Pencarian

Bunga Dalam Lumpur 1

Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur Bagian 1


BUNGA DALAM LUMPUR
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Bunga Dalam Lumpur
128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 Sorak sorai yang diselingi tepuk tangan dan
mulut-mulut usil terdengar riuh dari orang yang
memadati halaman besar sebuah bangunan batu
menyerupai puri. Di tengah-tengah lingkaran
bergaris putih, terlihat dua orang bertubuh tinggi kekar dengan otot-otot
bersembulan sedang
berlaga. Tubuh mereka yang hanya mengenakan
cawat dari kulit binatang, telah kotor oleh tanah berlumpur.
Tampak pada bagian atas undakan bangunan
puri itu, duduk seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun di atas kursi
berukir. Dia dikawal empat orang bersenjata tombak dan
pedang. Di sampingnya duduk seorang wanita
muda yang wajahnya terlindung cadar tipis dari
sutra. Dalambayang-bayang cadar tipis itu, masih terlihat seraut wajah cantik
yang memiliki mata
bening bercahaya. Namun nampak jelas kalau
wanita itu tidak menyenangi acara adu kekuatan.
Dari sikapnya yang selalu gelisah, mencerminkan
ketidaktahannya berlama-lama di situ.
Sementara itu dua orang yang berlaga sudah
mencapai puncaknya. Suara sorak sorai bergemuruh ketika salah seorang terjerembab
tewas dengan dada tertembus golok besar dan
panjang. Orang yang memperoleh kemenangan
itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas,
kemudian membungkuk memberi hormat pada
laki-lakiyang dikawal empat orang bersenjata itu.
Seorang laki-laki tua berjubah kuning gading
dan berkepala gundul mendekatkan wajahnya
pada laki-laki di depannya yang berbaju indah
dihiasi manik-manik dan sulaman benang emas.
Dia membisikkan sesuatu.
"Silakan, umumkan saja," kata orang yang duduk di kursiberukir itu.
Orang tua berjubah kuning gading itu
kemudian mendekati seorang laki-laki bertubuh
tinggi tegap dan berkumis tebal melintang. Juga
dibisikkan sesuatu, dan laki-laki tegap berkumis itu
mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian laki-laki berkumis melintang itu
melangkah maju tiga tindak, lalu menjura
memberihormat. "Ada pengumuman dari Yang Mulia Sura
Antaka. Siapa saja boleh maju menantang Singo
Barong. Yang menang akan mendapat hadiah
seratus keping emas!" lantang suara laki-laki berkumis itu.
Pengumuman itu disambut gegap gempita,
namun tidak ada seorang pun yang melompat
maju ke arena. Sedangkan laki-laki bertubuh
tinggi tegap dan berwajah beringas, berdiri tegak dengan angkuhnya. Sikapnya
menantang siapa
saja yang mau mencoba bertanding dengannya.
"Ayah, boleh aku pergi sebentar?" wanita yang duduk di samping Sura Antaka
memohon lembut.
"Sebentar lagi, anakku. Pertunjukkan belum
selesai," kata Sura Antaka.
Wanita bercadar tipis itu langsung diam. Dari
sinar matanya dapat ditebak kalau dia semakin
tidak senang dengan semua pertunjukkan ini, tapi tidak berani untuk
meninggalkannya. Dia tahu
kalau ayahnya sangat disegani dan ditakuti di
daerah Utara ini. Seorang yang memiliki
kekuasaan besar, meskipun bukan raja. Pengikutnya cukup banyak, dan rata-rata
memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Sementara itu, dari kerumunan penonton yang
tidak bisa diam mulutnya, melompat seorang
pemuda ke tengah-tengah arena. Wajahnya cukup
tampan. Namun luka codet di pipi kirinya sangat
mengganggu, dan seperti mengurangi ketampanannya. Dia menjura memberi hormat
pada Sura Antaka.
" Yang Mulia, aku minta hadiahnya ditambah.
Aku menginginkan Putri Dewi Mustikaweni
menjadihadiahnya," kata pemuda itu lantang
"Bocah lancang! Berani benar menghina Putri Dewi Mustikaweni!" bentak laki-laki
tua berjubah dan berkepala gundul itu
"Pendeta Ajisaka, bagiku seratus keping emas
tidak ada artinya. Hanya Putri Dewi Mustikaweni
yang menjadi keinginanku," tegas pemuda itu semakin berani.
Sementara Singo Barong menggeram marah
mendengar kelancangan mulut calon lawannya,
tapi tidak bisa berbuat apa-apa sebelum
mendapat perintah dari junjungannya. Singo
Barong hanya bisa menatap dengan mata merah
membara penuh kemarahan. Saat itu Sura
Antaka bangkit dari kursinya. Suasana yang
semula riuh, mendadak sunyi. Semua orang yang
berada di tempat itu menjadi berdebar mendengar
kelancangan mulut pemuda codet di pipi kirinya
itu. "Anak muda, siapa namamu" Dari mana kau
berasal?" tanya Sura Antaka kalem nada
suaranya. "Aku Gagak Codet, dan berasal dari Gunung
Pitu. Sengaja datang ke sini untuk mengikuti
pertandingan ini. Tapi tujuanku hanya untuk
memboyong putrimu!" lantang jawaban pemuda
yang mengaku bernama Gagak Codet
"Kau sudah kenal putriku?" tanya Sura
Antaka lagi. Nada suaranya masih terdengar
tenang. "Belum."
Suara tawa langsung pecah seketika. Tapi
suara tawa itu seketika berhenti ketika Gagak
Codet membentak dengan keras. Sedangkan Sura
Antaka hanya tersenyum saja.
"Baiklah, Gagak Codet. Aku terima tawaranmu. Tapi kalahkan dulu Singo Barong.
Setelah itu hadapi Macan Gadak, kemudian
Pendeta Ajisaka. Dan yang terakhir aku sendiri.
Bagaimana?"
'Tidak perlu satu-satu. Lebih baik maju
semua!" tantang Gagak Codet.
"Sombong!" dengus Singo Barong semakin muak.
"Aku bukan orang yang senang main
keroyokan, Gagak Codet Nah! Lawanlah Singo
Barong lebih dahulu," masih terdengar tenang nada suara Sura Antaka.
Belum lagi kata-kata Sura Antaka hilang dari
pendengaran, Singo Barong sudah menggeram
keras, lalu secepat kilat melompat menerjang
Gagak Codet. Namun terjangan itu dengan manis
sekali dapat dihindarkan. Bahkan Gagak Codet
masih mampu memberikan pukulan keras ke
arah kepala manusia bertubuh tinggi tegap dan
kotor berlumpur itu. Sekitar arena pertandingan
itu memang becek dan berlumpur.
Sorak dan tepuk tangan serta celetukan-
celetukan memanasi kembali terdengar. Sura
Antaka kembali duduk di kursinya. Bibirnya tetap tersenyum menyaksikan
pertarungan yang sudah
berlangsung sengit itu. Nampak sekali kalau
Gagak Codet memiliki kemampuan yang cukup
tinggi. Gerakan-gerakannya lincah, dan setiap
pukulannya mengandung pengerahan tenaga
dalam yang tinggi. Beberapa kali Singo Barong
terkena pukulan pemuda berwajah codet pada
pipi kirinya itu. Tapi tubuh Singo Barong memang kebal, bagai terbuat dari baja.
Dia hanya menggerung setiap terkena pukulan atau tendangan pada tubuhnya.
*** Hari sudah menjelang senja, tapi pertarungan
antara Singo Barong melawan Gagak Codet
masih terus berlangsung sengit. Kini Gagak Codet sudah mengeluarkan senjatanya
yang berupa pedang tipis dan panjang, hampir melebihi
panjang tangannya sendiri. Dan Singo Barong
pun sudah menggenggam goloknya yang besar
dan nampak berat itu.
"Modar! Hiyaaat.. !" tiba-tiba Gagak Codet berteriak keras menggelegar.
Dan seketika itu juga dikibaskan pedangnya
cepat, mengarah ke dada Singo Barong. Namun
laki-laki bertubuh tinggi besar penuh lumpur itu malah menurunkan tangannya,
lalu membuka dadanya lebar-lebar. Tak pelak lagi, tebasan
pedang Gagak Codet kontan menghantam dada
Singo Barong. Namun yang terjadi sungguh
mengejutkan! "Akh. .!" Gagak Codet malah terpekik, dan langsung melompat mundur.
"Hua ha ha ha. .!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak.
"Setan.. !"geramGagak Codet sambil meringis.
Semua jari-jari tangannya jadi terasa kaku
berdenyut. Sungguh luar biasa sekali tubuh Singo Barong. Padahal tepat sekali
pedang Gagak Codet
membelah dadanya. Dan pemuda codet itu malah
merasakan seperti menghantam sebongkah baja
yang kuat sekali. Bahkan pedangnya sampai
terpental balik, dan seluruh persendian tangannya bergetar nyeri.
Semua orang yang memadati sekitar arena
pertarungan itu bersorak mengelu-elukan Singo
Barong. Beberapa mulut usil mengejek Gagak
Codet, dan memanas-manasinya. Wajah Gagak
Codet jadi merah padam. Bergegas digerak-
gerakkan pedangnya membuat satu gerak
pembuka jurus. "Keluarkan semua kemampuanmu, Gagak
jelek! Aku beri kesempatan lima jurus!" kata Singo Barong jumawa.
"Phuih!"
Gagak Codet menyemburkan ludahnya. Bagaikan seekor macan lapar, Gagak Codet
melompat cepat sambil membabatkan pedangnya
tiga kali ke arah bagian-bagian tubuh yang
mematikan. Tapi hebatnya Singo Barong tidak
bergeming sedikit pun. Bahkan dibiarkan saja
pedang itu menghantam tubuhnya, sambil dia
tertawa terbahak-bahak. Gagak Codet mendengus
kesal bercampur geram. Namun dalam hatinya
jadi gentar juga menghadapi kenyataan ini.
Kemampuannya sudah semua dikeluarkan, tapi
sedikit pun tidak dapat melukai kulit manusia
tambun ini. "Cukup, Gagak jelek! Sekarang giliranku!"
seru Singo Barong keras.
Setelah berkata demikian, Singo Barong
menge-butkan tangan. Ditangkapnya pedang
Gagak Codet yang terayun cepat mengarah ke


Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

leher. Singo Barong menghentakkan pedang itu,
sehingga Gagak Codet terangkat naik, dan
terpental ke udara. Dengan keras, Gagak Codet
jatuh bergelimpangan di tanah berlumpur hitam.
Bajunya yang semula bersih, seketika dipenuhi
kotoran lumpur.
Tapi Gagak Codet tidak sempat menghiraukan
lumpur yang mengotori tubuh dan bajunya,
karena dia sudah sibuk menghindari serangan
golok besar Singo Barong. Gagak Codet hanya
mampu berkelit. Pedangnya sudah patah-patah
dirampas manusia tinggi besar berwajah garang
itu. "Phuih! Aku tidak mau mati konyol di sini!"
dengus Gagak Codet
Tepat ketika golok Singo Barong mengarah ke
kakinya, Gagak Codet melompat. Dan dengan
ujung jari kakinya dia menotok permukaan golok
itu. Dengan meminjam tenaga Singo Barong,
tubuhnya melenting, melewati beberapa kepala,
dan hinggap di atas dahan pohon. Sebelum ada
yang menyadari, Gagak Codet cepat melesat
kabur dari tempat itu.
"Jangan biarkan dia lolos! Kejar. .!" seru Pendeta Ajisaka keras.
Beberapa orang berseragam membawa pedang
dan tombak, langsung bergerak mengejar.
Bahkan tiga puluh orang berkuda segera
menggebah kudanya ikut mengejar Gagak Codet.
Sura Antaka sendiri sampai terlonjak berdiri dari kursinya melihat Gagak Codet
kabur. Belum pernah dalam acara pertandingan yang diadakan
setiap tiga bulan ini ada orang yang kabur dalam kekalahannya. Biasanya yang
kalah langsung mati di tempat.
"Paman Ajisaka, cari monyet keparat itu
sampai dapat. Bawa dia padaku!" kata Sura
Antaka geram. "Baik, Yang Mulia," sahut Pendeta Ajisaka seraya menjura hormat
Sura Antaka melangkah menuruni undakan
bangunan puri itu. Sedangkan Putri Dewi
Mustikaweni mengikuti di sampingnya. Sebuah
kereta ditarik delapan ekor kuda putih, telah siap di depan undakan batu itu.
Seorang berseragam
merah membawa tombak panjang, membuka
pintu kereta. Sura Antaka memberikan kesempatan pada
putrinya untuk masuk lebih dahulu, kemudian
baru dia sendiri melangkah masuk. Kereta indah
yang ditarik delapan ekor kuda putih itu bergerak meninggalkan halaman puri ini.
Sekitar lima puluh orang berpakaian seragam merah dan
bersenjata tombak, mengikuti dari belakang
dengan kuda-kuda mereka. Sedangkan lima
puluh orang lagi berkuda di depan. Di samping
kanan kereta, tampak seorang laki-laki tegap
berkumis tebal berkuda dengan tenangnya.
Dialah yang bernama Macan Gadak, salah
seorang andalan Sura Antaka di samping Singo
Barong dan Pendeta Ajisaka.
Semua orang yang memadati halaman puri itu
segera bubar begitu kereta kuda yang membawa
Sura Antaka dan putrinya meninggalkan halaman puri. Tinggallah di situ Pendekta
Ajisaka, Singo Barong, dan lima puluh orang
berseragam dengan senjata tombak dan pedang.
Beberapa ekor kuda pun masih tertambat di
bawah pohon. Mereka juga langsung bergerak
pergi, tapi arahnya berbeda. Sepertinya menuju
ke arah Gagak Codet kabur.
*** Suara gamelan mengalun, mengiringi lenggak-
lenggok para penari yang memamerkan keindahan tubuhnya di depan puluhan pasang
mata yang tidak berkedip memandanginya.
Malam itu, di tempat kediaman Sura Antaka
tengah dilangsungkan pesta yang sangat meriah.
Pesta yang selalu diadakan setelah siang harinya berlangsung
acara adu ketangkasan dan kekuatan dihalaman puri.
Bangunan besar dan indah bagai istana itu
tampak ramai dipenuhi orang, baik di halaman
maupun di sekitar luar pagar tembok yang tinggi
membentengi bangunan itu. Lampu-lampu berhias terpancang di setiap tempat Umbul-umbul
dan hiasan-hiasan lain menambah semaraknya
malam ini. Tampak di bagian lain terlihat
beberapa kelompok orang berjudi, minum tuak
sambil bermabuk-mabukkan ditemani wanita-
wanita pengobral senyum. Semua orang kelihatan
bergembira. Tapi tidak demikian halnya dengan
seorang gadis cantik yang mengurung diri dalam
sebuah kamar yang sangat besar dan indah. Dua
orang wanita gemuk berusia sekitar lima puluhan
menemaninya. "Semua orang bergembira di luar. Tapi Gusti Ayu Dewi Mustikaweni malah mengurung
diri di kamar," terdengar gumaman salah seorang
wanita gemuk itu.
"Hus! Ngomong jangan sembarangan!" dengus seorang lagi.
"Lha. ., memangnya aku ngomong apa"
Memang benar kok kenyataannya. Rugi lho tidak
ikut menikmati pesta."
"Kalau kalian ingin pesta, silakan. Biarkan aku sendirian di sini," sergah Putri
Dewi Mustikaweni seraya menoleh menatap kedua
embannya. "Ah! Tidak kok, Den Ayu."
"Aku tidak apa-apa. Memang sebaiknya kalian ikutbersenang-senang. Pergilah
kalian." 'Tidak ah, Den Ayu. Wong tadi hanya becanda saja kok," kata wanita gemuk itu.
Putri Dewi Mustikaweni hanya tersenyum
saja. Sungguh manis dan memikat sekali
senyumnya itu. Kakinya melangkah gemulai
mendekati pembaringan besar beralaskan kain
sutra halus berwarna merah muda. Lembut sekali
dia membaringkan tubuhnya. Bola matanya
menerawang jauh ke langit-langit kamarnya.
Sedangkan dua embannya hanya bersimpuh saja
di lantai. Mereka tidak berbicara lagi.
Sementara di luar sana, keramaian masih
terus berlangsung. Semakin larut, suasana pesta
itu semakin meriah. Para nayaga terus menabuh
gamelan dengan irama yang semakin hangat,
menambah kesemarakan suasana pesta. Tampak
di dalam ruangan lain yang sangat besar dan
indah, Sura Antaka setengah berbaring dikelilingi wanita
cantik berkemben, sehingga menampakkan kulit bahu dan sebagian dadanya
yang membusung.
Pendekar Ajisaka, Macan Gadak, dan Singo
Barong di kursi menghadapi meja bundar
beralaskan batu pualam putih berkilat. Beberapa
guci arak menggeletak kosong. Masing-masing
ditemani seorang wanita bertubuh sintal yang
senyumnya selalu mengembang.
"Paman Ajisaka, aku belum mendengar
laporan tentang Gagak Codet. Bagaimana usaha
pencarianmu?" tanya Sura Antaka.
"Sukar dicari, Yang Mulia Sura Antaka. Tapi sudah kuperintahkan untuk terus
mencari sampai dapat. Mereka orang-orang pilihan yang berkemampuan cukup tinggi. Aku yakin, dalam
waktu yang tidak lama si keparat itu bisa
ditemukan," sahut Pendeta Ajisaka sambil
mencolek dahu wanita yang menemaninya.
Wanita itu manja sekali menggelayutkan tubuhnya, memeluk leher laki-laki tua berkepala
gundul itu. "Bagus! Aku ingin bocah itu segera ditangkap.
Dia sudah berani menghinaku, dan harus mati!"
tegasSura Antaka.
"Hanya Yang Mulia yang boleh membunuhnya," sambut Pendeta Ajisaka.
"Ha ha ha ha.. !" Sura Antaka tertawa
terbahak-bahak.
Laki-laki setengah baya itu menatap pada
Macan Gadak yang asyik bersama teman
wanitanya. Suara cekikikan manja terdengar
mengusik telinga.
"Macan Gadak. .!"
"Oh, hamba.. . Yang Mulia," Macan Gadak agak tergagap.
"Sudah ada berita dari kerajaan?" tanya Sura Antaka
"Dua hari lagi akan datang kiriman dari
Kadipaten Galungan. Pihak kerajaan mengirimkan prajurit-prajuritnya
untuk mengawal. Aku tidak tahu pasti, apa yang mereka
bawa. Mungkin juga upeti," sahut Macan Gadak.
"Bagus! Persiapkanlah orang-orang kita, dan aku sendiri yang akan memimpin.
Lewat jalan mana mereka?"
"Seperti biasa. Melalui Bukit Rangkat," sahut Macan Gadak.
"Ha ha ha ha. .! Kita rampas upeti mereka.
Bunuh semua prajurit kerajaan!" Sura Antaka tertawa terbahak-bahak.
"Benar, Yang Mulia. Kalau mereka sudah
kekurangan prajurit, maka dengan mudah kita
dapat menguasai Kerajaan Gelang Wesi!" sambut Pendeta Ajisaka.
"Itu sudah menjadi cita-citaku, Paman Ajisaka.
Prabu Nayadarma harus turun tahta. Biar dia
tahu, bagaimana rasanya jadi orang terbuang!
Biar dia tahu rasa! Ha ha ha ha. .!" kembali Sura Antaka tertawa terbahak-bahak.
Mereka semua tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan yang wanita hanya cekikikan saja,
tidak mempedulikan pembicaraan itu. Bagi
mereka, semakin banyak harta rampasan yang
diperoleh, semakin banyak pula penghasilan. Dan
tentu saja mereka bisa hidup tanpa kekurangan
lagi. Yang penting bagi mereka adalah tidak
mengecewakan orang-orang berkuasa di daerah
Utara ini. Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau
pembicaraan itu
didengar seseorang yang
berlindung di balik tembok dekat jendela besar
yang terbuka lebar. Seorang yang memakai
kerudung kain berwarna gelap. Orang itu
langsung menyelinap pergi tanpa menimbulkan
suara sedikit pun.
Sementara suasana pesta semakin tidak
menentu. Para Nayaga tidak lagi menabuh
gamelannya. Mereka sudah mabuk bergelimpangan kebanyakan minum arak. Tubuh-
tubuh lain sudah bergelimpangan tidak menentu
di mana-mana. Suara tawa lepas dan cekikikan
manja wanita-wanita pengobral senyum masih
mewarnai dari tempat tertentu. Sedangkan di
salah satu kamar, Dewi Mustikaweni tetap
berbaring, dan matanya menerawang jauh ke
langit-langit kamarnya. Namun dua embannya
sudah rebah mendengkur di lantai beralaskan
permadanibulu yang tebaldan hangat.
"Hhh. .!" Dewi Mustikaweni menghembuskan napas panjang. Pelahan-lahan matanya


Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpejam. Malam terus merayap semakin larut. Suara-
suara di luar masih saja terdengar timbul
tenggelam. Angin berhembus kencang menaburkan hawa dingin menusuk tulang
Namun semua itu tidak dipedulikan lagi. Di
mana-mana tercium bau arak yang keras. Semua
yang terjadi di tempat bagai istana itu tidak luput dari perhatian
seseorang yang berkelebat menyelinap dari satu tempat ke tempat bin.
Kemudian sosok tubuh itu lenyap setelah
melewati bagian belakang tembok benteng yang
mengelilingi bangunan besar dan indah bagai
sebuah istana itu.
*** 2 Serombongan orang berpakaian seragam
prajurit yang membawa umbul-umbul bergambar
lambang sebuah kerajaan, bergerak melingkari
Kaki Bukit Rangkat. Empat orang bertubuh
tegap, menggotong sebuah peti besar dengan
tandu. Mereka berjalan tidak tergesa-gesa.
Seorang laki-laki yang berkuda paling depan,
selalu menoleh ke kiri dan ke kanan. Tubuhnya
tegap, berseragam pakaian punggawa. Sebilah
pedang tergantung di pinggangnya.
"Seraaang. .!"
Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan keras.
Seketika itu juga dari arah samping kanan, kiri, belakang, dan depan berhamburan
orang-orang berseragam merah yang pada dadanya bergambar
seekor naga. Mereka semua membawa senjata
pedang, tombak, dan golok. Para prajurit yang
berjumlah tidak lebih dari seratus orang itu
langsung berhenti.
"Bertahan. .!"
seru punggawa yang menunggang kuda putih dengan keras.
Suara gemuruh derap kaki kuda dan teriakan-
teriakan gegap gempita memecah udara di Kaki
Bukit Rangkat itu. Tidak berapa lama, terdengar
denting senjata beradu dan jeritan melengking
kematian. Pertempuran pecah seketika itu juga.
Orang-orang berbaju merah bergambar naga pada
bagian dada, bertempur dengan sengit. Sebentar
saja prajurit dari Kerajaan Gelang Wesi dan
prajurit Kadipaten Kranggan sudah banyak yang
tewas. Bau anyir darah langsung menyebar
menyengat hidung.
Belum lagi pertarungan itu berlangsung lama,
tiba-tiba dari arah Selatan muncul prajurit-
prajurit Kerajaan Gelang Wesi. Mereka semua
mengendarai kuda yang dipacu cepat. Tampak
dari lereng bukit, Sura Antaka begitu geram
melihat kemunculan prajurit Kerajaan Gelang
Wesi yang jumlahnya menjadi tiga kali lipat dari jumlah orang-orangnya.
"Macan Gadak! Perintahkan semuanya mundur!" perintah Sura Antaka.
"Baik Yang Mulia," sahut Macan Gadak
Sura Antaka melompat naik ke punggung
kuda, lalu menggebahnya kencang menuju Utara,
diikuti Pendeta Ajisaka dan Singo Barong.
Sedangkan Macan Gadak bergegas menuruni
bukit mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
"Mundur.. !" seru Macan Gadak keras. Suara teriakannya disertai pengerahan
tenaga dalam yang tinggi. Seketika itu juga orang-orang berbaju merah
bergambar seekor naga pada dadanya, berlompatan mundur. Sementara yang terlambat,
langsung tewas terkena sambaran senjata para
prajurit. Cepat sekali mereka bergerak, sebentar saja sudah lenyap ke dalam
hutan. Seorang yang
berpangkat panglima, memerintahkan prajurit-
prajuritnya untuk tidak mengejar.
Macan Gadak mengumpulkan anak buahnya
yang tersebar di lerang bukit sebelah Utara,
kemudian sama-sama bergerak kembali ke
daerah Utara, tempat mereka menetap. Sementara itu rombongan prajurit itu melanjutkan perjalanannya. Mereka meninggal
kan mayat-mayat yang tumpang tindih memenuhi jalan melingkar di Kaki Bukit Rangkat
ini. *** "Setan..!"
Brak! Sura Antaka menggeram dahsyat. Meja yang
terkena pukulannya langsung hancur berantakan.
Wajahnya merah padam, dan matanya liar
menyala bagai sepasang bola api yang siap
membakar apa saja. Sedangkan Pendeta Ajisaka,
Singo Barong, dan
Macan Gadak hanya
menundukkan kepalanya saja.
Peristiwa pahit yang pertama kali ini dialami
mereka. Gagal merampas barang upeti bawaan
dari Kadipaten Kranggan. Bahkan hampir saja
terjebak, dan terkurung prajurit-prajurit Gelang Wesi. Sura Antaka memandangi
satu persatu orang-orang kepercayaannya yang duduk bersimpuh di lantai sambil tertunduk dalam.
"Mereka seperti sudah tahu rencana ini.
Phuih! Aku mencium ada mata-mata di antara
kita!"dengus Sura Antaka menggeram.
"Akan kucari pengkhianat itu, Yang Mulia,"
kata Macan Gadak.
"Bukan hanya dicari, tapi temukan dan
bunuh!" bentak Sura Antaka.
Macan Gadak kembali diam.
"Aku tidak peduli. Siapa pun orangnya yang
mencoba mengkhianatiku, harus mampus! Kalian
dengar itu. .!"
Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan Macan
Gadak serentak mengangguk dan menyahut Sura
Antaka mendengus, lalu berbalik dan melangkah
dengan kaki menghentak kesal.
Laki-laki setengah baya itu membanting dirinya ke kursi
berukir yang hampir menenggelamkan tubuhnya.
Sepasang bola matanya masih merah menyala.
"Kalian geledah seluruh daerah ini. Siapa saja yang
mencurigakan, tangkap! Kalau membangkang, bunuh!" perintah Sura Antaka
tegas. Ketiga orang kepercayaannya itu segera
bangkit berdiri dan menjura memberi hormat
Bergegas mereka meninggalkan ruangan besar
itu. Sura Antaka masih duduk di kursinya dengan
wajah memerah. Diambilnya guci arak dan
langsung ditenggaknya sampai tandas, tak tersisa sedikit pun. Dengan kesal,
dilemparkan guci arak itu, tepat menghantam pilar. Guci itu hancur
berkeping-keping.
"Ayah.. ," tiba-tiba terdengar suara lembut dari arah kanan.
Sura Antaka menoleh.
"Kau ada perlu denganku, Mustikaweni?" nada suara Sura Antaka dibuat lembut,
meskipun raut wajahnya tak dapat menyembunyikan kegeramannya. "Ada yang ingin kukatakan, Ayah," kata Dewi Mustikaweni seraya melangkah
mendekati. Gadis itu duduk di samping ayahnya. Dengan
lembut diletakkan tangannya yang halus berkulit
putih di pergelangan tangan Sura Antaka.
"Katakanlah. Apa yang hendak kau katakan,"
terdengar lembut suara Sura Antaka.
Di depan anaknya, Sura Antaka tidak pernah
berkata kasar. Apa lagi memasang wajah berang.
Laki-laki setengah baya itu terlalu mencintai
gadis ini, dan selalu mengabulkan permintaannya. Pelahan-lahan, wajah berangnya
berangsur sirna melihat senyuman lembut
tersungging di bibir yang selalu merah merekah
itu. "Boleh aku pergi ke danau?" ada nada
berharap pada suara Dewi Mustikaweni.
"Kenapa tidak" Pergilah selagi masih siang."
"Terima kasih, Ayah."
Sura Antaka tersenyum. Dewi Mustikaweni
bangkit dan melangkah riang meninggalkan
ruangan itu. "Dengan siapa kau ke sana?" tanya Sura Antaka sebelumputrinya itu lenyap di
balik pintu. "Dengan emban," sahut Dewi Mustikaweni.
Sura Antaka memandangi putrinya sampai
lenyap di balik pintu pemisah ruangan depan ini
dengan ruangan tengah. Mendadak saja wajahnya
berubah mendung, dan pandangan matanya sayu.
Ditariknya napas panjang, lalu bangkit berdiri.
Kakinya melangkah pelahan menuju jendela. Dia
berdiri di depan jendela dengan tangan bertumpu
pada balok kayu.
"Kau mirip sekali dengan ibumu, Mustikaweni," desah Sura Antaka lirih.
Pandangan laki-laki setengah baya itu tidak
lepas dari putrinya yang berjalan
riang didampingi dua orang emban pengasuhnya. Yang
seorang, perempuan gemuk dan seorang lagi
kurus bagai tidak memiliki daging. Kedua emban
itu sudah merawat Dewi Mustikaweni sejak
masih bayi. Terlebih lagi setelah ibunya
meninggal. Kedua emban itu seperti pengganti
ibunya saja. Ke mana Mustikaweni pergi, kedua
emban itu tidak pernah ketinggalan.
"Hhh. .. Kau terlalu agung hidup di sini,
Mustikaweni. Tidak pantas kau hidup di tengah-
tengah manusia berlumpur seperti ini. Kau bagai
setangkai bunga tumbuh di tengah danau
berlumpur. Hhh.. ! Semua ini gara-gara. . "
Gumaman Antaka terhenti ketika telinganya
mendengar suara langkah kaki dari arah
belakang. Dia berbalik, dan tampaklah Pendeta
Ajisaka datang bersama seorang pemuda bertubuh kecil memakai baju lusuh dan bagian
dada terbuka. Pemuda itu langsung jatuh berlutut di depan Sura Antaka.
"Paman Ajisaka, ada apa ini?" tanya Sura
Antaka. "Dia bernama Belung. Seorang perambah
hutan yang hidup di sekitar sini, Yang Mulia.
Katanya, semalam dia

Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat seseorang menyelinap dengan tingkah mencurigakan," lapor Pendeta Ajisaka.
"Hm.. , benar begitu?" tanya Sura Antaka menatap tajam pemuda yang bernama
Belung itu. "Benar, Gusti. Hamba melihat sendiri. Orang itu berdiri dekat jendela itu.
Kemudian berpindah-pindah tempat, lalu pergi melalui jalan belakang,"
kata Belung dengan sikap hormat
"Kau kenali wajahnya?" tanya Sura Antaka lagi.
'Tidak, Gusti. Tapi. .."
'Tapi, kenapa?"
"Hamba sempat melihat waktu dia berbalik.
Ada luka di pipi kirinya."
"Gagak Codet. .!" desis Sura Antaka.
"Kau berkata benar, Belung"!"
agak membentak suara Pendeta Ajisaka.
"Hamba berkata yang sebenarnya, Gusti
Pendeta. Hamba melihat dengan jelas meskipun
waktu itu keadaan gelap. Hamba ada dekat
sekali." "Di mana kau waktu itu?" tanya Pendeta Ajisaka lagi.
"Di balik pohon kenanga itu, Gusti," Belung menunjuk sebatang pohon kenanga yang
tidak begitu jauh dari jendela ruangan ini "Hamba waktu itu bersama dengan.. ."
"Ya, sudah. Kau cukup jelas memberi
keterangan," potong Sura Antaka.
"Terima kasih, Gusti," ucap Belung seraya memberihormat
"Paman, beri dia hadiah. Keterangannya
sangatberharga sekali," kata Sura Antaka.
"Baik, Yang Mulia."
"Oh, terima kasih.. . Terima kasih, Gusti."
"Ya, sudah. Pergi sana!"
Pemuda kurus kerempeng itu berdiri, lalu
membungkuk beberapa kali sebelum melangkah
pergi. Pendeta Ajisaka memberinya sekantung
uang sebelum pemuda perambah hutan itu pergi.
Tentu saja Belung jadi berbinar matanya, dan
langsung membungkuk beberapa kali memberi
hormat sambil mengucapkan puluhan terima
kasih. Pendeta Ajisaka mengantarkannya sampai
ke pintu *** Sementara itu di tepi sebuah danau yang
berair biru bening, Dewi Mustikaweni merendam
tubuhnya. Sedangkan kedua emban pengasuhnya
menunggu tidak jauh dari tepi danau itu. Dewi
Mustikaweni bermain-main di dalam danau, dan
baru naik ke tepi setelah puas. Hanya selembar
kain tipis menutupi tubuhnya yang ramping dan
indah. Sungguh cantik wajahnya dalam keadaan
basah. Dewi Mustikaweni melangkah menghampiri
kedua embannya yang duduk bersandar pada
pohon rindang. Tapi mendadak, gadis itu tertegun melihat kedua embannya seperti
tertidur sambil
duduk bersandar. Gadis itu kembali menghampiri
dan membangunkan kedua wanita pengasuhnya
itu. Tapi kedua wanita itu tidak bergerak sedikit pua Dewi Mustikaweni jadi
kebingungan. Buru-buru diambil pakaiannya, dan dikenakannya
dengan tergesa-gesa. Tapi belum juga sempurna
mengenakan pakaian, mendadak muncul seorang
laki-laki dengan wajah yang luka pada pipi
kirinya. "Oh. .!" gadis itu terkejut. Buru-buru ditutupi bagian dadanya yang masih
terbuka. "Kau masih ingat aku, Mustikaweni?" lembut suara laki-lakiberwajah codet itu.
"Kau. . Kau Gagak Codet?" bergetar suara Dewi Mustikaweni.
"Benar. Aku Gagak Codet," pemuda itu
tersenyum lebar.
"Mau apa kau ke sini?"
"Membawamu pergi."
"Oh! Tidak.. !" Dewi Mustikaweni terkejut bukan main, dan langsung melangkah
mundur dengan wajah pucat pasi. Matanya melirik kedua
emban pengasuhnya yang tampak seperti terlelap
tidur. "Mereka hanya pingsan. Sebentar lagi juga
siuman," kata Gagak Codet seperti mengetahui lirikan gadis itu.
"Jangan dekat!" sentak Dewi Mustikaweni begitu
melihat Gagak Codet melangkah mendekati. "Berani mendekat, aku akan berteriak!"
"Berteriaklah. Tidak ada seorang pun di sini, kecuali kau dan aku," tantang
Gagak Codet Putri Dewi Mustikaweni jadi gelagapan. Dia
tahu kalau sekitar danau ini tidak ada seorang
pun. Tidak ada seorang pun yang berani ke danau
ini kalau dia ada di sini. Ayahnya bisa memenggal kepala siapa saja yang berani
melihat gadis itu
mandi di danau ini. Dewi Musrikaweni beringsut
mundur. Tapi sebuah akar yang menyembul ke
tanah membuat tubuhnya limbung.
"Oh. .!"
"Hup!"
Gagak Codet cepat melompat, dan menangkap
tubuh ramping itu. Tentu saja hal ini membuat
gadis itu terkejut setengah mati. Dia memberontak berusaha melepaskan diri, tapi
pelukan Gagak Codet demikian kuat Gadis itu
terus berontak sambil menjerit-jerit minta tolong.
Gagak Codet jadi kewalahan, dan. .
"Ah. .!" Dewi Musrikaweni memekik kecil.
Mereka sama-sama jatuh bergulingan di tanah.
Namun pelukan Gagak Codet tidak juga terlepas,
dan malah menindihnya kuat-kuat Dewi Mustikaweni mencoba memberontak, memukuli
pemuda itu. "Diam. .!" bentak Gagak Codet Pemuda dengan luka menggores pipi kiri itu
mencekal kedua tangan Dewi Musrikaweni, dan menekannya
merentang ke samping. Dengan kedua pahanya
dia menjepit pinggang gadis itu Dewi Musrikaweni benar-benar tidak berdaya lagi. Air
mata mulai menitik keluar dari sudut matanya
yang bulat bening dan indah itu.
"Aku mohon, lepaskan. . Jangan sakiti aku,"
rintih Dewi Musrikaweni meratap.
"Huh!" dengus Gagak Codet
Sambil bangkit, dengan kasar pemuda itu
menyentakkan tangan Dewi Musrikaweni. Akibatnya gadis itu ikut terangkat bangun.
Musrikaweni memekik tertahan. Pergelangan
tangannya terasa sakit karena dicengkeram kuat
sekali. "Jangan banyak tingkah! Ayo, jalan!" bentak Gagak Codet mendorong kasar.
"Mau dibawa ke mana aku?" rintih Dewi
Musrikaweni. "Cerewet! Dasar anak manja! Jalan!"
Dewi Musrikaweni tidak ada pilihan lain. Dia
melangkah dengan tangan tertekuk ke belakang
dipegangi kuat-kuat. Air mata semakin banyak
berlinang membasahi pipinya yang putih halus
bagai sutra. Gagak Codet terus mendorong agar
lebih cepat. Beberapa kali gadis itu memekik
kesakitan. "Ck ck ck ck. . Kasihan sekali, cantik-cantik tersiksa. .," tiba-tiba terdengar
suara pelahan. "Eh!" Gagak Codet tersentak kaget langsung menoleh.
Tampak seorang pemuda berwajah cukup
tampan memakai baju dari kulit harimau tengah
duduk di atas pohon tumbang. Sesaat Gagak
Codet terpaku, sehingga dia lalai akan Dewi
Mustikaweni. Kesempatan yang sedikit ini,
dimanfaatkan gadis itu untuk melepaskan diri.
Dewi Musrikaweni langsung berlari.
"He...!, sentak Gagak Codet terkejut.
"Tolong.. ! Dia akan menculikku!" teriak Dewi Musrikaweni terus berlari.
Tapi Gagak Codet sudah melompat cepat, dari
menghadang gadis itu. Mustikaweni tersentak,
langsung berbalik. Tapi Gagak Codet lebih cepat
menangkap tangan gadis itu. Namun baru saja
bisa mencekal, mendadak. ..
"Akh!" Gagak Codet terpekik tertahan.
Cekalannya terlepas, dan mulutnya meringis
kesakitan memegangi pergelangan tangannya.
Matanya langsung menatap pada pemuda berbaju
kulit harimau yang memain-mainkan kerikil di
tangannya. Sementara itu, Dewi Mustikaweni
kembali berlari menghampiri pemuda itu, lalu
berlindung di balik punggung yang kokoh itu.
"Tolong, dia akan menculikku. Dia jahat. .,"
rintih Dewi Mustikaweni.
"Kisanak, kuharap jangan ikut campur
urusanku. Dia istriku!"bentak Gagak Codet
"O. .," pemuda berbaju kulit harimau itu mengangkat alisnya.
"Bohong! Dia jahat! Dia mau menculikku.. !"
sergah Dewi Mustikaweni.
"Mana yang benar ini" Kalian suami istri, atau bukan. .?" pemuda itu nampak
kebingungan. "Percaya padaku, Kisanak. Dia istriku yang
ingin kabur!" kata Gagak Codet
Pemuda itu menoleh menatap wanita cantik
yang berlindung padanya. Dan belum lagi
membuka mulut akan bertanya, dari jauh
terdengar teriakan dua orang wanita. Yang satu
gemuk, dan satunya lagi kurus kerempeng.
Mereka berlari-lari sambil memanggil-manggil
Dewi Mustikaweni.
"Gusti. ., Gusti Ayu. .!"
"Oh! Itu kedua emban pengasuhku. Kau bisa
tanyakan pada mereka, Kisanak." Ada pengharapan pada nada suara Dewi Mustikaweni
melihat kedua emban pengasuhnya berlari-lari
menghampiri. "Monyet buntung!" geram Gagak Codet kesal melihat dua orang emban itu sudah
sadar dari pingsannya. Dan sebelum emban itu dekat, Gagak Codet
sudah melompat hendak menerjang pemuda
berbaju kulit harimau itu. Namun hanya sedikit
saja mengegoskan tubuhnya, terjangan Gagak
Codet luput dari sasaran. Pemuda berbaju kulit
harimau itu melompat ke samping sambil
mendorong tubuh Dewi Mustikaweni, sehingga
gadis itu terdorong jatuh. Untung kedua emban
pengasuhnya sudah cepat menghampiri, sehingga
cepat-cepat menolongnya berdiri.
Sementara itu Gagak Codet kembali menyerang dahsyat Dan pemuda berbaju kulit
harimau itu seperti malas-malasan melayaninya.
Namun setiap serangan balasannya, sudah dapat
membuat Gagak Codet pontang-panting
menghindarinya. Beberapa jurus berganti cepat
Gagak Codet sadar kalau dirinya tidak akan
mampu menundukkan pemuda berbaju kulit
harimau itu lagi.
Saat mempunyai kesempatan, dengan cepat
tubuhnya melompat kabur. Begitu cepatnya,
sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh
berlari. Gagak Codet kini telah menghilang dalam hutan di pinggir danau ini.
Pemuda berbaju kulit harimau itu memutar tubuhnya menghadap pada
Dewi Mustikaweni.


Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak apa-apa, Nisanak?" lembut nada pemuda berbaju harimau itu.
'Tidak," sahut Dewi Mustikaweni. "Terima ataspertolonganmu."
"Sebaiknya cepat pulang. Aku khawatir dia
akan datang lagi ke sini," kata pemuda itu.
"Benar, Gusti Ayu. Sebaiknya cepat-cepat
pulang," sergah wanita gemuk itu.
"Sebentar,
Bi Emban," ucap Dewi Mustikaweni. "Sudah sore, Gusti Ayu."
Mustikaweni tidak menghiraukan peringatan
embannya, dan malah melangkah menghampiri
pemuda berbaju kulit harimau itu. Kedua emban
itu nampak cemas. Mereka melirik ke kanan dan
ke kiri. Mereka tahu kalau di sekitar danau ini
tidak ada yang boleh datang kalau ada Dewi
Mustikaweni. Terlebih lagi laki-laki. Kalau
ketahuan, bisa celaka nanti.
"Boleh aku tahu namamu, Kisanak?" pinta Dewi Mustikaweni lembut.
"Untuk apa?"
"Kau telah menyelamatkan nyawaku. Sudah
sepantasnya kuberi hadiah yang pantas. Aku
akan mengatakan hal ini pada Ayah, dan pasti
kau akan memperoleh hadiah yang besar," ujar Dewi Mustikaweni.
"Terima kasih, tapi aku harus segera pergi,"
ucap pemuda itu
Pemuda berbaju kulit harimau itu berbalik
dan melangkah pergi. Kelihatan kakinya melangkah biasa saja, tapi sebentar saja sudah
jauh. "Kisanak, siapa namamu"
teriak Dewi Mustikaweni. "Bayu!"
*** 3 Sejak bertemu pemuda berbaju kulit harimau,
Dewi Mustikaweni jadi sering pergi ke danau. Di
tempat itu dia hanya berdiri saja memandangi
danau, menghabiskan waktu hingga senja jatuh
dalam pelukan Mayapada. Dewi Mustikaweni
yang memang pendiam, semakin sukar diajak
bicara. Gadis itu jadi lebih senang menyendiri,
merenung seorang diri. Kedua emban pengasuhnya bisa menebak apa yang ada dalam
hati junjungannya itu.
"Sudah sore, Gusti Ayu. Sebentar lagi malam datang," ujar seorang emban bertubuh
gemuk. Dewi Mustikaweni menarik napas panjang.
Dua bola matanya yang indah menatap matahari
yang hampir tenggelam di balik permukaan
danau. Sinarnya yang kemerahan tampak lembut
dan sedap dipandang. Permukaan danau bagai
ditaburi ribuan
butir mutiara berkilauan,
menambah keindahan pemandangan di tempat
itu. Tidak salah kalau danau ini dinamakan
Danau Mutiara. "Gusti Sura Antaka pasti sudah menunggu,
Gusti Ayu," sambung emban yang bertubuh
kurus. "Sebentar lagi, Bi Emban," pinta Dewi
Mustikaweni. Kedua emban itu saling berpandangan.
Tampak wanita yang bertubuh kurus, tersenyum
memandang ke satu arah. Emban pengasuh
bertubuh gemuk jadi berkerut keningnya. Dia
menoleh, lalu juga memandang ke arah yang
sama. Bibirnya pun tersenyum begitu melihat
seorang pemuda berbaju kulit harimau melangkah ringan menghampiri mereka. Pemuda
itu berhenti tepat di samping agak ke belakang
dari Dewi Mustikaweni.
"Ehm ehm. .!" pemuda berbaju kulit harimau itu mendehem.
"Oh. .!" Dewi Mustikaweni terkejut, langsung berbalik. "Bayu. .," desisnya
begitu melihat pemuda yang selalu dinantikannya selama tiga
hari ini. "Selamat sore, Gadis Ayu," ucap pemuda itu yang memang bernama Bayu Hanggara
atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau
Neraka. "Aku mengganggu?"
"Oh, tid. ., tidak," Dewi Mustikaweni jadi tergagap.
"Bagaimana suamimu" Sudah tidak kasar
lagi?" tanya Bayu.
"Suami. ."
Suami yang mana?" Dewi Mustikaweni terbeliak.
"Yang memaksamu pulang."
"Enak saja! Itu bukan suamiku. Dia akan
menculikku, tahu!"
"Oh, maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu
marah,"ucap Bayu.
"Aku tidak marah, hanya tidak suka saja,"
Dewi Mustikaweni memberengut.
Gadis itu memang manja. Tidak boleh
tersinggung sedikit. Tapi itu hanya sebentar saja.
Dan kini wajahnya sudah kembali manis dan
semakin cantik dipandang. Dewi Mustikaweni
tertunduk mendapat tatapan yang
begitu menusuk dari pemuda itu. Sementara kedua
emban pengasuhnya semakin gelisah. Sebentar-
sebentar menatap ke arah jalan, takut kalau-
kalau ada yang melihat dan mengadukan pada
Sura Antaka. "Gusti Ayu. .!" tiba-tiba emban yang kurus tersentak.
"Ada apa?" tanya Dewi Mustikaweni.
"Ada yang datang. . "
"Oh. .!"
Terlambat Empat orang laki-laki berseragam
baju merah dengan gambar seekor naga pada
bagian dada sudah melihat. Dan mereka bergegas
menghampiri, langsung menatap tajam Pendekar
Pulau Neraka. Sedangkan Dewi Mustikaweni
tampak pucat dan kebingungan sekali. Demikian
juga dengan kedua emban pengasuhnya. Mereka
sampai bergetar seluruh tubuhnya.
"Gusti Ayu, siapa laki-laki ini?" tanya salah seorang menunjuk pada Bayu.
"Dia. ., eh, dia. .," Dewi Mustikaweni tergagap.
"Hei, bangsat! Ke sini!" bentak orang yang bertanya tadi.
Sedangkan Bayu hanya diam saja, meskipun
jari telunjuk itu mengarah padanya. Pendekar
Pulau Neraka itu diam sambil menatap tajam
menusuk. Gerahamnya bergerut menahan marah
mandapat bentakan penghinaan itu.
"O. . Kau tuli atau menantang, heh"!"
"Kisanak, kenapa datang-datang langsung
marah" Apakah wanita ini milikmu?" agak
ditekan nada suara Bayu.
"Keparat! Kau berani kurang ajar pada Gusti Ayu Mustikaweni!" geram orang itu
seraya mencabutgoloknya.
Tiga orang yang berada di belakangnya juga
langsung mencabut golok. Mereka menggeser ke
samping dengan golok melintang di depan dada.
Sedangkan Bayu hanya memandangi tanpa
berkedip. "Heran. ., kenapa orang-orang di sini begitu galak" Apakah biasa makan daging
mentah?" Bayu bergumam seperti bicara dengan dirinya
sendiri. Sementara itu kedua emban pengasuh sudah
membawa Dewi Mustikaweni menyingkir. Mereka sudah merasakan adanya gelagat tidak
baik. Sementara gadis itu hanya bisa memandang
Pendekar Pulau Neraka, dengan sinar mata sukar
untuk diartikan. Empat orang berbaju merah
yang bergambar naga pada dadanya, sudah
bergerak mengurung
dari empat jurusan.
Sedangkan Bayu hanya melirik saja memperhatikan sambil melipat tangannya di
depan dada. "Tidak ada seorang pun yang diijinkan
mendekati Gusti Dewi Mustikaweni. Kau pasti
akan dijatuhi hukuman mati, oleh Yang Mulia
Sura Antaka, keparat!" geram orang yang berada di depan Bayu.
"O. . Apakah gadis itu terbuat dari emas"
Lucu sekali, hanya bicara saja harus mati," sinis nada suara Bayu.
"Lancang bicaramu!"
"Aku punya mulut dan bicara sendiri. Kenapa kau yang marah?"
'Tutup mulutmu! Hiyaat..!"
Satu terjangan golok yang menusuk ke arah
dada terjadi demikian cepat. Dewi Mustikaweni
memekik tertahan dan memejamkan matanya.
Rasanya tidak sanggup melihat serangan yang
cepat itu. Tapi hatinya terkejut, karena mendengar satu benturan keras, diikuti pekikkan
tertahan. Tampak laki-laki yang menyerang, terbanting
keras ke tanah. Dan entah bagaimana, goloknya
sudah berpindah ke tangan Pendekar Pulau
Neraka yang tidak bergeser sedikit pun dari
tempatnya berdiri. Dewi Mustikaweni yang
langsung membuka matanya, jadi terbeliak tidak
percaya. "Keparat. .!"
Tiga orang lainnya langsung berlompatan
menyerang secara bersamaan. Pendekar Pulau
Neraka berlompatan menghindari serangan yang
datang dengan cepat dan sangat mematikan itu.
Namun hanya sekali gebrak, tiga orang itu
terpekik dan mental ke belakang. Bayu sendiri
tegak sambil menggenggam golok di tangan.
Empat orang itu jadi kelabakan, karena golok
mereka sudah berpindah tangan tanpa diketahui
bagaimana kejadiannya. Mereka beringsut bangun, lalu saling berpandangan.
Trek! Empat orang berbaju merah bergambar naga
itu terbeliak begitu melihat Bayu yang betapa
mudahnya mematahkan golok-golok di tangannya, lalu melemparkan begitu saja ke
tanah. Kembali mereka saling berpandangan,
seketika itu wajah mereka pucat pasi. Tanpa
berkata apa-apa lagi, keempat orang itu segera
melarikan diri.
Bayu hanya tersenyum saja, kemudian
menghampiri Dewi Mustikaweni yang berdiri
agak jauh didampingi kedua emban pengasuhnya.
Bayu berhenti sekitar dua langkah lagi jaraknya
di depan gadis itu.
"Sebaiknya cepat pergi dari sini. Kau akan
dihukum mati nanti," kata Dewi Mustikaweni
agak bergetar nada suaranya.
"Siapa mereka itu?" tanya Bayu tidak
mempedulikan peringatan gadis itu.
"Mereka para prajurit ayahku," sahut Dewi Mustikaweni.
"Prajurit.. ?"
"Sebenarnya memang tidak pantas disebut
prajurit. Tapi Ayah selalu berkata, begitu. Ayah menganggap dirinya seorang raja
yang menguasai seluruh daerah Utara ini. Cepatlah pergi, sebelum mereka kembali menangkapmu,"
ujar Dewi Mustikawenigelisah.


Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau akan datang lagi ke sini?" tanya Bayu.
"Entahlah," desah Dewi Mustikaweni tidak yakin.
"Kalau begitu, aku yang akan mengunjungimu."
"Eh. .!" Dewi Mustikaweni terperanjat.
Tapi belum sempat gadis itu mengatakan
sesuatu, Pendekar Pulau Neraka sudah melesat
pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan
tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata sudah
lenyap dari pandangan. Kedua emban pengasuh
itu bergegas meminta
Dewi Mustikaweni
meninggalkan danau ini.
*** Dewi Mustikaweni hanya tertunduk saja,
duduk bersimpuh di lantai kamarnya. Sedangkan
dua emban pengasuhnya lebih dalam lagi
tertunduk, tidak berani mengangkat wajah
memandang Sura Antaka yang duduk angkuh di
kursi. Tatapan mata laki-laki setengah baya yang masih kelihatan gagah itu,
demikian tajam menusuk. Wajahnya memerah dan urat-uratnya
menegang "Katakan padaku, siapa laki-laki yang kau
kunjungi di danau, Mustikaweni?" dingin dan datar nada suara Sura Antaka.
"Namanya Bayu, Ayah. Aku tidak mengunjunginya.
Dia datang sendiri dan menolongku dari tangan Gagak Codet," sahut
Dewi Mustikaweni sambil mengangkat kepalanya
pelahan-lahan. "Itu tiga hariyang lalu, Weni!"
"Sungguh, Ayah. Aku tidak bermaksud
menemuinya. Dia datang sendiri," Dewi Mustikaweni mencoba meyakinkan ayahnya.
"Dan kedatangannya benar-benar kau harapkan, bukan?" desak Sura Antaka. Dewi
Mustikaweni kembali diam tertunduk. Wajahnya
sebentar memerah, dan sebentar kemudian
memucat. Tebakan ayahnya memang tidak dapat
disangkal lagi. Sejak Pendekar Pulau Neraka
menolongnya dari cengkeraman tangan Gagak
Codet, dia memang selalu berharap dapat
bertemu lagi. Entah kenapa, bayang-bayang
pendekar tampan itu selalu menghantuinya setiap
saat. "Dengar, Weni. Aku sangat menyayangimu.
Aku tidak mau kau bergaul dengan sembarang
laki-laki. Yang kuinginkan, agar kau mendapat
seorang laki-laki yang gagah dan berkemampuan
sangat tinggi, dan dapat melindungimu setiap
waktu. Aku tidak melarangmu memilih calon
pendampingmu. Tapi aku harus tahu, apakah
pemuda itu memiliki kemampuan tinggi dan
dapat dipercaya untuk melindungimu. Hanya itu,
Weni," terdengar lembutnada suara Sura Antaka.
"Ayah.. ,"
kembali Dewi Mustikaweni mengangkat kepalanya. Sudah bisa dimengerti
maksud kata-kata ayahnya barusan.
"Undang dia ke sini, dan aku akan menguji
pantas tidaknya dia menjadi pendampingmu,"
tegasSura Antaka.
'Tapi.. ," suara Dewi Mustikaweni tersekat di tenggorokan.
"Jika kau tidak mengundangnya, itu berarti
tidak akan bisa bertemu lagi dengannya. Kau
mengerti, Weni"!"
"Mengerti, Ayah."
"Kapan kau akan menemuinya lagi?" tanya Sura Antaka.
"Aku tidak tahu. Dia muncul tiba-tiba."
"Hm.. , kalau begitu pergilah besok ke danau.
Paman Ajisaka akan mendampingimu."
Dewi Mustikaweni tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Keputusan ayahnya sukar untuk dicabut
kembali. Gadis itu hanya bisa diam sambil
menundukkan kepalanya. Sementara Sura Antaka bangkit berdiri dan melangkah keluar
dari kamar putrinya ini. Seorang emban yang
bertubuh gemuk, bergegas mendahului dan
membukakan pintu. Tanpa melirik sedikit pun,
Sura Antaka melangkah keluar. Emban bertubuh
gemuk itu bergegas menutup kembali pintunya,
dan menghampiri Dewi Mustikaweni yang sudah
terisak sesunggukkan.
"Sudahlah, Gusti Ayu. Mudah-mudahan saja
Den Bayu tidak muncul besok," ujar emban
gemuk itu mencoba menghibur.
"Tapi dia sendiri yang akan ke sini, Bi Emban,"
ucap Dewi Mustikaweni di sela isaknya yang
tertahan. "Mudah-mudahan saja dia tidak berani," desah emban gemuk itu pelan.
Dewi Mustikaweni beranjak bangkit berdiri.
Tapi baru saja mengangkat kepalanya, mendadak
dia tersentak kaget setengah mati Di depan
jendela kamarnya yang terbuka, kini sudah
berdiri seorang pemuda berwajah tampan dan
berbaju dari kulit harimau. Dua orang emban
pengasuh itu juga bergegas berdiri terkejut
Mereka langsung melangkah ke jendela, dan
menyeret pemuda itu masuk. Buru-buru emban
gemuk menutup jendela.
"Bayu.. ," desis Dewi Mustikaweni.
"Aku menepati janji, Gadis Ayu," ucap Bayu lembut.
"Bagaimana bisa masuk ke sini?" tanya Dewi Mustikaweni
"Mudah saja. Aku menunggu ayahmu pergi
dulu," tenang jawaban Pendekar Pulau Neraka itu.
"Apa. .?" bukan main terkejutnya Dewi
Mustikaweni mendengar jawaban yang begitu
ringan tanpa ada beban sedikit pun.
Bayu hanya tersenyum saja. Diliriknya dua
perempuan pengasuh yang berdiri saja membelakangi jendela. Kedua emban pengasuh
itu bisa mengerti, lalu mereka melangkah keluar.
Pintu kamar itu kembali tertutup setelah kedua
wanita pengasuh itu sampai di luar kamar.
Tinggal Pendekar Pulau Neraka dan Dewi
Mustikaweni yang hanya diam beberapa saat
dengan mata saling menatap.
"Kau dengar semuanya, Ka. .," terputus ucapan gadis itu.
"Aku senang kalau kau memanggilku Kakang,
Weni," lembut suara Bayu.
Dewi Mustikaweni tersenyum tersipu. Wajahnya menyemburat merah dadu seketika.
Dibalikkan tubuhnya, dan dilangkahkan kakinya
mendekati sebuah kursi. Gadis itu duduk dengan
anggunnya. Sebentar ditatap pemuda tampan
yang berdiri saja di tempatnya, kemudian
kepalanya bergerak menunduk kembali. Rasanya
tidak sanggup menatap bola mata yang
mengandung daya tarik sangat kuat sekali.
"Aku dengar semua, Weni. Dan akan
kutunggu di tepi danau, tempat pertama kali kita bertemu," kata Bayu kalem.
"Sebaiknya jangan, Kakang. Mereka akan
membunuhmu. Aku tidak ingin kau celaka di
tangan mereka," cegah Dewi Mustikaweni.
"Jangan khawatir, Weni. Aku bisa menjaga
diriku sendiri. Tidak ada yang akan celaka.
Percayalah," Bayu meyakinkan.
"Tapi. .," terputus suara Dewi Mustikaweni.
"Ssst. .!" Bayu menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan bibirnya sendiri.
Pendekar Pulau Neraka itu melangkah
menghampiri, dan berlutut di depan gadis itu.
Dengan lembut diambilnya tangan berjari lentik
dengan kuku terawat rapi. Bergetar seluruh
tubuh Dewi Mustikaweni ketika Bayu begitu
lembutnya mengecup jari-jari tangannya. Gadis
itu sampai terpejam beberapa saat, menikmati
kecupan lembut yang baru pertama kali
dirasakannya. "Oh. .," Dewi Mustikaweni mendesah lirih.
"Besok, saat matahari tepat di atas kepala, aku akan datang ke tepi danau," ujar
Bayu lembut, namun bernada tegas.
"Kakang.. , aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku sama sekali tidak
mengharapkan kau
mendapat kesulitan," lirih sekali suara Dewi Mustikaweni.
"Kau cantik sekali, Weni. Hatimu lembut
Rasanya kau tidak pantas berada di tengah-
tengah manusia kasar bergelimang lumpur. Aku
akan mengangkatmu dari lumpur, dan membawamu ke tempat yang lebih cocok
untukmu," ujar Bayu.
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"
Bayu tidak menjawab, tapi malah bangkit
berdiri setengah membungkuk. Begitu dekat
wajahnya dengan wajah gadis itu, sehingga
hembusan napasnya terasa hangat di pipi yang
halus memerah saga. Kembali bola mata Dewi
Mustikaweni terpejam, dan bibirnya setengah
terbuka agak bergetar. Mendadak seluruh aliran
darahnya serasa berhenti mengalir, saat dirasakan satu kecupan lembut mendarat di
bibirnya. Dewi Mustikaweni mendesah lirih, dan dia
masih terpejam merasakan kecupan lembut yang
pertama kali dari seorang pemuda tampan yang
telah mencuri sekeping hatinya. Agak lama juga
gadis itu terpejam dengan tubuh menegang kaku.
Pelahan-lahan dia membuka matanya karena
tidak terasa lagi sentuhan lembut dari Pendekar
Pulau Neraka. "Eh. .!" Dewi Mustikaweni terperanjat, karena pemuda itu sudah tidak ada lagi di
kamar ini. Bergegas gadis itu bangkit berdiri, lalu berlari ke jendela yang sudah terbuka
lagi. Matanya berkeliling mencari-cari di luar sana, tapi
bayangan pemuda itu sudah lenyap tanpa terlihat
lagi bekasnya. "Ahhh. ., Bayu. .," desah Dewi Mustikaweni liriW seraya membalikkan tubuhnya.
Gadis itu berlari menghambur ke pembaringan! Dijatuhkan dirinya ke atas pembaringan yang empuk beralaskan kain sutra
halus berwarna merah muda. Tubuh yang
ramping padat berisi itu bergulir. Pelahan
bibirnya menyunggingkan senyuman, dan jari-jari
tangannya meraba bibirnya. Dihayati kembali
kecupan lembut yang hangat dan menggetarkan.
Kecupan pertama yang dirasakan dari seorang
pemuda. Beberapa kali gadis itu menarik napas
panjang, dan meng-hembuskannya pelahan-
lahan. Matanya menerawang jauh, menatap
langit-langit kamarnya. Sampai-sampai tidak
disadari kalau kedua emban pengasuhnya sudah


Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masuk, dan menghampirinya. Kedua emban
pengasuh itu hanya tersenyum saja menyaksikan
putri junjungannya tengah tersenyum-senyum
sendirian. "Gusti Ayu. .," tegur emban gemuk pelan.
"Oh!" Dewi Mustikaweni terperanjat kaget.
Gadis itu langsung menggerinjang bangkit.
Wajahnya seketika terasa panas, bersemu merah
bagai kepiting rebus. Buru-buru dibalikkan
tubuhnya, menyembunyikan rona merah yang
menjalar hangat di seluruh wajahnya. Seolah-olah malu, dan tidak ingin kedua
emban pengasuhnya
itu tahu, apa yang baru dirasakannya tadi.
*** 4 Matahari sudah berada di atas kepala.
Sinarnya yang terik membakar kulit seorang
pemuda yang berdiri tegak di tepi danau.
Pandangannya tidak terlepas ke arah jalan tanah
berbatu kerikil tidak jauh di depannya. Pemuda
itu memakai baju kulit harimau dengan sebuah
benda melingkar bersegi enam di pergelangan
tangannya yang terlipat di depan dada.
"Hm.. , kau datang juga akhirnya," gumam pemuda yang tidak lain dari Bayu
Hanggara si Pendekar Pulau Neraka.
Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum
melihat kedatangan Dewi Mustikaweni didampingi dua orang emban pengasuh dan
seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul. Laki-laki tua
itu memegang sebuah untaian kalung dari batu hitam yang
berkilat. Mereka dikawal tidak kurang dari tiga
puluh orang berseragam merah dengan gambar
seekor naga pada bagian dadanya.
"Hm.. ," Bayu bergumam ketika laki-laki tua gundul itu memberi isyarat. Seketika
tiga puluh orang bersenjata tombak dengan pedang menggantung di pinggang, bergerak cepat
membentuk lingkaran mengelilingi Pendekar
Pulau Neraka. "Namaku Pendeta Ajisaka, utusan dari Yang
Mulia Sura Antaka. Apakah kau yang bernama
Bayu Hanggara?" tanya laki-laki tua berjubah kuning gading itu.
'Tepat sekali," sahut Bayu seraya melirik Dewi Mustikaweni.
Yang dilirik hanya tertunduk saja, seperti
tidak sanggup menatap pemuda tampan yang
telah merenggut sekeping hatinya itu. Bahkan
juga tidak sanggup untuk membayangkan apa
yang akan terjadi nanti seandainya Pendekar
Pulau Neraka itu dibawa menghadap ayahnya.
"Yang Mulia memintamu untuk datang ke
istana sekarang juga," kata Pendeta Ajisaka kembali.
"O. ., untuk apa?" Bayu pura-pura tidak tahu.
"Kau sudah melanggar peraturan yang
ditetapkan Yang Mulia Sura Antaka. Kau harus
menerima hukumannya, Kisanak. Yang Mulia
sendiri akan menentukan hukumannya, dan
sebaiknya jangan bertingkah. Menurut lebih baik
daripada mencari penyakit!" tegas kata-kata Pendeta Ajisaka.
"Hm.. . Bicaramu bernada mengancam, Pendeta,"gumam Bayu kurang senang.
'Tergantung dari tingkahmu, Anak Muda,"
dingin nada suara Pendeta Ajisaka.
"Kalau begitu, aku tidak akan memenuhi
undangan junjunganmu!" tolak Bayu tegas
bernada menantang.
"Kakang,. ," desis Dewi Mustikaweni tersentak kaget.
"Bagus! Itu berarti kau memilih jalan
kematianmu sendiri, Anak Muda!"
Trik! Pendeta Ajisaka menjentikkan ujung jarinya,
maka empat orang berseragam merah bergambar
seekor naga pada dadanya langsung melompat
maju. Tanpa menunggu perintah dua kali, empat
orang itu segera menyerang dengan tombak
terhunus. "Hup!"
Bayu melompat mundur dua tindak, lalu cepat
menarik tubuhnya ke belakang sedikit. Dua ujung
tombak lewat di depan dadanya. Cepat sekali
Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan
tangannya, dan. .
Trek! Dua batang tombak itu patah jadi dua
terhantam tangan Pendekar Pulau Neraka. Dan
belum lagi dua orang itu bisa menyadari, secepat kilat Bayu melompat sambil
menghentakkan kakinya menendang sekaligus dua orang penyerangnya. Pekikkan tertahan terdengar
bersamaan terjungkalnya dua lawannya itu. Dan
belum lagi semua orang bisa menyadari, Bayu
sudah memutar tubuhnya. Dua pukulan dilayangkan tepat, menghantam dua orang lagi.
Raungan keras terdengar saling sambut, disusul
ambruknya dua orang sambil menutupi wajahnya. "Bagaimana, Pendeta Ajisaka" Jika kau
berlaku sopan, aku akan lebih sopan darimu,"
kata Bayu kalem seraya melipat tangannya di
depan dada. "Kau terlalu keras kepala, Anak Muda!" geram Pendeta Ajisaka.
"Kepalaku memang lebih kerasdari batu."
"Phuih!" Pendeta Ajisaka menyemburkan
ludahnya. Kembali laki-laki tua gundul berjubah kuning
gading itu memberi isyarat dengan jarinya.
Seketika sepuluh orang berseragam merah
bergambar seekor naga di dada langsung
melompat menyerang. Kembali Pendekar Pulau
Neraka melompat berkelit, menghadapi sepuluh
orang penyerangnya. Pertarungan kembali berlangsung. Tapi baru beberapa gebrak saja, tiga orang sudah terjungkal roboh
memuntahkan darah kental. Dan belum lagi orang itu mampu
bangkit, kembali dua orang terpental ke atas, lalu jatuh
keras ke tanah. Jerit dan
pekik pertempuran disertai pekikkan menyayat terdengar saling
sambut. Pendeta Ajisaka
semakin geram, melihat orang-orangnya jungkir
balik kewalahan menghadapi Pendekar Pulau
Neraka itu. Kembali diberi isyarat. Maka semua
orang berseragam merah bergambar naga di dada
berlompatan maju menyerang.
*** Semula Bayu hanya bermaksud membuat
orang-orang itu jera. Tapi melihat kesungguhan
dan kenekadan orang-orang berseragam merah
ini, Pendekar Pulau Neraka itu jadi gusar juga.
Meskipun sudah jatuh bangun kena pukulan dan
tendangan cukup keras, mereka tidak juga jera.
Bahkan semakin ganas saja. Memang pukulan
Bayu tidak disertai tenaga dalam. Lain halnya
dengan Pendeta Ajisaka. Dia tahu betul kalau
Pendekar Pulau Neraka itu tidak bertarung
sungguh-sungguh.
Tapi tiga puluh orang pengikutnya tidak ada yang mampu meringkusnya. Bahkan tombak serta pedang
mereka berpatahan dan berpentalan ke udara.
Mereka jatuh bangun, tidak mampu lagi
menandingi pemuda itu. Sikap Bayu yang hanya
main-main, membuat Pendeta Ajisaka berang
Pemuda itu dianggap menghinanya.
"Mundur.. !" teriak Pendeta Ajisaka keras menggelegar.
Bentakan yang disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi itu membuat orang-orang berseragam baju merah, serentak berlompatan
mundur. Mereka sudah tidak lagi memiliki
senjata, karena telah terampas dan patah-patah
oleh Bayu. Sebagian malah tergeletak di tanah
berpasir. Pendeta Ajisaka melangkah maju
beberapa tindak.
"Kau terlalu pongah, bocah!" geram Pendeta Ajisaka.
"Aku ingin tahu, apakah kepala gundulmu
juga sekeras batu?" ejek Bayu sinis.
"Phuih! Keparat. .!"
Pendeta Ajisaka menggerakkan tangannya,
membuka jurus penyerangan. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya berdiri tegak
dengan tangan melipat di depan dada. Matanya
sempat mengerling pada Dewi Mustikaweni yang
berdiri agak jauh didampingi kedua orang emban
pengasuhnya yang setia. Entah kenapa, gadis itu
tersenyum, seakan merasa yakin kalau Bayu
dapat menundukkan Pendeta Ajisaka.
"Awas serangan! Hiyaaa.. !" seru Pendeta Ajisaka lantang.
"Hait. .!"
Bayu melentingkan tubuhnya ketika Pendeta
Ajisaka melompat datar dan kakinya menyampok
berputar mengarah ke bagian kaki. Pada saat
Bayu berada di udara, tiba-tiba saja laki-laki tua gundul itu mengebutkan tasbih
hitamnya. Kalau
saja Pendekar Pulau Neraka itu tidak memutar
tubuhnya, tasbih itu bisa merobek perutnya.
"Hap!"
Ringan sekali Bayu mendarat di belakang laki-
laki tua gundul berjubah kuning gading itu. Dan
secepat kilat dilayangkan
satu tendangan berputar. Pendeta Ajisaka tersentak kaget, buru-
buru ditarik kakinya ke samping sambil
didoyongkan tubuhnya ke depan. Tendangan
Bayu luput dari sasaran. Pendeta Ajisaka
langsung memutar tubuhnya sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga
dalam tinggi. "Hih!"
Bayu sengaja tidak menghindar. Bahkan
dipapaknya pukulan itu dengan tangan kiri,
disertai kemposan tenaga dalam yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan Tak dapat dihindarkan lagi, dua tangan beradu dengan
keras. Trak! "Akh. .!" Pendeta Ajisaka memekik tertahan.
Buru-buru laki-laki tua gundul itu melompat
ke belakang. Mulutnya meringis merasakan nyeri
pada pergelangan tangannya. Namun belum juga


Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendeta gundul itu sempurna menjejak tanah,
Bayu sudah lebih cepat melompat sambil
melontarkan satu tendangan keras disertai
pengerahan tenaga dalam setengahnya. Tendangan keras dan cepat itu tidak bisa
dihindari lagi, dan mendarat telak di dada kurus kerempeng tertutup jubah kuning
gading. "Aaakh.. !" kembali Pendeta Ajisaka memekik keras.
Tubuh tua kurus itu terpental cukup jauh, dan
menabrak sebatang
pohon cemara hingga
tumbang. Tapi Pendeta Ajisaka langsung bisa
bangkit berdiri. Tampak dari sudut bibirnya
mengucurkan darah kental. Digeleng-gelengkan
kepalanya. Sementara Bayu berdiri tegak sambil
tersenyum. Pendeta Ajisaka mencoba menggerakkan tangan kanannya, tapi dia jadi
terkejut. Ternyata tulang pergelangan tangannya
patah terbentur tangan Pendekar Pulau Neraka
itu. "Setan keparat. .!" geram Pendeta Ajisaka.
Laki-laki tua itu langsung menyadari kalau
tenaga dalamnya masih berada di bawah pemuda
berbaju kulit harimau itu. Dia menggeram marah,
dan menggeser kakinya mendekati Dewi Mustikaweni. "Paman. .,
Paman terluka. .?"
Dewi Mustikaweni panik juga melihat darah menetes
dari sudut bibir Pendeta Ajisaka.
"Huh!" Pendeta Ajisaka hanya mendengus saja.
Dewi Mustikaweni menyentuh pergelangan
laki-laki tua gundul itu. Betapa terkejutnya dia, karena Pendeta Ajisaka malah
terpekik keras.
Mulutnya meringis merasakan nyeri yang amat
sangat pada pergelangan tangan kanannya.
"Oh, maaf. . . Maaf, Paman," ucap Dewi Mustikaweni tergagap ketakutan.
"Ayo kita pulang!" dengus Pendeta Ajisaka.
"Pulang.. "
Tapi. .," Dewi Mustikaweni tergagap. Matanya melirik Pendekar Pulau
Neraka yang hanya memperhatikan saja dengan
senyum tersungging di bibir.
"Bawa kambing tua itu pulang, Weni. Katakan pada ayahmu, agar mengirim utusan
yang lebih sopan," ejek Bayu.
"Bocah keparat! Kau akan menanggung
sendiriakibatnya!" geram Pendeta Ajisaka.
"Ha ha ha. . '" Bayu malah tertawa terbahak-bahak.
"Ayo, Weni. Pulang. .!" dengus Pendeta Ajisaka memberengut gusar.
Dewi Mustikaweni ragu-ragu sejenak. Sebentar diliriknya
Bayu. Namun begitu Pendekar Pulau Neraka itu menganggukkan
kepalanya, gadis itu segera melangkah pergi
diiringi kedua emban pengasuhnya. Tiga puluh
orang berbaju seragam merah yang sudah babak
belur, bergegas melangkah pergi tertatih-tatih.
Bahkan tidak sedikit yang terpaksa dipapah
temannya. "Ha ha ha.. !" Bayu Hanggara tertawa
terbahak-bahak.
Pendekar Pulau Neraka itu masih tetap
berdiri tegak memandang kepergian orang-orang
itu. Sampai mereka tidak kelihatan lagi, Bayu
masih tetap berdiri sambil melipat tangan di
depan dada. Kepalanya menoleh saat telinganya
mendengar suara langkah kaki menghampiri dari
arah samping kanan. Pendekar Pulau Neraka itu
memutar tubuhnya, lalu menghampiri seorang
laki-laki muda berwajah tampan dan berpakaian
indah berwarna biru. Pemuda itu didampingi
empat orang laki-laki setengah baya dengan
pedang menggantung di pinggang.
"Kau hebat, Kakang. Tidak percuma Ayahanda Prabu meminta bantuanmu," ucap
pemuda tampan yang pedangnya tersampir di
punggung. "Aku rasa mereka baru kroco, Raden Arga
Yuda. Masih perlu banyak waktu untuk
melumpuhkannya dari dalam," kata Bayu kalem.
"Aku percaya padamu, Kakang. Aku memang
diperintahkan Ayahanda Prabu untuk selalu
mengikuti semua kata-katamu," ujar pemuda
yang dipanggil Raden Arga Yuda itu.
"Ayahmu terlalu berlebihan, Raden," Bayu merendah.
"Tidak. Kau memang patut mendapat penghargaan. Aku kagum akan kepandaianmu,"
puji Raden Arga Yuda.
"Ah, sudahlah. Sebaiknya kita cepat tinggalkan tempat ini sebelumada yang datang ke
sini," sergah Bayu yang tidak ingin memperpanjang segala macam pujian yang
terlontar dari bibir putra mahkota Kerajaan
Gelang Wesi ini.
Mereka segera melangkah pergi masuk ke
dalam hutan kembali. Suasana di sekitar tepian
danau, kembali lengang. Tidak ada seorang pun
yang terlihat. Di tempat bekas pertempuran tadi, hanya ada tombak dan pedang
yang patah berserakan. Tak ada yang menyadari kalau
semua peristiwa itu disaksikan seseorang dari
dalam semak belukar. Dan orang itu juga
bergegas pergi ke arah lain setelah tidak ada lagi yang dapat dilihatnya. Namun
tiba-tiba dia berbalik dan melompat cepat ke arah Pendekar
Pulau Neraka, Raden Arga Yuda, dan empat
orang pengiringnya pergi!
*** Serombongan orang berkuda bergerak cepat
menuju Danau Mutiara. Terlihat paling depan
adalah Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan Macan
Gadak. Pergelangan tangan Pendeta Ajisaka
terbalut kain putih bersih. Di belakang mereka
berpacu sekitar seratus orang berseragam baju
merah bergambar naga pada dadanya.
Tiba-tiba saja di depan mereka melesat sebuah
bayangan, dan tahu-tahu seseorang berdiri
menghadang. Ternyata dia seorang laki-laki
memakai baju tanpa lengan. Bagian dada dan
perut dibiarkan terbuka. Warnanya sudah pudar,
dan celana yang dikenakan hanya sebatas lutut.
Sebuah caping bambu berukuran besar bertengger di kepala, menutupi hampir seluruh
wajahnya. Rombongan berkuda itu langsung
berhenti. "He! Siapa kau" Minggir.. !" bentak Pendeta Aji saka.
"Kalian menuju arah yang salah. Orang yang
kalian buru tidak ada lagi di sini," berat terdengar suara orang itu sambil
tetap berdiri tegak tanpa bergeming sedikit pun.
"Aku peringatkan sekali lagi padamu, keparat Minggir. .!" bentak Pendeta Ajisaka
menggeram. "Hmmm....Pakaianmu
seperti seorang pendeta, tapi bicaramu tidak lebih dari bajingan!"
gumam orang itu dingin.
"Setan alas! Hiyaaat.. !"
Pendeta Ajisaka tidak dapat lagi menahan
amarahnya. Secepat kilat dia melompat dari
punggung kudanya, langsung menerjang orang
bercaping besar itu. Namun hanya sedikit
mengegoskan tubuhnya, terjangan Pendeta Ajisaka luput dari sasaran. Bahkan tanpa diduga
sama sekali, orang bercaping itu mengibaskan
tangannya. Akibatnya, kibasan itu telak menghantam punggung laki-laki tua gundul itu.
"Ughk..!" Pendeta Ajisaka mengeluh tertahan.
Seketika itu juga Pendeta Ajisaka tersuruk
jatuh mencium tanah. Namun secepat kilat
mampu bangkit berdiri, dan kembali menyerang
diikuti kibasan untaian tasbih dari batu hitam
yang keras. Laki-laki bercaping itu melompat
mundur menghindari kibasan tasbih Pendeta
Ajisaka. Namun laki-laki tua gundul itu tidak
berhenti sampai di situ saja. Kembali dirangsek
orang bercaping itu dengan jurus-jurus maut yang cepat dan dahsyat luar biasa.
Sebentar saja pertarungan sudah berjalan
lebih dari lima jurus. Dan memasuki jurus ke
enam, tampak kalau Pendeta Ajisaka semakin
terdesak hebat. Dua pukulan keras tidak dapat
dibendung lagi. Laki-laki gundul itu memekik
keras agak tertahan. Tubuhnya terlontar cukup
jauh, hingga menghantam sebongkah batu besar
berlumut. Batu itu hancur berkeping-keping.
Pendeta Ajisaka menggerung kesakitan bercampur marah yang meluap. Dia berusaha
bangkit berdiri, tapi laki-laki bercaping itu sudah melompat cepat. Bahkan kaki
kirinya kini telah
menginjak tenggorokan Pendeta Ajisaka. Pada
saat itu, Singo Barong dan Macan Badak
melompat turun dari punggung kudanya.
"Berani mendekat, tua bangka gundul ini
mampus!" ancam orang bercaping itu.Singo Barong dan Macan Gadak tidak jadi
melangkah mendekati. Sementara Pendeta Ajisaka tampak tersengal, karena tenggorokannya
tertangsal kaki orang bercaping bambu yang
menutupihampir seluruh wajahnya.
"Bawa tikus-tikusmu pulang dan tua bangka
botak ini tetap bersamaku!" kata orang bercaping itu lagi. Nadanya tetap tajam
dan terdengar berat.
"Ghrrr. .!" Singo Barong menggeram marah.
Wajahnya sudah memerah bagai terbakar.
Sepasang bola matanya berkilat membara.
Macan Gadak yang kelihatannya lebih sabar,
menarik tangan Singo Barong, lalu mengajaknya
mundur. Dengan terpaksa, Singo Barong bergerak
mundur mendekati kudanya kembali.
"Dengar! Jika kalian menginginkan dia hidup, maka harus ditukar dengan Dewi
Mustikaweni!"
kata orang bercaping itu lagi. Lantang sekali nada suaranya.
"Keparat. .!" geram Pendeta Ajisaka.
"Diam, monyet!" bentak orang bercaping itu sambil menekan
kakinya yang menginjak tenggorokan Pendeta Ajisaka.
"Akh!" Pendeta Ajisaka memekik tertahan.
Batang tenggorokannya terasa sakit, seperti akan patah semua tulang-tulang
lehernya. Injakan kaki orang bercaping itu demikian kuat sehingga


Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendeta Ajisaka benar-benar tidak berdaya lagi.
Hanya bola matanya saja bersinar penuh
kemarahan. "Kakang Singo...," ujar Macan Gadak seraya menepuk pundak Singo Barong.
"Huh! Phuih. .!" Singo Barong menyemburkan
ludahnya. Tidak ada pilihan lain bagi mereka mengingat
keselamatan Pendeta Ajisaka. Sekali tekan saja,
leher laki4aki tua berkepala gundul itu bisa
remuk. Macan Gadak dan Singo Barong
melompat naik ke punggung kudanya masing-
masing, kemudian memerintahkan orang- orangnya untuk kembali.
Rombongan berkuda itu bergerak pergi. Orang
bercaping itu memandangi sampai rombongan
berkuda itu tidak terlihat lagi. Hanya debu yang masih berkepul membumbung
tinggi ke udara.
Dilepaskan injakan kakinya pada leher Pendeta
Ajisaka, lalu dengan cepat ditotok jalan darahnya.
Pendeta Ajisaka mengeluh pendek. Seketika itu
juga tubuhnya terasa lumpuh, tidak bisa
digerakkan lagi. Laki-laki tua itu hanya bisa
mengumpat, memaki, dan menyumpah dalam
hati. Orang bercaping itu mengambil sulur pohon
yang cukup kuat dan panjang, lalu mengikat
kedua kaki Pendeta Ajisaka. Kemudian dilemparkan ujung satunya ke atas dahan yang
melintang cukup tinggi. Ringan sekali tubuhnya
melenting tinggi ke angkasa, lalu hinggap di
cabang pohon itu.
"He. .! Apa yang kau lakukan.. ?" seru Pendeta Ajisaka tersentak kaget.
Tapi belum juga ada jawaban, tubuh laki-laki
tua berjubah kuning gading itu terangkat naik.
Kini tubuhnya tergantung dengan kepala di
bawah. Pendeta Ajisaka menyumpah dan memaki-maki dengan berang. Orang bercaping
besar itu meluruk turun. Indah sekali gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara
sedikit pun, dia mendarat di bawah tubuh
tergantung terbalik.
"Keparat! Kubunuh kau!" geram Pendeta
Ajisaka berang.
"Bagaimana kau akan membunuhku, Pendeta
murtad" Sebentar lagi kau akan terbang ke
neraka," ejek orang bercaping itu seraya
melepaskan tudung anyaman bambu dari
kepalanya. Tampak seraut wajah tampan berkulit kurung
langsat terlihat begitu caping besar terlepas.
Caping itu bertengger di punggungnya. Dengan
gerakan yang lembut dan cepat, dibukanya
totokan di tubuh Pendeta Ajisaka. Laki-laki tua
gundul berjubah kuning gading itu kini bisa
bergerak lagi. Tapi seluruh tubuhnya jadi
kesemutan, bergetar nyeri.
"Aku yakin, mereka tidak akan mempedulikan
dirimu. Nah! Berdoalah agar kau lancar menuju
ke neraka, Pendeta murtad," ujar pemuda itu tersenyum lebar.
Sambil tertawa berderai, pemuda itu berbalik
dan melangkah. Pendeta Ajisaka mengumpat dan
memaki habis-habisan. Sambil berusaha melepaskan diri dari ikatan di kedua kakinya.
Tapi seluruh tubuhnya terasa sakit, seperti
dikerubuti jutaan semut yang menggigiti seluruh
tubuhnya. Sedangkan pemuda berwajah tampan
itu menghenyakkan dirinya duduk di atas batang
pohon tumbang. Pemuda itu melepaskan capingnya. Dari
dalani caping itu dikeluarkan selembar baju, lalu dikenakannya tanpa membuka
baju yang telah
dikenakan sebelumnya. Kemudian dipermak
wajahnya, sehingga kelihatan buruk, dan. .
"Gagak Codet.. !" desis Pendeta Ajisaka begitu!
pemuda itu memasang sebentuk kulit kering pada
pipi kirinya, sehingga menyerupai luka memanjang. "Kau terkejut, Pendeta Ajisaka?" pemuda yang kini sudah berubah wajahnya itu
tersenyum menyeringai. "Siapa kau sebenarnya?" dengus Pendeta Ajisaka.
"Kau kenali ini, Pendeta murtad?" pemuda yang sudah berganti wajah yang dikenal
bernama Gagak Codet, mengeluarkan seuntai kalung dari
balik sabuk yang melilit pinggangnya.
Kedua mata Pendeta Ajisaka membeliak lebar
begitu melihat seuntai kalung berbentuk kepala
naga dengan mata dari batu merah bercahaya.
Kalung itu dibuat dari emas mumi berhiaskan
butiran intan berlian. Sambil tersenyum menyeringai, Gagak Codet menyimpan kembali
kalung itu ke dalam sabuknya.
"Ha ha ha ha. . '" pemuda itu tertawa
terbahak-bahak, lalu melangkah pergi dengan
tenangnya. Sedangkan Pendeta Ajisaka jadi terbengong
memandangi punggung pemuda itu. Sebentar
wajahnya berubah memerah dan pucat pasi.
Tentu saja dia kenal betul dengan untaian kalung berbentuk kepala naga mata
merah itu. Bahkan
tidak akan dilupakan seumur hidupnya. Dan
kalung itu kini berada di tangan seorang pemuda
tampan yang menyamar menjadi seorang laki-laki
berwajah buruk yang memiliki luka codet
memanjang di pipi kirinya. Pemuda yang lebih
dikenal bernama Gagak Codet.
"Ohhh. . ," Pendeta Ajisaka mengeluh panjang.
"Dewata Yang Agung.. , tidakkah aku bermimpi. ."
Apakah dia masih hidup?"
Sebentar Pendeta Ajisaka memejamkan matanya, kemudian kelopak matanya terbuka
kembali. Pemuda yang dikenal bernama Gagak
Codet itu sudah tidak terlihat lagi bayangan
tubuhnya. Pendeta Ajisaka kemudian mengerahkan hawa murni yang terpusat pada
tubuhnya. Pedahan-lahan hawa panas mulai
menjalar ke dalam aliran darahnya, dengan cepat
dikebutkan untaian tasbihnya ke arah sulur kayu
yang mengikat kakinya.
Tas.. ! Bruk! "Heghk!" Pendeta Ajisaka mengeluh pendek begitu tubuhnya terbanting keras ke
tanah. Buru-buru laki-laki tua itu membuka ikatan
pada kakinya, kemudian bangkit berdiri. Dan
belum juga berdiri tegak, seekor kuda berpacu
cepat ke arahnya. Tampak Singo Barong memacu
cepat kudanya menghampiri. Tampak jauh di
belakang serombongan orang berkuda menyusul.
Sedangkan Singo Barong langsung melompat
turun dari punggung kudanya dan menghampiri
Pendeta Ajisaka.
"Paman tidak apa-apa?"ujar Singo Barong.
"Gundulmu!" rungut Pendeta Ajisaka.
"Mana kudaku?"
"Ada di belakang!"
"Huh!"
*** 5 Suara seruling mengalun lembut terbawa
angin senja yang berhembus perlahan. Suara
merdu itu terus menyusup melewati pepohonan,
terpantul dinding tebing dan bebatuan. Alunan
irama yang begitu lembut dan nyaman didengar,
membangkitkan Dewi Mustikaweni dari pembaringannya. Gadis itu melangkah mendekati
jendela, dan membukanya lebar-lebar.
Alunan irama suara seruling itu semakin
terdengar jelas dan merdu mengusik gendang
telinga gadis itu. Dewi Mustikaweni mengedarkan
pandangannya ke sekeliling, seakan hendak
mencari sumber suara seruling itu. Tatapannya
langsung terpaku pada sebatang pohon tinggi di
luar batas tembok yang cukup tinggi mengelilingi bangunan besar dan megah bagai
istana ini. Pada salah satu dahan pohon itu, terlihatlah
seseorang tengah duduk mencangkuk meniup
seruling bambu. Wajahnya tidak begitu jelas
karena tertutup sebuah caping anyaman bambu
yang cukup lebar. Dia hanya mengenakan baju
tanpa lengan. Bagian dada dan perutnya
dibiarkan terbuka lebar. Warnanya juga sudah
kumal, dan celananya hanya sebatas lutut saja.
Dewi Mustikaweni memandanginya tidak berkedip. Orang itu menoleh dan menghentikan
tiupan serulingnya.
"Oh. .!" Dewi Musrikaweni terperanjat begitu orang itu membuka capingnya.
Tampak seraut wajah tampan berkulit putih
langsat tersenyum mempesona. Pemuda itu
menatapnya lekat-lekat. Sesaat Dewi Mustikaweni jadi gelagapan, buru-buru dipalingkan mukanya ke arah lain. Tapi tanpa
diduga sama sekali pemuda itu melesat dan tahu-
tahu sudah berdiri di depan jendela kamar itu.
"Oh. .!" Dewi Musrikaweni terperanjat kaget Dewi Musrikaweni melangkah mundur.
Dan ingin menutup jendela kamarnya. Pemuda itu
sudah keburu menahan. Bahkan malah melompat
masuk ke dalam. Buru-buru ditutupnya jendela
setelah berada di dalam kamar itu. Dewi
Mustikaweni semakin terperanjat sambil melangkah mundur sampai kakinya menyentuh
pembaringan. Wajahnya seketika pucat pasi, dan
bola matanya berputar.
"Jangan takut Weni. Aku tidak akan berbuat
buruk padamu. Aku hanya ingin memastikan
kalau kau baik-baik saja," ujar pemuda itu
lembut. "Siapa kau?" tanya Dewi Musrikaweni agak bergetar suaranya.
"Arga Yuda," sahut pemuda itu lembut.
"Aku tidak kenal denganmu. Mengapa kau ke
sini?" "Karena ingin membawamu keluar dari
lumpur neraka ini," kata pemuda yang ternyata Arga Yuda seorang putra mahkota
dari Kerajaan Gelang Wesi. "Oh. ., tidak.. ," desisDewi Musrikaweni.
"Jangan khawatir, Weni. Bukan sekarang
waktunya. Tapi nanti. Percayalah, aku tidak
bermaksud buruk padamu. Aku

Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan membawamu pada ayahmu," jelas Arga Yuda
tetap lembut nada suaranya.
"Ayahku.. ?"
'Ya. Ayahmu."
"Aku. ., aku tidak mengerti maksudmu?"
"Sayang, tidak ada waktu untuk menjelaskan.
Oh, ada orang datang ke sini. Maaf, aku harus
pergi." "He, tunggu. .!"
Tapi Raden Arga Yuda sudah lebih cepat
membuka jendela dan melompat keluar. Begitu
cepatnya melesat, sehingga meskipun Dewi
Mustikaweni memburu, pemuda itu sudah lenyap
dari pandangan. Dewi Musrikaweni mengarahkan
pandangannya ke pohon, tapi tidak ada apa-apa
lagi di sana. Gadis itu menoleh ketika mendengar suara ketukan di pintu
kamarnya. "Ya, siapa.. ?" bergegas Dewi Musrikaweni
melangkah ke pintu.
Sura Antaka menerobos masuk begitu pintu
Raja Iblis Tanpa Tanding 1 Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Seruling Gading 10
^