Pencarian

Menembus Lorong Maut 1

Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut Bagian 1


MENEMBUS LORONG MAUT
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar Sampul : Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 009 :
Menembus Lorong Maut
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Bukit Bojong tampak anggun berselimut kabut tipis.
Puncaknya yang menjulang tinggi, bagai menantang langit biru dengan awan tipis
berarak terbawa angin.
Seluruh permukaan bukit itu tampak hijau, indah dipandang mata. Namun di balik
keindahan itu, tersimpan suatu misteri yang dalam dan sukar untuk ditembus.
Tidak seperti kebanyakan bukit-bukit lainnya, Bukit Bojong tampak sepi, tak ada
sebuah desa pun berada di sekitar kaki bukit itu. Sepanjang mata memandang,
hanya kehijauan yang terhampar. Bukit itu seperti tidak pernah terjamah oleh
tangan-tangan manusia.
Bahkan binatang pun sepertinya enggan untuk meng-injakkan kakinya di sana.
Namun kesunyian dan keindahan Bukit Bojong, suatu ketika pecah oleh suara
ledakan dahsyat dari arah Barat. Tampak debu mengepul ke udara disertai dengan
pecahan-pecahan batu dan cahaya kilat. Di antara kepulan debu dan bebatuan itu,
terlihat sesosok bayangan berkelebat cepat bagai kilat.
Sesosok bayangan itu kemudian hinggap di atas dahan sebatang pohon besar dengan
daun-daunnya yang hampir rontok dimakan usia. Ternyata bayangan itu adalah
seorang wanita berambut panjang yang memakai baju berwarna hijau menyala.
Wajahnya kehitaman dengan bola mata merah melesak ke dalam.
Garis-garis wajahnya yang kaku, menunjukkan
kalau wanita itu mengenakan topeng yang berwarna pucat bagai mayat. Dia berdiri
tegak sambil memandangi kepulan debu dan bebatuan di
depannya. Sesaat kemudian, setelah kepulan debu itu memudar, tampak seorang
laki-laki tua berjubah putih, berdiri limbung dengan tangan menekap dada.
Sebilah tombak pendek menancap di dada hingga tembus ke punggung.
"Hi hi hi...!" wanita bertopeng pucat itu tertawa mengikik kecil dan nyaring.
Untuk beberapa saat, laki-laki tua berjubah putih itu masih mampu berdiri. Namun
kemudian tubuhnya limbung, dan ambruk ke tanah sambil mencabut tombak pendek
yang menancap di dadanya. Darah langsung mengucur deras membasahi tanah be-
rumput tebal. Dengan sekuat tenaga laki-laki tua itu berusaha bangkit, tapi baru
saja tubuhnya terangkat, dia kembali terguling.
"Hi hi hi...!" kembali wanita bertopeng pucat itu tertawa penuh kepuasan.
"Perempuan iblis! Kali ini aku mengaku kalah, tapi lain kali...," laki-laki tua
itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat,
lalu diam dan tak bergerak-gerak lagi.
"Hi hi hi...! Tidak ada waktu lagi membalasku, laki-laki tua!"
Namun laki-laki tua itu tidak menjawab. Dan tubuhnya juga sudah tidak bergerak-
gerak lagi. Kemudian perempuan bertopeng pucat yang berdiri di atas dahan itu
meluruk turun. Gerakannya begitu indah dan ringan, pertanda bahwa dia memiliki
tingkat kepandaian yang tinggi. Sepasang kakinya mendarat ringan tanpa suara di
samping mayat laki-laki tua lawannya itu. Sebentar dia memandangi, lalu mem-
bungkuk dan menjumput tombak pendek yang tergeletak di samping mayat itu.
Tombak pendek berwarna hitam pekat itu, lalu diselipkan ke pinggangnya. Matanya
sempat menatap tajam pada tubuh yang menggeletak bersimbah darah. Kemudian
pelahan-lahan kakinya terayun meninggalkan tempat itu. Kini kesunyian kembali
menyelimuti seluruh Bukit Bojong itu.
*** Siang itu langit tampak cerah. Angin berhembus semilir menyejukkan. Awan yang
menggantung tipis dan berarak indah, tak mampu melindungi bumi dari sengatan
sinar matahari. Namun suasana seperti itu tidak dirasakan oleh seorang pemuda
dan seorang gadis yang mengenakan baju yang bentuk dan warnanya sama.
Mereka berdiri dengan gelisah memandang ke arah Bukit Bojong. Sepasang manusia
berbaju merah menyala itu sesekali menarik napas panjang dan menghembuskannya
dengan kuat. Seolah-olah
mereka tengah menantikan sesuatu yang akan datang dari bukit itu.
"Perasaanku tidak enak, Kakang," kata gadis itu dengan nada cemas.
"Hm...," pemuda di sampingnya hanya meng-
gumam. "Sebaiknya kita lihat saja ke sana, Kakang," kata gadis itu lagi.
"Jangan! Eyang Resi sudah berpesan, kita dilarang menyusulnya. "
"Tapi...."
Belum sempat gadis itu meneruskan kata-katanya,
tiba-tiba tidak jauh dari tempat mereka berdiri, me-luncurlah sebuah bayangan
hijau menuruni Lereng Bukit Bojong itu. Bayangan itu bergerak sangat cepat,
sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap.
"Ayo, Adik Narita!" seru pemuda itu sembari melesat cepat ke arah Lereng Bukit
Bojong sebelah Barat.
Tanpa menunggu lagi, gadis itu langsung bergerak mengikutinya. Mereka
mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga sebentar saja tubuh mereka sudah
lenyap ditelan lebatnya pepohonan di sepanjang lereng bukit itu.
Dalam waktu tidak berapa lama, mereka telah sampai di suatu tempat yang cukup
luas bagai lapangan rumput. Sejenak kedua manusia berbaju merah itu tertegun,
melihat sesosok tubuh berjubah putih tergolek berlumuran darah di rerumputan.
Kemudian hampir bersamaan mereka melompat
menghampiri. "Eyang...!" seru pemuda itu keras.
"Eyang, apa yang telah terjadi?" suara gadis itu juga keras, namun terdengar
agak bergetar. Kemudian pemuda berbaju merah itu mengangkat mayat laki-laki tua berjubah putih.
Sesaat dia memeriksa, lalu meletakkannya kembali di tempat yang terlindung dari
sengatan matahari. Sementara gadis di sampingnya hanya mampu memandangi dengan
bola mata berkaca-kaca. Sesaat kesenyapan menyelimuti tempat itu.
"Kau tunggu di sini dulu, Narita," kata pemuda itu langsung melompat pergi.
Gadis yang dipanggil Narita hanya mengangguk saja. Dia kemudian duduk bersila di
samping jenazah laki-laki tua itu. Matanya tidak berkedip memandang
darah yang mengalir dari dada berlubang itu. Tanpa disadari, setitik air bening
bergulir di pipinya.
Sebentar kepalanya terangkat ke atas, dan terdengar tarikan napas yang panjang
dan berat. Beberapa saat kemudian, pemuda itu kembali dengan punggung penuh kayu-kayu
kering. Pemuda itu meletakkan kayu-kayu yang dibawanya ke dekat mayat laki-laki
tua berjubah putih. Kemudian dia pergi lagi. Sementara gadis itu segera bangkit
dan menata kayu-kayu tersebut menjadi tempat berbentuk dipan.
Saat dia tengah meletakkan mayat laki-laki tua itu di atas kayu-kayu yang sudah
ditatanya, pemuda itu kembali datang dengan punggung penuh kayu-kayu kering. Dia
meletakkan kayu itu di depan tumpukan kayu yang sudah tertata rapi.
Mereka kemudian menata kayu-kayu tersebut
menjadi bentuk sebuah rumah kecil. Setelah rapi semuanya, mereka membakarnya
dengan bibir terkatup rapat. Api berkobar cepat melahap kayu-kayu kering berbentuk rumah,
dengan mayat seorang laki-laki tua berjubah putih di dalamnya. Kedua manusia
berlainan jenis itu memandanginya dengan mata tidak berkedip dari jarak yang
cukup jauh. Letupan-letupan kecil terdengar, disertai percikan bunga api yang membumbung
tinggi ke angkasa. Api terus berkobar semakin besar. Sebentar saja udara di
sekitar Lereng Bukit Bojong sebelah Barat itu jadi terasa panas menyengat. Asap
hitam mengepul menghalangi cahaya matahari yang siang itu bersinar terik.
"Selamat jalan, Eyang...," desis Narita lirih.
"Ayo, Narita," ajak pemuda itu seraya berbalik. .
Narita tidak menyahut. Dia tetap berdiri memandang api yang masih berkobar
besar. "Narita...," pemuda itu menepuk pundak Narita.
"Ke mana lagi kita pergi, Kakang Seta?" tanya Narita seraya membalikkan
tubuhnya. Suaranya pelan, seperti tidak punya gairah hidup lagi.
"Kita harus mencari si Iblis Topeng Mayat," sahut pemuda yang dipanggil Seta
itu. Narita kembali diam. Sejenak kepalanya menoleh pada api yang tetap berkobar
besar melahap kayu-kayu kering. Kemudian pelahan-lahan kakinya terayun mengikuti
langkah Seta. Mereka berjalan berdampingan tanpa bicara sedikit pun. Wajah
mereka tampak sendu, dengan mata merembang kosong ke depan.
Sesekali Narita masih juga menoleh ke belakang.
Sepertinya dia berat untuk meninggalkan tempat itu.
Namun dia harus pergi, meskipun dengan hati berat.
*** Senja mulai merayap mendekati sang malam.
Cahaya matahari mulai redup memerah jingga di ufuk Barat. Sementara itu tampak
Seta dan Narita terus melangkah pelan-pelan melintasi sungai kecil dengan air
jernih yang mengalir dari atas Bukit Bojong. Sungai itu sebagai pembatas Bukit
Bojong dengan suatu daerah yang dinamakan Karang Waja.
Daerah itu merupakan hutan yang tidak begitu lebat. Beberapa jalan setapak
terdapat di sepanjang hutan itu. Bahkan tidak jauh dari hutan itu terdapat
sebuah padukuhan kecil, dengan beberapa rumah yang terbuat dari kayu beratapkan
rumbia. Padukuhan itu bernama Dukuh Karang Waja. Ke sanalah Seta dan Narita kini tengah
menuju. Memang hanya itulah satu-satunya padukuhan yang ada di
Hutan Karang Waja ini.
Dua orang berbaju merah itu kemudian berhenti di tepi Dukuh Karang Waja. Tatapan
mata Seta tidak berkedip ke arah padukuhan itu. Sementara Narita hanya berdiri
saja di sampingnya dengan pandangan kosong. Namun garis-garis wajahnya terlihat
suatu ketegangan. Degup jantungnya lebih keras dari biasa nya. Sejenak gadis itu
mengalihkan pandangannya pada pemuda di sampingnya. Pada saat itu, Seta juga
menoleh ke arahnya. Sesaat mereka saling pandang.
"Aku merasa kalau kedatangan kita ini memang telah ditunggu, Kakang," kata
Narita pelan, setengah berbisik suaranya.
"Hati-hatilah, tidak biasanya Padukuhan Karang Waja sepi begini," sahut Seta
seraya mengalihkan kembali pandangannya ke arah padukuhan yang tampak sepi itu.
"Kakang...."
"Awas!" seru Seta tiba-tiba.
Narita tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
Seketika saja dari arah depan mereka meluncur puluhan tombak pendek, berwarna
hitam pekat. Dua orang berbaju merah itu segera berlompatan menghindari
serangan-serangan itu.
Begitu tombak-tombak itu berhenti menghujani mereka, tiba-tiba muncullah lima
orang wanita berbaju hijau dengan wajah memakai topeng
berwarna pucat bagai mayat. Gerakan mereka sangat lincah dan cepat! Tanpa
berkata apa-apa, mereka langsung menyerang dengan senjata tombak pendek berwarna
hitam pekat. Aneh! Mereka membagi serangan itu tidak
seimbang. Satu orang menyerang Seta, dan empat orang lagi mendesak Narita. Tentu
saja gadis itu kerepotan, karena serangan-serangan empat orang lawannya demikian cepat dan
dahsyat. Sedangkan Seta merasakan dirinya hanya dibuat sibuk saja, dan digiring
menjauhi Narita.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Seta yang merasakan adanya keanehan pada
serangan-serangan itu, langsung mengerahkan jurus-jurus andalannya. Dan hal itu
tampak membuat lawannya kewalahan. Namun dengan mengandalkan gerakan kaki yang
lincah dan kelenturan tubuhnya, lawannya itu mampu menghalau setiap serangan-
serangan Seta yang dahsyat dan mematikan!
"Akh!"
Tiba-tiba terdengar pekikan tertahan. Tampak Narita sempoyongan terhajar
punggungnya. Pada saat itu, satu pukulan keras mendarat di dada gadis itu.
Kembali Narita memekik, disusul tubuhnya terjungkal ke tanah dengan keras. Tanpa
memberi kesempatan lagi, salah seorang lawannya melompat seraya berteriak keras.
Tombak pendek di tangan kanannya sudah terangkat tinggi-tinggi, siap untuk
ditembuskan ke tubuh Narita.
Namun pada saat yang genting itu, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat.
Tombak di tangan orang bertopeng pucat bagai mayat itu terpental. Dan orang itu
memekik tertahan sambil melentingkan tubuhnya ke belakang. Empat orang yang
mengeroyok Narita, jadi terlongong. Karena gadis itu mendadak saja lenyap tak
berbekas. Namun mereka tidak sempat lagi berpikir, karena tiba-tiba terdengar jeritan
melengking dari arah lain.
Tampak orang bertopeng pucat yang bertarung dengan Seta, terjungkal mencium
tanah. Empat orang itu langsung berlompatan menyerang Seta.
"Hiyaaa...!" Seta berteriak keras sambil mengebutkan tangannya ke depan.
"Aaa...!" seketika satu jeritan melengking tinggi terdengar.
Tampak seorang dari penyerang-penyerang itu menggelepar di tanah. Dadanya
tertembus oleh tiga buah pisau kecil berwarna keperakan. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, empat orang lagi segera berlompatan mengepung. Sejenak Seta memutar
tubuhnya mengamati empat orang lawannya yang bergerak pelahan-lahan memutarinya.
"Narita...!" desis Seta tersentak ketika matanya tidak lagi melihat Narita.
Kedua bola mata Seta menatap nyalang pada
empat orang wanita bertopeng pucat yang
mengepungnya itu. Gerahamnya bergemeletuk
menahan amarah yang meluap-luap. Pelahan-lahan tangan kanannya menarik sabuk
perak yang membelit pinggangnya. Kemudian sabuk itu langsung dikebutkan dengan
keras ke depan. Benar-benar luar biasa! Sabuk itu meregang kaku menjadi sebilah
pedang perak yang sangat tipis dan nampak lentur.
Melihat Seta telah menghunus senjata, empat orang pengeroyoknya segera memecah
tongkat pendeknya menjadi dua bagian. Tampak masing-masing ujungnya kini
terdapat sebilah mata tombak tipis bercabang dua.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak nyaring, dan tubuhnya melesat ke
depan seraya mengebutkan senjatanya ke arah perut dan dada Seta.
Langsung saja pemuda itu melompat mundur
sambil mengibaskan senjatanya menyampok senjata
lawan. Baru saja terlepas dari serangan pertama,
menyusul serangan berikutnya. Pemuda itu terpaksa membagi perhatiannya dalam
empat jurusan. Serangan lawan-lawannya terus datang secara bergantian dengan cepat dari empat
jurusan. Sebentar saja teriakan-teriakan pertempuran kembali terdengar,
ditingkahi dengan denting senjata beradu!
Seta terpaksa mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Dia sadar, kalau
empat lawannya memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
*** Pertarungan empat lawan satu, terus berlangsung semakin sengit. Sudah beberapa
kali Seta berhasil menyarangkan tendangan dan pukulan ke tubuh lawannya. Tapi
sesekali dia juga tidak bisa menghindar dari pukulan dan tendangan lawan.
Seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat Sedangkan debu juga banyak menempel
mengotori bajunya. Namun serangan-serangannya tidak mengendor sedikit pun.
"Akh!" tiba-tiba Seta memekik tertahan.
Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke
belakang. Tangan kirinya segera menekap lambungnya yang sobek kena senjata
lawan. Darah mengucur dari luka yang cukup dalam pada lambungnya.
"Phuih!" Seta menyemburkan ludahnya.
"Sebaiknya kau menyerah saja, Pemuda Tampan,"
kata salah seorang dengan suara lembut merayu.
"Ikutlah bersama kami, kau akan menikmati
indahnya hidup di sorga," sambung yang lain.
"Kau sangat tampan, tentu ratu kami akan
mengampuni dan mengijinkanmu tinggal di istana-
nya," kata satunya lagi.
Seta menggeram muak mendengar kata-kata yang lembut namun sangat menyakitkan


Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya itu. Dan tanpa menghiraukan luka di lambungnya, pemuda itu berteriak
keras sambil melompat menerjang
perempuan bertopeng pucat bagai mayat yang berada di depannya.
"Heit!"
Wanita itu langsung berkelit sambil mengibaskan senjatanya. Dan tanpa diduga
sama sekali, Seta melayangkan tangan kirinya dengan cepat.
Bug! "Hugh!" wanita itu mengeluh pendek.
Dan pada saat tubuhnya limbung terdorong ke belakang, dengan cepat Seta
mengibaskan senjatanya ke arah leher. Namun satu senjata lawan lainnya berhasil memapak
serangan itu. Trang! Seta segera menarik kembali senjatanya, lalu langsung berputar dan menyerang
lawan yang me-mapaknya tadi. Tepat pada saat itu, dari arah samping, berkelebat
satu bayangan dengan cepat.
Seta yang tengah terpusat perhatiannya pada satu lawannya, tidak sempai lagi
untuk menghindari satu tendangan dahsyat ke kepalanya.
"Aaakh...!" Seta menjerit keras.
Kepalanya terasa mau pecah terkena hantaman kaki yang begitu keras dan bertenaga
dalam cukup tinggi. Belum lagi Seta mampu menguasai dirinya, mendadak satu
tusukan benda tajam berhasil merobek dadanya. Kembali dia menjerit melengking
tinggi! Darah segar segera muncrat dari dada yang menganga lebar.
Pemuda berbaju merah menyala itu semakin tidak dapat menguasai dirinya. Dua
pukulan beruntun berhasil bersarang di tubuhnya. Seketika itu juga dia ambruk ke
tanah. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, tiba-tiba sebatang tombak pendek
hitam meluruk deras ke arahnya. Kini Seta benar-benar tidak bisa lagi untuk
menghindar. Seketika dia kembali menjerit melengking tinggi, begitu tongkat itu
memanggang lehernya. Sebentar tubuhnya menggelepar, lalu diam dan tidak
bergerak-gerak lagi.
Seorang lawannya segera menghampiri, dan
mencabut tongkat yang memanggang leher pemuda itu. Kemudian dia menyatukannya
kembali dengan yang tergenggam di tangan kiri. Sebentar dia menarik napas
panjang, lalu berbalik menghadap tiga orang temannya yang berdiri berjajar
sambil memandang ke arahnya.
"Cepat tinggalkan tempat ini!" kata wanita bertopeng pucat itu tegas.
"Bagaimana dengan...," kata salah seorang lagi sambil menoleh ke arah mayat
temannya yang menggeletak tidak jauh darinya.
"Bawa dia, dan jangan sampai ada jejak!" sahut yang satu lagi.
Tanpa berkata-kata lagi, mereka segera membawa mayat itu dan melompat cepat
meninggalkan tempat itu. Orang-orang itu tidak lagi peduli pada tubuh Seta yang
menggeletak bersimbah darah. Di tangan pemuda itu masih menggenggam senjata,
yang kini sudah kembali berubah jadi sabuk perak yang lemas dan lentur.
Saat itu matahari benar-benar sudah tenggelam di ufuk Barat. Kegelapan sudah
menyelimuti di sekitar tempat itu. Seolah-olah ingin mengantarkan
seseorang yang melepas nyawanya dengan tubuh penuh luka bersimbah darah!
*** 2 Jauh di sebelah Utara Hutan Karang Waja, tampak sebuah bangunan besar
dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan tebal. Di belakang bangunan besar itu
terdapat beberapa bangunan berbentuk panjang.
Beberapa orang bersenjata tombak, selalu berjaga-jaga di sekeliling tempat itu.
Di dalam sebuah kamar yang cukup besar di
rumah itu, tergolek seorang wanita berwajah cantik dengan kulit putih bersih,
terpadu baju merah menyala dan ikat pinggang dari lempengan perak tipis yang
lentur. Di sisi pembaringan kecil itu, tampak berdiri tiga orang laki-laki dan dua orang
wanita. Mereka rata-rata sudah berusia di atas tujuh puluh tahun.
Pandangan mata mereka tidak lepas dari gadis cantik yang tengah tergolek tidak
sadarkan diri. Beberapa saat kemudian, kepala gadis itu mulai bergerak lemah. Kelopak matanya
berkerjap beberapa kali. Dia tampak terkejut begitu menyadari dirinya berada di
suatu ruangan dan dikelilingi oleh beberapa orang. Sejenak gadis itu berusaha
bangkit, tapi sebuah tangan kurus segera menahan bahunya.
"Jangan bangkit dulu, racun yang mengendap di dalam tubuhmu belum keluar semua,"
kata suara lembut bernada kering.
"Siapa kalian" Bagaimana aku bisa sampai di sini?" tanya gadis itu.
"Kau berada di Puri Watu Ukir," sahut salah seorang laki-laki yang memakai jubah
berwarna putih bersih. "Puri Watu Ukir..."!" gadis itu nampak terkejut.
Gadis berbaju merah itu terus memandangi wajah-wajah di sekelilingnya. Kini dia
mulai sadar, kalau dirinya tengah dikelilingi oleh lima tokoh tua pemimpin besar
Puri Watu Ukir. Buru-buru gadis itu bangkit dari pembaringan dan berlutut di
lantai. Salah seorang wanita tua yang mengenakan jubah warna biru, mendekati dan
membangunkan gadis itu. Dan tanpa menoleh sedikit pun, gadis itu menurut saja
ketika wanita tua itu memintanya kembali berbaring.
"Kau telah terkena jarum hitam yang mengandung racun dahsyat dan mematikan,"
kata wanita tua itu lembut.
"Jarum hitam..."!" gadis itu kembali menggumam pelan.
"Apakah kau bertarung dengan Perempuan Iblis Topeng Mayat?" tanya seorang laki-
laki berjubah kuning.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Pelahan-lahan ingatannya kembali pada saat
sebelum dia berada di tempat suci ini. Pada saat itu dia memang tengah bertarung
melawan empat orang wanita berbaju hijau, dan mengenakan topeng pucat bagai
mayat. Dia tidak tahu kalau salah seorang lawannya berhasil melontarkan jarum hitam
yang mengandung racun.
Gadis itu hanya ingat, kalau badannya tiba-tiba saja terasa panas, dan satu
pukulan keras telah menghantam dadanya. Dia juga sempat melihat, ketika salah
seorang lawannya hampir membunuh dengan senjatanya. Tapi pada saat itu, tubuhnya
seperti melayang cepat, dan langsung tidak ingat apa-apa lagi. Rasa panas yang
menyelimuti tubuhnya, membuat dia tidak sadarkan diri. Rupanya rasa panas
itu datang dari jarum hitam yang berhasil masuk ke dalam tubuhnya.
"Siapa namamu, Anak Manis?" tanya seorang
wanita yang mengenakan jubah hijau.
"Narita," sahut gadis itu pelan.
"Bagaimana kau bisa bentrok dengan Perempuan Iblis Topeng Mayat?" tanyanya lagi.
"Aku tidak tahu, mereka ada lima orang, dan yang satu bertarung dengan kakakku.
Oh...! Kakang Seta, apakah dia juga selamat?" keluh gadis berbaju merah yang
ternyata bernama Narita.
Tidak ada yang menjawab. Semua yang ada di situ memandang pada seorang laki-laki
tua berjubah putih bersih. Sedangkan laki-laki berjubah putih itu tampak
berpikir sebentar, dan mendekati Narita yang tetap berbaring di pembaringan kayu
itu. "Kakakmu tewas. Maaf, kami terlambat menolongnya," kata laki-laki tua itu.
"Oh...," Narita mendesah lirih.
Sesaat kesepian melanda mereka semua. Laki-laki berjubah putih itu mengerdipkan
matanya. Kemudian semua orang tua yang berada di ruangan itu, segera melangkah
meninggalkan Narita seorang diri. Sedangkan gadis itu tetap terbaring dengan
wajah murung berselimut duka. Kini tak ada lagi yang tersisa. Kakek, yang
sekaligus juga gurunya, telah meninggal di tangan Perempuan Iblis Topeng Mayat.
Dan kakak satu-satunya juga telah tewas!
Sejenak Narita memalingkan mukanya, meman-
dang pada lima orang yang berjalan meninggalkan kamar itu. Tak lama kemudian,
pintu kamar kembali tertutup rapat setelah orang terakhir ke luar. Dalam
hatinya, dia mengucapkan terima kasih pada lima orang pemimpin besar Puri Watu
Ukir itu. Mereka
adalah tokoh-tokoh tua yang tingkat kepandaiannya sudah mencapai taraf
kesempurnaan. Orang-orang itu bernama Resi Wanakara yang berjubah putih, Resi
Jagabaya yang mengenakan jubah kuning. Dan Resi Danuraga yang berjubah kelabu.
Sedangkan dua lagi adalah perempuan tua. Mereka bernama Nyai Resi Puspita Rani
yang memakai jubah biru, sedangkan satunya lagi berjubah hijau, namanya Nyai
Resi Rara Kitri.
Narita benar-benar tidak pernah menyangka kalau dia bisa berada di suatu tempat
yang suci dan bertemu langsung dengan mereka. Tidak sembarang orang bisa bertemu
dan berbicara langsung dengan lima tokoh Puri Watu Ukir itu. Namun saat ini
Narita tidak peduli, hatinya tengah dilanda kedukaan yang amat dalam, dengan
kematian dua orang yang sangat dicintainya.
"Eyang..., Kakang Seta...," desis Narita lirih.
*** Tiga hari sudah Narita berada di kamar bangunan besar Puri Watu Ukir. Selama itu
pula dia selalu dikunjungi oleh lima tokoh tua Puri Watu Ukir secara bergantian.
Mereka selalu memberikan pengobatan untuk memulihkan kondisi tubuh gadis itu
seperti sedia kala.
Narita baru saja beranjak turun dari pem-
baringannya ketika pintu kamar itu terbuka. Seorang wanita tua berusia lebih
tujuh puluh tahun segera melangkah masuk. Wanita itu mengenakan baju biru yang
panjang dan longgar. Dia menyunggingkan senyuman manis di bibirnya. Narita pun
membalas-nya, dan berlutut memberi hormat.
"Nyai Resi Puspita Rani, terimalah salam hormat-ku," kata Narita tetap berlutut.
"Bangunlah, Anakku. Aku terima salam hormat-mu," sahut Nyai Resi Puspita Rani
lembut. Narita segera berdiri kembali
"Bagaimana keadaanmu?"
"Jauh lebih baik, Nyai Resi," sahut Narita.
Wanita berjubah biru itu lalu menekan pundak Narita, dan menyuruhnya duduk.
Gadis itu hanya menurut, dan duduk di tepi pembaringan. Sebentar Nyai Resi
Puspita Rani memeriksa beberapa bagian tubuh gadis itu, kemudian dia duduk di
kursi dekat jendela. Bibirnya tetap menyunggingkan senyuman manis.
"Kau sudah benar-benar pulih, Anakku," kata Nyai Resi Puspita Rani gembira.
"Terima kasih, Nyai Resi."
"Tapi kau masih perlu istirahat dan bersamadi, agar kesehatan dan kondisi
tubuhmu benar-benar sempurna. "
Narita tidak menjawab. Kepalanya tetap tertunduk dalam.
"Ada apa, Narita?" tanya Nyai Resi Puspita Rani seraya menatap dalam ke wajah
yang tertunduk itu.
"Tidak apa-apa, Nyai Resi. Aku hanya teringat pada Eyang Resi dan Kakang Seta,"
sahut Narita pelan.
"Hm..., siapa nama Eyang Resi-mu?"
"Eyang Resi Galadipa."
"Resi Galadipa...," gumam Nyai Resi Puspita Rani.
"Ada apa, Nyai Resi?" tanya Narita dengan kening berkerut.
"Sepertinya aku pernah mendengar nama itu,"
sahut Nyai Resi Puspita Rani. "Hm..., apakah Eyang Resi-mu berjuluk Pendekar
Welut Putih?"
"Benar, tapi itu dulu ketika Eyang Resi masih muda," sahut Narita sambil
mengangguk. "Ah...," Nyai Resi Puspita Rani mendesah panjang.
Narita menatap dalam pada wanita tua itu. Hatinya penasaran melihat perubahan
wajah pada Nyai Resi Puspita Rani. Wanita tua itu seolah tengah terkenang
sesuatu. Beberapa saat kemudian, Nyai Resi Puspita Rani bangkit, dan melangkah mendekati
pintu kamar. Sementara Narita tetap duduk di tepi pembaringan.
Benaknya jadi berputar melihat sikap wanita tua itu.
Sementara benak Narita tengah disibuki oleh pikiran dan dugaan-dugaan, Nyai Resi
Puspita Rani berdiri bersandar di pintu kamar yang telah tertutup rapat
Kepalanya tampak terdongak ke atas. Lalu setelah mendesah panjang, kakinya
kembali melangkah. Beberapa kali dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak
tahu, kalau ada sepasang mata bening kecoklatan yang mengamatinya sejak tadi.
Sepasang mata bening itu ternyata milik seorang laki-laki tua berjubah putih.
Tentu saja Nyai Resi Puspita Rani terkejut, ketika laki-laki tua berjubah putih
itu menghadang langkahnya.
"Aku lihat kau murung setelah keluar dari kamar itu," kata laki-laki berjubah
putih itu, seraya melirik ke arah pintu kamar yang sudah tertutup rapat.
Nyai Resi Puspita Rani tidak segera menyahuti. Dia hanya menarik napas panjang
dan menghembuskannya pelan-pelan. Sementara laki-laki tua yang bernama Resi
Wanakara, terus memperhatikannya dalam-dalam.
"Ada yang menyusahkanmu, Nyai?" tanya Resi Wanakara lembut.
"Kau ingat dengan peristiwa di Gunung Jati Sewu?"
Nyai Resi Puspita Rani malah balik bertanya.
"Ya," sahut Resi Wanakara.
Kembali Nyai Resi Puspita Rani menarik napas panjang. Dia kembali mengayunkan
langkahnya pelan-pelan. Sementara Resi Wanakara mengikutinya dengan benak yang
diliputi berbagai macam pertanyaan.
"Aku rasa kita telah melupakan, dan mengubur semua peristiwa yang terjadi di
Gunung Jati Sewu itu, Nyai," kata Resi Wanakara.
"Ya, kita memang telah melupakannya. Juga
semua saudara kita yang telah menjadi korban. Tapi kini kita harus mengingatnya,
Kakang," kata Nyai Resi Puspita Rani.
Resi Wanakara mengerutkan keningnya.
"Bertahun-tahun kita telah meninggalkan rimba persilatan dan mendirikan tempat
suci ini. Kita semua juga sudah berjanji, untuk tidak terjun kembali ke dalam
dunia itu. Tapi aku merasakan, bahwa kita akan kembali bergelimang darah," pelan
dan hampir tidak terdengar suara Nyai Resi Puspita Rani.
"Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan."
"Gadis itu...."
"Narita?"
"Ya."
"Ada apa dengan Narita?"
"Dia cucu Resi Galadipa atau Pendekar Welut Putih."
Seketika Resi Wanakara terdiam! Nama itu benar-benar menyengat telinganya.
Sungguh dia tidak menyangka akan mendengar nama itu lagi.
*** "Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Adik Galadipa berbuat tolol seperti
itu...?" gumam Resi Jagabaya menyesalkan.
"Apa pun yang dia lakukan, kita pasti akan tersangkut juga. Sia-sialah semua
usaha yang kita lakukan berpuluh-puluh tahun," gumam Nyai Resi Rara Kitri pelan,
seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri.
"Hhh! Kita seperti berada di suatu lorong maut yang panjang dan tidak akan
pernah berakhir," desah Nyai Resi Puspita Rani.
"Nyai Puspita Rani, apakah Narita sudah
mengetahui hal ini?" tanya Resi Danufaga yang sejak tadi diam saja.
"Aku rasa belum," sahut Nyai Resi Puspita Rani dengan kening agak berkerut.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa, aku hanya...," Resi Danuraga tidak melanjutkan kata-katanya.
"Ada apa, Adik Danuraga?" tanya Resi Jagabaya penasaran.
"Mungkin perasaanku yang berlebihan, aku
memang menduga kalau kehadiran gadis itu akan membawa malapetaka besar bagi Puri
Watu Ukir ini,"
pelan suara Resi Danuraga.
"Mungkin," desah Nyai Resi Rara Kitri. "Benar juga apa yang telah dikatakan oleh
Kakak Puspita Rani, kita memang berada pada suatu lorong maut yang amat panjang
dan tak berakhir."
Mereka semua kemudian terdiam. Lima orang
bersaudara yang sudah tua renta itu sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Mereka kembali teringat dengan peristiwa beberapa puluh tahun lalu. Di mana
mereka masih berenam, dan malang-melintang dalam rimba persilatan yang ganas
bergelimang darah. Suatu ketika salah seorang dari mereka memisah-kan diri. Hal itu terjadi setelah
peristiwa di Gunung Jati Sewu. Suatu peristiwa yang tidak mungkin bisa
terlupakan! Dan peristiwa itu kembali terungkap, dengan munculnya seorang gadis
yang ditolong oleh Resi Wanakara dari lubang maut.
Puluhan tahun yang lalu, mereka enam saudara yang dikenal sebagai Enam Dewa
Keadilan, mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya dengan tujuan memberantas
keangkaramurkaan.
Enam orang bersaudara itu adalah tokoh-tokoh berilmu tinggi yang sukar dicari


Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tandingannya. Setelah sekian lama berkecimpung dalam dunia yang penuh dengan
kekerasan, mereka kemudian meninggal-kannya. Dan mendirikan sebuah puri yang
diberi nama Puri Watu Ukir. Dinamakan begitu karena letaknya di sebuah tempat
berbatu yang berukir.
Entah siapa yang mengukir batu-batu itu, mungkin karena proses alami.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Resi Danuraga, setelah cukup lama
mereka semua berdiam diri.
"Maksudmu?" Resi Wanakara balik bertanya.
"Dengan gadis itu," sahut Resi Danuraga.
Tidak ada yang langsung memberikan jawaban.
Semua terdiam dan saling menukar pandang.
"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, bagai-
manapun juga Narita adalah cucu Adik Galadipa, dan itu berarti cucu kita juga,"
kata Resi Wanakara.
"Dan yang pasti, Perempuan Iblis Topeng Mayat tidak akan tinggal diam. Lebih-
lebih kalau dia tahu Narita itu cucu kita semua," sambung Nyai Resi Puspita
Rani. "Hhh...! Galadipa, selalu saja membuat persoalan,"
keluh Nyai Resi Rara Kitri pelan.
"Sudahlah, semuanya sudah terjadi. Aku akan berusaha mencari jalan agar tidak
ada pertumpahan darah," Resi Wanakara yang tertua di antara mereka, berusaha
mencari penyelesaian dengan baik.
"Kau sudah punya cara, Kakang?" tanya Resi Jagabaya.
"Saat ini belum," sahut Resi Wanakara.
*** Pagi itu Narita sudah bisa keluar dari kamarnya.
Sejak matahari belum menampakkan diri, dia sudah bergerak ringan, melemaskan
otot-ototnya yang terasa kaku. Dua pekan lebih dia telah berada di kamar, tanpa
boleh melakukan gerakan-gerakan yang bisa membuat keadaan tubuhnya bertambah
buruk. Setelah beberapa saat, gadis itu kemudian berhenti bergerak. Dia berdiri tegak
dengan mata tidak berkedip memandang ke arah Puncak Bukit Bojong.
Tampak kabut tipis masih menyelimuti puncak bukit itu. Pandangan gadis itu lalu
beralih ke sekelilingnya.
Sepi, tak ada seorang pun yang terlihat.
Sejenak Narita memandangi bagian atas tembok pagar yang mengelilingi Puri Watu
Ukir itu. Kemudian dia menatap bangunan besar dan sebuah bangunan puri, yang
terbuat dari tumpukan batu-batuan dengan ukiran yang mengandung arti yang sangat
dalam. "Aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan
sebagai ucapan terima kasih pada kalian semua. Kini aku harus pergi. Aku harus
membalas kematian Eyang Resi dan Kakang Seta," bisik Narita pelan.
Gadis itu kembali melangkah pelan-pelan men-
dekati pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Sebentar dia memandangi pagar tembok
itu, seolah-olah sedang mengukur ketinggiannya.
"Maafkan aku Eyang Resi, Nyai Resi. Aku pergi tanpa pamit...," bisik Narita
lagi. Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, Narita segera melompat melenting tinggi.
Tubuhnya melayang ringan bagaikan kapas tertiup angin. Dua kali dia salto di
udara, melewati pagar tembok yang tinggi itu. Lalu meluruk turun, dan hinggap di
tanah dengan manisnya. Gadis itu langsung berlari cepat dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya.
Narita memang tidak tahu, kalau sepasang mata memperhatikannya sejak tadi.
Sepasang mata milik seorang perempuan tua itu baru keluar dari balik dinding
rumah besar, setelah gadis itu hilang di luar pagar tembok. Saat dia menarik
napas panjang, muncul seorang laki-laki tua berjubah putih.
"Kau tidak berusaha mencegahnya?"
"Oh!" perempuan tua berjubah biru itu tersentak.
"Aku terus memperhatikannya sejak dia keluar dari kamarnya," kata laki-laki tua
berjubah putih yang ternyata Resi Wanakara.
"Ya, aku juga," sahut Nyai Resi Puspita Rani.
"Apa yang akan dia lakukan di luar sana?"
"Membalas dendam."
"Sinting!" dengus Resi Wanakara.
"Dia seorang anak yang baik. Aku pasti akan berbuat yang sama jika keadaannya
seperti itu," desah Nyai Resi Puspita Rani pelan.
"Perempuan Iblis Topeng Mayat bukan lawannya.
Aku sendiri belum tentu mampu untuk menandinginya. Dia juga hampir membunuhku
ketika terjadi peristiwa di Gunung Jati Sewu."
Nyai Resi Puspita Rani hanya diam saja.
"Kakeknya sendiri tidak mampu menandinginya, apalagi dia" Gadis seumur jagung
yang hampir tewas hanya melawan murid-muridnya saja," sambung Resi Wanakara tak
bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
"Aku mau pergi," kata Nyai Resi Puspita Rani.
"Kau mau ke mana?"
"Melindungi cucuku."
"Mengotori tanganmu dengan darah lagi?" Resi Wanakara tersentak kaget.
"Di sini pun sama saja. Aku, kau dan semua saudara-saudara kita tidak akan bisa
menghindar. Takdir sudah berbicara, dan kita harus menghadapinya. Tidak mudah meninggalkan
rimba persilatan, meskipun dengan niat yang paling suci sekalipun."
Kini Resi Wanakara yang diam membisu. Kata-kata adik perempuannya itu memang
benar. Mereka sudah ditakdirkan untuk bergelut dalam rimba persilatan. Sudah
puluhan tahun mereka me-ninggalkannya, tapi takdir yang sudah digariskan tidak
akan mungkin bisa dihindari lagi. Sejak munculnya gadis itu di Puri Watu Ukir
ini, takdir itu kembali terbuka lebar.
"Aku pergi dulu, Kakang. Aku tidak ingin kau berharap aku akan kembali," kata
Nyai Resi Puspita Rani.
"Ya, hati-hatilah," desah Resi Wanakara menyerah.
Wanita berjubah biru itu segera melentingkan tubuhnya dengan cepat. Gerakannya
ringan, tidak sedikit pun menimbulkan suara. Sementara Resi Wanakara hanya
memandanginya sambil mendesah panjang.
3 Desa Batang Hulu tampak meriah. Umbul-umbul terpasang di setiap sudut desa itu.
Wajah-wajah penduduknya kelihatan cerah, dan anak-anak bermain dengan
gembiranya. Kemeriahan itu terpusat dari rumah kepala desa yang sedang
mengadakan pesta perkawinan putranya. Suasana di rumah kepala desa lebih ramai
lagi. Banyak panggung-panggung hiburan tergelar. Sorak-sorai dan tabuhan gamelan
menambah hangat suasana.
Di pelaminah, terlihat pasangan yang berbahagia tengah bersanding dengan senyum
cerah. Sesekali mereka berdiri dan menyambut kedatangan tamu yang mengalir
seperti air di sungai.
"Sariti memang beruntung mendapatkan Den
Paksi," bisik salah seorang tamu yang hadir.
"Tapi mereka memang pasangan yang cocok.
Lakinya tampan, dan wanitanya cantik!" celetuk yang lain.
"Tapi kekayaannya tidak."
"Ah, cinta mana bisa diukur dengan harta?"
"Bagaimanapun juga, Ki Parta tidak akan
kekurangan lagi hidupnya."
Macam-macam tanggapan terdengar di antara
tamu-tamu yang hadir. Ada yang merasa iri, ada juga yang senang. Bahkan ada yang
masa bodoh, dan tidak mau peduli. Paksi memang putra tunggal Kepala Desa Batang
Hulu. Dan Sariti hanyalah putri seorang petani miskin. Tapi, Ki Rungkut, sang
Kepala Desa Batang Hulu, tidak melihat kaya atau miskinnya seseorang. Dia seorang yang
arif dan bijaksana. Di matanya, kaya atau miskin tidak ada bedanya!
Pesta itu terus berlangsung hingga senja datang.
Semakin matahari condong ke arah Barat, suasananya semakin bertambah meriah.
Lentera, obor dan segala macam penerangan mulai dinyalakan di beberapa tempat.
Saat sang mentari benar benar sudah tenggelam, mendadak suasana pesta yang
meriah itu menjadi berubah. Jerit dan pekik melengking terdengar saling sambut.
Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu jadi kalang-kabut!
Ki Rungkut segera menyuruh anaknya untuk
masuk. Tampak empat orang bertubuh ramping dan mengenakan baju hijau ketat,
membantai orang-orang yang berlarian serabutan. Laki-laki kepala desa itu
langsung mengerahkan orang-orangnya untuk mengamankan suasana yang sudah berubah
jadi ajang pembantaian. Dua puluh orang bersenjata golok, terlihat berlompatan
dan mengepung empat orang wanita perusuh tersebut.
"Ayah, siapa mereka?" tanya Paksi yang belum juga masuk ke dalam rumah.
"Anak buah Iblis Topeng Mayat," sahut Ki Rungkut mendesis.
"Mau apa mereka datang mengacau?" Ki Rungkut tidak menjawab. Saat itu dua puluh
orangnya sudah bertarung melawan empat orang wanita bertopeng pucat seperti
mayat. Beberapa undangan yang kelihatannya memiliki kepandaian, masih tetap
berada di tempat.
Baru beberapa saat saja, dua puluh orang
bersenjata golok tampak kewalahan menghadapi
mereka. Satu persatu mereka tumbang bersimbah darah. Rupanya empat orang
tersebut terlalu tangguh, sehingga dalam waktu sebentar saja bisa merobohkan
lebih dari separuh lawannya.
"Hiya...!"
"Yaaat...!"
Tiga orang undangan langsung berlompatan sambil mencabut senjatanya masing-
masing. Dan tanpa banyak bicara, mereka segera menyerang empat orang bertopeng
mayat itu. Namun turunnya tiga orang itu tidak membuat keadaan jadi berubah.
Sebentar saja dua orang sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan orang-
orang Ki Rungkut kini sudah mulai gentar.
"Berhenti!" seru Ki Rungkut keras.
Seketika itu juga pertempuran berhenti. Ki Rungkut segera melompat sekitar dua
batang tombak jauhnya. Gerakannya ringan, pertanda kalau dia memiliki tingkat
kepandaian yang cukup tinggi.
Sedangkan putranya, Paksi, hanya memperhatikan saja. Di samping pemuda itu sudah
berdiri Sariti yang memeluk tangannya dengan tubuh gemetaran.
"Apa maksud kalian datang dan membuat
keonaran di sini?" tanya Ki Rungkut dengan suara lantang.
"Hi hi hi...!" terdengar suara mengikik dari arah atap rumah.
Ki Rungkut langsung berbalik dan memandang ke atap rumahnya. Tak terkecuali
semua orang yang berada di tempat itu juga segera menolehkan kepalanya ke atap.
Tampak di sana seorang wanita berambut panjang dengan tubuh ramping, dan
terbungkus baju hijau menyala yang ketat. Wajahnya tertutup topeng berwarna
pucat seperti mayat.
Sedangkan di pinggangnya terselip sebatang tongkat pendek berwarna hitam.
*** Dengan satu gerakan yang ringan dan indah,
wanita itu meluncur ke bawah. Manis sekali dia mendarat sekitar dua batang
tombak jaraknya di depan Ki Rungkut. Sementara empat orang lainnya yang juga
bertopeng, segera berlompatan dan berdiri mengapit perempuan yang baru datang
itu. "Iblis Topeng Mayat, apa maksudmu membuat
keonaran di sini" Aku dan seluruh penduduk Desa Batang Hulu tidak pernah
berurusan denganmu!"
lantang suara Ki Rungkut.
"Hi hi hi..., kalian memang tidak pernah berurusan denganku. Tapi kalian telah
menampung musuh besarku!" sahut Iblis Topeng Mayat diselingi dengan tawa
mengikik. "Siapa musuhmu?" tanya Ki Rungkut tidak
mengerti. "Galadipa dan dua cucunya!"
Tentu saja Ki Rungkut tersentak kaget. Dia sudah kenal betul siapa Galadipa,
yang berjuluk Pendekar Welut Putih. Seorang anak tunggal Galadipa telah menikah
dengan adik perempuan Ki Rungkut. Mereka mempunyai dua orang anak. Namun
pasangan muda itu tewas, di saat anak-anaknya masih kecil-kecil.
Hingga kini tak seorang pun yang tahu sebab-sebab kematiannya. Mereka tewas di
rumahnya sendiri dalam keadaan yang mengenaskan. Sedangkan dua orang anaknya
diasuh oleh Galadipa di desa itu.
Ki Rungkut memang tidak pernah tahu, kalau Galadipa ternyata punya urusan dengan
Iblis Topeng Mayat. Yang dia tahu, waktu itu Galadipa datang ke Desa Batang Hulu dengan
membawa seorang istri dan anak tunggalnya. Mereka kemudian menetap agak jauh
dari rumah-rumah penduduk. Dan selama mereka menetap di Desa Batang Hulu itu,
tidak pernah ada kejadian apa-apa. Galadipa memang sudah meninggalkan rimba
persilatan. "Sudah hampir satu purnama ini, aku tidak lagi melihat Galadipa. Dia memang
pergi bersama cucu-cucunya meninggalkan desa ini. Jika kau datang untuk
mencarinya, bukan di sini, Iblis Topeng Mayat!"
kata Ki Rungkut, tetap lantang suaranya.
"Galadipa dan Seta sudah tewas! Tapi Narita belum. Di mana kau sembunyikan anak
itu?" dingin kata-kata Iblis Topeng Mayat.
"Iblis...!" desis Ki Rungkut begitu mendengar kabar itu.
"Aku beri kau waktu tiga hari untuk menyerahkan anak itu, Rungkut. Anggap saja
kejadian ini sebagai peringatan dariku!" sambung Iblis Topeng Mayat.
Setelah berkata begitu, lima orang berpakaian hijau dan mengenakan topeng pucat
bagai mayat itu, langsung melesat pergi. Gerakan mereka sangat cepat dan ringan
bagaikan kapas. Maka dalam sekejap saja mereka sudah lenyap dari pandangan.
Sementara Ki Rungkut hanya bisa mendesah
panjang. Kata-kata Iblis Topeng Mayat tidak pernah main-main!
Sepak terjang Iblis Topeng Mayat sudah terkenal di seantero jagat. Satu kata
yang terucap, berarti maut!
Memang sudah beberapa puluh tahun belakangan ini, nama Iblis Topeng Mayat jarang
terdengar. Namun kini muncul lagi dengan segala perbuatannya yang kejam.
"Ayah...," Paksi segera menghampiri ayahnya yang masih tetap berdiri di halaman
depan rumahnya.
Ki Rungkut kembali mendesah panjang.
"Aku tahu di mana Narita berada," kata Paksi.
Ki Rungkut tersentak. Ditatapnya Paksi dengan tajam.
"Sehari sebelum mereka meninggalkan desa ini, Seta sudah menceritakan tujuannya
bersama Narita.
Mereka pergi memang khusus untuk mencari Iblis Topeng Mayat," kata Paksi lagi.
"Kenapa kau tidak mengatakan padaku, Paksi?" Ki Rungkut menyesalkan.
"Aku telah berjanji kepada Seta untuk tidak mengatakan hal ini pada siapa pun.
Tapi kini keadaan memaksaku untuk mengingkari janji itu. Maafkan aku, Ayah,"
pelan suara Paksi.
"Sudahlah, kau tahu, apa sebenarnya yang terjadi antara Pamanmu Galadipa dengan
Iblis Topeng Mayat?"
"Lebih kurang empat puluh tahun yang lalu, Paman Galadipa dan lima orang
saudaranya yang berjuluk Enam Dewa Keadilan, datang ke sebuah desa di Kaki Bukit
Bojong. Mereka datang untuk melamar seorang gadis untuk Paman Galadipa...,"
Paksi berhenti sebentar.
"Teruskan," pintu Ki Rungkut.
"Gadis yang akan dilamar adalah putri seorang ketua padepokan di desa itu. Tapi
semuanya tidak berjalan lancar, karena Iblis Topeng Mayat datang dan mengacaukan
suasana di saat pesta perkawinan berlangsung," sambung Paksi.
"Hm..., apakah Seta juga menceritakan, kenapa terjadi demikian?" tanya Ki
Rungkut. "Ya. Iblis Topeng Mayat tidak rela kalau Galadipa
menyunting gadis lain."
"Cinta...," desis Ki Rungkut bergumam.
Satu persoalan yang kelihatannya sepele, tapi kalau sudah menyangkut orang-orang
kalangan rimba persilatan, bisa berakibat fatal! Dan Ki Rungkut sudah bisa
mengerti, apa yang menjadi penyebab Iblis Topeng Mayat mencari Ki Galadipa dan
anak cucunya. Rupanya wanita itu ingin melenyapkan semua keturunan Galadipa!
Ki Rungkut memang pernah mendengar tentang enam orang pendekar tangguh, yang
berjuluk Enam Dewa Keadilan. Waktu itu enam orang pendekar tersebut bertarung di
Puncak Bukit Bojong. Namun tidak ada yang mengetahui, mereka bertarung dengan
siapa. Dan hasilnya juga tidak diketahui. Yang jelas, setelah pertarungan itu,
nama-nama mereka tenggelam dalam kancah rimba persilatan.
Ki Rungkut benar-benar tidak mengetahui, kalau Galadipa ternyata salah satu dari
Enam Dewa Keadilan. Galadipa datang ke Desa Batang Hulu ini dengan membawa


Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang istri dan seorang anak.
Mereka datang seperti orang kebanyakan, namun sifat-sifat kependekaran Galadipa
masih menonjol.
"Tadi kau bilang tahu di mana Narita berada, Paksi...," kata Ki Rungkut.
"Ya, Narita pasti berada di Puri Watu Ukir.
Letaknya tidak jauh dari Hutan Karang Waja. Di puri itulah tinggal lima saudara
Paman Galadipa," sahut Paksi menjelaskan.
"Aku akan segera ke sana. Kau jangan pergi sampai aku kembali, Paksi," kata Ki
Rungkut. Paksi hanya mengangguk saja.
*** Jarak dari Desa Batang Hulu ke Puri Watu Ukir memang tidak seberapa jauh, kira-
kira hanya memakan waktu setengah hari perjalanan dengan kuda. Itulah sebabnya,
meskipun sudah malam, Ki Rungkut berangkat juga ke Puri Watu Ukir. Dia ditemani
oleh sekitar lima orang sahabatnya. Mereka terus memacu kuda dengan cepat tanpa
berhenti sejenak pun. Dan hampir tengah malam mereka tiba di tempat suci itu.
Kebetulan Resi Wanakara sendiri yang.
menyambut kedatangan Ki Rungkut dan lima orang sahabatnya. Sesampainya di dalam,
baru mereka disambut oleh tiga orang Ketua Puri Watu Ukir lainnya. Walaupun
empat orang resi itu sudah bisa menebak maksud dan kedatangan tamu-tamunya,
mereka tetap bersikap wajar.
"Maaf kalau kedatangan kami tidak pada
waktunya," ucap Ki Rungkut seraya membungkuk sopan.
"Ada maksud apa anakku datang ke tempat suci ini?" tanya Resi Wanakara.
"Kami datang untuk menjemput Narita, Eyang Resi," sahut Ki Rungkut langsung pada
pokok persoalannya.
Langsung saja empat orang resi tersebut saling berpandangan. Mereka memang sudah
menduga kalau kedatangan enam orang tamu itu ada
hubungannya dengan Narita.
"Kenapa kau mencari cucuku?" tanya Resi
Wanakara, tetap lembut suaranya.
"Maaf, Eyang Resi. Sore tadi, desa kami didatangi oleh Iblis Topeng Mayat.
Banyak warga desa kami yang tewas dibunuh. Mereka menginginkan Narita, Eyang
Resi," sahut Ki Rungkut.
"Aneh...! Untuk apa perempuan itu mengacau desamu?"
"Sebelumnya Narita memang tinggal di sana
bersama kakek dan saudara laki-lakinya."
Resi Wanakara segera mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tahu betul watak Iblis Topeng Mayat.
Satu orang yang diinginkan, puluhan nyawa bisa melayang!
"Kalau dalam waktu tiga hari ini kami tidak bisa menyerahkan Narita, mereka akan
membantai habis penduduk Desa Batang Hulu. Tolonglah kami, Eyang Resi," kata Ki
Rungkut menghiba.
Resi Wanakara hanya menarik napas panjang. Dia lalu menatap tiga orang
saudaranya. Mereka hanya bisa saling tatap tanpa mengucapkan satu kata pun.
Sementara Ki Rungkut terus mengamati mereka dengan sinar mata penuh harap.
Bagaimanapun juga, dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan seluruh warga
desanya. "Kemarin, Narita memang berada di sini. Tapi dia sekarang sudah pergi. Hhh...,
sebaiknya kalian pulang saja dulu. Aku berjanji, akan menyelesaikan persoalan
ini tanpa mengorbankan orang lain," kata Resi Wanakara pelan.
"Bagaimana kalau kalian menginap saja dulu.
Tidak baik menempuh perjalanan tengah malam begini," sambung Nyai Resi Rara
Kitri. "Besok pagi aku akan menemani kalian ke Desa Batang Hulu," kata Resi Jagabaya
menyambung. "Oh, terima kasih.... Terima kasih, Resi," ucap Ki Rungkut seraya membungkukkan
badannya beberapa kali.
"Silakan kalian beristirahat, " kata Resi Wanakara.
Seorang cantrik kemudian mengantarkan enam
orang dari Desa Batang Hulu itu ke tempat istirahat-nya. Sementara empat orang
resi Puri Watu Ukir masih berada di ruangan besar tempat menerima tamu. Wajah
mereka kelihatan murung, apa yang telah dikhawatirkan, kini menjadi kenyataan.
Iblis Topeng Mayat sudah memulai aksinya kembali. Dan hal itu dimulai dengan
tewasnya Galadipa. Salah seorang dari enam bersaudara yang berjuluk Enam Dewa
Keadilan. Mengingat Desa Batang Hulu jaraknya tidak jauh dari Puri Watu Ukir, bukannya
tidak mustahil kalau Iblis Topeng Mayat akan menjarah ke tempat itu juga.
Lebih-lebih dengan datangnya Kepala Desa Batang Hulu itu. Empat orang resi itu
sudah bisa menduga, kalau kejadian di Desa Batang Hulu hanya sekedar siasat dari
Iblis Topeng Mayat.
*** Pagi-pagi sekali, Ki Rungkut dan lima orang
sahabatnya meninggalkan Puri Watu Ukir. Mereka didampingi oleh Resi Jagabaya.
Sedangkan Resi Wanakara juga meninggalkan puri itu untuk mencari Narita. Mereka
terpaksa kembali lagi ke dalam dunia luar.
Dunia yang sudah puluhan tahun ditinggalkannya!
Ki Rungkut, Resi Jagabaya dan lima orang lainnya memacu kudanya dengan cepat
menuju Desa Batang Hulu. Mereka melintasi Hutan Karang Waja. Sebuah hutan yang
tidak begitu lebat, dan banyak terdapat jalan lintas. Hutan itu memang sering
dimasuki oleh orang-orang yang bertempat tinggal di sekitarnya.
Tujuh orang itu terus memacu kudanya dengan kencang tanpa berhenti sedikit pun.
Sementara itu matahari semakin naik dengan sinar hangatnya.
"Awas...!" tiba-tiba Resi Jagabaya berseru keras.
Mendadak sebuah benda hitam sepanjang satu lengan, meluncur deras ke arah
rombongan kecil itu.
Resi Jayabaya dan Ki Rungkut yang berada di depan, langsung melompat dari
punggung kudanya. Namun benda hitam itu terus meluruk demikian deras, sehingga
seorang yang berada di belakang Resi Jagabaya tidak bisa menghindar lagi.
"Aaa...!" seketika orang itu menjerit keras.
Tubuhnya langsung terpental kena sambar benda hitam itu. Tampak dadanya
tertembus senjata itu.
Empat orang lainnya bergegas melompat turun dari punggung kudanya.
Belum lagi hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba dari balik pohon berlompatan
empat orang berbaju hijau, dan mengenakan topeng yang berwarna pucat bagai
mayat. Dan di atas dahan yang tidak begitu tinggi, berdiri seorang lagi yang
juga mengenakan baju hijau ketat, hingga membentuk tubuhnya yang ramping.
Trik! Orang yang berada di atas dahan itu, menjentikkan jarinya. Saat itu juga, empat
orang bertopeng mayat berlompatan menyerang. Ki Rungkut langsung mencabut
senjatanya, yang berupa sebilah golok besar dengan salah satu sisinya bergerigi.
Sedangkan lima orang lainnya juga segera mengeluarkan senjatanya masing-masing.
Kini empat orang tersebut sudah menyerang
dengan cepat dan dahsyat. Mereka sama sekali tidak menghiraukan Resi Jagabaya,
sehingga orang tua berjubah kuning itu terpaksa hanya jadi penonton.
Resi Jagabaya langsung menggeretakkan rahangnya
begitu melihat dua orang pihaknya sudah terjungkal tewas dalam waktu sebentar
saja. Empat orang wanita bertopeng pucat bagai mayat tersebut memang kejam. Mereka
tidak pernah memberi kesempatan pada lawannya untuk
meningkatkan serangan dan pertahanannya. Senjata tongkat pendek berwarna hitam,
terus berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan.
"Berhenti!" bentak Resi Jagabaya, ketika dua orang lagi terjungkal bersimbah
darah. Seketika pertarungan tersebut berhenti. Ki Rungkut dan satu orang sahabatnya
yang tersisa, langsung melompat mendekati Resi Jagabaya. Napas mereka tersengal
memburu. Keringat pun bercucuran deras membasahi seluruh tubuh. Sinar mata
mereka juga menunjukkan kegentaran, menghadapi Iblis Topeng Mayat yang begitu
tinggi tingkat kepandaiannya. Kalau saja Resi Jagabaya tidak segera menghentikan, mereka pasti tidak akan bisa
meneruskan pertarungan itu.
"Kau hanya berurusan dengan Enam Dewa
Keadilan, kenapa kau libatkan juga orang-orang yang tidak tahu apa-apa?" agak
tertekan suara Resi Jagabaya.
Pedang Pusaka Buntung 6 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Makam Bunga Mawar 22
^