Pencarian

Si Gila Dari Muara Bangkai 2

Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai Bagian 2


rat. Kau akan melihat pertunjukan yang menggairahkan, Buntaran...!" ejek Si Gila
dari Muara Bangkai, terdengar memuakkan.
Dengan tangan kiri memeluk, Nyai Buntaran
dari belakang, tangan kanan Si Gila dari Muara
Bangkai bergerak cepat menjambret baju wanita
itu. Bret! Bret! "Aouww! Kurang ajar! Keparat! Lepaskan aku!
Lepaskaaaan...! Aouw...!"
Istri Adipati Buntaran menjerit-jerit ketakutan,
ketika semua pakaiannya telah dilucuti. Bahkan
tubuhnya yang lemah itu dilemparkan hingga terjerembab. Wanita yang sama sekali
tak memiliki ilmu olah kanuragan itu berteriak kesakitan. Kemudian seperti serigala melihat
anak ayam, pemuda gembel ini melompat menerkam tubuh wanita yang telah,
telanjang itu dan menindihnya
kuat-kuat. Nyai Buntaran menjerit ketakutan dan
berusaha melepaskan diri. Namun, jepitan Si Gila
dari Muara Bangkai itu kuat luar biasa.
"Lepaskan istriku, Setan Keparat! Lepaskan
dia...!" teriak Adipati Buntaran dengan sekujur
tubuh menggigil menahan amarah menggelegak.
Laki-laki itu hendak bangkit menolong istrinya, namun mulutnya kembali
memuntahkan darah kental berkali-kali. Hawa amarah dan luka
dalam yang dideritanya, semakin membuatnya tidak berdaya.
Apalagi mendengar teriakan-teriakan istrinya
yang sangat menghiba penuh ketakutan. Lelaki
itu hanya bisa berteriak-teriak, lalu kembali memuntahkan darah segar. Dan
ketika istrinya melengking nyaring menahan rasa sakit, kemudian
semuanya terasa gelap sekali!
*** 5 Hari telah agak malam ketika Bayu tiba di
pinggiran Hutan Kaliwalang. Sejak tadi Tiren melenguh pendek. Dan pemuda itu
jadi tersenyum dan mengajaknya berhenti.
"Kau lapar, Tiren?"
"Nguk! Nguk...!"
"Nah, bisakah kau mencari sesuatu untuk
makan malam kita?"
"Nguk! Nguk...!" Tiren mengangguk.
"Baiklah. Kau mencari makanan buat kita,
sementara aku menyalakan api. Kita bermalam di
sini saja. Tampaknya, di daerah ini banyak yang
bisa didapat sebagai makanan...," lanjut Bayu seraya memandang ke sekeliling.
Tanpa banyak bicara lagi, monyet kecil itu melompat ke salah satu cabang pohon,
lalu menghilang di kegelapan malam. Ketika kembali kepada
Bayu di tangannya telah bergelantungan buahbuahan segar. Monyet kecil itu
berteriak girang.
Tampak pemuda yang selalu berpakaian dari kulit
harimau itu telah membuat api unggun dan sedang menguliti dua ekor kelinci yang
bertubuh gemuk. "Kaaakh...!"
"Kau makanlah bagianmu. Dan aku akan memakan bagianku! Kau tentu tidak menyukai
daging kelinci ini, bukan?" sahut Bayu tenang.
"Nguk! Nguk...!"
Bayu tersenyum kecil, kemudian mulai memanggang kedua daging kelinci yang
diperolehnya. Sementara, Tiren menggerogoti buahbuahan.
"Hmmm. Harum betul daging kelinci ini. Perutku semakin lapar saja. Tapi kalau
untuk dibagi dua pun, rasanya masih cukup!" kata pemuda itu
seperti untuk dirinya sendiri.
Tiren melompat-lompat seraya berteriak keras.
"Hus! Diamlah, Tiren! Jangan malah membuat
takut sobat kita yang sedang mengintip. Mungkin
dia juga lapar, seperti kita. Tak perlu khawatir,
masih banyak bagian kalau dia hendak bergabung...," lanjut Bayu.
Pada saat itu juga, tepat di depan Pendekar
Pulau Neraka keluar sesosok tubuh laki-laki setengah baya dari balik semak-
semak, Bayu tetap
tenang dan tidak mempedulikan kehadiran orang
itu, karena sibuk membolak-balik daging kelinci
yang sedang dibakarnya.
"Hm! Sungguh aku bertindak gegabah terhadap orang yang berkepandaian tinggi
seperti Kisanak. Maafkan kelancanganku. Namaku, Bhatara Wisesa. Siapakah dirimu,
Kisanak" Oh, ya.
Apakah tidak keberatan bila aku bergabung dan
meminta sedikit daging kelincimu untuk mengganjal perutku yang lapar?" sapa
laki-laki yang baru datang itu dengan ramah.
Bayu mengangkat kepalanya. Kini di depannya
berdiri seorang laki-laki setengah baya bersenjatakan kapak besar terselip di
pinggang. Tubuh laki-laki yang mengaku bernama Bhatara Wisesa
agak kurus. Sepasang kelopak matanya cekung,
ketika memandang ke arah Pendekar Pulau Neraka. Namun begitu, senyumnya amat
ramah dan wajahnya bersih. Jauh sekali dari kesan seorang
yang hendak berniat jahat.
"Silakan, Kisanak. Tentu saja dengan senang
hati aku akan membagimu daging kelinci ini. Duduklah. Namaku Bayu Hanggara. Kau
boleh memanggilku sesuka hatimu...," sahut Bayu menyilakan tamunya untuk duduk.
Ki Bhatara Wisesa itu duduk bersila persis di
depan Pendekar Pulau Neraka. Sementara Bayu
langsung memberikan daging kelinci yang tadi
tengah dibakarnya. Laki-laki bertubuh kurus itu
menerimanya disertai senyum cerah.
"Silakan, Kisanak!" ujar Bayu.
"Terima kasih."
Mereka duduk bersila sambil sesekali melahap
hidangan daging kelinci. Sedangkan Tiren melompat-lompat di dekat Bayu, sambil
menyeringai lebar ke arah tamu Bayu. Kemudian menjerit keras
beberapa kali. "Hus! Diamlah, Tiren! Kau hanya menambah
ribut saja...!"
"Nguk! Nguk...!"
Tiren mengangguk cepat. Kepalanya tertunduk, kemudian terdengar melenguh pendek.
"Hm, nikmat sekali daging kelinci ini. Kenyang
rasanya perutku saat ini. Terima kasih banyak,
Bayu. Melihat kawan kecilmu ini dan mengetahui
namamu, aku jadi teringat akan seseorang. Sejak
tadi aku berpikir tentangmu. Apakah kau yang
berjuluk Pendekar Pulau Neraka...?" tanya Ki
Bhatara Wisesa.
Bayu tersenyum kecil mendengar pertanyaan
tamunya itu. Kemudian kepalanya mengangguk
pelan. "Ah! Sungguh tak kuduga kalau saat ini sedang berhadapan dengan seorang pendekar
besar di zaman ini!" desah Ki Bhatara Wisesa kagum.
"Kisanak, jangan terlalu berlebihan memuji
orang. Bisa-bisa kepalaku semakin besar saja.
Aku hanyalah manusia biasa seperti kebanyakan
orang...," sahut Bayu merendah. "Kalau boleh tahu, akan ke manakah tujuanmu saat
ini?" "Aku hendak mengunjungi sahabat lamaku.
Adipati Buntaran...."
"Hm, Adipati Buntaran" Ya, ya...," sahut Bayu
mengangguk. "Apakah kau mengenalnya juga, Bayu?"
"Kebetulan, aku hanya pernah mendengar
namanya...."
"Beliau memang seorang adipati yang amat
termashyur!" sahut Ki Bhatara Wisesa memuji.
Bayu kembali tersenyum, lalu menghabiskan
sisa daging kelinci panggangnya. Namun mendadak pemuda itu berpaling. Terlebih
lagi, ketika Tiren berteriak nyaring. Bayu cepat berdiri dan
memandang ke sekelilingnya.
Sementara Ki Bhatara Wisesa jadi bingung
sendiri dibuatnya, dan ikut-ikutan berdiri.
"Ada apa, Bayu...?" tanya laki-laki kurus itu
bingung. "Aku mendengar jerit ketakutan...," sahut pemuda itu seraya melompat ke satu
arah. Tiren mengikuti dari belakang. Dan, Ki Bhatara Wisesa
pun agaknya tidak mau ketinggalan.
*** Seorang gadis tengah menjerit ketakutan melihat dua orang laki-laki bertubuh
besar yang menyeringai lebar. Napasnya kembang kempis tidak
beraturan dan lututnya gemetar tidak berdaya.
Setelah berlari cukup lama, kini tak disangkasangka kedua orang itu muncul di
hadapannya. Niatnya tadi hendak berbalik dan kabur, namun
kedua kakinya seperti tidak mampu bergerak.
Gadis itu hanya bisa menjerit sekuat tenaga, ketika kedua orang bertampang seram
itu semakin mendekat. "He he he...! Diamlah, anak manis. Percuma
saja berteriak-teriak. Karena, tidak ada seorang
pun di tempat ini yang akan menolongmu," kata
salah seorang seraya tersenyum lebar, tapi mirip
seringai serigala.
"Apa yang dikatakannya benar, Cah Ayu. Per-
cuma kau berteriak. Lebih baik, simpan tenagamu. Sebab, sebentar lagi kita akan
bersama-sama melakukan perjalanan ke sorga...! He he he...!"
timpal yang seorang lagi.
Gadis itu beringsut ke belakang. Sinar rembulan samar-samar memperlihatkan
wajahnya yang pucat dengan tubuh gemetar ketakutan.
"Jangan...! Jangan.... Kasihanilah aku.... Kumohon, pergilah. Dan, jangan ganggu
aku...," rintih gadis itu memohon dan mengharap belas kasihan kedua lelaki
brewok itu. "He he he...! Tentu saja! Siapa yang hendak
mengganggumu" Kami justru akan memberi kenikmatan. Nah, tenang-tenang sajalah.
Tak perlu takut..." Serentak, kedua orang yang berwajah mirip itu
menyergap dan langsung memeluk gadis ini.
"Oh, tidak! Tidak! Aouw...! Lepaskan! Lepaskaaaan...!" teriak gadis itu,
ketakutan. Sementara kedua orang itu begitu erat memeluk tubuhnya. Bahkan dengan
sangat bernafsu, diciuminya
gadis ini yang terus berteriak-teriak, dan berusaha melepaskan diri. Namun
hingga mereka bertiga terjerembab, pelukan kedua lelaki itu sama sekali tidak
terlepas. "Jangan! Jangaaan...! Lepaskan aku! Lepaskan
aku...!" teriak gadis itu semakin ketakutan ketika
mereka telah merobek-robek pakaiannya dengan
kasar. Gadis itu berusaha memukul-mukul sekuat
tenaga, namun tenaga kedua lelaki itu sangat
tangguh dan kuat. Bahkan salah seorang telah
menotoknya hingga membuat gadis itu tak mampu bergerak lagi tanpa daya. Dan
kini, laki-laki
yang seorang lagi dengan penuh nafsu menggerayangi seluruh tubuhnya.
"Tidak! Oh, jangan! Jangaaan...! Lepaskan
aku! Lepaskan!" teriak gadis itu, seperti tiada
henti. Tubuhnya terus menggelinjang, berusaha
melepaskan diri dari cengkeraman mereka.
Gadis itu tidak dapat membendung lagi air
matanya menyadari nasibnya yang buruk. Jantungnya berdetak lebih kencang, dan
darahnya mengalir tidak beraturan. Perasaan marah, benci,
dan dendam menyatu dalam hatinya. Gadis itu
megap-megap tidak berdaya. Dan dia berdoa dalam hati, mengharapkan kemukjizatan
yang bakal terjadi. Dan baru saja doa gadis itu selesai, tiba-tiba
melesat bayangan kuning yang begitu cepat bagai
kilat ke arah dua laki-laki bertampang seram
yang tengah dirasuki nafsu iblis itu. Lalu....
Degkh! Bugh! "Aah! Ugh!"
Seketika terdengar pekik kesakitan dari dua
laki-laki bertampang seram itu. Tubuh mereka
kontan terjungkal beberapa langkah, begitu
bayangan kuning itu melepaskan dua tendangan
beruntun. Kini gadis itu merasa tubuhnya sangat ringan.
Dan dia buru-buru bangkit seraya menutupi tubuhnya dengan sisa-sisa pakaiannya
yang masih lebar. Tepat ketika berdiri, gadis itu melihat dua
sosok tubuh yang berwajah penuh kemarahan.
Ketika melihat seekor monyet kecil bergelantungan di bahu seseorang yang baru
datang itu, gadis ini langsung merasa bersyukur.
"Bayu...! Oh, syukurlah kau datang tepat waktunya. Tolonglah aku! Mereka...,
mereka hendak menodaiku...!"
Tanpa malu-malu lagi, gadis itu memeluk pemuda yang baru tiba di depan kedua
lelaki yang hendak memperkosanya. Hal itu membuat pemuda yang memang Bayu menjadi gelagapan.
"Nirmala" Kenapa kau sampai ada di sini..."!"
tanya Bayu ketika mengenali gadis itu.
"Ceritanya panjang. Oh, tolonglah aku! Mereka..., mereka...."
"Tenanglah, Nirmala. Biar kubereskan mereka...," sahut Bayu seraya melepaskan
rangkulan gadis itu perlahan-lahan.
Sementara kedua lelaki yang tadi terjungkal,
sudah bangkit dengan wajah garang.
"Setan keparat! Siapa kalian" Huh! Manusia
yang mau mampus berani mengganggu urusan
Setan Kembar!" dengus salah seorang dari kedua
lelaki berewok yang berjuluk Setan Kembar. Bahkan golok panjang yang telah
dihunus terselip di
pinggang masing-masing.
"Hei! Setan Kembar! Sungguh kotor perbuatanmu. Hari ini kalian akan menerima
akibatnya.

Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku Bhatara Wisesa, bersumpah akan membunuh kalian saat ini!" geram seorang
lelaki yang sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Hm.... Ki Bhatara Wisesa, makhluk pengecut!
Siapa yang tidak mengenalmu" Tujuh tahun lalu,
kau hanya mampu menghadapi seorang pemuda
tidak berguna. Bahkan secara keroyokan. Kau tidak ada derajat berhadapan dengan
kami!" dengus orang tertua dari Setan Kembar itu.
"Dan kau siapa, bocah usil"!" tanya orang
yang lebih muda dari Setan Kembar, sambil menuding ke arah Bayu.
"Setan Kembar! Ketahuilah, pemuda inilah
yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka!" sahut Ki
Bhatara Wisesa.
"Hm, Pendekar Pulau Neraka...."
Kedua Setan Kembar tampak terkejut mendengar penjelasan laki-laki setengah baya
itu. Namun mana mau keterkejutannya ditunjukkan.
Dan mereka tetap saja menunjukkan wajah sinis.
"Huh! Siapa yang peduli dengan segala julukanmu"! Kurapa! Mereka telah
mengganggu kesenangan kita. Dan untuk itu, mereka harus
mampus di tangan kita! Hm.... Tapi rasanya kita
masih memberi mereka kesempatan kalau ingin
selamat. Pergilah dan tinggalkan gadis itu di sini!"
sentak orang tertua dari Setan Kembar menggertak.
"Benar, Kurapi. Kalau mereka membandel, kita hajar saja!" timpal laki-laki
termuda dari Setan
Kembar, yang dipanggil Kurapa.
Bayu hanya tersenyum dingin.
"Setan Kembar! Sungguh bagus usulmu itu.
Hanya sayang, aku tidak pernah meninggalkan
tempat sebelum urusan selesai. Dan, aku akan
menyelesaikannya, agar kalian bisa merasa tenang...," sahut Bayu enteng.
"Bocah setan! Baiklah kalau kau ingin mampus. Nah, terima kematianmu!" desis
Kurapi, orang tertua dari Setan Kembar. Dan laki-laki
bertampang seram itu langsung melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaa...!"
Pada saat yang bersamaan, Kurapa tidak mau
ketinggalan dengan kakaknya. Goloknya segera
dicabut, menyerang Ki Bhatara Wisesa.
"Huh"!"
*** Bayu mendengus sinis. Demikian pula Ki Bhatara Wisesa. Laki-laki setengah baya
itu sudah langsung mencabut kampaknya, menyambut serangan Kurapa.
"Hiyaaaa...!"
Tragngng! "Hiiih...!"
Ketika terjadi benturan senjata, Ki Bhatara
Wisesa sedikit mengeluh. Himpitan tenaga dalam
Kurapa yang disalurkan lewat senjata golok panjangnya, begitu kuat luar biasa.
Bahkan sempat membuatnya terkejut kaget menahan rasa nyeri.
Namun begitu, Ki Bhatara Wisesa masih sigap sekali melompat ke samping
menghindari satu tendangan susulan yang dilakukan Kurapa.
Sementara itu, Bayu yang tengah menghadapi
Kurapi dengan tenang melejit dari terkaman senjata lawannya. Lalu, Pendekar
Pulau Neraka melompat ke samping. Sedangkan laki-laki bertubuh
besar itu terus mengejarnya sambil berbalik mengayunkan senjata.
Wuk! "Uts!"
Bayu cepat menundukkan kepala, menghindari tebasan senjata Kurapi. Dan belum
juga tegak berdiri, kepalan tangan Kurapi sudah menderu ke
arah dada. Maka cepat Pendekar Pulau Neraka
menghindar ke samping, dan langsung melepaskan serangan balasan. Ujung kakinya
langsung bergerak menghantam ke arah pinggang.
Kurapi tersentak kaget, melihat kecepatan gerak
Pendekar Pulau Neraka. Bahkan belum lagi kedudukannya mantap, mendadak kepalan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka menghujam ke
arah perut. "Uhh...."
"Yeaaaa...!"
Namun demikian Kurapi masih sempat mengelak. Malah cepat melancarkan serangan
balasan berupa tendangan ke arah dada. Sayang, Bayu telah melejit ke atas ke samping
seraya berputaran
di udara beberapa kali. Melihat hal ini, Kurapi tidak ingin menyia-nyiakan
kesempatan itu. Langsung diserangnya Pendekar Pulau Neraka dengan
senjata terhunus. Tapi pada saat nyaris bersamaan, Bayu yang masih di udara
mengibaskan tangan kanannya.
Singngng! Seketika Cakra Maut melesat cepat menyambar ke arah Kurapi. Akibatnya laki-laki
gemuk itu terkesiap setengah mati.
Sementara cahaya putih yang mengeluarkan
bunyi desing nyaring dari Cakra Maut itu melesat
tidak tertahankan. Kurapi cepat menyabetkan goloknya untuk menangkis.
Tras! Namun siapa sangka kalau golok itu sama sekali tidak berguna. Bahkan putus
disambar senjata Cakra Maut Malah senjata Pendekar Pulau
Neraka terus menyambar pangkal lehernya.
Cras! "Aaakh...!"
Terdengar jeritan Kurapi yang menyayat Darah
muncrat bersama tubuhnya yang ambruk ke tanah tidak berdaya!
"Hei"! Kurapi!" Kurapa tersentak kaget begitu
mendengar jeritan Kurapi yang kini menggelepargelepar meregang nyawa. Padahal
saat itu dia sedang mendesak lawannya. Malah Ki Bhatara Wisesa sendiri sempat
keteter beberapa kali.
Tanpa mengindahkan lawannya, Kurapa melompat menyerang Bayu dengan amarah
meluapluap. "Pendekar Pulau Neraka! Kau harus membayar nyawa saudaraku dengan nyawa busukmu!
Yeaaa...!"
Kurapa langsung mengelebatkan senjatanya
ke arah batok kepala Bayu. Namun manis sekali
Pendekar Pulau Neraka mengelak ke samping. Lalu tubuhnya melenting ke atas, saat
Kurapa memapas pinggangnya. Dan baru saja Pendekar Pulau Neraka mendarat,
kepalan kiri laki-laki gemuk
itu menghantam keras ke arah dada. Seketika
Pendekar Pulau Neraka menangkis dengan telapak tangan kanannya.
Plak! "Uhh...!"
Laki-laki gemuk itu merasakan kepalan tangannya seperti menghantam batu cadas
ketika ditangkis Pendekar Pulau Neraka. Dan belum hilang rasa kagetnya, mendadak
Pendekar Pulau Neraka mengayunkan tendangan keras ke arah
dada. Kurapa terkejut, lalu cepat melompat ke belakang. Namun, Pendekar Pulau
Neraka terus mengejar. Seketika, kepalan tangannya menghantam ke arah dada Kurapa.
"Yeaaa...!"
Kurapa cepat menangkis dengan pergelangan
tangan kirinya.
Plakk! "Aaaakh...!"
Seketika laki-laki berewok itu menjerit kesakitan ketika tangannya beradu. Dan
belum lagi hilang rasa sakitnya, Pendekar Pulau Neraka membuat gerakan berputar.
Langsung dilepaskannya
satu tendangan setengah lingkaran ke arah punggung Kurapa. Begitu cepat
gerakannya, sehingga...,
Begkh! "Aaakh!"
Tubuh Kurapa terhuyung-huyung ke depan
disertai jerit kesakitan. Tendangan yang berisi tenaga dalam kuat itu membuat
tulang punggungnya seperti lumpuh tidak berdaya. Dan belum lagi
kedudukannya diperbaiki, mendadak melesat cahaya putih keperakan ke arahnya.
Singngng! "Hei"! Oh...!"
Kurapa hanya mampu tergagap dengan wajah
pucat. Namun Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka agaknya tidak mengenal ampun.
Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu terus menyambar
lehernya. Cras! "Aaaakh...!"
Laki-laki gemuk itu kontan menjerit tertahan,
begitu lehernya tersambar Cakra Maut. Tubuhnya
lalu ambruk dengan darah memancur dari pangkal lehernya yang nyaris putus,
membuat luka yang lebar. Sementara Ki Bhatara Wisesa hanya bisa ternganga melihat apa yang dilakukan
Pendekar Pulau Neraka. Semua berlangsung singkat saja.
Bahkan dia tidak sempat membantu Pendekar
Pulau Neraka. Dalam waktu singkat-saja Pendekar Pulau Neraka membereskan si
Setan Kembar dengan cara... amat kejam!
Nirmala sendiri sejak tadi memalingkan muka
dengan perasaan ngeri bercampur takut. Apa
yang dilakukan pemuda itu terhadap kedua lawannya, sungguh membuat hatinya
bergidik ngeri. Bukan hanya saat ini. Malah ketika pemuda
itu dulu membereskan kawanan Perampok Pisau
Terbang, dia sudah begitu ngeri.
"Kaaaakh...!"
Tiren menjerit keras seraya melompat menghampiri Bayu. Pemuda itu menangkapnya
dan membawanya ke pundaknya. Lalu dihampirinya
Ki Bhatara Wisesa dan Nirmala.
*** 6 "Nirmala, kau tidak apa-apa?" tanya Pendekar
Pulau Neraka halus.
Nirmala mengangkat wajahnya. Dan rasa takutnya yang tadi menghantuinya, kini
berubah menjadi rasa takut yang aneh ketika memandang
pemuda itu. Dua kali dia bertemu, dan dua kali
pula hatinya dibuat bergidik ngeri melihat kekejaman sepak terjang pemuda yang
berjuluk Pendekar Pulau Neraka ini.
"Eh! T... tidak...," sahut gadis itu, menggeleng
lemah. "Hm...."
Bayu menggumam pelan seraya memalingkan
wajahnya. Tidak enak rasanya memandang gadis
itu, yang berpakaian tak karuan. Sehingga, bagian-bagian tertentu tubuhnya yang
putih mulus masih terlihat. Apa yang dilakukan pemuda itu
agaknya diikuti Ki Bhatara Wisesa pula.
"Kenapa kau bisa berada di tempat ini?" lanjut
Bayu. "Eh! Ceritanya..., ceritanya...."
Nirmala tidak mampu melanjutkan kata-kata.
Suaranya seperti tercekat di kerongkongan ketika
rasa duka cita yang amat dalam terasa sesak dan
berkumpul di rongga dadanya. Wajah gadis itu
memerah dan bibirnya yang indah bergetar. Kedua kelopak matanya terlihat sembab,
menahan air mata yang hendak tumpah. Namun akhirnya
dia tak kuasa menahan, sambil menunduk sedih
gadis itu menangis terisak.
"Nirmala! Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya
Bayu, dengan wajah heran.
"Se... seorang pemuda gembel mengamuk dan
menewaskan banyak sekali pengawal kadipaten.
Dia mengincar ayahku. Dan saat aku melarikan
diri, dia... dia.... Oh, Tuhan! Bayu, tolonglah aku!
Aku..., aku takut sekali...," jelas gadis itu singkat.
"Pemuda gembel" Pemuda gembel bagaimana
yang kau maksud...?"
"Entahlah. Aku tidak tahu. Dia..., dia menyebut dirinya Si Gila dari Muara
Bangkai. Sedang
namanya kalau tidak salah Dar..., Darmo Gandul."
"Darmo Gandul"!"
Ki Bhatara Wisesa jadi terkejut mendengar sebuah nama yang diucapkan gadis itu.
Bayu memandang ke arah laki-laki setengah
baya itu dengan wajah meminta penjelasan.
"Kau kenal orang itu, Ki!"
"Hm. Nantilah kuceritakan padamu. Kalau
kau setuju, bagaimana kalau kita ke kadipaten
sekarang juga, Bayu?" ajak Ki Bhatara Wisesa.
"Baiklah. Mari, Nirmala...," sahut Bayu mengajak gadis itu seraya menuntun
tangannya. Ketika mereka mulai berangkat, Ki Bhatara
Wisesa tergesa-gesa sekali. Sedangkan Nirmala
terlihat letih dan pucat. Sesekali kakinya tersandung, dan mengeluh kesakitan.
"Bayu! Kita harus secepatnya ke sana...," kata
Ki Bhatara Wisesa.
Bayu berpikir sesaat, kemudian mengangguk
pelan. Lalu cepat digendong Nirmala. Seketika
Pendekar Pulau Neraka berlari cepat ke arah kadipaten.
"Maaf, Nirmala. Tidak ada cara lain...!" ucap
Bayu sambil berlari.
Nirmala hanya mengangguk, karena menyadari keadaan dirinya sendiri. Kini ketiga
orang itu bergerak ke tempat tujuan. Dan ketika. Bayu
mengempos tenaga untuk mengerahkan ilmu lari
cepatnya, Ki Bhatara Wisesa pun tidak mau ketinggalan. Mereka terus berlari
cepat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh.
*** Apa yang ditemukan di halaman bangunan
Kadipaten Karang Wates itu sangat mengenaskan.
Mayat-mayat para pengawal bergelimpangan di
sana-sini bersimbah darah bercampur tanah. Ki
Bhatara Wisesa mendesis geram.
"Melihat luka yang sama di dahi mereka, ini
hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki
ilmu golok yang sangat hebat. Bagaimana mungkin dia mampu berbuat begini" Kalau
benar perbuatannya, tentu amat membahayakan!" desis Ki
Bhatara Wisesa.
Sementara itu Nirmala sama sekali tidak
mempedulikan. Gadis itu sudah langsung menghambur ke dalam bangunan megah yang


Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kini sepi tanpa penghuni.
"Ayaaah...! Ibuuuu...!" teriak gadis itu, khawatir.
"Nirmala...!" seru Bayu, seraya mengejar.
Gadis itu terus menghambur ke halaman belakang, sementara Bayu mengejarnya.
Nirmala langsung menuju jalan yang tak jauh dari bagian
belakang rumahnya. Dia terus berlari, sampai
akhirnya tiba di tempat saat kereta kudanya dihadang Darmo Gandul.
"Oh, tidak! Tidaaaak..."!"
Tiba-tiba Nirmala memekik sambil mendekap
wajahnya dengan kedua tangan.
"Nirmala..."!"
Bayu tersentak dan buru-buru melompat
menghampiri. Tampak gadis itu bersimpuh di
tengah jalan, menghadapi dua sosok mayat yang
bersimbah darah. Yang seorang, laki-laki setengah baya berpakaian indah.
Punggungnya terluka
parah, seperti dihantam senjata tajam. Tangan
kanannya terjulur berusaha menggapai tangan
seorang wanita setengah baya, yang juga tergeletak bersimbah darah tanpa
mengenakan sehelai
pakaian di tubuhnya. Melihat pemandangan itu,
Bayu terpaksa memalingkan pandangan.
"Adipati Buntaran, sahabatku" Oh! Kenapa
nasibmu sampai begini rupa"!" desis Ki Bhatara
Wisesa yang telah berada di situ pula. Wajahnya
tampak pucat dengan bibir gemetar.
Bayu mendiamkan saja kedua orang itu larut
dalam kedukaan. Pendekar Pulau Neraka lantas
duduk di atas sebuah batu besar, sambil memperhatikan mereka. Sedangkan Tiren
duduk di pangkuannya. "Nirmala, tenangkanlah hatimu. Aku bersumpah akan menuntut balas atas kematian
kedua orangtuamu ini!" tegas Ki Bhatara Wisesa sambil
menepuk-nepuk pundak gadis itu.
Nirmala diam saja tanpa menoleh. Dia terpekur disertai isakan tangisnya. Ki
Bhatara Wisesa bangkit, dan memandangnya sekilas sebelum berjalan pelan menghampiri Bayu.
"Orang itu benar-benar terkutuk...!" desis
orang tua itu geram.
"Hm.... Kau belum menceritakan, bagaimana
duduk persoalannya sehingga pemuda gembel
yang diceritakan Nirmala berbuat begini terhadap
keluarga Adipati Buntaran...!" tanya Bayu.
Ki Bhatara Wisesa menarik napas panjang,
kemudian mulai menceritakan peristiwa yang terjadi tujuh tahun silam. Dan
buntutnya, adalah
kejadian sekarang ini.
*** Pemakaman Adipati Buntaran dan istrinya
serta para pengawal kadipaten dilaksanakan pada
pagi harinya. Banyak penduduk yang datang
menghadiri. Selama ini, Adipati Buntaran memang tidak terlalu ramah. Dia jarang
turun melihat keadaan rakyatnya. Namun begitu, beliau tetap dihormati. Karena
selama pemerintahannya,
tujuh wilayah yang termasuk dalam Kadipaten
Karang Wates, selalu aman-aman saja.
Sementara itu Nirmala masih tetap tidak banyak bicara. Dan Bayu pun agaknya
tidak ingin mengusik kesedihan gadis itu. Dia lebih banyak
diam, memperhatikan kesibukan itu. Sedangkan
Ki Bhatara Wisesa tampak bertindak sebagai
pengganti tuan rumah dalam kesibukan yang terjadi di rumah kediaman almarhum
Adipati Buntaran.
Orang-orang sudah kembali ke tempat masing-masing, sementara beberapa orang
penduduk yang kenal baik dengan Adipati Buntaran, masih
berada di tempat ini sambil bercakap-cakap. Ki
Bhatara Wisesa mendekati Bayu yang duduk di
salah satu pojok ruangan di teras depan.
"Bayu, maukah kau menolongku...?" tanya Ki
Bhatara Wisesa, seraya meletakkan bokongnya di
samping Pendekar Pulau Neraka.
"Hm..., tentang apa?" Bayu malah balik bertanya.
"Kita harus menghentikan perbuatan pemuda
itu. Dia tidak waras, dan akan membuat keka-
cauan yang lebih parah!"
"Kita..."!"
Ki Bhatara Wisesa memandang Pendekar Pulau Neraka dengan wajah tidak percaya.
Tadinya, dia berharap Bayu akan turun tangan membantunya untuk memerangi pemuda gembel
yang berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai. Bahkan kalau mungkin membinasakannya. Tapi,
jawaban Bayu yang bernada aneh itu membuatnya kecewa
sekali. "Bayu! Apakah..., apakah kau tidak bersedia
menolong kami?" tanya Ki Bhatara Wisesa menegaskan.
"Aku suka sekali menolong, tapi lihat dulu,
apa dan siapa yang hendak kutolong!" tegas Bayu.
"Maksudmu?"
"Orang yang sepatutnya mendapat pertolongan
tentunya!"
"Bayu! Aku tidak ingin memohon padamu. Kalau memang kau tidak ingin membantu,
aku sendiri masih mampu melakukannya! Hanya perlu
diingat, bukankah perbuatannya terhadap keluarga Adipati Buntaran sungguh keji
dan biadab"!" sentak orang tua itu tak senang.
"Tentu saja! Tapi, kau telah bercerita padaku,
kenapa Si Gila dari Muara Bangkai, sampai berbuat demikian. Kalian telah
membunuh anak dan
istrinya. Bahkan beberapa orang kawanmu menodai istrinya, sebelum dibunuh.
Bukankah berarti kalian sama keji dan biadabnya"! Dan semua
itu atas perintah Adipati Buntaran!" sahut Bayu,
tidak kalah sengitnya.
"Dia patut menerima itu, setelah apa yang dilakukannya terhadap wanita-wanita
seluruh kadipaten ini!" kilah Ki Bhatara Wisesa.
"Hm. Sudah sewajarnya sebagai seorang manusia, dia memiliki dendam yang hebat
terhadap kalian. Seandainya aku diperlakukan begitu, tentu akan bisa merasakan dendam
yang hebat dalam dadaku...."
"Terima kasih atas bantuanmu semalam,
Bayu. Maaf, aku musti mengurus yang lainnya...!"
sahut Ki Bhatara Wisesa seraya beranjak dari
tempat itu. Bayu menghela napas panjang seraya memandang laki-laki itu. Kemudian
pandangannya dialihkan, seraya bangkit dan perlahan-lahan meninggalkan tempat.
Namun baru saja keluar dari
halaman depan bangunan kadipaten itu, mendadak.
"Bayu, tunggu...!"
Bayu langsung menoleh. Tampak Nirmala
menghampirinya. Dia menunggu beberapa saat
Dan ketika telah dekat, bukannya bicara dengan
pemuda ini, tapi gadis itu malah menundukkan
kepala dengan keadaan membisu.
"Ada apa, Nirmala...?"
"Apakah kau akan meninggalkanku begini saja...?" tanya gadis itu bernada berat
serta putus asa. "Nirmala! Di antara orang-orang itu terdapat
kerabatmu. Dan kau berarti telah berada di ten-
gah keluargamu...."
"Bayu! Benarkah kau tidak ingin menolongku...?"
"Menolong bagaimana, Nirmala...?"
Gadis itu menarik napas panjang-panjang,
kemudian menghembuskannya perlahan-lahan
seraya mengalihkan pandangan. Kemudian beberapa saat kemudian matanya menatap
lurus kepada Bayu.
"Tahukah kau, betapa sakit hati dan dendamnya hatiku melihat keadaan begini yang
menimpa keluargaku" Kalau saja aku memiliki kemampuan
tentu saja tidak mesti memohon kepadamu...,"
kata gadis itu.
Bayu memandang gadis itu sejenak.
"Nirmala, maaf. Bukannya aku tidak mengerti
perasaanmu. Tapi, aku tidak bisa berjanji. Kita lihat saja bagaimana nanti,"
ucap Bayu pelan.
Kemudian Bayu berbalik dan berlalu dari tempat itu. Nirmala ingin menahannya,
namun hanya bisa terpaku dengan wajah tidak menentu. Dan
matanya menyertai pemuda itu sampai hilang dari pandangannya.
Haruskah Bayu menolong mereka" Bukankah
dendam antara keduanya telah menjadi impas"
Adipati Buntaran menyiksa pemuda gembel yang
berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai berikut istri
dan anaknya. Sedangkan Si Gila dari Muara
Bangkai telah membalasnya. Hanya saja, pemuda
gembel itu masih berkeliaran dan Adipati Buntaran telah menemui ajalnya. Lalu,
siapakah yang akan membalaskan dendam orang-orang yang telah dianiaya pemuda itu sebelumnya"
Dan bukan tidak mungkin, dia akan membuat keonaran yang
lebih dahsyat Apalagi kemampuannya yang menurut Ki Bhatara Wisesa, telah
meningkat pesat
Tentu semakin sulit saja bagi orang lain untuk
mencegah perbuatan-perbuatan buruknya.
*** Dua orang laki-laki berusia setengah baya
tampak berlari cepat melintasi pinggir Hutan Kali
Walang. Melihat dari cara berpakaian dan senjata
yang disandang, jelas kalau keduanya termasuk
tokoh persilatan. Yang seorang berpakaian serba
kuning, dengan sebilah pedang di punggung. Sementara yang seorang lagi berbaju
hijau, membawa-bawa sebuah tongkat baja yang ujungnya
runcing seperti tombak.
"Kakang Baladewa! Apakah menurutmu Ki
Jangger ada di tempatnya saat ini" Sudah lama
sekali kita tidak bertemu beliau," kata lelaki yang
berbaju kuning.
"Entahlah, Adi Dunggo. Mudah-mudahan saja
dia ada di tempatnya," sahut laki-laki berbaju hijau yang dipanggil Baladewa.
"Hm. Apa yang menimpa Adipati Buntaran sudah jelas. Darmo Gandul ternyata masih
hidup, dan kepandaiannya kini berlipat ganda. Seharusnya dulu pastikan kematiannya di
dalam jurang. Tapi Ki Jangger malah mengajak kita pergi. Dan
sekarang, beginilah jadinya. Dia menyusahkan ki-
ta saja...!" umpat laki-laki yang bernama Ki
Dunggo dengan wajah kesal.
"Hm. Itu sudah menjadi tanggung jawab kita.
Tidak perlu menyesali apa yang telah terjadi. Toh
pada saat itu, tidak ada yang menolak usulnya.
Sebab, jurang tempat kita membuangnya telah
terkenal angker dan banyak dihuni binatangbinatang berbisa. Kita tidak tahu,
bagaimana caranya dia bisa lolos dari maut. Yang jelas, kita harus menyiapkan
diri dari segala ancamannya...,"
gumam Ki Baladewa.
"Benar, Kakang. Tapi aku sedikit khawatir.
Dulu saja, kita bersusah payah menjatuhkannya.
Dan, setelah tujuh tahun berselang, ternyata kemampuannya semakin pesat, aku
khawatir apakah kita bisa mengalahkannya...?" desah Ki
Dunggo, seperti berat untuk mengatakannya.
Ki Baladewa terdiam mendengar kata-kata Ki
Dunggo. Apa yang didengarnya memang tidak salah. Kematian Adipati Buntaran dan
seluruh pengawal kadipaten, telah membuatnya cemas. Pemuda gembel itu sama
sekali tidak menemui kesulitan menghadapi kedua panglima kadipaten
yang memiliki kepandaian cukup tinggi.
"Apa yang kau pikirkan, Kakang?" tanya Ki
Dunggo membuyarkan lamunan laki-laki itu.
"Dia sedang memikirkan kematiannya...! Hi hi
hi...!" Mendadak terdengar satu suara menyahuti.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, tiba-tiba melesat sesosok tubuh dari atas
sebuah cabang po-
hon, lalu tepat berdiri di depan mereka.
"Hei"!" kedua orang itu tersentak kaget dan
langsung menghentikan langkah.
Di depan mereka, kini berdiri tegak seorang
pemuda berpakaian compang-camping dengan
rambut panjang awut-awutan. Di pinggangnya
terselip sebuah golok agak panjang. Sorot matanya tajam dan memandang rendah ke
arah mereka berdua.
"Siapa kau..."!" bentak Ki Dunggo garang.
"He he he...! Dunggo Keparat! Ternyata kau
sudah lupa padaku. Tapi jangan harap Darmo
Gandul akan lupa padamu!" sahut pemuda gembel itu.
"Darmo Gandul! Jadi, kau yang berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai...?" sahut Ki
Dunggo, dengan wajah kaget
Bukan hanya Ki Dunggo yang terkejut. Malah
Ki Baladewa sampai terjingkat. Terakhir mereka
mengenal Darmo Gandul adalah pemuda tampan
yang selalu rapi, serta memiliki kemampuan hebat Maka tidak heran bila dia mampu
menggaet dan merusak kehormatan gadis-gadis yang tergila-gila padanya. Tapi yang mereka
lihat saat ini,
Darmo Gandul lebih buruk dan jorok dari pengemis yang paling kotor sekalipun.
Kalaupun ada yang membuat nyali mereka ciut, adalah sorot
mata pemuda itu yang tajam laksana seekor harimau hendak menerkam mangsa.
"He he he...! Mulai ciut, Dunggo Keparat" Hari
ini, kalian berdua tidak akan bisa lepas dari ke-
matian! Hi hi hi...! Satu persatu kalian akan
mampus di tanganku. Si Buntaran keparat telah
mendapat giliran pertama. Dan belum lama berselang, kawan kalian si, setan
Gumilar telah menyusulnya. Hi hi hi...!"
"Apa"! Kau telah membunuh Gumilar pula"
Keparat! Kau tidak akan lepas dariku, Darmo
Gandul!" sentak Ki Baladewa garang.
"Diam! Cabut senjatamu, dan pertahankan


Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyawamu dari golokku...!" bentak Darmo Gandul
dengan suara menggeledek.
Setelah berkata demikian, Si Gila dari Muara
Bangkai langsung mencabut golok dan melompat
menerkam. "Yeaaa...!"
Ki Baladewa dan Ki Dunggo tersentak kaget
Namun mereka buru-buru melompat ke belakang,
menghindari serangan Darmo Gandul seraya
mencabut senjata.
Sring! Begitu senjata mereka tercabut, langsung dipapaknya serangan golok Si Gila dari
Muara Bangkai. Trak! Trak! "Uhh...."
Kembali kedua orang itu terkejut, ketika mencoba menangkis golok Darmo Gandul.
Pedang Ki Dunggo terlihat rompal, dan nyaris terlepas dari
genggamannya. Telapak tangannya terasa nyeri
dan terkelupas, ketika benturan terjadi. Begitu
pula tongkat Baladewa yang nyaris patah, disam-
bar golok itu. Tenaga dan kecepatan Si Gila dari
Muara Bangkai amat cepat dan kuat. Dan belum
lagi beberapa jurus, mereka tampaknya mulai keteter.
"Hiyaaaa...!"
Kedua orang tua itu menggeram," mencoba
membalas menyerang. Namun Si Gila dari Muara
Bangkai gesit sekali mengelak dengan melenting
ke atas. Dan tahu-tahu, dia telah mendarat di belakang mereka sambil mengayunkan
goloknya. Cras! "Aaah...!"
Ki Dunggo mengeluh kesakitan, ketika golok Si
Gila dari Muara Bangkai memotong telinga kirinya.
Sementara nasib baik masih berpihak pada Ki
Baladewa. Begitu golok Darmo Gandul berkelebat
ke arahnya, dia cepat berbalik. Seketika ditangkisnya golok itu.
Trang! Ki Baladewa terjajar beberapa langkah. Namun
belum juga bisa menguasai diri, tiba-tiba ujung
kaki pemuda itu meluncur ke arah dadanya. Begitu cepatnya, sehingga....
Begkh! "Aaaakh!"
Ki Baladewa mengeluh tertahan, begitu kaki
Darmo Gandul mendarat telak di dadanya. Tubuhnya sampai terjajar beberapa
langkah, namun cepat menguasai diri. Seketika dikerahkannya
hawa murni untuk mengusir rasa sesak yang me-
nyerang dadanya.
"Hi hi hi...! Dua ekor tikus busuk menjerit kesakitan! He he he...! Sebentar
lagi, kalian akan
merasakan sakit yang lebih hebat dan seru...!"
ejek Si Gila dari Muara Bangkai tertawa terkekeh.
"Setan!" Ki Dunggo menggeram. Demikian juga
Ki Baladewa. Dengan disertai amarah meluap kedua orang itu melompat bersamaan
menyerang Si Gila dari Muara Bangkai.
"Yeaaaa...!"
Si Gila dari Muara Bangkai menggeram. Tubuhnya segera bergerak cepat, melejit
menghindari serangan kedua lawannya. Terasa angin bersiur
cepat Dan begitu berada di udara, Darmo Gandul
cepat meluruk turun disertai sabetan goloknya ke
arah Ki Dunggo yang hanya mampu ternganga.
Dan tahu-tahu....
Cras! "Aaaaa...!"
Ki Dunggo memekik keras, begitu dahinya terbabat golok Si Gila dari Muara
Bangkai. Tubuhnya, terjungkal dengan darah mengucur deras dari luka dalam di
dahinya, tepat ketika Darmo
Gandul mendarat di tanah.
"Hei"! Kurang ajar...!"
Bukan main geram dan marahnya Ki Baladewa melihat kenyataan itu. Darahnya
tersirap, dan langsung menyerang pemuda itu dengan membabi buta.
"He he he...! Sini! Ke sinilah cepat. Susullah
kawanmu itu...!" ejek Darmo Gandul.
"Yeaaaa...!"
Ki Baladewa menyabetkan tongkatnya menyapu seluruh tubuh Darmo Gandul. Sehingga
terlihat seolah pemuda itu terkurung dan tidak mampu keluar dari putaran
tongkatnya. Namun, mendadak Ki Baladewa terkejut. Tiba-tiba, Darmo
Gandul melompat ke atas, lalu meluruk dengan
kebutan goloknya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Cras! "Aaaa...!"
Terdengar jerit tertahan, kemudian terlihat tubuh Ki Baladewa ambruk bermandikan
darah dengan dahi luka cukup dalam.
"Hi hi hi...! Mampus kau! Mampus kalian...! Hi
hi hi...!" teriak Si Gila dari-Muara Bangkai seraya
tertawa nyaring dan melesat meninggalkan Hutan
Kaliwalang yang kembali sunyi seperti tadi.
*** 7 Seorang laki-laki tua tampak duduk terpaku
dengan kedua kaki bersila di atas bale-bale di beranda pondoknya yang sederhana.
Matanya yang cekung memandang lurus ke depan. Sementara
dua orang laki-laki lain yang berusia sekitar tiga
puluh tahun, berada di kiri kanannya, dengan
mata jelalatan ke seluruh tempat itu, seperti
mencari-cari sesuatu. Wajah mereka tampak me-
nyiratkan perasaan cemas, dan gelisah. Demikian
juga yang terlihat pada wajah lelaki tua itu. Namun, agaknya dia berusaha
menepis perasaannya
dan bersikap lebih tenang.
"Ki Jengger, apakah kira-kira dia akan datang?" tanya laki-laki yang memakai
ikat kepala merah pada laki-laki tua itu.
Orang tua yang dipanggil Ki Jangger menoleh
kemudian tersenyum kecil.
"Dia telah mengirim surat tantangan pada kita. Jadi sudah pasti dia akan datang
ke sini, Sasongko...."
"Hm.... Kepandaiannya maju pesat dan sangat
luar biasa. Seluruh pengawal kadipaten berikut
dua orang panglimanya yang tangguh, dapat disapu bersih olehnya...," gumam laki-
laki yang seorang lagi.
"Apakah kau merasa gentar, Dusila?" tanya Ki
Jangger. "Entahlah. Kemampuanku bisa diukur, dan
tidak banyak mengalami kemajuan belakangan
ini. Aku tidak mengira dia masih hidup setelah
dicemplungkan ke dalam jurang...."
"Salahmu sendiri. Kau terlalu rakus dengan
perempuan! Kerjamu hanya pelesir dan bersenang-senang saja...!" umpat Ki
Jangger. Dusila hanya tersenyum.
"Seharusnya kita menghubungi Ki Dunggo, Ki
Baladewa, dan Ki Bhatara Wisesa lebih dulu...,"
kata Sasongko pelan.
"Hm. Siapa yang tahu kalau saat ini mereka
masih hidup...."
"Apa maksudmu, Ki Jangger?"
"Siapa tahu Darmo Gandul telah menghabisi
mereka lebih dulu. Ki Gajah Lanang telah tewas
di tangannya. Dan bukan tidak mungkin, dia
mendatangi mereka satu persatu untuk mengurangi kekuatan kita," sahut Ki Jangger
menjelaskan. Sasongko menghela napas panjang, untuk
mengusir kegalauannya.
"Hm.... Dulu saja, kita harus susah payah baru berhasil mengalahkannya. Lalu,
apa yang bisa kita lakukan dengan bertiga begini?" tanya Dusila.
"Agaknya kau takut, Dusila?" sindir Ki Jangger.
"Aku bukan takut, Ki Jangger. Hanya masih
sayang nyawaku...!"
"Kau boleh pulang sebelum dia datang!" sahut
Ki Jangger tenang.
Ki Dusila menarik napas panjang.
"Hm, kukira itu usul yang baik. Kepandaianku
tidak seberapa. Malah masih berada di bawah
Kakang Gajah Lanang. Kalau saja dia tewas di
tangan pemuda itu, sudah pasti aku tidak akan
mampu berbuat apa-apa menghadapinya...," sahut Dusila, mengutarakan
kekhawatirannya.
"Jadi, kau ingin melarikan diri, Dusila...?"
tanya Sasongko.
"Aku tidak mau mati konyol di sini!"
"Hm. Kau pengecut, Dusila!" ejek Sasongko.
"Terserah apa kata kalian. Yang jelas, aku masih sayang nyawaku...!" sahut
Dusila seraya beranjak dari tempat itu.
Sasongko merasa geram bukan main melihat
kepengecutan kawannya. Dia sudah mau melompat mengejar. Namun Ki Jangger telah
menangkap pergelangan tangannya.
"Biarkan saja dia memilih jalannya, Sasongko!"
"Huh! Aku tidak sudi punya kawan sepengecut
dia! Dia tidak pantas hidup. Lebih baik mampus
di tanganku!"
"Tidak perlu! Apa kau pikir Darmo Gandul
akan membiarkannya lolos begitu saja" Tidak. Ke
mana pun dia pergi, pemuda gembel itu akan
mencarinya. Dan dia akan celaka karena harus
menghadapinya seorang diri. Paling tidak, kita beruntung karena bisa
menghadapinya berdua...,"
jelas Ki Jangger.
Meski Sasongko bisa mengerti apa yang dimaksud Ki Jangger, namun hatinya masih
tetap panas. Dan hawa amarah dalam dirinya belum bisa
surut begitu saja. Dipandangi Dusila yang melenggang seenaknya di depan mereka.
"Huh! Manusia Pengecut Busuk! Mudahmudahan di tengah jalan bertemu Darmo Gandul
dan mampus di tangannya!" dengus Sasongko
menahan geram. Dan baru saja kata-katanya selesai, mendadak
terdengar jerit panjang melolong. Tampak Dusila
terbirit-birit lari ke arah mereka dengan darah
memancur deras di dahinya. Namun baru saja
melangkah tiga tindak, tubuhnya ambruk dan
nyawanya melayang seketika. Tidak jauh dari
mayatnya, tampak berdiri tegak seorang pemuda
berpakaian gembel dengan rambut panjang awutawutan. Senyumnya sinis dan sorot
matanya tajam memandang rendah ke arah mayat Dusila.
"He he he...! Kau kira bisa kabur seenaknya
lari dariku, Setan"! Hm.... Tidak ada seorang pun
dari kalian yang akan hidup jika aku mendatangi...!" kata pemuda gembel itu
sambil terkekehkekeh sendiri.
Sasongko dan Ki Jangger tersentak kaget Dan
mereka jadi saling pandang sesaat.
"Si Gila dari Muara Bangkai!" seru mereka,
hampir berbarengan. Kembali tatapan kedua
orang itu beralih pada sosok pemuda berpakaian
compang-camping itu.
"Dia telah datang, Ki Jangger," lanjut Sasongko.
Ki Jangger mengangguk. Kemudian dia beranjak dari duduknya. Demikian pula
Sasongko. Mereka lantas berjalan lalu berdiri tegak beberapa
tindak, lalu menunggu pemuda gembel itu menghampiri.
*** "Hi hi hi...! Kalian tentu terlalu lama menungguku, bukan" Maafkanlah. Sebab,
baru saja tadi aku mengirim dua orang kawan kalian. Siapa
namanya" Ah, aku ingat! Satu seekor tikus kurap
yang bernama Dunggo. Dan satu lagi, seekor kecoa buduk tidak berguna yang
bernama Baladewa. Mereka telah menyusul kawan-kawannya
yang lain. Dan si pengecut ini, pantas mendapat
giliran berikutnya...!" teriak pemuda itu sambil terus tertawa-tawa sendiri
kegirangan. "Darmo Gandul! Jangan dikira dengan ulahmu
ini bisa menggertak kami!" sahut Ki Jangger, dingin.
"Ha ha ha...! Tua Bangka bulukan yang bernama Jengger! Kau kira aku menggertak,
heh" Untuk apa" Aku tidak akan menggertakmu, tapi
langsung akan mengirim kalian ke akherat menyusul yang lain!" ejek Si Gila dari
Muara Bangkai. "Keparat!"
"Hei" Apa kau bilang, Kodok buduk"!" sentak
Darmo Gandul pada Sasongko yang menggeram.
"Kau Jahanam keparat!" maki Sasongko.
"He he he...! Kalian pun pantas mendapat sebutan itu. Kalau begitu, kita sama-
sama keparat Masih ingat peristiwa tujuh tahun silam. Oh....
Kasihan sekali istriku mendapat perlakuan kalian
yang buas. Kau dan Dusila jahanam itu, memperkosanya tanpa henti. Lalu,
membunuhnya di depan mataku. Dan aku juga berbuat begitu terhadap istrimu dan semua kekasih
Dusila jahanam itu. Mereka semua mampus setelah terengah-engah meladeniku. Hanya
sayang, kau tidak
sempat menyaksikannya, Sasongko...."
"Apa katamu" Keparat jahanam! Apa yang kau
lakukan terhadap istriku..."!" geram Sasongko
dengan mata melotot lebar.
"Eit, eit! Jangan sampai lupa. Tidak hanya istrimu, tapi juga anak perempuanmu
yang sedang ranum-ranumnya...! Hi hi hi...!"
"Setan! kubunuh kau! Kubunuh kau...!" geram
Sasongko bukan main, laki-laki itu bahkan langsung melompat menyerang setelah
mencabut goloknya.
"Yeaaa...!"
Ki Jangger hendak menahan kawannya, namun Sasongko telah lebih dulu melompat
menyerang dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Sebagai orang yang lebih tua
dan kenyang

Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengalaman, Ki Jangger bisa merasakan bahaya
yang akan menimpa kawannya. Sasongko bertarung dengan amarah meluap-luap, yang
bakal membuat serangan-serangannya menjadi tidak
beraturan. Maka laki-laki tua itu tidak bisa berpangku tangan saja. Dengan
cepat, dicabutnya
pedang yang tergenggam di tangan kiri. Lalu
orang tua itu ikut melompat menyerang Darmo
Gandul. "Darmo Gandul, maaf. Aku terpaksa ikut turun tangan...!"
"He he he...! Siapa yang melarangmu" Lebih
cepat kalian maju bersamaan, akan lebih bagus.
Berarti memudahkan pekerjaanku...!" sahut Darmo Gandul tenang.
"Yeaaa...!"
"Setan...!"
Golok Sasongko menyambar-nyambar, mengurung pertahanan Darmo Gandul. Sementara
Ki Jangger menjaga agar jangan sampai Darmo
Gandul mampu menghindar. Maka begitu melihat
pemuda itu bergerak menyusup ke atas, ujung
pedangnya langsung menghadang.
Trang! "Uhhh...!"
Bukan main kagetnya Ki Jangger, ketika pedangnya membentur golok Si. Gila dari
Muara Bangkai yang tercabut dengan cepat. Tangannya
langsung bergetar hebat dan jantungnya berdetak
lebih kencang. Dan belum sempat menguasai diri,
tendangan Darmo Gandul meluncur ke arah dagunya.
"Hiiih...!"
Masih untung Ki Jangger melompat ke belakang, untuk menghindarinya. Dan dia
semakin tertolong, ketika Sasongko mengayunkan golok
menebas pinggang Darmo Gandul.
"Mampus...!"
"He he he...! Apanya yang mampus" Kau yang
akan mampusss...!" ejek Darmo Gandul seraya
menghindari serangan dengan cepat.
Tubuh Si Gila dari Muara Bangkai melejit ke
belakang sambil menunduk, sekaligus menghindari tebasan pedang Ki Jangger.
Goloknya menyilang di dahi, lalu mendadak saja berkelebat cepat
menyambar kepala Sasongko.
Cras! "Aaaa...!"
Sasongko kontan memekik panjang begitu golok Darmo Gandul membabat dahinya.
Tubuhnya langsung tersungkur ke depan dengan darah
mengucur deras dari dahinya.
Maka bukan main kagetnya Ki Jangger. Untuk
sesaat dia tidak tahu harus berbuat apa.
"Hua ha ha...! Mampus! Eh, dia benar-benar
mampus! Hi hi hi...! Dasar kodok buduk tidak
berguna. Tua Bangka, keparat! Kini di antara kalian yang tersisa, tinggal dua
orang lagi Ki Bhatara Wisesa dan kau! Sayang, dia tidak kujumpai di
rumahnya. Tapi, kau ada di hadapanku. Maka,
kaulah yang lebih dulu akan menyusul kawankawanmu!"
"Darmo Gandul! Sampai kapan pun aku tidak
takut menghadapimu. Kau tidak perlu menggertakku...!" sahut Ki Jangger dingin.
"Hi hi hi...! Apakah aku menggertakmu" Hi hi
hi...! Aku tidak pernah mengatakannya. Tapi, justru akan melaksanakannya.
Seperti sekarang...!"
Setelah berkata demikian, tubuh Darmo Gandul melesat cepat menerkam Ki Jangger.
Namun orang tua yang telah waspada itu menangkis gesit
dengan kibasan pedangnya. Sejak tadi diperhatikannya, cepat sekali Darmo Gandul
mencabut golok. Dan secepat itu pula disarungkannya kembali. Permainan goloknya
tidak seperti kebanyakan
tokoh-tokoh lainnya. Begitu selesai satu gerakan,
maka kembali disarungkannya. Lalu, dicabut
kembali jika diperlukannya. Semua dilakukan
dengan gerakan cepat sekali. Bahkan pandangan
mata orang tua itu yang tajam, sedikit mengalami
kesulitan untuk melihatnya kalau tidak diamatamati betul.
Begitu tangan Darmo Gandul meraba gagang
golok cepat sekali Ki Jangger mengayunkan pedangnya, gerakan pemuda itu sungguh
cepat luar biasa. Baru saja pedang orang tua itu mengibas,
golok Darmo Gandul telah memapaknya.
Trangngng! Seperti perkiraannya, pedang Ki Jangger rompal disambar golok pemuda itu. Malah
nyaris terlepas dari genggamannya akibat himpitan tenaga
dalam Darmo Gandul yang disalurkan begitu
kuat. "Hiiih!"
"Uts!"
Ki Jangger melompat ke belakang, ketika Si
Gila dari Muara Bangkai mengayunkan tendangan menggeledek. Tubuh pemuda gembel
itu langsung melompat mengejar. Dan sambil berbalik, kepalan tangannya dihantamkan
ke dada orang tua itu. Maka Ki Jangger cepat mengibaskan pedangnya. Namun, ternyata
pukulan itu hanya tipu belaka. Karena tanpa disangka-sangka
Darmo Gandul menarik kepalan tangannya, lalu
cepat sekali memutar tubuhnya. Dan seketika
kaki kanannya diayunkan menghantam telak
pinggang Ki Jangger.
Begkh! "Aaakh...!"
Ki Jangger menjerit kesakitan begitu pinggangnya tersambar kaki pemuda itu.
Tepat ketika tubuhnya terjungkal ke belakang, Si Gila dari
Muara Bangkai melompat menerkam disertai
sambaran goloknya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
"Yeaaaa...!"
Crasss! "Aaaa...!"
Ki Jangger kembali memekik tertahan, begitu
golok Darmo Gandul menyambar dahinya. Darah
kontan memancur deras dari luka yang memanjang dan dalam. Tubuhnya terjungkal ke
tanah diiringi tawa nyaring Si Gila dari Muara Bangkai
yang melesat meninggalkan tempat itu.
"Ha ha ha...!"
*** Dua sosok tubuh berbeda usia dan berlainan
jenis tampak berjalan santai sekali. Mereka tampaknya lebih banyak berdiam diri.
Hanya sesekali lelaki tua di sebelah sosok gadis cantik itu menghibur. Sementara, gadis itu
hanya tersenyum kecil. Lalu kepalanya tertunduk dengan wajah muram.
"Akan ke. mana tujuan kita sekarang, Paman
Bhatara Wisesa...?" tanya gadis itu, setelah sekian
lama berjalan. Keringat mulai bercucuran di dahinya. Dan nyata sekali, keletihan
membayangi wajahnya. Dan laki-laki tua yang tak lain Ki Bhatara Wisesa itu tersenyum kecil.
"Agaknya kau terlalu larut dalam kesedihanmu, Nirmala. Sehingga tidak mendengar
katakataku sejak tadi...."
"Maafkan aku, Paman...," ucap gadis yang ternyata adalah Nirmala.
"Nirmala.... Kita akan menuju tempat kawanku. Dia seorang tokoh hebat. Mudah-
mudahan bersama yang lainnya, kami akan berhasil mengalahkan pemuda gembel itu. Kau
tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Tidak lama lagi, pemuda gembel itu
tentu akan mendapat pembalasan
yang setimpal atas perbuatannya!" tegas Ki Bhatara Wisesa meyakinkan.
Nirmala, putri Adipati Buntaran itu terdiam
beberapa saat lamanya mendengar penjelasan Ki
Bhatara Wisesa.
"Apa yang sedang kau pikirkan...?" tanya Ki
Bhatara Wisesa seperti mengerti jalan pikiran gadis itu.
"Eh! Tidak ada, Paman...!"
Ki Bhatara Wisesa tersenyum kecil.
"Nirmala! Aku telah menganggapmu sebagai
putriku sendiri. Dan demikian pula, aku berharap
kau sudi menganggapku sebagai pengganti ayahmu..., yang telah tiada."
"Terima kasih, Paman...."
"Ayahmu bersahabat baik denganku. Kami seperti saudara saja layaknya. Nah!
Maukah kau menganggapku sebagai pengganti ayahmu?"
Gadis itu tersenyum, kemudian mengangguk
kecil. "Hm, sebagai seorang ayah, sudah sepatutnya
membantu anaknya. Kulihat wajahmu muram terus. Apa gerangan yang kau
pikirkan...?" tanya Ki
Bhatara Wisesa.
"Aku ingin agar pemuda gembel itu menerima
pembalasan yang setimpal, Paman...!"
"Ya! Paman mengerti dan bisa merasakannya.
Namun, rasanya masih ada kekecewaan lain yang
tersirat di wajahmu. Boleh paman tahu?" desah
laki-laki itu. Gadis itu menggeleng lemah.
"Tidak ada...."
"Kau memikirkan pemuda itu, bukan...?" duga
Ki Bhatara Wisesa.
"Siapa yang Paman maksudkan...?" tanya gadis itu sedikit kaget.
"Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Pulau Neraka...!"
Nirmala terdiam. Wajahnya yang tampak jengah, buru-buru dialihkan. Namun, Ki
Bhatara Wisesa masih sempat melihatnya.
"Betul kau memikirkannya...?"
Nirmala tidak menjawab. Namun tidak bisa
memungkiri apa yang dikatakan orang tua ini.
Dia memang memikirkan Bayu. Dan rasanya, tidak bisa dilupakannya begitu saja.
Dua kali dia diselamatkan pemuda itu. Padahal Nirmala sama
sekali tidak mengenalnya. Sikapnya yang tidak
peduli, bahkan berkesan tidak ramah, entah kenapa membuatnya merasa senang
terhadap pemuda itu. Tapi sebagai seorang wanita yang ter-
biasa hidup di lingkungan yang penuh tata krama, tidak mungkin perasaannya
dibeberkan. Atau, paling tidak sedikit memberikan lampu hijau bagi pemuda itu. Dan ketika
Bayu sama sekali
tidak mengerti apa yang dirasakannya, seharusnya Nirmala kesal dan benci.
Perasaan itu pun
ada, namun hanya sesaat. Karena, gadis ini tidak
mampu menghimpit rasa sukanya terhadap Bayu.
"Benar, bukan...?" tanya Ki Bhatara Wisesa
menyentak lamunannya.
Gadis itu kembali tersenyum kecil, seraya berpaling.
"Jangan terlampau berharap kepadanya, Nirmala. Sebagai orang tua, aku memberi
nasihat yang berguna bagimu...," ujar Ki Bhatara Wisesa.
"Kenapa, Paman?"
"Dia orang liar dan sulit diatur. Bahkan sangat
terkenal kejam. Orang begitu sulit dipercaya.
Meski selama ini dia terkenal sebagai pembasmi
kejahatan yang sulit dicari tandingannya, tapi
sering berbuat sesuka hatinya. Buktinya dalam
persoalan ini, dia sama sekali tidak peduli!"
Nirmala diam saja mendengar kata-kata orang
tua itu. "Nah! Orang seperti itu, tidak pantas menerima perhatianmu. Lebih baik jangan
diingat-ingat lagi!" tandas orang tua itu.
"Dia memang kejam, Paman. Tapi Bayu telah
dua kali menolongku. Bagaimana mungkin Paman bisa menafsirkannya begitu?" tanya
Nirmala, heran. "Hm, paman tidak katakan dia jahat. Tapi, wataknya sulit diduga. Itu saja. Bisa
jadi sekarang dia baik dan telah menolongmu. Tapi, siapa tahu
di lain kesempatan malah meminta pamrih dan
berbuat yang bukan-bukan terhadapmu!"
"Kurasa dia bukan orang seperti itu, Paman...."
"Hm.... Terserahlah. Paman hanya tidak ingin
kau jatuh ke dalam kebaikan palsu seorang lakilaki yang belum banyak kau kenal.
Sebab, kalau saja terjadi sesuatu yang buruk terhadapmu, sudah barang tentu kedua orangtuamu
di alam sana akan menyesali paman..."
"He he he...! Sejak kapan kunyuk yang bernama Ki Bhatara Wisesa pandai
menasihati orang...?"
Tiba-tiba terdengar suara menyahuti.
"Hei"!"
"Ohhh!"
*** 8 Mendadak saja melesat sebuah bayangan. Dan
sebentar saja telah berdiri sesosok tubuh di hadapan Ki Bhatara Wisesa dan
Nirmala. Kedua orang itu terkejut setengah mati.
"Paman, dialah orang itu...!" teriak Nirmala.
Ki Bhatara Wisesa menyipitkan matanya melihat seorang pemuda kumal berpakaian
compang- camping. Rambutnya yang panjang, dibiarkan
awut-awutan tak terurus. Sementara di pinggangnya terselip sebilah golok
berukuran agak panjang. "Hm. Jadi kau rupanya Darmo Gandul alias Si
Gila dari Muara Bangkai...?" tanya Ki Bhatara Wisesa, seperti berkata pada diri
sendiri. "Hi hi hi...! Kunyuk busuk! Agaknya kau masih ingat denganku. Bagus-bagus...!
Dan kau, gadis cantik. Sungguh pucuk dicinta ulam tiba.
Ternyata, tidak bersusah payah aku mencarimu
ke mana-mana. Sebentar lagi, setelah aku membereskan kunyuk ini, aku akan
bersenang-senang
denganmu...!" sahut Darmo Gandul diiringi tawa
nyaring. "Darmo Gandul! Tutup mulut kotormu itu!"


Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentak Ki Bhatara Wisesa.
"Hm. Pintar menyalak juga kau, Kunyuk! Mudah-mudahan sebentar lagi kau akan
menyalak panjang sebagai akhir hidupmu. Ke mana kawankawan yang lain" Ha ha ha...!
Sungguh bodoh diriku! Kenapa aku menjadi pelupa begini" Hi hi
hi...! Mereka memang sudah tidak sabar menyusul si Keparat Buntaran. Jadi..., ya
kukirim saja mereka semua menyusulnya. Dan sungguh kasihan, karena kau orang terakhir...!"
"Darmo Gandul, apa maksudmu"!"
"He he he...! Kau membentak, ya" Ha ha ha...!
Sungguh hebat, Kunyuk tolol. Nyawa telah di ambang maut, masih mencoba unjuk
gigi. Kalau melihat jalan yang ditempuh, agaknya kau akan me-
nemui kawan-kawanmu, bukan" Nah! Lebih baik,
urungkan niatmu. Sebab, mereka semua telah kojor! Hi hi hi...! Kunyuk Jangger,
Sasongko, Dusila,
kodok Dunggo, dan kecoa Baladewa, telah kabur
duluan ke akherat! Hi hi hi...!"
"Keparat! Aku bersumpah akan membunuhmu...!"
Srettt! Dengan amarah meluap-luap mendengar katakata Darmo Gandul, Ki Bhatara Wisesa
mencabut kapaknya yang terselip di pinggang.
"Hi hi hi...! Mau apa kau dengan penggebuk
lalat itu...?" ejek Darmo Gandul kembali.
"Untuk menggorok lehermu, Keparat!"
"Yeaaaa...!"
Setelah berkata demikian, Ki Bhatara Wisesa
langsung melompat menyerang. Darmo Gandul
dengan mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Meski belum membuktikan akan kehebatan lawannya, namun kalau saja Darmo Gandul
mampu mengobrak-abrik seluruh pengawal kadipaten,
tentu saja kepandaiannya tidak rendah.
Wukkk! "Uts! Belum kena, Monyet!" ejek Darmo Gandul, langsung mengelak manis saat kapak
orang tua itu menyambar lehernya. Kepalanya ditekuk
ke belakang, dan tubuhnya bergerak ke samping.
Ki Bhatara Wisesa menggeram, lalu tubuhnya
berputar. Cepat kapaknya dihantamkan ke tulang
iga Si Gila dari Muara Bangkai.
Bettt! "Jauh sekali, Setan!" ejek Darmo Gandul, disertai gerakan menghindar. Tubuhnya
melejit ke samping, lalu melompat ke atas.
"Sekarang kau akan mampus...!" dengus Ki
Bhatara Wisesa, langsung mengejar ke atas sambil mengayunkan kapaknya.
"Yeaaa...!"
"Hi hi hi...! Kau tak akan mampu menyerangku dengan kepandaian yang seujung kuku
itu, Monyet buduk!" ejek Darmo Gandul, langsung cepat berputaran ke belakang, dengan
tubuh masih di udara. Bukan main kalapnya Ki Bhatara Wisesa melihat pemuda itu mempermainkannya begitu
rupa sambil terus mengejeknya. Darahnya terasa naik
ke ubun-ubun, dan bola matanya merah menahan geram bukan main.
Sementara itu Nirmala terlihat pucat wajahnya
begitu melihat kehadiran pemuda gembel itu. Tubuhnya bergetar dan semangatnya
melayang terbang. Dia hanya bisa bersandar di sebuah batang
pohon, tanpa mampu menggerakkan seluruh tubuhnya untuk berlari menjauh
menyelamatkan diri. Tanpa sadar dia terus berdoa dengan bibir
gemetar. Firasatnya mengatakan, orang tua itu tidak akan mampu mengalahkan Si
Gila. dari Muara Bangkai. Bahkan bukan tidak mungkin Ki
Bhatara Wisesa akan binasa. Kalau seluruh pengawal di kadipaten saja binasa di
tangan pemuda sinting itu, apalagi Ki Bhatara Wisesa yang hanya
seorang diri"
"Oh, Bayu.... Datanglah. Aku betul-betul takut..."
Tanpa sadar gadis itu memanggil nama pemuda yang belakangan ini lekat dalam
ingatannya. "Aaaakh...!"
"Ohh!"
Nirmala tersentak kaget mendengar jeritan Ki
Bhatara Wisesa. Ternyata pergelangan tangan
orang tua itu telah putus!
"Hi hi hi...! Sekarang giliranmu, Kunyuk! Kau
telah kuberi kesempatan melakukan serangan,
dan ternyata disia-siakan...!" ejek Darmo Gandul
sambil terkekeh-kekeh.
Seketika tubuh Si Gila dari Muara Bangkai
melesat cepat menyambar ke arah Ki Bhatara Wisesa. Maka cepat-cepat orang tua
itu bergulingan
untuk menghindarinya. Sambil menahan rasa sakit dan tanpa senjata karena sudah
terlempar bersama tangannya yang buntung, dia mencoba
bertahan. Namun Si Gila dari Muara Bangkai terus mengejarnya. Malah kali ini Darmo Gandul
melepaskan tendangan geledek, sebelum Ki Bhatara
Wisesa mampu berdiri.
Dan.... Bukkk! "Aaaakh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Bhatara Wisesa memekik kesakitan. Satu tendangan keras
mendarat telak di perutnya. Akibatnya, tubuhnya terangkat
sekitar dua jengkal dari permukaan tanah. Dan
belum juga rasa sakit itu hilang, cepat sekali Si
Gila dari Muara Bangkai mencabut goloknya.
Langsung disambarnya kaki kiri orang tua itu sebatas lutut
Cras! "Aaaakh...!"
"Hi hi hi...! Kita akan bermain-main dulu barang beberapa saat, Kunyuk! Karena,
kau adalah orang terakhir. Dan setelah aku puas, maka lepaslah penderitaanmu bersama
penderitaanku yang menanggung dendam..."
*** "Keparat! Lebih baik bunuh saja aku! Ayo, bunuh! Aku tidak takut mati...!"
teriak Ki Bhatara
Wisesa, menggelegar.
"He he he...! Bunuh" Hm.... Itu soal mudah.
Tapi tidak ada salahnya kalau kita bermain-main
dulu barang sesaat..!"
Tubuh Darmo Gandul kembali berkelebat Sementara Ki Bhatara Wisesa berusaha
menghindar dengan bergulingan.
"Eh!" Eh! Mau lari ke mana" Hm.... Kakimu
masih kuat, ya" Nih, satu lagi!" Si Gila dari Muara
Bangkai kembali membabatkan goloknya. Begitu
cepat, sehingga Ki Bhatara Wisesa tak mampu
menyelamatkan sebelah kakinya lagi.
Cras! "Aaaakh...!"
Ki Bhatara Wisesa kembali memekik kesakitan, begitu golok Darmo Gandul menebas
kakinya yang satu lagi. Ki Bhatara Wisesa masih bergulingan, walaupun kakinya terus
mengeluarkan darah. Sementara Si Gila dari Muara Bangkai hanya
memperhatikan, seperti menyaksikan tontonan
yang amat menarik.
"Nirmala, pergi dari sini! Pergi cepaaat..!" teriak Ki Bhatara Wisesa
mengingatkan, tanpa
mempedulikan rasa sakit akibat pergelangan tangan kiri dan kedua kakinya yang
buntung. "Hm, kabur" Coba saja...," ejek Darmo Gandul.
Mendengar teriakan itu, Nirmala tersentak kaget Dia seperti tersadar dari
lamunan panjang.
Namun baru saja berdiri, pemuda gembel itu telah melesat dan mendarat di
hadapannya. Dia
menjerit ketakutan, namun Darmo Gandul telah
memeluk dan mengangkatnya ke pundak.
"Lepaskan aku! Aouw...! Lepaskan akuuuu...!"
teriak gadis itu sambil memukul-mukul punggung
Si Gila dari Muara Bangkai.
"Keparat busuk, lepaskan dia! Dia tidak ada
sangkut-pautnya dengan urusanmu!" teriak Ki
Bhatara Wisesa, namun tidak bisa, berbuat apaapa..
"He he he...! Istri dan anakkupun tidak ada
urusan denganku. Tapi, kenapa kalian memperlakukannya dengan kejam" Dan tidak
ada salahnya kalau aku berbuat hal yang sama...!" sahut
pemuda gembel itu dengan tenang, seraya menghempaskan keras Nirmala ke tanah
keras. Gadis itu menjerit kesakitan. Namun lagi sem-
pat menguasai diri, mendadak pemuda itu telah
menghimpit erat tubuhnya. Ki Bhatara Wisesa
menggeram. Dan dengan sekuat tenaga, tubuhnya digulirkan sambil menghantam tubuh Darmo
Gandul dengan kepalan tangan kiri.
Namun tanpa menoleh sedikit pun Si Gila dari
Muara Bangkai menangkis dengan kaki kanannya, lalu ujung kakinya keras
menghantam ke arah wajah orang tua itu.
Plak! Begkh! "Aaaakh...!"
Ki Bhatara Wisesa memekik kesakitan. Tubuhnya bergulir bermandikan darah dari
tulang hidung dan giginya yang rontok dan patah.
"Hi hi hi...! Mau mencoba menghalangiku" Tidak ada seorang pun yang boleh
menghalangiku kalau tidak ingin mampus...!"
"Aku yang akan menghalangi niatmu, Kisanak!"
Mendadak terdengar sebuah suara, memenggal kalimat Si Gila dari Muara Bangkai.
Darmo Gandul terkejut. Buru-buru dia bangkit berdiri, dan langsung memandang
seorang pemuda berambut gondrong dan berwajah tampan. Pemuda berbaju kulit harimau
dengan seekor monyet kecil di pundak itu memanglah Bayu
Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.
"Bayu...! Oh, syukurlah kau cepat datang...!"
Nirmala terkejut bercampur girang melihat kedatangan pemuda itu. Semangatnya
cepat bangkit dan bermaksud berdiri menghampiri untuk me-
numpahkan perasaan syukurnya.
Namun cepat sebelah tangan Darmo Gandul
melayang ke arahnya. Nirmala tercekat. Untung
pada saat itu juga, kaki kanan Bayu meluncur
untuk memapak. Plakkk! Begitu terjadi benturan kaki dan tangan, Darmo Gandul cepat berbalik. Langsung
dihantamnya kepala Bayu dengan tendangan keras. Pendekar Pulau Neraka cepat
menunduk. Namun bukan main kagetnya Bayu, ketika tiba-tiba bersiur
angin kencang menyambarnya. Matanya sempat
melihat, tangan Darmo Gandul mencabut golok
hendak memapas dahinya. Maka Pendekar Pulau
Neraka cepat melompat ke belakang menghindari.
Namun, Si Gila dari Muara Bangkai terus mengejarnya dengan serangan-serangan
maut "Hiyaaaa...!"
"Hm. Ilmu golokmu luar biasa, sobat! Sebaiknya persoalan ini tidak usah
diteruskan, asal
dengan satu syarat Kau harus melepaskan mereka. Sudah banyak yang menjadi
korbanmu...."
"Tutup mulutmu! Siapa pun orangnya yang
mencoba menghalangi niatku, harus mampus!"
desis Darmo Gandul menggeram.
"Di antara kita tidak ada saling permusuhan"
Kenapa kau ingin menghabisiku" Bukankah apa
yang kuusulkan padamu masuk akal" Mereka telah cukup mendapat hajatanmu, Dan,
sudah sepatutnya kau harus mengakhiri dendammu...,"
ujar Bayu kembali menasihatinya.
"He he he...! Ternyata kau sama saja dengan
kunyuk buduk itu. Sok menasihati, dan sok mengatur orang. Lebih baik atur dirimu
sendiri. Sebab, aku tidak akan mengampuni siapa pun yang
mencoba menghalangi niatku!" dengus Darmo
Gandul. Bayu bukannya tidak punya alasan untuk
menawarkan usulnya. Sebab Pendekar Pulau Neraka tahu kalau pemuda itu sekadar
balas dendam. Tapi dalam keadaan tidak waras begitu, tentu saja dia akan
berbahaya bagi orang lain. Apalagi kepandaiannya luar biasa. Mau tidak mau,
Bayu mengagumi kehebatannya.
"Yeaaaa...!"
Darmo Gandul terus mencecar Pendekar Pulau Neraka. Dan pada satu kesempatan,
goloknya dikebutkan ke dahi Bayu.
"Uts!"
Pendekar Pulau Neraka cepat melenting ke belakang, tapi terlambat karena....
Cras! Ternyata golok Si Gila dari Muara Bangkai
sempat melukai dada Pendekar Pulau Neraka,
hingga mengeluarkan darah segar.
*** "Bayu...!"
Nirmala menjerit ketakutan. Dan wajahnya
pun tampak cemas, ketika melihat golok pemuda
gembel itu melukai dada sebelah kanan Pendekar
Pulau Neraka. Bayu sendiri kaget. Tidak heran kalau lawanlawannya dibuat tidak berdaya oleh Si
Gila dari Muara Bangkai. Kecepatan gerak pemuda ini luar
biasa. Bahkan sama sekali tidak terduga.
Begitu mendarat di tanah. Tampak wajah Pendekar Pulau Neraka mulai kelam, dan
hawa kekejaman mulai terlintas pancaran matanya ketika
memandang ke arah Si Gila dari Muara Bangkai
yang tertawa terbahak-bahak mengejeknya.
"Hua ha ha...! Itu satu peringatan bagimu.
Dan berikutnya, kau akan menemukan kematianmu! Hi hi hi...! Tidak ada waktu lagi
bagimu untuk merubah pendirian. Meski kau merangkakrangkak dan mencium telapak kakiku,
nyawa busukmu tidak mungkin kuampuni, Kecoa buduk!"
"Hm. Sungguh hebat, Tikus bulukan! Tapi aku
yakin, itu hanya kebetulan. Karena, kau tidak
akan mampu melakukannya untuk kedua kalinya," balas Bayu, mengejek.


Pendekar Pulau Neraka 52 Si Gila Dari Muara Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa katamu, heh"! Apa katamu" Kurang ajar!
Kau menganggap remeh padaku, ya"! Kau kira Si
Gila dari Muara Bangkai ini apa, heh"! Setan
alas" Kecoa busuk! Kau akan mampus! Mampus!
Mampusss...!" teriak Darmo Gandul kalap, dengan melompat menyerang Pendekar
Pulau Neraka. "Hiyaaa...!"
Namun baru saja Si Gila dari Muara Bangkai
melesat, Bayu cepat mengebutkan tangan kanannya, dengan tubuh agak miring ke
kiri dan kaki melebar. Singngng! "Hei"!"
Darmo Gandul terkejut bukan main, ketika
melihat sekelebatan cahaya putih keperakan menyambar ke arahnya diiringi suara
berdesing nyaring. Buru-buru tubuhnya mengegos ke samping. Tapi, siapa sangka kalau saat
itu Pendekar Pulau Neraka melesat bersamaan. Seketika satu
tendangan dilepaskan Bayu.
Begitu berhasil menghindari terjangan Cakra
Maut, buru-buru Darmo Gandul memapak tendangan Pendekar Pulau Neraka.
Plak! Terjadi benturan keras, membuat Darmo Gandul sedikit terhuyung. Namun, Pendekar
Pulau Neraka kelihatan tak ingin memberi kesempatan
sedikitpun. Seketika tubuhnya berputar, seraya
melepaskan satu tendangan geledek ke punggung
Si Gila dari Muara Bangkai. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Dukkk! "Aaaakh...!"
Darmo Gandul kontan tersungkur disertai teriakan kesakitan. Melihat hal ini,
Bayu melompat ke atas menyambar Cakra Maut yang kembali melesat ke arahnya. Dan begitu senjata
maut itu menempel di pergelangan tangan kanannya, secepat itu pula kembali dikibaskan.
Singngng! "Eeeh...!"
Kembali cahaya putih keperakan yang berdesing nyaring melesat bagai kilat ke
arah Si Gila da-
ri Muara Bangkai, sehingga membuatnya terkejut
Dan secepat apa pun dia bergerak, rasanya tidak
mungkin mampu mengimbangi kecepatan senjata
Pendekar Pulau Neraka. Maka dengan geram, goloknya dikibaskan untuk menangkis.
Tras! "Hei"!"
Kembali Darmo Gandul dibuat terkejut melihat senjatanya patah jadi dua bagian.
Dan belum lagi hilang keterkejutannya, Cakra Maut terus
menerjang ke arah lehernya. Begitu cepatnya, sehingga....
Cras! "Aaaa...!"
Kejadian itu cepat sekali berlangsung. Darmo
Gandul memekik kesakitan ketika Cakra Maut
menerjang lehernya hingga hampir buntung!
Bahkan tubuhnya sampai terjungkal mengikuti
dorongan tenaga Cakra Maut. Tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat begitu jatuh
keras di tanah beserta ceceran darah yang membasahi bumi. Tak
lama kemudian, tubuhnya diam tak berkutik lagi.
Mati. "Huh!" Bayu mendengus pelan seraya mengibaskan tangan kanannya. Maka senjata itu
kembali melesat ke arahnya. Begitu tertangkap, dibersihkannya Cakra Maut dari
noda darah. "Bayu...!" panggil Nirmala.
Bayu hanya menoleh sekilas, kemudian mengambil Tiren yang berlari ke arahnya.
Dibawanya monyet kecil itu ke pundaknya. Pendekar Pulau
Neraka lantas menatap gadis itu sesaat. Jarak
mereka hanya terpaut dua langkah saja. Lalu bibirnya tersenyum kecil.
"Nirmala.... Apa yang dikatakan orang tua itu
tentang ku, memang benar. Orang sepertiku tidak
pantas menerima perhatianmu. Nah, baik-baiklah
kau menjaga diri. Selamat tinggal...!"
Gadis itu hendak menahan, namun lagi-lagi
suaranya tercekat dalam tenggorokannya. Dan
Bayu pun telah melesat ke atas, kemudian cepat
sekali menghilang setelah melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lain.
"Bayu..." Oh! Tidak mengertikah kau perasaanku...?" desah Nirmala perlahan
seraya memandang ke arah menghilangnya Pendekar Pulau
Neraka. Diam-diam gadis itu berharap kalau-kalau
Bayu akan berbalik lagi untuknya. Namun sampai lamunannya terusik oleh rintihan
Ki Bhatara Wisesa, Bayu tidak muncul-muncul lagi.
Nirmala mendesah pelan, dan terus mendesah. Entah sampai kapan....
SELESAI Scan: Clickers Editor: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
Giring Giring Perak 2 Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo Suling Naga 15
^