tanya salah seorang penjaga tanpa menjawab pertanyaan pemuda
itu. "Aku Pramana, cucu Eyang Paladi," sahut penunggang kuda itu.
Kedua penjaga yang juga murid Eyang Paladi
itu memperhatikan sejenak, lalu menggeser
memberi jalan. Pemuda yang mengaku bernama
Pramana itu menggebah kudanya pelahan. Kuda
hitam itu pun kembali berjalan memasuki
halaman yang luas, dikelilingi pagar kayu
gelondongan yang tinggi dan tampak kokoh.
"Hup...!"
Pramana melompat turun sebelum kuda
hitam itu berhenti melangkah. Dan dengan dua
kali putaran saja, sudah tiba di ujung atas
undakan beranda bangunan besar dengan
bagian samping memanjang bagai barak. Tepat
pada saat kaki pemuda itu menjejak lantai, dari dalam muncul Eyang Paladi
didampingi dua orang murid utamanya
"Eyang. .," ucap Pramana langsung berlutut memberi hormat.
"Pramana...!" Eyang Paladi nampak terkejut.
Buru-buru dihampiri dan dibangunkannya
pemuda itu. Pramana bangkit berdiri, lalu
menjura sekali lagi dengan membungkukkan
tubuhnya sedikit Eyang Paladi memandangi
wajah tampan di depannya. Kemudian bola
matanya berputar merayapi seluruh tubuh yang
mengenakan baju putih ketat, sehingga memetakan tubuhnya yang tegap padat dan
berotot "Kenapa tidak memberitahu dulu kalau ingin datang, Pramana?" tanya Eyang Paladi
seraya membawa cucunya itu masuk ke dalam.
Dua orang murid laki-laki tua itu meneruskan langkahnya keluar. Eyang Paladi
membawa cucunya ke bagian tengah dari salah
satu bangunan besar di Padepokan Mega Kiting,
yang hanya satu-satunya di Desa Kiting ini.
Perguruan silat itu memang sudah cukup lama
terbentuk, dan didirikan oleh seorang pendekar
ternama pada masa tiga puluh tahun yang lalu.
Eyang Paladi tinggal meneruskan saja, karena
merupakan sahabat kental pendekar itu.
"Kau datang sendiri?" tanya Eyang Paladi setelah
mereka duduk di kursi saling berhadapan. Hanya sebuah meja bundar
menghalangi. "Kenapa tidak kau bawa adikmu?"
tanya Eyang Paladi lagi. Padahal pertanyaannya
yang pertama saja belum terjawab.
"Rawuni menyusul nanti," sahut Pramana.
Eyang Paladi mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Aku dan Rawuni bermaksud ingin menetap.
Itu pun kalau Eyang mengijinkan," ungkap
Pramana langsung tanpa basa-basi lagi.
'Tentu saja boleh, Pramana. Dari dulu aku
sudah memintamu dan adikmu tinggal di sini.
Kapan saja pintu rumah ini selalu terbuka
untukmu," kata Eyang Paladi senang. \
'Terima kasih, Eyang," ucap Pramana.
"Bagaimana keadaan keluarga pamanmu?"
tanya Eyang Paladi.
"Semua baik-baik saja, Eyang," sahut Pramana diiringi senyuman tipis.
"Aku senang mendengarnya. Kau ingin
tinggal di sini sudah pamitan dengan pamanmu?" "Sudah! Bahkan Paman sendiri yang menganjurkan. Katanya agar aku dan Rawuni
bisa menambah kepandaian di sini."
"Ha ha ha...! Apa lagi yang bisa kuberikan padamu, Pramana" Aku yakin, Paman
Darwala sudah memberikan semua yang dimiliki.
Buktinya, pedang kesayangan pamanmu sekarang telah kau sandang. Itu berarti kau
sudah menguasai jurus 'Tarian Dewa Pedang'."
Pramana hanya tersenyum saja. Terasa
hambar senyuman pemuda itu, tapi Eyang
Paladi tidak memperhatikannya. Dia terlalu
gembira dengan kedatangan cucunya. Terlebih
lagi Pramana mengatakan hendak menetap di
pesanggrahan ini, yang memang sudah diharapkannya sejak dulu. Tepatnya ketika cucu-
cucunya ini masih kecil, dan ditinggal mati
kedua orang tuanya.
"Ayo, Pramana. Akan kutunjukkan kamarmu," kata Eyang Paladi seraya bangkit berdiri.
Pramana kembali tersenyum, lalu ikut berdiri
dan melangkah mengikuti Eyang Paladi.
Matanya selalu memperhatikan setiap ruangan
yang dilewati. Beberapa murid Eyang Paladi
menjura memberi hormat saat berpapasan, tapi
sempat juga melirik pemuda yang berjalan di
belakang Ketua Padepokan Mega Kiting itu. Dan
Pramana juga mengetahui, tapi diam saja. Pura-
pura tidak tahu.
*** Seekor kuda hitam berpacu cepat meninggalkan Desa Kiting. Kuda itu menuju ke
arah Timur, di mana terpampang sebuah bukit
tidak terlalu tinggi. Debu mengepul tersepak
kaki kuda yang berlari cepat bagai dikejar setan.
Penunggangnya seorang pemuda berwajah
tampan, dan berkulit kuning langsat seperti
wanita. Memasuki daerah hutan di kaki bukit
itu, kuda hitam itu tidak juga memperlambat
larinya. Tapi mendadak saja kuda hitam itu berhenti
berlari, lalu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Penunggang
kuda itu terperanjat, langsung melompat. Tubuhnya
berputaran tiga kali di udara, lalu ringan sekali kakinya menjejak tanah. Tampak
kuda hitam itu mendengus-dengus menghentak-hentakkan kaki
depannya ke tanah.
"Hm... Tenanglah, Hitam. Aku juga tahu,"
gumam pemuda itu pelan.
Sebentar pemuda itu menatap ke satu arah,
lalu dengan cepat dikibaskan tangan kanannya.
Dan secepat tangan itu bergerak, secepat itu pula secercah cahaya merah melesat
bagai sebatang anak panah lepas dari busur. Sinar merah itu
meluncur deras menembus semak belukar di
depannya. Siap! Bersamaan dengan menghilangnya cahaya
merah itu ke dalam semak, melesat satu sosok
tubuh ke atas. Dua kali tubuh itu berputar di
udara, lalu manis sekali mendarat sekitar tiga
batang tombak di depan pemuda berbaju putih
itu. "Siapa kau"! Kenapa menghadang jalanku"!"
bentak pemuda berbaju putih itu.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu!"
dengus orang yang ternyata Jruda.
"Hm... Aku tidak kenal siapa dirimu,"
gumam pemuda itu dengan kening agak
berkerut 'Tapi aku kenal denganmu, Pramana!" dingin nada suara Jruda.
"Siapa kau sebenarnya?" dengus Pramana terkejut, karena orang di depannya
mengenal dirinya. "Kau tidak perlu tahu diriku. Yang harus kau ketahui
hanya satu. Jangan coba-coba mengganggu kehidupan kami. Kau tidak berhak
hidup di Desa Kiting. Jelas.. !" dingin sekali suara Jruda.
"Hey. .! Apa hakmu melarangku tinggal di
sana?" "Jangan banyak tanya! Desa Kiting bukan
tempatmu. Sebaiknya tinggalkan desa itu, dan
jangan kembali lagi!" bentak Jruda.
"Kau mengancam, Kisanak."
'Terserah penilaianmu. Aku bisa berlaku
lebih kejam darimu!"
"O...! Hebat! Ternyata kau punya nyali besar juga sehingga berani menantangku."
"Tidak ada yang kutakuti, termasuk gurumu!" "Bagus! Bersiaplah, Kisanak! Hiyaaat. !"
Pramana langsung saja membuka jurus. Dan
bagaikan seekor kijang, tubuhnya melompat
menerjang Jruda yang sejak tadi sudah bersiap.
Pertarungan dua orang itu tidak dapat dihindari lagi. Meskipun Pramana tidak
mengetahui alasan orang itu membencinya, tapi pantang
baginya mendapat tantangan terbuka seperti itu.
Tidak tanggung-tanggung, Pramana menyerang
disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat
tinggi. Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan
itu sudah porak poranda bagai terkeria amukan
seribu ekor gajah. Pohon-pohon tumbang, dan
batu-batuan pecah berantakan. Debu mengepul
tinggi ke udara, membentuk awan yang
menyesakkan dada. Namun pertarungan itu
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak juga berhenti, bahkan semakin sengit saja.
Malah setelah melewati sepuluh jurus, masing-
masing sudah menghunus senjata. Mereka
bertarung dengan pedang tergenggam, siap
mencabik siapa saja yang lebih rendah
kepandaiannya. Trang! "Ikh.. !' Jruda tersentak ketika menangkis tebasan
pedang Pramana. Dia langsung melompat mundur tiga tindak.
Dan belum lagi Jruda bisa menguasai
tangannya yang bergetar akibat adu senjata tadi, Pramana sudah melompat sambil
mengarahkan ujung pedangnya ke arah dada. Cepat sekali
Jruda melompat ke samping menghindari
tusukan pedang itu, dan langsung melentingkan
tubuhnya ke atas. Manis sekali kakinya hinggap
di atas dahan, lalu pedangnya dikibaskan ke
salah satu ranting.
"Hait. !"
Cras! Bukan main terkejutnya Pramana. Tiba-tiba
saja tubuhnya terangkat naik, dan terkurung
jaring yang begitu kuat. Pramana berusaha
memberontak, tapi jaring itu demikian kenyal.
Tubuhnya tertekuk, dan pedangnya jatuh ke
tanah. Pramana tergantung, terbungkus jaring
sekitar dua batang tombak tingginya dari tanah.
"Hup...!"
Jruda melompat turun, dan berdiri tegak
bertolak pinggang begitu mendarat. Kepalanya
mendongak memandang Pramana yang berusaha melepaskan jaring yang membelenggu tubuhnya, hingga tergantung seperti itu.
"Ha ha ha...! Kau akan mati pelahan,
Pramana! Selamat menikmati kematianmu!" seru Jruda tertawa terbahak-bahak.
Pramana menggeram, memaki, dan menyumpah serapah. Tapi Jruda malah semakin
keras tawanya. Dia berbalik dan melangkah
menghampiri pohon besar. Seutas tambang
terikat di pohon itu. Dibukanya tambang itu dan diturunkan Pramana pelahan-
lahan. Setelah jaraknya cukup dekat ke tanah, Jruda mengikat
lagi tambang itu ke pohon.
Sambil tertawa terbahak-bahak, Jruda berlari
cepat dan menghilang ke dalam hutan. Sebentar
masih terdengar suara tawanya, kemudian
pelahan-lahan menghilang tersapu angin. Sementara Pramana berusaha melepaskan diri
dari jeratan jaring itu. Dicobanya untuk
memutuskan jaring. Meskipun sudah mengeluarkan tenaga dalam penuh, tapi jaring
itu tetap tidak mau putus. Pramana sadar kalau
jaring ini terbuat dari bahan yang sangat kuat.
"Setan!" rutuk Pramana sengit.
Pemuda itu memandang pedangnya $ang
tergeletak di tanah. Dikeluarkan kakinya, dan
berusaha menjangkau pedangnya. Tapi tidak
juga sampai. Sia-sia saja semua usaha yang
dilakukannya. Pramana meru-tuk dan memaki
habis-habisan. Tidak ada lagi yang bisa
dilakukannya. Dan dia tahu, kalau malam
tempat ini dipenuhi anjing hutan yang
kelaparan. Jaraknya cukup untuk binatang liar
itu menjangkau tubuhnya. Pramana jelas tidak
mau mati sia-sia begini.
Meskipun tahu akan sia-sia, tapi Pramana
berusaha melepaskan diri dari jerat menyakitkan hati ini. Baginya lebih baik
mati dalam pertarungan daripada tersiksa tanpa daya seperti ini. Otaknya berpikir keras
mencari cara untuk
bisa terlepas. Namun segala cara yang
digunakan hanya membuatnya memaki, mengumpat habis-habisan.
"Setan! Siapa pun dia, harus mampus di
tanganku!" maki Pramana geram.
*** 3 Senja terus merayap lambat menjelang
malam. Pramana masih tergantung di dalam
jaring. Peluh sudah sejak tadi membasahi
sekujur tubuhnya. Jelas hatinya tampak putus
asa, karena segala usaha yang dilakukan tidak
berhasil untuk melepaskan diri dari jaring
keparat ini. Pemuda itu menoleh ketika
mendengar siulan yang timbul tenggelam
terbawa angin senja. Siulan tanpa irama yang
jelas, semakin terdengar mendekat ke arahnya.
"Hey. .!" teriak Pramana sekuat-kuatnya.
Teriakan Pramana menggema, terpantul
dinding-dinding bukit dan lembah serta hutan.
Beberapa kali Pramana berteriak disertai
pengerahan tenaga dalam. Tapi siulan itu tetap
terdengar berirama sumbang.
"Hey. .! Siapa kau di situ"! Cepat kesini...!"
teriak Pramana keras.
Suara siulan itu berhenti. Pramana mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dan
tatapannya langsung tertuju pada sebuah semak
yang bergerak-gerak. Jantungnya berdebar,
berharap ada orang yang datang dan bersedia
menolongnya. Sama sekali tidak diharapkan
kalau binatang buas yang muncul.
"Oh...," Pramana mendesah panjang ketika dari dalam semak muncul seorang laki-
laki muda berpakaian kulit harimau. Pemuda itu
tertegun melihat seseorang tengah tergantung
dalam jaring seperti ikan.
Dia berhenti melangkah dan memandangi dengan perasaan
heran. "Kisanak, cepat turunkan aku...," pinta Pramana.
"He.. ! Kau bisa bicara.. "! Kukira kau monyet yang terperangkap!" seru pemuda
itu. "Ini bukan waktunya bergurau, Kisanak!
Cepat turunkan aku dari sini!" bentak Pramana gusar.
"Ck ck ck. . Galak juga," pemuda berbaju kulit harimau itu berdecak sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Pelahan pemuda itu melangkah semakin
mendekati. Dipandangi Pramana yang tampak
geram, karena merasa dirinya jadi tontonan. Tapi Pramana berusaha meredam
kemarahannya. Saat itu pemuda berbaju aneh itu sangat
dibutuhkan pertolongannya untuk melepaskannya dari jaring keparat ini. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu
malah melangkah memutarinya. Beberapa kali
mulutnya berdecak sambil menggeleng- gelengkan kepala. Lagaknya seperti seorang
saudagar yang tengah mengagumi barang indah
dan langka. Tentu saja tingkah pemuda itu
membuat Pramana jadi gusar, namun masih bisa
menahan din. "Kisanak...!" tegur Pramana tidak sabar lagi.
"Oh...! Kau bicara lagi.. ?" pemuda berbaju kulit harimau itu menatap Pramana.
"Lepaskan jaring ini! Aku akan memberimu
imbalan yang pantas," bujuk Pramana.
"Kau seperti anak saudagar kaya, atau kau
putra pembesar kerajaan yang kesasar?" pemuda itu seperti berbicara kepada
dirinya sendiri.
'Terserah apa saja! Cepat! Lepaskanlah aku
dari jaring keparat ini, Kisanak!" dengus
Pramana tidak sabar.
"Hm...,"
pemuda itu bergumam dan memandangi Pramana yang nampak gusar,
namun penuh harap untuk bisa terlepas dari
perangkap jaring ini
Pemuda berbaju kulit harimau itu memungut
pedang yang tergeletak di tanah. Ditimang-
timangnya pedang itu, lalu diberikannya pada
Pramana. Kasar sekali Pramana merebut pedang
itu, kemudian langsung berusaha berdiri.
Seketika ditebaskan pedangnya pada tambang
yang mengikat bagian atas jaring ini. Tambang
itu putus, dan Pramana jatuh bersama jaring
yang masih mengurung dirinya.
Pramana berusaha keluar dari jaring itu.
Dimasukkan pedangnya dalam sarungnya,
setelah lepas dari jaring yang membelenggunya.
Sebentar ditatapnya pemuda berbaju kulit
harimau yang menolongnya, kemudian tanpa
berkata apa-apa lagi Pramana langsung berbalik
dan melangkah cepat menghampiri kuda
hitamnya yang setia menunggui sambil merumput sekenyang-kenyangnya.
"Hup!" Pramana melompat naik ke punggung kuda itu.
Sekali gebah saja, kuda hitam itu langsung
melesat pergi meninggalkan debu yang mengepul bercampur daun-daun kering. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau hanya
memandangi saja sambil menggeleng-gelengkan
kepala, kemudian kembali melangkah. Mulutnya
bersiul-siul mendendangkan lagu tanpa irama
yang pasti. "Berhenti.. !"
Pemuda berbaju kulit harimau itu terkejut
ketika mendengar bentakan yang keras dan tiba-
tiba dari arah belakang. Tubuhnya berbalik dan
tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri
seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Sebilah pedang panjang
tergantung di pinggang. Siulan pemuda berbaju kulit harimau
itu terhenti seketika.
"Kau yang melepaskan tawananku.. ?" laki-laki yang ternyata adalah Jruda itu
menunjuk jaring yang tergeletak di sampingnya.
'Tawanan. .?" pemuda berbaju kulit harimau itu mengerutkan keningnya.
"Kau yang lewat di sini, tentu kaulah yang memutuskan jaring ini!" dengus Jruda.
"Aku tidak memutuskan jaring itu. Dia
sendiri yang melakukannya," bantah pemuda
berbaju harimau itu kalem.
"Mustahil!
Tidak ada yang mampu
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memutuskan jaring ini. Pasti kaulah yang
menolongnya!"
"Menolong siapa" Aku hanya memberikan
pedang yang tergeletak di tanah, kemudian dia
sendiri yang memutuskan tambang itu, dan
keluar dari jaringmu."
"Sama saja, tolol!" bentak Jruda geram.
"He.. ! Kenapa marah?"
"Kau melepaskan tawanan berhargaku, maka
kau harus bertanggung jawab!" geram Jruda.
Setelah berkata demikian, Jruda langsung saja
melompat menerjang.
"Hey. .! Tunggu!"
Tapi Jruda tidak peduli terhadap peringatan
itu. Pemuda itu diserangnya dengan beberapa
pukulan beruntun dan mengandung tenaga
dalam cukup tinggi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu beriompatan menghindari serangan yang dansyat dan cepat. Jruda semakin geram, karena
beberapa serangannya selalu gagal.
"Uh! Rupanya di sini banyak orang gila!
Tidak ada urusan main serang saja.. !" lenguh pemuda berbaju kulit harimau itu
seraya tidak berhenti berkelit.
Tiba-tiba saja dengan kecepatan yang sangat
tinggi dan sukar diduga, pemuda itu melenting
ke atas. Dan secepat itu pula, menukik deras.
Tangan kirinya berkelebat cepat, langsung
menghantam bahu kanan Jruda.
"Hegh!"
Jruda berusaha bertahan, tapi seketika itu
juga ambruk ke tanah setelah satu totokan jari
mendarat di lehernya. Pemuda berbaju kulit
harimau itu berdiri tegak di dekat tubuh yang
tergeletak tidak berdaya, karena jalan darahnya tertotok. Sebentar pemuda itu
memandangi, kemudian berbalik hendak pergi.
"Hey. .J Tunggu!" seru Jruda berusaha menggeliat. Tapi seluruh tubuhnya terasa
lumpuh, sukar digerakkan lagi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak jadi
melangkah pergi, dan kembali berbalik menatap
laki-laki yang tergeletak tak berdaya.
"Bebaskan aku! Jangan tinggalkan aku di
sini," kata Jruda memohon.
"Heran. . Kenapa semua orang takut di sini sendirian" Apakah tempat ini sarang
dedemit?" gumam pemuda itu seperti bicara untuk dirinya
sendiri. "Jangan bergurau, Kisanak. Cepat bebaskan
sebelum...." '
Belum juga Jruda menghabiskan ucapannya,
tiba-tiba terdengar lolongan anjing hutan yang
panjang mendirikan bulu kuduk. Seketika itu
juga wajah Jruda pucat pasi. Kalau saja tubuhnya bisa bergerak, mungkin sudah
gemetar. Suara lolongan anjing hutan itu semakin terdengar
dekat. Terlebih, bukan hanya satu. Lolongan itu saling sahut, seperti sama-sama
memberitahu ada manusia di sekitar tempat ini.
"Cepat, sebelum keparat-keparat itu muncul!"
sentak Jruda. "Hanya anjing, kenapa harus takut?" pemuda berbaju dari kulit harimau itu
kelihatan tenang saja, dan malah duduk di samping Jruda.
"Gila kau! Bebaskan totokanmu cepat!"
rungut Jruda berusaha menggelinjang.
Sementara lolongan anjing semakin banyak
terdengar. Begitu dekat terdengar, sehingga
membuat Jruda semakin pucat wajahnya. Dia
berusaha menggelinjang, mencoba membebaskan totokan pemuda berbaju kulit
harimau itu Tapi totokan itu sangat kuat sekali, karena disalurkan lewat
pengerahan tenaga
dalam sempurna. Jruda sadar kalau tenaga
dalam dan hawa murninya kalah jauh, dan tidak
mungkin terbebas dari totokan kalau bukan
pemuda berbaju kulit harimau itu sendiri yang
melakukannya. "Sudah kukatakan, hanya anjing...," ujar pemuda itu terputus seketika.
Satu ekor anjing hutan muncul dari semak.
Tidak berapa lama kemudian datang lagi. Dan
jumlahnya pun semakin bertambah banyak.
Datang dari segala penjuru, langsung membentuk lingkaran mengepung kedua orang
itu. "Huh! Bodoh. .! Cari mampus!" gerutu Jruda putus asa.
"Hm...," pemuda berbaju kulit harimau itu menggumam pelahan. Hampir tidak
terdengar gumamannya. Cepat sekali tangan pemuda itu bergerak,
dan jari-jarinya bergerak lincah menotok jalan
darah di tubuh Jruda. Totokan pembuka itu
kontan bekerja, lalu Jruda menggelinjang bangkit berdiri. Tapi seekor anjing
hutan menggerung.
Jruda langsung diam tidak bergerak-gerak lagi.
Kedua bola matanya membeliak begitu melihat
puluhan anjing hutan liar sudah mengepungnya.
Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu
masih tetap duduk tenang.
"Jangan menimbulkan perhatian. Tetap saja
tenang," perintah pemuda berbaju kulit harimau itu kalem.
"Huh! Ini semua gara-garamu!" rungut Jruda.
"Tenanglah, diam saja. Jangan banyak bicara."
"Kalau kau menuruti kata-kataku tadi, tidak akan jadi begini. Huh...!" gerutu
Jruda habis-habisan.
Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu
tetap duduk tenang tanpa bergerak sedikit pun.
Jruda masih menggerutu. Segera ditarik pedangnya keluar dari sarungnya. Dan begitu
pedangnya keluar, mendadak seekor anjing
hutan liar itu meraung keras, lalu melompat
menerjang cepat.
"Hait. .!"
Wut! Jruda mengibaskan pedangnya cepat. Anjing
hutan itu menggerung keras, dan jatuh
menggelepar dengan perut sobek terbabat
pedang Melihat temannya tewas seketika,
anjing-anjing lainnya menggeram marah memperlihatkan taring-taringnya yang tajam
mengerikan. Jruda bersiap-siap dengan pedang
terhunus "Kau membuat kesulitan!" dengus pemuda berbaju kulit harimau.
"Diam kau!" bentak Jruda sengit. "Semua ini gara-garamu!"
"Sebentar lagi mereka akan menyerang,
mengoyak tubuhmu. Satu nyawa mereka belum
cukup jika dibayar darah dan dagingmu," ujar pemuda berbaju kulit harimau itu
lagi. Suaranya tetap tenang.
Jruda jadi menatap tajam pemuda yang masih
duduk bersila tenang, tidak bergeming sedikit
pun. Dia terpaku mendengar kata-kata pemuda
itu. Kata-kata yang begitu aneh terdengar di
telinga, dan begitu dalam mengandung banyak
arti. Tapi belum juga Jruda bisa memahami kata-
kata pemuda berbaju kulit harimau itu,
mendadak saja dua ekor anjing hutan yang
mengepung tempat
ini melompat sambil bersuara keras menggetarkan jantung. Jruda
kontan melompat sambil mengibaskan pedangnya. Seekor meraung keras, dan terjungkal bersimbah darah. Jruda kembali
membabatkan pedangnya untuk yang seekor
lagi. Tapi belum juga pedangnya mengenai
sasaran, beberapa ekor sekaligus sudah melompat lagi. Jruda berpelantingan,
berlompatan menghindari serangan anjing-
anjing hutan itu. Pedangnya berkelebatan cepat
membabat binatang-binatang liar yang kelaparan
itu. "Setan.. !" dengus Jruda menggeram.
Matanya sempat melirik pemuda berbaju
kulit harimau yang tetap duduk tenang bersila.
Tidak ada anjing seekor pun yang memperhatikan pemuda berbaju kulit harimau
itu. Bahkan kini semakin banyak saja yang
menyerang, dan berusaha melumpuhkan Jruda.
Tidak terhitung lagi, berapa yang tewas terbabat pedang. Dan anjing-anjing hutan
itu bukannya takut, tapi malah semakin ganas saja.
"Kisanak, apa yang kau lakukan di situ!
Bantu aku...!" seru Jruda yang mulai kewalahan menghadapi keroyokan anjing liar
yang ganas ini. Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu diam
saja. Tetap duduk tenang tanpa bergeming
sedikit pun juga. Jruda jadi heran, tapi tidak
sempat memperhatikan dan berpikir banyak.
Keroyokan anjing liar ini sudah membuatnya
repot Apalagi jumlahnya semakin banyak saja,
meskipun tidak sedikit yang tewas terbabat
pedangnya. "Huh! Bisa habis napasku kalau begini!"
dengus Jruda tersengal.
Jruda melirik sebuah pohon yang berada di
dekatnya. Dikibaskan pedangnya cepat maka
tiga ekor an jing menggerung terbabat pedang
itu. Secepat kilat Jruda melompat ke atas, dan
berputaran dua kali di udara. Tapi belum sempat mencapai dahan, tubuhnya sudah
meluncur ke bawah lagi. Padahal anjing-anjing hutan itu
sudah menunggu sambil menggonggong memperlihatkan taringnya.
"Mati aku.. !" lenguK Jruda.
Mendadak Jruda melihat sebuah benda
meluncur deras ke arah kakinya. Maka
dimanfaatkanlah benda itu, dan langsung
ditotok dengan ujung jarinya. Jruda kembali
melesat naik, dan hinggap di atas dahan pohon
tinggi. Anjing-anjing liar itu ribut menggonggong di bawah pohon. Mereka
berebut hendak naik, tapi tidak berhasil. Jruda menarik napas panjang.
Diliriknya sebuah serat
kulit kayu yang tertancap cukup dalam di
batang pohon ini.
Kemudian dipandangi
pemuda berbaju kulit harimau yang masih tetap
duduk bersila. Di tangan kiri pemuda itu
tergenggam sebatang kulit kayu kering. Jruda
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu, kalau kulit kayu kering itu tadi
dilemparkan pemuda itu untuk menyelamatkan
nyawanya. "Diam saja di sana, jangan bergerak sedikit pun.
Masukkan pedangmu ke dalam sarungnya," perintah pemuda berbaju kujit
harimau itu pelan. Gerak bibirnya hampir saja
tidak terlihat.
Suara yang begitu pelan, namun terdengar
sangat jelas di telinga. Jruda tahu kalau pemuda itu berkata benar, dan dia
menurutinya. Hatinya kagum juga dengan ilmu memindahkan suara
yang dimiliki pemuda berbaju dari kulit
harimau itu. Sungguh sempurna! Bahkan saat
mengeluarkan suara, mulutnya tidak bergerak
sama sekali *** Jruda yang nangkring di atas pohon, semakin
keheranan. Ternyata pemuda berbaju kulit
harimau itu tetap saja duduk bersila, meskipun
ratusan ekor anjing hutan liar simpang siur di
sekitarnya. Anjing-anjing itu seperti tidak
menghiraukan, atau mungkin tidak melihat.
Binatang-binatang liar itu malah menunggui
Jruda di bawah pohon.
"Kisanak! Kalau kau bisa mengendalikan
binatang-binatang itu, usirlah dari sini!" seru Jruda
"Jangan banyak bicara. Suaramu menggoda
mereka!" pemuda itu memperingati disertai
pengerahan ilmu memindahkan suara.
Jruda langsung menggelinjang, karena peringatan itu menjadi kenyataan. Dua ekor
anjing liar itu mencoba melompat ke atas. Tapi
jatuh lagi sebelum sampai pada sasarannya.
Jruda kontan diam. Matanya tidak berkedip
memandangi binatang-binatang
liar yang banyak mengelilinginya di bawah pohon ini.
Jruda duduk di dahan pohon tanpa bergerak
sedikit pun. Anjing-anjing liar itu mulai
menggerung tidak sabar. Sementara perut
mereka sudah minta diisi, maka satu demi satu
mulai meninggalkan tempat itu. Jruda memperhatikan binatang-binatang liar itu pergi.
Agak lama juga, tapi akhirnya semua binatang
liar itu pergi semua.
"Jangan turun dulu!" pemuda berbaju kulit harimau itu memperingatkan.
Jruda yang akan melompat turun, mengurungkan niatnya. Dan peringatan itu
memang benar. Ternyata masih ada seekor lagi
yang belum meninggalkan tempat ini. Binatang
liar itu mengelilingi pohon tempat Jruda masih
berada di atasnya. Binatang buas itu menggerung-gerung. Sebentar dia mendongak
ke atas, lalu berjalan lemah gemulai meninggalkan tempat itu. Jruda menunggu
sampai binatang liar itu tidak terlihat lagi, tapi masih tetap di dahan pohon
itu. Dipandangi
pemuda berbaju kulit harimau yang masih tetap
duduk bersila dengan tenang.
"Kisanak, boleh aku turun sekarang?" tanya Jruda.
"Kalau takut, jangan turun," sahut pemuda itu kalem.
"Kampret!" gerutu Jruda.
Tanpa menunggu waktu lagi, Jruda melompat turun. Ringan sekali gerakannya. Dan
begitu kakinya menapak tanah, tidak ada suara
sedikit pun yang ditimbulkan. Dia melangkah
mendekati pemuda yang masih duduk tenang.
"Kisanak! Siapa kau sebenarnya?" tanya Jruda mulai ramah.
"Perlukah itu?" pemuda itu malah balik bertanya seraya bangkit berdiri.
"Kau sudah menyelamatkan nyawaku, maka
aku berhutang padamu. Sudah sepantasnya kita
saling mengenal. Aku Jruda, asalku dari Desa
Kiting," Jruda lebih dahulu memperkenalltan namanya.
"Nama yang bagus."
Pemuda berbaju dari kulit harimau itu
melangkah pelahan-lahan meninggalkan tempat
itu. Jruda mengikuti, dan mensejajarkan langkah di sampingnya.
"Kau belum menyebutkan namamu, Kisanak," desak Jruda.
"Bayu. Panggil saja aku Bayu," sahut pemuda yang memakai baju dari kulit harimau
itu kalem, sambil terus mengayunkan langkahnya.
"Kau tentu bukan dari Desa Kiting. Apa kau seorang pendekar?" tebak Jruda.
"Hanya pengembara yang kebetulan lewat,"
sahut Bayu tetap kalem.
"Ilmu apa yang kau gunakan untuk
menghalau anjing-anjing liar itu?" tanya Jruda ingin tahu.
"Tidak ada ilmu. Aku hanya diam saja tanpa melakukan apa-apa," sahut Bayu.
"Mustahil. Binatang-binatang itu seperti buta, tidak melihatmu," Jruda tidak
percaya. Bayu hanya tersenyum saja. Dia tadi memang
menggunakan ilmu 'Halimun' yang diperoleh
dari seorang pertapa tua. Bayu mampu
meningkatkan ilmu itu dan menyempurnakannya dalam waktu tidak lama.
Bahkan bisa menyamarkan diri pada tujuan
tertentu yang dipilihnya. Seperti terhadap
anjing-anjing hutan itu. Binatang-binatang liar itu tidak bisa melihatnya,
bahkan tidak bisa
mencium bau badannya. Tapi karena ilmu itu
tidak ditujukan pada Jruda, maka laki-laki yang masih kelihatan muda itu masih
bisa jelas melihatnya. Tadinya Bayu ingin melindungi
Jruda dengan ilmunya. Tapi sikap Jruda yang
menentang, membuat ilmu 'Halimun' tidak ada
kekuatan. Memang aneh. Ilmu itu hanya bisa digunakan
jika tidak ada tantangan. Bahkan Bayu bisa
menyamarkan seseorang agar tidak terlihat,
asalkan orang itu pasrah dan tidak menentangnya. Kedua laki-laki itu terus berjalan tanpa berkata-kata lagi.
Meskipun Jruda masih
penasaran, tapi tidak lagi mendesak. Dia tahu
watak seorang pendekar yang selalu merendah.
*** 4 Suasana di Padepokan Mega Kiting tampak
tenang. Eyang Paladi tampak tengah duduk-
duduk di beranda depan bersama sepuluh orang
murid-murid pilihannya. Mereka berbincang-
bincang tentang suasana Desa Kiting yang
semakin kacau keadaannya. Sudah banyak orang
yang melihat bahwa yang membuat neraka di
desa ini ada dua orang. Mereka mengenakan
topeng berbentuk muka babi!
Orang misterius itu semakin sering berkeliaran di malam hari, dan tidak takut akan bentrok dengan murid-murid
Padepokan Mega Kiting. Tidak sedikit murid padepokan itu yang
tewas. Tentu saja ini membuat Eyang Paladi
semakin gundah. Sampai saat ini dia belum bisa
menemukan dua orang misterius itu.
Saat Eyang Paladi dan sepuluh orang murid
utamanya sedang berbincang-bincang, tiba-tiba
seorang muridnya datang tergopoh-gopoh.
Seluruh tubuhnya penuh debu, dan berkeringat,
napasnya tersengal, langsung jatuh berlutut di
tangga beranda. Eyang Paladi bergegas bangkit
dan menghampiri.
"Ada apa?" tanya Eyang Paladi. ,
"Celaka, Eyang. Mereka menjarah rumah
Paman Gering. .," lapor anak muda itu tersendat.
Eyang Paladi tidak berkata-kata
lagi, langsung melompat cepat bagai kilat. Sepuluh
orang murid utamanya bergegas mengikuti. Di
malam yang gelap itu, Eyang Paladi beriari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Dia tahu, arah mana yang harus ditempuh. Paman
Gering adalah orang yang amat dekat dengannya. Dia termasuk saudara sepupu
pendiri Padepokan Mega Kiting ini.
"Mundur...!" seru Eyang Paladi begitu tiba di depan rumah Paman Gering.
Sekitar delapan orang murid laki-laki tua
berjubah putih itu berlompatan mundur.
Tampak di sekitar halaman rumah yang tidak
begitu luas, tergeletak tidak kurang dari enam
mayat. Darah bercucuran dari tubuh-tubuh yang
sudah tidak bernyawa lagi itu.
Eyang Paladi melangkah menghampiri dua
orang berbaju gelap, yang wajahnya tertutup
topeng berbentuk muka babi. Kedua orang itu
saling berpandangan sejenak, kemudian menggeser kakinya lebih merapatkan jarak.
Eyang Paladi berhenti melangkah setelah
jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi.
"Apa maksud kalian membuat resah penduduk desa ini"!" tanya Eyang Paladi tegas.
Kedua orang itu tidak membuka suara sedikit
pun. Bahkan bergerak saja tidak. Namun dari
bola mata yang tersembunyi di balik topeng,
sudah dapat dipastikan kalau mereka merencanakan untuk melarikan diri.
"Siapa kalian sebenarnya" Dari mana kalian datang?" tanya Eyang Paladi lagi.
"Eyang, mereka tidak pernah bicara! Mungkin bisu," celetuk salah seorang murid yang tadi bertarung.
"Hm...," gumam Eyang Paladi pelahan. "Aku ingin tahu, apa benar kalian bisu?"
Setelah bergumam demikian, Eyang Paladi
langsung melompat cepat bagaikan kilat. Namun
secepat laki-laki tua itu melompat, secepat itu pula kedua orang itu
melentingkan tubuhnya ke
atas, dan langsung melesat kabur dengan arah
yang berlawanan.
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejenak Eyang Paladi kebingungan, namun dengan cepat melompat
mengejar salah seorang.
"Kejar yang seorang lagi!" seru Eyang Paladi keras.
Lima orang murid utama orang tua itu
bergegas mengejar yang seorang, dan lima orang
lagi mengikuti Eyang Paladi. Sedangkan murid-
murid yang tadi bertarung, segera membereskan
mayat-mayat yang bergelimpangan. Saat itu
malam sudah demikian larut. Eyang Paladi
berhenti berlari pada persimpangan jalan yang
menuju ke tiga arah. Orang yang dikejarnya
menghilang di tempat ini.
"Huh!" dengus Eyang Paladi kesal.
Lima orang muridnya tiba dan segera
menghampiri. Mereka semua melayangkan
pandang, berusaha menembus kegelapan malam. Tapi tak terlihat satu bayangan pun
berkelebat Lagi-lagi Eyang Paladi mendengus
kesal, karena buruannya lenyap begitoi saja
tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.
"Kalian tetap mencari, aku menunggu di
padepokan," perintah Eyang Paladi.
"Baik, Eyang," sahut lima orang muridnya itu seraya membungkuk memberi hormat.
Eyang Paladi melangkah cepat meninggalkan
lima orang muridnya. Tapi belum jauh
melangkah, datang tema orang yang mengejar ke
arah lain. Mereka melaporkan kalau buruannya
hilang. Eyang Paladi mendengus kesal.
"Kalian cari terus. Kalau ada perkembangan, cepat laporkan padaku!" perintah
Eyang Paladi. Kelima orang muridnya itu menjura memberi
hormat, kemudian kembali mencari buruan yang
hilang begitu saja bagai hantu. Eyang Paladi
kembali melangkah cepat menuju padepokannya. Dia singgah dulu di rumah
Paman Gering. Ada sedikit kelegaan karena
tidak satu pun keluarga Paman Gering yang
tewas. Hanya Paman Gering saja menderita luka
ringan di bahu kanannya. Tapi luka itu sudah
terbalut kain putih. Eyang Paladi kembali ke
padepokannya setelah memastikan semuanya
selamat. Hanya murid-muridnya saja yang jadi
korban malam ini. Dan itu berarti sudah lebih
dari separuh murid Padepokan Mega Kiting
yang tewas, setelah munculnya si pembunuh
misterius bertopeng muka babi!
Eyang Paladi tersentak kaget begitu baru saja
melangkah menaiki undakan beranda rumah
Padepokan Mega Kiting. Di ambang pintu
rumah utama padepokan itu sudah berdiri dua
anak muda. Yang seorang laki-laki, dan seorang
lagi perempuan berwajah cukup cantik. Mereka
adalah Pramana dan adiknya yang bernama
Rawuni. Eyang Paladi kembali melangkah
menatap undakan itu. Dihenyakkan tubuhnya di
kursi kayu berukir.
"Eyang kelihatan susah. Ada apa?" tegur Rawuni.
"Tidak ada apa-apa," sahut Eyang Paladi ringan.
"Aku tahu apa yang terjadi, Eyang," kata Rawuni.
"Rawuni...!" sentak Pramana. Tapi ucapan Rawuni sudah membuat Eyang Paladi
menoleh menatap kedua cucunya itu. Rawuni menatap
kakaknya tajam. Tidak sedikit pun ada rasa
gentar di hatinya melihat tatapan mata pemuda
itu. "Apa yang kau ketahui, Rawuni?" tanya Eyang Paladi.
"Eyang gelisah karena... "
"Rawuni!"
sentak Pramana. "Jangan mencampuri urusan Eyang Paladi."
"Kita berdua tahu, Kakang. Kenapa harus
menutupi?"
"Apa yang kalian ketahui?" tanya Eyang Paladi mendesak.
'Tentang dua orang bertopeng muka babi,"
sahut Rawuni. "Dari mana kalian tahu itu?" tanya Eyang Paladi agak terkejut juga.
Baru kemarin kedua cucunya ini tinggal di
Padepokan Mega Kiting, tapi sudah mengetahui
persoalan yang terjadi. Padahal setahu Eyang
Paladi, mereka belum keluar dari padepokan,
walaupun hanya untuk jalan-jalan. Eyang Paladi
menatap kedua cucunya bergantian. Sedangkan
yang ditatap hanya menundukkan kepalanya
saja. Sesekali Pramana melirik adiknya. Sungguh sangat disesali sikap Rawuni
yang dianggap berlaku lancang.
"Rawuni! Dari mana kau tahu tentang orang
bertopeng muka babi itu?" desak Eyang Paladi.
"Hanya dengar saja, Eyang. Semua murid
padepokan ini selalu membicarakan itu," sahut Rawuni.
"Hhh...!" Eyang Paladi menarik napas
panjang. "Hari sudah larut, Eyang. Sebaiknya tidur, beristirahat," usul Pramana.
"Kalian tidurlah dulu. Aku masih menunggu
murid-muridku," tolak Eyang Paladi.
Pramana menggamit tangan adiknya, lalu
sama-sama melangkah masuk ke dalam.
Sementara Eyang Paladi tetap duduk di
kursinya, menunggu murid-muridnya yang
tengah mengejar dua orang bertopeng muka
babi. Sementara Pramana menyeret Rawuni begitu
sampai di kamarnya, sehingga gadis itu hampir
jatuh. Pramana langsung menutup pintu
kamarnya. Di pandanginya Rawuni dalam-
dalam. "Untuk apa kau katakan itu pada Eyang,
Rawuni"!" tajam nada suara Pramana.
"Toh alasanku kuat, Kakang. Eyang juga bisa mempercayai alasanku," sahut Rawuni
tidak kalah tajamnya.
"Tapi untuk apa..."!"
"Untuk apa..."! Hhh.. ! Seharusnya kau bisa menjawab sendiri, Kakang. Jangan
berpikiran picik," Rawuni tersenyum sinis.
Pramana menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. Tubuhnya berbalik, kemudian
tangannya memukul dinding. Sebentar dia
berbalik lagi, lalu melangkah menghampiri
pembaringan. Dibanting tubuhnya di situ.
Sedangkan Rawuni hanya memandangi saja.
Pramana menatap jauh ke langit-langit kamarnya. "Aku tidak mengerti, apa yang kau pikirkan, Rawuni. Tapi aku tidak bisa berkata
apa-apa. Hanya satu yang kuinginkan, jagalah keselamatan diri kita masing-masing," kata Pramana pelan.
"Kau mulai tidak mempercayaiku, Kakang."
"Bukannya tidak mempercayaimu. Tapi kau
harus ingat dan selalu harus ingat, Rawuni."
"Aku tidak pernah lupa, Kakang. Karena kita berada di sini, adalah untuk
meneruskan cita-cita Ayah."
"Pergilah ke kamarmu," ujar Pramana seraya memejamkan matanya.
Rawuni membalikkan tubuhnya, kemudian
melangkah mendekati pintu kamar ini. Tapi
belum juga gadis itu membuka pintu, Pramana
sudah memanggil lagi. Rawuni membalikkan
tubuhnya, tidak jadi membuka pintu kamar ini.
"Ada apa lagi?" tanya Rawuni.
"Kau sudah tahu orang yang menggantungku?"
tanya Pramana seraya memiringkan tubuhnya.
"Aku heran, mengapa kau bisa digantung
seperti itu?"
Pramana memang sudah menceritakan peristiwa pahit di hutan pada adiknya, ketika
akan menjemput Rawuni yang ingin juga tinggal
di pesanggrahan ini Pemuda itu jadi penasaran,
karena belum dapat mengetahui orang itu
sampai sekarang. Demikian pula orang yang
sudah menolong membebaskannya.
Tapi Pramana kesal, karena orang itu malah
mengejeknya. Bahkan menganggapnya seekor
monyet yang terperangkap. Baginya, jelas itu
suatu penghinaan yang harus dibalas dengan
penggalan kepala. Tapi karena orang itu telah
menolongnya, maka diurungkan niatnya untuk
memenggal kepalanya.
"Jangan mengejekku, Rawuni. Si keparat itu licik! Curang! Menggunakan jebakan!"
rungut Pramana menggerutu.
Rawuni mengangkat bahunya. Semuanya
memang sudah diketahui dari cerita Pramana
sendiri. "Kau sudah tahu siapa orang itu, Rawuni?"
tanya Pramana lagi.
"Belum. Tapi orang yang menolongmu
bernama Bayu, atau dikenal sebagai Pendekar
Pulau Neraka," sahut Rawuni.
"Pendekar Pulau Neraka.. ," gumam Pramana seraya menelentangkan tubuhnya
kembali. "Aku tahu hal itu dari salah seorang murid utama Padepokan Mega Kiting ini. Dari
ciri-ciri yang kau katakan, dia bisa mengenalinya," kata Rawuni lagi.
"Dia pernah bertemu?"
"Belum. Tapi katanya nama Pendekar Pulau
Neraka sudah demikian terkenal. Pendekar
muda yang tangguh, dan sukar dicari tandingannya. Tapi sampai sekarang ini dia
belum bisa dimasukkan dalam golongan mana
pun. Tindakannya masih belum teratur. Yaaah. ., termasuk kita juga. Aku sendiri
belum yakin ke. . " "Rawuni...!"
sentak Pramana kembali menggelimpang memandang adiknya.
"Maaf," ucap Rawuni cepat-cepat.
"Kau harus membiasakan diri untuk menyimpan rahasia, Rawuni."
"Aku minta maaf, Kakang. Kadang-kadang
sukar sekali untuk mengunci mulut..."
"Seperti yang kau lakukan pada Eyang Paladi tadi!" rungut Pramana.
Rawuni hanya diam saja.
"Kembalilah ke kamarmu. Tidak enak kalau
ada yang tahu kau ada di sini, meskipun kau
adikku sendiri," ujar Pramana.
Rawuni mengangkat bahunya, kemudian
berbalik dan membuka pintu.
"Rawuni, cari keterangan tentang orang itu,"
kata Pramana tanpa membalik sedikit pun.
"Jangan khawatir, Kakang. Paling lambat lusa sudah bisa mengetahuinya," sahut
Rawuni langsung melangkah keluar dan menutup
kembali pintu kamar itu.
"Kau memang adikku yang baik, Rawuni,"
desah Pramana bergumam. "Tidak seharusnya
aku menyeretmu dalam persoalan ini. Kau
terlalu baik, polos, dan lugu."
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pramana menarik napas panjang-panjang,
dan menghembuskannya kuat-kuat Tubuhnya
tetap berbaring, tapi matanya menerawang jauh
menembus langit-langit kamar ini. Sementara
malam terus merayap semakin jauh. Terdengar
suara percakapan di depan. Begitu pelan dan
sulit didengar. Tapi Pramana bisa mengenali
suara Eyang Paladi. Hanya saja orang yang
diajak bicara sulit untuk dikenali suaranya.
"Heh.. ! Aku seperti mengenal suara itu?"
Pramana tersentak bangkit dari pembaringan.
Tiba-tiba saja bisa dikenali suara itu, tapi
sukar untuk mengingatnya. Kapan dan di mana
pernah mendengarnya. Terlalu pelan dan samar-
samar. Pramana berusaha menajamkan telinganya, tapi percakapan itu sudah tidak
terdengar lagi. Sunyi.. ! Pramana kembali
menghenyakkan tubuhnya, berbaring menatap
langit-langit kamar.
"Hmmm..., siapa yang bicara dengan Eyang
Paladi" Sepertinya pernah kukenal suaranya.. ,"
gumam Pramana dalam hati. "Siapa, ya.. ?"
*** Pagi-pagi sekali Pramana sudah menemui
Eyang Paladi di balai latihan yang berada di
samping kanan rumah utama Padepokan Mega
Kiting ini. Eyang Paladi yang sedang melatih
tenaga dalam, agak terkejut juga melihat
kedatangan cucunya pagi-pagi begini Dihentikan latihannya, lalu duduk bersila di
lantai bangsal latihan ini.
"Duduk, Pramana," ujar Eyang Paladi.
Pramana menjura memberi hormat, kemudian duduk bersila di depan laki-laki
pemimpin Padepokan Mega Kiting ini.
'Tidak biasanya pagi-pagi begini sudah
bangun. Ada yang ingin kau bicarakan
denganku, Pramana?" Eyang Paladi langsung
menuju pada pokok persoalannya.
"Benar," sahut Pramana singkat.
"Katakan saja. Di tempat ini tidak ada
rahasia." "Semalam aku mendengar ada tamu. Siapa
dia, Eyang?" Pramana langsung saja pada pokok pembicaraannya.
"Kau mencuri dengar pembicaraanku, Pramana?" agak terkejut juga Eyang Paladi
mendengar pertanyaan cucunya ini.
'Tidak begitu jelas. Tapi aku seperti pernah
mendengar suara tamu itu. Yang jelas, bukan
suara murid-murid di sini, Eyang," Pramana berhenti sebentar. "Bukan maksudku
untuk usil, Eyang. Tapi aku seperti pernah mengenalnya.
Barangkali saja bisa mengenal lebih jauh. Atau
mungkin malah temanku sendiri."
"Dia Bayu, lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Sengaja kuundang ke
sini untuk meminta bantuan mengatasi manusia bertopeng
muka babi. Desa ini sudah seperti neraka,
Pramana. Lebih dari separuh muridku tewas,
dan semua penduduk semakin dicekam ketakutan. Terlebih lagi para kerabat keluarga
pendiri padepokan ini."
"Bayu.. ," desis Pramana menggumamkan nama Pendekar Pulau Neraka.
Baru semalam Rawuni menyebut nama itu.
Nama dari seseorang yang pernah menolongnya
dari jeratan jaring jebakan di dalam hutan.
Ternyata orang itu memang pendekar tangguh.
Tidak mungkin Eyang Paladi meminta bantuannya kalau tidak memiliki kemampuan
yang sangat tinggi. Dan yang pasti, persoalan
yang dihadapi sudah tidak mampu lagi
ditanganinya sendiri.
"Kau kenal dengannya, Pramana?" tegur Eyang Paladi.
"Sekali pernah bertemu," sahut Pramana.
"Kalau ingin menemuinya, dia ada di bangsal belakang. Mungkin masih tidur," kata
Eyang Paladi lagi.
"Nanti saja, Eyang. Aku ingin jalan-jalan
dulu, melihat-lihat suasana di desa," tolak Pramana halus.
"Hati-hatilah. Kalau perlu, bawa beberapa
orang muridku."
'Terima kasih, Eyang. Aku bisa jaga diri."
"Aku percaya padamu, Pramana. Tapi aku
tidak ingin melibatkan dirimu dan adikmu
dalam kemelut ini."
"Mudah-mudahan tidak," sahut Pramana
seraya bangkit berdiri.
Pramana menjura memberi hormat, kemudian berbalik melangkah keluar dari
bangsal latihan ini. Sementara Eyang Paladi
kembali melanjutkan latihannya. Tapi belum
juga jauh berlatih, muncul seorang pemuda
berbaju dari kulit harimau. Pemuda itu
membungkukkan tubuhnya sedikit dan duduk
di depan Eyang Paladi.
"Aku lihat ada yang baru keluar dari sini,"
kata pemuda itu.
"Cucuku, Bayu," sahut Eyang Paladi.
"Hmmm...," pemuda berbaju kulit harimau yang memang tidak lain adalah Bayu si
Pendekar Pulau Neraka itu hanya bergumam
kecil. "Ada apa" Kau pernah bertemu dengannya?"
tanya Eyang Paladi melihat raut wajah Pendekar
Pulau Neraka agak berubah.
"Sekali. Tapi rasanya tidak penting," sahut Bayu.
"Kalau begitu, ada apa kau ke sini
menemuiku pagi-pagi begini?"
"Hanya ingin lebih jelas lagi, Eyang," sahut Bayu.
"Ya.... Semua memang harus dijelaskan dari awal kepadamu, meskipun aku yakin kau
sudah menyelidiki terlebih dahulu sebelum menemuiku semalam.
Tapi aku sungguh
berterima kasih karena kau bersedia membantuku. Juga membantu mengeluarkan
penduduk desa ini dari kobaran api neraka,"
kata Eyang Paladi.
Bayu hanya tersenyum saja.
*** 5 Dua buah bayangan terlihat berkelebat cepat
dan menyelinap ke tiap rumah-rumah penduduk
Desa Kiting, lalu berhenti di belakang sebuah
rumah yang tidak begitu besar. Mereka saling
bertatapan sebentar, lalu salah seorang melangkah pelahan mendekati pintu belakang
yang sedikit terbuka. Pelahan sekali tangannya
mendorong pintu itu. Suara berderik terdengar
dari pintu yang terkuak pelahan.
"Siapa itu...?" terdengar suara dari dalam.
Tak ada sahutan sedikit pun. Orang berbaju
serba gelap yang wajahnya tertutup topeng
muka babi itu mengibaskan tangannya cepat,
ketika tiba-tiba dari bagian dalam rumah ini
muncul seseorang. Secercah cahaya melesat
cepat bagai kilat ke arah orang yang baru
muncul itu. "Akh...!" terdengar suara pekikan tertahan.
Seketika itu juga sesosok tubuh terjungkal
dengan dada berlubang. Ternyata itu adalah
sosok tubuh wanita setengah baya, yang
kemudian langsung tewas seketika.
Dari dadanya mengalir darah segar.
"Ibu...!" terdengar jeritan melengking.
"Hih!"
Orang berbaju gelap yang wajahnya tertutup
topeng itu kembali mengibaskan tangannya.
Secercah cahaya kembali berkelebat cepat
Cahaya itu terpancar dari sebilah pisau kecil
yang tipis. Tapi orang yang menghambur ke
arah mayat wanita setengah baya itu cepat
menjatuhkan diri, sehingga pisau kecil itu lewat di atas tubuhnya.
Namun pisau kecil itu terus meluruk dan
menancap dalam di dada seorang anak berusia
sekitar delapan tahun yang baru saja terbangun
dari dipan. Anak itu menjerit keras, dan
langsung ambruk tidak bangun-bangun lagi.
Orang berbaju gelap yang wajahnya tertutup
topeng itu, melompat cepat Langsung dihantamkan satu pukulan keras bertenaga
dalam tinggi pada orang-orang yang baru
terbangun. Kembali dua jeritan melengking
terdengar, disusul tergeletaknya dua sosok
tubuh. Yang seorang masih kecil, sedangkan
seorang lagi sudah menginjak remaja. Orang itu
berbalik, kemudian menatap seorang wanita
muda berusia sekitar delapan belas tahun yang
tergeletak pingsan di samping mayat wanita
setengah baya. Dia sudah mengangkat tangannya hendak melontarkan satu pukulan,
tapi... "Tahan!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara
cegahan, muncul seorang berbaju gelap dan
wajahnya ditutupi topeng yang sama persis
Golok Halilintar 11 Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Pendekar Pemanah Rajawali 36
LINGKARAN RANTAI SETAN
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Lingkaran Rantai Setan
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Di pagi buta yang seharusnya hening, tiba-
tiba pecah oleh suara jeritan melengking tinggi.
Tidak berapa lama kemudian terdengar suara-
suara teriakan orang bertarung, disertai denting senjata beradu. Tapi suara
pertarungan itu hanya sebentar. Lalu pertarungan itu pun berhenti,
disusul terdengarnya jeritan melengking tinggi
yang kemudian tenggelam terbawa angin pagi.
Pagi yang masih gelap gulita itu seketika jadi
terang benderang oleh cahaya pelita dan obor
yang dinyalakan dari rumah-rumah.
Sebentar saja sudah banyak orang berlarian
dari dalam rumahnya masing-masing, menuju
ke arah datangnya suara tadi. Mereka berhenti di depan sebuah rumah yang tampak
rusak. Bahkan pada bagian belakangnya terbakar. Api
cepat membesar melahap rumah yang terbuat
dari kayu itu. Tampak seseorang berlari keluar
dengan terhuyung-huyung, dan langsung jatuh
begitu sampai di luar. Orang yang memadati
sekitar rumah itu langsung bergerak menolongnya. "Jruda...! Apa yang terjadi?" tanya seorang laki-laki setengah baya dan berkumis
tebal hampir menutupi bibirnya. Lengannya menopang tubuh pemuda berusia sekitar dua
puluh tahun yang tadi keluar dari dalam rumah
terbakar itu. "Me..., ah!" pemuda yang dipanggil Jruda itu langsung terkulai.
"Jruda...! Jruda...!" laki-laki setengah baya itu menggoyang-goyangkan tubuh
Jruda, tapi tetap
saja pemuda itu tidak bergerak.
"Dalaga.. ," terdengar sapaan lembut dari arah belakang.
Laki-laki setengah baya itu mengangkat
kepalanya. Lalu menoleh ke belakang. Tampak
seorang kakek berjubah putih telah berdiri di
belakang laki-laki setengah baya itu. Rambut
dan janggutnya juga memutih semua. Ditepuknya pundak laki-laki setengah baya
yang namanya dipanggil Dalaga. Dia bangkit
berdiri , sambil memondong tubuh Jruda yang
berlumuran darah.
"Hanya pingsan. Sebaiknya cepat bawa ke
rumahmu," kata kakek tua berjubah putih itu lembut, namun terdengar penuh
wibawa. "Baik, Eyang," sahut Dalaga.
Dalaga melangkah sambil memondong tubuh
Jruda yang pingsan, menyibakkan orang yang
berkerumun. Sementara beberapa laki laki mulai
mencoba memadamkan api yang semakin
membesar melahap rumah dari kayu itu. Pagi
buta yang masih gelap ini jadi terang benderang oleh cahaya api dari rumah yang
terbakar. Dalaga terus melangkah tergesa-gesa menuju
rumahnya yang tidak jauh dari rumah terbakar
itu. Sementara di belakang Dalaga berjalan laki-
laki tua berjubah putih, diikuti beberapa orang bersenjata golok terselip di
pinggang. Dalaga
membaringkan tubuh Jruda di dipan kayu yang
berada di beranda rumahnya. Laki-laki tua
berjubah putih itu memeriksa tubuh Jruda,
kemudian kepalanya terangguk-angguk.
Diberikannya beberapa totokah di sekitar luka
yang terus mengucurkan darah. Totokan itu
ternyata untuk menghentikan darah.
"Eyang Paladi. .," tertahan suara Dalaga.
"Jangan cemas! Adikmu hanya pingsan.
Lukanya tidak seberapa parah. Sebentar juga
siuman," kata Eyang Paladi kalem.
Dalaga membersihkan darah yang mengotori
tubuh Jruda dengan sobekan kain yang dibasahi
air dari tempayan di samping dipan kayu ini.
Sementara Eyang Paladi berbicara dengan enam
orang pemuda yang bersenjata golok di
pinggang. Enam orang pemuda itu bergegas
pergi melangkah tergesa-gesa. Eyang Paladi
kembali duduk di tepi dipan. Sedangkan Dalaga
sudah selesai membalut luka-luka di tubuh
adiknya. "Ini kejadian yang ketiga kalinya, Dalaga.
Kurasa sudah waktunya kau katakan semua
yang terjadi. Bukan hanya keluarga dan sanak
saudaramu yang terancam, tapi juga ketentraman semua penduduk Desa Kiting ini,"
tegas Eyang Paladi.
"Aku tidak tahu, Eyang," ujar Dalaga
sungguh-sungguh.
"Hhh...!" Eyang Paladi menarik napas
panjang. Laki-laki tua itu menatap Dalaga dalam-
dalam, seakan-akan mencari kesungguhan dari
sinar matanya. Kembali ditariknya napas
panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Saat
itu, dua orang bersenjata golok di pinggang
datang. Mereka segera membungkuk hormat
pada Eyang Paladi.
"Eyang, kami menemukan benda ini di depan
rumah Jruda," jelas salah seorang sambil
menyerahkan sebuah rantai yang bertaut
membentuk lingkaran.
Eyang Paladi menerima rantai berwarna
merah darah itu. Ada sepuluh lingkaran yang
saling bertaut Sejenak Eyang Paladi merayapi
benda di tangannya itu, kemudian menatap lebih
dalam pada Dalaga. Sedangkan yang ditatap
hanya menundukkan kepalanya saja.
"Dua peristiwa yang lalu juga ditemukan
benda jenis seperti ini. Hmmm... Aku menduga
kejadian ini akan berbuntut panjang," ujar Eyang Paladi setengah bergumam.
Eyang Paladi kembali menatap dua orang
muridnya yang masih berdiri di depan beranda.
Diperintahkan kedua muridnya untuk pergi.
Dua orang pemuda itu menjura memberi
hormat, kemudian berbalik dan melangkah
pergi. Eyang Paladi kembali duduk di tepi
dipan. Sebentar dipandangi Jruda yang masih
belum sadarkan diri, kemudian pandangannya
beralih pada Dalaga yang tetap tertunduk
merayapi wajah adiknya.
"Dalaga, kuminta besok siang temui aku di
pesanggrahan," pinta Eyang Paladi seraya
bangkit berdiri.
"Baik, Eyang," sahut Dalaga ikut berdiri, dan langsung menjura memberi hormat
"Sebentar lagi adikmu siuman. Rawat sebaik-baiknya, besok siang kau harus
membawanya serta menemuiku," kata Eyang Paladi lagi.
"Baik, Eyang."
"Hm... "
Eyang Paladi melangkah meninggalkan
beranda rumah yang kecil, namun berhalaman
cukup luas ini. Dalaga bergegas menggotong
tubuh adiknya, lalu membawanya masuk ke
dalam. Di dalam, seorang perempuan yang
keadaannya berantakan menyongsongnya. Dia
bergegas membantu Dalaga membawa Jruda,
dan membaringkannya di pembaringan yang
ada di ruangan tengah.
"Kenapa dia, Kakang?" tanya perempuan sambil menggelung rambutnya.
"Aku tidak tahu. Rumahnya terbakar," sahut Dalaga.
"Oh...!" perempuan itu menutup mulutnya terkejut. "Lalu, istri dan anaknya.. ?"
Dalaga tidak menpwab. Dihenyakkan tubuhnya di kursi dekat jendela, binar matanya
kosong, langsung menangkap sosok tubuh
ramping yang berdiri membelakangi pintu
sambil bersandar pada dinding sebuah kamar.
Gadis berusia sekitar delapan belas tahun itu
melangkah menghampiri pembaringan. Diambilnya kendi dan waskom, lalu dituangkan
air kendi itu ke dalam waskom. Diambilnya
secarik kain. Dengan lembut dibersihkan wajah
dan tubuh Jruda dari kotoran debu dan darah
kering. "Aku akan keluar, rawat dia baik-baik," kata Dalaga berpesan.
Dalaga langsung bangkit dan melangkah
keluar. Sedangkan dua wanita di dalam rumah
itu saling berpandangan. Tidak ada yang
membuka suara lebih dahulu. Dari raut wajah
mereka, terlihat jelas kedukaan yang dalam dan
rasa kecemasan.
*** Siang belum lagi naik tinggi. Dua orang laki-
laki berjalan pelahan-lahan menuju sebuah
tempat yang memiliki bangunan bagai kuil.
Bangunan kecil terdiri dari batu-batu bertumpuk, dihiasi pahatan gambar-gambar
penuh makna. Kedua laki-laki itu berhenti
melangkah setelah tiba di depan tangga kuil itu.
Tidak berapa lama, muncul Eyang Paladi dari
dalam kuil itu. Dituruninya undakan itu satu
persatu dengan hati-hati sekali. Tidak ada lagi orang lain di sekitar
pesanggrahan ini. Hanya
mereka bertiga.
Eyang Paladi, Dalaga, dan Jruda. Pembalut
masih terlihat di beberapa bagian tubuh Jruda.
Wajahnya juga masih terlihat pucat.
"Kami datang memenuhi panggilanmu,
Eyang," ujar Dalaga seraya menjura hormat, diikuti Jruda.
"Ikut aku," kata Eyang Paladi.
Dalaga dan Jruda melangkah di belakang
Eyang Paladi, menuju bagian belakang kuil
dengan memutari bagian samping kanan. Ketiga
orang itu berhenti di depan sebuah pendopo
kecil di tengah-tengah halaman belakang. Eyang
Paladi duduk di pendopo itu, sedangkan Dalaga
serta Jruda juga duduk bersila di depan Eyang
Paladi. Dalaga sudah bisa menebak kalau Eyang
Paladi pasti akan membicarakan hal penting
yang ada kaitannya dengan peristiwa malam itu.
Juga dua peristiwa sebelumnya yang meminta
banyak korban nyawa. Pendopo di belakang kuil
Pesanggrahan Bumi Lawa ini oleh Eyang Paladi
selalu dijadikan tempat untuk mengadakan
pembicaraan penting.
"Kau tahu, kenapa aku memintamu datang ke
sini, Dalaga?" ujar Eyang Paladi setengah
bertanya. 'Tentu, Eyang," sahut Dalaga penuh rasa
hormat. "Peristiwa malam itu adalah yang ketiga
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalinya. Sudah banyak korban yang jatuh. Dan
aku tidak ingin lagi melihat korban-korban
lainnya," kata Eyang Paladi memulai percakapannya. "Apa yang harus kulakukan, Eyang?" tanya Dalaga.
"Kau kenal benda ini, Dalaga?" Eyang Paladi mengeluarkan tiga buah rantai
berwarna merah menyala dari balik lipatan jubahnya. Diletakkan tiga rantai yang masing-masing
berjumlah sepuluh lingkaran itu di lantai.
Dalaga memandangi benda-benda itu dengan
kepala tertunduk. Begitu juga Jruda. Kedua
orang itu hanya diam saja sambil menundukkan
kepala dalam-dalam. Sementara Eyang Paladi
memandangi dengan tajam.
"Jujur saja padaku, Dalaga. Juga kau, Jruda.
Kalian berdua adalah muridku yang paling
kusayangi. Bahkan ayah kalian sudah kuanggap
sebagai adik sendiri. Sayang dia terlalu cepat
meninggalkan dunia ini. Kalau saja ayahmu
masih hidup tentu peristiwa ini tidak akan
terulang sampai tiga kali, " ujar Eyang Paladi pelan suaranya.
"Apa yang harus kulakukan, Eyang. Aku
sendiri tidak tahu benda itu," kata Dalaga seraya mengangkat kepalanya.
"Hm...," Eyang Paladi menggumam tidak jelas. Dia menatap Jruda.
Sedangkan yang ditatap hanya menunduk
saja. Malah sebentar-sebentar memijat-mijat
tangan kirinya sendiri. Kain pembalut masih
menutupi tangan kiri sampai ke siku dari
pangkal lengan. Sementara Dalaga hanya diam
saja dengan bibir terkatup rapat.
"Dari semua korban, hanya kau yang bisa
selamat, Jruda. Ceritakan dari awal kejadiannya, hingga kau mendapat luka
seperti itu," pinta Eyang Paladi.
"Kejadiannya begitu cepat, Eyang. Aku hanya melihat dua orang berbaju serba
hitam. Mereka membunuh anak dan istriku, Eyang. Aku
berusaha melawan, tapi mereka terlalu kuat dan
sangat tinggi tingkat kepandaiannya," Jruda mencoba menceritakan singkat
"Kau kenali wajah mereka?" tanya Eyang Paladi.
"Tidak. Mereka memakai topeng. Hanya
matanya saja yang terlihat," sahut Jruda
berusaha mengingat-ingat
"Jruda, apa kedua orang tersebut mengucapkan sesuatu?" tanya Eyang Paladi lagi.
"Tidak. Mereka datang membongkar jendela,
dan langsung membunuh anak dan istriku yang
sedang tidur. Salah seorang mencoba membunuhku, tapi berhasil kuhindari. Aku
tidak sempat lagi mengambil pedang, Eyang.
Mereka berdua mengeroyokku. Sedangkan aku
mencemaskan... Oh.. ," Jruda berhenti, dan kembali tertunduk.
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Jruda.
Bukannya aku ingin membangkitkan kembali
dukamu, tapi hanya ingin menyelesaikan
persoalan ini," kata Eyang Paladi.
Jruda hanya menganggukkan kepalanya saja.
"Sejak terjadi peristiwa kedua, aku memang sudah
menduga bakal ada peristiwa pembunuhan berikutnya hanya saja aku tidak
habis pikir, kenapa hanya ke-luarga dan sanak
keluarga kalian saja yang menjadi korban. Apa kalian punya musuh" Atau,
mungkin sanak keluarga kalian.. ?"
"Entahlah, Eyang. Tapi yang jelas aku sendiri tidak punya musuh," sahut Dalaga
lebih dahulu. "Dan kau, Jruda?" Eyang Paladi menatap pemuda di samping Dalaga.
"Tidak, Eyang. Aku hidup dalam kesederhanaan, tapi merasa bahagia karena
hidup dari hasil kerja memeras keringatku
sendiri. Rasanya aku tidak punya musuh.
Menyakiti sesama saja tidak pernah, Eyang,"
jelas Jruda. "Sejak kecil aku sudah mengenal kalian
berdua. Aku tahu kalau kalian tidak berbohong
dan menyembunyikan sesuatu," ucap Eyang
Paladi. Dalaga dan Jruda saling berpandangan. Kata-
kata Eyang Paladi itu memang terdengar lembut
dan tenang, tapi mengandung kecurigaan yang
dalam. Mereka sudah bersama-sama selama
puluhan tahun, dan sudah bisa mengenal watak
satu sama lain. Tapi baru kali ini Dalaga dan
Jruda menangkap adanya nada ketidakpercayaan dari nada suara Eyang Paladi.
Ketidakpercayaan itu datang karena tiga
peristiwa yang meminta korban jiwa tidak
sedikit. Terakhir, peristiwa malam itu yang
merenggut nyawa istri dan dua anak Jruda serta
lima orang teman-teman Jruda yang kebetulan
malam itu menginap di sana. Dan mereka semua
adalah murid Eyang Paladi.
Eyang Paladi bangkit berdiri, kemudian
melangkah meninggalkan bangunan pendopo
itu. Dalaga dan Jru-p da masih tetap duduk
bersila saling melempar pandang. Mereka
kemudian berdiri dan berjalan pergi setelah
Eyang Paladi jauh meninggalkan pendopo di
belakang kuil Puri Pesanggrahan Bumi Lawa ini.
Tak ada lagi yang membuka suara. Semuanya
diam membisu mengiringi ayunan kaki yang
semakin jauh meninggalkan pesanggrahan itu.
Sementara senja mulai merayap turun. Matahari
hampir tenggelam di balik cakrawala sebelah
Barat. Sinarnya yang redup, terasa lembut
menyentuh kulit. Dalaga dan Jruda tidak
langsung kembali ke rumah, tapi menengok
tegalan dulu. Letaknya memang tidak jauh dari
pesanggrahan itu.
*** Dalaga menghenyakkan tubuhnya di rerumputan yang cukup tebal, ternaungi pohon
beringin. Jruda tetap saja berdiri di samping
kakaknya. Mereka memandang jauh ke depan,
menembus cakrawala yang memerah jingga.
Cukup lama juga mereka berdiam diri, sibuk
dengan pikiran masing-masing.
"Hhh...! Eyang Paladi tidak percaya lagi pada kita, Jruda," desah Dalaga agak
mengeluh. "Ya. Aku juga merasakannya, Kakang. Tapi
kita harus berbuat apa.. " Kita memang tidak
tahu siapa orang yang berbuat itu," sahut Jruda seraya menempatkan diri, duduk
di samping kakaknya. "Benar tidak dapat kau kenali orang itu,
Jruda?" tanya Dalaga.
"Kau sendiri mulai tidak percaya padaku,
Kakang." "Aku percaya. Hanya rasanya, kok aneh.
Selama menuntut ilmu pada Eyang Paladi,
belum pernah aku bertarung secara sungguh-
sungguh. Tidak ada musuh dalam diriku dan
kehidupanku selama ini."
"Kau pikir aku juga punya musuh?"
"Kita berdua sama, Jruda. Kita dilahirkan dan dibesarkan di desa ini. Hm. . Apa
mungkin persoalan ini menyangkut orang tua kita, atau
mungkin juga saudara-saudara kita.. ?" Dalaga menebak-nebak.
"Jangan menduga terlalu jauh dulu, kakang.
Sekarang ini kita seperti berada di dalam lorong gelap, tanpa tahu jalan yang
harus ditempuh,"
Jruda memperingatkan.
'Terus terang, Jruda. Aku jadi penasaran.
Siapa orang yang akan membantai keluarga
kita...?" Dalaga seperti bicara pada dirinya sendiri.
Jruda hanya diam saja. Tidak mudah untuk
menjawab pertanyaan itu. Dia sendiri tidak tahu siapa kedua orang yang membantai
keluarganya, juga lima orang temannya yang kebetulan
menginap malam itu di rumahnya. Meskipun
sempat bertarung beberapa jurus, tapi tidak bisa mengenali dua pembunuh itu.
Malam itu sangat gelap, ditambah lagi dua
pembunuh itu memakai pakaian yang berwarna
gelap. Sukar untuk mengenalinya. Jurus-
jurusnya pun begitu cepat dan dahsyat, tidak
mudah dikenali sumbernya.
Agak lama juga kakak beradik itu terdiam
membisu. Beberapa kali terdengar tarikan napas
panjang dan berat Sementara suasana semakin
meremang. Angin pun sudah mulai menyebarkan udara dingin. Tapi Dalaga dan
Jruda masih tetap duduk di bawah pohon di
pinggir tegalan. Tidak ada lagi orang yang lewat di tempat ini. Semua penduduk
Desa Kiting tidak ada lagi yang berani keluar rumah jika
senja sudah datang. Peristiwa-peristiwa
pembunuhan liar yang terjadi tiga kali di desa ini membuat mereka dicekam
perasaan takut.
"Sudah hampir malam, Kakang," ujar Jruda seraya bangkit berdiri.
"Pulanglah dulu, aku masih ingin di sini,"
ujar Dalaga tetap duduk.
"Kau tidak apa-apa sendirian, Kakang?"
"Katakan pada istriku, sebentar lagi aku
pulang." "Baiklah."
Jruda mengayunkan kakinya meninggalkan
tegalan itu. Sedangkan Dalaga masih tetap
duduk bersandar pada batang pohon. Pandangannya menerawang jauh, memikirkan
kejadian-kejadian yang mengerikan selama ini
Desa yang selama ini tentram dan damai, kini
berubah bagai dipenuhi kabut maut yang setiap
saat bisa saja merenggut nyawa Kabut maut itu
bermula dari terbantainya satu keluarga kakak
sulung Dalaga. Sepekan kemudian, disusul
terbantainya keluarga pamannya. Dan kemarin
malam keluarga adiknya. Semua tewas, hanya
Jruda yang masih bisa diselamatkan nyawanya.
Trrek! "Eh.. !" Dalaga tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar suara ranting patah.
Secepat kilat laki-laki setengah baya itu
melompat bangkit, dan langsung berbalik. Tapi
belum juga bisa berpikir jauh, mendadak saja
seberkas cahaya kuning berkilat melesat cepat ke arahnya. Dalaga langsung
memiringkan tubuh
ke kanan sambil menggeser kakinya sedikit.
Sinar kuning itu lewat di samping tubuhnya, dan terus menghantam sebatang pohon
kelapa hingga tumbang.
"Hup!"
Dalaga bergegas melompat
ke kanan, menghindari pohon kelapa yang jatuh ke
arahnya. Dan belum lagi bisa berbuat sesuatu,
mendadak saja dari balik sebuah pohon muncul
dua orang berbaju biru tua yang sangat ketat,
sehingga membentuk tubuhnya yang ramping
dan tegap berisi.
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalaga terkesiap begitu melihat wajah kedua
orang yang memakai topeng berbentuk muka
babi. Sebilah pedang masing-masing tersampir
di punggung. Mereka juga memakai sabuk
dengan bola-bola emas melilit pinggangnya.
Dalaga tahu kalau cahaya keemasan yang
hampir menghantam tubuhnya tadi adalah salah
satu dari bola-bola kecil berwarna kuning
keemasan dari sabuk orang itu.
"Siapa kalian"!"
tanya Dalaga agak membentak. "Hm...," salah seorang bergumam.
Dan bersamaan dengan terlemparnya sebuah
rantai merah bertaut sepuluh lingkaran, salah
seorang langsung melompat bagai kilat menerjang. Dalaga terkesiap sejenak, lalu buru-
buru membanting tubuhnya ke tanah dan
bergulingan beberapa kali. Namun begitu
melompat bangkit, salah seorang lagi sudah
melompat cepat sambil melayangkan satu
tendangan kilat bertenaga dalam sangat tinggi.
Dalaga tidak mungkin lagi berkelit. Posisi
tubuhnya saat ini tidak memungkinkan. Maka
tendangan keras itu langsung menghantam
dadanya, hingga laki-laki setengah baya itu
terpental jauh ke belakang. Sebongkah batu
besar terguling terlanda tubuh Dalaga.
"Hiaaat. .!"
Dalaga membeliak lebar begitu orang yang
menendangnya kembali melompat sambil mencabut pedang. Cahaya keperakan dari
pedang yang terhunus, berkelebat cepat mengarah ke leher
Dalaga. Dan sesaat kemudian... "Aaa...!" Dalaga menjerit melengking tinggi.
Hanya sebentar Dalaga mampu bergerak,
kemudian roboh menggelepar. Kepalanya telah
terpisah dari leher! Sebelum Dalaga diam, dua
orang bertopeng muka babi itu sudah melesat
cepat meninggalkan tempat itu. Tinggal Dalaga
sendiri meregang nyawa. Dari lehernya yang
buntung tanpa kepala, mengalir darah segar
membasahi rerumputan. Tepat di saat terdengar
suara lolongan panjang anjing hutan, Dalaga
tidak bergerak-gerak lagi. Tubuhnya terbujur
bersimbah darah, sedangkan kepalanya berada
cukup jauh dari lehernya.
*** 2 Kematian Dalaga makin menggemparkan
penduduk Desa Kiting. Sungguh tragis! Kepalanya buntung,
dan hampir seluruh tubuhnya dicabik anjing-anjing hutan yang
kelaparan. Semalaman Dalaga terbujur menjadi
santapan anjing liar. Dan baru pagi harinya
ditemukan, ketika penduduk akan ke tegalan.
Dalam hal ini, yang paling terpukul adalah
Jruda. Semua orang tahu kalau kemarin Jruda
bersama-sama dengan kakaknya. Bahkan ketika
Eyang Paladi meninggalkan pesanggrahan,
mereka masih bersama-sama. Pandangan sinis
dan bernada menuduh terlontar dari mulut
penduduk untuk pemuda itu. Jruda semakin
tertekan. Apalagi Eyang Paladi juga mencurigainya, meskipun dia sudah mengatakan yang sebenarnya. Dia dan Dalaga
memang ke tegalan itu setelah pulang dari
pesanggrahan. Hanya saja Jruda pulang lebih
dahulu, meninggalkan Dalaga sendirian di sana.
Tapi keterangan Jruda tidak ada yang mempercayai, bahkan Eyang Paladi sendiri tidak
percaya. "Kau juga tidak percaya padaku, Rimah?"
datar nada suara Jruda. Pandangannya lurus
menatap istri kakaknya yang tidak henti-
hentinya mengeluarkan air mata.
Rimah diam saja. Disusut air matanya dengan
ujung kebaya. Suaminya sudah terkubur, dan
dia kini sendirian harus mengurus empat orang
anak. Mereka semua duduk di balai bambu di
ruangan tengah: Parti, anak sulungnya hanya
duduk tertunduk saja di samping ibunya.
"Aku akan mencari pembunuh keparat itu!"
desis Jruda geram.
"Apa yang akan kau lakukan, Jruda?" tanya Rimah tersendat
Jruda tidak langsung menjawab. Dia sendiri
tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Laki-
laki berusia sekitar dua puluh lima tahun itu
memandang keluar jendela. Tampak empat
orang murid Eyang Paladi berjaga-jaga di sekitar rumah itu. Jruda tahu kalau
masih ada beberapa
lagi di sekitar rumah ini, dan dia tahu kalau
Eyang Paladi tidak meninggalkan rumah ini
selama dia masih berada di dalam. Sakit hati
Jruda, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Menyalahkan kecurigaan Eyang Paladi saja dia
tidak bisa. Posisinya saat ini memang sulit.
Banyak orang yang melihatnya terakhir bersama
Dalaga di tegalan itu, di mana mayat Dalaga
tergeletak dengan tubuh koyak dan kepala
buntung. "Aku tidak menyalahkan kalian, jika tidak
mengijinkan lagi aku tinggal di sini. Nasib kita sama. Sama-sama kehilangan
orang yang kita
cintai. Tapi sekarang ini aku jadi orang yang
dicurigai sebagai pembunuhnya. Akan kubuktikan kalau aku tidak bersalah," pelan, namun terdengar tegas nada suara
Jruda. "Aku tidak menuduhmu, Jruda. Kau boleh
tinggal di sini. Kami semua membutuhkan
perlindunganmu," ujar Rimah seraya menyusut air matanya.
"Benar! Paman harus tetap tinggal di sini,"
sambung Parti, anak sulung Dalaga. Dia cukup
cantik, masih gadis dan baru berusia sekitar
delapan belas tahun.
"Aku akan melindungi kalian semua, tapi
tidak di rumah ini Aku tidak bisa tinggal di sini lagi. Percayalah pada Eyang
Paladi. Beliau pasti melindungi kalian semua," kata Jruda terharu.
Sebab, hanya keluarga ini saja yang tidak
menuduhnya sebagai pembunuh keji yang telah
menewaskan Dalaga.
"Lalu, kau akan ke mana?" tanya Rimah.
'Tidak jauh dari sini, tapi juga tidak kelihatan orang lain," sahut Jruda.
"Hhh...! Seharusnya Eyang Paladi tidak
melimpahkan tuduhan seperti itu padamu,
Jruda. Aku menyesal.. ," desah Rimah.
"Semua sudah terjadi, Kak. Tidak ada yang
perlu disesalkan lagi. Semua tuduhan itu
kuterima, meskipun aku merasa tidak bersalah.
Aku yakin, ada orang yang menginginkan
keluarga kita hancur," tegas Jruda.
"Siapa...?" Rimah seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Entahlah," sahut Jruda mendesah. "Sekarang ini kita semua belum tahu. Aku
yakin, satu saat nanti akan mengetahuinya!" tekad Jruda.
Untuk beberapa saat tidak ada yang bicara
lagi. Jruda bangkit berdiri dan melangkah
menghampiri jendela. Matanya mengarah keluar, mengamati keadaan sekitarnya. Tampak
sepi. Tidak ada seorang penduduk pun yang
berani keluar rumah, meski hari masih siang.
Terlihat beberapa orang murid Eyang Paladi
berjaga-jaga. Bukan saja di rumah ini, tapi juga di rumah keluarga Jruda yang
lain, serta tempat-tempat yang cukup memungkinkan.
Memang banyak murid Eyang Paladi.
Semuanya udak kurang dari lima puluh orang.
Dan rata-rata masih berusia sekitar dua puluh
tahun. Masih muda-muda, namun memiliki
kepandaian yang lumayan. Eyang Paladi sendiri
sebenarnya masih memiliki murid utama yang
berjumlah sepuluh orang. Rata-rata kemampuannya hampir menyamai Dalaga dan
Jruda yang juga murid tertua Eyang Paladi.
Jruda sendiri menjadi murid Eyang Paladi
setelah berusia sekitar tujuh bglas tahun.
Sebelumnya dia mempelajari ilmu olah kanuragan dari ayahnya sendiri, yang menjadi
salah seorang pendiri Padepokan Mega Kiting.
Padepokan itu kini dipimpin Eyang Paladi
setelah ayah Jruda meninggal.
"Hhh...!"
Jruda menghembuskan napas panjang. Sebentar dia berbalik, lalu menatap pada
Rimah dan keempat anaknya. Langkahnya
pelahan mendekati pintu, dan membukanya.
Tampak dua orang murid Eyang Paladi berjaga-
jaga di depan pintu. Mereka d sempat melirik
sedikit pada Jruda.
"Jadi pergi, Paman Jruda?" tanya salah seorang bernada sinis.
"Hm."," Jruda hanya menggumam kecil. Laki-laki berusia dua puluh lima tahun
berbaju kuning gading itu melangkah setelah menutup
kembali pintunya. Jalannya tidak tergesa-gesa.
Semua murid Eyang Paladi memandanginya
dengan tatapan sinis. Beberapa kepala terlihat
menyembul keluar dari dalam rumah. Para
penduduk Desa Kiting hanya bisa memandang
dari balik pintu dan jendela.
Jruda bisa merasakan pandangan mereka
semua, dan hanya mampu meredam semua yang
bergejolak dalam hatinya. Tapi disadari kalau
mereka semua tidak bisa disalahkan. Jruda terus melangkah menuju arah Timur, ke
arah sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi menjulang dengan pohon-pohon tumbuh subur
merapat "Akan kubuktikan.. !" desis Jruda bertekad dalam hati.
*** Tiga hari setelah kcpergian Jruda, suasana
Desa Kiting semakin tidak menentu. Setiap hari
selalu saja terjadi pembunuhan. Bukan saja
sanak keluarga Jruda, tapi juga penduduk yang
tidak tahu menahu dengan urusan itu. Kabut
tebal menyelimuti seluruh Desa Kiting. Semua
penduduk dicekam rasa takut yang amat sangat
Tidak ada lagi tempat yang aman. Pembunuh
misterius itu dapat masuk ke rumah kapan saja
dia mau, dan selalu meninggalkan mayat.
Siang itu udara panas sekali. Matahari
bersinar terik tanpa terhalang awan sedikit pun di langit Tak ada angin bertiup,
sehingga
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menambah panasnya udara siang ini. Seorang
penunggang kuda hitam membelah jalan
berdebu pelahan-lahan. Penunggangnya masih
muda, berkulit kuning langsat bagai kulit
wanita. Tapi dari raut wajahnya terlihat jelas
kalau itu seorang pemuda.
Penunggang kuda itu sempat melirik seorang
laki-laki yang tengah duduk di tepi jalan sambil berteduh di bawah pohon yang
cukup rindang. Sebelah kakinya sengaja direndam dalam aliran
air yang bening dan sejuk. Pemuda berbaju dari
kulit harimau itu sama sekali tidak peduli pada kuda yang melintas pelahan di
depannya. Malah
matanya agak terpejam dengan kepala bersandar
pada batang pohon.
Kuda hitam tegap jtu terus berjalan
membelah jalan berdebu. Penunggangnya juga
tidak lagi memperhatikan sekelilingnya. Pandangannya tetap lurus mengarah pada
sebuah bangunan yang cukup besar dan
memanjang, dikelilingi pagar kayu bulat yang
cukup tinggi. Kuda hitam itu berhenti tepat di
depan pintu pagar kayu yang dijaga dua orang
bersenjata golok terselip di pinggangnya.
"Maaf. Apakah Eyang Paladi ada?" tanya pemuda itu ramah.
"Kisanak siapa?" tanya salah seorang penjaga tanpa menjawab pertanyaan pemuda
itu. "Aku Pramana, cucu Eyang Paladi," sahut penunggang kuda itu.
Kedua penjaga yang juga murid Eyang Paladi
itu memperhatikan sejenak, lalu menggeser
memberi jalan. Pemuda yang mengaku bernama
Pramana itu menggebah kudanya pelahan. Kuda
hitam itu pun kembali berjalan memasuki
halaman yang luas, dikelilingi pagar kayu
gelondongan yang tinggi dan tampak kokoh.
"Hup...!"
Pramana melompat turun sebelum kuda
hitam itu berhenti melangkah. Dan dengan dua
kali putaran saja, sudah tiba di ujung atas
undakan beranda bangunan besar dengan
bagian samping memanjang bagai barak. Tepat
pada saat kaki pemuda itu menjejak lantai, dari dalam muncul Eyang Paladi
didampingi dua orang murid utamanya
"Eyang. .," ucap Pramana langsung berlutut memberi hormat.
"Pramana...!" Eyang Paladi nampak terkejut.
Buru-buru dihampiri dan dibangunkannya
pemuda itu. Pramana bangkit berdiri, lalu
menjura sekali lagi dengan membungkukkan
tubuhnya sedikit Eyang Paladi memandangi
wajah tampan di depannya. Kemudian bola
matanya berputar merayapi seluruh tubuh yang
mengenakan baju putih ketat, sehingga memetakan tubuhnya yang tegap padat dan
berotot "Kenapa tidak memberitahu dulu kalau ingin datang, Pramana?" tanya Eyang Paladi
seraya membawa cucunya itu masuk ke dalam.
Dua orang murid laki-laki tua itu meneruskan langkahnya keluar. Eyang Paladi
membawa cucunya ke bagian tengah dari salah
satu bangunan besar di Padepokan Mega Kiting,
yang hanya satu-satunya di Desa Kiting ini.
Perguruan silat itu memang sudah cukup lama
terbentuk, dan didirikan oleh seorang pendekar
ternama pada masa tiga puluh tahun yang lalu.
Eyang Paladi tinggal meneruskan saja, karena
merupakan sahabat kental pendekar itu.
"Kau datang sendiri?" tanya Eyang Paladi setelah
mereka duduk di kursi saling berhadapan. Hanya sebuah meja bundar
menghalangi. "Kenapa tidak kau bawa adikmu?"
tanya Eyang Paladi lagi. Padahal pertanyaannya
yang pertama saja belum terjawab.
"Rawuni menyusul nanti," sahut Pramana.
Eyang Paladi mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Aku dan Rawuni bermaksud ingin menetap.
Itu pun kalau Eyang mengijinkan," ungkap
Pramana langsung tanpa basa-basi lagi.
'Tentu saja boleh, Pramana. Dari dulu aku
sudah memintamu dan adikmu tinggal di sini.
Kapan saja pintu rumah ini selalu terbuka
untukmu," kata Eyang Paladi senang. \
'Terima kasih, Eyang," ucap Pramana.
"Bagaimana keadaan keluarga pamanmu?"
tanya Eyang Paladi.
"Semua baik-baik saja, Eyang," sahut Pramana diiringi senyuman tipis.
"Aku senang mendengarnya. Kau ingin
tinggal di sini sudah pamitan dengan pamanmu?" "Sudah! Bahkan Paman sendiri yang menganjurkan. Katanya agar aku dan Rawuni
bisa menambah kepandaian di sini."
"Ha ha ha...! Apa lagi yang bisa kuberikan padamu, Pramana" Aku yakin, Paman
Darwala sudah memberikan semua yang dimiliki.
Buktinya, pedang kesayangan pamanmu sekarang telah kau sandang. Itu berarti kau
sudah menguasai jurus 'Tarian Dewa Pedang'."
Pramana hanya tersenyum saja. Terasa
hambar senyuman pemuda itu, tapi Eyang
Paladi tidak memperhatikannya. Dia terlalu
gembira dengan kedatangan cucunya. Terlebih
lagi Pramana mengatakan hendak menetap di
pesanggrahan ini, yang memang sudah diharapkannya sejak dulu. Tepatnya ketika cucu-
cucunya ini masih kecil, dan ditinggal mati
kedua orang tuanya.
"Ayo, Pramana. Akan kutunjukkan kamarmu," kata Eyang Paladi seraya bangkit berdiri.
Pramana kembali tersenyum, lalu ikut berdiri
dan melangkah mengikuti Eyang Paladi.
Matanya selalu memperhatikan setiap ruangan
yang dilewati. Beberapa murid Eyang Paladi
menjura memberi hormat saat berpapasan, tapi
sempat juga melirik pemuda yang berjalan di
belakang Ketua Padepokan Mega Kiting itu. Dan
Pramana juga mengetahui, tapi diam saja. Pura-
pura tidak tahu.
*** Seekor kuda hitam berpacu cepat meninggalkan Desa Kiting. Kuda itu menuju ke
arah Timur, di mana terpampang sebuah bukit
tidak terlalu tinggi. Debu mengepul tersepak
kaki kuda yang berlari cepat bagai dikejar setan.
Penunggangnya seorang pemuda berwajah
tampan, dan berkulit kuning langsat seperti
wanita. Memasuki daerah hutan di kaki bukit
itu, kuda hitam itu tidak juga memperlambat
larinya. Tapi mendadak saja kuda hitam itu berhenti
berlari, lalu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Penunggang
kuda itu terperanjat, langsung melompat. Tubuhnya
berputaran tiga kali di udara, lalu ringan sekali kakinya menjejak tanah. Tampak
kuda hitam itu mendengus-dengus menghentak-hentakkan kaki
depannya ke tanah.
"Hm... Tenanglah, Hitam. Aku juga tahu,"
gumam pemuda itu pelan.
Sebentar pemuda itu menatap ke satu arah,
lalu dengan cepat dikibaskan tangan kanannya.
Dan secepat tangan itu bergerak, secepat itu pula secercah cahaya merah melesat
bagai sebatang anak panah lepas dari busur. Sinar merah itu
meluncur deras menembus semak belukar di
depannya. Siap! Bersamaan dengan menghilangnya cahaya
merah itu ke dalam semak, melesat satu sosok
tubuh ke atas. Dua kali tubuh itu berputar di
udara, lalu manis sekali mendarat sekitar tiga
batang tombak di depan pemuda berbaju putih
itu. "Siapa kau"! Kenapa menghadang jalanku"!"
bentak pemuda berbaju putih itu.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu!"
dengus orang yang ternyata Jruda.
"Hm... Aku tidak kenal siapa dirimu,"
gumam pemuda itu dengan kening agak
berkerut 'Tapi aku kenal denganmu, Pramana!" dingin nada suara Jruda.
"Siapa kau sebenarnya?" dengus Pramana terkejut, karena orang di depannya
mengenal dirinya. "Kau tidak perlu tahu diriku. Yang harus kau ketahui
hanya satu. Jangan coba-coba mengganggu kehidupan kami. Kau tidak berhak
hidup di Desa Kiting. Jelas.. !" dingin sekali suara Jruda.
"Hey. .! Apa hakmu melarangku tinggal di
sana?" "Jangan banyak tanya! Desa Kiting bukan
tempatmu. Sebaiknya tinggalkan desa itu, dan
jangan kembali lagi!" bentak Jruda.
"Kau mengancam, Kisanak."
'Terserah penilaianmu. Aku bisa berlaku
lebih kejam darimu!"
"O...! Hebat! Ternyata kau punya nyali besar juga sehingga berani menantangku."
"Tidak ada yang kutakuti, termasuk gurumu!" "Bagus! Bersiaplah, Kisanak! Hiyaaat. !"
Pramana langsung saja membuka jurus. Dan
bagaikan seekor kijang, tubuhnya melompat
menerjang Jruda yang sejak tadi sudah bersiap.
Pertarungan dua orang itu tidak dapat dihindari lagi. Meskipun Pramana tidak
mengetahui alasan orang itu membencinya, tapi pantang
baginya mendapat tantangan terbuka seperti itu.
Tidak tanggung-tanggung, Pramana menyerang
disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat
tinggi. Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan
itu sudah porak poranda bagai terkeria amukan
seribu ekor gajah. Pohon-pohon tumbang, dan
batu-batuan pecah berantakan. Debu mengepul
tinggi ke udara, membentuk awan yang
menyesakkan dada. Namun pertarungan itu
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak juga berhenti, bahkan semakin sengit saja.
Malah setelah melewati sepuluh jurus, masing-
masing sudah menghunus senjata. Mereka
bertarung dengan pedang tergenggam, siap
mencabik siapa saja yang lebih rendah
kepandaiannya. Trang! "Ikh.. !' Jruda tersentak ketika menangkis tebasan
pedang Pramana. Dia langsung melompat mundur tiga tindak.
Dan belum lagi Jruda bisa menguasai
tangannya yang bergetar akibat adu senjata tadi, Pramana sudah melompat sambil
mengarahkan ujung pedangnya ke arah dada. Cepat sekali
Jruda melompat ke samping menghindari
tusukan pedang itu, dan langsung melentingkan
tubuhnya ke atas. Manis sekali kakinya hinggap
di atas dahan, lalu pedangnya dikibaskan ke
salah satu ranting.
"Hait. !"
Cras! Bukan main terkejutnya Pramana. Tiba-tiba
saja tubuhnya terangkat naik, dan terkurung
jaring yang begitu kuat. Pramana berusaha
memberontak, tapi jaring itu demikian kenyal.
Tubuhnya tertekuk, dan pedangnya jatuh ke
tanah. Pramana tergantung, terbungkus jaring
sekitar dua batang tombak tingginya dari tanah.
"Hup...!"
Jruda melompat turun, dan berdiri tegak
bertolak pinggang begitu mendarat. Kepalanya
mendongak memandang Pramana yang berusaha melepaskan jaring yang membelenggu tubuhnya, hingga tergantung seperti itu.
"Ha ha ha...! Kau akan mati pelahan,
Pramana! Selamat menikmati kematianmu!" seru Jruda tertawa terbahak-bahak.
Pramana menggeram, memaki, dan menyumpah serapah. Tapi Jruda malah semakin
keras tawanya. Dia berbalik dan melangkah
menghampiri pohon besar. Seutas tambang
terikat di pohon itu. Dibukanya tambang itu dan diturunkan Pramana pelahan-
lahan. Setelah jaraknya cukup dekat ke tanah, Jruda mengikat
lagi tambang itu ke pohon.
Sambil tertawa terbahak-bahak, Jruda berlari
cepat dan menghilang ke dalam hutan. Sebentar
masih terdengar suara tawanya, kemudian
pelahan-lahan menghilang tersapu angin. Sementara Pramana berusaha melepaskan diri
dari jeratan jaring itu. Dicobanya untuk
memutuskan jaring. Meskipun sudah mengeluarkan tenaga dalam penuh, tapi jaring
itu tetap tidak mau putus. Pramana sadar kalau
jaring ini terbuat dari bahan yang sangat kuat.
"Setan!" rutuk Pramana sengit.
Pemuda itu memandang pedangnya $ang
tergeletak di tanah. Dikeluarkan kakinya, dan
berusaha menjangkau pedangnya. Tapi tidak
juga sampai. Sia-sia saja semua usaha yang
dilakukannya. Pramana meru-tuk dan memaki
habis-habisan. Tidak ada lagi yang bisa
dilakukannya. Dan dia tahu, kalau malam
tempat ini dipenuhi anjing hutan yang
kelaparan. Jaraknya cukup untuk binatang liar
itu menjangkau tubuhnya. Pramana jelas tidak
mau mati sia-sia begini.
Meskipun tahu akan sia-sia, tapi Pramana
berusaha melepaskan diri dari jerat menyakitkan hati ini. Baginya lebih baik
mati dalam pertarungan daripada tersiksa tanpa daya seperti ini. Otaknya berpikir keras
mencari cara untuk
bisa terlepas. Namun segala cara yang
digunakan hanya membuatnya memaki, mengumpat habis-habisan.
"Setan! Siapa pun dia, harus mampus di
tanganku!" maki Pramana geram.
*** 3 Senja terus merayap lambat menjelang
malam. Pramana masih tergantung di dalam
jaring. Peluh sudah sejak tadi membasahi
sekujur tubuhnya. Jelas hatinya tampak putus
asa, karena segala usaha yang dilakukan tidak
berhasil untuk melepaskan diri dari jaring
keparat ini. Pemuda itu menoleh ketika
mendengar siulan yang timbul tenggelam
terbawa angin senja. Siulan tanpa irama yang
jelas, semakin terdengar mendekat ke arahnya.
"Hey. .!" teriak Pramana sekuat-kuatnya.
Teriakan Pramana menggema, terpantul
dinding-dinding bukit dan lembah serta hutan.
Beberapa kali Pramana berteriak disertai
pengerahan tenaga dalam. Tapi siulan itu tetap
terdengar berirama sumbang.
"Hey. .! Siapa kau di situ"! Cepat kesini...!"
teriak Pramana keras.
Suara siulan itu berhenti. Pramana mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dan
tatapannya langsung tertuju pada sebuah semak
yang bergerak-gerak. Jantungnya berdebar,
berharap ada orang yang datang dan bersedia
menolongnya. Sama sekali tidak diharapkan
kalau binatang buas yang muncul.
"Oh...," Pramana mendesah panjang ketika dari dalam semak muncul seorang laki-
laki muda berpakaian kulit harimau. Pemuda itu
tertegun melihat seseorang tengah tergantung
dalam jaring seperti ikan.
Dia berhenti melangkah dan memandangi dengan perasaan
heran. "Kisanak, cepat turunkan aku...," pinta Pramana.
"He.. ! Kau bisa bicara.. "! Kukira kau monyet yang terperangkap!" seru pemuda
itu. "Ini bukan waktunya bergurau, Kisanak!
Cepat turunkan aku dari sini!" bentak Pramana gusar.
"Ck ck ck. . Galak juga," pemuda berbaju kulit harimau itu berdecak sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Pelahan pemuda itu melangkah semakin
mendekati. Dipandangi Pramana yang tampak
geram, karena merasa dirinya jadi tontonan. Tapi Pramana berusaha meredam
kemarahannya. Saat itu pemuda berbaju aneh itu sangat
dibutuhkan pertolongannya untuk melepaskannya dari jaring keparat ini. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu
malah melangkah memutarinya. Beberapa kali
mulutnya berdecak sambil menggeleng- gelengkan kepala. Lagaknya seperti seorang
saudagar yang tengah mengagumi barang indah
dan langka. Tentu saja tingkah pemuda itu
membuat Pramana jadi gusar, namun masih bisa
menahan din. "Kisanak...!" tegur Pramana tidak sabar lagi.
"Oh...! Kau bicara lagi.. ?" pemuda berbaju kulit harimau itu menatap Pramana.
"Lepaskan jaring ini! Aku akan memberimu
imbalan yang pantas," bujuk Pramana.
"Kau seperti anak saudagar kaya, atau kau
putra pembesar kerajaan yang kesasar?" pemuda itu seperti berbicara kepada
dirinya sendiri.
'Terserah apa saja! Cepat! Lepaskanlah aku
dari jaring keparat ini, Kisanak!" dengus
Pramana tidak sabar.
"Hm...,"
pemuda itu bergumam dan memandangi Pramana yang nampak gusar,
namun penuh harap untuk bisa terlepas dari
perangkap jaring ini
Pemuda berbaju kulit harimau itu memungut
pedang yang tergeletak di tanah. Ditimang-
timangnya pedang itu, lalu diberikannya pada
Pramana. Kasar sekali Pramana merebut pedang
itu, kemudian langsung berusaha berdiri.
Seketika ditebaskan pedangnya pada tambang
yang mengikat bagian atas jaring ini. Tambang
itu putus, dan Pramana jatuh bersama jaring
yang masih mengurung dirinya.
Pramana berusaha keluar dari jaring itu.
Dimasukkan pedangnya dalam sarungnya,
setelah lepas dari jaring yang membelenggunya.
Sebentar ditatapnya pemuda berbaju kulit
harimau yang menolongnya, kemudian tanpa
berkata apa-apa lagi Pramana langsung berbalik
dan melangkah cepat menghampiri kuda
hitamnya yang setia menunggui sambil merumput sekenyang-kenyangnya.
"Hup!" Pramana melompat naik ke punggung kuda itu.
Sekali gebah saja, kuda hitam itu langsung
melesat pergi meninggalkan debu yang mengepul bercampur daun-daun kering. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau hanya
memandangi saja sambil menggeleng-gelengkan
kepala, kemudian kembali melangkah. Mulutnya
bersiul-siul mendendangkan lagu tanpa irama
yang pasti. "Berhenti.. !"
Pemuda berbaju kulit harimau itu terkejut
ketika mendengar bentakan yang keras dan tiba-
tiba dari arah belakang. Tubuhnya berbalik dan
tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri
seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Sebilah pedang panjang
tergantung di pinggang. Siulan pemuda berbaju kulit harimau
itu terhenti seketika.
"Kau yang melepaskan tawananku.. ?" laki-laki yang ternyata adalah Jruda itu
menunjuk jaring yang tergeletak di sampingnya.
'Tawanan. .?" pemuda berbaju kulit harimau itu mengerutkan keningnya.
"Kau yang lewat di sini, tentu kaulah yang memutuskan jaring ini!" dengus Jruda.
"Aku tidak memutuskan jaring itu. Dia
sendiri yang melakukannya," bantah pemuda
berbaju harimau itu kalem.
"Mustahil!
Tidak ada yang mampu
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memutuskan jaring ini. Pasti kaulah yang
menolongnya!"
"Menolong siapa" Aku hanya memberikan
pedang yang tergeletak di tanah, kemudian dia
sendiri yang memutuskan tambang itu, dan
keluar dari jaringmu."
"Sama saja, tolol!" bentak Jruda geram.
"He.. ! Kenapa marah?"
"Kau melepaskan tawanan berhargaku, maka
kau harus bertanggung jawab!" geram Jruda.
Setelah berkata demikian, Jruda langsung saja
melompat menerjang.
"Hey. .! Tunggu!"
Tapi Jruda tidak peduli terhadap peringatan
itu. Pemuda itu diserangnya dengan beberapa
pukulan beruntun dan mengandung tenaga
dalam cukup tinggi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu beriompatan menghindari serangan yang dansyat dan cepat. Jruda semakin geram, karena
beberapa serangannya selalu gagal.
"Uh! Rupanya di sini banyak orang gila!
Tidak ada urusan main serang saja.. !" lenguh pemuda berbaju kulit harimau itu
seraya tidak berhenti berkelit.
Tiba-tiba saja dengan kecepatan yang sangat
tinggi dan sukar diduga, pemuda itu melenting
ke atas. Dan secepat itu pula, menukik deras.
Tangan kirinya berkelebat cepat, langsung
menghantam bahu kanan Jruda.
"Hegh!"
Jruda berusaha bertahan, tapi seketika itu
juga ambruk ke tanah setelah satu totokan jari
mendarat di lehernya. Pemuda berbaju kulit
harimau itu berdiri tegak di dekat tubuh yang
tergeletak tidak berdaya, karena jalan darahnya tertotok. Sebentar pemuda itu
memandangi, kemudian berbalik hendak pergi.
"Hey. .J Tunggu!" seru Jruda berusaha menggeliat. Tapi seluruh tubuhnya terasa
lumpuh, sukar digerakkan lagi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak jadi
melangkah pergi, dan kembali berbalik menatap
laki-laki yang tergeletak tak berdaya.
"Bebaskan aku! Jangan tinggalkan aku di
sini," kata Jruda memohon.
"Heran. . Kenapa semua orang takut di sini sendirian" Apakah tempat ini sarang
dedemit?" gumam pemuda itu seperti bicara untuk dirinya
sendiri. "Jangan bergurau, Kisanak. Cepat bebaskan
sebelum...." '
Belum juga Jruda menghabiskan ucapannya,
tiba-tiba terdengar lolongan anjing hutan yang
panjang mendirikan bulu kuduk. Seketika itu
juga wajah Jruda pucat pasi. Kalau saja tubuhnya bisa bergerak, mungkin sudah
gemetar. Suara lolongan anjing hutan itu semakin terdengar
dekat. Terlebih, bukan hanya satu. Lolongan itu saling sahut, seperti sama-sama
memberitahu ada manusia di sekitar tempat ini.
"Cepat, sebelum keparat-keparat itu muncul!"
sentak Jruda. "Hanya anjing, kenapa harus takut?" pemuda berbaju dari kulit harimau itu
kelihatan tenang saja, dan malah duduk di samping Jruda.
"Gila kau! Bebaskan totokanmu cepat!"
rungut Jruda berusaha menggelinjang.
Sementara lolongan anjing semakin banyak
terdengar. Begitu dekat terdengar, sehingga
membuat Jruda semakin pucat wajahnya. Dia
berusaha menggelinjang, mencoba membebaskan totokan pemuda berbaju kulit
harimau itu Tapi totokan itu sangat kuat sekali, karena disalurkan lewat
pengerahan tenaga
dalam sempurna. Jruda sadar kalau tenaga
dalam dan hawa murninya kalah jauh, dan tidak
mungkin terbebas dari totokan kalau bukan
pemuda berbaju kulit harimau itu sendiri yang
melakukannya. "Sudah kukatakan, hanya anjing...," ujar pemuda itu terputus seketika.
Satu ekor anjing hutan muncul dari semak.
Tidak berapa lama kemudian datang lagi. Dan
jumlahnya pun semakin bertambah banyak.
Datang dari segala penjuru, langsung membentuk lingkaran mengepung kedua orang
itu. "Huh! Bodoh. .! Cari mampus!" gerutu Jruda putus asa.
"Hm...," pemuda berbaju kulit harimau itu menggumam pelahan. Hampir tidak
terdengar gumamannya. Cepat sekali tangan pemuda itu bergerak,
dan jari-jarinya bergerak lincah menotok jalan
darah di tubuh Jruda. Totokan pembuka itu
kontan bekerja, lalu Jruda menggelinjang bangkit berdiri. Tapi seekor anjing
hutan menggerung.
Jruda langsung diam tidak bergerak-gerak lagi.
Kedua bola matanya membeliak begitu melihat
puluhan anjing hutan liar sudah mengepungnya.
Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu
masih tetap duduk tenang.
"Jangan menimbulkan perhatian. Tetap saja
tenang," perintah pemuda berbaju kulit harimau itu kalem.
"Huh! Ini semua gara-garamu!" rungut Jruda.
"Tenanglah, diam saja. Jangan banyak bicara."
"Kalau kau menuruti kata-kataku tadi, tidak akan jadi begini. Huh...!" gerutu
Jruda habis-habisan.
Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu
tetap duduk tenang tanpa bergerak sedikit pun.
Jruda masih menggerutu. Segera ditarik pedangnya keluar dari sarungnya. Dan begitu
pedangnya keluar, mendadak seekor anjing
hutan liar itu meraung keras, lalu melompat
menerjang cepat.
"Hait. .!"
Wut! Jruda mengibaskan pedangnya cepat. Anjing
hutan itu menggerung keras, dan jatuh
menggelepar dengan perut sobek terbabat
pedang Melihat temannya tewas seketika,
anjing-anjing lainnya menggeram marah memperlihatkan taring-taringnya yang tajam
mengerikan. Jruda bersiap-siap dengan pedang
terhunus "Kau membuat kesulitan!" dengus pemuda berbaju kulit harimau.
"Diam kau!" bentak Jruda sengit. "Semua ini gara-garamu!"
"Sebentar lagi mereka akan menyerang,
mengoyak tubuhmu. Satu nyawa mereka belum
cukup jika dibayar darah dan dagingmu," ujar pemuda berbaju kulit harimau itu
lagi. Suaranya tetap tenang.
Jruda jadi menatap tajam pemuda yang masih
duduk bersila tenang, tidak bergeming sedikit
pun. Dia terpaku mendengar kata-kata pemuda
itu. Kata-kata yang begitu aneh terdengar di
telinga, dan begitu dalam mengandung banyak
arti. Tapi belum juga Jruda bisa memahami kata-
kata pemuda berbaju kulit harimau itu,
mendadak saja dua ekor anjing hutan yang
mengepung tempat
ini melompat sambil bersuara keras menggetarkan jantung. Jruda
kontan melompat sambil mengibaskan pedangnya. Seekor meraung keras, dan terjungkal bersimbah darah. Jruda kembali
membabatkan pedangnya untuk yang seekor
lagi. Tapi belum juga pedangnya mengenai
sasaran, beberapa ekor sekaligus sudah melompat lagi. Jruda berpelantingan,
berlompatan menghindari serangan anjing-
anjing hutan itu. Pedangnya berkelebatan cepat
membabat binatang-binatang liar yang kelaparan
itu. "Setan.. !" dengus Jruda menggeram.
Matanya sempat melirik pemuda berbaju
kulit harimau yang tetap duduk tenang bersila.
Tidak ada anjing seekor pun yang memperhatikan pemuda berbaju kulit harimau
itu. Bahkan kini semakin banyak saja yang
menyerang, dan berusaha melumpuhkan Jruda.
Tidak terhitung lagi, berapa yang tewas terbabat pedang. Dan anjing-anjing hutan
itu bukannya takut, tapi malah semakin ganas saja.
"Kisanak, apa yang kau lakukan di situ!
Bantu aku...!" seru Jruda yang mulai kewalahan menghadapi keroyokan anjing liar
yang ganas ini. Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu diam
saja. Tetap duduk tenang tanpa bergeming
sedikit pun juga. Jruda jadi heran, tapi tidak
sempat memperhatikan dan berpikir banyak.
Keroyokan anjing liar ini sudah membuatnya
repot Apalagi jumlahnya semakin banyak saja,
meskipun tidak sedikit yang tewas terbabat
pedangnya. "Huh! Bisa habis napasku kalau begini!"
dengus Jruda tersengal.
Jruda melirik sebuah pohon yang berada di
dekatnya. Dikibaskan pedangnya cepat maka
tiga ekor an jing menggerung terbabat pedang
itu. Secepat kilat Jruda melompat ke atas, dan
berputaran dua kali di udara. Tapi belum sempat mencapai dahan, tubuhnya sudah
meluncur ke bawah lagi. Padahal anjing-anjing hutan itu
sudah menunggu sambil menggonggong memperlihatkan taringnya.
"Mati aku.. !" lenguK Jruda.
Mendadak Jruda melihat sebuah benda
meluncur deras ke arah kakinya. Maka
dimanfaatkanlah benda itu, dan langsung
ditotok dengan ujung jarinya. Jruda kembali
melesat naik, dan hinggap di atas dahan pohon
tinggi. Anjing-anjing liar itu ribut menggonggong di bawah pohon. Mereka
berebut hendak naik, tapi tidak berhasil. Jruda menarik napas panjang.
Diliriknya sebuah serat
kulit kayu yang tertancap cukup dalam di
batang pohon ini.
Kemudian dipandangi
pemuda berbaju kulit harimau yang masih tetap
duduk bersila. Di tangan kiri pemuda itu
tergenggam sebatang kulit kayu kering. Jruda
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu, kalau kulit kayu kering itu tadi
dilemparkan pemuda itu untuk menyelamatkan
nyawanya. "Diam saja di sana, jangan bergerak sedikit pun.
Masukkan pedangmu ke dalam sarungnya," perintah pemuda berbaju kujit
harimau itu pelan. Gerak bibirnya hampir saja
tidak terlihat.
Suara yang begitu pelan, namun terdengar
sangat jelas di telinga. Jruda tahu kalau pemuda itu berkata benar, dan dia
menurutinya. Hatinya kagum juga dengan ilmu memindahkan suara
yang dimiliki pemuda berbaju dari kulit
harimau itu. Sungguh sempurna! Bahkan saat
mengeluarkan suara, mulutnya tidak bergerak
sama sekali *** Jruda yang nangkring di atas pohon, semakin
keheranan. Ternyata pemuda berbaju kulit
harimau itu tetap saja duduk bersila, meskipun
ratusan ekor anjing hutan liar simpang siur di
sekitarnya. Anjing-anjing itu seperti tidak
menghiraukan, atau mungkin tidak melihat.
Binatang-binatang liar itu malah menunggui
Jruda di bawah pohon.
"Kisanak! Kalau kau bisa mengendalikan
binatang-binatang itu, usirlah dari sini!" seru Jruda
"Jangan banyak bicara. Suaramu menggoda
mereka!" pemuda itu memperingati disertai
pengerahan ilmu memindahkan suara.
Jruda langsung menggelinjang, karena peringatan itu menjadi kenyataan. Dua ekor
anjing liar itu mencoba melompat ke atas. Tapi
jatuh lagi sebelum sampai pada sasarannya.
Jruda kontan diam. Matanya tidak berkedip
memandangi binatang-binatang
liar yang banyak mengelilinginya di bawah pohon ini.
Jruda duduk di dahan pohon tanpa bergerak
sedikit pun. Anjing-anjing liar itu mulai
menggerung tidak sabar. Sementara perut
mereka sudah minta diisi, maka satu demi satu
mulai meninggalkan tempat itu. Jruda memperhatikan binatang-binatang liar itu pergi.
Agak lama juga, tapi akhirnya semua binatang
liar itu pergi semua.
"Jangan turun dulu!" pemuda berbaju kulit harimau itu memperingatkan.
Jruda yang akan melompat turun, mengurungkan niatnya. Dan peringatan itu
memang benar. Ternyata masih ada seekor lagi
yang belum meninggalkan tempat ini. Binatang
liar itu mengelilingi pohon tempat Jruda masih
berada di atasnya. Binatang buas itu menggerung-gerung. Sebentar dia mendongak
ke atas, lalu berjalan lemah gemulai meninggalkan tempat itu. Jruda menunggu
sampai binatang liar itu tidak terlihat lagi, tapi masih tetap di dahan pohon
itu. Dipandangi
pemuda berbaju kulit harimau yang masih tetap
duduk bersila dengan tenang.
"Kisanak, boleh aku turun sekarang?" tanya Jruda.
"Kalau takut, jangan turun," sahut pemuda itu kalem.
"Kampret!" gerutu Jruda.
Tanpa menunggu waktu lagi, Jruda melompat turun. Ringan sekali gerakannya. Dan
begitu kakinya menapak tanah, tidak ada suara
sedikit pun yang ditimbulkan. Dia melangkah
mendekati pemuda yang masih duduk tenang.
"Kisanak! Siapa kau sebenarnya?" tanya Jruda mulai ramah.
"Perlukah itu?" pemuda itu malah balik bertanya seraya bangkit berdiri.
"Kau sudah menyelamatkan nyawaku, maka
aku berhutang padamu. Sudah sepantasnya kita
saling mengenal. Aku Jruda, asalku dari Desa
Kiting," Jruda lebih dahulu memperkenalltan namanya.
"Nama yang bagus."
Pemuda berbaju dari kulit harimau itu
melangkah pelahan-lahan meninggalkan tempat
itu. Jruda mengikuti, dan mensejajarkan langkah di sampingnya.
"Kau belum menyebutkan namamu, Kisanak," desak Jruda.
"Bayu. Panggil saja aku Bayu," sahut pemuda yang memakai baju dari kulit harimau
itu kalem, sambil terus mengayunkan langkahnya.
"Kau tentu bukan dari Desa Kiting. Apa kau seorang pendekar?" tebak Jruda.
"Hanya pengembara yang kebetulan lewat,"
sahut Bayu tetap kalem.
"Ilmu apa yang kau gunakan untuk
menghalau anjing-anjing liar itu?" tanya Jruda ingin tahu.
"Tidak ada ilmu. Aku hanya diam saja tanpa melakukan apa-apa," sahut Bayu.
"Mustahil. Binatang-binatang itu seperti buta, tidak melihatmu," Jruda tidak
percaya. Bayu hanya tersenyum saja. Dia tadi memang
menggunakan ilmu 'Halimun' yang diperoleh
dari seorang pertapa tua. Bayu mampu
meningkatkan ilmu itu dan menyempurnakannya dalam waktu tidak lama.
Bahkan bisa menyamarkan diri pada tujuan
tertentu yang dipilihnya. Seperti terhadap
anjing-anjing hutan itu. Binatang-binatang liar itu tidak bisa melihatnya,
bahkan tidak bisa
mencium bau badannya. Tapi karena ilmu itu
tidak ditujukan pada Jruda, maka laki-laki yang masih kelihatan muda itu masih
bisa jelas melihatnya. Tadinya Bayu ingin melindungi
Jruda dengan ilmunya. Tapi sikap Jruda yang
menentang, membuat ilmu 'Halimun' tidak ada
kekuatan. Memang aneh. Ilmu itu hanya bisa digunakan
jika tidak ada tantangan. Bahkan Bayu bisa
menyamarkan seseorang agar tidak terlihat,
asalkan orang itu pasrah dan tidak menentangnya. Kedua laki-laki itu terus berjalan tanpa berkata-kata lagi.
Meskipun Jruda masih
penasaran, tapi tidak lagi mendesak. Dia tahu
watak seorang pendekar yang selalu merendah.
*** 4 Suasana di Padepokan Mega Kiting tampak
tenang. Eyang Paladi tampak tengah duduk-
duduk di beranda depan bersama sepuluh orang
murid-murid pilihannya. Mereka berbincang-
bincang tentang suasana Desa Kiting yang
semakin kacau keadaannya. Sudah banyak orang
yang melihat bahwa yang membuat neraka di
desa ini ada dua orang. Mereka mengenakan
topeng berbentuk muka babi!
Orang misterius itu semakin sering berkeliaran di malam hari, dan tidak takut akan bentrok dengan murid-murid
Padepokan Mega Kiting. Tidak sedikit murid padepokan itu yang
tewas. Tentu saja ini membuat Eyang Paladi
semakin gundah. Sampai saat ini dia belum bisa
menemukan dua orang misterius itu.
Saat Eyang Paladi dan sepuluh orang murid
utamanya sedang berbincang-bincang, tiba-tiba
seorang muridnya datang tergopoh-gopoh.
Seluruh tubuhnya penuh debu, dan berkeringat,
napasnya tersengal, langsung jatuh berlutut di
tangga beranda. Eyang Paladi bergegas bangkit
dan menghampiri.
"Ada apa?" tanya Eyang Paladi. ,
"Celaka, Eyang. Mereka menjarah rumah
Paman Gering. .," lapor anak muda itu tersendat.
Eyang Paladi tidak berkata-kata
lagi, langsung melompat cepat bagai kilat. Sepuluh
orang murid utamanya bergegas mengikuti. Di
malam yang gelap itu, Eyang Paladi beriari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Dia tahu, arah mana yang harus ditempuh. Paman
Gering adalah orang yang amat dekat dengannya. Dia termasuk saudara sepupu
pendiri Padepokan Mega Kiting ini.
"Mundur...!" seru Eyang Paladi begitu tiba di depan rumah Paman Gering.
Sekitar delapan orang murid laki-laki tua
berjubah putih itu berlompatan mundur.
Tampak di sekitar halaman rumah yang tidak
begitu luas, tergeletak tidak kurang dari enam
mayat. Darah bercucuran dari tubuh-tubuh yang
sudah tidak bernyawa lagi itu.
Eyang Paladi melangkah menghampiri dua
orang berbaju gelap, yang wajahnya tertutup
topeng berbentuk muka babi. Kedua orang itu
saling berpandangan sejenak, kemudian menggeser kakinya lebih merapatkan jarak.
Eyang Paladi berhenti melangkah setelah
jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi.
"Apa maksud kalian membuat resah penduduk desa ini"!" tanya Eyang Paladi tegas.
Kedua orang itu tidak membuka suara sedikit
pun. Bahkan bergerak saja tidak. Namun dari
bola mata yang tersembunyi di balik topeng,
sudah dapat dipastikan kalau mereka merencanakan untuk melarikan diri.
"Siapa kalian sebenarnya" Dari mana kalian datang?" tanya Eyang Paladi lagi.
"Eyang, mereka tidak pernah bicara! Mungkin bisu," celetuk salah seorang murid yang tadi bertarung.
"Hm...," gumam Eyang Paladi pelahan. "Aku ingin tahu, apa benar kalian bisu?"
Setelah bergumam demikian, Eyang Paladi
langsung melompat cepat bagaikan kilat. Namun
secepat laki-laki tua itu melompat, secepat itu pula kedua orang itu
melentingkan tubuhnya ke
atas, dan langsung melesat kabur dengan arah
yang berlawanan.
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejenak Eyang Paladi kebingungan, namun dengan cepat melompat
mengejar salah seorang.
"Kejar yang seorang lagi!" seru Eyang Paladi keras.
Lima orang murid utama orang tua itu
bergegas mengejar yang seorang, dan lima orang
lagi mengikuti Eyang Paladi. Sedangkan murid-
murid yang tadi bertarung, segera membereskan
mayat-mayat yang bergelimpangan. Saat itu
malam sudah demikian larut. Eyang Paladi
berhenti berlari pada persimpangan jalan yang
menuju ke tiga arah. Orang yang dikejarnya
menghilang di tempat ini.
"Huh!" dengus Eyang Paladi kesal.
Lima orang muridnya tiba dan segera
menghampiri. Mereka semua melayangkan
pandang, berusaha menembus kegelapan malam. Tapi tak terlihat satu bayangan pun
berkelebat Lagi-lagi Eyang Paladi mendengus
kesal, karena buruannya lenyap begitoi saja
tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.
"Kalian tetap mencari, aku menunggu di
padepokan," perintah Eyang Paladi.
"Baik, Eyang," sahut lima orang muridnya itu seraya membungkuk memberi hormat.
Eyang Paladi melangkah cepat meninggalkan
lima orang muridnya. Tapi belum jauh
melangkah, datang tema orang yang mengejar ke
arah lain. Mereka melaporkan kalau buruannya
hilang. Eyang Paladi mendengus kesal.
"Kalian cari terus. Kalau ada perkembangan, cepat laporkan padaku!" perintah
Eyang Paladi. Kelima orang muridnya itu menjura memberi
hormat, kemudian kembali mencari buruan yang
hilang begitu saja bagai hantu. Eyang Paladi
kembali melangkah cepat menuju padepokannya. Dia singgah dulu di rumah
Paman Gering. Ada sedikit kelegaan karena
tidak satu pun keluarga Paman Gering yang
tewas. Hanya Paman Gering saja menderita luka
ringan di bahu kanannya. Tapi luka itu sudah
terbalut kain putih. Eyang Paladi kembali ke
padepokannya setelah memastikan semuanya
selamat. Hanya murid-muridnya saja yang jadi
korban malam ini. Dan itu berarti sudah lebih
dari separuh murid Padepokan Mega Kiting
yang tewas, setelah munculnya si pembunuh
misterius bertopeng muka babi!
Eyang Paladi tersentak kaget begitu baru saja
melangkah menaiki undakan beranda rumah
Padepokan Mega Kiting. Di ambang pintu
rumah utama padepokan itu sudah berdiri dua
anak muda. Yang seorang laki-laki, dan seorang
lagi perempuan berwajah cukup cantik. Mereka
adalah Pramana dan adiknya yang bernama
Rawuni. Eyang Paladi kembali melangkah
menatap undakan itu. Dihenyakkan tubuhnya di
kursi kayu berukir.
"Eyang kelihatan susah. Ada apa?" tegur Rawuni.
"Tidak ada apa-apa," sahut Eyang Paladi ringan.
"Aku tahu apa yang terjadi, Eyang," kata Rawuni.
"Rawuni...!" sentak Pramana. Tapi ucapan Rawuni sudah membuat Eyang Paladi
menoleh menatap kedua cucunya itu. Rawuni menatap
kakaknya tajam. Tidak sedikit pun ada rasa
gentar di hatinya melihat tatapan mata pemuda
itu. "Apa yang kau ketahui, Rawuni?" tanya Eyang Paladi.
"Eyang gelisah karena... "
"Rawuni!"
sentak Pramana. "Jangan mencampuri urusan Eyang Paladi."
"Kita berdua tahu, Kakang. Kenapa harus
menutupi?"
"Apa yang kalian ketahui?" tanya Eyang Paladi mendesak.
'Tentang dua orang bertopeng muka babi,"
sahut Rawuni. "Dari mana kalian tahu itu?" tanya Eyang Paladi agak terkejut juga.
Baru kemarin kedua cucunya ini tinggal di
Padepokan Mega Kiting, tapi sudah mengetahui
persoalan yang terjadi. Padahal setahu Eyang
Paladi, mereka belum keluar dari padepokan,
walaupun hanya untuk jalan-jalan. Eyang Paladi
menatap kedua cucunya bergantian. Sedangkan
yang ditatap hanya menundukkan kepalanya
saja. Sesekali Pramana melirik adiknya. Sungguh sangat disesali sikap Rawuni
yang dianggap berlaku lancang.
"Rawuni! Dari mana kau tahu tentang orang
bertopeng muka babi itu?" desak Eyang Paladi.
"Hanya dengar saja, Eyang. Semua murid
padepokan ini selalu membicarakan itu," sahut Rawuni.
"Hhh...!" Eyang Paladi menarik napas
panjang. "Hari sudah larut, Eyang. Sebaiknya tidur, beristirahat," usul Pramana.
"Kalian tidurlah dulu. Aku masih menunggu
murid-muridku," tolak Eyang Paladi.
Pramana menggamit tangan adiknya, lalu
sama-sama melangkah masuk ke dalam.
Sementara Eyang Paladi tetap duduk di
kursinya, menunggu murid-muridnya yang
tengah mengejar dua orang bertopeng muka
babi. Sementara Pramana menyeret Rawuni begitu
sampai di kamarnya, sehingga gadis itu hampir
jatuh. Pramana langsung menutup pintu
kamarnya. Di pandanginya Rawuni dalam-
dalam. "Untuk apa kau katakan itu pada Eyang,
Rawuni"!" tajam nada suara Pramana.
"Toh alasanku kuat, Kakang. Eyang juga bisa mempercayai alasanku," sahut Rawuni
tidak kalah tajamnya.
"Tapi untuk apa..."!"
"Untuk apa..."! Hhh.. ! Seharusnya kau bisa menjawab sendiri, Kakang. Jangan
berpikiran picik," Rawuni tersenyum sinis.
Pramana menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. Tubuhnya berbalik, kemudian
tangannya memukul dinding. Sebentar dia
berbalik lagi, lalu melangkah menghampiri
pembaringan. Dibanting tubuhnya di situ.
Sedangkan Rawuni hanya memandangi saja.
Pramana menatap jauh ke langit-langit kamarnya. "Aku tidak mengerti, apa yang kau pikirkan, Rawuni. Tapi aku tidak bisa berkata
apa-apa. Hanya satu yang kuinginkan, jagalah keselamatan diri kita masing-masing," kata Pramana pelan.
"Kau mulai tidak mempercayaiku, Kakang."
"Bukannya tidak mempercayaimu. Tapi kau
harus ingat dan selalu harus ingat, Rawuni."
"Aku tidak pernah lupa, Kakang. Karena kita berada di sini, adalah untuk
meneruskan cita-cita Ayah."
"Pergilah ke kamarmu," ujar Pramana seraya memejamkan matanya.
Rawuni membalikkan tubuhnya, kemudian
melangkah mendekati pintu kamar ini. Tapi
belum juga gadis itu membuka pintu, Pramana
sudah memanggil lagi. Rawuni membalikkan
tubuhnya, tidak jadi membuka pintu kamar ini.
"Ada apa lagi?" tanya Rawuni.
"Kau sudah tahu orang yang menggantungku?"
tanya Pramana seraya memiringkan tubuhnya.
"Aku heran, mengapa kau bisa digantung
seperti itu?"
Pramana memang sudah menceritakan peristiwa pahit di hutan pada adiknya, ketika
akan menjemput Rawuni yang ingin juga tinggal
di pesanggrahan ini Pemuda itu jadi penasaran,
karena belum dapat mengetahui orang itu
sampai sekarang. Demikian pula orang yang
sudah menolong membebaskannya.
Tapi Pramana kesal, karena orang itu malah
mengejeknya. Bahkan menganggapnya seekor
monyet yang terperangkap. Baginya, jelas itu
suatu penghinaan yang harus dibalas dengan
penggalan kepala. Tapi karena orang itu telah
menolongnya, maka diurungkan niatnya untuk
memenggal kepalanya.
"Jangan mengejekku, Rawuni. Si keparat itu licik! Curang! Menggunakan jebakan!"
rungut Pramana menggerutu.
Rawuni mengangkat bahunya. Semuanya
memang sudah diketahui dari cerita Pramana
sendiri. "Kau sudah tahu siapa orang itu, Rawuni?"
tanya Pramana lagi.
"Belum. Tapi orang yang menolongmu
bernama Bayu, atau dikenal sebagai Pendekar
Pulau Neraka," sahut Rawuni.
"Pendekar Pulau Neraka.. ," gumam Pramana seraya menelentangkan tubuhnya
kembali. "Aku tahu hal itu dari salah seorang murid utama Padepokan Mega Kiting ini. Dari
ciri-ciri yang kau katakan, dia bisa mengenalinya," kata Rawuni lagi.
"Dia pernah bertemu?"
"Belum. Tapi katanya nama Pendekar Pulau
Neraka sudah demikian terkenal. Pendekar
muda yang tangguh, dan sukar dicari tandingannya. Tapi sampai sekarang ini dia
belum bisa dimasukkan dalam golongan mana
pun. Tindakannya masih belum teratur. Yaaah. ., termasuk kita juga. Aku sendiri
belum yakin ke. . " "Rawuni...!"
sentak Pramana kembali menggelimpang memandang adiknya.
"Maaf," ucap Rawuni cepat-cepat.
"Kau harus membiasakan diri untuk menyimpan rahasia, Rawuni."
"Aku minta maaf, Kakang. Kadang-kadang
sukar sekali untuk mengunci mulut..."
"Seperti yang kau lakukan pada Eyang Paladi tadi!" rungut Pramana.
Rawuni hanya diam saja.
"Kembalilah ke kamarmu. Tidak enak kalau
ada yang tahu kau ada di sini, meskipun kau
adikku sendiri," ujar Pramana.
Rawuni mengangkat bahunya, kemudian
berbalik dan membuka pintu.
"Rawuni, cari keterangan tentang orang itu,"
kata Pramana tanpa membalik sedikit pun.
"Jangan khawatir, Kakang. Paling lambat lusa sudah bisa mengetahuinya," sahut
Rawuni langsung melangkah keluar dan menutup
kembali pintu kamar itu.
"Kau memang adikku yang baik, Rawuni,"
desah Pramana bergumam. "Tidak seharusnya
aku menyeretmu dalam persoalan ini. Kau
terlalu baik, polos, dan lugu."
Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pramana menarik napas panjang-panjang,
dan menghembuskannya kuat-kuat Tubuhnya
tetap berbaring, tapi matanya menerawang jauh
menembus langit-langit kamar ini. Sementara
malam terus merayap semakin jauh. Terdengar
suara percakapan di depan. Begitu pelan dan
sulit didengar. Tapi Pramana bisa mengenali
suara Eyang Paladi. Hanya saja orang yang
diajak bicara sulit untuk dikenali suaranya.
"Heh.. ! Aku seperti mengenal suara itu?"
Pramana tersentak bangkit dari pembaringan.
Tiba-tiba saja bisa dikenali suara itu, tapi
sukar untuk mengingatnya. Kapan dan di mana
pernah mendengarnya. Terlalu pelan dan samar-
samar. Pramana berusaha menajamkan telinganya, tapi percakapan itu sudah tidak
terdengar lagi. Sunyi.. ! Pramana kembali
menghenyakkan tubuhnya, berbaring menatap
langit-langit kamar.
"Hmmm..., siapa yang bicara dengan Eyang
Paladi" Sepertinya pernah kukenal suaranya.. ,"
gumam Pramana dalam hati. "Siapa, ya.. ?"
*** Pagi-pagi sekali Pramana sudah menemui
Eyang Paladi di balai latihan yang berada di
samping kanan rumah utama Padepokan Mega
Kiting ini. Eyang Paladi yang sedang melatih
tenaga dalam, agak terkejut juga melihat
kedatangan cucunya pagi-pagi begini Dihentikan latihannya, lalu duduk bersila di
lantai bangsal latihan ini.
"Duduk, Pramana," ujar Eyang Paladi.
Pramana menjura memberi hormat, kemudian duduk bersila di depan laki-laki
pemimpin Padepokan Mega Kiting ini.
'Tidak biasanya pagi-pagi begini sudah
bangun. Ada yang ingin kau bicarakan
denganku, Pramana?" Eyang Paladi langsung
menuju pada pokok persoalannya.
"Benar," sahut Pramana singkat.
"Katakan saja. Di tempat ini tidak ada
rahasia." "Semalam aku mendengar ada tamu. Siapa
dia, Eyang?" Pramana langsung saja pada pokok pembicaraannya.
"Kau mencuri dengar pembicaraanku, Pramana?" agak terkejut juga Eyang Paladi
mendengar pertanyaan cucunya ini.
'Tidak begitu jelas. Tapi aku seperti pernah
mendengar suara tamu itu. Yang jelas, bukan
suara murid-murid di sini, Eyang," Pramana berhenti sebentar. "Bukan maksudku
untuk usil, Eyang. Tapi aku seperti pernah mengenalnya.
Barangkali saja bisa mengenal lebih jauh. Atau
mungkin malah temanku sendiri."
"Dia Bayu, lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Sengaja kuundang ke
sini untuk meminta bantuan mengatasi manusia bertopeng
muka babi. Desa ini sudah seperti neraka,
Pramana. Lebih dari separuh muridku tewas,
dan semua penduduk semakin dicekam ketakutan. Terlebih lagi para kerabat keluarga
pendiri padepokan ini."
"Bayu.. ," desis Pramana menggumamkan nama Pendekar Pulau Neraka.
Baru semalam Rawuni menyebut nama itu.
Nama dari seseorang yang pernah menolongnya
dari jeratan jaring jebakan di dalam hutan.
Ternyata orang itu memang pendekar tangguh.
Tidak mungkin Eyang Paladi meminta bantuannya kalau tidak memiliki kemampuan
yang sangat tinggi. Dan yang pasti, persoalan
yang dihadapi sudah tidak mampu lagi
ditanganinya sendiri.
"Kau kenal dengannya, Pramana?" tegur Eyang Paladi.
"Sekali pernah bertemu," sahut Pramana.
"Kalau ingin menemuinya, dia ada di bangsal belakang. Mungkin masih tidur," kata
Eyang Paladi lagi.
"Nanti saja, Eyang. Aku ingin jalan-jalan
dulu, melihat-lihat suasana di desa," tolak Pramana halus.
"Hati-hatilah. Kalau perlu, bawa beberapa
orang muridku."
'Terima kasih, Eyang. Aku bisa jaga diri."
"Aku percaya padamu, Pramana. Tapi aku
tidak ingin melibatkan dirimu dan adikmu
dalam kemelut ini."
"Mudah-mudahan tidak," sahut Pramana
seraya bangkit berdiri.
Pramana menjura memberi hormat, kemudian berbalik melangkah keluar dari
bangsal latihan ini. Sementara Eyang Paladi
kembali melanjutkan latihannya. Tapi belum
juga jauh berlatih, muncul seorang pemuda
berbaju dari kulit harimau. Pemuda itu
membungkukkan tubuhnya sedikit dan duduk
di depan Eyang Paladi.
"Aku lihat ada yang baru keluar dari sini,"
kata pemuda itu.
"Cucuku, Bayu," sahut Eyang Paladi.
"Hmmm...," pemuda berbaju kulit harimau yang memang tidak lain adalah Bayu si
Pendekar Pulau Neraka itu hanya bergumam
kecil. "Ada apa" Kau pernah bertemu dengannya?"
tanya Eyang Paladi melihat raut wajah Pendekar
Pulau Neraka agak berubah.
"Sekali. Tapi rasanya tidak penting," sahut Bayu.
"Kalau begitu, ada apa kau ke sini
menemuiku pagi-pagi begini?"
"Hanya ingin lebih jelas lagi, Eyang," sahut Bayu.
"Ya.... Semua memang harus dijelaskan dari awal kepadamu, meskipun aku yakin kau
sudah menyelidiki terlebih dahulu sebelum menemuiku semalam.
Tapi aku sungguh
berterima kasih karena kau bersedia membantuku. Juga membantu mengeluarkan
penduduk desa ini dari kobaran api neraka,"
kata Eyang Paladi.
Bayu hanya tersenyum saja.
*** 5 Dua buah bayangan terlihat berkelebat cepat
dan menyelinap ke tiap rumah-rumah penduduk
Desa Kiting, lalu berhenti di belakang sebuah
rumah yang tidak begitu besar. Mereka saling
bertatapan sebentar, lalu salah seorang melangkah pelahan mendekati pintu belakang
yang sedikit terbuka. Pelahan sekali tangannya
mendorong pintu itu. Suara berderik terdengar
dari pintu yang terkuak pelahan.
"Siapa itu...?" terdengar suara dari dalam.
Tak ada sahutan sedikit pun. Orang berbaju
serba gelap yang wajahnya tertutup topeng
muka babi itu mengibaskan tangannya cepat,
ketika tiba-tiba dari bagian dalam rumah ini
muncul seseorang. Secercah cahaya melesat
cepat bagai kilat ke arah orang yang baru
muncul itu. "Akh...!" terdengar suara pekikan tertahan.
Seketika itu juga sesosok tubuh terjungkal
dengan dada berlubang. Ternyata itu adalah
sosok tubuh wanita setengah baya, yang
kemudian langsung tewas seketika.
Dari dadanya mengalir darah segar.
"Ibu...!" terdengar jeritan melengking.
"Hih!"
Orang berbaju gelap yang wajahnya tertutup
topeng itu kembali mengibaskan tangannya.
Secercah cahaya kembali berkelebat cepat
Cahaya itu terpancar dari sebilah pisau kecil
yang tipis. Tapi orang yang menghambur ke
arah mayat wanita setengah baya itu cepat
menjatuhkan diri, sehingga pisau kecil itu lewat di atas tubuhnya.
Namun pisau kecil itu terus meluruk dan
menancap dalam di dada seorang anak berusia
sekitar delapan tahun yang baru saja terbangun
dari dipan. Anak itu menjerit keras, dan
langsung ambruk tidak bangun-bangun lagi.
Orang berbaju gelap yang wajahnya tertutup
topeng itu, melompat cepat Langsung dihantamkan satu pukulan keras bertenaga
dalam tinggi pada orang-orang yang baru
terbangun. Kembali dua jeritan melengking
terdengar, disusul tergeletaknya dua sosok
tubuh. Yang seorang masih kecil, sedangkan
seorang lagi sudah menginjak remaja. Orang itu
berbalik, kemudian menatap seorang wanita
muda berusia sekitar delapan belas tahun yang
tergeletak pingsan di samping mayat wanita
setengah baya. Dia sudah mengangkat tangannya hendak melontarkan satu pukulan,
tapi... "Tahan!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara
cegahan, muncul seorang berbaju gelap dan
wajahnya ditutupi topeng yang sama persis
Golok Halilintar 11 Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Pendekar Pemanah Rajawali 36