Pencarian

Munculnya Kera Siluman 1

Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Siluman Bagian 1


MUNCULNYA KERA SILUMAN Oleh Sandro S. Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode: Munculnya Kera Siluman
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Taka Moro yang telah dikalahkan oleh Jaka
Ndableg terus berlari meninggalkan tempat di
mana Jaka Ndableg dan Ki Aswatama menetap.
Taka Moro terus berlari, tujuannya hanya menca-
ri dan menemui Takasita yang masih berada di
tanah Jawa. Ingin mengutarakan kegagalannya
pada kakaknya Takasima, jelas ia tidak berani,
sebab dengan begitu kakaknya akan menyuruh-
nya Harakiri atau dihukum pancung.
Taka Moro tanpa berpaling-paling terus berla-
ri, dan berlari. Dia baru berhenti di sebuah tempat, di mana hutan belukar masih
perawan. Seje- nak ia menengok ke sekeliling, lalu setelah dirasa aman dengan sigap Taka Moro
menghilang dalam
rerimbunan pepohonan.
"Berhenti...!" terdengar seorang memerintah.
Taka Moro segera hentikan langkah, lalu den-
gan kilat ia lemparkan senjata rahasianya yang
berupa bintang. Orang tersebut kebaskan pedang, menangkis senjata rahasia yang
dilemparkan Ta-ka Moro.
"Traannggg...!"
"Setan! Berani engkau menyerang!" kembali orang tersebut membentak, lalu dengan
kilat membabatkan pedangnya menyerang Taka Moro.
"Kurencah tubuhmu, Bangsat!"
Taka Moro tak berkata, segera egoskan tubuh
mengelakkan tebasan pedang di tangan orang
bercadar hitam tersebut. Merasa musuhnya
mampu mengelak, segera orang bercadar hitam
kembali pertajam serangan. Pedangnya membabat
dengan cepat dan beringas, seakan tak ingin
memberikan kesempatan sekali pun bagi Taka
Moro untuk membalas menyerang.
"Wuuuttt...!"
Pedang orang tersebut membabat ke arah leh-
er Taka Moro. Taka Moro segera lemparkan tubuh
ke arah tujuan pedang orang bercadar, miringkan tubuhnya, lalu dengan cepat
lempar-kan tendangan ke arah musuh.
"Wuuuut...!"
"Wesssttt...!"
"Dug!"
Kaki Taka Moro telak menghantam iga orang
yang menyerangnya, yang seketika itu terpelant-
ing ke belakang. Namun orang tersebut kembali
bangkit, dan dengan beringas kembali menyerang
dengan membabi buta.
" Bajero! Kenapa engkau menyerangku, hah!"
Taka Moro menggeretak penuh marah. Segera dia
cabut samurainya, lalu dengan kebat dia balik
menyerang. "Wuuutt...!"
Samurai di tangan Taka Moro bergerak cepat,
hampir saja mengenai sasaran kalau musuhnya
tidak segera lompat mundur mengelak. Melihat
musuhnya melompat, Taka Moro tampak tak mau
menghentikan serangannya. Kembali dengan sa-
murai siap menebas, Taka Moro melompat me-
nyerang. "Wuuut! Wuuuttt...!"
Samurai di tangan Taka Moro makin berkele-
bat dengan cepatnya. Kini samurai tersebut ba-
gaikan hilang dari pandangannya, berubah men-
jadi bayang-bayang warna mengkilap. Musuhnya
terus berusaha mengelak, dengan sesekali me-
nangkiskan samurainya yang berada di tangan.
"Wuuuuuut!"
"Wuuuutttt!"
"Traaanggg!"
Dua pedang saling beradu, menempel dengan
tangan-tangan yang memegangnya bergetar. Mata
kedua orang dalam topeng ninja itu saling melo-
tot, memandang penuh waspada. Keduanya ter-
diam, saling paku pandangan, lalu dengan kem-
bali berteriak keduanya melompat ke belakang.
"Hiiiiiaaaaa...!"
"Hiiiiiaaaaa...!"
Dua tubuh tertutup kain hitam dan merah itu
saling melompat ke belakang, lalu kembali ber-
siap dengan samurai di tangan untuk kembali
menyerang. Samurai di tangan keduanya berge-
rak cepat, seperti menggambarkan gerakan-
gerakan yang sukar untuk diikuti.
"Hiiiiiaaaaa...!" Taka Moro memekik, tubuhnya berkelebat cepat melesat dengan
samurai mengkiblat ke arah musuh. Begitu juga dengan mu-
suhnya, kini nampak bergerak cepat dengan sa-
murai mengkiblat ke arah Taka Moro.
Tubuh keduanya melompat, bersalto di udara,
lalu dengan penuh kewaspadaan keduanya me-
luncur ke arah lawan. Samurai di tangan mereka
benar-benar sebuah nyawa bagi mereka. Samurai
tersebut kini bergerak cepat, mengibas ke arah
tubuh musuh yang melejit.
"Trang...!"
Kembali dua samurai itu saling bertemu, me-
nempel dengan mengeluarkan bunga api. Kedua-
nya segera menarik senjata masing-masing, lalu
dengan memekik lagi keduanya kembali menye-
rang menebaskan samurainya
Pertarungan dua ninja itu terus berjalan den-
gan sama-sama tak ada yang mau mengalah atau
menang. Samurai di tangan mereka tak ubahnya
sebagai penentu bagi hidup mereka. Di mana sa-
murai itu akan menjadikan bumerang bagi diri
mereka sendiri bila lengah, atau kurang mahir dalam menjalankannya.
Pertarungan itu terus berjalan, dan makin
nampak seru saja. Taka Moro yang memang telah
letih dengan perjalanan dan juga lelah oleh pertarungan dengan Jaka Ndableg,
kini nampak terde-
sak. Samurai di tangan musuh nampak terus
mencerca dirinya, menjadikan Taka Moro terde-
sak dan hanya mampu mundur.
"Wuuut...!"
Samurai musuh membabat ke arahnya, ber-
maksud membelah.
Taka Moro terkesiap, lalu dengan segera dia
rundukkan tubuh ke bawah hingga samurai mu-
suh ada di atasnya. Tangannya segera pancang-
kan samurai ke atas, menangkis.
"Traang...!"
Dua samurai itu kembali beradu, menempel
dengan kerasnya. Asap mengepul, keluar dari dua
batang samurai yang menempel tersebut. Mata
kedua orang yang saling tatap itu, membeliak marah membara. Sepertinya dua orang
ninja terse- but tidaklah saling kenal satu dengan yang lainnya. Mulut mereka bisu, tanpa
kata-kata ungka-
pan. "Kenapa kau bermaksud membunuhku?"
tanya Taka Moro.
"Aku hanya menjalankan tugas," jawab Ninja Hitam.
"Tugas..." Siapa yang menyuruhmu?"
"Itu rahasiaku!"
"Bedebah! Jangan harap kau mampu!"
"Akan aku buktikan! Hiaaaaaatttt...!"
Ninja Hitam tarik samurai, lalu dengan cepat
kibaskan samurai tersebut membabat tubuh Taka
Moro. Kalau Taka Moro tidak cepat mengelak,
maka tak ayal lagi tubuhnya akan putung menja-
di dua seperti pohon di belakangnya yang ambruk terbabat oleh samurai musuh.
Mata Taka Moro membelalak, melihat apa yang terjadi pada pohon yang terbabat putus tersebut.
Pohon itu seketika layu, lalu kering, dan akhirnya hangus terbakar oleh racun
yang berada di samurai.
"Racun Fuji Hitam!" Taka Moro memekik. "Bedebah! Rupanya kau memang Ninja Hitam
yang berkelakuan hitam!"
"Jangan banyak omong, Taka Moro!"
"Kau telah mengenalku. Aku yakin, kau utu-
san seseorang untuk membunuhku!"
"Ya! Memang begitu adanya!"
"Katakan siapa yang mengutusmu, Bangsat!"
"Ini yang mengutusku!"
"Wuuut...!"
Tersentak Taka Moro diserang begitu tiba-tiba.
Namun sebagai seorang ninja, ia telah digembleng dengan keberanian dan ilmu
silat yang tidak rendah. Juga rasa patriot sebagai seorang ninja untuk lebih
baik mati daripada mengalah pada la-
wan. Maka biarpun dicerca begitu rupa Taka Mo-
ro tidak mau menyerahkan nyawanya begitu saja,
ia terus berusaha membalas menyerang. Namun
rupanya keberuntungan dan tenaga yang dimiliki
oleh Taka Moro benar-benar susut, sehingga bu-
kannya Taka Moro mampu mengimbangi, bahkan
makin lama makin terdesak hebat. Hampir saja
samurai lawan mengakhiri segalanya, manakala
berkelebat sebuah bayangan menyentakkan sang
musuh. "Wuuutttt...!"
Samurai musuh menderu, dan hampir mem-
babat tubuh Taka Moro ketika bayangan coklat
keabu-abuan dengan entengnya melesat, meng-
hantam samurai tersebut.
"Nguuuk!"
"Dessstttt...!"
"Aaah...!" Ninja Hitam memekik, tarik kembali samurainya ke belakang. Tangannya
gemetaran, seakan hantaman bayangan yang ternyata seekor
kera menangkis samurainya. Ninja Hitam menyu-
rut mundur, matanya membelalak.
"Ngguuukkk...!" kera itu kembali mengeluarkan suara, berdiri di sisi Taka Moro.
"Nguuuk! Nggguuuk!"
"Terima kasih, Kera Baik," Taka Moro bergu-mam, seraya memandang dengan hormat
pada sang kera yang bagaikan acuh terus memandang
ke arah Ninja Hitam.
"Bedebah! Rupanya binatang celaka ini ingin mampus!"
"Nguuuk!" Si kera cibirkan monyongnya.
"Bangsat! Ngeledek!" Ninja Hitam memaki marah. "Aku jadikan dirimu perkedel,
Monyet!" "Wuuuuttt...!"
Samurai Ninja Hitam kembali berkelebat, kali
ini mengarah pada kera yang dianggapnya telah
ikut campur dalam masalahnya. Kera itu tampak
tenang menyambuti serangan Ninja Hitam. Dan
bagaikan menari-nari saja sang kera lompatkan
tubuh ke atas pepohonan.
"Nguuuk!" kera tersebut garuk-garuk tubuh, lalu dengan gesit kembali melompat
mengelak manakala samurai lawan membabat ke arahnya.
"Ngaaiiik...!"
"Wuuuut...!"
Ninja Hitam tak perduli dengan suara kera
yang nampak telah marah. Ninja Hitam terus be-
rusaha merangsek sang kera dengan babatan-
babatan mautnya. Tapi bagaikan seorang manu-
sia saja, kera tersebut dengan enteng mengelak
berayun dari satu pohon ke pohon lainnya dengan terus mengguguk menyeramkan.
Kera itu benar-benar mengejek segala seran-
gan yang dilancarkan oleh Ninja Hitam ke arah-
nya. Mulutnya terus menyeringai, dengan menun-
jukkan gigi-giginya yang tajam dan runcing ke
arah Ninja Hitam. Gusar dan marah Ninja Hitam
merasa dipermainkan oleh seekor kera. Dengan
kemarahan yang meluap Ninja Hitam membabi
buta menyerang.
" Bagero! Kera Iblis! Hiaaaaaatttt...!"
"Wuuuttt...!"
"Nguuukk...!"
Kera Siluman terkekeh, lompatkan tubuh ma-
kin ke atas pohon mengelakkan serangan Ninja
Hitam. Tubuh Kera Siluman terus makin naik ke
atas, menjadikan Ninja Hitam yang sudah terpe-
rangkap amarah dengan segera turut mengejar
naik. Dengan tangannya yang kokoh dan kuat
serta masih memegang samurai, Ninja Hitam
memanjat pohon tersebut mengejar.
"Ngguuuk! Ngguuukkk!" Kera Siluman makin mengejek, menjadikan Ninja Hitam makin
bertambah marah saja. Dengan cepat Ninja Hitam
memanjat pohon jati tersebut. Namun sungguh ia
tidak menyadari akan bahaya yang sebenarnya
tengah mengancam dirinya. Dan manakala di-


Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rinya hampir sampai pada Kera Siluman, tiba-tiba kera tersebut mengerang dan
dengan cepat tanpa
dapat dielakkan menyerangnya.
"Ngggguuukkk! Ngaaaiiiikkkk...!"
"Wessssttt...!"
"Aaaahhhhhhhh...!" memekik seketika Ninja Hitam yang tidak mampu lagi
menyelamatkan dirinya dari serangan Kera Siluman. Samurainya
lepas, sementara Kera Siluman kini telah men-
cengkeram lehernya dengan jari-jari berkuku
runcing. Sesaat Kera Siluman menyeringai, lalu
dengan ganas dan tanpa mengenal kasihan gigi-
giginya yang tajam menghunjam di leher Ninja Hitam yang masih berusaha
mengelakkannya.
Pergumulan dua mahluk itu terus terjadi, sal-
ing berusaha memenangkan pertarungan hidup
dan mati. Tetapi rupanya kepanikan telah melan-
da Ninja Hitam, hingga dengan sendirinya tena-
ganya nampak makin bertambah kuat. Tapi wa-
laupun begitu, Kera Siluman sepertinya tak mau
mengampuni korban yang telah diincarnya. Kera
Siluman semakin keras dan kokoh mencengke-
ram leher Ninja Hitam, manakala Ninja Hitam ju-
ga makin keras memberontak untuk melepaskan-
nya. "Taka Moro, tolonglah aku....'"
"Tidak! Aku tak akan menolongmu!" Taka Mo-ro berkata mengejek, menjadikan Ninja
Hitam nampak makin ketakutan saja.
"Taka Moro, tolonglah aku...!"
Kata-kata tersebut adalah yang terakhir bagi
Ninja Hitam memekik, lalu akhirnya Ninja Hitam
menjerit menyayat manakala gigi-gigi Kera Silu-
man menghunjam ke lehernya. Sejenak Ninja Hi-
tam kelojotan, meregang nyawa, sebelum akhir-
nya terkulai lemas dengan nyawa melayang.
Taka Moro yang tadi berani memandang ke
arah dua mahluk itu saling gumul, kini nampak
palingkan muka membuang pandangannya. Ada
ketakutan menyelimuti dirinya melihat Kera Si-
luman tersebut dengan tanpa ampun membunuh
Ninja Hitam. Darah mengalir dari leher yang berlubang,
terhisap dengan rakusnya oleh Kera Siluman.
"Nguuukkk...!" Kera Siluman hentikan ak-sinya. Ditatapnya Taka Moro yang
ketakutan, lalu dengan tenangnya berjalan mendekati Taka Moro.
Dan belum juga Taka Moro hilang dari keterkeju-
tannya, Kera Siluman telah menarik tangannya
dan bagaikan terbang menggeret lengan Taka Mo-
ro pergi tinggalkan hutan tersebut. Taka Moro tak mampu berbuat apa-apa, kecuali
diam dan menurut untuk selalu hidup.
2 Kereta kuda itu dipacu dengan kencangnya.
Kereta kuda tersebut bagaikan menggila larinya.
Orang yang berada di dalamnya tampak tergun-
cang-guncang terbawa oleh kereta kuda tersebut.
Entah karena apa, kereta kuda tersebut dijalan-
kan dengan cepat oleh sang kusir.
"Paman Jantrang, ke mana tujuan kita?" seorang pemuda kecil dan tampan bertanya
pada orang yang berada duduk di sebelahnya, yang
bernama Jantrang. "Kenapa kita mesti lari dari keraton, Paman?"
Jantrang sejenak singkapkan kain penutup
belakang kereta, lalu dengan suara keras berkata pada sang kusir. "Kusir! Apakah
kau tidak mampu menjalankan kuda-kuda lebih cepat"!"
"Bukankah ini telah begitu cepat, Tuan?"
"Diam! Jangan banyak omong! Lakukan apa
yang aku katakan!" Jantrang membentak. "Kau
hanyalah seorang kusir, yang aku bayar untuk
itu." "Tapi...."
"Tapi apa" Apakah kau minta digantung hah!"
"Ah, mengapa tuan begitu kasar pada saya?"
"Huh...!" Jantrang tak menjawab, malah kembali dia singkapkan kain penutup
kereta. Siapa sebenarnya Jantrang tersebut" Dan sia-
pa sebenarnya bocah kecil tampan yang berada di sebelah duduknya" Lalu mengapa
Jantrang dengan bocah tersebut lari dari keraton"
Bocah kecil itu bernama Raden Anggangga
Gerta. Ia adalah putra raja Sutresna dari Kera-
jaan Bumi Jawa. Keberadaannya dengan Jan-
trang dikarenakan ia telah diculik oleh Jantrang.
Marilah kita tengok kejadian sebelum hal ini terjadi.
* * * Anggangga Gerta sebagai seorang anak raja
haruslah mempunyai ilmu kanuragan di samping
ilmu ketatanegaraan. Untuk memenuhi itu se-
mua, sang raja yaitu Prabu Sutresna mendatang-
kan seorang guru untuk mendidik sang anak.
Guru itu bernama Jaladri dan Jaladru, sepasang
pendekar kakak beradik kembar.
Dengan kedatangan Jaladri dan Jaladru, jelas
keberadaan Jantrang sebagai hulubalang di kera-
jaan Bumi Jawa kini terbongkar kedoknya. Jan-
trang yang telah sepuluh tahun lamanya men-
gabdi pada kerajaan, ternyata tak lain dari antek-
anteknya Dewi Cendana Biru pemilik Kera Silu-
man yang sudah tak muncul-muncul lagi di dunia
persilatan. Jaladri dan Jaladru yang hendak menjadi
guru bagi pangeran kecil Anggangga Gerta seketi-ka tersentak manakala keduanya
mengetahui bahwa Jantrang menjadi hulubalang di situ.
"Kakang Jaladri, bukankah itu Jantrang?"
Jaladri ditanya oleh adiknya segera palingkan
muka memandang ke arah yang ditunjuk oleh
adiknya. Sejenak matanya mengawasi lekat-lekat
kebenaran pandangannya. Dan ketika bertambah
yakin Jaladri pun berkata: "Benar! Ternyata ku-nyuk tersebut ada di sini!"
"Mari kita temui, Kakang."
Kedua kakak beradik kembar tersebut segera
berjalan menemui Jantrang. Dan tak alang kaget-
nya Jantrang manakala kedua pendekar kembar
tersebut mendekatinya. Mata Jantrang membe-
liak, lalu dengan berusaha tenang ia bertanya.
"Ada gerangan apa, Tuan-tuan pendekar?"
"Apakah kami tidak salah lihat?" Jaladru bertanya.
"Tentang apa, Tuan"'' Jantrang masih berusa-ha menutup diri dengan balik
menanya. "Apakah ada yang dapat saya bantu?"
"Bukankah kau Jantrang?"
"Ya! Bukankah kau Jantrang adanya?" tambah Jaladri meneruskan pertanyaan
adiknya, menjadikan Jantrang tersentak kaget. Namun Jantrang
tak mau membuka diri begitu saja, sebab ia tahu siapa adanya dua pendekar kembar
tersebut. Jangankan dirinya sendiri mampu menghadapi,
dengan Dewi sekalipun mungkin mereka belum
dapat dikalahkan dengan mudah. "Mungkin tuan-tuan salah lihat."
"Ah...!" kedua kakak beradik kembar memekik tertahan mendengar ucapan Jantrang.
"Manalah mungkin kami ini akan lupa?" gumam Jaladri.
"Ooh, mungkinkah manusia tak akan pernah
lupa?" Jantrang balik bertanya, seakan ingin terus mengelabui kedua pendekar
kakak beradik tersebut. "Ah, sudahlah! Maaf tuan-tuan, kita di sini mempunyai tugas dan
wewenang sendiri-sendiri. Nah, bukankah tuan-tuan mempunyai
tugas untuk mendidik tuan pangeran?"
"Benar!" jawab keduanya serempak.
"Nah, saya permisi."
Kedua kakak beradik kembar tersebut tak da-
pat berkata apa-apa manakala Jantrang berlalu
meninggalkannya. Keduanya hanya sesaat saling
pandang, lalu dengan terlebih dahulu mengang-
kat bahu kedua pendekar kembar tersebut berlalu pergi meninggalkan tempat
tersebut untuk menjalankan tugas mereka menjadi guru bagi pangeran.
Terbelalak mata kedua pendekar kembar ma-
nakala mendapatkan diri murid mereka telah le-
nyap entah ke mana. Kedua kakak beradik kem-
bar tersebut segera berusaha mencari keberada-
an pangeran, muridnya.
Seluruh pelosok padepokan dicari, namun diri
murid mereka tidak juga ditemukan.
"Apakah tidak mungkin kalau Jantrang kepa-
rat itu yang telah berbuat rendah ini, Kakang?"
tanya Jaladru setelah merasa pasti tak akan
mampu menemukan Pangeran Anggangga Gerta.
"Ya! Aku rasa juga begitu," jawab Jaladri. "Ayo, kita segera ke kerajaan untuk
mengabarkan hal
ini." Dengan hati dongkol dan penuh kemarahan pada Jantrang kedua pendekar
kembar tersebut
segera berkelebat pergi menuju ke kerajaan untuk menyampaikan berita tersebut
pada sang Raja.
* * * "Ampun, Baginda. Pangeran Anggangga telah
hilang," Jaladri menyampaikan berita, menjadikan Sri Baginda Raja tersentak
seraya kerutkan
kening. "Hilang..." Hilang bagaimana?"
"Pangeran entah ke mana perginya. Mungkin
pangeran telah diculik oleh Jantrang," Jaladru menambahkan.
"Jantrang?" Sri Baginda Raja memikir, mengingat-ingat nama Jantrang. "Ah,
benarkah?"
"Daulat, Sri Baginda. Sebenarnya hulubalang Utama Kerajaan bukanlah bernama
Jalakatunda. Dia adalah Jantrang, sekutu Dewi Cendana Biru
pemilik Kera Siluman."
Tersentak Sri Baginda dan Rama Patih men-
dengar penuturan Jaladri. Betapa tidak, mereka
telah benar-benar merasa bodoh tak mau menger-
ti adanya musuh yang menyelinap di kerajaan.
"Apakah tuan-tuan pendekar tidak berdusta?"
Rama patih bertanya. "Apakah mungkin kami ku-
rang selektif?"
Jaladri sunggingkan senyum, lalu katanya:
"Untuk apakah kami yang telah kalian kenal harus berdusta" Cobalah cari Jantrang
di rumah- nya. Kalau benar Jantrang ada, mungkin kamilah
yang kurang becus dalam hal ini."
Sri Baginda Raja dan Rama Patih saling pan-
dang. Keduanya membenarkan apa yang dikata-
kan oleh Jaladri, dan setelah sesaat berbuat begitu Sri Baginda Raja pun
berkata: "Rama Patih, perintahkan tiga orang prajurit menemui Jantrang atau
siapapun namanya!"
"Daulat, Baginda!" Rama Patih menyembah, lalu dengan segera berlalu meninggalkan
keraton untuk menyuruh para prajuritnya menemui Jantrang.
Langkah Rama Patih nampak tergesa, terbukti
dalam sekejap saja dia telah menghilang dari
pandangan masuk ke tikungan jalan yang penuh
sesak oleh rumah-rumah kediaman para prajurit
keraton. Dan Rama Patih berhenti manakala telah berjalan cukup jauh meninggalkan
keraton. Di si-tu berdiri beberapa rumah prajurit pilihan, yang sewaktu-waktu
siaga bila diperintah.
"Prajurit...! Kumpulll...!"
Dari beberapa rumah keluar para prajurit de-
mi mendengar seruan Rama Patih.
"Daulat, Patih...!"
"Daulat, Rama Patih...!"
"Kalian berkumpullah!"
Dengan tertib para prajurit tersebut berkum-
pul, membuat barisan berjejer di hadapan Rama
Patih. Dan setelah melihat para prajurit berbaris, Rama Patih berjalan memeriksa
barisannya. "Kalian tahu apa yang telah terjadi?"
"Tidak, Rama Patih!" jawab semuanya bareng, lalu saling pandang seakan bertanya-
tanya antara Satu dengan yang lainnya. "Pangeran Anggangga hilang."
"Apa...!" Apakah Rama Patih tidak sedang
menguji kami?"
"Tidak! Dan saya memang sengaja memanggil
kalian untuk meminta pada tiga orang mencari
sang Pangeran," Rama Patih menerangkan. "Menurut tuan Pendekar Jaladri dan
Jaladru, pencu-
lik Kanjeng Pangeran Alit tak lain hulubalang kita yang bernama Jalakatunda.".
"Sate bila memang benar!"
"Penggal kepalanya bila terbukti!"
"Kuliti saja, Rama Patih...!"
Rama Patih tak hiraukan pekikan para praju-
ritnya. Dia lebih memilih tenang, berjalan me-
nunduk dengan pikiran yang diliputi rasa keti-
dak-mengertiannya tentang apa sebenarnya yang
dicari Jalakantunda menculik Pangeran Anggang-
ga. "Mencari penyakit saja Jalakatunda," rungut Rama Patih kesal.
"Aku perintahkan, tiga orang di antara kalian siapa yang sanggup mencari dan
menangkap Jalakatunda?" Rama Patih bertanya pada para prajuritnya.
"Kami...!"
"Hem, bagus! Ternyata kalian adalah para prajurit yang tinggi rasa
nasionalismenya. Nah, aku
minta tiga orang saja untuk menjalankan tugas
ini." Rama Patih terdiam sejenak, mencari-cari siapa kiranya yang pantas untuk
menjalankan semuanya. Matanya memandang satu persatu pa-
ra prajurit yang nampaknya telah siap untuk di-
tunjuk. Setelah lama meneliti para prajuritnya, Rama Patih akhirnya berkata
memerintahkan pa-da tiga orang prajurit.
"Soka Lima, Dayatri, Enggarta, kalian aku berikan wewenang untuk menjalankan
tugas ini. Cari Jalakatunda dan Pangeran Anggangga Gerta.
Kalian jangan kembali sebelum dapat menemu-
kan keduanya. Dan bila Jalakatunda melawan,
aku berikan pada kalian untuk menyingkirkan-
nya. Mengerti kalian?"
"Daulat, Rama Patih. Segala titah akan kami junjung tinggi," jawab ketiga
prajurit pilihan serempak.
"Bagus! Yang lainnya, geledah kediaman Jalakatunda!"


Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Daulat, Rama Patih...!" jawab yang lainnya.
"Kerjakan!"
Tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya
para prajurit Kerajaan Tanah Jawa itu bergegas
menyebar untuk menjalankan tugas masing-
masing. Ketiga prajurit pilihan bergerak dengan menunggang kuda mencari
keberadaan Hulubalang Jalakatunda atau Jantrang. Sementara pra-
jurit lainnya bergerak untuk menggeledah kedia-
man Jalakatunda.
* * * Para prajurit yang menggeledah rumah kedia-
man Jalakatunda dengan segera sampai, dipim-
pin oleh seorang panglima prajurit yang bernama Raka Berka. Raka Berka merupakan
seorang panglima perang yang disegani. Di samping otak-
nya yang pandai mengatur strategi perang, ia juga terkenal dengan keberaniannya
yang pantang menyerah pada musuh dalam keadaan apa pun.
"Jalakatunda, keluar kau...!" Raka Berka berseru, manakala dirinya dan sepuluh
orang praju- rit telah tiba di tempat Jalakatunda berada.
Tak ada jawaban.
Raka Berka kerutkan kening, lalu dengan
mengibaskan tangan Raka Berka memerintah pa-
da anak buahnya untuk menyerbu ke rumah Ja-
lakatunda. Dan dengan penuh keberanian para
prajurit Tanah Jawa itu bergerak dengan senjata siap di tangan menyerbu ke dalam
rumah. "Menyerahlah, Jalakatunda! Kau telah kami
kepung!" Kembali tak ada jawaban.
"Bedebah! Serang...!" dengan geram Raka Berka berseru memerintah pada kesepuluh
anak buahnya yang dengan segera berkelebat menye-
rang ke dalam. Semua prajurit itu dengan bareng menghancurkan kediaman
Jalakatunda. Namun
sungguh mereka terkesima tatkala melihat bahwa
rumah tersebut telah kosong, tanpa ada penghu-
ninya. "Kosong, Panglima!"
"Kosong...?" Raka Berka menggumam sendiri.
"Ke mana larinya Jalakatunda keparat itu"'!"
Raka Berka yang tidak mau percaya begitu sa-
ja pada kesepuluh prajuritnya dengan segera berkelebat masuk ke dalam rumah
tersebut. Dan apa
yang dikatakan oleh kesepuluh prajuritnya ter-
nyata benar adanya. Rumah tersebut telah ko-
song, dibiarkan dalam keadaan begitu rupa oleh
pemiliknya. Raka Berka nampak makin sewot dan
marah menerima kenyataan bahwa Jalakatunda
benar-benar telah menculik Pangeran Anggangga
Gerta. "Iblis! Ini benar-benar penghinaan pada Raja!"
"Benar, Panglima! Kita penggal saja bila kita dapatkan!"
"Hem, mari kita kembali ke kerajaan untuk
melaporkan hal ini pada Rama Patih!"
Segera kesebelas prajurit istana yang ditu-
gaskan menyergap rumah Jalakatunda kembali
menuju ke istana guna menemui pimpinannya
yaitu Rama Patih. Kesebelas prajurit tersebut
tampak kemurungan yang teramat sangat di wa-
jahnya. Semua berjalan dengan diam, tak ada ka-
ta-kata menyelimuti mereka. Tengah mereka ber-
jalan dengan bisu, tiba-tiba terdengar suara orang berkata mengejek.
"Orang-Orang istana bodoh!"
"Bangsat! Siapa kau!" Raka Berka balik membentak. "Kalau kau manusia, tunjukkan
muka-mu, Bangsat...!"
"Hua, ha, ha...! Percuma aku menunjukkan
mukaku. Aku merasa mukaku lebih berharga da-
ripada muka kalian yang tidak ada artinya sama
sekali!" "Bedebah! Jangan kira kami akan membiarkan monyet usil sepertimu!
Seraaanggg...!"
Dengan sekali berseru, maka kesepuluh praju-
rit-prajurit itu berkelebat menyerang ke tempat di mana suara tersebut datang.
Namun kesepuluh
orang prajurit kerajaan itu hanya mendapatkan
bebatuan kosong belaka. Orang yang tadi mengi-
rimkan suara tak ada di sekitar batu tersebut.
Malah kini orang tersebut makin ganda tertawa
dengan penuh ejekan.
"Hua, ha, ha...! Kalian benar-benar orang bodoh!"
"Bangsat! Jangan bisanya memaki saja! Ke-
luarlah!" Raka Berka kembali membentak. "Kalau kau tak mau keluar, jangan
salahkan aku akan
membuat dirimu hancur, Bajingan!"
"Hua, ha, ha...! Raka Berka, Raka Berka,
omonganmu terlalu besar, tapi tak ada kenya-
taannya!" ejek suara itu.
"Bedebah!" Raka Berka menggeretak marah, matanya memandang liar ke segenap
penjuru, sementara telinganya dipasang dengan tajam un-
tuk mampu mendeteksi di mana keberadaan mu-
suh. Tangannya telah siap menggenggam senjata
berupa keris pusaka Karta Ludra, yaitu sebuah
keris yang diberikan oleh gurunya manakala di-
rinya hendak mengabdi pada kerajaan. "Hai! Pemilik suara pengecut! Kalau kau
manusia yang memang berani, keluarlah dari persembunyian-
mu! Jangan sembunyi seperti itu! Hadapi Raka
Berka!" "Raka Berka! Sudah aku katakan, percuma
aku menemui dirimu. Sebab tak ada artinya aku
menemuimu! Kau tidaklah ada gunanya sama se-
kali bagiku!"
"Bangsat!" Raka Berka nampak gusar, emo-sinya sudah tidak dapat ditahan lagi.
"Serang...!"
Mendengar seruan dari pemimpinnya, maka
dengan segera kesepuluh prajuritnya berkelebat
menyerang ke arah suara tersebut. Namun belum
juga mereka sampai pada tujuan, tiba-tiba mere-
ka memekik. Tubuh mereka berjatuhan laksana
dihempas oleh angin besar. Tubuh mereka bergul-
ing-guling ke bawah, menuruni bukit di mana su-
ara tersebut berasal.
"Hua, ha, ha...! Apa kataku, Raka! Kalian tak akan mampu mengetahui di mana dan
siapa aku adanya! Kalian minggatlah ke akherat sana!"
"Bangsat!" Raka Berka menggeretakkan giginya marah. Tangannya yang memegang
keris pusaka tampak bergetar, seakan keris tersebut
menghentak-hentak hendak membawa dirinya
terbang menuju ke arah di mana suara tersebut
berada. Matanya tak henti memandang pada ke-
sepuluh anak buahnya yang masih mengerang
kesakitan, lalu kembali memandang pada larikan
bukit yang terpampang di hadapannya.
Orang yang memiliki suara seakan tidak
memperdulikan bentakan Raka Berka, malah kini
ia makin ganda tertawa. Sepertinya orang terse-
but benar-benar hendak mengejek habis-habisan
pada Raka Berka selaku Panglima Perang yang ti-
dak mampu menjalankan tugasnya. Hal ini tidak
saja menjadikan Raka Berka gusar, tapi kemara-
hannya sudah tak terbendung lagi. Maka dengan
sekali lompat Raka Berka tebaskan keris pusaka
ke arah bukit-bukit tersebut.
"Hiaaaattt...!"
"Duaaar...!" Bukit di hadapannya yang terkena tusukan keris pusaka tersebut
seketika meledak
dan runtuh dengan batu-batuan berhamburan.
Sungguh dahsyat tuah keris di tangan Raka Ber-
ka, keris tersebut mampu menghancurkan bukit
bebatuan yang nampak kokoh. Bersamaan den-
gan runtuhnya bukit tersebut, sebuah bayangan
berkelebat mengelakkan serangan keris di tangan Raka Berka.
"Hebat! Hebat...!" Orang yang melompat ke luar dari persembunyian tersebut
berkata, lalu dengan gerak cepat berkelebat menyerang Raka
Berka. "Bedebah! Rupanya kau, Rangaspati! Kau ha-
rus mampus!"
Raka Berka tak mau tinggal diam, dengan se-
gera dia tusukkan keris pusakanya ke arah mu-
suh. Larikan sinar merah yang keluar dari keris membersit mengarah pada
Rangaspati. Segera
Rangaspati lemparkan tubuh bersalto menghin-
dar, hingga sinar merah yang keluar dari keris
membersit beberapa senti di samping tubuhnya.
Mata Rangaspati nampak membeliak, ada rasa
ngeri memancar di sana. Keris pusaka di tangan
Raka Berka bukanlah senjata sembarangan. Ke-
mampuan tuah keris tersebut sungguh sudah
kondang. Raka Berka tak mau membiarkan musuhnya
diam begitu saja, maka dengan penuh perhitun-
gan kembali Raka Berka tebaskan keris pusa-
kanya ke arah musuh. Rangaspati kini tidak mau
nyawanya menjadi korban, segera ia kembali lem-
parkan tubuh ke samping dengan tangan ki-
baskan ke arah Raka Berka. Dari kibasan tangan
Rangaspati keluar larikan sinar putih kebiru-
biruan mendesing ke arah Raka Berka.
"Wuuut...!" Raka Berka kembali tebaskan keris pusaka menangkis ribuan jarum-
jarum beracun yang dilemparkan oleh Rangaspati.
Trang, trang...!"
Jarum-jarum itu runtuh, luluh lantak tersapu
oleh babatan keris pusaka di tangan Raka Berka.
Mata Rangaspati kembali membeliak, tak percaya
pada apa yang dilihatnya.
"Hem, sungguh bukan keris sembarangan,"
gumam hati Rangaspati. "Aku tidak boleh main-main."
Rangaspati segera silangkan kedua tangannya
di depan dada, lalu dengan memekik Rangaspati
berkelebat menyerang ke arah Raka Berka. Dari
kedua telapak tangan Rangaspati nampak dua la-
rik sinar biru kehitam-hitaman, melesat ke arah Raka Berka.
"Mampus kau, Raka! Hiiiaaattt...!"
"Wuuutttstt...!"
"Jangan kira semudah itu, Rangaspati,
Hiaaattt...!"
Raka Berka kembali berkelebat dengan keris
pusaka yang siap di tangan kanannya. Sementara
tangan kirinya dengan segera menyalurkan tena-
ga dalam untuk siap memapaki serangan yang di-
lancarkan Rangaspati. Dua larik sinar yang men-
gandung tenaga dalam kini melesat ke udara, la-
lu... "Duuuaaar...!" ledakan dahsyat menggema, manakala dua kekuatan tersebut
saling beradu. Raka Berka lemparkan tubuh bersalto ke bela-
kang, tertolak oleh dorongan tenaga. Begitu juga dengan Rangaspati. Tubuh
Rangaspati pun tak
luput terlempar ke belakang.
Semua prajurit kerajaan anak buah Raka Ber-
ka hanya terlongong tak ada yang dapat berbuat
apa-apa. Kesepuluh orang prajurit tersebut nam-
pak terpaku, diam menyaksikan pertarungan
yang baru kali itu mereka saksikan.
Raka Berka kembali memasang kuda-
kudanya, lalu dengan keris pusaka masih ter-
genggam di tangannya Raka Berka memekik dan
kembali melompat menyerang.
"Hiiiiaaattt...!" Keris di tangan Raka Berka bagaikan haus darah. Keris itu kini
makin membara merah, sepertinya keris tersebut mengandung
hawa membunuh, hawa ingin menghisap darah.
Melihat Raka Berka telah bangkit dan menye-
rang, dengan masih menahan rasa sakit di da-
danya Rangaspati segera bangkit dari duduknya.
Perlahan diaturnya napas agar tenang, lalu dis-
alurkan tenaga dalam ke kedua telapak tangan-
nya. Kini jurus-jurus kematian telah keduanya ra-
palkan. Dan ajian pamungkas yang keduanya mi-
liki benar-benar telah siap merenggut nyawa sa-
lah seorang di antara keduanya. "Hiiiiaaaatttt...!"
"Maattii kau, Rangas... Hiaaattt...!"
"Wuuuut...!"
"Wessssttt...!".
Raka Berka hantamkan ajiannya, begitu juga
dengan Rangaspati. Rangaspati segera miringkan
tubuh ke samping, lalu tangannya yang sudah di-
rasuki dengan ajian mengarah ke arah datangnya
larikan sinar yang keluar dari tangan Raka Berka.
"Duaaar...!"
Dua tubuh itu tergontai-gontai ke belakang.
Mata keduanya melotot, lalu dengan lemah kedu-
anya ambruk jatuh. Sesaat keduanya terdiam, da-
ri mulut mereka keluar lelehan darah menetes.
Raka Berka nampak membeliak, lalu dengan
mengibaskan tangannya memerintahkan pada ke-
sepuluh anak buahnya untuk menyerang. Dan
hal tersebut sungguh tidak diinginkan oleh Ran-
gaspati yang juga dalam keadaan luka parah aki-
bat bentrokan tenaga dengan Raka Berka.
Namun rupanya kesepuluh prajurit tersebut
tak mau mengerti. Kesepuluh orang prajurit ter-
sebut dengan beringas yang baru saja sembuh
dari sakitnya menyerang dengan senjata di tan-
gan mereka masing-masing. "Hiiiaaat...!"


Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangaspati yang tidak mau mati dengan begi-
tu saja dengan masih menahan sakit segera
bangkit. Dengan kemarahan yang meluap-luap,
Rangaspati papaki serangan kesepuluh orang pra-
jurit kerajaan tersebut.
"Jangan kira aku mau mengalah begitu saja.
Langkahi dulu mayatku. Hiaaattt...!"
Dengan tangan kosong Rangaspati segera han-
tamkan tangan memukul serta kaki menendang
musuh. Pertarungan kembali berjalan. Walau
dengan tangan kosong Rangaspati nampak dapat
mengimbangi pengeroyokan tersebut.
"Wuuut...!"
Golok di tangan kesepuluh prajurit-prajurit itu berkelebat membabat. Segera
Rangaspati miringkan tubuh, kaki diayun ke muka membentuk se-
buah tendangan kipas. Itulah jurus Jaran Nye-
pak, sebuah jurus yang mengandalkan kecepatan
gerak kaki dengan tapak kaki sebagai landasan-
nya. Dalam dunia karate dinamakan Mawasi Giri.
"Plak!"
Kaki Rangaspati mendarat telak di pipi mu-
suhnya, yang seketika itu memekik sambil meme-
gangi pipinya yang memerah karena terkena ten-
dangan. Namun begitu kesembilan prajurit lain-
nya tidak mau mengalah begitu saja. Kesembilan
orang prajurit yang masih penasaran tersebut
kembali membabatkan senjata di tangan mereka
ke arah Rangaspati. Segera Rangaspati lemparkan tubuh ke atas mengelakkan
serangan, lalu dengan menukik Rangaspati hantamkan pukulan ke
arah musuh. "Bug, bug, bug...!"
"Aaaahhh...!"
Tiga kali, pukulan telak tangan Rangaspati
mendarat di muka musuh, dan tiga kali tiga orang prajurit yang terkena memekik,
lalu berguling-guling menahan sakit dengan tangan memegangi
muka. Melihat hal tersebut gusarlah Raka Berka,
ia segera bangkit dan dengan membentak Raka
Berka kembali berkelebat menyerang Rangaspati.
Serangan Raka Berka kini benar-benar seran-
gan yang mengandung hawa kematian. Tangan
Raka Berka terus mencerca, sepertinya ia tidak
menghendaki Rangaspati mampu membalas se-
rangannya. Dan memang benar, Rangaspati yang
memang terluka nampak tidak mampu memba-
las. Rangaspati kini hanya mengelak dan menge-
lak setiap serangan yang dilancarkan oleh Raka
Berka tanpa mampu membalas. Gerakan Rangas-
pati kini makin melemah, terdesak dengan hebat-
nya. Sementara Raka Berka yang melihat musuh-
nya dapat terus didesak, nampak makin bertam-
bah nafsu. Tangannya bergerak makin cepat. Dan
pada sebuah kesempatan, tangan Raka Berka
dengan telaknya berhasil menyampok muka Ran-
gaspati. Seketika itu Rangaspati memekik, darah keluar dari pipinya yang tampak
tergores kuku Raka Berka. "Aaaaahhhh...!" Rangaspati terhuyung ke belakang dengan mata melotot. Luka
barutan di pi- pinya terasa perih, sepertinya tangan Raka Berka mengandung racun. Matanya
kunang-kunang melihat. Mulutnya tampak menggeram, dan dengan
nekat Rangaspati segera menghadang serangan
Raka Berka. "Hiiiaaaattt...!"
Tubuh keduanya nampak bagaikan terbang,
melompat ke udara. Dua tubuh itu kini saling
berhadapan, lalu dengan cepat keduanya saling
serang di udara. Tangan keduanya bergerak den-
gan cepat menghantam dan menangkis, begitu ju-
ga dengan kaki mereka. Namun nampak Rangas-
pati kini benar-benar lemah karena racun yang
telah bersarang di darahnya. Dalam sekejap saja Raka Berka mampu menjadikan
Rangaspati sebagai bulan-bulanan, sehingga tak ayal lagi Rangaspati kini dalam
sekejap saja telah menjadi tum-
puan tangan maut Raka Berka. Sampai akhirnya,
sebuah tendangan telak menghantam ulu ha-
tinya. Melengking Rangaspati seketika, tubuhnya terlonjak jauh ke belakang.
Tubuh itu sejenak
mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa.
Raka Berka sejenak tercenung diam, meman-
dang pada tubuh Rangaspati yang sudah tanpa
nyawa. Namun seketika ia merasa dirinya bodoh,
sebab bukankah Rangaspati yang tahu rahasia di
mana keberadaan Dewi Cendana Biru dan Kera
Silumannya"
"Ah, sungguh bodohnya aku ini. Mengapa ti-
dak aku tanyakan di mana pimpinannya?" lenguh hati Raka Berka. "Tidak! Kalau dia
hidup, tidak mungkin aku dapat selamat... Prajurit..,! Kita te-ruskan ke
kerajaan!"
Dengan segera keenam orang prajurit yang
masih hidup segera mengusung empat orang re-
kannya yang telah binasa. Ketujuh orang tersebut kembali melangkahkan kaki
mereka untuk meneruskan perjalanan menuju ke kerajaan.
3 "Paman, mengapa aku kau ajak ke mari?"
Pangeran Anggangga bertanya dengan nada ce-
mas. Perasaan sebagai seorang anak-anak yang
masih polos bagaikan menuntunnya untuk me-
nanyakan keberadaannya. "Apakah kita tidak salah jalan, Paman?"
"Tidak. Kita tidak salah jalan."
"Tapi, Paman...."
"Sudahlah, jangan banyak tanya."
Tersentak Pangeran kecil Anggangga menden-
gar bentakan hulubalangnya. Memang tidak se-
perti biasanya sang hulubalang berani padanya,
apalagi membentak seperti sekarang. "Aneh, kenapa Paman Hulubalang Jalakatunda
kini mem- bentakku" Apa salahku?" tanya Pangeran Anggangga dalam hati. Matanya memandang
tiada kedip ke arah Jalakatunda, yang kini tertunduk
diam. Sementara kereta masih berjalan, terom-
bang-ambing oleh jalanan yang berbatu-batu.
"Paman, mengapa kita menuju ke hutan?"
kembali Pangeran Anggangga bertanya.
"Sudah aku katakan. Diamlah!" bentak Jalakatunda.
"Paman...."
"Jangan banyak bicara!" potong Jalakatunda, menjadikan Pangeran Anggangga
terlolong diam.
"Ingat! Kini akulah yang berkuasa, bukan dirimu, mengerti!"
"Me... mengerti, Paman," jawab Pangeran Ang-
gangga dengan takut-takut. Matanya kini tak be-
rani menentang pandang, tertunduk tanpa kata
lagi. Mendengar ucapan Jantrang atau Jalakatunda
yang begitu kasar pada Pangeran Anggangga,
sang kusir yang sedari tadi diam kini nampak palingkan muka ke arah dalam. Ada
rasa kasihan dalam sorot mata sang kusir melihat pangeran
kecil itu. "Sungguh kasihan Pangeran. Hanya karena ambisi Iblis ia menjadi
korban kebiadaban
Jantrang yang tidak tahu balas budi," rungut sang kusir dalam hati. "Apakah aku
akan mengi-kuti kemauan Iblis ini dan membiarkan pangeran
menderita?"
Sang kusir kini nampak memperlambat jalan
kudanya, dengan harapan agar ada prajurit yang
segera menyusul. Kuda-kuda itu kini bagaikan
enggan berjalan, apalagi memang keadaan jalan
di situ tidak enak. Jalanan berlubang dan banyak sekali bebatuan yang
menghambat. Tidak jarang
kedua orang penunggangnya harus terguncang-
guncang ke sana ke mari.
"Kusir, apa kau memang sengaja membuat pe-
rutku mules!" bentak Jantrang atau Jalakatunda sewot.
"Ah...!" sang kusir mengeluh. "Sungguh saya tidak sengaja. Apakah tuan tidak
melihat keadaan jalan ini?"
Jalakatunda terdiam mendengar ucapan sang
kusir yang dirasakannya memang benar. Tapi bila ingat bahwa para prajurit
kerajaan akan menge-jarnya, maka rasa takut di hati Jantrang kembali
muncul. Dan kembali Jantrang atau Jalakatunda
kembali memerintah pada sang kusir untuk me-
macu kuda-kudanya.
"Kusir, percepat lari kuda!"
"Tidak bisa, Tuan."
"Bah! Jangan membantah, kusir!" Jantrang merungut kesal dan marah. "Kerjakan apa
yang aku perintahkan!"
"Tapi...."
"Jangan ngomong!" bentak Jantrang memu-tuskan.
Sang kusir terdiam, namun ia tidak segera
menjalankan apa yang dikatakan oleh Jantrang.
Hal ini menjadikan Jantrang makin-makin ma-
rahnya. Napasnya terdengar menderu, memburu
dengan segala kemarahan yang ada. Dan tanpa
sepengetahuan sang kusir Jantrang dengan sadis
tanpa belas kasihan menghantamkan pukulannya
ke arah sang kusir. Tanpa ampun lagi sang kusir yang tidak sadar memekik, lalu
dengan kerasnya
tubuh sang kusir terpelanting jatuh ke bawah.
"Aaaaahhhh...!"
"Bug!"
"Paman jahat!" Pangeran Anggangga memekik, ia menutupi mukanya dengan kedua
tangan sak-ing ngerinya melihat tubuh sang kusir yang terpelanting jatuh. Kuda-
kuda penarik kereta itu kini meringkik, sepertinya kuda-kuda tersebut tahu
bahaya. Dan kuda-kuda itu kini berserabutan lari pontang-panting. Hal itu
menjadikan Jantrang
panik. Dicobanya untuk mampu mengendalikan
lari kuda-kuda itu, namun nampaknya ia tak
akan berhasil. Kuda-kuda yang panik menyaksi-
kan tuannya jatuh nampak makin beringas dan
liar. Sekali-kali kuda-kuda tersebut meringkik, la-lu mengangkatkan kakinya
tinggi-tinggi. "Kuda sialan!" Jantrang memaki, sementara Pangeran Anggangga nampak makin
ketakutan. "Kuda minta mampus! Mengapa kalian menjadi liar dan gila, hah!"
Kuda-kuda itu tak mau perduli, dan kuda-
kuda itu pun dengan pontang panting melarikan
kereta seenaknya. Tinggallah Jantrang dan Pan-
geran Anggangga yang ketakutan. Kuda-kuda ter-
sebut kini lari dengan tak tentu arah. Jantrang terus berusaha mengendalikan
lari kuda-kuda tersebut. Namun rupanya kuda-kuda itu benar-
benar tak mau dikendalikan. Kuda-kuda itu be-
nar-benar panik demi melihat tuannya terjatuh.
"Bahaya!" Jantrang memekik dalam hati. "Aku harus berusaha menghindar... Tapi,
bagaimana dengan pangeran itu" Ah, tak uruslah! Biar ia
mau bagaimana!"
Dengan tanpa hiraukan Pangeran Anggangga
yang menjerit-jerit ketakutan di dalam kereta, segera Jantrang melompat dari
kereta yang makin
menggila saja larinya. Tubuh Jantrang bergulingguling sesaat, sebelum kembali
bangkit dan den-
gan pandangan acuh memperhatikan kereta yang
masih lari dengan tak tentu itu membawa tubuh
Pangeran Anggangga.
* * * Kuda-kuda itu terus berlari membawa kereta
yang ada Pangeran Anggangga di dalamnya. Pan-
geran Anggangga tampak menutup mukanya ka-
rena takut dengan kedua telapak tangan. Terka-
dang ia menjerit meminta tolong.
"Toooolooooongggg...!"
Kuda-kuda tersebut makin menggila saja la-
rinya, mungkin kuda-kuda tersebut makin keta-
kutan mendengar seruan Pangeran Anggangga.
Kereta tersebut kini menikung ke kelokan bukit, lalu lurus menuju ke arah
jurang. Makin takut
saja Pangeran Anggangga menyaksikan bahwa
kuda-kuda tersebut kini menuju ke arah jurang.
"Oh, Rama, mungkinkah aku akan mati?" keluh hati Pangeran Anggangga. "Kalau
memang benar aku hendak mati di dasar jurang, maka
sungguh mengerikannya!"
Pangeran Anggangga kini berusaha pasrah,
pasrah menerima nasib yang bakal ia terima. Se-
mentara kuda-kuda tersebut makin menggila la-
rinya, sepertinya kuda-kuda itu tak hendak mau
menghentikan larinya. Jarak kereta dengan ju-
rang yang berada di depan makin lama makin de-
kat. Dan Pangeran Anggangga kini makin mera-
patkan telapak tangannya menutup kedua ma-
tanya. "Matilah aku di sini!" keluhnya.
Tengah segalanya hendak terjadi, tiba-tiba ku-
da-kuda tersebut meringkik. Kuda-kuda tersebut
bagaikan ketakutan, putar haluan ke arah yang
berlawanan dengan arah yang dituju. Sementara
tanpa sepengetahuan pangeran kecil itu, seorang pemuda nampak berkelebat
mengejar lari sang
kuda. Kelebatan pemuda itu begitu cepatnya, se-
pertinya pemuda tersebut tidak lari, namun ter-
bang. Pangeran yang merasa dirinya tidak jatuh, ke
dalam jurang segera buka tangannya. Matanya
kini membeliak tidak percaya pada apa yang ia
saksikan. Kuda-kuda penarik kereta kini tidak la-gi menuju ke jurang, malah kini
kembali ke arah yang tadi. Namun kepanikan terus saja mengge-rogoti hati
Pangeran Anggangga yang memang su-
dah takut. Hingga dengan menjerit Pangeran Ang-
gangga berusaha meminta tolong juga berusaha
membuang rasa panik yang kian merambah ha-
tinya. "Toooooollooooonggg...!"
Pemuda yang sedari tadi hanya menggiring lari


Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuda-kuda tersebut tampak tersentak mendengar
seruan seorang bocah dalam kereta tersebut. Pe-
muda yang tidak lain Jaka Ndableg adanya seje-
nak kerutkan kening, lalu dengan secepat kilat
setelah yakin bahwa segala pendengarannya be-
nar adanya, segera Jaka pun mempercepat la-
rinya memburu ke arah kereta tersebut.
"Heh, rupanya dalam kereta itu ada seorang bocah."
Tanpa pikir panjang lagi Jaka percepat larinya
memburu ke kereta yang makin kencang larinya
di hadapannya. Perasaannya sebagai seorang
pendekar yang peka menyuruh hati Jaka untuk
berusaha menolong bocah yang berada di dalam
kereta. Dan dengan ajian Angin Puyuhnya, Jaka
terus mempercepat pengejarannya. Dari Ajian An-
gin Puyuh tingkat pertama, kedua, sampai tingkat ketujuh yang merupakan ajian
tingkat akhir dike-rahkannya.
"Aku harus dapat mengejar kereta tersebut,"
Jaka terus berupaya memburu laju kereta yang
liar dan jalang tersebut dengan harapan dapat
menolong bocah yang berada di dalam kereta.
"Sungguh kasihan bocah tersebut. Sepertinya bocah yang ada di dalam kereta
adalah anak seorang bangsawan. Ya, dilihat dari kereta yang di-tumpangi, jelas
milik seorang bangsawan kera-
jaan." "Toooolllloooonnngggg...!" Pangeran Anggangga yang mendengar desahan angin orang
berlari kembali berteriak meminta tolong dengan hara-
pan orang yang mengejar keretanya mau meno-
long menghentikan kereta yang jalang dan liar
tersebut. Dan memang dugaannya benar, ternyata
pemuda Jaka Ndableg memang bermaksud meno-
longnya. "Tenanglah, Dik. Kau jangan panik, aku akan berusaha menolongmu!" seru Jaka
memberikan semangat pada Pangeran Anggangga yang tampak
makin panik saja. "Kau tak perlu cemas, sebab kuda-kuda ini kini sudah tidak
menuju ke jurang!"
Kini Jaka benar-benar berlomba dengan kuda-
kuda yang makin menggila. Dan dengan Ajian
Angin Puyuh tingkat pamungkasnya, Jaka kini
mampu mensejajari lari kuda-kuda tersebut.
Dengan tanpa memperhitungkan lagi akan di-
rinya, segera Jaka melompat ke atas kereta. Di-
ambilnya kais penarik kuda, lalu dengan segenap tenaga Jaka berusaha
menghentikan lari kuda-kuda tersebut. Dan mungkin karena tenaga yang
dikeluarkan oleh Jaka Ndableg terlalu besar,
menjadikan kuda-kuda itu seketika meringkik se-
saat, lalu akhirnya menggelepar mati. Ya, kuda-
kuda itu kini mati dengan mulut terbeset. Dan
kereta itu pun seketika terhenti dengan kencangnya, menjadikan Pangeran
Anggangga terlempar
dari dalam kereta. Beruntung Jaka dengan segera menangkap tubuh pangeran
tersebut dan mem-bawanya pergi. Kalau tidak, tentunya tubuh Pan-
geran Anggangga akan hancur terbentur beba-
tuan yang berada di depannya ataupun akan pa-
tah tulangnya akibat menghantam depan kereta.
"Sungguh kasihan bocah ini," Jaka meman-dangi tubuh dan wajah Pangeran Anggangga
yang pingsan karena takut. Perlahan diturunkannya
tubuh Pangeran Anggangga, lalu dengan segera
dicobanya membantu pernapasan sang pangeran.
Disalurkannya tenaga dalamnya ke tubuh Pange-
ran Anggangga, sehingga pangeran tersebut kini
nampak menggeliat siuman. "Hem, kuat benar tenaga pangeran kecil ini."
Pangeran Anggangga membuka matanya, per-
lahan dipandangi sekelilingnya. Akhirnya mata
Pangeran Anggangga tertuju pada sepasang mata
Jaka Ndableg yang bibirnya terurai senyum.
Berbeda dengan hulubalangnya, pemuda yang
berjongkok di hadapannya kini nampak ramah
dan penuh persaudaraan. Pemuda itu tampang-
nya lucu, mungkin suka bercanda.
"Siapakah kakak adanya?" tanya Anggangga setelah sekian lama terdiam
memperhatikan Jaka
Ndableg. Jaka Ndableg makin lebarkan senyum.
"Aku..." Ah, aku hanyalah seorang pengelana saja yang kebetulan melihat keretamu
dalam keadaan liar," Jaka Ndableg menjawab. "Tak usahlah adik kecil memikirkan
siapa adanya aku ini. Yang penting, adik kecil selamat."
Jaka Ndableg garuk-garuk kepalanya, lalu
dengan bibir masih tersenyum Jaka kembali ber-
kata: "Dilihat dari pakaian yang adik kecil kena-kan, sepertinya adik kecil dari
keturunan bang-
sawan." "Oh, benar adanya apa yang dikatakan oleh-
mu, Kak," jawab Pangeran Anggangga kini dengan bibir tersenyum, membalas uraian
senyum yang dilontarkan Jaka Ndableg. "Aku memang dari kerajaan. Aku adalah Pangeran
Anggangga dari Ke-
rajaan Bumi Jawa."
"Oh, sungguh aku tak tahu diri kalau begitu.
Maafkan segala kebodohan patik," Jaka Ndableg menjura hormat, menjadikan
Pangeran Anggangga tersenyum. Ada rasa bangga di hati pangeran
kecil itu menerima penghormatan dari Jaka, yang sepengetahuannya berilmu tinggi.
"Ah, tidak usahlah tuan pendekar berbuat begitu. Bukankah tanpa pertolongan tuan
pendekar aku tak akan selamat?" Pangeran Anggangga ber-basa basi, sepertinya ia pintar
sekali dalam berbicara. Hal itu menjadikan Jaka Ndableg terbelalak kaget hingga
mulutnya menganga. Bagaimana
mungkin anak sekecil itu. mampu melakukan pe-
nerapan gaya bahasa yang tinggi" Apakah karena
kehidupannya yang selalu dalam lingkup istana
yang menjadikan bocah kecil itu mampu berbuat
begitu" Jaka Ndableg tak mampu menjawab sega-
la pertanyaan hatinya. Belum juga hilang kaget-
nya Jaka Ndableg, tiba-tiba Pangeran Anggangga
telah kembali berkata: "Siapakah pendekar
adanya?" "Namaku Jaka Ndableg," jawab Jaka tenang.
Terbelalak mata Pangeran Anggangga mendengar
penuturan Jaka tentang siapa adanya dirinya.
Pangeran kecil itu sering mendengar desas desus tentang siapa adanya pendekar
muda yang kini berada di hadapannya, tapi melihat langsung ba-
rulah kini ia lakukan dan hal itu kebetulan saja.
"Jadi...." Pangeran Anggangga tak mampu meneruskan ucapannya. Dipandangi tubuh
Jaka da- ri ujung kaki hingga ujung rambut, sepertinya ingin membuktikan kebenaran
penglihatannya. Dan
setelah dapat menenangkan segalanya, pangeran
kecil itu meneruskan ucapannya. "Jadi kakakkah pendekar yang sering diceritakan
oleh guru-guruku?"
"Siapakah guru-gurumu, Adik?"
"Guruku tak lain Sepasang Pendekar Kembar."
"Pendekar Kembar?" Jaka kerutkan kening.
"Kalau tidak salah, bukankah gurumu Jaladri dan Jaladru?"
"Ah, sungguh aku tak dapat menyangkal ke-
benarannya."
"Hem...." Jaka Ndableg kini menggumam. "Kalau begitu aku tak dapat main-main
dengan bo- cah ini. Gurunya tak lain sepasang pendekar yang sudah kondang namanya."
"Kenapa kakak melamun" Apakah kakak ken-
al dengan guru-guruku?" tanya Pangeran Anggangga mengejutkan Jaka yang berusaha
terse- nyum. "Tidak kenal lagi Gurumu adalah orang-orang besar."
"Tapi kata guru, kakaklah yang seorang pendekar besar."
Jaka gelengkan kepala mendengar ucapan
Pangeran Anggangga yang begitu mahir berdiplo-
masi. "Kalau aku boleh meminta, sudilah kakak
singgah ke kerajaan," pinta Pangeran Anggangga.
"Baiklah, Adik. Aku akan singgah ke kera-
jaanmu. Tapi, kalau boleh kakak tahu, mengapa
adik sampai terbawa oleh kuda-kuda liar terse-
but" Apakah adik tengah main-main?" tanya Jaka menjadikan Pangeran Anggangga
tertunduk. "Bukankah jarak Bukit Gelatik ini sangat jauh den-
gan kerajaan" Paling tidak setengah hari di-
perlukan waktu untuk menempuhnya?"
Dengan berderai air mata Pangeran Anggangga
menceritakan segala apa yang dialami olehnya.
Sementara Jaka nampak mendengarkan dengan
seksama tanpa bermaksud bertanya dulu. Dan
baru setelah Pangeran Anggangga usai, Jaka pun
bertanya. "Ke mana Jantrang pergi?"
"Hai, sepertinya kakak sangat mengenalnya?"
Jaka tersenyum lagi, dan katanya. "Aku bukan
hanya mengenalnya, tapi aku juga mencari di-
rinya untuk mempertanggung-jawabkan atas se-
gala tindakannya padamu, Adik."
"Ooh, rupanya kakak sangat memperhatikan
diriku." Jaka Ndableg kembali tersenyum mendengar-
kan ucapan Pangeran Angggangga, dan katanya
kemudian. "Bukan hanya diri adik yang harus aku perhatikan, tapi semua orang
yang memerlu-kan pertolongan harus aku perhatikan."
Pangeran Anggangga akhirnya angguk-
anggukkan kepala mengerti. Dan manakala Jaka
mengajak dirinya untuk kembali ke kerajaan,
Pangeran Anggangga tidak membantah. Keduanya
pergi meninggalkan Bukit Gelatik.
* * * "Nguuuk...! Nguuukkk...!" Kera itu kini ter-duduk dengan malas. "Ngaik! Ngaik!
Ngaik!" "Mana Taka Moro?" wanita itu kini mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki sang
kera. "Ta-ka Moro, temani si Beruk latihan...!"
Dari dalam gua tampak seorang lelaki muda
yang tidak lain Taka Moro adanya keluar. Taka
Moro sejenak menjura setelah berada di depan
wanita berpakaian serba biru tersebut.
"Sri Ratu memanggil hamba?"
"Temani Beruk latihan, Taka!"
"Daulat, Sri Ratu," jawab Taka Moro. "Ayo Beruk!"
"Nguuuk...! Nguuuuk...!" Si Beruk tampak ke-
girangan, lalu melompat ke pundak Taka Moro.
Keduanya pun berjalan pergi meninggalkan wani-
ta yang disebut oleh Taka Moro Ratu yang kemba-
li melakukan meditasi setelah kepergian kedua
sahabatnya. * * * Wanita berpakaian serba biru yang tidak lain
Dewi Cendana Biru masih terus melakukan medi-
tasi. Entah sudah berapa lama ia melakukan itu
dan entah apa yang sedang dicarinya hingga ia
kuat untuk terus melakukan hal tersebut.
"Hem, sebentar lagi dia datang," Dewi Cendana Biru menggumam sendiri, entah apa
maksudnya dengan kata-kata sebentar lagi dia datang.
Bersamaan dengan habisnya gumamnya sang
Dewi, terdengar desah angin menerpa ke arah
Dewi Cendana Biru. Perlahan sang Dewi buka
matanya, dan tiba-tiba ia telah melihat seorang lelaki tua renta berambut serba
putih dengan ma-ta menyorot tajam merah berdiri di hadapannya.
Lelaki tersebut tampak tersenyum, batuk-batuk
kecil dan kemudian terdengar berkata.
"Apa yang engkau maui, Istriku?" tanya lelaki tua bermata merah tajam membara.
"Kenapa engkau memanggilku?"
"Kakang, apakah engkau tidak ingin kau kembali berkuasa seperti manakala kau
masih di du- nia?" "Tidak mungkin, Istriku. Aku kini telah beda dunia."
"Tapi Kerajaan Bumi Jawa adalah hakku."
Lelaki tua renta itu tersenyum, ada getaran
berat terukir lewat senyumnya. Matanya yang tadi memerah, lamat-lamat menghilang
dan berganti dengan kesayuan. Sepertinya lelaki tua renta itu tak ingin mengingat segala apa
yang pernah terjadi semasa hidupnya. Tampak nafasnya mendesah
berat, dengan tubuh terguncang manakala angin
berhembus. "Aku sudah melupakan semuanya, Istriku," lelaki itu berkata, nadanya mengeluh.
"Biarkan-lah aku hidup dengan tenang di alamku."
"Ah!" Dewi Cendana Biru mengeluh. "Jadi kakang tidak mau membantuku?"
Ditariknya napas panjang mendengar ucapan
istrinya. Rasa berat mengganjal di hati, seakan rasa berat tersebut sulit untuk
dilenyapkan. Bayangan lelaki tua itu kembali terlintas pada kejadian di mana dirinya masih
hidup. Kejadian-
kejadian yang menjadikan dirinya bagaikan terbe-lenggu oleh dosa-dosa kehidupan
yang pernah ia alami. "Sulit, Istriku!"
"Apanya yang sulit, Kakang?" tanya Dewi Cendana Biru, seakan tak mau melihat
suaminya frustasi. "Bukankah kau mampu melakukannya, Kakang?"
Kakek tua itu tersenyum.
"Aku kini bukan hidup di alam manusia, Istriku!"
"Tapi engkau bisa, Kakang."
"Bagaimana mungkin?" tanya lelaki tua itu.
"Bukankah engkau mampu merasuk ke mah-
luk lain?"
Terdiam lelaki tua tersebut mendengar penu-
turan istrinya. Matanya memandang tanpa kedip
ke arah Dewi Cendana Biru yang tersenyum. Se-
nyum maut sang Dewi itulah yang telah mampu
menggoyahkan imannya. Dia rampas tahta pa-
mannya yaitu ayah raja yang sekarang berkuasa
atas kehendak istrinya, sehingga dirinya akhirnya harus menanggung beban dosa.
Dan kemudian dirinya harus tersisih dari kerajaan sampai mati.


Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnya ia sudah tidak ingin segalanya teru-
lang, namun bila istrinya telah tersenyum, dirinya bagaikan tiada daya untuk
menolaknya. "Pada siapa aku harus menitis, Istriku?" Sejenak Dewi Cendana Biru
terdiam, lalu setelah mendapat ja-wabannya sang Dewi pun berkata.?"Kakang ma-
suklah ke tubuh si Beruk!"
"Apa..."!" tersentak kaget lelaki tua itu mendengar jawaban istrinya. "Kau
hendak menghinaku, Istriku!"
"Tidak! Sungguh bukan maksud Dinda meng-
hina kakang. Tapi dinda ingin membuat sebuah
kejadian yang belum pernah ada. Lagi pula, bu-
kankah dengan kakang menitis di si Beruk semua
sepak terjang kakang tidak akan ketahuan?"
Terdiam lelaki tua itu memikirkan ucapan is-
trinya. Tampaknya ia tengah meresapi segala sa-
ran istrinya. Lama lelaki tua itu terdiam, hingga akhirnya ia pun kembali
berkata dengan nada pasrah. "Baiklah, demi engkau aku akan menuruti segalanya,
Istriku." Berbunga-bunga Dewi Cendana Biru menden-
gar jawaban suaminya. Kini dengan suaminya
menyanggupi apa yang dikehendakinya, tentunya
segala apa yang dicita-citakan akan segera terlaksana.
"Terima kasih, Kakang. Terima kasih!" ucap-nya berbahagia menyambut jawaban
suaminya. "Dengan Kakang berkenan membantu, pasti aku akan kembali pada masa kejayaanku.
Aku akan benar-benar menjadi Ratu. Hua, ha, ha...!"
Kedua orang bekas suami istri yang sudah di-
rasuki iblis tersebut kini tertawa bergelak-gelak.
Lelaki tua itu tak sadar keberadaan dirinya. Dirinya yang sudah seharusnya
tenang di dunia ke-
kekalan, harus bergentayangan kembali untuk
membantu ambisi istrinya, ambisi iblis yang sela-lu merongrong manusia.
"Di mana si Beruk, Istriku?" tanya lelaki tua itu kemudian.
"Ada Kakang. Dia tengah berlatih dengan temannya, seorang manusia dari daratan
Nippon." "Apa...?" lelaki tua renta itu tersentak kaget mendengar jawaban istrinya
tentang seorang lelaki dari Nippon. "Jadi kau pun telah menyeleweng, Istriku?"
"Kakang...! Kakang jangan menuduh dulu.
Sungguh aku selalu setia padamu!" Dewi Cendana Biru berkata. "Walaupun engkau
sudah di alam lain, tetapi aku tetap menjaga kesucian cin-taku padamu. Dia aku
jadikan anak buahku se-
mata. Dia berilmu cukup tinggi, Kakang."
Lelaki tua itu angguk-anggukkan kepala men-
dengar tutur kata istrinya. Matanya kini tak hen-ti-hentinya memandang pada
istrinya yang masih
cantik. Dan bila hal itu dilakukannya terus menerus, seketika hatinya kembali
bergetar. Ada rasa yang seketika menggejolak di hatinya. Dan rasa
itu terus meminta padanya untuk melakukan se-
suatu. Perlahan lelaki tua yang sudah berada di alam lain itu melangkah
mendekati tubuh istrinya. Perlahan direngkuhnya tubuh sang istri, yang dengan
lembut menolaknya sembari berkata. "Kakang, bukankah kau tak boleh melakukan hal
ini dalam keadaan dirimu" Sabarlah! Bukankah dengan engkau berada di tubuh Si
Beruk kita dapat melakukan hubungan suami istri seperti
dulu lagi?"
Lelaki itu terjengah, sadar akan tindakannya.
Memang dalam keadaannya yang sekarang, jelas
hal itu tidak mungkin. Tapi apakah dengan di-
rinya menitis pada seekor kera ia akan dapat
menghayati segalanya"
"Baiklah, Dinda. Sekarang tunjukkan aku di mana Si Beruk berada. Biar aku dengan
segera dapat melakukan penitisan itu, sehingga aku
akan segera dapat bersanding denganmu lagi."
Dewi Cendana Biru tersenyum, dan dengan
tanpa kata lagi segera bangkit dari duduknya.
Keduanya kemudian berjalan meninggalkan pan-
curan tersebut menuju ke tempat di mana Si Be-
ruk dan Taka Moro berlatih.
* * * Di sebuah dataran luas nampak dua mahluk
Tuhan seekor kera dan seorang manusia yang tak
lain Taka Moro dan Si Beruk tengah berlatih silat.
Gerakan keduanya begitu gesit, lincah dan sulit untuk diikuti dengan mata. Taka
Moro nampak seperti seekor kera yang liar dan ganas. Sesekali melompat ke sebuah cabang
pohon diikuti oleh Si Beruk. Keduanya nampak serasi bergerak ke sana
ke mari. "Awas, Beruk! Aku menyerang. Hiiiaaat...!"
"Nguuuk! Nguuuk...!"
Si Beruk sepertinya mengerti. Manakala kaki
dan tangan Taka Moro bergerak menyerangnya,
segera Si Beruk melompat hindari serangan ter-
sebut. Dan dengan cepat Si Beruk balik merang-
sek. Tangannya mencakar, kakinya menendang.
Si Beruk melompat, lalu menukik dengan ke-
dua tangan menyerang dengan cengkeraman.
"Nguuuukk...!" Si Beruk mendenguk, seakan memberi isyarat agar Taka Moro
berhati-hati. "Baik! Seranglah aku!" Taka Moro yang tahu akan gerakan-gerakan isyarat Si Beruk
menjawab. Kini Si Beruk kembali melompat, lalu den-
gan disertai desisan Si Beruk merangsek menye-
rang dengan cakaran-cakarannya yang memati-
kan. Tangan Si Beruk kini menjulur ke arah leher Taka Moro. Dengan cepat Taka
Moro egoskan kepalanya mengelak, lalu kirimkan pukulan silang
dengan nama Raja Kera Menyampok Mangsa
"Wuuut...!"
"Ngguuukk...!"
Si Beruk tersentak, urungkan serangan meng-
hindar. Kini tubuhnya berguling-guling ke tanah.
Taka Moro terus berusaha menyerang dengan ka-
ki bermaksud menginjak. Namun setiap kali kaki
Taka Moro menyerang, secepat itu pula Si Beruk
gulingkan tubuhnya menghindar. Pertarungan te-
rus berjalan, saling serang layaknya dua manusia tengah bertarung.
"Nggggguuuukkk...!" Si Beruk bersuara, lemparkan tubuh ke udara dan hinggap di
sebuah cabang pohon. Matanya memandang penuh ke-
waspadaan. "Nguk! Nguk!"
Turunlah Beruk! Kenapa engkau nangkring?"
"Nguuuk!" Si Beruk gelengkan kepala.
"Hai, mengapa engkau malas, Beruk?" tanya Taka Moro tak mengerti dengan isyarat
Si Beruk. "Cepatlah turun! Bukankah kita akan berlatih?"
Tengah Si Beruk terdiam nongkrong di atas
sebuah cabang pohon, nampak selarik sinar ber-
kelebat menuju ke arahnya. Sinar tersebut mele-
sat cepat, dan tanpa sepengetahuan Taka Moro
sinar tersebut langsung masuk ke tubuh Si Be-
ruk. Si Beruk tersentak, lalu bagaikan kesakitan Si Beruk lemparkan tubuh ke
atas hingga tak
mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Tu-
buhnya meluncur dengan derasnya, dan ambruk
jatuh ke tanah.
"Buug...!"
"Beruuukk...!" Taka Moro tersentak kaget melihat keadaan Si Beruk. Segera Taka
Moro berlari menghampiri, namun belum juga sampai, seorang
wanita yang ia tahu disebut Ratu telah muncul
dan berdiri dekat dengan Si Beruk. "Sri Ratu...?"
Sri Ratu Cendana Biru sunggingkan senyum,
memikat. Senyumnya begitu manis, menutupi
usianya yang sebenarnya telah begitu tuanya. Ha-ti Taka Moro seketika berdegup
melihat senyum Ratunya yang begitu manis. Darah kelelakiannya
bergetar hebat, seolah menggelegar. Sri Ratu seakan tak hiraukan dengan keadaan
Taka Moro. Ia kini berjalan mendekati Taka Moro, dan
dengan bibir masih tersenyum, Sri Ratu rengkuh
pundak Taka Moro yang seketika itu bergetar ge-
metaran. "Sri Ratu...?"
"Sssttt...!"
Taka Moro tak mampu meneruskan kata-
katanya, manakala Sri Ratu Cendana Biru isya-
ratkan agar diam. Dan Taka Moro memang benar-
benar diam membisu. Manakala bibir Sri Ratu
lumatkan bibirnya Taka Moro hanya pasrah diam.
* * * Baru sekali itu Taka Moro merasakan betapa
nikmatnya berpadu dengan seorang wanita. Se-
lama hidupnya baru kali itu Taka Moro menikma-
tinya, merasakan apa yang seharusnya belum ia
rasakan. Rasanya ia tak ingin segera lepaskan tubuh Sri Ratu yang cantik kalau
saja Sri Ratu pun menghendakiknya. Tapi Sri Ratu menghendaki
segalanya berakhir. Sri Ratu melepaskan pelu-
kannya, dan dengan tergesa-gesa segera menge-
masi pakaiannya yang berantakan. Rerumputan
dan pohon-pohon serta bebatuan jadi saksi telah
adanya kejadian yang menimpa keduanya. Keja-
dian layaknya dua cucu Adam yang membutuh-
kan segalanya. "Cepatlah, Taka!"
"Kenapa, Sri Ratu?" tanya Taka Moro tak mengerti demi mendengar perintah Ratu
Cendana Bi- ru agar dia segera mengenakan pakaiannya.
"Sesaat lagi Si Beruk sadar!" jawab Sri Ratu pendek, lalu dengan terburu-buru
Sri Ratu tinggalkan tempat tersebut. Tinggalkan Taka Moro
yang masih berusaha mengemasi pakaiannya.
Langkah Sri Ratu begitu ringan, beranjak menuju ke tempat Si Beruk berada. Si
Beruk nampak menggeliat. Mata Si Beruk yang sudah dimasuki
sukma lelaki suami Dewi Cendana Biru nampak
merah menyala-nyala. Sejurus Si Beruk meman-
dang ke arah Sri Ratu, lalu dengan manja Si Be-
ruk yang sudah menjadi seekor Kera Siluman me-
lompat memeluk tubuh Sri Ratu. Sri Ratu dengan
penuh kemengertian segera menyambutnya.
"Nguuuk...!"
"Hem, kini kau telah menjadi Kera Siluman, Beruk!" Sri Ratu berkata. "Kini
otakmu sama dengan otak manusia, karena dalam ragamu berse-
mayam sukma manusia."
"Nguuuk! Nguuuk!"
"Bagus! Sekarang kau akan mampu memban-
tuku dan dapat mendengar serta meresapi apa
yang aku perintahkan, bukan?"
"Nguuuk...!" Si Beruk mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Nguuuk...!"
"Kau akan selalu ditemani oleh temanmu yang biasanya. Kau kenal dengan dia,
bukan?" "Nguuuk...!"
"Ya! Dia Taka Moro, orang yang menjadi saha-batmu!" jawab Sri Ratu.
Dari semak-semak belukar tampak Taka Moro
keluar. Berjalan menuju ke tempat di mana Dewi
Cendana Biru tengah bercakap-cakap dengan Si
Beruk. "Itu dia, Beru!" Sri Ratu menunjuk ke Taka Moro.
"Nguuuk...!" Si Beruk tajamkan mata memandang, sepertinya ia tengah mengingat-
ingat orang tersebut. Memang dia dulu mengenal, namun setelah adanya penitisan
sukma suami Dewi Cen-
dana Biru, Si Beruk seakan tidak mengenal lagi
Taka Moro. Mulutnya menyeringai, tunjukkan gi-
gi-giginya yang tajam. Matanya menyorot makin
menyala, seolah-olah memberi tanda bahwa dia
kini makin kuat dan sakti.
Taka Moro tersentak melihat hal tersebut. Ma-
tanya tiada henti memandang bergantian pada Sri Ratu dan Beruk. "Aneh Si Beruk,
sepertinya ia tidak mengenaliku lagi. Apakah mungkin dalam se-
saat ia pingsan, ia lupa padaku?" hati Taka Moro bertanya-tanya. Kakinya
seketika terpaku diam di tempatnya, tidak berani ia terus melangkah mendekat,
seakan ada kekuatan yang mendorongnya
untuk tidak mengganggu apa yang telah terjadi.
Sri Ratu yang maklum segera memanggil Taka
Moro, "Taka, ke marilah!"
Taka Moro perlahan melangkah mendekat.
"Nguuuk...!" Si Beruk seperti menambahkan berkata.
Taka Moro tersentak kaget manakala Si Beruk
dengan tiba-tiba melompat dari dekapan Sri Ratu ke arahnya. Tak mampu Taka Moro
mengelakkannya, sehingga Si Beruk dengan segera mampu
Pedang Langit Dan Golok Naga 33 Dewa Arak 14 Sepasang Alap-alap Bukit Gantar Misteri Pulau Neraka 8
^