Pencarian

Menembus Lorong Maut 2

Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut Bagian 2


"Hi hi hi...! Enam Dewa Keadilan..., sebuah nama yang cukup indah. Tapi bernyali
kecil, pengecut! Dan hanya dengan cara inilah, aku bisa memancing kalian keluar
dari sarang!" sahut orang yang berada di atas dahan pohon.
"Kami semua memang sudah berniat meninggalkan dunia persilatan!"
"Ha ha ha...!" Orang di atas dahan pohon itu
kembali tergelak. "Sebenarnya aku memang sudah puas, Karena Galadipa tewas di
tanganku sendiri.
Tapi aku sudah terlanjur bersumpah, bahwa kalian semua harus mati, juga
keturunan kalian!"
Setelah berkata demikian, orang yang berada di atas dahan pohon itu langsung
melesat turun. Dan dengan sekali lompatan saja, dia sudah meluruk ke arah Resi
Jagabaya sambil mencabut senjatanya yang berupa tongkat pendek sepanjang lengan
berwarna hitam pekat.
"Mampus kau, Jagabaya! Hiyaaa...!"
"Eits!"
Resi Jagabaya segera menarik tubuhnya mundur seraya memiringkannya sedikit ke
kiri. Dan dengan jcepatan penuh, dia menyampok senjata tongkat litam itu dengan
telapak tangannya.
Wut! Cepat sekali orang bertopeng pucat bagai mayat itu memutar senjatanya, dan
langsung mengibas ke arah kepala. Buru-buru Resi Jagabaya merunduk sedikit,
sehingga senjata tongkat itu lewat di atas kepalanya. Tepat pada saat itu,
tangan kanan Resi Jagabaya langsung menyodok ke arah perut. Sejenak orang
bertopeng mayat itu memekik kaget, lalu buru-buru dia menarik tubuhnya ke
belakang. Sementara itu, Ki Rungkut dan seorang sahabatnya sudah kembali disibukkan dengan
serangan-serangan empat orang yang memakai baju dan topeng berwarna sama. Kini
pertarungan kembali pecah tanpa dapat dihindarkan lagi. Tampak Ki Rungkut dan
seorang sahabatnya sudah mulai kewalahan menghadapi empat orang musuhnya.
Sementara Resi Jagabaya masih terus bertarung sengit melawan satu orang dari
Iblis Topeng Mayat.
"Aaa...!"
Tiba-tiba terdengar satu jeritan melengking.
Tampak satu-satunya sahabat Ki Rungkut yang masih hidup, terjungkal mencium
tanah! Dari dadanya langsung menyembur darah segar. Dan begitu tubuhnya
menggelepar di tanah, satu dari empat orang bertopeng mayat itu, langsung
mengibaskan senjatanya ke arah leher.
Krak! "Iblis! Keparat...!" geram Resi Jagabaya yang sempat melihat kejadian itu.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Resi Jagabaya segera melompat ke arah
empat orang Iblis Topeng Mayat yang tengah mengeroyok Ki Rungkut.
Dengan cepat tangan dan kakinya bergerak
menghantam punggung empat orang itu. Seketika pekik tertahan terdengar saling
susul. Kini empat orang yang tengah mengeroyok Ki Rungkut sudah bergulingan di
tanah. "Hup!"
Buru-buru mereka bangkit kembali. Sedangkan Resi Jagabaya berdiri tegak dengan
sikap melindungi Ki Rungkut Dia merasa sangat bertanggung jawab atas keselamatan
jiwa Kepala Desa Batang Hulu itu.
"Pramurti! Hentikan kekejamanmu!" bentak Resi Jagabaya menyebut nama asli Iblis
Topeng Mayat. "Aku akan berhenti kalau kalian semua sudah musnah!" jawab Pramurti tegas dan
lantang. "Huh! Seharusnya dulu aku tidak membiarkan kau selamat, perempuan iblis!" gerutu
Resi Jagabaya. "Tidak ada waktu untuk mengenang masa lalu, Jagabaya! Bersiaplah untuk ke
neraka!" bentak Pramurti sengit
Iblis Topeng Mayat yang di pinggangnya membelit
selendang berwarna kuning keemasan itu, segera melompat menerjang. Sedangkan
empat orang lainnya kembali menyerang Ki Rungkut. Dalam keadaan begitu, Resi Jagabaya tidak
bisa berbuat banyak untuk melindungi Kepala Desa Batang Hulu itu.
Saat pertarungan itu tengah berlangsung sengit, tiba-tiba terdengar suara siulan
panjang bernada tinggi melengking. Siulan itu bergema seolah-olah datang dari
segala penjuru. Jelaslah kalau suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
dalam yang sangat tinggi, sehingga mampu membuat pertarungan itu berhenti
seketika. *** 4 Suara siulan itu semakin lama semakin terdengar menyakitkan. Ki Rungkut segera
menutup kedua telinganya. Juga empat orang Iblis Topeng Mayat, sedangkan Resi
Jagabaya dan Pramurti sudah mengerahkan tenaga dalam untuk menahan suara siulan
itu. Begitu hebatnya suara itu, sehingga daun-daun pohon di sekitar Hutan Karang
Waja rontok berguguran.
"Yaaah...!" tiba-tiba Pramurti, atau Iblis Topeng Mayat berteriak nyaring
melengking. Seketika itu juga suara siulan berhenti. Dan semua orang yang berada di situ
menolehkan kepalanya begitu mendengar suara senandung kecil berirama tak jelas.
Tampak seorang pemuda tampan berambut gondrong, tengah duduk bersila di atas
sebuah batu yang cukup besar.
"Bocah sinting! Siapa kau" Berani-beraninya mengganggu urusanku!" bentak
Pramurti sengit.
"Ah, aku cuma menonton. Silakan teruskan," sahut pemuda tampan itu kalem.
"Widarti, beri bocah lancang itu pelajaran!"
perintah Pramurti pada anak buahnya.
Langsung saja salah seorang dari empat orang bertopeng mayat, melompat sambil
mengibaskan tangannya yang memegang senjata tongkat pendek hitam.
Gerakannya cepat luar biasa, hingga semua orang yang berada di situ, menahan
napas. Mereka mengira, leher pemuda tampan itu pasti akan putus
terbabat senjata itu. Namun yang terjadi benar-benar mencengangkan. Hanya dengan
mengangkat sedikit tangannya saja, pemuda itu berhasil menyampok senjata
Widarti, dan langsung menyepak, menghantam pundak wanita bertopeng mayat
tersebut. "Akh!" seketika Widarti memekik tertahan.
Wanita itu langsung terdorong beberapa langkah ke belakang. Sedangkan pemuda
tampan berambut gondrong itu tetap duduk bersila dengan tenang di atas batu.
Bibirnya yang tipis dan kemerahan, tersenyum lebar. Namun matanya bersinar
tajam, dengan garis-garis wajah yang menampakkan
kekerasan dan ketegasan dalam hidupnya.
Widarti yang semula menganggap remeh pemuda tampan itu, langsung berteriak keras
seraya melesat cepat menyerang kembali. Kali ini dia mengerahkan beberapa
kibasan tongkatnya dan tendangan keras menggeledek. Namun pemuda tampan berambut
gondrong itu hanya menggeser duduknya ke sana kemari. Diremehkan begitu, tentu
saja Widarti jadi berang.
Tap! Pada satu kesempatan, tangan kanan pemuda itu terangkat naik, tepat di saat
tongkat Widarti mengarah kepalanya. Dan dengan manis sekali pemuda itu berhasil
menangkap tongkat Widarti, sedangkan tangan kirinya menyampok ke arah dada.
"Ih...!" Widarti memekik kaget.
Buru-buru wanita bertopeng itu menarik tubuhnya, namun tanpa diduga sama sekali,
tangan kiri pemuda itu kembali melayang ke arah muka. Widarti yang tengah
terperanjat, tidak sempat lagi untuk mengelak. Maka dengan sekali renggut saja,
topeng yang menutup wajah wanita itu terenggut copot.
Pemuda itu segera melepaskan pegangannya pada ujung tongkat lawannya seraya
mendorongnya dengan kuat.
Kembali Widarti memekik tertahan. Dan tubuhnya terdorong sejauh tiga batang
tombak. Tampak, wajahnya yang kini tidak tertutup topeng, merah padam. Namun
wajah itu cantik sekali. Iblis Topeng Mayat lainnya, terperanjat melihat nasib
yang diderita Widarti. Lebih-lebih Pramurti! Dia tidak menyangka sama sekali
kalau muridnya dapat dipermainkan begitu mudah oleh seorang pemuda tampan yang
selalu tersenyum itu.
"Setan! Kubunuh kau!" geram Widarti seraya bergerak hendak menyerang lagi.
"Widarti, mundur!" bentak Pramurti cepat.
Widarti langsung diam. Wajahnya yang cantik masih terlihat merah padam menahan
kemarahan. Sementara di tangan pemuda itu tergenggam
sebentuk topeng berwarna pucat bagai mayat.
Sebentar dia mengamati topeng di tangannya.
Kemudian melirik ke arah Pramurti yang melangkah menghampirinya.
"Aku tidak pernah punya urusan denganmu, tapi kau telah mencampuri urusanku,
Bocah. Kau tahu, apa akibatnya?" dingin dan datar suara Pramurti.
"Ancaman...," gumam pemuda berambut gondrong itu. "Bosan aku mendengar ancaman
kosong!" Kalau saja wajah Pramurti tidak tertutup topeng, mungkin sudah berwarna merah
menahan geram mendengar kata-kata pemuda itu. Dan pelampiasan-nya, Pramurti
tidak berkata-kata lagi. Dia langsung bergerak cepat menggeser kakinya ke depan,
seraya mengirimkan serangan beruntun.
Dalam beberapa serangan, pemuda tampan itu
masih bisa menandingi dengan posisi duduk bersila.
Namun pada serangan-serangan berikutnya, dia harus berlompatan bangun untuk
menghindarinya.
Serangan-serangan Pramurti begitu dahsyat, dan selalu mengarah pada tubuh-tubuh
yang mematikan.
Dan pemuda itu juga merasakan, kalau serangan-serangan lawannya kali ini lebih
dahsyat dari yang semula.
Pramurti tampak semakin geram. Sudah dua puluh jurus berlalu dengan cepat, namun
belum sedikit pun dia berhasil mengangsurkan pukulannya dengan telak ke tubuh
pemuda itu. Bahkan pada satu kesempatan, sepakan kaki pemuda itu berhasil
mendarat di punggungnya. Tentu saja Pramurti menggeram dahsyat Dia langsung
mencabut senjatanya yang berupa tongkat pendek hitam yang tadi sempat dia
selipkan di pinggangnya. Kini dengan senjata di tangan, Iblis Topeng Mayat itu
semakin dahsyat menyerang lawannya.
Namun pemuda tampan berbaju kulit harimau itu memang luar biasa tangguhnya.
Gerakan-gerakan tubuhnya demikian lentur bagai karet. Dan kakinya lincah
berlompatan, atau menggeser mengimbangi gerak Iblis Topeng Mayat. Tring!
Seketika Pramurti tersentak ketika ujung senjatanya beradu dengan pergelangan
tangan kanan lawannya. Dia segera menarik kembali senjatanya. Jari-jari
tangannya mendadak terasa kaku dan bergetar kesemutan. Dia tadi mengira kalau
tangan pemuda itu akan putus terpenggal, namun kenyataannya benar-benar di luar
dugaan! Sejenak Pramurti melompat mundur tiga langkah, kemudian dilebarkan
matanya melihat lempengan bundar bersegi enam keperakan yang menempel di
pergelangan tangan
kanan pemuda itu.
"Siapa kau?" bentak Pramurti keras. Namun
pemuda berbaju kulit harimau itu hanya tersenyum sinis.
*** Resi Jagabaya yang sejak tadi memperhatikan
jalannya pertarungan itu, juga dibuat bingung. Dia benar-benar tidak menduga
sebelumnya, kalau pemuda tampan yang kelihatan tidak memiliki apa apa itu, mampu
membuat Iblis Topeng Mayat
kewalahan. Sementara Ki Rungkut mulai tumbuh kembali harapan dan semangatnya,
melihat kedig-dayaan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Aku datang hanya untuk menyaksikan kekejaman.
Aku suka dengan segala tindakan kejam dan berbau darah," kata pemuda tampan
berbaju kulit harimau itu dingin dan datar. Kata-katanya menyiratkan, betapa
kejamnya dia. Seakan-akan melihat sebuah pertarungan yang mengancam nyawa,
merupakan tontonan menarik dan menghibur hati.
"Kau terlalu besar kepala, Bocah! Jangan
menyesal kalau kau harus mati di tanganku!" desis Iblis Topeng Mayat.
"O..., mungkin darahmu yang akan menyiram
bumi," sahut pemuda itu kalem.
"Setan keparat! Tahan seranganku, hiyaaa...!"
Pramurti, atau Iblis Topeng Mayat langsung menyerang kembali. Kali ini
serangannya berlipat ganda. Semakin cepat dan dahsyat. Dia juga segera membagi
tongkatnya menjadi dua, pada ujungnya-ujungnya terdapat sebilah mata pisau yang
sangat tipis dan tajam. Suara angin terdengar menderu-deru, akibat kibasan dua senjata
yang berada di tangan kanan dan kirinya. Sementara pemuda berbaju kulit harimau
itu masih melayaninya dengan tangan kosong.
Lempengan logam bersegi enam di pergelangan tangannya, digunakan untuk menangkis
serangan-serangan yang tidak mungkin lagi dielakkan.
Beberapa kali Pramurti harus menarik mundur senjatanya begitu beradu dengan
pergelangan tangan pemuda itu. Dalam hati, dia sudah bisa mengukur tingkat
kepandaian lawannya.
Menyadari hal itu, Iblis Topeng Mayat segera melompat mundur, dan menghentikan
serangannya. Dia kemudian menyatukan kembali senjata tongkatnya. Nampak butir-butir keringat
merembes keluar dari lehernya. Sedangkan bola matanya yang cekung dan dalam
hampir tertutup topeng, nampak berkilat merah menyimpan sejuta perasaan.
"Anak muda, urusan kita belum selesai sampai di sini! Aku masih ada urusan lain
yang lebih penting!"
kata Pramurti. Setelah berkata begitu, Iblis Topeng Mayat itu melesat pergi, diikuti oleh empat
orang muridnya.
Sementara pemuda berbaju kulit harimau itu sempat melemparkan topeng yang
berhasil dirampasnya, ke arah Widarti. Wanita itu langsung menangkapnya seraya
melesat pergi mengikuti gurunya.
Resi Jagabaya dan Ki Rungkut segera meng-
hampiri pemuda itu, setelah lima orang berbaju hijau dan bertopeng pucat bagai
mayat itu lenyap dari pandangan. Sesaat mereka hanya berdiri saling berhadapan
tanpa berkata-kata.
"Anak muda, bukannya aku tidak berterima kasih
padamu. Tapi campur tanganmu membuat susah dirimu sendiri. Kau tidak tahu siapa
mereka itu," kata Resi Jagabaya, seraya menatap langsung ke bola mata pemuda
berbaju kulit harimau di depannya.
"Siapa mereka?" tanya pemuda itu kalem.
"Iblis Topeng Mayat. Mereka sangat kejam, membunuh siapa saja yang menjadi
penghalang dan dianggap musuh," sahut Resi Jagabaya.
Pemuda berbaju kulit harimau itu diam. Kemudian pelahan-lahan kakinya terayun.
Dari bibirnya terdengar gumaman alunan berirama tidak jelas.
"Kisanak, tunggu!" cegah Ki Rungkut.
Pemuda itu segera menghentikan langkahnya, dia menolehkan kepalanya sedikit
tanpa berbalik.
"Kalau aku boleh tahu, siapa nama Kisanak?"
tanya Ki Rungkut.
"Pendekar Pulau Neraka."
*** Ki Rungkut tertegun beberapa saat lamanya.
Matanya tidak berkedip memandangi punggung pemuda berbaju kulit harimau yang
terus melangkah.
Dia baru menoleh ketika pundaknya ditepuk dari belakang. Sementara Pendekar
Pulau Neraka sudah lenyap di balik pepohonan Hutan Karang Waja itu.
"Mari kita lanjutkan perjalanan, Ki," ajak Resi Jagabaya.
Ki Rungkut hanya mendesah panjang.
"Terpaksa kita harus berjalan kaki."
"Ya, semua kuda telah lari ketakutan," desah Ki Rungkut.
Kedua laki-laki tua itu kemudian segera
melangkah meninggalkan tempat itu. Ki Rungkut
sempat memandang kepada lima orang sahabatnya yang tewas tergeletak. Hatinya
begitu sedih melihat kesetiaan sahabatnya, hingga berkorban nyawa hanya untuk
membela kepentingannya.
Ki Rungkut terus berjalan dengan kepala berputar.
Benaknya masih dipenuhi dengan nama Pendekar Pulau Neraka. Sepertinya dia pernah
mendengar nama itu. Tapi di mana dan kapan"
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Ki Rungkut?"
tanya Resi Jagabaya.
"Ya," desah Ki Rungkut pelan.
"Katakan, mungkin aku bisa membantu," pinta Resi Jagabaya.
Ki Rungkut hanya diam.


Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau sedih dengan kematian lima orang sahabat-mu?" tebak Resi Jagabaya.
"Salah satunya."
"Mencemaskan keadaan desamu?"
"Juga itu."
"Aku bisa memahami perasaanmu, aku berjanji akan menyelesaikan semua ini tanpa
menambah korban lagi dari warga desamu," kata Resi Jagabaya bernada menghibur.
Ki Rungkut kembali diam.
"Memang sukar untuk menghadapi Iblis Topeng Mayat dan keempat muridnya...,"
sambung Resi Jagabaya.
Laki-laki tua berjubah kuning itu jadi berkerut keningnya melihat Ki Rungkut
tetap diam dengan kepala tertunduk. Dia menduga kalau Ki Rungkut tengah
memikirkan sesuatu. Tampaknya bukan masalah kematian lima orang sahabat, atau
keadaan desanya yang terancam.
"Hm..., kau masih juga memikirkan sesuatu.
Katakan, apa yang kau pikirkan, Ki Rungkut," desak Resi Jagabaya.
"Pemuda itu," sahut Ki Rungkut seraya
mengangkat kepalanya.
"Pendekar Pulau Neraka?"
'Ya." "Ada apa dengan Pendekar Pulau Neraka?" tanya Resi Jagabaya.
"Aku seperti pernah mendengar namanya, tapi...,"
Ki Rungkut tidak melanjutkan. Dia seperti ragu-ragu.
"Pendekar Pulau Neraka memang sudah terkenal namanya. Dia seorang pendekar
digdaya yang sukar dicari tandingannya saat ini. Aku pun tadinya tidak menduga
kalau pemuda itu ternyata pendekar digdaya yang kondang," kata Resi Jagabaya.
"Resi tahu..."!" Ki Rungkut agak terkejut.
"Aku selalu mengikuti perkembangan rimba
persilatan. Meskipun aku belum pernah bertemu sebelumnya, tapi aku sering
mendengar tentang sepak terjangnya di dalam rimba persilatan. Aku sendiri tidak
tahu, apakah Pendekar Pulau Neraka bisa dikatakan bergolongan putih atau hitam.
Tampaknya dia tidak pernah membedakan golongan di kalangan rimba persilatan.
Baginya lawan harus ditantang, dan kawan harus dilindungi. Tidak peduli apakah
itu dari golongan putih atau hitam," Resi Jagabaya menjelaskan.
Ki Rungkut diam saja. Sedikit demi sedikit ingatannya kembali terang. Desa
Batang Hulu memang sering kedatangan para pengembara dari kalangan persilatan.
Dan dari mereka banyak didengar tentang keadaan rimba persilatan yang tidak
pernah menentu keadaannya.
"Aku sedang berpikir untuk meminta bantuan
padanya," kata Ki Rungkut pelan dan agak ragu-ragu.
"Tidak mudah, Ki. Pendekar Pulau Neraka tidak pernah mengurusi persoalan orang
lain," kata Resi Jagabaya.
Kembali Ki Rungkut terdiam. Dia terus berjalan tanpa berkata-kata lagi.
Sedangkan Resi Jagabaya mulai berpikir dengan kata-kata yang barusan terucapkan
dari mulut Kepala Desa Batang Hulu itu.
*** Saat itu matahari sudah berada di balik
peraduannya, ketika Resi Jagabaya dan Ki Rungkut tiba di Desa Batang Hulu.
Suasana di desa itu tampak sunyi senyap. Munculnya Iblis Topeng Mayat di desa
itu telah membuat seluruh penduduknya tidak berani keluar rumah. Keganasan
perempuan iblis bertopeng pucat bagai mayat itu sudah menyebar dengan cepat
sampai ke pelosok.
Kedatangan Resi Jagabaya dan Ki Rungkut
tersebut segera disambut oleh Paksi, putra tunggal Kepala Desa Batang Hulu itu.
Pemuda yang baru saja melangsungkan pernikahannya, tampak lusuh seperti baru
saja bertarung. Bajunya kotor berdebu, dan di sudut bibirnya masih terlihat
setetes darah kering.
Tentu saja Ki Rungkut terheran-heran melihat keadaan anaknya.
"Paksi, kenapa keadaanmu kotor begitu?" tanya Ki Rungkut bernada cemas.
"Ketiwasan, Ayah. Mereka datang ke sini
semalam," sahut Paksi lesu.
Kedua laki-laki tersebut langsung tersentak.
"Apa yang terjadi?" tanya Resi Jagabaya.
"Mereka mengamuk, setelah tahu kalau Ayah pergi
ke Puri Watu Ukir. Mereka menyangka kalau Ayah meminta bantuan ke sana. Hampir
semua orang-orang kita tewas, dan beberapa penduduk juga jadi korban...," suara
Paksi semakin melemah. Matanya tampak merembang berkaca-kaca.
"Ada apa, Paksi?" tanya Ki Rungkut, tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Sariti...," semakin lemah suara pemuda itu.
"Ada apa dengan Sariti?" desak Ki Rungkut.
"Dia..., dia tewas semalam," suara Paksi hampir tidak terdengar.
"Astaga...!" Ki Rungkut terkejut.
"Aku sudah berusaha untuk menyelamatkannya, tapi mereka terlalu tangguh. Aku
sendiri hampir saja tewas, kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda yang sangat
tangguh. Dia lalu membawaku pergi ke luar desa," lanjut Paksi.
"Siapa pemuda itu?" tanya Resi Jaga baya.
"Aku tidak sempat bertanya. Dia langsung pergi begitu saja."
Resi Jagabaya dan Ki Rungkut saling melempar pandang. Mereka seperti berada
dalam satu pikiran sesudah mendengar cerita Paksi. Sementara suasana di rumah
kepala desa itu sudah sunyi senyap. Darah yang telah mengering masih terlihat di
beberapa tempat. Dalam hati, Ki Rungkut merasa bangga, karena anaknya mampu
bergerak cepat mengatasi keadaan.
"Bagaimana ciri-ciri pemuda itu?" tanya Resi Jagabaya.
"Keadaan waktu itu terlalu gelap, dan kejadiannya juga begitu cepat. Tapi aku
sempat melihat kalau dia memakai baju dari kulit harimau," sahut Paksi.
"Tidak salah!" desis Resi Jagabaya.
Paksi segera memandangi laki-laki tua berjubah kuning itu. Sinar matanya
memancarkan ketidak-mengertian, tapi belum sempat dia bertanya, Resi Jagabaya
sudah melangkah pergi, diikuti oleh Ki Rungkut. Kedua laki-laki itu berjalan ke
dalam rumah. Sementara Paksi tetap berdiri di beranda depan.
"Hhh..., seharusnya aku mengatakan yang
sebenarnya tentang Sariti," desah Paksi bergumam.
"Tapi aku tidak mau dikatakan pengecut! Bagaimanapun juga, aku harus membebaskan
Sariti!" Sejenak pemuda itu menarik napas panjang, lalu melangkah memutari rumah besar
itu menuju bagian samping. Tampak beberapa orang tengah duduk bersandar dengan
wajah lesu dan tubuh lusuh.
Mereka hanya menoleh sedikit pada putra kepala desa itu. Paksi menghampiri dan
menghenyakkan tubuhnya begitu saja di tanah yang berlapis rumput tebal. Sebuah
pohon rindang menaunginya dari sengatan sinar matahari.
"Ayah sudah datang bersama Resi Jagabaya," kata Paksi memberitahu.
Mereka yang berjumlah sekitar dua puluh orang itu, langsung menggerinjang hendak
bangkit. "Eh, tunggu...! Ayah tidak mau diganggu," cegah Paksi.
Mereka kembali duduk bersandar pada dinding.
"Aku minta pada kalian, kalau Ayah atau Resi Jagabaya bertanya tentang Sariti,
kalian harus menjawab Sariti tewas," kata Paksi pelan.
"Den...," salah seorang mau membantah.
"Sudah, bilang saja begitu. Kalian sudah
menguburkan semua yang tewas kan?"
Dua puluh orang itu mengangguk serempak.
"Nah! Kalau Ayah menanyakan kuburannya,
tunjukkan saja yang paling sebelah kiri. Aku tidak mau Ayah tahu tentang keadaan
Sariti yang sebenarnya. Kalian paham?"
"Mengerti, Den," sahut mereka lagi hampir
serempak. "Sekarang istirahatlah dulu. Besok pagi aku akan membutuhkan beberapa di antara
kalian untuk membebaskan Sariti dari tangan mereka," kata Paksi lagi.
Setelah berkata begitu, putra kepala desa itu beranjak bangun dari duduknya,
lalu melangkah ke beranda depan. Sementara kedua puluh orang tersebut tetap
beristirahat di samping rumah.
*** 5 Pagi baru saja datang menjelang. Cahaya matahari menabur lembut membangunkan
seluruh isi mayapada mi. Sinarnya yang memerah Jingga, menyembul menyemburat indah di balik
Bukit Bojong. Kabut mulai berpencar tersentuh hangatnya sinar sang surya. Kicau burung
bernyanyi riang
menyongsong datangnya fajar.
Di Puncak Bukit Bojong yang masih berselimut Kabut, seorang gadis berbaju merah
menyala ketat, berdiri tegak memandangi setumpuk abu dari kayu-kayu yang
terbakar. Angin yang berhembus agak kencang menebarkan abu itu ke segala arah.
Wajahnya yang terbalut kulit putih, tampak murung.
Sepasang bola matanya yang bulat indah, terlihat berkaca-kaca.
Entah sudah berapa lama gadis itu berdiri di situ.
Sama sekali dia tidak menghiraukan kicauan burung, dan hangatnya sinar matahari
pagi. Setitik air bening menggulir dari sudut matanya. Tapi buru-buru dia
menghapus dengan punggung tangannya. Gadis itu seperti tidak ingin kelihatan
menangis. Dia berusaha tegar, meskipun dadanya bergemuruh, bergolak ingin
memberontak. Sejenak gadis itu mengangkat kepalanya, dan memiringkannya ke kiri. Telinganya
yang tajam, dapat mendengar suara halus langkah kaki seseorang.
Belum lagi dia sempat mengetahui persis, tiba-tiba di sekelilingnya sudah
berlompatan empat orang berpakaian hijau ketat, dan mengenakan topeng
pucat bagai mayat. Gadis itu memutar tubuhnya, dan saat matanya menatap ke arah
sebuah dahan, tampak seorang lagi berdiri di sana dengan angkuhnya.
"Ke mana pun kau pergi, tidak akan lepas dari tanganku, Narita!" dingin kata-
kata orang bertopeng mayat, yang berdiri di atas dahan pohon.
"Aku memang tengah mencarimu, iblis!" balas Narita tidak kalah dinginnya.
"Ha ha ha...!" Iblis Topeng Mayat terbahak-bahak.
Tenggorokannya serasa tergelitik mendengar kata-kata gadis berbaju merah itu.
"Kau berhutang nyawa padaku! Hari ini juga aku akan menagih nyawamu!" dengus
Narita geram. "Jangan terlalu bermimpi besar, Narita. Gurumu saja tidak sanggup menandingiku,
apalagi kau"
Bocah baru kemarin sore! Ha ha ha...!"
Narita menggeretakkan gerahamnya dengan
perasaan geram. Dia memang menyadari, kalau dirinya bukanlah tandingan Iblis
Topeng Mayat. Melawan empat orang muridnya saja, belum tentu mampu.
Tapi gadis itu sudah tidak peduli lagi. Kematian dua orang yang sangat
dicintainya, membuatnya nekad! Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, Narita
segera meloloskan sabuknya yang berwarna keperakan. Dan dengan satu kebutan
keras, sabuk itu berubah kaku bagai pedang tipis yang kelihatan lentur.
Sementara empat orang berbaju hijau dan bertopeng pucat bagai mayat, juga segera
mencabut senjatanya yang berupa tongkat pendek berwarna hitam pekat.
"Majulah kalian!" bentak Narita keras.
"Hup!"
Iblis Topeng Mayat yang nama aslinya Pramurti, melompat turun dari dahan pohon.
Lalu dengan manis sekali kakinya mendarat di depan Narita. Kini jarak mereka
hanya sekitar dua batang tombak.
Narita segera menyilangkan sabuknya yang sudah menegang kaku di depan dada.
Matanya menatap langsung ke bola mata yang tersembunyi di balik topeng pucat
bagai mayat itu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Narita langsung melompat menerjang seraya
mengibaskan senjatanya dengan cepat ke arah leher Iblis Topeng Mayat. Serangan
yang cepat dan bertenaga penuh itu, hanya dilayani Pramurti dengan mengegoskan
kepala sedikit saja. Hingga serangan Narita lewat beberapa helai rambut di depan
leher Iblis Topeng Mayat. Dan pada saat itu, tangan kiri wanita bertopeng itu
bergerak ke depan.
"Ugh!"
Seketika Narita mengeluh pendek, dan tubuhnya terdorong beberapa langkah ke
belakang. Dadanya mendadak tersa sesak. Namun gadis itu segera melompat kembali.
Dia mengibaskan senjatanya beberapa kali dengan cepat ke arah bagian tubuh lawan
yang mematikan. Sedangkan Pramurti
langsung berkelit meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari tebasan senjata gadis
berbaju merah itu.
Pertarungan memang berjalan tidak seimbang.
Jelas sudah kalau Narita masih berada jauh di bawah tingkat kepandaian Iblis
Topeng Mayat. Serangan-serangan gadis itu lewat tanpa membawa hasil yang
memuaskan. Bahkan baru beberapa jurus saja, sudah beberapa kali Narita
terjungkal mencium tanah. Tapi gadis itu tampaknya tidak mau menyerah begitu
saja. Dia terus saja menyerang dengan
dahsyat. "Hup!"
Sejenak Iblis Topeng Mayat melompat mundur.
Kemudian jari tangannya bergerak menjentik, memperdengarkan suara bagai ranting
patah. Saat itu juga empat orang muridnya segera melompat mengurung Narita.
"Kau bukan lawanku, Narita. Jika kau berhasil merobohkan salah satu dari
muridku, kau akan bebas hidup dan aku akan melupakanmu," kata Iblis Topeng
Mayat. "Huh!" Narita mendengus kesal.
"Beri bocah itu pelajaran, anak-anak!" seru Iblis Topeng Mayat.
Langsung saja empat orang wanita berbaju hijau dan bertopeng pucat bagai mayat
itu berlompatan menyerang Narita. Sedangkan gadis berbaju merah itu mengamuk
bagai singa betina kehilangan anaknya. Senjatanya berkelebatan cepat ke arah
para penyerangnya. Kadang-kadang senjata keperakan itu meregang kaku bagai
pedang, namun di lain saat berubah lemas bagai cambuk.
Senjata yang dipegang Narita rupanya berhasil membuat empat orang bertopeng
pucat itu gentar.
Beberapa kali mereka berbenturan senjata, namun mereka merasakan seperti
membentur benda lunak yang dapat memantulkan tenaga dengan keras. Dan Narita
memang sudah mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Dia tidak mau tanggung-
tanggung lagi dalam menghadapi lawannya kali ini.
*** Narita yang sudah pernah bentrok dengan empat orang bertopeng pucat bagai mayat
itu, benar-benar nekad. Dia langsung mengeluarkan jurus-jurus andalannya! Hal
itu sangat jelas, karena empat orang lawannya kelihatan sulit untuk mematahkan
serangan-serangan gadis berbaju merah itu.
Namun setelah melewati lebih dari dua puluh jurus, tampak keadaan mulai bisa
dilihat. Gerakan-gerakan Narita tidak lagi sedahsyat semula.
Tenaganya sudah terkuras banyak, dan dia mulai sulit mengontrol diri. Sementara
empat orang lawannya segera memanfaatkan keadaan tersebut. Mereka langsung
meningkatkan tekanan dan serangannya.
Beberapa kali Narita harus berkelit menghindari serangan lawan-lawannya. Bahkan
tidak jarang dia harus memekik, terkena pukulan atau tendangan yang keras.
"Akh!" tiba-tiba Narita memekik tertahan.
Salah seorang lawannya berhasil merobek pundak kiri gadis itu. Darah langsung
keluar dengan deras.
Tampak Narita melangkah mundur dengan ter-
huyung-huyung. Sedangkan jari-jari tangannya bergerak cepat menotok di sekitar
lukanya. Sebentar saja darah sudah berhenti keluar. Namun bibirnya masih
berkerut mendesis, menahan marah yang memuncak.
Saat itu satu orang yang berada di depan, mendadak berteriak keras sambil
melompat dan mengibaskan tongkat hitamnya. Buru-buru Narita merunduk menghindari serangan
itu. Tapi selagi Narita merunduk, seorang lagi dari arah samping kirinya, segera
melepaskan pukulan yang dahsyat
"Uts!"
Cepat-cepat Narita menarik tubuhnya ke belakang
seraya menangkis pukulan itu dengan tangan kiri.
Dan belum lagi gadis itu bisa menguasai diri, satu serangan lagi datang dengan
cepat. Kali ini sebuah kaki melayang ke arah dada. Narita yang sudah diserang
beberapa kali dari berbagai jurusan, tidak mampu lagi berkelit. Tendangan
geledek itu tepat menghantam dadanya.
"Akh...!" lagi-lagi Narita memekik keras.
Tubuh gadis itu langsung terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Pada


Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat itu, salah seorang yang berada di belakangnya, menerimanya dengan
melepaskan pukulan keras ke arah
punggung. Seketika Narita tersuruk jatuh mencium tanah. Dan belum lagi gadis itu
sempat bangkit, satu batang tongkat melunak deras ke arahnya! Kini Narita benar-
benar pasrah. Dia hanya dapat memejamkan mata, tak mampu lagi untuk berkelit.
Tapi pada saat ujung tongkat itu hampir
menembus dadanya, secercah cahaya keperakan melesat dan mengarah tongkat itu.
Buru-buru orang yang memegang tongkat hitam itu menariknya dengan cepat,
sehingga cahaya keperakan itu lewat di bawah ujung tongkatnya. Sedangkan Narita
yang sudah menunggu saat ajalnya, jadi terkejut begitu membuka matanya. Tampak
seorang pemuda tampan telah berdiri di sampingnya. Maka dengan sisa-sisa tenaganya, gadis itu
berusaha bangkit.
Pemuda itu berdiri tegak, dengan kedua tangan yang melipat di depan dada.
Matanya tajam menatap pada lima orang berpakaian hijau dengan wajah tertutup
topeng pucat bagai mayat. Pemuda itu mengenakan baju dari kulit harimau. Di
pergelangan tangan kanannya, menempel sebuah benda bulat pipih bersegi enam yang
melengkung, dan berwarna
keperakan. "Huh! Kalian benar-benar manusia binatang!
Mengeroyok seorang gadis yang tidak berdaya!"
dengus pemuda itu dingin.
"Bocah setan! Kau terlalu usil, selalu mencampuri urusanku!" bentak Pramurti
atau Iblis Topeng Mayat yang segera mengenali pemuda tersebut.
"Aku tidak akan ikut campur, jika kalian mau bertarung secara ksatria!" sahut
pemuda itu tegas.
"Apa pedulimu"!" bentak Pramurti sengit.
Pemuda itu tidak menanggapi, kemudian dia
menoleh kepada Narita yang sudah bisa berdiri di sampingnya. Sedikit dia
melemparkan senyumnya.
Lalu pandangannya beralih pada wanita berbaju hijau di depannya. Sedangkan empat
orang lainnya sudah berdiri di belakang Pramurti.
"Narita! Kali ini kau bisa bernapas kembali, tapi kau tidak akan lepas dari
pengawasanku!" kata Pramurti tajam. "Dan kau, bocah usil! Perbuatanmu harus kau
tebus dengan mahal!"
Setelah memberikan ancaman demikian, Iblis Topeng Mayat langsung melesat pergi
diikuti oleh empat orang lainnya. Sementara pemuda berbaju kulit harimau itu
hanya bisa memandangi.
"Huh! Ancaman orang pengecut!" dengus pemuda itu.
*** Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu
kemudian berbalik dan memandang Narita. Sedangkan gadis itu malah memalingkan
mukanya, dan menatap pada gundukan abu yang mulai menipis terhempas angin.
Pelahan-lahan kakinya terayun
mendekati abu pembakaran itu, dan berdiri di dekatnya dengan mata tidak
berkedip. Sementara pemuda itu masih berdiri di tempatnya sambil memperhatikan.
"Maaf, kalau kehadiranku ini membuatmu tidak senang," kata pemuda tampan itu
pelan. Narita segera berbalik dan menatap pada pemuda yang berada dua batang tombak di
depannya. Bola matanya berputar, seolah-olah dia tengah menyelidik.
Rasanya belum pernah dia melihat pemuda tampan berambut gondrong, dan berbaju
dari kulit harimau itu. Tapi kalau melihat Iblis Topeng Mayat seakan-akan segan
bentrok dengannya, pastilah tingkat kepandaiannya sudah sangat tinggi.
"Jika kau memang tidak suka, sebaiknya aku pergi," kata pemuda itu seraya
berbalik "Tunggu dulu!" cegah Narita sambil melangkah menghampiri.
Pemuda itu kembali membalikkan tubuhnya. Kini jarak mereka begitu dekat. Sesaat
mereka saling pandang, lalu Narita melangkah menjauh, dia duduk di batang pohon
yang tumbang. Sedangkan pemuda itu segera menghampiri dan duduk bersandar di
bawah pohon yang tidak jauh dari tempat Narita duduk. Beberapa saat kemudian
mereka masih belum membuka percakapan.
"Siapa kau" Kenapa mau bersusah-payah me-
nolongku?" tanya Narita, datar suaranya.
"Namaku Bayu Hanggara, tapi biasa dipanggil Pendekar Pulau Neraka," sahut pemuda
itu kalem. "Aku menolongmu karena kebetulan lewat, dan melihat kau seperti membutuhkan
pertolongan."
"Terima kasih, tapi aku tidak perlu kau tolong.
Lebih baik aku mati, daripada tidak bisa membalas
kematian Guru yang juga kakekku. Mereka juga telah membunuh saudaraku satu-
satunya," pelan suara Narita.
"Siapa yang membunuh mereka?" tanya Bayu.
"Iblis Topeng Mayat. Mereka memang sudah lama menjadi musuh keluargaku. Mereka
tidak akan puas kalau belum membunuhku," sahut Narita menjelaskan dengan
singkat. "Apakah kau dari Desa Batang Hulu?" tanya Bayu lagi.
Narita tidak langsung menjawab. Dia lalu menoleh dan menatap pemuda itu dengan
tajam. Kemudian pelahan-lahan kepalanya terangguk.
"Dari mana kau tahu aku berasal dari Desa Batang Hulu?" tanya Narita bernada
heran. "Hanya kebetulan saja. Kemarin malam aku juga menyaksikan pembantaian di sana,
dan aku berhasil menyelamatkan seseorang yang tampaknya mempunyai pengaruh di
sana. Lalu paginya lagi aku bentrok dengan mereka, karena berusaha menyelamatkan
beberapa orang yang baru keluar dari sebuah tempat seperti benteng. Dan sekarang
aku bertemu denganmu yang juga bentrok dengan
mereka. Aku hanya menduga, kalau semua peristiwa itu saling berkaitan. Benar
begitu?" "Mungkin," desah Narita pelan.
Sebenarnya gadis itu agak terkejut juga mendengar penuturan Bayu. Tapi dia bisa
menyembunyikan rasa terkejutnya dengan cepat. Hatinya kini mendadak jadi
gelisah. Dia sadar kalau semua yang dilakukan kakeknya akan berakibat luas!
Kakeknya, Eyang Galadipa atau Pendekar Welut Putih sudah bercerita banyak
tentang Iblis Topeng Mayat dan segala persoalan yang ada.
Dan semua yang telah terjadi itu, sebelumnya memang sudah menjadi bahan
pemikiran Eyang Galadipa. Dan Narita merasa bahwa semua itu sekarang menjadi
tanggung jawabnya. Pelahan dia menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya
dengan kuat. Dadanya terasa sesak,
menyadari persoalan yang dihadapinya semakin pelik dan meluas.
"Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur dalam urusan ini. Tapi melihat begitu
banyak orang-orang yang terancam jiwanya, aku...."
"Kau sudah ikut terlibat!" potong Narita cepat.
Bayu langsung menatap gadis itu dengan tajam.
"Iblis Topeng Mayat tidak akan pernah melepaskan orang yang sudah pernah
berurusan dengannya!"
kata Narita lagi.
"Oh, begitu" Lalu kenapa kau sampai bisa bentrok dengan mereka?"
"Ceritanya panjang, dan kalau ingin lebih jelas, datang saja ke Puri Watu Ukir,"
sahut Narita. "Di mana itu?"
"Cari saja sendiri. Orang yang kau tolong kemarin berasal dari sana."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia bisa menebak kalau semua peristiwa itu
pasti saling berkaitan dan menyangkut banyak orang. Bayu merasakan, kalau
Pendekar Pulau Neraka bakal bertualang kembali dan tangannya akan berlumuran
darah lagi. Untuk kesekian kalinya dia terpaksa mencampuri urusan orang lain,
yang tidak ada sangkut-pautnya dengan tujuan pengembaraannya.
*** Saat itu di Puri Watu Ukir, suasananya tidak seperti biasa. Mayat-mayat tampak
bergelimpangan di mana-mana. Sedangkan di beberapa tempat, masih
terdengar suara pertempuran. Hampir seluruh bangunan di tempat itu porak poranda
bagai baru saja terjadi badai yang amat dahsyat! Di dalam sebuah ruangan yang
sangat luas, Resi Danuraga tengah bertarung melawan Iblis Topeng Mayat.
Pertarungan itu sudah mencapai pada tahap yang sangat tinggi. Mereka sama sama
telah mengeluarkan jurus-jurus andalan masing-masing. Namun pada jurus-jurus
akhir, tampaklah kalau Resi Danuraga terdesak terus.
"Mampus kau, Danuraga!" bentak Iblis Topeng Mayat.
Saat itu juga dia mengayunkan senjatanya ke arah dada Resi Danuraga. Namun
dengan cepat laki-laki tua berjubah kelabu itu mengegoskan tubuhnya ke samping,
menghindari tusukan tongkat pendek berwarna hitam pekat itu. Namun tanpa diduga
sama sekali, Iblis Topeng Mayat memutar arah senjatanya dengan cepat dan tiba-
tiba. Resi Danuraga terperangah sejenak. Buru-buru dia melentingkan tubuhnya berputar
ke belakang. Tapi Iblis Topeng Mayat terus mencecarnya dengan mengecutkan
senjatanya beberapa kali. Terpaksa Resi Danuraga kembali bersalto ke belakang
menghindari serangan yang beruntun itu. Dan pada lompatan yang kesekian kalinya,
sebilah kakinya berhasil mendupak tangan Iblis Topeng Mayat.
"Akh!" Iblis Topeng Mayat memekik tertahan.
Dan begitu Resi Danuraga berdiri tegak, dengan cepat Iblis Topeng Mayat
mengebutkan senjatanya ke depan. Sungguh di luar dugaan sama sekali, senjata
itu terlepas pada bagian tengahnya, dan meluruk deras ke arah Resi Danuraga.
Buru-buru laki laki tua berjubah kelabu itu memiringkan tubuhnya. Dan lontaran
senjata itu lewat sedikit di sampingnya.
Tepat pada saat itu, kembali Iblis Topeng Mayat melompat bagaikan kilat, seraya
melemparkan potongan senjatanya ke arah dada. Sedangkan Resi Danuraga yang
tengah berkelit menghindari lontaran potongan senjata yang pertama, tidak bisa
lagi menghindar dengan cepat.
"Aaakh...!" seketika Resi Danuraga memekik keras.
Ujung tongkat hitam Iblis Topeng Mayat tersebut berhasil menembus dadanya. Dan
begitu dia menarik senjata itu, darah langsung muncrat keluar!
Sementara perempuan berbaju hijau yang
mengenakan topeng pucat bagai mayat itu,
melayangkan kakinya dengan keras ke arah perut.
Buk! Resi Danuraga kontan terbungkuk, dan tongkat pendek dengan ujungnya
terdapat pisau tipis itu berkelebat cepat ke arah leher.
Seketika tubuh Resi Danuraga ambruk! Iblis Topeng Mayat kemudian mencabut
potongan senjatanya yang menancap di dinding, dan
menyatukannya kembali dengan yang dia pegang.
Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, wanita berbaju hijau itu langsung melompat
ke luar. "Hiya...!"
Pada saat itu, di luar masih berlangsung pertempuran sengit antara empat orang
murid Iblis Topeng Mayat, melawan seorang wanita tua yang mengenakan jubah
hijau. Wanita itu adalah Nyai Resi Rara Kitri. Tampak di sekitar pertarungan
itu, mayat-mayat bergelimpangan tidak tentu arah dan saling
tumpang tindih. Bau anyir darah pun menyebar terbawa angin.
"Mundur...!" seru Iblis Topeng Mayat.
Seketika itu juga, empat orang muridnya
berlompatan mundur. Sedangkan Nyai Resi Rara Kitri tampak tersengal napasnya.
Kedatangan Iblis Topeng Mayat itu merupakan tanda, kalau Resi Danuraga sudah
tewas. Sejenak Nyai Resi Rara Kitri
memandang berkeliling. Hatinya sedih bercampur geram melihat seluruh, cantrik
dan murid-muridnya telah tewas.
"Lama aku menunggu kesempatan seperti ini, Rara Kitri," kata Iblis Topeng Mayat,
dingin dan datar suaranya.
"Hhh! Kau benar-benar perempuan iblis, Pramurti!"
dengus Nyai Resi Rara Kitri menyebut nama asli Iblis Topeng Mayat.
"Tapi aku bukan tikus sepertimu! Bersembunyi balik lorong hanya menunggu maut!"
balas Pramurti.
"Sebenarnya aku sudah melupakan semua per-
selisihan di antara kita, Rara Kitri. Tapi saudaramu yang memulai lebih dulu.
Dia membantai habis murid-muridku di saat aku sedang bepergian, hingga tinggal
tersisa lima orang. Bahkan satu lagi sudah tewas terbunuh oleh cucu saudaramu.
Aku pun berusaha melupakan semua itu, karena aku begitu mencintai Galadipa, tapi
rupanya dia masih menyimpan dendam padaku. Kau tahu, Rara Kitri. Bukan aku yang
membunuh istri Galadipa. Dia tewas karena terjatuh di dalam jurang, dan aku
sudah berusaha untuk menolongnya. Tapi saudara-saudaramu menuduhku lain, juga
kau! Apa boleh buat, api permusuhan telah kalian sulutkan. Dan api itu tidak
akan padam sebelum di antara kita ada yang tewas!" kata
Pramurti mengingatkan kejadian beberapa puluh tahun silam.
"Kau sudah membunuh Galadipa, lalu kenapa kau masih juga berkeliaran" Bahkan
membantai para penduduk yang tidak berdosa!" rungut Nyai Resi Rara Kitri.
"Aku sengaja berbuat demikian untuk memancing saudara-saudaramu keluar. Dan aku
pun bersumpah, aku dan murid-muridku yang tewas, atau kau dan seluruh saudara-
saudaramu, serta keturunanmu semua!" sahut Pramurti.
"Iblis! Kau benar-benar bukan lagi manusia, Pramurti!" geram Nyai Resi Rara
Kitri menggeretak.
"Ha ha ha...! Itulah aku, Iblis Topeng Mayat! Apa pun akan kulakukan, demi
tercapainya maksudku!"
kata Pramurti pongah.
"Setan! Mampus kau! Hiyaaa...!"
Nyai Resi Rara Kitri tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dengan cepat dia
melompat menerjang Iblis Topeng Mayat itu. Namun dengan manis sekali Iblis
Topeng Mayat menghindari serangan-serangan tersebut. Nyai Resi Rara Kitri yang
sudah dirasuki hawa amarah, langsung mengerahkan jurus-jurus andalannya yang
dahsyat dan sangat berbahaya!
Sementara dua orang yang saling bermusuhan selama bertahun-tahun itu menyabung
nyawa, empat orang murid Iblis Topeng Mayat terus mengamatinya dengan sikap
siaga. Mereka mengambil tempat dari empat jurusan. Masing-masing sudah
menggenggam senjata berupa tongkat hitam pendek, dengan cincin berwarna merah
pada tengahnya.
"Hiya...!"
"Yeah...!"
Dua orang wanita yang bertarung itu saling
melompat tinggi ke udara, dan berbenturan di udara.
Tampak Nyai Resi Rara Kitri terlempar dan jatuh dengan keras ke tanah. Sedangkan
Iblis Topeng Mayat mendarat dengan manis di tanah. Dan begitu kakinya menjejak
tanah, kembali dia melenting, dan bersalto beberapa kali di udara. Kemudian
dengan satu gerakan yang cepat dan sukar diikuti oleh mata biasa, ujung
tongkatnya menghunjam ke dada Nyai Resi Rara Kitri yang baru saja bisa bangkit.
"Hugh!" Nyai Resi Rara Kitri langsung mengeluh pendek.
"Yap!"
Pramurti segera mencabut senjatanya kembali dari dada lawannya. Lalu dengan
cepat sekali kaki kanannya terayun mendupak tubuh resi wanita tersebut Tubuh
Nyai Resi Rara Kitri pun kembali terjungkal ke belakang. Dari dadanya tampak
mengucur darah segar. Sedangkan mulutnya
mengeluarkan darah kental kehitaman. Sebentar dia masih menggelepar, lalu diam
dan tidak berkutik lagi.
"Hi hi hi...!" Pramurti tertawa mengikik penuh kepuasan.
Dan tanpa banyak bicara lagi, Iblis Topeng Mayat segera melesat pergi
meninggalkan korban-korban-nya. Sementara empat orang muridnya langsung
mengikuti tanpa diperintah lagi. Tepat pada saat mereka lenyap di balik
kerimbunan pepohonan, muncul dua orang di Puri Watu Ukir itu.
"Bibi...!"
*** 6 Narita langsung menubruk dan memeluk tubuh Resi Rara Kitri yang bersimbah darah.
Gadis itu kemudian menggoyang-goyangkan tubuh wanita tua berjubah hijau itu.
Dari bibirnya yang mungil, tidak berhenti menyuarakan kata-kata. Sementara di
sampingnya tampak berdiri Pendekar Pulau Neraka. Pemuda tampan, tegap dan
berbaju kulit harimau itu, hanya bisa memandang dengan dada diliputi oleh
berbagai macam perasaan.
"Bi...," rintih Narita bernada putus asa.
"Oh...," terdengar rintihan lirih dari bibir yang berlumur darah kental.
"Bi...! Bibi...!" seru Narita.
"Narita..., cucuku...," Resi Rara Kitri mendesis lirih.
Kelopak matanya terbuka sedikit. Dan napasnya tersengal satu-satu.
"Siapa yang melakukan ini, Bi?" tanya Narita.
"Narita.... Oh, kau tahu aku bibimu?" Resi Rara Kitri malah balik bertanya.
"Iya, Bi. Sejak semula aku memang sudah tahu.
Maafkan aku, Bi. Aku pergi tanpa pamit lagi, karena tidak ingin Bibi dan Paman


Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua ikut terlibat," kata Narita.
"Bukan salahmu, Narita. Kami memang sudah
lama bermusuhan. Akh...!" tubuh Resi Rara Kitri tiba-tiba mengejang.
"Bi...!" Narita tersentak kaget.
"Dengar, Narita. Sebentar lagi aku akan mati.
Carilah Paman dan Bibimu yang lain. Beritahu semua
kejadian di sini. dan.... Oh!" tubuh Resi Rara Kitri kembali mengejang.
"Bi...! Bibi...!" Narita terus mengguncang-guncang tubuh wanita tua itu.
Tapi Resi Rara Kitri sudah tidak bergerak lagi.
Seketika Narita menjerit keras, dan memeluk tubuh yang sudah tidak bernyawa itu.
Gadis itu tidak sanggup lagi membendung air matanya. Dia
menangis meraung-raung.
"Narita...," Bayu menepuk pundak gadis itu, setelah cukup lama ia membiarkannya
menumpah-kan perasaan.
Pelahan-lahan Narita menoleh, dan meletakkan tubuh bibinya dengan hati-hati.
Kemudian dia segera bangkit, dan menatap pemuda tampan di
sampingnya. Gadis itu tidak peduli dengan air matanya yang merembes ke luar
dengan deras. "Tidak perlu kau tangisi. Yang sudah pergi tidak mungkin kembali lagi," kata
Bayu pelan. "Semua ini karena salahku. Kalau saja aku tidak berpura-pura dan tidak pergi
dari sini, pasti mereka semua masih hidup. Aku memang bodoh! Tolol!"
Narita mengutuki dirinya sendiri.
"Kau tidak bodoh, Narita. Kau hanya tidak bisa mengendalikan diri, dan semua
yang terjadi memang sudah takdir. Semua manusia pasti akan mati, hanya cara dan
waktunya saja yang tidak kita ketahui. Aku tidak melihat kesalahan pada dirimu,
Narita. Tindakanmu benar, kau bermaksud baik. Tapi takdir menentukan lain. Penyesalan
diri dan air mata bukanlah suatu penyelesaian yang baik. Jika kau merasa bahwa
semua yang terjadi karena
kesalahanmu, kau harus menentukan sikap, bukan menyesali dan meratap mengutuk
diri sendiri. Kau
seorang pendekar, Narita. Kau harus lebih segala-galanya dari wanita-wanita
lain," lembut kata-kata Bayu, namun terdengar tegas, penuh perasaan dan dorongan
moril. "Kau benar, Kakang," kata Narita serasa baru tergugah dari mimpi buruk yang
hampir meneng-gelamkan dirinya.
"Hapuslah air matamu, tegarkan hatimu. Kau tidak akan bisa menyelesaikan suatu
persoalan dengan air mata dan penyesalan diri."
Pelahan-lahan Narita mulai tersenyum, kemudian menghapus air matanya dengan
punggung tangannya. Sejenak kepalanya berpaling pada mayat Nyai Resi Rara Kitri.
"Ayo, Kakang. Bantu aku mengurus mayat-mayat ini," ajak Narita.
Bayu segera tersenyum melihat Narita kembali bangkit. Maka tanpa diminta dua
kali, dia segera mengumpulkan mayat-mayat yang bergelimpangan, pada satu tempat
di halaman depan Puri Watu Ukir.
Sementara Narita mengambil cangkul untuk menggali lubang. Dia sempat tertegun
dan hampir guncang kembali saat menemukan mayat Resi Danuraga di dalam rumah.
Mayat itu keadaannya sangat
mengenaskan, kepala terpisah dari badan.
Namun gadis itu tidak lagi mau larut dalam kesedihan dan perasaan bersalah. Kata
kata Bayu barusan bagaikan setitik air sejuk yang mem-bangkitkan semangat, dan
menyalakan kembali pelita di dalam hatinya. Narita seolah-olah bagaikan seorang
musafir yang baru saja menemukan jalan, setelah sekian lama tersesat di dalam
luasnya gurun. Narita membantu Pendekar Pulau Neraka
menguburkan seluruh mayat-mayat yang ber-
gelimpangan bersimbah darah. Dan Narita hampir pecah kembali tangisnya, saat
mayat Nyai Resi Rara Kitri dan mayat Resi Danuraga dikuburkan. Gadis itu segera
berlari menjauh untuk menguatkan hatinya.
Sementara Bayu hanya bisa melihat sambil meneruskan pekerjaannya. Dia bisa
memaklumi perasaan gadis itu.
Bayu kemudian menghampiri gadis cantik berbaju merah menyala itu, setelah dia
menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan Narita tetap duduk dengan kepala tertunduk
di bawah pohon yang cukup rindang.
"Narita, kau mau tetap di sini, atau mencari Paman dan Bibimu yang lain?" tegur
Bayu. Narita mendesah panjang, kemudian pelahan-
lahan dia bangkit. Sebentar dia menatap ke arah gundukan tanah yang cukup besar,
tidak jauh di depannya. Lalu tatapan matanya beralih kepada Pendekar Pulau
Neraka. "Maaf, aku tidak bisa...," Narita tidak melanjutkan kata-katanya.
"Sudahlah, aku bisa mengerti perasaanmu," kata Bayu memahami.
"'Terima kasih."
"Ayo, kita pergi, sebelum hari menjadi gelap," ajak Bayu.
Narita mengangguk dan kakinya terayun me-
langkah. Pendekar Pulau Neraka juga mengayunkan kakinya di samping gadis itu.
Mereka berjalan meninggalkan Puri Watu Ukir tanpa berkata-kata lagi.
Sementara itu senja mulai merayap mendekati pergantian waktu. Sang surya dengan
cahayanya yang merah jingga, menyemburat semakin tenggelam di balik belahan bumi
sebelah Barat *** Siang berganti dengan malam, sejalan dengan berputarnya sang waktu. Matahari pun
berganti dengan sang dewi malam. Kini suasana di sekitar Bukit Bojong agak
sunyi. Hanya binatang-binatang malam saja yang memperdengarkan suaranya,
menghalau kesunyia yang menyelimuti mayapada ini.
Seorang wanita tua berjubah biru, tampak berjalan pelahan-lahan merambah hutan
di Lereng Bukit Bojong itu. Dari bentuk tubuhnya yang kurus dan agak bungkuk,
orang tidak akan menyangka kalau wanita tua renta itu memiliki tingkat
kepandaian yang cukup tinggi. Tapi kalau dilihat dari caranya berjalan, sudah
dapat diketahui bahwa dia berjalan dengan mem-pergunakan ilmu meringankan tubuh.
Ayunan kakinya ringan, seolah olah dia berjalan tidak menapak tanah. Rumput-
rumput yang terinjak pun tidak nampak bekas-bekas tapak kakinya. Sinar matanya
bersorot tajam, seakan akan menembus pekatnya malam. Beberapa saat kemudian,
wanita tua itu berhenti setelah tiba di sebuah tempat yang berbatu, dengan
tebing-tebing curam dan beberapa tonjolan batu.
"Hm, ada orang lain menuju ke sini," gumam wanita tua itu pelan.
Sebentar dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Begitu matanya menatap pada sebuah
batu besar yang menjorok ke luar dari tebing, dia langsung melesat cepat ke arah
batu itu. Dalam sekejap saja tubuhnya sudah lenyap di balik batu besar dan hitam
pekat itu. Tidak lama berselang, tampak beberapa orang laki-laki berjalan di bawah tebing
batu itu. Mereka adalah Paksi dan sepuluh orang pengawalnya.
"Hati-hati, kita sudah berada dekat dengan sarang mereka," kata Paksi yang
berjalan paling depan.
"Di mana tempatnya, Den?" tanya salah seorang yang berjalan di belakangnya.
"Menurut yang kudengar, tempatnya ada di
seberang jurang itu," sahut putra kepala desa itu, sambil menunjuk sebuah jurang
yang tidak begitu besar.
Mereka terus saja berjalan mendekati sebuah arang yang menganga lebar bagaikan
membelah Bukit Bojong. Kesebelas orang itu lalu berhenti tepat di bibir jurang.
Tampak Paksi mengamati seberang jurang. Hanya dengan satu loncatan saja, pasti
bisa menyeberangi jurang itu.
"Barangkali salah, Den,'' kata orang yang berada di samping putra kepala desa
itu. "Tidak, aku yakin. Pasti ini tempatnya," sahu Paksi.
"Tapi, di seberang sana cuma ada hamparan batu batu saja. Rasanya tidak mungkin
kalau Iblis Topeng Mayat mengambil tempat di sana. Terlalu mudah di jangkau,
Den," bantah orang itu lagi.
"Hm...," Paksi mengerutkan keningnya.
Kata-kata orang itu memang benar. Tempat
tersebut terlalu mudah untuk dijangkau oleh siapa saja Dan biasanya, seorang
tokoh persilatan selalu memiliki tempat tinggal yang sulit dijangkau, dan banyak
rintangannya. Sedangkan untuk mencapai seberang jurang itu, tidak terlalu sulit.
Bahkan seorang yang tingkat kepandaiannya masih rendah sekalipun dapat
melompatinya. Jurang itu tidak begitu besar, lebarnya hanya sekitar tiga batang
tombak, dan juga tidak begitu dalam.
Paksi mengambil sebatang ranting kering yang menggeletak di dekat kakinya.
Sebentar dia menimang-nimang ranting itu, lalu dengan mengerahkan tenaga dalam, dia
melemparkan ranting itu ke seberang jurang. Ranting kering itu meluncur deras
Ajian Canda Birawa 2 Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih Rahasia Istana Terlarang 2
^