Pencarian

Munculnya Ratu Siluman Darah 1

Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah Bagian 1


MUNCULNYA RATU SILUMAN DARAH
Oleh Sandro S. Cetakan pertama,1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam ep-
isode: Munculnya Ratu Siluman Darah
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Renggana yang merasa dirinya telah tiada ar-
ti sama sekali telah putus asa. Dia bertekad tak akan keluar-keluar lagi
menginjakkan kakinya di
dunia persilatan. Dia begitu terpukul perasaan-
nya begitu tersayat-sayat. Segalanya seakan ber-
ubah bagi dirinya. Cita-citanya untuk menjadi
Datuk segala Datuk kini terkubur sudah dengan
penyesalan. Dia bertekad untuk mencoba hidup
di jalan yang benar, jalan yang ditempuh oleh
adik seperguruannya.
Dengan hati penuh rasa sesal, Renggana te-
rus berlari dan berlari meninggalkan Jaka Nda-
bleg dan Senggara yang mengejarnya jauh di be-
lakang. Renggana malu, malu pada kenyataan di-
rinya yang telah lupa pada segalanya.
"Kakang, tunggu!" Senggara terus mencoba menyadarkan kakak seperguruannya, namun
nampaknya Renggana tak perduli akan seruan
adiknya. Dia terus berlari, makin cepat dan cepat.
"Kakang... kenapa kakang meninggalkan aku"!"
"Pergi kalian! Jangan ikuti aku!"
"Tidak! Kami tak akan pergi sebelum engkau
mau sadar!" Jaka yang ikut mengejar terus membantu menyadarkan diri Renggana.
"Percayalah kami sangat mengharapkan dirimu! Kami sangat
membutuhkan pikiranmu!"
"Tidak! Aku bukan orang baik-baik! Aku tak
pantas harus sejajar dengan langkah-langkahmu,
juga langkah adikku! Biarkanlah aku pergi men-
cari ketenangan diri!"
Jaka yang melihat Renggana terus berlari
dan mendekati jurang yang menganga di hadap-
annya, segera percepat larinya untuk mengha-
dang. Dikerahkan ajian Angin Puyuh, sehingga
tubuh Jaka melesat bagaikan terbang mendahu-
lui Senggara yang hanya terbengong melihat hal
itu. Jaka terus melesat, tapi ilmu lari Renggana yang seperti burung Gagak mampu
membuat Ja-ka agak kewalahan dan tertinggal jauh. Jaka tak
mau putus asa, dia terus mengerahkan ilmu la-
rinya. Angin Puyuh tingkat satu, dua, tiga... hingga akhirnya tingkat terakhir
Jaka kerahkan. Na-
mun jarak antaranya dengan Renggana nampak
masih agak jauh.
"Ilmu lari macam apa dia hingga ajian Angin Puyuhku tak mampu menandingi?" keluh
Jaka dalam hati, kaget bercampur tak mengerti rae-
nyelimuti hatinya. Bagaimana mungkin ada orang
yang mampu lari melebihi kecepatan angin"
Sungguh tidak masuk di akal. "Wah, bagai-
mana aku ini" Kenapa ajian Angin Puyuhku tak
ada arti sama sekali untuk menandingi ilmu la-
rinya?" Jaka tak mau begitu saja mengalah, segera
ia kerahkan segenap tenaganya untuk menambah
larinya. Hingga dalam sekejap saja tubuh kedua
orang tersebut melesat bagaikan dua larikan si-
nar yang bergerak di alam bebas.
"Ki Sanak Renggana, berhentilah!"
"Tidak! Jangan kau paksa aku!"
"Aku tidak memaksamu, tapi aku hanya in-
gin kau sadar!" Jaka terus ngotot meminta agar Renggana mau menghentikan larinya
yang sungguh begitu cepat. "Berpikirlah kembali dengan penuh ketenangan, apakah
jalan yang hendak
engkau tempuh sudah benar?"
"Perduli kau!" bentak Renggana marah.
"Minggatlah jangan kau terus paksa aku, atau barangkali engkau minta aku harus
menyingkirkan dirimu!" "Ah...." Jaka mengeluh.
"Cepat minggat dari sini!" kembali Renggana menggeretak,
"Kalau aku tak mau...?"
"Heh, jangan harap engkau mampu lolos dari
tangan mautku!"
Jaka merasakan ucapan Renggana bukan
ucapan sekedar gertak sambal belaka. Ia tahu
sungguh ilmu Renggana bukanlah ilmu semba-
rangan. Namun bila ia mengalah, maka kema-
langanlah yang akan diterima oleh Renggana ka-
rena dia akan nekad menjeburkan dirinya ke da-
lam jurang. Pikiran Jaka berkecamuk, bingung
harus memilih yang mana. Menghalangi Rengga-
na, atau membiarkan Renggana dengan kenesta-
paannya membunuh diri sendiri. Ah, macam apa
dirinya kalau harus mengalah begitu saja. "Aku harus berbuat sesuatu. Apa pun
resikonya, aku harus mampu memberikan arti bagi kehidupan
Renggana. Ya, aku harus berbuat sesuatu," gumam hatinya. Maka dengan tak
hiraukan anca- man Renggana, Jaka segera mempercepat larinya
manakala Renggana memperlambat larinya.
"Rupanya kau nekad, Anak muda! Kau minta
mampus!" Renggana nampak gusar, sehingga guratan-guratan wajahnya yang
mencerminkan ke-
beringasan jelas kentara. Napasnya mendesah be-
rat, membuat suara napasnya bagaikan gema
yang sangat menggetarkan hati para pendengar-
nya. "Demi adikmu, aku rela kalau tubuhku kau hancurkan sekalipun. Aku relakan
diriku, asal engkau dan adikmu dapat berkumpul kembali
dan melangkah seiring di jalan yang benar." Jaka mencoba kembali menyadarkan
Renggana. "Hem, jangan kau kira mampu memaksa-
mu!" "Aku tidak memaksamu, Renggana! Sekali lagi, aku tidak memaksa dirimu!"
"Kau terlalu rewel!" dengus Renggana jeng-kel. "Mungkin begitu," Jaka enak saja
menyahuti tanpa memperlihatkan rasa gentar sedikit pun.
Matanya memandang penuh kesiapsiagaan pada
Renggana yang nampaknya sewot. "Aku memang
rewel, tapi kerewelanku semata demi kebaikan."
Renggana tampak diam, sepertinya Rengga-
na juga berpikir tentang segala kemungkinan
yang hendak ia perbuat. Ia telah tahu siapa ada-
nya Jaka Ndableg, seorang pendekar yang tidak
dapat disepelekan begitu saja. Pendekar yang na-
manya telah kondang dengan senjatanya yang
sangat sakti yaitu Pedang Siluman Darah. "Hem, mampukah aku menggempurnya"!"
desis hati Renggana. Sementara matanya kini memandang
tajam pada Jaka, menyala bagaikan kobaran api
yang setiap saat siap membakar apa saja.
"Aku minta, pergilah kau dan adikku dan
jangan sekali-sekali ganggu aku!"
"Sudah aku katakan, bahwa aku dan adik-
mu ingin agar engkau jangan menjadi orang yang
pesimis. Tabahkan hatimu, dan katakan pada di-
rimu bahwa engkau sebenarnya bisa baik."
"Diomong malah ngomong! Kau rupanya
memang keras adat. Jangan salahkan aku kalau
aku akhirnya nekad melawanmu."
"Aku sudah siap, Renggana!" Jaka akhirnya menyadari bahwa Renggana memang tak
bisa diajak kompromi. Ia sadar, Renggana bukanlah
orang sembarangan. Ia juga telah melihat dengan
mata kepala sendiri bagaimana kehebatan Reng-
gana. Tapi demi menegakkan kebenaran, Jaka re-
la tubuhnya sebagai wadal bagi Renggana.
Renggana nampak mendesis, seketika ma-
tanya nampak makin menyala. Sementara Seng-
gara pun telah datang, berdiri mendampingi Jaka
seraya memandang tajam penuh ketidakmengerti-
an pada kakak seperguruannya yang penuh mis-
teri. "Kakang, apabila engkau memang keras kepala, maka jangan salahkan aku dan
Jaka me- nindakmu."
Bergelak tawa Renggana demi mendengar
ancaman Senggara. Entah karena apa, tiba-tiba
saja Renggana tak ada takut sedikit pun pada
adik seperguruannya yang dijuluki anak Dewa.
Renggana yang telah tahu bahwa adiknya dan
Jaka bukan orang-orang sembarangan, seperti-
nya tak hiraukan semua itu. Ditatapnya lekat-
lekat saling berganti, sesekali mendesis atau lebih tepat dikata menggerekak.
"Kalian memang manusia-manusia tak mau diuntung! Kalian rupanya hendak menentang
pada Raja Siluman Gu-
nung Kapur. Hem, apakah kalian memang sudah
siap menghadapi diriku, orang-orang bodoh!" bentak Renggana sengit.
"Sudah aku duga, bahwa sebenarnya di da-
lam dirimu kini telah bersemayam roh siluman
atau roh iblis! Pantas ambisimu terlalu tinggi dan mengada-ada, menentang dengan
kodrat Ilahi yang menentukan semuanya!" Senggara nampak
mendengus marah, tak mau kalah dengan apa
yang dikatakan kakak seperguruannya. Tekadnya
hanya satu yaitu mengusir roh jahat di diri ka-
kaknya atau mati bersama-sama pendekar Jaka
Ndableg. "Jangan banyak kotbah! Sekali lagi aku ka-
takan, kalian mau minggat dari sini atau mau te-
rus menghalangi maksudku!" Renggana nampak
sudah marah. Mulutnya nampak menganga lebar,
seakan hendak memangsa dua orang yang ada di
hadapannya. "Kami mau pergi, asalkan engkau mau men-
gikuti kami!" Jaka berkata dengan tenang, sepertinya ia tak merasakan adanya
getaran aneh yang
keluar bersamaan habisnya ucapan Renggana. Di
sampingnya Senggara nampak memucat muka,
seakan Renggana kini merupakan iblis di hada-
pan mukanya. Dan memang begitulah adanya,
Renggana bagi Senggara yang mampu meman-
dang lubuk hati melihat yang berdiri di hadapan-
nya kini bukan kakaknya, melainkan Iblis Sedayu
Mukti. Iblis yang sangat sakti dan berkehendak
untuk menghancurkan umat manusia di dunia.
Jaka tersentak kaget manakala Senggara mende-
sis. "Sedayu Mukti, apa tujuanmu mempengaru-hi jiwa kakakku!"
"Heh, ternyata Senggara mampu menembus
alam gaib. Oh, kenapa aku tak menggunakan
ajian Pembuka Tabir. Baik, akan aku lihat siapa
sebenarnya yang ada di tubuh Renggana," Jaka bergumam dalam hatinya. Perlahan
dikibaskan tangannya, menyapu lewat di depan kedua ma-
tanya. Kini tampaklah oleh Jaka siapa yang te-
ngah berdiri di hadapannya.
"Sedayu Mukti!"
"Apa kabar Pendekar sombong!" Sedayu
Mukti menyeringai sinis pada Jaka yang telah
mampu melihat siapa adanya dia. "Dulu engkau berbuat seenaknya pada segala
keturunanku, maka kini aku akan melenyapkan dirimu!"
"Pantas! Apa hakmu mempengaruhi jiwa
Renggana, Sedayu!" bentak Jaka sengit. Ia kini benar-benar telah was-was dengan
apa yang ada. Bukannya Jaka takut kalah bila harus menan-
dingi Iblis yang terkenal dengan ajiannya yang be-raneka ragam, tapi ia takut
kalau ilmunya akan
membuat tubuh Renggana berantakan. "Aku min-ta, minggatlah engkau, jangan ganggu
jiwa orang itu, Sedayu!"
"Tidak! Aku akan memakainya karena kami
sudah saling mengikat janji."
"Bedebah!" gertak Senggara marah. "Minggatlah engkau, Iblis! Jangan kau ganggu
kakak- ku, atau aku dengan terpaksa menghujatmu!"
"Lakukan bila kau mampu, Senggara! Aku
tak akan takut!" Sedayu Mukti berkata "Dan kau Pendekar sombong! Kau tentunya
tak akan tega dengan tubuh ini, bukan"!"
"Kurang ajar! Kenapa kau pengecut seperti
itu, Renggana! Sedayu keluarlah dari tubuhnya,
dan hadapilah aku!" Jaka bimbang, sebab ia tahu kalau ajiannya menghantam tubuh
Renggana maka sia-sialah ia berbuat. Bukannya Sedayu
Mukti yang lenyap, tapi tubuh Rengganalah yang
akan hancur. Sedangkan untuk mengusir Sedayu
Mukti sangatlah susah kalau tidak harus dengan
ajian Tapak Bahananya. Jaka benar-benar serba
salah. Sesaat diliriknya Senggara, nampaknya
Senggara pun mengalami hal yang seperti dialami
oleh dirinya. "Bagaimana, Saudara Senggara?"
"Kita terpaksa!'
"Terpaksa...?" Jaka membeliak kaget mendengar ucapan Senggara. "Terpaksa
bagaimana maksudmu...?"
"Kita terpaksa harus berkorban. Kita yang
hancur, atau tubuh kakak seperguruanku yang
hancur. Iblis memang begitu, Saudara Jaka. Iblis tak akan mau pergi tanpa


Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa korban!"
Jaka tercenung demi mendengar ucapan
Senggara. Memang benar akan apa yang dikata-
kan oleh Senggara, bahwa Iblis tak akan mau
pergi tanpa membawa korban.
"Kenapa saudara Jaka...?" Senggara me-
nanya demi melihat Jaka nampak bimbang. "Kau nampaknya ragu untuk bertindak."
"Benar! Hanya karena Iblis, kita harus me-
ngorbankan salah satu di antara kita," jawab Ja-ka. "Aku minta engkau jangan
pikirkan itu. Lakukanlah apa yang kau anggap baik. Jangan hi-
raukan siapa adanya kakakku, kalau akhirnya
kelak dia akan menyusahkan kita dan manusia
lainnya." "Hai! Kalian manusia-manusia sombong, ka-
lau kalian takut aku minta cepatlah minggat dari sini jangan sampai aku mengirim
kalian ke akherat sana!"
"Bagaimana saudara Jaka?"
"Baiklah Senggara, aku akan berbuat," jawab Jaka akhirnya. Kini hatinya agak
tenang mendengar penuturan Senggara yang telah menumbuh-
kan rasa percaya diri. Memang apa artinya pe-
ngorbanan seseorang, kalau akhirnya menjadi ke-
tentraman orang lain. Kini Jaka sadar, kalau
Renggana tidak musnah, maka petaka akan se-
lalu datang menimpa umat manusia. Sejenak Ja-
ka memandang tajam pada Renggana, sepertinya
hendak menembus sorot mata penghuni jasad
Renggana yaitu Sedayu Mukti. "Sedayu Mukti, sekali lagi aku katakan pergilah
engkau jangan ganggu jasad orang tersebut atau dengan terpak-
sa aku akan menghancur leburkan dirimu!"
"Hua, ha, ha....! Lakukan bila memang eng-
kau menghendaki tubuh orang ini hancur, Jaka!
Lakukanlah dengan ajian yang engkau miliki atau
dengan Pedang Siluman Darah! Hua, ha, ha...!
Aku Sedayu Mukti, Iblis dari segala Iblis tak akan dapat engkau usir dari muka
bumi ini!"
"Sombong!" Senggara menggeretak marah, mendengus penuh kobaran api emosi. "Biar
aku yang akan menghajarnya terlebih dahulu, Jaka!"
"Hati-hatilah, Senggara!" Jaka memperingat-kan. "Serang dia dengan ketenangan
batinmu. Jangan engkau gentar bila dia berubah banyak,
sebab dia hanyalah hendak menipu pandangan
mu saja. Cerca yang satu."
"Baik, akan aku turuti apa yang menjadi sa-
ranmu," Senggara segera maju ke muka, dihampi-rinya Renggana kakaknya yang
nampak terse- nyum bagai menyepelekannya. "Sedayu, aku terpaksa harus memaksamu untuk minggat
dari tu- buh kakakku. Bersiaplah!"
"Hua, ha, ha...! Percuma, kau tak akan
mampu menandingi ilmu yang aku miliki," Renggana berkata sombong.
"Kita buktikan saja, Sedayu!" dengus Senggara, pucat wajahnya karena dilanda
kemarahan. Batinnya bergolak, kesal dan marah berbaur
menjadi satu. "Minggatlah kau dari sini, Sedayu.
Hiat...!" Tanpa banyak kata lagi Senggara segera ber-
kelebat menyerang Sedayu yang dengan segera
berkelebat mengelakkannya. Kini dengan cepat
kedua kakak beradik itu saling serang, saling ingin menunjukkan siapa di antara
keduanya yang berilmu tinggi. Jurus demi jurus berlalu, hampir segala jurus-jurus yang mereka
miliki keluarkan.
Yang lebih sangat mengejutkan, hampir segala ju-
rus milik keduanya sama persis hingga setiap kali Senggara menyerang dengan
cepat Sedayu memapaki dan memunahkannya.
"Sudah aku katakan, percuma sebab aku tak
akan mampu mengembangkan segala ilmu yang
engkau miliki karena aku pun mampu mengeta-
hui dan memecahkannya," gelak Sedayu som-
bong. "Jangan senang dulu, Iblis. Mari kita terus-kan. Hiat...!"
Kembali Senggara berkelebat menyerang
dengan cepat, kini jurus yang ia gunakan adalah
jurus-jurus yang dahsyat. Jurus-jurus yang tidak dimiliki oleh kakak
seperguruannya. Ya, Senggara sadar bahwa kalau ia menggunakan jurus yang
diajarkan oleh gurunya niscaya iblis Sedayu akan dapat mengetahui titik
kelemahannya karena iblis tersebut kini telah mampu menjalankan pikiran
kakaknya. Terbukti, setelah Senggara mengguna-
kan jurus-jurus lain, Renggana tak dapat meme-
cahkannya. "Ah...." Renggana terdengar mengeluh. Matanya membeliak kaget melihat jurus-
jurus kem- bangan yang dilancarkan oleh adik seperguruan-
nya. Tapi ia telah dikuasai iblis, menjadikan dirinya seperti tak kenal takut
barang setitik darah pun. Dalam hatinya hanya ada satu bisikan:
"Jangan takut, Renggana. Aku ada di sampingmu.
Aku akan membantumu."
"Menyerahlah, Iblis!" bentak Senggara sambil terus mencerca.
"Tidak! Pantang bagiku untuk menyerah!"
balas Renggana keras. "Lihat...!" Tiba-tiba tubuhnya berputar kencang,
memusingkan pan-
dangan Senggara yang kini bingung dan terdiam.
"Ilmu Siluman Iblis!" pekik Senggara kaget melompat ke belakang dua tombak.
Tampak kini tubuh Renggana keluar satu demi satu dari ba-
ling-baling tubuh utamanya. Tubuh Renggana te-
rus bertambah banyak, dari 1... 2, 3, 4, 25... 40...
100... 1000. Ya, kini tubuh Renggana nampak
ada seribu sosok yang sama persis, susah untuk
menentukan mana yang asli dan mana yang
hanya bayang-bayang Iblis.
"Hua, ha, ha...! Bagaimana Senggara, apakah kau tak mau mengakui kekalahanmu"!"
bergelak Renggana sombong. Keseribu tubuhnya melangkah mendekati Senggara yang
menyurut mundur.
Senggara memang benar-benar terpojok, tak ta-
hu harus berbuat bagaimana untuk menghadapi
ilmu Iblis kakaknya. Tengah Senggara tersurut ke belakang, dan Renggana hendak
menyerang tiba-tiba terdengar seruan Jaka.
"Saudara Senggara, serang dengan mata ba-
tinmu. Jangan engkau terpengaruh dengan pan-
dangan semu mu!"
"Hem, apa benar ucapan Jaka" Tapi baiklah,
aku percaya kalau dia memang benar-benar se-
orang tokoh silat yang bukan sembarangan. Akan
aku coba...." Senggara segera pejamkan mata, mulutnya komat kamit mengucap
mantra pem- buka batin. Kini nampaklah mana yang asli tu-
buh kakaknya. Maka dengan tanpa membuat-
buang waktu lagi Senggara segera berkelebat ma-
nakala kakaknya juga hendak menyerangnya.
"Hiat...!"
"Kau harus minggat dari dunia, Senggara.
Hiat...!" Seribu tubuh Renggana mengurung, namun
dengan cepat Senggara memapaki dan langsung
menggenjotkan tubuh melayang menyerang ke
arah tubuh yang asli.
"Bug, bug, bug!"
"Ah...!" Renggana mengeluh, tubuhnya mental terhantam pukulan yang dilontarkan
Sengga- ra. Renggana nampak terheran-heran melihat
Senggara mampu memecahkan ilmunya. Sambil
meringis menahan sakit Renggana tiba-tiba me-
mekik. "Keaak...! Kuhancurkan kau, Senggara!"
Tersentak Jaka yang melihat hal itu, Sengga-
ra kini nampak terkejut, heran pukulannya yang
dilandasi oleh tenaga dalam yang kuat seakan tak ada artinya sama sekali. Namun
ia sebagai seorang yang dijuluki Anak Dewa tak mau kalah be-
gitu saja. Secepat kilat ia rubah tubuhnya menja-di Cobra Merah. Ular Cobra
besar sebesar pohon
kelapa berwarna merah seketika mendesis dan
memapaki serangan Renggana.
Tersentak Renggana kini, demi melihat adik-
nya telah mengubah ujud menjadi seekor Cobra
Merah. Jelas bahwa Senggara atau si Cobra Me-
rah telah benar-benar marah. Tak hanya Rengga-
na yang telah mengerti maksud Senggara, Jaka
pun kini nampak tersentak kaget demi melihat
kejadian tersebut. Renggana telah mengerti bah-
wa adik seperguruannya kini benar-benar siap
mengadu jiwa. "Rupanya kau benar-benar ingin mengadu
jiwa denganku, Senggara!" desis Renggana menyurut mundur, mengurungkan niatnya
untuk menyerang. "Terpaksa! Terpaksa ini aku lakukan, karena ternyata engkau tak mau minggir dari
tubuh kakak seperguruanku!" jawab Ular Cobra Merah.
Dari mulutnya keluar desisan keras, sepertinya
Cobra Merah itu hendak menunjukkan bahwa di-
rinya telah siap segala-galanya.
"Baik, kalau itu yang engkau mau! Jangan
kira aku akan mau mengalah dan meninggalkan
tubuh kakakmu, karena dia telah berhutang budi
padaku. Kau tahu, dari siapa kakakmu memiliki
kesaktian" Huh, dia memiliki kesaktian seperti-
mu bukan dari gurumu, sebab gurumu tak mem-
berikannya. Dia ngiri padamu, dia ingin memiliki ilmu yang sepertimu. Dengan aku
mau memberikan ilmu seperti yang engkau miliki, kakakmu re-
la kalau tubuhnya untuk menjadi sandaran suk-
maku. Aku akan kembali ke dunia, aku akan
menguasai alam ini. Manusia harus tunduk pa-
daku.... Aku telah dendam, dendam pada anak
cucu Adam! Hua, ha, ha...!"
Berbarengan dengan habisnya suara Sedayu,
seketika tubuh Renggana berubah menjadi bu-
rung gagak hitam besar, sebesar burung dalam
masa kepurbaan.
"Kak... Kak... kak...! Ayo, Senggara kita buktikan!"
"Wuss... wusss! Mari, kita mengadu jiwa.
Wuss...!" Jaka yang menyaksikan nampak hanya
mampu memandang dengan takjub dan mata tak
berkedip. Ia begitu tercekam dengan kenyataan
yang ia lihat. Sungguh tidak disangka kalau ke-
dua kakak beradik itu harus saling serang demi
ambisi mereka masing-masing. Memang apa yang
dilakukan Senggara benar adanya, ia ingin agar
kakaknya yang ditumpangi Iblis Sedayu Mukti
sadar. Namun kenyataannya hanya dengan jalan
pertarungan saja yang akan dapat menyelesaikan.
Kini dua hewan raksasa jelmaan dua manu-
sia kakak beradik tersebut saling serang bagaikan dua kekuatan dahsyat beradu.
Setiap kebasan sayap Gagak Hitam legam itu mengeluarkan an-
gin besar yang mampu menerbangkan dan meng-
goncangkan pepohonan. Sebaliknya desisan Co-
bra Merah, nampak begitu menggema dan mam-
pu meruntuhkan gunung kapur yang tak jauh da-
ri tempat mereka bertarung. Pertarungan tersebut berjalan dengan alot, tampak
seru. Tak ada yang
mau mengalah atau mengakhiri pertarungan ter-
sebut. "Bahaya kalau begitu terus-menerus! Malah
bisa-bisa keduanya yang akan jadi korban," Jaka nampak bimbang untuk menentukan
langkahnya. Sebenarnya hatinya tak ingin menyaksikan dua
kakak beradik itu saling gempur yang akan meng-
akibatkan keduanya harus mengalami hal yang
tak diinginkan. Betapa akan tragis bila keduanya sangat menghendaki salah
seorang di antaranya
harus mati. "Hem, semua ini gara-gara Iblis laknat Sedayu. Tapi aku.... Ah, aku
tak dapat harus berbuat apa?"
Dua mahluk hewan jejadian dari dua tokoh
sakti itu terus saling serang dan gempur. Naga-
naganya keduanya tak akan ada yang dapat me-
ngendalikan hawa membunuh. Dari serangannya
nampak betapa mereka benar-benar menguras
segala ilmu yang mereka miliki. Kilatan-kilatan
api nampak menyembur dari Cobra Merah mana-
kala mulutnya menganga. Sebaliknya Gagak Hi-
tam pun tak mau kalah, dari matanya membersit
sinar ungu berubah hitam legam menyerang Co-
bra Merah. Sungguh pertarungan penentuan an-
tara hidup dan mati. Jaka melihat gundah, cemas
dan bingung harus berbuat apa. "Apakah aku
akan membiarkan kedua-duanya mengalami ke-
matian" Ah, sungguh aku tiada guna!"
Jaka tersentak kaget, manakala selarik sinar
ungu berbaur hitam melesat hendak menghantam
tubuh Cobra Merah. Mata Jaka melotot, tak per-
caya pada apa yang dilihatnya. Dengan gerak ce-
pat, Jaka segera hantamkan pukulan jarak jauh-
nya menangkis serangan yang hampir saja me-
renggut riwayat Cobra Merah.
"Getih Sakti. Hiat...!"
"Crooot...!"
Getih Sakti yang keluar dari telunjuk Jaka
melesat, kencang laksana seberkas sinar merah
membara dan...!
"Duar...!"
"Ah...!" Gagak Hitam melenguh, tubuhnya mental ke belakang.
Jaka nampak terpaku melihat hal itu. Sebe-
narnya ia tak ingin turun tangan. Tapi bila melihat bahwa Cobra Merah akan
mengalami kenaa-
san, maka dengan terpaksalah Jaka melaku-
kannya. Kini nampak Gagak Hitam mengalihkan
pandangannya pada Jaka. Sinar matanya nam-
pak merah, lalu dengan memekak Gagak Hitam
melejit terbang memburu di mana Jaka berada.
"Keak...!" suaranya begitu keras, sepertinya mengatakan bahwa kematian harus


Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diterima Jaka yang telah turut campur masalah itu. Jaka ter-
sentak, hindarkan dari sabetan sayap Gagak Hi-
tam yang menderu laksana topan. Merasa seran-
gannya gagal, segera Gagak Hitam putar tubuh
dan menghadap Jaka lalu kembali menyerang.
"Keak...!"
"Cobra Merah, bagaimana ini"!" Jaka berseru seraya hindarkan serangan Gagak
Hitam yang benar-benar menghendaki kematiannya.
"Lakukan apa yang engkau mampu, Jaka!"
"Tapi...!" Jaka ragu.
"Jangan engkau ragu. Biarlah ia lenyap demi ketentraman umat manusia. Lakukan
apa yang kau bisa. Lakukan!"
"Baiklah! Kalau memang itu yang harus aku
lakukan!" Burung Gagak Hitam raksasa itu kembali
mengarah ke arah Jaka. Sinar matanya nampak
memendam kebengisan yang teramat sangat, se-
pertinya mengisyaratkan sebuah dendam. Ya,
dendam dan kemarahan yang meluap-luap. Jaka
juga sudah tahu siapa adanya yang bersemayam
pada tubuh Gagak Hitam, tak lain Iblis Sedayu
Mukti musuhnya. Tapi Jaka masih menghendaki
kompromi, sebab ia tak menginginkan adanya
korban. Korban yang merenggut nyawa seorang
manusia. Walau manusia itu seorang yang terlalu
angkara, tapi tetap saja manusia juga. Apalagi dia adalah kakak seperguruan
Cobra Merah. Jaka tampak merenung, manakala tiba-tiba
terdengar seruan Cobra Merah menyadarkannya:
"Awas Jaka, serangan!"
Jaka Ndableg tampak kaget, sementara bu-
rung Gagak Hitam raksasa benar-benar susah
untuk dapatlah dihindarkan lagi. Jarak burung
Gagak dengannya tinggal setombak belaka. Paruh
burung itu menganga, seakan menunjukkan ke-
kuatannya. "Keak...!"
"Mati aku!" renguh Jaka dalam hati.
Burung Gagak Hitam itu menukik siap un-
tuk mematuk Jaka yang ada di bawahnya. Den-
gan tanpa mempertimbangkan apa yang akan ter-
jadi Jaka segera hantamkan pukulan Petir Se-
wunya. "Bletar! Bletar! Bletar!" Suara petir membahana, menyambut tubuh burung Gagak
Hitam yang tersentak berusaha mengelak. Namun tak
urung, salah sebuah lidah petir menghantam ma-
tanya yang seketika melelehkan darah. Mata bu-
rung Gagak itu pecah berantakan. Sesaat burung
Gagak Hitam putar-putar tubuh menahan sakit
yang teramat sangat, lalu tubuhnya kelabakan di
tanah sesaat dan berubah menjadi Renggana
kembali. Cobra Merah dan Jaka segera bermak-
sud menghampiri, manakala Renggana yang mu-
kanya sudah hancur dan menyerupai hantu
bangkit menyerang Jaka. Jaka yang tersentak ka-
get tak mampu lagi berbuat banyak. Serta merta
Jaka hantamkan Tapak Bahananya.
"Hiat...!"
"Aahhh...!"
Tubuh Renggana atau Gagak Hitam mela-
yang mental ke bawah jurang. Tubuh itu hancur
berantakan. Tapi yang membuat Jaka heran
Renggana tidak menjadi serpihan abu seperti mu-
suh lainnya bila berhadapan dengan Tapak Ba-
hananya. "Dia telah mati oleh tanganku," keluh Jaka sepertinya menyesal menjadikan
Senggara seketika mendekatinya seraya berkata menghibur.
"Jangan kau sesali, Jaka. Aku rela, sebab bi-la tidak demikian Iblis tersebut
tak akan lenyap."
Dengan beriringan, kedua pendekar itu sege-
ra meninggalkan Jurang Gunung Kapur yang
telah menelan sesosok tubuh milik Renggana.
Apakah Renggana benar-benar mati" Apakah Iblis
Sedayu Mukti benar-benar merelakan Renggana
yang dijadikan sebagai penitip sukmanya mati"
Ikuti saja terus cerita ini.
*** 2 Pedati yang ditarik oleh dua ekor kuda itu
melintasi jalan bulakan di Gunung Kapur. Wajah
penunggang-penunggangnya nampak penuh ke-
tegangan. Sejak dua bulan terakhir setelah kema-
tian Gagak Hitam daerah Gunung Kapur terkenal
dengan keangkerannya. Pernah sekali seorang
musyafir memergoki sebuah bayangan berkelebat
dari bawah jurang mencelat dan meng-
hadangnya. Dan manakala musyafir itu meman-
dangnya dengan seksama, ternyata orang terse-
but berbentuk sesosok tubuh menyeramkan. Tu-
buh orang itu hancur berantakan, sehingga kulit-
kulitnya mengelupas, bergumpal-gumpal laksana
dera darah kering atau lilin yang terkena panas.
Musyafir itu tanpa banyak pikir panjang lagi
segera berlari menghindari. Namun tampaknya
sosok manusia hancur berantakan itu tak mau
melepaskannya begitu saja. Sosok hancur beran-
takan tersebut terus mengejarnya, lalu dengan
ganas ditangkapnya tubuh sang musyafir. Musya-
fir itu meronta meminta dilepaskan, tapi dengan
sadis digigitnya leher musyafir itu hingga lehernya tembus terhantam gigi-
giginya yang runcing. Ma-ka dalam sekejap saja, darah musyafir itu habis
terhisap. Wajah para penunggang pedati itu makin
tambah pucat pasi ketakutan, manakala pedati
makin melaju tak menentu. Sepertinya lari kedua
kuda itu ada yang menuntun dan makin mende-
kat ke arah jurang yang telah menelan tubuh
Renggana. "Mang kusir, kenapa ke arah ini?" tanya salah seorang penunggang pedati dengan
mata membeliak dan wajah pucat pasi ketakutan.
"Ia mang, kenapa ke sini?" yang lainnya ikut bicara.
"Kenapa kalian ribut!"
Tersentak kaget seluruh penunggang pedati,
manakala mendengar bentakan sang kusir. Sung-
guh mereka tidak menyangka kalau kusir pedati
itu berani membentak. Keenam orang jawara yang
terkenal itu sangat geram. Mereka yang terkenal
dengan sebuatan Enam Jalak Sungu dari Waran-
grang, belum pernah sekalipun dibentak. Jang-
kan membentak, orang mendengarnya saja akan
lari terkencing-kencing. Tapi tukang pedati ini
sungguh lancang, berani membentak. Mungkin
tukang pedati belum tahu siapa adanya mereka,
sehingga tanpa sadar berani menentang. Maka
dengan geram Jalak Kuning yang merupakan Ja-
lak tertua membentak balik.
"Kusir kurang ajar! Berani kau membentak
kami! Apa kau tak tahu siapa adanya kami,
hah"!"
Sang kusir tak hiraukan caci maki orang ter-
sebut, ia tampak asyik mengendalikan kudanya
melangkah menuju makin dekat saja ke arah ju-
rang. "Bedebah! Rupanya kau sengaja, Kusir!"
kembali Jalak Kuning membentak marah. "Apa
kau ingin kami mencabut nyawa tuamu!"
"Kusir, helakan kuda-kudamu jangan sam-
pai terus ke arah situ. Bahaya," Jalak Merah yang berkata, nada suaranya agak
sedikit sabar tidak
seperti kakaknya. "Tak dapatkah kau diajak kompromi?"
Kusir itu terus diam saja, sepertinya tak
mendengar kata-kata yang diucapkan para pe-
nunggangnya. Menengok pun ia tidak, matanya
terus memandang ke muka, sepertinya ada sesua-
tu yang menarik pandangannya ke sana.
Tak dapat lagi keenam Jalak Sakti itu me-
nahan amarahnya, segera dengan cepat Jalak
Kuning menyerobot ke muka dengan maksud un-
tuk mengambil alih kais kuda. Namun seketika
Jalak Kuning terjengah, wajahnya pucat demi me-
lihat apa yang terjadi pada diri kusir pedati yang ditumpanginya. Hal itu
menjadikan Jalak lainnya
serentak bertanya: "Ada apa, Kakang?"
"Dia... dia bukan manusia!" Jalak Kuning memekik, loncatkan tubuhnya melesat
pergi. Melihat kakaknya meloncat, serta merta kelima Ja-
lak lainnya pun mengikutinya keluar dari pedati.
Tukang pedati itu segera hentikan kuda-ku-
danya, lalu dengan sekali lompat ia telah berdiri di hadapan keenam Jalak Sakti.
Di buangnya topi
yang menutupi wajahnya, dan kini tampaklah wa-
jah tukang pedati sesungguhnya. Wajah yang
sangat menyeramkan tak nampak seperti manu-
sia melainkan wajah hantu.
"Ah...." mengeluh keenam Jalak Sakti kaget.
Tak terasa kaki mereka menyurut mundur.
Manusia bertampang rusak pekak tak ka-
ruan terus berjalan menghampiri mereka yang ke-
takutan. Mulutnya menyeringai, menunjukkan gi-
ginya yang tajam bertaring. Matanya yang sebe-
lah kiri telah hancur, membentuk lubang dalam.
Hidungnya rusak berat, tinggal daging-daging bu-
suk mengkiwil-kiwil menyebarkan bau busuk
yang teramat sangat. Orang bertampang hantu
yang nampak lelaki itu seketika membuka pakai-
annya. Dan seketika mata keenam Jalak Sakti itu
kembali membelalakkan mata, tak percaya pada
apa yang kini mereka lihat.
"Ah...!" Kembali mereka mendesah dengan mata melotot. Mereka melihat bahwa tubuh
lelaki itu pun tak karuan adanya. Dagingnya bagaikan
teriris-iris, atau dapat dikatakan meleleh. Ketika angin gunung Kapur berhembus,
bau daging busuk pun seketika menyengat hidung mereka. "Iblis Sedayu Mukti!
Kenapa engkau bangkit!" Jalak Kuning berseru kaget.
"Hua, ha, ha...! Aku memang yang bangkit
dari kematian! Aku bangkit untuk melakukan
pembalasan! Pembalasan yang akan menimpa se-
genap manusia. Hua, ha, ha...!"
Bergidig keenam Jalak Sakti mendengar sua-
ra orang amburadul fisiknya itu. Bagaimana-pun
juga, walau mereka tidak termasuk golongan lu-
rus tapi mereka manusia. Kalau benar Iblis itu
bermaksud mengadakan pembalasan pada manu-
sia, jelas mereka pun akan terkena juga.
"Tapi kami bukan musuh-musuhmu, Se-
dayu," Jalak Kuning berkata mencoba mencari jalan untuk dapat meloloskan diri
mereka dari daf-
tar Iblis Sedayu. "Bukankah musuh-musuhmu
tak lain adik seperguruanmu Senggara dan Pen-
dekar muda Pedang Siluman Darah."
"Aku tak perduli!"
"Ah...." Jalak Hijau mendesah berat,
"Kenapa begitu" Bukankah kita sealiran?"
Jalak Coklat turut buka suara dengan harapan
hati Iblis Sedayu mau melemah dan dapat diajak
kerja sama. Mereka tahu bahwa Iblis itu bukan-
lah orang sembarangan. Pendekar Pedang Silu-
man Darah dan Cobra Merah yang terkenal sakti
mandraguna pun hampir saja kerepotan mengha-
dapinya, apalagi dengan diri mereka"
"Sekali lagi aku tak perduli! Aku butuh da-
rah!" "Ah...! Apa kau tak mau sabar" Biarlah nanti kami yang mencarikan darah
untukmu," Jalak Bi-ru juga ikut buka suara. Tujuannya sama, ia
mengharap agar Iblis Sedayu mau mengampuni
nyawa mereka dan mau menjadi sekutu mereka.
"Benar! Kami akan mencarikan darah un-
tukmu!" Jalak Ungu yang paling muda pun kini ikut berkata. "Biarlah kami menjadi
pengikutmu."
Renggana yang berantakan tubuhnya itu se-
ketika terdiam. Namun begitu, sorot matanya
nampak masih tajam menghunjam, memandang
pada keenam Jalak Sakti yang masih berdiri di
hadapannya mematung dengan penuh harap-
harap cemas. Mereka takut kalau-kalau Iblis Se-
dayu tak mau menerima. Renggana dan Iblis Se-
dayu masih terdiam bisu, sepertinya tengah ber-
pikir dengan pengajuan kerja sama yang disaran-
kan oleh Jalak Sakti. Sesaat kemudian mulutnya
menyeringai. Sebenarnya ia tersenyum, namun
dikarenakan mulutnya telah rusak berantakan
hingga senyumnya bukanlah berupa senyum tapi
berupa seringai.
"Baiklah, aku ampuni nyawa kalian. Tapi in-
gat, setiap malam Jum'at kalian harus memper-
sembahkan darah manusia atau manusia hidup-
hidup padaku. Taruh manusia itu di tepi jurang
ini. Kalau kalian ingkar, hem.... Kalian akan tahu apa akibatnya."
"Baiklah! Kami juga akan selalu menuruti
apa yang engkau pinta, tapi kami juga minta sya-
rat," Jalak Kuning membuka kata.
"Apa syaratmu."
"Kami minta engkau mau melindungi kami
bila kami dalam kesusahan."
"Hua, ha, ha...! Gampang, gampang! Semua
bagiku mudah! Baiklah, aku akan datang mem-
bantu kalian bila kalian tengah menghadapi ke-
susahan. Panggilah aku tiga kali, maka aku akan


Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang." "Bagaimana aku harus menyebutmu?"
"Sebut Raja Iblis. Maka aku akan segera ter-gugah dari tidurku dan akan segera
datang me- nemui kalian. Kini aku akan kembali tidur, kalian pergilah, cari oleh kalian
manusia-manusia ge-muk yang darahnya banyak. Ingat, hari Jum'at
tinggal dua hari lagi."
Tanpa hiraukan keenam Jalak Sakti segera
Renggana yang sudah amburadul tubuhnya ber-
kelebat pergi tinggalkan mereka kembali menuju
ke bawah jurang Gunung Kapur. Tinggallah kee-
nam Jalak Sakti yang terbengong-bengong tak
percaya bahwa diri mereka akan luput dari maut.
"Bagaimana, apakah kalian sanggup untuk
mempersembahkan seorang manusia dalam dua
hari lagi?"
Kelima adiknya nampak terdiam demi men-
dengar pertanyaan Jaka Kuning. Hatinya bim-
bang untuk menjawabnya. Pertama mereka takut
pada Iblis Sedayu Mukti, lalu kedua mereka takut kalau Pendekar Pedang Siluman
Darah atau Cobra Merah mendengarnya. Kini mereka bagaikan
berdiri di antara dua sisi jurang yang siap me-
nelan tubuh-tubuh mereka ke dalamnya. Bila me-
reka salah jatuh, maka tak ayal lagi remuklah tubuh mereka.
"Bagaimana"!" kembali Jalak Kuning menanya demi melihat kelima adiknya masih
terdiam tak ada yang menjawab. "Apakah kita akan menjadi korban Iblis Sedayu?"
Bergidik kelima Jalak Sakti lainnya demi
mendengar kakaknya menyebut korban. Jelas
mereka tak mau menjadi korban Iblis yang terke-
nal sakti itu. Tapi mereka pun tak ingin jadi ajang kemarahan Dua Pendekar yaitu
Jaka Ndableg dan
Senggara. "Tidak...!" jawab mereka serentak.
"Nah, apakah kita siap untuk menghadapi
segalanya?"
"Itulah yang sedang kami pikirkan, Kakang,"
Jalak Merah mengutarakan apa yang sebenarnya
tersandung di hatinya juga adik-adiknya. "Kami
merasa takut juga apabila kegiatan kami nantinya dapat diketahui oleh Jaka
Ndableg atau si Cobra
Merah." Jalak Kuning tercenung diam. Memang be-
nar apa yang dikatakan oleh adiknya. Kini pun
mereka dalam pengejaran Jaka Ndableg karena
mereka telah berbuat yang membikin keonaran
diwilayah tengah, yaitu merampok Bupati Slawi.
Keenam Jalak Sakti masih terdiam, bingung
harus berbuat bagaimana. Kalau menentang, me-
reka tentu akan menggantikan korban-korbannya
dengan diri mereka sendiri. Tapi kalau menurut,
jelas mereka harus berkeliaran mencari korban,
sampai akhirnya Jaka mendengar dan memburu
mereka kembali. Sungguh sebuah pilihan yang
sangat sulit. Ibarat mereka kini menghadapi buah Simalakama. Dimakan ayah mati,
tidak dimakan ibu pun mati juga. Tengah mereka terdiam dalam
kebimbangan, tiba-tiba terdengar suara bentakan
dari dalam jurang mengagetkan mereka.
"Kenapa kalian masih di situ, hah!"
"Ampun, kami hendak segera pergi!" jawab mereka serentak setelah dapat
menyadarkan diri
mereka dari kekagetan.
"Cepatlah kalian minggat! Aku berisik tak
dapat tidur!"
"Baik, Ketua...!"
"Ayo, apa lagi yang kalian pikirkan! Kalian apa mau menentangku, hah!"
"Ti-tidak...!"
Dengan hati diselimuti rasa bimbang dan ta-
kut keenam Jalak Sakti itu pun tanpa banyak bi-
cara lagi segera berkelebat pergi tinggalkan Ju-
rang Gunung Kapur yang kembali nampak sunyi
dan sepi sepertinya penuh keangkeran. Kini yang
terdengar hanya dengkur keras dari si Iblis Se-
dayu, yang suaranya begitu menggema mampu
mendirikan bulu kuduk bagi yang mendengar.
Bagaimana tidak, mereka yang mendengar pasti
akan mencari-cari asal dengkuran yang begitu
besar padahal mahluk yang tidur ada di bawah
jurang yang cukup dalam.
*** 3 Sejak munculnya Iblis Sedayu, kini teror
mencekam para penduduk. Sebentar-sebentar
mereka kehilangan warganya, sebentar-sebentar
terjadi penculikan. Penduduk desa Slawi nampak
resah, gelisah dan tak tenang untuk hidup. Ba-
nyak sudah korban-korban yang menghilang. Dan
manakala mereka ditemukan, tubuh mereka telah
kering kerontang di dekat jurang Gunung Kapur.
Untuk mengambil tubuh-tubuh korban, jelas me-
reka tidak berani karena mereka tak mau menjadi
korban. Untuk sekian lama mereka tercekam dalam
ketakutan, tak tahu siapa sebenarnya pelaku dari semua kejadian yang mengganas
dan menimpa desa Slawi. Mereka tidak menyangka siapa
adanya pelaku semuanya. Mereka hanya mengerti
bahwa korban-korban tersebut merupakan kor-
ban dari Iblis Penghuni Jurang Gunung Kapur.
Malam itu telah larut, diselingi dengan rinti-
kan hujan yang turun secara mendadak. Entah
apa sebabnya, sepertinya hujan pun turut mera-
tapi segala bencana yang menimpa desa Slawi.
Malam itu adalah malam Jum'at, di mana malam-
malam yang mengandung misteri bagi orang-
orang yang mempercayai adanya Hantu Demit,
Setan Marakayangan. Di malam itu pula, bi-
asanya orang-orang yang mengikuti aliran Ani-
nisme dan Dinamisme selalu membakar dupa,
memanjatkan do'a-do'a bagi roh-roh yang berse-
mayam di batu-batu besar atau pohon-pohon
yang terkenal angker. Namun malam itu nam-
paknya hal seperti sebelumnya tak terjadi, sepi
bagaikan mati. Mungkin karena gerimis yang me-
nyayat, atau karena petaka yang datang bertubi-
tubi melanda yang menjadikan mereka takut un-
tuk keluar rumah.
Dalam rintikan gerimis yang mengiris, nam-
pak enam orang bertudung melintas berlari me-
nerobos gelap malam, memecah rintikan hujan.
Keenam orang tersebut terus menuju ke kam-
pung, entah apa yang hendak mereka lakukan.
Keenam orang tersebut, tak lain dari Enam Jalak
Sakti. Mereka adalah utusan-utusan Iblis Peng-
huni Jurang Gunung Kapur untuk mencari darah
manusia setiap Jum'at.
"Rupanya penduduk desa ini telah dapat kita perdayai," gumam Jalak Kuning di
sela-sela lari kecilnya.
"Ya! Itu malah makin menjadikan kita gam-
pang beroperasi," kata yang lainnya. "Dengan begitu, kita tak akan mendapat
rintangan yang su-
kar." "Apakah Pendekar itu belum mendengar?"
tanya Jalak Merah.
"Aku harap tidak," desis Jalak Kuning. Hatinya nampak ciut manakala mendengar
nama Pendekar Pedang Siluman Darah. Bagaimana-
pun, mereka pernah merasakan batunya oleh
Pendekar Jaka Ndableg, manakala mereka ben-
trok akibat tindakan mereka merampok.
Akibat kejadian tersebut, mereka benar-
benar merasakan ketakutan pada Jaka. Mereka
telah sebisa-bisanya menghindar untuk tidak
sampai ketahuan oleh Jaka. Sebab mereka akan
mengalami hal yang makin menyulitkan bila ter-
nyata Jaka tahu siapa adanya pembuat bencana
di desa Slawi. "Sudahlah, jangan kita memikirkan Pende-
kar Muda itu," Jalak Biru segera menengahi agar kedua saudaranya jangan
merisaukan pendekar
yang telah membuat mereka lari puntang-panting,
sampai akhirnya bertemu dengan Iblis Sedayu.
"Kalau kita memikirkan Pendekar Pedang Siluman Darah, jelas kitalah yang akan
merugi sendi- ri. Kita akan takut dalam segala apa yang hendak kita lakukan. Dan bukanlah hal
itu malah menjadikan kita celaka" Jaka Ndableg masih dapat
memaafkan, tapi Iblis Sedayu..." Tak ada kata
maaf baginya untuk manusia. Hii...!" Jalak Biru bergidik sendiri bila mengingat
apa yang dilaku-
kan oleh Iblis Sedayu pada orang-orang yang di-
jadikan korban. Mereka mati mendelik, mengering
dengan mulut menganga bagaikan orang mati ba-
nyak dosa. "Benar juga katamu, Biru. Memang Jaka
Ndableg masih mau memberi ampun, tapi Iblis
Sedayu..." Kalian tahu sendiri bagaimana Iblis itu mengancam kita. Dan kalian
pun tahu sendiri,
betapa korbannya sungguh sangat mengerikan,"
Jalak Kuning menimpali. "Ah, sudahlah jangan kita membicarakan Iblis tersebut.
Yang penting bagaimana Kita mendapatkan korban untuknya
agar kita aman."
Kembali keenam Jalak Sakti itu berlari, kini
mereka makin mempercepat larinya menuju ke
kampung yang tampak tak begitu jauh dari tem-
patnya. Hujan terus menerpa, namun mereka tak
hiraukannya. Dalam benak mereka hanya ada sa-
tu prinsip, mencari korban untuk mereka per-
sembahkan kepada Iblis Sedayu.
Sungguh perasaan apa yang malam itu men-
dera Ki Perwira yang menjadi ketua kampung. Ha-
ti Ki Perwira menghentak dan mengajaknya untuk
melek tak tidur. Hawa panas menyengat tubuh-
nya, sampai-sampai keringat deras bercucuran
membasahi tubuh, padahal malam itu hujan tu-
run. Ki Perwira mencoba menghibur diri dengan
menghisap rokok kawungnya. Namun hatinya se-
ketika makin bertambah gundah. Semakin asap
rokok bergulung-gulung menyelimuti ruangan di
mana dirinya termenung, semakin bertambah tak
menentu saja degup jantungnya. Apakah ini per-
tanda bahwa dia menderita penyakit jantung se-
perti orang-orang kaya jaman komputerisasi nan-
ti" Atau barangkali karena seharian ia capai me-
mikirkan nomor SDSB yang tak tembus-tembus
seperti Bapak Subari" Entahlah, yang jelas bukan karena itu semua jantung Ki
Perwira berdegup
keras. "Hem, ada gerangan apa lagi hingga jantung-
ku berdegup memburu?" gumam Ki Perwira da-
lam kehehingannya sendirian. "Apakah bencana itu akan datang lagi" Oh, Yang
Widi, sampai ka-pankah kami rakyat desa Slawi ini tenang tanpa
banyak tantangan dan teror seperti sekarang ini"
Dulu perampokan, kini penculikan gadis dan pe-
ngorbanan gadis di Jurang Gunung Kapur."
Ki Perwira terus merenung tak tahu apa se-
benarnya yang telah menimpa desa yang diketuai
olehnya. Ia tak habis pikir mengapa bencana demi bencana selalu menyelimuti
desanya. Baru saja
desanya aman dari penggarongan dan pencurian,
kini timbul petaka baru yang lebih menakutkan
yaitu penculikan dan pengorbanan para gadis di
tepi jurang Gunung Kapur.
Ki Perwira sebenarnya ingin menghentikan
semua kejadian yang selama ini menimpa de-
sanya, namun mana ada keberaniannya mengha-
dapi Iblis Penghuni Jurang Gunung Kapur yang
telah terkenal telengas dengan segala macam tin-
dakannya. Tengah Ki Perwira tercenung dalam hening,
tiba-tiba pintu rumah terdengar digedor dari lu-
ar. Mata Ki Perwira melotot, menghunjam pada
pintu rumahnya. Ada sedikit rasa takut menyeli-
muti tatapan mata Ki Perwira, seorang lelaki tua renta yang masih mengabdi pada
desanya. Berta-hun-tahun hampir setengah abad ia menjadi ke-
pala kampung, baru sekarang ini kampungnya di-
rencah oleh orang-orang yang sangat biadab.
"Siapa...?" tanya Ki Perwira dengan suara berat. Dimatikan rokok kawungnya,
matanya me- mandang tajam pada pintu yang masih digedor
dari luar. Tak ada jawaban dari pertanyaannya.
"Siapa yang malam-malam begini datang?"
"Ki Perwira, buka pintu," terdengar suara serak dibuat-buat berkata, menjadikan
Ki Perwira makin mendera saja keringat dinginnya. Perla-
han ia bangkit, tapi diurungkannya dan kembali
duduk sepertinya tak mau perduli dengan orang
yang menggedor pintu.
"Ki Perwira... bukakan pintu...." suara itu seperti merintih, makin menjadikan
Ki Perwira tambah takut bukan alang kepalang dengan mata
kini berurai air mata. Ya, Ki Perwira yang tua renta itu menangis ketakutan.
"Ooh... Bune, kenapa engkau mendahului
aku, Bune" Kini aku sebatang kara Bune. Hu, hu,
hu... Bune, mungkinkah engkau yang datang me-
nyambut diriku yang telah renta ini" Kalau benar engkau maka aku pun akan
menurut, Bune. Biarlah aku mati bersama dirimu, sebab aku tak ta-
han harus hidup begini. Hu, hu, hu...."
"Ki Perwira... Ki Perwira... Ki Perwira... bukakan pintu...!"
"Tidak...! Jangan ganggu aku!" pekik Ki Perwira ketakutan dan tersentak dari


Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangisnya. Ma- tanya melotot, memandang penuh rasa takut ke
arah pintu rumahnya yang terdengar berderek-
derek didorong dari luar. "Jangan...! Jangan kau paksa aku. Jangan!"
Ki Perwira yang sudah ketakutan dengan
puntang langkang lari ke dalam kamar. Saking ta-
kutnya hingga Ki Perwira tanpa sadar berlari se-
rabutan, maka ketika dia melompat tak ayal kaki
yang tinggal tulang kering itu menghantam kursi
yang terbuat dari kayu jati. Tak ayal, Ki perwira pun terjerembab mencium tanah
dengan tulang kaki terasa sakit yang bukan alang kepalang. Se-
sontak itu juga Ki Perwira pun menjerit: "Aduh...!
Bune, aku tersentak kursi... Bune, sakit, Bune."
Ki Perwira kembali menggerung-gerung ka-
rena sakit yang tak alang kepalang di tulang kering kakinya. Namun seketika isak
tangisnya ber- henti manakala pintu dari luar terbuka dengan
paksa. Sepontan Ki Perwira bangkit dengan mata
melotot, lalu sepontan itu juga Ki Perwira lari
dengan serabutan ke kamar seraya menjerit-jerit
ketakutan: "Wadauw demit, mengapa demit itu da-
tang....! Hu, hu,hu...! Bune, tolonglah suamimu
ini, Bune."
Ki Perwira sembunyikan kepalanya di bawah
tikar tempatnya tidur dengan harapan demit yang
datang tidak ia ketahui. Namun seketika Ki Perwi-ra tersentak, manakala sebuah
tangan merayap di
kepalanya yang tertutup tikar itu.
"Jangan...! Jangan ganggu aku...!"
"Ki Perwira... kenapa kau begitu, sayang...?"
rintihan suara itu makin menjadikan Ki Perwira
tak dapat lagi menahan ketakutannya. Manakala
kepalanya mendongak, sepontanitas pingsanlah
Ki Perwira dengan segala ketakutannya.
Orang yang menakut-nakuti segera buka kedok-
nya, dan nampaklah siapa adanya orang-orang
tersebut yang tidak lain Keenam Jalak Sakti. Keenam Jalak Sakti dengan sabar
menunggui kesa-
daran Ki Perwira.
*** Lama juga Ki Perwira terbaring pingsan, na-
mun keenam Jalak Sakti dengan sabar menung-
guinya. Sesaat kemudian Ki Perwira tampak
menggeliat, rupanya ia kini telah siuman. Ma-
tanya yang telah tua membuka pelan dan me-
mandang sekeliling.
"Di manakah aku" Apakah aku telah mati?"
tanyanya seperti pada diri sendiri. "Hai, kalian-kah..." Oh, rupanya aku banyak
dosa hingga ha-
rus bertemu dengan kalian," keluhnya kemudian.
"Kau belum mati, Ki," Jalak Kuning berkata:
"Kau masih hidup, kami menemukan dirimu da-
lam keadaan pingsan, sehingga kami yang tadinya
hendak mencegah setan itu agar jangan meng-
ganggumu telah terlambat. Benarkah engkau te-
lah diganggu setan, Ki?"
Ki Perwira mencoba mengingat-ingat akan
apa yang dialami olehnya. Setelah ingat, nampak
Ki Perwira anggukkan kepalanya membenarkan
apa yang menjadi pertanyaan Jalak Kuning. "Benar, tadi aku baru saja diganggu
oleh sebuah hantu. Oh, untung ada kalian datang, kalau ti-
dak...!" "Kalau tidak, mungkin nyawamu bahkan
nyawa warga desa ini akan menjadi tiada arti.
Nah, Ki Perwira telah tahu sendiri. Hantu itulah yang menginginkan korban. Kalau
Ki Perwira tak percaya, kami akan mengajak Ki Perwira dan se-
genap warga desa ini untuk melihat kebenaran-
nya. Asalkan malam ini kami harus mendapatkan
seorang korban wanita muda yang masih gadis,"
Jalak Biru berkata: "Sekarang tunjukkanlah pada kami di mana adanya gadis yang
masih pera-wan?"
Ki Perwira kejapkan mata tuanya meman-
dang sesaat bergantian seperti tak mempercayai
kata-kata Jalak Biru yang dikenalnya sebagai ga-
rong yang telah menjarah desanya beberapa wak-
tu yang lalu. "Untuk apa...?" tanyanya kemudian.
"Ki Perwira, bukankah telah kami katakan
bahwa gadis itu, yaitu gadis yang masih suci un-
tuk korban hantu yang telah tadi mengganggu Ki
Perwira" Kalau permintaannya tak dipenuhi,
sungguh petakalah bagi warga desa ini," Jalak Ungu kini yang ngomong.
"Kalian tidak mendusta?"
"Untuk apa?" Jalak Coklat mencoba meya-kinkan. "Kalau kami berdusta, toh kami
biarkan saja hantu itu menteror desa ini. Bukankah kami
tak rugi" Kami hanya ingin menolong warga desa
ini dari bencana, Ki Perwira. Memang dulu kami
oleh kalian terkenal orang-orang yang menyusah-
kan kalian, untuk itulah, sekarang kami ingin
membantu kalian dari bencana."
Kembali Ki Perwira tercenung diam, seper-
tinya dia tengah memikirkan segalanya. Ya, me-
mang segalanya harus dipikirkan masak-masak
untung ruginya. Kalaulah memang benar ucapan
keenam Jalak Sakti, tapi bila tidak! Jelas dirinyalah yang akan mendapat kecaman
dari warganya atau barangkali dirinyalah yang akan menjadi
korban amukan warga desanya.
"Baiklah, mari kita temui warga yang lain,"
ucap Ki Perwira kemudian. "Memang aku sebagai ketua desa di sini, namun untuk
menentukan segalanya aku perlu mengadakan pembicaraan den-
gan warga desanya."
"Tak apa, Ki," jawab Jalak Kuning. "Memang kami pun menghendaki demikian. Kami
pun tak ingin warga desa ini terus menerus menuduh ka-
mi dalam keburukan belaka. Kami pun ingin agar
warga desa Slawi ini melihat bahwa kami ingin
berbuat baik kepada mereka."
"Kalau begitu, marilah kita menemui para
penduduk lainnya. Bukankah malam telah makin
larut" Aku takut Iblis itu tak sabar,"
Bergidik seketika kelima Jalak Sakti lainnya
demi mendengar Jalak Coklat berkata. Ya, mereka
tahu kalau mereka terlambat memberikan korban
maka diri merekalah yang akan menjadi korban-
nya. Sedangkan waktu yang ditentukan oleh Iblis
Sedayu hanya sampai waktu dini hari.
"Ayo, Ki...!" Jalak Kuning mengajak, nampak di wajahnya ketakutan mendera. "Kita
jangan sampai terlambat."
Ki Perwira dengan rasa tak mengerti segera
menuruti apa yang dikehendaki oleh keenam Ja-
lak Sakti. Ia pun sepertinya tak ingin korban makin banyak hanya karena tidak
mau memberikan korban seorang pun pada Iblis Penguasa Jurang
Gunung Kapur. Ketujuh orang itu pun segera ke-
luar dari rumah Ki Perwira.
*** Hujan masih turun rintik-rintik, manakala
ketujuh orang tersebut melangkahkan kaki me-
nerobos hujan untuk mendatangi rumah-rumah
penduduk. Satu persatu para penduduk keluar
untuk menghadiri apa yang hendak dikatakan
dan dilakukan oleh Kepala Desanya dengan kee-
nam Jalak Sakti. Tak lama kemudian telah ba-
nyak penduduk yang keluar rumah. Mereka ber-
kumpul di sebuah lapangan, mengelilingi Ki Per-
wira dan keenam Jalak Sakti yang berdiri di ten-
gah. "Ada apakah hingga Ki Perwira mengundang kami?"
"Tenang saudara-saudara. Kami mengun-
dang kalian semata-mata ingin supaya desa kita
aman. Bukankah kalian tidak menghendaki teror
dan penculikan-penculikan berlarut-larut"!" tanya Ki Perwira mencoba menenangkan
rakyatnya yang tampak sudah tak sabaran.
"Memang hal itu yang kami inginkan! Tapi
untuk apa kami mesti menuruti apa yang dikata-
kan oleh bekas garong"!" seseorang yang agak berani menyeru. Nadanya seperti tak
suka pada keenam Jalak Sakti yang sudah dikenal oleh me-
reka sebagai orang-orang yang telah membuat
keonaran dan kejahatan di desa mereka. "Kami takut malah mereka akan memperdaya
kita, Ki"!"
Keenam Jalak Sakti nampak tenang tidak
seperti biasanya. Memang mereka sengaja ber-
buat demikian dengan maksud supaya seluruh
warga desa Slawi mempercayai mereka. Mereka
yang biasanya telengas dan cepat marah, kini ba-
gaikan tak menghiraukannya. Malah dengan sua-
ra tenang Jalak Kuning selaku Jalak tertua dari
Jalak Sakti berkata: "Memang dulu kami menjadi orang jahat. Tapi apakah kami tak
boleh untuk berbuat baik pada orang-orang yang telah kami
jahati" Kami ingin membantu menolong kalian
dari bencana besar yang sewaktu-waktu akan
mengganas di desa ini. Kami juga mengajak ka-
lian untuk melihat dengan mata kalian sendiri
apa sebenarnya yang selama ini telah meminta
korban kalian, manusia. Nah, malam ini kami in-
gin mengajak kalian semua untuk menemani ka-
mi ke tempat di mana Iblis itu berada. Kami
hanya perantara agar kalian tidak selalu mendera kami dengan tuduhan-tuduhan
yang sungguh kami tidak melaksanakannya. Maka kami minta
malam ini juga sediakan korban seorang wanita."
Terjengah seketika semuanya demi menden-
gar ucapan Jalak Kuning. Hati mereka masih di-
tandai dengan seribu satu macam pertanyaan,
yang tak mudah mereka lupakan adalah tindakan
Jalak Sakti pada dua bulan yang lalu. Tindakan
mereka sungguh menjadikan dendam yang men-
dalam, yang tergurat bagaikan sebuah catatan
terpahat di hati mereka. Tapi malam itu mereka
benar-benar bagaikan di tengah-tengah perasaan
lain. Perasaan untuk tidak mempercayai ucapan
Jalak Sakti, atau mempercayai dengan harapan
dapat terlepas dari bencana yang bakal menimpa.
Melihat semuanya terdiam tiada seorang pun
berkata, kembali Jalak Kuning meneruskan bica-
ra: "Dengan kalian menjadi pengikut Penguasa Jurang Gunung Kapur, maka kalian
akan tenang. Rejeki kalian juga akan banyak berdatangan."
"Apakah kalian tak mendusta"!" tanya seorang dari warga yang rupanya tertarik
juga den- gan ucapan Jalak Kuning.
"Benar! Apakah kalian tak mendusta?" yang lainnya ikut bertanya.
"Tidak! Sekali lagi kami tidak mendusta.
Nah, kalau kalian tak percaya, kami malam ini
mengajak kalian untuk ikut bersama kami menu-
ju ke Jurang Gunung Kapur untuk menemui Pen-
guasanya."
Rupanya setan lebih berpengaruh di hati
orang-orang yang memang diliputi oleh rasa takut dan kurang percaya diri. Ya,
begitulah janji setan, ia akan mengajak umat manusia dengan jalan
membuat manusia takut dan mempercayai apa
yang sebenarnya belum berarti dibandingkan
azab dari Tuhan.
Malam itu juga setelah mereka memaksa sa-
lah seorang gadis warga desanya mereka segera
berangkat menuju ke Jurang Gunung Kapur. Ma-
lam itu mereka benar-benar telah menjadi hamba
Iblis, yang menuruti apa yang dikehendaki oleh
Iblis. *** Hujan masih turun, kali ini malah makin de-
ras, sepertinya menangisi atas segala perbuatan
mereka yang hendak mengorbankan gadis yang
tak berdosa. Juga hujan itu seperti menangisi
keingkaran mereka pada Yang Mencipta yaitu Tu-
han Yang Maha Esa. Orang-orang itu sepertinya
tak perduli pada hujan, tak perduli pada malam
yang gelap. Mereka terus melangkah, memapaki
kaki mereka yang berjalan dengan terseret menu-
ju ke Jurang Gunung Kapur.
Semakin langkah mereka mendekati Jurang
Gunung Kapur, hawa dingin terasa makin meng-
iris pada tubuh mereka. Hawa dingin itu makin
bertambah, manakala mereka makin terus men-
dekati jurang tersebut. Mereka tak ada yang ber-
kata-kata, bisu seribu kata. Hati mereka begitu
tercekam, rasa takut menggayut dan menyelimuti
tatapan mata mereka yang kosong bagaikan tak
bersemangat. Keenam Jalak Sakti berjalan di muka dengan
gadis calon korban berada di mukanya. Seperti
orang-orang yang mengikuti di belakang, di wajah keenam Jalak Sakti pun
terbersit ketakutan yang
teramat sangat manakala kaki mereka makin
mendekat ke tepi jurang. Tengah kesemuanya ter-
cekam diam, tiba-tiba dari dasar jurang mencelat sesosok tubuh berkelebat naik
dengan gelak tawa
bagaikan orang bungah dan tiba-tiba telah berdiri di depan menghadang mereka.
"Hua, ha, ha...! Bagus! Bagus! Rupanya ka-
lian telah menjalankan apa yang telah aku tugas-
kan pada kalian dengan baik," Orang yang bertu-buh amburadul tak karuan tersebut
makin men- dekat. Sorot matanya menyala, seperti bara api
yang mampu menerangi keadaan di sekitar itu.


Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka tampaklah oleh orang-orang yang ada di si-
tu bentuk sebenarnya mahluk yang kini mengha-
dapi mereka. Seketika semua yang berada di situ
terjengah. Di wajah kesemuanya tampak ketaku-
tan, mereka hendak lari manakala dirasakan lu-
tut mereka goyah. Tubuh mereka gemetaran, tak
kuat menahan beban tubuh. Maka tanpa ayal la-
gi, mereka pun akhirnya menggeleprak dengan
lemah, sementara dari milik mereka deras men-
gucur cairan yang baunya bukan alang kepalang.
"Ini yang kami bawa, Raja," Jalak Kuning berkata: "Semoga baginda Raja Penguasa
Jurang Gunung Kapur sekaligus penguasa para Iblis ber-kenan menerimanya,"
"Hua, ha, ha...! Bagus! Bagus!" Renggana atau Iblis Sedayu Mukti kembali
bergelak. "Nah, kalian pergilah, aku akan menyantap dulu darah
gadis ini. Eh tunggu...!" serunya manakala keenam Jalak Sakti hendak melangkah
meninggal- kannya. "Adakah kesalahan kami, Paduka?" tanya Jalak Kuning seraya hentikan langkahnya.
"Kalau memang ada, kami mohon ampun."
"Kalian tidak salah. Hem, Jalak Kuning, siapakah mereka adanya yang kalian bawa
ke mari?" "Mereka adalah pengikut-pengikut baginda
yang Mulia."
"Bagus,, bagus!" Renggana nampak kegirangan, sehingga matanya tampak berbinar-
binar. "Kalian semua, kalau kalian menurut pada aku, maka kalian akan tentram dan aman
serta akan aku bantu rejekinya. Asal kalian setiap malam
Jum'at harus memberiku darah wanita muda.
Mengerti kalian?"
"Da-daulat, Baginda...!" jawab mereka masih penuh ketakutan dan dengan tubuh
masih meng-gigil menggejuprak di atas batu kapur. Mereka tak ada yang berani
lagi memandang ke mahluk tersebut setelah mereka tahu ujud dari mahluk itu.
Ujud yang menyeramkan, yang mampu mendiri-
kan bulu kuduk bagi yang melihatnya.
"Nah, bila kalian mengikuti apa kataku, ma-
ka kalian akan tentram murah rejeki dan panjang
usia. Tapi bila kalian ingkar, maka aku tak akan segan-segan mencabut nyawa
kalian dan menghi-sapnya seperti gadis ini."
Bergidik semua orang yang berada di situ,
manakala melihat mahluk menyeramkan itu me-
nunjukkan gigi-giginya yang runcing dan tajam.
Gigi-gigi itu langsung menghunjam di leher gadis yang masih pingsan akibat
ketakutan. "Aah...!" sesaat gadis itu memekik, kelojotan
bagaikan tak rela darahnya terhisap lalu lemas
terkulai. Mata mereka yang ada di situ seketika
memejam, ngeri dan tak kuasa untuk melihat hal
tersebut. Mahluk menyeramkan itu sesaat menyeri-
ngai, lalu dengan mulut masih belepotan darah ia berkata: "Nah, mulai sekarang
kalian harus menurut denganku. Kalian harus setia padaku, se-
bab aku akan memberikan pada kalian segala apa
yang kalian inginkan!"
Setelah berkata begitu, tanpa hiraukan
orang-orang yang masih terlolong-lolong bengong
Renggana segera berkelebat pergi turun ke dalam
jurang. Mereka seketika membelalakkan mata,
seakan baru saja sadar dari pengaruh sihir. Den-
gan langkah gontai mereka pun melangkah kem-
bali pulang, meninggalkan Jurang Gunung Kapur
yang kembali sunyi senyap dengan sejuta misteri, meninggalkan sesosok tubuh yang
terkulai tanpa nyawa. Tubuh seorang gadis yang tak mengetahui
apa sebabnya ia dijadikan korban untuk iblis.
*** 4 Bila dilihat dari kejauhan Gunung Sumbing
nampak begitu sepi bagaikan tak ada penghuni-
nya. Sepi dan tenang, terbalut oleh kabut yang
bergulung-gulung, menyelimuti puncaknya yang
menjulang ke angkasa. Biru, laksana ketenangan
yang abadi akan bertengger di sana. Memang ke-
tenangan itu jelas nampak di Gunung Sumbing,
di mana Eyang Dewa Ilmu tinggal. Eyang Dewa
Ilmu adalah guru dari Senggara dan Renggana.
Eyang Dewa Ilmu merupakan tokoh persilatan
yang wataknya angin-anginan. Ia tak akan mau
ambil perduli dengan segala apa yang terjadi bila bukan atas keinginannya, tapi
ia akan begitu ngotot bila itu merupakan yang sesuai dengan apa
yang ada di hatinya. Seperti hari itu, nampak
Eyang Dewa Ilmu tengah duduk bersilah. Di ha-
dapannya duduk pula dengan bersilah salah seo-
rang muridnya yaitu Senggara atau si Cobra Me-
rah. "Senggara, ketahuilah olehmu bahwa Renggana itu kini bukanlah kakak
seperguruanmu la-
gi. Dia kini telah mengumbar nafsu Iblisnya yang sungguh-sungguh harus
dihentikan. Dia yang ki-ni bersekutu dengan Iblis Sedayu telah membuat
keresahan dengan mengambil korban setiap ma-
lam Jum'at."
Senggara terkejut kaget demi mendengar pe-
nuturan gurunya. Ia kaget bukan apa, ia kaget
karena merasa yakin kalau kakak seperguruan-
nya telah mati manakala terhantam oleh ajian
yang dilontarkan oleh Jaka Ndableg. Mana mung-
kin dapat hidup kembali" Sungguh tidak masuk
di akal kedengarannya. Dan hal itulah yang ak-
hirnya ditanyakan oleh Senggara pada gurunya.
"Tapi guru, bukankah Renggana telah mati
manakala jatuh ke dalam jurang tatkala dihantam
oleh ajian Tapak Banana manakala kami berta-
rung?" Sang guru tersenyum, seakan pertanyaan
muridnya lucu. Begitulah sifat Eyang Dewa Ilmu,
aneh dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun.
"Kau harus tahu, Iblis tak akan mati selama bertarung dengan manusia. Iblis akan
mati bila harus bertarung dengan sebangsanya yang tercip-
ta dari api atau cahaya. Dia akan dapat mati bila ia bertarung dengan Siluman
atau Malaikat. Tapi
Malaikat sudah diutus oleh Tuhan untuk tidak
mengganggu Iblis, sampai akhir jaman nantinya.
Maka hanya ada satu yang kita harapkan, yaitu
Jin atau Siluman." Eyang Dewa Ilmu menarik napas sesaat, lalu kembali berkata
menuturi murid-
nya yang masih nampak terdiam tundukkan ke-
palanya: "Dia tidak mati. Yang mati adalah jasad Renggana, sementara sukma
Renggana dan sukma Iblis itu masih hidup. Jadi biarpun jasad
Renggana telah hancur mengerikan, Renggana te-
tap saja hidup karena pengaruh sukmanya."
"Lalu apa yang harus murid lakukan, Guru?"
Eyang Dewa Ilmu kembali mendesah pan-
jang dan berat, sepertinya ada sesuatu yang san-
gat berat menimpa pikiran dan perasaannya. Ia
menyadari sebagai seorang tokoh persilatan harus turun tangan menyelesaikan
kemelut yang melanda kehidupan. Tapi ia tak dapat berbuat apa-
apa, sebab tubuhnya telah lemah tak dapat untuk
menjalankan segala apa yang diinginkannya. Dia
hanya berharap muridnya saja yang mampu me-
laksanakannya. Tapi murid-muridnya kini telah
jauh-jauh, mengabdi pada kerajaan-kerajaan, di
mana dulu mereka dilahirkan. Tinggallah kini
murid yang paling akhir Senggara atau yang se-
ring dijuluki Anak Dewa. Namun Eyang Dewa Il-
mu tak dapat memastikan kalau muridnya ini
pun akan mampu menandingi Renggana yang su-
dah bersekutu dengan iblis.
"Senggara...."
"Saya, Guru," jawab Senggara masih menunduk kepala.
"Sebagai seorang manusia, memang kita di-
tuntut untuk menghentikan sepak terjangnya.
Tapi sudah saya katakan tadi, bahwa mereka tak
akan dapat mati kalau bukan dari kehendak Yang
Maha Kuasa atau mahluk sejenisnya."
"Bagaimana dengan Pendekar Pedang Silu-
man Darah, Guru?"
Eyang Dewa Ilmu kembali terdiam ditanya
oleh muridnya. Mata tuanya memandang pada
sang murid dengan bersinar-sinar, sepertinya me-
nemukan sesuatu yang dapat membuka jalan.
Kepalanya mengangguk-angguk, lalu katanya
kemudian: "Hem, kau kenal dengannya, Sengga-ra" Dia adalah seorang pendekar yang
mumpuni dan memiliki ilmu-ilmu siluman. Kau kenal den-
gannya di mana, Senggara?"
"Dialah yang bernama Jaka Ndableg, Guru,"
jawab Senggara.
"Oh, jadi diakah yang memiliki ajian Tapak
Bahana itu?"
"Benar, Guru."
"Dan kabarnya ia memiliki sebuah senjata
berupa pedang yang mampu mengeluarkan darah
bila berhadapan dengan musuh. Pedang tersebut
juga kabarnya bersinar kuning kemerahan?"
"Begitulah yang murid ketahui, Guru."
"Hem...." Eyang Dewa Ilmu kembali angguk-anggukan kepala, sepertinya mengerti
apa yang dikatakan oleh muridnya. "Mungkin hanya dia yang mampu mengalahkannya."
"Kenapa guru yakin?"
"Menurut pengetahuan mata batinku, dia
adalah murid angkat siluman yang sangat sakti
yang tak dapat ditandingi ilmunya oleh mahluk
apapun juga," Eyang Dewa Ilmu menerangkan,
menjadikan Senggara terdiam mengerti. Kini ia
makin kagum dan simpati dengan temannya Jaka
Ndableg. Tidak disangka kalau anak semuda itu
telah memiliki ilmu yang begitu tinggi, juga mempunyai guru angkat siluman yang
sangat ditakuti
oleh mahluk halus lainnya yaitu Siluman Darah.
"Siluman Darah. Ya, dia adalah anak angkat
sekaligus murid angkat Siluman Darah, seorang
siluman yang sangat sakti mandraguna dan me-
miliki segala ilmu yang tidak dimiliki oleh para lelembut lainnya. Para
prajuritnya saja sangat sak-ti, apalagi Ratunya?" Eyang Dewa Ilmu bergumam
sendiri, seakan ia tengah merenungi keberadaan
Ratu Siluman Darah. Memang mata batinnya
yang sudah sidik dalam segala hal telah mengeta-
hui alam gaib di mana para siluman berada.
"Lalu bagaimana menurut pendapat guru?"
tanya Senggara menyentakkan lamunan gurunya
yang telah melayang pada kejadian-kejadian di
alam keramaian, di mana seorang pendekar muda
yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah
sebagai pelakunya. Pendekar yang disegani baik
kawan maupun lawan. Pendekar yang banyak te-
man tapi tak sedikit musuhnya yang berusaha
menghancurkannya.
"Sungguh dia merupakan seorang yang ta-
bah. Dia banyak kawan, tetapi dia juga banyak
lawan-lawannya yang benci dan sirik dan ber-
maksud menjatuhkannya," Eyang Dewa Ilmu
kembali bergumam, tak hiraukan pertanyaan mu-
ridnya. "Siapa yang guru maksudkan?"
"Temanmu itu yang bernama Jaka Ndableg."
Keduanya kembali hening, seakan keduanya
tengah meresapi apa yang telah terjadi pada sisi kehidupan di mana Jaka Ndableg
seorang pemuda harus bersusah payah untuk memerangi
segala kemungkaran sendirian tanpa ada yang
membantu. Ia juga harus menghadapi orang-
orang yang tidak menyukainya, walau banyak se-
kali teman-temannya. Ia juga harus bergulat da-
lam dua jalan untuk menjadikan gadis-gadis yang
menyintainya tidak menaruh dendam cinta pada
dirinya. "Guru, kalau memang itu jalan satu-
satunya, maka aku akan mencari Jaka atau aku
akan berusaha untuk sementara mencegah tin-
dakan Iblis tersebut. Saya hanya minta do'a dari guru."
"Ya, kalau memang itu yang hendak engkau
lakukan aku hanya dapat mengiringimu dengan
do'a. Hati-hatilah dalam menghadapi Iblis terse-
but. Dia tak kenal siapa adanya dirimu, sebab dia kini bukanlah kakakmu. Dia
kini adalah musuhmu yang sangat mendendam pada dirimu juga di-
ri temanmu, Jaka Ndableg atas segala yang per-
nah kalian lakukan terhadapnya. Aku juga akan
membantumu dari kejauhan, dan akan berusaha
mencari Jaka Ndableg."
Terhanyut Senggara mendengar penuturan
gurunya. Ia tak terasa melelehkan air bening. Ya, Senggara kini menangis,
terharu bukan sedih. Ia
begitu terharu dengan segala petuah gurunya. Ia
juga terharu dengan sahabatnya Jaka Ndableg,
yang walau masih muda tapi beban yang dipikul-
nya sungguh bukan ringan.
"Baiklah, Guru. Saya mohon pamit."
"Ya, hati-hatilah. Ingat olehmu, Tuhan akan selalu bersamamu bila kau selalu dalam kebenaran. Dan Tuhan akan selalu di pihakmu." Di-
usapnya dengan lembut rambut Senggara. Seng-
gara tak menyadari bahwa gurunya secara diam-
diam telah menyalurkan sebuah ilmu yang men-
jadi rahasianya tanpa sepengetahuan murid-mu-
rid yang lain pada dirinya. Hingga ketika gurunya tiba-tiba menggeletak pingsan,
Senggara tersentak kaget bukan alang kepalang.
"Guru...! Guru...! Kenapa kau, Guru!"
Tengah Senggara meratapi gurunya yang ti-
ba-tiba pingsan, terdengar suara gurunya meng-
gema dalam goa itu berkata padanya: "Senggara anakku, aku hanya mati suri. Aku
telah membe-kali dirimu dengan ilmu yang tidak seorang ka-
kak-kakak seperguruanmu yang tahu. Ilmu itu
bernama aji Jati Diri, yaitu sebuah ajian yang dapat menangkal Iblis. Bila


Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang Renggana hen-
dak membunuhmu, maka kau tak akan dapat
mati olehnya. Kalau kau nanti kalah olehnya,
maka tak akan dia mampu membunuhmu. Aku
tahu bahwa Renggana memang kini bukan tan-
dinganmu juga tandingan diriku, tapi dengan il-
mu tersebut kau mampu menangkal dari kema-
tian yang bukan atas kehendak Allah. Nah, be-
rangkatlah. Gunakan ilmu yang engkau miliki un-
tuk kebenaran, jangan seperti kakakmu yang te-
lah durhaka pada Tuhannya."
"Terimakasih, Guru." Senggara segera menyembah, lalu dengan terlebih dahulu
membetul- kan letak tidur gurunya, Senggara pun kemudian
berangkat untuk menuju ke Jurang Gunung Ka-
pur. *** Dengan menggunakan ilmu larinya, Sengga-
ra terus melesat dari wilayah Kulon menuju ke
wilayah Wetan. Senggara harus menempuh pulu-
han hari perjalanan untuk dapat sampai ke tem-
pat yang dituju. Dengan tekad untuk dapat
menghentikan sepak terjang Iblis Sedayu tak dihiraukannya kaki yang untuk
berlari telah begitu
letih. Hari telah beranjak sore, manakala Senggara sampai di perbatasan wilayah
Kulon dengan wilayah Wetan. Tiga hari telah ia lalui dengan cepat, tanpa
mengenal lelah Senggara terus menyusuri
jalan pegunungan. Sore itu Senggara sampai di
daerah Cirebon, di mana mau tidak mau Sengga-
ra harus beristirahat untuk melepas segala ke-
penatan. Dicarinya sebuah penginapan, yang se-
kaligus mempunyai kedai karena perutnya telah
begitu laparnya.
Tak begitu lama Senggara mencari sebuah
penginapan, ia pun akhirnya menemukannya.
Sebuah penginapan yang memiliki kedai sendiri.
Tanpa banyak pikir lagi Senggara pun segera me-
mesan sebuah kamar.
"Masih adakah kamar yang tersisa?" tanya Senggara pada pemilik kedai yang telah
ditemui-nya. "Wah, sudah disewa semua," jawab pemilik penginapan dengan nada
menyesal, menjadikan
Senggara kerutkan kening. "Baru saja orang-
orang itu datang menyewanya. Orangnya sih cu-
ma ada lima tapi mereka minta agar kamar yang
lainnya tidak boleh disewakan. Mereka nampak-
nya orang galak, Tuan," bisik pemilik penginapan dengan takut-takut.
"Hem, apakah di belakang tak ada tempat
kosong?" "Ada, Tuan. Apakah tuan mau?" pemilik
penginapan balik bertanya, yang dengan segera
dipelototi oleh Senggara.
"Bukan untukku, tapi untuk tamu-tamumu."
"Bangsat! Siapa yang berani lancang pada
kami!" tiba-tiba terdengar suara membentak dari dalam kamar yang letaknya
berdekatan dengan
Senggara dan pemilik kedai yang nampak ketaku-
tan dengan wajah pucat pasi berbicara: "Siapa anjing busuk itu, Kempo" Apakah
kau tak dapat mengusir anjing kurapan yang menjijikkan itu!"
"Siapa dia adanya, Pak?" tanya Senggara..
"A-anu, Tuan.... Sudahlah, tuan jangan hi-
raukan. Sekarang tuan pergilah dan carilah pen-
ginapan lain. Mereka bukan orang baik-baik. Me-
reka orang jahat," Kempo kembali berbisik, yang hanya disenyumi oleh Senggara.
"Hai, para kuntilanak yang berada di dalam, kalau kalian ingin mengusirku
keluarlah. Aku jadi ingin melihat tampang-tampang kalian. Kayaknya
kalian bertampang buruk saja, sehingga kalian
terlalu takut kalau muka kalian diketahui oleh
orang lain, ya!" Senggara berteriak-teriak bagaikan di hutan. Memang sengaja ia
berbuat begitu,
dengan harapan kelima wanita yang berada di da-
lam kamar mau menunjukkan muka-muka mere-
ka. Dan memang benar, kelima wanita yang ter-
nyata cantik-cantik dan muda itu berkelebat ke-
luar menemui Senggara. Kelima wanita muda itu
seketika terkesiap, manakala menyaksikan siapa
adanya yang telah berkata lancang. Tadinya me-
reka menyangka orang yang bertampang jelek,
atau gembel yang tak tahu diri. Tapi nyata-nya
seorang lelaki tampan dengan sorot mata tajam
menghunjam yang mereka temui, sehingga kelima
Gadis Liar itu seketika cengengesan sendiri.
"Kaukah orangnya?" tanya Gadis Liar yang berpakaian seronok warna orange dengan
Pendekar Patung Emas 18 Dewa Arak 12 Jamur Sisik Naga Memanah Burung Rajawali 14
^