Pencarian

Pembalasan Surti Kanti 2

Pedang Siluman Darah 12 Pembalasan Surti Kanti Bagian 2


"Hidup. Ah, sungguh-sungguh aneh hidup ini.
Kadang aku tak habis pikir, untuk apa hidup ini" Apakah untuk saling baku hantam
seperti yang aku laku-
kan selama ini" Huh... Pusing, pusing. Memang kalau
didiamkan, maka hanya kekacauan yang terjadi. Se-
dangkan aku dituntut untuk menjadi seorang yang
memerangi kejahatan dan keangkara murkaan. Aku
banyak musuh, juga banyak sahabat;"
Tengah Jaka merenung sendiri, tiba-tiba ia di-
kejutkan oleh deru kaki-kaki kuda yang dipacu dengan memburu. Jaka tersentak
kaget tengokkan kepala
memandang pada asal suara itu.
"Hai, kenapa dua orang itu diseret?" Tanya Ja-ka pada diri sendiri. "Apa
salahnya" Hem, ini lagi kehidupan. Tampaknya kedua orang yang diseret itu orang
yang sudah tua renta, kasihan. Baik, aku akan men-
coba menanyakannya. Hiat....!"
Dengan segera Jaka bangkit dari duduknya
berjalan menuju ke arah dimana dua penunggang ku-
da yang berwajah menyeramkan itu tengah menyeret
lelaki tua renta itu.
"Sampurasun...!" menyapa Jaka setelah sampai pada dua orang penunggang kuda yang
seketika menghentikan jalan kudanya. Kedua orang itu me-
mandang tajam pada Jaka, sepertinya hendak menilai
siapa adanya Jaka. Melihat kedua orang penunggang
kuda itu terdiam, Jaka dengan segera kembali mengu-
lang. "Sampurasun...! Apakah kalian telah tuli?"
Mendengar omongan Jaka yang asal nyerocos,
seketika marahlah kedua orang penunggang kuda. Sa-
lah seorang dari mereka serta merta membentak.
"Monyet! Apa kau bilang!"
"Oh, maaf, aku kira anda berdua tuli," menjawab Jaka dengan cengar-cengir
bagaikan tak bersalah.
"Tadi bukankah aku telah menyapa" Tapi kalian ternyata tak menjawab, sehingga
aku berkesimpulan
bahwa kalian memang benar-benar tuli."
"Edan! Kau berani lancang dengan prajurit Se-
gara Anakkan!" membentak marah orang yang bertubuh tinggi besar dengan kepala
botak. Matanya melotot bagai hendak keluar, menjadikan Jaka tersenyum geli.
Jaka yang Ndableg, seketika ingin mencandai kedua
prajurit Sagara Anakkan yang rupanya belum menge-
nali siapa adanya dirinya.
"Ooh, kiranya tuan para prajurit Segara Anak-
kan. Maaf, sungguh aku yang bodoh ini tidak menge-
tahui siapa adanya tuan-tuan berdua. Sekali lagi saya minta maaf."
"enak saja kau ngomong. Anak muda! Kau telah
menghina kami, maka sepantasnyalah kau harus di-
hukum!" kembali orang bertubuh tinggi besar membentak. Namun begitu, Jaka yang
dasarnya Ndableg
cengengesan mendengarnya. Hal itu menjadikan kedua
orang prajurit Segara Anakan makin bertambah marah
"Duh tuan berdua, apakah tuan tidak merasa
kasihan padaku yang memang bodoh" Kalaulah
tuan hendak menghukum saya, saya minta berilah pa-
da saya hukum itu. Pasti yang namanya hukum itu
enak. Bukan begitu, Tuan-tuan?"
Terbelalak mata kedua prajurit Segara Anakan
mendengar omongan Jaka yang dirasa aneh. Mata me-
reka menyipit, memandang tak berkedip pada Jaka, la-
lu kedua prajurit itu tertawa bergelak-gelak yang diikuti oleh Jaka. Makin
tersentak kaget kedua prajurit kerajaan Segara Anakan, demi melihat tingkah Jaka
yang kaya orang sinting. Betapa tidak, orang lain pasti akan diam melihat
prajurit Segara Anakan, tapi Jaka malah ikut tertawa ketika kedua prajurit itu
tertawa. "Anak edan! Kau berani ikut-ikutan tertawa,"
membentak marah kedua prajurit itu.
"Rupanya anak muda ini benar-benar gila, Ka-
kang Bengkol," berkata prajurit satunya, yang bermuka seperti burung betet.
"Mungkin juga, Adik Betet," menjawab. "Ayo ki-ta tinggalkan pemuda gila ini."
Ketika kedua prajurit kerajaan Segara Anakan
itu hendak kembali berjalan tiba-tiba Jaka berseru
yang menjadikan keduanya segera mengurungkan
kembali langkah kudanya.
"Tunggu tuan-tuan!"
"Edan! Kau sepertinya sengaja menghambat
langkah kami. Ada apa, Anak Edan!" membentak marah Bengkok. "Apakah kau ingin
ini"!"
Bareng dengan habisnya ucapan Bengkok, se-
ketika berdesing sebuah pisau belati mengarah pada
Jaka. Jaka seketika tersentak, lemparan tubuh ke
angkasa sembari kibaskan tangan menangkis dengan
ajian Getih Sakti. Seketika pisau itu mental, sedang Getih Sakti terus menyerbu
ke arah kuda yang ditum-pangi Bengkok. Seketika kuda itu meringkik, lalu am-
bruk mati dengan tubuh meleleh mengeluarkan bau.
"Setan! Rupanya kau hendak membikin masa-
lah. Jangan salahkan jika aku menurunkan tangan
kasar!" "Hem, bukankah kau pun tadi bermaksud mencelakai aku?" tanya Jaka acuh
dengan senyum masih melekat di bibirnya. "Ucapanmu sungguh ucapan yang tak dapat di anuti
sebagai seorang prajurit.
Semestinya kalian menjadi kroco-kroco penyamun,
yang biasa bergaul dengan monyet-monyet"
Menggeram seketika kedua orang prajurit itu,
mana kala mendengar ucapan Jaka yang terasa pedas.
Mata keduanya memerah, seperti terbakar amarah. Se-
telah mendengus, Betet seketika membentak.
"Bedebah! Rupanya kau seorang pemuda yang
pura-pura gila. Siapa namamu, sebelum kami kirim
kau ke neraka!"
"Ooh, sungguhkah kau mampu mengirimku ke
neraka?" tanya Jaka ngebanyol. "Sungguh aku pun ingin melihat yang namanya
Neraka itu. Menurut cerita, bukankah Neraka itu berapi" Kalau kau bicara hendak
mengirimku ke Neraka, mungkinkah kau penghu-
ninya?" "Bedebah! Lancang mulutmu. Ayo adik Betet, kita kasih pemuda edan ini
pelajaran, biar ia mau
mengerti siapa kita."
"Ayo, kakang. Jangan lengah, Anak muda!
Hiat...!" Serentak kedua orang yang mengaku prajurit
kerajaan Segara Anakan berkelebat menyerang Jaka.
Diserang dengan secara serentak, tidak menjadikan
Jaka keteter. Namun sebaliknya Jaka dengan tingkah-
nya yang khas melayani serangan kedua musuhnya
dengan santai. "Waduh, kenapa kalian begitu bernafsu hendak
memelukku" Nah, begitulah akhirnya ngelosor ke ta-
nah." Dengan berkata begitu Jaka, segera mengelakkan serangan kedua musuhnya
yang hendak menu-
bruk. Tak ayal lagi, tubuh keduanya seketika nyosor
mencium tanah. Jaka tertawa gelak-gelak melihat mu-
ka kedua musuhnya berantakan dengan goresan-
goresan di kedua pipi, menjadikan luka barut yang
mengeluarkan darah.
"Apa aku bilang. Kalian sih, main sosor saja."
"Setan! Jangan ketawa dulu, Anak Sundel!"
membentak Bengkok marah, merasa Jaka telah mem-
permainkan. "Kau harus membayarnya, Hiat!"
"Eeh... Rupanya kau memang nefsong, ya. Awas
jatuh lagi!"
Jaka kembali elakan serangan musuhnya den-
gan kaki menyilang. Dan untuk kedua kalinya, kedua
orang itu nyosor mencium tanah. Mau tak mau, kedua
orang yang terikat turut tertawa melihat kelucuan itu.
Merasa dirinya dipermainkan, kedua orang itu
makin-makin saja marahnya. Mereka menyerang den-
gan membabi-buta, mengamuk bagaikan mata gelap.
Jaka yang diserang malah tersenyum-senyum dengan
sekali-kali ngoceh.
"Ladalah, kalian kok persis topeng monyet"
Nah, begini kalau mau menjadi topeng monyet." Jaka seketika berkelebat,
melentingkan tubuhnya ke angkasa. "Begini cara monyet menendang. Hiat...!" Kaki
Jaka bergerak cepat, menendang telak dada kedua orang
musuhnya. Seketika kedua musuhnya terpental, me-
layang ke belakang dan jatuh dengan pantat bagaikan
diremas. Kedua orang ini meringis kesakitan. Kini kedu-
anya sadar siapa sebenarnya pemuda yang tengah me-
reka hadapi. Dengan terbata-bata kedua orang itu
meminta ampun. "Am... ampunilah kami. Sungguh kami kapok.
Kalau kami boleh tahu, siapakah kau adanya anak
muda?" "Apakah itu penting" Bukankah tadi kalian menyebutkan dengan anak edan"
Nah itulah namaku,"
menjawab Jaka tenang.
"Baiklah. Agar kalian tenang, aku akan menga-
takan pada kalian siapa sebenarnya aku ini. Dengar
baik-baik oleh kalian, aku yang kalian katakan anak
edan bernama Jaka Ndableg."
Terbelalak mata kedua orang itu, mendengar
nama pemuda yang telah mampu mengalahkannya.
"Pantas, kalau ilmu silatnya begitu tinggi dan aneh,"
bergumam keduanya dalam hati.
"Siapa sebenarnya kalian" Kalau kalian orang-
orang Kerajaan Segara Anakkan, mengapa kalian ber-
tindak kejam?"
"Kejam" Kami tidak kejam, Tuan Pendekar"
menjawab keduanya dengan nada takut. "Sungguh
kami tadi tak mengetahui siapa adanya tuan pendekar
adanya, sehingga kami terlalu lancang bertindak. En-
tah apa yang bakal kami terima hukuman dari sang
Raja apabila beliau mengetahui kami telah berani lancang pada tuan," meneruskan
Bengkok "Ah, itu tak usah kalian pikirkan. Sekarang,
aku ingin tahu kenapa kalian mengkerangkeng kedua
orang tua itu?" tanya Jaka seranya menunjuk pada kedua orang tuan yang terikat
kedua tangannya.
Segera kedua prajurit Segara Anakan meman-
dang ke arah yang ditunjuk Jaka, lalu dengan singkat kedua prajurit itu segera
menceritakan mengapa kedua orang tua itu diikat.
Kening Jaka seketika mengerut, mana kala
mendengar penuturan dari kedua prajurit yang mence-
ritakan bahwa kerajaan kini tengah diteror oleh ge-
rombolan Gagak Biru dibawah pimpinan seorang Gadis
Dewi Gagak Biru.
"Jadi kerajaan kini tengah dalam keadaan ka-
cau?" tanya Jaka.
"Begitulah, Tuan Pendekar," menjawab Betet.
"Maka itulah, kami selalu menangkap orang-orang yang sekiranya kami curigai."
"Tapi aku kira, kedua orang tua itu tak bersa-
lah." "Alasan tuan Pendekar?" tanya Bengkok tak mengerti.
"Mana mungkin orang setua mereka ikut terli-
bat dalam gerombolan Gagak Biru" Aku Rasa, gerom-
bolan Gagak Biru mempunyai orang-orang yang berji-
wa pemberani dan sadis. Bukan begitu?" tanya Jaka berbalik pada kedua orang
prajurit, yang seketika
mengangguk-angguk mengerti.
"Sedangkan kedua orang tua itu, menggambar-
kan ketakutan di wajahnya. Bukankah ini jelas untuk
alasan bahwa mereka tak mungkin terlibat?" meneruskan Jaka. "Lepaskan mereka.
Aku berjanji akan segera membantu kerajaan menyelidiki sekaligus meng-
hentikan sepak terjang Gagak Biru yang telah telengas itu bila aku mampu"
"Ah, sungguh kami sangat gembira mendengar-
nya. Kapankah tuan Pendekar berkunjung ke Kera-
jaan?" tanya Betet dengan wajah berseri-seri, sepertinya ia tak merasakan lagi
luka-luka di kedua pipinya.
"Kalian pulanglah ke kerajaan, aku akan me-
nyusul," menjawab Jaka, yang menjadikan kedua prajurit itu tersenyum bahagia.
Setelah menjura hormat, kedua prajurit itupun segera berkelebat pergi
meninggalkan Jaka yang masih terpaku memandangi keper-
gian keduanya. Setelah membebaskan kedua orang tua yang
berucap terimakasih sampai beratus-ratus kali, se-
hingga mereka tak menyadari kalau Jaka telah berlalu Jaka menyusul kedua
prajurit itu. Tinggallah kedua
orang tua itu, terbengong-bengong mana kala menya-
dari bahwa orang yang dijurai telah tak ada.
"Kemana pemuda sakti itu?" gumam mereka
bagaikan orang linglung.
Setelah geleng-geleng kepala, keduanya segera
berlalu pergi meninggalkan pantai itu yang kembali se-pi. Hanya tiupan angin dan
gulungan ombak meme-
cah, menepiskan pasir-pasir pantai....
*** BAB VI Melihat kedatangan Jaka Ndableg atau Pende-
kar Siluman Darah, seketika sang Raja dan patihnya
Singa Barong segera menyambut kedatangan Jaka. Ra-
tusan prajurit pilihan disiagakan membentuk pagar
berjejer, menjadikan Jaka hanya geleng-geleng kepala.
Jaka segera menjura hormat, mana kala dilihatnya
sang Raja tengah menunggu kedatangan dirinya.
"Hamba menyampaikan sembah, Baginda."
"Ooh, janganlah tuan Pendekar berbuat ini.
Semestinya kamilah yang harus menyembah tuan
Pendekar," menjawab Sang Raja, seraya mempersilah-
kan Jaka untuk masuk ke dalam istana, "Sungguh
kami sangat mengharapkan kedatangan tuan Pende-
kar." Jaka tersenyum, gelengkan kepala.
"Mungkin tuan Pendekar telah mengerti apa
yang telah terjadi di kerajaan Segara Anakkan," kembali sang Raja berkata, yang
dijawab dengan angguk-
kan kepala oleh Jaka, "Ah, syukurlah kalau begitu.
Jadi begitulah keadaan kerajaan saat ini. Pemberontakan yang bermaksud
merongrong kewibawaanku kini
merajalela. Salah satu kerusuhan yang sampai seka-
rang susah untuk ditumpas, adalah dari gerombolan
Gagak Biru yang terkenal dengan kesadisannya."
"Apakah belum pernah ada yang mencoba
membasminya?" tanya Jaka.
Sang Raja menghela napas panjang, lalu den-


Pedang Siluman Darah 12 Pembalasan Surti Kanti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan nada berat ia pun kembali berkata. "Sudah. Bahkan Tumenggung Galuh Anom
telah berkali-kali mela-
kukannya, namun semua mengalami kegagalan. Bah-
kan Tumenggung Galuh Anom sendiri yang menjadi
korban, mati dibantai oleh gerombolan Gagak Biru
yang kini menguasai Ketemenggungan Galuh Wangi."
"Ah, sungguh terlalu biadab," mendesah Jaka kaget. "Benar apa yang tuan Pendekar
ucapkan. Sejak kepergian Tuan Pendekar dari sini, setelah menumpas
Utusan Iblis kerajaan kini menghadapi teror dari Ga-
gak Biru."
Jaka terdiam membisu, ia duduk setelah sang
Raja pun duduk. Mereka duduk-duduk di atas tiker,
tidak seperti lajimnya seorang raja. Memang sang Raja ingin menghormati benar-
benar Pendekar yang telah
mampu menghentikan kejahatan di kerajaannya, se-
hingga sang Raja menganggap Jaka Ndableg adalah
temannya bukan tamunya. Setelah keduanya terdiam
sembari menyantap jamuan yang dihidangkan oleh
danyang-danyang, sang Raja kembali berkata.
"Tadinya kami telah putus asa,"
"Putus asa" Untuk apa?" tanya Jaka seraya
mengernyitkan keningnya kaget demi mendengar pe-
nuturan sang Raja. "Apalah artinya hidup bila kita telah dihinggapi rasa keputus
asaan." "Memang benar apa yang telah engkau kata-
kan, Tuan Pendekar."
"Ah, janganlah Baginda menyebut hamba Tuan
Pendekar. Sebut saja nama hamba yang jelek, Jaka
Ndableg." "Baiklah, Jaka Ndableg. Memang benar apa
yang engkau katakan, bahwa putus asa tak ada ar-
tinya bagi manusia hidup yang telah diberi oleh Yang Wenang segalanya. Namun
sungguh kami merasakan
itu, disebabkan kami telah tak mampu menghentikan
sepak terjang teror Gagak Biru. Kami telah mencoba
mengadakan penyerangan, namun malah prajurit kami
yang hancur terbantai oleh gerombolan Gagak Biru."
menerangkan sang Raja. "Kini dengan kedatangan dirimu, harapan kami kembali
tumbuh. Kami dengan
rendah hati memohon bantuanmu."
Jaka terdiam bisu, merenungkan ucapan sang
Raja. Sesekali nafasnya mendengus, lalu dihempaskan
panjang-panjang. Didongakkan kepalanya memandang
pada langit-langit balai istana, dan kemudian Jaka
pun berkata. "Demi ketentraman serta kebenaran, aku akan
mencoba membantu,"
"Ah, sungguh tak terkira ucapan terima kasih
kami," berkata sang Raja dengan wajah berseri-seri mendengar ucapan Jaka
Ndableg. Harapannya yang
selama ini pupus, kini tumbuh kembali. "Apakah kau memerlukan banyak prajurit?"
"Ah, janganlah mengorbankan orang yang tak
berdosa, biarlah aku yang buruk ini yang menjadi
tumbal mereka bila itu telah menjadi suratan Yang
Maha Esa."
"Ooh, sungguh agung hatimu."
Jaka gelengkan kepala mendengar ucapan sang
Raja. Bibirnya terurai senyum, menjadikan hati sang
Raja seketika terbersit rasa kagum. Kagum akan ting-
kah laku Jaka yang santun, kagum akan jiwa pende-
karnya yang tak mau mengorbankan orang lain demi
sesuatu hal yang dikiranya bakal melakukan pekerjaan yang berbahaya.
"Nah, sekarang juga aku akan ke tempat mar-
kas Gagak Biru. Dimana aku harus melangkah" Sebab
aku belum tahu letak Ketemenggungan Galuh Wangi,"
berkata Jaka. "Ooh, sampai-sampai kami lupa. Sebentar,
akan aku suruh juru gambar istana menggambar de-
nah wilayah Tumenggung Galuh Wangi." Segera sang Raja meninggalkan Jaka, yang
kemudian kembali datang dengan membawa sebuah gambar peta wilayah
kerajaan dan letak Ketemenggungan Galuh Wangi.
"Jadi aku harus berjalan menuju ke Selatan?"
tanya Jaka setelah melihat sesaat gambar peta itu.
"Benar. Tapi janganlah kau hanya berjalan,
ambillah seekor kuda yang bagus untuk menempuh
perjalananmu."
"Ah, terima kasih. Tak usahlah Baginda repot-
repot." "Tidak Jaka, aku tidak repot. Malah akulah yang telah merepotkan
dirimu," menjawab sang Raja.
"Paman patih Singa Barong, tunjukan pada saudara Jaka kandang kuda, biar dia
memilih sendiri kuda
yang akan ia pakai."
"Daulat, Baginda." menjawab Singa Barong
yang dengan ramahnya mengajak Jaka menuju ke
kandang kuda, setelah keduanya menyembah pada
sang Raja. Jaka seketika memilih salah seekor kuda dari
berpuluh-puluh kuda yang ada di kandang tersebut.
Pilihan Jaka yang sangat aneh, menjadikan patih Sin-
ga Barong terheran-heran seraya bertanya.
"Kenapa Tuan Pendekar memilih kuda yang ku-
rus" Lagi pula kuda tersebut masih muda, saya kira
tak akan kuat."
"Biarlah, Paman Patih," menjawab Jaka. "Sam-paikan pada Rajamu, bahwa aku akan
memberi kabar bila aku berhasil. Dan jangan sekali-kali kalian memikirkan tentang keselamatan
diriku. Hia, hia, hia."
Digebahnya kuda sakit-sakitan itu, menjadikan
sang patih yang melihatnya geleng-geleng kepala se-
ranya bergumam. "Sungguh seorang pendekar aneh.
Kuda sakit-sakitan digebah begitu rupa..."
Belum juga habis gumamannya, seketika ia di-
kejutkan oleh apa yang dilihatnya. Ternyata kuda yang sakit-sakitan, seketika
mampu melejit dengan cepatnya membawa tubuh Jaka! Hingga dalam sekejap saja,
Jaka telah menghilang dari pandangannya. Mata sang
Patih melotot, tak percaya pada apa yang telah dilihatnya. Dengan segera sang
Patih berlari menuju ke ista-na, melaporkan apa yang baru saja ia lihat.
"Sungguh-sungguh tak dapat dicerna dengan
akal, Baginda."
"Hem, memang dia bukan pendekar sembaran-
gan," mengguman sang Raja, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ah, sungguh besar
jasanya bagi kemanu-siaan khususnya kerajaan ini."
*** Sang patih Singa Barong tidak menyadari,
bahwa sebenarnya Jaka tidak mengendalikan ku-
danya. Bahkan Jaka telah menggeret sang kuda den-
gan ilmu larinya, yaitu ajian Angin Puyuh. Karena
menggunakan ajian itulah, Jaka berlari secepat angin bahkan melebihi dengan
angin. Setelah memberikan kudanya pada seorang
penduduk yang miskin, segera Jaka meneruskan per-
jalanannya. Ketika Jaka tengah berlari seketika ia di-kejutkan dengan bentakan
seseorang. "Berhenti!"
"Hem, ada saja yang usilan," berguman Jaka dalam hati. Jaka segera menghentikan
langkahnya, membalikkan tubuh menghadap pada orang yang
membentaknya, yang telah berdiri di hadapannya.
"Kisanak menyuruhku berhenti?" tanya Jaka
pura-pura bloon.
Mendelik mata kelima orang itu, mana kala
mendengar pertanyaan Jaka yang seperti bodoh. Mata
mereka yang mendelik, bukan menjadi Jaka takut se-
bab ia bukanlah anak kecil. Malah dengan tersenyum-
senyum, Jaka kembali bertanya.
"Eh, kenapa Ki Sanak sekalian melotot" Apakah
mata Ki Sanak buta hingga tak dapat melihat?"
Mendengar ucapan Jaka, seketika kelimanya
mendengus gusar. Salah seorang yang berdiri paling
muka melangkah ke arahnya, lalu dengan bengis
membentak. "Setan kecil! Siapa yang menyuruhmu keliaran
di daerah kami!"
"Ooh, jadi ini daerahmu, toh...?" guman Jaka bagai orang linglung. "Maaf ya Oom,
sungguh aku tak mengerti."
"Maaf, maaf. Enak saja kau ngomong. Ayo ikut
aku!" "Kemana, Oom?"
"Diam! Jangan banyak tanya." Membentak
orang tersebut gusar, demi mendengar ucapan Jaka
yang ngelantur. Dengan kasar orang itu segera menye-
ret tangan Jaka untuk mengikuti kemana mereka per-
gi. Jaka hanya menurut, mengikuti langkah kelima
orang tersebut.
"Edan! Kenapa mereka mengajakku ke sini?"
bergumam Jaka dalam hati. "Ah, kiranya aku mungkin hendak diajukan pada
ketuanya. Heh, mungkinkah
mereka ini anak buah Gagak Biru" Ya, mungkin. Baik-
lah, aku akan menuruti apa yang menjadi kemauan
mereka, semoga apa yang aku duga benar adanya."
Jaka pun dengan menurut mengikuti kemana
kelima orang tersebut menuju. Ternyata kelima orang
itu menuju ke sebuah rumah, yang cocoknya dikata-
kan Bangsal. Ya, mereka memang menuju ke bangsal
Ketemenggungan.
"Hem, benar juga dugaanku, ternyata ini Kete-
menggungan Galuh Wangi," berkata Jaka dalam hati, yang menurut ketika
diperintahkan duduk menggele-sot di atas lantai. "Setan, dikiranya aku ini apa?"
"Kau jangan banyak tingkah bila dihadapan
pimpinan kami, mengerti?" hardik lelaki yang sedari tadi mengomel. "Awas kalau
kau bertingkah macam-macam, aku lumatkan kau!"
"Ya, Oom?"
"Setan! Masih ngebandel."
"Plak...!"
"Aduh, Ooom. Sakit....." seru Jaka pura-pura memegangi pipi yang tadi kena
tampar. Sebenarnya
hati Jaka mangkel juga diperlakukan seperti itu, na-
mun demi membuktikan kebenaran bahwa memang
tempat itu markas Gagak Biru dan sekaligus ingin ta-
hu kaya apa wajah pimpinan Gagak Biru menjadikan
Jaka menahan amarahnya.
"Pimpinan akan datang, semua harap berdiri!"
terdengar seruan dari seseorang, yang menjadikan se-
muanya sepontan berdiri mematung. Tak luput Jaka
yang dipaksa untuk berdiri juga.
"Hem, kaya apa sih...?" guman Jaka dalam hati.
Tak lama antaranya, seorang dara cantik jelita
keluar dari dalam ruangan dalam. Dara itu berpakaian serba biru, hanya ikat
kepalanya saja yang merah. Matanya memandang tajam pada Jaka, seperti hendak
menembus mata Jaka yang memandangnya pula.
"Inilah Dewi Gagak Biru?"
Tersentak semua orang yang ada di situ, mana
kala mendengar gumaman Jaka yang dianggap mereka
telah berani kurang ajar. Melototlah semuanya, dengan mata memerah marah.
"Siapa kau, Anak muda?" tanya Dewi Gagak Bi-ru, nadanya membentak.
"Ah, aku yang rendah ini adalah orang gelan-
dangan belaka yang kebetulan ditangkap oleh anak
buahmu. Sungguh cantik wajahmu, Nona."
Makin tersentak kaget semua yang ada di situ,
mendengar ucapan Jaka yang dirasa makin kurang
ajar pada pimpinannya. Mereka seketika mendengus
dan bermaksud menyerang. Namun segera, Dewi Ga-
gak Biru telah mencegahnya.
"Jangan!"
"Kenapa, Pimpinan" Anak ini telah kurang
ajar!" memprotes Wiraba, sepertinya tak mau menerima keputusan pimpinannya.
"Pemuda ini akan makin kurang ajar bila didiamkan."
"Wiraba! Apakah kau mau menentang ku?"
tanya Dewi Gagak Biru dengan mata melotot marah,
menjadikan Wiraba seketika terdiam menundukkan
muka. "Anak Muda, katakan siapa adanya dirimu."
Jaka tersenyum, menjadikan Dewi Gagak Biru
membelalakkan mata.
"Aku..." Akulah Jaka Ndableg."
Terbelalak semuanya mendengar siapa adanya
pemuda yang sedari tadi diremehkan, lebih-lebih keli-ma orang yang telah
menangkapnya. "Hem, mau apa kau kemari, Jaka?"
"Hua, ha, ha... Tentu aku ingin menangkapmu,
Dewi," menjawab Jaka tenang, menjadikan Dewi Gagak Biru seketika melotot marah.
Ia tahu kalau pendekar
muda yang berdiri dihadapannya bukan tokoh persila-
tan sembarangan. Namanya telah menjulang, dengan
julukannya yang mampu mendirikan bulu kuduk mu-
suh-musuhnya yaitu Pendekar Pedang Siluman Darah.
Namun selaku ketua Gagak Biru yang ditakuti, tak
pantaslah jika harus menyerah. Sementara anak
buahnya kini telah mengurung sang pendekar, siaga
dengan senjata di tangan masing-masing tinggal me-
nunggu perintahnya.
"Pendekar Pedang Siluman Darah, apakah kau
tidak melihat bahwa kau telah dalam kandang ma-
can?" tanya Dewi Gagak Biru sinis.
Jaka tertawa mendengar ucapan sang Dewi, la-
lu dengan tenang Jaka menjawab. "Ooh, kiranya aku kini tengah berada di antara
macan-macan ompong.
Hem, tak mungkin kalau macan ompong dapat meng-
gigit, bukan?"
"Bedebah! Kau terlalu meremehkan kami, Pen-
dekar. Jangan kira kami takut dengan nama besarmu,
Serang....!"
Mendengar seruan Dewi Gagak Biru, seketika
seratus orang anak buahnya yang telah mengurung
Jaka berkelebat menyerang. Diserang begitu rupa, tak menjadikan Jaka gentar.
Bahkan dengan bersuit, Jaka
segera lemparkan tubuh keluar.
Melihat Jaka keluar, seratus anak buah Gagak
Biru serta merta memburunya. Hal ini memang yang
diharapkan Jaka, yang dengan segera hantamkan
ajian Getih Saktinya pada mereka. Sungguh sebuah


Pedang Siluman Darah 12 Pembalasan Surti Kanti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hantaman yang tak terduga-duga, sehingga penge-
royoknya tak dapat lagi menghindari hantaman tersebut. Menjeritlah lima orang
yang terkena, tubuh kelima orang itu meleleh bagaikan disiram timah panas
dan ambruk dengan nyawa terbang.
Terkesiap yang lainnya melihat hal itu, namun
dengan segera mereka kembali menyerang mana kala
didengarnya seruan Dewi Gagak Biru membentak.
"Dungu! Serang lagi...!"
"Dewi Gagak Biru, kenapa kau hanya mem-
buang-buang nyawa anak buahmu!" berseru Jaka,
mana kala melihat anak buah Gagak Biru yang telah
tersurut nyalinya kembali menyerang. "Bukankah lebih baik kau saja yang
menghadapiku?"
"Bedebah! Jangan sombong kau! Baik, mari kita
buktikan siapa yang pantas disebut pendekar nomor
wahid!" membentak Dewi Gagak Biru. Seketika tubuhnya melayang, menyerang Jaka.
Melihat hal itu Jaka
segera egoskan tubuh mengelak, sehingga serangan
Dewi Gagak Biru pun melesat di samping kanannya
beberapa centi saja.
"Nah, bukankah dengan adanya kau yang tu-
run kau akan lebih cepat membereskannya?"
"Jangan banyak omong! Hiat....!"
Dewi Gagak Biru yang telah mengenal siapa
Pendekar Pedang Siluman Darah, tanpa sungkan-
sungkan lagi keluarkan segala ilmu yang ia miliki. Jurus-jurus Gagaknya keluar,
mengumbar amarahnya.
Sementara Jaka yang juga tak ingin membuang-buang
waktu segera keluarkan jurus-jurus yang diajarkan
oleh keempat gurunya. Jurus Empat Pendekar Sakti,
bukanlah jurus kelas kroco. Jurus-jurus itu telah teru-ji oleh guru-gurunya,
yang telah malang-melintang puluhan tahun di dunia persilatan.
"Terimalah jurus Gagak mematuk cacing,
Haaat...!"
"Hua, ha, ha... Lucu nama jurusmu, Nona. Hem
baik, terimalah jurus balasan ku. Jurus Kera memetik bulan, Hiat....!"
Keduanya seketika berkelebat melayang di uda-
ra dengan ilmu meringankan tubuh, menjadikan tu-
buh mereka melayang ringan. Terbelalak mata semua
yang melihatnya, sampai-sampai mulut mereka ten-
ganga. "Wuut, wuut, wuut..."
Terdengar kibasan tangan keduanya, menjadi-
kan angin besar menerpa orang-orang yang ada di situ.
Angin itu, mampu membuat semua yang ada di situ ja-
tuh terpelanting. Dewi Gagak Biru lemparkan tubuh ke belakang bersalto. Kembali
Dewi Gagak Biru berdiri,
memandang pada Jaka yang tampak tersenyum.
"Serang!"
Dewi Gagak Biru mencabut pedang pusaka
Lumajang Biru. "Keluarkan senjatamu, Pendekar!"
"Aku tak memiliki senjata. Biarlah aku akan
menangkapmu dengan tangan kosong saja," menjawab Jaka, menjadikan Dewi Gagak
Biru makin gusar. Dige-rak-gerakannya pedang Lumajang, membentuk lingka-
ran sinar yang menggulung-gulung menutupi tubuh-
nya. Jaka terbelalak juga menyaksikan permainan
pedang Dewi Gagak Biru, sampai-sampai Jaka menge-
rutkan jidatnya.
"Hebat. Sungguh hebat permainan pedangnya.
Pantas kalau ia sangat ditakuti oleh pihak kerajaan.
Aku yakin, kalau prajurit-prajurit kerajaan pun tak
akan mampu mengalahkan permainan pedangnya.
Hem, apakah kau akan menggunakan pedang Siluman
Darah?" tanya hati Jaka ragu, merasa permainan pedang Dewi Gagak Biru sungguh
tiada tandingannya.
"Kenapa kau terdiam, Pendekar?" tanya Dewi Gagak Biru dengan senyum sinis,
menganggap Jaka
takut dengan pedang pusakanya. "Kau takut dengan pedangku?"
Jaka hanya tersenyum mendengar ucapan Dewi
Gagak Biru. "Dewi Gagak Biru, apakah tidak berbahaya kau
bermain-main dengan pedang?" tanya Jaka, nadanya meremehkan. Hal itu menjadikan
makin bertambah
marahnya Dewi Gagak Biru, yang serta merta segera
menyerang Jaka dengan pedangnya. Pedang di tan-
gannya berkelebat cepat, membabat dan menusuk tu-
buh Jaka. Jaka tersentak, lemparkan tubuh ke belakang
mengelak. Namun Dewi Gagak Biru tak segera meng-
hentikan, bahkan dengan liar dan ganas terus mencer-
canya. Pedang Lumajang Biru di tangannya, bagaikan
bermata saja merangsek Jaka harus bersalto meng-
hindari serangan tersebut.
"Edan! Kalau aku biarkan, bisa-bisa akulah
yang menjadi korban, Dewi Gagak Biru, terimalah ini.
Ajian Getih Sakti, Hiat...!"
Dewi Gagak Biru yang tengah mencercanya ter-
sentak, mana kala selarik cairan merah mengarah ke
arahnya. Seketika Dewi Gagak Biru elakan serangan
itu dengan lemparkan tubuh ke samping. Dewi Gagak
Biru telah tahu, kehebatan ajian itu tadi, mana kala Jaka menyerang anak
buahnya. "Setan! Ini balasan untukmu. Ajian Sungakal
Nyawa, Hiat...!"
"Bahaya!" memekik Jaka, mana kala melihat
apa yang dikeluarkan oleh Dewi Gagak Biru. "Aku akan coba dengan ajian Petir
Sewu, Hiat!"
"Duar!"
Ledakan dahsyat seketika menggema, mana ka-
la dua ajian itu bertemu di udara. Tubuh keduanya
terpental ke belakang. Jaka tersentak, mana kala dirasakan dadanya sesak sukar
bernapas. Sementara Dewi
Gagak Biru tersenyum dan kemudian tertawa menge-
jek. "Hari ini hari kematianmu, Pendekar! Sebentar lagi Ajian Sangkal Nyawa akan
merenggut nyawamu.
Hia, hi, hi...! Kau akan mati!"
Mendengar ucapan Dewi Gagak Biru, seketika
Jaka terdiam. Dadanya makin lama makin sakit. Na-
fasnya terasa berat, tulang-tulangnya terasa sakit dan ngilu. Kepalanya seperti
berat, berputar-putar.
"Gusti Allah, apakah aku akan mati?" keluhnya. "Hua, ha, ha... Sebentar lagi kau
akan tahu apa yang namanya akherat, Pendekar!" berseru Dewi Gagak Biru mengejek,
demi dilihatnya Jaka ngeduprak
dengan menahan sakit.
Ketika Jaka telah benar-benar sekarat, tiba-tiba
ditelinganya terdengar seruan seseorang wanita berka-ta padanya. "Jaka, kau
dengar aku?"
"Ya, aku dengar. Siapa kau?" tanya Jaka dengan suara lemah.
"Akulah Ratu Siluman Darah. Kau tak boleh
mati, sebab bahaya kini tengah mengancam dunia per-
silatan. Sebentar lagi, akan datang Surti Kanti dan Wa-la Kowara si Penguasa
Puri Kegelapan hendak menga-
co dunia manusia. Kau harus hidup. Memang ajian
Sangkal Nyawa sangat ganas. Bila dalam waktu seten-
gah hari kau tak mampu mengobatinya, maka kau
akan mati. Kau harus hidup, maka kau harus sembuh
dari pengaruh Ajian Sangkal nyawa,"
"Tapi... Tapi aku tak tahu dengan apa harus
menyembuhkannya?"
"Panggil pedangmu. Hanya dia yang dapat
menghilangkan ajian tersebut. Tusukan pedang itu di
ulu hatimu, niscaya kau akan sembuh. Ingat Jaka,
kau harus hidup. Lakukan, aku selalu memantaumu."
"Terimakasih, Sri Ratu." berkata Jaka dengan lemah. Sesaat ditariknya napas yang
terasa menyesak, lalu kemudian dengan duduk bersila Jaka segera me-manggil
Pedangnya. "Dening Ratu Siluman Darah, Datanglah!" Terbelalak mata Dewi Gagak
Biru dan lainnya, demi melihat sebuah pedang yang tiba-tiba telah muncul dalam
genggaman Jaka. Saking kagetnya,
sampai-sampai mereka seketika memekik, menyebut
nama pedang yang dari ujungnya mengalir darah me-
rah. "Pedang Siluman Darah!" Jaka segera tusukan ujung pedang ke ulu hatinya.
Sesaat Jaka menjerit,
mana kala ujung pedang menembus kulit ulu hatinya.
Darah merah kebiru-biruan, keluar terhisap oleh pe-
dang Siluman Darah. Seketika itu pula, Jaka sembuh
dari luka dalam yang hampir saja merenggut nya-
wanya. "Aku tak ada waktu lagi. Kata Kanjeng Ratu Siluman Darah, tak lama lagi
Surti Kanti dan Wala Ko-
wara si Penguasa Puri Kegelapan akan muncul. Hem,
siapa mereka adanya?" bergumam Jaka. Dalam hati tak mengerti. "Hem, aku harus
segera membereskan Dewi Gagak Biru segera."
"Dewi Gagak Biru, hari ini juga akhir dari sega-la sepak terjangmu. Dan hari ini
pula Gagak Biru akan hilang, Hiat...!"
Segera Jaka berkelebat dengan Pedang Siluman
Darah yang tergengam di tangannya. Pedang itu masih
melelehkan darah merah, menjadikan seram bagi yang
melihatnya. Dewi Gagak Biru tersentak melihat Jaka telah
sembuh dari serangan ajian Sangkal Nyawanya. Segera
Dewi Gagak Biru sambut serangan Jaka dengan pe-
dang Lumajang Birunya.
"Hiat...!"
"Trang...."
"Aaahhhh...."
Memekik Dewi Gagak Biru, mana kala Pedang
Siluman Darah membabat putus pedangnya sekaligus
membelah tubuh menjadi dua. Semua mata tersentak,
menyaksikan keajaiban di depannya tengah terjadi.
Tubuh Dewi Gagak Biru yang terbelah, tak mengelua-
rkan darah setetes pun, terhisap darahnya oleh Pedang Siluman Darah.
"Sekarang juga, aku perintahkan pada kalian!
Bubarkan perserikatan gerombolan Gagak Biru. Kalau
kalian membandel, maka pedang Siluman Darah ini
akan menghabiskan kalian semua!"
Mendengar ucapan Jaka, seketika semua anak
buah Gagak Biru jatuhkan diri sujud mengakui keka-
lahannya. Mereka tak berani berkata, diam sujud.
"Jawab!"
"Baik Tuan Pendekar, kami akan membubarkan
diri." "Bagus! Ingat! bila kelak kalian mengingkari, maka Pedang Siluman Darah
ini yang akan berbicara
pada kalian."
Setelah melihat bekas anak buah Gagak Biru
pergi meninggalkan Ketemenggungan untuk kembali
pada masyarakat, Jaka pun dengan segera berkelebat
pergi untuk memberikan laporan pada Raja Kerajaan
Segara Anakan. Gerombolan Gagak Biru yang telah
menjadi momok telah hilang, namun Jaka harus
menghadapi apa yang telah dikatakan oleh Ratu Silu-
man Darah, tentang Surti Kanti dan Wala Kowara yang
hendak muncul. Benarkah kedua Iblis itu akan da-
tang" Mengapa mereka mengincar Jaka" Ikuti kisah ini pada bab selanjutnya...
*** BAB VI DI KERAJAAN SILUMAN PURI KE GELAPAN...
Surti Kanti tampak tengah melakukan meditasi,
dalam usahanya penyempurnaan ilmu yang telah ia
pelajari dari sang guru yaitu Rake Suyung Belung. Matanya terpejam rapat kakinya
menyilang bersila, tan-
gannya rapat mendekap di dada.
Sudah empat puluh hari lamanya Surti Kanti,
melakukan tapa brata tersebut, tidak makan atau pun
tidak minum. Semua dijalankan oleh Surti Kanti den-
gan tabah, karena didorong oleh rasa dendamnya pada
Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah
yang telah membinasakan kedua orang tuannya. Juga
dendamnya pada kerajaan Segara Anakkan, yang telah
menghukum kedua orang tuanya serta memburu di-
rinya. "Tuan Putri, bangunlah. Tapa brata yang tuan putri lakukan telah cukup.
Bangunlah...." berkata Rake Suyung Belung.
Perlahan-lahan mata Surti Kanti membuka,
memandang pada orang yang telah berbicara padanya.
Lama ia terdiam membisu dengan mata tak berkedip,
lalu dengan suara serak Surti Kanti berkata.
"Kenapa guru membangunkan, aku?"
"Telah cukup apa yang kau lakukan, Tuan Pu-
tri. Kini saatnya Tuan Putri kembali ke dunia manusia.
Baginda Maha Raja Wala Kowara telah menunggu
Tuan Putri, beliau ada di padepokan."
Perlahan Surti Kanti bangun dari duduk bersi-
lah, berdiri sesaat lalu berjalan dengan ringannya melangkah ke Padepokan. Rake
Suyung Belung berjalan
di belakangnya, mengiringi langkah sang murid ke Pa-
depokan. Sungguh Surti Kanti telah benar-benar menjadi
orang sakti, sehingga langkahnya pun bagaikan tertiup angin. Maka dalam sekejap
saja, tubuhnya yang tampak berjalan biasa, telah jauh berkelebat. Hal itu
menjadikan Rake Suyung Belung geleng-geleng kepala, se-
mentara di bibirnya tergerai senyuman bangga.
Kedatangan Surti Kanti segera disambut hangat
oleh Wala Kowara, yang bangga dengan hasil yang te-
lah diperoleh oleh kekasihnya Dalam benak Wala Ko-
wara kini terbayang kemenangan-kemenangan, me-
naklukan bangsa manusia yang memang telah menjadi
rencananya. "Hebat, hebat! Ternyata kau mampu menjalan-
kannya, Sayang."
"Kanda, apakah hari ini juga kita akan kembali
ke alam manusia?"
"Ya, setelah aku menyerahkan tampuk keku-
asaanku pada perdana menteriku," jawab Wala Kowa-ra. "Ayo kita ke istana."
Dengan menunggang kereta kencana, ketiga
orang itu segera menuju ke istana Puri Kegelapan. Kereta kencana itu melaju
bagaikan terbang, walau tanpa kuda yang menjalankannya. Itulah kereta kencana
milik Penguasa Puri Kegelapan, yang dijalankan oleh para Jin mara kayangan
berhaluan hitam. Saking cepatnya
kereta itu berkelebat, hingga tak lama kemudian ketiganya pun telah sampai.
Dengan penuh kasih, Wala Kowara si Penguasa
Puri Kegelapan segera mengangkat tubuh Surti Kanti.


Pedang Siluman Darah 12 Pembalasan Surti Kanti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dibopongnya tubuh Surti Kanti, masuk ke dalam ista-
nanya, diikuti oleh Rake Suyung Belung. Namun
Suyung Belung segera berhenti langkahnya, mana kala
dilihatnya kedua raja dan kekasihnya masuk ke dalam
kamar. * * * Selang tak beberapa lama kemudian, kedua
pemuda-pemudi itu kembali keluar. Pakaian Surti
Kanti kini telah berubah, begitu juga dengan pakaian Wala Kowara. Surti Kanti
mengenakan pakaian merah-merah, sedang Wala Kowara mengenakan hitam-hitam
dengan ikat kepala hitam bergambar kelelawar merah.
"Rake, apakah kau pun akan turut bersama
kami?" tanya Wala Kowara pada Rake Suyung Belung, yang seketika itu menyembah.
"Kalau kau mau ikut, ikutlah. Sekaligus untuk membantu kami jika kami
ternyata mempunyai tantangan berat dari Pendekar
Pedang Siluman Darah."
"Daulat Maha Raja Wala Kowara," menjawab
Rake Suyung Belung.
"Benar Guru, lebih baik guru ikut. Sungguh
saya akan merasa senang bila guru ikut bersama kami
menghadapi Pendekar Pedang Siluman Darah yang
terkenal kesaktiannya." menambahkan Surti Kanti.
"Walau pun aku merasa mampu menghadapi pendekar muda itu, Guru. Namun saya ingin
menunjukkan pada
guru, hasil yang selama ini saya, peroleh dari didikan dan gemblengan guru."
"Daulat, Tuan Putri. Dengan senang hati hamba
akan mengiringi Tuan Putri dan Baginda Maha Raja
Wala Kowara. Semoga tenaga hamba nantinya ada gu-
na," menjawab Rake Suyung Belung kembali menyem-
bah. "Ooh, betapa aku bahagia dapat berkelana dengan guru."
"Baiklah, Rake. Hari ini juga, kita akan berangkat ke alam manusia. Namun aku
harus melimpahkan
tampuk pimpinan Puri Kegelapan ini pada perdana
mentriku dahulu," berkata Wala Kowara. "Ponggawa panggil patih Jaya Sena!"
"Daulat Maha Raja Wala Kowara," menyahuti
ponggawa, yang segera berlalu pergi setelah terlebih dahulu menyembah.
Tak berapa lama kemudian, Patih Jaya Sena te-
lah datang menghadap. Jaya Sena segera sujud me-
nyembah, lalu dengan suara pelan bernada takut ber-
kata. "Duh Maha Raja Wala Kowara, gerangan apa
hingga hamba dipanggil?"
"Jaya Sena, aku dan istriku hendak kembali ke
alam manusia. Mungkin kami akan lama di sana, se-
perti kala itu kala aku menyusup ke tubuh salah seo-
rang murid Resi Wilmaka. Karena waktuku tak dapat
aku tentukan, maka aku serahkan kekuasaan Puri Ke-
gelapan ini padamu."
"Daulat Baginda Maha Raja Wala Kowara, Den-
gan segenap jiwa raga, hamba akan menjalankan titah
baginda." Setelah segalanya selesai, Wala Kowara, Surti
Kanti dan Rake Suyung Belung segera pergi menghi-
lang dari hadapan patihnya. Mereka pergi ke dunia
manusia dengan satu tujuan, mengacau dan mempen-
garuhi manusia untuk mengikutinya. Tujuan lain yang
utama, menyingkirkan Pendekar Pedang Siluman Da-
rah yang dapat menjadikan penghalang bagi cita-cita
mereka. * * * Malam telah begitu larut, hujanpun datang
dengan titikan-titikan gerimis. Halilintar membahana, menyilaukan bagi yang
menatap. Angin bertiup menderu-deru, sepertinya akan datang prahara di dunia
manusia. Dua orang lelaki yang kemalaman dari perjala-
nan, tampak berlari-lari menerobos hutan. Keduanya
telah basah kuyup, tersiram air hujan yang sepertinya tak kenal belas kasihan.
Keduanya seketika jatuhkan
diri, mana kala sebuah kilatan yang mereka anggap
petir berkelebat didepan mereka berjarak sepuluh
tombak. Kedua lelaki itu seketika tersentak, mana kala
dilihat oleh mereka apa yang telah terjadi. Dari ledakan dan kilatan sinar
menyilaukan mata itu, muncul tiga
orang dari dalamnya. Tersentak keduanya setelah tahu siapa adanya gadis diantara
dua lelaki yang mengapit-nya sehingga keduanya seketika memekik menyebut
nama gadis itu yang telah digegerkan meninggal.
"Surti Kanti!"
"Bukankah dia Surti Kanti yang telah mati
Kang Rebo?"
"Benar adik Legi. Apakah kita tidak tengah
bermimpi?"
"Tidak, kakang," menjawab Legi.
"Mereka kemari, Legi. Kita lari saja,"
Dengan segera kedua lelaki itu hendak lari, ke-
tika dirasakan oleh mereka selarik sinar berkelebat
menyambar mereka yang seketika itu menjerit.
"Ampun....! Jangan bunuh kami!"
Saking takutnya, kedua lelaki itu seketika ter-
kencing-kencing.
Melihat kedua orang itu ketakutan, dengan se-
gera Surti Kanti berkelebat. Dihadangnya dua lelaki
yang telah ketakutan itu, lalu dengan ilmu Iblisnya
Surti menyulap muka menjadi muka kelelawar yang
menakutkan. Seketika itu, kedua lelaki itu memekik
dengan mata melotot yang akhirnya ambruk pingsan.
* * * Malam itu para prajurit utama yang pernah
membakar rumah Rundanu tak dapat memicingkan
mata barang sekejap, mereka telah mencoba untuk ti-
dur, namun bagai ada yang memaksa mata mereka tak
dapat terpejam. Karena tak dapat tidur-tidur, keempat Prajurit Utama itu pun
sepakat untuk main gaple.
"Aku tak dapat tidur malam ini. Perasaanku se-
ketika gelisah," berkata prajurit utama-II.
"Lho, kok sama," menimpali prajurit-III.
"Aku juga."
"Aku juga!"
"Hem, sepertinya ada sesuatu yang tidak beres,"
menggumam prajurit I. "Aku seperti kembali terbayang pada kelelawar Setan itu."
"Aku pun begitu," nambah prajurit-III.
"Ada apa, ya?" kembali prajurit-1 bergumam.
Tengah mereka tercenung hingga lupa membuang kar-
tu gaple, seketika terdengar cuit nyaring yang menjadikan keempatnya seketika
itu memandang ke arah
suara itu. Mereka seketika tersentak, manakala mere-
ka melihat tiga kelelawar besar berkelebat menuju ke arah mereka. Mata kelelawar
itu merah, sepertinya ma-ta itu berlumur dengan darah.
"Cuit...Cuit....Cuit..."
"Kelelawar Setan itu. Awas....!" berseru prajurit-I memperingatkan pada ketiga
temannya manakala ti-
ga ekor kelelawar itu berkelebat hendak menyerang
mereka. Seketika keempatnya jatuhkan diri, sehingga
mereka pun luput dari serangan ketiga kelelawar setan itu. Namun belum juga
mereka tenang, ketiga kelelawar setan itu telah kembali menyerang.
Prajurit-II segera hunus pedangnya, babatkan
ke arah ketiga kelelawar itu. Namun bagaikan manusia saja, kelelawar setan itu
segera kelitkan tubuh. Dengan sayap mengembang, dihantamnya tangan prajurit
yang memegang pedang.
"Cras..."
"Aaahh...." memekik seketika prajurit-II, tangannya puntung tersambar sayap
kelelawar Setan. Se-
saat tubuhnya menggelepar-gelepar, sebelum akhirnya
terkulai mati. Melihat seorang temannya mati, marahlah keti-
ga prajurit yang lainnya. Dicabutnya pedang, dan dengan menggeram ketiganya
segera hadang ketiga kele-
lawar itu. Namun belum juga pedang di tangan praju-
rit-prajurit itu beraksi, kelelawar itu telah berubah menjadi tiga sosok tubuh
manusia. Satu diantaranya
sangat mereka kenal, yaitu Surti Kanti yang telah digegerkan mati.
"Kau..!" memekik ketiga prajurit terkejut.
Surti Kanti tersenyum sinis, dan dengan suara
sengau berkata.
"Kalian telah membakar rumahku, maka kalian
pun akan aku bakar. Terimalah ini, Hiat....!"
Tersentak ketiga prajurit itu, demi dilihatnya
dari tangan Surti Kanti keluar api yang menyala-nyala.
Belum sempat mereka hilang dari kagetnya, Surti Kan-
ti telah hantamkan api tersebut ke arah mereka. Seketika tubuh ketiga prajurit
itu terbakar, berguling-
guling sesaat sebelum akhirnya terkulai mati. Demi
melihat ketiga prajurit itu telah mati dan hari telah menginjak pagi, ketiganya
segera berkelebat pergi.
BAB VII Kerajaan Segara Anakan yang baru saja tenang
dengan tertumpasnya gerombolan Gagak Biru, kembali
digegerkan dengan kematian empat prajurit utamanya.
Kematian itu sungguh penuh misteri, sebab
semuanya bagaikan tak ada yang mendengar perta-
rungan atau jeritan keempat prajurit mana kala mere-
ka tengah bertarung. Sepertinya seluruh penduduk ke-
rajaan dan para prajurit lainnya tertidur, pulas.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Paman pa-
tih Singa Barong?"
"Ampun, Tuanku. Apakah ini bukan tindakan
dari bekas orang-orang gerombolan Gagak Biru?" balik bertanya Singa Barong.
"Ah, mana mungkin mereka yang telah diancam
oleh Pendekar Pedang Siluman Darah berani berbuat
begitu?" tanya sang Raja tak yakin.
Keduanya kembali terdiam dengan pikiran mas-
ing-masing. Segala pertanyaan bergema di hati mereka, tentang kematian keempat
prajuritnya yang sungguh-sungguh tak dapat di cerna oleh akal. Ketika sang Raja
tengah termenung, patih Singa Barong tiba-tiba kembali berkata nadanya seperti
tersentak. "Aku ingat, Paduka."
"Ingat apa. Paman Patih?" tanya sang Raja kaget.
"Masihkah paduka ingat tentang cerita ku keti-
ka membakar rumah Rundanu?"
"Ya, kenapa...?"
"Hamba rasa, ini ada hubungannya dengan ke-
jadian itu."
"Hem....," sang Raja bergumam. Kepalanya di-angguk-anggukan sepertinya memahami.
"Jadi yang paman patih kira, orang-orang itu
yang berbuat?"
"Tepat, Paduka. Kalau bukan orang-orang itu,
mana mungkin hanya keempat prajurit utama yang
dibunuhnya?"
"Sungguh-sungguh petaka!" bergumam keluh
sang raja. "Baru saja kerajaan terbebas oleh Gagak Bi-ru, kini telah datang
kembali kekacauan yang lebih
membahayakan. Jadi kalau begitu, kita sekarang ten-
gah menghadapi iblis, Paman Patih?"
Patih Singo Barong hanya mampu mengang-
gukkan kepala. Bibirnya dirasakan kelu untuk berka-
ta-kata. Mata sang patih redup, seakan ada rasa takut menyelimuti hatinya. Takut
kalau-kalau dirinya pun
akan menjadi korban pembalasan kelelawar Setan.
"Perketat penjagaan!" berkata sang Raja, padanya memerintah. "Daulat, Yang
mulia." menjawab sang Patih. Setelah terlebih dahulu menyembah, Patih Singa
Lodra segera meninggalkan balai pertemuan. Ki-ni tinggal sang Raja, yang terdiam
merenung keadaan
kerajaannya yang tak pernah tenang. Hilang petaka sa-tu datang petaka yang
lainnya. Dengan langkah tergo-
poh-gopoh Patih Singa Barong berjalan menuju barak-
barak prajurit. Mukanya nampak pucat pasti, seper-
tinya ia tengah menghadapi masalah yang menyangkut
nyawanya. Ya, memang masalah ini menyangkut nya-
wanya. "Prajurit!"
"Daulat, Paman patih," menjawab semua prajurit yang segera berkelebat keluar
dari barak-barak mereka menemui patihnya.
"Malam nanti, seluruhnya harus diperketat
penjagaan."
"Daulat, Paman patih!" menjawab para prajurit Habis menyampaikan pesan sang
Raja, patih Singa Barong yang biasanya tenang seketika terburu-
buru pergi meninggalkan para prajurit yang hanya terbengong-bengong melihat
tingkah patihnya yang tidak
seperti biasa-biasanya. Para prajurit itu hanya mampu gelengkan kepala, tak
mengerti apa yang tengah dipi-kirkan oleh patihnya.
* * * Malam kembali tiba, menggantikan siang yang
terang berganti dengan gelap yang penuh misteri. An-
gin malam berhembus, seperti menggigilkan. Hawa
dingin yang teramat sangat, terasa menusuk masuk
sungsum. Lolongan anjing liar, makin mendirikan bulu kuduk bagi yang
mendengarnya. Malam itu patih Singa Barong tampak gelisah.
Keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya.
Bayangan-bayangan ketakutan, menjadikan matanya
tak dapat dipejamkan barang sesaat pun.
Berbatang-batang rokok kawung telah dihisap.
Bergelas-gelas kopi telah ia reguk untuk dapat menjadikan dirinya tenang. Namun
segala yang diinginkan-
nya tak jua datang. Malah ketakutan makin menjadi,
menerpa dirinya. Walau ia tahu bahwa lima orang pra-
jurit pilihan telah mengawal rumahnya, tapi ketakutan masih terus saja
menghantui sang patih.
Melihat suaminya tampak gelisah, sang istri da-
tang menghampiri dan bertanya. "Ada gerangan apa hingga kakang Mas tampak tak
tenang" Apakah baginda Raja murka pada Kakang Mas?"
Bagaikan tak mendengar pertanyaan sang istri,
patih Singa Barong masih terdiam kelu. Matanya sese-
kali memandang ke pintu rumah yang sedari sore telah ditutup rapat-rapat. Hal
itu menjadikan sang istri makin tak mengerti, dan kembali mengulang tanya.
"Apakah ada kerusuhan yang melanda kera-
jaan?" "Benar, Istriku. Dan mungkin akan melanda diriku." menjawab patih Singa
Barong dengan hambar, menjadikan kerut di kening sang istri yang kembali
menanya. "Melanda kita..." Apa maksud Kakang mas?"
"Kelelawar Setan itu telah membunuh keempat


Pedang Siluman Darah 12 Pembalasan Surti Kanti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

prajurit Utama yang dulu bersamaku membakar ru-
mah Rundanu."
Terbelalak mata sang istri kaget.
"Jadi... jadi kakang menakutkan itu?"
"Ya...," menjawab Singa Barong lesu.
Tengah keduanya bercakap-cakap, tiba-tiba ke-
duanya dikagetkan oleh seruan prajurit-prajurit yang menjadikan keringat dingin
Singa Barong makin banyak mengalir.
"Aku harus keluar, apapun yang akan menim-
paku!" memekik Singa Barong dalam panik, menjadikan istrinya seketika
membelalakkan mata kaget.
"Jangan, Kakang!"
"Tidak istriku, aku harus menghadapi sendiri.
Para prajurit itu tak tahu apa-apa." Tanpa menunggu jawaban sang istri, Singa
Barong segera berkelebat ke luar. Dilihatnya tiga orang tengah bertarung
menghadapi kelima prajuritnya yang tampak tak ada artinya
bagi ketiga orang itu.
"Minggir! Mereka bukan lawan kalian. Dan me-
reka tentunya mencari diriku!" berseru Singa Barong, seakan telah mengerti siapa
adanya ketiga orang yang berdiri memandang padanya tajam, lebih-lebih gadis
yang berdiri di tengah. Mata gadis itu seperti memendam bara api, ya bara api
permusuhan dan dendam.
Walau bibir gadis itu tersenyum, namun jelas
terlihat bahwa senyum itu adalah senyum kematian.
Singa Barong yang biasanya pemberani, kini seperti
terkupas keberaniannya mana kala melihat mata keti-
ga orang itu. "Siapa kalian" Kenapa kalian menteror kera-
jaan ini?"
Gadis itu mendengus sesaat, sebelum berkata.
"Singa Barong, kaulah yang telah menyuruh
keempat prajurit mu membakar rumahku. Dan kau
pula yang telah membunuh kedua orang tuaku. Maka
itu, aku datang untuk membalas apa yang telah eng-
kau lakukan pada kedua orang tuaku."
Makin meleleh saja keringat dingin dari pelipis
Singa Barong demi mendengar penuturan sang gadis.
Ia telah menyadari siapa sebenarnya gadis dan kedua
lelaki itu, yang tak lain dari pada Iblis-iblis yang mampu mengubah diri mereka
menjadi kelelawar.
"Jadi kaliankah Iblis kelelawar itu...?"
"Benar apa yang engkau duga, Singa. Nah, ber-
siaplah untuk menemui kematian. Bila kau telah mati, maka seluruh rakyat
kerajaan Segara Anakan ini akan
aku bunuh satu persatu. Hua, ha, ha... Mana pende-
kar kalian yang kalian agung-agungkan itu, Hah!?"
Mendengar nama Jaka Ndableg diremehkan
oleh mereka, seketika Singa Barong yang takut beru-
bah menjadi beringas. Ia tahu bahwa dirinya tak berar-ti apa-apa, namun setidak-
tidaknya dapat menahan
sesaat sepak terjang manusia Iblis itu. Maka dengan mendengus marah Singa Barong
segera cabut keris
pusakanya, berkelebat menyerang ketiga Iblis itu.
Ketiga manusia Iblis itu menyeringai, lalu sete-
lah menggeram ketiganya seketika berubah ujud men-
jadi kelelawar raksasa. Kelelawar itu matanya merah...
merah bagaikan mengandung darah. Setelah mencicit
panjang, ketiga kelelawar itu bareng menyerang patih Singa Barong.
Diserang oleh tiga mahluk Setan, menjadikan
Singa Barong seketika itu bagaikan tak ada arti apa-
apa. Dihantamkannya ajian yang ia miliki, namun tak
ada artinya. Ajian itu hanya menjadikan ketiga kelelawar Setan itu makin
mengganas. Salah satu kelelawar mencicit, mengembangkan
sayapnya dan kemudian menukik. Sayapnya yang le-
bar itu mengepak, bagaikan sebilah golok menebas ke
leher Patih Singa Barong. Singa Barong segera elakkan diri, namun dengan
cepatnya kelelawar yang menye-rangnya telah menukik. Mulutnya yang lancip, tak
mampu dielakkan oleh Singa Barong. Mulut itu seketi-
ka bagaikan bor menghunjam di leher Singa Barong,
yang menjerit seketika. Tubuh Singa Barong kejang, la-lu ambruk dengan tubuh
pucat darahnya terhisap oleh
kelelawar Setan itu.
Kelelawar Setan itu segera pergi tinggalkan para
prajurit yang hanya terbengong, mana kala melihat tubuh Singa Barong telah tak
bergerak lagi. Kelima prajurit yang tercekam, seketika memburu menuju ketu-
buh Singa Barong yang tergeletak. Kelimanya tersen-
tak, mana kala melihat patihnya telah mati dengan
leher lobang besar....
* * * Kembali kerajaan dijadikan gempar dengan ke-
matian Singa Barong. Seluruhnya seketika berkabung
hari itu, mengiringi pemakaman patih Singa Barong.
Baginda Raja nampak berdiri dengan mata ber-
linang. Ia tahu kini siapa pelaku dari semuanya. Berdiri di samping sang Raja,
pendekar kita Jaka Ndableg
yang juga tertunduk lesu. Ternyata ucapan Ratu Silu-
man Darah benar adanya, dan ternyata ia telah ter-
lambat datang. Korban telah banyak berdatangan, se-
pertinya iblis-iblis itu sengaja menantangnya.
"Apa maksud dari Surti Kanti?" bergumam Jaka Ndableg dalam diamnya di depan
makam patih Singa
Barong. "Aku jadi tak habis pikir, mengapa Iblis-iblis itu mencariku" Apakah ini
suatu tanda ancaman bagi
dunia?" Dengan diiringi sang Raja, Jaka berjalan membisu dengan segala
pikirannya. Keduanya berjalan me-
ninggalkan makam patih Singa Barong, mana kala
senja telah datang. "Apa yang dapat saya bantu, Baginda Raja?"
"Kau tahu siapa pelaku semua ini, Jaka?" Jaka terdiam sesaat menunduk muka, lalu
mengangguk lemah. "Dia adalah anak dari Rundanu yang telah kau bunuh. Dia datang
mencari orang-orang yang telah terlibat dalam pembunuhan ayah dan ibunya."
"Kalau begitu, bukankah memang mereka se-
benarnya mencariku?"
"Mungkin, Jaka."
"Apa yang mereka maui dari diriku?" tanya Ja-ka seperti pada diri sendiri,
menjadikan sang Raja
hanya terdiam dan diam. "Kenapa mereka mesti membantai orang-orang yang tak tahu
masalahnya?"
Sang raja masih terdiam.
Mata sang raja memandang sedih pada Jaka,
sepertinya ia takut kalau-kalau Jaka pun akan menja-
di korbannya. Kalau Pendekar Pedang Siluman Darah
juga menjadi korbannya, tidak mungkin tidak mereka
akan dengan leluasa mengepakkan sayap mereka un-
tuk merajai dunia. Sebab dengan tidak adanya Pende-
kar Pedang Siluman Darah, tak akan ada lagi pendekar yang berani menghadapi
mereka yang memiliki ilmu-ilmu iblis dan siluman.
"Mungkin mereka sengaja membunuh korban
demi korban untuk dapat mengundang perhatianmu,
Jaka," berkata sang Raja setelah sekian lama terdiam.
Jaka hanya tercenung, matanya memandang kosong
bagaikan tengah memantau sebuah kejadian. Ya keja-
dian yang telah terjadi...
"Ini malam mungkin mereka datang lagi, sebab
tidak mungkin tidak mereka telah mengetahui keda-
tanganmu."
Jaka hanya menarik napas panjang! Matanya
masih kosong memandang kelangit-langit. Tangannya
seketika menyapu muka, sepertinya Jaka habis me-
manjatkan do'a.
"Gusti Allah, akankah aku mampu menghadapi
semuanya?" keluh Jaka dalam hati. Melihat Jaka
hanya diam, sang Raja pun akhirnya terhanyut dalam
kebisuan. Hanya desah-desah angin yang mereka
hembuskan dari napas-napas mereka yang terdengar.
* * * Senja telah berganti dengan malam, menjadi-
kan keadaan kerajaan yang tengah terundung malang
itu kembali sepi mencekam. Para prajurit telah siaga, menjaga kalau-kalau iblis-
iblis itu akan datang lagi.
Memang benar iblis-iblis itu datang lagi, ter-
bukti ketika mereka tengah tercenung diam tiba-tiba
terdengar ciutan-ciutan nyaring melengking.
Semua mata seketika membelalak, memandang
ke asal suara cuitan itu. Jaka yang tengah duduk-
duduk bersama sang Raja dan permaisuri serta sese-
puh istana, turut tersentak.
"Kalian di dalam saja, biar aku yang keluar."
Tanpa memperdulikan semua yang seketika
mengikuti langkahnya Jaka segera berkelebat keluar
menemui para prajurit yang tengah dicekam oleh rasa
takut. "Cuit...! Cuiit... Cuiiiit..."
"Hem, inikah yang dikatakan Sri Ratu Siluman
Darah?" tanya Jaka, dalam hati, seraya memandang pada tiga ekor kelelawar yang
terbang menuju ke
arahnya berdiri. Kelelawar-kelelawar itu seketika berhenti, manakala telah dekat
padanya. Mata ketiga kelelawar itu memandang tajam ke arah Jaka yang juga
memandang tajam ke arah kelelawar-kelelawar itu. Ja-
ka Ndableg tersentak mana kala didengarnya ketiga kelelawar itu berbicara. Bukan
Jaka saja, tapi semua
yang ada disitu pun turut kaget mendengar ucapan ke-
lelawar Setan itu.
"Kaukah yang bernama Jaka Ndableg atau Pen-
dekar Pedang Siluman Darah?"
"Hai, kalau memang sebangsa siluman atau
macam apa pun yang mampu mengubah ujud kalian,
aku minta kalian jangan kaya Iblis-iblis busuk yang
menyembunyikan muka kalian."
Mendengar ucapan Jaka, seketika ketiga kele-
lawar itu berubah menjadi manusia. Salah seorang da-
ri manusia itu, adalah seorang gadis cantik yang sungguh-sungguh mereka telah
mengenalnya. Maka demi
melihat gadis cantik itu, seketika berseru kagetlah semua prajurit-prajurit
menyerukan nama gadis terse-
but. "Surti Kanti....!"
"Bukankah dia telah mati?" tanya sang Raja yang tiba-tiba telah berdiri di
samping Jaka. "Hem, rupanya gadis ini telah terpengaruh oleh
kedua Iblis Penguasa Puri Kegelapan, Baginda," menjawab Jaka, menjadikan sang
Raja seketika tersentak
kaget. Tengah semuanya terdiam, dicekam rasa kaget, terdengar suara gadis itu
kembali berkata dengan nada sinis ditunjukkan pada Jaka Ndableg si Pendekar
Pedang Siluman Darah yang dianggapnya pembunuh ke-
dua orang tuanya.
"Jaka Ndableg, aku belum tenang bila belum
menghisap darahmu."
Tersentak semuanya mendengar ucapan Surti
Kanti, yang sepertinya sangat mendendam pada Pen-
dekar Pedang Siluman Darah. Namun Jaka yang telah
tahu siapa adanya pendamping Surti Kanti tampak te-
nang. "Hem, rupanya kau pun telah terbawa oleh Iblis, Surti!" menjawab Jaka.
"Kedua orang tuamu korban Iblis yang berdiri di sampingmu. Kini kau pun telah
terkena pengaruhnya."
"Lawan dia, Surti. Aku berada di sampingmu,"
berbisik Penguasa Puri Kegelapan, menjadikan Surti
Kanti yang telah terpengaruh olehnya seketika men-
dengus. Tanpa di duga sebelumnya, tiba-tiba Surti
Kanti berkelebat menyerang Jaka Ndableg.
Diserang begitu tiba-tiba, menjadikan Jaka ter-
sentak juga. Di lemparkan tubuhnya ke belakang, ma-
na kala sebuah tendangan kaki Surti Kanti mengarah
ke perutnya. "Akan aku hisap darahmu, Jaka Ndableg!"
"Hem, mungkin sebaliknya Surti Kanti. Kau-lah
yang akan menjadi tumbal oleh ulahmu sendiri," berkata Jaka meledek, menjadikan
Surti Kanti makin ber-
tambah marah. Sementara Wala Kowara dan Rake
Suyung Belung nampak masih tenang menonton per-
tarungan Jaka dengan Surti Kanti. Surti Kanti yang
tak mengetahui bahwa dirinya telah diperalat oleh Iblis, makin mencerca Jaka
dengan serangan-serangan
maut yang didapatkannya dari Rake Suyung Belung.
Jaka tersentak melihat jurus-jurus aneh yang
diperagakan oleh Surti Kanti, sehingga sukar bagi Jaka untuk dapat menembus
blokade serangan Surti Kanti
yang rapat. Jaka seketika mengeluh tertahan dengan
tubuh sempoyongan ke belakang, mana kala tangan
Surti Kanti menghantam dadanya. "Ach...!"
"Kau tak akan mampu menghadapinya Jaka,
bila kau tak menggunakan pedangmu. Nanti kalau kau
telah menggunakan pedangmu, aku minta tumpas dua
Iblis yang berdiri itu. Mereka sangat bahaya bila masih hidup. Hanya dengan
Pedang Siluman Darah, kau
akan mampu membunuh mereka semua. Percuma kau
mengeluarkan segala ajian yang telah keempat gurumu
wariskan, karena mereka bahkan memiliki yang lebih
dibanding dengan ajian-ajian mu. Nah, lakukan itu,"
berkata suara Ratu Siluman Darah.
"Baiklah Sri Ratu, aku akan menggunakan pe-
dang itu," menjawab Jaka. "Dening Ratu Siluman Darah, Datanglah!"
Benar juga apa yang dikatakan oleh Ratu Silu-
man Darah, mereka seketika tersentak menyaksikan
sebuah pedang yang tiba-tiba telah berada di tangan Jaka. Pedang itu dari
ujungnya menetes darah, meleleh membasahi batang pedang. Tengah mereka terben-
gong, secepat kilat Jaka berkelebat tebaskan pedang
Siluman Darah ke arah Surti Kanti.
"Aaah...!" Surti Kanti memekik, lalu tubuhnya hilang. Tersentak kedua Iblis
lainnya melihat hal itu.
Wala Kowara dan Suyung Belung seketika hendak ber-
lalu pergi, mana kala dengan secepat kiat Jaka telah berkelebat menghadang
mereka, Jaka segera babatkan
Pedang Siluman Darah ke arah keduanya, yang seketi-
ka itu memekik dan ambruk ke tanah. Tubuh mereka
seketika hancur menjadi serpihan-serpihan pasir.
Semua seketika tersenyum, dan mereka berge-
gas memburu ke arah Jaka. Namun seketika semua-
nya tersentak, mana kala Jaka tiba-tiba telah tak ada di tempatnya...
Dengan matinya Surti Kanti dan Dua Iblis
Penghuni Alam Kegelapan, maka tenanglah kerajaan


Pedang Siluman Darah 12 Pembalasan Surti Kanti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segara Anakan. Sebagai rasa suka cita, esok harinya
diadakan syukuran.
Ditaburkannya debu leburan tubuh ketiga Iblis
itu ke laut... Sekian Jakarta, 12 Desember 1990
Penulis Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel/blogspot.com
Pedang Kunang Kunang 7 Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila 5
^