Pencarian

Mustika Dewi Pelangi 2

Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi Bagian 2


Rasa ingin tahunya semakin memuncak. Dia yakin
kalau laki-laki tua ini mengetahui di mana Prawata sekarang.
"Kau tahu di mana Prawata, Pak Tua?" tanya Bayu lagi.
"Aku.... Aku...," Ki Kabul jadi tergagap.
"Kau kelihatannya takut sekali. Ada apa?"
desak Bayu. "Kau tahu di mana Prawata?"
"Maaf, Anak Muda. Aku..., aku tidak tahu."
"Hhh...! Sayang sekali. Padahal dia sudah janji akan menemuiku di sini tiga hari
yang lalu," desah Bayu pelan.
Ki Kabul memandangi wajah pemuda di depannya. "Ada apa kau menanyakan Den Prawata?" tanya Ki Kabul. Suaranya masih bergetar.
"Penting sekali. Juga untuk kepentingan desa ini," sahut Bayu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Kabul agak kaget juga.
"Namaku Bayu," Bayu memperkenalkan diri.
"Sudah tiga hari ini, Den Prawata meninggalkan Desa Malapat. Sampai sekarang
belum kembali. Tidak ada yang tahu, ke mana perginya. Tapi...," Ki Kabul tidak melanjutkan.
Ditatapnya Bayu dalam-dalam. Sepertinya ingin memastikan kalau pemuda
itu bukan orang jahat yang ingin mencelakakan
Prawata. "Kenapa, Pak Tua?" desak Bayu.
"Tidak apa-apa. Prawata tidak ada lagi di Desa Malapat,"
sahut Ki Kabul, berusaha menyembunyikan sesuatu.
Bayu terdiam membisu. Dia merenung memikirkan kepergian Prawata yang tiba-tiba.
Padahal anak itu sudah berjanji akan menemuinya
lagi di tempat ini. Pendekar Pulau Neraka itu tidak lagi mencegah Ki Kabul
pergi. Ki Kabul bergegas melangkah cepat dan terburu-buru meninggalkan Lereng Bukit Menjangan ini. Sementara Bayu masih berdiri
tegak memandangi punggung laki-laki tua itu yang sarat dengan kayu bakar.
"Mustahil Prawata pergi begitu saja. Hm..., pasti ada sesuatu yang terjadi
padanya," gumam Bayu pelan.
Mendapat pikiran demikian, Bayu langsung
melompat cepat menuju Desa Malapat. Gerakannya begitu ringan dan cepat bagai kilat.
Dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah
lenyap tertelan lebatnya hutan di sekitar Lereng Bukit Menjangan ini.
*** Bayu memandangi suasana di Desa Malapat.
Keadaannya sangat sepi, seperti ditinggalkan
penghuninya. Di beberapa tempat, terlihat orang-
orang muda dengan golok terselip di pinggang
seperti tengah berjaga-jaga. Bahkan ada pula yang membawa tombak panjang. Bayu
jadi bertanya-tanya dalam hati. Suasana Desa Malapat sekarang
ini seperti tengah bersiap-siap menghadapi serbuan dari luar.
Perhatian Pendekar Pulau Neraka itu tertumpah
pada dua pemuda yang menjaga perbatasan Bukit
Menjangan. Wajah dua pemuda itu terlihat agak
memar. Mereka tengah bercakap-cakap.
Bayu melesat mendekati. Gerakannya sangat ringan dan
tidak menimbulkan suara sedikit pun. Pendekar
Pulau Neraka itu tahu-tahu sudah berada di balik sebatang pohon besar, tidak
jauh dari kedua
pemuda yang ternyata murid Ki Kampar.
"Aku yakin, Den Prawata sudah jadi korban
Nini Ratih," kata salah seorang murid Ki Kampar itu.
"Aku jadi heran, mengapa kepala desa tidak
mencarinya, ya?" tanya yang seorang lagi.
"Tapi Ki Pancur kelihatannya sedih. Sudah tiga hari ini mengurung diri terus di
dalam kamar."
"Sedih sih boleh saja. Tapi Den Prawata kan anak satu-satunya. Malah sudah
disiapkan untuk
menggantikan kedudukannya jadi kepala desa.
Seharusnya kan dicari. Toh kita semua tahu kalau Den Prawata ke Puncak Bukit
Menjangan."
"Huh! Kalau aku sih, berpikir dulu seribu kali!
Datang ke sana sama saja mengantarkan nyawa.
Kudengar, di Puncak Bukit Menjangan dijadikan
tempat persembunyian Nini Ratih. Apalagi di sana banyak kepala manusia
terpancang di tonggak
kayu." "Kau dengar dari mana?"
"Banyak yang sudah melihatnya. Kebanyakan
pemburu dari desa ini juga. Tapi anehnya, ya...
Orang yang telah melihat, besoknya pasti mati!
Kepalanya pun hilang."
Kedua orang itu terdiam beberapa saat. Mereka
seperti dicekam rasa takut Sementara itu Bayu
yang mendengarkan dari balik pohon, hanya diam
saja. Tapi kini jelas, kalau Prawata pergi ke Puncak Bukit Menjangan.
"Aku pikir-pikir, kata-kata Den Prawata benar juga. Kita seperti orang dungu
saja. Sebenarnya
apa sih yang kita jaga" Tidak ada seorang pun dari kita yang jadi korban Nini
Ratih. Dia selalu
mencari korban dari para penduduk yang rata-rata pernah ke Puncak Bukit
Menjangan," kata salah seorang lagi.
"Iya juga, ya.... Berhari-hari di sini, tidak ada musuh satu pun," sambut
satunya lagi. "Uh! Lama-lama jadi bosan juga."
Saat itu, Bayu sudah melesat cepat meninggalkan tempat itu. Pikirannya langsung
tertuju pada laki-laki tua yang ditemuinya di tepi sungai. Dia yakin kalau laki-
laki tua itu baru dari Puncak Bukit Menjangan. Arahnya saja sudah bisa
dipastikan, kalau habis dari puncak bukit itu.
Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan cepat
dan ringan. Dikerahkan ilmu meringankan tubuh
yang sudah sampai pada taraf kesempurnaan.
Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya
bayangan berkelebatan. Bayu menyelinap dari satu rumah ke rumah lainnya. Yang
dicarinya adalah
tempat tinggal laki-laki tua yang ditemuinya di tepi sungai. Pembicaraan dua
orang pemuda itu seperti memberinya peringatan.
"Hm...," Bayu bergumam dalam hati, begitu sampai pada sebuah rumah bilik yang
kecil dan kumuh. Dari celah-celah yang terdapat di dinding,
Pendekar Pulau Neraka mengamati bagian dalam
rumah itu. Bibirnya tersenyum begitu melihat laki-laki tua yang ditemuinya di
tepi sungai, tengah
duduk sendirian di dalam rumah ini. Bayu
bergegas melangkah mendekati pintu belakang,
kemudian mengetuk pintu itu hati-hati.
"Siapa...?" terdengar suara tua dari dalam.
"Aku, Pak Tua," sahut Bayu agak berbisik.
Pintu belakang rumah itu terbuka. Ki Kabul
agak terkejut melihat pemuda yang ditemuinya di
tepi sungai telah berdiri di depan pintu belakang rumahnya.
"Boleh aku masuk?" lembut dan ramah suara Bayu Hanggara.
Ki Kabul tidak menjawab, tapi dibukanya pintu
lebar-lebar. Bayu melangkah masuk, dan menutup
pintu itu. Ki Kabul memandanginya dengan benak
diliputi segudang tanda tanya. Sejenak Bayu
merayapi keadaan sekitarnya. Tidak ada yang
didapatkan. Semua perabotan rumah ini sangat
sederhana sekali. Sementara Ki Kabul telah duduk di
balai-balai bambu
beralaskan tikar daun pandan. Bayu tetap berdiri dan baru duduk di
kursi kayu setelah Ki Kabul mempersilakannya.
"Aku tidak melihat anak dan istrimu, Pak Tua,'
kata Bayu. "Aku memang hidup sendiri di sini. Anak istriku ada di kota," jawab Ki Kabul.
"O...."
"Apa keperluanmu hingga datang ke sini?"
tanya Ki Kabul.
"Aku tidak tahu, kenapa harus datang ke sini.
Hanya saja aku merasa kau dalam bahaya, Pak
Tua," sahut Bayu.
Ki Kabul menatap pemuda itu dalam-dalam.
"Kau tadi ke Puncak Bukit Menjangan, Pak
Tua?" tanya Bayu.
"He! Untuk apa kau tanyakan itu?" Ki Kabul terkejut setengah mati.
"Jujur saja padaku, Pak Tua. Kalau kau
memang tadi ke sana, itu berarti kau dalam
bahaya besar," suara Bayu terdengar serius.
Ki Kabul tidak langsung menyahut, tapi jadi
bertanya-tanya tentang diri pemuda itu. Dia
memang ke Puncak Bukit Menjangan, dan itu tidak
disengaja sama sekali. Hatinya memang sudah
tidak menentu setelah menyadari bahwa kakinya
sudah menginjak daerah terlarang. Mereka yang
tewas dengan kepala hilang, semuanya pernah
menginjakkan kakinya di Puncak Bukit Menjangan. "Aku tahu, kau pasti curiga padaku, Pak Tua.
Tapi kedatanganku justru ingin menolongmu.
Nyawamu sekarang ini terancam, dan kau tidak
bisa mengelak dari ancaman itu," jelas Bayu lagi.
"Dari mana kau tahu, aku telah ke Puncak
Bukit Menjangan?" tanya Ki Kabul mencoba
menyelidik. "Kau datang dari arah sana, Pak Tua," sahut Bayu.
"Kalaupun aku dari sana, kenapa kau bisa
mengatakan kalau nyawaku terancam?"
"Jangan berpura-pura, Pak Tua. Semua orang
di desa ini tahu, kalau yang datang ke Puncak
Bukit Menjangan pasti mati! Meskipun aku sendiri belum yakin benar!" Bayu agak
kesal juga dengan sikap laki-laki tua itu.
Ki Kabul kembali diam dengan kepala tertunduk. Disadari kalau kata-kata pemuda itu
benar. Bayu memang belum yakin benar dengan
cerita-cerita tentang siluman wanita itu. Dan
sampai saat ini dia masih terus mencari keterangan. Bayu yakin, Ki Kabul bisa memberi
banyak keterangan yang diperlukan. Dia terus
mendesak laki-laki tua itu.
"Aku memang ke sana, tapi aku tidak sengaja...," kata-Ki Kabul mengakui.
"Apa saja yang kau lihat di sana, Ki?" tanya Bayu.
"Mengerikan...!" Ki Kabul bergidik.
"Mengerikan...?"
"Banyak kepala manusia terpancang di sana.
Dan...," Ki Kabul tidak melanjutkan.
"Teruskan, Ki," desak Bayu.
"Aku..., aku melihat..."
"Melihat apa?"


Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Den Prawata," pelan suara Ki Kabul.
Seketika Bayu tertegun diam. Jadi, yang
didengarnya dari dua orang penjaga perbatasan
memang benar. Prawata datang ke Puncak Bukit
Menjangan. Dan semua keterangan yang telah
diperolehnya juga benar. Puncak Bukit Menjangan
telah dijadikan tempat kekuasaan Nini Ratih,
wanita siluman yang sangat kejam dan selalu
meminta korban. Kepala dari korban-korbannya
dijadikan hiasan istananya!
Hanya satu yang kini menjadi beban pikiran
Pendekar Pulau Neraka. Mengapa Nini Ratih
memilih Desa Malapat, dan Puncak Bukit Menjangan"
Anehnya, kepala desa tidak melakukan tindakan sama sekali. Bahkan sepertinya- membiarkan warga desanya menjadi
korban kebuasan wanita siluman itu. Bayu yakin,
ada sesuatu di antara Ki Pancur dengan Nini Ratih, atau pun dengan Ki Kampar.
Sikap kedua orang itu membuat Bayu jadi curiga. Lebih-lebih dengan
adanya larangan untuk meninggalkan Desa Malapat ini. Ki Kabul tidak ragu-ragu lagi, dan percaya
penuh setelah Bayu mengatakan siapa dirinya
sebenarnya. Nama Pendekar Pulau Neraka memang
sudah tidak asing lagi. Semua penduduk Desa
Malapat pun pernah mendengar nama itu. Ki Kabul
sendiri tidak menyangka kalau dapat bertemu dan
didatangi pendekar ternama yang namanya sudah
tersohor itu. Laki-laki tua itu percaya kalau Pendekar Pulau
Neraka mampu melindunginya dari cengkeraman
Nini Ratih, si Wanita Siluman. Bahkan dia percaya kalau pendekar itu juga mampu
mengalahkan Nini
Ratih. Meskipun baru kali ini bertemu, tapi Ki
Kabul sudah yakin dengan kedigdayaan Pendekar
Pulau Neraka. Cerita-cerita tentang pendekar itu sering didengarnya walau memang
menyiratkan kekejaman dan kesadisan seorang pendekar yang
tidak pernah memberi ampun setiap lawannya.
Tanpa diminta, Ki Kabul menceritakan tentang
Nini Ratih, wanita siluman yang kini menjadi
momok menakutkan bagi seluruh penduduk Desa
Malapat. Ki Kabul adalah penduduk asli desa itu, dan tahu persis semua kejadian
yang melanda desa ini. Walaupun usianya telah mencapai lebih dari
delapan puluh tahun, tapi ingatannya masih kuat.
Sementara Bayu mendengarkannya dengan penuh
perhatian. "Hm..., jadi Nini Ratih pernah muncul sebelumnya?" Bayu ingin menegaskan.
"Benar! Itu terjadi lebih kurang tiga puluh tahun yang lalu. Ketika itu Ki
Pancur belum menjabat sebagai kepala desa," sahut Ki Kabul.
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dulu Ki Pancur yang berhasil mengalahkan,
dan membuangnya ke angkasa...," lanjut Ki Kabul.
"O...!" Bayu agak kaget juga mendengarnya.
"Ketika telah dibungkus dengan batu Mustika Dewi Pelangi dan dilemparkan ke
angkasa, dia sempat mengancam akan menghancurkan dan
memusnahkan semua orang, tempat, dan desa Ki
Pancur tinggal. Sekarang dia muncul lagi dan
menepati ancamannya."
"Apakah batu mustika itu seperti ini, Ki?" Bayu mengeluarkan sebongkah batu yang
memancarkan cahaya kemilau bagai pelangi dari balik sabuknya.
Ki Kabul ternganga melihat batu di tangan
Pendekar Pulau Neraka itu. Sebentar kemudian,
ditatapnya wajah Bayu. Ki Kabul mendorong
tangan Pendekar Pulau Neraka itu dan meminta
agar batu mustika itu segera disimpan.
"Dari mana kau dapatkan benda itu?" tanya Ki Kabul agak berbisik suaranya.
"Secara kebetulan, aku menemukan sarang
perampok yang membegal pemburu dari desa ini,"
jelas Bayu. "Maksudmu, si Kabit..?"
"Mungkin. Aku tidak tahu namanya. Sebelumnya, aku memang sempat melihat Ki
Pancur bersama pemburu itu. Kudengar semua
pembicaraannya. Oleh sebab itu aku jadi tertarik dan ingin mencari benda ini,"
kata Bayu menunjuk batu Mustika Dewi Pelangi yang sudah tersimpan
di balik sabuknya.
"Kau bunuh semua perampok itu?" tanya Ki Kabul.
"Tidak semua. Mereka menyerahkan batu itu,
asalkan aku tidak membunuh yang lainnya. Ya...,
ada sekitar sepuluh orang yang tewas."
"Nini Ratih memang sedang mencari benda itu.
Dan kudengar, benda itu adalah inti kekuatan dan kehidupannya," jelas Ki Kabul.
"Aku dengar, di Puncak Bukit Menjangan juga banyak batu seperti ini."
"Memang benar, tapi hanya pecahannya saja.
Pecahan itu tidak akan berpengaruh pada Nini
Ratih. Kau sangat beruntung, Anak Muda. Dengan
batu itu, kau pasti mampu mengalahkannya."
"Nini Ratih pernah dikalahkan Ki Pancur,
sebaiknya dia saja yang menghadapinya."
"Jangan...!" sentak Ki Kabul cepat.
"Kenapa?" tanya Bayu heran.
"Ki Pancur memang akan menggunakannya
untuk menghadapi wanita siluman itu. Tapi pasti
tidak akan membunuhnya. Yang jelas dia akan
melakukan hal yang sama dengan hanya mengasingkan Nini Ratih saja. Karena... "
"Karena apa, Ki?" desak Bayu.
"Dulu mereka adalah sepasang kekasih. Padahal Ki Pancur tahu kalau kekasihnya itu
wanita siluman, tapi tidak ambil peduli."
"O...," kembali Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Waktu itu guru mereka sangat khawatir,
karena Ki Pancur pasti jadi siluman juga. Dengan demikian
akan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia. Eyang Jarata melakukan tindakan yang nekad. Dia menerobos
sarang siluman, dan mencuri salah satu sumber
kekuatan bangsa siluman, yang sekaligus juga
sebagai alat kematiannya. Eyang Jarata memang
berhasil, tapi terluka cukup parah oleh siluman-
siluman itu. Dan batu Mustika Dewi Pelangi yang
diambilnya sempat diserahkan pada Ki Kampar,
adik kandung Ki Pancur. Eyang Jarata berpesan
agar Ki Pancurlah yang harus menghadapi wanita
siluman itu, sebelum menghembuskan napas
terakhir," Ki Kabul mengisahkan.
"Lantas?" Bayu jadi semakin tertarik.
"Ki Pancur terpaksa melakukannya demi bakti pada gurunya. Tapi pesan gurunya
tidak semua dilaksanakan. Batu itu tidak ditanamkan di kepala Nini
Ratih, tapi malah dibungkus dan dilemparkannya ke angkasa. Padahal sehabis itu
seharusnya dibuang ke dasar laut!"
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ki Pancur sebenarnya tahu, kalau perbuatannya itu akan berakibat fatal. Nini Ratih tidak akan mati dan pasti
kembali lagi ke dunia. Ki Pancur tidak peduli, karena tetap menganggap
dirinya pasti sudah mati sebelum Nini Ratih
muncul kembali."
"Sikap yang mementingkan diri sendiri!" dengus Bayu.
"Itu memang sudah wataknya, Anak Muda."
"Pantas, dia juga tidak peduli terhadap keselamatan anaknya."
"Sejak masih muda, sampai sekarang ini,
wataknya tidak pernah berubah. Selalu mementingkan diri sendiri. Sekarang ini pun dia
tahu kalau Desa Malapat terancam musnah, tapi
ya, begitulah wataknya. Bahkan melarang keras
penduduk meninggalkan Desa Malapat ini."
"Aku tidak mengerti, apa maksudnya...?"
gumam Bayu. "Mungkin dia masih mencintai Nini Ratih, dan masih mengharapkan agar bisa
bersatu. Padahal
itu tidak mungkin! Sebab, Ki Kampar pun sudah
menodai Nini Ratih dengan bujuk rayunya. Hal itu dilakukan Ki Kampar agar
kakaknya tidak bisa
bersatu dengan siluman itu. Dikorbankanlah
dirinya. Akibatnya, dia kena kutuk sehingga tidak mungkin mempunyai keturunan
seumur hidup. Kalaupun menikah, istrinya pasti langsung mati.
Itulah sebabnya Ki Kampar tidak punya istri
sampai sekarang."
Bayu Hanggara diam membisu. Kini semuanya
jelas dan terang. Jiwa kependekarannya segera
tergugah seketika. Untungnya batu sumber kekuatan dan kematian wanita siluman itu telah
dipegangnya. Dan sudah tentu, nasib seluruh
penduduk Desa Malapat, dan desa-desa lain di
sekitar Bukit Bukit Menjangan berada di tangannya. Pendekar Pulau Neraka itu sadar kalau dirinya kembali harus
bertualang menentang maut.
Baru saja Bayu akan membuka mulut, mendadak telinganya mendengar suara desiran
halus. Belum sempat Pendekar Pulau Neraka itu
berbuat sesuatu, mendadak....
***

Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

6 Brak! Pintu rumah Ki Kabul hancur berantakan. Ki
Kabul kontan melompat berdiri dan berlindung di
balik punggung Pendekar Pulau Neraka yang
memang sudah berdiri lebih dulu. Di ambang pintu yang
hancur, berdiri seorang wanita cantik mengenakan baju hijau muda yang ketat.
"Nini Ratih...," desis Ki Kabul bergetar.
"Jangan melakukan tindakan yang membahayakan dirimu, Ki," kata Bayu memperingatkan.
"I..., iya," sahut Ki Kabul gugup.
Wanita muda dan cantik itu melangkah masuk
ke dalam. Tatapan matanya tajam menusuk, dan
bibirnya terkatup rapat. Langkahnya terhenti
setelah berjarak sekitar empat atau lima langkah lagi di depan Bayu. Wanita yang
memang Nini Ratih itu merayapi wajah pemuda tampan di
depannya. Pelahan kemudian, bibirnya mengulas
senyum. "Siapa kau, Bocah Bagus?" lembut suara Nini Ratih.
"Bayu," sahut Bayu singkat.
"Kau tampan sekali, Bocah Bagus."
"Terima kasih."
"Hati-hati, Bayu. Jangan terpikat rayuannya,"
bisik Ki Kabul.
Bayu hanya menoleh sedikit dan tersenyum.
Sedangkan Nini Ratih mendelik kepada laki-laki
tua yang berlindung di belakang Pendekar Pulau
Neraka itu. Bisikan Ki Kabul begitu jelas terdengar.
Dan laki-laki tua itu langsung mengkeret melihat Nini Ratih mendelik padanya.
"Nini Ratih! Apa maksudmu datang ke sini?"
tanya Bayu tegas.
"Ah..., ternyata kau memang seorang pemuda
tampan yang tegas dan jantan. Aku suka laki-laki sepertimu," kata Nini Ratih
tanpa menjawab pertanyaan Bayu Hanggara.
"Maaf, Nini Ratih. Aku tidak ada waktu untuk bercengkerama!" dengus Bayu dingin.
"Luar biasa..., aku akan menunggu waktumu,
Bocah Bagus."
Bayu menggeretak menahan geram. Dia benar-
benar muak melihat tingkah wanita ini. Pendekar
Pulau Neraka itu melangkah mundur satu tindak
ketika cuping hidungnya mengendus aroma yang
sangat wangi menusuk. Harumnya sangat luar
biasa, sehingga membuat kepala Pendekar Pulau
Neraka itu terasa agak pening.
"Hati-hati,
Bayu. Dia menyebarkan ilmu pemikat," bisik Ki Kabul memperingatkan.
Bayu memang sudah menduga sejak semula.
Bahkan sudah mengerahkan hawa murni untuk
menolak ilmu pemikat yang disebarkan Nini Ratih.
Pelahan-lahan rasa pening di kepalanya mulai
sirna begitu hawa panas mulai menjalar di seluruh tubuhnya.
Bayu pun segera menutup jalan darahnya untuk menolak pengaruh segala macam
ilmu yang tidak bisa diduga sebelumnya.
Nini Ratih tersenyum kecut. Dia tahu kalau
ilmu pemikat yang disebarkannya tidak berpengaruh sama sekali pada Bayu. Memang ilmu
itu hanya ditujukan kepada Pendekar Pulau
Neraka. Jadi meskipun Ki Kabul mencium bau
harum, tapi tidak terpengaruh dengan ilmu itu.
Nini Ratih mencoba dengan cara lain. Dipandangi terus bola mata Bayu. Pelahan-lahan,
namun pasti, bola mata wanita itu memancarkan
cahaya terang bagai bintang. Bayu sempat terpana juga, tapi hawa murni yang
sudah menutup seluruh syarafnya cepat menyentak memberi peringatan. Pendekar Pulau Neraka itu memejamkan matanya sebentar, dan begitu membuka matanya....
"Yaaa...!"
Sambil berteriak keras, Bayu mendorong tangannya ke depan seraya mengerahkan tenaga
dalam dengan kekuatan penuh. Angin dorongannya sungguh luar biasa. Nini Ratih
tersentak kaget, dan sebelum sempat disadari,
tubuhnya sudah terpental keluar dari rumah Ki
Kabul itu. "Keparat...!" geram Nini Ratih.
Wanita siluman itu langsung melesat cepat
menerobos masuk ke dalam. Gerakannya cepat
luar biasa, sehingga Bayu tidak sempat lagi
berkelit. Tangan ki rinya langsung menyambar
tangan Ki Kabul, dan melemparkannya ke samping. Dan dengan cepat tangan kanannya
mendorong ke depan ke arah dada Pendekar Pulau
Neraka. Bayu pun berusaha menahan dengan
kedua tangannya.
Ledakan keras pun menggelegar begitu kedua
tangan mereka bertemu. Ledakan itu sempat
membuat rumah tua itu bergetar hebat. Bahkan
beberapa kayu berjatuhan. Tubuh Pendekar Pulau
Neraka tersentak ke belakang, dan melayang deras membentur dinding papan hingga
jebol. Sedangkan
bagi Nini Ratih tidak kalah hebatnya. Tubuhnya
kembali terlontar ke luar dan bergulingan di tanah beberapa kali.
"Hup!" Bayu segera bangkit berdiri. Sebentar digerakkan tangannya di depan dada,
kemudian melesat keluar dengan cepat. Namun dia sempat
memberi bisikan halus ke telinga Ki Kabul dengan menggunakan ilmu 'Bisikan Jarak
Jauh'. "Cepat tinggalkan tempat ini!"
Secepat tubuh Pendekar Pulau Neraka melesat
keluar, secepat itu pula Ki Kabul berlari meninggalkan rumahnya. Tapi sempat pula dia
berhenti di ambang pintu, dan berlindung di situ melihat Pendekar Pulau Neraka
sudah berdiri berhadapan dengan Nini Ratih. Sebentar Ki Kabul
memandang sekitarnya, kemudian berbalik dan
berlari melalui pintu belakang. Ternyata laki-laki tua itu bukannya meninggalkan
tempat ini, tapi
malah berputar dan kembali berlindung di balik
tumpukan kayu bakar. Dari tempat itu, ia bisa
melihat dengan jelas dua orang yang saling berdiri tegak berhadapan.
*** "Kau hebat, Bocah Bagus, sehingga mampu
menahan seranganku," kata Nini Ratih memuji.
"Aku pun bisa membunuhmu, Nini Ratih!"
sambut Bayu dingin.
"Hik! Kau terlalu besar kepala, Bocah Bagus."
"Kau hanya punya dua pilihan! Mati, atau
enyah dari sini selamanya!" tegas kata-kata Bayu.
"Ha ha ha...!" Nini Ratih tertawa terbahak-bahak
mendengar ancaman Pendekar Pulau Neraka itu. Sementara itu, murid-murid Padepokan Malapat yang tengah meronda, telah mulai berdatangan setelah mendengar ribut-ribut di
depan rumah Ki Kabul. Tampak Ki Kampar dan Ki
Pancur berlarian menghampiri. Nini Ratih mendengus kesal melihat orang-orang berdatangan
membawa obor dan senjata.
"Huh! Nyamuk-nyamuk bodoh! Bisanya hanya
mengganggu saja!" dengus Nini Ratih kesal.
Setelah berkata demikian, Nini Ratih cepat
melesat pergi. Bayu berusaha mengejar, tapi
bayangan wanita itu sangat cepat menghilang.
Pendekar Pulau Neraka itu mengurungkan niatnya.
"Urusan kita belum selesai, Bocah Bagus!"
terdengar suara Nini Ratih.
Bayu hanya mendengus sambil menghembuskan napasnya dengan kencang. Sementara itu orang-orang Padepokan Malapat
sudah berdatangan. Ki Kabul juga keluar dari
persembunyiannya. Ki Kampar dan Ki Pancur
menghampiri Bayu yang kini sudah didampingi Ki
Kabul. "Apa yang terjadi?" tanya Ki Pancur.
"Hanya keributan kecil," sahut Bayu.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Ki Kampar memandang penuh selidik.
"Namaku Bayu Hanggara, aku seorang pengembara yang kebetulan lewat di sini," sahut Bayu.
"Hm, kau sudah membuat kerusuhan di desa
ini, Anak Muda," kata Ki Kampar dingin. "Kau harus ikut aku."
"Tunggu!" sentak Ki Kabul.
"Tenang, Ki. Ini urusanku,"
kata Bayu menenangkan laki-laki tua itu.
"Tidak! Kau datang untuk menyelamatkan


Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyawaku. Aku yang bertanggung jawab dengan
kerusuhan ini!" tegas kata-kata Ki Kabul.
"Ki Kabul, bisa kau jelaskan?" pinta Ki Pancur bijaksana.
"Anak muda ini telah menyelamatkan nyawaku, Ki. Siang tadi aku tidak sengaja
telah memasuki daerah terlarang di Puncak Bukit Menjangan.
Akibatnya, tadi Nini Ratih datang untuk mencabut nyawaku.
Untung saja pemuda ini telah menyelamatkanku dari cengkeramannya," Ki Kabul mencoba menjelaskan singkat.
"Bisa kupercaya kata-katamu, Ki Kabul?" Ki Kampar tidak percaya begitu saja.
"Aku berani sumpah! Tadi Nini Ratih datang, dan sempat bertarung dengan pemuda
ini!" agak keras suara Ki Kabul.
"Apa pun alasannya, anak muda ini telah
membuat kerusuhan dan mengganggu ketentraman. Dia harus menjelaskan dan mempertanggungjawabkannya," tegas Ki Kampar.
"Ki Kampar! Pemuda ini tidak bersalah! Dan
lagi, keadaan desa ini memang tidak tentram!"
sentak Ki Kabul gusar.
"Ki Kabul!" bentak Ki Kampar mendelik
"Aku memang orang tua yang miskin! Tapi aku dapat melihat kenyataan yang terjadi
di sini, Ki Kampar. Aku tahu, apa yang sedang terjadi dan
kau tidak bisa menutupi. Aku tahu semuanya, Ki
Kampar!" nada suara Ki Kabul terdengar meninggi.
Wajah Ki Kampar merah seketika. Gerahamnya
bergemeletuk menahan berang. Kalau saja Ki
Pancur tidak menggamit tangannya, mungkin laki-
laki tua ini sudah tersambar pukulannya. Sementara Bayu yang sejak tadi diam saja, mulai
merasakan suasana yang makin kisruh dan panas.
Pendekar Pulau Neraka itu maju selangkah.
"Hati panas tidak akan dapat menyelesaikan
persoalan. Sebaiknya kita bicarakan dengan kepala dingin dan menahan emosi,"
kata Bayu tenang.
"Anak muda, kau seorang pendatang! Kau telah membuat kerusuhan di sini. Kuminta
kau tidak mengeruhkan suasana!" bentak Ki Kampar.
"Heh! Ternyata desa ini benar-benar sudah jadi neraka!" dengus Bayu bergumam.
Hatinya jadi gusar dengan sikap Ki Kampar.
"Jaga mulutmu, Anak Muda!" bentak Ki Kampar berang. "Kampar...," Ki Pancur mencoba meredakan amarah adiknya.
"Kau diam saja, Kakang. Bocah setan ini harus diberi pelajaran, biar tahu adat
sopan santun pada orang
tua!" sentak Ki Kampar tidak bisa mengendalikan amarahnya.
Setelah berkata demikian, Ki Kampar segera
melompat sambil mengirimkan sebuah pukulan
keras ke arah dada. Serangan yang mendadak dan
cepat itu, membuat Bayu sedikit terperangah.
Namun dengan satu gerakan mengegos yang
manis, serangan itu bisa dielakkan. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan
kirinya menyodok
cepat. "Hugh!" Ki Kampar mengeluh pendek.
Tubuh laki-laki setengah baya itu agak terbungkuk ketika sodokan tangan kiri Bayu
mendarat telak di perutnya. Belum lagi bisa
menyadari, tangan Bayu sudah mendorong pundaknya sehingga Ki Kampar terdorong beberapa langkah ke belakang. Wajah laki-laki
setengah baya itu kian merah padam. Hatinya
semakin berang dan malu karena berhasil dicundangi seorang pemuda di depan murid-
muridnya. "Kampar! Tahan!" seru Ki Pancur berusaha melerai.
Tapi Ki Kampar sudah tidak bisa lagi menahan
amarahnya. Sambil menggeram dahsyat, kembali
melompat menerjang dengan jurus-jurus pendeknya yang cepat dan dahsyat. Bayu berlompatan menghindari serangan-serangan yang
cepat itu. Tubuhnya meliuk liuk bagai seekor belut.
Sama sekali Ki Kampar tidak memberi kesempatan
terhadap Pendekar Pulau Neraka untuk balas
menyerang. Sementara Ki Pancur tidak bisa lagi mencegah.
Sedangkan Ki Kabul hanya bisa menyaksikan
dengan wajah memerah. Sikap Ki Kampar benar-
benar memuakkan hatinya. Tapi dia tidak bisa
berbuat banyak. Dia tahu siapa Ki Kampar,
seorang ketua padepokan yang memiliki tingkat
kepandaian cukup tinggi.
Pertarungan terus berlangsung sengit. Jurus
demi jurus dilalui dengan cepat. Bahkan Ki
Kampar sudah mencabut senjatanya yang berupa
golok bermata besar. Pada satu sisi terdapat gerigi yang siap mengancam lawan.
Dengan senjata di
tangan, serangan-serangan Ki Kampar semakin
berbahaya. Namun sampai sejauh ini, Bayu masih
bisa menandingi, meskipun sedikit sekali kesempatan untuk balas menyerang.
"Hiya! Yaaah...!"
"Hup! Hup...!"
Bayu melentingkan tubuhnya ke udara ketika
golok Ki Kampar menebas ke arah kakinya.
Kesempatan ini dimanfaatkan Bayu untuk mengambil jarak. Namun begitu kakinya mendarat,
Ki Kampar cepat menyerang dengan menyodokkan
ujung goloknya ke arah perut.
Pada saat itu, Bayu tidak punya kesempatan
lagi untuk menghindar. Tidak ada pilihan lain lagi.
Dengan cepat tangan kanannya menyampok golok
laki-laki setengah baya itu.
Trang! Bunga api berpijar ketika pergelangan tangan
Bayu membentur golok Ki Kampar. Seketika itu
juga Ki Kampar melompat mundur dengan bibir
meringis. Hampir tidak dipercaya kalau seluruh
persendian lengannya bergetar nyeri. Pada saat
yang sama, Bayu juga merasakan panas pada
pergelangan tangannya. Tingkat tenaga dalam
mereka hampir berimbang. Tapi memang, Bayu
tidak mengerahkan sepenuhnya.
"Setan! Kubunuh kau!" geram Ki Kampar begitu melihat goloknya gompal.
Kemarahan yang meluap-luap, tidak membuat
Ki Kampar bisa berpikir lebih tenang. Kembali
diserangnya lawan dengan ganas. Goloknya berkelebatan mengurung tubuh Pendekar Pulau
Neraka. Pertarungan kembali berlangsung semakin
sengit. Dan kelihatannya Ki Kampar benar-benar
ingin menghabisi nyawa lawannya. Sedangkan
Bayu terlihat hanya menghindar dan sesekali
memberi serangan balasan. Hanya saja setiap arah pukulan maupun tendangannya
tidak terarah pada
bagian yang mematikan. Hal itu tentu saja sangat disadari Ki Kampar. Akibatnya
dia bertambah berang. Dia menganggap Bayu hanya main-main
dan ingin mempermalukan dirinya di depan murid-
muridnya. "Mampus kau! Hiyaaa...!"
*** "Uts!"
Bayu merundukkan kepalanya sedikit ketika
golok Ki Kampar menebas ke arah kepalanya.
Tebasannya begitu cepat dan tiba-tiba, disertai
pengerahan tenaga dalam penuh. Bayu merasakan
angin tebasan itu demikian dahsyat, ketika lewat di atas kepalanya. Dengan
cepat, Bayu menarik
kakinya ke belakang. Dengan tubuh setengah
membungkuk miring, dikibas kan tangan kanannya
ke arah golok Ki Kampar yang sudah berada di
udara kembali. Secercah cahaya keperakan melesat cepat dari
pergdangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Maka Cakra Maut pun melesat cepat bagai kilat
Begitu cepatnya, sehingga Ki Kampar tidak sempat menarik kembali goloknya.
Trang! "Akh!" Ki Kampar memekik tertahan.
Laki-laki tua itu tidak bisa lagi mempertahankan goloknya yang kini terpental
cukup jauh. Saat itu juga Ki Kampar menarik dan
memegangi tangannya dengan bibir meringis. Jari-
jari tangannya terasa kaku, dan tulang-tulangnya nyeri.
"Hap!" Bayu mengangkat tangannya ke atas kepala. Cakra Maut pun menempel kembali
di pergelangan tangan. Pendekar Pulau Neraka itu
berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada.
Sementara Ki Kampar mengurut-urut tangan kanannya sendiri. Bibirnya masih meringis menahan nyeri pada persendian tulang tangan
kanannya. Akibat benturan keras dua senjata tadi, tangan kanan Ki Kampar seperti
lumpuh, dan tidak bisa digerakkan lagi.
"Bagaimana Ki Kampar, akan dilanjutkan lagi pertarungan ini?" tantang Bayu.
"Kali ini kau boleh bangga, Anak Muda!" dengus Ki Kampar.
Setelah selesai kata-katanya, Ki Kampar langsung berbalik. Dia menerima goloknya yang
diberikan muridnya. Tanpa berucap lagi, laki-laki setengah baya itu melangkah
pergi. Sementara Ki
Pancur tampak kebingungan.
"Maafkan kekasaran adikku, Kisanak," kata Ki Pancur agak terbata-bata.


Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lupakan saja," sahut Bayu tersenyum. Ki Pancur bergegas menyusul Ki Kampar yang
sudah lebih dahulu pergi. Sedangkan Bayu mengajak Ki
Kabul kembali masuk ke dalam rumahnya. Sementara murid-murid Padepokan Malapat segera
kembali menjalankan tugasnya masing-masing.
Ki Pancur setengah berlari mengejar adiknya.
Disejajarkan langkahnya di samping Ki Kampar.
Mereka melangkah cepat tanpa bicara sedikit pun.
Tapi tiba-tiba Ki Kampar berhenti melangkah, dan langsung berbalik. Matanya
lurus menatap rumah
Ki Kabul yang sudah jauh ditinggalkan.
"Kau keterlaluan, Kampar!" dengus Ki Pancur tidak senang dengan sikap kasar
adiknya tadi. Ki Kampar hanya mendengus dan tersenyum
tipis. "Aku tidak mengerti, kenapa kau jadi brutal dan kasar begitu" Mereka benar. Aku
sendiri sempat melihat Nini Ratih, sebelum melesat pergi. Dan aku yakin, murid-muridmu juga
sempat melihat wanita
itu!" kata Ki Pancur lagi.
"Memang, aku juga sempat melihatnya," sahut Ki Kampar.
"Lantas, kenapa kau berlaku sekasar itu tadi,"
tanya Ki Pancur terkejut mendengar kata-kata
adiknya. "Sengaja."
"Sengaja..."!" Ki Pancur jadi tidak mengerti.
"Ya! Aku memang sengaja memancing kemarah-
annya," tenang sekali jawaban Ki Kampar.
"Kau gila, Kampar!"
"Aku tahu siapa anak muda itu. Dia Pendekar Pulau Neraka yang sangat tersohor!
Aku sengaja memancing kemarahannya agar
bisa menguji kemampuannya dalam ilmu olah kanuragan. Aku
pun tahu kalau dia tadi hanya setengah-setengah
melayaniku."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kampar...?" Ki Pancur makin kebingungan.
"Kakang! Saat ini kita sedang menghadapi
bahaya besar. Tidak mudah untuk melawan Nini
Ratih. Apalagi sampai saat ini kita belum bisa
menemukan batu Mustika Dewi Pelangi. Aku
sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba terlintas satu rencana di kepalaku begitu
melihat Pendekar Pulau Neraka," Ki Kampar mencoba menjelaskan.
Ki Pancur diam saja, tapi berusaha untuk bisa
mengerti. "Aku sering mendengar sepak terjang Pendekar Pulau
Neraka. Pada masa ini, tingkat kepandaiannya belum ada yang menandingi. Dan
saat itulah, kesempatan baik untuk mengujinya.
Sebab, tidak mungkin bertarung tanpa alasan yang pasti,
makanya kucoba untuk memancing kemarahannya, agar bisa bertarung sekaligus
menguji kemampuannya."
"Lantas, apa pendapatmu?" tanya Ki Pancur mulai bisa mengerti.
"Dia memang seorang pendekar digdaya yang
sukar dicari tandingannya," sahut Ki Kampar.
"Hm. Lalu, apa rencanamu?"
"Akan kugiringkan dia untuk melawan Nini
Ratih.," "Kau gila, Kampar!" sentak Ki Pancur terkejut.
"Hanya itu jalan satu-satunya untuk bisa
terlepas dari cengkeraman Nini Ratih, Kakang."
"Tapi, resikonya terlalu besar, Kampar. Nini
Ratih tidak akan mati tanpa batu Mustika Dewi
Pelangi! Sedangkan sampai saat ini tidak ada yang tahu, di mana inti batu
mustika itu. Hanya dengan batu itu dia bisa dikalahkan."
"Aku tahu! Tapi, apa salahnya kalau kita
berusaha" Pendekar Pulau Neraka sangat tangguh.
Aku yakin, dia akan mampu menandingi Nini
Ratih." "Rencanamu sangat berbahaya, Kampar. Itu
sama saja kau mengorbankan Pendekar Pulau
Neraka." "Kita lihat saja nanti, Kakang. Sekarang ini, jangan sampai ada orang tahu
tentang rencana
ini." 'Terserah kau sajalah! Yang jelas, aku tidak
suka terlibat dengan rencana gilamu itu!" sahut Ki Pancur.
"Kau memang selalu tidak mau tahu, Kakang!"
dengus Ki Kampar sengit.
"Selama ini kau yang mengatur Desa Malapat.
Menjadi kepala desa pun juga bukan kemauanku!
Kaulah yang mendesak dan mengaturnya. Segalanya kuserahkan padamu, Kampar. Aku tidak
mau tahu lagi dengan masa depan desa ini. Yang
jelas, kalau rencanamu gagal, akan segera kutinggalkan desa ini!" kata Ki Pancur.
"Huh! Kau selalu mementingkan dirimu sendiri, Kakang "
"Keselamatanku lebih penting, Kampar."
"Kau memang selalu mementingkan keselamatan dirimu sendiri, tapi kau langgar
semua pesan guru. Kalau saja kau tidak melakukan kesalahan, kejadian ini tidak akan
pernah terulang lagi!"
"Aku tidak tahu! Aku tidak mampu membunuh
Nini Ratih!"
"Huh!" Ki Kampar hanya mendengus saja.
Sementara Ki Pancur sudah kembali melangkah
cepat. Dia memang paling tidak suka jika berdebat tentang Nini Ratih. Apalagi
mengungkit-ungkit
masa lalu. Bagaimanapun juga, dia masih mencintai wanita itu. Padahal, sudah jelas Nini
Ratih adalah wanita siluman yang sangat kejam.
Cintanya memang tidak akan pernah luntur
sampai kematian datang menjemputnya nanti.
*** Sementara itu, di Puncak Bukit Menjangan,
Prawata masih tetap terbaring tanpa daya di atas ranjang besar dan indah. Sudah
beberapa hari ini dia menjadi tawanan Nini Ratih tanpa mampu
berbuat apa-apa. Tubuhnya sudah tidak lagi
terlihat tegap. Wajahnya pun pucat tanpa semangat hidup.
Prawata hanya melirik saja ketika Nini Ratih
datang menghampiri. Wanita cantik itu langsung
naik ke atas pembaringan. Dipandanginya lekat-
lekat wajah Prawata yang sudah tanpa gairah lagi.
Nini Ratih menggerak-gerakkan ujung jarinya ke
beberapa bagian tubuh pemuda itu. Sebentar saja, Prawata merasakan tubuhnya
dapat digerakkan
lagi. Tapi dia segera beringsut menjauh.
Pemuda itu berusaha bangkit, tapi tubuhnya
terasa lemah. Dia hanya mampu duduk lesu.
Entah sudah berapa hari ini perutnya tidak terisi makanan. Sedangkan setiap saat
harus melayani keinginan wanita itu. Seluruh daya yang dimilikinya benar-benar terkuras habis. Sudah
beberapa kali Prawata terpaksa melayani dalam
kesadaran penuh. Nini Ratih tidak lagi menggunakan pengaruhnya untuk memenuhi hasratnya terhadap pemuda itu.
"Aku lemas, Nini...," kata Prawata pelan ketika Nini Ratih memeluk dan
menciuminya. "He! Apa kau bilang?" sentak Nini Ratih seraya mencampakkan pemuda itu.
Prawata langsung jatuh terjerembab. Tubuhnya
benar-benar lemas tak bertenaga lagi. Untuk
bangkit saja, sudah tidak punya tenaga, apalagi
harus melayani wanita iblis ini" Prawata sudah
pasrah seandainya harus mati sekarang juga.
"Kau benar-benar mengecewakan, Prawata!
dengus Nini Ratih kesal.
Prawata hanya diam saja.
"Kau harus melayaniku, Prawata. Harus...!"
Nini Ratih tidak peduli dengan keadaan Prawata. Dia menubruk dan memeluknya. Dengan
liar diciumi pemuda itu. Tapi, Prawata benar-benar tidak berdaya lagi.
Menggeliat saja tidak mampu.
Pemuda itu hanya dapat mengerang lirih.
Sedangkan Nini Ratih bagaikan seekor singa
betina lapar yang baru menemukan daging domba.
Tapi mendadak kebuasannya terhenti. Dipandanginya wajah Prawata yang pucat lesu.
Lalu matanya juga merayap ke seluruh tubuh
pemuda itu. Nini Ratih menggerinjang bangkit.
Kembali dikenakan pakaiannya yang sudah terlepas. "Huh! Kau benar-benar tidak ada gunanya lagi, Bocah!" dengus Nini Ratih kecewa.
"Kenapa tidak kau bunuh saja aku?" tantang Prawata putus asa.
"Kau memang harus mati!"
Prawata mengeluh lirih.
"Kau harus mati, Bocah! Sudah ada penggantimu. Lebih tampan, lebih gagah, dan lebih perkasa! Tidak loyo
sepertimu!"
Prawata diam saja. Hatinya terasa perih. Dia
berharap pemuda itu tidak akan bernasib sama
dengan dirinya. Sungguh tersiksa berada dalam
kungkungan wanita ini.
"Saat ini aku memang belum mendapatkannya,
tapi aku pasti akan memilikinya. Dan kau..., kau tidak berguna lagi, Bocah!"
Setelah berkata begitu, Nini Ratih mengibaskan
tangannya dengan cepat. Prawata langsung memejamkan matanya. Pemuda itu tidak bersuara
sedikit pun. Hingga lehernya terpenggal, tetap tidak terdengar suaranya. Darah
mengucur deras dari


Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

leher yang buntung. Nini Ratih mendekati dan
membungkuk. Kemudian dihirupnya darah itu
dengan lahap! Tidak berapa lama, darah di tubuh Prawata
sudah kering terhisap wanita siluman itu. Nini
Ratih tersenyum puas. Wajahnya kelihatan segar
kembali. Sejenak dipandangi kepala Prawata yang
sudah buntung, lalu tawanya meledak terbahak-
bahak. "Ha ha ha...!"
*** 7 Hampir setiap hari penduduk Desa Malapat
menemukan mayat tanpa kepala lagi. Dan kini
mereka tidak saja gempar, tapi benar-benar bagai terguncang gempa. Mayat Prawata
telah ditemukan
tergeletak di tengah-tengah jalan depan rumahnya.
Dan sudah tentu tanpa kepala lagi! Kalau saja
Prawata bukan putra kepala desa, mereka akan
menganggap hal itu adalah kejadian biasa.
Kematian Prawata membuat Ki Pancur terguncang hebat. Putra satu-satunya itu sangat
dicintainya. Ketika kabar tentang kepergian Prawata ke Bukit Menjangan sampai di telinganya, sama sekali tidak dipercayai.
Tapi kematian Prawata, membuatnya seperti gila. Ki Pancur
merasa hidupnya tidak ada gunanya lagi. Semua
harapannya kini sirna.
Ki Pancur bergegas menyiapkan kuda setelah
upacara penguburan Prawata selesai. Tanpa disadari, semua yang dilakukannya selalu diperhatikan adiknya. Ki Kampar menahan pundak
kepala desa itu ketika baru saja akan naik ke
punggung kuda. Ki Pancur menoleh dan berbalik.
"Akan ke mana kau?" tanya Ki Kampar.
"Ke Bukit Menjangan," sahut Ki Pancur datar.
"Mau apa ke sana?" Ki Kampar terkejut.
"Perempuan
itu harus membayar nyawa anakku!" "Gila! Itu sama saja bunuh diri!" sentak Ki Kampar.
"Hidup pun tidak ada gunanya."
"Pikirkan dulu, Kakang! Nini Ratih bukan
manusia! Kau sulit untuk menandinginya. Kau
tidak lagi memiliki kekuatan untuk menghadapinya, dan akan mati sia-sia, Kakang," Ki Kampar berusaha mencegah.
"Jangan menghalangiku, Kampar."
"Sadar, Kakang. Prawata bukan satu-satunya
korban, karena sudah banyak korban sebelumnya.
Jangan makin mengeruhkan suasana yang sudah
keruh ini, Kakang."
"Dengar, Kampar! Prawata itu anakku satu-
satunya, dan aku sangat mencintainya! Aku tidak
rela dia mati dengan cara seperti itu. Aku akan
membalas kematiannya! Harus...!"
"Jangan bodoh, Kakang. Ingat rencana kita
sudah mulai jalan. Jangan membuat kacau semua
yang sudah kita rencanakan,"
Ki Kampar mengingatkan. "Bukan rencana kita, tapi rencanamu!"
"Kakang...."
"Sudahlah,
Kampar. Aku tidak suka lagi mendengar semua nasehatmu. Selama ini aku
memang selalu bersikap mengalah, karena aku
menyayangimu. Itu pun hanya sekedar menjalankan amanat terakhir mendiang Ibu. Rasanya sudah cukup aku menurutimu, Kampar.
Aku sudah lelah jadi bonekamu! Biarkan aku
menentukan jalan hidupku sendiri, Kampar. Jalan
menuju kematianku!"
Ki Kampar terdiam. Selama ini dia memang
selalu mencampuri kehidupan kakaknya. Bahkan
semua yang dilakukan kakaknya dia yang mengatur. Dia tapi justru sama sekali tidak tahu kalau sikap mengalah kakaknya
itu karena amanat
terakhir mendiang ibu.
Ki Kampar tidak bisa lagi mencegah ketika Ki
Pancur naik ke punggung kudanya. Bahkan dia
masih tetap diam walaupun kakaknya itu sudah
menggebah kudanya dengan cepat. Ki Kampar
masih berdiri terpaku memandangi kepergian
kepala desa itu.
"Maafkan aku, Kakang...," desah Ki Kampar lirih.
*** Kuda berwarna coklat kehitaman berlari cepat
bagaikan terbang saja. Debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Kuda itu meringkik keras setiap kali digebah agar berlari lebih cepat lagi. Kecepatan
larinya tidak berkurang, meskipun sudah memasuki hutan di Lereng Bukit
Menjangan. "Hiya...! Hiya...!"
Tiba-tiba kuda coklat kehitaman itu berhenti,
lalu meringkik keras sambil mengangkat kaki
depannya. Kuda itu terus bertingkah laku demikian. Ki Pancur jadi kewalahan juga. Dia
melompat turun sebelum kuda itu melemparkannya. Sulit dimengerti, kenapa tiba-
tiba kuda itu tidak bisa dikendalikan. Merasa
bebannya sudah tidak ada, kuda itu berbalik dan
langsung berlari cepat menuruni lereng bukit itu.
"Hey, kembali...!" teriak Ki Pancur.
Namun kuda coklat kehitaman itu sudah jauh
meninggalkannya. Ki Pancur tidak mengejar. Dia
hanya berdiri memandangi sebentar, lalu membalikkan tubuhnya memandang ke arah Puncak Bukit Menjangan. Hatinya agak heran juga, karena kudanya jadi tak
terkendali begitu sampai di pertengahan lereng bukit ini.
"Hm, naluri kuda lebih kuat dari manusia...,"
gumam Ki Pancur pelan.
Sikap kudanya itu membuat Ki Pancur sadar
kalau ada bahaya sedang mengintainya. Sikapnya
langsung waspada. Dipasang telinganya tajam-
tajam. Matanya beredar ke sekeliling. Keadaan
Lereng Bukit Menjangan ini kelihatan sepi. Bahkan seekor binatang pun tidak
terlihat Suaranya pun
tidak terdengar sama sekali.
"Hm...," lagi-lagi Ki Pancur bergumam pelan.
Keadaan di sekitarnya sungguh mengherankan,
tapi membuatnya lebih waspada. Pelahan-Iahan
kakinya terayun melangkah. Bola matanya tidak
pernah berkedip mengamati sekelilingnya. Laki-laki setengah baya itu terus
melangkah semakin jauh
memasuki hutan di Lereng Bukit Menjangan itu.
"Keadaannya sama seperti tiga puluh tahun
yang lalu...," lagi-lagi Ki Pancur bergumam. "Aku harus cepat sampai!"
Seketika itu juga dia melesat cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh. Gerakannya sangat ringan, berkelebat dari pohon
yang satu ke pohon lainnya. Begitu cepatnya,
sehingga yang terlihat hanya bayangannya saja.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ki
Pancur memang hebat, sehingga dalam waktu
tidak berapa lama saja telah tiba di Puncak Bukit Menjangan. Laki-laki setengah
baya itu tertegun
sesaat di puncak bukit itu. Hatinya sedikit
terkesiap menyaksikan pemandangan di depannya.
Sungguh suatu pemandangan yang mengerikan.
Kepala-kepala manusia terpancang berbaris
pada tonggak kayu. Di tengah-tengah barisan
kepala itu terlihat pecahan batu yang memancarkan cahaya kemilau indah bagai pelangi.
Namun cahayanya kelihatan agak redup. Ki Pancur
memandangi batu-batu itu. Dia tahu kalau batu-
batu itu pecahan dari batu Mustika Dewi Pelangi.
Matanya semakin ditajamkam, mencari inti batu
Mustika Dewi Pelangi.
"Hhh...! Inti batu Mustika Dewi Pelangi benar-benar hilang. Hm..., batu-batu
pecahannya itu mulai meredup cahayanya. Tapi aku tidak yakin
kalau Nini Ratih berkurang kekuatannya," gumam Ki Pancur lagi.
Laki-laki setengah baya itu kembali mengedarkan pandangannya. Hatinya kembali terkesiap saat melihat kepala Prawata terpancang di antara kepala-kepala
lainnya. Tapi Ki Pancur
bertahan untuk tidak gegabah. Meskipun hatinya
menjerit, dia berusaha tabah dan tegar. Dia tahu kalau
daerah

Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di sekitar kepala-kepala yang terpancang itu sangat berbahaya. Tidak sembarang orang bisa memasukinya tanpa
seijin Nini Ratih.
Kepala-kepala itu merupakan penjaga yang sangat
berbahaya dan dapat membunuh siapa saja yang
coba-coba melewatinya.
Ki Pancur melangkah mundur tiga tindak ketika
kepala-kepala itu mulai bergerak-gerak. Semakin
lama gerakannya semakin terlihat jelas. Kepala itu bergoyang-goyang, menggeleng
ke kanan dan ke
kiri. Semakin lama, tonggak-tonggak kayu yang
memancangnya ikut bergoyang. Kayu-kayu itu
bagaikan sebuah per baja bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti gerakan kepala
yang terpancang
pada ujungnya itu.
"Hugh!" Ki Pancur mengeluh begitu hidungnya mencium bau busuk yang memualkan.
"Hi hi hi...!" tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik.
"Ha...!" Ki Pancur kembali melompat mundur beberapa langkah.
Laki-laki setengah baya itu terbeliak saat
melihat seorang wanita cantik tahu-tahu sudah
berdiri di atas pecahan batu bercahaya bagai
pelangi itu. Sementara kepala-kepala yang terpancang itu terus bergoyang-goyang.
"Akhirnya kau datang juga, Kakang Pancur...,"
lembut suara wanita cantik itu.
"Aku datang untuk membunuhmu, Nini Ratih!"
kata Ki Pancur lantang.
"Ha ha ha...!" Nini Ratih tertawa terbahak-bahak.
Begitu suaranya hilang dari pendengaran, mendadak saja tubuhnya melesat cepat bagaikan
kilat. Dalam sekejap mata saja, dia sudah berdiri tidak jauh di depan Ki Pancur.
Hal ini membuat Ki Pancur terperangah. Jantungnya seperti akan
copot. Sungguh tidak disadari kalau Nini Ratih bisa
melesat begitu cepat dan sulit diikuti pandangan matanya.
"Lama kita tidak bertemu, Kakang Pancur.
Rasanya aku sudah rindu padamu," kata Nini
Ratih lembut. "Simpan saja kerinduanmu, Nini Ratih! Bukan waktunya lagi kita melepas rindu.
Aku datang untuk membunuhmu!" suara Ki Pancur masih
terdengar ketus.
"O...! Rupanya kau ingin mengulangi peristiwa tiga puluh tahun lalu...?"
"Lebih dari itu!"
"Sungguh menyesal sekali! Kau datang hanya
mengantarkan nyawa saja, Kakang. Tapi itu lebih
bagus. Artinya, kita bisa lebih cepat bersatu dalam cinta," kata Nini Ratih.
"Jangan berharap terlalu muluk, Nini! Aku
bukan Pancur yang dulu. Pancur yang kau cintai
dan mencintaimu telah mati!"
"Hm...!" Nini Ratih mengerutkan keningnya.
"Sekarang akulah Pancur yang akan membunuhmu. Pancur yang menjadi lawanmu!"
Setelah berkata demikian, Ki Pancur cepat
mencabut senjatanya, berupa pedang panjang
berwarna putih kemerah-merahan. Melihat senjata
di tangan laki-laki setengah baya itu, Nini Ratih hanya tersenyum. Dan Ki Pancur
memang sadar betul kalau bukan tandingan Nini Ratih lagi. Tapi semuanya sudah dipikirkan
masak-masak. Dia
harus membalas kematian anaknya, dengan pengorbanan nyawanya sendiri!
"Hup! Hiyaaa...!"
Ki pancur berteriak keras sambil melompat
menerjang. "Uts!"
*** Nini Ratih memiringkan tubuhnya sedikit ke
kiri, menghindari sodokan pedang Ki Pancur. Dan
pada saat yang sama, tangan kanannya mendorong
ke depan. Ki Pancur segera menarik kembali
pedangnya pulang sambil menggeser kakinya ke
kiri. Dan dengan cepat diputar pedangnya membabat tangan wanita cantik itu.
"Ikh!" Nini Ratih memekik tertahan.
Buru-buru tangannya ditarik kembali, sehingga
tebasan pedang Ki Pancur mengenai angin. Wanita
cantik itu cepat melentingkan tubuh ke atas
sebelum Ki Pancur dapat menarik kembali pedangnya. Pada saat itu, Nini Ratih melontarkan satu tendangan keras ke arah
kepala. "Hap! Yaaa...!"
Cepat sekali Ki Pancur mendoyongkan tubuhnya ke belakang sambil membabatkan pedangnya ke atas. Tentu saja Nini Ratih jadi
terkesiap. Buru-buru diputar tubuhnya. Segera
tubuhnya itu meluruk ke bawah setelah pedang
laki-laki setengah baya itu lewat.
Begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat
Nini Ratih melontarkan pukulan keras ke arah
dada lawannya. Ki Pancur yang tubuhnya masih
dalam keadaan doyong ke belakang, tidak mungkin
lagi berkelit. Dengan telak pukulan Nini Ratih
bersarang di dadanya.
"Akh!" Ki Pancur memekik tertahan.
Tubuh laki-laki setengah baya itu terpental ke
belakang, dan dengan keras membentur pohon.
Namun dia segera melompat dan menyerang ganas
kembali. Meskipun dadanya terasa sesak, Ki
Pancur tidak pe duli, dan terus menyerang semakin dahsyat.
Sementara Nini Ratih berkelit dan berlompatan menghindar sambil balas menyerang.
Jurus demi jurus terlampaui dengan cepat.
Tidak terasa, Ki Pancur sudah menghabiskan
hampir semua jurus yang dimilikinya. Namun
sampai sejauh itu, Nini Ratih masih mampu
bertahan, bahkan terlalu alot untuk dikalahkan. Ki Pancur
mulai ciut hatinya. Apalagi setelah mengerahkan jurus terakhir, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Pada saat itu, Nini Ratih
sudah mendesaknya dengan pukulan dan tendangan keras yang dahsyat.
Ki Pancur hanya bisa berkelit dan berlompatan
menghindar. Sesekali masih bisa dikibaskan pedangnya. Tapi itu pun hanya untuk mengambil
napas saja. Tidak terhitung lagi, berapa pukulan dan tendangan telah bersarang
di tubuh kepala
desa itu. Namun kelihatannya dia masih berusaha
bertahan sekuat tenaga.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Nini Ratih berteriak keras.
Seketika itu juga tubuhnya melompat tinggi ke
udara, lalu dengan cepat meluruk ke bawah
dengan jari-jari tangan mengembang kaku. Ki
Pancur terkesiap sesaat Namun sebelum bisa
berbuat sesuatu, jari-jari tangan Nini Ratih sudah mencengkeram kepalanya.
"Aaa....!" Ki Pancur menjerit keras.
Kepalanya terasa panas luar biasa, disusul oleh
suara tulang-tulang pecah yang bergemeletak. Nini Ratih berada tepat di atas
kepala Ki Pancur.
Tangannya mencengkeram kuat kepala laki-laki
setengah baya itu. Darah mulai merembes membanjiri tubuh laki-laki malang itu.
"Yahhh...!"
Sambil berteriak keras, Nini Ratih memutar
tubuhnya, sedangkan kakinya terayun mendupak
keras punggung Ki Pancur.
"Aaa....!" kembali Ki Pancur menjerit keras menyayat.
Jeritannya pun lenyap bersama dengan lehernya yang putus. Tubuh kepala desa itu
ambruk ke tanah dan menggelepar-gelepar.
Sedangkan kepalanya berada di dalam cengkeraman tangan Nini Ratih.
Hanya sebentar tubuh Ki Pancur menggelepar,
kemudian diam tidak bergerak lagi. Darah terus
mengucur deras dari lehernya yang buntung.
Sesaat Nini Ratih tertawa terbahak-bahak memandangi tubuh tanpa kepala itu.
Tak ada yang menyaksikan kejadian itu. Seperti
biasanya, Nini Ratih selalu menghirup darah
korbannya, dan memancangkan kepalanya pada
tonggak kayu. Kemudian dilemparkan tubuh korbannya ke arah Desa Malapat. Begitu pula yang dilakukannya terhadap Ki
Pancur. Wanita cantik
haus darah itu kembali tertawa terbahak-bahak
setelah darah laki-laki setengah baya itu berpindah ke dalam tubuhnya.
"Hup!"
Hanya dengan satu tendangan saja, tubuh Ki
Pancur yang sudah tidak berkepala itu melayang
tinggi ke angkasa. Nini Ratih memandanginya
sambil tertawa mengikik. Tangan kirinya masih
mencengkeram kepala Ki Pancur. Kemudian wanita
itu berbalik dan memancangkan kepala laki-laki
setengah baya itu pada sebuah tonggak kayu di
samping kepala Prawata.
"Hm...," Nini Ratih bergumam pelan.
Sebentar dipandangi kepala korbannya yang baru,
kemudian kakinya terayun pelan. Namun baru
beberapa langkah, dia berhenti dan berbalik
memandangi kepala yang


Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpancang hampir
memenuhi puncak bukit ini. Bibirnya menyunggingkan senyum, dan kembali melangkah
menuruni Lereng Bukit Menjangan itu.
*** 8 Saat itu di Kaki Bukit Menjangan, Pendekar
Pulau Neraka duduk-duduk bersama Ki Kabul
sambil membicarakan keadaan Desa Malapat yang
semakin tidak menentu. Bukan hanya kekejaman
Nini Ratih. Tapi juga, perlakuan Ki Kampar
membuat Pendekar Pulau Neraka
jadi tidak mengerti. Sikapnya seolah-olah berpihak pada Nini Ratih.
Saat itu matahari belum lagi naik tinggi.
Sinarnya yang lembut hangat menyemburat dari
balik awan. Bayu bangkit dari duduknya. Sebentar dia menggeliat-geliat, mencoba
menghilangkan rasa pegal dan kejenuhan. Sejak semalam dia duduk di
sini bersama Ki Kabul, laki-laki tua yang telah
diselamatkan nyawanya dari cengkeraman maut
Nini Ratih. Sebentar pandangan Bayu terarah ke
Puncak Bukit Menjangan, kemudian beralih pada
Ki Kabul yang masih duduk bersandar pada pohon
tumbang. "Ke mana tujuanmu sekarang, Ki?" tanya Bayu.
"Entahlah," desah Ki Kabul pelan. "Sekarang ini aku tidak mungkin kembali ke
rumah. Nini Ratih
pasti mengincarku terus."
"Bukankah anak dan istrimu di kota?"
"Sudah lama aku tidak pernah berkunjung
sana." "Untuk sementara, sebaiknya kau pergi saja
sana, Ki."
"Justru itu yang kuhindari."
"Kenapa?"
"Nini Ratih pasti tahu, dan ini dapat mencelakakan keluargaku. Perempuan siluman itu
pasti akan membantai seluruh keluargaku."
Bayu jadi terdiam. Tidak mungkin mengawasi
laki-laki tua ini terus. Sedangkan dia harus ke
Puncak Bukit Menjangan untuk menumpas perempuan siluman itu. Seluruh penduduk Desa
Malapat jelas akan musnah jika perempuan
siluman itu masih hidup dan bebas berkeliaran.
Bayu menarik napas panjang Kepalanya berpaling ketika telinganya
mendengar derap langkah kaki kuda dari arah kaki bukit. Tampak
debu mengepul di udara, menyembul ke luar dari
lebatnya pepohonan. Pendekar Pulau Neraka itu
melesat ke atas, dan hinggap pada dahan pohon
yang tinggi. Matanya langsung diarahkan pada
suara kaki kuda itu.
"Hm...," gumam Bayu pelan.
Dalam kepulan debu, terlihat beberapa orang
berkuda mendaki Bukit Menjangan ini. Tampak
paling depan, Ki Kampar memacu cepat kudanya.
Sekitar dua puluh orang mengikutinya dari belakang. Bayu bergegas melompat turun, dan
mendarat ringan di depan Ki Kabul yang sudah
berdiri memandanginya.
"Ada apa?" tanya Ki Kabul
"Ki Kampar dan orang-orangnya tengah menuju ke sini," sahut Bayu menjelaskan.
"Celaka! Dia pasti akan menangkapmu, Bayu,"
kata Ki Kabul kontan pucat wajahnya.
"Tenang saja, Ki. Biar kutunggu mereka di sini,"
kata Bayu tenang.
"Tapi...."
Belum sempat Ki Kabul melanjutkan kata-
katanya, dari balik pepohonan muncul Ki Kampar
dan dua puluh orang muridnya. Laki-laki setengah baya itu segera melompat turun
dari punggung kudanya. Dua puluh orang muridnya pun ikut
melompat turun dari kudanya masing-masing.
Ki Kampar melangkah maju beberapa tindak,
dan berhenti di depan Pendekar Pulau Neraka
dengan jarak sekitar lima langkah. Sedangkan
Bayu menanti dengan sikap tenang. Tangannya
melipat di depan dada. Namun tatapan matanya
tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki
setengah baya itu.
"Kelihatannya kau siap menyabung nyawa, Ki
Kampar," kata Bayu kalem. Matanya tetap menatap tajam tidak berkedip.
"Benar," sahut Ki Kampar tegas.
"Dengan orang-orangmu?"
"Ya! Mereka sudah siap bertempur sampai tetes darah yang penghabisan."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?"
Ki Kampar tersenyum dan menggeleng- gelengkan kepalanya. Nada suara Bayu terdengar
menantang. Tapi begitu melihat Ki Kampar yang
tidak lagi garang dan bahkan tersenyum, Bayu jadi mengerutkan keningnya juga.
Benar-benar sukar
dimengerti sikap laki-laki setengah baya itu. Ki Kampar melangkah menghampiri Ki
Kabul yang berdiri agak ke belakang sedikit di samping Bayu.
Dengan bibir masih menyunggingkan senyum,
tangan kiri Ki Kampar menepuk pundak laki-laki
tua itu seraya menyodorkan tangan kanannya.
Sikap Ketua Padepokan Malapat itu, membuat Ki
Kabul keheranan. Dengan hati masih diliputi
perasaan heran dan tidak mengerti, Ki Kabul
menerima juga sodoran tangan itu. Mereka berjabatan tangan. Namun raut wajah Ki Kabul
masih diliputi perasaan tidak mengerti. Sedangkan Ki Kampar menepuk-nepuk
pundaknya beberapa
kali dengan bibir tetap tersungging senyuman.
"Maafkan atas kekasaranku kemarin malam,"
kata Ki Kampar bernada menyesal.
"Ada apa ini?" Ki Kabul keheranan setengah mati.
Ki Kampar tidak menjawab, tapi malah berbalik
dan langsung melompat ke punggung kudanya.
Dua puluh orang muridnya juga segera naik ke
kudanya masing-masing.
"Sebaiknya kau tinggalkan saja desa ini, Anak Muda. Jangan membuang nyawa sia-
sia di sini,"
saran Ki Kampar kepada Bayu.
Setelah berkata demikian, Ki Kampar menggebah kudanya dengan cepat. Dua puluh
orang muridnya juga segera menggebah kudanya
mengikuti. Sementara Bayu masih memandangi
dengan kepala dipenuhi berbagai macam pertanyaan akan sikap aneh Ki Kampar itu.
Keningnya semakin berkerut, karena Ki Kampar
dan murid-muridnya terus mendaki Bukit Menjangan. "Cepat kembali ke desa, Ki. Beri tahu semua orang agar cepat mencari
perlindungan. Kalau
perlu segera tinggalkan desa itu!" seru Bayu keras.
Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat ke
arah perginya Ki Kampar dan murid-muridnya.
Sedangkan Ki Kabul terpaku tidak mengerti. Tapi
begitu menyadari kalau orang-orang itu menuju ke Puncak Bukit Menjangan, dia
langsung berlari
sekuat tenaga menuju Desa Malapat
*** Bayu berlari cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh. Sengaja dilewati Ki Kampar
dan dua puluh orang muridnya tanpa diketahui
mereka. Pendekar Pulau Neraka itu terus berlari
menuju ke Puncak Bukit Menjangan. Ilmu meringankan tubuhnya memang telah mencapai
taraf kesempurnaan. Sehingga, dalam waktu tidak
berapa lama, dia sudah tiba di Puncak Bukit
Menjangan. "Oh..!"
Bayu tersentak kaget begitu menyaksikan pemandangan yang mengiris hati.
Bayu tidak bisa percaya dengan penglihatannya
sendiri. Hampir seluruh Puncak Bukit Menjangan
dipenuhi kepala manusia yang terpancang tonggak
kayu. Bau busuk menyebar memenuhi seluruh
udara di puncak bukit ini. Sebagian besar kepala itu sudah rusak membusuk,
menyebarkan bau
yang tidak sedap dan memualkan perut.
"Benar-benar iblis...!" desis Bayu menggeram.
Pendekar Pulau Neraka itu mengepalkan tangannya kuat-kuat begitu melihat kepala Prawata dan ayahnya yang terpancang berdampingan. Perhatiannya kemudian tertumpah
pada pecahan-pecahan batu yang memancarkan
cahaya bagai pelangi. Tapi cahayanya sudah
kelihatan memudar. Bayu meraba sabuk yang
membelit pinggangnya. Pecahan batu itu hampir
sama dengan batu yang berada di dalam sabuknya.
Hanya saja batu yang ada padanya tidak memudar
cahayanya, bahkan ukurannya juga lebih kecil.
"Eh!"
mendadak Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget.
"Ups!"
Secepat kilat Bayu melentingkan tubuhnya ke
udara ketika secercah cahaya melesat cepat ke
arahnya. Cahaya merah Jingga itu meluruk di
bawah tubuhnya. Pendekar Pulau Neraka itu
menjejak manis di tanah. Tapi belum sempat


Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menarik napas, sebuah bayangan berkelebat cepat
menyambarnya. "Akh!" Bayu memekik terkejut.
Bayangan itu demikian cepat, sehingga dia
tidak bisa lagi menghindar. Tubuhnya terpental
beberapa tombak ke belakang. Sebatang pohon tua
yang besar hancur berkeping-keping, terhantam
punggungnya. Bayu bergegas melompat bangkit
berdiri. Matanya agak menyipit melihat seorang
wanita cantik sudah berdiri di depannya. Bayu
memang pernah bertemu dengannya di rumah Ki
Kabul. Wanita itu jelas Nini Ratih, yang sering juga disebut Wanita Siluman.
"Aku tahu, kau memiliki inti batu Mustika Dewi Pelangi," kata Nini Ratih, dingin
nada suaranya. "Dari mana kau tahu?" tanya Bayu agak heran juga.
"Aku telah merasakan ketika bentrok pertama kali denganmu."
Bayu mengerti, kemudian dikeluarkan batu
yang ada di balik sabuknya. Digenggamnya erat-
erat batu itu dengan tangan kanannya. Namun
cahayanya masih terpancar terang dari sela-sela
jari tangan. Nini Ratih terbeliak matanya melihat batu kehidupan dan
kemastiannya berada di
tangan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Berikan benda itu padaku, Anak Muda. Kau
akan bebas pergi ke mana saja yang kau suka,"
kata Nini Ratih.
"Sayang sekali, aku tidak bisa percaya begitu saja dengan kata-katamu," dingin
suara Bayu. "Aku berjanji! Kau bebas pergi ke mana saja, dan aku tidak akan mengganggumu
selamanya,"
janji Nini Ratih.
"Ambillah kalau kau bisa."
Merah padam wajah Nini Ratih. Kata-kata yang
tenang dan bernada tantangan itu membuatnya
berang. Tanpa berkata apa-apa lagi, wanita siluman itu langsung melompat menyerang. Bayu
berkelit melompat ke samping. Namun sungguh di
luar dugaan, tangan Nini Ratih dapat berputar, dan menyodok iganya.
"Ugh...!" Bayu mengeluh tertahan.
Tubuh Pendekar Pulau Neraka itu terdorong
beberapa langkah ke belakang. Dan pada saat Nini Ratih kembali menyerang,
Bayu sudah siap menyambut serangan itu. Dengan cepat diangkat
tangan kirinya ke depan seraya mengerahkan ilmu
'Pukulan Tapak Beracun'. Satu benturan keras
terjadi. Tak ampun lagi, kedua orang itu terpental ke belakang sambil memekik
keras. Namun Bayu mampu menguasai keseimbangan
tubuhnya. Sementara Nini Ratih terjungkal bergulingan beberapa kali di tanah. Wanita siluman itu bergegas bangkit dan kembali melompat menyerang. Pada saat yang sama, Bayu
memiringkan tubuhnya ke kiri setengah membungkuk. Kakinya pun ditekuk hampir menyentuh tanah. Dan begitu tubuh Nini Ratih
berada di udara, secepat kilat Bayu mengibaskan
tangan kanannya.
Secercah cahaya keperakan melesat cepat dari
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
itu. Cahaya kilat senjata Cakra Maut, langsung
memapak serangan Nini Ratih. Wanita siluman itu
terperangah sesaat. Dia berusaha berkelit, namun senjata Cakra Maut mengikuti
gerakan tubuhnya,
dan langsung menghajar dada wanita itu.
"Akh!" Nini Ratih memekik tertahan. Tubuh wanita itu kontan terjungkal keras ke
tanah. Pada saat itu, Bayu melompat cepat sambil berteriak
keras. Sebelum Nini Ratih sempat bangkit berdiri.
Pendekar Pulau Neraka itu menghantamkan tangannya yang menggenggam inti batu Mustika
Dewi Pelangi, tepat ke ubun-ubun kepala Nini
Ratih. "Aaa...!" Nini Ratih menjerit melengking tinggi.
Bayu segera melompat mundur. Dari ubun-ubun
wanita itu memancarkan cahaya menyilaukan
bagai pelangi. Nini Ratih menggelepar di tanah
sambil mengerang dan meraung-raung bagai binatang buas terluka. Bayu kembali melangkah
mundur, dan menyentakkan tangan kanannya.
Cakra Maut yang masih tertanam di dada wanita
itu, melesat keluar dan kembali menempel di
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Hampir tidak dapat dipercaya, tubuh Nini Ratih
berangsur-angsur menyusut Kulitnya yang mulus
mulai berkeriput, wajahnya pun jadi mengendor.
Wanita siluman itu merintih menggeliat-geliat di tanah. Pada saat yang sama,
pecahan-pecahan
batu Mustika Dewi Pelangi bergerak-gerak, lalu
merayap mendekati wanita siluman itu.
"Akh" Tidaaak...!" jerit Nini Ratih melengking.
Bayu sempat menolehkan kepalanya ketika
melihat Ki Kampar berlari-lari menghampiri. Di
belakang laki-laki setengah baya itu menyusul dua puluh orang muridnya. Mereka
berlari sekuat tenaga mendaki Puncak Bukit Menjangan ini.
Keadaan puncak bukit ini memang tidak bisa
dilalui kuda, sehingga mereka terpaksa meninggalkan tunggangannya itu.
Sementara itu Nini Ratih terus meraung dan
menjerit-jerit meregang nyawa. Pecahan-pecahan
batu Mustika Dewi Pelangi mulai memancarkan
cahaya terang menyilaukan. Batu-batu itu terus
bergerak mendekati tubuh Nini Ratih yang telah
berubah jadi seorang nenek-nenek tua keriput!
Rambutnya pun memutih semuanya!
*** "Hhh...!" Ki Kampar menarik napas panjang.
Bayu menolehkan kepalanya ke arah laki-laki
setengah baya Ketua Padepokan Malapat itu.
Mereka sama-sama menyaksikan tubuh Nini Ratih
terbungkus cahaya kemilau bagai pelangi. Tubuhnya pun menyusut kecil terbungkus pecahan-pecahan batu Mustika Dewi Pelangi.
Hingga pada akhirnya, seluruh tubuh wanita
siluman itu terbungkus bongkahan batu yang
memancarkan cahaya menyilaukan.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan seluruh warga Desa Malapat," ucap Ki Kampar sambil menyodorkan tangannya.
Bayu hanya tersenyum saja. Disambutnya
uluran tangan itu dengan hangat.
"Maaf, jika waktu itu aku bertindak kasar
padamu." "Ah! Lupakan saja."
'Tapi kau harus tahu, hal itu kulakukan bukan
karena membencimu atau untuk melindungi Nini
Ratih. Itu semata-mata untuk memancingmu agar
mau menghadapi wanita siluman itu."
"Aku tahu," desah Bayu sambil tersenyum meskipun hatinya agak kaget juga.
"Oh, ya. Aku harus segera membawa jasad Nini Ratih ke laut, dan menceburkannya
di sana. Dia akan mati jika terkena air laut yang merupakan
pantangan besar bagi bangsa siluman darat."
"Silakan," kata Bayu.
Ki Kampar memerintahkan murid-muridnya
untuk membungkus batu bercahaya kemilau itu
yang berisi jasad Nini Ratih. Dua puluh orang
murid Padepokan Malapat itu segera melaksanakan perintah tanpa banyak tanya lagi.
Batu itu dibungkus dengan selembar kain tebal
yang kuat, dan diikat kuat-kuat. Setelah siap, batu itu dinaikkan ke atas
punggung kuda dan diikat
dengan tambang.
Bayu memperhatikan semua yang dilakukan
dua puluh orang itu dengan seksama. Pandangannya kemudian beralih pada kepala-
kepala yang terpancang di tonggak kayu. Ki
Kampar juga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hatinya merasa trenyuh menyaksikan
begitu banyak korban yang jatuh akibat kekejaman wanita siluman itu. Ki Kampar
menelan ludahnya!
begitu melihat kepala Prawata dan Ki Pancur
terpancang tonggak secara berdampingan.
"Bagaimana dengan mereka?" tanya Bayu.
Tangannya menunjuk ke arah kepala-kepala yang
terpancang. "Murid-muridku akan mengurusnya! Oh ya,
aku harus cepat-cepat membawa batu itu ke laut
sebelum matahari terbenam," sahut Ki Kampar.
"Hm...," Bayu hanya menggumam tidak jelas.
Entah bagaimana dan kapan mulainya, tahu-
tahu tubuh Pendekar Pulau Neraka itu sudah
melesat cepat bagai kilat. Ki Kampar sendiri
terkejut begitu menyadari kalau pemuda tampan
berbaju kulit harimau, sudah tidak berada lagi di sampingnya. Laki-laki setengah
baya itu segera
memerintahkan murid-muridnya untuk menguburkan kepala-kepala yang terpancang itu.
Dia sendiri kemudian membawa pergi batu Mustika Dewi Pelangi yang sudah mengurung Nini
Ratih. Mereka yang ditugaskan Ki Kampar mengurusi kepala-kepala yang terpancang, diliputi perasaan getir. Bagaimana
tidak" Mereka harus
mengumpulkan kepala-kepala buntung

Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menguburkannya....
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Serial Pendekar Pulau Neraka
yang telah terbit:
1. GEGER RIMBA PERSILATAN
2. PEMBALASAN RATU SIHIR
3. LAMBANG KEMATIAN
4. CINTA BERLUMUR DARAH
5. PENGANTIN DEWA RIMBA
6. PENDEKAR KEMBAR
7. MUSTIKA DEWI PELANGI
Tunggu tanggal terbitnya,
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: PESANGGRAHAN GOA LARANGAN
JAGO DARI SEBERANG
MENEMBUS LORONG MAUT
CINTAMEDIA penerbit buku silat bermutu
Rahasia Kunci Wasiat 10 Pendekar Bayangan Sukma 12 Undangan Berdarah Harimau Mendekam Naga Sembunyi 1
^