Pencarian

Pembalasan Ratu Sihir 1

Pendekar Pulau Neraka 02 Pembalasan Ratu Sihir Bagian 1


PEMBALASAN RATU SIHIR
Oleh Teguh S. Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Teguh S. Serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode:
Pembalasan Ratu Sihir 128 hal. ; 12 x 18
cm 1 Dari kejauhan, Gunung Tangkar tampak menjulang tinggi mencakar langit. Puncaknya
yang membentuk kerucut, selalu terselimut oleh kabut tebal. Dalam Ibeberapa
tahun belakangan ini, tak seorang pun yang berani mendaki gunung itu. Hal itu
disebabkan oleh adanya seorang perempuan tua yang bersemayam di puncaknya. Dia
adalah seorang yang ahli dalam ilmu sihir dan sangat kejam. Maka tidak heran
kalau desa-desa di sekitarnya selalu tampak sunyi, jauh dari kegiatan sehari-
hari. Namun keangkeran gunung itu tidak menghalangi seorang laki-laki tua yang diikuti
oleh sekitar dua puluh orang, mendaki Lereng Gunung Tangkar itu dengan langkah-
langkah lebar dan tergesa-gesa. Laki-laki itu adalah Ketua Padepokan Tongkat
Merah, yang bernama Ki Pulut. Sedangkan para pengikutnya yang
berjumlah dua puluh orang tersebut, adalah murid-muridnya. Mereka terus mendaki
tanpa menghiraukan lagi keangkeran gunung itu.
Di samping Ki Pulut, berjalan seorang gadis yang beusia sekitar delapan belas
tahun. Dia berpakaian warna hijau muda dan sangat ketat, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya
yang indah dan ramping terlihat jelas, sementara rambutnya yang hitam dan
panjang terikat oleh kain pita yang warnanya hijau. Sedangkan dipinggangnya
terselip sebilah pedang pendek yang gagangnya berbentuk kepala naga, dan bermata
dari batu merah delima.
"Masih jauhkah letak puncaknya, Ayah?"
tanya gadis itu. Suaranya mendesah dan terputus-putus lantaran kecapaian.
"Kenapa" Takut?" Ki Pulut balik bertanya.
Gadis itu tidak menjawab.
"Dewi, sudah kukatakan sejak semula, sebaiknya kau tinggal saja di padepokan.
Nyai Lumping itu orangnya sangat kejam dan ilmu sihirnya sangat tinggi. Aku saja
belum tentu mampu menandinginya," kata Ki Pulut setengah kesal.
"Kalau Ayah sendiri sudah merasa tidak akan mampu menandinginya, kenapa
menyanggupi juga perintah Gusti Prabu Indrajaya?"
"Titah seorang raja tidak bisa dibantah, Anakku. Kau tahu, apa akibatnya kalau
aku sampai menolak perintah itu" Bukan saja padepokan kita akan hancur tapi kita
semua juga akan mati di tiang gantungan!"
"Huh! Apakah sikap semua raja selalu begitu?" dengus Dewi Puspita.
"Tidak semuanya begitu, Dewi. Ada juga seorang raja yang bijaksana dan adil. Dan
tidak pernah membebani rakyat dengan tugas-tugas yang berat."
"Kan masih banyak padepokan-padepokan lain yang lebih besar, Ayah. Kenapa Gusti
Prabu menunjuk padepokan kita?"
"Dewi, sebelum aku mendirikan Padepokan Tongkat Merah, aku adalah seorang
panglima perang. Dulu, kerajaan Bumi Loka masih diperintah oleh Ayahanda Gusti
Prabu Indrajaya. Dan aku mengundurkan diri setelah Gusti Prabu Swarajaya
mangkat. Aku merasa sudah tua dan tidak kuat lagi untuk memimpin sekian ribu
prajurit."
"Aku merasa bahwa perintah ini bukan datang dari Gusti Prabu Indrajaya. Aku
menduga hal ini adalah ulah...."
"Dewi! Jangan coba-coba berprasangka buruk dulu pada orang lain," potong Ki
Pulut agak membentak.
"Ayah tidak perlu menutup-nutupi hal ini, aku sudah tahu semuanya. Aku juga
mengerti kenapa Ayah mengundurkan diri dari jabatan panglima. Dan aku juga sudah
tahu, kenapa...?"
"Sudahlah, Dewi. Tuhan Maha Adil, barang siapa yang menanam, pasti akan memetik
hasilnya! Yang penting sekarang, kita harus melaksanakan tugas berat ini. Lihat,
sebentar lagi kita akan sampai di puncak. Mudah-mudahan Nyai Lumping mau
menerima kedatangan kita dengan baik."
Meskipun dalam hatinya Dewi Puspita tidak menyetujui sikap ayahnya itu, namun
dia tidak banyak bertanya lagi. Dia hanya berpikir, siapa pun orangnya, pasti
akan menolak tugas ini. Karena semua orang tahu, menemui Nyai Lumping berarti
menyerahkan nyawa dengan sia-sia!
Tiba-tiba Ki Pulut mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi di hadapan murid-
muridnya. Seketika pula pengikutnya itu
langsung berhenti melangkah, dan segera mencabut senjatanya masing-masing. Tapi
Ki Pulut segera memerintahkan untuk menyimpan kembali senjata mereka. Kini
perasaan tegang dan mencekam melanda mereka semua.
Sejenak Ki Pulut mengedarkan pandangan berkeliling. Namun sejauh matanya
memandang, hanya kabut tebal yang terlihat. Sementara angin yang bertiup kencang
menyebarkan hawa dingin seperti menusuk tulang. Mereka sekarang sudah berada
Puncak Gunung Tangkar, di mana wanita tua yang berjuluk Ratu Sihir itu tinggal.
*** Pelahan-lahan Ki Pulut mengayunkan kakinya. Sementara Dewi Puspita dan semua
murid-muridnya mengikuti dari belakang. Bola mata mereka terus mengawasi dengan
tajam keadaan sekitarnya.
"Barangkali Nyai Lumping sudah tidak ada di sini lagi, Ayah," kata Dewi Puspita
setengah berbisik. Namun keadaan yang sunyi di sekitar tempat itu membuat suara
gadis itu terdengar jelas.
"Hm...," Kl Pulut hanya bergumam tidak jelas.
"Graaagh...!"
Tiba-tiba terdengar suara menggerung yang dahsyat dan menggetarkan jantung.
Mereka semua langsung bersiaga dengan menghunus senjatanya masing-masing!
"Hati-hati, kedatangan kita sudah diketahui," kata Ki Pulut memperingatkan.
Suaranya terdengar setengah berbisik.
Belum lagi kering kata-kata laki-laki tua itu, mendadak di sekitar tempat itu
melayang batu-batu cadas yang runcing dan tajam. Batu-batu itu datang dari empat penjuru,
bagaikan dilontarkan oleh tangan-tangan yang besar dan kuat. Tentu saja keadaan
itu membuat dua puluh orang murid Padepokan Tongkat Merah jadi panik.
"Tenang! Itu cuma tipuan!" bentak Ki Pulut. Aneh! Batu-batu itu langsung hilang
begitu menyentuh tanah, dan tidak ada satu batu pun yang sempat mengenai tubuh
mereka. Namun tak lama sesudah hujan batu itu reda, mendadak mereka dikejutkan kembali
dengan munculnya sesosok makhluk yang bertubuh seperti raksasa. Tubuh makhluk
itu dipenuhi oleh bulu-bulu hitam yang tebal dan kasar.
Sedangkan wajahnya tidak berbeda jauh dengan seekor kera, dengan sepasang bola
mata berwarna kemerahan dan bersorot tajam.
"Grhaaagh...!" makhluk itu kembali menggeram dahsyat
"Tolooong...!" mendadak salah seorang murid Ki Pulut menjerit keras sambil
berlari. Namun baru beberapa batang tombak dia berlari, makhluk itu sudah melompat, dan
langsung mencengkeram pundaknya. Maka tanpa ampun lagi, dengan giginya yang
bertaring tajam, makhluk mengoyak tubuh salah seorang murid Padepokan Tongkat
Merah itu! "Kejam...!" desis Dewi Puspita tidak sanggup untuk menyaksikan makhluk itu
memakan tubuh korbannya.
"Jangan!" sentak Ki Pulut ketika melihat tiga muridnya maju.
Namun ketiga orang tersebut sudah keburu lompat seraya menghunus senjatanya.
Tampak dua orang sudah memegang pedang, dan seorang lagi menggenggam sebuah
tongkat pendek berwarna
merah. Mereka langsung menyerang makhluk yang mengerikan itu.
"Hiya...!"
"Yeaaa...!"
"Aaargh!"
Dengan bertubi-tubi mereka segera membabatkan senjatanya masing-masing ke tubuh
makhluk itu. Namun makhluk itu hanya menggeram dan membiarkan saja tubuhnya jadi
bulan-bulanan mereka. Tidak sedikit pun kulitnya cidera.
Tiba-tiba saja tangan makhluk itu bergerak menyambar, sehingga salah seorang
dari mereka terpental jauh sampai puluhan tombak. Suara jeritannya terdengar
melengking dan menyayat hati. Belum lagi suara jeritan itu hilang dari
pendengaran, segera disusul dengan terdengarnya satu jeritan, dan satu pekikan
tertahan. Tampak dua tubuh dengan kepala hancur dan dada terbelah, menggeletak
di samping kaki makhluk itu.
"Graaagh...!" mendadak makhluk itu kembali menggeram dahsyat sambil mengangkat
kedua tangannya tinggi-tinggi.
"Kalian semua diam! Jangan ada lagi yang bergerak tanpa perintahku!" seru Ki
Pulut. Seketika mereka yang mulai ribut, kembali terdiam. Tampak jelas wajah mereka
pucat dengan tubuh gemetaran. Sementara makhluk raksasa itu terus menggerung-
gerung, sehingga menggetarkan tanah yang mereka pijak. Namun lama kelamaan
raungan-nya makin melemah, bersamaan dengan tubuhnya yang menyusut kecil.
Kini yang ada di depan mereka hanyalah seekor kera biasa yang kelihatan jinak.
Dan hewan itu segera berlari menembus kabut dengan meninggalkan suara yang
mencericit ribut.
"Kalian harus tetap menuruti kata-kataku, agar tidak ada lagi yang bernasib
seperti teman-temanmu!" kata Ki Pulut agak tertahan suaranya. Bagaimanapun juga
dia menyesali kejadian barusan.
Kini suasana di Puncak Gunung Tangkar itu kembali sunyi. Hanya terdengar deru
angin dan detak jantung mereka yang bergerak cepat.
Sementara kabut di sekitar tempat itu semakin tebal dan menghalangi perjalanan
mereka. *** "Guru, sebaiknya kita kembali saja," kata seorang memberanikan diri dengan wajah
pucat. "Benar, Guru," sambung yang lainnya dengan tubuh bergemetaran.
Sejenak Ki Pulut memandangi wajah murid-muridnya yang kini jumlahnya tinggal
enam belas orang. Hatinya sedih melihat kekerdilan jiwa mereka, namun dengan
bijaksana, Ki Pulut segera bisa memakluminya.
Nama Nyai Lumping memang mampu
menggetarkan jiwa orang yang mendengarnya, apalagi mereka telah menyaksikan
kejadian yang sangat mengerikan itu.
Bagi Ki Pulut, kematian seseorang dengan cara apa pun juga, tidak membuatnya
gentar lagi. Sejak masih berkelana dalam dunia persilatan, hingga menjadi
seorang panglima perang, dan sekarang menjadi guru dan ketua sebuah padepokan,
dia sudah biasa menghadapi kematian. Tapi bagi murid-muridnya yang belum pernah
bertarung secara sungguh-sungguh tentu kematian merupakan hal yang baru.
Padepokan yang didirikannya boleh dikatakan masih seumur jagung, maka sudah
sepantasnya kalau murid-
muridnya yang baru beberapa orang itu masih memiliki jiwa yang kerdil.
"Hik hik hik..!" tiba-tiba terdengar suara tawa yang mengikik keras.
Suara tawa itu panjang dan mengerikan, seolah-olah bergema dari segala arah!
Seketika enam belas orang pengikut Ki Pulut saling berpandangan dengan wajah
pucat pasi. Sedangkan tubuh mereka juga semakin keras menggigil. Kini mereka tidak sanggup
lagi untuk menahan diri, dan segera lari pontang-panting sambil berteriak-teriak
ketakutan. Sementara Ki Pulut dan Dewi Puspita masih terlihat tenang.
Tiba-tiba terlihat sinar-sinar yang menyilaukan mata berkelebat cepat dan
menyambar-nyambar di antara tubuh-tubuh yang sedang berlari tersebut.
Seketika terdengar jerit dan pekik kematian yang memilukan, disusul dengan
bergelimpangannya enam tubuh orang-orang pengikut Ki Pulut. Benar-benar
mengerikan! Tubuh mereka hangus terbakar, dan tewas tanpa bisa berkutik lagi.
"Manusia-manusia bodoh! Berani-beraninya kalian mengotori tempat tinggalku!"
mendadak terdengar suara nyaring melengking tinggi.
Belum lagi gema suara itu hilang, tiba-tiba di hadapan mereka muncul seorang
perempuan tua yang usianya sekitar seratus tahun. Dia mengenakan baju longgar
yang warnanya sudah kusam. Sedangkan di tangan kanannya tergenggam sebatang
tongkat berkeluk-keluk yang ujungnya berbentuk tengkorak kepala manusia.
Wajahnya nyaris tertutup oleh rambut yang warnanya sudah putih dan kusut. Namun
sinar matanya masih terlihat nyalang dan
tajam. Sementara jari tangannya berkuku hitam panjang dan runcing.
Kini semua mata memandang pada perempuan tua itu tidak berkedip. Degup jantung
mereka terasa lebih cepat dari biasanya.
"Hik hik hik.., aku sudah tahu maksud kedatanganmu, Ki Pulut," perempuan tua itu
kembali bersuara.
Ki Pulut tidak heran lagi kalau Nyai Lumping sudah mengetahui namanya, dan bisa
menebak maksud kedatangannya. Perempuan tua itu memang punya kepandaian yang
jarang dimiliki oleh orang lain. Dia bisa mengetahui jalan pikiran seseorang,
dan juga bisa melihat semua kejadian meskipun sangat jauh tempatnya.
"Tidak ada seorang pun yang mampu menghalangi kehendakku, Ki Pulut! Dewa pun
pasti akan berpikir seribu kali sebelum menegurku!" kata perempuan tua itu
pongah. "Ketahuilah, Nyai Lumping. Aku datang dengan maksud untuk menghentikan segala
tindakan angkara murkamu! Sudah banyak orang-orang yang tak berdosa mati di
tanganmu!" kata Ki Pulut lantang dan tak merasa gentar sedikit pun.
"Hik hik hik...! Nyalimu cukup besar juga, Ki Pulut. Tapi sayang, kau belum
cukup kuat untuk meredamku!"
"Atas nama Gusti Prabu lndrajaya, aku rela menyabung nyawa demi kebenaran!"
"Hebat! Hik hik hik...! Rupanya bocah ingusan ini kini sudah mulai mengikuti
jejak orang tuanya. Hebat...!"
Kembali Nyai Lumping tertawa mengikik dan menyeramkan. Dan pada saat itu, diam-
diam Ki Pulut mencabut senjatanya yang berupa sebatang tongkat berwarna merah.
Sejak tadi tongkat sepanjang lengan itu terselip di pinggangnya
dan tertutup jubah yang panjang. Tangannya sedikit bergetar sambil menggenggam
ujung tongkat. "Tahan seranganku, Perempuan Iblis!"
bentak Ki Pulut keras. "Hih! Hiyaaa...!" "Huh!
Hik hik hik...!"
*** Suara tawa Ratu Sihir itu terus terdengar meskipun dia tengah melayani serangan-
serangan Ki Pulut yang dahsyat dan mematikan. Tongkat merah di tangan laki-laki
tua itu terus berlebatan cepat hingga menimbulkan suara angin yang menderu-deru.
Sementara kabut yang menyelimuti Puncak Gunung Tangkar tersibak, dann terhempas
oleh hembusan angin yang ke luar dari klbasan-kibasan tongkatnya.
Sedangkan Dewi Puspita dan sepuluh orang lainnya tampak sudah berjaga-jaga
dengan senjata terhumus. Pertarungan antara Ki Pulut dengan Nyai Lumping terus
berjalan makin sengit dan cepat. Begitu cepatnya, sehingga yang tampak hanyalah
dua bayangan berkelebatan saling serang dan bertahan.
"Hik hik hik...! Keluarkan seluruh kepandaianmu, Kl Pulut!" ejek Nyai Lumping
terus mengikik.
"Setan...!" geram Ki Pulut sengit.
Ketua Padepokan Tongkat Merah itu semakin memperhebat serangan-serangannya.
Bahkan kini tidak tanggung-tanggung lagi, dia langsung mengeluarkan jurus-jurus
andalannya! Namun tampaknya Nyai Lumping masih menanggapinya dengan ringan.
Gerakan-gerakan tubuhnya begitu lincah. Tak sedikitpun tongkat merah milik Ki
Pulut mampu menyentuhnya.
Hal itu tentu saja membuat Ki Pulut semakin penasaran, karena serangan-
serangannya selalu dapat dipatahkan dengan mudah. Kini hampir semua ilmu yang
dia andalkan sudah dikerahkan, namun belum juga mampu mendesak perempuan tua
itu. Bahkan sudah beberapa kali dia harus jatuh bangun untuk menghindari
serangan-serangan balasan dari Ratu Sihir itu.
Melihat ayahnya semakin kewalahan dan mulai terdesak, Dewi Puspita segera
memerintahkan kepada sepuluh orang murid ayahnya untuk membantu. Dan tanpa
menunggu perintah dua kali, mereka langsung berlompatan ke depan.
"Hik hik hik...! Bagus...! Biar sekalian kubereskan kalian semua!" seru Nyai
Lumping gembira..
Sementara Ki Pulut yang sudah merasa kewalahan, tidak melarang murid-muridnya
ikut menyerang Nyai Lumping. Sedangkan Dewi Puspita juga tidak mau ketinggalan,
dengan pedang peraknya dia segera merangsek dengan jurus-jurus pedangnya yang
dahsyat. "Lebih enak kalau kalian mati terpanggang!
Hup!" Wus...!


Pendekar Pulau Neraka 02 Pembalasan Ratu Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak Ratu Sihir itu melenting tinggi sambil mengebutkan kedua tangannya. Dan
begitu kakinya menjejak tanah, dari kedua telapak tangannya tiba-tiba meluncur
api. Seketika tempat di sekitar itu terbakar hebat! Sebentar saja jerit pekik
terdengar memilukan, mengiringi beberapa orang yang belingsatan terjilat oleh
api. Bahkan ada beberapa orang yang berguling-guling di tanah dengan tubuh
berkobar api. Buru-buru Ki Pulut segera menyambar tangan Dewi Puspita, dan membawanya ke luar
dari lingkaran api itu. Sementara sepuluh orang muridnya sudah menggelepar-gelepar di
tanah. "Hik hik hik...!" Nyai Lumping tertawa mengikik menyaksikan lawan-lawannya tidak
berdaya terkurung oleh api buatannya.
Namun tawa perempuan itu tiba-tiba terhenti! Mendadak di sekitar tempat itu
bertiup angin topan yang langsung memadamkan api itu. Tampak Ki Pulut lengah
merentangkan tangannya ke depan. Ternyata laki-laki tua itulah yang menciptakan
angin yang sangat dahsyat itu. Namun terlambat, karena seluruh murid-muridnya
sudah tewas terbakar.
"Grrr...!" Nyai Lumping langsung menggeram bagai singa betina.
Tiba-tiba perempuan tua itu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, dan dengan
cepat tongkat itu dibantingkan ke tanah. Lalu secepat kilat tongkatnya diarahkan
ke depan, seketika itu juga meluncurlah sinar-sinar yang sangat menyilaukan
mata. Sinar-sinar itu kemudian meluruk deras ke arah Ki Pulut dan Dewi Puspita.
"Dewi, awas...!" seru Ki Pulut memperingatkan.
Dengan cepat Ki Pulut kemudian memutar tongkat merahnya, membuat tameng! Dan
sinar-sinar itu segera berlompatan dan tak mampu menembus lingkaran merah yang
keluar dari tongkat itu. Sementara itu Dewi Puspita juga tengah sibuk
berlompatan untuk menghindari sinar-sinar yang tertuju kepadanya. Beberapa kali
dia memekik tertahan sambil menghalau sinar-sinar itu dengan pedangnya.
Aneh! Sinar itu seakan-akan memiliki nyawa, dan mampu menghancurkan benda apa
saja. Kalau saja pedang gadis itu hanya sebuah
pedang biasa, mungkin sudah hancur sejak tadi terhantam sinar itu.
"Dewi! Cepat tinggalkan tempat ini!" seru Ki Pulut sambil terus menghindar dari
gempuran sinar-sinar itu!
"Bagaimana dengan Ayah!"
"Jangan hiraukan aku, aku akan segera menyusul!"
Sebentar Dewi Puspita menatap ayahnya, lalu dengan cepat dia melompat dan
meninggalkan tempat itu. Namun kepergian Dewi Puspita segera diketahui oleh Nyai
Lumping. Dan perempuan tua itu langsung mengarahkan kepala tongkatnya kepada gadis itu.
Namun dengan cepat Ki Pulut melenting dan menghajar tongkat itu. Seketika satu
ledakan keras terdengar begitu tongkat merah membentur kepala tongkat berbentuk
tengkorak manusia itu.
Tubuh Ki Pulut terpental sejauh sepuluh batang tombak. Sedangkan Nyai Lumping
hanya terdorong dua langkah ke belakang. Saat itu Dewi Puspita sempat berbalik,
dan dia tersentak ketika melihat ayahnya terpental jauh dan membentur sebuah
dinding batu yang keras.
"Ayah...!" jerit Dewi Puspita tak bisa menahan diri
"Cepat pergi!" bentak Ki Pulut seraya berusaha bangkit.
Sejenak Dewi Puspita masih ragu-ragu, namun begitu melihat ayahnya kembali
berdiri dengan tegar, gadis itu segera berbalik dan berlari cepat dengan
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
"Kalian tidak akan bisa lolos dariku, keparat...!" geram Nyai Lumping seraya
melenting dan mengejar Dewi Puspita.
Melihat itu, dengan cepat Ki Pulut melenting dan memapak perempuan tua itu.
Kembali mereka saling berbenturan di udara.
Dan untuk kedua kalinya terdengar satu ledakan dahsyat disusul dengan
terpentalnya tubuh mereka. Namun dengan cepat keduanya segera bangkit kembali.
Sementara itu Dewi Puspita sudah jauh meninggalkan Puncak Gunung Tangkar.
"Setan! Kubunuh kau. Pulut...!" geram Nyai Lumping gusar.
Dan tanpa menghiraukan Dewi Puspita lagi, Nyai Lumping langsung menyerang Ki
Pulut yang sudah dalam kondisi tidak stabil lagi. Dengan sisa-sisa tenagannya,
Ki Pulut masih mampu menandingi serangan-serangan perempuan tua itu. Namun baru
berjalan beberapa jurus saja, nampaknya Ki Pulut sudah tidak mampu lagi untuk
bertahan. Gerakan-gerakannya kini mulai tidak beraturan lagi, dan pertahanannya
semakin mengendur. Hingga suatu saat....
"Mampus kau, hiyaaa...!" pekik Nyai Lumping sambil melompat cepat.
Saat itu juga ujung tongkatnya menusuk ke dada Ki Pulut. Dengan bersusah payah,
Ki Pulut berusaha menghindar dengan menjatuhkan diri ke tanah, namun ujung
tongkat perempuan tua itu masih juga sempat merobek bahunya. Darah segar
mengucur deras keluar dari bahu yang menganga lebar.
Kl Pulut terhuyung-huyung kebelakang. Dan tanpa dapat dicegah lagi, satu
tendangan keras mendarat di dadanya. Kembali laki-laki tua itu terpental jauh
membentur pohon hingga tumbang.
Rupanya Nyai Lumping belum juga merasa puas.
Sambil berteriak nyaring, dia melompat dan menghunjamkan ujung tongkatnya ke
dada Ki Pulut. "Aaakh...!" Ki Pulut langsung menjerit keras.
Darah segar menyembur dari dada Ki Pulut begitu ujung tongkat yang tertanam
dalam di dada tercabut. Nyai Lumping segera membersihkan ujung tongkatnya yang
penuh darah dengan baju yang dikenakan oleh Ki Pulut yang kini telah tidak
bernyawa lagi itu.
"Huh! Anak setan itu harus segera dilenyapkan, kalau tidak pasti dia akan
menjadi penghalangku kemudian hari!" geram Nyai Lumping.
Lolosnya Dewi Puspita membuat Ratu Sihir itu marah luar biasa. Dan dia tidak
akan membiarkan seorang pun lolos dari tangannya.
Dan sekali loncat saja, perempuan tua itu sudah lenyap ditelan kabut,
meninggalkan beberapa mayat yang bergelimpangan. Kini kesunyian kembali
menyelimuti Puncak Gunung Tangkar itu. Sementara angin yang berhembus kencang
menyebarkan bau anyir darah yang menggenang di tanah sekitar tempat itu.
*** 2 Di Istana Kerajaan Bumi Loka, Prabu Indrajaya tengah duduk di singgasana,
didampingi oleh permaisurinya yang cantik dan anggun. Sedangkan para patih,
panglima dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya duduk menghadap dengan takjim.
Mereka kini tengah membicarakan keadaan kerajaan yang belakangan ini sering
dilanda musibah. Bahkan ada sebuah desa yang tidak jauh dari Kaki Gunung Tangkar
hampir musnah diserang wabah penyakit yang sulit untuk diberantas.
Sudah puluhan tabib didatangkan untuk dimintai pertolongan, namun tidak satu pun
yang mampu mengusir wabah itu Dan mereka semua punya pendapat yang sama, wabah
itu sengaja dikirimkan oleh seorang ahli sihir yang tinggal di Puncak Gunung
Tangkar. Semua orang tahu, siapa ahli sihir itu. Seorang perempuan tua yang
dijuluki Ratu Sihir dan bernama Nyai Lumping
"Paman Patih Ardareja, apakah tidak ada lagi seorang tabib atau orang pandai di
negeri ini yang mampu mengusir wabah itu?" tanya Prabu lndrajaya sambil
memandang seorang laki-laki setengah baya.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba sudah mengerahkan berpuluh-puluh tabib dan orang
pandai, namun wabah itu sukar untuk diberantas. Karena wabah itu memang sengaja
diciptakan oleh nenek sihir jahat yang bermukim di Puncak Gunung Tangkar," sahut
Patih Ardareja seraya memberi sembah.
"Hm..., maksudmu Nyai Lumping?" tanya Prabu Indrajaya seraya mengerutkan
keningnya. "Benar, Gusti Prabu."
Untuk beberapa saat lamanya Prabu Indrajaya terdiam merenung. Sementara semua
orang yang berada di Balai Agung Istana Bumi Loka itu juga diam membisu. Namun
saat suasana tengah dicekam kesunyian itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
suara tawa yang mengikik keras.
"Hik hik hik...!"
Seketika mereka semua tersentak seraya mengangkat kepalanya. Sedangkan suara
tawa mengikik itu semakin jelas terdengar, dan bergema ke seluruh ruangan. Para
patih dan panglima segera berdiri seraya menghunus senjata masing-masing. Sedangkan para
prajurit yang menjaga, juga sudah siap dengan senjata.
Sementara dayang-dayang yang berjumlah tidak lebih dari dua puluh orang, segera
membawa masuk Permaisuri Puspa Sari ke kaputren.
Kemudian dengan diiringi oleh empat orang panglima perang kerajaan, Prabu
lndrajaya segera melangkah ke luar.
*** Seorang perempuan tua berbaju kusam dengan memegang tongkat berkepala tengkorak,
berdiri di tengah-tengah halaman depan istana yang luas. Tidak kurang dari tiga
puluh orang prajurit sudah mengepungnya. Sementara perempuan tua itu terus
terkekeh, membuat tubuhnya yang bungkuk semakin bertambah bungkuk.
Sedangkan Prabu Indrajaya sudah berdiri tegak pada undakan pertama tangga istana
didampingi oleh empat orang panglima. Di belakangnya berjejer para patih dan
pembesar-pembesarnya. Wajah-wajah mereka kelihatan tegang. Mereka sudah tahu,
siapa perempuan tua yang datang dengan tiba-tiba dan tanpa aturan itu.
"Hik hik hik...!"
"Nyai Lumping! Apa maksudmu datang ke sini" tanya Patih Ardareja lantang
suaranya. "Hik hik hik...! Sudah bertahun-tahun aku melupakan semuanya. Aku menyepi tanpa
mau diganggu oleh siapa pun. Aku juga sudah berusaha untuk mematuhi perjanjianku
dengan ayahmu, Indrajaya!" Nyai Lumping tidak sedikit pun hormat pada Prabu
Indra jaya. "Nyai Lumping, jika kedatanganmu memang bermaksud baik, marilah kita bicara
baik-baik di dalam." ajak Prabu Indrajaya ramah dan sopan. Dia sama sekali tidak
merasa tersinggung dengan sikap perempuan tua itu yang tidak menghormatinya
sebagaimana mestinya
"Kedatanganku bisa bermaksud baik ataupun buruk, tergantung dari sikap tikus-
tikusmu, Indrajaya!"
Para panglima, patih dan pembesar kerajaan lainnya hanya bisa menggerutu dalam
hati. Dan tidak ada satu pun yang berani menunjukkan sikap berang pada wanita
itu. Meskipun kata-katanya sangat menusuk dan menyakitkan.
"Mari, silakan masuk," ajak Prabu Indrajaya dengan ramah.
"Tidak perlu! Kedatanganku hanya ingin mengatakan bahwa kau telah membuka
kembali pertikaian lama!" tegas kata-kata Nyai Lumping.
"Nyai Lumping, aku tidak mengerti maksudmu! Tolong dijelaskan," pinta Prabu
Indrajaya setengah kaget.
"Hm..., aku tidak percaya kalau ternyata kau pandai berpura-pura. Seluruh
rakyatmu akan binasa jika kau tidak mau meminta maaf padaku seperti yang telah
dilakukan oleh ayahmu, Indrajaya! Camkan itu baik-baik!"
"Nyai Lumping, aku merasa tidak pernah melakukan tindakan apa pun terhadapmu!
Katakan, apa yang telah terjadi," Prabu Indrajaya jadi bingung.
"Aku yakin, kau telah mengirim tikus-tikus yang tak berguna ke Puncak Gunung
Tangkar! Itu berarti bahwa kau telah melanggar janji ayahmu terhadapku! Kau
pasti sudah tahu akibatnya, Indrajaya!"
Seketika Prabu Indrajaya tersentak kaget.
Dia sama sekali tidak merasa telah mengirim satu orang pun ke Puncak Gunung
Tangkar, apalagi dengan maksud membunuh perempuan tua ini. Dia memang tahu betul
akan perjanjian yang telah disepakati antara ayahnya dengan Nyai Lumping, yaitu
untuk tidak saling mengganggu dan menyeberangi batas wilayah masing-masing. Dan
jika ada seorang rakyatnya yang kesasar, itu tanggung jawabnya sendiri, pihak
kerajaan tidak akan ikut campur.
"Semua orang yang telah kau kirim sudah mampus, lndrajaya! Hanya satu orang yang
berhasil lolos dari tanganku, dan kau harus segera menyerahkan orang itu padaku,
paling lambat satu pekan setelah kedatanganku ini!"
kata Nyai Lumping lagi seraya hendak beranjak pergi.
"Tunggu dulu, Nyai...!" teriak Prabu Indrajaya. Tapi Nyai Lumping sudah keburu
menghilang dengan meninggalkan kepulan asap putih. Kini Prabu Indrajaya tidak
dapat berbuat apa-apa lagi. Kedatangan wanita tua itu adalah suatu tanda akan
terjadinya malapetaka besar, dan tidak mudah untuk dihadapi. Satu pekan bukanlah
waktu yang panjang, lagi pula di antara mereka tidak ada yang tahu, siapa orang
yang dimaksud oleh Nyai Lumping.
Beberapa saat kemudian, Prabu Indrajaya bergegas masuk kembali ke Balai Agung.
Tampak wajahnya muram, dan keningnya berkerut dalam.
Sementara para panglima, patih dan pembesar kerajaan lainnya juga makin bingung.
Ancaman wanita penyihir itu bukan hanya gertak kosong belaka! Ancaman itu sudah
didahului dengan sebuah tindakan, yakni menyebarkan wabah penyakit pada salah
satu desa. "Aku tidak tahu, siapa orang yang telah berani menggunakan namaku...?" gumam
Prabu Indrajaya seraya menghenyakkan tubuhnya di singgasana.
"Gusti Prabu, ijinkanlah hamba untuk mencari orang yang diinginkan oleh Nyai
Lumping," kata Patih Ardareja pelan.
"Bukan hanya kau saja, Paman Patih Ardareja. Aku juga akan perintahkan kepada
seluruh patih dari panglima untuk segera menangkap orang itu. Nanti biarlah aku
sendiri yang akan menyerahkannya pada Nyai Lumping!"
kata Prabu lndrajaya tegas.
Semua patih dan panglima segera
menghaturkan sembah, lalu tanpa diperintah dua kali, mereka segera meninggalkan
tempat itu. Sementara Prabu Indrajaya duduk merenung dengan kening berkerut dalam. Persoalan
yang dihadapi kali ini sangat berat. Tidak ada jalan lain lagi, selain menuruti
keinginan Nyai Lumping. Sedangkan para pembesar kerajaan lainnya masih tetap
menemani tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
*** Hari terus berlalu menurut perputaran waktu yang telah ditentukan oleh Yang
Kuasa. Sementara keadaan di Kerajaan Bumi Loka, sejak kedatangan Nyai Lumping ke
istana, semakin dilanda keresahan. Setiap hari ada saja seorang prajurit yang
tewas di tangannya.
Sedangkan Prabu lndrajaya nampaknya juga semakin gelisah menghadapi kenyataan
itu. Selama dua hari ini, sudah tidak terhitung lagi jumlah rakyatnya yang tewas!
Sementara itu, para panglima dan patih-patih kerajaan terus berusaha mencari
orang yang diinginkan oleh Nyai Lumping. Dan hampir seluruh prajurit dikerahkan, namun
sampai saat ini belum juga berhasil. Memang sulit, karena Nyai Lumping tidak mau
memberitahu siapa nama orang yang dimaksudkan itu. Sedangkan dalang yang telah
membuat perempuan ahli sihir itu berang, juga belum ketahuan.
Pagi itu langit di atas Kerajaan Bumi Loka diselimuti oleh awan hitam, seolah-
olah ikut bersedih de ngan keadaan yang tengah menimpa Kerajaan Bumi Loka. Kini
tak ada seorang pun yang berani ke luar rumah, mereka takut bertemu dengan Nyai
Lumping yang selalu berkeliaran membunuh siapa saja yang ditemuinya.
"Uh! Kalau keadaan begini terus, bisa bangkrut aku, Mak...!" keluh seorang
pemilik kedai. Seorang perempuan tua yang tengah sibuk mengunyah sirih, hanya diam saja
mendengar keluhan itu. Pandangan matanya tetap lurus ke depan melalui pintu
jendela yang terbuka sedikit. Tampak laki-laki tua yang mengeluh tadi, hanya
duduk sambil bersungut-sungut di dalam kedainya yang sepi.
"Sampai kapan tindakan perempuan iblis itu mau berhenti" Kalau cuma menginginkan
satu orang saja, kenapa harus menghancurkan sebuah kerajaan" Huh! Bisa rusak
semua daganganku kalau begini!" laki-laki tua itu terus mengeluh.
"Hati-hati kalau bicara, Ki. Kalau dia dengar, bisa celaka kita!" rungut
perempuan tua itu seraya meludahkan air sirih yang berwarna merah kekuningan.
"Peduli setan! Kalau iblis itu mau membunuhku, bunuh saja! Habiskan semua rakyat
Bumi Loka! Tuhan pasti akan mengutuk
perbuatannya!" laki-laki tua pemilik kedai itu tidak peduli.
"Ki..!" sentak wanita itu gemetaran Dan saat laki-laki tua itu mau membuka
mulutnya lagi, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Sejenak mereka saling
berpandangan dengan wajah pucat pasi. Tampak seluruh tubuh perempuan tua itu
menggigil, dan titik-titik keringat yang sebesar-besar jagung merembes dari
keningnya. "Apa kubilang, hati-hati kalau bicara!"
rungut perempuan tua itu menyalahkan suaminya.
"Sss..., siapa...?" seru laki-laki tua itu bergetar tiaranya.
"Aku...!" sahut sebuah suara dari luar.
"Aku, siapa...?" "Aku! Boleh masuk?"
Laki-laki tua itu kembali menoleh pada istrinya, kemudian dengan pelan ia
beringsut bangun dari kursinya. Namun tampaknya dia masih ragu-ragu untuk
melangkah. "Ki...!" parau suara wanita tua itu.


Pendekar Pulau Neraka 02 Pembalasan Ratu Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Laki-laki tua pemilik kedai itu memandang istrinya sejenak, lalu kakinya terayun
menghampiri pintu kedainya yang masih tertutup rapat. Dan dengan tangan
bergetar, dia membuka palang pintu. Sedikit demi sedikit pintu dari kayu itu
terkuak, dan menimbulkan suara bergerit.
Tampak di depan pintu sudah berdiri seorang pemuda yang gagah dan tampan. Pemuda
itu segera tersenyum seraya menganggukkan kepalanya sedikit. Sedangkan laki-laki
tua pemilik kedai itu menyambutnya dengan tersenyum dan mengangguk pula. Sejenak
dia melangkah mundur beberapa tindak sambil mengamati tamunya itu. Sementara
pemuda itu mulai melangkah masuk sambil menunduk agar tidak membentur tiang
pintu yang rendah.
"Apakah kedai ini masih menerima tamu, Pak?" tanya pemuda itu dengan sopan.
Laki-laki pemilik kedai itu tidak segera menjawab. Dia kemudian menoleh pada
istrinya yang masih gemetaran. Lalu buru-buru dia menghampiri pintu dan
menutupnya dengan rapat.
Keadaan itu tentu saja membuat pemuda itu heran.
"Maaf, kalau kedatanganku telah membuatmu takut," kata pemuda itu tetap sopan.
"Oh, tid..., tidak, Tuan. Silakan," sambut laki-laki tua pemilik kedai itu agak
tergagap. "Terima kasih."
Pemuda itu kemudian duduk di kursi yang berada di tengah-tengah ruangan kedai
itu. Sementara perempuan tua yang sejak tadi memperhatikan dengan wajah pucat,
bergegas melangkah ke belakang.
"Aku seorang pengembara, namaku Bayu Hanggara. Bapak cukup memanggilku Bayu,"
pemuda itu memperkenalkan diri.
"Aku biasa dipanggil Ki Bawuk. Sedangkan perempuan yang tadi itu adalah istriku.
Maaf kalau penyambutan kami tidak berkenan di hati Tuan," kata laki-laki pemilik
kedai itu juga memperkenalkan diri.
"Kenapa kedaimu tutup, Ki?" tanya Bayu atau yang lebih dikenal dengan julukan
Pendekar Pulau Neraka.
"Sudah dua hari ini aku memang menutup kedai. Sepi, Tuan."
"Hm..., kenapa" Aku lihat keadaan di luar sana juga sepi," tanya Bayu sambil
mengerutkan keningnya.
Ki Bawuk tidak segera menjawab. Dia malah melangkah ke pintu belakang.
"Mak, cepat sediakan makanan dan minuman!"
serunya agak keras.
"Iya, sebentar!" terdengar teriakan dari dapur.
Lalu Ki Bawuk kembali mendekati pemuda itu. Sejenak dia menarik sebuah kursi dan
duduk di depan pemuda itu.
"Tampaknya ada sesuatu yang tengah terjadi di sini," gumam Bayu. "Oh, ya. Apa
nama tempat ini, Ki?"
"Kerajaan Bumi Loka, rajanya bernama Gusti Prabu Indrajaya. Di sini memang
sedang terjadi suatu bencana besar, Tuan," sahut Ki Bawuk menjelaskan.
"Bencana..." Bencana apa, Ki?"
Belum lagi Ki Bawuk sempat menjawab, istrinya sudah ke luar sambil membawa
hidangan sederhana. Dan tanpa bicara sepatah kata pun, dia segera menghidangkan
makanan dan minuman itu di atas meja.
"Maaf, kami tidak bisa menyediakan yang lebih baik dari ini," kata Ki Bawuk
seraya mempersilakan.
"Terima kasih. Bagiku ini saja sudah lebih dari cukup," sahut Bayu tersenyum
maklum. Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu segera menikmati hidangannya itu dengan
lahap. Hampir satu bulan dia tidak pernah menikmati masakan seperti itu. Selama
dalam pengembaraannya, yang biasa menjadi makanannya hanyalah binatang-binatang
buruan saja. Ki Bawuk dan istrinya terus memandanginya dengan kepala yang
dipenuhi berbagai macam tanda tanya.
Mereka belum pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Sementara Bayu tetap makan
tanpa peduli dirinya diperhatikan. Dia memang lapar, karena perutnya dari pagi
belum terisi makanan sedikit pun.
*** Bayu tampak tengah mengamati keadaan sekitarnya dari balik jendela kamarnya.
Beruntung dia telah mendapatkan kamar sewaan yang menghadap langsung ke jalan
utama Kerajaan Bumi Loka. Di samping membuka kedai, Ki Bawuk juga menyediakan
kamar untuk menginap bagi para pelancong. Dan kini, sedikitnya Bayu sudah bisa
mengetahui situasi yang sedang terjadi dari Ki Bawuk.
Selama dalam pengembaraannya, Bayu belum pernah sekali pun mendengar atau
bertemu dengan seorang ahli sihir. Dia sudah merasakan adanya keganjilan saat
dia mulai memasuki pintu gerbang kerajaan ini.
"Masuk!" seru Bayu sambil menoleh ke pintu ketika mendengar suara ketukan dari
luar. Tampak pintu kamar itu kemudian terkuak pelahan-lahan, lalu muncullah seorang
gadis cantik yang memakai baju ketat berwarna hijau.
Di pinggangnya terselip sebilah pedang pendek.
Dari tanpa dipersilakan lagi, dia segera melangkah masuk seraya menutup pintu
kamar kembali. Sejenak Bayu memandangi tamunya itu, kemudian dia membalikkan
tubuhnya dan membelakangi jendela.
"Benarkah kau yang bernama Bayu Hanggara, si Pendekar Pulau Neraka?" nada suara
gadis itu seperti ingin meyakinkan.
"Benar," sahut Bayu seraya kembali memutar tubuhnya, dan menutup pintu jendela.
Kemudian dia berbalik lagi dan melangkah ke kursi. Dan dengan enak dia segera
duduk di kursi itu.
"Silakan duduk."
Gadis itu pun mengambil tempat di kursi dekat pintu.
"Siapa nama Nona?" tanya Bayu
"Namaku Dewi Puspita, tapi kau cukup memang gilku Dewi saja," gadis itu
memperkenalkan diri.
"Dari mana kau tahu namaku" Apakah Ki Bawuk yang telah mengatakannya padamu?"
"Ya, dan aku memang sudah mengetahui kedatanganmu sejak siang tadi," sahut Dewi
Puspita terus terang.
"Lalu, apa maksudmu menemuiku?"
"Sebenarnya ini adalah persoalan rahasia, dan ada hubungannya dengan keadaan
yang sedang terjadi di Kerajaan Bumi Loka ini."
Sejenak Bayu mengerutkan keningnya.
Matanya agak menyipit sambil terus memandangi wajah cantik di depannya. Sejak
pertama kali datang ke kerajaan ini, dia memang menyimpan berbagai macam
pertanyaan. Dan sekarang datang seorang gadis cantikyang tampaknya sudah
mengetahui persis keadaan yang tengah terjadi di sini.
"Terus terang. Pamanku sendiri, Ki Bawuk, tidak mengetahui persoalan yang
sesungguhnya. Dan sampai sekarang pun aku masih merahasiakannya," lanjut Dewi Puspita.
"Hm..., kenapa kau justru ingin mengatakannya padaku?" selidik Bayu.
"Aku sudah sering mendengar namamu, seorang pendekar yang tangguh dan digdaya.
Meskipun banyak orang dari kalangan rimba persilatan tidak menyukai tindakanmu,
tapi pada saat ini aku membutuhkan pertolonganmu.
Aku percaya bahwa kau akan membantuku dalam mengatasi kemelut ini."
Kembali Bayu terdiam untuk beberapa saat.
Dia tidak kaget lagi mendengar gadis itu mengetahui tentang dirinya, meskipun
mereka belum pernah berjumpa sebelumnya. Nama Pendekar Pulau Neraka memang
sedang menjadi buah bibir di kalangan rimba persilatan. Sepak terjangnya yang tegas dan tidak
mengenal kata ampun itu, membuat tokoh-tokoh rimba persilatan, baik golongan
hitam maupun putih merasa terusik. Sedangkan Bayu sendiri tidak mengenal
golongan dalam rimba persilatan. Dia punya prinsip yang dipegang kuat. Dibunuh,
atau membunuh! Namun selama dalam masa pengembaraannya, belum pernah Bayu mencampuri urusan
orang lain. Persoalannya sendiri saja belum tuntas, dan masih banyak lagi orang-
orang yang harus dicarinya untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Di
samping itu, Bayu juga masih diliputi oleh rasa penasaran, karena dia belum
menemukan pusara ibunya, tapi pusara ayahnya.
Dewa Pedang, sudah dia ketahui dari salah seorang murid Padepokan Teratai Putih
yang selamat, dan kini mengurus pusara gurunya itu.
"Aku tahu, memang akan sia-sia saja menemuimu. Tapi setidaknya aku kan sudah
berusaha. Maaf aku telah mengganggu waktu istirahatmu," kata Dewi Puspita seraya
beranjak dari duduknya. "Tunggu dulu," cegah Bayu. Dewi Puspita tidak jadi
membuka pintu. Dia lalu menoleh dengan tatapan mata penuh harap. Wajahnya nampak murung, dan
terlihat adanya keputusasaan.
"Aku memang pengecut, mementingkan keselamatan diri sendiri tanpa menghiraukan
orang lain. Seharusnya aku segera menyerahkan diri," lirih suara Dewi Puspita.
"Apa sebenarnya yang sedang terjadi?"
tanya Bayu. Secercah harapan muncul di wajah gadis itu. Sinar matanya yang semula redup,
kini kembali bercahaya. Pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu menyiratkan suatu
maksud yang semula dianggapnya mustahil. Kini Bayu kembali meminta gadis itu untuk duduk dan
menceritakan semua peristiwa yang tengah melanda Kerajaan Bumi Loka ini.
*** 3 Sampai tengah malam Dewi Puspita masih berada di kamar penginapan Bayu Hanggara.
Gadis itu telah menceritakan semua peristiwa dari awal hingga saat ini.
Sementara Bayu pun mendengarkan semua itu dengan penuh perhatian.
Kini hatinya jadi semakin tertarik untuk mengetahui semuanya dengan jelas. Dia
ingin tahu, seperti apa ilmu sihir itu. Sering dia mendengar cerita tentang ilmu
sihir, tapi belum pernah melihat langsung dengan mata kepala sendiri.
"Kau sudah yakin, bahwa tugas itu tidak datang dari raja, kenapa masih mau
melakukannya juga?" tanya Bayu setelah Dewi Puspita selesai dengan ceritanya.
"Aku sudah katakan hal itu pada Ayah, tapi Ayah tidak mau mendengar. Dia terlalu
patuh pada titah Gusti Prabu," sahut Dewi Puspita setengah menyesali sikap
ayahnya. "Siapa yang telah menemui ayahmu?" tanya Bayu.
"Patih Ardareja dan Panglima Rupadi dengan dikawal beberapa prajurit," sahut
Dewi Puspita menjelaskan
"Hm..., menarik juga ceritamu...," gumam Bayu pelan.
"Tampaknya kau tidak percaya, Pendekar Pulau Neraka," keluh Dewi Puspita agak
lesu. "Aku percaya, dan aku merasa tertarik dengan ceritamu barusan. Memang aneh,
dan.... Yah!" Bayu mengangkat pundaknya.
"Terima kasih atas kepercayaanmu, Pendekar Pulau Neraka. Tapi kepercayaan saja
tidak cukup, cepat atau lambat, mereka pasti bisa menangkapku, dan tamatlah
riwayatku...," agak sinis nada suara Dewi Puspita. Entah dia sinis kepada siapa.
Mungkin juga dia mencibir pada dirinya sendiri.
"Dengar. Dewi. Aku berjanji akan membantumu! dan kau sebaiknya jangan
memanggilku Pendekar Pulau Neraka. Panggil saja aku Bayu. Bagaimana?"
Dewi Puspita tersenyum cerah. Pernyataan Pendekar Pulau Neraka barusan
menumbuhkan kembali rasa percaya pada dirinya, dan harapannya untuk tetap tegar
dalam menghadapi kemelut ini Memang bukan saja Nyai Lumping yang akan dihadapi,
tapi juga pihak kerajaan yang telah menjadi sumber malapeta ini. Dewi Puspita
memang mencurigai Patih Ardareja dan Panglima Rupadi yang mengatur semua ini,
namun dia belum memiliki bukti yang cukup kuat.
Setelah lewat tengah malam. Dewi Puspita baru meninggalkan kamar penginapan itu.
Dan sepeninggal gadis itu, Bayu masih duduk sambil merenung diatas
pembaringannya. Inilah untuk pertama kalinya akan mengurusi persoalan orang
lain. Persoalan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dirinya.
Sebenarnya dia datang ke sini hanya sekedar lewat dalam pengembaraannya mencari
para pembunuh Ayahnya, juga ingin mendapatkan kepastian tentang nasib ibunya.
"Hm..., aneh juga. Aku merasakan ada sesuatu di balik semua peristiwa ini.
Sesuatu yang tersembunyi...."
*** Pagi-pagi sekali Bayu tampak sudah keluar dari kamarnya. Dia terkejut ketika
telinganya mendengar suara ribut-ribut di bagian depan.
Kemudian bergegas Pendekar Pulau Neraka itu melangkah menuju bagian depan rumah
ini, yang merupakan sebuah kedai. Tampak di sana sudah berdiri beberapa orang
yang berseragam prajurit kerajaan. Buru-buru dia berlindung di bidik pintu untuk
menghindari penglihatan mereka.
Sementara itu Ki Bawuk tampak duduk berdampingan dengan istrinya. Seluruh tubuh
mereka bergetar, dan wajahnya pucat pasi.
Sedangkan di depan suami istri itu berdiri dua orang laki-laki yang berusia
setengah baya dengan pakaian indah. Jelas kalau mereka adalah para pembesar
Kerajaan Bumi Loka.
"Ampun, Gusti. Hamba benar-benar tidak tahu di mana Dewi Puspita berada. Hamba
memang mendengar kalau padepokan ayahnya sudah hancur digempur oleh para
perampok, tapi hamba tidak tahu kalau..."
"Bohong!" bentak seorang yang berpakaian panglima perang.
"Ampun, Gusti Panglima. Hamba tidak bohong. Hamba berani sumpah," kata Ki Bawuk
mencoba menyakinkan.
"Dengar Ki Bawuk, kini keselamatan seluruh keluarga Gusti Prabu, dan semua
rakyat Kerajaan Bumi Loka ada di tangan keponakanmu itu. Nyai Lumping
menginginkannya karena dia telah berani melanggar perjanjian yang telah dibuat
bersama mendiang Gusti Prabu Swarajaya.
Jadi Dewi Puspita harus bertanggung jawab!"
keras dan tegas kata-kata Panglima Rupadi.
"Tapi hamba benar-benar tidak tahu, Gusti.
Hamba hanyalah seorang pedagang. Hamba tidak pernah mencampuri urusan Kakang
Pulut. Kalau Dewi Puspita ada di sini. pasti sudah hamba serahkan. Sungguh
Gusti...," kata Ki Bawuk menghiba.
"Apakah kata-katamu bisa dipercaya, Ki Bawuk" dingin suara Patih Ardareja.
"Hamba bersedia dipancung jika berdusta, Gusti Patih," sahut Ki Bawuk.
Patih Ardareja dan Panglima Rupadi berpandangan sejenak, lalu mereka kembali
melangkah meninggalkan kedai itu. Sementara para prajurit segera mengikutinya
dari belakang. Untuk beberapa saat, Ki Bawuk masih duduk berlutut di lantai.
Sedangkan istrinya sudah tidak mampu lagi bersuara. Seluruh tubuhnya tampak
bergetar hebat dengan keringat mengucur deras membasahi bajunya.
Sementara Bayu yang sejak tadi menguping pembicaraan itu, pelahan-pelahan ke
luar setelah Patih Ardareja dan Panglima Rupadi serta beberapa prajurit, jauh
meninggalkan kedai Ki Bawuk ini. Dia jadi heran dengan semua pembicaraan yang
didengarnya barusan.
Semalam dia baru saja berbicara panjang lebar dengan Dewi Puspita, tapi kini
laki laki tua itu sampai berani bersumpah, dan merelakan lehernya dipancung demi
keselamatan Dewi Puspita.
"Ki..," pelan suara Bayu.
"Oh!" Ki Bawuk tersentak. "Tuan..., Tuan sudah bangun...?"
Dengan tergopoh-gopoh Ki Bawuk berdiri.
Sejenak dia membantu istrinya untuk bangkit Kemudian menuntun wanita itu ke
belakang, melewati Bayu. Tak lama kemudian, Ki Bawuk sudah ke luar lagi dengan
tergesa-gesa. Tampak
bibirnya menyunggingkan senyum, tapi Bayu melihatnya sebagai senyum yang
dipaksakan. "Maaf, kami terlambat menyiapkan makan pagi," kata Ki Bawuk.
"Tidak apa, Ki," sahut Bayu tersenyum.
"Hm..., siapa mereka tadi, Ki?"
Ki Bawuk tidak segera menjawab. Dia tampak kebingungan untuk menjawab pertanyaan
Pendekar Pulau Neraka itu. Sinar matanya tidak dapat lagi menyembunyikan
kegelisahan. Sedangkan Bayu hanya tersenyum, dan segera mengajak Ki Bawuk duduk
di balai-balai bambu dekat jendela.
"Sekilas tadi aku mendengar percakapanmu dengan orang-orang itu. Apakah mereka
Patih Ardareja dan Panglima Rupadi?" lembut suara Bayu terdengar.
Ki Bawuk tidak menyahut, tapi kepalanya menangguk juga.
"Aku seharusnya memang tidak mencampuri urusanmu, Ki. Tapi tidak ada salahnya
jika kau mempercayaiku. Siapa tahu aku bisa membantu mengatasi persoalanmu,"
masih tetap lembut suara Bayu.
"Tuan...," tercekat suara Ki Bawuk. Dia masih bingung harus berkata apa.
Persoalan yang tengah dihadapinya bukanlah persoalan biasa. Masalah itu
menyangkut nyawa dan keutuhan Kerajaan Bumi Loka. Rasanya berat jika dia harus
memasukkan pemuda yang begitu baik padanya itu. Ki Bawuk memang bukan seorang
tokoh rimba persilatan, dari dulu dia hidup dari hasil membuka kedai dan rumah
penginapan. Dan dia tidak tahu sama sekali, siapa sebenarnya pemuda yang kini
tengah berada di depannya.
"Aku seorang pengembara, Ki. Aku sudah biasa menghadapi segala macam persoalan.
Dan

Pendekar Pulau Neraka 02 Pembalasan Ratu Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku tidak akan bisa tinggal diam melihat seseorang menderita dalam tekanan
berat. Kau bersedia mengatakan padaku, kan" Percayalah, Ki. Aku pasti akan
membantu mengatasinya,"
desak Bayu tetap lembut.
"Ini bukan persoalan biasa, Tuan... " kata Ki Bawuk setelah cukup lama berpikir.
"Katakan saja, Ki. Jangan ragu-ragu,"
desak Bayu. "Kau pasti pernah mendengar nama Nyai Lumping...," kata Ki Bawuk pelan.
"Ya," sahut Bayu Hanggara asal saja.
"Dia seorang wanita penyihir yang jahat dan kejam. Dia tinggal di Puncak Gunung
Tangkar. Sudah bertahun-tahun dia tidak pernah lagi membuat bencana di sini,
tapi beberapa hari ini dia kembali menghancurkan beberapa desa dan membunuh
banyak orang yang tidak berdosa. Semua itu terjadi akibat dari kecerobohan
beberapa orang. Mereka telah melanggar perjanjian yang telah disepakati antara
Nyai Lumping dan mendiang Gusti Prabu Swarajaya. Perjanjian itu berisi untuk
tidak saling mengganggu dan melanggar wilayah masing-masing. Dan jika hal itu
sampai dilanggar, maka bencana besar akan segera menimpa seluruh wilayah
Kerajaan Bumi Loka,"
Ki Bawuk mulai menceritakan.
"Lalu, kenapa Patih Ardareja dan Panglima Rupadi mencari Dewi Puspita?" tanya
Bayu memancing.
"Dewi Puspita adalah keponakanku, dia ikut ayahnya dan murid-muridnya ke Gunung
Tangkar untuk mendatangi Nyai Lumping. Akhirnya semuanya hancur binasa, dan
hanya Dewi Puspita yang bisa meloloskan diri. tDan kini Nyai Lumping
menginginkan nyawa gadis itu. Dia memberi jangka waktu selama tujuh hari, dan
sekarang sudah berjalan tiga hari dari waktu yang diberikan. Kalau sampai Dewi
Puspita tidak segera diserahkan, maka seluruh Kerajaan Bumi Loka akan
dihancurkan dengan kekuatan sihirnya yang dahsyat "Hm..., kenapa Ki Pulut ingin
membinasakan Nyai Lumping?" gumam Bayu seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Kakang Pulut telah mendapat perintah dari Gusti Prabu Indrajaya," sahut Ki
Bawuk. "Lho, aneh..."! Kalau raja sendiri yang memerintahkan, lalu kenapa sekarang dia
juga memerintahkan para pembesar kerajaan untuk mencari Dewi Puspita?"
"Itulah yang membuatku tidak habis pikir, Tuan. Padahal sampai saat ini belum
ada seorang pun yang mengetahui, siapa sebenarnya dalang di balik semua ini.
Tapi anehnya Patih Ardareja dan Panglima Rupadi sudah mengetahuinya. Sedangkan
sampai saat ini Dewi Puspita tidak ketahuan di mana adanya," kata-kata Ki Bawuk
bernada mengeluh.
"Jadi, kau sendiri juga tidak tahu, di mana Dewi Puspita berada?" tanya Bayu
terperanjat. "Sejak peristiwa itu, aku tidak pernah lagi melihat keponakanku itu."
Untuk beberapa saat Bayu terdiam
tercenung. Rasanya mustahil kalau laki-laki tua itu tidak mengetahui kehadiran
Dewi Puspita semalam. Kini Bayu merasakan bahwa persoalan yang sedang
dihadapinya semakin bertambah rumit dan membingungkan. Dan sepertinya, masing-
masing orang saling menutup diri tidak mau terlibat dengan persoalan ini!
Bayu bisa merasakan adanya nada lain pada suara KI Bawuk. Keterangannya memang
tidak jauh berbeda dengan cerita Dewi Puspita, maupun yang dia dengar dari
percakapan dua pembesar kerajaan di kedai ini. Namun nada suara Ki Bawuk seperti menyembunyikan
sesuatu yang dirahasiakan.
*** Bukan saja Pendekar Pulau Neraka yang kebingungan dalam menghadapi masalah di
Kerajaan Bumi Loka ini, Prabu Indrajaya yang menjadi rajanya pun juga merasakan
hal yang sama. Dia sama sekali tidak pernah mengutus Ki Pulut untuk datang ke
Puncak Gunung Tangkar.
Dia sudah tahu betul, siapa Ki Pulut. Bekas seorang Panglima Perang Kerajaan
Bumi Loka, yang sangat setia dan patuh pada perintah rajanya. Dan rasanya tidak
mungkin dia bertindak ceroboh seperti itu.
Prabu Indrajaya segera mengangkat kepalanya ketika melihat seorang wanita cantik
dan bergaun indah datang menghampiri.
Senyumnya langsung terkembang membalas senyum wanita itu. Kemudian wanita
canntik itu duduk dengan anggunnya di samping Prabu Indrajaya.
"Kau datang seorang diri. Ke mana dayang-dayangmu. Dinda?" tanya Prabu Indrajaya
lembut. "Sengaja, aku ingin bicara berdua saja denganmu, Kanda Prabu," sahut wanita
cantik itu yang ternyata adalah Permaisuri Puspa Sari.
"Begitu pentingkah, sehingga tidak seorang kau perkenankan mendengar?" Prabu
Indra mengamati wajah permaisurinya itu.
"Menyangkut keutuhan Bumi Loka, Kanda,"
sahut Puspa Sari membalas tatapan suaminya.
Sejenak Prabu lndrajaya mengerutkan keningnya. Dia hampir tidak percaya dengan
pendengaran sendiri. Selama ini belum pernah
permaisurinya membicarakan masalah pemerintahan dan seluk-beluk kerajaan. Dia
merasakan, persoalan yang akan bicarakan permaisurinya pasti sangat penting!
"Apa yang ingin kau bicarakan. Dinda?"
tanya Prabu lndrajaya.
"Kemelut yang sedang kita hadapi."
"O..."!"
"Kanda, aku merasakan ada sesuatu di balik semua kejadian ini. Sesuatu yang
belum kita ketahui maksudnya, tapi sudah jelas merongrong kewibawaan Kanda Prabu
sebagai raja di Kerajaan Bumi Loka Maaf, Kanda. Bukannya aku ingin mencampuri
urusan kerajaan, tapi aku merasa ikut prihatin dan tanggung jawab atas keutuhan
dan kejayaan Bumi Loka," kata Permaisuri Puspa Sari.
Prabu Indrajaya merasa terharu dengan kata-kata yang meluncur lancar dari bibir
mungil yang indah Kata-kata itu juga merupakan pukulan baginya, karena selama
ini dia selalu menganggap bahwa urusan pemerintahan adalah urusan laki-laki. Dan
kini Prabu Indrajaya merasa seolah-olah baru terbuka matanya. Dia sebenarnya
memang tengah memerlukan seseorang untuk diajak bicara dari hati ke hati.
"Maaf, Kanda. Mungkin apa yang akan kukatakan dapat menyinggung perasaanmu, tapi
ini demi keutuhan Kerajaan Bumi Loka yang kita cintai ini," lanjut Permaisuri
Puspa Sari. "Katakanlah, Dinda. Apa pun yang akan kau katakan, aku akan mempertimbangkannya
dengan baik."
"Terus terang. Kanda. Aku merasa adanya keanehan pada diri Paman Patih Ardareja
dan Panglima Rupadi."
"Maksudmu?"
"Kanda telah mengatakan bahwa tidak pernah merasa memberi perintah pada Paman
Pulut. Tapi Nyai Lumping juga tidak akan berdusta dan mencari-cari perkara.
Padepokan Tongkat Merah yang dipimpin Paman Pulut memang hancur, sehari sebelum
Nyai Lumping muncul disini.
Sedangkan wanita penyihir itu tidak memberitahukan, siapa-siapa saja yang telah
mendatangi tempatnya di Puncak Gunung Tangkar.
Namun Paman Patih Ardareja dan Panglima Rupadi mengetahui persis kalau Paman
Pulut dan anak gadisnya serta murid-muridnyalah yang telah ke sana. Apakah hal
ini tidak aneh, Kanda?"
panjang lebar Permaisurl Puspa Sari mengemukakan perasaan hatinya.
"Tidak kusangka, kau punya pikiran sampai kesitu, Dinda Puspa Sari," puji Prabu
lndrajaya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Maaf, Kanda. Aku tahu, kau sangat mempercayai Paman Patih Ardareja. Di antara
patih-patih lainnya, memang dialah yang terbaik dan paling tinggi ilmunya. Tapi
Kanda harus ingat, mundurnya Paman Pulut dari keraja?n juga diakibatkan
pertentangannya dengan Paman Patih Ardareja. Aku sama sekali tidak bermaksud
buruk, apalagi memfitnah. Aku hanya mengatakan berdasarkan beberapa kenyataan
yang aku lihat, Kanda," kembali Permaisudi Puspa Sari mengutarakan pendapatnya.
"Dinda, apakah kau sudah mengatakan hal ini pada orang lain?"
"Belum, hanya pada Kanda saja."
"Dengar, Dinda. Semua yang telah kau katakan itu akan menjadi pertimbangan dan
pemikiranku. Tapi kau harus bisa merahasiakan
semua itu. Jangan sampai ada seorang pun yang mengetahuinya," kata Prabu
Indrajaya berpesan.
"Kecuali aku...!" tiba-tiba terdengar suara menyelak.
Seketika Prabu lndrajaya dan Permaisuri Puspa Sari tersentak! Dan belum lagi
hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba dari balik tembok pembatas taman belakang
dengan luar, melompat sesosok bayangan. Prabu Indrajaya langsung melompat dan
berdiri begitu di depannya tahu-tahu sudah berdiri seorang laki-laki muda yang
gagah dan tampan.
"Siapa kau" Berani benar kau masuk ke taman
Istana ini tanpa ijin!" bentak Prabu Indrajaya. Tangannya tampak meraba gagang
pedang yang masih tersimpan di warangkanya.
Sementara pemuda itu hanya tersenyum saja sambil melipat kedua tangannya di
depan dada. *** "Pengawal...!" teriak Prabu Indrajaya keras.
"Percuma saja, Gusti Prabu. Tidak ada seorang pengawal pun yang akan mendengar,"
kata pemuda itu tenang.
Sret! Tanpa berkata-kata lagi, Prabu Indrajaya langsung mencabut pedangnya yang
tergantung di pinggang. Bola matanya beredar ke sekitarnya yang sepi, tanpa
seorang prajurit penjaga pun terlihat. Sejenak tangannya sedikit mendorong
permaisurinya ke belakang.
"Kau pasti akan mendapal hukuman berat atas kelancanganmu, Kisanak!" kata Prabu
Indrajaya dengan suara agak membentak.
"Tapi Gusti Prabu pasti akan segera berterima kasih jika mengetahui bahwa
kedatanganku ke sini untuk mewakili Dewi Puspita," kata pemuda itu tetap tenang.
"Heh! Siapa kau sebenarnya?" sentak Prabu Indrajaya terkejut
"Namaku Bayu Hanggara. Aku berada di sini hanya singgah dan menginap di rumah
penginapan Ki Bawuk. Kedatanganku ini bukan sebagai musuh, atau ingin menambah
keruh suasana, tapi justru akan membawa angin segar bagi Gusti Prabu dan seluruh
rakyat Bumi Loka."
"Jangan berbelit-belit! Katakan cepat, apa maksud kedatanganmu?"
"Ki Pulut memang telah datang ke Puncak Gunung Tangkar bersama anak gadisnya dan
seluruh murid-muridnya. Tapi malang, mereka semua tewas kecuali Dewi
Puspita...," kata Bayu
"Aku sudah tahu itu! Apa lagi yang akan kau sampaikan?" potong Prabu Indrajaya.
"Gusti Prabu, aku juga telah bertemu dengan Dewi Puspita. Dan kami telah
berbicara banyak tentang kemelut yang tengah melanda seluruh Kerajaan Bumi Loka
ini. Ayahnya memang datang ke Gunung Tangkar dengan maksud untuk membunuh Nyai
Lumping. Namun hal itu dilakukannya dengan perasaan terpaksa, karena rasa
pengabdian dan kesetiaannya pa Gusti Prabu."
"Hm..., kau akan mengatakan bahwa Paman Pulut bertindak atas perintahku, begitu
kan?" kembali Prabu Indrajaya memotong ucapan Bayu
"Semula aku memang telah berpikir demikian! Gusti Prabu. Tapi setelah mendengar
penuturan Dewi Puspita, dan juga mendengar sendiri pembicaraan Gusti Prabu
dengan Gusti Permaisuri tadi, rasanya ada hal yang
tersembunyi di balik semua kejadian ini.
Danrahasia itu sudah kuketahui."
"O...! Apa saja yang telah kau ketahui?"
agak terkejut juga Prabu Indrajaya mendengarnya.
"Apa yang aku ketahui, tidak jauh berbeda dengan yang telah dikatakan oleh Gusti
Permaisuri. Semua peristiwa ini memang sudah diatur oleh Patih Ardareja dan
Panglima Rupadi. Merekalah yang telah menemui Ki Pulut dan mengatakan, bahwa dia
mendapat perintah dari Raja Bumi Loka untuk menumpas Nyai Lumping," tegas dan
jelas kata-kata Bayu.
"Heh! Kau jangan berkata sembarangan, Kisanak!" bentak Prabu lndrajaya
terperanjat. "Sejak semula aku memang sudah menduga, kau pasti tidak akan menerima
pernyataanku. Tapi apa yang telah aku katakan ini bisa dipertanggungjawabkan, hanya saja aku
belum mengetahui maksud sebenarnya yang terkandung di balik rencana itu," kata
Bayu tetap tegas.
"Kanda...," lembut suara Permaisuri Puspa Sari. Tangannya menepuk pundak Prabu
Indrajaya dengan pelahan.
Prabu Indrajaya segera memasukkan kembali pedangnya ke warangkanya di pinggang.
Kemudian dia melangkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka itu.
"Apa jaminanmu jika kau ternyata memfitnah salah seorang patihku, dan seorang
panglimaku?" tanya Prabu lndrajaya dingin.
"Kepala, Gusti Prabu," sahut Bayu tegas.
"Kepalamu tidak ada harganya bagiku, Kisanak "
"Hm...," Bayu mengerutkan keningnya.
"Kau sudah berani masuk ke taman pribadiku tanpa ijin. Kau pasti juga sudah
melumpuhkan penjaga taman ini, dan itu harus kau tanggung
hukumannya ditambah lagi dengan beritamu yang membuat keruh suasana. Tapi aku
akan mengampunimu jika kau berani menghadapi Nyai Lumping, si Ratu Sihir!" tegas
kata-kata Prabu Indrajaya.
"Hm..., jadi Gusti Prabu juga menghendaki wanita itu lenyap?"
"Selama masih ada wanita iblis itu, Kerajaan Bumi Loka tidak akan pernah merasa
damai. Terus terang aku memang menginginkan dia segera lenyap untuk selamanya,
tapi aku tidak ingin mengorbankan seorang pun dari rakyatku. Nah, sekarang aku
mengutusmu untuk tugas itu, tapi bukan atas namaku!"
Tentu saja Bayu terkejut bukan main mendengar perintah itu. Dia benar-benar
tidak menyangka kalau Prabu Indrajaya sendiri ternyata juga menginginkan wanita
penyihir itu lenyap dari muka bumi. Sebenarnya itu adalah suatu keinginan yang
wajar, namun membuat benak Bayu berpikir keras juga.
Lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, Pendekar Pulau Neraka itu segera melesat
cepat dan melompati pagar benteng yang tinggi dan tebal. Sedangkan Prabu
Indrajaya segera tersenyum lebar sambil memandangi kepergian pemuda itu.
"Kanda, kenapa mesti memberi perintah itu"
Bukankah dengan begitu Kanda malah memperuncing suasana?" tegur Pennaisuri Puspa
Sari. "Bagaimanapun juga, wanita iblis itu tetap merupakan ancaman bagi kita, Dinda.
"Tapi...."
"Ah sudahlah. Kalau pemuda itu berhasil mengalahkan Nyai Lumping, aku akan
memberinya hadiah dan pangkat yang tinggi. Tapi jika ternyata dia tewas, tidak
ada urusannya denganku lagi.
"Kanda...," Permaisuri Puspa Sari menggeleng-gelengkan kepalanya.
*** 4 Bayu tampak tengah memandangi puing-puing bekas reruntuhan Padepokan Tongkat
Merah. Padepokan itu letaknya di pinggir sebelah Utara perbatasan Kerajaan Bumi Loka
dengan Hutan Gunung Tangkar.
Dia agak heran juga karena tidak mendapati satu sosok mayat pun di antara puing-
puing itu. Sementara keadaan di sekitarnya juga tidak nampak seperti baru saja
terjadi pertarungan. Mungkinkah Padepokan Tongkat Merah sengaja dibakar hangus
setelah seluruh penghuninya meninggalkan tempat itu" Hal itu berarti bahwa Ki
Pulut hanya dijadikan boneka untuk nafsukeji seseorang!
"Kakang,.. "
Seketika Bayu tersentak kaget dan berbalik saat mendengar suara dari arah
belakangnya. Tampak seorang gadis cantik berbaju hijau sudah berdiri tidak jauh darinya. Di
pinggang gadis itu tergantung sebilah pedang dengan gagang berbentuk kepala
naga, dan bermata dari batu merah delima.
"Sejak kapan kau berada di sini. Dewi?"
tanya Bayu seraya menghampiri.
"Sejak kau meninggalkan Istana Bumi Loka,"
sahut Dewi Puspita kalem.
"Kau sudah tahu kalau aku ke sana?" Bayu setengah terkejut.
"Aku selalu mengikutimu terus, Kakang.
Maaf, bukannya aku tidak percaya padamu, tapi
aku hanya bermaksud menjaga segala kemungkinan."
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tak habis pikir, bagaimana Dewi Puspita
selalu mengikutinya tanpa bisa diketahui sama sekali.
Ini jelas membuktikan, bahwa tingkat kepandaian gadis itu cukup tinggi. Tapi
yang lebih penting, ilmu meringankan tubuhnya pasti sangat tinggi.
"Kau tidak perlu mengatakan apa-apa padaku, Kakang. Aku sudah tahu semua
pembicaraanmu dengan Gusti Prabu Indrajaya,"
kata Dewi Puspita menyerobot begitu melihat mulut Bayu sudah ternganga hendak
berkata.

Pendekar Pulau Neraka 02 Pembalasan Ratu Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana kau bisa mengetahui dan mendengar semua pembicaraanku?" tanya Bayu.
"Mudah saja, aku rasa semua orang yang berkecimpung di dalam rimba persilatan
juga mampu melakukannya, " sahut Dewi Puspita kalem.
Bayu hanya mengangkat pundaknya.
"Aku merasa bersalah, telah menyeretmu terlalu jauh dalam masalah ini, Kakang,"
desah Dewi Puspita menyesal.
Lagi-lagi Bayu hanya mengangkat pundaknya dan tersenyum. Lalu pelahan-lahan
kakinya mulai terayun melangkah meninggalkan tempat itu. Sedangkan Dewi Puspita
segera mengikutinya dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda itu.
"Tenis terang, aku jadi heran dengan sikap Gusti Prabu. Aku malah punya pikiran
lain, jangan-jangan semua ini memang sudah direncanakan sebelumnya, dan dia pura
pura tidak tahu," kata Bayu setengah bergumam.
"Sejak nenek moyangnya dulu, keluarga istana memang sudah bermusuhan dengan Nyai
Lumping. Dan aku tidak heran, kalau Gusti
Prabu menghendaki perempuan tua itu segera lenyap dari muka bumi," sahut Dewi
Puspita. "Kau bilang tadi, sejak dari nenek moyangnya... Jadi Nyai Lumping itu...," Bayu
tidak melanjutkan ucapannya.
"Nyai Lumping juga mempunyai keluarga, bahkan dulu memiliki pengikut yang tidak
sedikit jumlahnya," Dewi Puspita menjelaskan.
"Kenapa sekarang hanya tinggal dia sendiri?" Bayu jadi ingin tahu.
"Dulu, yaitu pada masa pemerintahan Gusti Prabu Swarajaya, terjadi perselisihan
yang mengakibatkan meletusnya perang, antara Kerajaan Bumi Loka dengan kerajaan
penyihir yang bersemayam di Puncak Gunung Tangkar.
Pertempuran itu begitu hebatnya sehingga menimbulkan korban yang cukup banyak.
Tapi meskipun Gusti Prabu kehilangan banyak prajurit, dia berhasil memenangkan
pertempuran. Hampir semua keluarga penyihir itu serta para pengikutnya tewas!"
"Hm..., terus...?" pinta Bayu yang mulai tertarik dengan cerita itu.
"Saat itu, sebenarnya masih ada tiga orang lagi yang lolos. Tapi kemudian yang
dua orang bunuh diri, karena tidak mau menjadi tawanan dan mendapat hukuman. Dan
tinggal Nyai Lumping sendiri yang pada saat itu belum begitu tua.
Lalu atas kesepakatan bersama, Gusti Prabu memberikan kebebasan pada Nyai
Lumping dengan satu perjanjian, yakni tidak akan saling mengganggu dan melewati
batas kekuasaan masing-masing. Dan semua perjanjian itu akan berakhir jika Nyai
Lumping telah tiada. Dan Gunung Tangkar masuk kembali ke dalam wiiayah Kerajaan
Bumi Loka."
"Sepertinya aku tidak melihat adanya hubungan dengan persoalan yang sedang
terjadi," kata Bayu agak bergumam.
"Memang tidak ada, kalau ayahku tidak terjebak dan mendatangi Puncak Gunung
Tangkar," sahut Dewi Puspita.
"Kau yakin ada seseorang yang dengan sengaja membuat malapetaka ini?"
"Ya, dan dari dulu orang itu memang selalu ingin menyingkirkan Ayah. Padahal
Ayah sudah mengalah dengan mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai panglima
perang tertinggi kerajaan, tapi rupanya hal itu belum membuatnya puas."
"Patih Ardareja, maksudmu?" tebak Bayu.
"Ya, sejak muda Patih Ardareja dan ayahku memang sudah bermusuhan."
"Rupanya kau sudah tahu segalanya, Dewi."
"Aku tahu, sebab Ayah sering menceritakann padaku. Dan dia selalu berpesan, agar
aku selalu berhati-hati dengan Patih Ardareja dan kaki tangannya. Mereka semua
licik, dan tak segan-segan menggunakan segala macam cara untuk memperoleh
kekuasaan dan kedudukan."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sekarang dia sudah bisa mengerti semuanya dengan jelas meskipun di benaknya
masih tersimpan berbagai macam pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Namun pada
garis besarnya, dia sudah bisa menarik kesimpulan!
Sementara itu di dalam kedai milik Ki Bawuk, Patih Ardareja dan Panglima Rupadi,
kembali mendesak laki-laki tua pemilik kedai dan rumah penginapan itu. Sementara
para prajurit yang berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang, telah
menghancurkan semua perabot dan barang-barang yang ada di dalam kedai itu.
Bahkan sampai ke seluruh kamar penginapan yang
ada di bagian belakang kedai, hancur diobrak-abrik!
Kini keadaan Ki Bawuk benar-benar mengenaskan. Wajahnya tampak bengkak-bengkak
biru lebam dan darah terus menetes dari sudut bibir, hidung dan pelipisnya.
Sedangkan Nyi Bawuk hanya bisa menangis dan merintih memohon belas kasihan.
Keadaan wanita tua itu juga tidak jauh berbeda dengan suaminya.
"Aku sebenarnya enggan berbuat kasar padamu, Ki Bawuk. Tapi kau telah memaksaku
untuk bertindak keras!" dingin suara Patih Ardareja.
Ki Bawuk hanya diam saja dengan kepala terkulai lemah.
"Katakan, di mana Dewi Puspita kau sembunyikan?" desak Patih Ardareja emosi.
Tapi Ki Bawuk tetap diam membisu.
Sedangkan darah makin banyak menetes dari luka-luka di wajahnya yang sudah
keriput. Hal itu tentu saja membuat Patih Ardareja semakin geram! Maka tanpa
mengenal rasa kasihan lagi, tangannya langsung melayang dan mendarat telak di
wajah Ki Bawuk.
"Akh!" Ki Bawuk memekik tertahan. Darah kembali mengucur deras dari mulutnya.
Sedangkan Nyi Bawuk menjerit melengking, namun dia tidak mampu berbuat apa-apa.
Karena kaki dan tangannya terikat di kursi. Dua orang prajurit menodongkan
pedangnya ke leher wanita tua itu.
"Kakang, rasanya tidak ada gunanya lagi menyiksa orang tua ini," kata Panglima
Rupadi yang sudah hilang kesabarannya.
"Memang sudah tidak ada gunanya! Bahkan hidup pun mereka sudah tidak ada gunanya
lagi!" dengus Patih Ardareja. Patih Ardareja kemudian merebut pedang yang berada
di tangan salah seorang prajurit Dan tanpa berkedip sedikit pun, dia langsung mengibaskan
pedang itu ke leher Nyi Bawuk.
"Aaakh...!" Nyi Bawuk segera menjerit melengking.
Bersamaan dengan itu, darah langsung muncrat dari leher yang terpenggal hampir
putus. Dan belum puas juga, Patih Ardareja lalu menendang tubuh perempuan itu
hingga terguling bersama kursinya. Ki Bawuk hanya bisa memejamkan matanya sambil
menggeram hebat. Hatinya menjerit, namun dia tidak mampu untuk memberontak.
Kedua tangan dan kakinya terikat tambang dengan kuat.
"Kau akan bernasib sama jika terus membungkam, Ki Bawuk!" ancam Patih Ardareja seraya menempelkan mata
pedang yang telah berlumur darah ke leher laki-laki tua pemilik kedai itu.
"Iblis...! Bunuh saja aku! Kau tidak akan bisa menemukan keponakanku!" bentak Ki
Bawuk dengan sisa-sisa keberaniannya.
Patih Ardareja menggeram marah. Tiba-tiba saja tangannya berkelebat cepat, dan
langsung membabat leher Ki Bawuk. Tak sedikit pun terdengar laki-laki tua itu
mengeluh atau berteriak. Kepalanya langsung terkulai dengan darah segar yang
memuncrat deras. Beberapa saat kemudian, Patih Ardareja membuang pedang yang
berlumuran darah itu. Wajahnya merah padam memandangi dua mayat yang telah
menggeletak di lantai kedai itu.
"Huh! Orang tua tidak tahu diuntung,"
gumam Patih Ardareja kesal.
Patih Ardareja segera melangkah ke luar setelah menyemburkan ludahnya beberapa
kali. Sementara para prajurit yang mengawalnya hanya bisa diam dengan sinar mata yang
sulit untuk diartikan. Sedangkan Panglima Rupadi segera mengikutinya, diiringi para prajurit
yang berjumlah dua puluh orang itu. Sebentar kemudian terdengar suara derap
langkah kaki-kaki kuda yang dipacu cepat meninggalkan halaman depan kedai itu.
Kini keadaan kembali sunyi, tak terdengar suara sedikit pun juga.
Kuda-kuda itu terus berlari semakin jauh meninggalkan kehancuran di dalam kedai.
Sementara itu dari arah yang berbeda, tampak Bayu dan Dewi Puspita berjalan
sambil mengendap-endap mendekati kedai.
"Paman...!" pekik Dewi Puspita begitu kakinya menginjak ambang pintu depan
kedai. Bayu juga tertegun menyaksikan satu pemandangan yang memilukan hati itu. Dewi
Puspita segera berlari menubruk tubuh paman dan bibinya bergantian. Gadis itu
tidak bisa menahan diri lagi, dia segera menangis dan meratapi nasib paman dan
bibinya itu. Sementara Bayu hanya bisa diam dengan mulut terkatup rapat.
"Dewi...," pelan suara Bayu. Dengan lembut tangannya menyentuh pundak gadis itu.
Dewi Puspita mengangkat kepalanya, dan menoleh agak ke atas. Kemudian pelahan
lahan dia bangkit, namun pandangannya tetap tertuju pada dua gundukan tanah
merah yang masih baru.
Mereka terpaksa menguburkan jenazah Ki Bawuk dan Nyi Bawuk ili belakang rumah,
agar tidak menarik perhatian orang lain.
"Aku harus membalas kekejaman mereka, Kakang. Harus...!" dengus Dewi Puspita
menggeram, namun suaranya masih bergetar.
"Kau tidak akan mampu menghadapi mereka dengan hati panas, Ratih," kata Bayu
lembut. "Mereka telah membunuh ayahku, dan sekarang mereka membunuh orang yang bisa
kujadikan sandaran hidupku. Paman dan Bibi tidak tahu apa-apa, bahkan mereka
juga tidak tahu kalau aku menyelinap ke sini, Kakang...,"
kata Dewi Puspita dengan air mata mengalir deras.
Dalam suasana seperti itu, Bayu tidak mau berdebat, meskipun Dewi Puspita
kadang-kadang juga berdusta. Kini pemuda itu melingkarkan tangannya kepundak
gadis itu, dan membawanya masuk ke dalam rumah. Sejenak Bayu menutup dan
mengunci semua pintu dan jendela. Sementara Dewi Puspita segera duduk dengan
wajah lesu di atas dipan kayu yang beralaskan tilam bersulam. Kemudian Bayu
menghampiri dan duduk bersandar di samping gadis itu.
"Dewi, kenapa kau selalu bersembunyi dan mebohongiku" Padahal kau bisa berterus
terang, dan mengatakan apa adanya. Kalau sejak semula kau berterus terang
padaku, mungkin peristiwa ini tidak perlu terjadi," kata Bayu menyesali sikap
Dewi Puspita selama ini.
"Maaf, Kakang. Aku terpaksa, dalam situasi seperti ini, aku tidak boleh begitu
saja percaya pada siapa pun," sahut Dewi Puspita membela diri.
"Aku Bdak mengerti, Dewi," desah Bayu.
"Hhh.. sudah banyak korban berjatuhan, bukan saja dari pihak kerajaan, tapi juga
dari orang-orang yang belum kita ketahui dengan pasti apa maksud dan tujuan
sebenarnya?"
"Kakang...."
"Hm."
"Kita harus segera menemui Gusti Prabu."
"Untuk apa?"
"Kita harus menjelaskan persoalan ini pada Gusti Prabu. Kalau hal ini didiamkan
sampai berlarut-larut, keadaannya bisa bertambah
parah. Aku yakin, Patih Ardareja juga tengah mengincar kedudukan Gusti Prabu."
"Jangan menduga begitu jauh, Dewi."
"Aku yakin, pasti Patih Ardareja juga menginginkan tahta Kerajaan Bumi Loka,"
Dewi Puspita tetap bertahan pada pendiriannya.
"Tampaknya kau yakin sekali, Dewi."
"Kalau kau tahu siapa sebenarnya Patih Ardareja itu, kau pasti akan punya
pikiran yang sama denganku!"
Bayu mengerutkan keningnya.
"Patih Ardareja adalah adik tiri dari Gusti Prabu Swarajaya, Ayahanda Gusti
Prabu Indrajaya. Dan sammpai saat ini kematian Gusti Prabu Swarajaya juga masih
dirahasiakan. Bahkan Ayah sendiri juga tidak tahu sebab-sebabnya. Waktu itu Gusti Prabu
Swarajaya tahu-tahu sudah dimakamkan tanpa ada upacara terlebih dahulu. Hanya
pihak keluarga saja yang boleh menghadiri, katanya hal itu adalah pesan dari
Gusti Prabu Swarajaya sendiri,"
ujar Dewi Puspita menjelaskan.
"Dewi, kalau Patih Ardareja benar-benar menginginkan tahta Kerajaan Bumi Loka,
dia pasti sudah merebutnya sejak dulu begitu Prabu Swarajaya wafat. Untuk apa
dia sampai menunggu bertahun-tahun" Sudahlah, Dewi. Mungkin Patih Ardareja
menginginkan sesuatu yang lain. Atau bisa saja dia ingin Kerajaan Bumi Loka
hancur. Pokoknya begitu banyak kemungkinan yang kita sendiri tidak bisa mengetahuinya
sekarang,"
ujar Bayu yang mencoba bertindak bijaksana dalam masalah ini.
Dewi Puspita hanya terdiam. Memang begitu banyak kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi, dan tidak mereka ketahui saat ini. Tapi gadis itu tetap pada
pendiriannya, bahwa Patih Ardareja-lah yang menjadi biang keladi dari
semua malapetaka ini. Hanya saja yang masih menjadi beban pertanyaannya, kenapa
Patih Ardareja melibatkan Nyai Lumpung" Padahal sudah tahu, kalau perempuan rua
itu sangat kejam, dan bisa menghancurkan Kerajaan Bumi Loka dengan kekuatan
sihirnya. *** 5 Matahari baru saja menampakkan dirinya di ufuk tmur. Namun kabut masih tebal
menyelimuti Puncak Gunung Tangkar. Angin pun tetap bertiup kencang dan
menebarkan udara dingin yang membekukan tulang. Dan keadaan seperti itu tidak
terasakan oleh mereka yang berada di dalam sebuah bangunan batu tua yang berusia
Kampung Setan 2 Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung Kisah Si Bangau Putih 16
^