Pencarian

Munculnya Kera Siluman 2

Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Siluman Bagian 2


memeluk leher Taka Moro yang terperanjat. Taka
Moro kaget berbaur rasa sedikit takut, namun
manakala melihat bahwa Si Beruk tidak ganas,
Taka Moro pun dengan penuh persahabatan me-
nerimanya. Dan dua mahluk itu pun nampak
bercanda ria, layaknya seperti kala Si Beruk masih belum dititisi sukma lelaki
tua suami Sri Ra-tu. "Taka, Beruk, ayo kita kembali!"
"Daulat, Sri Ratu."
"Nguuukkk...!"
Ketiga mahluk Tuhan itu beriringan mening-
galkan tempat tersebut kembali ke pancoran di
mana mereka biasanya tinggal.
Sepeninggalan ketiganya, nampak seorang le-
laki berjalan menuju ke arah situ. Lelaki tersebut yang tidak lain Jantrang atau
Jalakatunda berjalan dengan letih menuju ke Pancoran di mana
Dewi Cendana Biru berada.
* * * "Sampurasun...!" Jantrang menyapa manakala dirinya telah sampai.
"Rampes...!" terdengar dua orang menyahuti, menjadikan Jantrang tersentak kaget.
Biasanya hanya seorang wanita saja yang menyahut, tapi
kini dua orang.
"Siapakah yang bersama Sri Ratu?" tanya hati
Jantrang. "Jantrangkah yang datang?" kini Sri Ratu yang bertanya.
"Benar, Sri Ratu," jawab Jantrang. "Masuk-lah!"
Jantrang sesaat menengok ke sekelilingnya,
lalu setelah dirasa aman Jantrang segera berkelebat menembus semak belukar yang
menutupi goa di belakangnya.
Jantrang segera menjura hormat pada Sri Ra-
tu, sementara matanya memandang tak putus
><><><><>< 69-70
pa yang mesti saya lakukan, Sri Ratu?"
"Bunuh dua pendekar itu! Mengerti, Taka?"
"Daulat!"
"Nguuukkk! Nguuukkk...!"
"Nah, berangkatlah kalian! Buat kerajaan re-sah! Kalian harus berhasil!" Sri
ratu berkata dengan berapi-api, seakan kemarahannya tak dapat
terbendung. Dendamnya pada Raja Kerajaan Bu-
mi Jawa telah membakar hatinya yang mengata-
kan bahwa dirinyalah yang berhak atas tahta
yang sekarang dipegang oleh Raja Sutresna. Se-
bab dirinya adalah istri Raden Sukra yang kini telah menitis di tubuh Si Beruk.
Dendam itu disimpannya manakala dirinya
sendiri ditinggal oleh Sukra. Dan dendam itu
muncul kembali ketika Jantrang datang dan me-
nyanggupi akan membantu dirinya dengan imba-
lan pelayanan batin. Segalanya telah ia korban-
kan, termasuk harga dirinya. Dengan rela ia telah menyerahkan kehormatannya pada
Jantrang. "Aku harus berhasil! Aku harus dapat merebut tahta kerajaan!" Gemuruh hati Dewi
Cendana Bi-ru bila mengingat hal tersebut.
Ketiga rekannya yaitu Taka Moro, Jantrang,
dan Si Beruk yang kini telah dititisi oleh sukma suaminya nampak berkelebat
meninggalkan pancoran tersebut, meninggalkan dirinya yang kini nampak sepi
sendirian tanpa teman. Dewi Cendana Biru nampak kembali melakukan meditasi
pusatkan segala panca indra untuk membantu
gerakan ketiganya.
5 Jaka Ndableg yang masih berjalan dengan
Pangeran Anggangga menuju ke kerajaan kini
tengah memasuki perbatasan kerajaan. Kedatan-
gan mereka seketika menjadi perhatian para war-
ga yang berjubel-jubel ingin melihat kedatangan pangerannya yang hilang beberapa
waktu yang la-lu. "Itukah penculiknya?" tanya seorang warga pada rekannya.
"Bukan!"
"Lalu, siapakah pemuda yang bersama pange-
ran kita?"
"Mungkin dia yang menolongnya," jawab yang lain.
Semua rakyat Kerajaan Bumi Jawa makin ba-
nyak berdatangan dan berdiri berjejer memberi-
kan penghormatan pada pangerannya yang berja-
lan dengan Jaka Ndableg. Jaka Ndableg sebagai
seorang pendekar segera balas menjura manakala
melihat rakyat menjura. Hal itu menjadikan se-
mua rakyat Kerajaan Bumi Jawa nampak terben-
gong-bengong keheranan. Betapa tidak! Biasanya
para pendekar akan bangga dan hanya tersenyum
saja menerima penghormatan mereka, tapi pen-
dekar muda ini tak sombong. Pendekar muda ini
balas menjura. "Kakak Pendekar, tak usahlah kakak balas
menghormati mereka, sebab mereka tak lebih ra-
kyat biasa!" Pangeran Anggangga berkata menyuruh agar Jaka tidak membalas juraan
mereka, ka- rena menurut Pangeran Anggangga kedudukan-
nya lebih tinggi bila dibandingkan dengan rakyat.
Jaka Ndableg gelengkan kepala, lalu berkata:
"Tidak begitu, Adik Pangeran. Kita semua sama di mata Tuhan. Hanya kita
ditakdirkan hidup dalam
keadaan beda."
Takjub seluruh rakyat mendengar ucapan Ja-
ka Ndableg yang tidak sombong itu. Kini rasa
hormat mereka makin bertambah pada Jaka. Seo-
rang pendekar yang tidak sombong dan angkuh,
yang mengerti akan tata krama.
"Kenapa mesti begitu, Kakak?"
"Ya! Tuhan menciptakan kita sama, dari ta-
nah!" Jaka menerangkan. "Tuhan akan lebih senang bila kita saling menghormati
sesama kita."
"Kalau begitu tiada arti kedudukan kita sekarang, Kakak?"
"Tidak juga begitu, Adik. Kita diciptakan untuk menjadi pimpinan karena Tuhan
telah mengatur dan menghendaki kita untuk melindungi orang
yang lemah, bukannya kita malah menginjaknya."
"Sungguh kakak merupakan manusia yang
sempurna!"
Jaka gelengkan kepala. "Tidak, Adik Pangeran.
Manusia tidak ada yang sempurna. Manusia ada
kelebihan dan kekurangannya. Seperti Adik Pan-
geran, adik mungkin memiliki apa yang kakak ti-
dak miliki."
"Contohnya?" tanya Pangeran Anggangga belum mengerti.
Jaka Ndableg hela napas sesaat, lalu sambil
masih berjalan menuju ke kerajaan Jaka kembali
berkata, "Contohnya Adik Pangeran memiliki pakaian yang bagus, kedudukan yang
dihormati. Ti- dak seperti kakak, yang tidak memiliki semuanya dan tidak ada artinya di mata
orang lain."
Pangeran Anggangga mengerti kini apa yang
dimaksud oleh Jaka Ndableg. Memang manusia
dikodratkan dengan kodratnya masing-masing.
Dirinya dihormati karena kedudukannya sebagai
seorang pangeran, tetapi dirinya tentu belum
mampu menghadapi segala apa yang mampu di-
hadapi oleh Jaka Ndableg.
Keduanya terus melangkah, makin lama lang-
kah mereka makin jauh meninggalkan kerumu-
nan rakyat. Tak begitu lama kemudian keduanya
sampai di alun-alun kerajaan. Dua orang prajurit nampak segera menghampiri, lalu
manakala melihat siapa yang datang keduanya segera me-
nyembah. "Duh Pangeran, sungguh ayahanda telah me-
nunggu," Prajurit itu berkata. "Pangeran dari ma-
nakah?" "Janganlah kalian bertanya dulu. Sekarang
katakan pada Ayahanda bahwa aku datang ber-
sama Kakak Pendekar," dengan lagak seorang pemimpin, Pangeran Kecil itu
memerintah pada
kedua prajuritnya. Hal itu menjadikan Jaka
Ndableg tersentak kaget.
"Bagaimana mungkin sifat bocah ini tidak berubah?" tanya Jaka dalam hati. "Ah,
kenapa aku mesti bodoh" Bukankah semua memang telah
menjadi didikannya?"
"Daulat, Pangeran!" Kedua prajurit itu kembali menyembah, lalu segera keduanya
bergegas pergi untuk melaporkan kedatangan pangerannya pada
sang Raja. * * * "Ada gerangan apakah kalian menghadapku?"
"Ampun, Baginda. Pangeran Anggangga telah
kembali." "Apa..." Anakku kembali?" tanya Raja dengan muka cerah, berbunga mendengar
anaknya yang diculik oleh hulubalangnya telah kembali. "Di mana dia?"
Kedua prajurit itu hendak berkata, manakala
Pangeran Anggangga tiba-tiba muncul. "Daulat Ayahanda, Ananda datang bersama
Kakak Pendekar."
"Anakku...!" Bagaikan rindunya tiada terkira sang Raja segera memburu ke arah
anaknya. Di-peluknya sang anak dengan segenap kerinduan.
"Oh, terima kasih pendekar. Mungkin tanpa per-tolonganmu anakku tak akan
selamat." Jaka tersenyum, menyembah dan berkata,
"Ah, kebetulan saja saya menemukan Adik Pangeran dalam keadaan bahaya, terbawa
oleh kereta dan kudanya yang liar."
"Jadi... jadi anakku ditinggalkan oleh Jalakatunda keparat itu?" sang Raja
nampak menggeretak marah mendengar penuturan Jaka Ndableg.
"Iblis laknat! Prajurit...! Cari Iblis itu sampai ke-temu, gantung dia di depan
alun-alun!"
"Daulat, Baginda!" Dua orang prajurit tadi menyembah, lalu segera keduanya
keluar mening- galkan Sitinggil di mana rajanya dan Jaka Ndab-
leg dan Rama Patih masih tampak duduk di situ.
"Siapakah engkau adanya, Tuan Pendekar?"
tanya sang Raja setelah kedua prajuritnya beranjak pergi. "Aku atas nama pribadi
dan kerajaan mengucapkan terima kasih.".
"Sudah menjadi tugas hamba, Baginda," jawab Jaka sambil menyembah. "Nama hamba
yang bodoh ini Jaka Ndableg."
Terbelalak mata Rama Patih dan Sri Baginda
demi mendengar nama pemuda yang berada di
hadapannya. Mulut mereka menganga, seperti
menunjukkan bahwa nama Jaka benar-benar te-
lah mereka kenal benar. Dan memang benar me-
reka telah mengenal nama pendekar muda terse-
but. "Ah...! Rupanya mataku yang tua ini yang tidak mau menyadari siapa adanya Tuan
Pende- kar," sang Raja berkata. "Maafkan segala kebodo-
han kami."
"Tidak mengapa. Bahkan hambalah yang se-
harusnya meminta maaf, atas segala kejadian
yang tidak mampu hamba atasi."
"Oh, sungguh mulia budimu, Tuan Pendekar."
Sang Raja segera beranjak dari singgasananya, la-lu bagaikan tidak merasa
canggung sang Raja
pun duduk di bawah di atas permadani di mana
Jaka Ndableg duduk.
"Ah, mengapa Baginda mesti turun?" Tanya Jaka jengah.
"Tidak mengapa. Bukankah Tuan Pendekar se-
lalu mengajarkan bahwa manusia itu sebenarnya
sama?" Sang Raja balik bertanya, nadanya men-gingatkan pada Jaka akan segala
petuahnya. "Nah, bukankah kita sama mahluk Tuhan?"
Jaka tersenyum menganggukkan kepalanya,
begitu juga dengan Sri Baginda yang telah duduk di hadapan Jaka sambil bersila.
"Memang begitu, Ayahanda. Kakak Pendekar
juga berkata begitu pada Angga," Anggangga ikut nimbrung berkata, menjadikan
Jaka Ndableg mau
tak mau harus mendesah. Kini dirinya benar-
benar serba salah. Mau merendah dan menolak,
jelas tidak mungkin, sebab Anggangga masih ke-
cil. Biasanya anak kecil tak akan mau berdusta.
"Kau bisa saja, Adik Pangeran," akhirnya Jaka hanya dapat berkata begitu. "Oh
ya, di manakah kedua gurumu, Adik?"
"Siapa yang Tuan Pendekar maksudkan?"
tanya Rama Patih.
"Itu Paman, Guru Jaladri dan Jaladru," jawab
Pangeran Anggangga. "Di manakah kedua guru-ku" Sungguh aku ingin bertemu dengan
mereka. Aku juga ingin memperkenalkan Kakak Pendekar
pada mereka."
"Ada, Pangeran. Keduanya tengah beristira-
hat." "Di manakah, Paman?" desak Pangeran Anggangga,
"Keduanya tengah berada di padepokannya."
"Dapatkah Paman memanggilnya?"
Jaka pandangkan matanya ke arah Pangeran
Anggangga, yang seketika tertunduk. Pangeran
Anggangga tahu bahwa ucapannya tadi kurang
berkenan pada Jaka Ndableg, maka dengan sege-
ra Pangeran Anggangga meminta maaf.
"Maafkan saya, Kakak Pendekar."
"Tak mengapa. Maafkan kelancangan hamba
yang berani mendidik putera Paduka. Hamba me-
lihat bahwa tindakan Adik Pangeran sangat tidak bijaksana. Kalaulah Paduka
menyalahkan hamba,
maka hamba siap menerima hukumannya," Jaka Ndableg berkata pada sang Raja
meminta maaf atas tindakannya yang telah lancang. "Sungguh itu semua hamba lakukan demi
kebaikan Adik Pangeran semata."
"Ah, tidak mengapa. Bahkan aku merasa ber-
terima kasih atas perhatian Tuan Pendekar pada
anakku," balas sang Raja. "Nah, Anggangga, sekarang kau akan dapat pendidikan
etika dan sopan
santun yang sangat berguna dari Tuan Pendekar.
Kau seharusnya berterima kasih padanya."


Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Daulat, Ayahanda."
"Aneh pendekar ini," gumam hati Rama Patih dalam hati melihat tindakan Jaka.
"Benar apa yang seringkali aku dengar, pendekar ini benar-benar aneh. Dia tak
akan mau melakukan apa
yang sekiranya tidak ia kehendaki. Tapi kini, se-cara tidak langsung ia telah
memberikan didikan pada Pangeran Anggangga."
Keempat orang itu terus bercakap dengan se-
kali-kali diikuti oleh gelak tawa mereka. Tengah keempatnya saling bertukar
pendapat, dua orang
dari luar tampak berjalan menuju ke arah situ.
"Sampurasun....'"sapa kedua orang yang tidak lain Jaladri dan Jaladru.
"Rampes....'" keempatnya segera menjawab.
"Guru...!" Suka cita seketika Pangeran Anggangga melihat gurunya datang. "Oh,
kita akhirnya dapat bersua kembali, Guru. Oh ya, akan
murid kenalkan pada guru sekalian teman mu-
rid." Dengan ketidak-mengertian, Jaladri dan Jala-
dru pun menurut manakala tangan mereka di-
gandeng oleh sang murid. Pangeran Anggangga
membawa kedua gurunya menuju ke tempat di
mana Jaka Ndableg dan ayahnya serta Patih Ra-
ma Patih berada. Kedua gurunya saling pandang
tak mengerti dengan kelakuan muridnya yang
menggandeng tangan mereka ke tempat ayahan-
danya yang saat itu tengah bercakap-cakap den-
gan seorang pemuda.
"Kakak Pendekar, ini guruku."
Jaka Ndableg segera palingkan muka melihat
ke arah datangnya Pangeran Anggangga. Seketika
Jaka menjura setelah bangkit dari duduknya. Tak alang kepalang kagetnya Jaladri
dan Jaladru manakala keduanya tahu siapa adanya pemuda yang
dikenalkan oleh muridnya tersebut. Mulut kedu-
anya menganga, mata keduanya melotot tak per-
caya. "Jaka Ndableg...!" Jaladri dan Jaladru memekik. "Oh, sungguh kami tidak
menyangka akan dapat bersua dengan Tuan Pendekar yang kondang dengan sebutan
Pendekar Pedang Siluman
Darah. Ampunilah kami. Sungguh kami tidak
memperhatikan senjata yang tergantung di pun-
dak tuan. Kalau kami boleh menerka, tentunya
senjata itulah Pedang Siluman Darah."
"Ah, ternyata mata kalian sungguh waspada.
Aku tak dapat menyangkalnya," jawab Jaka. Hal itu seketika menjadikan sang Raja
dan Rama Patih serta Pangeran Anggangga terbelalak. Betapapun mereka tidak
menyangka kalau pedang yang
tergantung di pundak Jaka Ndableg adalah Pe-
dang Siluman Darah yang telah menggegerkan
dunia persilatan.
"Jadi benar bahwa pedang yang berada di
pundakmu itu Pedang Siluman Darah?" tanya Ra-ja Sutrisna ingin meyakinkan.
"Begitulah, Baginda."
Raja Prabu Sutrisna mengangguk-anggukkan
kepalanya mendengar penuturan Jaka. Tak lama
kemudian semua yang ada di situ pun terlibat
pembicaraan. Keakraban segera menyelimuti me-
reka, termasuk Jaladri dan Jaladru. Walau Sepa-
sang Pendekar Kembar itu dulu merupakan sepa-
sang pendekar dari aliran sesat, namun kini
nampaknya keduanya sadar bahwa segala tinda-
kannya selama ini tiada guna.
"Bagaimana dengan Kitab Banyu Geni, Tuan
Pendekar?" Jaladri tiba-tiba mengalihkan pembicaraan pada Kitab Banyu Geni yang
telah dibakar oleh Jaka Ndableg. "Apakah Tuan Pendekar benar telah
mendapatkannya?"
Jaka Ndableg hendak menjawab, manakala
terdengar suara ribut-ribut di luar. Dua orang
prajurit kerajaan dengan tergopoh-gopoh masuk
dan menjura di hadapan mereka.
"Ada apa, Prajurit"' tanya Rama Patih. "Ampun Tuanku, seorang lelaki dengan muka
rusak tengah mengamuk di alun-alun," jawab dua orang prajurit tersebut dengan
tubuh gemetaran. Hal itu menjadikan Jaka Ndableg tersentak dan bertanya.
"Apakah lelaki itu bertindik?"
"Be... benar apa yang tuan katakan!"
Jaka tertegun, dugaannya benar bahwa orang
yang kini mengamuk tidak lain Sumping Tindik
adanya. "Ada apa orang itu mengamuk" Apakah dia mencariku?" tanya Jaka dalam
hati. Segera Jaka bangkit dari duduknya dan menjura hormat,
lalu bergegas Jaka yang diiringi oleh Jaladri dan Jaladru Gerta Rama Patih
meninggalkan ruangan
tersebut. Tak lama kemudian Sri Baginda dan
anaknya pun menyusul keluar.
* * * "Semua orang yang berada di dalam istana,
keluarlah!"
Sumping Tindik nampak mengamuk, tangan-
nya memukul setiap prajurit yang ditemuinya.
Kakinya juga tak urung menyepak dan menen-
dang ke arah para prajurit. Beberapa orang prajurit nampak telah tergeletak
sekarat, sementara
yang lainnya masih berusaha menghalau amukan
Sumping Tindik.
Empat orang prajurit maju dengan tombak di
tangan mereka, menyerang. Tombak di tangan
keempat prajurit itu menusuk ke arah tubuh
Sumping Tindik. Sumping Tindik segera cabut ka-
lung yang melilit di lehernya, lalu dengan kalung itu Sumping Tindik hadapi
serangan. "Wuuut! Wuuuuttt...!" Kalung yang terbuat da-ri baja dengan nama Kalung Setan
itu diputar kencang, menjadikan angin putarannya besar
menderu-deru ke arah musuh. Namun sepertinya
keempat orang prajurit itu tidak mengenal takut.
Keempatnya kembali tusukkan tombak di tangan
mereka. "Wuuuttt...!"
"Desssstttt...!"
"Praak! Prak! Prak! Praak...!"
Empat kali terdengar suara patahan tombak,
manakala Kalung Setan di tangan Sumping Tin-
dik beradu dengan tombak di tangan keempat
prajurit. Keempat prajurit itu nampak tersentak, lompat mundur dengan mata tak
percaya. Tombak di tangannya telah patah menjadi dua. Bukan itu saja, tangan
mereka seketika melepuh bagaikan terbakar.
"Aahh...! Racun!" seorang prajurit yang tahu bahwa kalung di tangan Sumping
Tindik beracun memekik. Wajahnya kini tampak pucat pasi. "Kita kena racun!"
"Hi, hi, hi...! Kalian tak akan dapat hidup lebih dari dua belas jam! Kalian
akan mati dengan tubuh hangus oleh racun yang ada di Kalung Se-
tanku. Hi, hi, hi...!" Sumping Tindik tertawa bergelak. "Sekarang kalian
minggatlah, katakan pada raja kalian agar secepatnya menyerah kalah!"
"Bangsat! Jangan kira semudah itu!" salah seorang keempat prajurit itu
membentak. "Lebih baik kami mati daripada harus mengaku kalah
olehmu, Iblis!"
"Hi, hi, hi...! Rupanya kalian prajurit-prajurit yang setia. Sayang, rajamu
tidak akan dapat menolong nyawa kalian!"
Mata keempat prajurit itu nampak merah me-
nyala, lalu dengan mendengus keempatnya kem-
bali berkelebat menyerang. Kini di tangan mereka telah tergenggam keris yang
sedari tadi terselip di pinggang.
"Langkahi mayat kami! Hiaaaattt...!"
Keempat prajurit keraton itu tusukkan keris
berbareng ke arah Sumping Tindik. Keempatnya
nampak kompak, bergerak dari empat penjuru
angin. Jurus yang mereka keluarkan adalah jurus Serigala Menyergap Mangsa, yaitu
sebuah jurus perang yang diajarkan oleh Jaladri dan Jaladru
selama kedua Pendekar Kembar itu mengabdi pa-
da kerajaan. Jurus yang mereka keluarkan sung-
guh jurus yang bukan sembarangan. Tapi kini
mereka bukan menghadapi musuh kelas kecoa
yang sekali gebrak saja mengkerut. Musuh yang
kini mereka hadapi adalah musuh dari golongan
kelas wahid pendekar, yang pernah malang melin-
tang dan menjagoi dunia persilatan pada ma-
sanya. Sumping Tindik nampak enteng saja menge-
lakkan tusukkan dan sabetan keris di tangan
keempat prajurit itu. Tubuhnya hanya bergoyang
bagaikan menari, namun goyangannya yang ke-
bencongan tersebut bukanlah goyangan semba-
rangan dan kaku. Dan karena kekakuannya itu
menjadikan angin kibasannya mampu menahan
setiap laju gerakan musuh.
"Hi, hi, hi...! Percuma! Percuma!" Sumping Tindik ngomel sendiri, tangannya
bergerak-gerak seakan menari. Tapi dari tangannya yang bergerak itu seketika
keluar larikan sinar putih kebiru-biruan. Sinar itu membersit berpuluh-puluh ba-
nyaknya menyerang keempat prajurit.
"Awas! Jarum beracun...!"
Tersentak keempat prajurit itu demi menden-
gar peringatan yang diteriakkan oleh seorang pemuda. Keempatnya hendak mengelak,
namun ternyata larikan jarum-jarum beracun itu jauh lebih cepat dibandingkan dengan
gerakan mereka.
Tanpa ampun, keempatnya seketika memekik.
Tubuh keempat prajurit itu seketika membiru, kejang sejenak dengan mata melotot,
lalu akhirnya mati dengan tubuh kaku.
"Iblis! Kejam!" pemuda itu yang tidak lain Jaka Ndableg memaki-maki demi melihat
kenyataan tersebut "Sumping Tindik, rupanya kecacatan mukamu tidak menjadikan engkau
sadar!" Sumping Tindik tengokkan mukanya meman-
dang ke arah suara itu. "Kau...?"
"Ya, aku!" jawab Jaka tenang, melangkahkan kakinya menghampiri Sumping Tindik.
"Kenapa kau ada di sini?"
"Itu urusanku, Sumping Tindik!" jawab Jaka kembali. "Tidak aku sangka, dulu kau
aku ampuni dengan harapan kau mau bertobat. Tapi ru-
panya bukan tobat yang engkau lakukan, malah
makin menjadi-jadi tindakanmu!"
Sumping Tindik menyengir kuda, sepertinya
tak gubris segala ucapan Jaka Ndableg. Sementa-
ra dari dalam keraton bermunculan Jaladri dan
Jaladru serta Rama Patih. Tidak ketinggalan Pra-bu Sutrisna dan Pangeran
Anggangga. Sumping
Tindik nampak makin tersentak manakala meli-
hat siapa-siapa yang datang. Mungkin kalau
hanya Rama Pati dan Rajanya ia tidak begitu ka-
get, tapi kini yang datang adalah orang-orang
yang kini namanya tengah meninggi.
"Jaladri, Jaladru, kenapa pula engkau berada di sini?" tanya Sumping Tindik
dengan nada kaget. "Apakah kalian telah hilang nyalinya hingga kalian rela
mengabdi pada kerajaan yang tak mau diuntung ini?"
Kalau saja Jaladri dan Jaladru tidak melihat
adanya Jaka Ndableg di situ, mungkin keduanya
akan melabrak mulut Sumping Tindik yang ku-
rang ajar tersebut. Namun dikarenakan ada Jaka
Ndableg, keduanya kini benar-benar menahan
amarahnya. Hal itu menjadikan Sumping Tindik
yang merasa cemoohannya berhasil makin men-
jadi-jadi. "Huh! Kalian memang bangsa penjilat!"
"Tutup bacotmu, Bujang Lapuk!" Jaladru yang panasan memaki dengan sebutan Bujang
Lapuk. Dan hal inilah yang menjadikan Sumping Tindik
tak mau menerima.
"Bangsat! Aku bunuh kau, Monyet! Hu, hu,
hu...!" Tanpa hiraukan Jaka, Sumping Tindik seketika menyerang Jaladri dan
Jaladru dengan Ka-
lung Setannya. "Wuuut...!"
Kalung Setan itu membersit, menyerang ke
arah Jaladri dan Jaladru. Segera Sepasang Pen-
dekar Kembar itu lemparkan tubuh ke samping
mengelakkan serangan. Kalung Setan melesatkan
angin yang lolos beberapa senti saja di tengah-
tengah mereka. "Wuuut...!" kembali Kalung Setan mencerca, seakan tidak menghendaki musuh dapat
mengatur posisi. Tapi kedua Pendekar Kembar itu bu-
kanlah pendekar-pendekar kelas kroco. Walau
mereka tahu siapa lawan yang tengah mereka ha-
dapi, namun keduanya tak akan gentar sedikit-
pun apalagi kini ada Jaka Ndableg yang tentunya akan membantu mereka.
"Srang...!" Terdengar bunyi pedang dicabut da-ri sarungnya manakala tangan kedua
Pendekar Kembar itu meraba gagang pedang.
"Hati-hati, Sumping Tindik! Kami tidak akan main-main!" Jaladru menggeretak,
lalu dengan secepat kilat ia berkelebat dengan pedang siap
membabat. Jurus pedang kedua pendekar kakak
beradik kembar itu sudah terkenal, tak dapat dis-angkalkan kehebatannya. Kini
keduanya benar-
benar telah mengeluarkan jurus-jurus tersebut.
Pedang di tangan keduanya bergerak cepat laksa-
na gasing. Pedang itu bagaikan menghilang, be-
rubah menjadi warna-warna putih perak.
"Wuuuutttt...!"
"Wuuuutttt...!"
Keduanya berkelebat bareng, tusukkan pe-
dang ke arah tubuh Sumping Tindik. Sumping
Tindik yang sudah tahu kehebatan ilmu pedang
mereka segera putar kalungnya. Kini kalung di
tangan Sumping Tindik berputar cepat, sama ce-
patnya dengan putaran pedang kedua pendekar
kembar tersebut.
"Hiiiiaaaattt...!"
"Hiiiaaatttt...!"
Tiga sosok tubuh itu berkelebat cepat, saling
mencelat ke udara dengan keadaan siap tempur.
Senjata di tangan ketiganya nampak bergerak
dengan cepatnya. Dua pasang pedang di tangan
Jaladri dan Jaladru menusuk dengan jurus Dewa


Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pedang Menghancurkan Karang.
Melihat hal tersebut, dengan segera Sumping
Tindik putar Kalung Setannya membentuk jurus
Lingkaran Setan Memagar Neraka. Sebuah jurus
yang sangat dibanggakan oleh para pendekar ali-
ran sesat, yang diciptakan sendiri oleh Sumping Tindik. Gerakan Sumping Tindik
nampak kaku, namun mengandung kelicikan.
"Hati-hati, Adik," Jaladri memperingatkan.
"Baik, Kakang! Kita serang. Hiaaattt...!"
Dua kakak beradik kembar itu mencelat den-
gan pedang masing-masing mengkiblat ke arah
musuh. Gerakan keduanya bagaikan menggunt-
ing. Pedang di tangan keduanya saling menyilang, menjadikan mata pedang kini
saling berhadapan.
"Hiiiaaattt...!"
"Puntung...!" Jaladru membentak. "Wuuut...!"
"Trang...!" Dua pedang di tangan kedua kakak beradik itu kini saling bertemu.
Kalau orang lain, jelas akan puntung tubuhnya terkena sabetan
pedang mereka. Namun kini bukanlah Sumping
Tindik kalau tidak mampu mengelakkannya. Tu-
buh Sumping Tindik mencelat ke udara, manaka-
la pedang keduanya saling bertemu. Gerakan le-
laki bencong itu begitu gesit, hampir sulit dipercaya. Malah kini Sumping Tindik
tertawa berge- lak-gelak dengan tubuh nangkring di atas wu-
wungan keraton.
"He, he, he...! Kalian kira kalian mampu mengalahkan aku, heh!" Sumping Tindik
mengejek. "Turun kau, Bujang Lapuk!" maki Jaladru.
"Bangsat! Dua kali kau menghinaku! Hiaat...!"
Sumping Tindik bukan alang kepalang marahnya,
sehingga dengan geram tubuhnya menyelorot ke
bawah. Kalung Setan kini berputar dengan cepat.
Tubuh Sumping Tindik kini bagaikan terbang,
melaju ke arah dua kakak beradik kembar yang
sudah siap menyambutinya.
"Mati Kowe!" Sumping Tindik kibaskan tangan, berbareng dengan hantamkan Kalung
Setannya. Angin seketika menderu, bersamaan dengan men-
celatnya larikan sinar putih kebiru-biruan dari balik lengan baju Sumping
Tindik. Jaka Ndableg masih berusaha diam, menyak-
sikan pertarungan dua tokoh yang tadinya satu
golongan itu bertempur. Jaka tidak mau ikut
campur dulu, sebab ia merasa Jaladri dan Jala-
dru akan mampu mengatasinya. Namun dugaan-
nya sungguh meleset, ternyata Sumping Tindik
benar-benar licik. Jaladri dan Jaladru yang me-
nyangka kalau Sumping Tindik tidak akan men-
geluarkan jarum-jarum beracunnya, tampak
hanya memperhatikan Kalung Setannya dan be-
rusaha menangkis manakala kalung tersebut me-
nyerang. Tapi, dugaan mereka meleset. Manakala
keduanya sibuk, Sumping Tindik segera serang
keduanya dengan jarum-jarum beracun.
"Licik!" Jaka yang melihat hal tersebut segera berkelebat, babatkan Pedang
Siluman Darah. "Traangg...!"
Jarum-jarum beracun itu seketika runtuh ter-
tebas Pedang Siluman Darah. Hal itu menjadikan
Sumping Tindik mencelat mundur tersentak. Ma-
tanya kini memandang tajam pada Pedang Silu-
man Darah di tangan Jaka. Pedang yang telah
menggegerkan dunia persilatan. Dari ujung pe-
dang nampak mengalir darah merah membasahi
batangnya. "Pedang Siluman Darah!" Sumping Tindik dan yang melihat di situ terkesiap
menyaksikan pedang tersebut.
"Sumping Tindik, aku sarankan kau menye-
rahlah!" Jaka Ndableg masih berusaha menahan kemarahan.
"Huh! Jangan harap, Jaka!" balas Sumping Tindik. "Jangan mengira kau akan mampu
mengalahkan aku kembali, Jaka!"
Jaka Ndableg memalingkan muka pada Jaladri
dan Jaladru untuk meminta saran. Jaladri dan
Jaladru hanya mengangguk, dan hal itu telah cu-
kup bagi Jaka untuk bertindak. Namun Jaka bu-
kanlah orang sombong. Walaupun ia berilmu
tinggi, namun ia tidak mau begitu gegabahnya
untuk bertindak.
"Sumping Tindik, apakah kau tidak mau sa-
dar?" "Huh! Sok suci!"
Sumping Tindik yang memang mendendam
pada Jaka tidak membuang-buang kesempatan.
Segera dengan Tasbih Setannya ia berkelebat me-
nyerang. Diserang begitu rupa, tidak menjadikan Jaka
Ndableg gentar. Bahkan dengan entengnya Jaka
elakkan hantaman Kalung Setan Sumping Tindik
dengan hanya egoskan kepalanya. Tubuh Jaka
merunduk, lalu dengan segera tusukkan Pedang
Siluman Darah ke arah lambung Sumping Tindik.
"Ah...!" Sumping Tindik mengeluh tertahan, urungkan serangannya, tolakan tubuh
ke belakang. Tubuh Sumping Tindik mencelat ke bela-
kang, lalu dengan masih terbang diputarkannya
Kalung Setan di tangannya.
"Wuuuttt...!"
Jaka tersentak, rundukkan badan menge-
goskan hantaman Kalung Setan. Hampir saja ke-
pala Jaka terhantam, kalau tidak segera Jaka kib-latkan Pedang Siluman Darah ke
atas. Hal ini menjadikan Sumping Tindik kembali urungkan
penyerangan. Tapi dengan cepat Sumping Tindik
kirimkan jarum-jarum beracun ke arah Jaka.
"Pengecut!" Jaka Ndableg memaki, kibaskan Pedang menangkis.
"Trang...!"
Jarum-jarum itu runtuh berjatuhan dengan
patah menjadi dua terbabat Pedang Siluman Da-
rah. Jaka segera lompat mundur, begitu juga
dengan Sumping Tindik. Senjata di tangan kedu-
anya kini dimasukkan kembali ke sarungnya.
Keduanya saling memasang kuda-kuda. Mata
keduanya saling pandang. Ketegangan kini terja-
di, begitu juga dengan semua yang berada di situ.
Kini semua mata melihat pada dua sosok tubuh
yang saling diam tanpa reaksi. Rupanya kedua
orang berilmu tinggi tersebut tengah merapalkan segala ajian yang keduanya
miliki. "Jaka Ndableg, sudah siapkah engkau mati"!"
Sumping Tindik berkata mengejek.
"Sumping Tindik, tidak salahkah engkau berbicara?" Jaka balik bertanya. "Aku
kira, kaulah yang harus berpikir, Sumping!"
"Keluarkan ilmumu, Jaka!" Sumping Tindik masih bersuara. "Nah, terimalah
kematianmu! Terimalah Ajian Begal Nyawa! Hiaaaattttt...!"
Tubuh Sumping Tindik mencelat hendak me-
nyerang ke arah Jaka. Sementara Jaka sendiri
nampak masih terpaku diam pada tempatnya.
Tangannya menyilang bersedakap, menjadikan
semua yang menyaksikan tampak was-was. Tu-
buh Sumping Tindik yang dengan tangan memba-
ra telah melesat dan hampir sampai pada tubuh
Jaka Ndableg. "Aah, mengapa Jaka diam saja?" Jaladru dan Jaladri nampak was-was. Keduanya
takut kalau-kalau tubuh Jaka akan hancur terhantam Ajian
Begal Nyawa. "Hoaaarrrr...! Dewa Api...!"
Tubuh Jaka Ndableg seketika itu menyala dari
ujung rambut ke ujung kaki. Api membakar tu-
buhnya, menyala-nyala. Kini Jaka benar-benar telah menjadi Dewa Api, yang siap
membakar sega- la apa saja yang ada.
Tersentak semuanya termasuk Sumping Tin-
dik. Sumping Tindik bermaksud mengurungkan
serangannya, akan tetapi tubuhnya telah melaju dengan cepatnya dan sukar untuk
dihentikan. Maka tak ayal lagi tubuh Sumping Tindik melesat ke arah tubuh Dewa Api yang
nampak membara dengan api menjilat-jilat.
Dan ketika tubuh Sumping Tindik menempel
di tubuh Jaka yang telah menjadi Dewa Api, seketika Sumping Tindik menjerit
kepanasan. "Aaaaaa....!" Tubuh Sumping Tindik lengket dengan tubuh Jaka yang masih membara.
Lalu setelah menjadi arang, tubuh Sumping Tindik
mencelat ke udara.
"Hoooaaaarrrr...!" Jaka Ndableg hantamkan pukulan Inti Apinya ke arah tubuh
Sumping Tindik.
"Duaaar...!" Hancur lebur tubuh Sumping Tindik menjadi debu. Semua yang
menyaksikan me-
mejamkan matanya, manakala debu-debu itu
berhamburan pecah dari tubuh Sumping Tindik.
Benar-benar dahsyat dan mengerikan. Perlahan
Jaka berubah kembali pada bentuk asalnya, ma-
nakala tubuh Sumping Tindik benar-benar telah
sirna. Bersamaan dengan hilangnya api di tubuh
Jaka, seketika tubuh Jaka menghilang entah ke
mana. 6 Sepeninggalan Jaka Ndableg, nampak di Kera-
jaan Bumi Jawa tiga mahluk dua manusia dan
seekor kera datang. Kedatangan mereka bagaikan
atas perintah seseorang. Tiga mahluk dengan dua manusia itu tidak lain Kera
Siluman dan dua
kambratnya yaitu Jantrang atau Jalakatunda dan
Taka Moro, orang yang berpakaian serba merah
dan muka tertutup lilitan kain merah pula. Dialah Si Ninja Merah!
"Ada keperluan apa kalian datang?" tanya Ra-ma Patih yang menyambut kedatangan
ketiga orang, dengan salah seorang di antara mereka ia kenal bernama Jalakatunda. "Dan
kau Jalakatunda, kau harus mempertanggung jawabkan tin-
dakanmu!" "Nguuuk...!" Kera Siluman menggeretak, sepertinya memendam hawa permusuhan pada
sege- nap yang ada di situ. Berdiri di belakang Rama
Patih, dua orang pendekar dengan wajah kembar
yang tidak lain Jaladri dan Jaladru.
"Kera inikah yang dinamakan Kera Siluman?"
tanya Jaladru pada kakaknya. "Benar, Adik."
"Hem, mau apa mereka ke mari" Dan apakah
Jantrang keparat itu hendak menyerahkan di-
rinya?" kembali Jaladru bertanya. "Jantrang, kau datang tepat pada waktunya. Kau
harus mempertanggung-jawabkan segala tindakanmu yang pen-
gecut itu!"
"Enak kau ngomong, kawan!" Jantrang menyeringai. "Nanti kalian akan segera tahu
siapa adanya aku!"
"Bangsat! Jadi kau menantang kami, Jan-
trang!" Jaladru menggeretak marah.
Jantrang nampak masih tersenyum, sementa-
ra Taka Moro yang berdiri di depan dengan Kera
Siluman nampak masih tenang. Matanya yang
nampak dari lubang tudungnya mengawasi para
prajurit yang berada di situ. "Aku rasa, tentunya sebentar lagi akan terjadi
pertarungan besar,"
gumam hati Taka Moro. "Hem, para prajurit kerajaan ini nampaknya telah siaga
untuk menghada-
pi kami." Dan apa yang dibayangkan oleh Taka Moro
benar adanya, karena dalam sekejap saja, mana-
kala Rama Patih menyerukan untuk menangkap
mereka seketika para prajurit yang sudah siap
siaga itu bergerak mengurung. Taka Moro cabut
samurainya dan dengan penuh kewaspadaan
menghadapi musuh-musuh yang kini mengelilingi
dirinya. "Serbuuuu...!" Rama Patih berseru, yang dengan segera dilaksanakan oleh seluruh
prajuritnya menyerang. Senjata-senjata di tangan para prajurit itu berkelebat
menyerang ketiganya. Dengan
segera ketiga orang utusan Dewi Cendana Biru itu berkelebat mengelakkan serangan
dan sesekali membalas. Setiap balasan mereka menjadikan
pekikan kematian bagi yang terkena tendangan
ataupun pukulan kaki dan tangan ketiga orang
tersebut. Apalagi Taka Moro dengan samurainya,
nampak beringas dan haus darah samurai di tan-
gannya. Setiap kali samurai tersebut berkelebat, setiap kali itu juga nyawa
musuh melayang. Ada
yang puntung lehernya, terbabat muncrat perut-
nya, ataupun morat marit keadaan tubuh mu-
suhnya terbeset-beset samurainya.
Melihat para prajurit banyak yang jadi korban,
segera kedua Sepasang Pendekar Kembar berke-
lebat menghadang. Keduanya sudah terkenal
akan kehebatan ilmu pedangnya. Bahkan kedua-
nya pernah mempecundangi Takasima atau pim-
pinan Ninja Hitam dengan mata kiri hancur. Kini keduanya telah terjun menghadang
ketiga utusan Dewi Cendana Biru. Namun keduanya juga Raka
Barka yang saat itu turut membantu harus me-
mikirkan siapa adanya Kera Siluman.
Mungkin mereka mampu mengalahkan Taka
Moro dan Jantrang atau yang lainnya, tapi den-
gan Kera Siluman yang di dalam raganya terdapat sukma Raden Sukra, mereka harus
berpikir. "Ninja Merah, kau adalah musuhku, bukan
musuh prajurit-prajurit yang tidak tahu apa-apa!"
bentak Jaladru. Sedangkan Jaladri kini mengha-
dapi Jantrang. Raka Barka tak mau ketinggalan,
ia dengan para prajurit dan Rama Patih kini
menghadapi Kera Siluman.


Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertarungan orang-orang gagah yang sudah
sekian lama malang melintang di dunia persilatan kini terjadi. Jaladru yang
berilmu tinggi, tidak memberikan pada Ninja Merah atau Taka Moro
sekali pun untuk dapat membalas menyerang.
Pedang di tangan Jaladru bagaikan mempunyai
mata. Pedang tersebut mencerca pada lambung
lawan. Hal itu menjadikan Taka Moro harus be-
rupaya mengimbanginya.
"Wuuuutttt...!" samurai di tangan Taka Moro berkelebat mencoba membabat pedang
di tangan Jaladru yang kini siap membabat tubuhnya.
"Traanggg...!" Dua pedang itu bertemu, menempel menjadi satu. Mata keduanya
saling pan- dang, seakan keduanya kini saling menilai sebe-
rapa tinggi ilmu yang dimiliki lawan. Keringat ber-cucuran dari pelipis Jaladru
dan Taka Moro. Tangan keduanya bergetar.
"Hiiiaaatttt...!" Taka Moro lepaskan samurai, lalu dengan cepat kibaskan samurai
tersebut membentuk lingkaran.
Jaladru segera lompat ke belakang, lalu den-
gan cepat pula pedang di tangannya silangkan ke depan dada. Mata Jaladru tajam
memandang pa-da musuh. Pedang yang menyilang itu perlahan
membuka, itulah jurus Pedang Seriti Menjepit
Mangsa. Sebuah jurus pedang yang sudah tingkat
tinggi. Mungkin kalau musuh yang tidak tahu, akan
menyangka bahwa gerakan tersebut adalah gera-
kan nekat. Namun bila yang mengerti akan ilmu
pedang, mereka akan berpikir tujuh kali untuk
melakukan penyerangan. Kelihatannya memang
pertahanan Jaladru terbuka, akan tetapi sesung-
guhnya perkembangan jurus tersebut sangatlah
berbahaya. Dan benar! Manakala Taka Moro bergerak me-
nyerang dengan samurainya, secepat kilat Jala-
dru silangkan gerak pedang. Pedang di tangan Jaladru sungguh aneh gerakannya.
Gerakan pedang itu mengidal, namun angin yang keluar mampu
menggetarkan samurai di tangan Taka Moro. Taka
Moro mencoba terus mencerca, disodokkannya
pedang samurai di tangannya ke arah tenggoro-
kan lawan. Namun sungguh tak terduga Jaladru
telah mendahului berkelebat dengan gerakan pe-
dang membabatkan lehernya.
"Ah!" Taka Moro tersentak memekik tertahan, urungkan niatnya menyerang. Samurai
di tangannya ditarik kembali, lalu dengan bersalto ia elakkan serangan.
Sementara di tempat lain, nampak Kera Silu-
man yang sudah dititisi oleh Raden Sukra nam-
pak menghadapi pengeroyokan para prajurit kera-
jaan dengan entengnya. Tubuh Kera Siluman me-
lompat ke sana ke mari, lalu dengan garuk-garuk tubuh tangannya bergerak
menyambit. "Wuuuttt...!" Angin sampokan tangan Kera Siluman menderu, menjadikan
pengeroyoknya mau
tidak mau harus menghindar. Namun belum juga
mereka hilang kagetnya, dengan cepat Kera Silu-
man telah melompat menyerang mereka kembali.
Gerakan tangan dan kaki Kera Siluman itu sung-
guh cepat, hingga sukar untuk dielakkan oleh
musuhnya. Tangan Kera Siluman itu kembali
menyampok ke arah seorang prajurit. Prajurit itu bermaksud membalasnya dengan
tusukan tombak, namun sungguh di luar akalnya, tiba-tiba
Kera Siluman telah mendahuluinya. Kini tangan
berkuku hitam panjang dan tajam itu telah leng-
ket di leher prajurit tersebut.
"Ngguuuukkkk...!"
"Cepat serang dia!" Rama Patih memerintahkan pada anak buahnya. Dengan segera
anak buahnya berkelebat babatkan golok ke arah Kera
Siluman, namun sungguh sial. Kera Siluman
yang telah tahu dirinya terancam balik menyerang pada orang yang hendak
membacokkan goloknya.
Tak ampun lagi, orang tersebut seketika panik.
Golok di tangannya bergerak liar, sehingga tanpa ia sadari, golok di tangannya
telah membacok rekannya sendiri.
"Aaaaaaaa...!" tubuh prajurit yang terkena ba-cokan temannya untuk sesaat
memekik, kejang
dan akhirnya ambruk dengan darah deras men-
gucur lalu akhirnya mati. Sementara prajurit
yang satunya kini nampak panik ketakutan dis-
erang dengan cercaan yang bertubi-tubi. Prajurit lainnya berusaha membantu, tapi
akibatnya malah temannya sendiri yang terkena tusukan tom-
baknya. Kacau balau pertahanan para prajurit di bawah pimpinan Patih Rama Patih.
Amukan Kera Siluman sungguh dahsyat, hampir setiap cakaran
dan sampokan tangan serta kakinya menjadikan
jerit para prajurit.
"Kepung Kera Edan ini!" Rama Patih memerintahkan. Seketika para prajurit
mengepung Kera Siluman. Serentak itu pula para prajurit dibantu oleh Raka Berka menyerang Kera
Siluman. Tapi diserang begitu rupa tidak menjadikan Kera Si-
luman keder. Bahkan dengan garuk-garuk badan
Kera Siluman melayani serangan mereka. Tangan
kanannya yang tidak menggaruk diarahkan, lalu
dengan menggeruk Kera Siluman yang tidak diki-
ra oleh para prajurit mampu mengeluarkan puku-
lan jarak jauhnya hantamkan tangannya.
"Wuuusssttt...!" Angin pukulan keluar dari telapak tangan Kera Siluman. Dan
seketika meme- kiklah sepuluh prajurit yang terhantam angin pukulan tersebut. Tubuh kesepuluh
prajurit tersebut mental ke belakang dengan dada bagaikan
tertimpa ribuan kati. Tulang iga mereka remuk,
dari mulut keluar darah segar. Sesaat kesepuluh prajurit itu meregang, lalu
terkulai dengan nyawa melayang. Dada mereka menggurat gambar telapak tangan
menghitam legam.
"Tapak Wisa...!" Rama Patih memekik demi melihat jenis pukulan yang dilontarkan
Kera Siluman. "Dari mana Kera Iblis ini mendapatkan pukulan Tapak Wisa?"
"Bukankah ia asuhannya Dewi Cendana Biru,
Paman?" Rama Patih angguk-anggukkan kepala demi
mendengar penuturan Raka Berka. Kini ia baru
ingat bahwa kera itu adalah asuhan Dewi Cenda-
na Biru istri Raden Sukra.
"Nguuuk! Nguuuk! Nguuuk...!" Kera Siluman nampak menari-nari melihat hasil dari
pukulannya. "Kera Iblis! Jangan bangga dulu, Kunyuk! Kau harus mampus di tanganku!
Hiaaaatttt...!" Rama Patih yang sudah marah dengan segera menyerang Kera
Siluman. Jurus-jurus andalannya se-
perti Topan Menghalau Naga Menderu, terarah ke
arah Kera Siluman. Namun bagaikan tak menghi-
raukan Kera Siluman nampak melompat ke atas,
dan dengan entengnya berjumpalitan menghin-
dar. Bahkan kini Kera Siluman itu menderu ke
arah Rama Patih. Tangannya yang berkuku hitam
dan tajam itu nampak siap mencengkeram leher
Rama Patih. Rama Patih segera egoskan tubuh ke
samping, hingga hanya beberapa senti saja tan-
gan Kera Siluman melesat di sisi tubuhnya.
"Kunyuk! Serang Kera Iblis itu!" kembali Rama Patih memerintah. Dan walaupun
dalam keadaan takut, para prajurit itu segera menjalankan tu-
gasnya. Para prajurit kerajaan itu kembali berkelebat menyerang Kera Siluman.
* * * Jaladri yang ilmunya memang berada di atas
Jantrang beberapa tingkat, nampak tidak menga-
lami kesusahan untuk mendesak musuhnya. Ja-
ladri kini nampak berkelebat-kelebat dengan pe-
dang di tangannya.
"Menyerahlah kau, Jantrang!" Jaladari memperingatkan.
"Jangan harap!"
"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus, Ib-
lis!" Jaladri kini kembali berkelebat, pedangnya menyambar-nyambar bagaikan
sebilah pedang bermata. Ya, pedang di tangan Jaladri bagaikan
memiliki mata sendiri. Pedang itu nampak buas
dan ganas. Jaladri kibaskan pedang ke arah tu-
buh Jantrang, menjadikan Jantrang harus men-
guras tenaganya untuk mengelak. Keringat dingin mengucur deras di tubuh
Jantrang. Ia tahu kalau Jaladri bukanlah tandingannya, tapi bila ia harus
mengalah begitu saja, jelas ia akan mendapat
murka Sri Ratu Dewi Cendana Biru.
Jaladri bagaikan kesetanan, mencerca Jan-
trang dengan tusukan dan tebasan pedangnya.
Tinggallah Jantrang harus berusaha mengelakkan
atau menangkis pedang di tangan Jaladri. Tapi bi-la keduanya saling adukan
pedang, seketika tan-
gan Jantrang bagaikan perih terasa. Tenaga da-
lam yang ia miliki jauh berada di bawah Jaladri yang memang merupakan tokoh
silat yang sudah
mempunyai nama.
"Aku pcringatkan sekali lagi, menyerahlah!"
"Tidak!"
"Hem, rupanya kau benar-benar mencari ma-
ti!" Jaladri menderak, lalu dengan melentingkan tubuhnya Jaladri bergerak
terbang. Pedang di
tangannya kini mengkiblat ke arah muka Jan-
trang. Jantrang berusaha mengelakkannya na-
mun secepat angin Jaladri yang menggunakan ju-
rus Sapuan Dewa Pedang bergerak dengan cepat
sukar diduga. Pedang di tangannya kini tampak
menghilang, dan tiba-tiba....
"Aaaaaa...!" Jantrang memekik, pedang di tangan Jaladri ujungnya kini nancap di
mata sebelah kanan. Dengan segera Jaladri cabut pedangnya,
menjadikan Jantrang makin menyayat jeritannya.
"Uaaaaa...!"
Darah muncrat dari mata kanan Jantrang
yang hancur. Tubuh Jantrang menggelepar-
gelepar, tangan kanannya segera mendekap ma-
tanya yang hancur. Dengan berguling-guling Jan-
trang yang sekarat berusaha mempertahankan di-
ri. Namun bagaikan tak kenal rasa kasihan Jala-
dri kembali tancapkan pedangnya ke arah tubuh
Jantrang. Untuk kedua kalinya Jantrang menje-
rit, sebelum akhirnya kejang sesaat dan mati.
Bersamaan dengan matinya Jantrang, tiba-
tiba berhembus angin besar menerpa mereka.
Semua yang bertarung tersentak kaget. Namun
belum juga mereka dapat tahu apa yang menjadi
sebab, tiba-tiba sebuah bayangan berwarna biru
telah mendahulukan serangan yang ditujukan
pada Jaladri. Tanpa ampun lagi, Jaladri yang tidak menyangka akan diserang
begitu rupa tak
dapat mengelak. Jaladri terpental ke belakang.
Dadanya terasa sakit dan sesak. Namun begitu
Jaladri berusaha membalas menyerang.
"Kuntilanak! Hiaaaattt...!" Jaladri hantamkan tangannya ke arah bayangan biru
tersebut. Tapi bagaikan tak merasa apa-apa, bayangan biru itu
kibaskan tangannya memapaki serangan Jaladri.
Dan untuk kedua kalinya Jaladri memekik, tu-
buhnya bagaikan hangus terbakar.
Jaladru yang mendengar pekikan kematian
kakaknya seketika alihkan perhatiannya ke arah
datangnya suara tersebut. Hal itu menjadikan
makanan empuk bagi Taka Moro. Tanpa menyia-
nyiakan kesempatan Taka Moro segera babatkan
samurainya ke arah tubuh Jaladru.
"Wuuuuuttttt...!"
"Craassss...!"
"Aaaaaa...!" Jaladru memekik, sesaat lalu ambruk dengan tubuh puntung menjadi
dua. Di pi- hak lain kini Kera Siluman nampak makin meng-
gila setelah tahu siapa yang datang. Kera Siluman yang di tubuhnya bersemayam
sukma Raden Sukra, nampak dengan penuh semangat lancarkan
segala pukulan yang dimiliki. Maka dalam sekejap saja para prajurit dibikin
bulan-bulanan. Yang lebih tragis adalah Raka Berka. Kepala Raka Berka dicopotnya
dari leher, lalu bagaikan bola kepala itu ditendangnya.
Morat maritlah pertahanan kerajaan, apalagi
dengan matinya dua pendekar yang menjadi tum-
puan mereka. Kini dengan beringas para iblis di bawah pimpinan Dewi Cendana Biru
mengobrak-abrik pertahanan kerajaan.
Sebelum ketiga orang yang menggila itu me-
nyerang ke dalam, dengan cepat Patih Rama Patih berkelebat. Patih itu dengan
cepat membawa tubuh Pangeran Anggangga pergi. Dan manakala
ketiga iblis tersebut menjarah masuk, ketiganya
hanya menemukan raja yang tampaknya pasrah,
sementara Pangeran Anggangga dan Rama Patih
telah menghilang entah ke mana.
Dendamnya pada Raja Sutrisna telah menja-
dikan mata gelap Dewi Cendana Biru. Dengan pe-
nuh dendam itu Dewi Cendana Biru perintah-kan
pada Taka Moro untuk memenggal kepala Prabu
Sutrisna yang pasrah.
"Taka, penggal kepalanya dan gantung di alun-alun!"
Taka Moro sejenak memandang pada Dewi
Cendana Biru, nampaknya Taka Moro ragu, na-
mun Dewi Cendana Biru pelototkan matanya
hingga membuat Taka Moro akhirnya mengalah.
Perlahan Taka Moro berjalan mendekat, tapi be-
lum juga Taka Moro sampai, tiba-tiba dengan
pengecut Dewi Cendana Biru hantamkan pukulan
tenaga dalamnya. Taka Moro sesaat memekik,
ambruk dengan mulut keluar darah. Mata Taka
Moro nampak mendelik, lalu dari mulutnya yang
keluar darah terdengar caci maki yang ditujukan pada Dewi Cendana Biru.
"Kau...! Kau tidak lebih seorang iblis!"
"Mampuslah kau orang Nippon!"
"Bangsat! Kau harus mampus denganku!" Ta-ka Moro yang sudah luka berusaha


Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangkit. Dan setelah mampu, segera Taka Moro babatkan sa-
murainya menyerang. Namun belum juga Taka
Moro dapat berbuat, tiba-tiba Prabu Sutrisna telah menusukkan kerisnya dari
belakang. Tak ayal lagi Taka Moro pun akhirnya ambruk terkulai di
tanah mati. "Bagus, Kakang! Kau telah menyelesaikan tu-gasmu! Sayang bocah itu dapat
selamatkan diri,"
Dewi Cendana Biru berkata pada Prabu Sutrisna,
lalu dengan penuh kerinduan Dewi Cendana Biru
segera memeluk tubuh Prabu Sutrisna.
"Nguuuk...!" Kera Siluman nampak belingsa-tan melihat Dewi Cendana Biru tiba-
tiba berpelukan dengan Prabu Sutrisna yang ia ketahui ada-
lah musuhnya. "Nguuuk...!"
Dewi Cendana Biru lemparkan senyum ke
arah Kera Siluman, lalu dengan congkaknya sang
Dewi pun berkata: "Minggatlah kau ke akherat sana, sebab aku kini telah mampu
mengelabui orang-orang yang menghormatimu! Ketahuilah,
aku dan kakang mas Sutrisna telah sekongkol
untuk meracunimu! Hua, ha, ha...!"
"Ngguuuukkk...!" Kera Siluman menangis, lalu bagaikan menyesal kera itu
berkelebat pergi tinggalkan keraton dengan membawa derita di ha-
tinya. Bersamaan dengan perginya Kera Siluman
terdengar suara seseorang berkata. "Dewi Iblis!
Aku akan membalas segalanya! Aku akan mem-
balas segala perbuatan kalian! Tunggulah keda-
tangan Pendekar Pedang Siluman Darah. Bersa-
manya aku akan memakan jantungmu, Dewi Ib-
lis!" Dewi Cendana Biru dan Prabu Sutrisna ganda tertawa, sepertinya ucapan Kera
Siluman atau Raden Sukra tiada artinya sama sekali bagi mere-ka. Malah dengan congkak
keduanya berseru
membalas. "Kami tak akan kalah oleh siapapun!
Sebab kami memiliki Ajian Pelenyap Sukma!
Panggillah pendekar di seantero jagad, aku dan
kekasihku tak akan mengalah! Hua, ha, ha...!"
Dengan tenangnya kedua iblis berbentuk manusia
itu berlalu masuk ke dalam kamar, di mana ke-
nangan sepuluh tahun silam telah menggayut.
Kenangan di mana awal pertama kali keduanya
dengan sembunyi-sembunyi melakukan apa yang
seharusnya tidak mereka lakukan. Dan kini ke-
duanya pun melakukannya lagi, mungkin untuk
selamanya sebelum ada orang yang membuka ta-
bir siapa adanya kedua orang tersebut.
7 Jaka Ndableg yang tengah berjalan-jalan me-
nikmati suasana pagi yang indah itu seketika
hentikan langkah manakala tampak olehnya dari
depan seorang lelaki dengan menggendong tubuh
bocah kecil berlari-lari. Nampaknya lelaki itu telah lama berlari, sehingga di
wajahnya nampak
keletihan. Jaka tersentak setelah tahu siapa
adanya lelaki tersebut, yang tidak lain Rama Patih adanya. Segera Jaka Ndableg
pun berkelebat menyambut kedatangannya.
"Paman Rama Patih...!"
Rama Patih hentikan langkahnya manakala di-
lihatnya Jaka Ndableg telah berdiri menghadang
langkahnya. "Jaka..."!"
"Ada gerangan apa Paman dan Pangeran berla-ri-lari?" tanya Jaka ingin mengerti.
Rama Patih sejenak terdiam, kemudian setelah
menurunkan tubuh Pangeran Anggangga, Rama
Patih pun akhirnya bercerita tentang kedatangan Dewi Cendana Biru dan anak
buahnya setelah
kepergian Jaka.
"Sebenarnya Pangeran Anggangga bukanlah
anak Dewi Cendana Biru atau pun Prabu Sutris-
na." "Jadi...?" Jaka nampak kebingungan. "Bagaimana hal sebenarnya, Paman"
Mengapa bisa ru-
mit masalahnya?"
"Sepuluh tahun yang lalu, Raden Sukra me-
mimpin di Kerajaan Bumi Jawa. Raden Sukra
memiliki seorang istri yang cantik dan seorang se-lir yang tidak lain Dewi
Cendana Biru. Namun
tanpa sepengetahuan Raden Sukra, Dewi Cenda-
na Biru sebenarnya mempunyai niat yang jelek.
Suatu hari Dewi Cendana Biru dengan tanpa se-
pengetahuan Raden Sukra menjalin hubungan
dengan Pangeran Sutrisna. Mulanya Pangeran
Sutrisna menolak dikarenakan dia tahu bahwa
tak baik bila ia harus mengadakan hubungan ge-
lap dengan istri kakak sepupunya. Tapi karena
desakan Dewi Cendana Biru, akhirnya Pangeran
Sutrisna pun takluk. Sejak saat itu keduanya
menjalin hubungan."
"Lalu, siapa adanya Pangeran Anggangga ini?"
tanya Jaka sambil menunjuk pada Anggangga
yang masih tertidur pulas padahal hari telah beranjak pagi. "Aku belum mengerti
masalahnya, Paman?"
Dengan panjang lebar akhirnya Rama Patih
pun menceritakan siapa adanya Pangeran Ang-
gangga. Jadi jelasnya Pangeran Anggangga adalah putra Raden Sukra dengan
istrinya yang pertama.
Berhubung untuk menutupi aib keduanya, maka
Pangeran Anggangga diangkat oleh Raja sebagai
anaknya. Sebenarnya Raja dan Dewi Cendana Bi-
ru telah berusaha melenyapkan pangeran ini den-
gan mengutus Jantrang untuk menculiknya. Be-
runtung Jaka Ndableg memergoki, kalau tidak
tentunya Pangeran Anggangga telah mati. Dan
kematiannya dianggap kecelakaan atau diculik
oleh Jantrang. "Sungguh biadab!" Jaka menggeretuk marah.
"Ya! Kasihan Raden Sukra dan Anggangga, sebab hidupnya kini benar-benar
terancam," Rama Patih mengeluh.
"Aku harus mencegah perbuatan gila mereka!
Aku harus menegakkan hal yang sebenarnya!"
Jaka berkata. "Ayo Paman, kita kembali ke kerajaan!"
"Untuk apa?"
Jaka Ndableg kerutkan kening mendengar per-
tanyaan Rama Patih. Dalam pertanyaan itu, tersi-rap kata-kata ketakutan yang
teramat sangat. Hal itu menjadikan Jaka Ndableg makin ingin tahu
apa sebenarnya yang dirahasiakan.
"Bukankah yang berhak atas kerajaan adalah Pangeran Anggangga, Paman?"
"Ya!"
"Nah, aku ingin kebenaran berdiri di muka
bumi." "Maksudmu, Tuan Pendekar?"
"Aku akan meminta mereka untuk minggat
dari kerajaan dan menyerahkannya pada Pange-
ran Anggangga!"
"Ah...!"
"Kenapa, Paman?" tanya Jaka makin bingung.
"Mereka bukan manusia biasa, Tuan Pende-
kar." "Maksud Paman?" Jaka makin tidak mengerti.
Rama Patih menghela napas sejenak. Matanya
nampak berkaca-kaca. Sesaat sorot mata itu me-
mandang hampa ke muka, lalu dengan berat me-
mandang ke arah Jaka.
"Mereka tak akan dapat mati bila kita tak tahu sandi hidup mereka."
Mata Jaka seketika melotot demi mendengar
ucapan Rama Patih. Baru kali ini ia mendengar
ada manusia yang memiliki sandi kematian.
"Aneh...." gumam Jaka. "Lalu harus bagaimana?"
"Entahlah, Tuan Pendekar! Mungkin dunia
akan segera kiamat, sehingga iblis kini menguasai dunia."
"Akan aku coba, walaupun nyawaku sebagai
taruhannya!"
Setelah menjura hormat, Jaka Ndableg segera
berkelebat meninggalkan Rama Patih dan Pange-
ran Anggangga untuk menuju ke kerajaan. Se-
mentara Rama Patih yang menyaksikan hanya
mampu gelengkan kepala dengan mulut bergu-
mam lirih. "Sungguh-sungguh seorang pendekar yang mumpuni, yang tahu kewajiban.
Tapi aku tak akan tinggal diam, aku harus membantunya."
Rama Patih segera menggendong tubuh Pangeran
Anggangga kembali, lalu dengan segera ia pun
berkelebat menyusul ke arah Jaka Ndableg.
* * * "Tuan Pendekar... Tuan Pendekar, tunggu!"
Jaka yang tengah berlari dengan segera meng-
hentikan larinya demi mendengar seseorang ber-
seru. Segera Jaka berusaha mencari asal suara
itu. Namun ia tidak menemukan siapa-siapa di si-tu, dan hanya pepohonan belaka
yang bergoyang tatkala dihembus angin.
"Aneh, siapa yang memanggilku?" Jaka terhe-ran-heran sendiri. "Siapa yang
memanggilku..."!"
"Aku, Tuan Pendekar!"
Terbelalak Jaka Ndableg demi melihat seekor
kera mampu berkata-kata layaknya manusia. Ja-
ka mencoba meyakinkan bahwa kera itulah yang
berbicara, maka Jaka pun kembali bertanya ma-
nakala kera tersebut makin dekat. "Engkaukah yang berkata?"
"Benar! Akulah yang memanggilmu!" jawab Ke-ra Siluman.
"Heh, aku kira kau bukanlah kera sembaran-
gan. Siapakah engkau adanya?"
Ditanya begitu rupa oleh Jaka, seketika Kera
Siluman melelehkan air mata menangis. Hal itu
menjadikan Jaka iba. Perlahan dihampirinya kera tersebut, lalu dengan lembut
dibelainya dengan
tangan. "Kenapa engkau menangis?"
"Nguuuk...! Aku sungguh menderita, Tuan
Pendekar."
"Menderita...?" tanya Jaka. "Maksudmu?"
Kera Siluman itu akhirnya menceritakan siapa
adanya dirinya. Cerita Kera Siluman itu sungguh sama persis dengan apa yang
dibeberkan oleh
Rama Patih. Hal ini menjadikan Jaka yakin bah-
wa segalanya memang benar.
"Ketahuilah, Prabu Sukra. Aku pun sebenar-
nya hendak menuju ke kerajaan. Aku tahu bahwa
yang berhak atas tahta kerajaan adalah anakmu
Pangeran Anggangga."
"Itu benar, Tuan Pendekar!"
"Tapi aku kini dalam ketidak mengertian, Prabu."
"Maksud Tuan Pendekar?" tanya Kera Siluman.
"Aku diberi tahu oleh Rama Patih bahwa ke-
duanya tidak akan mampu mati bila aku tidak
mengetahui sandi kematiannya."
"Oooh..." Kera Siluman tampak tersenyum, la-lu dengan manja Kera Siluman itu
kembali berka- ta. "Bukankah Tuan Pendekar memiliki Pedang Siluman Darah?"
"Ya!" jawab Jaka pendek. "Lalu...?"
"Hanya dengan pedang itulah mereka dapat
mati!" "Baiklah kalau begitu. Maukah Kanjeng Prabu membantuku?"
"Dengan senang hati, Tuan Pendekar."
Setelah berkata-kata, kedua mahluk berbeda
jenis itu berkelebat meninggalkan hutan tersebut
untuk kembali menuju ke kerajaan guna meng-
hadapi dua pasang iblis berbentuk manusia yang
kini tengah mengangkangi kerajaan dan menye-
barkan kemaksiatan.
* * * Dua manusia iblis itu tengah memadu cinta
yang tidak sah menurut aturan Tuhan, manakala
terdengar di luar seseorang berseru memanggil
mereka. "Kurang ajar! Siapa yang siang-siang berani lancang!" Dewi Cendana Biru memaki
sewot. Segera keduanya bergegas merapikan pakaiannya
yang berserakan, lalu dengan beriringan kedua-
nya segera menuju ke luar.
"Iblis-iblis berbentuk manusia, keluarlah kalian!" kembali terdengar seruan
seseorang. "Bangsat! Siapa yang berani bersuara lantang, hah!"
"Aku, Dewi Iblis!" jawab Jaka.
Dewi Cendana Biru pelototkan mata manakala
melihat seorang pemuda ganteng dengan pundak
memangku seekor kera yang tidak lain Kera Silu-
man, suaminya, tegar berdiri memandang ke
arahnya. "Hi, hi, hi...! Rupanya pendekar ini yang kau maksudkan, Sukra" Hi, hi, hi...!
Kasihan, pendekar tampan dan gagah harus menjadi korban ka-
mi!" Dewi Cendana Biru mengejek. "Bagaimana kalau kau menjadi pemuas nafsuku,
anak gagah?"
Jaka seketika tertawa bergelak-gelak, menja-
dikan Dewi Cendana Biru dan Sutrisna tersentak
kaget. Keduanya tidak menyangka kalau pemuda
di hadapannya mampu mengirimkan suara lewat
gelak tawa yang memekakkan telinga. "Hua, ha hahaha...! Bagus juga saranmu, Dewi
Iblis! Sayang, aku telah muak dengan keriputan usia-
mu!" Jaka berkata dengan penuh ejekan. "Jangankan diriku, anjing kurapan pun
tentunya akan menolaknya. Bukan begitu, Prabu?"
"Nguuuk! Nguuuk! Nguuuk...!"
"Kunyuk! Aku hancurkan kalian! Hiaaat...!"
Dewi Cendana Biru dan Sutrisna dengan penuh
amarah segera berkelebat menyerang Jaka dan
Kera Siluman. Segera Jaka berkelebat menghin-
dar, lalu dengan cepat kirimkan tendangan ke
arah keduanya. Tangannya didorongkan ke muka
membentuk sebuah jurus lurus. Dan dari kepalan
tangan Jaka keluar angin puting beliung mena-
han laju kedua musuhnya.


Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Cendana Biru kibaskan tangannya, lalu
dengan cepat lolotkan gelang-gelang yang berada di tangannya. Seketika gelang-
gelang itu melesat menyerang ke arah Jaka. Jaka Ndableg rundukkan kepala
menghindar, hingga gelang-gelang tersebut melesat beberapa inci di atas
kepalanya. Namun rupanya gelang itu telah dialiri tenaga dalam yang sempurna. Manakala
gelang-gelang ter-
sebut membentur pohon, seketika gelang-gelang
tersebut balik menyerang Jaka. Jaka Ndableg se-
gera lemparkan tubuh ke kanan.
"Swiiiingg...!"
Kembali gelang-gelang maut itu mendesing di
samping Jaka. Gelang itu berputar-putar, lalu
dengan cepat kembali melesat menyerang Jaka.
"Kurang ajar!" Jaka memaki. "Sraang...!"
Mata Dewi Cendana Biru dan Sutrisna seketi-
ka membelalak manakala melihat apa yang kini
tergenggam di tangan Jaka Ndableg.
"Pedang Siluman Darah...!" keduanya memekik. "Wuuuut...!" Jaka kibaskan pedang
manakala gelang-gelang maut itu kembali menyerangnya.
"Trang, trang, trang, trang, traaang...!" Lima kali berturut-turut terdengar
benturan benda lo-gam, dan lima kali itu pula Pedang Siluman Da-
rah membabat patah gelang-gelang maut terse-
but. "Bangsat! Kau telah menghancurkan senjata-
ku!" maki Dewi Cendana Biru. "Terimalah kematianmu, Anak muda! Hiaaatttt...!"
Dewi Cendana Biru hantamkan pukulan Tapak Wisanya ke arah
Jaka. Dengan segera Jaka kembali kibaskan Pe-
dang Siluman Darah, hingga larikan pukulan itu
seketika menghilang dengan didahului suara le-
dakan dahsyat. "Duuuaaarrr...!"
"Ayo, Tuan Pendekar, jangan biarkan mereka berbuat seenaknya!" Kera Siluman yang
masih nemplok di pundak Jaka memberi perintah.
"Apa yang mesti aku lakukan, Prabu?"
"Serang keduanya dengan pedang di tangan-
mu!" "Baik!"
Jaka Ndableg yang telah diberi tahu oleh Kera
Siluman dengan segera berkelebat menyerang ke-
dua iblis musuhnya. Keduanya nampak tersen-
tak, dan dengan nekat keduanya mengirimkan se-
rangan dengan Ajian Tapak Wisanya.
"Wuuuut...!" Jaka babatkan pedang, manakala dua larik sinar menderu ke arahnya.
Kemarahan Jaka benar-benar telah membeledak, sehingga
tanpa sadar kini tubuhnya membara. Hal itu
menjadikan Kera Siluman kepanasan dan lompat
menjauh. Tubuh Jaka yang kini sudah merapal-
kan ajian Banyu Geni berupa Dewa Geni kini be-
nar-benar menjadi Dewa Geni. Matanya menyala,
begitu juga rambutnya kini menjadi api.
Kembali kedua iblis musuhnya tersentak ka-
get. Keduanya kini benar-benar menemukan la-
wan yang setanding. Keduanya nampak menyurut
mundur sedang dari mulut mereka seketika ter-
dengar pekikan menyebut nama ajian yang dike-
luarkan Jaka Ndableg.
"Dewa Geni...!"
"Kita serang, Dinda...!"
"Ayo, Kakang!"
"Hiaaaaatttt...!"
Kedua orang itu berkelebat dengan nekatnya
menyerang dengan Ajian Tapak Wisa. Keduanya
menyangka bahwa dirinya benar-benar tak akan
dapat terkalahkan. Dewa Geni nampak membe-
liakkan mata, lalu dengan cepat Dewa Geni berkelebat memapaki keduanya. Pedang
Siluman Da- rah kini bagaikan membara, api membakar pe-
dang Siluman Darah menjadikan pedang tersebut
kini menjadi pedang api.
"Hooaaaarrrr...!" Dewa Geni menggeretak, dan melesat bagaikan terbang memapaki
kedua musuhnya.
"Hiiiiaaaatttt...!"
"Hiiiiaaaatttt...!"
"Wuuuuttt...!"
"Wesssttt...!"
"Wuuuuttt...!" Pedang Siluman Darah yang sudah menjadi api kini membersit ke
arah musuh. Angin yang keluar dari tebasan pedang
membara panas laksana neraka.
"Wua...! Tobaat...!"
* * * Kedua orang itu memekik kepanasan, lalu
menggelepar-gelepar di tanah. Kera Siluman yang sudah siap-siap hendak mengambil
jantung Dewi Cendana Biru segera melompat, tangannya yang
berkuku nampak liar mengorek-ngorek dada Dewi
Cendana Biru, yang seketika itu kembali menjerit.
"Aaaaaa...!"
"Proot!" Jantung itu terbesot ke luar, menjadikan Dewi Cendana Biru saat itu
juga terkulai ma-ti. Dengan rakusnya Kera Siluman memakan jan-
tung mentah milik Dewi Cendana Biru.
"Ngguuuukkk...!" Kera Siluman nampak kepu-asan, akan tetapi ketika jantung itu
telah habis, tiba-tiba tubuh kera itu terkulai lemah mengecil dan kecil hingga
akhirnya menghilang lenyap tanpa bekas. Hal itu menjadikan Jaka Ndableg yang
melihatnya, terbengong-bengong tak mengerti.
"Aneh! Sungguh aneh semuanya!" Jaka Ndableg akhirnya dengan penuh ketidak-
mengertian berkelebat pergi tinggalkan dua sosok mayat yang tiba-tiba telah berubah menjadi
tua renta keriput.
Pergi untuk kembali mengembara, menegakkan
kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.
Hari itu juga, setelah kematian Dewi Cendana
Biru dan Prabu Sutrisna, Pangeran Anggangga
Gerta diangkat dan dinobatkan sebagai raja. Na-
mun dikarenakan dia masih belia, untuk semen-
tara tampuk kekuasaan dipegang oleh patihnya
Rama Patih. Walaupun begitu, Rama Patih ber-
sumpah yang isinya:
"Aku bersumpah, akan selalu siap sedia untuk mempertahankan Kedaulatan Kerajaan.
Dan aku bersumpah, kelak apabila Pangeran Anggangga telah dewasa, kerajaan akan
aku serahkan kembali padanya. Aku juga tak akan nikah untuk selamanya."
Pesta penobatan tersebut dilakukan dengan
meriah. Tujuh hari tujuh malam hiburan digelar-
kan, semuanya untuk memberikan penghorma-
tan. Di samping itu juga, hiburan dimaksudkan
untuk menolak bala...
SEKIAN https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
MUNCULNYA KERA SILUMAN Pendekar Muka Buruk 8 Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Tusuk Kondai Pusaka 5
^