Pencarian

Kitab Pembawa Bencana 2

Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa Bencana Bagian 2


Menghilangkan segala macam persoalan dunia persilatan semenjak ia
mempelajari Kitab Banyu Geni.
Atas bimbingan Ki Aswatama, dalam sepu-
luh hari ini saja, Jaka telah mampu menelan dua jurus dahsyat lanjutan dari
jurus pertama. Saat
itu Jaka nampak duduk bersila, kaki saling tindih dengan kedua tangan menyatu
telapaknya. Mata
Jaka terpejam, mulut membisu diam.
Ki Aswatama nampak duduk di samping-
nya. Seperti halnya dengan Jaka, Ki Aswatama
pun kini tengah melakukan hal yang sama. Mata
terpejam, kaki disilangkan saling tindih dengan tangan telapaknya saling katup.
Namun Ki Aswatama tidak tengah benar-benar melakukan medi-
tasi, Ki Aswatama hanya memberikan contoh ba-
gaimana cara meditasi menyalurkan hawa murni
yang baik dan benar, agar dalam melakukan lati-
han isi Kitab Banyu Geni benar-benar tidak salah kaprah. Sebab bila salah, maka
nyawalah sebagai penggantinya.
Napas Jaka perlahan mengendur, teratur
sedikit demi sedikit. Tangan masih saling katup, perlahan tangan itu bergerak,
lalu berubah cepat.
Tangan Jaka kini bagaikan kitiran, berputar-
putar laksana gasing. Dari putaran tersebut, seketika timbul api menyala-nyala
menyelimuti tangannya. Itulah jurus Inti Geni, sebuah jurus pertama yang ada di
dalam Kitab Banyu Geni. Sete-
lah tangannya berapi, segera Jaka membuka ma-
ta. Mata itu melotot tak berkedip. Lama kela-
maan, matanya terasa perih, makin lama makin
perih hingga mengeluarkan api. Ya, mata Jaka
kini mengeluarkan api.
"Hiat...! Mata Malaikat, hiat...!"
Bareng dengan pekikan Jaka, segera ma-
tanya dipentang lebar-lebar. Dan dari pentangan
mata tersebut, seketika membersit dua larik sinar merah membara ke arah
pandangannya. "Sroooot...!"
"Buuum...!"
Api menyala-nyala, membakar rumput
yang ada di atas tanah yang terpandang oleh ma-
ta Jaka. Rumput tersebut seketika mengering, la-lu terbakar dengan api menyala-
nyala. "Hebat! Hebat! Sungguh-sungguh ilmu
yang tiada duanya!" Ki Aswatama menggumam
sendiri. Belalakkan mata, memandang terpaku
pada rerumputan yang tadinya menghijau kini te-
lah terbakar oleh api yang keluar dari sorotan ma-ta Jaka. "Kini engkau telah
dapat disejajarkan dengan Dewa Api. Dan memang engkaulah yang
akan menjadi Dewa Api, Jaka. Setelah kau me-
rampungkan isi buku tersebut, kau akan berubah
menjadi Dewa Api. Dua dari lima ajian telah engkau kuasai."
Jaka hanya terdiam, tundukkan kepala
mendengar petuah Ki Aswatama. Hatinya masgul,
berbaur dengan kegembiraan yang teramat san-
gat. Sungguh karena bantuan Ki Aswatamalah
hingga ia mampu mempelajari isi kitab tersebut
dalam waktu yang relatip singkat. Dalam seratus hari saja, Jaka telah mampu
menguasai dua dari
lima ilmu yang terkandung dalam Kitab Banyu
Geni. * * * Kita tinggalkan Jaka yang tengah dibimb-
ing oleh Ki Aswatama mempelajari isi Kitab Banyu Geni yang sangat dahsyat
tersebut. Marilah kita tengok di dunia luar, di mana para pendekar masih terus
mencari-cari keberadaan kitab tersebut.
Dua orang penunggang kuda yang telah ki-
ta kenal sebagai dua kakak beradik kembar Jala-
dri dan Jaladru, nampak memacu kuda-kuda me-
reka menuju ke arah Barat. Rupanya keduanya
masih penasaran dengan apa yang mereka da-
patkan waktu setahun yang lalu, di mana mereka
menemukan kegagalan mendapatkan Kitab
Banyu Geni. Mereka berdua kembali memacu kuda me-
reka, sepertinya tak ingin di dahului oleh sore ha-ri. Tengah keduanya memacu
kuda-kuda mereka,
tiba-tiba keduanya dikejutkan dengan suara lengkingan tinggi yang mirip dengan
lengkingan anjing hutan.
"Aaaauuuuuunnnngggg...!"
"Heh, suara apakah itu, Kakang?"
"Entahlah, Adik. Aku rasa itu suara anjing hutan."
"Ah, biasanya anjing hutan berbunyi bila
hari telah malam, Kakang."
Jaladri terdiam mendengar keterangan
adiknya. Memang benar apa yang dikatakan oleh
Jaladru, bahwa anjing hutan akan melolong bila
hari telah malam, Dan biasanya mereka melolong
karena ada sesuatu yang mereka takutkan. Tapi
kini anjing hutan itu melolong-lolong bukan pada saatnya. Hari masih senja, dan
matahari masih nampak bersinar. Jaladri kerutkan kening, seper-
tinya menyangsikan suara anjing hutan tersebut.
Matanya jalang memandang ke muka, di mana
suara tersebut berasal.
"Kresek...!"
"Hati-hati, Adik," Jaladri memperingatkan.
"Ada apa rupanya, Kakang?"
"Kau tidak mendengar adanya suara lang-
kah kaki?"
Jaladru segera pusatkan pendengarannya.
Dan memang ia kini mendengar suara langkah
kaki ringan, lalu terdengar pula kebatan orang
melompat ke atas dan hinggap di sebuah batang
pohon. "Benar! Rupanya mereka banyak jumlahnya, Kakang."
"Ya! Kita harus hati-hati."
Keduanya segera melompat dari kuda, ber-
jalan perlahan. Tangan kedua pendekar kakak be-
radik kembar itu segera mencabut pedang-pedang
yang tergantung di pundak mereka. Dan dengan
pedang di tangan, keduanya kembali melangkah
menyelusuri jalanan tengah hutan yang makin ke
dalam makin sempit karena tertutup oleh semak
belukar. Mata kedua pendekar kakak beradik itu
liar, memandang pada sekelilingnya. Mata mereka bagaikan mata seekor burung
rajawali yang tengah mengintai mangsa. Kaki mereka bagaikan tak
berbeban, sehingga tak terdengar suara tapaknya melangkah.
"Kita makin dekat, Adik."
"Ya!" jawab Jaladru setengah berbisik.
"Hati-hati, Adik. Pusatkan segala panca indra." Keduanya kembali diam, dan hanya
gerakan-gerakan anggota tubuh kedua kakak beradik
kembar itu saja yang bicara. Manakala kaki me-
reka makin masuk ke dalam, tiba-tiba dari dalam tanah dan atas pohon bermunculan
orang-orang bercadar hitam menghadang mereka dengan sa-
murai siap mencerca tubuh keduanya.
"Hiat...!"
"Awas, Adik!" Jaladri memekik, sadarkan Jaladru yang segera melompat ke depan,
lalu balikkan tubuh membabat dengan pedang yang te-
lah siap. "Wuuut...!"
Jaladru buang tubuhnya ke samping, hin-
dari babatan pedang, yang hampir saja menggores lehernya. Dengan geram Jaladru
balik babatkan pedang di tangannya.
"Wuuut...!"
"Aaaaaaaaaaa...!"
Seorang Ninja hitam terkulai, meregang se-
jenak, lalu akhirnya mati. Dari mulutnya keluar darah meleleh, dengan perut
tergores lebar.
Melihat rekannya terkena, secepat kilat
ninja-ninja yang lain berkelebat menyerang. Jaladru tersentak, gulingkan tubuh
hindari babatan
ketiga Orang ninja yang tahu-tahu berada di de-
pannya. Jaladru buang tubuh ke samping, lalu
dengan sekali lompat Jaladru lentingkan tubuh
ke angkasa. Pedang di tangannya siap menghun-
jam. "Hiiiiaaaaatttt...!"
Terbelalak mata ketiga ninja itu, seakan
tercekam rasa takut yang teramat sangat. Segera ketiganya babatkan pedang di
tangan, hingga menjadikan sebuah suara beradunya benda-
benda yang terbuat dari baja.
"Trang, trang, trang...!"
Jaladru babatkan pedang, dan seketika ke-
tiga pedang samurai di tangan tiga ninja tersebut puntung. Mata ketiga ninja itu
sejenak membeliak kaget, lalu mereka menjerit manakala pedang di
tangan Jaladru kembali berkelebat membabat ke
arah tubuh mereka.
"Aaaaaaa....!"
Satu persatu dari ketiganya rubuh. Sesaat
ketiganya mengejang, lalu tak begitu lama kemu-
dian tubuh ketiganya ambruk tanpa nyawa. Hal
itu menjadikan bergidig juga bagi ninja-ninja
lainnya. Kengerian seketika membayang di mata
mereka, yang memandang dengan pandangan pu-
tus asa. Di pihak lain, Jaladri yang ilmunya lebih
tinggi dari ilmu adiknya nampak makin merajale-
la. Dalam beberapa gebrak saja tanpa menda-
patkan kesulitan Jaladri mampu menumbangkan
sepuluh ninja. Pedang di tangannya bagaikan
Dewa Kala, setiap kelebatannya menjadikan jeri-
tan kematian bagi ninja-ninja yang menghadang
di depannya. Seperti saat itu juga, tangan Jaladri nampak berkelebat cepat.
Tangan itu bagaikan
berubah banyak, menyebatkan pedang.
"Wuuut! Wuuuut! Wuuuut...!"
"Crasss...! Craaasss!"
Darah muncrat dari tubuh para ninja. Se-
saat mereka memekik, lalu tubuh mereka doyong
ke muka dan ambruk. Tubuh mereka sejenak
mengejang, menggeliat dengan memegangi perut
yang terluka, hingga akhirnya tergeletak tanpa
nyawa. "Siapa yang menyuruh kalian, hah!" Jaladri membentak.
"Katakan! Atau kalian ingin seperti teman-
teman kalian ini!" tambah Jaladru, tangannya memegang kepala seorang ninja yang
telah di-penggalnya. Darah mengucur dari leher yang
puntung, menetes ke bawah. Sementara matanya
nampak mendelik, menyatakan bahwa dirinya
mungkin menderita yang teramat sangat manaka-
la pedang di tangan Jaladru memenggalnya. "Ayo jawab! Jangan sampai aku habis
sabar!" Bukannya jawaban kata-kata dari perta-
nyaan Jaladri, namun sebaliknya. Dengan bengis
disertai hawa pembunuhan, sisa ninja tersebut
berkelebat menyerang. Sepuluh ninja itu nampak
tak mengalami ketakutan, ganas menyebatkan
pedang-pedang di tangan mereka.
"Bangsat! Rupanya kalian memang mencari
mampus!" Jaladru membentak seraya lemparkan tubuh hindari serangan kesepuluh
ninja tersebut.
"Jangan menyesal bila kalian seperti teman kalian ini." "Hiaaaaatttt...!"
Dengan terlebih dahulu melemparkan pun-
tungan kepala rekannya, ke arah ninja-ninja ter-
sebut Jaladri segera balik menyerang. Pedangnya diputar dengan cepat, menyebat-
nyebat segala apa yang ada di hadapannya. Menjadikan kesepu-
luh ninja itu seketika lompat ke belakang dengan mata membelalak kaget. Namun
setelah melompat, kembali kesepuluh ninja pengeroyok itu maju bareng menyerang.
"Hiiiiaaaaaaattt...!"
"Huh! Kalian mencari mampus! Hiiiiiiaaaa-
aatttt!" Jaladru tak mau kalah, segera kiblatkan pedang dan berlari memapaki
kesepuluh ninja
yang juga berlari ke arahnya dengan samurai
mengkiblat ke arah Jaladru berada di depan mu-
ka mereka. "Wuuut...!"
"Wuuuuuttt...!"
"Craaas...!"
"Aaaaahhh....!"
Satu orang dari sepuluh ninja itu menge-
rang, perutnya sobek terbeset pedang Jaladru.
Pedang di tangan kesembilan ninja yang lainnya
berkelebat, membabat tubuh Jaladru. Jaladru se-
gera lemparkan tubuh ke angkasa, lalu berputar
salto sejenak dan merosok ke bawah dengan pe-
dang siap menghunjam.
Pedang di tangan Jaladru bergerak cepat,
manakala jarak antaranya dengan kesembilan
ninja itu makin dekat. Pedang itu bagaikan haus darah. Dan...!
"Wuuuutttt...!"
"Cras! Cras! Cras...!"
"Aaaaaaaaaaa...!"
Satu persatu mereka menjerit. Dan satu
persatu dari kesembilan ninja itu puntung kepa-
lanya. Sejenak tubuh tanpa kepala itu tegak sem-burkan darah, lalu perlahan satu
persatu ambruk ke tanah dengan nyawa terbang dan kepala
menggelinding entah ke mana.
Seperti halnya Jaladru, Jaladri pun tak
mau kalah dalam membantai musuh-musuhnya.
Namun Jaladri tidaklah sesadis adiknya. Kalau
Jaladru sebagai tukang penggal kepala, Jaladri
tak mau julukan tersebut melekat pada dirinya.
Dan hanya dengan membeset perut-perut musuh
sajalah yang ia lakukan,
Kelima ninja yang menyerang Jaladri te-
baskan samurainya, mengarah ke leher. Jaladri


Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera rundukkan tubuh, lalu dengan gerakan
yang sukar di ikuti tangan Jaladri berkelebat babatkan pedang ke perut lawan.
"Bret! Breeet...!"
Empat orang ninja melengking manakala
perutnya terbobol pedang di tangan Jaladri.
Keempatnya sejenak mendelik, dengan darah
muncrat ke luar dari perut yang terbelah. Sejenak keempatnya terpatung gigit
bibir menahan sakit, lalu ambruk sekarat mengejang dan akhirnya ma-ti. Tinggal
seorang ninja yang masih hidup. Ninja itu hendak melarikan diri, manakala dengan
cepat Jaladru menghalangi niatnya.
Betapa gusar dan marah ninja tersebut.
melihat Jaladru menghadang langkahnya. Dengan
penuh kemarahan ninja tersebut berkelebat te-
baskan pedang menyerang. Namun Jaladru yang
sudah waspada dengan cepat lemparkan tubuh
mengelak, lalu dengan memekik dahsyat Jaladru
berkelebat kembali balik menyerang.
"Hiiiiaaaaaattt...!"
"Hiiiiaaaaattt...!"
Dua orang itu berlari dengan pedang siap
di hadapan muka masing-masing. Keduanya ber-
lari bagaikan kesetanan, lalu setelah dekat keduanya segera tebaskan pedang ke
arah lawan mas-
ing-masing. "Wuuut...!"
"Wuuut...!"
Jaladru egoskan badan mengelak, lalu
dengan melompat manakala samurai lawan men-
garah ke kakinya Jaladru tebaskan pedangnya.
Wuuuttt...! Craaaas...! "Aaaaaaaaaa....!" Ninja itu memekik, tangan kanannya yang memegang samurai
puntung, terbabat oleh pedang di tangan Jaladri. Ninja tersebut tak mau putus asa. Dengan
tangan kiri di-
ambilnya samurai, lalu dengan segera ia bermak-
sud melakukan harakiri (bunuh diri ala Jepang).
Namun sebelum hal itu terlaksana, dengan cepat
Jaladru kembali tebaskan pedang ke arah tangan
yang hendak mengambil pedang.
Wuuut...! Ninja itu membeliak, urungkan hiat. Ma-
tanya memandang dengan kosong ke arah Jala-
dru. Jaladru sunggingkan senyum, hampiri ninja
tersebut. "Katakan padaku, siapa yang telah menyu-
ruhmu"!"
"A-Aku... Aku bernama Ak-ki Koto. A...
aku, di-pe-rin-tah o-leh Ninja Merah:"
"Ninja Merah...!" Jaladru dan Jaladri tersentak, tak tahu siapa adanya Ninja
Merah yang dikatakan oleh Aki Koto. Sejenak keduanya saling pandang, lalu ketika keduanya
hendak kembali menanya...! Mata Jaladri dan Jaladru seketika membe-
liak kaget, manakala melihat tubuh Aki Koto telah tak bernyawa lagi. Samurai
telah menghunjam di
dadanya. Dia telah mampu melakukan Harakiri.
Sungguh tragis kematian para ninja. Mereka telah disumpah, menang dengan hasil
atau kalah harus
mati. Dan ternyata mereka nyatanya kalah hingga mereka pun sepantasnya mati.
Setelah sejenak memandang pada tubuh
Aki Koto, kedua kakak beradik kembar itu kem-
bali melesat pergi tinggalkan hutan tersebut. Hutan Lengkas Munyuk kembali sepi.
Dua kali keja- dian terjadi di hutan Lengkas Munyuk tersebut.
Dan dua kali kegagalan di dapat para utusan ne-
geri Nippon. 5 "Lebur Geni... hiattt...!"
Tubuh Jaka Ndableg berjumpalitan di uda-
ra. Tangannya mengepal, dan kakinya menjejak
pada angin. Bersamaan dengan tubuhnya menca-
pai titik kulminasi, Jaka Ndableg hantamkan tangan yang terdapat jilatan-jilatan
api ke arah bebatuan yang berada di hadapannya.
Duuuaaarrr...! Batu-batu hitam itu hancur lebur menjadi
serpihan tepung terhantam oleh api yang keluar
dari tangan Jaka Ndableg. Leburan batu tersebut muncrat, menggelapkan pandangan
mata, seakan menjadi kabut tebal menyelimuti udara.
"Hebat! Hebat, Jaka!" Ki Aswatama berseru girang melihat hasil yang diperoleh
oleh Jaka Ndableg. "Nah, kau telah mampu menguasai ilmu semua yang ada di Kitab Banyu
Geni. Sekarang lakukanlah ilmu pamungkasnya."
"Apakah itu perlu, Paman?" tanya Jaka seraya balikkan tubuh menghadap ke Ki
Aswatama. "Sangat perlu, Jaka."
"Untuk apa, Paman?"
Ki Aswatama tersenyum, lalu katanya: "Ka-
lau kau tidak mencobanya, manalah mungkin
kau tahu hasil yang engkau peroleh?"
Jaka terdiam, ucapan Ki Aswatama me-
mang ada benarnya. Memang bila ia tak menco-
banya, manalah mungkin ia tahu hasil yang telah ia peroleh. Sejenak Jaka
terdiam, matanya memandang ke arah Ki Aswatama. Sepertinya Jaka
ingin meyakinkan pada diri sendiri bahwa Ki As-
watama benar adanya berbicara.
"Lakukanlah, Jaka."
"Jadi aku harus mencoba dua ilmu pa-
mungkas, Paman?"
"Ya!" jawab Ki Aswatama. "Baiklah!"
Jaka terdiam hening, seolah-olah ia tengah
melakukan meditasi memusatkan segala panca
indranya. Dan memang benar, Jaka saat itu ten-
gah memusatkan segala panca indranya untuk
melakukan pembuka ilmu Raga Geni. Ilmu yang
merupakan inti dari ilmu-ilmu yang diajarkan
oleh Kitab Banyu Geni. Tangan Jaka sedekap, bi-
bir mengucap mantra sesuai dengan petunjuk ki-
tab. "Sukma Raga Geni... Sukma Raga Geni...
Sukma Raga Geni!"
Berbarengan dengan suara Jaka meman-
jang menyebut ilmu tersebut, tiba-tiba hawa pa-
nas menyengat keluar dari tubuh Jaka Ndableg.
Ki Aswatama tersentak, melompat mundur tak
mampu menerima hawa panas yang keluar dari
tubuh Jaka Ndableg.
Tubuh Jaka Ndableg seketika membara
merah. Asap mengepul, bersamaan dengan makin
memerahnya tubuh Jaka. Pakaian yang di kena-
kannya seketika turut terbakar. Beruntung cela-
nanya terbuat dari serat inti kayu yang kuat, kalau tidak. Sungguh akan
menjadikan pemandan-
gan yang mampu membelalakkan mata para
pembaca atau penonton bila novel ini di filmkan.
"Hiiiaaaatt...!"
Suara Jaka menggema, laksana suara hali-
lintar tertimpa di bebatuan. Bersamaan dengan
jeritan Jaka, tubuh Jaka Ndableg berkelebat. Tubuh itu terus berkelebat bagaikan
terbang, berputar-putar di angkasa. Seketika angin di situ terasa panas
menyengat, menjadikan daun-daun pohon
mengering dan kemudian berguguran.
Tubuh Jaka terus berputar cepat, lalu den-
gan kebat tubuh itu mencelat menuju ke sebuah
telaga yang berisi air. Tubuh Jaka mencelat, menyelam ke dalam air telaga.
Seketika air telaga yang tadinya dingin menjadi mendidih. Hal tersebut
menjadikan mata Ki Aswatama membeliak
kaget. Ikan-ikan yang berada di telaga berhamburan, mencelat ke atas dan jatuh
ke tanah dengan keadaan matang.
Ki Aswatama hanya mampu melongo, tak-
jub menyaksikan apa yang telah terjadi. Kini Ki Aswatama benar-benar terkejut
bukan alang kepalang. Bagaimana pun, semua akan kaget me-
nyaksikan hal itu. Dan saking kagetnya, menjadikan lelaki tua renta itu tak
tahan menahan be-
sernya. Ki Aswatama pun seketika ngompol den-
gan tubuh bergetar gemetaran.
"Pyaar...!"
Air Telaga muncrat ke angkasa, mendidih
bagaikan dimasak. Bersamaan dengan mucratnya
air telaga, tubuh Jaka Ndableg melompat terbang dari dalamnya.
Untuk kedua kali Ki Aswatama seorang to-
koh persilatan yang sudah malang melintang di
dunia persilatan harus membelalakkan mata. Tu-
buh Jaka terus terbang, lalu hinggap di atas sebuah cabang pohon. Tanpa ampun
lagi, pohon yang ditenggeri Jaka seketika kering kerontang.
"Sudah Jaka! Sudah!"
"Bagaimana, Ki?" Jaka tersenyum.
"Hentikan dulu ilmumu, baru kau turun."
"Kenapa...?" tanya Jaka ngeledek.
"Apakah kau mau memanggang diriku?" Ki Aswatama nampak benar-benar ketakutan.
Dan memang apa yang ditakuti Ki Aswatama benar.
Kalau Jaka turun dalam keadaan masih menggu-
nakan ilmu Raga Geninya, niscaya tubuhnya da-
lam sekejap saja akan matang.
"Aku mau turun, Ki."
"Ah...!" Ki Aswatama terbelalak kaget. "Jangan! Lihat! Ikan-ikan ini saja dalam
sekejap masak, apalagi diriku yang sudah kering kerontang?"
Jaka tersenyum.
"Tidak apa, Ki."
"Jangan...! Jangan, Jaka! Aku mohon, jan-
gan kau lakukan itu bila kau memang menyayan-
gi nyawa tuaku yang lapuk ini," Ki Aswatama me-ratap. Dan kini Ki Aswatama
benar-benar menan-
gis, takut kalau-kalau Jaka yang ndableg akan
benar-benar melakukannya. "Aku mohon, ampu-nilah nyawa tuaku."
Jaka tersenyum-senyum menyaksikan Ki
Aswatama yang menangis mengiba-iba. Kemudian
dengan masih bertengger di atas pohon tanpa hi-
raukan Ki Aswatama yang menangis, Jaka pun
segera melakukan meditasi kembali untuk me-
nuntaskan ilmunya dari tubuh. Sekejap saja ma-
nakala Jaka telah membaca mantra, api yang
menyala-nyala di tubuhnya lenyap dalam seketi-
ka. "Hiiiaat...!"
"Aooohh...!" Ki Aswatama memekik, manakala mendengar Jaka melompat turun. "Mati
aku!" Ki Aswatama pejamkan mata. Ia siap untuk dibakar oleh api yang menyala-
nyala di tubuh.
Jaka. Namun dugaannya meleset. Sampai sejauh
ia pejamkan mata, tak ada rasa panas sedikit pun yang dirasakannya. Perlahan
dengan takut-takut
Ki Aswatama kembali membuka matanya. Dan
bengonglah Ki Aswatama seketika manakala Jaka
telah nempel di dekatnya.
"Bagaimana, Ki?"
"Hebat! Hebat...!"
Jaka kerutkan kening, manakala hidung-
nya yang tajam mencium bau pesing yang teramat
sangat. "Hai! Rupanya Ki Aswatama ngompol!"
Ki Aswatama seketika tersipu-sipu, mana-
kala menyadari bahwa akibat gas cairnya tersebut menjadikan bau yang tidak sedap
untuk diendus. Jaka gelengkan kepala, ada rasa kasihan menye-
limuti matanya. Sungguh kasihan memang, gara-
gara dirinya Ki Aswatama sampai terkencing-
kencing. "Ki, apakah aku harus membuktikan juga
ajian pamungkas yang aku pelajari dari Kitab
Banyu Geni?" Jaka kembali menggoda, mencoba menghibur Ki Aswatama yang nampak
pucat ketakutan dan malu.
Membeliak seketika mata Ki Aswatama
mendengar ucapan Jaka. Kini Ki Aswatama be-
nar-benar didera rasa takut bila Jaka harus kembali mengeluarkan ilmu pamungkas
dari Kitab Banyu Geni. Baru pamungkas pertama saja telah
menjadikan dirinya terkencing-kencing, apalagi
jika pamungkas yang terakhir" Bisa-bisa Ki Aswatama terberak-berak.
"Nah Ki, menyingkirlah jauhan. Aku akan
mencoba ilmu yang telah aku pelajari."
"Ah...!" Ki Aswatama memekik tertahan.
"Jangan, Jaka."
"Kenapa" Bukankah bila aku tidak menco-
banya aku tidak akan tahu hasilnya?"
"Sungguh, hasilnya akan membahayakan
dan menakutkan."
"Heh, mengapa Ki Aswatama sudah ber-
pendapat begitu?" Jaka kerutkan kening mendengar ucapan Ki Aswatama yang
dilandasi oleh rasa takut. "Aku mohon, janganlah engkau keluarkan pamungkas
akhirnya, Jaka." Ki Aswatama mera-tap. "Baru saja pamungkas pertama, sudah
menjadikan diriku terkencing-kencing. Apalagi pa-
mungkas terakhir, bisa-bisa aku terberak-berak."
Mau tidak mau Jaka pun tersenyum juga
mendengar penuturan Ki Aswatama. Digelengkan
kepalanya, lalu dengan penuh perhatian seorang
anak, Jaka segera membimbing tubuh tua Ki As-
watama menuju ke pondoknya.
* * * Malam terasa dingin, menjadikan keadaan
bagaikan tercekam sepi. Angin bertiup dengan
kencang, laksana topan yang siap menerbangkan
sesuatu. Ada sebuah keganjilan nampaknya, se-
hingga tidak biasanya angin bertiup menderu-
deru. Jaka yang tengah bersantai dengan tiduran seketika tersentak bangun.
Perlahan-lahan ia melangkah, hingga Ki Aswatama yang tidur di sebe-
lahnya tidak terjaga oleh langkahnya. Dengan
mengendap-endap Jaka keluar dari pondok.


Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angin makin lama makin kencang, mende-
ru-deru menerpa ke arahnya. Walau pun dingin
menggigil, namun Jaka terus mencoba meredam
dinginnya dengan menyalurkan hawa murni ke
segenap tubuhnya. Namun nampaknya angin ter-
sebut sengaja menantangnya. Angin itu makin
bertambah besar, hingga mampu menumbangkan
pepohonan yang ada di tempat tersebut.
"Weeeerrrr...!"
"Dum!"
Ki Aswatama yang tengah tertidur, seketika
terjaga demi mendengar bunyi pepohonan tum-
bang. Sejenak matanya didecapkan, lalu dengan
tertatih-tatih lelaki tua renta yang bukan sembarangan tokoh itu keluar dari
rumahnya. Dilihat-
nya Jaka tengah berdiri di situ, terdiam membisu.
"Jaka...!"
Jaka Ndableg palingkan kepala menghadap
ke arah datangnya suara. Dan dilihatnya Ki Aswatama tengah berjalan tertatih-
tatih menghampi-
rinya. "Ki...."
"Sedang apa kau, Jaka?"
"Tidakkah Ki Aswatama merasakan sesua-
tu keanehan dengan angin ini?" tanya Jaka, men-
jadikan kerut di kening Ki Aswatama. "Cobalah Paman rasakan."
Ki Aswatama terpaku diam, merasakan
dengan sukmanya.
"Benar, Jaka."
"Itulah, Paman. Aku rasa, ada orang atau
siluman yang dengan sengaja menyerang ke
arahku," "Dan ternyata tidak mempan," Ki Aswata-ma terkekeh. "Itu semua karena kau telah
mendapatkan segala isi Kitab Banyu Geni itu, Jaka."
Tengah keduanya terpaku diam, tiba-tiba
terdengar suara gelak tawa yang tak menampak-
kan orangnya. Gelak tawa itu melengking pan-
jang, seakan hendak menakut-nakuti keduanya.
"Hua, ha, ha...! Haaaaaaa....! Haaaaaa...!"
"Apa itu, Jaka?" Ki Aswatama gemetaran.
"Tenanglah, Ki," ucap Jaka mencoba
menghibur Ki Aswatama yang menggigil ketaku-
tan. "Tenanglah, bukankah ada aku?"
Angin bertiup makin kencang, menerpa se-
gala apa saja yang berada di situ. Jaka yang ber-telanjang dada, nampak
merasakan juga dingin-
nya terpaan angin yang menusuk-nusuk pori-pori
kulitnya. "Weeeeerrrr...!"
Angin kembali menderu, makin kencang
dan kencang. "Dum!"
Sebuah pohon kelapa besar tumbang,
hampir saja mengenai Jaka dan Ki Aswatama, ka-
lau saja tidak segera menggeret tangan Ki Aswa-
tama mencelat menghindar.
"Ki, menyingkirlah."
"Kau mau apa, Jaka?" tanya Ki Aswatama dengan ketakutan.
"Aku akan mencoba ilmu pamungkasku.
Aku tahu, bahwa yang melakukan semua ini bu-
kanlah manusia, tetapi iblis yang sengaja meng-
gangguku."
Dengan masih ketakutan Ki Aswatama per-
lahan menyingkir menuju ke pondoknya kembali.
Sementara Jaka nampak masih terdiam,
mematung dengan kedua mata terpejam rapat-
rapat. Jaka kini tengah melakukan meditasi, he-
ningkan cipta untuk memusatkan segala panca
indranya. "Dewa Api...! Dewa Api...! Dewa Api...."
Berbarengan dengan suara Jaka yang pan-
jang, dari tubuh Jaka Ndableg keluar api memba-
kar sekujur tubuhnya dari ujung rambutnya
sampai ke ujung kaki. Kini tampang Jaka bukan-
lah tampang pemuda tampan lagi, tetapi tam-
pangnya kini tampang seorang dewasa yang me-
nyeramkan. Matanya menyala, mengandung api
yang siap disorotkan. Juga mulutnya, nampak di
dalam mulut Jaka bergumpal-gumpal api yang
juga siap dilemparkan menyerang.
"Huuuaaar...!"
Jaka menggeretak, kibaskan rambut
apinya ke arah datangnya musuh. Bersamaan
dengan rambut api itu melejit, melemparkan bola-bola api, dari mulut Dewa Api
pun melesat pula
api yang menyala-nyala. Hampir seluruh anggota
badan Dewa Api mampu menjadikan kemusna-
han. "Aaaaaaaa...!" terdengar jeritan, namun tak juga nampak orangnya. Hanya api
yang dilontarkan oleh Dewa Api saja yang nampak. Api terse-
but menyala terang, melekat pada sesuatu mah-
luk yang tidak nampak. Dan bareng dengan api
yang dilontarkan Dewa Api membakar tubuh
mahluk yang tampak tersebut, angin pun seketi-
ka menghilang. Dengan sekali kebat Dewa Api berkelebat
menuju ke tempat di mana api menyala-nyala.
Nampak kini olehnya, tumpukan debu-debu hi-
tam legam, mengumpul di situ membentuk ben-
tuk manusia. Setelah yakin bahwa dirinya mampu men-
jadi Dewa Api, tiba-tiba Jaka yang masih dalam
keadaan ujud Dewa Api mencelat ke dalam gubug
Ki Aswatama. Namun ternyata gubug tersebut ti-
dak terbakar sama sekali. Entah apa yang dilakukan Jaka, yang membuat Ki
Aswatama ketakutan
kembali. Dan benar apa yang dikatakan Ki Aswa-
tama benar-benar terberak-berak dibuat ketaku-
tan. Jaka yang tengah menjadi Dewa Api tam-
pak tak hiraukan keadaan Ki Aswatama. Dia te-
rus menuju ke kamarnya, di mana Kitab Banyu
Geni disimpan. Diambilnya kitab tersebut, lalu
dengan segera dibawanya ke luar. Di sana, di halaman pondok Kitab Banyu Geni
sesuai dengan saran yang tertulis di bakar dengan api dari tubuhnya.
Mata Jaka mendelik, mengarah ke arah ki-
tab tersebut. Dan saat itu juga, Kitab Banyu Geni pun terlalap api yang ke luar
dari mata Dewa Api.
Sejenak Ki Aswatama yang terkencing-kencing
terpaku, dan hanya terdiam memandang dari
jauh di mana Jaka berdiri.
"Ki Aswatama, terimakasih atas segala ja-
samu," Dewa Api berkata. "Kini sesuai dengan tugas dari kakek, aku harus
mengadakan perhitun-
gan dengan Dewa Laut. Nah, selamat tinggal! Jaga dirimu baik-baik, Ki...!"
Habis berucap begitu, Dewa Api berkelebat
cepat meninggalkan Ki Aswatama. Kelebatannya
bagaikan terbang, sehingga dalam sekejap saja
tubuh Dewa Api lenyap entah ke mana. Yang Ki
Aswatama tahu, Dewa Api berkelebat ke arah Ki-
dul. 6 Di Negeri Nippon....
Betapa gusarnya Takasima mendapatkan
kenyataan bahwa pasukan ninjanya dapat di ka-
lahkan oleh orang-orang tanah Jawa. Kegusaran-
nya menjadikan sebuah dendam, dendam yang
akan menjadikan sebuah tragedi di tanah Jawa.
Nah, bila para pembaca ingin melihat dan mengi-
kuti bagaimana dari dendam Takasima yang gu-
sar pada para pendekar tanah Jawa, silahkan
tunggu dan ikuti kisah Jaka Ndableg Pendekar
Pedang Siluman Darah dalam episode "DENDAM
NINJA MERAH DARI NEGERI NIPPON."
"Bagero! Orang-orang Jawa keparat!" Semua anak buahnya yang berwajah tertutup
den- gan kain merah dan hanya mata mereka saja
yang nampak, terdiam tak ada yang berani mem-
buka suara. Semua ninja memang sudah disum-
pah dengan demikian. Mereka tak akan memban-
tah pada pimpinannya, walau mungkin nyawa
mereka akan menjadi sasarannya. "Taka...!"
"Saya, Ketua," Taka menjawab. "Kau pimpin anak buahmu untuk menyerang tanah
Jawa," Takasima memerintah. "Ingat! Jangan sekali-kali gagal! Kalau gagal, maka kaulah
yang akan mendapatkan hukumannya!"
"Baiklah! Demi Ninja Merah, aku siap!" Ta-ka Mora, adalah adik dari ketua Ninja
Merah Ta- kasima. Namun dalam keninjaan, tidak ada ter-
dapat siapa adanya dia. Semua sama, semua ha-
rus menjunjung tinggi nama perserikatannya.
Walau itu adik, kakak, atau pun orang tua mere-
ka. Bila mereka gagal, maka hanya ada dua pili-
han. Harakiri, atau dihukum pancung oleh yang
lainnya. Taka Mora berjalan meninggalkan ruang
pertemuan, di mana kakaknya selaku ketua Ninja
Merah nampak masih berbincang-bincang dengan
beberapa tokoh samurai yang telah bergabung
untuk bersama-sama membuat kerusuhan di ta-
nah Jawa Dwipa. Di situ nampak panglima Sani
Shiba, Panglima Tukebu, juga pendekar negeri
Nippon Takanata.
"Panglima Sani Shiba, bagaimana rencana
tuan?" Takasima menanya, setelah sejenak ter-
diam memandang kepergian adiknya untuk me-
mimpin Ninja Merah menuju ke Jawa.
"Seperti engkau ketahui, bahwa pendekar
tanah Jawa merupakan pendekar-pendekar pilih
tanding. Untuk itu, aku dan para prajuritku saat ini tengah menyusun rencana
yang matang," Sani Shiba menerangkan.
"Apakah tidak terlalu lama?" tanya Takasima. Sani Shiba tersenyum, melirik pada
dua rekannya yang tidak lain Panglima Tukebu dan Ta-
kanata. Dua orang ini telah disewa oleh kerajaan untuk tugas tersebut. Tukebu
yang dulunya bukanlah seorang panglima, kini diangkat menjadi
panglima ketiga.
"Bagi kami, lama tak menjadi apa, asalkan
kemenangan," Takanata yang ngomong, nadanya mencerminkan keangkuhan. Mungkin
dikarenakan dirinya sangat disegani di dataran Nippon,
sebagai seorang pendekar yang pilih tanding.
Takasima angguk-anggukkan kepalanya
mendengar jawaban Takanata. Ia maklum kalau
Takanata menyombong, sebab ia sendiri tahu
persis siapa Takanata. Takasima mengenal Taka-
nata sejak masih kecil. Keduanya merupakan sa-
tu keturunan, sehingga keduanya masih terikat
oleh persaudaraan. Dan karena itulah, sehingga
Takasima tak merasa harus takut-takut mengha-
dapi para musuh yang terdiri dari kalangan ista-na.
Sebenarnya di kerajaan tengah terjadi per-
golakan. Pergolakan tersebut dilakukan oleh Ninja
Bersamurai Ular yang mengadakan pemberonta-
kan. Namun sejauh ini, Ninja Bersamurai Ular tak pernah mampu menggulingkan
tampuk kekua-saan kerajaan. Niatnya selalu terhalang oleh para Pendekar Samurai.
Dan halangan itu makin terasa berat saja, tatkala Takanata bergabung dengan
kerajaan. "Kapan Tuan Panglima mengadakan invan-
si ke tanah Jawa?"
"Itu belum bisa kami katakan," jawab Panglima Sani Shiba.
"Kalau kami Invansi, apakah engkau akan
turut?" Takanata bertanya.
"Mungkin! Sebab semuanya tergantung
dengan keadaan."
"Maksudmu, Takasima?" tanya Takanata kembali.
"Kalau memang misi yang aku perintahkan
melalui adikku gagal, maka aku akan secepatnya
berangkat ke sana." Takasima tarik napas panjang, lalu katanya meneruskan.
"Takasita telah mendahului ke tanah Jawa. Dan sampai sekarang
belum ada kabar beritanya."
"Hem, jadi pimpinan Ninja Hitam sudah
mendahului kita?"
"Bukan hanya Takasita saja, tetapi anak
buahnya yang berjumlah seratus orang telah ter-
bantai." "Apa...!" ketiga orang istana itu memekik kaget. "Ninja Hitam dapat dibantai?"
"Ya! Itulah mengapa mereka meminta ban-
tuan pada kita."
Ketiga orang istana itu terdiam, sepertinya
ada guratan ketidakpercayaan akan diri mereka
sendiri. Mereka kini harus membayangkan ba-
gaimana diri mereka nantinya. Ninja Hitam yang
merupakan serikat yang paling ditakuti pada aliran hitam di Nippon saja dapat
dengan mudah tertumpas. "Hem, ternyata orang-orang tanah Jawa
Dwipa memiliki ilmu beladiri tinggi," gumam Takanata takjub. "Tak aku sangka."
"Kabarnya mereka memiliki ilmu yang
aneh," menambah Takasima, menjadikan keti-
ganya kembali terbelalak seraya bertanya tak
mengerti. "Ilmu aneh...?"
"Ilmu apakah?" Sani Shiba yang bertanya.
"Para pendekar tanah Jawa mampu menge-
luarkan angin puting beliung. Di samping itu ju-ga, senjata mereka mampu
memangkas samurai-
samurai yang kita miliki."
"Ah...!"
"Ya! Begitulah kabar yang aku terima dari
Takasita."
Ketiga orang istana kembali terangguk-
angguk mengerti. Kini ketiganya benar-benar ha-
rus berpikir untuk yang kesekian kali bila hendak mengadakan Invansi ke tanah
Jawa. Bukan mus-tahil, ilmu mereka belum berarti bagi ilmu yang dimiliki oleh


Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para pendekar tanah Jawa.
"Baiklah, Saudara Takasima, aku doakan
misimu berhasil."
"Ya! Semoga kita mampu mengatasinya,"
Takanata berkata menambahkan ucapan Sani
Shiba. "Terimakasih! Trimakasih! Kami akan memberi kabar bila kami akan ke tanah
Jawa." Setelah ketiga orang istana menjura, yang
dibalas juraan oleh Takasima, ketiganya segera
berlalu meninggalkan perguruan Ninja Merah
yang dipimpin oleh Takasima. Ketiganya kembali
ke istana untuk mengadakan rencana. Dalam be-
nak mereka terselip sebuah rasa takut, juga tak yakin pada kemampuan mereka.
* * * DITANAH JAWA DWIPA...
Jaka Ndableg yang tengah berlari dalam
usahanya mencari musuh kakeknya, seketika
hentikan larinya manakala terdengar suara seseorang berkata.
"Hendak kemana engkau, Cucuku?"
Jaka Ndableg tersentak, palingkan muka
mencari asal suara tersebut. Tak ada orang di
tempat tersebut, menjadikan Jaka terheran-
heran. Jelas suara itu dekat benar dengan di-
rinya. "Kau jangan kaget, Cucuku," kembali suara itu menggema.
"Siapakah engkau...?"
"Aku kakekmu, Jaka. Aku Ki Paksi Anom,
pemilik Kitab Banyu Geni."
Mendengar suara itu menyebut siapa di-
rinya, serta merta Jaka jatuhkan diri bersujud.
"Ampunkanlah cucumu yang tak tahu,
Kek." "Tidak mengapa, Jaka," kembali suara tersebut menggema. "Kau hendak ke
mana?" "Bukankah menurut petunjuk di kitab cu-
cu diharuskan mengadakan perhitungan dengan
Dewa Segara?" Jaka menjelaskan, menjadikan Ki Paksi Anom tertawa mengekeh.
"Kenapa kakek tertawa?"
"Jaka cucuku. Dewa Segara sudah kau ka-
lahkan." "Ah...! Kenapa kakek bercanda?"
"Aku tidak bercanda, Cucuku. Aku serius.
Bukankah semalam kau telah membinasakan-
nya?" Jaka kerutkan kening, mencoba mengingat-ingat segala kejadian yang semalam
ia alami. Semalam ia memang telah bertarung dengan se-
sosok mahluk tanpa ujud. Apakah mahluk terse-
but yang dimaksudkan kakeknya"
"Apakah sesosok mahluk yang terbakar itu,
Kek?" "Benar, Cucuku. Dialah Dewa Segara."
"Hem, kalau begitu ia telah tahu bahwa
aku cucumu hingga ia datang menemui diriku."
"Memang. Nah, kini kau pulanglah kemba-
li. Kasihan Ki Aswatama. Dia adalah seorang teman baik. Dia rela berkorban demi
sahabatnya. Kini dia dalam bahaya. Dia dalam penculikan oleh orang-orang asing."
"Benarkah itu, Kek?"
"Tak akan aku menjerumuskan dirimu,
Cucuku. Cepatlah kau pulang. Ki Aswatama kini
dalam keadaan bahaya."
"Baiklah, Kek."
Dengan terlebih dahulu menyembah, Jaka
kemudian berkelebat tinggalkan tempat lapangan
ilalang tersebut, balik menuju di mana Ki Aswa-
tama tinggal. Saking angannya diburu oleh pera-
saan takut kalau-kalau Ki Aswatama benar-benar
akan dicelakai oleh orang-orang asing yang dikatakan kakeknya, menjadikan Jaka
berlari bagai- kan kilat. Dengan ajian Angin Puyuhnya, Jaka
melesat laksana terbang.
* * * Tengah Jaka berlari menuju kembali, tiba-
tiba langkahnya dihadang oleh puluhan orang-
orang berkerudung merah mengerudungi seluruh
tubuhnya. Orang-orang berpakaian dan kerudung
serba merah yang tak lain Ninja Merah, nampak
dengan siaga menghadang langkahnya. Samurai
mengkilap tergenggam di tangan mereka masing-
masing. Jaka tersentak, hentikan langkah. Dipan-
danginya wajah di balik cadar merah tersebut sa-tu-satu, seakan ingin
menembuskan pandangan
matanya ke mata mereka.
"Siapakah kalian adanya" Dan mengapa
kalian menghadangku?"
Semua ninja tak ada yang berbicara, diam
mematung dengan Samurai yang telah siap sedia
di tangan mereka masing-masing. Samurai itu
menempel di muka mereka, lurus dengan mata
menghadap ke arah Jaka.
"Hai, mengapa kalian diam?"
"Hiiiiiaaaat...!"
Itulah jawaban dari pertanyaan yang dilon-
tarkan Jaka Ndableg. Jawaban tersebut berupa
serangan dari para Ninja Merah yang mendadak.
"Heh, mengapa kalian menyerangku...?"
Jaka terheran-heran tak mengerti. "Apa salah...."
Belum juga ucapan Jaka selesai, Samurai di tan-
gan mereka berkelebat membabat ke arah tubuh
Jaka. "Wuuut...!"
Jaka lemparkan tubuh ke samping, namun
ternyata dari samping kirinya telah kembali seorang ninja babatkan pedangnya
dengan cepat. "Wuuuttt...!"
Jaka kini ke samping kanan, doyongkan
tubuh hingga Samurai di tangan Ninja itu melesat beberapa centi di hadapannya.
Tapi belum juga
Jaka terapkan kakinya, tiba-tiba dari arah belakang berkelebat seorang Ninja
dengan Samurai siap menghunjam ke tubuhnya.
"Wadauw...! Ampun, Oom... Mengapa ka-
lian mencercaku?"
Setelah menjerit begitu, segera Jaka run-
dukan kepala menghindar. Sikutnya bergerak,
hingga...! "Dugk...!"
Orang yang terkena sikutannya seketika
menjerit, berguling-guling menahan sakit. Mu-
kanya terasa remuk, tulang pipinya bagaikan
hancur terkena sikutan Jaka.
Melihat rekannya mampu dikalahkan, se-
gera Ninja yang lainnya berkelebat bareng menyerang Jaka. Mereka dengan pedang
terhunus mengkiblat ke arahnya lari kencang hendak me-
nyerang. "Wuuut...!"
Puluhan Samurai membabat ke tubuh Ja-
ka, yang dengan segera lentingkan tubuh ke ang-
kasa. Para Ninja Merah tersentak demi menyaksi-
kan gerakan Jaka. Sejenak mereka terpaku. Dan
manakala Jaka kembali turun sambil jejakkan
kaki, mereka tak mampu lagi menghindar.
"Dug, dug, dug...!"
Kaki Jaka dengan telak menghantam muka
ketiga ninja yang berada tidak jauh darinya. Seketika ketiga Ninja Merah
tersebut memekik, berguling-guling dengan darah muncrat dari mulut dan
hidungnya. "Wadauw...!" Jaka kembali memekik, ge-serkan tubuh miring ke kanan mengelakan
teba- san salah seorang Ninja Merah. "Kalian terlalu!
Kalian orang-orang asing tak tahu etika!"
Ninja-ninja itu tak hiraukan dengan rungu-
tan Jaka. Mereka terus membabatkan samurai-
samurainya. Hal ini menjadikan Jaka harus ber-
juang mati-matian untuk menghindari babatan
samurai mereka. Dan hanya dengan menghan-
dalkan ilmu meringan tubuh saja hal tersebut
dapat dilakukan.
"Wuuut...!"
Jaka tersentak, lalu dengan segera doyong-
kan tubuh ke muka elakkan serangan dari bela-
kang. "Kurang ajar! Rupanya kalian persis bina-tang! Beraninya membokong!" Jaka
maki-maki sendiri, egoskan tubuh menghindari serangan
samurai yang membabat ke arahnya. Beberapa
senti saja samurai tersebut melesat. Kalau saja Jaka tidak segera cepat
menghindar, niscaya tubuhnya akan menjadi daging cincang.
"Wuuut...!"
Jaka kembali lemparkan tubuh ke angka-
sa, manakala ninja-ninja tersebut kembali bareng membabatkan samurai mereka. Dan
manakala turun, segera Jaka kepalkan tangannya. Tubuh
Jaka kini merosot ke bawah, siap untuk mengha-
dapi samurai-samurai di tangan mereka. Samu-
rai-samurai tersebut kini mengarah ke arahnya,
siap menjadikan diri Jaka sate.
Jaka terus melaju ke bawah dengan tangan
masih mengepal. Dan manakala benar-benar di-
rasa tepat, tanpa buang-buang waktu lagi Jaka
keluarkan ilmu yang dipelajari dari Kitab Banyu Geninya. Jurus itu tak lain
jurus ilmu Inti Geni.
Dan saat itu pula, dari tangan Jaka Ndableg ke-
luar api menyala-nyala menyelimuti tangannya.
Terkesiap para ninja itu demi melihat apa
yang selama ini belum mereka ketahui. Hanya da-
lam dongeng saja hal itu mereka tahu. Tetapi di tanah Jawa kini mereka benar-
benar melihat dengan mata kepala mereka, bukan hanya don-
geng. "Inti Geni, hiaaaaaatttt...!"
Jaka lepaskan pukulan Inti Geninya. Dan
api pun seketika membersit, lepas dari tangan-
nya. Bola api itu melesat cepat, mengarah pada
para ninja. Dengan semampunya, para Ninja Me-
rah yang berjumlah hampir tiga puluh itu meme-
kik lemparkan tubuh mereka menghindar.
"Duuum...!"
Ledakan seketika terjadi, manakala api itu
mengena ke salah seorang ninja. Dalam sekejap
saja, tubuh orang tersebut terbakar Inti Api.
Orang itu mengerang, lalu tak lama kemudian
merenggang nyawa dan mati dengan tubuh, han-
gus terbakar. Betapa gusarnya teman-teman Ninja Merah
lainnya melihat hal tersebut. Dengan nekad ninja lainnya berkelebat babatkan
samurai ke arah Ja-ka. Tersentak Jaka Ndableg, kibaskan tangan
yang berapi. Seketika api muncrat dari tangan
Jaka, mendesing menuju ke arah ninja-ninja ter-
sebut yang dengan segera lemparkan tubuh me-
reka menghindar.
"Wuuut...!"
Sebuah samurai berkelebat, hampir mem-
babat putus leher Jaka kalau saja Jaka Ndableg
tidak segera rundukkan kepala. Jaka egoskan tu-
buh, lalu dengan cepat tendangkan kaki ke bela-
kang. Duuuk! "Aaaaaaa...!"
Orang yang berada di belakangnya meme-
kik. Kaki Jaka menghantam tulang keringnya,
hingga tulang kering tersebut bagaikan retak.
"Gawat kalau aku tidak dengan senjata,"
gumam Jaka dalam hati. Matanya masih meman-
dang tajam, menghunjam pada orang-orang yang
beringas berdiri di hadapannya dengan samurai-
samurai siap menyerang.
"Dening Ratu Siluman Darah, Datanglah!"
Tersentak ninja-ninja merah menyaksikan
hal yang aneh di mata mereka. Bagaimana mung-
kin tiba-tiba Jaka telah menggenggam sebuah pe-
dang bersinar-sinar kuning kemerah-merahan"
Bagi mereka jelas hal itu suatu keanehan. Namun rupanya mereka tak mengenal rasa
takut sedikit pun. Dengan menggeretak ninja-ninja merah itu
berkelebat lari siap menyerang dengan samurai di tangan mereka.
"Hiiaaaaaa....!"
"Hem, kalian mencari mati!" rungut Jaka.
"Hiiiiaaaaattt...!"
"Wuuut...! Wuuuttt...!"
"Wuuuttt!"
Samurai-samurai di tangan para ninja itu
terus membabat ke arah Jaka. Jaka dengan en-
teng mengelakkannya, lalu dengan cepat ba-
batkan Pedang Siluman Darah ke arah samurai-
samurai di tangan ninja-ninja merah tersebut.
"Wuuutttt...!"
"Wuuut...!"'
"Traaaaangg.....!"
Membeliak mata ninja-ninja tersebut me-
nyaksikan samurai-samurai mereka telah pun-
tung hingga tinggal genggamannya. Rasa takut di hati mereka bukan alang
kepalang. Kini mereka
sadar, bahwa senjata yang berada di tangan pe-
muda itu bukanlah sembarangan senjata.
"Aaaaaauuuuuunnnngggg...!"
Tengah mereka terpaku, tiba-tiba terdengar
aungan panjang menggema. Secepat kilat ninja-
ninja tersebut berkelebat menghilang dari pan-
dangan Jaka setelah terlebih dahulu melempar-
kan bom-bom asap.
"Heh, kemana mereka?" Jaka tersentak, mencari-cari keberadaan mereka. "Aneh!
Mereka dengan cepat menghilang!"
Dengan cepat setelah mengingat akan uca-
pan kakeknya Jaka berkelebat kembali menuju ke
tempat Ki Aswatama. Larinya bagaikan terbang,


Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena dilandasi oleh ajian Angin Puyuh. Dan karena saking cepatnya, Jaka nampak
bagaikan terbang, bukan berlari. Kakinya tidak menginjak rumput, melayang di angkasa.
7 Jaka Ndableg terus berlari menuju ke pon-
dok yang ia tempati bersama Ki Aswatama. Dan
seketika itu mendidih marahlah Jaka Ndableg
demi melihat tubuh Ki Aswatama tergeletak den-
gan luka-luka yang menyedihkan.
"Biadab!" Jaka menggeretak marah. "Sungguh biadab yang melakukan ini semua."
Segera Jaka hampiri tubuh tergeletak itu,
lalu dengan penuh kasih dibopongnya tubuh pe-
nuh luka-luka ke atas, di mana dipan tua berada.
Dibaringkan tubuh tua renta itu ke atas dipan, la-lu setelah sejenak membaca
mantra Jaka segera
berkata-kata dengan sang Ratu Siluman Darah,
"Sri Ratu, orang ini perlu bantuanmu."
"Siapa dia, Jaka?" terdengar suara wanita berkata.
"Dia Ki Aswatama. Ayah mengenalnya," jawab Jaka.
"Baiklah, Jaka. Kau telah menempuh sega-
la ujian yang telah aku berikan secara tidak langsung padamu. Dengan adanya kau
lulus ujian tersebut, maka sejak saat ini Pedang Siluman Darah resmi menjadi milikmu.
Terimalah pedang itu yang kini dengan sarungnya. Jaga pedang itu
baik-baik, sebab pedang itu adalah nyawamu."
"Baik, Sri Ratu. Segala ucapanmu akan
aku junjung tinggi," Jaka menjawab. "Tapi, apakah Sri Ratu sejak saat ini tak
membantuku la- gi?" "Aku akan tetap membantumu, Jaka."
"Trimakasih, Sri Ratu."
"Nah, terimalah Pedang Siluman Darah. To-
longlah kakek tua itu."
Pedang Siluman Darah tiba-tiba tanpa se-
pengetahuan Jaka kini telah menempel di pung-
gungnya dengan lengkap sarung serta tali yang
tahu-tahu mengikat di tubuh Jaka. Jaka tersen-
tak, melihat kenyataan tersebut.
Dengan segera di tariknya Pedang Siluman
Darah yang berada di sarungnya. Nampak sinar
kuning kemerah-merahan memancar, menyilau-
kan mata. Jaka tersenyum senang, lalu dengan
menjura ia berkata: "Oh, terimakasih, Sri Ratu.
Terimakasih atas segala kepercayaanmu padaku."
"Nah, lakukan apa yang sebaiknya engkau
lakukan. Tempelkan Pedang Siluman Darah itu
ke tubuh tua tersebut."
Tanpa membantah, Jaka segera lakukan
apa yang diperintah oleh Ratu Siluman Darah. Di tempelkannya batang pedang pada
luka-luka di tubuh Ki Aswatama. Dan dalam sekejap saja lu-
ka-luka itu menghilang, kering dengan sendi-
rinya. Racun yang terdapat di dalam darah turut keluar, terhisap oleh Pedang
Siluman Darah. Ki Aswatama menggeliat sadar, membuka
matanya perlahan-lahan. Matanya nampak te-
rang, memandang sekelilingnya, lalu memandang
pada Jaka Ndableg yang tersenyum dengan tan-
gan masih mengenggam Pedang Siluman Darah.
"Di mana aku, Jaka?" tanyanya. Jaka makin lebarkan senyum. "Paman berada di
pondok paman," jawab Jaka.
Ki Aswatama tersentak mendengar ucapan
Jaka. "Bukankah tadi aku dikeroyok oleh orang-orang berpakaian dan cadar serba
merah?" gumamnya.
"Jadi benar Paman tadi dikeroyok oleh
orang-orang asing?"
"Ya! Mereka menanyakan mengenai Kitab
Banyu Geni."
Jaka terdiam mendengar jawaban Ki Aswa-
tama. Kini ia tahu mengapa orang-orang asing
tersebut mengeroyoknya di jalan. Mungkin mere-
ka pun diperintah oleh pimpinannya untuk
menghadang dirinya yang dianggap membawa Ki-
tab Banyu Geni.
Mata Ki Aswatama tak lepas memandang
pada pedang di tangan Jaka. Pedang aneh, yang
mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan.
Sebuah pedang yang mampu menggetarkan jan-
tung bagi yang melihatnya. Ki Aswatama memang
telah mendengar senjata milik cucu sepupunya
itu, namun melihat bentuknya ia baru kini meli-
hat. "Tentunya itu Pedang Siluman Darah, Ja-ka?" tanyanya.
"Ya! Kini pedang ini resmi menjadi milik-
ku." "Ooh, betapa kau akan menjadi seorang pendekar yang tiada tanding, Jaka,"
Ki Aswatama menggumam. "Tapi kau harus ingat bahwa nyawamu berada di ujung
pedang tersebut, Jaka.
Kau harus terus menjaganya."
"Benar katamu, Ki."
Tengah keduanya ngobrol, terdengar se-
ruan dari luar memanggil nama Ki Aswatama.
"Aswatama, keluar kau!"
Terbelalak mata Jaka dan Ki Aswatama
mendengar seruan tersebut. Jaka segera bangkit
dari jongkoknya, berjalan dengan mantap keluar
rumah di ikuti oleh Ki Aswatama di belakangnya
yang telah pulih sehat bagaikan tiada pernah lu-ka.
"Ki Aswatama, cepat keluar!"
"Apa yang membuatmu berteriak-teriak
orang sinting!" Jaka memaki marah. "Apakah kau
kira kami tidak mendengar?"
"He, he, he...! Kebetulan! Kebetulan sekali!"
orang tua renta berbadan agak bongkok yang ti-
dak lain Sumping Tindik terkekeh memandang
pada Jaka. "Kebetulan, kau ada di sini, anak mu-da." Jaka tersenyum kecut.
Melangkah mendekat ke arah Sumping Tindik. Pedang Siluman Da-
rah masih berada di sarungnya, belum layak Jaka mengeluarkannya. Mata Jaka
memandang tajam
ke arah Sumping Tindik. Dalam pandangannya
terdapat tanda tanya, mengapa orang tua renta
itu mengatakan kebetulan" Apakah orang tua
bencong tersebut ada ganjelan dengannya"
"Siapa dia, Paman?" tanya Jaka pada Ki Aswatama.
"Dialah yang bernama Sumping Tindik, Ja-
ka." "Oohh... Jadi engkaulah yang bernama Nyi Sumping Tindik?"
"Eeh, apa kau bilang, anak muda?" Sumping Tindik pelototkan mata genit ke arah
Jaka. "Kalau saja yang ngomong bukan pemuda gan-
teng sepertimu, mungkin mulutnya sudah kube-
jek." Jaka tertawa bergelak mendengar ucapan Ki Sumping Tindik yang kebencong-
bencongan. Sementara Ki Aswatama, nampak berusaha te-
nang, Ki Aswatama tetap berjalan dan berhenti di samping Jaka.
"Hati-hati, Jaka. Orang tua itu suka sekali bila melihat lelaki tampan."
"Aku tahu, Paman," jawab Jaka. "Sumping Tindik! Ada gerangan apa kau datang
menemui Ki Aswatama?"
"Heee, heee, heeee..! Anak muda, aku da-
tang ke mari karena menyangkut masalah Kitab
Banyu Geni yang berada di tangan Ki Aswatama."
"Hem, kalau benar, kau mau apa?" Tanya Jaka. "Heee, heee, heee...!" Sumping
Tindik tersenyum, leletkan lidah dengan mata tak henti-
hentinya memandang pada Jaka Ndableg yang
tampan itu. "Aku tak akan mengungkit-ungkit kitab tersebut asal kau mau melayani
kemauanku, Anak muda."
"Edan!" maki Jaka dalam hati.
"Apa yang mesti aku lakukan, Nyi?" tanya Jaka berkelakar penuh ejekan. "Apakah
aku harus memijitimu dengan senjataku ini?"
"He, he, he...! Kau jangan bercanda, Anak
ganteng." Sumping Tindik nampak remehkan apa yang kini tengah di tarik oleh
tangan Jaka Ndableg dari sarungnya.
"Sraaang...!"
Melotot seketika mata Sumping Tindik me-
nyaksikan apa yang kini tergenggam di tangan
Jaka. Sebuah pedang yang sudah dikenal di du-
nia persilatan dan telah mengguncangkan dunia
persilatan sekarang-sekarang ini. Pedang tersebut menyiratkan sinar kuning
kemerah-merahan,
membersit menyilaukan mata. Dan yang lebih
aneh, dari ujungnya keluar darah menetes mem-
basahi batang pedang. Sumping Tindik melompat
ke belakang, tersentak kaget seraya memekik tertahan. "Pendekar Pedang Siluman
Darah...! Kau..."! Kaukah Pendekar Pedang Siluman Darah
atau Jaka Ndableg?"
"Ya! Akulah Jaka Ndableg, yang akan
menggantung nyawa busukmu!" Jaka menggere-
tak. "Selama ini aku mencarimu, untuk menghukummu. Tetapi rupanya nasib mujur
tengah be- rada di pihakmu, hingga aku tak tahu tempat
persembunyianmu. Tapi kini kau datang sendiri
setelah sepuluh tahun menghilang. Aku diperin-
tah oleh para pendekar untuk menghukummu,
Sumping!" Sumping Tindik tersentak, makin menyu-
rut mundur. Matanya kini bukan mata kebencon-
gan, tapi mata Sumping Tindik menyorot tajam,
menghunjam penuh kebencian pada Jaka. Bibir-
nya tersungging senyum, lalu dengan mengekeh
dia pun berkata. "He, he, he...! Apa yang akan kau perbuat, Jaka" Kau tak akan
mampu," "Sombong!"
"He, he, he...! Kau terkejut, Jaka"!"
"Bedebah! Dasar Bujang Lapuk!"
Makin marah saja Sumping Tindik men-
dengar ucapan Jaka Ndableg yang mengatakan
Bujang Lapuk padanya. Dan rupanya hanya uca-
pan itulah yang mampu membangkitkan amarah
kakek tua renta bencong tersebut.
"Bangsat! Aku bunuh kau...! Hiaaaaattt...!"
Bagaikan seekor harimau lapar Sumping
Tindik menerkam ke arah Jaka. Melihat Sumping
Tindik menggunakan tangan kosong, Jaka pun
dengan segera menyarungkan Pedang Siluman
Darahnya dan memapaki serangan dengan tan-
gan kosong pula.
"Kupecahkan batok kepalamu, Anak mu-
da!" "Wuuut...!"
Tangan Sumping Tindik berdesing, meng-
hantam batok kepala Jaka Ndableg. Jaka segera
rundukkan tubuhnya, sehingga tangan Sumping
Tindik melesat di atas kepalanya beberapa mili.
Jaka kirimkan jotosan ke lambung Sump-
ing Tindik. Dengan cepat Sumping Tindik buang
badannya ke belakang, hindari jotosan tangan
Jaka lalu balik menyerang dengan tendangan ka-
ki kanannya membentuk sudut 45 derajat. Itulah
jurus Kaki Kuda Menerpa Batu Karang.
"Wuuut...!"
Kaki Sumping Tindik menyerang dengan
tendangan, mengarah ke kemaluan Jaka. Jaka
tersentak kaget, lemparkan tubuh bersalto hinda-ri tendangan yang mengarah ke
barang miliknya.
Belum juga Jaka mengetrapkan kakinya, Sump-
ing Tindik telah kembali mencercanya dengan pu-
kulan tangannya.
"Wuuuttt...!"
"Ah...!" Jaka balas dengan tangan kirinya menangkis
"Deb!" Dua tangan itu saling beradu. Melihat hal tersebut, Sumping Tindik
kembali ten- dangkan kakinya ke arah selangkangan Jaka.
Namun dengan cepat Jaka balas dengan Jurus
Kera Gila Menyapu Kaki Menghalang Tikus.
"Wuuut...!"
"Bletook...!"
"Wadauaauuuuw...!" Sumping Tindik me-
mekik, manakala tulang kering kakinya beradu
dengan tulang kering kaki Jaka yang masih mu-
da. Walau Sumping Tindik telah menyalurkan te-
naga dalamnya, namun Jaka pun tak diam begitu
saja. Saat Sumping Tindik salurkan tenaga da-
lam, segera Jaka pun mengikutinya salurkan te-
naga dalam pula.
Sumping Tindik pegangi tulang kering ka-
kinya yang terasa remuk. Ia berputar-putar men-
coba hilangkan rasa sakit yang teramat sangat.
Dan manakala tangannya lepas dari tulang ke-
ringnya, nampak tulang keringnya membengkak.
Rasa panas teramat sangat menyengat pada
bengkakan tersebut.
"Kurang ajar! Kau harus membalas semua
ini!" Sumping Tindik ambil Kipas Hitamnya. Kipas tersebut adalah senjatanya.
Kehebatan kipas itu sudah di uji manakala ia masih merajai dunia
persilatan. Sumping Tindik kipaskan Kipas Hi-
tamnya. Angin puting beliung seketika keluar
menerpa pada Jaka dan Ki Aswatama.
Jaka dan Ki Aswatama tersentak kaget,
lompat ke belakang menghindar. Namun angin
puting beliung itu terus saja menerpa tubuh me-
reka. Angin itu makin lama makin besar, dengan
hawa yang mengandung rasa panas.
"Paman, menyingkirlah, biar aku yang
menghadapi iblis ini."
Ki Aswatama tak membangkang, ia segera
berlalu kembali ke pondoknya, meninggalkan Ja-
ka yang masih menghadapi Sumping Tindik yang
terkekeh-kekeh kipasan. Sumping Tindik me-
nyangka bahwa Jaka akan mampu ia jatuhkan.
"Sriiing...!"
Tersentak Jaka manakala dari Kipas Hitam
di tangan Sumping Tindik keluarkan puluhan pi-


Pedang Siluman Darah 25 Kitab Pembawa Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sau kecil mendesing ke arahnya. Dengan segera
Jaka lemparkan tubuh menghindar, lalu dengan
cepat tebaskan Pedang Siluman Darah ke arah
pisau-pisau tersebut. Dalam sekali tebas saja pisau-pisau itu luluh lantah,
berantakan dengan
keadaan terpotong-potong.
Mata Sumping Tindik melotot, melihat pi-
sau-pisau kecilnya dengan sekali kebat saja telah berantakan dibuatnya. Namun
kegagalan pertama
tidak menjadikan Sumping Tindik menyadari
bahwa ilmu yang dimiliki oleh Jaka jauh berada
di atasnya. Dan dengan nekad Sumping Tindik
menggelegar menyerang.
"Hiiiiiaaaaaaattttt...!"
Jaka tersenyum melihat Sumping Tindik
mencelat ke arahnya dengan maksud menyerang.
Segera Jaka kiblatkan Pedang Siluman Darah ke
arah datangnya Sumping Tindik dengan Kipas Hi-
tamnya. "Hiiiiaaaaaaaaaattt...!"
Kedua tubuh itu terbang melayang di uda-
ra. Keduanya dengan senjata masing-masing
nampak melayang, kiblatkan senjata mereka ke
arah lawan. "Swiiing...!"
"Wuuut...!"
Jaka tebaskan Pedang Siluman Darah,
memapaki serangan pisau-pisau maut yang di-
lancarkan oleh Sumping Tindik.
"Trang...!"
"Aaaaaaaah...!" Sumping Tindik memekik, manakala salah sebuah pisaunya mencelat
balik menyerang ke arahnya. Pisau maut itu menghun-
jam di jidatnya, menjadikan sebuah pemandan-
gan yang mengerikan. "Kau...! Awas kau, nanti aku akan membuat perhitungan
denganmu!"
Setelah berkata begitu, dengan cepat tak
hiraukan Jaka lagi Sumping Tindik berkelebat
pergi. Pisau mautnya masih menghunjam di ken-
ing, tak dilepaskan. Pisau tersebut sengaja di-
biarkan menancap di keningnya. Dan kelak pisau
tersebut akan sebagai bukti manakala ia hendak
menuntut balas pada Jaka Ndableg.
Jaka hanya terpaku diam, memandang ke-
pergian Sumping Tindik. "Sungguh bencana! Kitab tersebut kalau tidak segera aku
bakar, nis- caya akan terus membawa bencana."
* * * "Jaka, Tooloooongg...!"
Jaka yang masih mematung diam tersen-
tak demi mendengar seruan Ki Aswatama. Den-
gan masih menggenggam Pedang Siluman Darah
Jaka segera berkelebat menuju ke pondok di ma-
na Ki Aswatama berada. Baru saja Jaka sampai di tengah jalan, terdengar seruan
memekik Ki Aswa-
tama. "Aaahhhh...!"
"Bangsat!" Jaka merutuk marah, lalu dengan berkelebat terbang Jaka babatkan
Pedang Si- luman Darah. Tak ayal lagi, semua yang terkena
hancur berantakan.
"Kalian orang-orang asing, Bangsat! Aku
bunuh kalian!"
Jaka terus mencerca ninja-ninja merah itu
dengan sabetan dan babatan pedangnya. Pedang
Siluman Darah nampak membara laksana men-
gandung api. Kemarahan Jaka benar-benar sudah
tidak dapat di bendung lagi.
"Wuuut...!"
"Awas...!" terdengar pimpinan Ninja Merah menyadarkan pada anak buahnya. Segera
anak buahnya berkelebat menghindari tebasan pedang
di tangan Jaka.
"Bagero! Orang Jawa keparat!"
"Bangsat! Kalianlah yang keparat!" Jaka memaki marah, mendengar makian pimpinan
Ninja Merah. Dengan gusar terus mencerca mere-
ka dengan tebasan-tebasan pedangnya.
"Wuuut...!"
"Aaahhhhhh....!" memekik seorang ninja, terbabat putus tubuhnya. Namun seketika
mata ninja lainnya membeliak kaget, tatkala menyaksikan keanehan di tubuh rekannya.
Tubuh rekan- nya yang terbabat tak mengeluarkan darah se-
tetes pun. "Bagero! Serang...!"
"Wuuut! Wuuur! Wuuut!"
Samurai di tangan mereka berkelebat den-
gan ganas menyerang Jaka. Tersentak Jaka sege-
ra elakkan serangan yang datangnya berbarengan
tersebut. Namun tak ayal, sebuah samurai mam-
pu menggores dadanya. Darah mengucur lewat
goresan dada Jaka, menjadikan Jaka Ndableg
nampak beringas. Matanya memandang dengan
tajam, tubuhnya terpaku diam. Jaka kini benar-
benar marah, sehingga tanpa sadar ia keluarkan
ilmu dari Kitab Banyu Geni. Ilmu tersebut tak lain ilmu intinya yang bernama
Dewa Geni. "Dewa Geniii...! Dewa Geniiii! Dewa Geniiii...!" Tubuh Jaka kini benar-benar
telah berubah menjadi Dewa Brahma atau Dewa Api. Di se-
genap tubuhnya kini tertutup api yang menyala-
nyala. Tak urung juga Pedang Siluman Darah Pe-
dang tersebut kini berubah menjadi sebilah pe-
dang api. Tersentak semua ninja merah melihat hal
tersebut. Namun dengan segera pimpinannya
yang tak lain Taka Moro memberikan perintah.
"Bagero! Serang siluman itu...!"
"Wuuut...!"
"Wuuut...!"
Samurai di tangan ninja-ninja merah ber-
kelebat membabat tubuh Jaka, namun bagaikan
tak ada artinya samurai-samurai tersebut. Samu-
rai-samurai itu seketika meleleh, berbarengan
dengan pemiliknya yang langsung terpanggang.
Sekejap saja semua ninja merah habis dengan tu-
buh terbakar menghitam jadi arang.
"Huaaaaa... Huahaaa...!" Dewa Api tertawa bergelak, lalu perlahan berjalan
mendekati Taka Moro yang ketakutan. "Kau tentunya pimpinan ninja-ninja ini,
bukan?" "Be-benar, tuan."
"Kau, aku bebaskan! Katakan pada yang
menyuruhmu, bahwa di tanah Jawa tak akan ka-
lian mampu berbuat apa-apa. Katakan juga Dewa
Api akan menghukum mereka jikalau berani ma-
cam-macam di tanah Jawa. Nah, pergilah!"
Dengan penuh ketakutan Taka Moro men-
jura, lalu tanpa banyak kata lagi Taka Moro yang benar-benar tahu dan takut itu
berkelebat pergi meninggalkan Jaka Ndableg si Dewa Api. Jaka
tertawa gelak, lalu dengan segera hampiri tubuh Ki Aswatama yang tergeletak. Di
sarungkannya kembali Pedang Siluman Darah, lalu dengan rin-
gan diangkatnya tubuh tua renta tanpa nyawa
tersebut pergi ke luar. Tubuh tua renta itu bagaikan tak terbakar di tangan Jaka
Ndableg yang telah berubah menjadi Dewa Api.
Dengan langkah ringan Jaka terus menuju
ke tempat di mana tubuh tua itu hendak diku-
burkan. Tempat di mana kakeknya dimakamkan.
TAMAT https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
KITAB PEMBAWA BENCANA
TAMAT Medali Wasiat 5 Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Pedang Golok Yang Menggetarkan 3
^