Pencarian

Mustika Dewi Pelangi 1

Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi Bagian 1


MUSTIKA DEW I PELANGI
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor oleh Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode 010 :
Mustika Dewi Pelangi
128 hal : 12 x 18 cm
1 Gumpalan awan tipis berarak di langit nan biru.
Siang ini angin berhembus agak kencang. Gumpalan awan yang berarak itu semakin lama
semakin menebal. Dan melayang-layang semakin
rendah menuju sebuah bukit yang menjulang bagai
hendak menggapai langit. Gumpalan awan itu kian
bertambah tebal, lalu berhenti pada saat mencapai puncak bukit.
Pelahan-lahan gumpalan awan yang kian tebal
itu bergerak turun, dan menyelimuti seluruh
puncak bukit dengan pepohonan lebat yang sedap
dipandang mata. Puncak bukit yang semula
tampak hijau subur, kini tampak putih oleh awan
yang menyelimuti bagai salju. Secercah kilat
menyambar keluar dari gumpalan awan.
Sambaran kilat yang hanya sekejap itu membuyarkan awan yang menyelimuti puncak
bukit. Pelahan-lahan awan itu menyingkir, tersapu angin
yang berhembus keras sambil mempermainkan dedaunan. Tampak secercah cahaya terang kemilau menyemburat saat gumpalan awan lenyap. Cahaya itu berasal dari
sebuah batu besar berwana bening, dan dihiasi
oleh sapuan warna-warni yang bergerak-gerak
membiaskan cahaya bagai pelangi.
Seorang pencari kayu yang kebetulan berada d
puncak bukit itu, hanya mampu terpaku akan
keajaiban yang terjadi di depan matanya. Matanya tidak berkedip menatap
sebongkah batu yang
berpijar terang bagai pelangi itu. Semakin lama
cahayanya semakin menyilaukan mata. Laki-laki
pencari kayu itu semakin terpana.
Glarrr...! Satu ledakan keras terdengar, disusul dengan
hancurnya bongkahan batu yang berpijar menyilaukan mata itu. Kilauan warna-warna masih
menyelimutinya,
kemudian pelahan-lahan memudar. Seorang gadis cantik mengenakan baju
indah bagai bidadari, tiba-tiba saja telah berdiri tegak di atas pecahan batu
berkilau itu. "Oh...!" laki-laki tua pencari kayu itu tersentak.
Belum sempat disadari apa yang telah disaksikan barusan, mendadak gadis cantik itu
melompat menerkamnya. Kuku-kuku jari tangannya yang panjang, langsung mencengkeram
leher laki-lakj tua pencari kayu itu.
"Aaakh...! Toloong...!" jerit laki-laki tua itu ketakutan.
Wanita cantik yang kelihatan lembut itu,
semakin, kuat mencengkeram lehernya. Darah
mulai merembes ke luar dari kulit leher yang
koyak. Terdengar tulang patah. Tak lama kemudian, laki-laki tua pencari kayu itu terkulai.
Tubuhnya ambruk ke tanah, tapi kepalanya masih
dicengkeram wanita cantik itu. Kepala laki-laki tua itu telah terpisah dari
leher. "Hi hi hi...!" wanita itu tertawa mengikik.
Bagaikan seorang musafir yang tersesat dan
kehausan di tengah padang pasir luas, dihirupnya darah dari leher tanpa kepala
itu, sampai pada
tetes-tetes terakhir. Wanita itu bangkit berdiri, sambil memandangi kepala yang
berada dalam cengkeramannya. Sebentar kepalanya menoleh ke
kanan dan ke kiri, lalu kakinya melangkah
mendekati seikat kayu-kayu kering.
Diambilnya sepotong kayu kering, dan ditancap-
kannya ke tanah. Kepala laki-laki tua pencari kayu itu ditusukkan pada ujung
kayu yang menancap di
tanah. Sejenak wanita itu memandangi dengan
bibir tersenyum lebar, bagai memandang sebuah
patung indah mempesonakan.
"Hi hi hi...! Kau menjadi lambang keperkasaanku, lambang kekuasaanku! Hi hi hi...!
Akan kuhiasai istana ini dengan kepala-kepala
manusia! Kepala-kepala mereka yang telah menghinaku, mencaciku, dan membuangku dalam
kesengsaraan! Dengar! Dengar hai manusia! Aku
datang untuk menguasai dunia...!"
Tak berapa lama, secercah kilat berkelebat di
angkasa. Wanita cantik itu mendongakkan kepalanya. Wajahnya langsung berubah kaku,
sedangkan sinar matanya merah membara. Gerahamnya bergemeletuk.
"Ha ha ha...!" kemudian dia tertawa terbahak bahak.
Tak ada yang menyaksikan semua kejadian itu.
Satu-satunya orang yang melihat telah tewas
dengan kepala terpancang pada tongkat kayu.
Sedangkan tubuhnya menggeletak di tanah. Ujung
jari wanita cantik itu kemudian menuding tubuh
yang tergolek tanpa kepala. Seberkas cahaya
merah memancar dari jari telunjuknya, dan
melesat ke arah tubuh yang terbujur tanpa kepala.
Tubuh tanpa kepala itu langsung terpental jauh
ke bawah bukit begitu sinar merah menerpanya.
Kembali wanita itu tertawa terbahak-bahak.
Tawanya begitu keras, sehingga menggetarkan
seluruh puncak bukit. Sebentar kemudian ditatapnya kembali kepala yang terpancang di
tonggak kayu. "Kau jaga istanaku ini! Hanya kau satu-satunya prajuritku
sekarang. Tapi jangan khawatir, sebentar lagi kau akan mempunyai teman. Hi hi
hi...!" Setelah berkata demikian, wanita cantik yang
muncul dari sebongkah batu berpijar, segera
melesat Begitu cepatnya ia melesat sehingga dalam sekejap mata saja bayangan
tubuhnya sudah tidak
terlihat lagi. Puncak bukit itu kembali sunyi seperti tidak pernah terjadi apa-
apa. Hanya sebuah kepala terpancang pada tonggak kayu yang menjadi saksi
mati. *** Desa Malapat tidak berapa jauh dari kaki Bukit
Menjangan. Desa yang tenang dan tenteram.
Letaknya agak terpencil dan jarang didatangi
pendatang atau pengembara. Hampir semua penduduknya hidup dari hasil berburu di sekitar
hutan Bukit Menjangan. Sedikit yang berladang.
Kalaupun ada, itu hanya dilakukan di sekitar
tepian hutan saja.
Suasana pagi Desa Malapat yang biasanya
tenang dan damai, pecah oleh teriakan melengking seorang perempuan. Teriakan itu
datang dari sebuah tempat dekat ladang yang ditanami pohon
jagung. Para penduduk desa yang mendengarnya,
berdatangan ke arah teriakan itu. Tampak seorang perempuan setengah tua
menjerit-jerit sambil
menutup mukanya. Tidak jauh di depannya
tergeletak sesosok mayat tanpa kepala. Sebagian
tubuhnya terbenam ke dalam parit.
Ki Pancur, Kepala Desa Malapat, menyeruak di
antara kerumunan warga
desanya. Wajahnya
mendadak pucat melihat sosok mayat tanpa kepala
itu. Sebentar dia jongkok memeriksa, kemudian
bangkit lagi. Matanya merayapi penduduk yang
mengerumuninya,
kemudian memerintahkan memindahkan mayat itu. Ki Pancur berdiri dengan
pandangan kosong ke arah Puncak Bukit Menjangan. "Ayah...."
Ki Pancur menoleh. Dihirupnya napas dalam-
dalam ketika melihat seorang anak muda berusia
sekitar dua puluh tahun sudah berada di

Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampingnya. Sementara para penduduk mulai
meninggalkan tempat itu, dan membawa mayat
tanpa kepala yang baru saja ditemukan
"Mengapa Ayah memandang ke sana?" tanya pemuda itu.
"Tidak apa-apa, Prawata," sahut Ki Pancur.
"Boleh aku bertanya?" tanya Prawata.
Ki Pancur mengangguk seraya menepuk pundak anaknya. Kaki mereka mulai melangkah
beriringan mengikuti para penduduk yang kembali
ke desa membawa mayat tanpa kepala itu.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Apakah kejadian ini ada hubungannya dengan cahaya terang di atas bukit itu,
Ayah?" tanya Prawata.
Ki Pancur tidak segera menjawab. Mereka
memang melihat cahaya terang menyilaukan bagai
pelangi, terpancar dari Puncak Bukit Menjangan.
Saat itu dia dan anaknya tengah duduk-duduk di
beranda depan yang menghadap langsung ke Bukit
Menjangan. Ki Pancur tidak tahu, apakah ada
orang lain yang juga melihat sinar itu.
"Semalam seorang pemburu bercerita kalau dia melihat kepala terpancang di puncak
bukit...," kata Prawata lagi.
"Pemburu"! Siapa namanya?" tanya Ki Pancur agak terkejut.
"Paman Kabit."
"Jangan percaya omongannya, Prawata. Manusia seperti dia tidak bisa dipercaya! Suka
membohongi orang dan tukang dongeng!" kata Ki Pancur.
"Tapi ini lain, Ayah. Paman Kabit kelihatannya serius. Dia juga melihat sinar
itu waktu berburu, dan
bergegas menghampirinya.
Tapi yang ditemukannya di situ hanya sebuah kepala manusia terpancang di tonggak kayu. Katanya lagi, dia menemukan butiran-butiran
batu bercahaya bagai permata. Paman Kabit membawanya sebutir
dan diperlihatkan kepada orang-orang. Aku sendiri melihatnya, Ayah," kata
Prawata serius.
"Hhh! Mengapa dia tidak menceritakannya
padaku?" "Aku sudah menyuruhnya, tapi Paman Kabit
enggan. Katanya Ayah pasti tidak percaya. Kini
Paman Kabit bermaksud ke kota dan akan menjual
batu permata itu. Mungkin sekarang dia sudah
berangkat," kata Prawata lagi.
Ki Pancur langsung menghentikan langkahnya.
Dipandangi anaknya dalam-dalam.
"Siapa lagi yang melihat batu itu?" tanya Ki Pancur.
"Banyak! Ki Wanara juga ada waktu itu.
Pokoknya, yang semalam ada di kedai Ki Wanara
pasti melihatnya," sahut Prawata.
Ki Pancur tidak berkata lagi. Bergegas dia
melangkah cepat melewati orang-orang di depannya yang berjalan menuju desa. Prawata
juga bergegas berjalan cepat setengah berlari
mengejar ayahnya. Pemuda itu mengajak beberapa
temannya yang juga masih muda.
"Ada apa sebenarnya, Ayah?" tanya Prawata setelah langkahnya sejajar dengan
langkah Ki Pancur. "Cepat kau siapkan kuda! Beritahu pamanmu
agar menyiapkan murid-muridnya!" perintah Ki Pancur tegas.
"Untuk apa?" tanya Prawata tidak mengerti.
"Laksanakan saja perintahku!" bentak Ki Pancur.
Prawata tidak bertanya lagi, lalu bergegas
berlari mendahului yang lainnya diikuti empat
orang temannya. Ki Pancur sempat memberi pesan
kepada para penduduk agar cepat-cepat mengurus
mayat itu, dan jangan meninggalkan rumah
sebelum dia kembali. Seluruh penduduk desa itu
bertanya-tanya, tapi Ki Pancur tidak sempat
menjelaskan lagi. Dia segera berlari cepat menuju rumahnya. Sementara, Prawata
sendiri telah lebih dahulu tiba dan langsung menyiapkan kuda.
*** Ki Pancur memacu cepat kudanya bagai dikejar
setan. Sepanjang jalan yang dilalui, tidak terlihat satu penduduk pun. Mereka
semua sangat patuh
terhadap perintah kepala desanya. Begitu selesai menguburkan mayat yang
ditemukan tanpa kepala
lagi, semuanya langsung masuk ke dalam rumah
masing-masing. Bah kan kedai-kedai pun tutup.
"Hiya! Hiya...!"
Ki Pancur terus memacu kudanya meninggalkan Desa Malapat Debu mengepul tinggi
ke angkasa, diterjang kaki-kaki kudanya. Jalan
yang dilaluinya semakin menyempit dan penuh
dengan lubang-lubang. Ki Pancur harus berhati-
hati mengendalikan kudanya agar tidak terperosok ke dalam kubangan. Namun
demikian, dia tidak
mengendurkan lari kudanya sedikit pun.
Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu
terus memacu cepat kudanya meskipun telah
memasuki jalan setapak yang sukar dilalui kuda.
Ki Pancur memang tidak melalui jalan utama yang
langsung menuju ke kota, tapi sengaja memotong
jalan agar lebih cepat sampai.
"Hooop...!"
Ki Pancur menghentikan lari kudanya setelah
sampai di jalan besar kembali. Sebentar diamari
keadaan di kiri dan kanan sepanjang jalan itu.
Seorang pun tidak terlihat di jalan ini. Laki-laki tua berbaju putih ketat
dengan ikat kepala warna
kuning gading itu melompat turun dari punggung
kudanya. Dia jongkok di samping kudanya, memeriksa tanah sekitarnya.
"Hm. Belum ada yang lewat sini," gumam Ki Pancur pelan.
Ki Pancur kembali naik ke punggung kudanya,
kemudian menggebah kudanya pelahan-lahan menyusuri jalan yang cukup besar dan berdebu.
Matanya terus memandang keadaan sekeliling
tanpa berkedip. Kuda putih belang coklat itu terus melangkah pelan-pelan dengan
kepala terangguk-angguk.
Kembali Ki Pancur menghentikan kudanya,
sebab tidak jauh di depan terlihat seorang laki-laki muda. Rambutnya panjang
tergerai, duduk di atas
sebatang pohon tumbang di pinggir jalan. Pemuda
yang memakai baju kulit harimau itu menolehkan
kepalanya. Ki Pancur turun dari punggung kudanya, lalu melangkah menghampiri sambil
menuntun kudanya.
"Boleh bertanya, Kisanak?" sapa Ki Pancur ramah.
"Oh, silakan," sahut pemuda itu, juga ramah.
"Apa Kisanak melihat ada orang lewat di jalan ini?" tanya Ki Pancur.
"Rasanya tidak ada yang lewat. Sejak pagi buta aku duduk di sini," sahut pemuda
itu. "Terima kasih," ucap Ki Pancur.
Kepala Desa Malapat itu kembali naik ke pung-
gung kuda, lalu memacunya cepat. Pemuda
berambut gondrong memakai baju kulit harimau
itu memandangi dengan mata agak menyipit. Lalu,
tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat bagaikan
kilat menuju arah kepergian Ki Pancur.
Saat itu Ki Pancur terus
memacu cepat kudanya menyusuri jalan yang cukup besar dan
berdebu. Dia tahu betul kalau jalan itu menuju
desanya kembali. Dia berharap pemburu yang
dikatakan oleh Prawata belum melewati jalan ini.
"Hooop...!"
Kembali Ki Pancur menghentikan lari kudanya.
Keningnya agak berkerut melihat kulit kulit
binatang dan sobekan-sobekan kain berserakan di
depannya. Laki-laki tua itu segera melompat turun dari
punggung kudanya. Gerakannya begitu ringan, pertanda memiliki kepandaian yang cukup
tinggi. Pelahan-lahan kakinya melangkah menghampiri barang-barang yang berserakan di
tengah jalan itu. Sebentar dia membungkuk
memeriksa, lalu berdiri tegak. Matanya tajam
memandang sekitarnya.
"Tolooong...."
Ki Pancur tersentak mendengar suara rintihan
lirih dari arah samping kanannya. Begitu kepalanya berpaling, tampak semak belukar di
pinggir jalan bergoyang-goyang.
Kepala Desa Malapat itu langsung melompat ke arah semak-
semak yang bergoyang. Jantungnya serasa akan
copot melihat Kabit terluka parah terbujur di
dalam semak belukar. Bergegas dibantunya laki-
laki berewokan itu berdiri dan dibawanya keluar
dari semak belukar.
"Oh..., Ki...," rintih Kabit lirih.
Ki Pancur membaringkannya di pinggir jalan
yang berumput agak tebal. Kemudian dia memeriksa luka-luka di tubuh dan wajah laki-laki pemburu itu. Terdengar tarikan
napasnya yang panjang. Ki Pancur merasa lega karena Kabit
hanya luka-luka luar saja. Hampir seluruh tubuhnya memar dan banyak goresan yang mengeluarkan darah.
"Apa yang terjadi, Kabit?" tanya Ki Pancur.
"Mereka..., mereka merampokku, Ki," jawab Kabit agak tersendat.
"Mereka siapa?" tanya Ki Pancur lagi.
"Aku tidak tahu, Ki. Mereka banyak sekali."
"Apa yang dirampok?" tanya Ki Pancur lagi Kabit
tidak segera menjawab. Matanya merayapi barang-barangnya yang berserakan di
tengah jalan. Dia berusaha bangkit. Ki Pancur
membantunya. Mereka mengumpulkan barang-


Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barang yang berserakan. Kebanyakan memang
hanya kulit binatang dan perlengkapan berburu,
serta perlengkapan untuk bermalam di alam bebas.
Kabit agak heran juga, karena semua barang-
barangnya tidak ada yang hilang satu pun.
"Ada yang hilang?" tanya Ki Pancur lagi.
'Tidak...," sahut Kabit ragu-ragu.
"Katakan yang benar, Kabit."
"Sungguh, Ki. Mereka menghadang jalanku,
dan langsung menyerangku. Banyak sekali jumlahnya. Mereka pergi begitu saja dan aku
dilemparkan ke dalam semak-semak itu," kata Kabit sungguh-sungguh.
Kabit memeriksa kantung yang terikat di
pinggangnya. Wajahnya pucat seketika. Ki Pancur
memperhatikan perubahan wajah laki-laki berewokan itu. "Ada apa?"
"Batuitu, Ki. Mereka mengambil batu itu...!"
sahut Kabit "Batu apa?"
"Batu permata, Ki. Aku menemukannya di
Puncak Bukit Menjangan, kemarin. Batu itu
memancarkan cahaya terang, dan sangat indah.
Aku bermaksud menjualnya ke kota. Aduh! Celaka...! Mereka pasti mengambil batu permataku, Ki. Perampok sial! Keparat..!" Kabit memaki-maki sendiri.
Ki Pancur jadi bingung. Masalahnya, Kabit
hanya kehilangan sebuah batu saja. Tapi begitu
menyesali. Yang membuat Ki Pancur berpikir, batu itu ditemukan di atas Puncak
Bukit Menjangan. Ini berarti cerita Prawata bisa dipercaya. Ki Pancur menarik
napas panjang, kemudian menghampiri
kudanya. "Ki...!" Kabit menghampiri.
Ki Pancur menatapnya kosong.
"Bagaimana ini, Ki" Batu itu pasti permata yang mahal harganya. Akan
kusumbangkan hasil batu
itu sebagian untuk desa, kalau bisa kembali lagi, Ki," rengek Kabit
"Kau akan terus ke kota?" tanya Ki Pancur tidak menghiraukan
rengekan Kabit Kabit tidak menjawab. "Kemasi barang-barangmu! Kita kembali saja ke desa. .Luka-lukamu harus dirawat
dulu biar sembuh," kata Ki Pancur seraya kembali turun dari punggung kudanya.
Ki Pancur membantu Kabit mengemasi barang-
barangnya, dan menarahnya di punggung kudanya. Kuda dan kereta yang dibawa Kabit
entah pergi kemana. Mungkin juga dibawa perampok, atau lari ketakutan.Kedua laki-laki itu kemudian berjalan menuju
kembali ke Desa Malapat. Ki Pancur berjalan pelahan-lahan di belakang
Kabit yang menuntun kuda. Laki-laki tua itu terus berpikir keras tentang
peristiwa yang terjadi hari ini. Peristiwa
mengerikan yang berawal dari munculnya cahaya terang di Puncak Bukit Menjangan. Mereka terus berjalan tanpa menyadari sepasang mata tengah,
memperhatikan sejak tadi.
*** 2 Hampir setiap hari, penduduk Desa Malapat
selalu digegerkan oleh mayat tanpa kepala. Tidak semua mayat bisa dikenali. Yang
jelas, banyak penduduk yang kehilangan sanak saudaranya.
Kejadian ini membuat Ki Pancur semakin diliputi
kegelisahan. Bahkan hampir setiap malam tidak
bisa tidur tenang. Mimpi-mimpi buruk selalu
menghantuinya. Siang itu udara di sekitar Desa Malapat terasa
lebih panas dari biasanya. Sebagian besar penduduk terpaksa bertahan di dalam rumah.
Mereka tidak berani keluar rumah kalau tidak
punya keperluan mendesak. Hanya beberapa orang
laki-laki saja yang masih terlihat berada di luar rumah. Dan mereka rata-rata
membawa senjata
tajam. Dari arah Selatan terlihat debu mengepul ke
udara, disusul terdengarnya derap kaki kuda
dipacu. Tidak lama kemudian muncul seekor kuda
hitam pekat yang berlari agak kencang memasuki
desa yang tengah dilanda ketakutan itu. Penunggang kuda itu adalah seorang wanita muda
yang cantik. Pakaiannya berwarna hijau ketat
dengan ikat kepala juga berwarna hijau.
"Wanita itu memperlambat lari kudanya, dan
berhenti ketika sampai di depan kedai. Kakinya
melompat ringan. Mata yang indah, bulat bening,
dan agak menyipit, mendapati pintu kedai tertutup rapat. Dia melangkah
menghampiri laki-laki tua
yang tengah duduk bersandar di samping kedai itu.
"Maaf, kedai ini tidak buka," kata laki-laki tua itu.
"Kenapa?" tanya wanita cantik itu sopan.
"Tidak ada yang datang."
"Kalau begitu, aku pengunjung pertamamu."
Laki-laki tua yang ternyata pemilik kedai itu
dan bernama Ki Wanara memandang lekat-lekat
wanita di depannya. Kemudian pandangan matanya merayapi sekelilingnya. Tampak beberapa
orang memperhatikan dari jarak yang cukup jauh.
Ki Wanara kembali mengalihkan pandangannya
pada wanita itu.
Ki Wanara bangkit berdiri, kemudian melangkah masuk ke dalam kedainya. Wanita itu
mengikuti dari belakang. Sebentar dirayapi keadaan kedai yang sepi dan hampir berdebu.
Wanita itu duduk di kursi dekat pintu. Matanya
masih merayapi keadaan kedai.
"Aku tidak punya apa-apa," kata Ki Wanara.
Wanita itu hanya mengangkat bahunya. Ki
Wanara duduk tidak jauh dari wanita itu.
"Sebenarnya aku datang ke sini bukan untuk
makan, Pak Tua," kata wanita itu.
"Lalu?" tanya Ki Wanara agak keheranan.
"Aku mencari seseorang yang mungkin kau ke-
nal." "Desa ini terkenal aman dan tentram. Bahkan pencuri ayam saja tidak berani
datang ke sini.
Tapi..., yah! Belakangan, di sini memang tengah
dilanda musibah."
"Jangan salah duga, Pak Tua. Aku bukan
mencari pencuri, rampok, atau pelarian. Orang itu hanya
membawa sedikit milikku yang tidak berharga bagi orang lain. Aku tidak tahu, apakah disengaja atau tidak Yang
jelas, aku merasa
terganggu sekali dengan perbuatannya."
"Boleh aku tahu, siapa yang kau cari?"
"Aku tidak tahu namanya. Tapi pengawalku
mengatakan bahwa dia seorang pemburu."
"Hm..., sebagian besar penduduk desa ini memang pemburu. Tidak mudah mencarinya.
Dan lagi banyak pemburu dari desa lain, bahkan ada juga
yang datang dari kota. Daerah ini memang sangat
baik untuk berburu. Lebih-lebih di...," Ki Wanara tidak melanjutkan.
"Di Bukit Menjangan, maksud Pak Tua?" tebak wanita itu.
"Ya. Hutan di Bukit Menjangan memang banyak hewan buruan. Ng.... Kau datang dari
mana" Dan siapa namamu?"
"Aku datang dari tempat yang sangat jauh, Pak Tua. Orang-orang biasa memanggilku
Nini Ratih,"
wanita cantik itu memperkenalkan diri.
"Lantas, apa yang diambil orang itu darimu?"
"Sulit untuk dikatakan, Pak Tua. Lagi pula, hanya aku yang mengerti tentang
benda itu," sahut Nini Ratih.
"Aneh...!" gumam Ki Wanara sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Apanya yang aneh, Pak Tua?"
"Kau mencari seseorang yang mengambil benda milikmu, tapi kau tidak bersedia
mengatakan apa yang diambilnya. Kalau orang itu juga tidak tahu, mana mungkin mengambilnya?"
"Dia hanya menyangka benda itu berharga.
Padahal tidak sama sekali. Benda itu hanya
berharga untuk diriku sendiri."
"Maksudmu..., benda pusaka?"
"Bukan. Tapi itu menyangkut kelangsungan
hidupku." Ki Wanara kembali menggeleng-gelengkan
kepala. Sama sekali sulit dimengerti semua kata-
kata yang diucapkan wanita cantik itu. Ki Wanara berdiri, dan melangkah, menuju
meja panjang yang di belakangnya terdapat lemari besar dengan
beberapa guci dan peralatan kedainya. Ki Wanara
mengambil sebuah guci arak dan dua buah gelas
perunggu. Dia kembali menghampiri wanita itu dan duduk di depannya. Arak di
dalam guci dituangkan ke dalam dua gelas perunggu.
"Silakan," ucap Ki Wanara.
"Terima kasih," sahut wanita itu.
*** Malam kian menyelimuti Desa Malapat. Bulan
bersinar penuh dan bintang-bintang bertaburan,
menambah indahnya pemandangan di angkasa.
Namun semua keindahan dan sejuknya udara
malam tidak bisa dinikmati penduduk desa itu.
Hanya beberapa orang laki-laki bersenjata saja
yang masih terlihat berada di luar rumah.
Mereka adalah murid-murid sebuah padepokan
yang dipimpin oleh Ki Kampar, adik kandung Ki
Pancur, Kepala Desa Malapat ini. Mereka memang
sengaja ditugaskan untuk menjaga keamanan
desa, terutama sekitar rumah kepala desa.
Malam itu Ki Pancur kedatangan tamu, yang
diterimanya dengan ramah di ruangan depan
rumahnya. Di situ, juga ada Prawata dan Ki
Kampar. Tamu yang datang malam itu tidak lain
dari Ki Wanara, pemilik kedai yang terletak di
ujung jalan. "Maaf, kalau kedatanganku mengganggu," kata Ki Wanara setelah duduk di kursi


Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi meja bundar. "Tidak apa," sahut Ki Pancur ramah. "Ada keperluan apa?"
"Begini, Ki. Siang tadi aku kedatangan tamu seorang wanita yang sangat cantik.
Dia bicara aneh,"
tutur Ki Wanara langsung pada pokok persoalannya. "Aneh..."!" Ki Pancur memandang Ki Wanara sebentar, lalu beralih pada adiknya
yang duduk di samping kanan laki-laki tua pemilik kedai itu.
"Benar, Ki. Katanya, dia akan mencari orang yang telah mengambil benda
miliknya," kata Ki Wanara lagi.
"Benda apa?" tanya Ki Kampar menyelak.
"Dia tidak menjelaskannya. Katanya benda itu tidak berharga untuk orang lain,
tapi sangat berharga bagi kehidupannya," sahut Ki Wanara.
Kembali Ki Pancur dan Ki Kampar saling
berpandangan. Sementara Prawata hanya diam
saja dengan kening sedikit berkerut. Keadaan desa yang tidak menentu ini membuat
Prawata sibuk bertanya-tanya dalam hati. Dan kedatangan Ki
Wanara kian membuat hatinya diliputi rasa
penasaran. "Siapa yang dia cari, Ki?" tanya Prawata meme-cah kebisuan.
"Itulah persoalannya! Dia sendiri tidak tahu orangnya. Tapi katanya, yang
mengambil benda itu adalah seorang pemburu," sahut Ki Wanara.
Prawata langsung menatap tajam pada ayahnya.
"Siapa nama wanita itu?" tanya Prawata lagi.
"Nini Ratih."
Kembali Prawata menatap ayahnya. Sedangkan
Ki Pancur hanya tertunduk. Wajahnya langsung
berubah pucat begitu mendengar nama yang
disebutkan Ki Wanara tadi. Dan bukan hanya
Prawata yang menatap laki-laki setengah baya
kepala desa itu, Ki Kampar pun menatap tajam
padanya. Sedangkan Ki Wanara jadi tidak mengerti dengan sikap ketiga orang itu.
"Ada apa" Apakah aku salah?" tanya Ki Wanara merasa tidak enak hatinya.
"Oh, tidak. Tidak ada yang salah, Ki," kata Ki Kampar buru-buru.
"Ki Wanara...," agak tercekat suara Ki Pancur.
Melihat raut wajah dan tatapan mata kepala
desa itu, Ki Wanara bergegas beranjak berdiri.
Setelah membungkukkan badan memberi hormat,
laki-laki tua pemilik kedai itu meninggalkan
ruangan depan rumah yang besar itu. Ki Pancur
hanya memandang dengan tatapan mata kosong.
"Aku akan mengantarnya pulang," kata Prawata seraya beranjak bangkit
"Jangan!" sentak Ki Kampar. "Biar muridku saja yang mengantarnya."
Prawata kembali duduk, sedangkan Ki Kampar
beranjak bangkit dan melangkah ke luar. Dihampiri dua orang pemuda yang tengah duduk-
duduk di tangga beranda. Sebelum kedua pemuda
yang di pinggangnya terselip golok itu pergi, Ki Kampar
sudah kembali masuk ke dalam. Dihenyakkan tubuhnya di kursi dekat pintu.
"Sudah jelas sekarang, siapa yang melakukan semua pembunuhan keji Ini," kata Ki
Kampar setengah mendesah.
"Aku tidak menduga hal ini akan terjadi begitu cepat," kata Ki Pancur.
"Prawata."
"Ya, Paman," sahut Prawata seraya menoleh.
"Keluarlah sebentar."
"Paman...!" Prawata akan menolak.
"Keluarlah, Prawata," tegas Ki Pancur pelan.
"Kenapa aku harus keluar!" Apakah ini rahasia?" Prawata menolak tegas. "Aku bukan anak ingusan lagi. Aku berhak tahu
apa yang terjadi di sini!"
"Prawata...."
"Apa sebenarnya yang terjadi di sini?" Prawata tidak mempedulikan peringatan
ayahnya. Ki Pancur menatap adiknya yang juga tengah
memandang ke arahnya. Kemudian mereka sama-
sama mengalihkan pandangannya ke arah pemuda
itu. "Nanti kau akan kuberitahu. Sekarang, keluarlah dulu," bujuk Ki Kampar bernada lembut.
"Baik! Tapi Paman harus janji!" tegas Prawata.
"Baik, aku janji."
Prawata bangkit berdiri, lalu melangkah keluar.
"Kenapa harus kau rahasiakan kepadanya?"
tegur Ki Pancur.
"Sudahlah! Jangan berdebat soal itu, Kakang.
Belum saatnya Prawata tahu," jawab Ki Kampar.
'Tapi dia sudah dewasa! Sudah mampu melihat
semua yang terjadi di sini. Sikapmu membuatnya
semakin penasaran ingin lebih tahu lagi."
"Mengapa kau tidak manahannya tadi" Kau
juga menyuruhnya keluar, kan?" Ki Kampar tidak suka disalahkan.
"Itu karena kau yang mulai!"
Ki Kampar menggeleng-gelengkan
kepala. Meskipun Ki Pancur seorang kepala desa, sekaligus kakak kandungnya, tapi tidak
pernah bersikap
sebagai seorang kakak. Sejak mereka masih muda
dulu, Ki Pancur selalu mengalah dan tidak ingin
membantah adiknya. Apa saja yang dikatakan
adiknya, selalu dituruti. Meskipun bertentangan
dengan kehendak hatinya.
Sewaktu menjadi kepala desa, sebenarnya juga
bukan keinginannya. Tapi Ki Kamparlah yang
mengajukan dan mendukungnya secara penuh.
Apalagi memang seluruh penduduk Desa Malapat
ini menyukainya, sehingga tidak ada hambatan
baginya untuk menjadi kepala desa, menggantikan
kepala desa yang lama.
"Baiklah, akan kupanggil kembali anakmu,"
kata Ki Kampar mengalah.
"Percuma!" dengus Ki Pancur.
Ki Kampar mengangkat bahunya.
"Apa yang akan kau bicarakan?" tanya Ki Pancur
langsung mengalihkan pada pokok persoalan. "Kemunculan Nini Ratih!" jawab Ki Kampar mantap.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi," pelan suara Ki Pancur.
"Kau harus menemui dan mengusirnya dari
sini!" tegas kata-kata Ki Kampar.
"Tidak mungkin!" bantah Ki Pancur.
"Kenapa tidak" Kau yang dulu mengalahkannya, lalu mengasingkannya selama
berpuluh-puluh tahun."
"Jangan bodoh, Kampar! Aku memang yang
mengalahkannya, tapi batu Mustika Dewi Pelangi
tidak ada lagi padaku! Mana mungkin aku bisa
menandinginya"!"
"Lho, ke mana?" Ki Kampar terkejut.
"Itulah kesalahanku, Kampar. Jasadnya memang telah kubungkus dengan batu Mustika
Dewi Pelangi, dan kulemparkan ke atas awan.
Memang sudah kuduga, suatu saat mustika itu
akan kembali lagi ke bumi. Tapi aku tidak
menyangka akan secepat ini! Apalagi Nini Ratih
masih hidup," suara Ki Pancur bernada mengeluh.
"Aku tidak menyangka kau akan melakukan
itu, Kakang! Seharusnya batu itu kau tanamkan di kepalanya, lalu buang mayatnya
ke laut. Pasti dia akan mati dan tidak akan pernah kembali lagi. Kau sudah tahu
itu, kenapa tidak kau kerjakan"
Bahkan malah melakukan yang lain!" Ki Kampar menyesali.
Ki Pancur tidak menjawab. Kepalanya tertunduk menekun permukaan meja. Dia memang
tahu kalau Nini Ratih baru dapat mati kalau
kepalanya tertanam batu Mustika Dewi Pelangi,
dan tubuhnya dibuang ke dasar laut. Semua ilmu
dan kehidupannya akan musnah. Ki Pancur
menyesali semua tindakan bodohnya, tapi rasanya
sudah terlambat. Kesalahan yang dibuatnya jelas
bisa menimbulkan akibat yang sangat fatal!
"Sekarang dia tengah mencari benda itu. Jelas, kalau jiwa dan seluruh
kehidupannya sudah
menyatu dalam batu mustika itu. Hhh...! Tidak
bisa kubayangkan, apa jadinya dunia ini kalau
Mustika Dewi Pelangi sampai dikuasainya! Tidak
ada seorang pun yang mampu menandinginya.
Dunia akan hancur...!" keluh Ki Kampar.
"Dia masih punya sebagian besar, Kampar,"
pelan suara Ki Pancur.
"Apa maksudmu, Kakang?" Ki Kampar tidak mengerti.
"Batu itu hancur, dan yang hilang hanya
sebutir dari kekuatannya," sahut Ki Pancur.
"Hancur..."! Sebutir..."! Aku tidak mengerti maksudmu."
"Mustika Dewi Pelangi tidak lagi sebesar kuku jari, tapi lebih besar dari kepala
orang dewasa. Batu itu akan hancur bila kembali menyentuh
bumi. Hal itu bisa terjadi karena penyatuan jiwa yang terjadi puluhan tahun."
"Edan! Itu berarti kekuatan Nini Ratih berlipat ganda!"
"Lebih dari itu, Kampar. Dia tidak akan mati, kecuali kembali terbungkus Mustika
Dewi Pelangi. Dan hal itu tidak mudah dilakukan. Aku yakin,
yang dicarinya adalah inti dari Mustika Dewi
Pelangi, sumber dari segala kekuatan dan kehidupannya yang baru. Dia tidak akan berdaya
tanpa benda itu, tapi kekuata silumannya...." Ki Pancur tidak meneruskan.
"Kenapa?"
"Semakin banyak mendapatkan darah manusia
semakin besar kekuatan silumannya, yang akhirnya dia akan menjelma menjadi manusia
siluman seutuhnya," lanjut Ki Pancur.
"Ya, Tuhan... akan jadi apa dunia ini?" keluh Ki Kampar.
"Dia juga akan membangun istana dari kepala setiap korban, dan di situlah sumber
kekuatan silumannya. Tidak bisa kubayangkan, bagaimana
jadinya dunia ini jika dia berhasil membangun
istananya dan menguasai inti Mustika Dewi
Pelangi. Saat itu seluruh dunia akan dikuasainya.
Aku yakin, tidak akan ada seorang pun yang
mampu menghalanginya. Tidak ada satu senjata
pusaka pun yang dapat membunuhnya. Dia tidak
akan dapat mati, dan terus hidup sampai dunia
kiamat" "Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, Kakang...," lirih suara Ki Kampar.
Saat itu juga seluruh tubuh Ki Kampar terasa
lemas, bagai tidak memiliki tulang. Saat ini pun dia tidak mungkin dapat
menandingi wanita yang
sebenarnya adalah siluman itu. Apalagi kalau
sampai tercapai semua yang dikatakan Ki Pancur.
Dunia akan selalu dilanda bencana yang tiada
akhir. Ki Kampar masih belum bisa mengerti akan
kebodohan kakaknya. Padahal Ki Pancur sudah
tahu sejak semula, tapi kenapa masih juga


Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan kesalahan" Bahkan sepertinya memang
disengaja! Ada apa sebenarnya?"
*** Sementara itu, Ki Wanara sudah berada di
depan rumahnya. Dua orang murid Ki Kampar
masih mendampinginya. Ki Wanara berhenti dan
memandangi dua orang yang mengantarkannya.
'Terima kasih, sampai di sini saja," kata Ki Wanara.
"Sebaiknya Ki Wanara masuk dulu," usul salah seorang.
"Kalian sudah begitu baik padaku. Sampaikan salamku pada gurumu'" kata Ki Wanara
mencoba tersenyum.
"Akan kami sampaikan, Ki."
Ki Wanara menepuk pundak pemuda itu, kemu-
dian kakinya terayun melangkah. Kedua pemuda
itu baru meninggalkan tempat itu setelah Ki
Wanara masuk ke rumahnya. Cahaya pelita dari
minyak jarak menerangi ruangan depan rumah
laki-laki tua itu.
"Dari mana, Pak Tua?"
"Oh!" Ki Wanara tersentak kaget.
Wajah laki-laki tua itu langsung pucat pasi.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang wanita cantik yang siang tadi datang ke kedainya.
Ki Wanara berusaha bersikap wajar, tapi tidak bisa menahan deburan
jantungnya. "Semula aku ingin menganggapmu sebagai se-
orang yang patut dipercaya dan dapat membantuku. Tapi harapanku sia-sia saja...," kata wanita
itu lembut, namun bernada penuh ancaman. "Nini Ratih..., aku..!Aku...," Ki Wanara jadi tergagap.
Wanita yang ternyata memang Nini Ratih itu
hanya tersenyum saja. Begitu manis senyumnya.
Langkahnya pun demikian gemulai mendekati Ki
Wanara. Laki-laki tua itu semakin pucat wajahnya, sedangkan tubuhnya gemetar
hebat. "Kenapa wajahmu pucat, Pak Tua?" masih tetap lembut suara Nini Ratih.
"Oh, tid..., tidak apa-apa," jawab Ki Wanara gugup.
"Apa yang kau katakan pada kepala desa itu?"
tanya Nini Ratih. Nada suaranya mulai terdengar
dingin. "Aku..., aku hanya ngobrol," sahut Ki Wanara.
"Jangan mendustaiku. Pak Tua."
"Sss... sung..., sungguh! Aku tidak bohong! Aku hanya bertamu dan ngobrol!"
"Apa yang kau katakan pada Ki Pancur?" makin dingin nada suara Nini Ratih.
Ki Wanara tidak bisa lagi menjawab. Tubuhnya
semakin keras bergetar. Keringat dingin mengucur deras membasahi wajahnya.
Sedangkan Nini Ratih
sudah demikian dekat di depannya. Wajah wanita
itu terlihat kaku, dan matanya memancarkan sinar kekejaman. Bibirnya yang tipis
dan merah terkatup rapat.
"Sayang sekali, kau harus menjadi salah satu penghias istanaku, Pak Tua," kata
Nini Ratih datar.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki Wanara bergetar suaranya.
"Memenggal kepalamu!"
"Apa..."!"
"Hih!"
"Aaa...!"
Hanya satu kali kibasan tangan saja, kepala Ki
Wanara langsung menggelinding ke lantai. Darah
muncrat dari leher yang buntung. Sesaat tubuh
laki-laki tua itu masih mampu berdiri, kemudian
ambruk dan menggelepar di lantai!
Nini Ratih cepat menubruknya, dan dengan
buas dihirupnya darah yang mengucur deras dari
leher yang terpenggal. Ki Wanara sudah tidak
bergerak lagi: dan terbujur kaku. Sementara Nini Ratih terus menghirup darah
korbannya hingga
tetes yang terakhir. Wanita cantik itu berdiri dan memandangi tubuh yang sudah
tidak bernyawa lagi. Tangannya mengambil kepala laki-laki tua itu, dan menentengnya.
"Hi hi hi...!"
Nini Ratih melangkah keluar sambil tertawa
mengikik. Dan begitu kakinya menjejak tanah di
depan kedai, ia langsung melesat cepat bagaikan
kilat. Hanya suara tawanya saja yang masih
tertinggal. Bersamaan dengan lenyapnya tubuh
wanita itu, lenyap pula suara tawanya. Malam yang hening itu semakin mencekam.
Tak ada seorang
pun yang menyaksikan kejadian itu. Tapi, dari
balik sebuah pohon besar, sepasang mata memperhatikan kejadian itu.
"Kejam...!" terdengar desisan tertahan.
*** 3 Desa Malapat kembali gempar dengan kematian
Ki Wanara. Begitu mengenaskan dan mengerikan!
Tubuh Ki Wanara ditemukan di rumahnya tanpa
kepala lagi. Bentuk kematian yang sama dari
mayat-mayat sebelumnya. Seluruh penduduk Desa
Malapat semakin dicekam ketakutan. Tidak ada
lagi yang berani ke luar rumah. Bahkan beberapa
di antaranya mulai meninggalkan desa itu.
Sementara Ki Pancur semakin diliputi kegelisahan. Sedangkan Ki Kampar tidak tahu lagi mesti berbuat apa. Mereka tahu,
siapa pemburu yang mengambil batu Mustika Dewi Pelangi yang
juga tengah dicari Nini Ratih. Tapi pemburu itu
sudah tidak ada di Desa Malapat ini lagi.
Sedangkan Ki Pancur sendiri tidak tahu, perampok mana yang telah mengambil benda
itu dari tangan
Kabit, pemburu yang sedang dicari Nini Ratih.
"Paman, apa sebenarnya yang terjadi di desa ini?" desak Prawata saat ada
kesempatan berdua dengan pamannya.
"Bukankah sudah kuceritakan padamu, Prawata." "Tidak! Pasti ada yang Paman sembunyikan
padaku," sentak Prawata.
Ki Kampar tersenyum dan menggeleng- gelengkan kepalanya.
"Baiklah kalau Paman tidak mau berterus
terang. Aku akan menyelidikinya sendiri!" kata Prawata tegas.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki Kampar agak kaget juga.
"Apa saja! Yang jelas aku ingin tahu kejadian yang
sebenarnya! Aku tidak percaya kalau perempuan siluman itu hanya mencari batu
Mustika Dewi Pelangi."
"Kenyataannya memang begitu, Prawata. Dan
yang bisa mengetahui di mana benda itu, hanya
Kabit. Dialah yang menyebabkan semua kejadian
di sini," kata Ki Kampar menutupi yang sebenarnya
"Jangan menimbulkan kesalahan pada orang
lain, Paman. Aku yakin, perempuan siluman itu
punya suatu tujuan sehingga datang ke sini. Dan
Paman maupun Ayah sudah mengetahuinya, tapi
sengaja merahasiakan!" Prawata tetap keras pada pendiriannya.
"Tidak ada yang perlu kurahasiakan, Prawata.
Semua yang terjadi di sini bukan hanya persoalanku, atau persoalan ayahmu saja. Tapi
menyangkut seluruh penduduk desa ini. Kau
sudah dewasa, Prawata. Kau harus bisa berpikir
secara dewasa. Jangan turuti nafsu dan darah
mudamu," kata Ki Kampar mencoba menasehati
setengah membujuk.
"Aku memang sudah dewasa, Paman. Dan aku
tidak bisa tinggal diam melihat orang-orang tidak berdosa mati satu persatu.
Sementara Paman dan
Ayah yang mengetahui semua persoalan hanya
diam saja. Aku tidak bisa, Paman. Aku harus
bertindak!" tegas kata-kata Prawata.
"Prawata! Kau pikir, kau ini siapa" Jangan
menganggap dirimu kuat dan perkasa! Cara
berpikirmu saja masih seperti anak kecil!" suara Ki Kampar agak tinggi.
"Aku memang tidak sehebat Paman atau Ayah!
Tapi tidak pengecut!" nada suara Prawata juga tinggi.
"Prawata!" Ki Kampar jadi berang.
Tapi Prawata sudah berbalik dan berjalan cepat.
"Prawata! Tunggu...!"
"Aku tidak suka bicara dengan orang pengecut!"
teriak Prawata kalap.
"Anak setan! Kembali kau...!" bentak Ki Kampar.
Prawata bukannya kembali, tapi malah berlari
kencang. Ki Kampar akan mengejar, tapi sebuah
tangan telah mencekal pundaknya. Laki-laki berusia separuh baya itu menoleh. Langsung dia
menggelinjang sambil melompat begitu melihat
seorang wanita muda dan cantik tahu-tahu sudah
berdiri di belakangnya.
"Nini Ratih...," suara Ki Kampar agak bergetar.
"Kau masih mengenalku, Kakang Kampar?"
lembut suara wanita itu.
Ki Kampar melangkah mundur beberapa tindak
Tangan kanannya segera meraba gagang golok
yang terselip di pinggangnya. Sedangkan wanita
cantik yang ternyata memang Nini Ratih itu hanya tersenyum saja.
"Anak itu benar. Tidak seharusnya kau sembunyikan. Katakan saja terus terang padanya,"
kata Nini Ratih tetap lembut nada suaranya.
"Jangan campuri urusanku, perempuan setan!"
dengus Ki Kampar.
"Kau masih tetap seperti dulu saja, Kakang.
Galak, kasar, dan tidak pernah jujur. Tapi aku
menyukai sikapmu itu. Hanya sayang, kau sekarang kelihatan tua dan tidak menarik lagi."
"Simpan kata-kata kotormu, Nini Ratih!" bentak Ki Kampar.
"Ah! Jangan berlagak seperti orang suci. Aku tahu siapa dirimu. Aku tak akan
melupakan saat-saat manis bersamamu, meskipun kau seorang
pengkhianat busuk! Kepalamu pun juga dipenuhi
segumpal nafsu!" agak ketus nada suara Nini Ratih.
"Pergi kau, perempuan setan!" geram Ki Kampar. "Ah, Kakang.... Kenapa kau jadi berang begitu"
Seharusnya kau senang dengan kedatanganku lagi.
Lihatlah! Aku masih tetap seperti dulu, cantik,
muda, dan tentu saja sangat menggairahkan. Apa
kau lupa pada saat..."
"Pergi, kataku!" bentak Ki Kampar memotong cepat
"Menyesal sekali. Seharusnya aku memang
tidak mengunjungimu dalam suasana seperti ini.
Baiklah, Kakang. Aku akan pergi, dan pasti akan


Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali untuk menjemputmu."
"Perempuan laknat!" geram Ki Kampar seraya mencabut goloknya.
"Ha ha ha...!" Nini Ratih tertawa terbahak-bahak.
"Setan...!"
Sebelum Ki Kampar bisa mengibaskan goloknya, Nini Ratih sudah melesat cepat bagaikan kilat. Begitu cepatnya,
sehingga bagaikan lenyap ditelan bumi. Ki Kampar mengumpat habis-habisan. Sambil
menggeram, dimasukkan goloknya
kembali ke dalam sarungnya di pinggang.
"Huh!"
Ki Kampar mengayunkan kakinya cepat-cepat
meninggalkan tempat itu. Dia masih saja bersungut-sungut. Tapi setiap kali kata-kata Nini Ratih
tadi terngiang-ngiang
di telinganya, tubuhnya langsung bergidik menggigil. Kata-kata
wanita itu tidak dapat dianggap main-main, dan
sewaktu-waktu bisa menjadi kenyataan.
"Uh! Perempuan keparat itu harus mampus!"
dengusnya. *** Prawata yang tengah dilanda amarah dan rasa
ingin tahu, tidak menyadari kalau telah memasuki Hutan
Bukit Menjangan. Pemuda itu baru menghentikan langkahnya ketika di depannya
menghadang sebuah sungai yang cukup lebar dan
berarus deras. Prawata menghenyakkan tubuhnya
di bawah pohon rindang. Disandarkan punggungnya pada pohon itu.
Tatapan matanya lurus ke depan. Beberapa kali
ditarik napas panjang dan dihembuskannya kuat-
kuat. Pemuda itu sungguh tidak menyangka kalau
ayah dan pamannya menyimpan suatu rahasia.
Apalagi itu ada hubungannya dengan beberapa
peristiwa yang terjadi di Desa Malapat. Peristiwa mengerikan dengan korban
bergelimpangan dari
orang-orang tidak berdosa.
Prawata mengangkat kepalanya ketika telinganya mendengar suara siulan berirama tidak teratur. Saat kepalanya
berpaling ke kiri, terlihat seorang pemuda tampan dengan rambut gondrong
meriap terikat kulit harimau. Pakaiannya pun dari kulit
harimau. Mulutnya sedikit monyong, mengeluarkan suara siulan yang tidak enak
didengar. "Oh, maaf. Kukira tidak ada orang di sini," kata pemuda berbaju kulit harimau
itu. "Siulanmu bagus sekali. Rasanya cukup membuat hewan di hutan ini berlindung dalam
sarang," kata Prawata agak ketus.
"Terima kasih! Kupikir kau tidak suka," sambut pemuda itu tersenyum.
"Suka! Hanya saja bukan pada waktu yang
tepat." Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya terse-
nyum saja. Kakinya kembali terayun mendekati,
dan berhenti tepat di depan putra kepala desa itu.
Prawata memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Agak heran juga dia, karena pemuda berbaju kulit harimau itu tidak menyandang
sebuah senjata pun. Orang ini pasti pengembara! Tapi, kenapa
tidak membawa senjata" Prawata bertanya-tanya
dalam hati. "Boleh aku istirahat di sini?" pinta pemuda itu '
ramah. "Silakan. Hutan ini milik siapa saja," sahut Prawata.
'Terima kasih."
Pemuda itu duduk bersila di depan Prawata.
"Kelihatannya kau dalam kesulitan...," kata pemuda itu seraya merayapi wajah
Prawata yang kelihatan murung.
"Maaf, bukan urusanmu," sahut Prawata ketus.
Dia memang belum bisa menghilangkan kejengkelannya.
"Oh, ya.... Memang bukan urusanku. Tapi tidak enak kalau ngobrol dengan wajah
murung." "Apa maumu sebenarnya?" tanya Prawata jengkel.
"Hanya istirahat dan mencari teman ngobrol,"
sahut pemuda itu kalem.
"Aku bukan orang yang menyenangkan untuk
diajak ngobrol. Sebaiknya cari orang lain saja."
"Sama sekali tidak. Aku merasa kau orang yang tepat untuk diajak berteman."
"Siapa kau ini sebenarnya?" Prawata mulai memandang curiga.
"Aku memang sedang mencari teman. Kurasa,
tidak pantas kalau tidak memperkenalkan diri."
"Jangan berbelit-belit! Katakan saja, siapa kau, dan apa maksudmu datang ke
sini?" "Namaku Bayu Hanggara. Aku ke sini kebetulan lewat. Hampir tiga purnama aku tidak
bertemu dengan seorang pun. Rasanya sunyi, tidak ada yang bisa diajak bicara,"
kata pemuda itu memperkenalkan diri. "Dan kebetulan kau orang kedua yang
kujumpai di daerah ini."
"Sebaiknya kau temui saja orang yang pertama."
"Percuma! Dia juga tidak suka bicara banyak.
Malah seperti orang kebingungan. Dia langsung
pergi setelah bertanya padaku. Pertanyaan yang
tidak masuk akal."
Prawata tidak menanggapi. Dimiringkan tubuhnya sedikit, dan dijulurkan kakinya. Tangannya dilipat di dada, lalu matanya dipejamkan. "Oh, ya. Siapa namamu?" tanya Bayu tidak peduli
terhadap sikap Prawata yang tidak bersahabat. "Prawata," jawab Prawata singkat.
Bayu pindah duduknya di samping pemuda itu.
Juga disandarkan punggungnya ke pohon, dan
dijulurkan kakinya ke depan. Sikapnya meniru
sikap Prawata. Pelahan matanya dipejamkan.
"Hm..., dia masih jengkel rupanya. Tapi harus ku dekati. Kata hatiku tidak
pernah meleset..,"
Bayu bicara sendiri di dalam hatinya.
Bayu masih tetap memejamkan matanya. Sedangkan Prawata sudah membuka matanya.
Sebentar dipandangnya Bayu yang tampak tidur,
kemudian bermaksud bangkit.
"Nyaman sekali di sini. Mau ke mana kau?"
"Eh!" Prawata terkejut. Dipandanginya wajah Bayu lekat-lekat.
Mata Pendekar Pulau Neraka itu masih terpejam rapat. Prawata hampir tidak percaya
dengan pendengarannya barusan. Dia tidak jadi
bangkit, tapi malah kembali menyandarkan punggungnya ke pohon. Pandangannya masih ke
arah wajah pemuda di sampingnya.
"Jangan memandangiku begitu. Nikmati saja
kesejukan udara di sini. Sangat baik untuk
menenangkan pikiran dan mendinginkan hati yang
panas," kata Bayu lagi tanpa membuka mata
sedikit pun. "Kau..., kau manusia apa...," Prawata jadi tergagap, lalu beringsut menjauh.
Bayu membuka kelopak matanya. Bibirnya
menyunggingkan senyum. Kepalanya sedikit menoleh ke arah Prawata yang tengah memandanginya seperti melihat hantu.
"Aku manusia, sama sepertimu juga," kata Bayu kalem.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Prawata masih agak bergetar suaranya.
"Bayu."
"Aku tidak percaya."
"Kau memang tidak tahu namaku. Apalagi
mendengarnya. Tapi dengan julukanku, mungkin
kau pernah mendengarnya."
Prawata semakin dalam memperhatikan laki-
laki berbaju kulit harimau itu. Sama sekali dia
belum pernah bertemu. Nama Bayu sangat asing di
telinganya. "Banyak orang mengenalku dengan nama, Pen-
dekar Pulau Neraka," kata Bayu lagi.
"Pendekar Pulau Neraka..."!" Prawata mendesis setengah terkejut.
Hampir tidak dipercaya kalau orang yang
berada di sampingnya sekarang ini adalah Pendekar Pulau Neraka. Seorang pendekar digdaya
yang selalu menggemparkan dalam setiap pemunculannya. Prawata sering mendengar cerita
tentang pendekar ini dari orang-orang yang kebetulan singgah di desanya, atau saat pergi ke kota. Orang-orang dari rimba
persilatan sering
membicarakan sepak-terjang

Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Pulau Neraka. Bahkan pamannya sendiri sering juga
menyebut-nyebut nama itu. Dan kini orang itu ada di sampingnya!
"Maaf, dengan sikapku yang kasar padamu
tadi," kata Prawata buru-buru.
"Lupakan saja," sahut Bayu kalem.
"Sungguh, aku tidak tahu kalau kau seorang
pendekar digdaya yang begitu tersohor. Pantas kau bisa mengetahui apa yang
kuperbuat, padahal kau
tadi tidur"
"Aku tadi menggunakan ilmu 'Mata Dewa'. Aku memang tidak bisa melihat dengan
mata terpejam, tapi hatiku bisa melihat jelas Gerakan sekecil dan sehalus apa pun dapat
terlihat jelas," ungkap Bayu.
"Hebat...," puji Prawata.
"Ah, itu hanya ilmu biasa saja," Bayu merendah.
"Tapi aku benar-benar kagum padamu. Aku
sering mendengar cerita tentang dirimu. Ya...,
macam-macamlah."
Bayu hanya tersenyum saja. Dia senang karena
Prawata tidak lagi berkata ketus dan kasar. Ini
berarti rencananya bisa dijalankan. Bayu memang
membutuhkan seseorang yang berasal dari Desa
Malapat. Dan dia memilih pemuda ini setelah
beberapa hari mengamatinya, di samping mempelajari suasana di desa itu.
*** Beberapa kali Prawata mencuri pandang pada
Pendekar Pulau Neraka. Sering didengarnya sepak-
terjang pendekar itu. Tapi setelah bertemu dengan orangnya langsung, keraguan
akan Pendekar Pulau Neraka menyelimuti dirinya. Sama sekali
tidak terlihat adanya kekejaman pada wajah itu.
Sorot matanya juga terlihat lembut. Walaupun
mengandung ketegasan, namun tidak tersirat
kekejaman. Wajahnya juga tidak keras, bahkan
bisa dikatakan simpatik. Rasanya sukar
dipercaya kalau pemuda tampan dengan sinar
mata lembut itu mampu berbuat kejam dan sadis
terhadap lawan-lawannya.
Hampir semua cerita yang didengar Prawata
tentang Pendekar Pulau Neraka, menyiratkan
kekejaman dan kesadisan yang brutal. Bahkan
dibumbui dengan cerita-cerita yang menyeramkan.
Prawata memang sempat terpengaruh, dan selalu
membayangkan kalau sosok yang bernama Pendekar Pulau Neraka itu berwajah kasar, seram, dengan suara berat
menggetarkan. Tapi semua
bayangannya sirna begitu bertemu langsung dengan orangnya. Sama sekali tidak terduga kalau orang yang dibayangkan selama
ini memiliki wajah tampan dengan senyum manis simpatik. Bahkan
sorot matanya pun lembut, memancarkan ketegasan diri.
"Kau melamun...?" tegur Bayu.
"Oh!" Prawata tersentak. Buru-buru dialihkan pandangannya ke arah lain.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Bayu dengan suara lembut.
"Aku..." Oh, tidak.... Aku tidak memikirkan apa-apa," sahut Prawata gugup.
"Kau memikirkan keadaan desamu?" tebak Bayu langsung.
Prawata kembali menatap Pendekar Pulau
Neraka itu. Tatapannya agak tajam dan menunjukkan rasa keheranan.
"Aku sempat melihat kau bertengkar dengan
pamanmu, juga pertengkaran dengan ayahmu. Dan
aku juga sempat melihat kematian laki-laki tua
pemilik kedai di desamu, dan kematian-kematian
lain yang terjadi. Itu semua yang jadi pemikiranmu?" Bayu sedikit mendesak.
"Kau tahu?" Prawata semakin heran.
"Ya! Sejak aku bertemu seorang laki-laki di tengah jalan yang menuju ke desa
ini, aku jadi penasaran dan ingin mengetahuinya. Sikapnya
begitu aneh dan kelihatan buru-buru sekali. Rasa ingin tahuku semakin bertambah
begitu melihat laki-laki itu menemui seorang yang terluka parah seperti habis dirampok. Tapi
tidak ada yang hilang, hanya...."
"Batu Mustika Dewi Pelangi," potong Prawata cepat Langsung bisa ditangkap semua
kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu.
"Mungkin. Aku tidak tahu," desah Bayu.
"Benda itu yang menjadi awal malapetaka di
desaku," jelas Prawata.
"Hm...," Bayu mengerutkan keningnya.
"Sedikitnya aku bisa mengetahui keadaan yang sedang terjadi di Desa Malapat. Aku
pun tahu maksud kata-katamu. Kau pasti bertemu dengan
ayahku, kemudian kau juga melihat Paman Kabit.
Belum bisa kupastikan, apakah sumber malapetaka itu berasal dari Paman Kabit," kata Prawata lagi.
"Mengherankan! Kau seorang putra kepala
desa, tapi tidak tahu persis kejadian yang tengah melanda desamu."
"Ini kenyataan! Mereka selalu merahasiakan
dan menutupi. Aku tidak mengerti, kenapa Ayah
dan Paman bersikap begi begitu tertutup padaku
selama ini," suara Prawata bernada mengeluh.
"Mungkin mereka tidak ingin kau terlibat,"
Bayu menduga-duga. "Aku sudah melihat dan mendengarnya sendiri!
Untuk apa harus ditutupi?"
"Itu yang harus kau ketahui."
"Mustahil!"
"Jangan picik, Prawata. Masih banyak sumber lain yang bisa kau peroleh. Jangan
terpaku pada satu sumber saja. Kau akan menemui jalan buntu
kalau hanya mengejar yang satu dan membutakan
lainnya." "Kau benar!" sentak Prawata. Semangatnya seketika bangkit "Aku memang harus
mencari dari sumber lain. Dan aku tahu tempatnya!"
"Oh, ya?"
Prawata langsung bangkit berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Bayu juga ikut berdiri.
"Pulang, sudah sore," sahut Prawata.
Setelah menjawab, Prawata segera melangkah
pergi. Tapi baru beberapa langkah
berjalan, pemuda itu berhenti dan berbalik. Bayu masih
berdiri memandanginya.
"Sebaiknya
kau ikut. Kau bisa tidur di kamarku," ajak Prawata.
"Terima kasih! Aku tidak ingin menarik perhatian orang," tolak Bayu halus.
"Lalu, di mana kau tidur?"
"Di mana saja."
"Kapan kita bisa bertemu lagi?" tanya Prawata.
"Kita bisa bertemu lagi di sini."
"Kapan?"
"Besok."
"Baiklah. Besok aku akan datang ke sini lagi.
Kuharap kau bersedia membantu mengatasi keadaan di Desa Malapat," pinta Prawata.
"Tentu. Aku pasti membantumu," sahut Bayu tersenyum.
"Terima kasih, sampai jumpa besok."
Bayu hanya mengangkat tangannya saja. Prawata segera berbalik dan berlari-lari kecil
meninggalkan tepian sungai itu. Sementara Bayu
masih berdiri memandangi kepergian putra kepala
desa itu. Otaknya segera berputar, mencerna
kembali semua ucapan Prawata kepadanya. Bayu
menggabungkannya
dengan kejadian yang dilihatnya selama berada di sekitar Desa Malapat ini.
"Kejadiannya sama persis dengan yang tertulis di
dalam buku Eyang Gardika. Aku jadi penasaran...," gumam Bayu pelan.
Bayu mengingat-ingat
kembali baris-baris kalimat yang pernah dibaca dari buku-buku gurunya di
Pulau Neraka. Salah satu dari buku yang dibacanya menceritakan tentang makhluk wanita
siluman yang ingin menguasai dunia. Sayangnya,
Eyang Gardika tidak menjelaskan lebih rinci lagi.
Tapi kejadian yang disaksikan di sini, hampir sama persis
dengan apa yang pernah dibaca dan
dikatakan gurunya.
"Di dalam buku itu ditulis Bukit Menjangan
dan Batu Mustika Dewi Pelangi. Hm.... Prawata
juga mengatakan bahwa batu itu sebagai penyebab
malapetaka. Aku harus mengetahui, apa sebenarnya yang tengah terjadi di sini. Aku juga harus membuktikan, apakah
cerita Eyang Gardika
benar atau hanya khayalan belaka!" tekad Bayu dalam hati.
*** 4 Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum menampakkan diri, Prawata memacu cepat kuda
hitamnya keluar dari Desa Malapat, menuju ke
Bukit Menjangan. Tapi baru saja akan melewati
batas desa, dua orang pemuda bersenjata golok
menghadangnya. "Hooop...!" Prawata menghentikan lari kudanya.
"Ada apa kalian menghadangku?"
bentak Prawata kasar.

Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf, Den. Guru melarang siapa saja keluar dari desa ini," sahut salah seorang
pemuda itu. "Larangan itu tidak berlaku bagiku!" bentak Prawata sengit.
"Justru Guru lebih menekankan Den Prawata
agar tidak keluar dari desa."
"Persetan dengan guru kalian! Minggir!" bentak Prawata geram.
"Den...!"
Prawata menggebah kudanya dengan keras.
Kuda hitam itu meringkik sambil mengangkat
kedua kaki depannya. Dan belum lagi kuda itu
melompat, dua orang murid Ki Kampar sudah lebih
dulu melesat ke arah Prawata. Tapi pemuda putra
Ki Pancur itu lebih cepat lagi mengibaskan
tangannya. Buk! Buk! Dua pemuda murid Padepokan Malapat itu ter-
bingkai kena sodokan tangan Prawata. Namun
mereka berhasil bangun kembali. Seorang berhasil menjambret tali kekang kuda,
dan seorang lagi
kembali menerjang sambil mencabut goloknya.
"Setan!" geram Prawata, langsung melentingkan tubuhnya.
Dua kali Prawata berputar di udara, kemudian
dengan manis sekali kakinya menjejak tanah.
Cring! Prawata mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Pedang berwarna keperakan itu melintang di depan dada.
"Maaf, Den. Ini perintah Guru dan Ayahanda
Den Prawata sendiri," kata pemuda yang memegangi tali kekang kuda hitam itu, mencoba
mengingatkan. "Kami hanya menjalankan perintah,"
kata seorang lagi. Prawata yang akan menyerang, mengurungkan
niatnya. Kemarahannya berangsur reda. Dia sadar
kalau kedua orang itu tidak mungkin menyerangnya kalau tidak mendapat perintah dari
Ki Kampar. Prawata semakin tidak mengerti
dengan sikap Paman dan Ayahnya. Pemuda itu
kembali menyarungkan pedangnya di pinggang.
"Apa perintahnya?" tanya Prawata mau tahu.
"Guru memerintahkan kami untuk melarang
siapa saja keluar dari desa ini. Khususnya Den
Prawata sendiri. Kami diperbolehkan menggunakan
kekerasan jika ada yang membangkang," jelas salah seorang.
Maaf, Den. Guru melarang siapa saja keluar
dari desa ini," jelas salah seorang pemuda bergolok itu.
Persetan dengan guru kalian! Larangan itu
tidak berlaku bagiku. Minggir!" bentak Prawata geram sambil menggebah kudanya
dengan keras. "Kau tahu, mengapa Paman Kampar memerintahkan begitu?" selidik Prawata.
"Kami hanya menjalankan perintah, Den."
"Huh! Kalian dungu! Kalian manusia, bukan
kambing congek yang hanya bisa diperintahi"
dengus Prawata.
Dua orang murid dari Padepokan Malapat itu
saling berpandangan.
"Dengar! Aku pergi bukan untuk melarikan diri, tapi untuk mengembalikan Desa
Malapat seperti
semula! Katakan pada Paman Kampar! Dia akan
menanggung akibatnya kalau masih tetap keras
kepala! Seluruh penduduk desa terancam nyawanya, termasuk kalian juga!" lantang suara Prawata.
"Tapi, Den...," dua orang itu mulai diliputi kebimbangan.
"Aku tidak peduli alasan kalian!"
Setelah berkata demikian, Prawata langsung
melompat ke punggung kudanya. Tapi salah
seorang dengan cepat juga melompat menghadang
sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga
dalam cukup kuat. Prawata sempat terkejut. Buru-
buru dilentingkan tubuhnya ke belakang, dan
kembali mendarat di tanah.
"Maaf, Den. Sebaiknya Den Prawata kembali
saja pulang," kata orang itu. "Kami tidak ingin dipersalahkan karena melanggar
perintah. Kami rela mati demi menjunjung tinggi perintah guru."
"Phuih! Rupanya kalian tidak bisa diajak
damai!" dengus Prawata sengit.
Kedua orang murid Ki Kampar itu memang
diliputi kebimbangan. Tapi mereka memang tidak
bisa melanggar perintah. Meskipun benak masih
diliputi berbagai macam tanda tanya, tetapi mereka tetap patuh pada perintah
gurunya. Tentu saja hal ini membuat Prawata jadi gusar. Kembali dicabut
pedangnya. "Jangan salahkan aku kalau terpaksa menggunakan kekerasan!" ancam Prawata gusar.
Dua orang murid Padepokan Malapat itu juga
segera mencabut goloknya. Mereka menyadari
kalau tingkat kepandaian Prawata berada di
atasnya. Tapi sebagai murid padepokan yang setia dan patuh pada perintah, mereka
tidak lagi memandang Prawata sebagai seorang putra kepala
desa yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi.
"Maaf, Den. Kami terpaksa mengambil jalan keras," kata salah seorang, masih
tetap dengan sikap menghormat.
"Aku kagum pada kesetiaan kalian. Tapi kali ini, terpaksa kita berhadapan
sebagai lawan," kata Prawata Jujur.
"Hup!"
Salah seorang langsung melompat sambil mengibaskan goloknya. Prawata menarik kakinya
ke belakang selangkah, kemudian dengan cepat
diangkat pedangnya untuk menangkis tebasan
golok itu. Trang! Orang itu tersentak. Ternyata goloknya langsung terlepas dari pegangan ketika beradu
dengan pedang Prawata. Dan belum lagi sempat
berbuat sesuatu, kaki Prawata sudah melayang
dengan cepat ke arah perut.
"Hugh!" pemuda itu mengeluh pendek.
"Yaaah...!" Prawata berteriak keras.
Satu pukulan keras bertenaga dalam cukup
tinggi menghantam telak ke wajah pemuda itu. Tak pelak lagi, murid Ki Kampar ini
terjungkal ke belakang. Secepat kilat Prawata melompat ke
punggung kudanya. Tapi belum juga sampai,
seorang lagi segera melompat sambil mengibaskan
goloknya. "Uts!"
Prawata menarik perutnya ke belakang, maka
golok itu lewat sedikit di depan perutnya. Masih dalam keadaan di udara, kaki
putra kepala desa
itu bergerak cepat ke arah punggung setelah
memutar tubuhnya. Sepakan kakinya itu tepat
menghantam punggung lawannya, sehingga terjerembab mencium tanah.
"Hup! Ya....'"
Prawata cepat menggebah kudanya
begitu berada di atas punggung kuda hitam itu. Bagaikan sebuah anak panah lepas dari
busurnya, kuda hitam itu langsung melesat cepat membelah angin.
Dua orang murid Padepokan Malapat yang ditugaskan menjaga perbatasan desa itu merintih
sambil berusaha bangkit. Mereka hanya bisa diam
memandangi bayangan tubuh Prawata yang semakin jauh. Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama mengangkat
bahunya. Dari mulut dan hidung mereka mengucurkan darah.
"Bagaimana ini?" tanya salah seorang.
"Mau bilang apa lagi" Den Prawata memang
lebih tangguh."
"Sebaiknya kita laporkan saja pada guru."
"Ayo, cepat!"
Kedua pemuda itu bergegas berlari kembali
menuju Desa Malapat. Mereka tidak mempedulikan
tubuh yang nyeri dan muka babak belur. Dengan
sekuat tenaga mereka berlari memasuki Desa
Malapat. Sementara matahari belum juga muncul,
namun cahayanya mulai menyemburat di ufuk
Timur. Udara dingin masih terasa menusuk tulang.
Belum ada seorang pun yang terlihat keluar
rumahnya. Penduduk Desa Malapat masih tertidur
lelap. *** Prawata melompat turun dari kudanya setelah
sampai di Puncak Bukit Menjangan Saat itu
matahari telah muncul menerangi sekitarnya. Hati pemuda itu agak tercekat juga
menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan. Puluhan
kepala manusia terpancang pada tonggak kayu,
mengelilingi butiran-butiran batu bercahaya terang bagai pelangi
Pelahan-lahan Prawata mengayunkan kakinya
melangkah lebih dekat. Bau busuk menyebar
menyengat hidung. Beberapa di antara kepala yang terpancang itu dapat dikenali,
dan sebagian besar telah rusak. Jantungnya semakin cepat berdetak
saat mengenali beberapa kepala manusia yang
malang itu. Rata-rata mereka adalah para penduduk Desa Malapat.
"Ki Wanara...," desis Prawata saat matanya terpaku pada kepala seorang laki-laki
tua. Darah pemuda itu seketika mendidih melihat
kepala Ki Wanara terpancang di antara sekian
banyak kepala manusia. Prawata mengalihkan
perhatiannya ke arah lain. Rasanya tidak sanggup melihat pemandangan yang begitu
mengerikan. Perutnya mulai terasa mual oleh bau busuk yang
sangat menyengat itu. Prawata menyandarkan
punggungnya pada sebatang pohon besar di
sampingnya. Prawata memejamkan matanya rapat-rapat. Dia
benar-benar tidak sanggup menyaksikan pemandangan itu. Pelahan-lahan kelopak matanya
kembali terbuka, saat

Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidungnya tidak lagi mencium bau busuk yang menyengat. Dia agak
heran juga, karena tiba-tiba bau busuk itu lenyap dan
berganti dengan aroma yang harum menggelitik cuping hidungnya.
"Ohhh...!" Prawata terkejut dan kagum ketika matanya benar-benar terbuka.
Pemuda itu bagaikan berada di alam mimpi.
Kini pemandangan yang dilihatnya bukan lagi
pemandangan mengerikan dengan kepala-kepala
manusia terpancang di tonggak kayu. Yang sekarang dilihatnya adalah suatu taman indah
dengan bunga-bunga warna-warni bermekaran,
menyebarkan bau harum semerbak. Prawata memandangi dengan perasaan kagum bercampur
heran. Bermacam-macam pertanyaan berada di be-
naknya. Di tengah-tengah taman indah itu, berdiri
sebuah bangunan kecil namun indah. Seluruh
bangunan itu bagai terbuat dari batu-batu permata yang memancarkan cahaya indah
kemilau. Prawata
merasa seolah-olah berada di taman milik para
dewa. Begitu indah, dan belum pernah dilihat
selama hidupnya.
"Prawata...."
"Oh!" Prawata tersentak ketika tiba-tiba mendengar suara seseorang yang menyebut
namanya. Begitu halus dan lembut.
Ketika menoleh, pemuda itu semakin terkejut
mendapati seorang wanita bertubuh ramping dan
berwajah cantik bak bidadari. Lekuk-lekuk tubuhnya begitu jelas membayang indah di balik
gaun tipis merah muda. .Sesaat Prawata terpana
menatapnya. Belum pernah dilihat wanita secantik ini sebelumnya.
"Siapa kau?" tanya Prawata setelah rasa
terkejutnya agak reda.
"Aku Nini Ratih," sahut wanita cantik menggiurkan itu.
"Nini Ratih..."!" kembah Prawata tersentak.
Pemuda itu sampai menggelinjang, melompat
mundur mendengar nama itu. Pernah didengarnya
nama itu dari Ki Wanara ketika datang ke
rumahnya malam-malam,
"Kenapa" Kau terkejut mendengar namaku, Bo-
cah Bagus?" lembut nada suara Nini Ratih.
Entah kenapa, Prawata jadi terpaku. Sementara
wanita cantik yang mengaku Nini Ratih itu
melangkah mendekatinya. Setiap ayunan kakinya
begitu gemulai, dan menyebarkan aroma harum
yang merangsang syaraf. Prawata masih diam
teipaku dengan mata tidak berkedip. Dia sendiri
tidak mengerti, kenapa jadi sulit dan tidak bisa berpikir.
Bau harum yang menyebar dan membelai
lubang hidungnya membuatnya jadi sulit berpikir.
Mendadak saja jantungnya berdetak cepat ketika
Nini Ratih sudah begitu dekat di depannya.
Prawata semakin tidak menentu perasaannya
manakala tangan yang halus lembut dengan jari-
jari lentik itu mulai meraba dadanya.
'Ah..., kau tampan dan gagah sekali," desah Nini Ratih seraya mendekatkan
wajahnya ke wajah
pemuda itu. Prawata ingin menolak ketika tangan Nini Ratih
mulai melingkar di lehernya, tapi tidak kuasa
melakukannya. Seluruh syarafnya menegang, dan
hanya bisa diam dengan perasaan dan pikiran
tidak menentu. Sementara Nini Ratih semakin
mempererat pelukan nya. Tubuhnya demikian
rapat, sehingga di antara me reka tidak ada jarak lagi Prawata semakin kalut.
Wajah Nini Ratih
demikian dekat sehingga desah napasnya terasa
hangat menyapu kulit wajahnya.
"Tidak kusangka, kau akan datang ke sini, Prawata," kata Nini Ratih lembut
setengah mendesah.
"Oh, aku...," suara Prawata tercekat.
"Jangan katakan bahwa kau datang tidak
sengaja, Bocah Bagus. Aku suka kedatanganmu.
Tentunya kau akan senang berada di taman
istanaku yang indah ini," potong Nini Ratih cepat.
Prawata ingin mengatakan sesuatu yang tiba-
tiba terlintas di benaknya. Tapi, sebelum bisa
berkata, Nini Ratih sudah menyumpal bibir pemuda itu dengan bibirnya. Seketika Prawata
gelagapan bagai tenggelam di kolam yang sangat
dalam. Hampir saja napasnya putus kalau saja
Nini Ratih tidak melepaskan pagutannya. Wanta
cantik itu tersenyum dan melepaskan rangkulannya pada leher pemuda itu.
Dia menggenggam tangan Prawata, dan menariknya. Prawata jadi lupa akan dirinya setelah mendapat pagutan wanita itu.
Dituruti saja ke
mana wanita itu menyeretnya. Dia tidak bisa
berpikir banyak ketika tiba di taman nan indah. Di situ telah tersedia sebuah
ranjang besar yang
indah beralaskan kain sutra halus berwarna cerah.
Jalan pikiran Prawata tertutup sudah. Kesadarannya hilang tanpa diketahui dan dirasakan. Seperti kerbau dicucuk hidungnya,
dituruti saja ketika Nini. Ratih membawanya ke
atas ranjang. Prawata pun tetap diam saat jari-jari tangan wanita itu melepaskan
kancing bajunya,
hingga lepas sudah pakaian yang melekat di
tubuhnya. Dan Prawata tak kuasa menolak begitu
tubuhnya dibaringkan di atas ranjang.
Satu perasaan asing mendadak timbul di dalam
diri Prawata. Sulit untuk menolak perasaan yang
begitu kuat membelenggunya.
Dalam ketidaksadaran akan dirinya yang sebenarnya,
pemuda itu mulai membalas rangsangan yang
diberikan Nini Ratih. Tidak lagi diam dan menurut, bahkan menjadi liar dan
kasar. Tapi wanita cantik itu
malah tertawa mengikik dan merintih menggelinjang. Seluruh syaraf-syaraf Prawata sudah tidak
terkendali lagi. Semuanya terbelenggu dalam irama nafsu dan gairah yang
memuncak. Di dalam taman
indah buatan Nini Ratih, kesadarannya telah
tenggelam, dan berganti dengan luapan gairah
yang menggelegak tak terkendalikan. Napasnya
memburu dan keringat bercucuran deras membasahi tubuhnya. Sementara Nini Ratih meregang, menggeliat, dan merintih dalam de-
kapan pemuda itu.
"Oh..., akh!" tiba-tiba Nini Ratih merintih tertahan.
Pada saat yang sama, Prawata menggumam lirih
dan tubuhnya mengejang hebat. Kepalanya terdongak, sedangkan matanya terpejam rapat.
Sesaat kemudian, tubuhnya terkulai lemas, bergulir di samping tubuh Nini Ratih. Wanita
cantik itu menggeliatkan tubuhnya sebentar, lalu meraih selembar kain dan
menutup tubuhnya.
Tatapan matanya berbinar cerah penuh kepuasan.
Sementara Prawata terkulai lemas dengan mata
terpejam. Pelahan-lahan napasnya kembali teratur.
Dadanya bergerak turun naik berirama tetap. Nini Ratih beringsut merapatkan
tubuhnya pada tubuh
pemuda itu, dan meletakkan kepalanya di dada
bidang yang basah oleh keringat.
"Kau hebat sekali, Bocah Bagus," pelan suara Nini Ratih.
"Hhh...!" Prawata hanya mendesah panjang.
*** Prawata benar-benar telah lupa akan dirinya.
Dia tidak tahu lagi siang dan malam. Keadaan di
dalam taman indah di Puncak Bukit Menjangan ini
selalu terlihat siang. Matahari bersinar cerah
sepanjang waktu. Langit pun tampak cerah tanpa
awan menggantung di sana.
Setiap kali Nini Ratih muncul, Prawata selalu
tidak kuasa menolak keinginan wanita cantik itu.
Gairahnya segera bangkit menggebu-gebu tak
terkendalikan. Dan
kali selesai melayani wanita itu, seluruh tubuhnya seperti lemas, dan
kesadarannya kembali pulih.
Tapi dia tetap tidak mampu bangkit dari pembaringan. Prawata selalu merenung dan memikirkan setiap kejadian yang dialaminya di
tempat ini. Dan jika Nini Ratih muncul, kesadarannya langsung hilang. Prawata benar-
benar bagai hidup di dalam dua dunia yang mem-
bingungkan. Prawata tergolek lemah di atas pembaringan
besar dan indah. Dia mencoba menggerakkan
tubuhnya, tapi seluruh persendiannya terasa lemas tak bertenaga. Hanya kepalanya
saja yang masih
mampu digerakkan. Baru beberapa saat yang lalu
Nini Ratih

Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pergi meninggalkannya.
Prawata memandangi keadaan sekitarnya. Kesadarannya
kembali berangsur pulih, dan mulai mengingat-
ingat semua yang telah dialami selama berada di
tempat asing ini.
"Oh .., di mana aku ini" Kenapa tubuhku terasa lemas sekali?" lirih suara
Prawata bertanya-tanya sendiri.
Prawata mencoba mengingat-ingat
kembali semua yang telah terjadi terhadap dirinya. Dia
ingat betul sewaktu dalang ke Puncak Bukit
Menjangan, dan melihat pemandangan yang mengerikan. Kepala-kepala manusia terpancang
pada tonggak kayu yang mengelilingi beberapa
pecahan batu berwarna terang menyilaukan. Dan
tiba-tiba semua yang dilihatnya seketika berubah seperti sediakala.
"Apa yang telah terjadi pada diriku...?" kembali Prawata bertanya-tanya pada
dirinya sendiri.
Pemuda itu menolehkan kepalanya ke kanan.
Kelopak matanya agak menyipit melihat seorang
laki-laki tua bertubuh kurus dan agak bungkuk,
tengah memandanginya. Di punggungnya terdapat
seikat kayu-kayu kering. Prawata langsung mengenalinya. Dia adalah penduduk Desa Malapat,
dan pekerjaannya memang mencari kayu bakar
untuk dijual kepada penduduk lainnya.
"Ki Kabul...!" teriak Prawata keras.
Laki-laki tua yang dipanggil Ki Kabul itu tetap
berdiri setengah membungkuk. Pandangannya tidak lepas ke arah Prawata yang berusaha
bergerak sambil berteriak-teriak memanggil. Tapi suara pemuda itu langsung
tenggelam terbawa
angin. Laki-laki tua itu sama sekali tidak mendengar, bahkan sepertinya tidak melihat.
"Ki...! Tunggu...! Tolong aku, Ki...!" teriak Prawata sekuat-kuatnya.
Tapi suaranya tetap tidak terdengar. Ki Kabul
pun membalikkan tubuhnya, lalu melangkah pergi
tergesa-gesa. Prawata berusaha bergerak sekuat
tenaga, sambil tidak henti-hentinya berteriak-teriak memanggil laki-laki tua
itu. "Ki Kabul! Tunggu...!"
Tetap saja Ki Kabul berjalan tergesa-gesa
semakin jauh. Lemas seluruh tubuh Prawata
setelah tubuh tua
setengah bungkuk itu lenyap dari pandangan.
Prawata memalingkan kepalanya kembali. Sinar
matanya sayu, menyiratkan keputusasaan. Dia
sadar kalau tengah berada dalam satu lingkungan
gaib yang sukar ditembus manusia biasa.
"Kenapa aku jadi begini...! Oh, Dewata Yang Agung...," rintih Prawata lirih.
*** 5 Di lereng Bukit Menjangan, atau tepatnya di
tepi sungai yang mengalir deras, Bayu berdiri tegak memandang jauh ke seberang
sungai. Sudah tiga
hari ini dia menunggu kedatangan Prawata, tapi
pemuda itu tidak juga muncul. Bayu mulai gelisah dan
menduga-duga. Ingin dimasukinya Desa Malapat, tapi niatnya selalu diurungkan.
Bayu menolehkan kepalanya ketika mendengar
suara gemerisik semak belukar. Pemuda berbaju
kulit harimau itu berbalik saat muncul seorang
laki-laki tua kurus bertubuh agak bungkuk dari
dalam semak belukar. Laki-laki tua yang ternyata Ki Kabul itu terkejut melihat
seorang pemuda yang tidak dikenal berdiri tidak jauh di depannya.
Langsung dihentikan langkahnya.
"Oh..., biarkan aku lewat. Aku hanya membawa kayu bakar, dan tidak punya apa-apa
untuk kau ambil," kata Ki Kabul bergetar suaranya.
"He...!" Bayu tersentak kaget.
Pendekar Pulau Neraka itu memandangi laki-
laki tua yang tampak ketakutan. Sama sekali tidak dimengerti akan sikap laki-
laki tua itu. "Pak Tua, aku bukan perampok. Aku tidak
akan menyakitimu," kata Bayu mencoba lembut.
"Kalau begitu, biarkan aku lewat"
"Tunggu dulu, Pak Tua," cegah Bayu seraya melompat ke hadapan laki-laki tua itu.
Ki Kabul mengurungkan langkahnya. Tubuhnya
masih gemetar dan seluruh wajahnya pucat pasi.
Sebentar dipandangi wajah pemuda di depannya,
sebentar kemudian kepalanya tertunduk.
"Wajahmu pucat sekali. Apa yang kau takutkan?" tanya Bayu lembut
"Tidak! Aku harus pulang. Maaf...!" kata Ki Kabul bergegas melangkah.
"Tunggu dulu, Pak Tua."
Bayu kembali menghadang. Ki Kabul kembali
berhenti melangkah. Bayu makin penasaran dengan sikap laki-laki tua yang kelihatan ketakutan itu. "Pak Tua, aku ingin bertanya sesuatu padamu.
Boleh?" tetap lembut suara Bayu.
"Cepatlah! Apa yang ingin kau tanyakan."
"Sudah tiga hari ini aku menunggu teman di
sini. Apa kau melihat temanku itu, Pak Tua?"
tanya Bayu. "Aku tidak kenal temanmu."
"Dia anak Kepala Desa Malapat. Namanya
Prawata." Ki Kabul langsung bergetar tubuhnya. Paras
wajahnya semakin pucat pasi. Bola matanya
berputar mengedar berkeliling, seolah-olah takut ada
orang lain di sekitarnya. Bayu memperhatikannya dengan kening berkerut dalam.
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 12 Jodoh Rajawali 07 Mempelai Liang Kubur Rahasia Mo-kau Kaucu 7
^