Pencarian

Pembalasan Surti Kanti 1

Pedang Siluman Darah 12 Pembalasan Surti Kanti Bagian 1


PEMBALASAN SURTI KANTI Oleh Sandro S. Cetakan pertama,1990
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Jesco Setting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam episode:
Pembalasan Surti Kanti
128 hal; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel/blogspot.com
BAB 1 Langit mendung yang tadinya bergayut di atas
dua perguruan bersaudara itu, perlahan-lahan meng-
hilang bagaikan tersapu oleh ketenangan. Kematian
utusan Iblis, sepertinya berpengaruh pada keadaan.
Apakah dengan matinya Utusan Iblis kerajaan Segara
Anakkan akan tenang" Ternyata semua hanya dapat
terjawab oleh Yang Wenang, yang mempunyai segala
rahasia alam. Siang itu alun-alun kerajaan nampak ramai,
penuh sesak oleh rakyat yang berbondong-bondong da-
tang untuk menyaksikan orang-orang yang telah se-
kian lama membuat keonaran. Mereka datang ketika
pagi masih buta, dengan harapan dapat menyaksikan
dengan jelas wajah kedua orang yang menurut cerita
berwajah Kelelawar.
Di alun-alun itu riuh rendah rakyat memaki
dan mencemooh: "Cincang mereka!"
"Hukum picis!"
"Bakar!"
"Ah, percuma kalian berteriak-teriak"
"Kenapa?"
"Bukankah kedua Utusan Iblis itu telah mati
oleh seorang Pendekar yang bergelar Pendekar Pedang
Siluman Darah?"
"Ooh...!" Seketika semua rakyat melenguh panjang ketika mendengar penuturan
orang yang menger-
ti. "Percuma dong kita ke sini!"
"Loh percuma bagaimana" Jelas ada manfaat-
nya. Kita jadi dapat tahu wajah orang-orang yang hendak merongrong kerajaan."
"Ya....Ya....!" jawab yang lain.
Tengah mereka bercakap-cakap terdengar seo-
rang Ponggawa istana membacakan acara.
"Wahai seluruh rakyat Kerajaan Segara Anak-
kan, hari ini juga kalian akan dapat melihat muka-
muka orang yang telah membuat keonaran dan mem-
bunuh tuanku Suwarna Angresta!"
"Rakyat seketika terdiam, mereka turut terharu
dan sedih demi mendengar nama Suwarna Angresta
yang telah mereka kenal sebagai orang yang baik dan
merakyat. Saking trenyuh dan sedih, tak terasa air mata
rakyat Segara Anakkan meleleh. Mereka berkabung,
mereka benar-benar telah kehilangan seorang Pembe-
sar yang mau merakyat.
Sepontanitas seluruh rakyat berseru dengan
marah. "Cincang saja jadi sate!"
"Picis jadi seratus!"
"Kuliti saja!"
"Bakar!"
"Jangan! Penggal kepalanya dan gantung di de-
pan alun-alun biar menjadi perhatian yang lain!"
"Tenang saudara-saudara, tenang! Seperti Sau-
dara-saudara, kami pun telah kehilangan seorang yang sungguh-sungguh patut
dijadikan suri tauladan. Maka
sebagai rasa hormat kita pada beliau, marilah kita sesaat mengheningkan cipta,"
Berkata sang Ponggawa. "Hening cipta...,"
Tanpa banyak membantah lagi, seluruh rakyat
kerajaan Segara Anakkan seketika itu terdiam hening.
Mata mereka seketika berkaca-kaca, lalu menangis.
Mereka telah benar-benar kehilangan seorang pembe-
sar yang merakyat, dialah Suwarna Angresta. Seorang
anggota keluarga istana yang seharusnya berhak men-
duduki kursi kerajaan, sepertinya tak mau dengan se-
gala jabatan itu. Ia lebih suka merakyat, menyisihkan segala tata cara kerajaan
dan menggeluti tata kehidupan rakyat yang penuh dengan liku-liku. Akhir dari
pengorbanannya, adalah mati tragis dibantai bersama
murid-muridnya oleh orang yang mengakui utusan Ib-
lis. "Selesai...," berkata Ponggawa kembali setelah sekian lama terdiam dalam hening,
memberikan peng-hormatan terakhir bagi seorang pahlawan rakyat yaitu Suwarna
Angresta. "Nah para rakyat kerajaan Segara Anakkan, apa yang hendak kalian
lakukan bagi orang-orang yang telah membuat keonaran dan membunuh
bahkan bisa dikatakan membantai Kanjeng Suwarna
Angresta?"
"Bawa orang-orang itu kemari kalau masih hi-
dup! Kalau memang telah mati, penggal kepalanya dan
gantung di depan alun-alun sebagai peringatan bagi
yang lainnya!" berseru rakyat, menjadikan alun-alun seketika riuh.
Apa yang dikehendaki rakyat kerajaan Segara
Anakkan ternyata dilaksanakan juga. Hari itu juga,
kepala dua orang utusan iblis yang ternyata Rundanu
dan istrinya dipenggal dan di-gantung di depan alun-
alun. Dibawah dua kepala itu, dipentang lebar-lebar tulisan yang isinya, "INILAH
HUKUMAN BAGI ORANG-ORANG YANG BERBUAT KEONARAN."
*** Surti Kanti yang turut menyaksikan kepala ke-
dua orang tuanya yang dipenggal, seketika itu menan-
gis meraung-raung histeris. Ia berlari sambil menangis, menjadikan semua mata
yang ada di situ beralih memandang ke arahnya. Semua rakyat tercengang, den-
gan hati di-selimuti beberapa macam pertanyaan.
"Hai, kenapa gadis itu menangis sembari berla-
ri?" "Apakah tidak mungkin kalau gadis itu adalah
anak kedua orang yang digantung?" menjawab orang yang ditanya.
"Mungkin juga,"
Gadis muda yang tak lain Surti Kanti, terus
berlari bagaikan tak kenal lelah. Ia berlari sembari menangis dan menyebut nama
ayah dan ibunya, juga
nama orang yang telah membuat ayah dan ibunya
mendapat hukuman pancung.
Mendengar gadis itu menyebut-nyebut nama
Jaka Ndableg, seketika para prajurit istana tersentak.
Mereka seketika itu mengejar Surti Kanti, namun Surti Kanti telah lari dan lari
dengan kencangnya.
"Apakah dia anak kedua orang yang digantung
kepalanya itu?"
"Mungkin juga," menjawab prajurit yang di-
tanya, "Tapi siapakah Jaka Ndableg itu...?"
"Hem, apakah kau tak mendengar tentang seo-
rang pendekar muda yang telah mampu membinasa-
kan kedua Utusan Iblis?" tanya prajurit Sona.
Ditanya begitu oleh Sona, seketika Gading
Wangku mengerinyitkan alis matanya. Lalu dengan
mendesah bagaikan tak mengerti, Gading Wangku
berkata. "Hem, benar. Aku mendengar Patih Singa Barong menyebut-nyebut nama
pemuda itu. Ayo kita ke
patih Singa Barong untuk melaporkan hal ini."
Dengan segera, kedua prajurit itu berlari menu-
ju ke istana. Patih Singa Barong yang melihat dua prajurit-
nya berlari-lari mendekatinya, seketika mengernyitkan mata. Kemudian patih Singa
Barong segera bertanya,
mana kala kedua prajurit itu telah dekat benar.
"Ada apa kalian berlari-lari?"
"Ampun tuan patih, kami hendak melapor,"
menjawab kedua prajurit itu serentak, menjadikan pa-
tih Singa Barong kembali kernyitkan alis matanya. Di-pandangi kedua prajurit
itu, yang tertunduk tanpa berani menentang pan-dang.
"Apa yang hendak kalian laporkan?"
"Kami melihat seorang gadis berlari-lari menan-
gis setelah menyaksikan dua kepala yang digantung
didepan alun-alun," menjawab Sona.
"Hem, mungkin ia trenyuh melihat itu karena ia
wanita," berkata sang patih.
"Ampun tuan patih. Gadis itu bukannya me-
nangis biasa, namun ia menyebut-nyebut nama Jaka
Ndableg. Begini ia menyebut nama Jaka Ndableg orang
yang pernah tuan patih bicarakan."
"Aku mengerti, bagaimana ia menyebut Pende-
kar Pedang Siluman Darah itu, Gading?"
"Dia menyebut, Awas kau Jaka! Aku tak akan
tenang jika belum menghisap darahmu yang telah
menjadikan kedua orang tuaku mendapat hukuman."
"Benarkah...?" tanya sang patih tak yakin.
"Benar, Tuan Patih," menjawab keduanya se-
rentak. "Baiklah! Siapkan oleh kalian berdua sepasu-kan prajurit dan cari gadis
itu." "Daulat Tuan Patih!"
Setelah menyembah, kedua prajurit utama itu
segera berkelebat pergi untuk mempersiapkan prajurit.
Sesaat patih Singa Barong tercenung, lalu dengan se-
gera ia pun berkelebat masuk ke dalam istana untuk
menghadap raja guna menerangkan apa yang telah di
laporkan oleh kedua prajurit utamanya.
"Ada apa paman patih" Sepertinya ada berita
yang sangat penting?" tanya sang Raja.
Sang patih tak menjawab, ia menyembah terle-
bih dahulu. Setelah duduk bersila di hadapan sang Ra-ja dan menarik napas untuk
sesaat, sang patih pun
berkata: "Ampun Sri Baginda yang Mulia, hamba mene-
rima laporan dari dua prajurit utama tentang seorang gadis muda yang menangis
dan berlari-lari setelah melihat dua kepala yang dipampang di depan alun-alun.
Gadis itu juga menyebut-nyebut nama Jaka Ndableg
atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
"Hem, lalu apa hubungannya, paman patih?"!
"Gadis itu memaki-maki Pendekar Pedang Si-
luman Darah. Hamba merasa yakin kalau gadis itu
adalah anak dari dua orang yang d pancung!"
Terbelalak mata sang raja dan permaisuri men-
dengar penuturan patihnya. Keduanya seketika saling
pandang, lalu memandang. Pada sang patih sembari
berkata. "Kalau benar begitu, cari gadis itu. Gadis itu
kelak sungguh berbahaya!"
"Daulat Sri Baginda, kami akan berusaha men-
carinya." Setelah kembali menyembah, sang patih segera
pamit mundur untuk menjalankan tugasnya. Hari itu
juga, patih Singa Barong dan lima prajuritnya dengan menggunakan kuda mencari
Surti Kanti. Dihelanya kais kuda dengan kencang, menjadi-
kan sang kuda berlari bagaikan angin membawa tu-
buh-tubuh mereka yang terguncang-guncang. Di wajah
keenam orang itu, jelas tergambar rasa khawatir ka-
lau-kalau Surti Kanti kelak akan membuat keonaran
karena dendam demi melihat kedua orang tuanya di-
pancung. Apakah keenam orang utusan kerajaan itu
akan mampu menemukan Surti Kanti" Nah, ikuti terus
kisah ini... BAB II Surti Kanti terus berlari dan berlari dengan
kencang sembari menjerit-jerit histeris. Ia begitu ter-pukul dengan kejadian
itu, yang dirasakan olehnya telah membuat segala yang ada pada dirinya kini
tiada arti. Dendamnya pada Pendekar Pedang Siluman Da-
rah yang dianggapnya biang dari kejadian ini, bagaikan bunga api yang meletup-
letup. "Jaka Ndableg, aku akan membalas segalanya.
aku akan membalas segala perbuatanmu!" memekik
Surti Kanti terus berlari. "Aku tak akan tenang bila belum menghisap darahmu,
Jaka...!" Sesampai di rumah, Surti Kanti kembali me-
raung-raung histeris. Ditutupnya segala pintu rumah, lalu ia pun masuk mengurung
diri di dalam kamar,
menangis dan menangis.
Tengah Surti Kanti menangis, seketika dengan
tiba-tiba seorang pemuda yang ia tahu teman kedua
orang tuanya telah berdiri di hadapannya. Pemuda itu tak lain Anggada atau
Penguasa Puri Kegelapan tersenyum, menjadikan Surti Kanti tersentak marah.
"Kenapa kau tersenyum, kenapa"!" membentak Surti Kanti, matanya memandang kesal
dan marah. "Karena kaulah kami menderita!"
"Menderita..." Hem, apakah kau tidak merasa-
kan kekayaan yang diperoleh oleh kedua orang tuamu
karena bantuanku?" bertanya pemuda itu dengan senyum sinis masih mengambang di
bibirnya. "Seharusnya kau mengucapkan terima kasih padaku, karena
kalian telah aku rubah kehidupannya. Kalian dulu
miskin bahkan papa, tapi sekarang kalian kaya raya.
Semua adalah usahaku, semua adalah bantuan dari-
ku." Mendengar ucapan Anggada, seketika itu Surti
Kanti yang sudah tak memikirkan kehidupan lagi ter-
diam. Di dalam benaknya hanya ada satu pikiran, ba-
gaimana untuk membalas semuanya pada Jaka Ndab-
leg. "Kau ingin membalas sakit hati kedua orang
tuamu?" "Hai, kenapa kau tahu isi hatiku?" balik bertanya Surti Kanti terheran-heran.
Betapa tidak segala keinginannya hanya ada dalam hatinya, namun ternyata pemuda
yang berdiri di hadapannya sembari
kembangkan senyum ini mengerti.


Pedang Siluman Darah 12 Pembalasan Surti Kanti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau jangan heran atau kaget kalau aku men-
gerti apa yang menjadi pikiranmu, karena aku bukan
manusia macammu. Akulah Penguasa Puri Kegela-
pan," berkata Anggada, menjadi Surti Kanti tersentak kaget setelah tahu siapa
sebenarnya pemuda itu. Saking kagetnya, sampai-sampai Surti Kanti mendesah.
"Ah....! Jadi... Jadi kau, kau..."
Melihat Surti Kanti tergagap sambil ketakutan,
pemuda yang bernama Anggada tersenyum saja. Kini
ia makin mendekat ke arah Surti Kanti yang makin ke-
takutan. Senyumnya masih mengambang, sorot ma-
tanya tajam menghujam pada mata Surti Kanti. Dari
bibirnya yang terurai senyum terbersit suara mendesis.
"Kau harus menurut padaku. Kau harus men-
jadi abdiku bila kau ingin membalas dendam pada
pendekar muda itu. Akan aku turunkan segala ilmu
yang aku miliki padamu, kau mau Surti?"
Surti Kanti yang tadinya ketakutan, kini men-
gangguk mengiyakan. Dan ketika si pemuda mendekat
seraya memeluk tubuhnya, Surti Kanti bagaikan pa-
tung diam membiarkan tangan pemuda itu bereaksi.
Tangan pemuda itu sedikit demi sedikit berubah. Dari tangan mulus, kini berubah
berbulu lebat. Surti Kanti yang telah terpengaruh oleh ilmu Ib-
lis Anggada hanya diam dan diam, sampai akhirnya
perubahan pada diri Anggada benar-benar telah me-
nyeluruh. Mukanya kini bukan muka manusia lagi,
namun muka kelelawar yang menyeramkan. Namun di
mata Surti Kanti, pemuda itu masih berujud seperti
semula tampan dan ganteng.
Ketika Anggada mengajaknya untuk mengalun-
kan irama cinta, Surti Kanti langsung menyambutnya.
Surti Kanti hanya menjerit sesaat, mana kala lehernya terasa perih. Leher Surti
Kanti ternyata berlubang digi-git oleh Anggada. Walau pun begitu, Surti Kanti
mera-sakannya sebuah kenikmatan. Gigi Anggada yang
runcing dan tajam, menghujam di leher Surti Kanti.
Dari gigi-giginya yang tajam, mengalir tetesan darah hitam legam masuk ke dalam
tubuh Surti Kanti. Seketika tubuh Surti Kanti bagaikan melayang, terbawa
pada sebuah alam yang terasa asing baginya.
Setelah darah itu benar-benar masuk ke dalam
tubuhnya dan membaur dengan darah seketika peru-
bahan terjadi pada diri Surti Kanti. Tubuh Surti Kanti seketika berbulu lebat,
hitam legam. Mukanya berubah menjadi muka kelelawar. Matanya tajam memerah,
sepertinya memendam bara api. Mulutnya seketika men-
cicit, melengking menggidigkan bulu kuduk.
"Dinda, maukah kau menjadi istriku" Menjadi
pendampingku?" berbisik Anggada.
"Hem..." mendesah Surti Kanti, memandang tajam pada Anggada.
"Jadi kau mau, Dinda?"
"Dengan senang hati, Kanda. Asalkan... " Surti Kanti tidak meneruskan ucapannya.
Dengan tersenyum manja, dipeluknya erat tubuh Anggada. Hal itu
menjadikan Anggada makin beringas, mendekap erat
tubuh Surti Kanti.
"Asal apa, Dinda?"
"Asalkan kanda mau menurunkan segala ilmu
padaku untuk aku gunakan sebagai pembalas den-
damku pada Kerajaan Segara Anakkan dan terutama
pada Pendekar Pedang Siluman Darah."
"Jangan khawatir, Dinda. Kanda akan menu-
runkan seluruh ilmu yang Kanda miliki pada Dinda.
Dan perlu Dinda ingat, Kanda tak akan membiarkan
Dinda melawan pendekar muda itu."
"Benarkah, Kanda?"
Anggada hanya mengangguk, menjadikan Surti
Kanti makin mengencangkan pelukannya. Sesaat ke-
dua makhluk Iblis itu saling gelut dan saling rengkuh.
Dari mulut keduanya mencicit, persis kelelawar. Setelah beberapa saat keduanya
berbuat begitu, tampak
mulut Anggada berkomat-kamit. Tak berapa lama ke-
mudian, keduanya menghilang berganti dengan sepa-
sang kelelawar. Kelelawar itu terbang, meninggalkan
rumah Surti Kanti yang kembali sepi.
*** Dari kejauhan tampak enam orang penunggang
kuda menuju ke arah di mana rumah Rundanu bera-
da. Keenam orang itu yang tak lain patih Singa Barong dan kelima prajurit
utamanya, terus memacu kuda-kuda mereka.
Tak berapa lama kemudian, keenam orang itu
sampai di depan rumah Rundanu yang tampak sepi.
Serta merta, kelima prajurit utama itu segera turun dari kuda dan melangkah
mendatangi rumah tersebut.
"Hem, sepi. Kemana gadis itu...?"
"Panggil dia...!" seru patih Singa Barong tak sa-bar. "Bila tak ada jawaban,
dobrak pintunya!"
"Surti Kanti, keluar kau...!" berseru prajurit
utama I. Tak ada jawaban dari dalam rumah.
"Surti Kanti, apa kau tuli, ha.....!" prajurit utama II turut berseru. Kembali
tak ada jawaban dari dalam rumah, menjadikan kelima prajurit itu menggeram
marah. "Setan! Rupanya ia ingin mempermainkan kita.
Ayo, kita dobrak!"
Tanpa banyak kata lagi, kelima orang; prajurit
itu segera mendobrak pintu. "Braaak...!"
Pintu rumah itu terbuka, hancur terhantam
oleh pukulan dan tendangan kaki dan tangan kelima
prajurit utama. Dengan berang kelima prajurit utama
segera berkelebat masuk. Namun belum sempat mere-
ka memasuki lebih jauh, dua ekor kelelawar besar ti-
ba-tiba menyambar ke arah mereka.
"Awas kelelawar setan!" berseru prajurit I Dengan segera kelima prajurit itu
elakan serangan kelelawar setan dengan merundukkan kepala.
Namun begitu, kelelawar setan itu kembali meman-
dang ke arah mereka. Mata kelelawar itu memerah ba-
gaikan memendam permusuhan, lalu setelah mencicit
melengking yang mampu membuat bulu kuduk mere-
ka berdiri kelelawar setan itu kembali menyerang.
Sayapnya yang lebar membuka, mengepak
menghantam kelima prajurit yang dengan segera cabut
golok dan tebaskan pada kelelawar itu.
Tapi bagaikan mengerti saja, kelelawar itu sege-
ra elakan serangan golok mereka. Kelelawar hantu itu terbang berputar-putar
dengan mulut membuka lebar,
menunjukan gigi-giginya yang ranting dan tajam.
"Benar-benar kelelawar Iblis!"
"Jangan kita terpengaruh oleh matanya, se-
rang...!" "Cuit... Cuit...!"
Kelelawar Iblis itu kembali mencuit, mengelua-
rkan suara yang mendirikan bulu kuduk. Matanya
yang merah memandang tajam pada kelima prajurit,
sepertinya mendendam.
Kelelawar satunya datang, mendampingi kele-
lawar yang tengah bertarung.
"Cuiiit..... Cuiiit....!" kelelawar yang baru datang mencuit, lalu sesaat
memandang pada kelima prajurit
sepertinya hendak mencari wajah kelima prajurit itu.
Lalu tanpa bersuara lagi kedua kelelawar iblis itu terbang, meninggalkan kelima
prajurit yang terbengong.
"Aku rasa gadis itu mempunyai ilmu siluman,"
berkata prajurit utama I.
"Mungkin juga...," gumam prajurit utama-III
"Hoi... Apakah kalian menemukannya?" berseru sang patih yang masih duduk di atas
pelana kudanya.
"Kenapa kalian hanya terbengong kaya sapi ompong?"
"Tak ada siapa-siapa, tuan Patih," menjawab Prajurit I
"Bakar saja rumah iblis itu!" kembali sang patih berseru.
Tanpa banyak kata lagi, kelima prajurit itu se-
gera menggeledah seluruh ruangan dalam rumah itu,
namun mereka tak menemukan orang yang mereka ca-
ri. Seluruh ruangan itu kosong dan nampak berdebu
sejak ditinggal mati Ki Rundanu dan istrinya.
"Mengapa kalian lama-lama di dalam! Apa yang
kalian cari prajurit-prajurit tolol!" membentak marah sang patih, yang telah
jemu berlama-lama dari tempat itu. Entah perasaan apa, tiba-tiba bulu kuduk
patih Singa Barong yang pemberani itu seketika merinding.
"Ayo kalian keluar dan bakar rumah itu...!"
Demi mendengar seruan patihnya, kelima pra-
jurit Utama itu segera berkelebat keluar. Dengan sege-ra, kelima prajurit itu
meloncat jatuhkan diri mereka tatkala sebuah benda tiba-tiba melayang menyerang
kelimanya. "Setan! Benar-benar rumah ini telah dihuni Ib-
lis!" memaki patih Singa Barong gusar. Ia segera turun dari keduanya, hantamkan
pukulan tenaga dalamnya
ke dalam rumah itu. Seketika terdengar ledakan dah-
syat mana kala pukulan sang patih seperti membentur
pukulan lain. "Bedebah! Ternyata ada Iblis yang berani men-
gusikku. Keluar kau, Iblis!" bentak sang patih penuh amarah. Namun tak ada
jawaban atau ujud orang keluar, hanya desah angin berlalu menerpa sang patih
yang seketika itu berkelit sembari hantamkan ajian-
nya. "Ajian Wungkir Alur, Hiat...!"
"Duar...!"
"Aaaahhhh....!" terdengar jeritan, mana kala
Ajian Wungkir Alur yang dilontarkan sang patih berkelebat menghantam. Terbelalak
mata kelima prajurit
utama, demi mendengar pekikan kesakitan tanpa ujud
itu. Setelah habis pekikan tanpa ujud, sebuah bayan-
gan kelelawar berkelebat terbang dengan darah berce-
ceran. Kelelawar itu tak jauh terbang, ambruk ke ta-
nah. Serta merta kelima prajurit itu memburu, dan
mereka seketika memekik mana kala mendekat
"Kelelawar setan...!"
"Apa....!?" berseru kaget sang patih seraya
mendekat ke arah kelima prajuritnya yang masih ter-
paku melihat kelelawar setan yang tergeletak.
Mereka lebih tersentak sampai melompat mun-
dur, mana kala terlihat perubahan pada tubuh kelela-
war itu. Tubuh kelelawar itu makin membesar dan be-
sar sebesar tubuh manusia. Setelah ujud kelelawar itu sebesar ujud manusia,
tubuhnya seketika berubah
menjadi manusia yang menjadikan kelima prajurit dan
sang patih tersentak.
"Rundanu...!"
"Hai, jadi... jadi siapa yang telah digantung ke-
palanya?" menggumam sang patih tak yakin pada pen-
glihatannya. Belum juga keenam orang istana itu tersadar
dari rasa kagetnya, tiba-tiba seekor kelelawar lain berkelebat menyerang mereka.
Serta merta sang patih
berseru memperingatkan pada kelima prajuritnya.
"Awas serangan...!"
"Wuut... Wuuttt...!"
"Aaahhh...!!!!" memekik prajurit utama-IV se-
raya menutupi mukanya. Dari muka yang tertutup
tangan, melelah darah deras mengucur. Sesaat tubuh
prajurit utama-IV kejang-kejang, lalu ambruk dengan
nyawa melayang.
"Pringgo...!" memekik kelimanya, mana kala
melihat Pringgo tergeletak mati dengan muka tercabik-cabik. "Kelelawar Setan!
Jangan harap kau bisa lepas dari tanganku!" membentak sang patih marah.
"Terimalah ini, Hiat....!"
Patih Singa Barong hantamkan ajiannya yaitu
ajian Wungkir Alur, yang telah mampu membunuh sa-
tu diantara dua kelelawar setan itu. Kelelawar setan itu memandang ke arahnya
dengan mata memerah bagaikan terbakar api. Kelelawar itu mencicit, kepakan sayap
lalu menyerang.
"Cuiiittt.. Cuuiiit...!"
"Wuuuuttt... Dest....!"
"Aaaahhhh...!"
Kelelawar itu memekik. Ya, memekik seperti
manusia, lalu jatuh ke tanah mati. Seperti kelelawar pertama yang ternyata
jelmaan Rundanu, kelelawar ini pun berubah membesar dan makin besar. Setelah
tubuhnya sama dengan manusia, kelelawar itu berubah
ujud menjadi seorang wanita yang mereka kenal ada-
lah istri Rundanu.
"Nyi Rumini...!"
"Ah, apa pula ini...?" mengeluh sang patih, tak
mengerti dengan segala kejadian yang baru saja mere-
ka alami. "Apakah kita ini tidak tengah bermimpi" Co-ba kalian cubit lengan
kalian!" Dengan menurut, keempat prajurit utama itu
segera mencubit lengan masing-masing dengan keras.
Seketika keempatnya menjerit kesakitan, menjadikan
sang patih terheran-heran. Dia pun akhirnya mencubit lengannya, dan sang patih
pun menjerit. "Auh...! Jadi kita bukan bermimpi," gumam
sang patih. "Lalu bagaimana ini terjadi?"
"Entahlah tuan patih, kami juga tak mengerti,"
menjawab kelimanya berbareng.
"Sungguh-sungguh pengalaman yang aneh,"
kembali sang patih menggumam. "Bagaimana mungkin
orang yang telah mati terpenggal bisa menjadi kelelawar dan mati lagi" Ah, suatu
keanehan..."
Kelima orang itu seketika terdiam, tak mengerti
dengan apa yang mereka alami. Pengalaman yang be-
nar-benar sukar untuk dipikir secara akal.
"Jangan bengong, bakar rumah itu!"
"Daulat tuan patih!"
Dengan segera keempat prajurit itu membakar
rumah iblis. Api seketika berkobar, melalap rumah Iblis. Setelah melihat rumah
itu benar-benar habis terbakar, kelimanya segera pergi kembali ke kerajaan
dengan membawa tubuh temannya yang telah mati...
*** BAB III Patih Singa Barong segera menghadap sang Ra-
ja untuk menceritakan apa yang telah ia alami bersa-
ma kelima prajurit utamanya. Dengan wajah tegang,
sang patih segera menyembah diikuti oleh keempat
prajuritnya. Hal itu menjadikan sang Raja menge-
rutkan kening, heran melihat mimik muka patihnya
yang kelabu. "Ada apa paman Singa Barong"* Sepertinya


Pedang Siluman Darah 12 Pembalasan Surti Kanti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

engkau membawa berita buruk hingga wajahmu begitu
murung?" tanya sang Raja.
"Ampun baginda yang mulia sesembahan ham-
ba. Memang hamba membawa berita yang sungguh tak
dapat hamba percayai dan tak dapat dicerna dengan
akal sehat," menjawab patih Singa Barong, menjadikan sang Raja tersentak
kerutkan kening. Mata sang Raja
membeliak, memandang pada patihnya sembari ber-
gumam. "Hem... Gerangan apa itu, Paman Patih?"
"Mulanya hamba kira hanya mimpi, tapi ternya-
ta benar-benar kenyataan hidup," menjawab sang patih. "Ketika kami mendatangi
rumah Rundanu, keanehan itu kami dapatkan....! "
"Keanehan..." Keanehan apa, Paman Patih?"
Sejenak sang patih menarik napas panjang, la-
lu katanya kemudian.
"Kami diserang oleh empat ekor kelelawar Se-
tan." "Kelelawar Setan...!" memekik sang Raja dan permaisuri kaget.
"Maksudmu, Paman patih?"
"Daulat tuanku, memang benar apa yang terja-
di. Kelelawar itu menyerang kami, bagaikan seorang
manusia saja layaknya."
"Aneh...," guman sang Raja, "Terus...?"
"Dua kelelawar pertama tidak meneruskan me-
nyerang, dan pergi entah kemana. Setelah dua kelela-
war itu pergi, kami bermaksud membakar rumah ter-
sebut. Namun sungguh-sungguh mengejutkan, karena
tiba-tiba sebuah benda melayang dengan sendirinya
menyerang kami."
Demi mendengar cerita sang patih, sang Raja
tampak tercenung sepertinya turut terhanyut dengan
cerita itu. Matanya memandang mata patih Singa Ba-
rong, nafasnya mendesah berat.
"Lalu, paman patih?"
Singa Barong tercenung sesaat, bergidik bulu
kuduknya demi mengingat semua kejadian tersebut.
Sesaat ditariknya napas perlahan, sebelum kembali
bercerita. "Hal itu menjadikan kami seketika mengelak-
kannya. Hamba segera menyerang dengan ajian yang
hamba miliki. Seketika itu, dari dalam rumah berkelebat seekor kelelawar, yang
langsung menyerang kami.
Rupanya hantaman ajian yang hamba lontarkan, tepat
mengenai tubuhnya. Kelelawar setan itu ambruk sebe-
lum sempat menyerang, jatuh ke tanah dan mati. Yang
menjadi kekagetan kami, kelelawar itu berubah menja-
di Ki Rundanu yang telah dihukum pancung..."
"Apa..."!" tersentak sang Raja kaget, tak percaya pada apa yang diceritakan oleh
patihnya. "Apa kau tak cuma mengarang cerita saja, paman patih?"
"Ampun, Baginda yang mulia sesembahan
hamba. Kalaulah baginda kurang percaya, paduka
hamba perkenankan menanyai keempat prajurit kami."
Sang Raja terdiam, ia juga merasa ada kejang-
galan pada para prajuritnya. Bukankah Singa Barong
membawa lima prajurit, mengapa kini tinggal empat?"
"Mana prajuritmu yang seorang, paman patih?"
"Mati diserang oleh kelelawar setan." menjawab Singa Lodra, yang menjadikan sang
Raja kembali ter-beliak kaget.
"Untuk itu, hamba menyampaikannya kehada-
pan paduka. Kalaulah paduka kurang yakin, hamba
perkenankan paduka menilik orang-orang yang tergan-
tung." "Hem, baik. Ayo kita kesana!"
Segera sang Raja yang diiringi oleh patih Singa
Barong dan empat prajurit utama menuju ke pintu
gerbang alun-alun. Mereka ketika tersentak, mana ka-
la melihat apa yang terjadi. Ternyata di situ yang tergantung bukan kepala
manusia, tetapi buah-buah ke-
lapa. "Hem, sungguh-sungguh suatu misteri, Paman Patih." "Itulah, Paduka. Hamba
dan keempat prajurit pun sungguh tak mengerti akan semua yang terjadi,"
menjawab patih Singa Barong.
"Prajurit, ambil buah kelapa itu!" perintah sang Raja dengan penuh kekesalan,
yang dengan segera dijalankan oleh empat prajurit utamanya. "Hem, apakah mereka
telah menganut ilmu Iblis...?"
"Kami rasa juga begitu, tuanku," menjawab
sang patih. "Tapi menurut hamba, kelelawar satunya yang bersama kelelawar
penyerang pertama adalah biang ilmu Iblis mereka."
"Kenapa kau bisa berkata begitu, Paman pa-
tih?" "Ampun, baginda yang mulia. Sebab kelelawar itu lebih besar dan lebih
menyeramkan dibandingkan
dengan ketiga kelelawar lainnya."
"Mungkin juga," menggumam sang Raja dan
bergegas pergi meninggalkan alun-alun menuju ke is-
tananya, diikuti oleh keempat prajurit dan patih Singa Barong di belakangnya.
Pikiran sang Raja melayang,
bingung dan tak mengerti dengan segala keganjilan
yang terjadi pada kejadian-kejadian yang baru berlalu menimpa kerajaannya...
*** GEROMBOLAN GAGAK BIRU...
Gerombolan Gagak Biru, merupakan sebuah
gerombolan perampok dan penyamun. Gerombolan
Gagak Biru dipimpin oleh seorang dara, bernama Dewi
Era Wati anak Tumenggung Sumara Bumi. Dewi Era
Wati adalah anak dari hubungan gelap Tumenggung
Sumara Bumi dengan Laras Sari, atau Rampok Bukit
Perawan. Sebagai anak seorang perampok, didikan Era
Wati pun selalu menjurus pada hal-hal yang keras. Karena dididik terus menerus
begitu, jadilah Dewi Era
Wati seorang gadis liar dan telengas.
Jarang mangsanya dibiarkan hidup-hidu walau
mangsanya telah benar-benar takluk dan menyerah-
kan hartanya. Karena tindakannya yang terlalu kejam dan te-
lengas, menjadikan nama Gagak Biru menjadi momok
yang sangat ditakuti oleh rakyat...
Siang begitu panas, terasa menyengat sang
mentari dengan sinarnya. Angin bertiup lamat-lamat,
menerpa apa yang dapat diterpa.
Dari arah barat seseorang gadis berpakaian bi-
ru-biru dengan pedang dipundaknya. Memacu kuda
berwarna coklat. Gadis itu memacu kudanya dengan
kencang, menyusuri jalan berumput lebat. Rumput
alang-alang itu begitu tinggi, hampir menutupi tubuh gadis berpakaian biru
hingga bila dilihat dari kejauhan
yang tampak hanya kepalanya saja.
"Hia, hia, hia... Ayo Lokal, kenapa kau lemah"
Bukankah kau telah kenyang makan" Ayolah, kita tak
banyak waktu untuk berleha-leha. Teman-temanku te-
lah lama menunggu. Hia...!"
Bagaikan mengerti ucapan si gadis berpakaian
biru yang tak lain Dewi Erawati atau Dewi Gagak Biru, kuda itu segera kencangkan
larinya. "Suit...!"
"Swing... Swing... Swing!
Tersentak Dewi Gagak Biru, mana kala tiba-
tiba berdesing puluhan anak panah menderu ke arah-
nya. Marahlah seketika Dewi Gagak biru loncat dari
kudanya dengan pedang siap di tangannya,
"Bedebah! Rupanya ada kroco-kroco yang hen-
dak unjuk gigi, Hiat...!"
Ditebaskan pedang di tangannya, menyampok
puluhan anak panah yang seketika itu berguguran pa-
tah menjadi dua.
"Hoi... Kalian para kroco bongkrek, keluarlah!
Jangan pengecut seperti banci. Hadapi aku Dewi Ga-
gak Biru!"
"Suit...!"
Terdengar suitan.
Mata Dewi Gagak Biru memandang liar sekeli-
lingnya, yang di tumbuhi alang-alang setinggi dada.
Pedang Lumajang Biru yang telah menghisap darah
puluhan bahkan ratusan korban siap di tangannya.
Dewi Gagak Biru menggeretak marah demi tak ada
seorang pun yang menampakkan muka.
"Hem, baik kalau begitu! Kalau kalian memang
tak mau unjukan congor kalian! Hiat...!"
Pedang Lumajang Ungu seketika berkelebat ce-
pat di tangan Dewi Gagak Biru, menebas rumput-
rumput alang-alang yang tinggi.
"Suit...!"
Kembali terdengar suitan, yang makin mendi-
dihkan amarah Dewi Gagak Biru. Matanya yang tajam,
seketika menangkap kelebatan sesosok tubuh di balik
alang-alang. "Hem, jangan harap bisa lolos!"
Habis mendengus demikian, Dewi Gagak Biru
yang sudah terkenal sadis bagaikan seekor burung ga-
gak berkelebat. Pedang di tangannya di arahkan pada
orang yang nampak.
"Hiat...!"
"Dest!"
"Aaahhh...!"
Memekik orang itu seketika, mana kala Pedang
Lumanjang Biru di tangan Dewi Gagak Biru menebas
lengannya. Lengan itu puntung, menjadikan jeritan
yang menyayat. Sesaat lelaki bermuka ular menggele-
par-gelepar, lalu diam tak bernyawa. Dewi Gagak Biru tersenyum sinis, matanya
melotot. Dengan beringas
pedang di tangannya kembali dihujamkan ke tubuh
orang yang telah mati itu bertubi-tubi, menjadikan tubuh orang itu hancur bagai
tercabik-cabik.
"Lihat oleh kalian! Bila kalian tak mau menye-
rah, maka kalianpun akan seperti ini keadaannya!"
Diangkatnya tubuh orang yang telah hancur itu
tinggi-tinggi, lalu dengan keras dihempaskan, dilem-
parkan pada orang-orang yang menurut perkiraannya
berada. Ternyata dugaan Dewi Gagak Biru benar
adanya. Orang-orang yang ada di situ terbelalak kaget, melihat tubuh temannya
telah mati dengan tubuh
hancur. "Suit...! Serang...!"
Bersamaan dengan suara seruan itu, seketika
dari balik alang-alang berkelebat puluhan orang yang
langsung menyerang Dewi Gagak Biru.
"Hem, rupanya memang benar dugaanku, bah-
wa kalian kroco-kroco yang ingin unjuk gigi. Mana ketua kalian, suruh dia
keluar!" membentak marah Dewi Gagak Biru.
"Jangan bermimpi, Dewi. Serang...!" berseru ketua musuh.
"Slompret! Jangan salahkan aku bila telengas
turunkan tangan, Hiat...!"
Tubuh Dewi Gagak Biru berkelebat bagaikan
terbang, melayang dengan pedang Lumanjang Biru di
tangannya. Pedang Lumajang Biru di tangannya bagai-
kan bermata menebas dengan liar. Setiap tebasan pe-
dangnya, menjadikan jerit-jerit kematian musuh. Na-
mun ternyata musuh bukannya susut, malah bertam-
bah banyak. "Bedebah!" menggeretak sang Dewi marah.
Menyadari kalau begitu terus menerus tak bak-
al ungkulan, sang Dewi segera keluarkan ajiannya yai-tu Ajian Sukma Lelana.
Ajian yang berapa syair itu,
merapalkan ajian aneh. Bila siapa saja yang menden-
garkannya dengan seksama, niscaya orang itu akan
terhanyut dalam alunan syair tersebut, sesuai dengan bait-baitnya.
"Kala Kehidupan telah Pupus, Datanglah hari
kematian, Orang-orang akan memekik berontak, tak
ingin hari itu datang. Namun mereka tak mampu.
Orang-orang itu menangis dan menangis, lalu terkulai lemas..."
Mendengar syair tersebut, seketika orang-orang
yang mengeroyoknya menangis. Ya mereka menangis
terhanyut oleh isi syair tersebut. Mereka benar-benar meratap, entah apa yang
tengah mereka ratapi. Lalu
mereka lemas, ngejuprak jatuh di tanah.
Melihat hal itu Dewi Gagak Biru tersenyum.
Namun seketika senyum itu berubah jadi rasa kaget,
mana kala terdengar bentakan dari seseorang. Benta-
kan itu sekaligus menyadarkan para pengeroyoknya
dari pengarah ajian Sukma Lelana.
"Bodoh! Kenapa kalian sebodoh itu, serang dia!"
Bagaikan baru tersadar dari tidur, mereka se-
ketika tersentak kaget. Secepat kilat, golok yang tadinya terlepas mereka ambil
kembali. Mereka pun
kembali menyerang Dewi Gagak Biru, yang dengan se-
gera berkelebat menghindar.
"Woro Kendil, kau telah mendahului. Jangan
salahkan bila aku bertindak!" Membentak marah Dewi Gagak Biru sembari tangkiskan
pedang ke arah serangan yang datang serentak.
"Trang...! Trang, trang, trang...!"
"Hua, ha, ha... Dewi, kau tak akan bebas se-
maumu sebab aku akan selalu menjadi penghalang
bagimu. Kau dan anak buahmu akan bebas berkelia-
ran, bila kau mau mengakui bahwa akulah penguasa
tunggal gerombolan begal di sini. Dan kau harus men-
jadi pengikutku."
"Kampret busuk! Jangan bermimpi, Woro!"
membentak Dewi Gagak Biru gusar. "Auoooooooooo!
Aauuoooooo...!"
Tiba-tiba Dewi Gagak Biru berseru, bersamaan
dengan itu berkelebat ratusan orang yang langsung
menyerbu ke arena pertarungan. Mereka adalah anak
buah Dewi Gagak Biru, yang sedari tadi memang telah
berada di sekitar tempat itu.
"Nah, Woro.. Apakah kau masih mau ngeban-
del?" bertanya Dewi Gagak Biru dengan sinis. "Sebentar lagi anak buahmu akan
lumat bersama dengan hi-
langnya Gerombolan Pajang, hua, ha, ha...!"
"Jangan harap aku akan menyerah padamu,
Kuntilanak!"
"Baik, kalau begitu. Bersiaplah untuk aku kirim kau ke akherat, supaya kau dapat
tenang tanpa banyak bacot, Hiat...!"
Sang Dewi Gagak Biru seketika berkelebat me-


Pedang Siluman Darah 12 Pembalasan Surti Kanti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyerang, menjadikan Woro Kuntil tersentak melompat
mundur. Pertarungan kini berjalan imbang dengan ke-
datangan anak buah Gagak Biru. Dewi Gagak Biru kini
langsung berhadap-hadapan dengan Woro Kuntil, tan-
pa harus repot melayani anak buah Woro Kuntil.
Pedang di tangan Dewi Gagak Biru bagaikan
Dewi Kematian, bergerak cepat menyerang Woro Kun-
til. Diserang begitu rupa, Woro Kuntil tak mau tinggal diam. Dengan senjatanya
yang bernama Toya Iblis,
Woro Kuntil papaki serangan pedang Lumajang Biru
tangan Dewi Gagak Biru.
Tampaklah kini bahwa nama Gagak Biru me-
mang tak bisa dipandang enteng. Dalam sekejap saja,
anak buah Woro Kuntil dapat segera didesak. Korban
berjatuhan, dengan jerit-jerit melolong-lolong menahan sakit yang teramat
sangat. Tubuh korbannya tak dibiarkan hanya mati saja, namun tubuh korban itu
di- lumatkan hingga benar-benar hancur! Itulah tradisi
Gagak Biru, mereka benar-benar ingin menunjukkan
siapa adanya Gagak Biru, yang perlu diperhitung-
kan...! "Menyerahlah Woro Kuntil!"
"Huh... Lebih baik aku mati dari pada menye-
rah pada Kuntilanak macammu," jawab Woro Kuntil sewot. Ia tahu kalau anak
buahnya telah lumat dibantai Gagak Biru, namun sebagai seorang begal sejati ia
tak mau menyerah. Baginya lebih baik mati dari pada
takluk menjadi pengikut begal lain.
"Hem, itu yang kau mau. Baik, bersiaplah.
Hiat...!" Kembali dua pimpinan begal itu berkelebat sal-
ing serang. Senjata-senjata di tangan mereka, tak
ubahnya nyawa mereka sendiri. Siapa yang senjatanya
lebih hebat, dialah yang akan menang.
"Mampus kau Woro Kuntil!"
Bersamaan dengan ucapan itu, Dewi Gag Biru
segera tebaskan pedang dengan liar dan ganas. Woro
Kuntil tersentak berusaha tangkiskan Toya Iblis, na-
mun sungguh-sungguh keliru perhitungan Woro Kun-
til. Ternyata serangan itu hanya tipuan belaka, sedang serangan sebenarnya,
menyusul kemudian. Tak ayal
lagi, pedang Lumajang Biru di tangan Dewi Gagak Bi-
ru, menerobos masuk ke sela-sela pertahanan Woro
Kuntil yang lowong.
"Ah...!" mengeluh Woro Kuntil, dadanya tertem-bus pedang. Matanya melotot,
memandang tajam pada
Dewi Gagak Biru sembari mendekap dadanya yang
berlubang mengeluarkan darah. "Kau hebat, Dewi.
Aku... Aku, ah..." tubuh Woro Kuntil ambruk, nyawanya melayang.
"Hua, ha, ha... Akulah penguasa tunggal para
rampok. Akan aku dirikan sebuah kerajaan Rampok.
Hua, ha, ha..." Dewi Gagak Biru tertawa tergelak-gelak, sepertinya ia merasa
gembira. Kesombongan dan ke-congkakannya makin menjadi, merasa saingannya te-
lah tak ada. Ya, saingannya si Woro Kuntil, telah dapat ia lumatkan.
BAB IV Dengan kemenangannya atas gerombolan yang
dipimpin oleh Woro Kuntil, menjadikan nama Gagak
Biru makin memomok di mata masyarakat. Sepak ter-
jangnya makin mengganas, merampok dan membegal
orang-orang dengan sadis.
Era Wati selaku ketuanya, tak segan-segan un-
tuk turun tangan sendiri, memimpin anak buahnya
yang jumlahnya makin bertambah banyak. Nama Dewi
Gagak Biru makin kondang, menyaingi nama Pendekar
kita yaitu Pendekar Pedang Siluman Darah. Berbeda
dengan kekondangan nama pendekar kita, nama Dewi
Gagak Biru merupakan nama yang menakutkan bagi
orang-orang yang benar. Namun sangat menyenang-
kan bagi orang-orang yang memang mencari celah-
celah untuk menjalankan itikad buruknya...
Pihak Tumenggung yang dipimpin oleh seorang
Tumenggung Galuh Anom, telah berusaha menumpas-
nya. Namun sejauh itu, keadaannya yang terbalik. Bu-
kannya Gagak Biru yang tertumpas, namun pihak Ga-
luh Anomlah yang tertumpas.
"Kalau begini terus menerus, bisa-bisa kita
yang bakal diserang Kanjeng Tumenggung," berkata penasehat Tumenggung Galuh Anom
menjadikan sang
Tumenggung seketika terdiam. Tangannya menopang
dagu, sepertinya tengah bingung bagaimana mencari
jalan keluarnya. Apakah ia mesti mengalah pada ge-
rombolan Gagak Biru dan menyerahkan jabatannya
pada Dewi Era Wati atau Dewi Gagak Biru" Sungguh
sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab.
Teror Gagak Biru yang menteror Ketemenggun-
gan, berjalan sejak Tumenggung Galuh Anom menolak
untuk dijadikan gabungan dengan Tumenggung yang
dipimpin oleh Sumara Bumi. Entah apa sangkut paut-
nya, tiba-tiba Gerombolan Gagak menteror.
"Bagaimana menurutmu, Paman Wiraba?"
tanya sang Tumenggung setelah sekian lama terdiam,
pada Wiraba penasehatnya. "Apakah kita kembali
mengirim pasukan untuk memberantasnya?"
"Apakah kita tidak lebih baik meminta bantuan
pada Tumenggung Sendang Lalean, Gusti?" balik ber-
tanya Wiraba. "Maksudmu, Paman?"
"Kita meminta tolong pada Kanjeng Tumeng-
gung Sendang Lalean untuk mengirimkan prajurit-
prajuritnya kemari. Sebagai balasannya kita beri dia hadiah bila dapat menumpas
Gagak Biru."
"Hem, apa itu tidak menjadikan namaku jelek
di mata rakyatku, Paman?"
"Hamba rasa tidak, Kanjeng. Rakyat akan se-
nang bila gerombolan Gagak Biru lenyap dari daerah
sini," menjawab Wiraba, sepertinya ia yakin dengan usulnya.
Tumenggung Galuh Anom terdiam, menganali-
sa kembali apa yang telah disarankan oleh penasehat-
nya. Hatinya bertanya-tanya, apakah mungkin"
Bingung Tumenggung Galuh Anom memi-
kirkan semuanya. Gerombolan gagak biru terlalu ga-
nas, menteror penduduk ketemenggungan. Gerombo-
lan itu juga sukar untuk ditumpas. Jangankan me-
numpas, mengusirnya dari wilayah Ketemenggungan
pun sukar. Bukannya gerombolan itu yang terusir, se-
baliknya para prajuritlah yang kocar-kacir. Kebanyakan para prajurit telah
enggan untuk mengurusi ge-
rombolan Gagak Biru. Mereka telah tahu siapa sebe-
narnya Gerombolan Gagak Biru, yang telah menjadi-
kan ketidak tenangan rakyat.
"Kalau itu yang terbaik menurut paman, aku
pun setuju."
"Daulat, Kanjeng Tumenggung."
"Nah, siapkan prajurit untuk menyampaikan
suratku pada Kanjeng Tumenggung Sendang Lalean,"
berkata Tumenggung Galuh Anom memerintah.
"Daulat, Kanjeng Tumenggung."
Dengan segera, Wiraba pergi untuk menemui
prajurit-prajurit yang hendak diutusnya untuk me-
nyampaikan surat pada Tumenggung Sendang Lalean.
Tak berapa lama kemudian, Wiraba telah menghadap
kembali di ikuti oleh dua orang prajurit.
"Hamba menyampaikan sembah, Kanjeng Tu-
menggung," berkata dua prajurit itu sembari menyembah. "Sembah kalian aku
terima," menjawab Tumenggung Galuh Anom.
"Daulat Kanjeng Tumenggung, gerangan apa
kami dipanggil menghadap?" tanya Sumantri, seorang prajurit dari keduanya.
"Benar, Kanjeng Tumenggung. Hamba juga tak
mengerti, gerangan apa kesalahan hamba hingga ham-
ba dipanggil?" lanjut Suryana.
"Tak ada kesalahan pada diri kalian," menjawab Tumenggung Galuh Anom, menjadikan
kedua prajurit itu seketika tenang hatinya hingga keduanya menarik
napas panjang. "Sumantri, dan kau Suryana. Aku
akan mengutus kalian untuk menyerahkan surat pada
Kanjeng Tumenggung Sendang Lalean. Kalian harus
menunggu surat itu, sampai Kanjeng Tumenggung La-
lean menjawabnya."
"Daulat, Kanjeng Tumenggung!" menjawab ke-
duanya bareng. "Tunggulah sesaat, aku akan menulis surat
itu." Tumenggung Galuh Anom segera bergegas masuk, meninggalkan dua prajuritnya
yang duduk me- nunggu. Ditulisnya surat di atas selembar daun lontar, yang isinya sebagai
berikut. Sembah pangabekti kaulo....
Dening Raka Tumenggung Sendang Lalean.
Raka Tumenggung,
Kalih dugi nipun serat meniko, kawulo nyuwun
dumateng Raka Tumenggung panulungan ingkang wu-
judipun Bala bantuan. Sebab nipun, teng Temenggungan ingkang kawulo pimpin enten
kekacauan ingkang tekan saniki dereng saged kawulo tumpas.
Cekap saniki mawon serat saking kawulo,
Sembah pangabekti kawulo, Rayi panjenengan
Ttd Galuh Anom Sesaat Galuh Anom kembali tercenung, dipan-
dangi surat yang ia tulis. Pikirannya berkecamuk ane-ka macam perasaan, bimbang
gulana menggurat di ha-
ti. "Apakah aku tidak ada artinya lagi" Mana harga diriku sebagai seorang
pimpinan?" mengeluh hati Galuh Anom. "Namun memang aku tak mampu me-nanggulangi
pengaco-pengaco itu. Ah, apalagi artinya harga diri, kalau memang harus berjalan
begitu." Digulungnya daun lontar bertuliskan suratnya,
lalu bergegas Galuh Anom kembali keluar menemui
prajuritnya. Ditatapnya sesaat kedua prajurit itu, sebelum kembali berkata.
"Prajurit, ini surat untuk Tumenggung Sendang
Lalean. Berikan pada Tumenggung dan tunggulah ja-
wabannya. Nah, berangkatlah kalian. Aku do'akan se-
moga kalian berhasil dan selamat sampai tujuan."
"Daulat kanjeng Tumenggung, hamba pamit
undur." "Ya, berangkatlah."
Setelah menyembah terlebih dahulu, kedua
prajurit itu pun segera berlalu pergi membawa surat
itu untuk Tumenggung Sendang Lalean.
Dipacunya kuda dengan kecepatan tinggi, den-
gan harapan segera dapat tiba di tempat tujuan. Na-
mun ketika kedua prajurit itu tengah memacu kuda
mereka, tiba-tiba sepuluh orang telah berdiri menghadang. Tersentak kedua
prajurit kaget, sehingga keduanya segera menghentikan lari kuda dengan paksa
men- jadikan sang kuda meringkik.
Wajah kesepuluh orang penghadang itu seram,
dengan cambang berewok menutupi dagu mereka. Ma-
ta mereka merah bagaikan mabok tuak, memandang
tajam pada kedua prajurit yang tersurut mundur.
"Ada apa Ki Sanak kalian menghadang kami?"
tanya Sumantri.
Kesepuluh orang itu hanya mendengus dengan
mata tajam menghujam tetap memandang ke arah dua
prajurit. Bagaikan sebuah patung, kesepuluh orang itu tak gerak. Memberi jalan
tidak, mendekati pun tidak.
"Bunuh, mereka!"
Tiba-tiba seorang yang berdiri paling muka
memekik, mengomandokan pada kesembilan orang
lainnya untuk menyerang. Tersentak ke dua prajurit
kaget, dan mereka berusaha membalikkan kuda-
kudanya. Namun belum sempat semua itu dilakukan,
serta merta kesembilan orang bertampang menyeram-
kan itu telah mendahului menyerang. Tak ayal lagi,
kedua prajurit Ketemenggungan pun keteter. Kedua-
nya tak siap apa-apa, menjadikan keduanya bagai
mainan bagi kesembilan manusia bermuka menye-
ramkan. Tak begitu lama perkelahian itu berjalan dua
orang prajurit Ketemenggungan seketika memekik dan
ambruk ke tanah. Kuda-kuda mereka berlarian keta-
kutan, kencang tak terkendali. Belum puas sepertinya kesembilan orang penyerang
itu melihat kedua prajurit Ketemenggungan tergeletak sekarat. Mereka kembali
menghantamkan pukulan dan bacokan golok hingga
kedua prajurit itu akhirnya mati. Tubuhnya beset-
beset bagaikan dicincang.
Setelah merasa musuhnya mati, kesepuluh
orang berwajah menyeramkan itu segera berlalu me-
ninggalkannya. Entah kemana kesepuluh orang itu
pergi, yang dalam sekejap saja telah menghilang.
* * * "Kita harus segera mengadakan penyerbuan ke
Temenggungan sebelum kita didahului, Dewi," berkata Sanur, selaku wakil dari
Dewi Gagak Biru. "Ternyata mereka hendak meminta bantuan pada Tumenggung
Sendang Lalean."
"Hem, memang benar, Memang kita harus
mendahului," menjawab Dewi Gagak Biru. "Kalau tidak, maka cepat atau lambat kita
yang akan diserang-
nya seperti dua bulan yang lalu. Baiklah, kita tunjukan pada Tumenggung Galuh
Anom bahwa kita patut
menggantikannya yang bodoh dan pengecut itu. Hari
ini juga, susun strategi penyerangan,"
Hari itu juga, gerombolan Gagak Biru dibawah
pimpinan langsung sang ketuanya yaitu Dewi Gagak
Biru mengadakan persiapan perang. Tekad mereka un-
tuk memberontak dan menyingkirkan Tumenggung
Galuh Anom telah membulat.
Era Wati atau Dewi Gagak Biru tampak berja-
lan mondar-mandir memeriksa setiap peleton barisan,
yang jumlahnya ada dua puluh peleton. Wajah-wajah
prajuritnya nampak berseri-seri, sepertinya mereka
senang menerima tugas itu. Ya, mereka telah dididik
untuk tak takut menghadapi apapun, atau siapa pun.
"Kalian siap untuk melakukan penyerangan!?"
"Siap, Tuan Putri Gagak Biru!" menjawab semua serentak.
"Bagus! Kalian tahu tempat untuk berkumpul?"
"Tahu, Tuan Putri Dewi Gagak Biru!"


Pedang Siluman Darah 12 Pembalasan Surti Kanti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, di situlah kalian harus berkumpul. Ingat!
Jangan sekali-kali kalian keluar dari alang-alang maut itu, sebelum ada komando
dariku, mengerti"
"Mengerti!"
"Sawung dan kau Suwing, kau berikan surat
tantangan ini."
Disodorkan gulungan daun lontar yang telah
diisi oleh tulisan, pada Sawung Suwing yang segera
menerimanya. "Ingat! Pancing mereka untuk menuju ke Alang-
alang maut!"
"Daulat, Ketua."
"Berangkatlah, kalian!" Dengan segera kedua Sawung-Suwing segera gebah kudanya
berangkat menuju ke Ketemenggungan untuk menyerahkan surat
tantangan itu. Digebahnya kuda memburu, bagai-
kan kilat kuda itu berlari membawa tubuh Sawung-
Suwing. Sementara yang lainnya, kini tampak ber-
gerak menuju ke alang-alang maut. Tempat itu bi-
asanya untuk menyergap mangsa, tempat itu pula bi-
asanya mereka melakukan persembunyian dari keja-
ran pihak kerajaan.
Dibawah pimpinan langsung Dewi Gagak Biru,
seratus prajurit gerombolan. Gagak Biru itu berjalan dengan gagah berani. Mereka
seperti yakin akan kemenangan yang bakal mereka raih. Ya, mereka yakin
itu, sebab pimpinannya yang terkenal tangkas dan
sakti turut serta selalu bersama mereka.
*** "Bunuh semuanya, jangan sampai disisa hi-
dup." "Daulat, Ketua!" menjawab mereka serempak.
Mereka terus bergerak menuju ke alang-alang
maut, dimana mereka akan mengadakan penyergapan.
Sesampai mereka di alang-alang maut, mereka segera
menyembunyikan diri dibalik alang-alang yang tinggi
hingga mereka tak nampak barang rambutpun.
Dari kejauhan dua orang penunggang kuda
nampak memacu kuda-kuda mereka dengan kencang.
Keduanya adalah Sawung-Suwing, yang telah menu-
naikan tugas mereka,
"Sawung... Suwing, bersembunyilah!"
Mendengar seruan pimpinannya, dengan segera
Sawung-Suwing berkelebat dari kuda-kudanya. Tubuh
keduanya seketika hilang ditelan oleh alang-alang
maut yang tinggi.
Semuanya terdiam tiada yang berkata-kata.
Tak berapa lama antaranya, tampak dari ke-
jauhan segerombolan pasukan menuju ke arah mere-
ka. Pasukan itu seketika menghentikan kuda-kuda
mereka di pinggir alang-alang maut. Mata mereka me-
mandang hamparan rumput yang tinggi, yang terpapar
di depan mata mereka.
"Dewi Gagak Biru, dimana kau!" berseru pimpinan prajurit dengan gusarnya, merasa
ia telah diper-
mainkan oleh Dewi Gagak Biru
"Kalau kau takut, menyerahlah!"
"Suittt...!"
Terdengar suitan dari balik alang-alang.
Mata ketua prajurit melotot marah, kesal den-
gan permainan yang baginya terlalu bertele-tele. Mu-
lutnya mendengus, memaki kesal. Ia tidak menyadari
bahwa kalau prajuritnya masuk ke alang-alang, mere-
ka akan terjebak.
"Setan! Rupanya nama Dewi Gagak Biru hanya
nama isapan jempol, yang nyatanya pengecut!"
"Suit...!"
Kembali terdengar suitan melengking. "Bede-
bah! Serang, jangan takut!" Mendengar komando pimpinannya, seketika para
prajurit yang jumlahnya tujuh puluh lima orang itu menyusup ke alang-alang maut.
Tak ayal lagi, seketika mereka menjerit mana kala ke-datangannya disambut dengan
tebasan golok dan tu-
sukan tombak. Gusar dan marah, pimpinan prajurit menyaksi-
kan korban bergelimpangan dari pihaknya. Dengan
gusar, pimpinan prajurit itu tanpa memikirkan akibatnya langsung terjun
menyelusup ke alang-alang maut.
Tersentak ketua prajurit, mana kala sebuah hantaman
mengarah ke arahnya. Hantaman itu datang begitu ce-
pat, yang dilancarkan dari seorang gadis yang tak lain Dewi Gagak Biru adanya.
"Pengecut! Keluar kau Dewi Iblis!" memaki marah pimpinan prajurit setelah mampu
menghindari se-
rangan mendadak tersebut. Bersamaan dengan habis-
nya suara pimpinan prajurit, sesosok tubuh gadis
ramping berkelebat bagaikan terbang dan berjalan di
atas alang-alang menuju ke arahnya berdiri. Bibir gadis itu tersenyum sinis,
lalu dengan angkuh gadis itu berkata.
"Kalian telah masuk perangkap ku, maka tak
akan kalian mampu keluar dari tempat ini dengan
nyawa masih menggantung di badan. Nah bersiaplah,
Hiat...!" "Kalianlah yang harus minggat dari daerah ini, Hiat....!"
Tubuh keduanya berkelebat bagaikan terbang
dengan tangan menggenggam senjata masing-masing
berupa pedang. Keduanya seketika itu bertarung di
udara, saling tebas dan saling tangkis.
Trang...!"
Kedua pedang itu saling beradu. Mata pimpi-
nan prajurit itu seketika terbelalak kaget. Tangannya yang memegang pedang
terasa kesemutan. Yang lebih
kaget dari itu semua, pedang di tangan pimpinan pra-
jurit itu tiba-tiba patah menjadi dua. Melihat hal itu, tertawa bergelaklah Dewi
Gagak Biru. Lalu dengan
tanpa memperdulikan rasa kaget pimpinan prajurit,
Dewi Gagak Biru kembali berkelebat setelah melompat
mundur akibat benturan tadi.
"Berdo'alah sebelum kau ajal, Hiat...!"
"Hem, lebih baik aku mati di tanganmu, dari
pada aku mengakui kekalahanmu Iblis Betina, Hiat...!"
Dengan pedang yang tinggal sepotong, pemim-
pin prajurit Ketemenggungan seketika nekad memapa-
ki serangan Dewi Gagak Biru.
Disisi lain, hampir seluruh pasukan Ketemeng-
gungan tak berkutik menghadapi amukan anak buah
Gagak Biru yang ganas. Jerit-jerit kematian terus
menggema, bersama ambruknya sosok-sosok tubuh
prajurit. Seperti apa yang menjadi kebiasaan anggota Gagak Biru, mereka pun tak
menghentikannya sampai
di situ. Dengan sadis, direjamnya tubuh para prajurit.
Dewi Gagak Biru mendengus sesaat, meman-
dang tajam dengan pedang dikiblatkan pada musuh.
Matanya makin lama makin menyipit, dengan senyum
sinis mengembang di bibir.
"Nah, bersiaplah untuk menyambut Malaikat
Maut, Hiat...!"
"Wuut, Wut....!"
Pedang Lumajang Biru berkelebat cepat, bergu-
lung-gulung laksa badai puting beliung. Pedang itu seketika bagai menghilang,
bersamaan dengan hilangnya
tubuh Dewi Gagak Biru yang terbungkus gumpalan
kabut. Melihat hal itu, tersentaklah pemimpin prajurit kaget melompat mundur.
Matanya mendelik, mulutnya
menganga bengong. Namun belum juga ia hilang dari
kekagetannya, seketika terdengar teriakan nyaring
bersamaan dengan kelebatan pedang.
"Hiat...! Mati kau anjing Galuh!"
"Crooss...!"
"Aaahhhh...."
Melengking seketika pimpinan prajurit, kepa-
lanya puntung terpenggal pedang Lumajang Biru. Ke-
pala itu menggelinding, diikuti oleh ambruknya tubuh pimpinan prajurit.
"Ambil kepala pimpinan prajurit itu! Kita serang Ketemenggungan!" berseru Dewi
Gagak Biru pada anak buahnya, yang seketika itu pula melakukannya. Diam-bilnya
kepala pimpinan prajurit, lalu dibungkus den-
gan baju yang ia kenakan.
"Ayo kita berangkat.!"
Dengan penuh semangat seluruh pasukan ge-
rombolan Gagak Biru berderet-deret menuju ke Kete-
menggungan. Langkah mereka begitu pasti, sepertinya
kemenangan yang bakal mereka raih. Ya, memang
hanya ada satu di hati mereka, mati atau menang ber-
kuasa. *** Tumenggung Galuh Anom tersontak kaget, ke-
tika dilihatnya serombongan pasukan gerombolan Ga-
gak Biru berbondong-bondong datang. Mereka lengkap
dengan senjata, siap untuk berperang.
"Bagaimana paman" Apa yang harus kita laku-
kan?" tanya Tumenggung Galuh Anom, mukanya pu-
cat pasi. "Apa yang harus kita lakukan, Paman?"
"Lebih baik kanjeng Tumenggung menyerah sa-
ja." "Apa..." Apakah kau ini sudah gila!"
"Hua, ha, ha... Memang aku sudah gila," menjawab Wiraba tenang, sepertinya tak
gentar sedikit pun dengan kedatangan Gagak Biru yang hendak menyerang
Ketemenggungan. "Akulah sebenarnya orang yang paling menghendaki kau
tergulingkan, Galuh."
"Bedebah! Rupanya kau tak lebih seekor anjing
penjilat!"
"Hua, ha, ha... Terserah apa yang kau katakan,
Galuh. Yang penting, kau akan segera terbang ke ak-
herat sana."
"Iblis! Jangan harap kau mampu melakukan-
nya, Wiraba!" membentak Galuh Anom gusar, setelah tahu siapa sebenarnya Wiraba
yang sebenarnya tangan
kanan Dewi Gagak Biru. Wiraba hanya tersenyum ke-
cut, lalu dengan angkuhnya ia berkata.
"Kenapa tidak, Galuh. Bukankah mereka te-
man-temanku sebentar lagi akan mengganyang da-
gingmu" Hua, ha, ha....!"
"Licik! Kubunuh kau Wiraba, Hiat...!"
"Percuma kau buang-buang tenaga, Galuh!"
"Hem, lebih baik aku mati bersamamu, Wira-
ba." Bagaikan orang nekad, Galuh Anom terus me-
rangsek Wiraba yang masih berusaha menghindar. Se-
rangan-serangannya yang sangat ganas, mengarah pa-
da hal-hal yang dapat mematikan. Hal itu menjadikan
Wiraba benar-benar terdesak hebat, tak mampu untuk
sekali pun membalas. Ketika Wiraba hampir saja ter-
hantam pukulan Galuh Anom, tiba-tiba terdengar ben-
takan seorang wanita yang langsung menangkisnya.
"Wiraba, mundur kau!"
"Daulat, Pimpinan," menjawab Wiraba yang segera berkelebat ke luar bergabung
dengan para prajurit gerombolan Gagak Biru, yang langsung menyerbu ke
dalam. Galuh Anom makin bertambah marah, setelah
tahu siapa adanya orang yang telah menolong Wiraba
dari tangan mautnya. Gadis cantik itu tersenyum
sunggingkan bibir, sinis. Dan dengan tenangnya, Dewi Gagak Biru memapaki setiap
serangan Galuh Anom.
Mendapat serangannya tak pernah mengena, Galuh
Anom makin nekad. Dia tak menyadari siapa sebenar-
nya Dewi Gagak Biru yang telah menjadi momok yang
ditakutkan. Dewi Gagak Hitam yang tak mau membuang-
buang waktu segera cabut pedangnya. Sinar pedang
Lumajang Biru memancar dan menerpa muka Galuh
Anom yang seketika itu melompat mundur. Dengan ki-
basan cepat, Galuh Anom cabut Tri Sula Setan yang
tergantung di dinding.
"Percuma, Galuh. Menyerahlah!" seru Dewi Gagak Biru sinis.
"Setan! Jangan kira aku takut menghadapimu.
Ayo kita buktikan!"
Habis berkata begitu, Galuh Anom secepat kilat
menyerang Dewi Gagak Biru dengan Tri Sula Setan-
nya. Matanya merah marah, giginya beradu menim-
bulkan gemerutuk menahan marah.
Sementara di pihak lain, dengan cepat anak
buah Gagak Biru telah mampu menghancurkan bari-
san prajurit Ketemenggungan. Mereka seperti haus da-
rah, mencincang dan merejam tubuh para prajurit
dengan beringas.
Dewi Gagak Biru telah kondang namanya, ma-
na mungkin mau mengalah dengan orang-orang ma-
cam Galuh Anom. Melihat Galuh Anom nekad, menja-
dikannya malah bertambah semangat. Hal itu tidak
disadari oleh Galuh Anom, yang terus berusaha men-
cerca Dewi Gagak Biru.
"Hiat...!"
Dewi Gagak Biru berkelebat, tebaskan pedang-
nya menyilang menjadikan pedang ini bagaikan se-
buah gunting. Tersentak Galuh Anom melihat hal itu,
segera ia tusukkan Tri Sula Setan. Namun terlambat,
sebab pedang Lumajang Biru di tangan Dewi Gagak Bi-
ru telah mendahului dengan cepat.
"Crooosss...!"
"Aaaahhhh...!"
Melengking seketika jeritan Galuh Anom ber-
samaan dengan puntung kepalanya. Darah seketika
membanjir, mencurat dari urat-urat leher. Tubuhnya
perlahan doyong, lalu ambruk menggedebug di tanah.
Mata Galuh Anom yang telah mati, melotot mengeri-
kan. Dengan kemenangan itu, makin bertambah
momoklah nama Gagak Biru. Dewi Gagak Biru saat itu
juga mengangkat dirinya menjadi Tumenggung berge-
lar, Tumenggung Gagah Biru. Walau telah menjadi
Tumenggung, Dewi Gagak Biru terus mencoba mem-
perluas wilayah kekuasaannya....
Dengan pasukan gerombolan begalnya, Gagak
Biru terus menteror rakyat. Tujuannya hanya satu,
kemenangan dan kemenangan juga nama yang disega-
ni seperti Pendekar Pedang Siluman Darah....


Pedang Siluman Darah 12 Pembalasan Surti Kanti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BAB V ALAM SILUMAN...
Penguasa puri kegelapan nampak duduk di se-
buah kursi berukir, yang terbuat dari tulang belulang manusia.
Di hadapannya, duduk bersilah Rake Suyung
Belung seorang guru besar kerajaan Puri Kegelapan
yang dipimpin oleh Wala Kowara. Dialah yang di serahi oleh Wala Kowara atau
Anggada untuk mendidik Surti
Kanti. Wala Kowara mempunyai tujuan dengan para
manusia, yaitu menaklukan bangsa manusia.
"Ampun paduka Raja Agung Wala Kowara, ge-
rangan apa paduka mengundang hamba?" bertanya
Suyung Belung, nadanya jelas penuh takut. Suyung
Belung tahu siapa pimpinannya, seorang siluman yang
sakti dan kejam.
"Aku ingin menanyakan tentang perkembangan
Surti Kanti, bagaimana dia?"
"Ampun tuanku, sungguh hamba tiada kira ka-
lau bangsa manusia benar-benar pintar."
"Maksudkan, Paman?" tanya Wala Kowara tak
mengerti dengan maksud ucapan Rake Suyung Belong.
Rake Suyung Belung terdiam menghela nafas
panjang, lalu katanya kemudian.
"Sungguh segala ilmu yang hamba miliki telah
dengan lahap diserap oleh Tuan Putri Surti Kanti."
"Bagus!" berseru Wala Kowara girang. "Itu be-rarti cita-citaku untuk menguasai
bangsa manusia akan dapat terlaksana."
"Itu yang hamba harapkan, agar hamba pun
dapat menikmati alam manusia dengan leluasa tanpa
adanya gangguan dari bangsa manusia."
"Ya, ya. Hua, ha, ha.....! Akulah kelak penguasa tunggal!" bergelak tawa Wala
Kowara, sepertinya bangga.
Sementara di lain tempat, nampak Surti Kanti
yang tengah belajar ilmu-ilmu silat yang diajarkan oleh Suyung Belung dengan
giat. Segala ilmu silat, baik
yang biasa dipakai oleh bangsa manusia, maupun
bangsa siluman dilalapnya dengan cepat.
"Hiat...! Serat Layu Urip, Hiat!"
"Jlegar! Jlegar! Jlegar!"
Terdengar ledakan dahsyat, mana kala selarik
sinar perak yang keluar dari tangan Surti Kanti menghantam batu-batu cadas.
Tubuh Surti Kanti berkelebat laksana seekor
burung walet, lalu menukik ke bawah setelah menca-
pai titik kulminasi atas. Tangannya menyatu dengan
jari-jari mengepal. Dan...!
"Duar! Duar!"
Kembali terdengar ledakan dahsyat, saat kedua
tangan Surti Kanti menghunjam di antara Gunung Ba-
tu Cadas itu. Batu-batu cadas berterbangan, seper-
tinya terhempas oleh tenaga yang mana dahsyat.
"Hebat! Hebat!"
Terdengar seruan gembira, mengomentari apa
yang dilakukan Surti Kanti yang telah kembali melom-
pat, berdiri dua orang yang sudah ia kenal. Orang pertama adalah Rake Suyung
Belung gurunya, sementara
berdiri di samping Suyung Belung adalah Wala Kowara
atau Penguasa Puri Kegelapan yang tersenyum bangga
padanya. Melihat Wala Kowara, serta merta Surti Kanti
berseru seraya memburu ke arah Wala Kowara.
"Kakang Wala!"
Surti Kanti yang telah dua tahun lebih berpisah
dengan Wala Kowara seketika tanpa memperdulikan
gurunya memeluk erat tubuh Wala Kowara. Sang guru
yang memahami hanya tersenyum, membiarkan ke
dua junjungannya melepaskan kerinduan.
"Surti, kau harus dapat mempelajari semua
yang di ajarkan oleh Rake Suyung Belung! Ingat! Kau
harus mampu dalam waktu singkat kau harus memba-
las semua dendam. Ingat! Yang perlu kau hitungkan
adalah Pendekar Muda Pedang Siluman Darah!"
"Aku mengerti, kakang. Maka itulah aku den-
gan tak mengenal lelah belajar terus," jawab Surti Kan-
ti manja. Kepalanya direbahkan pada dada Wala Kowa-
ra yang menerima dengan membalas membelai rambut
Surti Kanti. "Bagus Surti! Bila kelak kau telah mampu men-
galahkan Jaka Ndableg, maka kita akan merajai dunia.
Bukan begitu, Sayang?"
Surti Kanti hanya tersenyum menganggukkan
kepalanya. Dengan dibimbing Wala Kowara, Surti Kan-
ti berjalan menuju ke pondok gurunya.
"Kapankah semua akan selesai, Guru?" tanya Surti Kanti pada gurunya, mana kala
mereka berjalan
menuju ke pondok. Sang guru tersenyum, menarik na-
pas dan dihempaskan.
"Tak akan lama lagi, Tuan Putri." menjawab Rake Suyung Belung, menjadikan Surti
Karti tersenyum hatinya berbunga. "Seperti Tuan putri, hamba pun ingin sekali
melihat dan merasakan hidup di alam manusia."
Surti Kanti tercenung diam, mendengar penu-
turan gurunya. Matanya berkaca-kaca memandang
hampa. Pikirannya seketika melayang pada alamnya,
yaitu alam manusia. Ia telah rindu sekali pada kam-
pung halamannya, namun untuk kembali dan me-
nampakkan diri, perlu kesaktian. Sebab dirinya kini
menjadi buronan kerajaan Segara Anakkan.
Wala Kowara yang melihat perubahan pada
raut muka kekasihnya seketika bertanya. "Apa yang engkau pikirkan, Sayang?"
"Ah, tidak kakang. Aku hanya melamun bagai-
mana agar aku dapat segera kembali alam manusia,
tanpa adanya ketakutan."
Mendengar ucapan kekasihnya, seketika Wala
Kowara tersenyum gelengkan kepala. Ditatapnya lekat-
lekat Surti Kanti, yang tampaknya juga tengah me-
mandang ke arahnya.
"Tak akan lama lagi, Kasihku. Kalau kau cepat
dan telaten belajar, aku kira tak akan menunggu wak-
tu lama. Bukan begitu, Rake?"
"Daulat, Tuanku. Memang benar apa ya kau
ucapkan Baginda Wala Kowara, bahwa tuan Putri tak
akan lama lagi bisa menikmati alam manusia kembali.
Untuk itu, kiranya perlu waktu 40 hari lagi."
Berbinar-binar mata Surti Kanti mendengar pe-
nuturan gurunya. Kerinduannya akan kampung hala-
man, seketika kembali menguak. Senyumnya men-
gembang, seirama dengan derap langkah kakinya yang
dibimbing dalam dekapan Wala Kowara si Penguasa
Puri Kegelapan.
*** Pendekar kita Jaka Ndableg tengah duduk-
duduk di atas batang pohon asem yang tumbang.
Tampaknya ia tengah merenungkan sesuatu. Sekali-
kali ia tersenyum, lalu geleng-gelengkan kepala.
Pedang Ular Merah 9 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Laron Pengisap Darah 1
^