Pencarian

Penguasa Gunung Lanang 1

Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang Bagian 1


MISTERI PENGUASA
GUNUNG LANANG Oleh Sandro S . Cetakan pertama,1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam episode:
Misteri Penguasa Gunung Lanang
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Kabupaten Kencana Wungu....
Kabupaten Kencana Wungu dipimpin oleh seo-
rang Bupati yang terkenal dengan sifatnya, yang dingin dalam menindak segala
kejahatan. Ia begitu arif dan
bijaksana, mementingkan apa yang menjadi kepentin-
gan rakyatnya daripada kepentingan sendiri.
Di bawah kepemimpinannya, Kabupaten Ken-
cana Wungu nampak tentram dan tenang. Apalagi se-
jak diangkatnya adik seperguruannya dari Gelagah Pu-
tih memegang tanggung jawab kepala prajurit, makin
tentram dan amanlah Kabupaten Kencana Wungu.
Kakak beradik seperguruan itu begitu sakti,
sehingga ditakuti oleh seluruh rakyatnya juga musuh-
musuh dan para gerombolan. Tak segan-segan, kedua
kakak beradik seperguruan pemegang tampuk kekua-
saan itu turun tangan sendiri menumpasnya. Kete-
nangan Kabupaten Kencana Wungu yang berjalan di
atas roda kepemimpinan dua saudara seperguruan itu,
tiba-tiba digegerkan oleh desas-desus mengenai seo-
rang Datuk sesat yang membuka praktek perdukunan
beraliran hitam.
Entah dari mana datangnya sang Datuk, tiba-
tiba saja telah membuka praktek perdukunan. Mu-
lanya rakyat mengakui bahwa sang Datuk memang be-
rilmu tinggi, mampu menyembuhkan segala penyakit
dan bala. Mulanya juga tingkah sang Datuk tidak ma-
cam-macam, sehingga rakyat tak menyorotnya.
Ya, itulah manusia. Kalau belum tahu akan ke-
benarannya, ia tak akan ambil perduli. Begitu juga ra-
kyat Kabupaten Kencana Wungu, mereka baru gelisah,
manakala sang Datuk makin lama makin menggila
permintaannya. Kalau saja permintaan itu berupa harta benda,
hal itu tidak menjadikan masalah. Namun permintaan
sang Datuk, sungguh-sungguh merupakan permintaan
gila... Permintaan sang Datuk, tak lain adalah... Da-
rah Perawan setiap malam bulan purnama tiba. Hal itu
menjadikan ketakutan para gadis, juga kaum lelaki
yang merasa mempunyai pacar. Mereka takut kalau-
kalau pacarnya akan menjadi korban. Ya. Korban kegi-
laan sang Datuk sesat.
Mungkin karena terlalu takut dan terteror, sa-
lah seorang pemuda melaporkan hal ketakutan warga
desanya pada Kabupaten. Dengan harapan, pihak Ka-
bupaten akan segera memberantas dan menutup prak-
tek sang Datuk yang bernama Datuk Luluhung Begeg.
Bupati mulanya agak kaget mendengar laporan war-
ganya, yang menyatakan bahwa di daerahnya telah da-
tang seorang Datuk beraliran sesat dan membikin ke-
resahan dengan meminta korban darah perawan...
Pihak Bupati yang tak ingin keresahan rakyat-
nya menjadi berlarut-larut, saat itu juga mengirim se-
puluh orang prajurit yang dipimpin oleh prajurit utama Prakoso Surya untuk
memanggil sang Datuk sekaligus
menyuruh pada sang Datuk untuk tidak meneruskan
semua kegiatannya. Hari itu juga ke-sepuluh prajurit
utama Bupati langsung menuju ke rumah Datuk Lu-
luhung Begeg. "Sampurasun, apakah sang Datuk Luluhung
Begeg ada...?"
"Siapa yang ada di luar?" terdengar suara seorang lelaki tua balik bertanya,
manakala Prakoso
Suryo mengucapkan salam.
"Saya Prakoso Suryo dari Kabupaten," menja-
wab Prakoso yang dengan segera turun dari kudanya.
"Apakah sang Datuk berkenan menerima diri saya?"
tanyanya setelah melangkah mendekat ke pintu ru-
mah. "Ehm, ehm, ehm..." terdengar deheman tiga kali berturut-turut, lalu setelah
lama terdiam terdengar suara sang Datuk berkata. "Masuk...."
Prakoso Suryo segera membuka pintu perlahan.
Namun pintu yang nampaknya telah tua itu berkerit
juga, mengeluarkan bunyi menyayat.
Datuk Luluhung Begeg tersenyum manakala
melihat Prakoso Suryo. Senyum itu, adalah senyum
yang diliputi oleh segala macam misteri hingga Prakoso yang memandangnya
seketika mengernyitkan kening.
Setelah sejurus terdiam dengan senyum penuh misteri,
Datuk Luluhung Begeg bertanya:
"Ada gerangan apa hingga pihak Kabupaten
menyuruhmu datang menemuiku?"
"Maaf sebelumnya, Datuk. Pihak Kabupaten
mengutusku untuk menyampaikan sesuatu padamu,"
menjawab Prakoso Suryo, menjadikan sang Datuk me-
nyipitkan matanya.
"Tentang apakah?"
Prakoso Suryo tak segera langsung menjawab.
Matanya yang tajam seketika menyudut, memandang
sekeliling ruangan itu. Di situ ada tiga kamar, yang
masing-masing tertutup oleh kain dan pintu bilik. Ka-
mar pertama yang dilihat Prakoso Suryo tak ada kea-
nehan, sepertinya kamar itu kamar sang Datuk. Kamar
kedua, juga tidak ada keanehan. Namun ketika me-
mandang pada kamar ketiga, seketika mata Prakoso
Suryo membeliak. Di pintu kamar itu mengalir darah
merah. "Darah siapakah, itu?" berkata Prakoso Suryo
dalam hati. Mata Prakoso Suryo lekat memandang rembe-
san darah yang sedikit demi sedikit mengering terkena
udara. Melihat hal itu, cepat-cepat sang Datuk yang
mengetahui apa gerangan yang menjadi perhatian ke-
tua prajurit Kabupaten itu segera berkata.
"Maaf, tadi itu adalah darah seekor kambing
yang baru saja saya potong. Tadinya saya mengira
yang datang bukan tuan-tuan sekalian hingga dengan
gugup saya yang menyangka kalau yang datang orang
jahat, tak sadar telah menumpahkan darah itu ketika
saya hendak membawanya ke dapur."
"Ah...." melenguh Prakoso Suryo demi menden-
gar penuturan Datuk Luluhung Begeg. Namun sebagai
orang yang pernah menimba ilmu, sekaligus sebagai
prajurit Prakoso Suryo kembangkan senyum seper-
tinya mengiyakan ucapan Datuk Luluhung Begeg.
"Ooh... kalau begitu kedatanganku ke mari telah
mengganggumu, Datuk?"
"Ah, tak mengapa," menjawab Datuk Luluhung
Begeg dengan senyum mengulas bibir, sepertinya te-
nang demi mendengar jawab Prakoso Suryo. "Bahkan
aku merasa senang dengan kedatangan tuan ke gubug
saya ini."
Mata Prakoso Suryo masih lekat menyudut
memandang pada darah yang makin lama makin men-
galir deras dan mengering.
"Hem, aku kira itu bukan darah binatang.
Baunya sangat menusuk hidung, amis, jelas itu darah
manusia," bergumam Prakoso Suryo dalam hati. Tanpa diduga sebelumnya oleh Datuk
Luluhung Begeg, tiba-tiba Prakoso Suryo berseru pada para prajuritnya. "Geledah
rumah ini. Cepat...!"
Dengan segera kesepuluh prajurit Kabupaten
itu berkelebat masuk dan menggeledah setiap kamar.
Mereka seketika berseru, mana kala mereka membuka
kamar yang ketiga. "Korban...!"
Datuk Luluhung Begeg seketika itu bermaksud
melarikan diri, manakala dengan segera Prakoso Suryo
berkelebat menghadangnya. Sang Datuk tersentak
mundur, memandang dengan mata tajam seperti me-
naruh kebencian.
"Mau lari ke mana, Datuk Iblis!" membentak
Prakoso Suryo. Mata Prakoso Suryo nampak melotot marah,
memandang pandangan sang Datuk. Napas sang Da-
tuk nampak memburu, sehingga terdengar lenguhan-
nya yang besar.
"Jangan harap kalian akan mudah menang-
kapku, Prajurit!" membentak Datuk Luluhung Begeg.
"Kalian boleh berbuat sesuka kalian, namun kalian tak akan mampu untuk
memaksaku."
"Hem, begitu" Baiklah, aku sendiri yang akan
melakukannya. Bersiaplan, Datuk Iblis!" menggeram Prakoso Suryo. Bersamaan
dengan itu, tubuh Prakoso
Suryo berkelebat merangsek Datuk Luluhung Begeg.
Mendapat serangan begitu cepatnya, segera Datuk Lu-
luhung Begeg tanpa sungkan-sungkan memapaki. Per-
tarungan pun tak dapat dihindarkan. Antara Prakoso
Suryo yang hendak menangkap sang Datuk, melawan
Datuk Luluhung Begeg yang tak mau ditangkap begitu
saja. Pertarungan itu begitu seru, masing-masing
dengan segala kepandaiannya berusaha menjatuhkan
lawan. Prakoso Suryo yang telah menjabat selaku ke-
tua prajurit Kabupaten, bukanlah orang sembarangan.
Walau ia masih muda usia, namun tingkat ilmunya
dapat disejajarkan dengan para tokoh persilatan. Apa-
lagi dia merupakan murid dari Kyai Glagah Putih, seo-
rang Kyai yang sangat kondang namanya. Pantaslah
kalau sejak ketua prajurit dipegang oleh Prakoso
Suryo. Kadipaten tampak agak tenang dan tentram.
Kini Prakoso Suryo menghadapi seorang yang telah
membuat rakyat Kabupaten resah, yaitu seorang Da-
tuk berilmu hitam yang sakti.
Sekuat apa pun Prakoso Suryo, namun meng-
hadapi Datuk Luluhung Begeg yang telah sekian lama
malang melintang di dunia persilatan sangatlah tak be-
rarti apa-apa. Setiap serangan yang dilancarkan oleh
Prakoso Suryo, tak menjadikan hasil. Bahkan sering
kali dia sendiri yang terkena sambaran tangan dan ka-
ki si Datuk yang keras dan cepat.
Tubuh Prakoso Suryo terpental, manakala un-
tuk yang kedua kalinya kaki sang Datuk menghantam
telak di lambungnya. Wajah Prakoso Suryo memucat,
mulutnya meringis menahan sakit. Nafasnya menden-
gus dengan mata melotot, tak percaya pada apa yang
telah terjadi. Dirinya yang merupakan murid paling
tertua dari perguruan Glagah Putih, ternyata dengan
mudah dapat dibuat kalang kabut oleh Datuk Lulu-
hung Begeg. Namun selaku pendekar yang perguruan-
nya telah ternama, Prakoso Suryo tak mau begitu saja
menerima kekalahan, bahkan dengan meningkatkan
serangan ia kembali mencoba merangsek Datuk Lulu-
hung Begeg "Rupanya kau tak mau segera membuka mata,
Anak muda!"
"Persetan dengan ucapanmu, Datuk Iblis. Hari
ini juga, aku hendak mengadu nyawa denganmu,"
menjawab Prakoso Suryo kesal, merasa sang Datuk
meremehkannya. "Prajurit, serang...!"
Para prajurit yang tadinya terdiam menonton,
seketika itu pula berkelebat menyerang Datuk Lulu-
hung Begeg. Sang Datuk segera kibaskan tangannya.
Dari kibasan tangan sang Datuk keluar angin besar,
menangkis serangan tombak dan pedang para prajurit.
Tersentak seketika para prajurit kaget, mendapatkan
senjata mereka tiba-tiba mental lepas dari tangan.
"Hua, ha, ha... Percuma saja kalian menge-
royokku. Panggil saja Bupatimu agar aku dengan sege-
ra mengelupas kulit batok kepalanya yang gundul."
bergelak-gelak sang Datuk mengejek, menjadikan ke-
sepuluh prajurit dan Prakoso Suryo menggeram ma-
rah. Dengan didahului geraman panjang, prajurit-
prajurit Kabupaten bersama pimpinannya kembali me-
rangsek. "Rupanya kalian memang bandel. Baiklah, aku
akan memberikan pada kalian hadiah. Tunjukkan ha-
diah dariku pada Kanjeng Bupati."
Habis berkata begitu, Datuk Luluhung Begeg
segera bergerak memapaki serangan kesepuluh praju-
rit Kabupaten. Tangannya bergerak cepat. Dan...! Tan-
pa dapat dielakkan oleh para prajurit, tangan Datuk
Luluhung Begeg yang bergerak cepat itu menjambak
kepala salah seorang prajurit. Seketika puntunglah te-
linga prajurit yang tersambar, berbareng dengan pe-
kikkannya yang menyayat menahan sakit yang bukan
alang kepalang. Darah dari telinga yang puntung, seke-
tika menyembur.
Tak dapat dibayangkan betapa gusar dan ma-
rahnya Prakoso Suryo demi melihat prajuritnya yang
telinganya puntung. Maka dengan didahului bentakan,
Prakoso Suryo kembali menyerang.
Tertawalah bergelak-gelak Datuk Luluhung Be-
geg, melihat keberanian Prakoso Suryo. Baru sekali ini ada anak muda yang berani
menghadapinya, padahal
sudah sepuluh tahun kemunculannya di dunia persila-
tan tak seorang pun yang berani menentangnya apala-
gi melawan. Tapi kini, murid Gelagah Putih telah bera-


Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ni menghadapinya.
"Merad kau! Jangankan dirimu, gurumu juga
tak akan mampu menghadapi aku, Anak muda!" mem-
bentak Datuk Luluhung Begeg sembari kibaskan tan-
gannya. Dari tiupan lengan baju yang berupa jubah,
membersit keluar angin menderu. Angin itu, disertai
dengan bau yang sangat menyesakkan pernapasan.
"Ah...." melenguh Prakoso Suryo, manakala merasakan adanya kelainan dalam
pernafasannya. Na-
fasnya begitu berat, tersengal sesak. "Bahaya! Sungguh bahaya kalau begini,"
mengeluh hati Prakoso Suryo sembari melompat mundur.
"Sudah aku katakan, kau belum apa-apa
menghadapiku. Gurumu saja, mungkin tak akan bera-
ni kurang ajar padaku."
"Jangan sombong, Datuk Iblis! Aku Prakoso
Suryo, tak akan gentar padamu. Ayo kita lanjutkan,"
menggeretak marah Prakoso Suryo, menjadikan sang
Datuk tertawa bergelak-gelak.
"Anak bandel! Rupanya kau harus diajar adat!"
bentak sang Datuk. "Baiklah, aku layani apa yang
menjadi maumu. Ayo kita lanjutkan."
"Hem.... Aji Seriti Wangi. Hiat...!" dengan ajian Seriti Wangi, yaitu ajian
penangkal yang ditujukan untuk menangkal ajian yang dikeluarkan oleh Datuk Lu-
luhung Begeg, Prakoso Suryo kembali menyerang.
Datuk Luluhung Begeg yang telah tahu apa
yang digunakan oleh anak muda murid Glagah Putih,
tersentak melompat mundur. Bibirnya yang terse-
nyum, seketika mengkerut.
"Hem, ternyata anak muda itu telah mengeta-
hui kalau aku menggunakan ajian Serbuk Mayat,"
membatin Datuk Luluhung Begeg.
"Tak aku sangka, kalau Kyai Basofi telah mam-
pu menciptakan ajian tandingan. Aku harus hati-hati."
"Kenapa kau terdiam, Datuk Iblis! Rupanya kau
kaget kalau aku telah tahu ilmu macam apa yang kau
gunakan," berkata Prakoso Suryo dengan sinis, menjadikan sang Datuk memberengut
sengit. "Jangan bangga dulu, Anak muda. Kalau gu-
rumu si Basofi telah mampu memecahkan ajianku
Serbuk Mayat, namun ia belum tahu kalau aku mem-
punyai, ini...."
Terbelalak mata Prakoso Suryo, manakala me-
lihat apa yang terjadi di depan matanya. Tangan Datuk
Luluhung Begeg, seketika berwarna biru memancar.
"Ilmu iblis!" memekik Prakoso Suryo kaget.
"Aku peringatkan padamu, kembalilah dan
panggil gurumu si Basofi ke mari."
"Sombong kau, Datuk Iblis. Jangan kira aku
takut menghadapi dirimu. Hiat...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Prakoso
Suryo segera berkelebat menyerang.
Melihat Prakoso Suryo menyerang, maka den-
gan segera sang Datuk pun tak ambil diam. Dengan
ajian Lumas Nyawa tingkat ketiga sang Datuk mema-
pakinya. "Hati-hati, Anak muda. Lengah sedikit saja, me-
layanglah nyawamu. Hiat...."
Larikan sinar biru seketika berkelebat menye-
rang Prakoso Suryo, yang dengan segera lemparkan
tubuh ke samping. Larikan sinar itu melesat beberapa
mili di sampingnya. Hal itu menjadikan baju yang di-
kenakannya seketika terbakar, dan kulit tubuhnya te-
rasa perih. Mata Prakoso Suryo melotot, kaget bercam-
pur tak percaya. Kini Prakoso Suryo menyadari siapa
adanya sang Datuk, yang ternyata berilmu jauh di
atasnya. Namun begitu, nyalinya sebagai seorang pra-
jurit tak menjadikan dirinya takut. Maka dengan lan-
tang Prakoso Suryo membentak, langsung menyerang.
"Jangan bangga dulu, Datuk Iblis! Terimalah
ini. Hiat...!"
"Rewel kau, Anak muda. Keluarkan segala ilmu
yang engkau miliki, aku Datuk Luluhung Begeg tak
akan mundur."
Prakoso Suryo yang telah dikuasi oleh amarah,
dengan segera hantamkan ajian Glagah Wulung ke tu-
buh Datuk Luluhung Begeg. Datuk Luluhung Begeg
bagaikan tak mengerti, diam di tempatnya hingga keti-
ka ajian yang dilontarkan Prakoso Suryo menghantam
tubuhnya sang Datuk tak dapat mengelakkannya. Pra-
koso Suryo terbelalak, melompat mundur dengan dis-
ertai pekikan tertahan. "Aah...."
Tubuh Datuk Luluhung Begeg yang terhantam
ajian Glagah Wulung tampak masih tegak berdiri, tak
ada luka apalagi remuk tulang-tulangnya. Senyumnya
mengembang sinis, melangkah berjalan menghampiri
Prakoso Suryo. "Sudah aku katakan padamu, bahwa kau tak
akan mampu menghadapiku. Minggatlah kau dari sini,
aku telah muak melihat tampang-tampang kalian!"
Bersamaan dengan membentak, tangan Datuk
Luluhung Begeg bergerak cepat. Tangan itu bagaikan
karet, memegang dan mengangkat tubuh Prakoso
Suryo lalu dilemparkannya keluar rumah. Tubuh Pra-
koso Suryo, mencelat melalui jendela keluar.
Terjengah Prakoso Suryo dengan tulang tubuh
terasa sakit semua. Ketika ia masih terjengah diam,
terdengar kembali suara sang Datuk berkata nadanya
mengusir. "Cepat kalian pergi sebelum kesabaranku ha-
bis! Kalau tidak, jangan salahkan kalau aku berbuat
pada kalian begini...!"
Sang Datuk hantamkan sebuah pukulan jarak
jauh pada bebatuan di belakang Prakoso Suryo yang
tergeletak. Seketika itu, batu-batuan berhamburan
menjadi debu hancur....
Tanpa pikir panjang, kesepuluh prajurit segera
menggotong tubuh pimpinannya pergi dari situ. Sang
Datuk tersenyum sinis mengikuti kepergian kesepuluh
prajurit Kabupaten, lalu dengan segera sang Datuk
kembali masuk ke dalam rumah.
*** 2 Marah dan gusar Bupati Kencana Wungu,
mendapatkan kenyataan adik seperguruannya sekali-
gus pimpinan prajurit di Kabupaten yang ia pimpin lu-
ka dalam. Sebenarnya bukan karena faktor itu sang
Bupati gusar, tetapi karena ia merasa malu pada ra-
kyatnya yang mengharapkan penyelesaian atas teror
Datuk Luluhung Begeg. Namun ternyata adiknya tak
mampu, malah hampir saja nyawanya terenggut kalau
saja sang Datuk tak ada rasa sesuatu pada perguruan
Glagah Putih. "Siapakah sebenarnya Datuk Luluhung Begeg?"
tanya Kencana Wungu pada dirinya. "Kenapa ia begitu masih menaruh hormat pada
perguruan Glagah Putih,
yaitu perguruanku?"
Kencana Wungu masih tercenung diam, memi-
kirkan semua yang seperti teka-teki. Apa sebenarnya
yang dikehendaki oleh Datuk Luluhung Begeg" Dan
mengapa ia begitu saja membiarkan adik sepergu-
ruannya hidup-hidup" Itulah pertanyaan-pertanyaan
yang sedang memenuhi pikirannya. Pikiran seorang
Bupati, yang bertanggung jawab atas ketentraman ra-
kyatnya. Sepihak itu pula, ia begitu tak mengerti den-
gan kenyataan sang Datuk Luluhung Begeg. Kedatan-
gannya sangat tiba-tiba, tahu-tahu telah menetap da-
lam wilayah kekuasaannya.
"Akan aku tanyakan semua keanehan ini pada
guru," kata hati Kencana Wungu.
Dengan agak lesu karena pikirannya dihanyuti
berbagai macam masalah, Bupati Kencana Wungu me-
langkah menuju ke tempat di mana adik seperguruan-
nya tergeletak sakit. Ya, Prakoso Suryo rupanya men-
galami luka dalam yang tidak dapat dianggap enteng.
Terbukti tidak biasanya Prakoso Suryo terbaring den-
gan lesu. Biasanya Prakoso Suryo yang terkenal den-
gan keberanian dan kenakalannya manakala di pergu-
ruan tak akan mau bertele-tele, atau mengeluh sakit.
Namun kini, sepertinya ia benar-benar tak mampu lagi
untuk melakukan apa pun.
"Kakang, aku meminta maaf karena aku tak
mampu memenuhi segala permintaan rakyat. Aku ka-
lah, Kakang," mengeluh Prakoso Suryo, menjadikan
Kencana Wungu trenyuh hatinya. Jarang seorang per-
wira prajurit mau memikirkan satu persatu rakyatnya,
namun adiknya betapa besar perhatiannya pada ra-
kyat. Di wajah Prakoso Suryo, jelas tergambar rasa
sesal. Hal itu menjadikan Kencana Wungu makin iba,
lalu dengan perlahan digenggamnya tangan adik se-
perguruannya. Dan dengan lembut, dibisikkannya ka-
ta-kata sebagai penghibur di telinga Prakoso Suryo.
"Sudahlah, Dinda, tak usah kau pikirkan. Aku
rasa, Datuk Luluhung Begeg bukan memang bukan
tandingan kita."
"Kita tak boleh putus asa, Kakang." "Aku tak berkata begitu, Dinda." menjawab
Kencana Wungu sembari gelengkan kepala. "Tapi nampaknya memang
dia bukan tandingan kita."
"Ah...." melenguh Prakoso Suryo demi menden-
gar ucapan kakak seperguruannya, sehingga Kencana
Wungu pun seketika itu menatap tajam padanya.
"Apakah kakang mau mengingkari ikrar perguruan?"
"Ooh, jangan kau salah sangka, Dinda."
"Tapi mengapa kakang sepertinya takut meng-
hadapinya" Aku lebih baik mati daripada harus mem-
biarkannya hidup-hidup dan menteror rakyat," berkata Prakoso Suryo dengan
menggebu. "Sayang, aku tengah terluka."
"Itulah maksud kakang sebenarnya, Dinda.
Bukannya kakang takut, namun percuma usaha kita
bila hanya menghadapi kekalahan serta kenyataan pa-
hit. Kita telah tahu ilmunya yang tak sebanding den-
gan ilmu yang kita miliki, kenapa kita mesti nekad"
Orang nekad itu tidak baik, bahkan dibenci oleh Yang
Maha Kuasa. Masihkah kau ingat petuah guru, mana-
kala kita habis sholat Subuh?"
Terdiam Prakoso Suryo mendengar pertanyaan
kakak seperguruannya, yang mengingatkan kembali
dirinya pada sang guru di perguruan Glagah Putih.
Mata Prakoso Suryo berkaca-kaca hampir menangis,
memandang pada kakak seperguruannya seraya men-
gangguk mengiyakan.
"Coba kau katakan, Dinda?"
Dengan terlebih dahulu menarik napas panjang
Prakoso Suryo bercerita tentang apa yang telah mereka
alami pada waktu masih dalam perguruan Glagah Pu-
tih. "Guru mengatakan, bahwa orang hidup me-
mang perlu tolong menolong. Gunakan ilmu yang kita
miliki untuk menolong orang yang lemah, tapi jangan-
lah kita memaksakan pertolongan kita bila kita sendiri tak mampu.... Sebab,
semuanya akan sia-sia. Di samping memaksakan kehendak tak baik, juga akan bera-
kibat fatal bagi diri kita. Tuhan juga tidak menyukai
pada orang-orang yang nekad, yang sebenarnya telah
dipengaruhi oleh Iblis."
Kencana Wungu tersenyum mendengar ucapan
adik seperguruannya, makin erat ia menggenggam
tangan adik seperguruannya. Sepertinya Kencana
Wungu ingin membuktikan, bahwa dia sangat mem-
perhatikan adik seperguruannya yang telah dianggap
sebagai adik sendiri.
"Ternyata kau masih mengingatnya, Dinda,"
berkata Kencana Wungu masih tersenyum di bibirnya.
"Jadi jelasnya, kita tak boleh nekad menghadapi semuanya. Kita harus berpikir
bagaimana cara yang ter-
baik, agar kita tidak merugikan salah satu pihak. Ya
pihak kita, maupun pihak orang lain."
Kedua kakak beradik itu akhirnya saling se-
nyum, sepertinya mereka ingin mengulang masa-masa
kecil mereka. Masa di mana keduanya dalam asuhan
seorang guru yang bijaksana, Kyai Basofi guru besar
perguruan Glagah Putih.
"Maafkan dinda, Kakang."
"Tak ada yang salah, Dinda," menjawab Kenca-
na Wungu. "Aku menyadari siapa adanya kau, adikku yang nakal dan keras kepala.
Seorang Panggulu perguruan Glagah Putih yang tak mau mengalah pada mu-
suh-musuh, walau mungkin nyawa sebagai taruhan-
nya." Mendengar ucapan Kencana Wungu, seketika
tertawalah Prakoso Suryo. Ia bangga mempunyai seo-
rang kakak seperguruan yang mengerti akan pera-
saannya, pemberi nasehat yang baik yang menjadikan
diririya selalu berjalan di jalan yang tepat. Mungkin
kalau tak ada Kencana Wungu, jadilah Prakoso seo-
rang pendekar yang keras pantang mau mengalah wa-
lau itu untuk kebaikan. Melihat adik seperguruannya
tertawa, seketika itu pula Kencana Wungu pun turut
tertawa bergelak-gelak setelah sesaat menyipitkan ma-
ta. "Lalu apa yang harus kita lakukan, Kakang?"
tanya Prakoso Suryo setelah sekian lama terhanyut
pada nostalgia kecilnya manakala mereka masih di
perguruan. "Apakah kita akan membiarkan iblis merajalela, Kakang?"
"Tidak, Dinda. Kita tak akan membiarkan Da-
tuk Luluhung Begeg merajalela," menjawab Kencana
Wungu. "Tapi untuk melakukan penangkapan kita per-lu meminta petunjuk pada guru,
bagaimana caranya.
Kakang juga ingin sekali menanyakan siapa sebenar-
nya Datuk Luluhung Begeg pada guru, mungkin guru
akan mampu memberikan gambarannya sekaligus
membantu kita."
"Kapan kakang pergi ke Glagah Putih?"


Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setelah kau sembuh, Dinda."
"Ah...." melenguh Prakoso mendengar jawaban
kakak seperguruannya, yang menjadikan Kencana
Wungu menyipitkan mata dan bertanya tak mengerti.
"Kenapa, Dinda?"
"Terlalu lama, Kakang," menjawab Prakoso,
menjadikan Kencana Wungu makin tak mengerti den-
gan ucapan adik seperguruannya.
"Maksudmu, Dinda...?" Mengerut kening Ken-
cana Wungu. "Terlalu lama jika kakang menunggu kesehatan
ku. Hal itu akan menjadikan korban makin banyak
berjatuhan. Berangkatlah kakang segera, biarlah aku
mampu mengurus diriku sendiri."
"Ah, tidak, Dinda. Sengaja aku menunggumu
sampai sembuh agar kita bisa sama-sama silaturahmi
pada guru."
"Kalau memang begitu, marilah kita sekarang
juga ke sana."
Terbelalak mata Kencana Wungu mendengar
ucapan adiknya, sampai-sampai matanya melotot.
Melihat Kencana Wungu melotot kaget, Prakoso
Suryo kembali berkata seraya mengerutkan keningnya.
"Kenapa, Kakang?"
"Apakah kau tidak tengah bercanda?"
"Tidak, Kakang. Aku serius"
"Dinda.... Kau sedang sakit, mana mungkin kau
melakukan perjalanan yang cukup jauh?"
Mendengar ucapan Kencana Wungu yang na-
danya khawatir, Prakoso Suryo lebarkan senyum. Ma-
tanya memandang pada Kencana Wungu, yang seketi-
ka itu juga turut tersenyum sembari gelengkan kepa-
lanya. "Kakang meragukan kemampuanku?"
"Ah, bukan begitu, Dinda. Aku hanya khawatir
nanti sakitmu malah makin parah," menjawab Kenca-
na Wungu. "Aku sudah sembuh, Kakang."
Terbelalak mata Kencana Wungu kembali men-
dengar jawaban adik seperguruannya yang menge-
jutkan. Bagaimana mungkin orang yang sakit menga-
takan telah sehat" Kencana Wungu masih tak mau
percaya dengan omongan adik seperguruannya yang
dianggap bercanda. Maka Kencana Wungu pun kemba-
li berkata. "Rupanya kau masih suka ngebanyol seperti
dulu, Dinda."
"Aku serius, Kanda. Lihatlah...."
Serta merta Prakoso Suryo loncatkan tubuh,
berdiri dengan sempurna di hadapan kakak sepergu-
ruannya Kencana Wungu hingga Kencana Wungu se-
ketika itu pula membelalakkan mata seraya meman-
dang tak percaya.
"Apakah kakang masih meragukan?"
"Aku jadi tidak mengerti, Dinda."
"Maksudmu, Kakang?" tanya Prakoso terse-
nyum-senyum. "Kapan kau sembuh" Sungguhkah ini sebuah
keajaiban, Dinda?"
Prakoso gelengkan kepala....
"Ini bukan keajaiban, Kakang."
"Aku jadi tidak mengerti dan makin tidak men-
gerti saja," bergumam Kencana Wungu, sepertinya ia bergumam pada diri sendiri.
Matanya memandang dari
ujung rambut ke ujung kaki Prakoso, yang hanya me-
matung senyum-senyum. "Apakah kau hanya main-
main, Dinda?"
"Semalam ada orang yang menolongku," jawab
Prakoso. "Menolongmu...?"
"Ya.... Pemuda itu tiba-tiba datang dan meno-
longku menyembuhkan penyakitku. Pemuda itu juga
telah berjanji akan datang lagi. Ternyata pemuda itu
telah mengetahui apa yang telah menimpa Kabupaten
ini," menerangkan Prakoso Suryo, menjadikan Kenca-na Wungu hanya mampu diam
mendengarkan dengan
sekali-kali mendesah berat.
Kencana Wungu kembali berpikir dan diha-
dapkan pada kejadian yang telah terjadi. Belum juga
habis pikirannya tentang Datuk Luluhung Begeg, kini
pikirannya mengarah pada pemuda yang menolong
Prakoso. "Apakah tidak mungkin pemuda itu ada
sangkut pautnya dengan Datuk Luluhung Begeg" Ka-
lau ya, hubungan apakah" Apakah keduanya sama-
sama ingin merongrong Kabupaten dan menghendaki
aku tergeser" Kalau pemuda itu bukan bermaksud
demikian, lalu siapakah sebenarnya pemuda itu...?"
bertanya-tanya hati Kencana Wungu.
"Siapa nama pemuda itu, Dinda?"
"Entahlah, Kanda. Pemuda itu hanya berkata
bahwa dia hendak membantu Kadipaten menumpas
orang tersebut yang katanya juga telah membuat keti-
daktenteraman penduduk desa Mujung."
"Hem, semoga pemuda itu berbuat baik," meng-
gumam Kencana Wungu dengan tatapan mata kosong.
Segala macam pertanyaan dan ketidakmengertian be-
raduk menjadi satu. Tanggung jawab sebagai Bupati
tidak enteng, penuh dengan tantangan dan cobaan.
Baik dari dalam, maupun dari luar yang bermaksud
merongrong kewibawaannya. Di samping itu pula, ke-
tentraman rakyat harus dipikirkan. Ibarat sebuah ke-
wajiban, yang harus dipikul di atas pundaknya. Ten-
gah Kencana Wungu melamun memikirkan segala
keadaan daerah kekuasannya, tiba-tiba Prakoso Suryo
memecahkan lamunannya bertanya.
"Apakah kanda jadi ke Glagah Putih?"
"Tidak, Dinda. Kanda ingin melihat saja yang
sebenarnya bakal menimpa Kadipaten ini."
"Kanda sepertinya frustasi?"
Kencana Wungu lebarkan senyum seraya ge-
lengkan kepala.
Melihat hal itu, Prakoso Suryo turut tersenyum.
Kemudian dengan suara datar Prakoso Suryo kembali
bertanya. "Kenapa, Kanda?"
"Aku tidak frustasi, sebab frustasi adalah milik
setan yang sengaja digodakan pada manusia-manusia
lemah iman. Aku hanya ingin melihat kebenaran per-
tanyaan di hatiku," menjawab Kencana Wungu.
"Tentang apa itu, Kanda?"
"Tentang Datuk Luluhung Begeg dengan pemu-
da yang telah menolongmu."
Tertawa Prakoso demi mendengar jawaban ka-
kak seperguruannya yang dirasa lucu, menjadikan
Kencana Wungu kerutkan kening dengan mata me-
mandang tak berkedip sementara keningnya kembali
dikerutkan. "Hai, kenapa kau tertawa, Dinda" Apakah aku
ngomong lucu?"
Prakoso masih tertawa hingga matanya berli-
nang-linang. Setelah puas ketawa, Prakoso barulah
berkata. "Sangat lucu, Kanda."
"Heh, apanya yang sangat lucu?" tanya Kenca-
na Wungu makin tak mengerti saja akan apa yang di-
katakan adik seperguruannya.
"Kenapa kanda harus terlalu memusingkan
orang-orang itu" Sedangkan kanda tengah dalam ke-
susahan sendiri?"
"Ah.... Rupanya itu yang dinda ketawai. Hem,
apakah kita akan diam saja, manakala melihat orang
yang belum kita kenal betul datang-datang ke daerah
kita dan bermaksud menolong" Apakah tidak mungkin
pemuda itu juga temannya Datuk Luluhung Begeg
yang pura-pura menolong, sedangkan sebenarnya ia
juga hendak bermaksud jahat" Kita harus waspada da-
lam hal ini, Dinda. Apalagi kita selaku pengayom ra-
kyat, jangan sekali-kali mudah percaya pada hal-hal
yang belum benar-benar, kita kenali."
"Benar juga, Kanda." akhir Prakoso mengerti
juga. Prakoso seketika itu diam, merenungkan akan
apa yang seperti Kencana Wungu renungkan. Tentang
orang-orang yang datang secara tiba-tiba, yang telah
membuat sebuah tanda tanya. Kalaulah si Datuk Lu-
lubung Begeg, jelas ia telah tahu maksudnya yaitu in-
gin mengajak rakyat ke jaman kesesatan mengabdi se-
tan. Sedangkan pemuda yang menolongnya dan telah
memberitahu siapa adanya Datuk Luluhung Begeg pa-
danya, apakah benar-benar hendak membantu" Inilah
yang susah untuk dijawab, sebab kenyataannya belum
diketahui pasti. Bisa saja si pemuda memberikan in-
formasi, tapi sebenarnya agar ia sendiri dapat diyakini olehnya,
Kedua kakak beradik seperguruan yang kini
menjabat sebagai Bupati dan pimpinan prajurit, akhir-
nya terdiam. Diam bagaikan telah patah semangat, pa-
srah pada apa yang bakal terjadi. Keduanya tak tahu
apa yang nantinya terjadi melanda Kabupaten yang di-
pimpinnya. *** 3 Sejak kejadian sebulan yang lalu di mana Da-
tuk Luluhung Begeg mampu mengalahkan Prakoso
dan kesepuluh prajuritnya, makin menjadi-jadi tinda-
kan Luluhung Begeg. Kini ia bukannya meminta seca-
ra halus atau menculik bila tidak diberi, namun den-
gan terang-terangan ia mengambil paksa gadis yang
akan dijadikan korban dari para penduduk.
Malam itu ketika bulan purnama dua hari lagi
akan datang, Datuk Luluhung Begeg telah dengan
paksa meminta pada salah seorang penduduk untuk
menyerahkan anaknya menjadi wadal penguasa kera-
jaan Siluman sekutunya, yang bersemayam di puncak
Gunung Lanang. "Ki Jarot, apakah kau ingin keluargamu terke-
na bala?" tanya sang Datuk menakut-nakuti, menjadikan Ki Jarot gemetaran
mendengarnya. Ki Jarot telah
tahu siapa adanya Datuk Luluhung Begeg, yaitu seo-
rang datuk sakti. Bagaimana pula dengan penguasa
Gunung Lanang yang memerintahkannya, jelas lebih
sakti. Maka dengan suara terbata-bata karena takut Ki
Jarot berkata. "Ti-tidak, Datuk. Saya tidak mau mendapat
bala." "Nah, itu yang baik. Apakah hanya karena kau menghalangi nyawa anakmu
satu, kau korbankan seluruh keluargamu yang menerima murka penguasa
Gunung Lanang?"
"Apakah tak ada jalan lain, Datuk?" kembali Ki Jarot berkata. Matanya membelalak
redup karena takut, bibirnya gemetaran juga seluruh tubuhnya.
"Bodoh! Mana mungkin permintaan penguasa
Gunung Lanang dapat diganti" Beliau bukanlah sema-
cammu, Monyet jelek!" membentak marah Datuk Lu-
luhung Begeg, demi mendengar ucapan Ki Jarot. Hal
itu menjadikan Ki Jarot makin menggigil ketakutan.
Bentakan Datuk Luluhung Begeg, terdengar bagaikan
hentakan halilintar di musim penghujan, menggelegar.
"A-a-ampun, Datuk."
"Ampun-ampun. Mana anak gadismu, serahkan
padaku. Cepat!"
"I-i-iya," menjawab Ki Jarot dengan ketakutan setengah mati hingga tak terasa
lelaki tua itu terkencing-kencing di celana. Dan manakala ia berjalan, tak
ayal lagi bau sangit seketika menyumpet pernapasan
Datuk Luluhung Begeg yang seketika itu melototkan
mata. Walaupun telah melihat sendiri ketakutan Ki
Jarot begitu rupa sampai terkencing-kencing, namun
Datuk Luluhung Begeg tak mau perduli. Ia sendiri be-
tapa takut dan bingungnya bila harus tidak menda-
patkan darah gadis. Betapa dia akan mendapat murka
besar dari gurunya, bila semalam saja bulan purnama
ia tidak mendapatkan darah gadis. Di samping itu, ke-
saktiannya tak akan bertambah. Sebab dengan sekali
bulan purnama, sekali itu pula manakala Datuk Lulu-
hung Begeg menyampaikan persembahan kesaktian-
nya akan bertambah. Jadi semakin banyak ia berikan
darah gadis, makin bertambah pula kesaktiannya. Da-
tuk Luluhung Begeg masih ingat akan apa yang dika-
takan gurunya, manakala ia hendak kembali ke dunia
ramai setelah sepuluh tahun menjadi pengikut gu-
runya. "Ingat, Luluhung. Kau akan bertambah sakti bi-la setiap bulan purnama
mandi dan meminum darah
gadis. Nanti kalau telah seratus gadis yang telah kau
pakai darahnya untuk mandi dan minum, jadilah kau
seorang tokoh tak terkalahkan di jagad ini. Ilmumu
akan selangit, seluas samudra, sedalam bumi. Namun
perlu kau ketahui, ilmumu itu akan dapat terpecahkan
oleh manusia yang setengah siluman."
"Apa ada, Guru?"
"Ada, Luluhung. Manusia setengah siluman,
adalah manusia yang menjadi murid siluman. Atau si-
luman keturunan manusia, atau manusia yang menja-
di sahabat siluman. Ingat itu!"
Tengah Datuk Luluhung Begeg melamun, Ki
Jarot dari dalam keluar menghampiri dengan anak ga-
disnya yang tampak menangis.
"Datuk...." berkata Ki Jarot.
"Hem,"
"Ini anak hamba, Datuk."
"Masih perawan?" tanya Datuk Luluhung Begeg
ingin pasti. Ki Jarot menganggukkan kepalanya.
"Bagus Ki Jarot. Dengan kau mengorbankan
anak gadismu, maka keluargamu akan terhindari dari
bala." berkata Datuk Luluhung Begeg dengan senyumnya. "Ayo, Manis, ikut
denganku."


Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak! Aku lebih baik mati daripada ikut den-
ganmu, Iblis!" membentak si gadis. Tangannya berontak, digigitnya tangan Datuk
Luluhung Begeg yang se-
ketika itu menjerit kibaskan tangan. Tak ayal lagi,
mentallah tubuh si gadis terpelanting jatuh ke tanah.
"Bunuh saja aku, iblis! Bunuh...." gadis itu menjerit histeris. Namun bagaikan
tak mendengar, Datuk Luluhung Begeg hanya pelototkan mata sembari
menyeringai. Dengan keras disentakkan tubuh si gadis
berdiri dengan kasarnya, sehingga tubuh si gadis seke-
tika itu pula bangkit dari duduknya.
Gadis itu terus berontak, meronta-ronta mana-
kala telah berada dalam bopongan Datuk Luluhung
Begeg. Namun rontaannya tak berarti apa-apa, sebab
tenaga Luluhung Begeg lebih besar dan kuat. Tapi ga-
dis itu rupanya tak mau mengalah begitu saja, ia lebih baik mati saja daripada
dijadikan tumbal walaupun
akhirnya mati nantinya.
"Lepaskan aku! Lepaskan, Datuk Iblis!"
"Rewel! Kalau kau ngebandel, maka aku akan
membeset tubuhmu!" menggeretak Datuk Luluhung
Begeg mencoba menakut-nakuti. Namun gadis yang te-
lah nekad itu bukannya menjadi takut, bahkan seba-
liknya dengan lantang gadis itu menantang.
"Lebih baik aku kau kuliti daripada harus men-
jadi tumbal ilmumu yang gila itu! Ayo lakukan, Datuk
Iblis!" "Suwe...!"
"Tok, tok, tok."
Terdengar totokan tiga kali berturut-turut di
leher si gadis, yang menjadikan gadis itu terdiam tanpa banyak kata lagi. Hanya
matanya saja yang memandang benci pada Datuk Luluhung Begeg, yang tak per-
duli dan terus berlari pergi membawa tubuh gadis itu
meninggalkan rumah Ki Jarot. Ki Jarot dan istri serta
anak-anaknya yang lain hanya menangis, melepas ke-
pergian anak gadisnya yang akan menjadi tumbal.
"Kenapa mbakyu Srikanti dibiarkan saja,
Ayah?" tanya anak laki-laki Ki Jarot yang sudah besar, menjadikan Ki Jarot
seketika memandangnya dengan
trenyuh. Ki Jarot tak dapat berkata untuk menjawab,
hatinya pilu dan gundah serta sedih. Dengan berlinang
air mata, istri Ki Jarot akhirnya mengatakan pada sang anak. "Kita berdo'a saja
semoga arwah kakakmu diterima di sisi-Nya dengan bahagia, Amin."
Kelima keluarga itu akhirnya kembali masuk,
manakala sudah tak tampak lagi oleh mereka tubuh
Datuk Luluhung Begeg yang membawa tubuh Srikanti
pergi. * * * Apa yang ditunggu-tunggu oleh Kencana Wun-
gu tentang kedatangan pemuda itu, kini telah benar-
benar terpenuhi. Pemuda itu yang tak lain dari pada
Pendekar kita Pedang Siluman Darah, malam itu da-
tang mengunjungi Prakoso guna menilik kesehatan
Prakoso. "Sampurasun...." sapa Jaka Ndableg, manakala ia telah berdiri di depan pintu
rumah Prakoso Suryo.
Matanya memandang sekeliling, seperti liar.
"Rampes... Siapakah di luar?" terdengar jawaban dari dalam rumah Prakoso.
"Aku, Ki Sanak," jawab Jaka.
Tak lama kemudian seseorang lelaki yang ber-
nama Prakoso Suryo membukakan pintu. Seketika di
bibir Prakoso Suryo tergerai senyum, ketika dilihatnya siapa adanya pemuda yang
datang. Dari mulut Prakoso Suryo, seketika meloncat kata-kata seruan gembira.
"Ah, ternyata saudara datang juga. Mari, ma-
suk!" ajaknya.
"Terima kasih!"
Jaka segera masuk mengikuti langkah Prakoso
Suryo ke dalam rumah. Mata Jaka yang tajam, berke-
liaran memandang sekeliling ruangan itu, sepertinya
tengah mencari-cari sesuatu hingga mengundang
tanya Prakoso Suryo.
"Adakah sesuatu yang Ki Sanak cari di sini?"
"Ah, maaf. Sungguh aku ini telah berlaku ku-
rang sopan," melenguh Jaka kaget dan tersentak dari pandangannya. "Namaku yang
bodoh dan tak tahu ta-ta krama ini Jaka Ndableg!"
"Ah, jadi... kau..." kata Prakoso terbata-bata manakala tahu siapa adanya pemuda
yang bertamu ke
rumahnya, yang tak lain orang yang sering disebut-
sebut oleh gurunya Kyai Basofi.
"Kenapa, Ki Sanak" Sepertinya kau begitu ter-
kejut mendengar namaku," tanya Jaka tak mengerti, keningnya berkerut demi
dilihatnya Prakoso Suryo
membelalakkan mata kaget.
"Tak aku sangka, kalau aku dapat bertemu
muka dengan seorang pendekar yang namanya telah
menjadi sebutan di dunia persilatan. Terimalah salam
hormatku yang bodoh ini, yang telah merepotkan dan
menyepelekan dirimu."
"Ah, aku tak merasa kerepotan. Aku datang ke
mari juga atas permintaan seseorang."
"Permintaan seseorang...?" tanya Prakoso dengan nada kaget.
"Ya...." jawab Jaka pendek, menjadikan Prakoso Suryo kembali menyipitkan mata
dan mengerutkan
kening tak mengerti. Hatinya seketika bertanya-tanya,
siapa adanya orang yang telah menyuruh pendekar
yang namanya telah menjadi buah bibir orang-orang
persilatan"
"Kalaulah Datuk Iblis itu yang menyuruhnya,
sungguh petakalah dunia ini. Tapi tak mungkin, sebab
pendekar muda ini selalu berjalan pada garis kebena-
ran. Jadi siapakah yang telah menyuruhnya datang
menemui diriku?" gumam Prakoso Suryo dalam hati, menjadikannya diam mematung
dengan mata memandang tak berkedip ke arah Jaka. Jaka yang dipandang
begitu rupa, seketika bertanya.
"Kenapa Ki Sanak memandangku begitu?"
"Ah, ti... tidak. Maafkan kelakukanku. Aku ka-
get mendengar ucapanmu," jawab Prakoso sembari lebarkan senyum, sepertinya
hendak menyembunyikan
kekagetannya. Hal itu seketika mengundang perhatian
Jaka yang jeli, yang saat itu juga segera berkata kem-
bali. "Ketahuilah, bahwa aku datang ke mari atas permintaan seorang Kyai yang
menjadi guru besar di
Glagah Putih. Beliau meminta agar aku datang ke sini
untuk membantu Bupati Kencana Wungu yang sebe-
narnya anak murid beliau."
Terbelalak mata Prakoso mendengar penuturan
Jaka Ndableg, sehingga tanpa sadar ia membuka mu-
lutnya menganga. Matanya seketika berkaca-kaca,
manakala ingatannya kembali pada sang guru yang
sangat bijaksana. Belum juga Prakoso berbicara, Jaka
telah kembali berkata meneruskan.
"Menurut keterangan beliau, beliau mempunyai
dua orang murid yang tengah mengabdi pada Kabupa-
ten ini. Murid pertamanya bernama Kencana Wungu,
yang sekarang menjadi Bupati di sini. Sedang murid
keduanya bernama Prakoso Suryo, yang menjadi kepa-
la pasukan Kabupaten sini."
"Akulah orangnya, Saudara pendekar," kata
Prakoso Suryo yang tak mampu lagi membendung ge-
jolak di hatinya. Kerinduan akan kabar gurunyalah,
yang menjadikan Prakoso Suryo tak dapat lagi me-
nyembunyikan diri. Untung yang tengah bertamu ada-
lah Pendekar Pedang Siluman Darah yang bermaksud
baik. Kalaulah yang bertamu orang jahat dan bermak-
sud mencelakainya, niscaya akan celakalah Prakoso
Suryo. Tersentak Jaka Ndableg mendengar pengakuan
orang yang diketemuinya. Sampai-sampai mata Jaka
membeliak, mulutnya mendecak.
"Ah, sungguh-sungguh aku telah buta, sehing-
ga tak tahu kalau Ki Sanaklah orang yang aku tuju.
Kebetulan sekali, jadi aku tak perlu susah-susah men-
cari-cari dan bertanya-tanya."
Setelah keduanya saling kenal dan tukar cerita,
maka kedua orang yang baru bertemu itu seketika
akrab. Keduanya ngobrol tentang segala apa yang
menjadi tanggung jawab. Prakoso menceritakan apa
yang kini menjadi masalah yang tengah dihadapi oleh
kakaknya, juga dirinya. Sementara Jaka menceritakan
tentang pertemuannya dengan Kyai Basofi, yang lalu
meminta tolong padanya untuk membantu kedua mu-
ridnya. "Mari kita menemui Kakang Kencana Wungu.
Mungkin kakang Kencana Wungu pun. telah menanti
kedatangan saudara pendekar."
"Baiklah. Mari...." jawab Jaka.
Segera keduanya malam itu juga pergi menuju
ke rumah Bupati Kencana Wungu. Dengan setengah
berlari, kedua orang itu berkelebat menyibak malam
yang masih agak sore. Keduanya ingin segera dapat
menemui Kencana Wungu. Karena keduanya berjalan
dengan langkah-langkah yang panjang setengah berla-
ri, maka tak begitu lama kemudian keduanya pun te-
lah tiba di kediaman Kencana Wungu. Di depan ke-
diaman sang Bupati, nampak penjagaan yang sangat
ketat. Sepuluh orang prajurit, nampak siaga penuh
dengan senjata di tangan.
"Siapa kalian!" bentak salah seorang prajurit, manakala dilihatnya dua orang
berkelebat menuju ke
arah situ. Hal itu menjadikan prajurit-prajurit lainnya segera siaga, tangan
mereka menggenggam senjata
yang berupa golok dan tombak.
"Aku Sobri!" jawab dua orang yang ditanya.
"Ketua... Selamat malam!" menjura Subri, di-
ikuti oleh kesembilan prajurit lainnya. "Ada apa gerangan ketua datang malam-
malam ke mari?"
"Kanjeng Bupati masih terjaga?" tanya Prakoso.
"Hamba kira masih, Ketua," jawab Sobri semba-ri menepi yang diikuti oleh
kesembilan prajurit lainnya, memberi jalan pada ketua mereka yang berjalan
dengan seorang pemuda asing.
"Sampurasun.... Adakah kakang Kencana Wun-
gu masih terjaga?"
"Rampes, kaukah adikku?" tanya suara dari dalam. "Benar, Kanda. Dinda datang."
Dari dalam rumah tak lama kemudian keluar
seorang yang tak lain Kencana Wungu adanya. Bibir
Kencana Wungu seketika mengurai senyum, manakala
melihat adik seperguruannya. Namun seketika itu pula
Kencana Wungu mengerutkan keningnya, tatkala me-
lihat seorang pemuda bersama Prakoso dan seketika
itu pula Kencana Wungu menanyakannya pada Prako-
so siapa adanya pemuda itu.
"Siapakah gerangan pemuda di sampingmu,
Dinda?" "Pemuda inilah yang dulu Dinda ceritakan pada Kanda," jawab Prakoso.
"Ternyata pemuda ini sengaja diutus oleh guru untuk menemui kita dan sekaligus
menolong menyelesaikan kemelut yang tengah terjadi
di Kabupaten ini. Pemuda ini tak lain adalah Pendekar
Pedang Siluman Darah atau Jaka Ndableg!"
"Apa...?" tersentak Kencana Wungu setelah ta-hu siapa adanya pemuda di samping
adik sepergu- ruannya. Bukan saja Kencana Wungu yang kaget men-
getahui pemuda bertampang bloon itu seorang pende-
kar yang namanya tengah menjadi buah bibir orang-
orang persilatan. Kesepuluh prajurit jaga itu pun, se-
ketika melototkan mata kaget. Mereka memang telah
mendengar seliweran tentang adanya seorang pende-
kar muda bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah.
Namun melihat tampang orangnya, mereka baru kali
ini. Tadinya mereka menyangka kalaulah pendekar
muda itu bertampang menyeramkan. Tapi nyatanya,
pendekar muda itu berwajah kekanak-kanakan dan
agak sedikit konyol.
"Ah, sungguh aku ini terlalu rabun, sehingga
tak mampu mengetahui siapa adanya tuan pendekar.
Maafkan ketololan saya," lanjut Kencana Wungu se-
raya menjura hormat, menjadikan Jaka seketika itu
tersentak mendapatkan penghormatan yang tak dis-
angka-sangka hingga seketika itu pula Jaka menja-
wabnya. "Ah, kenapa mesti Kanjeng Bupati yang meng-
hormat padaku" Bukankah hal ini terbalik" Seharus-
nyalah aku yang menyampaikan hormat, karena aku
orang yang berada di bawahmu!"
"Tidak, Tuan Pendekar. Kita sebagai manusia
samalah artinya di mata Yang Maha Esa. Hanya saja
garis hidup kita saja yang berbeda-beda di dunia ini."
"Ooh, sungguh aku yang bodoh ini memang be-
nar-benar bodoh, hingga tak mengerti semuanya. Te-
rima kasih atas segala petunjuk yang Kanjeng Bupati
berikan padaku, terima kasih," Jaka segera menjura hormat. "Ayo masuk.... Kenapa
mesti di luar?" ajak Kencana Wungu.
Segera ketiganya pun masuk ke dalam. Keti-
ganya duduk di atas permadani yang menghampar di
ruang tamu itu. Dari dalam tiga orang dayang-dayang
ke luar membawakan mereka makanan dan tiga guci
air minum. "Maaf, Kami tidak memiliki arak," kata Kencana Wungu, yang, menyangka kalaulah
Jaka suka arak.
Mendengar ucapan Kencana Wungu segera Jaka me-
nimpali, berkata:
"Ah, aku pun tak suka itu, Kanjeng. Walaupun
aku tak pernah sholat, namun aku sebisanya untuk
selalu mendekatkan diri dengan Gusti Allah."
Tersenyum Kencana Wungu dan Prakoso men-
dengar penuturan Jaka. Keduanya mengangguk-
anggukkan kepala. Tak berapa lama kemudian, keti-
ganya pun terlibat pembicaraan. Sesekali diselingi
dengan gelak tawa kedua kakak beradik seperguruan,
manakala mendengar ucapan Jaka yang nadanya lucu.
Malam itu, Jaka pun menginap di kedi aman
Bupati untuk esok pagi bersama-sama prajurit meng-
hentikan sepak terjang Datuk Luluhung Begeg yang te-
lah membuat keonaran dan kepanikan rakyat Kadipa-
ten Kencana Sari.
***

Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

4 Dupa dengan bara api yang membara, menge-
pulkan asap yang membumbung tinggi bergulung-
gulung. Di depannya terpampar sebuah meja panjang
yang cukup untuk membaringkan sesosok tubuh. Ya,
memang saat itu tampak sesosok tubuh tengah terbar-
ing di atas meja yang terbuat dari batu pipih hitam.
Yang terbaring itu adalah seorang gadis yang meronta-
ronta, dengan tangan dan kaki diikat seutas tali.
Mata gadis itu lembab seperti habis menangis,
dan memang gadis itu kini pun masih menangis. Wa-
lau suaranya tak keluar dari mulutnya, namun ma-
tanya yang melelehkan air bening itu jelas menggam-
barkan bahwa ia menangis.
Di dalam ruangan itu ia tergeletak sendirian,
tak ada orang lain, tak ada siapa-siapa. Sebenarnya
gadis itu ingin berontak, namun karena tangan dan
kakinya diikat kencang gadis itu tak mampu melaku-
kannya. Gadis itu adalah korban yang akan dipersem-
bahkan untuk penguasa Gunung Lanang. Sudah men-
jadi adat kebiasaan daerah kalau setiap bulan purna-
ma mereka melakukan korban bagi penguasa wilayah
itu. Menurut kepercayaan mereka, bila mereka tak
mengorbankan sekali dalam seedaran Bulan Purnama
maka petaka akan menimpa wilayah mereka.
Seluruh rakyat Kadipaten Kencana Wungu ti-
dak menyadari bahwa semua adalah taktik Datuk Lu-
luhung Begeg saja, yang sebenarnya untuk menakut-
nakuti mereka. Sedangkan korban itu, sebenarnya
korban untuk pemuas Iblisnya guna menambah ilmu
yang ia miliki.
"Ayah, ibu... Kenapa aku kau biarkan begini.
Hu, hu, hu...." Gadis itu menangis. Wajahnya tergambar ketakutan yang teramat
sangat. Bau anyir darah,
menjadikannya makin bertambah takut saja. Bayan-
gan yang tergambar dalam benaknya, tak lain dari
orang-orang yang telah menjadi korban.
Gadis itu adalah anak Ki Jarot yang bernama
Srikanti, yang telah diminta paksa oleh Datuk Lulu-
hung Begeg dari Ki Jarot. Walau Ki Jarot tak merela-
kannya, hal itu tak menjadi masalah bagi Datuk Iblis
itu. Srikanti mencoba berontak, namun sekali lagi
ia tak mampu melakukannya sebab tangan dan ka-
kinya diikat keras-keras. Ingin rasanya ia menjerit,
namun urat leher bicaranya telah ditotok menjadikan
ia tak mampu berkata-kata apalagi menjerit. Jadilah
Srikanti bisu, yang hanya mampu melenguh dan me-
nangis serta mengumpat-umpat dalam hati.
Tengah Srikanti menangis, terdengar pintu di-
buka dari luar.
"Kreket,"
Seorang lelaki bermuka menyeramkan dengan
kerudung hitam penutup kepala serta jubah hitam
menghampiri Srikanti yang seketika melotot marah.
Lelaki berpakaian serba hitam itu, tak lain Datuk Lu-
luhung Begeg adanya. Luluhung Begeg tersenyum pa-
da Srikanti, lalu dengan suara berat berkata yang
mendirikan bulu kuduk gadis muda itu.
"Hua, ha, ha... Tenang, Anak manis, sebentar
lagi kala malam telah agak larut kau akan menjadi
korban. Darahmu akan menjadikan diriku sakti man-
dra guna. Kelak bila telah mencapai seratus darah se-
macammu, jadilah aku seorang Datuk Sesat yang pal-
ing sakti di antara para tokoh persilatan. Akulah yang kelak mengatur segala apa
yang ada di jagad ini. Hua,
ha, ha..."
Srikanti yang tak dapat berkata-kata hanya
mampu melotot, dan dengan berani tanpa diduga oleh
Datuk Luluhung Begeg Srikanti meludahi muka sang
Datuk. Hal itu membuat marah sang Datuk bukan
alang kepalang, yang seketika itu mencengkeram leher
si gadis. "Aku bunuh, Kau anak edan!"
Tangan sang Datuk lekat di leher Srikanti hen-
dak mencekik. Srikanti tersenyum, sepertinya siap un-
tuk dicekik. Seketika sang Datuk tersentak, manakala
ia ingat akan apa yang terjadi bila gadis itu mati sebelum bulan purnama.
Padahal bulan purnama tinggal
beberapa jam saja. Kalau gadis itu mati, maka tak
akan dapat lagi Datuk Luluhung Begeg menambah ke-
saktiannya. "Bodoh benar aku ini. Sungguh bodoh bila aku
melayani anak gila ini. Kalau sampai aku jadi membu-
nuhnya sebelum bulan purnama, tak ada lagi kesem-
patan. Hem, Anak edan! Hampir saja aku terbawa kegi-
laannya," menggerutu Datuk Luluhung Begeg, mem-
buat Srikanti lebarkan senyum sinis. Sang Datuk tak
mau ambil resiko, segera berkelebat pergi tinggalkan si gadis yang kembali
tercenung dalam diam.
"Oh, Tuhan, apakah benar-benar aku ini akan
menjadi korban Iblis sang Datuk" Oh sungguh tak da-
pat aku bayangkan, darahku akan diminumnya. Hii..."
bergidig si gadis, manakala mengingat bakalan apa
yang akan dilakukan sang Datuk pada dirinya, pada
darahnya yang untuk mandi dan minum. Sungguh
perbuatan yang biadab dan merupakan tindakan iblis.
* * * Malam perlahan-lahan datang, menggantikan
siang dan sore hari. Lamat-lamat dari kejauhan ter-
dengar lolongan anjing menggema, menyayat hati seo-
rang gadis, yang kini tengah menghadapi detik-detik
menyeramkan. Bila bulan purnama telah berada pada titik
kulminasi atas, maka saat itu pula korban akan da-
tang. Korban dari seorang Datuk yang menganut ilmu
Iblis... Lolongan anjing itu makin lama makin keras,
bersamaan dengan lajunya sang rembulan yang berpu-
tar. Angin malam yang dingin, terasa makin dingin dan
menggigit tulang-tulang sumsum.
Di dalam kamar sang Datuk Luluhung Begeg,
masih tergeletak gadis Srikanti Mata sang gadis mem-
beliak, manakala terdengar jerit-jerit yang entah dari mana datangnya. Jerit-
jerit itu makin kencang, manakala bulan bergeser makin meninggi.
Wajah Srikanti seketika memucat pasi, ketika
dilihatnya sosok-sosok tubuh tak berkepala dengan ge-
lak tawa membahana, mengisi ruangan itu. Srikanti
mencoba menjerit, namun mulutnya bagai tersumbat
rapat. Dan gadis-gadis tanpa kepala itu makin lama
makin mendekat ke arahnya, dekat dan dekat.
Dari leher-leher putung itu, terdengar desah-
desah yang hampir mirip rintihan kesakitan. Tangan
mereka seperti mencari-cari entah apa yang tengah
mereka cari. Mereka menangis, lalu tertawa cekikikan.
"Hi, hi, hi... rupanya kita akan mendapatkan
kawan. Teman, tahukah kau di mana kepala-kepala
kami?" Sebenarnya Srikanti ingin berteriak untuk menjawab tidak, namun karena ia
dalam keadaan tertotok
menjadikannya tak mampu berkata-kata. Gadis-gadis
tanpa kepala itu seketika terdiam, dan tiba-tiba salah seorang dari mereka
menotok urat nadi di leher Srikanti hingga Srikanti pun dengan seketika dapat
ber- kata. "Aku tak tahu. Siapa kalian adanya" Kenapa kalian menggangguku?" merengek
Srikanti ketakutan.
Keringat dingin seketika meleleh dari kedua keningnya.
Gadis-gadis tanpa kepala itu terus terdiam
memandang ke arahnya, menjadikan Srikanti menjadi-
jadi takutnya. Mata Srikanti terbelalak hendak keluar, manakala dilihatnya
mereka membuka pakaian mereka. Ternyata anggota tubuh mereka pun berkurang.
Kedua buah dada mereka tak ada lagi, hilang entah ke
mana. Tengah Srikanti tak mengerti maksud setan-
setan itu, terdengar seorang dari setan tanpa kepala
itu kembali berkata.
"Kau pun akan mengalami nasib sepertiku. Kau
pun akan menjadi seperti kami ini. Dia memang jahat,
melebihi setan. Tapi kami tak mampu untuk melawan-
nya, sebab kami dalam kuasaanya."
Gadis-gadis itu kembali menangis. Makin lama
makin seru tangis mereka, lalu melengking seperti his-
teris. Bersamaan dengan rembulan makin meninggi,
bayangan-bayangan gadis-gadis tanpa kepala itu men-
jerit lalu menghilang dari pandangan Srikanti. Bersa-
maan dengan hilangnya mahluk-mahluk menyeram-
kan itu, pintu kamar dibuka dari luar. Tampaklah se-
sosok tubuh berpakaian dan tudung hitam masuk
menghampiri Srikanti.
Karena ruangan itu gelap, Srikanti tak dapat
mengenali jelas orang tersebut. Srikanti hanya dapat
mengenali dari desah nafas lelaki berpakaian serba hi-
tam itu, yang dikenalinya Datuk Luluhung Begeg. Sang
Datuk tersenyum menyeringai, menampakkan gigi-
giginya yang kuning kemerah-merahan.
"Anak manis, malam inilah malam untukmu
bertamasya ke alam yang belum engkau ketahui, yaitu
alam akherat. Hua, ha, ha..."
"Tidak! Tidak...!"
Tersentak Datuk Luluhung Begeg, manakala
mengetahui Srikanti ternyata mampu berkata-kata.
Mata Datuk Luluhung Begeg membeliak, sehingga
nampak menyeramkan. Mulut sang Datuk terbuka le-
bar, bengong dan heran melihat kejadian aneh. Betapa
tidak, Srikanti yang tadinya tak dapat berkata-kata karena telah ditotok
olehnya, ternyata kini bisa bicara.
"Apakah ia memiliki kepandaian hingga mampu
membebaskan totokanku?" tanya Datuk Luluhung Be-
geg dalam hati, karena tak mengira kalau gadis bakal
korbannya mampu membuka totokannya.
"Siapa kau sebenarnya!" membentak sang Da-
tuk. "Hi, hi, hi... aku..." Aku ya aku."
"Slompret! Kau rupanya hendak mempermain-
kan aku, Anak edan! Jangan kira aku takut melihatmu
dapat membebaskan totokan. He, sesaat lagi kau akan
aku jadikan penambah kesaktianku. Darah... ya da-
rahmulah yang aku butuhkan. Hua, ha, ha...!"
Bergidig Srikanti mendengarnya, sampai-
sampai wajahnya kembali memucat. Hatinya seketika
menjerit-jerit, ya menjerit ketakutan. Bayangan-
bayangan kesepuluh gadis-gadis tanpa kepala, meme-
nuhi benaknya. "Apakah aku pun akan seperti mereka mati
gentayangan" Hiiii.... sungguh mengerikan," bergumam hati Srikanti.
"Lepaskan aku, Iblis! Lepaskan... aku bukan
gadis lagi. Aku telah diperawani oleh kekasihku!" memekik Srikanti mencoba
mempengaruhi Datuk Lulu-
hung Begeg, menjadikan sang Datuk seketika melo-
totkan mata dan bertanya dengan suara setengah ke-
cewa. "Benar apa yang kau katakan, Anak edan!"
"Benar," jawab Srikanti memastikan.
"Bedebah! Kalau benar apa yang engkau kata-
kan, maka keluargamulah yang akan menjadi peng-
gantinya. Seluruh keluargamu akan menerima pemba-
lasanku." "Jangan...! Jangan kau lakukan itu. Aku ma-
sih-masih perawan. Biarlah aku jadi korbanmu, asal
kau tidak membinasakan keluargaku."
"Hua, ha, ha... bagus, bagus. Ternyata kau
hendak mengelabui aku. Hem, tak apa, sebab sebentar
lagi kau berjasa padaku. Darahmu akan membantu di-
riku memperoleh kesaktian."
Datuk Luluhung Begeg tertawa bergelak-gelak,
lalu dengan tanpa memperdulikan Srikanti ia berkele-
bat keluar dari kamar. Tubuh sang Datuk berkelebat
keluar rumah. Dipandangnya rembulan yang masih
agak condong ke timur. Matanya melotot, seakan me-
melototi rembulan yang terlalu lama bergerak,
"Suwe... Waladalah. Kalau begini terus, mana
mungkin aku segera dapat menambah ilmuku. Hem,
akan aku pengaruhi peredaran bulan itu."
Habis berkata begitu hatinya, segera Datuk Lu-
luhung Begeg duduk bersilah. Tangannya sedakap,
kakinya saling lipat. Matanya terpejam, sementara mu-
lutnya komat-kamit. Mengucap mantra. Perlahan-
lahan, bulan itu bergeser dan bergeser tak menuruti
kehendak pergeseran sang waktu.
* * * Tersentak kaget Jaka Ndableg demi melihat se-
buah kejanggalan di atas langit. Matanya membelalak,
memandang tak berkedip pada bulan yang bergerak
dengan cepat. Tanpa sadar Jaka bergumam, yang
menjadikan Prakoso yang berdiri di sampingnya ter-
sentak bengong.
"Gusti Allah, ilmu apa yang digunakannya?"
"Kenapa, Jaka" Sepertinya kau memikirkan pe-
redaran bulan itu."
Jaka terdiam menarik napas perlahan. Dita-
jamkan matanya mengawasi bulan yang terus berjalan
dengan cepat. Kepalanya menggeleng-geleng, seakan ia
tengah merasakan sesuatu yang berat. Tak disadari
mulutnya seketika bergumam, sekaligus menjawab
pertanyaan Prakoso.
"Bulan itu bergerak tidak normal. Ada sesuatu
tenaga yang mempengaruhi. Biasanya orang yang
mampu mempengaruhi, hanya yang memiliki ajian Lu-
lur Wektu. Hem, siapakah yang telah berbuat begini.
Edan... jelas orang-orang sepertinya orang-orang yang
sangat berbahaya."
Prakoso yang mendengar gumaman Jaka hanya
tercenung diam, tak mengerti akan apa yang sebenar-
nya terjadi. Tengah semuanya terdiam, tiba-tiba dari


Pedang Siluman Darah 13 Misteri Penguasa Gunung Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah selatan tampak selarik sinar biru memancar ke
atas langit. Sinar itu makin lama makin besar dan besar,
menarik gerakan rembulan ke arah barat. Dengan se-
gera Jaka, heningkan cipta. Ia tahu bahwa gerakan bu-
lan telah di pengaruhi oleh seseorang yang bermaksud
jelek pada kehidupan.
"Jaka lihat...! Ada sinar biru memancar!" sera Prakoso, menjadikan kesepuluh
prajurit tersentak dan
langsung memandang dengan terbengong-bengong la-
rikan sinar biru. Jaka masih terdiam, memusatkan se-
gala panca indra untuk dapat menangkap siapa sebe-
narnya pembuat keganjilan di langit. Setelah sekian
lama terdiam, segera Jaka belalakkan mata meman-
dang ke arah datangnya sinar. Jaka tersentak mana-
kala melihat dengan mata batinnya siapa adanya orang
itu, yang tak lain Datuk Luluhung Begeg.
"Ini harus dicegah," bergumam hati Jaka.
"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
Tersentak kesebelas orang yang berada tak
jauh darinya, manakala dilihat oleh mereka Jaka tiba-
tiba telah menggenggam sebilah pedang yang meman-
carkan sinar kuning kemerah-merahan. Serta merta
kesebelas orang itu memekik menyebut pedang di tan-
gan Jaka, yang sudah mereka dengar.
"Pedang Siluman Darah...!"
Belum habis kekagetan kesebelas orang itu,
serta merta Pedang Siluman Darah telah melesat ter-
bang. Pedang itu meluncur menuju ke arah sinar itu
berada. Segera Jaka dan kesebelas prajurit Kadipaten
mengikuti lajunya pedang.
"Wuuut... wut... wut!"
Pedang Siluman Darah tampak berkelebat, me-
nyerang orang yang tengah membuat kejanggalan du-
nia. Orang yang ternyata Datuk Luluhung Begeg ter-
sentak, lompatkan tubuh ke belakang. Matanya mem-
beliak manakala tahu apa yang tiba-tiba menyerang-
nya dan telah membuat konsentrasinya buyar. Sebilah
pedang yang mengeluarkan warna kemerah-merahan,
memburunya. "Pedang sialan! Siapa yang telah mempengaru-
himu untuk melakukan tindakan gila melawanku,
hah!" Tangan Datuk Luluhung Begeg bermaksud me-
nangkap Pedang Siluman Darah namun secepat itu
pula Pedang Siluman Darah berkelebat menghindar
dan balik menyerang. Tak ayal lagi, tangan Datuk Lu-
luhung Begeg seketika terputung pergelangannya.
Memekiklah Datuk Luluhung Begeg, bagaikan tersiksa.
Tangannya lepas, tergeletak di tanah. Mata Datuk Lu-
luhung Begeg melotot tak berkedip, melihat suatu ke-
janggalan yang terjadi. Tangannya yang putus tampak
mengering, bagikan tak berdarah setetes pun. Berba-
Jago Jago Rogo Jembangan 2 Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir Pendekar Sakti Dari Lembah Liar 1
^