Pencarian

Utusan Iblis 2

Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis Bagian 2


Pemuda di hadapannya tersenyum, makin me-
lebar. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah kedua
suami istri, lalu duduk di hadapan mereka yang masih terjengah tak mengerti.
"Lupakah kalian padaku, Ki?" tanya pemuda itu, sepertinya telah mengenal kedua
suami istri yang duduk di hadapannya. "Akulah Penguasa Puri Kegelapan."
Terperanjat kedua suami istri bagaikan digigit bangsat kepinding di pantatnya,
mereka hampir saja
terbangun dari duduknya. Mata kedua suami istri itu melotot tak percaya,
memandang tak berkedip dari ka-ki sampai ke ujung rambut pemuda yang duduk di
ha- dapannya. "Kenapa, Ki" Sepertinya kau terkejut?"
"Be-benar," menjawab Ki Rundanu terbata.
"Benara, Tuan. Sepertinya kami tak dapat per-
caya," sambung istri Rundanu, yang membuat pemuda itu tersenyum. Senyumnya manis
dengan sorot mata
tajam, setajam mata burung rajawali.
"Inilah hasil dari kerja kalian."
"Maksud tuan?" Ki Rundanu masih belum
mengerti. Dan memang tak akan mengerti akan apa
yang dialami oleh Penguasa Puri Kegelapan atau Ang-
gada. "Karena aku selalu meminum darah bayi, maka segala tubuhku pun kembali
seperti seratus tahun
yang silam."
"Apa...?"
Terlonglong-longlong Ki Rundanu dan istri, de-
mi mendengar penuturan pemuda yang duduk di ha-
dapannya. Untuk kesekian kalinya suami istri itu memandang tak berkedip. Mulut
mereka ternganga, se-
pertinya sukar untuk mempercayai bahwa pemuda di
hadapannya telah berumur ratusan tahun.
"Jangan kaget, Ki. Kau dan istrimu pun akan
dapat seperti aku, asalkan kalian berdua selalu mau menuruti segala apa yang aku
katakan." "Benarkan itu, Tuan?" tanya Ki Rundanu ingin memastikan.
"Apakah aku pernah berdusta pada kalian" Ka-
lian adalah hambaku, maka kalian tak akan pernah
aku dustai," menjawab si pemuda dengan masih tersenyum. Matanya yang tadi hitam,
seketika memerah
bagai menyala. Mata itu menembus tajam pada mata
Ki Rundanu, lalu berganti menembus istri Ki Runda-
nu. "Cari olehmu sebuah perguruan Cawak Sakti,"
berkata Anggada.
Ditunjuknya Ki Rundanu yang kini telah ter-
pengaruh olehnya, sehingga Ki Rundanu kini bagaikan sebuah robot, menurut dan
mematuhi setiap ucapan
tuannya. "Cari perguruan itu, bumi hanguskan!" kembali pemuda itu berseru memerintah.
"Malam ini juga...?" Ki Rundanu bertanya.
"Ya, malam ini juga!"
Tanpa banyak berkata lagi, Ki Rundanu segera
berkelebat pergi untuk mencari perguruan yang di-
maksud tuannya. Tubuhnya berkelebat cepat, meram-
bah gelapnya malam.
Sementara Anggada yang tengah menunggu
bersama istri Rundanu, perlahan segera pindah du-
duknya. Didekati tubuh istri Rundanu, lalu dibisikan kata-kata mesra.
Seperti suaminya, sang istri pun bagaikan robot
saja menurut. Malah ia tersenyum, manakala Anggada
mengajaknya berdiri dan berjalan memasuki kamar di
mana biasanya ia dan Rundanu melakukannya. Satu
persatu pakaian istri Rundanu melayang, lepas dari
tubuhnya. Hal itu menjadikan Anggada memburu na-
fasnya. Matanya menghujam tajam, memandang pada
setiap liku-liku tubuh istri Rundanu yang kini membaringkan tubuhnya di atas
dipan. Tak lama kemudian,
keadaan kamar itu hening hanya desah-desah napas
jalang saja yang terdengar.
* * * Surti Kanti yang tengah tertidur seketika teru-
sik bangun, kala terdengar suara ganjil di dalam kamar sebelah. Kamar di mana
biasanya untuk tidur ke-
dua orang tuanya. Surti Kanti seketika mengerutkan
kening, bimbang untuk mengintip apa yang tengah terjadi di kamar sebelah"
"Apakah bukan ayah?" tanya hati Surti Kanti.
"Ah, bukan. Mana mungkin ayah bersuara begini ke-rasnya" Dengkurnya begitu
memekikkan telinga. Apa-
kah aku harus.. Ah, jangan-jangan..."
Hati Surti Rukanti diliputi kebimbangan, bin-
gung harus berbuat bagaimana. Mengintip, takut ka-
lau-kalau yang tengah berbuat adalah ayah dan
ibunya. Tidak diintip, suara dengus lelaki itu sungguh aneh dan janggal.
Sesaat Surti Kanti menahan napas, bimbang
dan ragu terus menyelimuti hatinya. Namun demi
mendengar keganjilan itu, seperti layaknya manusia
normal Surti Kanti pun ingin mengetahuinya. Dengan
langkah perlahan, didekati bilik yang memisahkan
kamarnya dengan kamar orang tuanya. Seketika mata
Surti Kanti terbelalak, manakala melihat apa yang terjadi di dalam kamar orang
tuanya. Pemandangan itu,
menjadikan lututnya bergetar gemetaran. Bagaimana
tidak, Surti Kanti yang benar-benar masih perawan belum tahu apa-apa kini harus
melihat dengan mata ke-
palanya sendiri kejadian itu. Nafasnya seketika memburu, liar. Tangannya yang
tadinya diam, seketika beroperasi sendiri, bagaikan latah pada pemandangan
yang terpampang di hadapannya. Ketika ibunya men-
geluh panjang, Surti Kanti pun turut mengeluh. Dan
ketika tangannya menyapu ke bawah dirasakan oleh-
nya cairan kental.
Ketika lelaki yang ia tahu bukan ayahnya ber-
paling ke arahnya, seketika terpekiklah Surti Kanti. Dilihatnya wajah lelaki itu
bukan wajah manusia, namun wajah lelaki itu adalah wajah kelelawar. Tak dapat
lagi Surti Kanti menahan ketakutan itu, sehingga ia pun
jatuh terkulai lemas pingsan.
Lelaki itu menyeringai, menunjukkan gigi-
giginya yang runcing. Sorot matanya merah membara,
bagaikan mengandung bara api. Setelah mencicit sejenak lelaki muda itu
berkelebat pergi menghilang ditelan gelapnya malam.
* * * Ki Rundanu yang telah terpengaruh oleh Ang-
gada atau Penguasa Puri Kegelapan, masih terus berla-ri dalam usahanya mencari
di mana perguruan Cawak
Sakti berada. Tubuhnya berkelebat cepat, layaknya sebuah bayangan hitam yang
hilang lamat-lamat kala
tertimpa sinar.
Tengah Ki Rundanu berlari, tiba-tiba terdengar
olehnya seorang membentak.
"Berhenti! Siapa kau, malam-malam keluyu-
ran!" Ki Rundanu yang telah dipengaruhi ilmu Ang-
gada segera menghentikan langkahnya. Dipalingkan
mukanya menghadap pada orang yang membentaknya.
Seketika ketiga lelaki yang ada di belakangnya tersentak kaget, melihat wajah Ki
Rundanu. Wajah itu bukan wajah manusia, tapi wajah seekor kelelawar. Mulut
manusia kelelawar itu menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang runcing.
Sorot mata kelelawar hantu memerah bagai berapi, lalu dengan didahului cicitan
manusia kelelawar itu menyerang ketiganya. Serta
merta, ketiga orang itu cabut goloknya, babatkan ke tubuh manusia kelelawar.
"Wuuut...!" tangan manusia kelelawar bergerak menyerang. Jari-jarinya yang
berkuku runcing dan tajam, menyambar ke arah musuh-musuhnya. Seketika
ketiga orang lelaki itu melompat, mengelakkan serangan itu sembari tebaskan
golok. Namun dengan cepat, manusia bermuka kelelawar tepiskan serangan itu.
Matanya makin memerah, garang penuh rasa membu-
nuh. "Setan!" memaki salah seorang dari ketiganya.
"Rupanya dia iblis yang selalu menjarah kampung kita.
Dialah yang telah mencuri keempat puluh bayi."
"Benar, memang kata orang-orang yang melihat
pencuri bayi itu orang ini!" menambah temannya.
"Jangan kita biarkan ia lolos!"
Dengan penuh keberanian, ketiga orang yang
merupakan keamanan kampung segera menyerang
kembali. Golok di tangan mereka bergerak cepat, silih menyerang mahluk berkepala
kelelawar yang kembali
menyeringai menunjukkan gigi-giginya. Dengan suara serak berat, lelaki bermuka
kelelawar itu membentak.
"Minggirlah kalian, jangan sampai aku berubah
pikiran." "Enak saja kau mengusir kami, Iblis!"
"Langkahi dulu kami, baru kau dapat seenak-
nya berkeliaran hidup!" membentak seorang lagi.
"Hem, kalian rupanya mencari mati. Bersiap-
lah!" Habis berkata begitu, dengan mencicit terlebih dahulu mahluk berkepala
kelelawar itu berkelebat menyerang. Tubuhnya berkelebat cepat, laksana seekor
kelelawar yang tengah terbang. Jurus-jurusnya begitu aneh, kaku namun ganas.
Jurusnya selalu mengarah
pada tempat-tempat yang mematikan.
Ketiga orang pengeroyoknya tersentak kaget,
melihat jurus-jurus silat yang aneh. Ketiganya segera babatkan golok, manakala
tangan manusia berkepala
kelelawar hendak mencengkram mereka. Kuku-kuku
yang hitam dan panjang itu, sungguh sangat berba-
haya bila mengenai sasaran.
Mata mahluk itu yang tadi memerah, makin
bertambah membara manakala mendapatkan ketiga
musuhnya dapat menghindar. Kembali dengan cici-
tannya yang melengking mahluk itu kembali menye-
rang. Kali ini jurusnya berubah, makin aneh dan kaku.
Tapi dari kekakuan itu, keluar angin menderu bila
tangannya dikibaskan.
"Gila! Rupanya ia memang benar-benar silu-
man!" memekik seseorang dari ketiganya, tatkala tangan mahluk itu berhasil
menjambret lengan bajunya
hingga lengan baju itu koyak lebar.
Melihat salah seorang musuhnya dapat dipe-
cundangi, mahluk berkepala kelelawar itu makin te-
lengas. Matanya melotot tajam, merah membara. Tan-
gannya bergerak cepat, dan...!
"Bret! Bret...!"
Dua kali terdengar besetan, manakala tangan
mahluk itu berhasil mencakar muka salah seorang da-
ri ketiganya. Orang yang terkena seketika memekik kesakitan. Dari pipinya yang
terbeset, keluar darah men-gucur deras. Mata mahluk itu makin liar, ketika
dilihatnya darah merah membanjiri muka salah seorang
musuhnya. Dengan kembali men-cicit, mahluk itu
kembali menyerang. Kali ini serangannya begitu beringas, liar penuh nafsu
membunuh. "Kalian telah menyita waktuku. Kalian harus
mati!" Habis berkata begitu, mahluk berkepala kelelawar itu berkelebat cepat.
Dengan liar dan ganas men-gibaskan tangannya, sehingga seketika angin menderu
keluar dari kibasan tangan.
Tersentak ketiganya berusaha menghindar,
namun ternyata gerakan mahluk itu lebih cepat. Hing-ga ketiganya tak dapat
mengelakkan serangan terse-
but. "Wut... Wut... Wut.." Ketiganya kibaskan golok menangkis, namun rupanya
jurus itu hanya tipuan.
Sedang yang sebenarnya, adalah gerakan tangan kiri
mahluk berkepala kelelawar. Tak ayal lagi, jerit kesakitan seketika membahana
manakala tangan mahluk itu
mengoyak muka mereka. Belum juga ketiganya tersa-
dar, tiba-tiba mahluk itu lepaskan sebuah pukulan
yang mengeluarkan sinar merah membara dari tan-
gannya. Pukulan itu adalah ajian Serat Gumilang Jati.
Ya, pukulan ajian Serat Gumilang Jati yang dimiliki oleh Panca Gumilang. Belum
juga ketiga orang itu tersadar, mereka tak dapat lagi mengelakkan pukulan
ajian Gumilang Jati. Dan...!
"Bletar...! Bletar! Bletar...!"
Tiga kali ledakan itu bergema, dan tiga kali pula
terdengar jeritan dari ketiga orang itu yang roboh dengan tubuh terbakar hangus.
Melihat ketiganya telah
mati, mahluk berkepala kelelawar itu ambil langkah
seribu. *** 6 Wulu Gudug sangat gusar, manakala menden-
gar laporan anak buahnya yang mengatakan usaha
mereka untuk beroperasi telah diporak-porandakan
oleh seorang pemuda yang mengaku bernama Jaka
Ndableg. Wulu Gudug merupakan seorang pimpinan
judi Koprok dan pelacuran yang beroperasi di desa
Wulung Segara. Namun di samping pembuka judi dan
pelacuran, juga melakukan perampokan dan pembega-
lan. Anak buahnya begitu banyak, hampir mencapai
seratus orang. "Setan...! Kenapa mesti dibocorkan" Siapa yang telah berlaku kurang ajar, hah?"
"Maaf, Ketua Wulu Gudug, saya rasa ada orang
dalam yang berani berbuat culas ini."
"Maksudmu, Luragung?" tanya Wulu Gudug belum mengerti.
"Tidakkah tetua mencurigai seseorang?"
"Ah, siapakah yang kau maksud, Luragung?"
kembali Wulu Gudug bertanya. "Apakah yang kau
maksud, anggota kita yang baru" Siapa namanya?"
"Benar, tetua. Itulah yang aku maksudkan,"
menjawab Luragung, yang menjadikan Wulu Gudug
seketika melotot marah. Gigi-giginya saling beradu, mengeluarkan bunyi
gemeretukan menahan emosi.
Dengan amarah yang berapi-api Wulu Gudug berkata.
"Panggil kunyuk kupret itu ke mari. Bila perlu,
cincang dia!"
"Baik, Tetua."
Setelah berkata begitu, Luragung segera berke-
lebat pergi untuk memanggil anggotanya yang baru
yang mengaku-aku bernama Wulung Ampar. Namun
sesampainya di barak anggota, betapa Luragung san-
gat terkejut. Betapa tidak, di situ tergeletak beberapa orang anggotanya yang
mati dengan keadaan menyedihkan. Menggeram marah Luragung seketika, merasa
telah dihina mentah-mentah oleh Wulung Ampar. Ma-
ka dengan berseru, Luragung memaki-maki sendiri.
"Wulung Ampar keparat, ke luar kau! Ke mana
pun kau lari, aku tak akan membiarkannya! Ke luar


Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau Wulung!"
"Luragung, kenapa kau mesti berteriak-teriak
kayak anak kecil" Kalau kau ingin menemui aku, ma-
suklah!" menjawab suara orang di dalam yang menjadikan Luragung geram. Dengan
didahului bentakan,
Luragung segera berkelebat masuk
"Wulung Ampar, jangan kira aku takut pada-
mu. Hiaaat...!"
Golok di tangannya lurus terjurus ke muka, se-
pertinya siap menghujam musuhnya. Namun betapa
tersentaknya Luragung sekaligus mental tubuhnya,
manakala sebuah hantaman telak mendarat di da-
danya. Tubuh Luragung mencelat ke luar dan jatuh
terhempas ke tanah, dari mulutnya seketika meleleh
darah segar. Walau begitu, Luragung tampak masih
bertahan. Luragung segera bangkit dengan mata melo-
tot kaget manakala orang yang dari dalam bilik itu keluar. Orang yang ia kenal
sebagai Wulung Ampar, ternyata kini telah berubah. Lelaki muda itu kini bukan
Wulung Ampar, namun orang yang ia kenal sebagai
seorang pendekar yang telah mengobrak-abrik markas
judinya. "Kau... Kau Pendekar Jaka Ndableg!"
"Ya, kenapa kau kaget?" kembali bertanya Ja-ka.
"Setan! Rupanya kau sengaja menelusup ke
mari. Jangan salahkan kalau nantinya kau akan cela-
ka, Anak muda!" menggeretak marah Luragung, nafasnya mendengus liar, matanya
memandang tajam
menghujam pada Jaka Ndableg yang tampak masih
tersenyum. Jaka melangkah perlahan, menghampiri
Luragung yang kini telah berdiri.
"Katakan di mana pimpinanmu berada?"
"Jangan harap kau akan dapat seenaknya me-
nyuruhku!"
"Hem, kau yakin itu, Luragung?" bertanya Jaka sinis. "Setan! Kau anggap aku apa,
hah! Jangan kira aku takut mendengar nama dan julukanmu. Ayo, kita
buktikan, hiaaat..!"
Luragung yang merasa mangkel dengan tingkah
laku Jaka, tak lagi banyak berkata. Secepat kilat ia berkelebat, tebaskan golok
di tangannya ke arah Jaka.
Diserang demikian, bukan menjadi Jaka kete-
ter. Bahkan dengan ketawa-tawa sendiri Jaka berkelebat mengelakkannya. Mulutnya
yang suka usil, tak
henti-hentinya berkata.
"Kurang tepat, Mang. Lihatlah, kau akan keca-
paian sendiri. Apakah kau tak melihat aku di sam-
pingmu?" Ketika Luragung membalikkan tubuh ke samp-
ing, seketika sebuah tamparan tangan Jaka telak
menghantam pipinya. Menjeritlah Luragung, pipinya
merah tergurat bekas tangan Jaka. Kepalanya terasa
pening, menjadikan Luragung sempoyongan dan jatuh.
Jaka tersenyum, dihampirinya tubuh Lura-
gung. Luragung yang sudah panik tampak segera
bangkit, golok di tangannya ia kiblatkan ke arah Jaka yang datang menghampiri.
Ketika Jaka hampir sampai, Luragung tebaskan goloknya dengan memekik dahsyat.
"Wuuuut... Wuuut... Wuuuut!"
"Kurang tepat, Mang!" seru Jaka bagaikan seorang guru mengajari ilmu silat
muridnya. "Begini caranya memegang golok, agar kau tak salah lagi. Sini aku
pinjam sebentar."
Habis ucapan itu, tiba-tiba tangan Jaka berge-
rak cepat. Mata Luragung seketika melotot, manakala tangan Jaka tiba-tiba telah
merampas golok di tangannya. Luragung lompatkan tubuh ke belakang, ber-
maksud elakan sambaran golok yang dilancarkan Ja-
ka. Namun ternyata samberan golok itu hanya tipuan, yang dilancarkan Jaka untuk
memancing Luragung.
Ketika Luragung lompat, maka tak ayal lagi kaki Jaka yang mengait terkait oleh
kakinya tanpa disadari.
"Gedebug...!"
Tubuh Luragung terpelanting jatuh, manakala
kakinya terkait kaki Jaka. Luragung meringis, dirasakan Luragung pantatnya sakit
sekali. Ketika pantatnya diraba, ternyata bisul yang besar telah pecah. Tak ke-
palang Luragung menjerit, menerima bisul kesayan-
gannya pecah berantakan. Maka dengan nekad Lura-
gung kembali bangkit menyerang.
Jaka yang masih tenang segera kelitkan tubuh-
nya ke samping, tatkala sebuah hantaman tangan ko-
song yang dilancarkan Luragung menuju ke arahnya.
"Mau nangkep kodok, Mang?"
Bersamaan dengan habisnya ucapan Jaka, Lu-
ragung seketika meluncur deras. Maka ketika kaki Ja-ka mengait, tak ayal lagi
tubuh Luragung kembali ter-jerembab mencium tanah.
"Setan! Rupanya kau sengaja mempermainkan
aku! Jangan kira aku akan mengalah padamu, terima-
lah ini!" Selesai berkata begitu, Luragung yang telah disakiti dengan cara
mencium tanah dua kali lancarkan pukulan jarak jauhnya. Jaka tersentak melompat
mundur, kibaskan tangan yang telah disaluri ajian
menghantam balik serangan itu. Tak ayal lagi, serangan yang dilancarkan Luragung
balik menyerang
tuannya. Luragung tersentak dan berusaha menghindar,
namun tak cepat. Larikan sinar dari serangannya, kini lebih cepat berbalik ke
arahnya dan menghantam telak tubuh Luragung. Luragung seketika itu menjerit,
ambruk menggelesor ke tanah. Sesaat tubuhnya kelojo-
tan, lalu diam dan mati.
Demi melihat apa yang terjadi pada diri Lura-
gung, bergidig juga Jaka. Di atas tubuh Luragung yang telah mati, seketika
muncul anak-anak kalajengking
yang cepat membesar menggerogoti tubuh Luragung.
Saking kagetnya Jaka melihat hal itu, dari mulut Jaka memekik menyebut nama
ajian yang digunakan Luragung. "Ajian Racun Kala! Hem, sungguh menggidikan.
Kalau orang lain, niscaya akan seperti Luragung kea-daannya. Ajian aneh!"
Setelah memandang sesaat pada mayat Lura-
gung, segera Jaka berkelebat loncat ke atas pohon
manakala dirasa ada orang yang datang. Mata Jaka
yang tajam, memandang pada bayangan seorang yang
menuju ke arahnya.
Orang itu yang tak lain dari Wulu Gudug, seke-
tika membelalakkan mata demi melihat tangan kanan-
nya telah mati terhantam oleh ajiannya sendiri. Gusar Wulu Gudug seketika itu,
lalu dengan membabi buta
dihantamnya apa yang ada di hutan itu dengan ajian-
nya yang bernama Jelentar Ungu. Dari telapak tangan Wulu Gudug keluar sinar ungu
menghantam pepohonan, seketika pepohonan yang ada di situ runtuh
daun-daunnya dan tumbang. Tengah Wulu Gudug
mengumbar amarah, terdengar gelak tawa seseorang
mengejeknya. "Wulu Gudug, kenapa kau kayak orang gila!"
"Keluar kau, Monyet!"
"Hua, ha, ha... kalau aku monyet, memang be-
nar. Namun kau lebih dari monyet. Kau adalah anjing gudigan! Bukan begitu, Wulu
Gudug!" "Setan! Tampakan ujud mu, jangan hanya be-
rani berkoar!"
"Aku di belakangmu, Wulu Gudug!"
Tersentak kaget Wulu Gudug, manakala ia me-
nengok ke belakang tampak olehnya seorang pemuda
yang telah ia ketahui sebagai Pendekar Pedang Silu-
man Darah telah berdiri sembari tersenyum sinis pa-
danya. "Kau...!"
"Ya, aku Wulu Gudug. Kenapa kau kaget" Bu-
kankah tadi kau menyuruhku untuk keluar!" berkata Jaka tenang. "Kini aku telah
keluar... apa yang hendak kau lakukan padaku, Wulu Gudug?"
"Jangan kira aku takut mendengar namamu,
Anak muda!" membentak Wulu Gudug marah. Ma-
tanya membara penuh permusuhan, menjadikan Wulu
Gudug yang sudah garang tampak makin garang saja.
Maka tanpa berkata lagi, Wulu Gudug telah memekik
menyerang Jaka.
"Heh, rupanya kau masih lancar mengeluarkan
jurus-jurus ilmu silat, walau badanmu telah gemuk
bagaikan kingkong. Hua, ha, ha..."
"Setan! Terima ini, hiat....!"
Wulu Gudug yang sudah marah pada Jaka tak
tanggung-tanggung lagi, hantamkan ajiannya yang
bernama Jelentar Ungu. Dari tangan Wulu Gudug
nampak larikan sinar ungu mengkiblat ke arah Jaka.
Jaka lemparkan tubuh ke samping, sehingga
larikan sinar ungu itu melesat beberapa senti di samping tubuhnya, menghantam
pepohonan yang seketika
itu berguguran dan tumbang.
"Ilmu tingkat tinggi!" memekik Jaka dalam hati.
"Aku tak boleh main-main. Baik, akan aku coba dengan Getih Saktiku."
Jaka kembali tersentak dari lamunannya, ma-
nakala tangan Wulu Gudug yang telah disaluri ajian
Jelentar Ungu kembali mengkiblat ke arahnya. Merasa untuk mengelak sudah tak ada
kesempatan, Jaka segera hantamkan ajian Getih Saktinya.
"Ajian Jelantarr Ungu, hiaat...!"
"Getih Sakti, hiaat...!"
"Duar! Wessst... Pess..."
Terpental keduanya ke belakang, jatuh dengan
tubuh terduduk Jaka tampak meringis, dadanya terasa sesak. Ternyata ajian Getih
Saktinya belum dapat
mengalahkan Jelentar Ungu. Darah meleleh dari sudut bibirnya, yang segera dilap
oleh Jaka dengan tangan.
Sementara Wulu Gudug nampak tak mengala-
mi apa-apa, bahkan ia telah bangkit dan ganda tawa
melihat Jaka meringis menahan sakit di dadanya.
"Hua, ha, ha..! Ternyata segitu kemampuan
Pendekar yang tengah menjadi buah bibir di kolong
Langit. Hem, hari ini juga tamatlah riwayatmu," berkata Wulu Gudug sinis.
"Bersiaplah untuk akhir ke-jayaan mu. Aku Wulu Gudug, akan mengirimmu ke
akherat. Terimalah ini...! Ajian Jelentar Ungu, hiaat...!"
Wulu Gudug yang menyangka Jaka telah habis
ilmunya, dengan garang hantamkan ajian Jelantar Un-
gu. Terbelalak Jaka melihat hal itu, belum sempat Ja-ka berpikir untuk berbuat
apa. Ketika sebentar lagi sinar ungu itu hendak menghantamnya, dengan speku-
lasi Jaka hantamkan ajian Petir Sewu.
"Petir Sewu, hiaat..!"
"Bletar... Bletar... Bletar...!"
"Aaaah..."
Melengking suara Wulu Gudug, tubuhnya ter-
hantam ajian Petir Sewu yang dilancarkan Jaka, terpental jauh dan ambruk dengan
tubuh hancur beran-
takan hangus bagaikan dipanggang.
Jaka terdiam sesaat, duduk bersila. Diaturnya
napas perlahan, hingga benar-benar nafasnya telah sempurna. Ya, itulah meditasi
cara mengatur jalan darah yang diajarkan oleh keempat gurunya. Merasa te-
lah segar, Jaka segera kelebatkan dirinya pergi me-
ninggalkan tempat itu, yang kembali sepi dan hanya
ada dua sosok tubuh pimpinan dan tangan kanannya
yang mati mengerikan. Itulah Wulu Gudug pimpinan
gerombolan dan Luragung tangan kanannya.
Angin berhembus sepoi, menerpa tubuh-tubuh
keduanya yang tak lagi merasakan sejuknya hembu-
san angin. Daun-daun berguguran, bersama datang-
nya burung pemakan bangkai. Burung itu berteriak-
teriak, bagai berbahagia dapat mangsa yang lezat. Namun sungguh aneh, burung-
burung itu ternyata tak
doyan memakan bangkai Wulu Gudug dan Luragung.
7 DI PERGURUAN CAWAK SAKTI...
Hari itu langit tampak mendung, awan ber-
gumpal-gumpal menutup langit di atas Perguruan Ca-
wak Sakti. Perguruan Cawak Sakti dipimpin oleh mu-
rid dari Catur Gumilang yang bergelar Pendekar Mabok atau Bomantara. Sementara
murid Bomantara yang
kini memimpin Cawak Sakti, merupakan murid tung-
galnya bernama Suwarna Angresta. Suwarna Angresta,
adalah anak seorang Raja. Dia merelakan tampuk ke-
rajaan pada adiknya dan dia sendiri mendalami ilmu-
ilmu kanuragan. Cita-citanya menjadi seorang pende-
kar, mendorongnya untuk mencari guru yang sakti
dan benar-benar mumpuni. Maka ketika ia melihat
Bomantara yang menurut pelatih silat istana adalah
tokoh yang disegani, Suwarna Angresta segera berguru padanya. Beruntung,
Bomantara ternyata mau menja-dikannya murid. Segala ilmu yang dimiliki Bomantara
atau Pendekar Mabok, diturunkannya pada sang murid tunggal. Maka setelah
Bomantara wafat, Suwarna Angrestalah yang menggantikannya.
Hari itu Suwarna Angresta tampak tengah me-
latih murid-muridnya yang berjumlah seratus orang
dengan berbagai macam ilmu silat. Murid yang ber-
jumlah seratus orang terbagi menjadi empat kelompok.
Kelompok pertama, merupakan bagian yang tengah
mempelajari tingkat dasar. Bagian yang kedua meru-
pakan bagian yang mempelajari segala ilmu silat biasa.
Sedang yang ketiga, mereka mempelajari ajian Serat
Gumilang Jati tingkat dasar, satu, dua, dan tiga. Dan yang terakhir, mereka
mempelajari ajian Gumilang Jati tingkat empat, lima dan enam.
Suwarna Angresta tersenyum senang melihat
keseratus muridnya yang tampak bersemangat mem-
pelajari apa yang ia turunkan. Ia melangkah perlahan, menghampiri murid-murid
utamanya yang terdiri dari empat orang. Keempat orang murid utama itu, bergelar
Catur Cawak Sakti. Mereka merupakan murid-murid
yang patuh, setia dan mempunyai tata krama yang
tinggi. "Eka Cawak, bagaimana adik-adikmu berlatih?"
"Seperti Guru lihat," menjawab Eka Cawak de-mi mendengar pertanyaan Gurunya.
Sang guru segera berlalu meninggalkan Eka
Cawak yang kembali melatih menuju ke murid uta-
manya yang kedua, yang diberi nama Dwi Cawak dan
bertanya. "Dwi Cawak, bagaimana adik-adik yang engkau
pimpin?" "Seperti yang Guru saksikan," menjawab Dwi Cawak yang tengah memimpin adik-
adiknya berlatih
tingkat dasar. Setelah menanyai keempat murid uta-
manya, Suwarna Angresta segera kembali ke tempat-
nya yaitu sebuah kursi yang terletak di balai-balai. Di situ biasanya Suwarna
Angresta duduk, memperhatikan murid-muridnya berlatih. Hatinya bangga, walau
jauh dari kehidupan yang serba berkecukupan. Dilu-
pakannya kalangan istana, dipusatkan segala pikiran dan tenaga pada ilmu-ilmu


Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silat. Jika ia ingat semuanya, ia hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala.
Tengah mereka berlatih silat, tiba-tiba terden-
gar gelak tawa membahana berbarengan dengan berke-
lebatnya sesosok tubuh yang tahu-tahu telah berdiri di hadapan Suwarna Angresta.
Suwarna Angresta tersentak, bangun dari duduknya.
"Siapa engkau, Ki Sanak?"
"Hua, ha, ha... akulah Anggada atau Penguasa
Puri Kegelapan."
"Bohong! Paman Anggda telah mati. Juga ba-
danmu lain dengan apa yang diceritakan guru padaku, siapa kau sebenarnya?"
"Suwarna Angresta, memang jasad ini bukan
milikku. Tapi rohku lah yang telah menggerakkannya
untuk menuju ke mari. Nah, bersiaplah kau menerima
pembalasanku."
"Kenapa paman guru memusuhiku" Bukankah
aku tak tahu apa-apa?"
"Persetan... Eh, bukankah aku juga telah men-
jadi setan....?"
Belum habis kebingungan Rundanu, Suwarna
Angresta telah mendahului berkata.
"Paman guru... Kalau benar engkau paman
guru, maka terimalah sembah sujudku."
Suwarna Angresta hendak menyembah, ketika
sebuah hantaman dari tangan Rundanu menjadikan-
nya membatalkan sujud. Suwarna Angresta loncatkan
tubuh, melenting keluar.
Melihat gurunya diserang oleh orang asing, se-
rentak keseratus muridnya tanpa diperintah segera
berkelebat menghadang. Maka tak ayal lagi, keseratus murid Suwarna Angresta
mengeroyok Rundanu.
Rundanu yang telah dikuasai oleh Anggada,
nampaknya tidak gentar sedikitpun menghadapi pen-
geroyokan itu. Bahkan dengan ganda tawa, Rundanu
berseru. "Suwarna, rupanya kau memang kemenakan
yang baik. Kau sambut kedatanganku dengan meriah.
Baik, memang aku telah bersumpah ketika di sumur
Jala Tunda, bahwa aku akan menghabiskan semua
pewaris ilmu Resi Wilmaka. Nah, bersiaplah...!"
Tersentak semua murid Catur Cawak, manaka-
la melihat perubahan pada diri Rundanu. Muka Run-
danu seketika berubah menjadi muka kelelawar. Ma-
tanya memerah bagaikan menyala, dengan mulut me-
nyeringai menunjukkan gigi-giginya yang runcing. Belum sempat semuanya tersadar
dari rasa kaget, Pen-
guasa Puri Kegelapan telah berkelebat menyerang me-
reka. Namun sebagai seorang yang telah dididik dengan ilmu silat dan ilmu
kanuragan, mereka tak gentar melihat hal itu. Maka dengan serentak keseratus
anak murid Suwarna Angresta segera berbareng menghadang mahluk berkepala
kelelawar itu yang bermaksud
menyerang guru mereka.
Pertarungan pun berjalan, membawa segala je-
rit-jerit kematian dan pekik-pekik kemarahan.
Melihat semuanya nampak terdesak oleh amu-
kan mahluk itu, serentak Catur Cawak berkelebat
menghadang. Tanpa membuang-buang waktu, keem-
pat Catur Cawak segera menyerang dengan ajian Serat Gumilang Jati tingkat
ketiga. "Duar...!"
Ledakan itu terdengar membahana, manakala
empat larik sinar merah membara menghantam tubuh
mahluk berkepala kelelawar. Namun bagaikan tak be-
rarti, ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketiga, tak menjadikan mahluk berkepala
kelelawar itu hancur,
roboh pun tidak. Hal itu menjadikan rasa kaget ada
keempat Catur Cawak, mereka tak yakin akan apa
yang mereka lihat. Bagaimana tidak, ajian Serat Gumilang Jati, merupakan ajian
yang sangat ampuh. Jan-
gankan tingkat ketiga, tingkat pertama saja mampu
membakar daun-daun kering. Namun mahluk itu, tak
mengalami apa-apa.
Keempat Catur Cawak yang tengah terperangah
segera lompat ke belakang, manakala mahluk itu me-
nyerang mereka. Tangan mahluk berkepala kelelawar
itu menyabet dengan kuku-kukunya yang hitam dan
panjang. Matanya merah penuh api kematian meman-
dang tak berkedip pada Catur Cawak.
"Kita jangan terpengaruh. Ayo, kita labrak mahluk itu dengan ajian Serat
Gumilang Jati tingkat empat." "Benar apa yang dikatakan Kakang Eka Cawak.
Ayo kita serang kembali mahluk itu..." menyambung Dwi Cawak berkata.
Maka dengan tanpa banyak kata, karena kea-
daan sangat mendesak keempat Cawak Sakti itu sege-
ra hantamkan ajian Serat Gumilang Jati tingkat keempat pada tubuh mahluk itu.
Namun untuk seperti se-
mula, keempatnya dibuat terperangah.
Tengah keempat Cawak Sakti itu terjengah, ter-
dengar suara mahluk itu berkata mengejek.
"Keluarkan semua ilmu kentut busuk yang ka-
lian miliki. Akupun mampu melakukannya, lihat...!"
Habis berkata begitu, mahluk berkepala kelela-
war itu hantamkan tangannya yang telah dialiri ajian Serat Gumilang Jati tingkat
kelima. Tersentak keempat Cawak Sakti, manakala me-
lihat ajian yang mereka miliki juga dimiliki mahluk berkepala kelelawar itu.
Belum juga mereka dapat
mengendalikan kekagetannya, larikan sinar merah dari tangan mahluk menyeramkan
itu menghantam ke arah
mereka. Cawak Eka dan Cawak Dwi mampu menghin-
darinya. Namun kedua Cawak yang lainnya, tak mam-
pu menghindar. Dengan nekad, kedua Cawak Sakti itu
lepaskan ajian Serat Gumilang Jati tingkat keenam-
nya. "Hiaaat...!"
"Hiaaattt...!"
"Duar....!"
Terdengar ledakan dahsyat, manakala tiga ajian
yang sama jenisnya saling beradu. Tubuh kedua Ca-
wak Sakti terlempar jauh, lalu jatuh dengan mulut meleleh darah. Dua Cawak Sakti
itu luka dalam, hingga keduanya pingsan.
Melihat kedua adik seperguruannya tergeletak,
kedua Cawak Sakti lainnya dengan geram menyerang
mahluk berkepala kelelawar yang masih tertawa bergelak-gelak melihat keduanya
menyerang. "Percuma kalian membuang-buang tenaga, me-
nyerahlah!"
"Setan! Jangan kira kami takut padamu. Bagi
kami, lebih baik mati daripada menjadi hamba iblis.
Ayo adik-adik, serang...!"
Mendengar seruan Eka Cawak, seketika semua
anak murid Cawak Sakti bagaikan tak kenal takut me-
nyerang. Karena mereka dididik dengan cara ksatria, mereka bertarung pun memakai
ala ksatria. Musuh
tangan kosong, mereka pun tangan kosong pula.
"Bedebah! Rupanya kalian memilih mampus!
Bersiaplah, tak akan aku biarkan pewaris ilmu Catur Gumilang hidup."
Habis berkata begitu, mahluk menyeramkan
segera mengumbar kesaktiannya.
Ajian-ajian iblis dikeluarkannya, menjadikan
semua musuh tak mampu menyangkal. Hanya pimpi-
nan Cawak Sakti saja atau guru besar Cawak Sakti,
yaitu Suwarna Angresta yang mampu menangkal.
Melihat anak muridnya tak mampu menghada-
pi ilmu iblis Rundanu, Suwarna Angresta segera berke-
lebat menghadang.
"Paman guru, sungguh terlalu telengas paman
guru tindakannya."
"Jangan kau panggil aku dengan sebutan itu!"
membentak Penguasa Puri Kegelapan. "Aku dan gurumu telah menjadi musuh. Gurumu
lah dan paman gu-
rumu yang lain, yang telah mengubur ku hidup-hidup.
Aku mendekam selama lima puluh tahun lebih di da-
lam sumur Jala Tunda, semua gara-gara tindakan
guru dan paman-paman gurumu yang menamakan diri
Catur Gumilang Sakti. Karena mereka telah tiada, ma-ka aku melimpahkan segala
dendam ku pada murid-
muridnya termasuk kau!"
"Baiklah! Kalau memang itu yang paman guru
inginkan. Demi membela kebenaran dan keadilan, aku
siap!" Tertawa bergelak-gelak Penguasa Puri Kegelapan, mendengar ucapan Suwarna
Angresta. "Bersiaplah!"
"Aku sudah siap! Mati pun, aku rela demi men-
junjung tinggi kebenaran dan keadilan. Nah, silahkan apa yang akan paman guru
lakukan padaku."
Dengan didahului mencicit, mahluk berkepala
kelelawar itu segera menyerang. Suwarna Angresta
yang telah siaga, segera memapakinya. Pertarungan
dua paman dan murid perguruan itu berlangsung,
tanpa banyak kata lagi.
Penguasa Puri Kegelapan yang telah tahu siapa
orang musuhnya, tak segan-segan mengeluarkan sega-
la ilmu iblisnya. Mahluk itu menyerang bagaikan mencari kematian. Ya, memang
mahluk berkepala kelela-
war itu telah bertekad untuk memusnahkan keturu-
nan Catur Gumilang.
Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya tak
terasa oleh kedua orang yang berkelahi itu. Namun bi-la dilihat, tampaklah ilmu
yang dimiliki Suwarna Angresta tiada arti sama sekali. Terbelalak mata Suwarna
Angresta, melihat kenyataan itu. Kini hatinya diliputi kemarahan, dan kekesalan
yang meledak-ledak.
"Terimalah ajian Serat Gumilang Jati tingkat
pamungkas. Hiaat!"
"Keluarkan semua ilmu yang kau miliki, Su-
warna. Tak akan ada artinya sama sekali bagiku.
Hiaaat...!"
Dua tubuh itu berkelebat bagaikan terbang,
melayang di udara. Lalu keduanya pun bertemu, men-
gadu dua kekuatan sakti yang mereka miliki.
"Duar...!"
Tubuh keduanya terhenyak ke belakang, ter-
lempar beberapa tombak. Namun begitu, keduanya
masih sama-sama tangguh. Keduanya kini telah siap
siaga, siap untuk melakukan serangan. Mata kedua-
nya sejenak saling pandang, tajam menghunjam mele-
bihi tajamnya pedang. Keduanya seperti tengah menja-jaki ilmu yang dimiliki
musuh-musuhnya.
"Suwarna... Lebih baik kau mengakui kalah
dan gorok lehermu sendiri."
"Bedebah! Jangan kira aku mau menuruti uca-
panmu. Aku belum kalah! Ayo, kita lanjutkan."
"Hua, ha, ha... Percuma kau sombongkan
ajianmu, Suwarna. Tak ada artinya semua ajian wari-
san Resi Wilmaka bagi diriku."
"Jangan sombong, Anggada. Bersiaplah..."
Dengan segera, Suwarna Angresta kerahkan te-
naga dalam pada pusat kepalan tangannya. Kini ia
tengah merapalkan ajian Pukulan Tangan Besinya.
Tangan Suwarna seketika menghitam, legam bagaikan
baja alami. Dengan didahului pekikkan, Suwarna sege-
ra berkelebat menyerang.
"Hiaaaaat....!"
"Hem, ilmu apa pula yang hendak kau kelua-
rkan. Jangan kira kau akan mampu mengalahkan aku,
hiaat...!"
Kembali keduanya berkelebat, saling serang
dengan ilmu yang mereka miliki. Betapa tersentaknya Suwarna yang tengah
melayang, ketika dilihat olehnya dari tangan Anggada keluar larikan hitam legam.
"Hem. kenapa dia memiliki ajian ganas itu" Ci-
laka...!" Belum sempat Suwarna mengelak, Penguasa Puri Kegelapan telah
mendahului menyerang. Mau tak
mau, Suwarna segera hadang dengan ajian Pukulan
Tangan Besi. "Duar...!"
"Aaaaaahhh..."
Suwarna Angresta memekik, tubuhnya me-
layang bagaikan kapas terhempas angin. Tubuhnya
seketika retak, lalu pecah-pecah laksana batu terhantam martil raksasa. Tubuh
itu ambruk, mati...
Melihat musuhnya telah mati, dengan gelak ta-
wa Penguasa Puri Kegelapan segera berkelebat pergi
tinggalkan tempat itu. Mayat-mayat bergelimpangan,
memenuhi lapangan perguruan Cawak Sakti. Satu ke-
turunan Resi Wilmaka hilang, mati di tangan Penguasa Puri Kegelapan. Dan rupanya
benar apa yang dikatakan oleh Begawan Kisnenda...
*** 8 Korban demi korban dari keturunan Resi Wil-
maka berjatuhan. Sepertinya memang sudah diga-
riskan. Kodrat alam memang tak dapat dirubah, atau
dihindari. Kodrat harus berjalan, sesuai dengan larikan sang waktu.
Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Da-
rah yang konyol, nampak termangu melihat apa yang
ada di hadapannya. Mayat-mayat bergelimpangan, se-
pertinya telah terjadi pertempuran. Namun bila dilihat, mana ada pertempuran
hanya korban dari sepihak"
Jelas semua yang melakukan adalah orang yang be-
rilmu tinggi. "Hem, aneh. Kalau pertempuran, jelas tak se-
muanya hanya sepihak yang mati. Paling tidak ada
orang musuhnya, tapi kenapa ini satu perguruan?"
bergumam Jaka dalam hati. "Aku rasa ini merupakan sebuah pembalasan. Sungguh
sangat disayangkan,
Perguruan Cawak Sakti yang kondang dalam nama
baik sebagai perguruan berhaluan lurus kini hilang
bagaikan dilanda topan."
Tengah Jaka merenung bingung, sehingga ia
seperti seorang yang benar-benar linglung terdengar suara seseorang merintih.
Jaka segera mencari suara itu, dan tak begitu lama Jaka pun segera menemu-
kannya. Tersentak Jaka setelah tahu siapa adanya
orang tersebut, yang tak lain Suwarna Angresta pimpinan Cawak Sakti.


Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh Suwarna tampak retak-retak dengan da-
rah mengalir dari retakan-retakan tersebut. Ia tampak merangkak, menuju ke arah
Jaka berada. Melihat hal
itu, dengan segera Jaka memburu ke arahnya.
"Tuan Suwarna, apa yang telah terjadi?"
"Siapakah engkau, Anak muda?" tanya Suwar-na matanya tak dapat melihat akibat
tertutup darah.
"Aku Jaka, Jaka Ndableg."
Mendengar jawaban Jaka, tersentak kaget Su-
warna girang. Hingga ia bagaikan tak mengalami rasa sakit berseru. "Jaka..!!
Kaukah Pendekar Pedang Siluman Darah yang tengah kesohor itu?"
"Benar, tapi aku tidak kesohor."
Dalam keadaan yang kalut seperti itu, Jaka
masih juga sempat ngebanyol. Hal itu membuat Su-
warna Angresta yang tengah sekarat, bagaikan tak
mengalami rasa sakit. Bibirnya terurai senyum. Ia tahu bahwa Pendekar ini memang
suka macam-macam
dengan tingkah lakunya yang dapat membuat ketawa
temannya, namun dapat membuat marah musuh-
musuhnya. Pendekar ini banyak teman, tapi juga ba-
nyak lawan. "Ah, kenapa engkau selalu merendah, Pende-
kar?" "Sudahlah, Tuan. Tuan tak usah mendebatkan namaku atau julukan yang ada
pada diriku. Kini tubuh tuan begitu lemah, ayo aku bantu."
Dengan segera, Jaka membopong tubuh Su-
warna Angresta yang penuh berlumuran darah menuju
ke dalam pondoknya. Disapunya darah yang menutupi
muka Suwarna, sehingga bersih.
"Katakanlah, apa yang telah menimpa pergu-
ruan Cawak Sakti" Dan siapakah yang telah berbuat
demikian telengasnya?"
Sejenak Suwarna terdiam. Diaturnya napas
perlahan yang terasa berat menyesak. Mulutnya sekali-kali meringis, menahan
sakit yang mendera tubuhnya.
Betapa tidak, tubuhnya telah begitu hancur.
"Ceritanya panjang, Tuan pendekar."
"Kau mampu untuk menuturkannya.?"
"Akan aku coba sebelum ajalku tiba."
Dengan suara pelan, Suwarna akhirnya mence-
ritakan apa yang telah dialami oleh perguruannya. Ju-ga tak lupa akan siapa yang
telah melakukannya.
Mendengar penuturan cerita Suwarna, bagaikan orang
terjaga dari tidur Jaka berseru kaget.
"Ah... Jadi Penguasa Puri Kegelapan yang aku
dengar hidup pada seabad yang lalu itu muncul lagi"
Dan ternyata ia adalah paman seperguruanmu?"
"Benar, Tuan," menjawab Suwarna. "Aku minta tuan Pendekar sudi menghentikannya.
Dia sangat ber-bahaya. Mungkin kini atau esok, dia akan menumpas
perguruan adik Lumabang, lalu perguruan Sentana,
dan perguruan Braja Muspita."
"Hem, akan aku coba. Demi kebenaran dan
keadilan serta ketentraman dunia, akan aku coba
menghentikan sepak terjangnya walau nyawaku seba-
gai taruhannya."
"Terima kasih, Tuan Pen-de-kar..."
Terkulai kepala Suwarna Angresta, mati.
Trenyuh Jaka melihat hal itu, ia hanya mampu
menitikkan air mata. Jaka menangis, menangis karena sedih melihat kematian yang
tragis. Kembali ingatan-nya pada kedua orang tuannya, yang juga mati akibat ulah
saudara seperguruannya.
"Semoga kau tenang di alam sana, Suwarna,"
keluh Jaka. Hari itu juga, Jaka bekerja sendiri menggali lu-
bang untuk mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Hem, bodoh amat aku ini. Mana mungkin se-
hari selesai bila aku tak memakai akal. Akan aku gunakan Pedang Siluman Darah,"
gumamnya membo-
dohkan dirinya. "Dening Ratu Siluman Darah. Datan-glah!" Seperti biasanya,
Pedang Siluman Darah pun seketika muncul dan telah tergenggam di tangannya.
Maka dengan Pedang Siluman Darah, Jaka dalam wak-
tu singkat dapat membuat seratus sepuluh lubang.
Hanya dengan cara menancapkan pedang, akan terja-
dilah lubang-lubang yang pas untuk tubuh manusia.
Setelah tubuh-tubuh mereka masuk ke dalam
lubang, kembali Jaka mengiblatkan ujung Pedang Si-
luman Darah pada lobang yang dengan sendirinya me-
nutup. Tanah-tanah yang semula membuka, berham-
buran menutupi lobang.
"Aku harus segera mencegah semua tindakan
telengasnya. Kalau tidak... sungguh petaka bagi kehidupan!" Secepat kilat, Jaka
berkelebat pergi meninggalkan Perguruan Cawak Sakti yang kini telah berubah
menjadi pemakaman. Hari telah berganti, dari malam
berubah menjadi pagi. Embun yang menari, perlahan
menghilang tersapu angin yang datang....
* * * Kerajaan Segara Anakan...
Raja Sri Baginda Damar Angkik adalah adik
Suwarna Angresta. Sri Baginda Damar Angkik begitu
gusarnya, mendengar kabar bahwa kakaknya mati ter-
bantai bersama murid-muridnya. Kemarahan sang Ra-
ja tak dapat dibendung, sehingga sang Raja yang bi-
asanya tenang dan sabar kini bagaikan macan yang
kehilangan anaknya. Matanya merah, tangannya men-
gepal, nafasnya mendengus...
"Cari orang itu! Tangkap dia dan kita beri hu-
kuman picis!"
"Daulat, Baginda yang mulia," menyembah sang Patih. "Jangan kalian kembali,
sebelum orang itu dapat kalian seret kemari. Penggal kepalanya...!"
"Daulat, Baginda!"
Setelah menjura menyembah, kedua patih ke-
rajaan itu segera pergi meninggalkan bangsal istana.
Kedua patih itu pun turut gusar, mendengar kakak rajanya yang baik dan bijak
mati terbunuh bersama mu-
rid-muridnya. Dengan tanpa menyuruh hulubalangnya, kedua
Patih yang bernama Rangket Ungu dan Singa Barong
segera memacu kudanya untuk mencari orang yang te-
lah telengas membunuh kakak baginda rajanya.
Karena di hati kedua patih itu tergurat kema-
rahan pada orang yang telah membunuh kakak Ra-
janya, sehingga kedua patih itu memacu kuda bagai-
kan kesetanan. Kuda yang sudah berlari kencang, di-
gebahnya untuk dapat menambah larinya.
Kedua patih itu telah terkenal kesaktiannya.
Keduanya disegani baik oleh patih kerajaan lain, atau-pun oleh pengacau.
Semenjak kedua patih itu menja-
bat patih di kerajaan Segara Anakan, kerajaan itu
aman tentram. "Ke mana kita harus mencarinya, Kakang
Rangket Ungu?"
"Entahlah, Adik Singa Barong," menjawab
Rangket Ungu. "Bukankah kita lebih bebas bila menyamar se-
bagai pengelana?"
Rangket Ungu terdiam mendengar ucapan Sin-
ga Barong. Sejenak dipandangi Singa Barong, lalu dengan tersenyum ia pun
berkata. "Benar juga. Hem, bagus pendapatmu. Ayo, kita
kembali ke rumah masing-masing untuk berganti den-
gan seragam perguruan."
Segera kedua patih yang memang saudara se-
perguruan bergegas menghalau kuda-kudanya menuju
ke rumah masing-masing.
Kedua patih itu, sebelum menjabat patih mere-
ka adalah seorang pendekar yang sukar ditandingi pa-da masanya. Mereka berdua
berjuluk, Pendekar Jagad
Kelana. Karena keduanya sepasang, orang menyebut-
nya "Sepasang Pendekar Jagad Kelana."
Tak lama setelah kedua patih itu kembali, tam-
pak dua orang manusia mengenakan pakaian merah
menyala menunggang kuda berlalu dari pintu gerbang
istana. Dua orang itu, tak lain adalah kedua patih yang telah mengganti pakaian
mereka dengan pakaian perguruan. "Kita menuju ke arah Selatan, Kakang?"
"Ya, sebab menurut dugaanku orang itu akan
menuju ke Selatan," menjawab Rangket Ungu.
Maka tanpa banyak bicara lagi, kedua orang itu
segera kembali memacu kudanya menuju ke arah Sela-
tan. * * * Malam itu kembali rumah Rundanu hening.
Seperti malam-malam sebelumnya, rumah Rundanu
pun diselimuti tabir kegelapan dan misteri yang sukar untuk disibakkan. Walau
semua penduduk di desa itu
telah mengetahui siapa Rundanu, namun untuk berge-
rak mereka belum berani. Pertama kepala desa belum
memerintahkan, kedua belum pasti kesalahan Runda-
nu. Malam itu seperti biasanya Rundanu dan is-
trinya tengah duduk-duduk ngobrol. Sementara anak-
nya yang telah menginjak gadis telah tertidur.
Sebenarnya anak Rundanu yang bernama Surti
Kanti tidak tidur, ia ingin membuktikan apa yang pernah ia lihat pada kejadian
malam yang telah berlangsung seminggu yang lalu. Namun untuk menanyakan-
nya pada ibu atau bapaknya, ia tak berani.
Malam semakin larut, hawa dingin tiba-tiba te-
rasa menggigil. Mata Surti Kanti seketika bagai dibe-bani batu puluhan kati,
mengantuk berat. Namun te-
kadnya untuk membuktikan apa yang telah terjadi pa-
da keluarganya, menjadikan Surti Kanti berusaha te-
tap melek. Ketika malam makin bertambah larut, terden-
gar suara deheman seseorang di ruang tamu di mana
ayah dan ibunya tengah duduk. Perlahan Surti Kanti
mengintip dari bilik kamarnya. Terbelalak kaget Surti Kanti, manakala dilihatnya
ada seorang pemuda diantar kedua orang tuanya.
"Siapakah pemuda itu?" bertanya hati Surti Kanti. Kedua orang tuanya nampak
tersenyum me-nyambut kedatangan pemuda ganteng itu. Sepertinya,
kedua orang tuanya tengah bercerita pada pemuda
ganteng itu yang kini berbicara.
"Rundanu dan kau Rumini, malam ini kalian
harus mampu menemukan dua perguruan silat yang
dipimpin oleh murid Saelendra dan Reksa Pati."
"Apa nama perguruan itu, Tuan?"
"Naga Kuldu dan Maling Demang! Malam ini ju-
ga, kalian berangkatlah. Ingat, kalian harus segera kembali sebelum pagi datang,
sebab aku akan memin-jam jasadmu, Rundanu."
"Daulat, tuanku," menjawab kedua suami istri itu bareng.
Setelah menyembah, kedua suami istri itu sege-
ra pergi meninggalkan rumah, menjera malam yang ge-
lap. Walau malam begitu gelapnya, namun suami istri itu bagaikan tak mengalami
kesulitan. Mereka bagaikan kelelawar berlari dengan kencangnya
Sementara di rumah...
Anggada yang telah mengetahui bahwa di situ
ada anak Rundanu yang masih perawan tersenyum
dan tak segera pergi. Hal itu menjadikan Surti Kanti seketika gemetar ketakutan.
Keringat dingin seketika deras mengalir.
"Aoh...!" Surti Kanti menjerit tertahan, manakala pintu kamarnya dibuka oleh si
pemuda. "Kau...?"
Pemuda itu tak menjawab, namun tersenyum
manis ke arahnya senyumnya begitu manis, menjadi-
kan Surti Kanti seketika hatinya terpanah. Dan manakala tangan pemuda itu
memegang janggutnya, Surti
Kanti hanya dapat mendesah. Lalu setelah pemuda itu merebahkan tubuhnya ke atas
dipan, Surti Kanti
hanya mampu mendesah panjang. Lalu selanjutnya
kedua muda-mudi itu diam. Hanya napas keduanya
yang memburu liar. Surti Kanti terjengah, mengeluh
panjang. "Aaaah....!"
Surti Kanti menjerit, manakala sesuatu telah
membuat tubuhnya terasa lain. Darah menetes... Ber-
samaan dengan itu, seketika Surti Kanti menjerit panik manakala dilihatnya
bentuk muka pemuda yang telah
menyetubuhinya. Wajah pemuda yang tadinya gagah,
kini berubah menjadi wajah kelelawar yang mencicit
menyeramkan. Saking paniknya, Surti Kanti pun akhirnya
pingsan. Dengan didahului dengan cicitan nyaring, mah-
luk berkepala kelelawar itu berkelebat pergi menghilang di kegelapan malam,
meninggalkan Surti Kanti
yang masih tergeletak pingsan dengan keadaan tubuh
telanjang..... *** 9 PERGURUAN MALING DEMANG.
Pertarungan antara Utusan Iblis-Penguasa Puri
Kegelapan dikeroyok oleh murid-murid perguruan
tampak berjalan dengan seru. Ternyata kedatangan
Rundanu yang menjadi utusan Iblis Penguasa Puri Ke-
gelapan diketahui oleh murid-murid perguruan Maling Deman. Tanpa ayal lagi,
pertarungan pun terjadi.
Namun walau dikeroyok oleh sebanyak murid
perguruan Maling Deman, Rundanu yang telah mewa-
risi ilmu Penguasa Puri Kegelapan tak dapat dengan
mudah dikalahkan oleh musuh-musuhnya.
Tengah pertempuran itu terjadi, seorang pemu-
da yang kita kenal dengan nama Jaka Ndableg atau
Pendekar Pedang Siluman Darah datang dan langsung
menghadang sepak terjang orang berkepala kelelawar.
"Hem, ternyata kaulah cecunguknya yang telah
membuat kerusuhan di Perguruan Cawak Sakti."
"Benar adanya. Siapa kau, Anak muda?"
"Aku yang bodoh dan ingin meminta sedikit il-
mu iblis padamu bernama Jaka Ndableg atau Pende-
kar Pedang Siluman Darah."
Mendengar penuturan Jaka, seketika semua
yang ada di situ tersentak kaget. Mereka pada umum-
nya telah mendengar nama pendekar muda yang ten-
gah menggoncangkan dunia persilatan. Namun meli-
hatnya, mereka baru kali ini.


Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa urusanmu ikut campur, Anak muda!"
membentak manusia berkepala kelelawar. Sengit.
Jaka hanya tersenyum sinis.
"Bedebah! Ditanya bukan menjawab, malah
cengengesan. Apakah kau belum tahu siapa aku
adanya?" "Hem, aku rasa kau tak lebih hanya tuyul bau!"
"Slompret! Berani kau menghina Utusan Iblis!"
Tertawa bergelak-gelak Jaka seketika itu, demi
mendengar manusia berkepala kelelawar menyebut
namanya. Hal itu menjadikan manusia Utusan Iblis
menggeram gusar.
"Hua, ha, ha... Kalau begitu, memang tepat du-
gaanku. Kaulah tuyul-tuyul bau tai!"
"Bangsat! Lancang mulutmu, Anak muda! Jan-
gan lengah, hiaat...!"
Manusia bermuka kelelawar itu secepat kilat
berkelebat menyerang. Melihat hal itu, Jaka yang memang suka membikin musuh
marah hanya tertawa
bergelak-gelak sembari elakan serangan. Hal itu menjadikan Utusan Iblis makin
bertambah marah, lalu
dengan mencicit terlebih dahulu Utusan Iblis melipat gandakan serangannya.
Dikeluarkannya ajian Serat
Gumilang Jati tingkat ketiga.
Tersentak Jaka dan semuanya melihat hal itu.
Ketika tangan mahluk berkepala kelelawar menghan-
tam, secepat kilat Jaka berkelebat mengelak. Jaka terbebas dari hantaman maut
itu, namun murid-murid
Maling Deman-lah yang menjadi sasarannya. Seketika
puluhan murid perguruan Maling Deman mati dengan
tubuh hangus. "Ilmu Iblis!" memekik Jaka.
"Kenapa kau takut. Anak muda" Mana nama
besarmu! Mana ilmu yang telah menggemparkan dunia
persilatan, hua, ha, ha...!"
"Setan! Jangan tertawa dulu, lihat ini!"
Jaka segera keluarkan ajiannya yaitu Getih
Sakti. Selarik sinar merah membara keluar dari telapak tangan Jaka. Namun dengan
segera ajian Getih
Sakti pupus, manakala terhantam dengan ajian Serat
Gumilang Jati. Tersentak Jaka menerima kenyataan itu.
"Hua, ha, ha... Keluarkan segala kepandaian-
mu, Anak muda! Aku Utusan Iblis tak akan dapat kau
kalahkan!"
"Sombong! Terimalah ini, hiaat...! Petir Sewu!"
"Hem, aku pun bisa. Iblis Geledeg, hiat....!"
"Duar...!"
Dua kekuatan sakti itu beradu, menjadikan
percikan api yang menyala terang. Tubuh keduanya
terpental ke belakang beberapa tombak, jatuh dengan pantat menggusur tanah.
Kembali terdengar gelak tawa Utusan Iblis, se-
pertinya mengejek Jaka yang masih berusaha mene-
nangkan keadaan dirinya.
"Hua, ha, ha... Ternyata namamu akan berakhir
sampai di sini, Anak muda!"
"Gusti Allah! Dia seperti mempunyai segala il-
mu tandingan yang aku miliki! Dengan apa lagi aku
harus berbuat," mengeluh Jaka hampir putus asa.
"Ooh, akan aku gunakan pedangku. Baik, akan aku panggil Ratu Siluman Darah.
Semoga ia dapat mem-bantuku. DENING RATU SILUMAN
DARAH, DATANGLAH!"
Terbelalak mata Utusan Iblis, melihat sebilah
pedang yang memancarkan sinar kuning kemerah-
merahan telah tergenggam di tangan Jaka. Namun
yang lebih mengejutkan Utusan Iblis, Pedang itu dari ujungnya melelehkan darah
segar, membasahi batang-nya. Mata Utusan Iblis seketika bagaikan silau,
terpantul cahaya yang dikeluarkan oleh Pedang Siluman
Darah. Maka ketika Utusan Iblis tengah terpengaruh
oleh cahaya pedang, secepat kilat Jaka berkelebat tebaskan Pedang Siluman Darah
ke tubuh Utusan Iblis.
"Aaaaaahhhhhhhh...... Tobat...!"
Melengkinglah suara Utusan Iblis sesaat, sebe-
lum akhirnya mati dengan tubuh terbelah menjadi
dua. Darahnya telah mengering, terhisap oleh Pedang Siluman Darah.
Melihat Utusan Iblis itu mati, Jaka segera ber-
kelebat pergi menuju ke tempat Perguruan Naga Kuldu untuk memberitahukan apa
yang telah terjadi. Bagaikan terbang, Jaka berlari dengan ajian Angin Puyuh-
nya. * * * Dua patih kerajaan Segara Anakan tampak ten-
gah menghadapi seorang wanita. Dua patih itu merasa gusar, setelah melihat siapa
adanya wanita yang telah mengobrak-abrik perguruan Naga Kuldu.
Setelah melihat dengan seksama bahwa wanita
itu wajahnya bukan wajah manusia biasa, kedua patih kerajaan Segara Anakan pun
segera dapat menerka
siapa adanya wanita itu. Ya, wanita itu memang bukan wanita sembarangan. Ia
diutus oleh Penguasa Puri Kegelapan untuk maksudnya menumpas pewaris ilmu
Resi Wilmaka. "Iblis! Rupanya kaulah yang telah membuat
keonaran di Perguruan Cawak Sakti. Untuk itu, kau
harus mati!" membentak Singa Barong gusar. Tubuh Singa Barong seketika
berkelebat cepat, menyerang
Utusan Iblis. Namun bagaikan seorang yang telah mengeta-
hui gerak-gerik dan jurus lawan, Utusan Iblis berkelit dengan entengnya. Bahkan
dengan segera balik menyerang dengan ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketiga.
Tersentak kedua patih penyerang itu, manakala
Iblis Wanita berkepala kelelawar itu mampu menggu-
nakan ajian Serat Gumilang Jati.
"Hi, hi, hi.... Terimalah kematian kalian!
Hiat...!" Tengah kedua patih itu terdesak dan nyawa keduanya dalam bahaya, Jaka
Ndableg yang telah sam-
pai di situ segera hantamkan ajian Petir Sewu me-
nangkis serangan tersebut.
Tersentak Utusan iblis, manakala ajian yang di-
lancarkannya hancur di tengah jalan. Dengan mengge-
ram marah, ia palingkan muka memandang pada pe-
muda yang baru datang.
"Siapa kau!"
"Hem, rupanya kalian suami istri manusia-
manusia serakah! Hanya untuk mencari kepuasan ba-
tin, kalian rela menjadi budak Iblis!" menggeretak Jaka marah. "Suamimu telah
aku tenangkan, kini tinggal kau! Aku berbuat begitu, karena bila tidak dunia
akan kalian bikin kotor dengan tingkah kalian."
Tertawa wanita Utusan Iblis mendengar ucapan
Jaka. "Hi, hi, hi... Anak muda, karena kau telah membunuh suamiku maka kau pun
harus aku kirim
ke akherat, hiat...!"
Tanpa banyak kata lagi, Utusan Iblis bergerak
cepat hantamkan ajiannya ke tubuh Jaka. Segera Jaka melompat, berkelit sembari
tebaskan Pedang Siluman
Darah. Pukulan Utusan Iblis seketika musnah, terba-
bat oleh Pedang Siluman Darah. Mata utusan iblis
membelalak kaget, manakala melihat apa yang tengah
tergenggam di tangan Jaka. Bukan saja Utusan Iblis
yang kaget, tapi kedua patih itu pun sama.
"Pendekar Pedang Siluman Darah! Ah, sungguh
tak kami duga kalau kami akan menemui tuan Pende-
kar di sini," berkata keduanya sembari menjura hormat. "Ah, terimakasih, Tuan
Patih. Aku mohon kalian menyingkirlah terlebih dahulu. Dia bukan tandingan
kalian," meminta Jaka pada kedua patih yang segera menurut menyingkir. Kedua
patih itu tahu, bahwa diri mereka tak akan mampu menghadapi Utusan Iblis
yang telah dikuasai oleh Penguasa Puri Kegelapan.
"Utusan Iblis. Agar kau tenang, kau harus aku
singkirkan. Tempatmu bukan di dunia, tapi di neraka sana... Hiat...!"
"Jangan mengigau, Anak muda. Hiat...!"
Keduanya segera melompat bagaikan terbang.
Tangan Utusan Iblis yang telah disaluri ajian lurus mengiblat ke arah Jaka.
Sementara Jaka dengan Pedang Siluman Darah, telah siaga mengkiblatkan pe-
dang itu ke arah Utusan Iblis. Keduanya bertemu di
udara. Jaka segera babatkan Pedang Siluman Darah
ke tubuh Utusan Iblis, yang seketika itu pula menjerit.
"Tobaaaaat....! Aaaaaah...!"
Dengan matinya Dua Utusan Iblis, apakah du-
nia persilatan akan tenang" Untuk menjawab perta-
nyaan tersebut, silahkan ikuti terus petualangan Jaka Ndableg si PENDEKAR PEDANG
SILUMAN DARAH, dalam Judul. "PEMBALASAN SURTI KANTI"
Utusan iblis dua-duanya telah mati, hal itu
menjadikan Penguasa Puri Kegelapan tak dapat bang-
kit lagi. Maka salah satunya jalan, ia harus mempengaruhi anak Rundanu yang
bernama Surti Kanti untuk
mau mengabdi padanya...
Nah, apakah Surti Kanti akan menuruti ke-
mauan Penguasa Puri Iblis yang telah menjerumuskan
ayahnya" Apa yang hendak dilakukan oleh Surti Kanti setelah mendengar kedua
orang tuanya mati oleh Pendekar Siluman Darah" Silahkan ikuti Episode Pende-
kar Pedang Siluman Darah dalam judul: Pembalasan
Surti Kanti. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Jodoh Rajawali 9 Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas Pendekar Bloon 5
^