Pertarungan Dua Datuk 2
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk Bagian 2
menyentuh tubuh Longkat Ketek, tiba-tiba se-
buah bayangan berkelebat menyabet tubuh Long-
kat Ketek dan membawanya pergi meninggalkan
tempat tersebut.
Rawa Sekti sejenak tercengang menyaksi-
kan betapa cepatnya orang itu menyambar tubuh
Longkat Ketek. Kalaulah orang biasa, niscaya tak akan dapat segera mengelakkan
serangan yang hanya berjarak beberapa centi saja.
"Siapakah dia" Apakah dia seorang Dewa?"
tanya Rawa Sekti pada diri sendiri. Setelah se-
kian lama tersentak diam, Rawa Sekti segera ber-
kelebat hendak mengejar. Namun ternyata ba-
yangan itu telah lenyap, lenyap tak tampak oleh
mata lagi. Maka dengan diliputi tanda tanya di
hatinya, Rawa Sekti kembali melibatkan diri ke
dalam pertempuran yang masih berjalan.
* * * Orang yang tadi menyambar Longkat Ketek
masih terus berlari dengan membawa tubuh
Longkat Ketek dalam bopongannya. Setelah me-
nengok ke belakang dan ternyata tak ada yang
mengejarnya, segera orang bertutup muka dan
pakaian serba putih hentikan langkah. Ditaruh-
nya tubuh Longkat Ketek, lebih tepat dilempar-
kannya ke atas rerumputan.
"Siapakah engkau, Ki Sanak?" tanya Longkat Ketek ingin tahu siapa orang yang
telah me- nolongnya yang berkerudung muka serba putih
dan pakaiannya pula.
"Bodoh! Dungu!" membentak orang berca-
dar dan berpakaian serba putih yang ditujukan
pada Longkat Ketek tanpa hiraukan pertanyaan
Longkat Ketek. Hal ini menjadikan Longkat Ketek
terbengong-bengong tak mengerti.
"Kenapa Ki Sanak marah-marah setelah
menolongku?"
"Bodoh! Lancang kau berani-berani menye-
rang kerajaan! Apakah kau kira kau akan mam-
pu" Untung Pendekar Muda itu tidak datang. Ka-
lau datang, maka sudah pasti kau akan menjadi
sate!" Orang bercadar dan pakaian serba putih kembali membentak.
"Aku telah siap!" Longkat Ketek berkata setengah memekik. Ia begitu kesal pada
orang di hadapannya, walau ia tahu bahwa tanpa adanya
orang tersebut niscaya umurnya tak akan sampai
saat itu. Sebab tangan maut Rawa Sekti mungkin
telah memanggang tubuhnya menjadi panggang-
an orang. Tapi orang ini sungguh keterlaluan.
Jangan karena telah menolong, lalu mentang-
mentang marah seenaknya. Orang itu ditanya
baik-baik, malah memaki-maki. Kalau saja ma-
kian itu diucapkan oleh orang lain, niscaya Longkat Ketek akan memukul orang
tersebut. Tapi yang bicara ini adalah orang yang telah meno-
longnya dari kematian hingga sukar bagi Longkat
Ketek untuk melakukan tindakan.
"Siap..." Katamu siap?" Orang bercadar dan berpakaian serba putih bertanya
dengan na-da sinis. Mungkin bila cadarnya terbuka, nam-
paklah senyum sinisnya mengembang di kedua
bibir. "Siap apa?"
Jengkel Juga Longkat Ketek mendengar
ucapan yang sinis itu, yang baginya sudah keter-
laluan. Maka dengan setengah membentak Long-
kat Ketek kembali berkata menjawab : "Siap ma-ti!"
"Hua, ha, ha...! Orang dunggu! Apakah
dengan dosamu yang menumpuk kau akan enak
mati, hah?"
"Itu urusanku. Bukan urusanmu, Orang
usil!" "Hai, rupanya kau memang orang tak tahu diuntung, Datuk cabul! Kalau itu
yang kau ingini, lakukanlah olehmu. Kembalilah kau ke kerajaan,
di sana kau akan melihat sesuatu yang akan
menjadikan nyalimu akan tampak jelas. Nyali
seekor tikus tanah!"
Mendidih darah Longkat Ketek mendengar
cacian yang dilontarkan oleh tuan penolongnya.
Darahnya sebagai darah seorang Datuk seketika
menggelegar, menerjang-nerjang bagaikan air bah
yang membobolkan tanggul. Matanya memandang
liar, menyala bagaikan penuh hawa kematian.
"Bedebah! Rupanya kau ingin menjadi pah-
lawan kesiangan!"
"Siapa bilang. Aku menolongmu karena
hanya kebetulan saja," jawab orang bercadar itu dengan tenangnya, yang makin
menjadikan de-ngusan kemarahan bagi Longkat Ketek.
"Bangsat! Siapa kau. Jangan sampai mati
tanpa meninggalkan nama!" hardik Longkat Ketek yang sudah merasa mangkel. Namun
seperti tadi, orang bercadar itu bagaikan acuh dan bicara tan-
pa memperdulikan ucapan Longkat Ketek.
"Sungguh orang-orang yang bodoh! Kalau-
lah ingin membunuh, mengapa mesti menanya-
kan nama segala. Kalau kau memang mampu, la-
kukanlah olehmu, Datuk Bodoh Cabul!"
"Bangsat! Jangan salahkan kalau aku tak
tahu balas budi. Hiat!"
"Orang macammu, tak akan mengenal ba-
las budi segala, Datuk!"
"Benar-benar minta mampus kau. Hiat...!"
Tak ayal lagi. Longkat Ketek yang sudah
tak dapat membendung kemarahannya lagi segera
berkelebat menyerang. Namun bagaikan mengha-
dapi seekor kerbau dungu saja, lelaki bercadar
putih itu nampak tenang. Sepertinya segala se-
rangan yang dilontarkan Longkat Ketek tak ada
artinya sama sekali. Bahkan...!!
"Bug, bug, bug!"
Tiga kali pukulan lelaki bercadar putih itu
telak menghantam tubuh Longkat Ketek. Seketika
tubuh Longkat Ketek terpelanting ke belakang ja-
tuh ke tanah dengan suara bergedebuk. Lelaki
bercadar putih nampak tersenyum, terlihat dari
tarikan cadarnya yang makin mengencang ke da-
lam. "Nah, kalau kau belum puas dengan siapa aku, datanglah kau pada pertemuan
para Datuk. Kelak kau akan tahu siapa aku. Kini orang me-
nyebutku Datuk Suci. Hua, ha, ha...!"
Tanpa hiraukan Longkat Ketek yang masih
terbengong tak mengerti siapa adanya Datuk Pu-
tih, sang Datuk segera berkelebat pergi mening-
galkan Longkat Ketek. Dengan agak tertatih
Longkat Ketek segera bangkit. Dipandangnya arah
ke mana Datuk Putih berkelebat pergi, dengan
hati seketika bergumam lirih: "Siapakah dia" Kenapa orang menyebutnya Datuk
Putih" Ah, mana
mungkin seorang Datuk beraliran lurus" Sung-
guh aneh...."
Dengan tertatih-tatih, Longkat Ketek segera
melangkah pergi dengan perasaan tak menentu.
Pikirannya gundah, sebab sudah pasti dirinya ki-
ni menjadi buronan kerajaan. "Oh, tidak! Aku tak akan menyerah begitu saja,"
gertaknya dalam ha-ti. Kakinya melangkah bagaikan melayang, ter-
bawa oleh pikirannya yang beribu macam. Ten-
tang keadaan dirinya, tantang tuan penolongnya
yang misterius, tentang Eyang Sulir Kuning bekas kekasihnya yang telah ia beri
janji untuk melakukan pertemuan pertarungan antara keduanya.
Tenggelam segala bayang-bayang dirinya, bagai-
kan terbawa arus hidupnya sebagai seorang Da-
tuk yang dimusuhi.
Tengah Datuk Longkat Ketek tercenung da-
lam langkahnya, tiba-tiba terdengar suara leng-
kingan gelak tawa. Semakin lama semakin dekat
saja, lalu makin keras dan keras. Gelak tawa itu bukan gelak tawa saja, lebih
tepat dikatakan pekikan. Datuk Longkat Ketek berusaha menahan
getaran tawa itu sebisanya, namun tubuhnya
seakan menjadi turut bergetar dahsyat. Manakala
Datuk Longkat Ketek dalam keadaan begitu rupa,
tiba-tiba terdengar bentakan seorang.
"Datuk Longkat Ketek, apa kau tahu di
mana Datuk Mujo Hitam berada"!"
Berbareng dengan habisnya suara orang
tersebut, seketika berkelebat si pemilik suara
yang telah berdiri menghadapi Datuk Longkat Ke-
tek yang terbelalak kaget dengan tubuh gemeta-
ran. Dari mulut sang Datuk menggumam menye-
but nama orang yang berada di hadapannya.
"Datuk Gagak Hitam...!"
"Ya. Aku, Longkat Ketek. Kau tahu di mana
tempat Datuk Mujo Hitam?"
"Ada keperluan apakah engkau mencari
Mujo Hitam?"
"Aku ingin membalas sakit hatiku. Dia te-
lah membunuh adik seperguruanku." jawab
Renggana seakan penuh kemarahan dan dendam,
menjadikan sorot matanya membara bagaikan
lautan api. "Katakan di mana ia berada. Cepat!"
"Sungguh dengan menyesal aku tak tahu,"
jawab Datuk Longkat Ketek, menjadikan Rengga-
na yang otaknya sudah miring seketika menceng-
keram baju yang dikenakan Datuk Longkat Ketek.
Datuk Longkat Ketek segera tepiskan tangan
Renggana, namun bagaikan sebuah beton tangan
Renggana kokoh mencengkeram baju itu. Hal itu
membuat Longkat Ketek tak dapat berbuat apa-
apa, dan hanya diam untuk menunggu ajal bila
Renggana atau Datuk Gagak Hitam benar- benar
membunuhnya. "Katakan sekali lagi bahwa kau tak tahu,
maka aku akan sumbat mulutmu untuk selama-
lamanya." Renggana mendengus, seakan ada kedukaan di matanya. Namun sejurus
kemudian, tiba-tiba tawanya kembali melengking, tinggi dan memekakkan telinga.
Longkat Ketek benar-benar dibuat bingung
dengan tingkah laku Renggana yang mirip kayak
orang sinting. Longkat Ketek tak menyadari kalau Renggana memang tengah dilanda
penyakit jiwa yang berat, yaitu tekanan batin atas segala pikirannya. Belum juga Longkat Ketek
mengerti den- gan arti semuanya, tiba-tiba Renggana telah kem-
bali membentaknya.
"Katakan pada para Datuk Persilatan, aku-
lah Datuk Segala Datuk. Akulah Raja Datuk du-
nia Persilatan. Ingat itu! Kalian semua Datuk-
Datuk kroco harus menyembah padaku. Menger-
ti!" Setelah berbuat begitu, tanpa memperduli-
kan lagi pada Datuk Longkat Ketek, Renggana se-
gera berkelebat pergi dengan kembali bergelak
tawa bagaikan orang gila. Datuk Longkat Ketek
hanya tercenung. Ia ingat ucapan Renggana atau
Datuk Gagak Hitam. "Ah, bagaimana ini" Kalau semuanya saling berbeda haluan,
runtuhlah para Datuk akibat permusuhan para anggota." keluh Longkat Ketek. Dengan segera
Longkat Ketek berkelebat untuk menemui para Datuk lainnya.
Longkat Ketek akan menceritakan apa yang telah
ia alami, bahwa Datuk Gagak Hitam bermaksud
mengangkangi para Datuk yang telah ada Ketua-
nya walau Ketua itu bulan purnama esok sudah
harus diganti. Kini bertambah lagi pikiran Long-
kat Ketek. Karena terlalu pusingnya pikiran
Longkat Ketek tak hiraukan segalanya, ia lari dan terus lari dengan cepatnya.
6 Pertempuran di alun-alun kerajaan nam-
pak masih terus berjalan dengan korban banyak
berjatuhan di antara kedua belah pihak. Walau-
pun Ketuanya telah minggat, namun prajurit dari
gerombolan sesat yang menghendaki kebebasan
bagi diri mereka untuk memerdekakan golongan-
nya dari kerajaan terus bersemangat. Mereka se-
pertinya pantang untuk mundur menyerah. Wa-
jah mereka beringas, mata mereka menyala-nyala
laksana api neraka.
Rawa Sekti dan Resi Ambarikmu nampak
makin mengganas, setiap saat selalu tangan dan
kaki mereka mencari kematian. Tak bosan-
bosannya Rawa Sekti dan Ambarikmu bagaikan
anak kecil hantamkan ajian mereka pada musuh,
yang seketika itu memekik dan ambruk dengan
tubuh hangus terbakar.
"Menyerahlah kalian! Kalian tak akan
mampu menghadapi aku!" seru Rawa Sekti setengah sombong. "Kalian percuma saja
melakukan perlawanan, sebab tak ada gunanya. Apakah kalian ingin seperti teman-
teman kalian itu..."!"
"Benar! Kalian menyerahlah, agar pihak ke-
rajaan tak berat menghukum pada kalian semua!"
Tiba-tiba terdengar seruan seseorang bersamaan
dengan berkelebatnya orang yang memiliki suara
itu. Semua mata seketika memanahkan pandan-
gannya pada orang tersebut. Seorang pemuda be-
rambut gondrong dan berpakaian putih perak ti-
ba-tiba telah ada di situ. Rawa Sekti dan Amba-
rikmu yang mengetahui siapa adanya pemuda
tersebut segera menjura hormat.
"Oh, rupanya tuan Pendekar. Kebetulan.
Kami memang mengharapkan bantuan tuan un-
tuk sudilah menghalau mereka," Ambarikmu dan Rawa Sekti berkata bareng,
sepertinya kedua
orang tertinggi kerajaan itu dikomando untuk
menyatakannya.
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau boleh aku tahu, mengapa sampai
terjadi hal seperti ini" Apa masalahnya. Dan siapa pula yang telah membuat
kerusuhan ini?"
"Mungkin tuan Pendekar tahu siapa-siapa
adanya mereka?" tanya Ambarikmu.
Pemuda tampan berpakaian putih perak
sesaat palingkan muka memandang pada para
prajurit yang tengah bertempur menghadapi
pemberontakan. Sejurus kemudian, pemuda itu
menggumam lirih. "Golongan kaum Datuk. Hem, rupanya Datuk-datuk dunia persilatan
telah ber-keliaran untuk memenuhi ambisi mereka. Ini tak
dapat dibiarkan. Siapa Ketuanya, Paman Patih?"
"Ketuanya tak lain Datuk Longkat Ketek. Ia
ingin meminta kemerdekaan bagi para Datuk un-
tuk mendirikan sebuah kerajaan sendiri."
Pemuda itu anggukkan kepala mendengar
penuturan Rawa Sekti. Matanya tajam meman-
dang lurus ke muka, di mana pertempuran masih
terus berlangsung. Pemuda yang tak lain Jaka
Ndableg, sunggingkan senyum, sepertinya ada ke-
lucuan yang telah terjadi di antara mereka. Hal
itu menjadikan kedua orang tokoh istana bela-
lakan mata, tak percaya pada apa yang mereka
saksikan. Betapa sungguh anehnya Pendekar itu.
Dalam keadaan perang begitu rupa ia masih sem-
pat sunggingkan senyum, seakan segalanya
hanya main-main. Belum juga kedua pembesar
istana itu memahami arti senyuman pendekar
Pedang Siluman Darah, tiba-tiba sang Pendekar
telah kembali berkelebat pergi sembari berseru.
"Paman Patih, aku akan mencoba mencari pimpinannya. Kalian berdua cepatlah
selesaikan per-
tempuran tersebut."
Kedua Patih kerajaan Kuning Gading seje-
nak terhenyak, lalu dengan sadar keduanya sege-
ra berkelebat masuk ke arena pertempuran. Ma-
kin bertambah ramai saja pertarungan itu, de-
ngan datangnya dua tokoh utama kerajaan. Kini
para pemberontak nampak terdesak mundur, tak
mampu menghalau amukan kedua tokoh utama
Kerajaan. Tengah pertempuran itu berlangsung, tiba-
tiba dari dalam istana sebuah bayangan berkele-
bat sambil membawa sesosok tubuh. Bayangan
tersebut berlari, meninggalkan istana. Rawa Sekti yang melihat bayangan hitam
berkelebat sembari
membawa tubuh Rajanya yang sudah dalam kea-
daan tertotok segera berkelebat mengejar tanpa
perdulikan mereka yang bertempur.
"Monyet! Berhenti kau...!"
Orang yang membawa tubuh raja Kuning
Gading tak mau perduli. Malah langkah larinya
makin cepat, menjadikan Rawa Sekti seketika ter-
jengah. Digunakannya ilmu lari, namun sampai
tingkatan akhir ilmu larinya Rawa Sekti tak
mampu mengejar orang berjubah hitam. Orang
itu akhirnya menghilang di balik bukit, tinggal
Rawa Sekti yang terdiam mematung.
"Oh, apa arti semua ini?" keluh Rawa Sekti, merasa usahanya untuk kembali
merebut sang raja yang diculik telah gagal. "Apa yang dapat aku
lakukan" Segalanya kini berjalan cepat. Wangsit
itu, oh... sungguh sebuah kebenaran. Oh, benar-
kah Kerajaan akan hancur dan dikuasai oleh seo-
rang Datuk Gila..." Jagad Dewa Batara, sungguh
aku tak dapat membayangkan bila hal itu harus
terjadi." keluh hati Rawa Sekti. Dengan hati galau Rawa Sekti akhirnya
tinggalkan bukit Lamus,
kembali menuju alun-alun kerajaan.
Tersentak Rawa Sekti bercampur senang,
mana kala dilihatnya seorang pemuda yang sudah
ia ketahui siapa adanya nampak turun membantu
menghalau para pemberontak. Saking senangnya
Rawa Sekti, sampai-sampai ia bagaikan anak ke-
cil berseru girang.
"Tuan Pendekar... jangan beri ampun me-
reka!" Jaka Ndableg tak hiraukan seruan Rawa Sekti, dia masih berkelebat-kelebat
menghindari serangan para pengeroyoknya dengan sesekali
berteriak-teriak bagaikan orang ketakutan.
"Wadauw... kenapa kalian sadis?" tubuh Jaka berkelebat, melenting ke angkasa
bagaikan orang bermain akrobatik. Tubuh itu berputar ba-
gaikan baling-baling, lalu menukik ke bawah
dan...! "Bletok, bletok, bletok!"
"Aduh...!"
Menjerit tiga orang pengeroyoknya seketi-
ka, manakala tangan Jaka yang menyatukan jari-
jarinya mematuk-matuk bagaikan paruh burung
pelatuk. Tak ayal, kepala mereka seketika bocor
mengeluarkan darah. Orang-orang itu berputar-
putar sesaat, lalu ambruk menjatuhi teman-
temannya dengan mata melotot bagaikan dibeset
kulitnya. Yang lainnya melihat hal itu segera meng-
geram dan langsung menyerang dengan senjata
ke arah Jaka. Hal itu menjadikan Jaka yang su-
dah ke luar kekonyolannya, menanggapi dengan
ocehan-ocehan yang dapat menjadikan gelak tawa
bagi yang mendengarnya.
"Ladalah, mengapa memang begitu sadis-
nya" Itu golok jangan untuk main-main, Mang.
Bahaya!" "Bedebah! Golok kami akan merencah tu-
buhmu, Anak Edan!"
"Waduh! Jangan Mang... kenapa Mamang
memusuhiku" Kenapa Mamang semua hendak
menurunkan tangan jahat?" Jaka kembali mengo-ceh, lalu menjerit manakala tiga
orang lagi berkelebat membabatkan golok mereka ke tubuhnya.
"Tobat... Mamang...!"
Ketiga orang pengeroyoknya tak perduli
pada apa yang dilakukan oleh Jaka. Mereka terus
berusaha mencerca Jaka, walau Jaka telah me-
lesat ke atas laksana terbang.
"Baik, kalau kalian memang sadis begitu.
Sebagai ungkapan rasa hormatku, akan aku beri-
kan pada kalian hadiah berupa tiket masuk ke
akherat sana!" Setelah berkata demikian, segera Jaka menukik ke bawah. Tangannya
yang sudah membentuk paruh burung, berkelebat-kelebat
kian ke mari. Ketiga orang pengeroyoknya sejenak ter-
sentak melihat hal itu. Namun mereka segera ba-
batkan golok mereka, menghadang tangan Jaka
yang hendak mematuk kepala. Jaka tersentak, ta-
rik tangannya dan kibaskan kaki yang berada di
atas mengayun ke bawah. Ketiga orang yang tak
menyangka kalau Jaka dapat dengan mudah ber-
gerak seperti itu, kembali tersentak dan berusaha menghindar. Tapi... gerakan
Jaka Ndableg begitu
cepat hingga...!
"Dug... dug... dug...!"
Memekik seketika ketiga orang tersebut,
dengan tulang dada sepertinya remuk. Tubuh ke-
tiga orang tersebut sesaat mengerang, meregang
lalu akhirnya mati terkulai.
Hal itu menjadikan yang lainnya nampak
agak jeri juga. Nyali mereka hampir lenyap dari
hati, manakala melihat betapa pemuda yang ber-
tampang konyol tersebut ternyata bukan seorang
pemuda sembarangan. Apalagi ketika salah seo-
rang di antara mereka membisikkan siapa adanya
pemuda tersebut, pucat pasilah wajah semuanya
memandang takjub pada Jaka yang masih se-
nyum-senyum sendiri.
"Pendekar Pedang Siluman Darah!" pekik semuanya kaget.
Jaka Ndableg masih tampak tenang. Dari
belakang Rawa Sekti dan Ambarikmu telah da-
tang menghampiri. Kedua tokoh utama kerajaan
itu segera berdiri menjejeri Jaka. Mata mereka
memandang tajam pada sisa-sisa pemberontak
yang ketakutan setelah mengetahui siapa adanya
pemuda tersebut.
"Kenapa kalian kaget" Bukankah kalian
anak buah Datuk Longkat Ketek yang gagah be-
rani?" Jaka bertanya dengan senyum sinis mengembang di bibirnya. "Apakah kalian
masih hendak meneruskan tindakan kalian yang dungu
itu?" Semuanya tak ada yang menjawab. Muka mereka tertunduk, tak berani
menentang pandang ke arah Jaka.
"Tangkap mereka...!" Rawa Sekti seketika berseru memerintah pada anak buahnya
yang dengan segera menjalankan tugas. Sisa-sisa pembe-
rontak itu menurut, tak berani untuk melakukan
perlawanan lagi. Ya, sia-sia saja bila mereka melakukan perlawanan sebab di
pihak kerajaan kini
telah ada seorang pendekar muda yang namanya
tengah membumbung tinggi dengan ilmu yang
tiada terkalahkan, sehingga orang-orang persila-
tan mengatakan Titisan Dewa. Hal itu dapat terlihat dengan ajian-ajian yang
dimiliki oleh pende-
kar tersebut. Ajian Jamus Kalimusada, adalah
ajian milik Dewa Wisnu. Juga ajian Buto Dewa
Wisnu. Ajian lain adalah Tapak Bahana, ini me-
rupakan ajian Dewa Brahma. Lalu ajian Petir Se-
wu, yang merupakan ajiannya Dewa Petir.
"Tuan Pendekar, tunggu!" Rawa Sekti berseru memanggil, mana kala dilihatnya Jaka
hen- dak berkelebat pergi. Jaka segera hentikan lang-
kah, berpaling sesaat menunggu kedatangan Ra-
wa Sekti yang berjalan tergesa-gesa ke arah-nya.
"Ada gerangan apa lagi?" tanya Jaka setelah Rawa Sekti sampai.
"Kami kembali mohon pertolonganmu."
"Pertolonganku...?" tanya Jaka seakan tak percaya.
"Ya, pertolongan tuan."
"Tentang apa" Kalau memang sekiranya
aku mampu, maka aku akan membantu kalian.
Tapi kalau aku tak mampu, maka dengan amat
menyesal terlebih dahulu aku meminta maaf."
"Kami rasa tuan mampu," jawab Rawa Sek-ti, menjadikan Jaka tersentak kerutkan
kening. "Hai, mengapa engkau berkata begitu, Pa-
man Patih?" tanya Jaka tak mengerti. "Aku manusia biasa sepertimu, Paman Patih.
Setiap ma- nusia, ada kalanya mengalami kesialan. Begitu
juga halnya dengan diriku, aku pun akan sekali-
kali membutuhkan bantuan orang lain. Kadang-
kala, orang yang tak terkenal tiba-tiba mampu
menangani masalah yang tak dapat ditangani oleh
orang yang sudah terkenal sepertiku. Ah, kenapa
kau berkata tak menentu" Sudahlah, sekarang
katakanlah apa yang akan Paman utarakan pa-
daku." Patih Rawa Sekti seketika tundukkan mu-ka. Matanya berkaca-kaca, seakan
ingin menan- gis. Rasa tanggung jawabnya sebagai seorang pa-
tih yang harus melindungi rajanya, ternyata tak
mampu. Tengah keduanya terdiam, dari istana
berlari-lari sang Permaisuri Ayuning Diah meng-
hampiri mereka.
Kedua orang itu juga para prajurit yang
lain segera tundukkan tubuh sembari menghor-
mat, hanya Jaka saja yang cuma anggukkan ke-
pala. Hal itu menjadikan Ayuning Diah belalak-
kan mata, menatap tajam pada Jaka Ndableg.
Manakala ia hendak marah, tiba-tiba rasa marah
itu hilang kala matanya beradu pandang dengan
mata Jaka. Hati Ayuning Diah bergetar, mende-
sah panjang. "Ah... Kenapa aku ini" Kenapa pemuda ini mampu membuat hatiku
bergetar" Oh,
sungguh tampannya pemuda ini."
Jaka Ndableg yang tahu bahwa Ayuning
Diah kini memperhatikan dirinya segera tunduk-
kan muka, membuang wajahnya ke bawah. Masih
ingat ucapan Ratu Siluman Penguasa Bumi, bah-
wa hampir seluruh wanita akan jatuh cinta pa-
danya. Bila ingat itu semua, seketika hati Jaka
menggumam dan mengumpat-umpat dirinya sen-
diri. "Oh, kenapa aku tampan" Kenapa aku banyak disukai oleh orang-orang" Kenapa
aku di- cintai oleh wanita" Kenapa aku banyak yang me-
musuhi pula" Bagaimana dengan gadis-gadis
itu..." Loro Ireng, Dewi Miranti atau si Bidadari Selendang Ungu, dan masih
banyak lagi gadis-gadis yang mendambakan cintaku. Kini... kini
Permaisuri kerajaan Gading Kuning. Oh...."
"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak?" terdengar suara lembut berkata, menjadikan
Jaka yang tengah menunduk tersentak dan dongakkan
mukanya. Hal itu memang yang diinginkan oleh
Ayuning Diah, yang tiba-tiba hatinya telah ter-
paut. Tidakkah itu sebuah kegilaan" Bagaimana
mungkin Jaka Ndableg mau menerimanya" Bu-
kankah Ayuning Diah adalah istri sahabatnya,
Raja Briah Awangga"
Jaka segera membuang segala angannya,
lalu dengan kembali menunduk menjawab perta-
nyaan Ayuning Diah. "Nama hamba yang rendah ini, Jaka."
"Dia adalah Pendekar Pedang Siluman Da-
rah, Permaisuri," menambah Rawa Sekti, menjadikan kanjeng Permaisuri belalakkan
matanya yang lentik. Sejurus ditatapinya lekat wajah Jaka, yang tak mau mengadu pandang
lagi dengan Permaisuri. Hati Permaisuri bergetar, bagaikan
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meledak-ledak. Seketika kekhawatiran tentang di-
ri suaminya menghilang, kini berganti dengan api asmara. Jaka yang melihat sinar
mata sang Permaisuri dengan segera berkata pada Patih Rawa
Sekti. "Paman Patih, apa yang hendak engkau katakan padaku tadi?"
Namun patih Rawa Sekti yang tidak men-
gerti akan apa yang tengah terjadi antara Jaka
dan Permaisuri rajanya, seketika tersentak kaget.
Ia susah untuk menjawab, sebab tidak mungkin
kalau Permaisuri tidak mengutarakan hal itu
bakal ia ceritakan pada Jaka.
"Tuan Pendekar, mengapa mesti engkau
kesusu?" Terjengah Jaka Ndableg mendengar perta-
nyaan Ayuning Diah yang tak diduga-duga sebe-
lumnya. Namun Jaka masih berusaha menunduk
dengan harapan tidak kembali beradu pandang
dengan Permaisuri yang ia tahu telah terpanah
hatinya. Tatapan Permaisuri Ayuning Diah masih
lekat, memanah pada Jaka yang tak dapat ber-
buat apa-apa. Hati Jaka seketika gundah, sulit
untuk mengerti apa kemauan istri Raja Briah
Anggawa yang memang masih muda dan cantik
jelita. "Maaf, Kanjeng Permaisuri. Hamba rasa, hamba tak mempunyai waktu banyak.
Untuk itulah, sekiranya ada yang hendak Permaisuri utara-
kan. Hamba mohon secepatnyalah."
Permaisuri Ayuning Diah hanya tersenyum.
"Oh, segitu sibuknya engkau, Tuan Pende-
kar?" "Ah, tidak demikian adanya, Kanjeng Permaisuri. Hamba hanya minta
secepatnyalah apa
yang hendak Kanjeng Permaisuri utarakan. Kalau
memang hamba dapat membantu. Hamba akan
berusaha membantunya."
"Baiklah. Aku pun tiada hak menghalangi-
mu. Aku sadar, bahwa aku telah memiliki seorang
suami." Terjengah semuanya mendengar ucapan
Kanjeng Permaisuri Ayuning Diah yang tak ter-
duga-duga itu. Betapa terkejutnya mereka, seper-
tinya ada halilintar menggelegar seru di siang hari bolong. Tak disangka oleh
mereka kalau Kanjeng
Permaisurinya ternyata jatuh hati pada pendekar
muda tampan itu. Mereka maklum, bahwa kalau
mereka wanita pun pasti akan mengalami hal se-
rupa seperti Kanjeng Permaisurinya. Memang
tampan pemuda pendekar itu, sehingga banyak
gadis-gadis yang jatuh cinta. Melihat kebisuan di
antara mereka, secepatnya Rawa Sekti yang men-
getahui gelagat segera memecahkan keheningan
berkata: "Kami memohon bantuanmu untuk da-
patlah membebaskan Baginda Raja yang diculik
oleh seseorang."
"Ah...." Jaka mendesah kaget. "Paman Patih tahu siapa adanya orang tersebut?"
Patih Rawa Sekti sejenak mendesah, berat.
"Sungguh menyesal, aku tak mengeta-
huinya dengan pasti."
"Oh, susah. Bagaimana dengan Kanjeng...
Kanjeng Permaisuri?"
Ucapan Jaka yang tersendat, menjadikan
Ayuning Diah tersenyum dikulum. Dia senang,
senang sekali mendengar Jaka berucap yang ditu-
jukan padanya. Tanpa menghiraukan semuanya
yang ada di alun-alun, Ayuning Diah hampiri Ja-
ka. Dan dengan tiba-tiba, diciumnya Jaka yang
seketika tersentak kaget tak luput juga yang lainnya. "Kenapa?" tanya Ayuning
Diah seperti tak berdosa. "Bukankah aku perlu mengucapkan terima kasih atas
segala bantuanmu?"
Semuanya tak ada yang berkata, diam ba-
gaikan sebuah patung.
"Orang yang menculik Baginda Raja, me-
nyebut dirinya Datuk Gagak Hitam atau Datuk
Segala Datuk," Permaisuri akhirnya menerangkan siapa adanya penculik tersebut.
Mendengar jawaban sang Permaisuri, Jaka yang tak ingin se-
muanya berlarut segera berkelebat pergi laksana
tiupan angin. Hal itu menjadikan semua yang ada
di situ hanya terbelalak, mulut mereka melom-
pong bengong dan kepala mereka gelengkan.
7 Para Datuk-datuk persilatan golongan se-
sat, kini resah oleh hadirnya Dua Datuk yang be-
raliran lain. Salah seorang beraliran menyelim-
pang, yaitu beraliran lurus yang mengakui na-
manya sebagai Datuk Putih. Orang ini selalu da-
lam sepak terjangnya mengenakan segalanya ser-
ba putih, sampai-sampai cadarnya pun memakai
cadar putih. Sementara salah seorang lagi, dia
mengaku Datuk segala Datuk. Kalau orang yang
kedua telah mereka ketahui adanya, tapi orang
yang pertama sungguh merupakan misteri ter-
sendiri. Mereka belum tahu siapa adanya Datuk
Putih tersebut. Kalau dianalisa secara rinci, jelas Datuk Putih merupakan
halangan bagi perkembangan para Datuk golongan sesat. Sebab tidak
mungkin tidak, Datuk Putih akan selalu mengha-
langi gerakan para Datuk lainnya untuk dapat
menguasai dunia persilatan. Jangankan ada Da-
tuk Putih, tak ada pun mereka dibikin kalang ka-
but oleh seorang Pendekar muda bergelar Pende-
kar Pedang Siluman Darah. Sudah seorang tokoh
Datuk yang disegani mati di tangan Pendekar
muda tersebut. Datuk itu tak lain Datuk Tuyul
Setan, yang mati dengan tubuh terbelah oleh sen-
jata pendekar muda tersebut. (Baca Kisah Cinta
Memendam Dendam). Apalagi kini muncul Datuk
Putih, sungguh makin terjepit keadaan mereka.
Mereka menyangka kalau Datuk Putih tak lain
hanyalah penyamaran Pendekar Muda tersebut.
Walaupun mereka tahu bahwa saat itu di dunia
persilatan ada lima atau enam tokoh-tokoh persi-
latan yang ilmunya hampir dikatakan rata dan
dapat dikatakan kelas wahid. Pertama, Jaka
Ndableg si Pendekar Siluman, Supit Songong, Bi-
dadari Selendang Ungu, Maling Siluman, dan seo-
rang Datuk bernama Sanggara yang menurut ka-
bar hilang entah ke mana rimbanya.
Saat itu para Datuk tengah berkumpul,
membahas masalah kejadian-kejadian yang ma-
kin menghimpit kedudukan mereka. Mereka se-
benarnya ingin mengangkat Datuk Gagak Hitam
sebagai Ketua, tapi mereka takut Datuk gila itu
akan makin merepotkan. Datuk Gagak Hitam
memang tindakannya terlalu telengas, tak per-
duli pada kawan maupun lawan. Tapi bila tidak
diangkat menjadi Ketua, mereka pun bingung
siapa yang akan menghadapinya. Juga masalah
Datuk Putih yang makin terasa mendesak kedu-
dukan para Datuk.
"Apa yang harus kita perbuat?" tanya
Longkat Ketek membuka kata.
"Entahlah," mengeluh Datuk Rambut Me-
rah. "Kita belum tahu seberapa ilmu keduanya.
Apakah tidak mungkin kita jajaki ilmu mereka
terlebih dahulu?"
"Jangan-jangan Datuk Putih samaran dari
Pendekar Muda tersebut," Datuk Setan Buntung turut nimbrung. Semuanya terdiam
mengangguk- anggukkan kepala, sepertinya membenarkan uca-
pan Datuk Setan Buntung.
"Mungkin juga. Kalau benar begitu, maka
keadaan kita benar-benar telah kejepit," gumam Datuk Sejuta Racun. "Sebenarnya
semua dapat kita atasi apa bila kita bersatu. Tapi rupanya kita terlalu
mementingkan ambisi kita masing-masing, sehingga kita kurang kompak."
"Maksudmu, Racun Sejuta?" "tanya Longkat Ketek.
"Bukankah kau sendiri dapat menjawab-
nya?" balik menanya Datuk Racun Sejuta, menjadikan Longkat Ketek kerutkan kening
tak tahu apa tujuan kata-kata Sejuta Racun.
"Aku belum mengerti," jawab Longkat Ketek. "Kau ada masalah dengan Datuk Sulir
Kuning, bukan?"
"Ya... memang kenapa?"
"Itulah yang aku maksudkan kita selalu
mementingkan diri kita sendiri. Apakah kau tak
dapat memaafkan Sulir Kuning?"
Longkat Ketek mengangguk-anggukan ke-
pala mengerti. "Tapi sebenarnya bukan aku yang tidak
memaafkan. Aku telah berusaha selalu mengalah
padanya, tapi rupanya dia masih menaruh den-
dam pada ku."
"Dendam cinta...?" Sejuta Racun bertanya dengan nada kelakar. Seketika semua
yang hadir pun tertawa bergelak-gelak, menjadikan muka
Datuk Longkat Ketek merah padam mukanya.
"Sudah... sudah! Kita di sini bukan untuk
bercanda, tapi untuk mengadakan rapat pemben-
tukan Perserikatan Datuk guna menanggulangi
bahaya yang akan menimpa persekutuan kita!"
Datuk Tangan Berapi selaku Ketuanya se-
gera menengahi. "Kalau kita tak bisa memu-
tuskan masalah ini, lebih baik aku akan men-
gundurkan diri dari Perserikatan Datuk!" ancam-nya, menjadikan semua Datuk yang
ada di situ tersentak kaget. Bagaimana tidak, hanya Datuk
Tangan Berapi yang dapat diandalkan oleh mere-
ka pada masa-masa sekarang ini. Dulu memang
masih ada Datuk Tuyul Setan, tapi sekarang Da-
tuk tersebut telah binasa di tangan Pendekar Pe-
dang Siluman Darah. Tinggal Datuk Tangan Be-
rapi dan Datuk Sejuta Racun serta Rambut Merah
saja yang masih dapat diandalkan. Kalau tiga
orang tersebut mengundurkan diri salah satunya,
niscaya kekuatan mereka makin menurun saja.
Hal ini sudah barang tentu sebuah bencana bagi
para Datuk. Tengah semua Datuk terdiam memikirkan
bagaimana caranya menjadikan Datuk Tangan
Berapi tak mundur, tiba-tiba dua bayangan ber-
kelebat dari arah yang berlainan.
"Mengapa kalian mesti bingung. Aku Datuk
Sangkala Putung yang akan menjadi Ketua ka-
lian!" "Aku Datuk Lolo Genderlah yang pantas menjadi Ketua!"
"Tidak bisa! Akulah yang pantas menjadi
Ketua para Datuk, sebab ilmuku sangat tinggi di-
bandingkan dengan ilmumu juga ilmu kalian yang
ada di sini!" Datuk Sangkala Putung membentak, merasa ada orang lain yang
menghalangi niatnya
untuk menjadi Ketua para Datuk. Sudah sepuluh
tahun lebih ia menggembleng dirinya dengan
kembali menekuni semua ilmu dengan harapan
dapat menjadikan dirinya sebagai ketua Datuk-
datuk, ternyata ada orang lain yang menghalangi-
nya. "Ilmumu tinggi" Hua, ha, ha...! Seberapa?"
tanya Datuk Lolo Gender dengan senyum me-
ngejek. "Akulah yang berilmu paling tinggi di antara kalian semua. Apakah kalian
kurang yakin"
Akulah pemilik ajian Seribu Iblis. Hua, ha, ha,...!"
Tersentak semua yang ada di situ menden-
gar Datuk Lolo Gender menyebut nama ajian yang
langka itu. Sudah seabad lamanya ajian itu meng-
hilang dari dunia persilatan setelah si Raja Iblis yang menghilang dengan
sekejap mata tanpa se-pengetahuan para pendekar dunia persilatan.
"Kau tidak berdusta, Lolo Gender?" tanya Sangkala Putung kurang yakin. "Kau
mungkin berdusta."
"Hem, mungkin kalian tak percaya kalau
aku katakan bahwa aku adalah murid tunggal si
Raja Iblis."
"Apa...!"
Semua yang hadir seketika terkesiap da-
rahnya, demi mendengar ucapan Lolo Gender.
Bagai-mana mungkin Raja Iblis yang hidup sea-
bad yang lalu masih hidup" Dan bagaimana
mungkin Lolo Gender mengaku-aku murid tung-
galnya. Menurut cerita leluhur mereka, Datuk Ra-
ja Iblis tak pernah mengangkat barang seorang
pun menjadi muridnya. Tapi kini Lolo Gender
mengaku-aku sebagai murid si Raja Iblis. Sung-
guh tidak masuk di akal.
"Tidak mungkin...!"
"Kalian masih tak percaya" Akan aku buk-
tikan!" Datuk Lolo Gender sejurus kemudian terdiam, mulutnya komat kamit membaca
mantra. Kemudian...! Semua orang yang berada di situ se-
ketika membelalakkan mata tak percaya. Mereka
melihat tubuh Lolo Gender seketika berubah
menjadi banyak dengan muka yang berbeda-beda
dan tubuh membara. Api menyala-nyala pada tu-
buh keseribu Datuk Lolo Gender yang berwajah
berbeda-beda. Ketika Datuk Lolo Gender tertawa, seketika
gelak tawanya membahana bersaut-sautan. Ya,
karena mereka berjumlah banyak seribu orang
dan bareng tertawa, jadi sudah barang tentu tawa mereka bagaikan ledakan-ledakan
petir. Kini semuanya baru yakin, seyakin yakinnya bahwa Da-
tuk Lolo Gender memang murid dari si Raja Iblis.
"Baiklah kami semua percaya," Datuk Tangan Berapi berkata mewakili semuanya.
Menden- gar ucapan Datuk Tangan Berapi, Lolo Gender
kembali tertawa tergelak-gelak. Perlahan tubuh
keseribu orang Datuk Lolo Gender yang wajahnya
beraneka ragam menyatu kembali dan menjadi
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Datuk Lolo Gender.
"Nah, apakah kalian sangsi untuk men-
gangkatku sebagai Ketua kalian?"
"Tidak! Kami tak sangsi lagi." jawab semuanya serempak.
"Baiklah. Sekarang katakan apa yang men-
jadikan kalian merasa bagaikan terjepit?" tanya Lolo Gender dengan suara angkuh,
merasa bahwa dirinyalah yang paling sakti di antara para Datuk.
"Kami tengah dihadapkan pada sesuatu
masalah yang belum kami dapat selesaikan."
"Apa itu, Rambut Merah?"
"Kini di Dunia Persilatan telah muncul dua
Datuk yang berbeda, namun sama bahayanya ba-
gi kedudukan kita. Salah seorang bernama Datuk
Gagak Hitam atau Datuk segala Datuk...."
"Bedebah.! Berani dia mengangkat dirinya
sebagai Datuk segala Datuk. Apakah dia tak tahu
ada aku yang pantas!" Datuk Lolo Gender tampak marah, sepertinya Gagak Hitam
telah berani men-corengkan tahi di mukanya. "Lancang dia!"
"Itulah yang pertama. Yang kedua, adalah
seorang Datuk aneh berilmu tinggi dan beraliran
lurus. Ia menyebutkan dirinya Datuk Putih."
"Hem, itu soal mudah bagiku...." Belum ju-ga habis ucapan Datuk Lolo Gender,
tiba-tiba terdengar suara seseorang membentak dari luar.
"Sombong kau! Apakah kau mengira dengan il-
mumu yang masih picisan itu mampu menghada-
pi dua Datuk itu, hah!"
"Siapa kau!" Datuk Lolo Gender segera berkelebat ke luar, diikuti oleh seluruh
yang hadir. Nampak seorang bertubuh tinggi besar dengan
muka lebat tertutup cambang bawuk dan mata
merah menyala telah berdiri di situ. Mulut orang
tersebut menyeringai sinis, menunjukkan gigi-
giginya yang kuning, napasnya terdengar men-
deru-deru, laksana tiupan angin prahara. Napas
itu terasa panas, membara menyelimuti orang-
orang yang ada di situ yang tersentak kaget. "Datuk Gagak Hitam...!"
"Ya, akulah Datuk Gagak Hitam atau Da-
tuk segala Datuk. Siapa saja yang membangkang
padaku, maka kematianlah yang akan ia da-
patkan!" Datuk Gagak Hitam atau Renggana tersenyum sinis, berjalan dengan
langkah berat menghampiri mereka. Tiba-tiba dari belakang
berkelebat seorang nenek-nenek tua, yang bukan
lain Datuk Sulir Kuning.
"Longkat Ketek, aku datang untuk menga-
dakan perhitungan dengan dirimu."
Datuk Gagak Hitam menyeringai, merasa
ada seorang nenek-nenek masih berani menan-
tang para Datuk. Dengan melirik sesaat Gagak
Hitam bertanya: "Apakah kau ada masalah dengan salah seorang Datuk yang ada di
sini, Nek?"
"Benar. Aku ada masalah dengan Datuk
itu!" jawab si nenek yang tak lain Sulir Kuning sembari tunjukkan telunjuknya ke
arah Datuk Longkat Ketek. "Masalah apa, Nek?" kembali Gagak Hitam bertanya.
Si nenek tersipu-sipu, sukar untuknya
menjawab. Melihat hal itu, segera Gagak Hitam kem-
bali berkata: "Aku harap nenek tunggu dulu."
"Tidak bisa!" bantah si nenek.
"Kenapa...?"
"Kau boleh berurusan dengan yang lain-
nya, tapi aku minta kau tak ikut campur dengan
urusanku."
"Nenek peot, mengapa kau keras kepala.
Lucu kau, Nek. Kau tak ubahnya seorang pera-
wan centil kegatelan."
Merah padam muka Sulir Kuning demi
mendengar ucapan Gagak Hitam yang menjadi-
kan semuanya tersenyum. Maka tanpa ingin tahu
terlebih dahulu siapa adanya orang yang bicara,
dengan segera Sulir Kuning berkelebat menye-
rangnya. Gagak Hitam hanya tersenyum, egoskan
tubuh mengelakkan serangan si nenek. Tanpa ay-
al lagi, tubuh si nenek seketika terus terpelanting nyusur ke tanah. Si nenek
makin mengganas, ia
bangkit dengan menggeram dan kembali menye-
rang. Melihat hal itu Gagak Hitam tak kaget, ma-
lah dia tampak tersenyum. Dan ketika tubuh si
nenek kembali berkelebat, Gagak Hitam segera
egoskan tubuhnya dengan tangan bergerak cepat.
Dan..!!! "Bret... Slosot...!"
Semua mata terbelalak melihat apa yang
terjadi. Celana yang dikenakan oleh si nenek dan baju-bajunya seketika tertarik,
lepas dari tubuh si nenek yang terus melaju dan kembali meng-gusrak di tanah.
Bukan alang kepalang lagi kemarahan Da-
tuk Longkat Ketek melihat hal itu. Walau ia ber-
musuhan dengan si nenek Sulir Kuning, namun
hatinya masih mencintai si nenek yang lima pu-
luh tahun lalu menjadi kekasihnya. Maka tanpa
ayal lagi Longkat Ketek dengan didahului mengge-
ram, menyerang Gagak Hitam yang seketika ter-
sentak. "Rupanya kau ingin membela kekasihmu,"
Gagak Hitam berkata mengejek. Senyumnya sinis,
lalu dengan hanya miringkan tubuh sembari ki-
baskan tangan Gagak Hitam telah mampu mem-
buat Longkat Ketek berjumpalitan sendiri meng-
hindari kibasan tangan Gagak Hitam. Gagak Hi-
tam terkekeh, hampiri tubuh Longkat Ketek yang
terpelanting jatuh. Mana kala tangannya hendak
mencengkram, tiba-tiba sebuah bayangan berke-
lebat. Bayangan tersebut milik Datuk Lolo Gend-
er, yang segera membuat Gagak Hitam tersentak
urungkan niatnya. Gagak Hitam kini berpaling
pada orang yang telah menyerangnya, matanya
memandang bengis. Dan tiba-tiba...!
"Hua, ha, ha...! Hua, ha, ha...!"
Gagak Hitam bergelak tawa, makin lama
irama tawanya makin kencang, melengking men-
jadikan sebuah hentakan yang mampu memecah-
kan gendang telinga. Kegilaanya kini mulai kam-
buh, menjadikan Gagak Hitam bukanlah Gagak
Hitam sebenarnya. Segala Iblis telah masuk, me-
nyusup ke dalam tubuh Gagak Hitam. Tanpa am-
pun lagi, orang-orang yang tak mampu bertahan
bergelimpangan mati dengan hidung dan telinga
keluar darah. Tersentak semuanya yang hadir di situ, tak
percaya kalau ada orang yang memiliki ilmu ter-
tawa sedahsyat itu. Namun sebagai seorang Da-
tuk, mereka diajukan pada keberanian. Dicoba-
nya untuk terus bertahan, bahkan Datuk Lolo
Gender yang merasa memiliki ilmu paling tinggi
seketika menyerang. Hal itu rupanya diketahui
oleh Gagak Hitam yang dengan segera hentakkan
tawanya makin kencang sembari membentak.
"Minggir...!"
Sungguh dahsyat! Karena bentakan terse-
but Lolo Gender yang memiliki ajian Seribu Iblis mampu dipentalkan jatuh di
hadapan para Datuk
lainnya. Tapi Lolo Gender tak mau kalah begitu
saja. Gengsinya yang telah mengakui sebagai pe-
waris ilmu Raja Iblis, menghendaki dirinya untuk tak mau mengalah. Segera ia
bangkit, lalu perla-han matanya terpejam. Mulutnya komat kamit
membaca mantra, dan...! Seribu Datuk Lolo
Gender seketika muncul.
Melihat musuhnya berbuat begitu, Gagak
Hitam pun tak mau kalah. Segera Gagak Hitam
merapalkan mantranya, maka tubuhnya seketika
berubah menjadi beribu-ribu ekor burung gagak
raksasa. Semua yang ada dan menonton di situ
tersentak kaget, tak percaya pada apa yang mere-
ka lihat. Burung Gagak Hitam yang berjumlah se-
ribu itu seketika beterbangan menyerang keseribu orang Datuk Lolo Gender yang
muka-mukanya beraneka ragam. Dengan ganas keseribu burung
Gagak Raksasa itu mematuk-matuk, menyerang
dengan sekali-kali berkelit dengan gesitnya.
Pertarungan dua Datuk yang hendak men-
gangkat dirinya sebagai Datuk segala Datuk terus
berjalan. Mereka hanya ada satu prinsip, kalah
dan mati atau menang untuk menjadi pimpinan
para Datuk. Pertarungan itu tak ubahnya sebagai per-
tarungan dua kekuatan Iblis yang menguasai ke-
duanya. Datuk Lolo Gender, berada di pihak Raja
Iblis Muka Sewu. Sebaliknya Gagak Hitam, bera-
da pada pihak Iblis Gagak Kematian.
Burung Gagak itu terus menyambar-nyam-
bar, sesekali mematuk dan kemudian terbang
menghindar. Karena musuhnya seekor burung
yang ganas dan pemakan bangkai, maka Lolo
Gender nampak kesukaran. Api yang menyala di
tubuhnya bagaikan tak berarti apa-apa bagi para
burung Gagak Raksasa tersebut. Namun kedua-
nya bagaikan tak mau mengalah, mereka mengin-
ginkan kemenangan. Ya, kemenangan untuk
menjadikan dirinya sebagai Datuk segala Datuk.
Pertarungan itu entah kapan berakhir, yang jelas keduanya sama-sama tangguh.
Keduanya terus saling rangsek, sehingga membuat tubuh kedua-
nya makin lama makin menjauhi tempat semula.
* * * Pertarungan dua Datuk tersebut masih te-
rus berjalan dengan sengitnya. Sudah menginjak
hari ketiga mereka bertarung sepertinya mereka
tak mengenal rasa capai atau pun lelah. Mereka
terus saling serang, saling rangsek dengan ujud-
ujud mereka. Sementara itu, nampak di tempat lain seo-
rang pemuda yang tidak lain Jaka Ndableg tengah
berlari-lari dalam usahanya mencari Raja Briah
yang hilang diculik oleh Datuk segala Datuk atau Datuk Gagak Hitam.
"Ke mana aku harus mencarinya" Sedang-
kan aku sendiri tak tahu di mana kediaman Da-
tuk tersebut?" keluh Jaka putus asa. "Ah, bukankah hari ini adalah pertemuan
para Datuk?"
Jaka tercenung bingung, melangkah men-
gikuti ke mana kakinya berjalan. Sekali-kali ia
menyanyi, menghibur hatinya yang tengah gun-
dah gulana. Mana kala ia tengah asyik-asyiknya
menyanyi, tiba- tiba sebuah bayangan putih ber-
kelebat menghadangnya. Bayangan putih tersebut
seketika menjura padanya, menjadikan Jaka ter-
lolong bengong karena ia tak mengenal siapa
adanya bayangan tersebut.
"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak" Me-
ngapa engkau tiba-tiba menjura padaku?" tanya Jaka tak mengerti. Matanya
memandang atau mengawasi orang tersebut dengan seksama.
Orang itu masih menjura, lalu kemudian terden-
gar suaranya yang berat berkata:
"Tuan Pendekar, sungguh aku tak me-
nyangka kalau aku dapat bertemu denganmu.
Hendak ke mana dan ada tujuan apa tuan pende-
kar menyelusuri hutan ini?"
"Ah, kenapa kau ditanya malah menanya
sebelum menjawab?"
"Oh, maafkan kelancanganku. Namaku
Sanggara atau orang menjuluki diriku dengan se-
butan Datuk Putih. Karena pakaianku putih, juga
perbuatanku tidak seperti Datuk-datuk lainnya."
"Oh, begitu. Baiklah, Sanggara atau Datuk
Putih. Aku datang ke sini semata-mata tengah
mencari seorang yang diculik oleh Datuk Gagak
Hitam yang menyebutnya Datuk segala Datuk.
Orang tersebut adalah Raja Kerajaan Gading Kun-
ing. Apakah Ki Sanak dapat menunjukkan di ma-
na adanya aku dapat menemukannya?"
Sejenak Datuk Putih terdiam tanpa kata. Ia
sepertinya tengah tercenung, manakala Jaka me-
ngutarakan nama orang sangat ia kenal. Ya, Ga-
gak Hitam, adalah nama yang sedari kecil ia ken-
al. Gagak Hitam tak lain kakak seperguruannya,
yang kini gila akibat cita-citanya yang kelewat
ambisi. "Kenapa Ki Sanak Datuk Putih terdiam?"
"Ah, ti-tidak. Aku sungguh menyesal tidak
mengetahuinya. Tadinya aku mengira tuan Pen-
dekar hendak menuju ke pertemuan para Datuk."
"Oh, mungkin juga aku ke sana. Namun
untuk sekarang ini, aku hendak mencari Raja Ke-
rajaan Gading Kuning." jawab Jaka. "Apakah Ki Sanak hendak ke sana?"
"Benar adanya. Aku memang hendak pergi
ke sana." "Baiklah kalau begitu. Aku hanya dapat
mengucapkan selamat tinggal," Jaka pun dengan segera melesat pergi setelah
menjura hormat. Ke-pergiannya yang begitu cepat laksana angin, men-
jadikan Datuk Putih menggeleng-gelengkan kepa-
la tak percaya pada apa yang dilihatnya. Setelah melihat Jaka telah menghilang,
segera Datuk Pu-
tih pun berkelebat meninggalkan tempat tersebut.
Hari kelima telah berjalan, kini nampaklah
siapa yang bakal menang dan siapa yang bakal
kalah di antara dua Datuk yang tengah bertarung
itu. Burung-burung Gagak itu makin mengganas,
menyerang bagaikan tak kenal ampun. Luka-luka
kini diderita oleh keduanya, namun sungguh le-
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bih parah adalah Lolo Gender. Mata Lolo Gender
Seribu Rupa itu, kini hilang satu tercucuk paruh Gagak Hitam.
Semuanya yang menyaksikan hanya mam-
pu diam. Hati mereka tercekap tak berani untuk
berkata-kata atau memisahkan salah satunya.
Mereka yang bertarung bukanlah orang semba-
rangan, yang sudah diketahui memiliki ilmu yang
sungguh tinggi.
"Apakah kita akan mendiamkan saja, Ka-
kang?" tanya Rambut Merah pada Tangan Api
yang berdiri di sampingya. "Bahaya kalau salah satunya harus ada yang mati."
Tangan Api hanya tersenyum kecut men-
dengarnya, laku katanya:
"Apakah ada yang berani memisahkan me-
reka" Huh, mencari mati."
Rambut Merah hanya diam, merasakan
bahwa ucapan kakaknya memang benar adanya.
Siapa yang akan berani memisahkan kedua Da-
tuk yang berilmu tinggi itu" Kalau memang orang
itu mencari mati, maka mungkin hal itu akan di-
lakukannya. "Kak... Kak... Kak...! Mampuslah kau, Lolo
Gender!" "Bedebah! Aku belum kalah, Gagak Hitam!"
"Baiklah! Hari ini juga kau akan aku kirim
ke akherat!"
"Jangan bermimpi!"
Keduanya kembali saling serang. Kini ke-
duanya telah kembali pada bentuk asal mereka.
Mata Lolo Gender benar-benar telah hilang sebe-
lah. Mukanya morat marit dicakar oleh Gagak Hi-
tam. Sebaliknya Gagak Hitam pun tak luput dari
luka, namun sungguh tak separah Lolo Gender.
Gagak Hitam hanya luka-luka kecil belaka, se-
hingga serangan-serangannya masih tampak lin-
cah dan keras. Gagak Hitam seketika kembali memekik,
lalu tertawa bergelak-gelak laksana orang gila.
Gunung yang berada di situ, seketika runtuh.
Bersamaan dengan runtuhnya Gunung
Kapur, seketika Gagak Hitam mencelat terbang
dan...! "Aaah...!" Lolo Gender memekik sesaat, kepalanya copot tertarik oleh
tangan Gagak Hitam
yang seketika berubah bentuk menjadi Gagak Hi-
tam kembali. Burung Gagak Hitam Raksasa itu
terbang membawa kepala Lolo Gender, jauh dan
makin menjauh. Dilemparkannya kepala tersebut,
manakala sampai ke tengah-tengah lautan
Selatan. Tamatlah riwayat Lolo Gender,
mati dengan keadaan yang mengerikan.
Semua seketika memburu pada tubuh Lolo
Gender yang tergeletak dengan tanpa kepala. Da-
rah membasahi sekelilingnya, menjadikan re-
rumputan berubah menjadi merah kehitam-hi-
taman. Kini Datuk Gagak Hitam telah berlalu per-
gi, sepertinya ia tak menghendaki dirinya menjadi pimpinan para Datuk yang kini
terlolong bengong.
Mereka tak mengerti dengan tingkah laku Datuk
Gagak Hitam, yang serba aneh.
8 Tengah kesemua Datuk itu tak mengerti
dengan segala tindakan Gagak Hitam, tiba-tiba
bayangan putih berkelebat menuju ke arah mere-
ka. Seketika mereka yang ada di situ tersentak
kaget, memanahkan pandangannya ke arah orang
berpakaian serta cadar serba putih.
"Datuk Putih...!!"
Datuk Putih nampak tersenyum, terbukti
cadar yang dipakainya mengerut ke dalam. Ma-
tanya yang tertutup oleh kain cadar putih, me-
mandang pada kesemuanya yang nampak ketaku-
tan. "Kalian para Datuk. Apa yang tengah kalian lakukan di tempat ini?" tanyanya
dengan suara tenang.
Semua tak ada yang menjawab, sepertinya
mulut mereka bungkam seribu kata. Hal itu men-
jadikan Datuk Putih terkesiap, marah seketika
dan membentak "Apakah kalian bisu!"
"Ampun! Kami-kami... tengah menyaksikan
kematian salah seorang anggota kami yang me-
ngerikan." jawab Rambut Merah mewakili teman-
temannya. "Mati" Mati karena apa?"
"Ia mati di tangan Datuk Gagak Hitam."
"Siapa dia?"
"Ia adalah Lolo Gender."
"Hem...." hanya desahan pendek saja yang keluar dari mulut Datuk Putih. Perlahan
ia tengadahkan muka memandang ke arah selatan di
mana Gunung Kapur menjulang tinggi dengan
angkuh dan megahnya. "Kakang Renggana, sungguh perbuatanmu sudah kelewat batas.
Kau telah gila dengan segala kemenangan. Hem, kalau saja
Pendekar muda itu tahu bahwa Raja Kerajaan
Gading Kuning mati olehmu, sungguh aku tak
dapat memikirkannya." keluh hati Sanggara atau Datuk Putih.
"Apakah kalian masih menghendaki keka-
cauan di dunia" Apakah kalian masih menghen-
daki partai kalian tumbuh?" tanya Datuk Putih setelah lama tercenung diam.
"Jelas! Kami para Datuk menghendaki par-
tai kami tumbuh!" tiba-tiba seorang Datuk yang tak lain dari pada Datuk Sangkala
Putung men-jawabnya. Hal itu menjadikan Datuk Putih seke-
tika memandang ke arahnya dengan tajam, walau
matanya tertutup oleh kain tapi jelas sorotan ma-ta itu begitu menghunjam.
"Hem, kau! Rupanya kau masih ingin men-
jadikan dirimu orang yang disembah-sembah,
Sangkala Putung. Tak aku sangka, orang setua-
mu masih saja bertingkah macam-macam. Apa-
kah kau tak mengingat lagi usiamu yang sudah
bau tanah itu?"
"Bedebah! Aku tak perduli. Kami adalah
Datuk dan sepantasnyalah kami berbuat."
"Oh, begitu" Apakah kau akan mengulangi
pertarungan antara Datuk seperti yang baru saja
kalian saksikan" Hem, kalian belum tahu apa
akibatnya rupanya. Atau barangkali kalian me-
mang sengaja menutup mata. Lihatlah temanmu
itu, dialah korban dari segala keserakahan kalian para Datuk!" membentak Datuk
Putih agak jeng-kel. Merasa ucapannya seperti tak digubris oleh
orang tersebut. "Kalian akan berbuat apa bila aku menghalangi kalian?"
"Aku akan menentangmu!" tak kalah Sangkala Putung membentak.
Datuk Putih hanya tersenyum, sepertinya
ucapan Sangkal Putung sebuah lelucon. Ya, ia bi-
sa saja berkata begitu, sebab ia bukanlah orang
sembarangan. "Menentangku" Apakah kau mampu,
Sangkala Putung"'
"Sombong! Jangan kira aku takut dengan
nama besarmu yang sudah kesohor. Aku Sangka-
la Putung pantang untuk takut,"
"Hua, ha, ha... kau tak ubahnya seorang
yang sombong dan tak mengaca diri. Kalau kau
tak mengenal takut, mengapa kau tak menghada-
pi Datuk Gagak Hitam" Mengapa mesti Lolo
Gender yang menghadapi?"
"Hem, kau boleh berkata apa. Tapi aku tak
takut padamu!"
"Oh, begitu" Kau tak akan takut bila aku
buka siapa adanya aku sesungguhnya" Maaf, aku
bukan ingin pamer, tapi aku hanya ingin sekedar
menyadarkan kalian untuk kembali ke jalan yang
lurus. Mumpung masih ada umur!"
"Benar katamu, Ki Sanak Datuk Putih!"
Semua mata seketika membelalak, mana-
kala terdengar seruan seseorang yang berbaren-
gan dengan berkelebatnya sesosok tubuh pemuda
dan tahu-tahu telah berdiri sejajar dengan Datuk Putih. Tak alang kepalang,
seketika semua yang
ada di situ membersit kaget.
"Pendekar Pedang Siluman Darah!" Jaka
sepertinya acuhkan kekagetan mereka, ia ber-
tanya pada Datuk Putih yang berdiri di samping-
nya. "Datuk Putih, menurutmu bagaimana den-
gan Raja Kerajaan Gading Kuning?"
Datuk Putih atau Sanggara sejenak mena-
rik napas panjang, sepertinya hendak membuang
segala beban di hatinya yang terlalu berat. Beban berat itu, tak lain dari pada
orang yang menjadikan biang keladi keributan ini semua. Orang itu
adalah kakak seperguruannya sendiri, yang mau
tidak mau harus dia hadapi.
"Beliau telah mati di tangan Datuk Gagak
Hitam." jawabnya pelan seakan tak ada semangat.
"Sayang, dia adalah kakak seperguruanku sendiri," Datuk Putih bergumam lirih,
hanya terdengar oleh Jaka saja yang seketika kerutkan ke-ning.
"Jadi...?" Jaka tak dapat berkata panjang.
"Ya, aku adalah adik seperguruannya. Itu-
lah makanya aku tak dapat berbuat apa-apa," keluh Datuk Putih seperti putus asa.
Jaka hanya mampu menghela panjang-
panjang, ia juga turut merasakan kepedihan yang
dirasakan oleh Datuk Putih. Bagaimanapun juga,
Datuk Putih sukar untuk berbuat. Seperti halnya
makan buah Simalakama. Dimakan ayah mati,
tidak dimakan ibu pun mati. Datuk Putih pun
mengalami hal begitu rupa. Ditumpas kakak sen-
diri, tidak ditumpas akan membuat petaka terus
menerus. "Aku jadi bingung, Tuan Pendekar."
"Aku memaklumi apa yang engkau pikir-
kan. Aku juga akan berbuat seperti itu bila aku menjadi dirimu."
Kedua pendekar ternama itu hanya terpe-
kur diam, susah untuk memikirkan tindakan apa
yang harus mereka lakukan. Tengah keduanya
terdiam, tiba-tiba para Datuk yang merasa dirinya sudah terpepet tanpa disadari
oleh Jaka dan Datuk Putih menyerang mereka.
Tersentak keduanya sembari melompat
mundur, menjadikan para penyerangnya makin
tambah beringas saja. Dengan bergabungnya para
Datuk itu menyerang, sudah menjadikan sebuah
kekuatan yang sukar untuk dibendung. Namun
bukanlah Jaka Ndableg bila harus mengalah begi-
tu saja. Maka dengan memaki-maki sejadi-jadinya
Jaka terus berusaha mengelitkan serangan.
"Dasar orang-orang mencari mampus!"
bentak Jaka marah.
"Kalian berdualah yang mencari mampus!"
Sangkala Putung yang mengira ilmu Jaka dan
Malaikat Datuk Putih berada di bawahnya mem-
bentak, lalu dengan segenap ilmu yang ia miliki
menyerang membabi buta.
"Wadauw... rupanya mereka ingin hadiah
dari kita, Saudara Datuk Putih. Lihat... mereka
tak ubahnya kegembiraan menari-nari demi men-
dengar aku hendak memberi hadiah pada mere-
ka." Setelah berkata begitu, serta merta Jaka berkelebat bagaikan seekor burung
walet menyambar. Tangannya dikepakkan bagaikan ter-
bang. Datuk Putih yang melihat tingkah laku Ja-
ka, seketika terkesiap kaget. Bagaimana mungkin
orang bertarung seperti orang yang main-main.
Datuk Putih begitu mengawatirkan keadaan Jaka.
Dan ia hendak bermaksud menolongnya manaka-
la terdengar Jaka berseru.
"Lihat sahabat! Mereka akan aku beri kue
apem. Hiat...!"
Tangan Jaka Ndableg yang tadi memben-
tang, tiba-tiba menutup dengan salah satu tan-
gannya mengepalkan tinju. Lalu dengan menukik
Jaka hantamkan bogem mentahnya ke arah orang
yang berada di depannya, yang seketika itu ber-
maksud mengelak. Namun ternyata hantaman
yang dilontarkan Jaka hanyalah tipuan. Ketika
orang itu mengelak dan menangkis tangannya,
segera Jaka tarik tangannya dan ganti ayunkan
kedua kakinya bagaikan orang main ayunan.
"Bug...!"
Tendangan kedua kaki Jaka yang disatu-
kan telah mengenai dada musuh. Seketika orang
tersebut menjerit, mengerang sesaat dan akhirnya ambruk dengan dada bolong
melelehkan darah.
Tulang iganya remuk berantakan.
Sebaliknya Datuk Putih, nampak mengha-
dapi serangan-serangan para Datuk dengan kea-
daan tenang. Setiap hantaman tangannya seketi-
ka mengeluarkan angin pukulan yang sungguh
dahsyat. Tapi nampaknya para Datuk hitam itu
bukanlah musuh-musuh kelas kroco yang sekali
gebrak lari terbirit-birit. Mereka adalah Datuk-
datuk kaum persilatan golongan sesat.
"Bedebah! Kalian berdua akan kami cin-
cang!" "Hua, ha, ha,... Datuk Tangan Api, apa aku tak salah dengar bahwa aku
hendak memberikan
kami daging cincang" Ouh, sungguh kau adalah
seorang sahabat yang mengerti situasi. Memang
aku tengah lapar saat ini. Mana Daging Cincang
itu..." Marahlah Datuk Tangan Api mendengar ucapan Jaka yang seperti orang
konyol. "Setan!"
"Eh, kenapa kau menyebutkan dirimu sen-
diri, Datuk?" tanya Jaka makin konyol, menjadikan Datuk Tangan Berapi tak alang
kepalanglah kemarahannya. "Wah jangan terlalu emosi, cepat tua. Hua, ha, ha!"
Jaka segera kelitkan tubuh manakala tan-
gan Datuk Berapi itu menyerang ke arahnya. Ha-
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wa panas yang keluar dari nyala api di tangan Datuk Tangan Berapi memang panas
tiada kira. Namun bagi Jaka, yang kondang namanya tidak
menjadikan masalah. Segera Jaka salurkan Hawa
Murni ke sekujur tubuhnya.
"Datuk, kau janganlah suka bermain api.
Aku takut kau nanti akan terbakar sendiri," Jaka berbicara seperti seorang yang
menasehati. "Api di tanganmu sungguh bahaya, Datuk."
Diam-diam Jaka salurkan segenap kekua-
tannya ke tangan. "Akan aku lawan api tersebut dengan Bayu Dewa," gumam Jaka
dalam hati. Dan secara tak diketahui oleh Datuk Tangan Api,
Jaka salurkan ajian Bayu Dewa. Seketika angin
puting beliung berserabutan ke luar dari telapak tangan Jaka, menjadikan api di
tangan Datuk Tangan Berapi berhamburan balik menyerang
tuannya. Tak ayal lagi, Datuk Tangan Berapi se-
ketika menjerit-jerit. Tubuhnya seketika itu terbakar oleh apinya sendiri. Sang
Datuk segera berlari, berusaha untuk sedapatnya memadamkan
api yang membara di tubuhnya.
Jaka tertawa bergelak-gelak demi melihat
musuhnya pontang panting dengan api melekat di
tubuhnya. Tengah ia tertawa bergelak-gelak, tiba-tiba sebuah senjata berkelebat
hendak me- nyerangnya. "Wadaou... hampir aku kena!"
Jaka segera lemparkan tubuh bersalto,
namun ternyata di belakangnya telah menyambu-
ti sebatang tombak yang digenggam oleh musuh
mengarah ke tubuhnya.
"Ah...." Jaka sesaat mengeluh. "Mati aku...." Akalnya seketika kembali konyol.
Dan manakala kedua musuhnya menyerang seketika Ja-
ka lentingkan tubuh ke angkasa. Maka dengan
seketika kedua musuhnya saling tusuk dengan
senjatanya masing-masing.
Di pihak lain Datuk Putih pun tak mau be-
gitu saja mengalah oleh keroyokan para Datuk
yang sepertinya tak mengenal rasa takut. Datuk
Putih sebenarnya enggan untuk menurunkan
tangan jahatnya, namun keadaan mendesaklah
hingga ia terpaksa menurunkannya.
"Sebenarnya aku enggan menurunkan tan-
gan jahatku, tapi rupanya kalian memaksaku.
Baiklah, aku akan melayani kalian dengan sege-
nap kemampuan yang aku miliki."
"Jangan banyak bacot, Datuk Putih!" bentak Sangkala Putung.
"Kau masih sombong, Sangkala Putung.
Kau rupanya memang manusia yang sudah ber-
sekutu dengan Iblis!"
Sangkala Putung tertawa bergelak-gelak
sepertinya merasa bangga dapat dikatakan seku-
tu Iblis. Maka dengan gelak tawa yang masih ia
lakukan, Sangkala Putung segera berkelebat me-
nyerang kembali.
Pertarungan dan dikeroyok oleh puluhan
Datuk-datuk persilatan golongan sesat ini terus
berjalan. Mereka nampaknya tak akan segera
menghentikan pertarungan tersebut. Mereka ru-
panya ingin mengungguli satu sama lainnya.
* * * Tengah pertarungan itu berjalan dengan
seru, tiba-tiba dari arah Selatan berkelebat sesosok bayangan serba hitam menuju
ke arah di ma- na pertarungan itu terjadi.
Bayangan itu yang ternyata milik seorang
lelaki tinggi besar dengan muka menyeramkan
serta cambang bawuk tebal, melangkahkan ka-
kinya menghampiri mereka yang bertarung.
Mereka yang bertarung seperti tak hirau-
kan kedatangan orang tersebut. Makin lama,
orang tersebut makin mendekat. Matanya menyo-
rot tajam menghunjam ke arah para Datuk, juga
tak luput memandang pada Jaka dan Datuk Pu-
tih. Tiba-tiba orang itu membentak, "Berhenti kalian semuanya!"
Semua yang ada di situ seketika terjengah
dan hentikan pertarungan. Namun belum sempat
para Datuk itu mengerti, tiba- tiba orang tersebut hantamkan pukulannya. Tanpa
ayal lagi, semua
yang ada di situ tersentak kaget termasuk Jaka
dan Datuk Putih yang segera melompat menghin-
dar. Orang tersebut tak mau ambil perduli, ia terus saja melancarkan serangannya
membabi buta ke arah orang-orang yang ada di situ. Datuk Putih sungguh-sungguh terkejut,
manakala tahu siapa
adanya orang tersebut. Serta merta Datuk Putih
berseru menyebut nama orang mengamuk. "Ka-
kang Renggana, Hentikan!"
Seruan Datuk Putih terlambat, sebab para
Datuk lainnya telah binasa tersapu dengan ajian
yang dilontarkan Renggana. Renggana hentikan
serangan, terpaku memandang pada orang yang
berseru. Serta merta ia menjerit, menyebut nama
seseorang yang dianggapnya telah hilang dari du-
nia atau mati. "Adikku Sanggara, Kau...!"
"Benar aku, Kakang. Aku adikmu... adik
seperguruanmu."
Mata Renggana seketika memandang ta-
jam, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Tiba-
tiba Renggana berteriak-teriak bagaikan orang gi-la lalu berlari meninggalkan
kedua pendekar yang terbengong mematung di tempat.
Nah, bagaimana dengan Renggana" Apa-
kah ia akan hilang dari pengaruh iblis" Bagaima-
na pula nantinya Jaka Ndableg dan Datuk Putih
atau Sanggara" Untuk lebih jelasnya, ikuti saja
kisah berikutnya pada judul: Munculnya Ratu Si-
luman Darah. Maka dengan ini, aku cukupkan
kisah Pertarungan Dua Datuk, sampai jumpa.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Mencari Bende Mataram 13 Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta Pembantai Cantik 1
menyentuh tubuh Longkat Ketek, tiba-tiba se-
buah bayangan berkelebat menyabet tubuh Long-
kat Ketek dan membawanya pergi meninggalkan
tempat tersebut.
Rawa Sekti sejenak tercengang menyaksi-
kan betapa cepatnya orang itu menyambar tubuh
Longkat Ketek. Kalaulah orang biasa, niscaya tak akan dapat segera mengelakkan
serangan yang hanya berjarak beberapa centi saja.
"Siapakah dia" Apakah dia seorang Dewa?"
tanya Rawa Sekti pada diri sendiri. Setelah se-
kian lama tersentak diam, Rawa Sekti segera ber-
kelebat hendak mengejar. Namun ternyata ba-
yangan itu telah lenyap, lenyap tak tampak oleh
mata lagi. Maka dengan diliputi tanda tanya di
hatinya, Rawa Sekti kembali melibatkan diri ke
dalam pertempuran yang masih berjalan.
* * * Orang yang tadi menyambar Longkat Ketek
masih terus berlari dengan membawa tubuh
Longkat Ketek dalam bopongannya. Setelah me-
nengok ke belakang dan ternyata tak ada yang
mengejarnya, segera orang bertutup muka dan
pakaian serba putih hentikan langkah. Ditaruh-
nya tubuh Longkat Ketek, lebih tepat dilempar-
kannya ke atas rerumputan.
"Siapakah engkau, Ki Sanak?" tanya Longkat Ketek ingin tahu siapa orang yang
telah me- nolongnya yang berkerudung muka serba putih
dan pakaiannya pula.
"Bodoh! Dungu!" membentak orang berca-
dar dan berpakaian serba putih yang ditujukan
pada Longkat Ketek tanpa hiraukan pertanyaan
Longkat Ketek. Hal ini menjadikan Longkat Ketek
terbengong-bengong tak mengerti.
"Kenapa Ki Sanak marah-marah setelah
menolongku?"
"Bodoh! Lancang kau berani-berani menye-
rang kerajaan! Apakah kau kira kau akan mam-
pu" Untung Pendekar Muda itu tidak datang. Ka-
lau datang, maka sudah pasti kau akan menjadi
sate!" Orang bercadar dan pakaian serba putih kembali membentak.
"Aku telah siap!" Longkat Ketek berkata setengah memekik. Ia begitu kesal pada
orang di hadapannya, walau ia tahu bahwa tanpa adanya
orang tersebut niscaya umurnya tak akan sampai
saat itu. Sebab tangan maut Rawa Sekti mungkin
telah memanggang tubuhnya menjadi panggang-
an orang. Tapi orang ini sungguh keterlaluan.
Jangan karena telah menolong, lalu mentang-
mentang marah seenaknya. Orang itu ditanya
baik-baik, malah memaki-maki. Kalau saja ma-
kian itu diucapkan oleh orang lain, niscaya Longkat Ketek akan memukul orang
tersebut. Tapi yang bicara ini adalah orang yang telah meno-
longnya dari kematian hingga sukar bagi Longkat
Ketek untuk melakukan tindakan.
"Siap..." Katamu siap?" Orang bercadar dan berpakaian serba putih bertanya
dengan na-da sinis. Mungkin bila cadarnya terbuka, nam-
paklah senyum sinisnya mengembang di kedua
bibir. "Siap apa?"
Jengkel Juga Longkat Ketek mendengar
ucapan yang sinis itu, yang baginya sudah keter-
laluan. Maka dengan setengah membentak Long-
kat Ketek kembali berkata menjawab : "Siap ma-ti!"
"Hua, ha, ha...! Orang dunggu! Apakah
dengan dosamu yang menumpuk kau akan enak
mati, hah?"
"Itu urusanku. Bukan urusanmu, Orang
usil!" "Hai, rupanya kau memang orang tak tahu diuntung, Datuk cabul! Kalau itu
yang kau ingini, lakukanlah olehmu. Kembalilah kau ke kerajaan,
di sana kau akan melihat sesuatu yang akan
menjadikan nyalimu akan tampak jelas. Nyali
seekor tikus tanah!"
Mendidih darah Longkat Ketek mendengar
cacian yang dilontarkan oleh tuan penolongnya.
Darahnya sebagai darah seorang Datuk seketika
menggelegar, menerjang-nerjang bagaikan air bah
yang membobolkan tanggul. Matanya memandang
liar, menyala bagaikan penuh hawa kematian.
"Bedebah! Rupanya kau ingin menjadi pah-
lawan kesiangan!"
"Siapa bilang. Aku menolongmu karena
hanya kebetulan saja," jawab orang bercadar itu dengan tenangnya, yang makin
menjadikan de-ngusan kemarahan bagi Longkat Ketek.
"Bangsat! Siapa kau. Jangan sampai mati
tanpa meninggalkan nama!" hardik Longkat Ketek yang sudah merasa mangkel. Namun
seperti tadi, orang bercadar itu bagaikan acuh dan bicara tan-
pa memperdulikan ucapan Longkat Ketek.
"Sungguh orang-orang yang bodoh! Kalau-
lah ingin membunuh, mengapa mesti menanya-
kan nama segala. Kalau kau memang mampu, la-
kukanlah olehmu, Datuk Bodoh Cabul!"
"Bangsat! Jangan salahkan kalau aku tak
tahu balas budi. Hiat!"
"Orang macammu, tak akan mengenal ba-
las budi segala, Datuk!"
"Benar-benar minta mampus kau. Hiat...!"
Tak ayal lagi. Longkat Ketek yang sudah
tak dapat membendung kemarahannya lagi segera
berkelebat menyerang. Namun bagaikan mengha-
dapi seekor kerbau dungu saja, lelaki bercadar
putih itu nampak tenang. Sepertinya segala se-
rangan yang dilontarkan Longkat Ketek tak ada
artinya sama sekali. Bahkan...!!
"Bug, bug, bug!"
Tiga kali pukulan lelaki bercadar putih itu
telak menghantam tubuh Longkat Ketek. Seketika
tubuh Longkat Ketek terpelanting ke belakang ja-
tuh ke tanah dengan suara bergedebuk. Lelaki
bercadar putih nampak tersenyum, terlihat dari
tarikan cadarnya yang makin mengencang ke da-
lam. "Nah, kalau kau belum puas dengan siapa aku, datanglah kau pada pertemuan
para Datuk. Kelak kau akan tahu siapa aku. Kini orang me-
nyebutku Datuk Suci. Hua, ha, ha...!"
Tanpa hiraukan Longkat Ketek yang masih
terbengong tak mengerti siapa adanya Datuk Pu-
tih, sang Datuk segera berkelebat pergi mening-
galkan Longkat Ketek. Dengan agak tertatih
Longkat Ketek segera bangkit. Dipandangnya arah
ke mana Datuk Putih berkelebat pergi, dengan
hati seketika bergumam lirih: "Siapakah dia" Kenapa orang menyebutnya Datuk
Putih" Ah, mana
mungkin seorang Datuk beraliran lurus" Sung-
guh aneh...."
Dengan tertatih-tatih, Longkat Ketek segera
melangkah pergi dengan perasaan tak menentu.
Pikirannya gundah, sebab sudah pasti dirinya ki-
ni menjadi buronan kerajaan. "Oh, tidak! Aku tak akan menyerah begitu saja,"
gertaknya dalam ha-ti. Kakinya melangkah bagaikan melayang, ter-
bawa oleh pikirannya yang beribu macam. Ten-
tang keadaan dirinya, tantang tuan penolongnya
yang misterius, tentang Eyang Sulir Kuning bekas kekasihnya yang telah ia beri
janji untuk melakukan pertemuan pertarungan antara keduanya.
Tenggelam segala bayang-bayang dirinya, bagai-
kan terbawa arus hidupnya sebagai seorang Da-
tuk yang dimusuhi.
Tengah Datuk Longkat Ketek tercenung da-
lam langkahnya, tiba-tiba terdengar suara leng-
kingan gelak tawa. Semakin lama semakin dekat
saja, lalu makin keras dan keras. Gelak tawa itu bukan gelak tawa saja, lebih
tepat dikatakan pekikan. Datuk Longkat Ketek berusaha menahan
getaran tawa itu sebisanya, namun tubuhnya
seakan menjadi turut bergetar dahsyat. Manakala
Datuk Longkat Ketek dalam keadaan begitu rupa,
tiba-tiba terdengar bentakan seorang.
"Datuk Longkat Ketek, apa kau tahu di
mana Datuk Mujo Hitam berada"!"
Berbareng dengan habisnya suara orang
tersebut, seketika berkelebat si pemilik suara
yang telah berdiri menghadapi Datuk Longkat Ke-
tek yang terbelalak kaget dengan tubuh gemeta-
ran. Dari mulut sang Datuk menggumam menye-
but nama orang yang berada di hadapannya.
"Datuk Gagak Hitam...!"
"Ya. Aku, Longkat Ketek. Kau tahu di mana
tempat Datuk Mujo Hitam?"
"Ada keperluan apakah engkau mencari
Mujo Hitam?"
"Aku ingin membalas sakit hatiku. Dia te-
lah membunuh adik seperguruanku." jawab
Renggana seakan penuh kemarahan dan dendam,
menjadikan sorot matanya membara bagaikan
lautan api. "Katakan di mana ia berada. Cepat!"
"Sungguh dengan menyesal aku tak tahu,"
jawab Datuk Longkat Ketek, menjadikan Rengga-
na yang otaknya sudah miring seketika menceng-
keram baju yang dikenakan Datuk Longkat Ketek.
Datuk Longkat Ketek segera tepiskan tangan
Renggana, namun bagaikan sebuah beton tangan
Renggana kokoh mencengkeram baju itu. Hal itu
membuat Longkat Ketek tak dapat berbuat apa-
apa, dan hanya diam untuk menunggu ajal bila
Renggana atau Datuk Gagak Hitam benar- benar
membunuhnya. "Katakan sekali lagi bahwa kau tak tahu,
maka aku akan sumbat mulutmu untuk selama-
lamanya." Renggana mendengus, seakan ada kedukaan di matanya. Namun sejurus
kemudian, tiba-tiba tawanya kembali melengking, tinggi dan memekakkan telinga.
Longkat Ketek benar-benar dibuat bingung
dengan tingkah laku Renggana yang mirip kayak
orang sinting. Longkat Ketek tak menyadari kalau Renggana memang tengah dilanda
penyakit jiwa yang berat, yaitu tekanan batin atas segala pikirannya. Belum juga Longkat Ketek
mengerti den- gan arti semuanya, tiba-tiba Renggana telah kem-
bali membentaknya.
"Katakan pada para Datuk Persilatan, aku-
lah Datuk Segala Datuk. Akulah Raja Datuk du-
nia Persilatan. Ingat itu! Kalian semua Datuk-
Datuk kroco harus menyembah padaku. Menger-
ti!" Setelah berbuat begitu, tanpa memperduli-
kan lagi pada Datuk Longkat Ketek, Renggana se-
gera berkelebat pergi dengan kembali bergelak
tawa bagaikan orang gila. Datuk Longkat Ketek
hanya tercenung. Ia ingat ucapan Renggana atau
Datuk Gagak Hitam. "Ah, bagaimana ini" Kalau semuanya saling berbeda haluan,
runtuhlah para Datuk akibat permusuhan para anggota." keluh Longkat Ketek. Dengan segera
Longkat Ketek berkelebat untuk menemui para Datuk lainnya.
Longkat Ketek akan menceritakan apa yang telah
ia alami, bahwa Datuk Gagak Hitam bermaksud
mengangkangi para Datuk yang telah ada Ketua-
nya walau Ketua itu bulan purnama esok sudah
harus diganti. Kini bertambah lagi pikiran Long-
kat Ketek. Karena terlalu pusingnya pikiran
Longkat Ketek tak hiraukan segalanya, ia lari dan terus lari dengan cepatnya.
6 Pertempuran di alun-alun kerajaan nam-
pak masih terus berjalan dengan korban banyak
berjatuhan di antara kedua belah pihak. Walau-
pun Ketuanya telah minggat, namun prajurit dari
gerombolan sesat yang menghendaki kebebasan
bagi diri mereka untuk memerdekakan golongan-
nya dari kerajaan terus bersemangat. Mereka se-
pertinya pantang untuk mundur menyerah. Wa-
jah mereka beringas, mata mereka menyala-nyala
laksana api neraka.
Rawa Sekti dan Resi Ambarikmu nampak
makin mengganas, setiap saat selalu tangan dan
kaki mereka mencari kematian. Tak bosan-
bosannya Rawa Sekti dan Ambarikmu bagaikan
anak kecil hantamkan ajian mereka pada musuh,
yang seketika itu memekik dan ambruk dengan
tubuh hangus terbakar.
"Menyerahlah kalian! Kalian tak akan
mampu menghadapi aku!" seru Rawa Sekti setengah sombong. "Kalian percuma saja
melakukan perlawanan, sebab tak ada gunanya. Apakah kalian ingin seperti teman-
teman kalian itu..."!"
"Benar! Kalian menyerahlah, agar pihak ke-
rajaan tak berat menghukum pada kalian semua!"
Tiba-tiba terdengar seruan seseorang bersamaan
dengan berkelebatnya orang yang memiliki suara
itu. Semua mata seketika memanahkan pandan-
gannya pada orang tersebut. Seorang pemuda be-
rambut gondrong dan berpakaian putih perak ti-
ba-tiba telah ada di situ. Rawa Sekti dan Amba-
rikmu yang mengetahui siapa adanya pemuda
tersebut segera menjura hormat.
"Oh, rupanya tuan Pendekar. Kebetulan.
Kami memang mengharapkan bantuan tuan un-
tuk sudilah menghalau mereka," Ambarikmu dan Rawa Sekti berkata bareng,
sepertinya kedua
orang tertinggi kerajaan itu dikomando untuk
menyatakannya.
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau boleh aku tahu, mengapa sampai
terjadi hal seperti ini" Apa masalahnya. Dan siapa pula yang telah membuat
kerusuhan ini?"
"Mungkin tuan Pendekar tahu siapa-siapa
adanya mereka?" tanya Ambarikmu.
Pemuda tampan berpakaian putih perak
sesaat palingkan muka memandang pada para
prajurit yang tengah bertempur menghadapi
pemberontakan. Sejurus kemudian, pemuda itu
menggumam lirih. "Golongan kaum Datuk. Hem, rupanya Datuk-datuk dunia persilatan
telah ber-keliaran untuk memenuhi ambisi mereka. Ini tak
dapat dibiarkan. Siapa Ketuanya, Paman Patih?"
"Ketuanya tak lain Datuk Longkat Ketek. Ia
ingin meminta kemerdekaan bagi para Datuk un-
tuk mendirikan sebuah kerajaan sendiri."
Pemuda itu anggukkan kepala mendengar
penuturan Rawa Sekti. Matanya tajam meman-
dang lurus ke muka, di mana pertempuran masih
terus berlangsung. Pemuda yang tak lain Jaka
Ndableg, sunggingkan senyum, sepertinya ada ke-
lucuan yang telah terjadi di antara mereka. Hal
itu menjadikan kedua orang tokoh istana bela-
lakan mata, tak percaya pada apa yang mereka
saksikan. Betapa sungguh anehnya Pendekar itu.
Dalam keadaan perang begitu rupa ia masih sem-
pat sunggingkan senyum, seakan segalanya
hanya main-main. Belum juga kedua pembesar
istana itu memahami arti senyuman pendekar
Pedang Siluman Darah, tiba-tiba sang Pendekar
telah kembali berkelebat pergi sembari berseru.
"Paman Patih, aku akan mencoba mencari pimpinannya. Kalian berdua cepatlah
selesaikan per-
tempuran tersebut."
Kedua Patih kerajaan Kuning Gading seje-
nak terhenyak, lalu dengan sadar keduanya sege-
ra berkelebat masuk ke arena pertempuran. Ma-
kin bertambah ramai saja pertarungan itu, de-
ngan datangnya dua tokoh utama kerajaan. Kini
para pemberontak nampak terdesak mundur, tak
mampu menghalau amukan kedua tokoh utama
Kerajaan. Tengah pertempuran itu berlangsung, tiba-
tiba dari dalam istana sebuah bayangan berkele-
bat sambil membawa sesosok tubuh. Bayangan
tersebut berlari, meninggalkan istana. Rawa Sekti yang melihat bayangan hitam
berkelebat sembari
membawa tubuh Rajanya yang sudah dalam kea-
daan tertotok segera berkelebat mengejar tanpa
perdulikan mereka yang bertempur.
"Monyet! Berhenti kau...!"
Orang yang membawa tubuh raja Kuning
Gading tak mau perduli. Malah langkah larinya
makin cepat, menjadikan Rawa Sekti seketika ter-
jengah. Digunakannya ilmu lari, namun sampai
tingkatan akhir ilmu larinya Rawa Sekti tak
mampu mengejar orang berjubah hitam. Orang
itu akhirnya menghilang di balik bukit, tinggal
Rawa Sekti yang terdiam mematung.
"Oh, apa arti semua ini?" keluh Rawa Sekti, merasa usahanya untuk kembali
merebut sang raja yang diculik telah gagal. "Apa yang dapat aku
lakukan" Segalanya kini berjalan cepat. Wangsit
itu, oh... sungguh sebuah kebenaran. Oh, benar-
kah Kerajaan akan hancur dan dikuasai oleh seo-
rang Datuk Gila..." Jagad Dewa Batara, sungguh
aku tak dapat membayangkan bila hal itu harus
terjadi." keluh hati Rawa Sekti. Dengan hati galau Rawa Sekti akhirnya
tinggalkan bukit Lamus,
kembali menuju alun-alun kerajaan.
Tersentak Rawa Sekti bercampur senang,
mana kala dilihatnya seorang pemuda yang sudah
ia ketahui siapa adanya nampak turun membantu
menghalau para pemberontak. Saking senangnya
Rawa Sekti, sampai-sampai ia bagaikan anak ke-
cil berseru girang.
"Tuan Pendekar... jangan beri ampun me-
reka!" Jaka Ndableg tak hiraukan seruan Rawa Sekti, dia masih berkelebat-kelebat
menghindari serangan para pengeroyoknya dengan sesekali
berteriak-teriak bagaikan orang ketakutan.
"Wadauw... kenapa kalian sadis?" tubuh Jaka berkelebat, melenting ke angkasa
bagaikan orang bermain akrobatik. Tubuh itu berputar ba-
gaikan baling-baling, lalu menukik ke bawah
dan...! "Bletok, bletok, bletok!"
"Aduh...!"
Menjerit tiga orang pengeroyoknya seketi-
ka, manakala tangan Jaka yang menyatukan jari-
jarinya mematuk-matuk bagaikan paruh burung
pelatuk. Tak ayal, kepala mereka seketika bocor
mengeluarkan darah. Orang-orang itu berputar-
putar sesaat, lalu ambruk menjatuhi teman-
temannya dengan mata melotot bagaikan dibeset
kulitnya. Yang lainnya melihat hal itu segera meng-
geram dan langsung menyerang dengan senjata
ke arah Jaka. Hal itu menjadikan Jaka yang su-
dah ke luar kekonyolannya, menanggapi dengan
ocehan-ocehan yang dapat menjadikan gelak tawa
bagi yang mendengarnya.
"Ladalah, mengapa memang begitu sadis-
nya" Itu golok jangan untuk main-main, Mang.
Bahaya!" "Bedebah! Golok kami akan merencah tu-
buhmu, Anak Edan!"
"Waduh! Jangan Mang... kenapa Mamang
memusuhiku" Kenapa Mamang semua hendak
menurunkan tangan jahat?" Jaka kembali mengo-ceh, lalu menjerit manakala tiga
orang lagi berkelebat membabatkan golok mereka ke tubuhnya.
"Tobat... Mamang...!"
Ketiga orang pengeroyoknya tak perduli
pada apa yang dilakukan oleh Jaka. Mereka terus
berusaha mencerca Jaka, walau Jaka telah me-
lesat ke atas laksana terbang.
"Baik, kalau kalian memang sadis begitu.
Sebagai ungkapan rasa hormatku, akan aku beri-
kan pada kalian hadiah berupa tiket masuk ke
akherat sana!" Setelah berkata demikian, segera Jaka menukik ke bawah. Tangannya
yang sudah membentuk paruh burung, berkelebat-kelebat
kian ke mari. Ketiga orang pengeroyoknya sejenak ter-
sentak melihat hal itu. Namun mereka segera ba-
batkan golok mereka, menghadang tangan Jaka
yang hendak mematuk kepala. Jaka tersentak, ta-
rik tangannya dan kibaskan kaki yang berada di
atas mengayun ke bawah. Ketiga orang yang tak
menyangka kalau Jaka dapat dengan mudah ber-
gerak seperti itu, kembali tersentak dan berusaha menghindar. Tapi... gerakan
Jaka Ndableg begitu
cepat hingga...!
"Dug... dug... dug...!"
Memekik seketika ketiga orang tersebut,
dengan tulang dada sepertinya remuk. Tubuh ke-
tiga orang tersebut sesaat mengerang, meregang
lalu akhirnya mati terkulai.
Hal itu menjadikan yang lainnya nampak
agak jeri juga. Nyali mereka hampir lenyap dari
hati, manakala melihat betapa pemuda yang ber-
tampang konyol tersebut ternyata bukan seorang
pemuda sembarangan. Apalagi ketika salah seo-
rang di antara mereka membisikkan siapa adanya
pemuda tersebut, pucat pasilah wajah semuanya
memandang takjub pada Jaka yang masih se-
nyum-senyum sendiri.
"Pendekar Pedang Siluman Darah!" pekik semuanya kaget.
Jaka Ndableg masih tampak tenang. Dari
belakang Rawa Sekti dan Ambarikmu telah da-
tang menghampiri. Kedua tokoh utama kerajaan
itu segera berdiri menjejeri Jaka. Mata mereka
memandang tajam pada sisa-sisa pemberontak
yang ketakutan setelah mengetahui siapa adanya
pemuda tersebut.
"Kenapa kalian kaget" Bukankah kalian
anak buah Datuk Longkat Ketek yang gagah be-
rani?" Jaka bertanya dengan senyum sinis mengembang di bibirnya. "Apakah kalian
masih hendak meneruskan tindakan kalian yang dungu
itu?" Semuanya tak ada yang menjawab. Muka mereka tertunduk, tak berani
menentang pandang ke arah Jaka.
"Tangkap mereka...!" Rawa Sekti seketika berseru memerintah pada anak buahnya
yang dengan segera menjalankan tugas. Sisa-sisa pembe-
rontak itu menurut, tak berani untuk melakukan
perlawanan lagi. Ya, sia-sia saja bila mereka melakukan perlawanan sebab di
pihak kerajaan kini
telah ada seorang pendekar muda yang namanya
tengah membumbung tinggi dengan ilmu yang
tiada terkalahkan, sehingga orang-orang persila-
tan mengatakan Titisan Dewa. Hal itu dapat terlihat dengan ajian-ajian yang
dimiliki oleh pende-
kar tersebut. Ajian Jamus Kalimusada, adalah
ajian milik Dewa Wisnu. Juga ajian Buto Dewa
Wisnu. Ajian lain adalah Tapak Bahana, ini me-
rupakan ajian Dewa Brahma. Lalu ajian Petir Se-
wu, yang merupakan ajiannya Dewa Petir.
"Tuan Pendekar, tunggu!" Rawa Sekti berseru memanggil, mana kala dilihatnya Jaka
hen- dak berkelebat pergi. Jaka segera hentikan lang-
kah, berpaling sesaat menunggu kedatangan Ra-
wa Sekti yang berjalan tergesa-gesa ke arah-nya.
"Ada gerangan apa lagi?" tanya Jaka setelah Rawa Sekti sampai.
"Kami kembali mohon pertolonganmu."
"Pertolonganku...?" tanya Jaka seakan tak percaya.
"Ya, pertolongan tuan."
"Tentang apa" Kalau memang sekiranya
aku mampu, maka aku akan membantu kalian.
Tapi kalau aku tak mampu, maka dengan amat
menyesal terlebih dahulu aku meminta maaf."
"Kami rasa tuan mampu," jawab Rawa Sek-ti, menjadikan Jaka tersentak kerutkan
kening. "Hai, mengapa engkau berkata begitu, Pa-
man Patih?" tanya Jaka tak mengerti. "Aku manusia biasa sepertimu, Paman Patih.
Setiap ma- nusia, ada kalanya mengalami kesialan. Begitu
juga halnya dengan diriku, aku pun akan sekali-
kali membutuhkan bantuan orang lain. Kadang-
kala, orang yang tak terkenal tiba-tiba mampu
menangani masalah yang tak dapat ditangani oleh
orang yang sudah terkenal sepertiku. Ah, kenapa
kau berkata tak menentu" Sudahlah, sekarang
katakanlah apa yang akan Paman utarakan pa-
daku." Patih Rawa Sekti seketika tundukkan mu-ka. Matanya berkaca-kaca, seakan
ingin menan- gis. Rasa tanggung jawabnya sebagai seorang pa-
tih yang harus melindungi rajanya, ternyata tak
mampu. Tengah keduanya terdiam, dari istana
berlari-lari sang Permaisuri Ayuning Diah meng-
hampiri mereka.
Kedua orang itu juga para prajurit yang
lain segera tundukkan tubuh sembari menghor-
mat, hanya Jaka saja yang cuma anggukkan ke-
pala. Hal itu menjadikan Ayuning Diah belalak-
kan mata, menatap tajam pada Jaka Ndableg.
Manakala ia hendak marah, tiba-tiba rasa marah
itu hilang kala matanya beradu pandang dengan
mata Jaka. Hati Ayuning Diah bergetar, mende-
sah panjang. "Ah... Kenapa aku ini" Kenapa pemuda ini mampu membuat hatiku
bergetar" Oh,
sungguh tampannya pemuda ini."
Jaka Ndableg yang tahu bahwa Ayuning
Diah kini memperhatikan dirinya segera tunduk-
kan muka, membuang wajahnya ke bawah. Masih
ingat ucapan Ratu Siluman Penguasa Bumi, bah-
wa hampir seluruh wanita akan jatuh cinta pa-
danya. Bila ingat itu semua, seketika hati Jaka
menggumam dan mengumpat-umpat dirinya sen-
diri. "Oh, kenapa aku tampan" Kenapa aku banyak disukai oleh orang-orang" Kenapa
aku di- cintai oleh wanita" Kenapa aku banyak yang me-
musuhi pula" Bagaimana dengan gadis-gadis
itu..." Loro Ireng, Dewi Miranti atau si Bidadari Selendang Ungu, dan masih
banyak lagi gadis-gadis yang mendambakan cintaku. Kini... kini
Permaisuri kerajaan Gading Kuning. Oh...."
"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak?" terdengar suara lembut berkata, menjadikan
Jaka yang tengah menunduk tersentak dan dongakkan
mukanya. Hal itu memang yang diinginkan oleh
Ayuning Diah, yang tiba-tiba hatinya telah ter-
paut. Tidakkah itu sebuah kegilaan" Bagaimana
mungkin Jaka Ndableg mau menerimanya" Bu-
kankah Ayuning Diah adalah istri sahabatnya,
Raja Briah Awangga"
Jaka segera membuang segala angannya,
lalu dengan kembali menunduk menjawab perta-
nyaan Ayuning Diah. "Nama hamba yang rendah ini, Jaka."
"Dia adalah Pendekar Pedang Siluman Da-
rah, Permaisuri," menambah Rawa Sekti, menjadikan kanjeng Permaisuri belalakkan
matanya yang lentik. Sejurus ditatapinya lekat wajah Jaka, yang tak mau mengadu pandang
lagi dengan Permaisuri. Hati Permaisuri bergetar, bagaikan
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meledak-ledak. Seketika kekhawatiran tentang di-
ri suaminya menghilang, kini berganti dengan api asmara. Jaka yang melihat sinar
mata sang Permaisuri dengan segera berkata pada Patih Rawa
Sekti. "Paman Patih, apa yang hendak engkau katakan padaku tadi?"
Namun patih Rawa Sekti yang tidak men-
gerti akan apa yang tengah terjadi antara Jaka
dan Permaisuri rajanya, seketika tersentak kaget.
Ia susah untuk menjawab, sebab tidak mungkin
kalau Permaisuri tidak mengutarakan hal itu
bakal ia ceritakan pada Jaka.
"Tuan Pendekar, mengapa mesti engkau
kesusu?" Terjengah Jaka Ndableg mendengar perta-
nyaan Ayuning Diah yang tak diduga-duga sebe-
lumnya. Namun Jaka masih berusaha menunduk
dengan harapan tidak kembali beradu pandang
dengan Permaisuri yang ia tahu telah terpanah
hatinya. Tatapan Permaisuri Ayuning Diah masih
lekat, memanah pada Jaka yang tak dapat ber-
buat apa-apa. Hati Jaka seketika gundah, sulit
untuk mengerti apa kemauan istri Raja Briah
Anggawa yang memang masih muda dan cantik
jelita. "Maaf, Kanjeng Permaisuri. Hamba rasa, hamba tak mempunyai waktu banyak.
Untuk itulah, sekiranya ada yang hendak Permaisuri utara-
kan. Hamba mohon secepatnyalah."
Permaisuri Ayuning Diah hanya tersenyum.
"Oh, segitu sibuknya engkau, Tuan Pende-
kar?" "Ah, tidak demikian adanya, Kanjeng Permaisuri. Hamba hanya minta
secepatnyalah apa
yang hendak Kanjeng Permaisuri utarakan. Kalau
memang hamba dapat membantu. Hamba akan
berusaha membantunya."
"Baiklah. Aku pun tiada hak menghalangi-
mu. Aku sadar, bahwa aku telah memiliki seorang
suami." Terjengah semuanya mendengar ucapan
Kanjeng Permaisuri Ayuning Diah yang tak ter-
duga-duga itu. Betapa terkejutnya mereka, seper-
tinya ada halilintar menggelegar seru di siang hari bolong. Tak disangka oleh
mereka kalau Kanjeng
Permaisurinya ternyata jatuh hati pada pendekar
muda tampan itu. Mereka maklum, bahwa kalau
mereka wanita pun pasti akan mengalami hal se-
rupa seperti Kanjeng Permaisurinya. Memang
tampan pemuda pendekar itu, sehingga banyak
gadis-gadis yang jatuh cinta. Melihat kebisuan di
antara mereka, secepatnya Rawa Sekti yang men-
getahui gelagat segera memecahkan keheningan
berkata: "Kami memohon bantuanmu untuk da-
patlah membebaskan Baginda Raja yang diculik
oleh seseorang."
"Ah...." Jaka mendesah kaget. "Paman Patih tahu siapa adanya orang tersebut?"
Patih Rawa Sekti sejenak mendesah, berat.
"Sungguh menyesal, aku tak mengeta-
huinya dengan pasti."
"Oh, susah. Bagaimana dengan Kanjeng...
Kanjeng Permaisuri?"
Ucapan Jaka yang tersendat, menjadikan
Ayuning Diah tersenyum dikulum. Dia senang,
senang sekali mendengar Jaka berucap yang ditu-
jukan padanya. Tanpa menghiraukan semuanya
yang ada di alun-alun, Ayuning Diah hampiri Ja-
ka. Dan dengan tiba-tiba, diciumnya Jaka yang
seketika tersentak kaget tak luput juga yang lainnya. "Kenapa?" tanya Ayuning
Diah seperti tak berdosa. "Bukankah aku perlu mengucapkan terima kasih atas
segala bantuanmu?"
Semuanya tak ada yang berkata, diam ba-
gaikan sebuah patung.
"Orang yang menculik Baginda Raja, me-
nyebut dirinya Datuk Gagak Hitam atau Datuk
Segala Datuk," Permaisuri akhirnya menerangkan siapa adanya penculik tersebut.
Mendengar jawaban sang Permaisuri, Jaka yang tak ingin se-
muanya berlarut segera berkelebat pergi laksana
tiupan angin. Hal itu menjadikan semua yang ada
di situ hanya terbelalak, mulut mereka melom-
pong bengong dan kepala mereka gelengkan.
7 Para Datuk-datuk persilatan golongan se-
sat, kini resah oleh hadirnya Dua Datuk yang be-
raliran lain. Salah seorang beraliran menyelim-
pang, yaitu beraliran lurus yang mengakui na-
manya sebagai Datuk Putih. Orang ini selalu da-
lam sepak terjangnya mengenakan segalanya ser-
ba putih, sampai-sampai cadarnya pun memakai
cadar putih. Sementara salah seorang lagi, dia
mengaku Datuk segala Datuk. Kalau orang yang
kedua telah mereka ketahui adanya, tapi orang
yang pertama sungguh merupakan misteri ter-
sendiri. Mereka belum tahu siapa adanya Datuk
Putih tersebut. Kalau dianalisa secara rinci, jelas Datuk Putih merupakan
halangan bagi perkembangan para Datuk golongan sesat. Sebab tidak
mungkin tidak, Datuk Putih akan selalu mengha-
langi gerakan para Datuk lainnya untuk dapat
menguasai dunia persilatan. Jangankan ada Da-
tuk Putih, tak ada pun mereka dibikin kalang ka-
but oleh seorang Pendekar muda bergelar Pende-
kar Pedang Siluman Darah. Sudah seorang tokoh
Datuk yang disegani mati di tangan Pendekar
muda tersebut. Datuk itu tak lain Datuk Tuyul
Setan, yang mati dengan tubuh terbelah oleh sen-
jata pendekar muda tersebut. (Baca Kisah Cinta
Memendam Dendam). Apalagi kini muncul Datuk
Putih, sungguh makin terjepit keadaan mereka.
Mereka menyangka kalau Datuk Putih tak lain
hanyalah penyamaran Pendekar Muda tersebut.
Walaupun mereka tahu bahwa saat itu di dunia
persilatan ada lima atau enam tokoh-tokoh persi-
latan yang ilmunya hampir dikatakan rata dan
dapat dikatakan kelas wahid. Pertama, Jaka
Ndableg si Pendekar Siluman, Supit Songong, Bi-
dadari Selendang Ungu, Maling Siluman, dan seo-
rang Datuk bernama Sanggara yang menurut ka-
bar hilang entah ke mana rimbanya.
Saat itu para Datuk tengah berkumpul,
membahas masalah kejadian-kejadian yang ma-
kin menghimpit kedudukan mereka. Mereka se-
benarnya ingin mengangkat Datuk Gagak Hitam
sebagai Ketua, tapi mereka takut Datuk gila itu
akan makin merepotkan. Datuk Gagak Hitam
memang tindakannya terlalu telengas, tak per-
duli pada kawan maupun lawan. Tapi bila tidak
diangkat menjadi Ketua, mereka pun bingung
siapa yang akan menghadapinya. Juga masalah
Datuk Putih yang makin terasa mendesak kedu-
dukan para Datuk.
"Apa yang harus kita perbuat?" tanya
Longkat Ketek membuka kata.
"Entahlah," mengeluh Datuk Rambut Me-
rah. "Kita belum tahu seberapa ilmu keduanya.
Apakah tidak mungkin kita jajaki ilmu mereka
terlebih dahulu?"
"Jangan-jangan Datuk Putih samaran dari
Pendekar Muda tersebut," Datuk Setan Buntung turut nimbrung. Semuanya terdiam
mengangguk- anggukkan kepala, sepertinya membenarkan uca-
pan Datuk Setan Buntung.
"Mungkin juga. Kalau benar begitu, maka
keadaan kita benar-benar telah kejepit," gumam Datuk Sejuta Racun. "Sebenarnya
semua dapat kita atasi apa bila kita bersatu. Tapi rupanya kita terlalu
mementingkan ambisi kita masing-masing, sehingga kita kurang kompak."
"Maksudmu, Racun Sejuta?" "tanya Longkat Ketek.
"Bukankah kau sendiri dapat menjawab-
nya?" balik menanya Datuk Racun Sejuta, menjadikan Longkat Ketek kerutkan kening
tak tahu apa tujuan kata-kata Sejuta Racun.
"Aku belum mengerti," jawab Longkat Ketek. "Kau ada masalah dengan Datuk Sulir
Kuning, bukan?"
"Ya... memang kenapa?"
"Itulah yang aku maksudkan kita selalu
mementingkan diri kita sendiri. Apakah kau tak
dapat memaafkan Sulir Kuning?"
Longkat Ketek mengangguk-anggukan ke-
pala mengerti. "Tapi sebenarnya bukan aku yang tidak
memaafkan. Aku telah berusaha selalu mengalah
padanya, tapi rupanya dia masih menaruh den-
dam pada ku."
"Dendam cinta...?" Sejuta Racun bertanya dengan nada kelakar. Seketika semua
yang hadir pun tertawa bergelak-gelak, menjadikan muka
Datuk Longkat Ketek merah padam mukanya.
"Sudah... sudah! Kita di sini bukan untuk
bercanda, tapi untuk mengadakan rapat pemben-
tukan Perserikatan Datuk guna menanggulangi
bahaya yang akan menimpa persekutuan kita!"
Datuk Tangan Berapi selaku Ketuanya se-
gera menengahi. "Kalau kita tak bisa memu-
tuskan masalah ini, lebih baik aku akan men-
gundurkan diri dari Perserikatan Datuk!" ancam-nya, menjadikan semua Datuk yang
ada di situ tersentak kaget. Bagaimana tidak, hanya Datuk
Tangan Berapi yang dapat diandalkan oleh mere-
ka pada masa-masa sekarang ini. Dulu memang
masih ada Datuk Tuyul Setan, tapi sekarang Da-
tuk tersebut telah binasa di tangan Pendekar Pe-
dang Siluman Darah. Tinggal Datuk Tangan Be-
rapi dan Datuk Sejuta Racun serta Rambut Merah
saja yang masih dapat diandalkan. Kalau tiga
orang tersebut mengundurkan diri salah satunya,
niscaya kekuatan mereka makin menurun saja.
Hal ini sudah barang tentu sebuah bencana bagi
para Datuk. Tengah semua Datuk terdiam memikirkan
bagaimana caranya menjadikan Datuk Tangan
Berapi tak mundur, tiba-tiba dua bayangan ber-
kelebat dari arah yang berlainan.
"Mengapa kalian mesti bingung. Aku Datuk
Sangkala Putung yang akan menjadi Ketua ka-
lian!" "Aku Datuk Lolo Genderlah yang pantas menjadi Ketua!"
"Tidak bisa! Akulah yang pantas menjadi
Ketua para Datuk, sebab ilmuku sangat tinggi di-
bandingkan dengan ilmumu juga ilmu kalian yang
ada di sini!" Datuk Sangkala Putung membentak, merasa ada orang lain yang
menghalangi niatnya
untuk menjadi Ketua para Datuk. Sudah sepuluh
tahun lebih ia menggembleng dirinya dengan
kembali menekuni semua ilmu dengan harapan
dapat menjadikan dirinya sebagai ketua Datuk-
datuk, ternyata ada orang lain yang menghalangi-
nya. "Ilmumu tinggi" Hua, ha, ha...! Seberapa?"
tanya Datuk Lolo Gender dengan senyum me-
ngejek. "Akulah yang berilmu paling tinggi di antara kalian semua. Apakah kalian
kurang yakin"
Akulah pemilik ajian Seribu Iblis. Hua, ha, ha,...!"
Tersentak semua yang ada di situ menden-
gar Datuk Lolo Gender menyebut nama ajian yang
langka itu. Sudah seabad lamanya ajian itu meng-
hilang dari dunia persilatan setelah si Raja Iblis yang menghilang dengan
sekejap mata tanpa se-pengetahuan para pendekar dunia persilatan.
"Kau tidak berdusta, Lolo Gender?" tanya Sangkala Putung kurang yakin. "Kau
mungkin berdusta."
"Hem, mungkin kalian tak percaya kalau
aku katakan bahwa aku adalah murid tunggal si
Raja Iblis."
"Apa...!"
Semua yang hadir seketika terkesiap da-
rahnya, demi mendengar ucapan Lolo Gender.
Bagai-mana mungkin Raja Iblis yang hidup sea-
bad yang lalu masih hidup" Dan bagaimana
mungkin Lolo Gender mengaku-aku murid tung-
galnya. Menurut cerita leluhur mereka, Datuk Ra-
ja Iblis tak pernah mengangkat barang seorang
pun menjadi muridnya. Tapi kini Lolo Gender
mengaku-aku sebagai murid si Raja Iblis. Sung-
guh tidak masuk di akal.
"Tidak mungkin...!"
"Kalian masih tak percaya" Akan aku buk-
tikan!" Datuk Lolo Gender sejurus kemudian terdiam, mulutnya komat kamit membaca
mantra. Kemudian...! Semua orang yang berada di situ se-
ketika membelalakkan mata tak percaya. Mereka
melihat tubuh Lolo Gender seketika berubah
menjadi banyak dengan muka yang berbeda-beda
dan tubuh membara. Api menyala-nyala pada tu-
buh keseribu Datuk Lolo Gender yang berwajah
berbeda-beda. Ketika Datuk Lolo Gender tertawa, seketika
gelak tawanya membahana bersaut-sautan. Ya,
karena mereka berjumlah banyak seribu orang
dan bareng tertawa, jadi sudah barang tentu tawa mereka bagaikan ledakan-ledakan
petir. Kini semuanya baru yakin, seyakin yakinnya bahwa Da-
tuk Lolo Gender memang murid dari si Raja Iblis.
"Baiklah kami semua percaya," Datuk Tangan Berapi berkata mewakili semuanya.
Menden- gar ucapan Datuk Tangan Berapi, Lolo Gender
kembali tertawa tergelak-gelak. Perlahan tubuh
keseribu orang Datuk Lolo Gender yang wajahnya
beraneka ragam menyatu kembali dan menjadi
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Datuk Lolo Gender.
"Nah, apakah kalian sangsi untuk men-
gangkatku sebagai Ketua kalian?"
"Tidak! Kami tak sangsi lagi." jawab semuanya serempak.
"Baiklah. Sekarang katakan apa yang men-
jadikan kalian merasa bagaikan terjepit?" tanya Lolo Gender dengan suara angkuh,
merasa bahwa dirinyalah yang paling sakti di antara para Datuk.
"Kami tengah dihadapkan pada sesuatu
masalah yang belum kami dapat selesaikan."
"Apa itu, Rambut Merah?"
"Kini di Dunia Persilatan telah muncul dua
Datuk yang berbeda, namun sama bahayanya ba-
gi kedudukan kita. Salah seorang bernama Datuk
Gagak Hitam atau Datuk segala Datuk...."
"Bedebah.! Berani dia mengangkat dirinya
sebagai Datuk segala Datuk. Apakah dia tak tahu
ada aku yang pantas!" Datuk Lolo Gender tampak marah, sepertinya Gagak Hitam
telah berani men-corengkan tahi di mukanya. "Lancang dia!"
"Itulah yang pertama. Yang kedua, adalah
seorang Datuk aneh berilmu tinggi dan beraliran
lurus. Ia menyebutkan dirinya Datuk Putih."
"Hem, itu soal mudah bagiku...." Belum ju-ga habis ucapan Datuk Lolo Gender,
tiba-tiba terdengar suara seseorang membentak dari luar.
"Sombong kau! Apakah kau mengira dengan il-
mumu yang masih picisan itu mampu menghada-
pi dua Datuk itu, hah!"
"Siapa kau!" Datuk Lolo Gender segera berkelebat ke luar, diikuti oleh seluruh
yang hadir. Nampak seorang bertubuh tinggi besar dengan
muka lebat tertutup cambang bawuk dan mata
merah menyala telah berdiri di situ. Mulut orang
tersebut menyeringai sinis, menunjukkan gigi-
giginya yang kuning, napasnya terdengar men-
deru-deru, laksana tiupan angin prahara. Napas
itu terasa panas, membara menyelimuti orang-
orang yang ada di situ yang tersentak kaget. "Datuk Gagak Hitam...!"
"Ya, akulah Datuk Gagak Hitam atau Da-
tuk segala Datuk. Siapa saja yang membangkang
padaku, maka kematianlah yang akan ia da-
patkan!" Datuk Gagak Hitam atau Renggana tersenyum sinis, berjalan dengan
langkah berat menghampiri mereka. Tiba-tiba dari belakang
berkelebat seorang nenek-nenek tua, yang bukan
lain Datuk Sulir Kuning.
"Longkat Ketek, aku datang untuk menga-
dakan perhitungan dengan dirimu."
Datuk Gagak Hitam menyeringai, merasa
ada seorang nenek-nenek masih berani menan-
tang para Datuk. Dengan melirik sesaat Gagak
Hitam bertanya: "Apakah kau ada masalah dengan salah seorang Datuk yang ada di
sini, Nek?"
"Benar. Aku ada masalah dengan Datuk
itu!" jawab si nenek yang tak lain Sulir Kuning sembari tunjukkan telunjuknya ke
arah Datuk Longkat Ketek. "Masalah apa, Nek?" kembali Gagak Hitam bertanya.
Si nenek tersipu-sipu, sukar untuknya
menjawab. Melihat hal itu, segera Gagak Hitam kem-
bali berkata: "Aku harap nenek tunggu dulu."
"Tidak bisa!" bantah si nenek.
"Kenapa...?"
"Kau boleh berurusan dengan yang lain-
nya, tapi aku minta kau tak ikut campur dengan
urusanku."
"Nenek peot, mengapa kau keras kepala.
Lucu kau, Nek. Kau tak ubahnya seorang pera-
wan centil kegatelan."
Merah padam muka Sulir Kuning demi
mendengar ucapan Gagak Hitam yang menjadi-
kan semuanya tersenyum. Maka tanpa ingin tahu
terlebih dahulu siapa adanya orang yang bicara,
dengan segera Sulir Kuning berkelebat menye-
rangnya. Gagak Hitam hanya tersenyum, egoskan
tubuh mengelakkan serangan si nenek. Tanpa ay-
al lagi, tubuh si nenek seketika terus terpelanting nyusur ke tanah. Si nenek
makin mengganas, ia
bangkit dengan menggeram dan kembali menye-
rang. Melihat hal itu Gagak Hitam tak kaget, ma-
lah dia tampak tersenyum. Dan ketika tubuh si
nenek kembali berkelebat, Gagak Hitam segera
egoskan tubuhnya dengan tangan bergerak cepat.
Dan..!!! "Bret... Slosot...!"
Semua mata terbelalak melihat apa yang
terjadi. Celana yang dikenakan oleh si nenek dan baju-bajunya seketika tertarik,
lepas dari tubuh si nenek yang terus melaju dan kembali meng-gusrak di tanah.
Bukan alang kepalang lagi kemarahan Da-
tuk Longkat Ketek melihat hal itu. Walau ia ber-
musuhan dengan si nenek Sulir Kuning, namun
hatinya masih mencintai si nenek yang lima pu-
luh tahun lalu menjadi kekasihnya. Maka tanpa
ayal lagi Longkat Ketek dengan didahului mengge-
ram, menyerang Gagak Hitam yang seketika ter-
sentak. "Rupanya kau ingin membela kekasihmu,"
Gagak Hitam berkata mengejek. Senyumnya sinis,
lalu dengan hanya miringkan tubuh sembari ki-
baskan tangan Gagak Hitam telah mampu mem-
buat Longkat Ketek berjumpalitan sendiri meng-
hindari kibasan tangan Gagak Hitam. Gagak Hi-
tam terkekeh, hampiri tubuh Longkat Ketek yang
terpelanting jatuh. Mana kala tangannya hendak
mencengkram, tiba-tiba sebuah bayangan berke-
lebat. Bayangan tersebut milik Datuk Lolo Gend-
er, yang segera membuat Gagak Hitam tersentak
urungkan niatnya. Gagak Hitam kini berpaling
pada orang yang telah menyerangnya, matanya
memandang bengis. Dan tiba-tiba...!
"Hua, ha, ha...! Hua, ha, ha...!"
Gagak Hitam bergelak tawa, makin lama
irama tawanya makin kencang, melengking men-
jadikan sebuah hentakan yang mampu memecah-
kan gendang telinga. Kegilaanya kini mulai kam-
buh, menjadikan Gagak Hitam bukanlah Gagak
Hitam sebenarnya. Segala Iblis telah masuk, me-
nyusup ke dalam tubuh Gagak Hitam. Tanpa am-
pun lagi, orang-orang yang tak mampu bertahan
bergelimpangan mati dengan hidung dan telinga
keluar darah. Tersentak semuanya yang hadir di situ, tak
percaya kalau ada orang yang memiliki ilmu ter-
tawa sedahsyat itu. Namun sebagai seorang Da-
tuk, mereka diajukan pada keberanian. Dicoba-
nya untuk terus bertahan, bahkan Datuk Lolo
Gender yang merasa memiliki ilmu paling tinggi
seketika menyerang. Hal itu rupanya diketahui
oleh Gagak Hitam yang dengan segera hentakkan
tawanya makin kencang sembari membentak.
"Minggir...!"
Sungguh dahsyat! Karena bentakan terse-
but Lolo Gender yang memiliki ajian Seribu Iblis mampu dipentalkan jatuh di
hadapan para Datuk
lainnya. Tapi Lolo Gender tak mau kalah begitu
saja. Gengsinya yang telah mengakui sebagai pe-
waris ilmu Raja Iblis, menghendaki dirinya untuk tak mau mengalah. Segera ia
bangkit, lalu perla-han matanya terpejam. Mulutnya komat kamit
membaca mantra, dan...! Seribu Datuk Lolo
Gender seketika muncul.
Melihat musuhnya berbuat begitu, Gagak
Hitam pun tak mau kalah. Segera Gagak Hitam
merapalkan mantranya, maka tubuhnya seketika
berubah menjadi beribu-ribu ekor burung gagak
raksasa. Semua yang ada dan menonton di situ
tersentak kaget, tak percaya pada apa yang mere-
ka lihat. Burung Gagak Hitam yang berjumlah se-
ribu itu seketika beterbangan menyerang keseribu orang Datuk Lolo Gender yang
muka-mukanya beraneka ragam. Dengan ganas keseribu burung
Gagak Raksasa itu mematuk-matuk, menyerang
dengan sekali-kali berkelit dengan gesitnya.
Pertarungan dua Datuk yang hendak men-
gangkat dirinya sebagai Datuk segala Datuk terus
berjalan. Mereka hanya ada satu prinsip, kalah
dan mati atau menang untuk menjadi pimpinan
para Datuk. Pertarungan itu tak ubahnya sebagai per-
tarungan dua kekuatan Iblis yang menguasai ke-
duanya. Datuk Lolo Gender, berada di pihak Raja
Iblis Muka Sewu. Sebaliknya Gagak Hitam, bera-
da pada pihak Iblis Gagak Kematian.
Burung Gagak itu terus menyambar-nyam-
bar, sesekali mematuk dan kemudian terbang
menghindar. Karena musuhnya seekor burung
yang ganas dan pemakan bangkai, maka Lolo
Gender nampak kesukaran. Api yang menyala di
tubuhnya bagaikan tak berarti apa-apa bagi para
burung Gagak Raksasa tersebut. Namun kedua-
nya bagaikan tak mau mengalah, mereka mengin-
ginkan kemenangan. Ya, kemenangan untuk
menjadikan dirinya sebagai Datuk segala Datuk.
Pertarungan itu entah kapan berakhir, yang jelas keduanya sama-sama tangguh.
Keduanya terus saling rangsek, sehingga membuat tubuh kedua-
nya makin lama makin menjauhi tempat semula.
* * * Pertarungan dua Datuk tersebut masih te-
rus berjalan dengan sengitnya. Sudah menginjak
hari ketiga mereka bertarung sepertinya mereka
tak mengenal rasa capai atau pun lelah. Mereka
terus saling serang, saling rangsek dengan ujud-
ujud mereka. Sementara itu, nampak di tempat lain seo-
rang pemuda yang tidak lain Jaka Ndableg tengah
berlari-lari dalam usahanya mencari Raja Briah
yang hilang diculik oleh Datuk segala Datuk atau Datuk Gagak Hitam.
"Ke mana aku harus mencarinya" Sedang-
kan aku sendiri tak tahu di mana kediaman Da-
tuk tersebut?" keluh Jaka putus asa. "Ah, bukankah hari ini adalah pertemuan
para Datuk?"
Jaka tercenung bingung, melangkah men-
gikuti ke mana kakinya berjalan. Sekali-kali ia
menyanyi, menghibur hatinya yang tengah gun-
dah gulana. Mana kala ia tengah asyik-asyiknya
menyanyi, tiba- tiba sebuah bayangan putih ber-
kelebat menghadangnya. Bayangan putih tersebut
seketika menjura padanya, menjadikan Jaka ter-
lolong bengong karena ia tak mengenal siapa
adanya bayangan tersebut.
"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak" Me-
ngapa engkau tiba-tiba menjura padaku?" tanya Jaka tak mengerti. Matanya
memandang atau mengawasi orang tersebut dengan seksama.
Orang itu masih menjura, lalu kemudian terden-
gar suaranya yang berat berkata:
"Tuan Pendekar, sungguh aku tak me-
nyangka kalau aku dapat bertemu denganmu.
Hendak ke mana dan ada tujuan apa tuan pende-
kar menyelusuri hutan ini?"
"Ah, kenapa kau ditanya malah menanya
sebelum menjawab?"
"Oh, maafkan kelancanganku. Namaku
Sanggara atau orang menjuluki diriku dengan se-
butan Datuk Putih. Karena pakaianku putih, juga
perbuatanku tidak seperti Datuk-datuk lainnya."
"Oh, begitu. Baiklah, Sanggara atau Datuk
Putih. Aku datang ke sini semata-mata tengah
mencari seorang yang diculik oleh Datuk Gagak
Hitam yang menyebutnya Datuk segala Datuk.
Orang tersebut adalah Raja Kerajaan Gading Kun-
ing. Apakah Ki Sanak dapat menunjukkan di ma-
na adanya aku dapat menemukannya?"
Sejenak Datuk Putih terdiam tanpa kata. Ia
sepertinya tengah tercenung, manakala Jaka me-
ngutarakan nama orang sangat ia kenal. Ya, Ga-
gak Hitam, adalah nama yang sedari kecil ia ken-
al. Gagak Hitam tak lain kakak seperguruannya,
yang kini gila akibat cita-citanya yang kelewat
ambisi. "Kenapa Ki Sanak Datuk Putih terdiam?"
"Ah, ti-tidak. Aku sungguh menyesal tidak
mengetahuinya. Tadinya aku mengira tuan Pen-
dekar hendak menuju ke pertemuan para Datuk."
"Oh, mungkin juga aku ke sana. Namun
untuk sekarang ini, aku hendak mencari Raja Ke-
rajaan Gading Kuning." jawab Jaka. "Apakah Ki Sanak hendak ke sana?"
"Benar adanya. Aku memang hendak pergi
ke sana." "Baiklah kalau begitu. Aku hanya dapat
mengucapkan selamat tinggal," Jaka pun dengan segera melesat pergi setelah
menjura hormat. Ke-pergiannya yang begitu cepat laksana angin, men-
jadikan Datuk Putih menggeleng-gelengkan kepa-
la tak percaya pada apa yang dilihatnya. Setelah melihat Jaka telah menghilang,
segera Datuk Pu-
tih pun berkelebat meninggalkan tempat tersebut.
Hari kelima telah berjalan, kini nampaklah
siapa yang bakal menang dan siapa yang bakal
kalah di antara dua Datuk yang tengah bertarung
itu. Burung-burung Gagak itu makin mengganas,
menyerang bagaikan tak kenal ampun. Luka-luka
kini diderita oleh keduanya, namun sungguh le-
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bih parah adalah Lolo Gender. Mata Lolo Gender
Seribu Rupa itu, kini hilang satu tercucuk paruh Gagak Hitam.
Semuanya yang menyaksikan hanya mam-
pu diam. Hati mereka tercekap tak berani untuk
berkata-kata atau memisahkan salah satunya.
Mereka yang bertarung bukanlah orang semba-
rangan, yang sudah diketahui memiliki ilmu yang
sungguh tinggi.
"Apakah kita akan mendiamkan saja, Ka-
kang?" tanya Rambut Merah pada Tangan Api
yang berdiri di sampingya. "Bahaya kalau salah satunya harus ada yang mati."
Tangan Api hanya tersenyum kecut men-
dengarnya, laku katanya:
"Apakah ada yang berani memisahkan me-
reka" Huh, mencari mati."
Rambut Merah hanya diam, merasakan
bahwa ucapan kakaknya memang benar adanya.
Siapa yang akan berani memisahkan kedua Da-
tuk yang berilmu tinggi itu" Kalau memang orang
itu mencari mati, maka mungkin hal itu akan di-
lakukannya. "Kak... Kak... Kak...! Mampuslah kau, Lolo
Gender!" "Bedebah! Aku belum kalah, Gagak Hitam!"
"Baiklah! Hari ini juga kau akan aku kirim
ke akherat!"
"Jangan bermimpi!"
Keduanya kembali saling serang. Kini ke-
duanya telah kembali pada bentuk asal mereka.
Mata Lolo Gender benar-benar telah hilang sebe-
lah. Mukanya morat marit dicakar oleh Gagak Hi-
tam. Sebaliknya Gagak Hitam pun tak luput dari
luka, namun sungguh tak separah Lolo Gender.
Gagak Hitam hanya luka-luka kecil belaka, se-
hingga serangan-serangannya masih tampak lin-
cah dan keras. Gagak Hitam seketika kembali memekik,
lalu tertawa bergelak-gelak laksana orang gila.
Gunung yang berada di situ, seketika runtuh.
Bersamaan dengan runtuhnya Gunung
Kapur, seketika Gagak Hitam mencelat terbang
dan...! "Aaah...!" Lolo Gender memekik sesaat, kepalanya copot tertarik oleh
tangan Gagak Hitam
yang seketika berubah bentuk menjadi Gagak Hi-
tam kembali. Burung Gagak Hitam Raksasa itu
terbang membawa kepala Lolo Gender, jauh dan
makin menjauh. Dilemparkannya kepala tersebut,
manakala sampai ke tengah-tengah lautan
Selatan. Tamatlah riwayat Lolo Gender,
mati dengan keadaan yang mengerikan.
Semua seketika memburu pada tubuh Lolo
Gender yang tergeletak dengan tanpa kepala. Da-
rah membasahi sekelilingnya, menjadikan re-
rumputan berubah menjadi merah kehitam-hi-
taman. Kini Datuk Gagak Hitam telah berlalu per-
gi, sepertinya ia tak menghendaki dirinya menjadi pimpinan para Datuk yang kini
terlolong bengong.
Mereka tak mengerti dengan tingkah laku Datuk
Gagak Hitam, yang serba aneh.
8 Tengah kesemua Datuk itu tak mengerti
dengan segala tindakan Gagak Hitam, tiba-tiba
bayangan putih berkelebat menuju ke arah mere-
ka. Seketika mereka yang ada di situ tersentak
kaget, memanahkan pandangannya ke arah orang
berpakaian serta cadar serba putih.
"Datuk Putih...!!"
Datuk Putih nampak tersenyum, terbukti
cadar yang dipakainya mengerut ke dalam. Ma-
tanya yang tertutup oleh kain cadar putih, me-
mandang pada kesemuanya yang nampak ketaku-
tan. "Kalian para Datuk. Apa yang tengah kalian lakukan di tempat ini?" tanyanya
dengan suara tenang.
Semua tak ada yang menjawab, sepertinya
mulut mereka bungkam seribu kata. Hal itu men-
jadikan Datuk Putih terkesiap, marah seketika
dan membentak "Apakah kalian bisu!"
"Ampun! Kami-kami... tengah menyaksikan
kematian salah seorang anggota kami yang me-
ngerikan." jawab Rambut Merah mewakili teman-
temannya. "Mati" Mati karena apa?"
"Ia mati di tangan Datuk Gagak Hitam."
"Siapa dia?"
"Ia adalah Lolo Gender."
"Hem...." hanya desahan pendek saja yang keluar dari mulut Datuk Putih. Perlahan
ia tengadahkan muka memandang ke arah selatan di
mana Gunung Kapur menjulang tinggi dengan
angkuh dan megahnya. "Kakang Renggana, sungguh perbuatanmu sudah kelewat batas.
Kau telah gila dengan segala kemenangan. Hem, kalau saja
Pendekar muda itu tahu bahwa Raja Kerajaan
Gading Kuning mati olehmu, sungguh aku tak
dapat memikirkannya." keluh hati Sanggara atau Datuk Putih.
"Apakah kalian masih menghendaki keka-
cauan di dunia" Apakah kalian masih menghen-
daki partai kalian tumbuh?" tanya Datuk Putih setelah lama tercenung diam.
"Jelas! Kami para Datuk menghendaki par-
tai kami tumbuh!" tiba-tiba seorang Datuk yang tak lain dari pada Datuk Sangkala
Putung men-jawabnya. Hal itu menjadikan Datuk Putih seke-
tika memandang ke arahnya dengan tajam, walau
matanya tertutup oleh kain tapi jelas sorotan ma-ta itu begitu menghunjam.
"Hem, kau! Rupanya kau masih ingin men-
jadikan dirimu orang yang disembah-sembah,
Sangkala Putung. Tak aku sangka, orang setua-
mu masih saja bertingkah macam-macam. Apa-
kah kau tak mengingat lagi usiamu yang sudah
bau tanah itu?"
"Bedebah! Aku tak perduli. Kami adalah
Datuk dan sepantasnyalah kami berbuat."
"Oh, begitu" Apakah kau akan mengulangi
pertarungan antara Datuk seperti yang baru saja
kalian saksikan" Hem, kalian belum tahu apa
akibatnya rupanya. Atau barangkali kalian me-
mang sengaja menutup mata. Lihatlah temanmu
itu, dialah korban dari segala keserakahan kalian para Datuk!" membentak Datuk
Putih agak jeng-kel. Merasa ucapannya seperti tak digubris oleh
orang tersebut. "Kalian akan berbuat apa bila aku menghalangi kalian?"
"Aku akan menentangmu!" tak kalah Sangkala Putung membentak.
Datuk Putih hanya tersenyum, sepertinya
ucapan Sangkal Putung sebuah lelucon. Ya, ia bi-
sa saja berkata begitu, sebab ia bukanlah orang
sembarangan. "Menentangku" Apakah kau mampu,
Sangkala Putung"'
"Sombong! Jangan kira aku takut dengan
nama besarmu yang sudah kesohor. Aku Sangka-
la Putung pantang untuk takut,"
"Hua, ha, ha... kau tak ubahnya seorang
yang sombong dan tak mengaca diri. Kalau kau
tak mengenal takut, mengapa kau tak menghada-
pi Datuk Gagak Hitam" Mengapa mesti Lolo
Gender yang menghadapi?"
"Hem, kau boleh berkata apa. Tapi aku tak
takut padamu!"
"Oh, begitu" Kau tak akan takut bila aku
buka siapa adanya aku sesungguhnya" Maaf, aku
bukan ingin pamer, tapi aku hanya ingin sekedar
menyadarkan kalian untuk kembali ke jalan yang
lurus. Mumpung masih ada umur!"
"Benar katamu, Ki Sanak Datuk Putih!"
Semua mata seketika membelalak, mana-
kala terdengar seruan seseorang yang berbaren-
gan dengan berkelebatnya sesosok tubuh pemuda
dan tahu-tahu telah berdiri sejajar dengan Datuk Putih. Tak alang kepalang,
seketika semua yang
ada di situ membersit kaget.
"Pendekar Pedang Siluman Darah!" Jaka
sepertinya acuhkan kekagetan mereka, ia ber-
tanya pada Datuk Putih yang berdiri di samping-
nya. "Datuk Putih, menurutmu bagaimana den-
gan Raja Kerajaan Gading Kuning?"
Datuk Putih atau Sanggara sejenak mena-
rik napas panjang, sepertinya hendak membuang
segala beban di hatinya yang terlalu berat. Beban berat itu, tak lain dari pada
orang yang menjadikan biang keladi keributan ini semua. Orang itu
adalah kakak seperguruannya sendiri, yang mau
tidak mau harus dia hadapi.
"Beliau telah mati di tangan Datuk Gagak
Hitam." jawabnya pelan seakan tak ada semangat.
"Sayang, dia adalah kakak seperguruanku sendiri," Datuk Putih bergumam lirih,
hanya terdengar oleh Jaka saja yang seketika kerutkan ke-ning.
"Jadi...?" Jaka tak dapat berkata panjang.
"Ya, aku adalah adik seperguruannya. Itu-
lah makanya aku tak dapat berbuat apa-apa," keluh Datuk Putih seperti putus asa.
Jaka hanya mampu menghela panjang-
panjang, ia juga turut merasakan kepedihan yang
dirasakan oleh Datuk Putih. Bagaimanapun juga,
Datuk Putih sukar untuk berbuat. Seperti halnya
makan buah Simalakama. Dimakan ayah mati,
tidak dimakan ibu pun mati. Datuk Putih pun
mengalami hal begitu rupa. Ditumpas kakak sen-
diri, tidak ditumpas akan membuat petaka terus
menerus. "Aku jadi bingung, Tuan Pendekar."
"Aku memaklumi apa yang engkau pikir-
kan. Aku juga akan berbuat seperti itu bila aku menjadi dirimu."
Kedua pendekar ternama itu hanya terpe-
kur diam, susah untuk memikirkan tindakan apa
yang harus mereka lakukan. Tengah keduanya
terdiam, tiba-tiba para Datuk yang merasa dirinya sudah terpepet tanpa disadari
oleh Jaka dan Datuk Putih menyerang mereka.
Tersentak keduanya sembari melompat
mundur, menjadikan para penyerangnya makin
tambah beringas saja. Dengan bergabungnya para
Datuk itu menyerang, sudah menjadikan sebuah
kekuatan yang sukar untuk dibendung. Namun
bukanlah Jaka Ndableg bila harus mengalah begi-
tu saja. Maka dengan memaki-maki sejadi-jadinya
Jaka terus berusaha mengelitkan serangan.
"Dasar orang-orang mencari mampus!"
bentak Jaka marah.
"Kalian berdualah yang mencari mampus!"
Sangkala Putung yang mengira ilmu Jaka dan
Malaikat Datuk Putih berada di bawahnya mem-
bentak, lalu dengan segenap ilmu yang ia miliki
menyerang membabi buta.
"Wadauw... rupanya mereka ingin hadiah
dari kita, Saudara Datuk Putih. Lihat... mereka
tak ubahnya kegembiraan menari-nari demi men-
dengar aku hendak memberi hadiah pada mere-
ka." Setelah berkata begitu, serta merta Jaka berkelebat bagaikan seekor burung
walet menyambar. Tangannya dikepakkan bagaikan ter-
bang. Datuk Putih yang melihat tingkah laku Ja-
ka, seketika terkesiap kaget. Bagaimana mungkin
orang bertarung seperti orang yang main-main.
Datuk Putih begitu mengawatirkan keadaan Jaka.
Dan ia hendak bermaksud menolongnya manaka-
la terdengar Jaka berseru.
"Lihat sahabat! Mereka akan aku beri kue
apem. Hiat...!"
Tangan Jaka Ndableg yang tadi memben-
tang, tiba-tiba menutup dengan salah satu tan-
gannya mengepalkan tinju. Lalu dengan menukik
Jaka hantamkan bogem mentahnya ke arah orang
yang berada di depannya, yang seketika itu ber-
maksud mengelak. Namun ternyata hantaman
yang dilontarkan Jaka hanyalah tipuan. Ketika
orang itu mengelak dan menangkis tangannya,
segera Jaka tarik tangannya dan ganti ayunkan
kedua kakinya bagaikan orang main ayunan.
"Bug...!"
Tendangan kedua kaki Jaka yang disatu-
kan telah mengenai dada musuh. Seketika orang
tersebut menjerit, mengerang sesaat dan akhirnya ambruk dengan dada bolong
melelehkan darah.
Tulang iganya remuk berantakan.
Sebaliknya Datuk Putih, nampak mengha-
dapi serangan-serangan para Datuk dengan kea-
daan tenang. Setiap hantaman tangannya seketi-
ka mengeluarkan angin pukulan yang sungguh
dahsyat. Tapi nampaknya para Datuk hitam itu
bukanlah musuh-musuh kelas kroco yang sekali
gebrak lari terbirit-birit. Mereka adalah Datuk-
datuk kaum persilatan golongan sesat.
"Bedebah! Kalian berdua akan kami cin-
cang!" "Hua, ha, ha,... Datuk Tangan Api, apa aku tak salah dengar bahwa aku
hendak memberikan
kami daging cincang" Ouh, sungguh kau adalah
seorang sahabat yang mengerti situasi. Memang
aku tengah lapar saat ini. Mana Daging Cincang
itu..." Marahlah Datuk Tangan Api mendengar ucapan Jaka yang seperti orang
konyol. "Setan!"
"Eh, kenapa kau menyebutkan dirimu sen-
diri, Datuk?" tanya Jaka makin konyol, menjadikan Datuk Tangan Berapi tak alang
kepalanglah kemarahannya. "Wah jangan terlalu emosi, cepat tua. Hua, ha, ha!"
Jaka segera kelitkan tubuh manakala tan-
gan Datuk Berapi itu menyerang ke arahnya. Ha-
Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wa panas yang keluar dari nyala api di tangan Datuk Tangan Berapi memang panas
tiada kira. Namun bagi Jaka, yang kondang namanya tidak
menjadikan masalah. Segera Jaka salurkan Hawa
Murni ke sekujur tubuhnya.
"Datuk, kau janganlah suka bermain api.
Aku takut kau nanti akan terbakar sendiri," Jaka berbicara seperti seorang yang
menasehati. "Api di tanganmu sungguh bahaya, Datuk."
Diam-diam Jaka salurkan segenap kekua-
tannya ke tangan. "Akan aku lawan api tersebut dengan Bayu Dewa," gumam Jaka
dalam hati. Dan secara tak diketahui oleh Datuk Tangan Api,
Jaka salurkan ajian Bayu Dewa. Seketika angin
puting beliung berserabutan ke luar dari telapak tangan Jaka, menjadikan api di
tangan Datuk Tangan Berapi berhamburan balik menyerang
tuannya. Tak ayal lagi, Datuk Tangan Berapi se-
ketika menjerit-jerit. Tubuhnya seketika itu terbakar oleh apinya sendiri. Sang
Datuk segera berlari, berusaha untuk sedapatnya memadamkan
api yang membara di tubuhnya.
Jaka tertawa bergelak-gelak demi melihat
musuhnya pontang panting dengan api melekat di
tubuhnya. Tengah ia tertawa bergelak-gelak, tiba-tiba sebuah senjata berkelebat
hendak me- nyerangnya. "Wadaou... hampir aku kena!"
Jaka segera lemparkan tubuh bersalto,
namun ternyata di belakangnya telah menyambu-
ti sebatang tombak yang digenggam oleh musuh
mengarah ke tubuhnya.
"Ah...." Jaka sesaat mengeluh. "Mati aku...." Akalnya seketika kembali konyol.
Dan manakala kedua musuhnya menyerang seketika Ja-
ka lentingkan tubuh ke angkasa. Maka dengan
seketika kedua musuhnya saling tusuk dengan
senjatanya masing-masing.
Di pihak lain Datuk Putih pun tak mau be-
gitu saja mengalah oleh keroyokan para Datuk
yang sepertinya tak mengenal rasa takut. Datuk
Putih sebenarnya enggan untuk menurunkan
tangan jahatnya, namun keadaan mendesaklah
hingga ia terpaksa menurunkannya.
"Sebenarnya aku enggan menurunkan tan-
gan jahatku, tapi rupanya kalian memaksaku.
Baiklah, aku akan melayani kalian dengan sege-
nap kemampuan yang aku miliki."
"Jangan banyak bacot, Datuk Putih!" bentak Sangkala Putung.
"Kau masih sombong, Sangkala Putung.
Kau rupanya memang manusia yang sudah ber-
sekutu dengan Iblis!"
Sangkala Putung tertawa bergelak-gelak
sepertinya merasa bangga dapat dikatakan seku-
tu Iblis. Maka dengan gelak tawa yang masih ia
lakukan, Sangkala Putung segera berkelebat me-
nyerang kembali.
Pertarungan dan dikeroyok oleh puluhan
Datuk-datuk persilatan golongan sesat ini terus
berjalan. Mereka nampaknya tak akan segera
menghentikan pertarungan tersebut. Mereka ru-
panya ingin mengungguli satu sama lainnya.
* * * Tengah pertarungan itu berjalan dengan
seru, tiba-tiba dari arah Selatan berkelebat sesosok bayangan serba hitam menuju
ke arah di ma- na pertarungan itu terjadi.
Bayangan itu yang ternyata milik seorang
lelaki tinggi besar dengan muka menyeramkan
serta cambang bawuk tebal, melangkahkan ka-
kinya menghampiri mereka yang bertarung.
Mereka yang bertarung seperti tak hirau-
kan kedatangan orang tersebut. Makin lama,
orang tersebut makin mendekat. Matanya menyo-
rot tajam menghunjam ke arah para Datuk, juga
tak luput memandang pada Jaka dan Datuk Pu-
tih. Tiba-tiba orang itu membentak, "Berhenti kalian semuanya!"
Semua yang ada di situ seketika terjengah
dan hentikan pertarungan. Namun belum sempat
para Datuk itu mengerti, tiba- tiba orang tersebut hantamkan pukulannya. Tanpa
ayal lagi, semua
yang ada di situ tersentak kaget termasuk Jaka
dan Datuk Putih yang segera melompat menghin-
dar. Orang tersebut tak mau ambil perduli, ia terus saja melancarkan serangannya
membabi buta ke arah orang-orang yang ada di situ. Datuk Putih sungguh-sungguh terkejut,
manakala tahu siapa
adanya orang tersebut. Serta merta Datuk Putih
berseru menyebut nama orang mengamuk. "Ka-
kang Renggana, Hentikan!"
Seruan Datuk Putih terlambat, sebab para
Datuk lainnya telah binasa tersapu dengan ajian
yang dilontarkan Renggana. Renggana hentikan
serangan, terpaku memandang pada orang yang
berseru. Serta merta ia menjerit, menyebut nama
seseorang yang dianggapnya telah hilang dari du-
nia atau mati. "Adikku Sanggara, Kau...!"
"Benar aku, Kakang. Aku adikmu... adik
seperguruanmu."
Mata Renggana seketika memandang ta-
jam, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Tiba-
tiba Renggana berteriak-teriak bagaikan orang gi-la lalu berlari meninggalkan
kedua pendekar yang terbengong mematung di tempat.
Nah, bagaimana dengan Renggana" Apa-
kah ia akan hilang dari pengaruh iblis" Bagaima-
na pula nantinya Jaka Ndableg dan Datuk Putih
atau Sanggara" Untuk lebih jelasnya, ikuti saja
kisah berikutnya pada judul: Munculnya Ratu Si-
luman Darah. Maka dengan ini, aku cukupkan
kisah Pertarungan Dua Datuk, sampai jumpa.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Mencari Bende Mataram 13 Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta Pembantai Cantik 1