Pencarian

Menembus Lorong Maut 3

Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut Bagian 3


bagai sebatang anak panah lepas dari busurnya. Dan begitu mencapai tepi seberang
jurang, puluhan anak panah hitam meluruk deras menghantam ranting kering itu.
Tentu saja sepuluh orang yang berada di sekitar Paksi, jadi terperangah melihat
kejadian itu. Sedangkan Paksi hanya tersenyum dan bergumam kecil.
Kemudian tangannya menjumput sebongkah batu yang cukup besar. Dan batu itu
langsung amblas begitu tiba di dasar jurang. Bahkan ranting-ranting yang berada
di dasar jurang itu, ikut melesak masuk ke dalam. Kembali sepuluh orang itu
terheran-heran dibuatnya.
"Kelihatannya mudah, tapi sukar untuk dijangkau,"
kata Paksi setengah bergumam.
"Bagaimana, Den" Kita tidak mungkin bisa
menyeberanginya," kata salah seorang lagi.
"Iblis Topeng Mayat memang cerdik, tapi aku tidak mau kalah cerdik. Lihat saja,"
sahut Paksi kalem.
Paksi kemudian meminta busur dan sekantung anak panah dari salah seorang
pengikutnya. Dengan panah itu dia lalu membidikkan ke seberang jurang.
Sungguh di luar dugaan sama sekali. Setiap batang anak panah yang melesat,
selalu disambut anak-anak panah hitam. Beberapa kali Paksi melepaskan anak-anak
panahnya, hingga sampai pada panah yang ke lima belas, tidak ada lagi sambutan.
"Aman, Den," kata orang yang diminta panahnya tadi.
"Belum," sahut Paksi tetap tenang.
Sepuluh orang yang mengikutinya saling ber-
pandangan. Mereka tidak mengerti, tapi dalam hati memuji kecerdikan tuannya ini.
Mereka tetap menunggu, apa yang akan dilakukan putra kepala desa itu
selanjutnya. Sedangkan Paksi masih berdiri tegak sambil memandang tajam ke arah seberang
jurang. *** Sementara itu tidak jauh dari tempat Paksi dan sepuluh orangnya di tepi jurang,
seorang wanita tua berjubah biru terus memperhatikan sejak tadi. Wanita tua itu
adalah Resi Puspita Rani. Resi wanita itu memperhatikan dari balik batu besar
yang menjorok ke luar dari dinding tebing.
"Anak itu benar-benar cerdik. Aku ingin tahu, bagaimana caranya dia menembus
rintangan itu, sebelum sampai pada Lorong Maut," gumam Nyai Resi Puspita Rani
dalam hati. Saat itu Paksi masih tetap berdiri tegak sambil memandang ke seberang jurang.
Keningnya berkerut dalam, pertanda kalau dia tengah berpikir keras.
Sedangkan sepuluh orang lainnya hanya menunggu dengan tidak sabar.
"Kalian cari binatang apa saja yang ada di sekitar sini," kata Paksi memerintah.
"Den...," salah seorang mau protes.
"Sedapatnya! Binatang apa saja!" sergah Paksi cepat.
Lima orang segera beranjak pergi dengan benak dipenuhi berbagai macam tanda
tanya. Mereka tidak mengerti, dengan apa yang diinginkan putra kepal desa itu.
"Kalian cari tempat untuk berlindung. Aku tidak
mau ada korban jatuh sia-sia," kata Paksi lagi.
"Den Paksi sendiri...?"
"Cepatlah, aku yakin mereka tidak ada di sini malam ini," sergah Paksi.
Lima orang lainnya segera mencari tempat yang cukup terlindung. Sementara Paksi
memperhatikan saja. Hatinya cukup puas melihat orang-orangnya sudah berada di
tempat yang cukup terlindung. Tidak lama kemudian, lima orang yang mencari
binatang, sudah kembali. Mereka membawa tiga ekor kelinci, dan dua ekor ayam
hutan. Binatang-binatang itu semuanya sudah mati.
Paksi segera menerima, dan menyuruh lima orang itu untuk berlindung bersama yang
lainnya. Maka tanpa membantah sedikit pun, mereka segera menghampiri teman-
temannya yang sudah lebih dulu mendapatkan tempat untuk berlindung. Mereka terus
memperhatikan putra kepala desa itu dengan benak diliputi pertanyaan.
"Kau pikir tempatmu cukup aman, Iblis Topeng Mayat! Lihatlah, aku Paksi, yang
akan mendobrak Lorong Maut-mu!" kata Paksi dengan suara mendesis.
Setelah berkata begitu, Paksi mengambil seekor ayam hutan. Dan dengan
mengerahkan tenaga dalam penuh, dia melemparkan ayam hutan itu ke seberang
jurang. Ayam yang sudah mati itu meluncur deras, dan....
Glarrr...! Satu ledakan keras langsung terdengar ketika secercah cahaya bagaikan kilat
menyambarnya, hingga ayam hutan itu hancur berkeping-keping.
"Ha ha ha...! Tidak ada gunanya kau membentengi tempatmu dengan Pagar Cahaya
Kilat!" seru Paksi keras.
Paksi kembali melemparkan binatang-binatang yang sudah tidak bernyawa lagi.
Setiap kali dia melemparkan binatang itu, selalu terdengar ledakan keras
disertai dengan meluncurnya secercah cahaya kilat. Sampai pada lemparan yang
terakhir, cahaya kilat itu tidak lagi terlihat, dan bangkai kelinci itu pun
melesat jauh ke dalam jurang yang gelap.
"Ha ha ha...!" Paksi kembali tertawa penuh kepuasan.
Sementara itu di balik batu besar yang menjorok ke luar dari dinding tebing,
Nyai Resi Puspita Rani menggeleng-gelengkan kepalanya, kagum melihat kecerdikan
Paksi. Namun di balik rasa kagumnya, dia juga merasa heran. Tidak sembarang
orang bisa mengetahui pagar pengaman yang dibuat oleh Pramurti, atau Iblis
Topeng Mayat di daerah kekuasaannya.
"Hm..., dari mana dia memperoleh semua itu?"
gumam Nyai Resi Puspita Rani dalam hati.
Saat itu, Paksi sudah melompat menyeberangi jurang yang tidak begitu besar itu.
Tubuhnya melayang ringan, dan hanya sekali dia bersalto, sudah mencapai
seberang. Pemuda itu kemudian berdiri tegak dengan tangan berada di pinggang.
Sementara sepuluh orang yang berlindung, belum juga keluar dari tempat
persembunyiannya. Sejenak Paksi memandang berkeliling. Namun sepanjang mata
memandang, hanya kegelapan dan hamparan batu-batu saja yang terlihat.
"Hm, menurut Eyang Resi Jagabaya, aku harus menemukan Lorong Maut. Lorong itu
hanya berupa gulungan angin yang berputar, dan sulit untuk ditembus. Hm..., di
mana letak lorong itu?" gumam Paksi dalam hati.
Setelah melewati rintangan anak panah dan Pagar Cahaya Kilat, Paksi segera
melompat menyeberangi jurang yang tidak begitu besar!
Tubuhnya melayang ringan, dan ditambah dengan sekali salto, dia sudah mencapai
seberang. Pelahan-lahan Paksi melangkah menjauhi bibir jurang.
Matanya terus bersorot tajam mengamati keadaan sekitarnya.
Pelahan-lahan Paksi mulai melangkah menjauhi bibir jurang. Kakinya terayun
ringan, pertanda kalau dia mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Matanya bersorot
tajam mengamati keadaan sekitarnya.
Otaknya juga terus berputar keras.
Belum lagi sampai sepuluh tombak dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara
gemuruh, disusul dengan bertiupnya angin kencang. Seketika Paksi tersentak, tapi
belum sempat dia berbuat apa-apa, tubuhnya mendadak terangkat dan berputar
cepat. Tampak lingkaran debu dan batu-batuan menggulung tubuh pemuda itu.
Dengan sekuat tenaga Paksi berusaha meronta, tapi usahanya sia-sia belaka.
Tubuhnya semakin terseret dalam, masuk gulungan angin itu. Semakin lama, semakin
jauh saja tubuh pemuda itu masuk ke dalam pusaran angin yang ganas, membentuk
lorong bagai rongga goa.
"Aaa...!"
Tiba-tiba Paksi menjerit keras melengking.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya lenyap, disusul dengan lenyapnya angin yang
bergulung-gulung itu.
Suasana di tempat itu kembali sunyi senyap. Dan kejadian tersebut disaksikan
oleh berpasang-pasang mata yang bersembunyi di balik batu dan pepohonan.
Tak ada seorang pun yang menampakkan diri.
Mereka semua seperti terpaku, setengah tidak percaya dengan apa yang telah
disaksikannya. *** Apa sebenarnya yang terjadi pada Paksi"
Paksi terus tergulung oleh angin kencang yang berputar, dan membentuk sebuah
lorong bagai goa terapung. Tubuh pemuda itu berputar cepat, membuatnya seperti
terhempas ke dalam suatu alam yang belum pernah dimasukinya. Paksi merasakan
seluruh tulang-tulangnya remuk, dan kesadarannya hilang tanpa mampu dicegah
lagi. Lorong Maut itu membawanya ke suatu tempat yang sangat asing, dan tak pernah
diimpikan sebelumnya. Cukup lama juga pemuda itu tidak sadarkan diri. Dan dia
baru sadar setelah ada sesuatu yang dingin mengguyur tubuhnya. Pemuda itu tampak
gelagapan, seperti mau terbenam ke dalam kubangan air yang dalam.
"Ah...!"
Paksi terkejut begitu menyadari seluruh tubuhnya terikat oleh rantai besi yang
besar dan kuat.
Tubuhnya menggigil kedinginan. Seluruh bajunya basah kuyup oleh air yang
mengguyurnya. Sejenak pandangan pemuda itu terpaku pada sesosok tubuh ramping,
berdiri tidak jauh di depannya. Sosok tubuh itu mengenakan baju hijau, dengan
wajah tertutup topeng berwarna pucat bagai mayat.
"Sariti...!" sentak Paksi ketika pandangannya beralih pada seorang wanita yang
juga terikat pada sebuah tiang.
Paksi berusaha bangkit, namun seluruh tubuhnya terasa lemas, tidak mampu untuk
digerakkan lagi.
Pemuda itu hanya bisa memandang lemah pada gadis yang baru dinikahinya. Gadis
itu terikat dengan tangan terentang dan kakinya terbuka lebar. Seluruh bajunya
tampak koyak dan cabik-cabik. Sedangkan kepalanya terkulai lemas, dengan rambut
terurai menutupi hampir seluruh wajahnya.
Pandangan mata pemuda itu kembali beralih pada sosok tubuh ramping berbaju
hijau, dengan topeng pucat menutupi wajahnya. Di belakangnya, berdiri empat
orang lainnya yang mengenakan baju dan topeng berwarna sama. Hanya saja mereka
tidak memakai sabuk berwarna kuning emas di pinggang.
Paksi langsung menyadari kalau dirinya kini menjadi tawanan Iblis Topeng Mayat.
"Siapa yang telah memberitahumu, untuk
menembus Pagar Cahaya Kilat-ku, Bocah?" terdengar suara kecil, namun tajam dan
datar. Paksi tidak menjawab. Dia mengetahui hal itu dari pembicaraan ayahnya dengan
Resi Jagabaya. Waktu itu dia sempat menguping, tapi tidak semuanya bisa
didengar. "Siapa yang memberitahumu, Bocah" Jawab!"
bentak Iblis Topeng Mayat gusar.
"Aku tahu sendiri!" sahut Paksi ketus.
"Hm..., kau datang untuk membebaskan istrimu, kan?"
Paksi melirik pada Sariti yang terikat pada tiang.
Rahangnya bergemeletuk menahan geram. Hatinya panas melihat keadaan gadis yang
baru dinikahinya, dan belum dia sentuh sedikit pun.
"Kau sayang dengan istrimu, Bocah?" kembali suara Iblis Topeng Mayat terdengar.
"Lepaskan Sariti! Dia tidak tahu apa-apa!" geram Paksi.
"Aku tidak akan mengganggu kebahagiaanmu, jika ayahmu tidak berbuat bodoh!" kata
Iblis Topeng Mayat.
"Ayahku tidak melakukan apa-apa!"
"Heh! Jangan menutup matamu, Bocah! Kau tahu, kalau ayahmu memberi tempat hidup
pada orang yang kubenci...!" agak ditekan suara Pramurti atau Iblis Topeng
Mayat. "Kami semua tidak tahu musuhmu! Kenapa kau melibatkan seluruh warga Desa Batang
Hulu" Kenapa tidak kau cari saja musuhmu" Aku, ayahku dan seluruh warga Desa
Batang Hulu tidak pernah berurusan denganmu!" tegas kata-kata Paksi.
"Sudah kukatakan, ayahmu membuat kebodohan yang harus ditanggung oleh semua
orang di Desa Batang Hulu. Kalau saja ayahmu tidak memberi tempat pada Galadipa
dan keluarganya, tentu aku tidak akan pernah menginjak Desa Batang Hulu! Tapi
semua sudah terlambat. Hanya ada dua pilihan, menyerahkan Narita dan membunuh
saudara-saudara Galadipa, atau seluruh orang di Desa Batang Hulu musnah dalam
semalam!" "Iblis!" desis Paksi menggeram.
"Ha ha ha...!" Pramurti tertawa terbahak-bahak.
"Kau bisa memaki sepuas hatimu, Bocah. Nyawamu akan selamat, jika ayahmu sanggup
memenuhi semua permintaanku!"
"Pengecut! Kau tidak berani menghadapi musuh-musuhmu sendiri, dan kau peralat
kami!" "Ha ha ha...!" Pramurti hanya tertawa saja.
"Pengecut! Iblis...! Kubunuh kau...!" maki Paksi habis-habisan.
Tapi caci-maki pemuda itu hanya dibalas dengan tawa saja. Iblis Topeng Mayat
kemudian berbalik, dan
melangkah meninggalkan ruangan yang seluruh dindingnya terbuat dari batu itu.
Sedangkan empat orang muridnya segera mengikuti dari belakang.
Sementara Paksi terus berteriak-teriak memaki sepuas hatinya. Tampak satu sisi
dinding batu itu bergerak menggeser ke samping, hingga seberkas cahaya terang
menerobos masuk. Dan sesaat
kemudian, dinding batu itu kembali bergerak menutup, setelah lima orang
berpakaian hijau itu berada di luar.
Kembali keadaan di dalam ruangan itu sunyi dan remang-remang. Hanya sebuah obor
kecil dengan apinya yang redup menerangi ruangan itu. Cahayanya hanya samar-
samar, tidak sanggup memberikan penerangan pada ruangan yang cukup luas itu.
Paksi berusaha menggerakkan tubuhnya. Tapi seluruh tubuhnya terasa lemas, dan
tulang-tulangnya nyeri saat digerakkan. Pemuda itu hanya bisa merintih lirih,
dan mengeluh di dalam hati.
"Keparat...!"
*** 7 Resi Jagabaya sedikit kaget, ketika hari itu Narita datang bersama seorang
pemuda berbaju kulit harimau. Laki-laki tua itu pernah bertemu sekali dengan
pemuda yang mengaku bernama Pendekar Pulau Neraka itu, dan dia juga sudah sering
mendengar segala sepak terjangnya. Resi Jagabaya segera mengajak Narita dan Bayu
ke ruangan tengah rumah Kepala Desa Batang Hulu itu.
"Kau tidak bertemu dengan Nyai Resi Puspita Rani, Narita?" tanya Resi Jagabaya.
Narita hanya menggeleng saja.
"Lalu ada maksud apa kau datang ke sini?"
"Paman...."
Narita tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. Dia langsung menubruk dan
memeluk lutut laki-laki tua berjubah kuning itu. Resi Jagabaya hanya mengangguk-
anggukkan kepalanya. Bibirnya yang hampir tertutup kumis, menyunggingkan senyum.
Kemudian dengan lembut tangannya mengusap-usap kepala gadis itu.
"Bangunlah, Cucuku," lembut suara Resi Jagabaya.
"Maafkan Narita, Paman," ucap Narita seraya bangkit.
"Kau sudah tahu siapa kami, kenapa masih
tertutup juga?" tanya Resi Jagabaya meminta penjelasan.
"Eyang Resi Galadipa yang meminta, Paman,"
sahut Narita. "Duduklah."
Resi Jagabaya lalu mengambil tempat di kursi dekat jendela. Sedangkan Narita
duduk di samping Bayu. Sesaat mereka semua terdiam. Resi Jagabaya menarik napas
panjang, dan matanya menatap ke luar melalui jendela yang terbuka.
"Paman, aku sempat datang ke Puri Watu Ukir.
Tapi...," Narita tidak melanjutkan kata-katanya.
"Aku tahu. Seorang cantrikku yang berhasil lolos, telah memberitahukan tentang
kejadian itu. Terima kasih, kalian telah menguburkan mereka," selak Resi
Jagabaya, agak tertekan suaranya.
"Kalau saja aku tidak...."
"Sudahlah, Narita. Tidak perlu menyesali semua yang telah terjadi. Apa yang
terjadi di dunia ini sudah kehendak-Nya. Semua itu sudah digariskan oleh Yang
Maha Kuasa, dan itu namanya takdir. Kita tidak mampu menolak, apalagi untuk
melawan," kembali Resi Jagabaya menyelak cepat.
Mereka kembali terdiam beberapa saat. Pada saat itu Ki Rungkut datang dengan
tergopoh-gopoh.
Napasnya tampak terengah-engah seperti baru saja berlari jauh. Resi Jagabaya,
Narita dan Bayu langsung beranjak bangkit.
"Ada apa, Ki Rungkut?" tanya Resi Jagabaya.
"Ketiwasan, Resi. Paksi..," Ki Rungkut segera menarik napas panjang.
"Ada apa dengan Paksi?" desak Resi Jaga baya.
"Anak itu pergi dengan sepuluh orang. Katanya mereka hendak membebaskan Sariti
yang ditawan oleh Iblis Topeng Mayat," sahut Ki Rungkut.
"Sudah kuduga, dia pasti sudah mendengar
pembicaraan kita kemarin malam,'' gumam Resi Jagabaya sambil mengangguk-angguk
pelan. "Bagaimana, Resi" Anak itu pasti akan celaka."
"Hm..., hanya orang yang memiliki tenaga dalam sempurna, yang mampu menembus
Lorong Maut. Aku tidak tahu, siapa lagi yang sanggup selain Adik Galadipa dan


Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku sendiri. Lorong Maut itu hanya bisa dilalui oleh orang orang yang pernah
mandi di Sendang Sembilan Mata Dewa. Di samping harus memiliki tenaga dalam
sempurna dan penguasaan hawa murni yang sempurna di dalam perut," kata Resi
Jagabaya setengah bergumam.
"Di mana letak tempat mereka, Resi?" tanya Bayu menyelak.
"Di Puncak Bukit Bojong sebelah Selatan.
Tepatnya di seberang jurang yang membelah puncak bukit itu," sahut Resi
Jagabaya. "Aku yang akan pergi ke sana!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Pulau Neraka langsung melesat cepat bagai kilat.
Resi Jagabaya tidak bisa mencegah lagi. Dia hanya bisa mencegah Narita yang mau
ikut pergi. "Aku harus ke sana juga, Paman Resi," kata Narita memohon.
"Bukan hanya kau, tapi aku juga," sahut Resi Jagabaya seraya menolah pada Ki
Rungkut. "Ki Rungkut, bagaimana hal ini bisa terjadi" Bukankah Sariti sudah
tewas?" "Maaf, Resi. Anakku malu mengatakan yang
sebenarnya. Dia merasa bertanggung jawab dan tidak ingin dikatakan sembrono,
karena tidak bisa menjaga keselamatan istrinya," sahut Ki Rungkut. "Aku sendiri
baru tahu tadi. Salah seorang bawahanku yang mengatakannya. "
"Cari penyakit!" dengus Resi Jagabaya.
"Maafkan anakku, Resi," ucap Ki Rungkut.
"Ah, sudahlah. Aku harap dia belum sempat
melakukan kebodohan. Terlalu berbahaya bagi dirinya sendiri, jika sampai mencoba
menembus Lorong Maut, tanpa mensucikan diri lebih dulu di Sendang Sembilan Mata
Dewa." Sejenak Resi Jagabaya menoleh pada Narita, kemudian dia melangkah ke luar
diikuti oleh gadis itu.
Sedangkan Ki Rungkut pun bergegas mengikuti dari belakang. Resi Jagabaya segera
berhenti melangkah setelah sampai di beranda depan. Dia menoleh pada Ki Rungkut.
"Sebaiknya kau tetap di sini. Kalau saudaraku datang, katakan bahwa aku ke Bukit
Bojong," kata Resi Jagabaya berpesan.
"Aku ikut, Paman," selak Narita.
"Jangan, kau diperlukan di sini," cegah Resi Jagabaya.
Narita masih ingin memaksa, tapi dia mengurung-kan niatnya. Gadis itu segera
sadar, bahwa dia tidak mungkin mampu menghadapi Iblis Topeng Mayat.
Narita pun segera mengerti, memang ada
kemungkinan Iblis Topeng Mayat menjarah ke desa ini, di saat Resi Jagabaya
pergi. *** Sementara itu Bayu baru saja tiba di Puncak Bukit Bojong. Tampak dia berdiri
tegak di tepi jurang yang tidak begitu dalam, dan tidak lebar. Telinganya yang
tajam, langsung bisa mengetahui kalau di sekitarnya ada beberapa orang yang
tengah mengawasi.
"Keluarlah kalian, jangan bersembunyi seperti tikus!" seru Bayu keras.
Sebentar setelah teriakan Bayu itu, dari balik batu dan pepohonan, keluarlah
sepuluh orang yang datang
ke puncak bukit itu bersama Paksi. Wajah-wajah mereka kelihatan ketakutan.
"Siapa kalian?" tanya Bayu.
"Kami..., kami bekerja untuk Kepala Desa Batang Hulu," sahut salah seorang
terbata-bata. "Kalian datang bersama Paksi?"
"Benar."
"Di mana Paksi?"
"Den Paksi sudah menyeberangi jurang, tapi dia hilang digulung angin."
Hm..., sebaiknya kalian cepat tinggalkan tempat ini."
Maka tanpa menunggu perinlah dua kali, sepuluh orang itu bergegas meninggalkan
Puncak Bukit Bojong itu. Sedangkan Bayu segera mengedarkan pandangannya
berkeliling setelah orang-orang itu tidak terlihat lagi. Dia sedikit memiringkan
kepalanya ke kiri. Pendengarannya yang tajam, kembali mendengar tarikan napas
lembut yang hampir tidak terdengar. Matanya tertuju pada sebongkah batu hitam
yang menjorok keluar dari dinding tebing.
"Siapa pun kau, keluarlah!" seru Bayu lantang.
Seketika tampaklah sebuah bayangan biru
berkelebat, keluar dari balik batu itu. Sebentar saja, di depan Pendekar Pulau
Neraka sudah berdiri seorang perempuan tua yang agak bungkuk dan memakai jubah
berwarna biru terang. Bayu
memperhatikan sebentar wanita tua itu.
"Pendengaranmu sangat tajam, Anak Muda. Apa maksudmu datang ke tempat ini?"
suara perempuan tua itu agak serak.
"Kau pasti bukan Iblis Topeng Mayat," kata Bayu tidak menghiraukan pertanyaan
wanita tua itu.
"Benar, aku Resi Puspita Rani."
"Apakah kau juga dari Puri Watu Ukir?"
"Benar."
"Hm, aku rasa tujuan kita datang ke tempat ini sama. Tapi aku datang hanya untuk
menunaikan kewajiban sebagai pendekar."
"Kau tadi menyebut nama Paksi, apakah kau kenal dengannya?"
"Tidak, aku hanya mendengar namanya saja."
"Anak muda, aku tahu kau memiliki ilmu yang tidak rendah. Tapi Iblis Topeng
Mayat bukanlah orang sembarangan. Aku sendiri dan saudara-saudaraku belum tentu
dapat mengalahkannya. Maaf, bukannya aku merendahkan kepandaianmu. Tapi kalau
kau tidak mempunyai urusan yang penting dengan wanita iblis itu, sebaiknya
jangan kau teruskan niatmu," kata Nyai Resi Puspita Rani memperingatkan.
"Terima kasih, tapi aku sudah berjanji pada seseorang. "
"Siapa?"
"Narita."
"Oh...!" Nyai Resi Puspita Rani mendesah kaget.
"Di mana dia?"
"Di Desa Batang Hulu, bersama pamannya."
"Resi Jagabaya...?" Bayu hanya mengangguk.
"Ah, gadis yang malang. Seharusnya dia tidak perlu terlibat sampai sejauh ini.
Dia hanya korban dari rasa dendam orang-orang tuanya," gumam Nyai Resi Puspita
Rani mendesah lirih.
Bayu masih tetap diam sambil memperhatikan wanita tua di depannya itu.
"Anak muda, jika kau benar-benar ingin menghadapi Iblis Topeng Mayat, kau tidak
bisa menghadapinya di daerahnya. Terlalu berbahaya! Dulu aku dan saudara-
saudaraku pemah bertarung dengannya
di Puncak Bukit Bojong ini. Kami hampir berhasil mengalahkannya, tapi dia
berhasil melompati jurang itu. Kekuatannya akan berlipat ganda bila berada di
daerahnya sendiri. Tubuhnya kebal terhadap segala macam senjata dan racun," kata
Nyai Resi Puspita Rani menjelaskan.
"Hm...," Bayu hanya menggumam tidak jelas.
Keningnya berkerut dengan mata agak menyipit.
"Di samping itu, kau tidak mungkin bisa
menembus Lorong Maut sebelum mensucikan diri di Sendang Sembilan Mata Dewa. Itu
pun kau masih harus tirakat selama tujuh hari tujuh malam sambil berendam di
dalam sendang itu," lanjut Nyai Resi Puspita Rani.
"Hm, apakah Iblis Topeng Mayat pernah
melakukan hal itu?" tanya Bayu.
"Ya, bahkan dia melakukannya selama empat
puluh hari empat puluh malam. Sehingga tubuhnya menjadi kebal terhadap segala
jenis senjata dan racun. Di samping itu, dia juga memiliki ilmu yang bisa
menyatukan dan menghidupkannya kembali dari kematian."
"Ilmu 'Batara Karang'..."!" desah Bayu.
"Benar."
"Tidak semua orang bisa memiliki ilmu itu. Dan mereka yang telah memilikinya
tidak bisa dibunuh, juga selalu tampak muda. Dia tidak akan pernah mati, selama
kakinya masih berpijak pada tanah,"
kata Bayu setengah bergumam.
"Benar, Anak Muda. Itulah sebabnya yang membuat aku dan saudara-saudaraku enggan
berurusan dengannya. Sekali berurusan, berarti menyerahkan nyawa sia-sia."
Bayu kembali terdiam. Dia tidak menyangka sama
sekali kalau Iblis Topeng Mayat memiliki ilmu yang sangat langka. Pantas saja
tak seorang pun yang mampu mengalahkannya, bahkan para resi dari Puri Watu Ukir
sendiri tidak berdaya menghadapinya.
"Di mana letak Sendang Sembilan Mata Dewa
itu?" tanya Bayu.
"Di seberang jurang itu."
"Heh! Untuk memasukinya harus mandi dulu di sana, lalu bagaimana mungkin bisa
mencapai ke sana?"
"Harus bisa melawan arus dan menembus Lorong Maut. Dan hanya orang yang memiliki
ilmu dan tenaga dalam sempurna, serta hawa mumi terpusat pada perut secara
sempurna saja yang mampu menembus Lorong Maut itu. Tapi nampaknya hal itu pun
tidak mudah, karena Lorong Maut itu sudah dikuasai oleh Iblis Topeng Mayat"
Sejenak Bayu termenung. Dia tidak tahu apakah ilmu tenaga dalamnya sudah
mencapai taraf sempurna atau belum. Dia memang bisa memusatkan hawa murni pada perutnya, tapi
hal itu tidak bisa bertahan lama, juga dia tidak tahu tingkatannya. Bayu belum
pernah mencobanya sekalipun. Pendekar Pulau Neraka itu jadi ragu-ragu juga.
Beberapa kali dia melayangkan pandangannya ke seberang jurang.
Semakin dia memikirkan kata-kata perempuan berjubah biru itu, semakin besar rasa
penasaran dan keinginannya untuk mencoba. Kata-kata yang diucapkan Nyai Resi
Puspita Rani tadi, membuatnya merasa ditantang. Bayu memang belum pernah mencoba
kepandaiannya sampai pada tingkatan paling tinggi yang dimilikinya selama ini.
Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mendekati bibir jurang Tatapan
matanya tajam, menembus langsung ke seberang jurang di depannya. Mungkin inilah saatnya
dia mengukur tingkat kepandaiannya sendiri. Dia seorang pendekar yang amat
disegani, baik oleh kawan maupun lawan.
Tapi belum tahu, sampai di mana tingkat kepandaian yang dimilikinya.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka itu
melentingkan tubuhnya menyeberangi jurang itu. Nyai Resi Puspita Rani ingin
mencegah, tapi terlambat.
Bayu sudah berada di udara, melompati jurang yang membelah Puncak Bukit Bojong
itu. *** Hanya dengan satu kali salto di udara, Bayu
mendarat di seberang jurang dengan manis sekali.
Tapi begitu kakinya menapak tanah, beberapa puluh anak panah hitam meluncur
deras ke arahnya.
Seketika Pendekar Pulau Neraka itu kembali melentingkan tubuhnya!
"Hiya...! Hiya...!"
Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan dan
jungkir balik di udara. Dan anak-anak panah hitam itu pun berdesingan di sekitar
tubuhnya. Tak satu pun yang berhasil menjamah tubuh Bayu. Sejenak dia menarik
napas lega, ketika hujan anak panah hitam itu berhenti.
Belum lagi Bayu sempat melakukan apa-apa,
mendadak secercah cahaya bagai kilat berkelebat ke arahnya. Pendekar Pulau
Neraka itu tersentak kaget Secepat kilat dia mengibaskan tangan kanannya ke arah
ujung cahaya bagai kilat itu. Seketika secercah cahaya keperakan melesat cepat
dari pergelangan
tangan kanannya.
Glar! Suara ledakan keras langsung terdengar meng-gelegar begitu senjata cakra bersegi
enam keperakan menghantam cahaya bagai kilat itu. Sejenak Bayu mengangkat tangan
kanannya ke udara, dan Cakra Maut itu pun kembali melesat ke arahnya, lalu
menempel di pergelangan tangannya.
'"Pagar Cahaya Kilat'...," desis Bayu pelan.
Bayu memang pernah membaca dari salah satu buku kepunyaan gurunya di Pulau
Neraka. Buku itu berisi tentang ilmu 'Pagar Cahaya Kilat'. Sebuah ilmu yang
dapat membentengi diri, atau suatu wilayah dari serangan lawannya. Pagar yang
tidak ketahuan bentuknya, tapi sukar untuk ditembus. Orang yang terkena sambaran
cahaya itu, bisa langsung hangus tubuhnya.
"Bayu, jika kau menemukan benteng yang terbuat dari ilmu 'Pagar Cahaya Kilat',
kau harus menghadapi dengan mengosongkan jiwa, dan penyaluran hawa murni pada
pusat tubuhmu. Putar balik aliran darahmu, dan pergunakan pernapasan pada perut.
Ilmu 'Pagar Cahaya Kilat' hanya menyerang pada benda yang memiliki nyawa dan berdarah
panas terisi jiwa...," Bayu teringat kata-kata gurunya, Eyang Gardika.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka itu segera menuruti
kata-kata gurunya tersebut. Tahap demi tahap dia melakukan semua yang dikatakan
oleh gurunya untuk menghadapi benteng dari ilmu 'Pagar Cahaya Kilat'. Saat itu
juga Bayu merasakan tubuhnya ringan bagai kapas. Dan jiwanya bagaikan terbang
keluar dari raganya.
Seluruh tubuhnya terasa dingin, Bayu merasakan
dirinya seperti mati. Tapi otaknya masih tetap bekerja, penglihatan serta
pendengarannya pun tidak terganggu. Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu berjalan
pelan-pelan. Tampak secercah cahaya kilat tertuju ke arahnya, dan langsung
mengenai tubuhnya.
Namun Pendekar Pulau Neraka itu tidak merasakan apa-apa. Dan cahaya bagai kilat
itu pun seperti teredam di dalam tubuhnya.
Beberapa kali tubuhnya tersambar cahaya kilat, tapi Bayu hanya tersenyum. Dia
terus melangkah pelahan-lahan menembus pagar benteng dari ilmu
'Pagar Cahaya Kilat'. Sambaran-sambaran kilat tersebut baru berhenti setelah
Pendekar Pulau Neraka itu berjalan sejauh lima batang tombak. Bayu segera
memulihkan kembali kondisi tubuhnya.
"Hhh..., terima kasih, Eyang," desah Bayu lirih.
Sementara itu, di seberang jurang sana, Nyai Resi Puspita Rani hampir tidak
percaya dengan peng-lihatannya. Jelas dia melihat kalau lidah kilat itu
menyambar tubuh Bayu, tapi Pendekar Pulau Neraka itu tidak terpengaruh sama
sekali. Resi Puspita Rani menahan napasnya ketika
mendengar suara gemuruh dari seberang jurang.
Tampak Bayu berdiri tegak dengan pandangan mata lurus ke depan. Saat itu Bayu
merasakan, angin bertiup semakin kencang dan bergulung gulung di sekitarnya.
"Hm..., inikah yang dinamakan Lorong Maut?"
gumam Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu segera mengerahkan tenaga dalamnya dengan penuh, lalu
pelahan-lahan dia memusatkan hawa murni pada perutnya. Pada saat itu, di
depannya tampak gulungan angin yang membentuk seperti lorong sebuah goa. Debu
dan kerikil pun bergulung-gulung berputar membentuk sebuah lorong bayangan. Bayu
tetap berdiri tegak dengan mata tajam memandang lurus ke depan. Dia mulai
merasakan adanya satu tarikan kuat yang menyedot tubuhnya ke dalam gumpalan
angin itu. Bayu terus berusaha menahan tarikan itu, tapi sedikit demi sedikit kakinya mulai
bergeser ke depan.
Suara gemuruh semakin jelas terdengar memekak-kan telinga. Bayu merasakan
tarikan itu semakin kuat, ia tidak kuasa lagi menahannya. Seketika tubuhnya
terpental masuk ke dalam lingkaran angin yang berputar membentuk sebuah lorong
bagai goa itu. "Hiyaaa...!" tiba-tiba Bayu berteriak keras.
Tubuhnya mulai berputar mengikuti jalannya putaran angin itu. Sekuat tenaga
Pendekar Pulau Neraka itu mengerahkan tenaga dalam, dan menjaga hawa murni agar
tetap berada di perut. Memang suatu pekerjaan yang sangat sukar, menyalurkan dua
kekuatan sekaligus dalam satu tubuh pada waktu yang bersamaan. Namun Pendekar
Pulau Neraka Itu tidak mau menyerah begitu saja.
"Hih! Aaakh...!"
*** 8 Bayu merasakan dirinya seperti terbanting ke dalam sebuah sumur yang sangat
dalam dan tidak berujung.
Pandangannya jadi gelap, dan seluruh tubuhnya terasa lemah tak bertenaga. Sekuat
tenaga dia terus berusaha mempertahankan hawa murni pada perutnya, dan mengempos
tenaga dalamnya.
Semakin dia bertahan, semakin kuat daya tarik yang menyedot dan mengombang-ambingkan tubuhnya. Bayu merasakan seperti dilemparkan oleh tangan-tangan
raksasa. Terhempas dari satu dinding batu yang satu ke dinding batu lainnya.


Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Pulau Neraka itu segera mencopot
senjata cakra bersegi enam keperakan, dan meng-genggamnya erat-erat pada salah
satu ujungnya. Lalu dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, dia
memutar tubuhnya dengan cepat.
"Aaargh...!"
Dari mulutnya terdengar suara raungan yang sangat dahsyat. Disusul kemudian
dengan ter-dengarnya suara ledakan-ledakan keras, disertai gemuruh yang amat
sangat. Seketika itu juga, Bayu merasakan tubuhnya bagai terhempas dengan keras.
Dan dia meringis ketika sesuatu yang keras menghantam punggungnya. Pendekar
Pulau Neraka itu bergulingan, dan punggungnya membentur sebongkah batu cadas
yang sangat besar, hingga batu itu hancur berkeping-keping.
"Hup!"
Bayu segera bangkit setelah menyadari dirinya
kembali berpijak pada tanah. Sebentar dia
memandang berkeliling. Hatinya agak tercekat, begitu menyadari bahwa
sekelilingnya hanya berupa daerah berbatu dan berpasir yang luas bagai tak
bertepi. Sejauh mata memandang, hanya kegersangan yang tampak.
"Hhh! Di mana aku?" Bayu bertanya-tanya sendiri.
"Kau berada di tempatku, Anak Muda...," terdengar suara lembut namun kecil dan
serak. Bayu langsung membalikkan tubuhnya. Tampak tidak jauh darinya berdiri seorang
wanita cantik dengan rambut hitam panjang terurai. Wanita itu mengenakan baju
hijau yang ketat, sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan
indah. "Siapa kau?" tanya Bayu dengan tatapan mata penuh selidik.
"Bukankah kau datang mencariku?" wanita itu balik bertanya.
Pendekar Pulau Neraka itu mengerutkan keningnya. Dia menempelkan kembali senjata
Cakra Maut ke pergelangan tangan kanannya. Bayu mengamati wanita itu dari ujung
kepala, hingga ke ujung kaki.
"Apakah kau Iblis Topeng Mayat?" tanya Bayu ingin memastikan.
"Ha ha ha...!" wanita itu terbahak-bahak. "Namaku Pramurti, dan aku memang biasa
disebut dengan nama Iblis Topeng Mayat"
Wanita yang mengaku bernama Pramurti itu lalu merogoh sabuk yang membelit
pinggangnya. Dia mengeluarkan sebuah topeng lemas berwarna pucat bagai mayat Dan
topeng itu pun dilemparkan begitu saja.
"Kau sudah berada di tempatku, Anak Muda. Aku
tidak perlu lagi menggunakan benda itu," kata Pramurti.
Bayu diam saja. Dia teringat dengan kata-kata Resi Puspita Rani. Wanita berjuluk
Iblis Topeng Mayat ini mempunyai ilmu 'Batara Karang' yang sangat tangguh dan
tidak sembarang orang bisa memilikinya. Ilmu itu selain bisa menghidupkan
dirinya sendiri dari kematian, juga bisa memperlambat ketuaan. Tidak heran kalau
orang yang memiliki ilmu itu tetap kelihatan muda, meskipun umurnya sudah
melebihi seratus tahun.
"Selama ini tidak ada seorang pun yang bisa menembus Lorong Maut dalam keadaan
hidup tanpa seijinku. Dan kau telah berhasil melewatinya, Anak Muda. Aku
senang..., tapi kau harus mati!"
Setelah berkata begitu, Pramurti langsung
melompat sambil mengirimkan serangan yang cepat dan mendadak. Bayu sedikit
terperangah. Namun dengan cepat dia melompat ke belakang untuk menghindarinya.
Serangan-serangan Iblis Topeng Mayat itu sangat cepat dan dahsyat, sehingga
membuat Bayu sedikit kewalahan. Hingga pada satu serangan kilat dan beruntun,
Bayu tidak bisa menghindarinya. Dan satu pukulan telak, segera bersarang di
dadanya. Pendekar Pulau Neraka itu terdorong ke belakang beberapa langkah.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
"Uts! Hup...!"
Bayu langsung mengetatkan tangan kanannya
pada saat Pramurti melompat menerjangnya.
Seketika Cakra Maut-nya melesat dengan cepat.
Pramurti terperangah sesaat namun dia terlambat untuk berkelit Dan senjata cakra
itu pun berhasil
membabat lehernya sampai buntung.
Tubuh wanita itu kontan terjungkal ke tanah dengan kepala terpisah. Namun benar-
benar di luar dugaan! Kepala yang sudah terpisah itu bisa menyatu kembali dengan
lehernya, dan wanita itu bangkit lagi dengan tegar. Tidak ada luka sedikit pun
pada lehernya! "Ha ha ha...!" Iblis Topeng Mayat langsung tertawa terbahak-bahak.
"Gila! Ilmu 'Batara Karang' benar-benar luar biasa!"
desah Bayu terperangah.
"Kau tidak akan bisa membunuhku, Anak Muda!
Ha ha ha...!"
Sejenak Bayu menggeretakkan rahangnya, lalu kembali mengecutkan senjatanya.
Cakra Maut itu pun meluncur bagaikan kilat. Namun Pramurti diam saja dan tidak
berusaha berkelit sedikit pun. Cakra Maut itu kembali menebas kepala wanita itu,
namun belum juga kepala itu sampai jatuh, tangan Pramurti sudah menyanggahnya,
dan kepala itu langsung menyatu kembali seperti semula!
Beberapa kali Bayu mengibaskan senjatanya, tapi Iblis Topeng Mayat tidak
berkelit sedikit pun. Hampir seluruh tubuhnya terpotong-potong, tapi dengan
cepat bisa menyatu kembali. Tidak ada luka sedikit pun pada tubuhnya. Bayu jadi
kewalahan juga. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya. Selama wanita
itu masih menyentuh tanah, tidak akan mungkin bisa mati.
"Apa akalku sekarang. ' gumam Bayu bertanya pada dirinya sendiri.
"Ayo, Anak Muda! Apa lagi yang kau andalkan?"
tantang Pramurti pongah.
Bayu hanya diam saja. Otaknya terus bekerja keras
mencari jalan untuk membunuh wanita itu. Dia tidak ingin membuang tenaga percuma
tanpa hasil. "Harus ada cara! Harus...!" dengus Bayu dalam hati.
*** Pendekar Pulau Neraka kali ini benar-benar
memeras otak untuk bisa mengalahkan lawannya.
Dia tidak mungkin hanya mengandalkan kekuatan dan kedahsyatan jurus-jurusnya
saja. Lawan yang dihadapinya sekarang, bukanlah lawan yang biasa.
"Hm..., aku ada akal! Harus dilakukan dengan cepat dan tidak membuatnya curiga.
Ini kesempatan bagiku selagi dia lengah dan bangga!" gumam Bayu dalam hati.
"Ayo, Anak Muda. Apakah kau gentar?" ejek Iblis Topeng Mayat meremehkan.
Sejenak Bayu merogoh sakunya, dan mengeluarkan bintang perak tiga buah. Selama
ini dia tidak pernah menggunakan bintang perak Itu sebagai senjata dalam
pertarungan. Tapi kali ini dia terpaksa menggunakannya. Dan itu hanya sebagai
pancingan saja.
"Hiya...!"
Dengan cepat Bayu melontarkan bintang-bintang perak itu ke arah kaki Iblis
Topeng Mayat. Namun wanita berbaju hijau itu hanya tertawa, dan bersikap
meremehkan. Dia hanya melompat menghindari lontaran senjata bintang perak itu,
tanpa membalas menyerang. Namun saat tubuh wanita itu berada di udara, dengan
cepat Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kanannya.
Wut! Senjata Cakra Maut kembali melesat cepat
bagaikan kilat. Sedangkan Pramurti yang tengah diliputi kesombongan, menganggap
enteng senjata itu. Dia membiarkan saja Cakra Maut bersegi enam itu menebas
lehernya. "Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Bayu melompat begitu leher Iblis Topeng Mayat terpenggal. Dan
dengan cepat, kedua tangannya menyambar rambut serta pinggang wanita itu.
Pendekar Pulau Neraka itu berputar dua kali di udara, sebelum kakinya menjejak
pada dahan pohon yang hanya satu-satunya tumbuh di daerah gersang berbatu itu.
Bayu langsung mengikat rambut yang panjang itu pada dahan yang tinggi. Lalu dia
meletakkan tubuh wanita itu pada dahan satunya lagi. Dia mengikat tubuh tanpa
kepala itu dengan sulur-sulur pohon yang banyak menjuntai. Setelah selesai,
Pendekar Pulau Neraka kembali meluruk turun
"Bocah setan! Lepaskan aku! Licik! Curang...!"
Pramurti yang kepalanya sudah terpisah dari badannya itu menjerit-jerit memaki.
"Terimalah kematianmu, perempuan iblis!" seru Bayu merasa menang dengan
kecerdikannya. "Kubunuh kau, Bocah!"
"Ayo, bunuhlah aku kalau memang kau mampu!"
tantang Bayu balas mengejek.
"Setan...! Keparat! Lepaskan aku! Kita bertarung sampai mati!"
"Tidak perlu, sebentar lagi kau juga akan mati!"
"Bocah setan! Keparat! Kubunuh kau...! Kubunuh kau... keparat...!" jerit
Pramurti memaki-maki.
Bayu tidak mempedulikan teriakan-teriakan Iblis Topeng Mayat. Dia sudah tahu,
selama tubuh wanita
itu masih berada di atas pohon, tidak bisa berbuat banyak lagi. Ilmu 'Batara
Karang' memang sangat menguntungkan, tapi kalau keadaannya sudah seperti Iblis
Topeng Mayat sekarang ini, selamanya akan tetap begitu. Tergantung di atas
pohon, antara mati dan hidup.
"Nyai Ratu...!"
*** Bayu langsung menoleh. Tampak empat orang
gadis cantik berbaju hijau berlarian menghampiri.
Dengan cepat Bayu melompat menghadang. Empat orang gadis itu kelihatan terkejut
begitu ada, seorang pemuda tampan memakai baju dari kulit harimau, menghadang di
depan. Dan tanpa dijelaskan, mereka sudah bisa menebak, apa yang telah terjadi
barusan di tempat itu. Mereka memang sudah pernah bentrok dengan pemuda berbaju
kulit harimau itu sebelumnya.
"Widarti, turunkan Nyai Ratu!" perintah salah seorang.
Gadis yang dipanggil Widarti, langsung melesat ke atas. Namun dengan cepat Bayu
mengebutkan tangan kanannya ke arah gadis itu. Seketika senjata Cakra Maut di pergelangan
tangannya mencelat cepat bagaikan kilat Widarti yang tengah berada di udara,
terperangah. Buru-buru dia melurukkan tubuhnya ke bawah. Namun dengan cepat Bayu
menerimanya dengan mengerahkan jurus 'Pukulan Tapak Beracun'.
"Akh!" gadis itu langsung memekik tertahan.
Dan begitu Cakra Maut kembali menempel di
pergelangan tangan, dengan cepat Bayu melontar-kannya kembali ke arah tiga orang
gadis lainnya. Sementara itu Widarti hanya sempat bergerak sedikit, lalu diam dan tidak
berkutik lagi. Di dadanya tertera gambar telapak tangan berwarna hitam.
Sedangkan dari mulut dan hidungnya mengalir darah kental kehitaman.
"Aaakh...!"
Kembali terdengar jeritan melengking tinggi.
Tampak salah seorang sudah menggelepar dengan dada robek terkena sabetan Cakra
Maut. Sedangkan dua orang lagi berhasil menghindar. Namun Bayu tidak lagi
memberi kesempatan. Dia segera
menerjang dengan mengerahkan jurus andalannya, jurus 'Kelelawar Maut'. Kemudian
disusul dengan jurus 'Pukulan Tapak Beracun' yang sangat dahsyat.
Dua orang gadis murid Iblis Topeng Mayat itu benar-benar kewalahan, menghadapi
gempuran-gempuran Pendekar Pulau Neraka yang sangat dahsyat dan tidak kenal
ampun itu. Sedangkan dua orang lagi sudah tewas tanpa mampu melakukan
perlawanan. "Winarni, awas...!"
Teriakan peringatan itu terdengar keras, namun gadis yang diperingati hanya
sempat mendongak kaget. Dan satu totokan telak bersarang di dadanya.
Seketika itu gadis yang dipanggil Winarni itu jatuh ke tanah.
Setelah menotok satu orang, Bayu langsung
menyerang satunya lagi. Jurus 'Pukulan Tapak Beracun'-nya begitu dahsyat. Gadis
itu tampak tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya mampu berkelit dan menghindar
sebisanya. Dan pada satu kesempatan, Bayu berhasil mendaratkan tendangan keras
ke arah perut, disusul dengan satu pukulan keras ke dada.
"Akh!" seketika gadis itu memekik tertahan.
Dan sebelum tubuhnya ambruk, Pendekar Pulau Neraka segera melayangkan tangannya
ke arah leher. Tak pelak lagi, kepala gadis itu terpisah dari lehernya.
Setelah itu, Bayu langsung melompat ke arah gadis yang ditotok jalan darahnya di
bagian dada. Gadis itu tampak mendelik, dan berusaha menggeliat, namun tubuhnya
tidak mampu lagi digerakkan.
"Di mana kau sembunyikan Paksi dan Sariti?"
tanya Bayu tajam.
Gadis itu tidak menyahut. Dia tetap mendelik saja dengan marah.
"Hm..., memang tidak ada gunanya bertanya
padamu," gumam Bayu pelan. "Tapi kau akan segera merasakan, bagaimana
tersiksanya mati secara pelahan-lahan!"
Bayu kemudian mengangkat tubuh gadis itu, dan meletakkannya di atas sebongkah
batu yang cukup besar. Lalu dia mengambil batu lagi. Batu sebesar anak kerbau
itu segera ditumpangkan pada tubuh gadis itu. Bayu pun kembali menotok jalan
darah pada leher, sehingga gadis itu bisa menggerak-gerakkan lehernya, dan bisa
bersuara lagi. "Panas matahari akan memanggangmu, dan
dinginnya malam akan membekukanmu. Kau akan merasakan bagaimana tersiksanya mati
secara pelahan-lahan," desis Bayu dingin.
"Bunuhlah aku, keparat!" bentak gadis itu.
"Kau terlalu enak kalau dibunuh, Manis. Lihat, guru dan temanmu sudah mati. Aku
akan memenuhi keinginanmu, jika kau mau menunjukkan di mana kau sembunyikan
Paksi dan Sariti?"
Gadis itu tidak segera menjawab. Rupanya dia sedang mempertimbangkan tawaran
Pendekar Pulau Neraka itu. Matanya tampak beredar memandangi
mayat tiga orang temannya, dan mayat gurunya yang terikat di dahan pohon. Dia
tidak tahu, apakah gurunya sudah mati atau belum. Gurunya tidak akan mati kalau
kembali menyentuh tanah.
"Kau tidak sayang dengan kecantikanmu?"
kembali Bayu menawarkan.
"Baiklah, tapi kau harus membebaskanku?" sahut gadis itu menyerah.
"Itu soal mudah, yang penting sekarang tunjukkan di mana Paksi dan Sariti
berada." "Di dalam ruangan batu itu," jawab gadis itu sambil menunjuk sebongkah batu
besar bagai bukit, dengan sudut matanya.
Bayu segera menoleh ke arah batu itu. Cukup besar dan tinggi. Pendekar Pulau
Neraka itu lalu melangkah menghampiri batu besar dan hitam berlumut itu. Sejenak
dia mengamati, keningnya tampak berkerut Dan dia berpaling kembali pada gadis
yang masih tertindih sebongkah batu besar itu.
"Geser tonggak batu yang berada di kananmu ke kiri," kata gadis itu memberitahu.
Bayu segera menggeser tonggak batu yang berada di kanannya ke sebelah kiri.
Seketika terdengar suara bergemuruh! Tampak dinding batu di depannya bergerak ke
arah kanan. Bayu berkerut juga keningnya melihat batu itu ternyata berongga. Tak
lama kemudian, terlihat Paksi dan Sariti terikat tak berdaya di dalam rongga
batu itu. Pendekar Pulau Neraka itu bergegas masuk dan membebaskan ikatan mereka. Bayu
agak heran juga melihat Paksi tidak bisa bergerak, meskipun matanya bergerak-
gerak. Pendekar Pulau Neraka itu segera memeriksa tubuh putra kepala desa itu.
Dan jari-jari tangannya langsung bergerak cepat di beberapa
bagian tubuh Paksi. Sesaat kemudian, pemuda itu pun mampu bergerak kembali. Dia
bergegas bangkit, dan memeluk Sariti yang masih lemas.
"Cepat keluar dari sini," kata Bayu memerintah.
Paksi segera memondong tubuh gadis yang baru saja dinikahinya, dan membawanya
keluar dari ruangan batu itu. Sedangkan Bayu mengikutinya dari belakang. Dan
begitu mereka sampai di luar, dinding batu itu kembali bergerak menutup. Bayu
menghampiri gadis yang masih tergolek dengan tubuh tertindih batu.
"Apa permintaanmu sekarang?" tanya Bayu
memenuhi janjinya.
"Bunuhlah aku!" sahut gadis itu tegas.
"Heh!" Bayu tersentak kaget.
Sungguh dia tidak menyangka kalau gadis itu tetap pada permintaannya. Semula dia
mengira, gadis itu pasti minta dibebaskan. Bayu terus memandangi setengah tidak
percaya. Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu mengangkat batu yang menindih tubuh
gadis itu. Bayu segera melangkah mundur, setelah dia
membebaskan totokan pada gadis cantik berbaju hijau itu. Sementara Paksi dan
Sariti hanya memperhatikan saja. Mereka tampak lemas, setelah terkurung di dalam


Pendekar Pulau Neraka 09 Menembus Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruangan batu yang udaranya sedikit. Sementara gadis berbaju hijau itu sudah
berdiri. Dia menatap tiga orang di depannya. Dan seketika itu juga....
Prak! "Hey!"
Bayu langsung terperanjat melihat kenekatan gadis itu. Dia memukul kepalanya
sendiri hingga retak. Sejenak gadis itu menggelepar, lalu diam dan
tidak bergerak-gerak lagi. Pendekat Pulau Neraka itu hanya menarik napas
panjang, dan membalikkan tubuhnya. Dia lalu mengajak Paksi dan Sariti untuk
meninggalkan tempat itu.
Mereka pun melangkah menuju lingkaran angin yang membentuk sebuah lorong goa.
Tubuh mereka langsung tergulung dan terhempas, membuat
kesadaran mereka melayang.
Bayu merasakan perjalanan menembus lorong ini tidak seperti dia datang tadi.
Kali ini dia merasakan seperti terbang terbawa angin. Tak lama kemudian,
tubuhnya seperti terlontar dari suatu ketinggian, dan jatuh terhempas dengan
lembut di atas rerumputan.
*** "Paksi...!"
"Kakang Bayu...!"
Bayu segera tersenyum ketika kesadarannya mulai pulih kembali. Tampak di
seberang jurang sana, beberapa orang telah menanti. Di antara mereka terlihat
tiga orang resi dari Puri Watu Ukir, Kepala Desa Batang Hulu, dan Narita, serta
beberapa orang lagi.
"Kau masih mampu melompati jurang ini, Paksi?"
tanya Bayu. "Rasanya aku masih mampu, tapi Sariti...."
"Biar aku yang membawanya."
Paksi lalu menyerahkan istrinya pada pemuda berbaju kulit harimau itu. Kemudian
dia meng-konsentrasikan dirinya sebentar, dan melompat ke seberang jurang. Dia
berputar dua kali di udara, dan hinggap dengan manis di seberang jurang.
Sedangkan Bayu pun segera melentingkan tubuh-
nya sambil memondong Sariti. Sama sekali dia tidak berputar di udara. Pendekar
Pulau Neraka itu bagaikan terbang saja, melintasi mulut jurang yang menganga.
Dan dengan mulus, kakinya hinggap di seberang.
"Sariti, Anakku...," seorang wanita tua menyeruak dari kerumunan orang-orang
itu. "Ibu...."
Sariti langsung berlari begitu Bayu menurunkannya dari pondongannya. Anak dan
ibu itu saling berpelukan dan bertangisan. Sementara Ki Rungkut segera mendekati
anaknya dan menepuk pundaknya beberapa kali. Mereka juga saling berpelukan.
Tampak kedua mata Ki Rungkut berkaca-kaca.
"Bagaimana kau dapat mengalahkan Iblis Topeng Mayat, Kakang Bayu?" tanya Narita
yang tahu-tahu sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka itu.
"Ceritanya panjang," sahut Bayu.
"Kau mau menceritakannya padaku, kan?" pinta Narita agak manja.
Pendekar Pulau Neraka itu hanya tersenyum.
Beberapa saat kemudian, semua orang yang berada di Puncak Bukit Bojong, mulai
bergerak meninggalkan tempat itu. Sementara Bayu masih berdiri saja sambil
memandang ke seberang jurang. Dia masih belum mengerti dengan sikap salah
seorang gadis murid Iblis Topeng Mayat, yang bunuh diri dengan me-mecahkan
kepalanya sendiri.
Belum pernah dia menemukan seorang yang
begitu setia, dan rela mati bersama guru dan teman-temannya. Padahal dia bisa
saja meminta untuk dibebaskan, dan bahkan mungkin membalas
dendam. Benar-benar satu keputusan yang sangat sulit, dan jarang ditemukan.
"Kakang...," tegur Narita lembut. Bayu menoleh.
Dia segera tersenyum melihat Narita masih berada di sampingnya.
"Kau mau di sini terus?" masih lembut suara Narita.
"Hhh...," Bayu menarik napas panjang.
Perlahan-lahan kaki Pendekar Pulau Neraka itu terayun meninggalkan bibir jurang
itu. Narita pun segera mengikutinya dan mensejajarkan langkahnya di samping
pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka terus melangkah tanpa berbicara lagi.
Sementara di ufuk Timur, cahaya matahari mulai menyemburat merah
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (molan150)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pahlawan Dan Kaisar 6 Keturunan Pendekar Karya Rajakelana Pendekar Pemabuk 3
^