Pencarian

Pendekar Kembar 2

Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar Bagian 2


Pendekar Pulau Neraka.
"Ah, terima kasih...! Terima kasih, Murti !" seru Bayu. Begitu gembiranya dia,
sampai tidak sadar
memeluk gadis itu.
Tentu saja Murti tersentak kaget, buru-buru dia
menolakkan tubuh pemuda itu.
"Maaf, aku tidak sengaja," ucap Bayu buru-buru.
Paras wajah Murti bersemu merah. Kepalanya
tertunduk. Entah kenapa, harinya tiba-tiba berdebar aneh. Bayu kemudian
mengambil tangan gadis itu,
dan menggenggamnya erat-erat. Pelahan lahan Murti
pun mengangkat kepalanya. Tatapan matanya langsung bertemu dengan sorot mata Bayu. Sesaat
keheningan kembali menyelimuti mereka berdua.
"Kau telah membuka selimut kabut yang menyelimuti seluruh daerah Gunung Panjalukan ini,
Murti. Aku tahu sekarang, ada seseorang yang telah menyamar jadi diriku, dan
pasti dia punya maksud
untuk menghancurkan aku dengan perbuatannya itu.
Terima kasih Murti. Kau telah membantu banyak
padaku kata Bayu semakin erat menggenggam
tangan Murti. "Jadi, kau bukan Pendekar Pulau Neraka?" tanya Murti seolah ingin kepastian.
"Akulah Pendekar Pulau Neraka, dan orang itu
memakai namaku untuk menghancurkanku," sahut
Bayu tegas. Tampaknya Murti masih belum mengerti, namun
dia tidak bertanya lagi. Bayu melepaskan genggaman tangannya, kemudian beranjak
bangkit Pendekar
Pulau Neraka itu berjalan menghampiri keranjang
yang menggeletak tidak jauh darinya. Dia lalu
memungut keranjang itu, dan memasukkan baju-
baju dan kain ke dalamnya. Setelah itu dibawanya
kembali pada gadis cantik yang masih duduk di
rerumputan. "Kau ke sini untuk mencuci?" tanya Bayu.
"Ya," sahut Murti seraya bangkit dari duduknya
"Mencucilah, aku akan menjagamu," kata Bayu sambil melangkah ke sungai. Dia
masih menjinjing ki ranjang gadis itu.
Sementara Murti melangkah di samping pemuda
itu. Benaknya masih belum bisa mengerti, dengan
laki-laki yang bernama Pendekar Pulau Neraka.
Meskipun rasa khawatir terus bersemayam di hatinya namun gadis itu mulai menaruh
kepercayaan, kalau
pemuda yang bersamanya kini tidak sejahat dan
sekejam pemuda yang hampir memperkosanya dulu.
*** Selesai mencuci, Murti masih duduk di atas batu.
Sementara Bayu berada tidak jauh darinya Gadis itu merasakan adanya sesuatu yang
berbeda pada Pendekar Pulau Neraka dengan pemuda yang dulu.
Tapi melihat bentuk tubuh, wajah dan yang dikena-
kan oleh Bayu, dia benar-benar bingung.
"Kenapa kau tidak segera pulang?" tanya Bayu seraya memandang gadis itu.
Murti tidak menyahut. Dia kemudian bangkit
sambil mengepit keranjangnya di ketiak lalu kakinya mulai melangkah meninggalkan
sungai itu. Sebentar
dia berhenti, dan menoleh pada Pendekat Pulau
Neraka. Kemudian dia kembali melangkah agak
cepat. Sementara Bayu tetap duduk di atas batu
sambil memandangi.
Begitu jarak Murti sudah jauh, Pendekar Pulau
Neraka itu baru bangkit dan melangkah mengikuti
gadis itu. Bayu mengikuti dengan menjaga jarak.
Sedangkan Murti terus melangkah. Sesekali dia
menoleh ke belakang. Hatinya jadi agak tenang
karena tidak melihat pemuda berbaju kulit harimau
itu lagi. Gadis itu sama sekali tidak tahu kalau
dirinya terus diikuti.
Murti langsung berlari cepat begitu sampai di
desanya. Desa Galuhung yang semakin sunyi saja.
Hampir seluruh penduduk desa itu lebih senang
tinggal di rumah, lebih-lebih para gadisnya, tidak ada yang berani ke luar rumah
kalau tidak ada keperluan yang
mendesak. Sementara Bayu hanya memperhatikan saja dari arah yang cukup jauh. Dia
tersenyum melihat Murti sudah masuk ke rumahnya.
"Bayu.. "
"Eh!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba nama nya disebut dari belakang
Belum lagi pemuda itu menoleh, Pengemis
Tongkat Hitam sudah berada di sampingnya. Bayu
segera menghenyakkan tubuhnya di bawah pohon
yang rindang. Sementara Pengemis Tongkat Hitam
mengambil tempat di depan pemuda berbaju kulit
harimau itu. "Sejak semula aku memang tidak percaya, kalau kau yang telah melakukan perbuatan
tercela dan brutal itu," kata Pengemis Tongkat Hitam.
Bayu diam saja. Pandangannya tetap ke arah Desa
Galuhung yang sepi. Hanya ada satu dua orang saja
yang kelihatan ke luar rumah, itu pun hanya laki-laki tua.
"Aku sengaja meminta Murti untuk ke sungai.
Semula niatku untuk memancing Pendekar Pulau
Neraka palsu, tapi yang muncul malah kau, Bayu,"
kata Pengemis Tongkat Hitam lagi.
Bayu langsung memandang laki-laki tua di depan
nya. "Aku pun mendengar semua percakapanmu dengan Murti. Sekarang aku yakin, kaulah Pendekar
Pulau Neraka yang kukenal. Aku memang belum
pernah bertemu dengan orang yang menyamar dan
memakai namamu, sehingga aku sulit membedakannya." lanjut Pengemis Tongkat Hitam lagi.
"Apa yang ingin kau katakan lagi padaku"
Meminta racun pemunah 'Pukulan Tapak Betacun'?"
agak ketus nada suara Bayu.
"Tidak, Ki Sandak sudah tewas," sahut Pengemis Tongkat Hitam.
"Kalau saja temanmu itu tidak bermata gelap,
mungkin aku masih bisa menolong," kata Bayu datar.
"Ya, aku juga menyesali tindakannya " Bayu diam membisu. Pandangannya kembali
terarah ke Desa
Galuhung. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat
ini. Sementara Pengemis Tongkat Hitam juga diam.
*** 5 Malam belum lagi beranjak larut. Namun udara di
sekitar Gunung Panjalukan sudah semakin dingin.
Kabut tebal menyelimuti seluruh Puncak Gunung
Panjalukan itu. Dinginnya udara malam ini terusik
oleh pijaran api dari ranting-ranting kering yang
terbakar di dalam sebuah goa yang cukup besar dan
lapang. Tidak jauh dan api unggun itu tergolek sesosok
tubuh ramping dengan pakaian koyak tidak teratur
letaknya. Wajahnya yang cantik, tampak lesu tanpa
gairah hidup. Matanya kosong menerawang jauh ke
dalam api. Gadis itu berusaha menggeliat, namun
seluruh tubuhnya terasa lumpuh, tidak bisa digerakkan Sinar matanya langsung berubah tajam
penuh kebencian dan dendam saat menatap seorang
laki-laki yang duduk dekat api unggun.
Laki-laki muda, tampan, bertubuh tegap itu
tersenyum melihat gadis itu menatapnya tajam. Dia
menggeser duduknya mendekat. Tangannya diletakkan ke atas paha putih yang terbuka lebar.
Jari-jari tangannya bermain-main, menari-nari di
atas kulit yang putih mulus tanpa cacat itu.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu merebahkan tubuhnya di samping gadis itu. Bibirnya masih
menyunggingkan senyum. Perlahan dia mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Saat
wajahnya sudah demikian dekat, gadis itu memalingkan mukanya. Namun pemuda itu malah
memeluk dan menciuminya dengan liar.
"Akh...! Binatang! Kubunuh kau'" pekik gadis itu mencoba menggeliat, namun
sedikit pun tubuhnya
tidak dapat digerakkan. Hanya kepalanya saja
menggeleng-geleng ke kanan dan ke kiri, berusaha
menghindari sergapan ciuman-ciuman pemuda itu
yang bertubi-tubi.
"Ah, aku senang Kau masih juga galak dan
menggairahkan...,"
desah pemuda itu seraya melepaskan bajunya yang terbuat dari kulit harimau Bret!
"Ah...!" gadis itu memekik tertahan ketika baju yang menutup bagian dadanya
dirobek paksa. Mata pemuda itu semakin liar merayapi dua buah
gunung kembar yang putih indah menantang. Gadis
itu memejamkan matanya rapat-rapat saat merasakan dengus napas memburu pada dadanya
Dia menggigit-gigit bibirnya sendiri. Setitik air
menggulir dari sudut matanya. Napasnya tertahan
merasakan berat pada tubuhnya.
Sia-sia saja gadis itu berusaha meronta, karena
seluruh tubuhnya tidak dapat digerakkan lagi.
Menjerit pun tidak ada gunanya lagi. Tidak ada
seorang pun yang ada di Puncak Gunung Panjalukan
itu. Gadis itu hanya bisa pasrah dan menangis
dengan hati hancur berkeping-keping.
Ia memejamkan matanya rapat-rapat, tidak sanggup
melihat wajah pemuda yang begitu dekat di atasnya.
"Akh!" tiba-tiba gadis itu memekik tertahan.
Sebentar matanya terbuka membeliak, lalu merapat kembali dengan kepala terkulai lemah ke
samping. Air matanya semakin deras mengalir.
Rintihannya terdengar lirih menahan sesuatu
yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Beberapa saat gadis itu merasakan amat tersiksa.
Saat itu dia merasakan dirinya sudah mati. Namun
beban yang berada di atas tubuhnya menyadarkannya kalau dia belum mati, dan masih
berada di dalam cengkeraman seorang laki-laki
berhati iblis yang mengaku bernama Pendekar Pulau
Neraka.

Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis itu kembali memekik tertahan, bersamaan
dengan terdengarnya suara mendesis lirih. Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu
menggulir ke samping.
Sebentar dia merebahkan tubuhnya di samping gadis
itu, kemudian tangannya meraih pakaian yang
teronggok di sampingnya. Matanya merayapi sebentuk tubuh indah terbungkus kulit putih yang
mulus tanpa catat di sampingnya. Bibirnya tersenyum penuh kemenangan dan kepuasan. Pemuda itu kembali mengenakan pakaiannya.
"Seharusnya
aku tidak lagi memerlukanmu, Manis," kata pemuda itu, lembut suaranya
Gadis itu hanya diam dengan mata, terpejam
rapat. Dia benar-benar tidak ingin melihat laki-laki yang telah menghancurkan
hidupnya, mengoyak
seluruh hatinya. Saat Itu yang ingin dia lakukan
hanya satu, mati!
"Ah, aku memang tidak memerlukanmu lagi.
Masih banyak gadis yang lebih cantik dan lebih
menggairahkan darimu," kembali pemuda berbaju kulit harimau itu berkata pelan.
Pemuda itu beranjak bangkit sambil mengangkat
tubuh gadis itu. Kemudian dia melangkah keluar goa.
Langkah kakinya tegap dan mantap. Dia baru
berhenti melangkah setelah sampai di Lereng Gunung Panjalukan yang cukup terjal
dan berbatu. Pemuda
berbaju kulit harimau itu meletakkan gadis yang
hanya tertutup kain koyak itu di atas sebuah batu
besar dan agak pipih permukaannya.
"Kenanglah aku di neraka, Manis," kata pemuda itu lembut.
Dia membungkukkan
badannya sedikit, dan
mengecup pipi gadis itu. Lalu mendorong tubuh
ramping itu dengan kuat. Suara jeritan melengking
terdengar menyayat, bersamaan dengan menggulingnya tubuh gadis itu ke bawah. Tubuhnya
meluncur deras menghantam batu-batuan, dan baru berhenti meluncur setelah
menghantam sebongkah
batu yang cukup besar. Darah mengucur deras dari
kepalanya yang pecah. Gadis
itu tergolek tak
bernyawa lagi. "Ha ha ha...!" pemuda berbaju kulit harimau itu tertawa terbahak-bahak
Tak ada yang menyaksikan semua kejadian itu.
Hanya bulan yang mengintip di balik awan dan kabul tebal menyaksikan semua
kekejaman pemuda itu.
Kesunyian kembali menyelimuti seluruh Puncak
Gunung Panjalukan Kemudian pemuda berbaju kulit
harimau itu berbalik dan berlompatan meninggalkan
tepi lereng yang curam. Kembali tawanya terdengar
berderai. *** Malam terus merayap semakin larut. Udara pun
semakin bertambah dingin. Gunung Panjalukan
tampak angker, hitam pekat berselimut kabut tebal.
Namun suasana malam yang seperti itu tidak
menghalangi sesosok tubuh yang tengah berlari cepat menuruni Lereng Gunung
Panjalukan. Gerakannya
sangat cepat dan ringan, sehingga yang terlihat
hanya bayangan berkelebatan saja.
Sosok tubuh itu berhenti berlari setelah sampai di batas Desa Galuhung. Tampak
wajahnya tampan,
dengan sinar mata bersorot tajam. Orang itu
mengenakan baju dari kulit harimau. Dia berdiri
tegak bertohk pinggang, sambil menatap lurus ke
arah Desa Galuhung di depannya. Desa itu tampak
sepi, tak terlihat seorang pun yang berada di luar rumah.
Kakinya kembali terayun melangkah tegap dan
mantap memasuki Desa Galuhung. Sepanjang perjalanan, hanya kesunyian yang dilaluinya. Bahkan, beberapa rumah yang tadinya masih terang,
langsung gelap. Pemuda tampan berbaju kulit
harimau itu tersenyun lebar, melihat rumah-rumah
langsung memadam lampunya. Bahkan terdengar
suara pintu dan jendela terkunci.
Langkah kaki pemuda berbaju kulit harimau itu
kemudian berhenti, tepat di depan pintu sebuah
rumah yang cukup besar. Rumah berdinding papan
itu tampak sepi, hanya ada lampu pelita kecill yang menerangi
beranda. Sejenak pemuda itu menghentakkan kakinya ke tanah, dan tubuhnya
melesat ke udara. Manis sekali dia hinggap di atas atap rumah itu.
Dan dengan hati-hati dia membongkar atap
rumah itu, dan meluruk turun ke dalam. Ringan, tak terdengar suara sedikit pun
saat kakinya menjejak
lantai. Gelap menyelimuti seluruh ruangan dalam
rumah itu. Pemuda berbaju kulit harimau itu
melangkah ringan mendekati sebuah pintu. Tampak
seberkas cahaya kecil membias di bawah pintu.
Senyum di bibirnya kembali terkembang. Pemuda
berbaju kulit harimau itu kemudian melangkah
mendekati pintu. Pelahan-lahan tangannya mendorong pintu kamar itu. Bola matanya segera
berbinar melihat seorang gadis tengah lelap di
pembaringan. Sehelai kain menutupi tubuh gadis itu.
Tampak beberapa bagian tubuhnya tersingkap, menampakkan kulit yang putih bersih.
"Ah..., cantik sekali," desisnya pelan.
Lalu dengan mengendap-endap, pemuda berbaju
kuljt karimau itu mendekati pembaringan. Sebentar
dipandanginya bentuk tubuh yang masih tergolek
lelap dalam buaian mimpi. Dadanya mendadak
berdebar saat matanya menangkap sebentuk buah
dada indah hampir tak tertutup kain. Maka dengan
gerakan lembut tangannya terulur, dan dengan cepat jari-jari tangan nya menotok
beberapa bagian jalan darah gadis itu.
"Akh!" gadis itu sempat memekik, namun sedetik kemudian lemas tak berdaya.
Tampak mulutnya terbuka lebar, sedang matanya
membeliak memancarkan rasa takut yang amat
sangat. Namun tak sedikit pun suara keluar dari
mulutnya yang terbuka. Pemuda berbaju kulit
harimau itu kembali tersenyum menyeringai. Lalu dia beranjak naik ke pembaringan
itu. "Murti...!" tiba liba terdengar suara dari kamar lain.
"Uh!"
pemuda berbaju kulit harimau itu mendengus kesal.
Saat kepalanya menoleh ke arah pintu, tampak
seorang laki-laki lanjut usia sudah berdiri terpaku di ambang pintu. Dia seperti
terkesima melihat ada
seorang laki-laki berbaju kulit harimau, berada di atas tubuh anak gadisnya.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis laki-laki tua itu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menggeram
kesal. Lalu bagaikan kilat, dia mengibaskan tangan kirinya.
Seketika secercah cahaya keperakan meluncur deras ke arah laki-laki tua itu. Namun
tanpa diduga sama sekali, laki-laki tua itu segera mengegoskan tubuhnya ke
samping, dan cahaya
keperakan itu lewat di samping tubuhnya, dan
menancap pada dinding.
" Kurang ajar'" rungut pemuda berihtju kulit harimau itu.
Dan tanpa mempedulikan gadis yang sudah
lemas tertotok, pemuda berbaju kulit harimau itu
melompat ke arah pintu. Pada saat yang sama, laki-
laki tua berjubah putih itu pun langsung melentingkan tubuhnya ke atas. Namun gerakannya
kalah cepat! Pemuda berbaju kulit harimau itu sudah
mengibaskan tangannya lagi.
"Aaakh!"
laki-laki tua itu kontan menjerit melengking. Sebuah benda berbentuk bintang parak tampak
menancap dalam di punggungnya. Tanpa ampun lagi,
tubuh tua renta itu meluruk kembali ke bawah. Dan
sebuah tendangan keras segera menyusul dan
menghantam tubuhnya. Seketika suara berderak
terdengar, bersamaan dengan hancurnya dinding itu
tertimpa tubuh tua renta.
Laki-laki tua itu tampak berusaha bangkit,
namun pemuda berbaju kulit harimau lebih cepat
melompat, sambil melayangkan satu pukulan keras
ke wajahnya. Kembali laki-laki tua itu memekik
keras, dan tubuhnya terjungkal menghantam lantai!
Tak pelak lagi, darah langsung muncrat ke luar dari mulutnya. Dan dengan ganas,
tiba-tiba pemuda
berbaju kulit harimau itu melompat, dan menjejak
tubuh laki-laki tua itu.
"Hegh!"
Sebentar laki-laki tua itu menggelepar, lalu diam
tak bergerak-gerak lagi. Dari mulut serta hidungnya segera mengucurkan darah
segar. Pemuda itu pun
lalu berbalik, dan pada saat yang sama, dari dalam kamar lain keluar seorang
wanita tua. Wanita itu
seketika terkejut, begitu melihat seorang laki-laki berbaju kulit harimau
menginjak tubuh suaminya.
"Ah! Tolooong...!" jerit wanita itu sekuat-kuatnya.
"Keparat!" laki-laki berbaju kulit harimau itu menggeram.
Dan bagaikan kilat, tangannya mengibas cepat ke
depan. Seketika itu juga, sinar keperakan melesat ke arah perempuan tua itu. Tak
pelak lagi, sinar dari senjata bintang perak itu menembus dadanya.
"Aaa...!" perempuan tua itu menjerit melengking tinggi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak membuang-buang waktu lagi. Dia segera melompat
ke dalam kamar gadis yang lemas tertotok jalan
darahnya. Bergegas dia mengangkat tubuh gadis itu, dan melesat ke atas sambil
membopong gadis cantik
yang bernama Murti.
Begitu kakinya hinggap
di atap, mendadak
puluhan anak panah dan tombak bertebaran ke
arahnya. Pemuda berbaju kulit harimau itu mengumpat geram. Dia segera berlompatan sambil
mengibaskan tangan kirinya, menghalau serbuan
anak panah dan tombak. Tampak di sekeliling rumah
itu sudah dipenuhi oleh puluhan orang dengan
berbagai senjata.


Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setan!"
geram pemuda itu. Dia lalu memindahkan tubuh Murti ke atas pundaknya
Dan hanya dengan sekali lompatan saja, pemuda
berbaju kulit harimau itu meluruk ke bawah. Dan
langsung disambut oleh mereka yang sudah mengepungnya. Pertempuran pun tak terhindarkan
lagi. Sebentar, saja jerit kesakitan dan pekik
kemarahan berbaur menjadi satu. Malam yang
semula dingin, berubah hangat. Para penduduk Desa
Galuhung rupanya sudah tidak lagi menghiraukan
nyawanya. Mereka terus menyerang pemuda berbaju
kulit harimau itu dengan brutal.
Tubuh-tubuh bersimbah darah kini mulai bergelimpangan. Jeritan kematian semakin sering
terdengar. Pemuda berbaju kulit harimau yang
memanggul Murti, berkelebatan cepat membantai
para penduduk yang rata-rata tidak memiliki ilmu
olah kanuragan itu. Mereka hanya dibekali dengan
kemarahan yang memuncak, meledak tak terkendalikan lagi. Mereka tidak lagi peduli dengan nyawa. Mereka tidak
menghiraukan, siapa yang
sedang dihadapi.
Rasa dendam, benci dan kemarahan yang meng-
gumpal menjadi satu, membuat penduduk yang
sehari-harinya bekerja di ladang itu jadi nekad. Kini sudah tidak terhitung
lagi, berapa orang yang
menggeletak jadi mayat. Namun mereka tetap menggempur pemuda berbaju kulit harimau itu.
*** Meskipun hanya menghadapi orang-orang yang
tidak mengerti ilmu olah kanuragan, pemuda berbaju kulit harimau itu kerepotan
juga menghadapinya.
"Gila! Kalau begini terus, aku bisa kehabisan tenaga!" dengus pemuda itu dalam
hari. Pemuda berbaju kulit harimau itu mencoba untuk
menerobos kepungan para penduduk Desa Galuhung. Tapi kepungan itu semakin bertambah
rapat saja. Mereka seperti kesetanan, tidak mempedulikan lagi keselamatan jiwanya.
"Mundur...!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras meng-
gelegar. Para penduduk desa itu pun segera mundur.
Tampak di antara mereka sudah berdiri tokoh-tokoh
rimba persilatan yang tidak sedikit jumlahnya.
Seluruh penduduk Desa Galuhung sedikit bergembira
melihat kedatangan tokoh-tokoh rimba persilatan dan murid-murid padepokan.
Sementara itu pemuda berbaju kulit harimau
tampak terkejut bukan main. Dia sadar, kalau malam ini adalah hari sialnya. Tapi
dia tidak mau menyerah begitu saja. Pemuda itu lalu menurunkan tubuh
gadis yang berada di pundaknya, dan membuka
totokan jalan darah di tubuhnya.
"Ah, tolooong...!" jerit Murti begitu terbebas dari totokan. Buru-buru pemuda
berbaju kulit harimau
Itu menjepit leher Murti, dan memegangi tangannya
ke belakang. Gadis itu sama sekali tidak berdaya lagi lebih-lebih setelah pemuda
itu mengancam akan
membunuhnya jika bergerak.
"Kalian berani maju selangkah, kupatahkan leher gadis ini'" ancam pemuda itu.
Semua tokoh rimba persilatan itu tidak ada yang
bergerak di antara mereka, tampak Pendekar Pedang
Emas, Pendekar Tongkat Ular, Malaikat Bayangan
Hijau. Mereka adalah tokoh-tokoh rimba persilatan
yang sudah tidak asing lagi namanya. Namun
semuanya tidak ada yang bergerak mengingat keselamatan Murti terancam.
"Bagus! Kalian yang di sana, minggir!" bentak pemuda berbaju kulit harimau.
Mereka yang ditunjuk segera menyingkir membuka jalan. Pemuda berbaju kulit harinnu itu
melangkah pelan-pelan sembari menyeret Murti.
Gadis itu berusaha memberontak, namun jepitan
pada lehernya begitu kuat, dan terasa sakit.
"Diam! Kubunuh kau, kalau coba coba memberontak!" ancam pemuda itu bengis.
"Serang dia! Jangan hiraukan aku. !" teriak Murti putus asa.
Tapi gadis itu jadi terpekik karena tangan yang
menjepit lehernya menekan kuat. Beberapa tokoh
persilatan yang ingin bergerak, langsung berhenti.
Sedikit demi sedikit pemuda berbaju kulit harimau
itu terus melangkah sambil menyeret gadis tawanannya. Dan pada saat dia sudah berada di luar kepungan, mendadak tubuhnya
melesat cepat ke
arah Gunung Panjalukan.
"Tolooong...!" jerit Murti melengking.
"Kejar! Jangan sampai lolos...!" seru Pendekar Padang Emas.
Seluruh tokoh-tokoh rimba persilatan itu langsung berhamburan mengejar. Namun bayangan
tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu sudah
lenyap ditelan oleh gelapnya malam, ditambah
pepohonan di sekitar Kaki Gunung Panjalukan yang
memang sangat lebat. Namun tokoh-tokoh rimba
persilatan itu terus saja mengejar, meskipun mereka tidak tahu lagi, ke arah
mana pembuat kerusuhan itu melarikan diri.
*** Pada saat itu, di tengah-tengah hutan Lereng
Gunung Panjalukan, tampak Bayu tengah berbincang-bincang dengan Pengemis Tongkat Hitam.
Mereka duduk dekat api unggun kecil dan seekor
rusa, terpanggang di atasnya.
"Sejak tadi kau murung terus. Ada apa, Bayu?"
tegur Pengemis Tongkat Hitam.
"Tidak apa-apa," sahut Bayu pelan.
"Aku tahu, kau pasti kecewa karena aku telah
gagal untuk meyakinkan mereka," pelan suara
Pengemis Tongkat Hitam.
"Hhh...." Bayu hanya menarik napas saja.
"Perbuatan orang itu sudah melampaui batas,
Bayu. Dan dia selalu menggunakan nama Pendekar
Pulau Neraka. Lagipula jurus-jurus yang digunakan, sama persis dengan yang kau
miliki. Akupun tidak
bisa menyalahkan mereka yang tetap menuduhmu
sebagai pelaku semua kebrutalan dan pembantaian
itu. Sudah lebih satu purnama hal itu berlangsung
dan sampai saat ini belum ada yang mampu
menghentikan perbuatannya."
Kata Pengemis Tongkat Hitam lagi.
"Aku tidak peduli mereka tetap menuduhku, Kek.
Yang aku tidak mengerti, untuk apa orang itu
menggunakan namaku" Kalau memang dia mempunyai dendam, kenapa tidak menantangku
saja! Toh dia juga punya jurus-jurus yang sama
denganku," nada suara Bayu terdengar kesal.
"Kita akan tahu kalau sudah menemukannya,
Bayu." Belum lagi Bayu membuka mulutnya, mendadak
mereka dikejutkan oleh munculnya orang orang dari
kalangan rimba persilatan. Di antara mereka, tampak Pendekar Pedang Emas,
Pendekar Tongkat Ular dan
para ketua padepokan di sekitar Gunung Panjalukan
ini. Btyu langsung bangkit diikuti oleh Pengemis
Tongkat Hitam. Orang-orang dari kalangan rimba
persilatan itu langsung bergerak mengepung. Pendekar Pedang Emas langsung berdiri tegak di
depan Bayu dengan jarak sekitar tiga batang tombak
"Pendekar Pulau Neraka, sebaiknya kau menyerah dan jangan mengadakan perlawanan. Lihat
tempat ini sudah terkepung rapat," kata Pendekar Pedang Emas dingin.
Pengemis Tongkat Hitam ingin bicara, tapi keburu
dicegah oleh Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu
kemudian melangkah maju tiga tindak. Sejenak
matanya beredar berkeliling. Tampak tempat itu
sudah dipenuhi oleh tokoh-tokoh rimba persilatan
dengan senjata terhunus. Sikap mereka jelas-jelas
menunjukkan permusuhan.
"Kalau kalian ingin menangkapku, tangkaplah!"
tantang Bayu tegar
Pendekar Pulau Neraka itu menjulurkan kedua
tangannya ke depan Pendekar Pedang Emas makin
memandanginya dengan tajam. Sesaat keheningan
menyelimuti sekitar hutan di Lereng Gunung Panjalukan ini.
"Bayu...," Pengemis Tongkat Hitam menghampiri.
"Biarkan, Kek. Biarkan mereka puas dengan
kebodohannya!"
Pengemis Tongkat Hitam kembali terdiam. Dia lalu
memandangi orang orang yang berada di sekelilingnya. Tatapan matanya tajam menusuk
langsung ke bola mata Pendekar Pedang Emas.
"Kau keterlaluan, Pendekar Pedang Emas! Kau
akan menyesal menuduh orang yang tidak bersalah!"
kata Pengemis Tongkat Hitam agak geram.
"Pengemis Tongkat Hitam, manusia iblis ini baru saja membantai penduduk Desa
Galuhung, dan melarikan seorang gadis!" kata Pendekar Pedang Emas.
"Dasar manusia-manusia bodoh! Apa kalian se-
mua tidak melihat" Sejak tadi aku bersama Pendekar Pulau Neraka di sini. Mana
mungkin satu orang bisa berada di dua tempat dalam waktu bersamaan" Ayo,


Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawab!" Lintang suara Pengemis Tongkai Hitam.
Nadanya emosi berat.
Tak ada seorang pun yang membuka suara. Saat
itu juga wajah mereka berubah, menyiratkan keraguan. Kata-kata Pengemis Tongkat Hitam tidak
bisa dibantah. Mereka memang mendapatkan Pendekar Pulau Neraka bersama laki-laki tua itu,
duduk di dekat api unggun. Dan lagi, tidak tampak
seorang gadis pun di tempat itu.
"Sejak siang tadi aku bersama Pendekar Pulau
Neraka. Dan kami belum menginjak Desa Galuhung.
Apa kalian sudah buta, sehingga tidak bisa membedakan seseorang" Coba lihat! Apa orang ini
yang kalian kejar" Yang kalian tuduh sebagai
pembuat keonaran, pembantai manusia, pemerkosa
dan pembunuh gadis-gadis" Lihat baik-baik! Buka
mata kalian lebar-lebar!" sangat kasar kata-kata yang keluar dari mulut Pengemis
Tongkat Hitam. Tetap tidak ada seorang pun yang membuka
suara. "Pendekar Pedang Emas, aku benar-benar tidak
mengerti dengan sikapmu kali ini. Hatimu seperti
buta, tidak bisa menilai dari setiap kejadian. Kau begitu terkenal sebagai
pendekar yang arif dan
bijaksana.Tapi kenapa sekarang kau jadi buta"
Terpengaruh oleh tuduhan-tuduhan
yang tidak beralasan," agak melemah suara Pengemis Tongkat Hitam.
Pendekar Pedang Emas diam saja. Kata-kata yang
meluncur deras dari mulut Pengemis Tongkat Hitam
membuatnya ragu-ragu. Dia memang dikenal sebagai
tokoh yang selalu mementingkan kebijaksanaan, dan
selalu berpikir matang sebelum mengambil tindakan.
Pendekat Pedang Emas seakan-akan baru saja
tergugah dari sebuah mimpi buruk, yang hampir saja menghancurkan nama besarnya.
"Ayo, Bayu. Kita tinggalkan tempat ini," ajak Pengemis Tongkat Hitam.
"Tunggu...!"'
Seorang laki-laki mendadak melompat ke depan
disertai suara bentakan keras mengejutkan. Sejenak Pengemis Tongkat Hitam
mengurungkan niatnya.
Dipandanginya laki-laki yang hampir sebaya dengannya itu. Seorang laki-laki tua yang mengenakan baju berwarna biru, dengan dada
tersulam gambar bunga melati dari benang perak.
Dia adalah Ketua Padepokan Melati Putih yang
letaknya di sebelah Utara Kaki Gunung Panjalukan.
"Ki Suratala, ada apa lagi?" nada suara Pengemis Tongkat Hitam terdengar kesal.
Laki-laki tua yang bernama Ki Suratala itu
kemudian mendekati Pendekar Pulau Neraka. Tatapan matanya tajam, menusuk langsung ke bola
mata pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan
Bayu masih tampak tenang. Kesunyian kembali
menyelimuti sekitarnya. Semua orang menunggu, apa
yang akan di lakukan oleh Ki Suratala.
* ** 6 "Kata-katamu
memang cukup beralasan, Pengemis Tongkat Hitam. Tapi aku tidak mudah
percaya begitu saja," dingin kata-kata Ki Suratala seraya melirik pada Pengemis
Tongkat Hitam. Pengemis Tongkat Hitam balas menatap dengan
tajam. "Tidak sedikit murid-muridku yang tewas terbunuh oleh Pendekar Pulau Neraka. Dan aku
harus membunuhnya dengan tanganku sendiri!"
Setelah berkata begitu, Ki Suratala tiba-tiba
mengibaskan tangannya menyodok ke dada Bayu.
Gerakan yang begitu cepat dan mendadak itu tentu
saja membuat Bayu terperangah. Namun dengan
cepat dia menarik kakinya ke belakang seraya
memiringkan tubuhnya ke kiri. Sodokan Ki Suratala
pun luput dari sasaran
Tunggu!" seru Pengemis Tongkat Hitam ikut
terkejut. Namun peringatan Pengemis Tongkat Hitam tidak
digubris, Ki Suratala kembali menyerang dengan
jurus-jurus mautnya. Sedangkan Bayu terpaksa
berkelit dan menghindari setiap serangan yang
datang dengan gencar dan dahsyat itu. Pertarungan
pun segera berlangsung dengan sengit!
Sepuluh jurus telah dilalui dengari cepat, namun
belum satu pukulan pun yang berhasil disarangkan
oleh Ketua Padepokan Melati Putih itu. Dan sampai
saat itu Bayu masih dapat menahan diri. Dia hanya
berkelit menghindar tanpa membalas satu serangan
pun. Hal itu tentu saja membuat Ki Suralala jadi
bertambah berang. Mundur pun rasanya tidak
mungkin lagi, bisa-bisa malah nama besarnya hancur malam ini juga. Sementara
puluhan tokoh-tokoh
rimba persilatan yang ada di tempat itu, dan tiga
puluh orang murid pilihannya, terus menonton.
Tampak Ki Suratala jadi tambah beringas, karena
serangan-serangannya selalu kandas. Maka tanpa
peduli akan ada yang tewas, Ketua Padepokan Melati Putih itu pun segera mencabut
senjata dari balik
jubahnya yang panjang.
Sret! "Ki Suratala! Hentikan seranganmu!" bentak Pengemis Tongkat Hitam terkejut.
Namun Ki Suratala sudah tidak bisa lagi diperingati. Pedang pendek
berwarna putih dengan gagang berukir bunga melati, berkelebat cepat bagai kilat
mengurung seluruh gerak tubuh Pendekar Pulau Neraka. Serangan-serangan Ki
Suratala begitu cepat dan sukar diikuti oleh pandangan mata biasa. Pertarungan itu kini sudah
mencapai tingkat tinggi. Gerakan-gerakan tubuh
mereka sangat sulit ditebak arahnya, hanya dua
bayangan saja yang terlihat berkelebatan saling
sambar. Bayu menghadapi serangan-serangan Ki Suratala
dengan sungguh-sungguh. Gempuran laki-laki tua
itu benar-benar dahsyat. Kelengahan sedikit saja bisa berakibat fatal. Dua kali
dia mendengar peringatan dari Pengemis Tongkat Hitam, tapi peringatan itu
tidak digubris sama sekali oleh Ki Suraiala. Bayu
menggeretakkan rahangnya, karena tampaknya Ki
Suratala bernafsu benar ingin membunuhnya.
"Cukup, Ki Suratala! Jangan memaksaku bertindak!" seru Bayu setelah merasa dirinya tak sabar.
"Jangan banyak omong, setan! Malam ini juga,
kau atau aku yang mati!" bentak Ki Suratala keras.
Bayu pun kini tidak lagi banyak bicara, dia segera mengerahkan
jurus 'Pukulan Racun Hitam'. Sedangkah Ki Suratala langsung terkejut tatkala
merasakan angin pukulan Pendekar Pulau Neraka itu
mengandung hawa dingin dan panas bercampur
menjadi satu. "Awas kaki!" bentak Bayu tiba-tiba.
"Hup!"
Ki Suratala segera melompat begitu kaki Bayu
berputar melayang ke arah kakinya. Tapi pada saat
itu juga, Bayu menggedor tangannya ke arah dada
Ketua Padepokan Melati Putih itu.
Tak pelak lagi, tubuh Ki Suratala langsung
terjungkal keras menghantam tanah. Dari mulutnya
tampak mengucur darah kental kehitaman
"Hiyaaa..!" pekik Bayu keras.
Tepat ketika Ki Suratala baru bangkit dan hendak
menyerang kembali, tangan Pendekar Pulau Neraka
sudah mengibas ke depan di saat kakinya baru
menjejak tanah. Langsung saja cakra di tangannya
melesat melesat cepat ke arah Ki Suratala. Begitu
cepatnya, sehingga Ki Suratala tidak sempat lagi
menghindar. "Aaa....!" Ki Suratala kontan menjerit keras.
Tampak cakra perak bersegi enam itu menembus
dadanya hingga ke punggung. Dan pada saat tubuh
laki-laki tua itu limbung, Bayu segera melompat
bagai kilat, dan tangan kanannya mengibas ke arah
leher. Tak pelak lagi, leher Ki Suratala tergores oleh sabetan tangan Pendekar
Pulau Neraka. Tubuhnya
kemudian ambruk dan darah muncrat dari lehernya.
"Hup!"
Kembali Bayu menjejak tanah, dan mengangkat
tangan kanannya ke atas. Cakra yang tertanam di
tubuh Ki Suratala pun langsung melesat, kembali
menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar
Pulau Neraka itu. Sebentar Bayu menatap pada
tubuh lawannya yang sudah jadi mayat, kemudian
tangannya melipat di depan dada. tatapan matanya
tajam merayapi orang-orang yang masih berada di
sekitarnya. "Bayu, ayo kira pergi dari sini!" ajak Pengemis Tongkat Hitam seraya
menghampiri. "Tunggu!"
Dengan serempak, tiga puluh orang murid-murid
Padepokan Melati Putih berlompatan maju. Sementara Pengemis Tongkat Hitam menggerutu
dalam hati. Dia sudah menduga kalau urusannya
tidak akan selesai begitu saja. Kejadian malam itu merupakan awal dari
permasalahan baru lagi. Sudah
pasti, mereka yang ada di sini tidak akan tinggal
diam melihat kematian Ki Suratala. Keadaan semakin bertambah runcing dengan
berlompatannya tiga
puluh orang murid Ki Suratala.
"Kau tidak bisa pergi begitu saja, Pendekar Pulau
Neraka. Kau harus membayar mahal nyawa guru
kami" kata salah seorang dari tiga puluh murid Padepokan Melati Putih itu.
Sret! Cring! Mereka langsung
mencabut pedang masing- masing. Pedang berwarna keperakan itu berkilat
tertimpa cahaya bulan. Semua gagangnya terdapat
ukiran bunga melati. Tampak Pengemis Tongkat
Hitam menatap Bayu yang berada di sampingnya.
"Menyingkirlah, Kek," kata Bayu pelan.
"Jangan layani mereka, Bayu. Keadaan bisa
bertambah parah." Pengemis Tongkat Hitam mencoba meredakan hati Pendekar Pulau
Neraka Itu. "Sudah kepalang basah. Sekarang, besok atau
lusa sama saja. Tanganku pasti akan bergelimang
darah mereka," datar nada suara Bayu.
Pengemis Tongkat Hitam hanya bisa menarik
napas panjang dan berat. Semua ini gara-gara Ki
Suratala yang tidak bisa menahan emosi. Suasana
panas tidak mungkin bisa diredakan lagi. Tiga puluh orang
murid Ki Suratala

Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah berlompatan mengepung dari segala penjuru. Sementara Bayu
masih berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. Matanya tajam merayapi
mereka yang sudah
mengepungnya. "Seraaang...!" seru salah seorang.
"Hiya...! Yeaaah...!"
Teriakan-teriakan pemberi semangat langsung
bergema membelah malam di Lereng Gunung Panjalukan itu. Tiga puluh orang yang berpakaian
putih itu berlompatan menyerang Pendekar Pulau
Neraka. Pedang mereka berkelebatan cepat mengurung dari segala jurusan. Namun Pendekar
Pulau Neraka hanya berkelit memiringkan tubuhnya
ke kanan dan ke kiri, menghindari setiap sabetan dan tusukan pedang lawan-
lawannya. Murid-murid Padepokan Melati Putih bukanlah
tandingan Pendekar Pulau Neraka. Dua kali lipat
banyaknya dari jumlah itu pun, masih belum tentu
bisa menandinginya. Tidak heran kalau dalam waktu
singkat saja, hampir separuh dari jumlah mereka
langsung menggeletak bersimbah darah. Teriakan-
teriakan pertempuran, berbaur menjadi satu dengan
pekik dan jerit kematian.
Sementara Pengemis
Tongkat Hitam tampak
semakin gelisah saja. Dia mengkhawatirkan
keselamatan Pendekar Pulau Neraka, tapi tokoh
tokoh rimba persilatan yang ada di sekitar tempat itu, pasti tidak akan tinggal
diam begitu saja melihat
Bayu membantai murid-murid Padepokan Melati
Putih. Kegelisahan Pengemis Tongkat Hitam semakin
bertambah saat tokoh-tokoh rimba persilatan mulai
meloloskan senjatanya masing-masing. Wajah mereka
kelihatan tegang dan kaku, menahan geram melihat
tindakan Pendekar Pulau Neraka yang tidak kenal
ampun. "Bayu! Cepat pergi...! Hiyaaa...!"
Mendadak Pengemis Tongkat Hitam melenting
cepat bagai kilat. Tangannya langsung menyambar
pergelangan tangan kiri Bayu, dan membawanya
pergi dan tempat itu. Begitu cepatnya, tahu-tahu
mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam dan
kerimbunan pepohonan. Tentu saja semua tokoh
rimba persilatan tersebut segera berlompatan mengejar. Murid-murid Padepokan Melati Putih yang
tinggal delapan orang, tidak ikut mengejar. Sisa-sisa murid
tersebut segera mengurusi mayat-mayat saudara seperguruannya, dan mayat gurunya.
*** Bayu menyentakkan tangannya, sehingga cekalan
Pengemis Tongkat Hitam terlepas. Namun mereka
terus berlari cepat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Kedua tokoh digdaya itu seperti tengah berlomba lari. Mereka
baru berhenti setelah sampai di tepi sungai yang mengalir deras dari
puncak gunung. "Uh! Aku tidak suka jadi buronan!" dengus Bayu sedikit terengah.
"Kau tidak bisa menghadapi mereka semua. Bayu.
Lagi pula tidak ada gunanya kau membunuhi
mereka!" sahut Pengemis Tongkat Hitam seraya
mengatur napasnya.
"Mereka yang memulai, dan aku tidak bisa
berdiam diri dicaci maki begitu!" rungut Bayu kesal.
"Hhh..., persoalannya jadi bertambah runyam!"
keluh Pengemis Tongkat Hitam.
"Kau tahu, Kakek Pengemis. Aku tidak peduli,
apakah mereka dari golongan putih atau golongan
hitam. Siapa saja yang menantangku, harus kuhadapi!" kata Bayu tegas.
"Jangan membabi buta, Bayu. Kau tidak akan
dapat menaklukkan dunia hanya dengan mengandalkan jurus-jurus ilmu silat. Masih banyak
orang yang lebih tinggi tingkatannya darimu," kata Pengemis
Tongkat Hitam, mencoba meredakan amarah Pendekar Pulau Neraka itu.
"Jangan mengguruiku, Kakek Pengemis. Di mataku, semua orang sama! Tidak ada golongan
putih maupun hitam. Semua bisa jadi teman maupun
lawan. Aku tidak peduli siapa mereka. Siapa saja
yang mengoyak harga diriku, harus berhadapan
denganku!" tegas kata-kata Bayu
"Bayu, tenangkan dirimu. Kendalikan emosimu,
masih banyak persoalan yang lebih penting daripada menuruti hawa nafsu. Ingat,
Bayu. Saat ini kau
harus membersihkan namamu. Kau harus mencari
orang yang telah merusak namamu. Itu persoalan
yang paling penting, yang harus kau selesaikan
sekarang!"
kata Pengemis Tongkat Hitam mengingatkan. "Percuma!" dengus Bayu kesal.
"Tidak ada yang percuma. Mereka hanya...."
" Ah,...sudahlah!" sentak Bayu memotong. "Aku memang harus membunuh setan keparat
itu, tapi aku tidak peduli dengan anggapan semua orang
tentang diriku!"
Pengemis Tongkat Hitam hanya mengangkat
bahunya. Sia-sia saja dia menasehati pemuda
berbaju kulit harimau itu. Watak dan kepribadian
Pendekar Pulau Neraka tidak bisa dirubah lagi.
Namun hatinya merasa iba juga dengan keadaan
yang tengah dihadapinya. Fitnah memang sangat keji.
Bukan hanya merusak nama baik seseorang, tapi
juga suatu perkumpulan.
Memperbaiki benda yang rusak memang pekerjaan mudah, tapi memperbaiki nama yang
sudah cacat..!" Bukan suatu hal yang mudah untuk
dilakukan. "Sebaiknya kira mencari tempat yang lebih aman, Bayu. Di sini sudah diketahui
orang," kata Pengemis Tongkat Hitam mengusulkan.
"Sebenarnya aku tidak ingin kau berada di
pihakku. Kakek Pengemis. Mereka akan menuduhmu
berkomplot denganku. Nama baikmu juga bisa
rusak," kata Bayu pelan.
Pengemis Tongkat Hitam hanya tersenyum saja.
Kemudian dia melangkah pelan-pelan menyusuri
tepian sungai. Namun arahnya berlawanan dengan
aliran air sungai itu. Sebentar kemudian Bayu ikut juga berjalan di samping
laki-laki tua itu. Mereka terus melangkah tanpa bicara lagi. Sementara malam
terus merambat semakin larut, kabut pun semakin
tebal menyelimuti seluruh Gunung Panjalukan ini.
*** Sementara itu tokoh tokoh rimba persilatan yang
mengejar Pendekar Pulau Neraka, kehilangan jejak.
Mereka memang sempat tiba di tepi sungai, di mana
Pendekar Pulau Neraka dan Pengemis Tongkat Hitam
tadi berhenti. Kini mereka tidak tahu lagi, ke mana harus mengejar. Sedangkan
kabut yang menyelimuti
seluruh Lereng Gunung Panjalukan itu demikian
tebal, sehingga menghalangi pandangan mereka.
Sepanjang mata memandang, hanya kegelapan
dan kabut yang terlihat. Di antara mereka, tampak
Pendekar Pedang Emas duduk di atas batu pipih
yang hitam pekat dan dingin. Sementara yang lainnya terus sibuk menentukan arah.
Tak lama kemudian,
mereka mengambil kesepakatan untuk berpencar.
Namun Pendekar Pedang Emas duduk diam sambil
memandangi arus sungai yang mengalir menuruni
lereng gunung ini.
"Oh!" Pendekar Pedang Emas tersentak kaget ketika sebuah tangan menepuk
pundaknya. "Malaikat Bayangan Hijau..."
Tampak seorang laki-laki berbaju serba hijau
tersenyum. Lalu dia menempatkan dirinya duduk di
samping Pendekat Pedang Emas. tanpa disadari, di
tepi sungai itu kini tinggal mereka berdua saja.
Semua orang mengejar Pendekar Pulau Neraka sudah
berpencar ke arah tujuan masing-masing. Yang pasti, mereka masih tetap mencari
di sekitar lereng Gunung Panjalukan ini
"Apa yang sedang kau lamunkan, Pendekar
Pedang Emas?" tanya Malaikat Bayangan Hijau.
Pendekar Pedang Emas hanya menarik napas panjang. "Ada yang menyusahkan hatimu?" tanya Malaikat Bayangan Hijau lagi.
"Entahlah...,"
desah Pendekar Pedang
Emas pelan. "Sepertinya kata-kata Pengemis Tongkat Hitam terngiang terus di
telingaku."
"Terus terang, aku sendiri juga memikirkannya,"
kata Malaikat Bayangan Hijau. Pelan juga suaranya.
Pendekar Pedang Emas segera menatap setengah
tidak percaya pada Malaikat Bayangan Hijau.
"Kita terlalu bangga dengan nama besar dan ilmu olah kanuragan yang tinggi. Aku
seperti baru terbangun dari mimpi keindahan dan kemasyhuran.
Aku merasakan seperti orang yang paling bodoh di
dunia ini," nada suara Malaikat Bayangan Hijau sedikit mengeluh.
"Bukannya bodoh, Malaikat Bayangan Hijau. Tapi hati kita seperti tertutup, tidak
bisa mengambil sari dari semua peristiwa yang terjadi di sini," Pendekar Pedang
Emas meluruskan.
"Ya, memang tidak mungkin. Satu orang berada
pada dua tempat dalam waktu bersamaan. Kita
mengejar Pendekar Pulau Neraka dari Desa Galuhung. dan menemukannya bersama Pengemis
Tongkat Hitam. Aku rasa menangkap seekor rusa dan
memanggangnya memerlukan waktu lama. Dan aku
melihat api unggun sudah dinyalakan. Aku jadi
berpikir lain, Pendekar Pedang Emas, " kata Malaikat Bayangan Hijau, seperti
bicara pada dirinya sendiri.
"Kau menduga ada orang lain yang menyamar jadi Pendekar Pulau Neraka?" Pendekar
Pedang Emas ingin meyakinkan.
"Aku rasa memang begitu. Kau ingat ketika
Pengemis Tongkat Hitam mengatakan, kalau Pendekar Pulau Neraka sedang difitnah" Bahkan


Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis yang bernama Murti memberi kesaksian, kalau
dia bertemu dengan Pendekar Pulau Neraka yang asli.
Gadis itu bahkan berani bersumpah, ada perbedaan
pada kedua Pendekar Pulau Neraka," Malaikat
Bayangan Hijau mengingatkan.
Pendekar Pedang Emas pun mengangguk- anggukkan kepalanya. Dia ingat betul dengan kata-
kata Pengemis Tongkat Hitam, yang berbicara lantang di depan sekian banyak tokoh
rimba persilatan. Juga gadis yang bernama Murti itu memberikan kesaksian, kalau
yang melakukan semua perbuatan keji bukan
Pendekar Pulau Neraka, tapi orang lain yang
menyamar sebagai Pendekar Pulau Neraka.
Saat itu memang tak seorang pun yang mau
percaya. Mereka semua bahkan menganggap, bahwa
Pengemis Tongkat Hitam memperalat Murti untuk
melindungi Pendekar Pulau Neraka. Karena Pengemis Tongkat Hitam berhutang nyawa pada
pendekar itu. *** 7 Kegelapan masih menyelimuti sekitar Gunung
Panjalukan. Namun dinginnya udara malam itu,
tidak terasa di dalam sebuah goa yang cukup besar di Puncak Gunung Panjalukan.
Nyala api dari ranting-ranting kering yang terbakar, membuat suasana di
dalam goa itu terasa hangat.
Tidak jauh dari api unggun itu, tampak seorang
pemuda tampan yang memakai baju dari kulit
harimau, tengah duduk meringkuk. Matanya menatap tajam tidak berkedip pada seorang gadis,
yang tergolek tak berdaya dihamparan daun-daun
kering. Kain yang membelit tubuhnya sudah tersingkap, sehingga menampakkan sebentuk paha
indah, dan berkulit pulih halus.
"He he he...," pemuda berbaju kulit harimau itu terkekeh.
Kemudian dia beranjak dan mendekati gadis itu
Pemuda itu lalu duduk dekat pinggang gadis yang
masih lemas. Hanya kepalanya saja yang masih bisa
digerak-gerakkan. Gadis itu berusaha menggeliat,
ketika jari-jari tangan pemuda itu mulai meraba
pahanya. Namun sedikit pun dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.
"Kau cantik sekali, Murti," desah pemuda itu
penuh nafsu. Binatang! Lepaskan aku!" bentak gadis yang
bernama Murti itu.
Aku memang akan membiarkanmu pergi, tapi
setelah menikmati malam yang indah ini," sahut pemuda itu lembut.
Seketika pucat pasilah seluruh wajah Murti
mendengar kata-kata itu. Kembali dia berusaha
menggeliat, namun tubuhnya benar-benar terasa
lemas. Napas pemuda berbaju kulit harimau itu mulai
mendengus, sedangkan jari-jari tangannya semakin
liar saja menjelajahi bagian-bagian tubuh gadis itu.
Bola matanya terus berputar liar merayapi tubuh
merangsang itu. Mendadak tangan pemuda itu
mencengkeram kain di dada Murti, lalu dengan kasar dia menariknya.
"Au...!" Murti langsung memekik tertahan.
"Ahhh...," pemuda berbaju kulit harimau itu mendesah saat melihat sebentuk tubuh
indah yang menggiurkan, terbuka polos tanpa penutup lagi.
Dan pada saat pemuda berbaju kulit harimau itu
mau berbuat lebih jauh....
"Setan!" maki pemuda itu seraya melompat.
Telinganya yang tajam tiba-tiba mendengar suara
langkah kaki yang cepat dan ringan. Sementara Murti segera beringsut. Tangannya
bergegas menutupi
tubuhnya yang sudah terbuka.
"Cari mampus! Berani mengganggu kesenanganku!" umpat pemuda itu lagi.
Kemudian laki-laki berbaju kulit harimau itu
menghampiri Murti. Dan dengan cepat dia menotok
jalan darahnya. Gadis itu pun langsung menggeletak lemas.
"Kau di sini dulu, aku segera kembali setelah membereskan tikus itu!" kata
pemuda itu seraya melompat ke luar.
*** Pada waktu yang sama, tampak dua orang tengah
berlari-lari mendaki Gunung Panjalukan itu. Mereka adalah Pendekar Pulau Neraka
dan Pengemis Tongkat
Hitam. Gerakan mereka sangat ringan, berlari dan
berlompatan menuju puncak gunung. Namun saat
mereka melompat ke atas batu yang menjorok ke
luar, gerakan mereka terhenti.
"Dewi Ranti ," desis Pengemis Tongkat Hitam tersedak suaranya.
Mata laki-laki tua Itu tidak berkedip, memandang
pada sesosok tubuh wanita yang tergolek di atas
bebatuan. Kepalanya berlumur darah yang sudah
membeku. Tubuhnya hanya tertutup secarik kain
yang sudah koyak di beberapa bagian. Pengemis
Tongkat Hitam segera melompat mendekati mayat itu.
"Biadab...!" geram Pengemis Tongkat Hitam sambil menggemeletukkan giginya.
Laki-laki tua itu kemudian bangkit ketika pundaknya disentuh. Dia lalu menoleh pada pemuda
tampan yang mengenakan baju dari kulit harimau.
Sejenak mereka hanya saling pandang tanpa berkata-
kata. Kini sudah lima mayat gadis yang mereka temui di Gunung Panjalukan itu.
Mereka tewas dengan
keadaan yang benar-benar mengenaskan.
"Dia pasti ada di sekitar tempat ini," kata Pendekar Pulau Neraka yakin.
"Aku tidak akan memberinya ampun Keparat itu
harus kubunuh!" geram Pengemis Tongkit Hitam.
Amarah laki-laki tua itu benar-benar sudah tidak
dapat ditahan lagi. Sering dia berhadapan dengan
tokoh-tokoh rimba persilatan golongan hitam, tapi
baru kali ini menemukan kebiadaban di luar batas.
Pengemis Tongkat Hitam segera melompat kembali
menuju Puncak Gunung Panjalukan itu. Sedangkan
Pendekar Pulau Neraka pun lansung mengikuti.
Mereka mempergunakan ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai tahap sempurna. Di malam
yang penuh kabut tersebut, dua tubuh berkelebatan.
Mereka kemudian kembali berhenti begitu sampai di
puncak gunung. Sesaat mereka mengedarkan pandangan berkeliling. Namun kabut tebal yang
menyelimuti seluruh Puncak Gunung Panjalukan,
membuat daya pandangan mereka berkurang.
"Kita berpencar Kek," kata Bayu. Setelah agak lama terdiam.
"Baiklah, kau ke arah sana," sahut Pengemis Tongkat Hitam menunjuk ke satu arah.
Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak tahu lagi
arah Utara dan Selatan. Sepanjang mata memandang, hanya kegelapan dan kabut tebal yang
terlihat. Bayu mulai melangkah pelahan-lahan menuju arah yang telah ditunjuk oleh Pengemis
Tongkat Hitam. Matanya terbuka lebar dan tajam,
berusaha menembus pekatnya kabut. Langkah kakinya ringan, tak menimbulkan suara sedikit pun.
Bayu terus melangkah dengan pelahan-lahan dan
hati-hati. Di tempat Itu sepi tetap menyelimuti, hanya tiupan angin saja yang
terdengar menderu-deru.
Mendadak mata Pendekar Pulau Neraka itu agak
menyipit, ketika menangkap cahaya berkelip di
antara kabut dan pepohonan. Sebentar cahaya itu
terlihat, dan sebentar kemudian hilang, lalu terlihat lagi, dan hilang lagi
Bayu terus melangkah dengan hati-hati ke arah
cahaya yang dilihatnya. Semakin dekat dia ke arah
cahaya itu, semakin yakinlah kalau cahaya itu
datang dari api unggun. Kembali matanya menyipit.
Cahaya api itu ternyata berasal dari dalam sebuah
goa yang cukup besar.
Trak! Bayu mendadak terkejut ketika kakinya tidak
sengaja menginjak franting kering. Pendekar Pulau
Neraka itu langsung melesat naik ke pohon di
sampingnya. Suara ranting yang patah di dalam
kesunyian malam itu, terdengar cukup keras.
Sejenak Bayu terhenyak ketika melihat seseorang
keluar dari dalam goa itu. Hampir dia tidak bisa
mempercayai penglihatannya. Orang yang keluar dari dalam goa itu sama persis
dengan dirinya. Bentuk
tubuh, wajah, rambut, dan pakaiannya. Kini Bayu
seperti tengah memandang dirinya sendiri.
*** Orang yang baru keluar dari dalam goa itu, segera
mengedarkan pandangannya berkeliling. Kepalanya
agak mendongak ke atas, lalu mendadak saja tangan
kanannya mengibas
cepat. Dan sebuah benda
berbentuk bintang keperakan meluncur deras ke
arah pohon yang dinaiki Bayu.
"Hup!"
Dengan cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke
bawah. Manis sekali kakinya menjejak tanah, sekitar dua tombak jaraknya dari
laki-laki tampan, tegap dan berbaju kulit harimau. Sejenak kedua pemuda
tampan yang sama persis itu saling berpandangan.
Benar-benar sukar dipercaya. Tak sedikit pun ada
perbedaan di antara mereka berdua. Bak pinang
terbelah. Bayu terkejut juga ketika melihat pergelangan
tangan kembarannya juga menempel cakra perak
bersegi enam. Rasanya dia tidak mempercayai
penglihatannya sendiri. Dia pandangi orang di
depannya itu dari ujung kepala sampai ke ujung
kaki. "Siapa kau" Kenapa kau menyamar jadi diriku,"
tanya Bayu. "Seharusnya akulah yang bertanya demikian'"
dingin suara orang itu
"Buka topengmu, keparat!"
"Bukankah kau sendiri yang memakai topeng?"
"Jawab pertanyaanku! Siapa kau sebenarnya?"
"Aku Pendekar Pulau Neraka!"
"Edan!"
"Kau yang gila' Siapa kau sebenarnya?"
"Aku Pendekar Pulau Neraka!"
Tragis! Dua orang laki-laki kembar itu sama-sama
mengaku Pendekar Pulau Neraka. Sulit dibedakan,
mana yang asli, dan mana yang palsu. Mereka begitu sama
persis. Suaranya
juga sama, tidak ada perbedaan sedikit pun. Pada saat
itu datanglah Pengemis Tongkat Hitam. Laki-laki tua berpakaian
compang-camping itu langsung terkejut
Pengemis Tongkat Hitam segera memandangi dua
orang kembar itu secara bergantian. Kepalanya jadi berputar tujuh keliling.
Sementara kedua Pendekar
Pulau Neraka tersebut juga memandang ke arah
Pengemis Tongkat Hitam yang tengah kebingungan.
"Kakek Pengemis..."
"Kakek Pengemis...."


Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Secara bersamaan kedua Pendekar Pulau Neraka
itu memanggil Pengemis Tongkat Hitam. Tentu saja
hal itu membuat Pengemis Tongkat Hitam semakin
bertambah kebingungan, karena suara kedua pendekar itu tidak berbeda sama sekali.
"Kakek Pengemis, tunjukkan siapa di antara kami Pendekar Pulau Neraka yang
asli," kata salah seorang pendekar itu.
"Benar, kau harus tunjukkan siapa yang asli,"
sambung satunya lagi.
Pengemis Tongkat Hitam tidak bisa langsung
menentukan. Meskipun dia sudah memandangi
dengan teliti, namun sukar untuk menentukan siapa
yang asli dan yang palsu. Pengemis Tongkat Hitam
kemudian menoleh ke arah goa, ketika telinganya
mendengar suara rintihan lirih.
"Murti...," desis Pengemis Tongkat Hitam dengan kening berkerut dalam.
Lalu tanpa menghiraukan tatapan kedua pendekar itu, Pengemis Tongkat Hitam melesat
masuk ke dalam goa. Tidak seorang pun dari kedua
Pendekar Pulau Neraka itu yang berusaha mencegah.
Sedangkan Pengemis Tongkat Hitam langsung tersentak begitu melihat Murti menggeletak tak
berdaya, dengan tubuh hanya tertutup oleh selembar kain.
Pengemis Tongkat Hitam segera menghampiri, dan
memeriksa tubuh gadis
itu. Kemudian jari-jari
tangannya bergerak lincah membuka totokan jalan
darah di tubuh gadis itu. Murti bergegas bangkit dan membenahi kainnya. Dia
langsung menangis di
pelukan laki-laki tua itu. Sementara Pengemis
Tongkat Hitam tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
Dia membiarkan saja gadis itu menumpahkan air
matanya di dalam pelukannya
Setelah beberapa saat Murti menguras air mata
nya, pelahan-laha dia melepaskan pelukannya, dan
beranjak berdiri. Wajahnya langsung berubah tegang, dan berlari keluar goa.
"Kubunuh kau, keparat...!"
teriak Murti melengking. *** "Murti...!"
Pengemis Tongkat Hitam bergegas melompat dan
menghadang Murti yang sudah mencapai luar goa.
Seketika Murti terperangah, begitu melihat ada dua Pendekar Pulau Neraka. Wajah
tegangnya berubah
jadi keraguan dan keheranan. Sedangkan Pengemis
Tongkat Hitam berdiri di samping gadis itu. Sementara dua Pendekar Pulau Neraka menatap
Murti tidak ber kedip.
"Murti, siapa yang membawamu ke sini?" tanya Pengemis tongkat Hitam.
Murti tidak bisa langsung menjawab. Dia terus
memandangi dua orang yang sama persis secara
bergantian. Hatinya jadi diliputi oleh keraguan dan keheranan. Tidak mungkin dia
asal tunjuk saja.
Tampak Murti hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Tidak..," desis Murti pelan.
Gadis itu lalu memandang Pengemis Tongkat
Hitam dan dengan cepat dia merampas pisau yang
selalu terselip di pinggang laki-laki tua itu. Sambil menjerit histeris,
mendadak Murti menghunjamkan
pisau itu ke dadanya sendiri.
"Murti..."' Pengemis Tongkat Hiiam terperanjat.
Kedua Pendekar Pulau Neraka itu pun terkejut.
Namun mereka tetap diam tidak bergerak. Sementara
Pengemis Tongkat Hitam langsung menubruk tubuh
gadis itu. Kemudian dia segera mencabut pisau yang terbenam dalam di dada Murti.
Darah langsung muncrat begitu pisau tercabut. Dengan cepat Pengemis Tongkat Hitam menotok jalan darah di
sekitar luka pada tubuh gadis itu. Darah pun
langsung berhenti mengalir.
"Murti, kenapa kau lakukan hal ini?" pelan suara Pengemis Tongkat Hitam.
"Dia telah membunuh orang tuaku, dan hampir
memperkosaku. Tidak ada gunanya lagi aku hidup...," pelan dan lirih suara Murti.
"Siapa?" desak Pengemis Tongkat Hitam.
"Pendekar Pulau Neraka...."
Belum lagi Pengemis Tongkat Hitam bertanya
lebih lanjut, Murti sudah keburu pingsan. Laki-laki tua itu kemudian meletakkan
tubuh gadis itu, dan
bangkit berdiri. Matanya kembali memandangi kedua
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Biadab! Kau harus bertanggung jawab, keparat!"
geram salah seorang Pendekar Pulau Neraka.
"Kau yang harus bertanggung jawab!" balas yang satunya lagi.
"Untuk apa kau lakukan semua itu" Kenapa kau
memfitnahku" Jawab !"
"Kau seharusnya yang menjawab, bukan aku!"
"Setan! Kau benar benar binatang!"
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Salah seorang Pendekar Pulau Neraka langsung
melompat menerjang Sedangkan Pendekar Pulau
Neraka lainnya segera mengegoskan tubuhnya ke
samping menyambar ke arah iga. Namun berhasil
dielakkan oleh yang satunya.
Sementara Pengemis Tongkat Hitam kini benar-
benar sudah kebingungan. Kedua pendekar itu
bertarung dengan mempergunakan jurus-jurus yang
sama persis. Mereka tampaknya juga sama-sama
tangguh, dan sudah menguasai betul akan jurus-
jurusnya. Pertarungan terus berjalan cepat. Masing-masing
mengerahkan serangan yang dahsyat dan mematikan. Namun sampai sejauh ini, belum ada
yang berhasil menyarangkan pukulan atau tendangan mautnya. Kini pertarungan itu sudah
mencapai lebih dari dua puluh jurus. Sementara itu tempat di sekitar pertarungan
tersebut, sudah porak-poranda bagai dilanda gempa. Kabut pun mulai
menyingkir, karena setiap pukulan yang mereka
lepaskan menimbulkan sapuan angin yang keras dan
dahsyat, di samping mengeluarkan haea panas yang
luar biasa. Dari tadi Pengemis Tongkat Hitam hanya bisa
menyaksikan dengan kepala pening. Dalam keadaan
seperti itu, ia semakin sulit untuk membedakan satu sama
lainnya. Setiap pergantian jurus, selalu bersamaan waktunya. Mereka seperti memiliki kontak batin yang sangat kuat.
"Hhh..., kalau begini terus, dua-duanya bisa ma-ti," desah Pengemis Tongkat
Hitam. Ada niat di hatinya untuk memisahkan kedua
orang yang sedang bertarung itu. Namun dia benar-
benar bingung, karena pertarungan dua Pendekar
Pulau Neraka itu berjalan semakin sengit dan
dahsyat. Pada saat itu, mendadak muncul Pendekar
Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau. Mereka
langsung mendekati Pengemis Tongkat Hitam. Sementara pertarungan terus berjalan cepat, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan berkelebatan saling sambar.
"Siapa yang bertarung?" tanya Pendekar Pedang Emas.
'Pendekar Pulau Neraka," sahut Pengemis Tongkat Hitam tanpa mengalihkan
perhatiannya. "Dengan siapa?" tanya Pendekar Pedang Emas lagi.
"Pendekar Pulau Neraka." Seketika Pendekar Pedang Emas tersentak kaget. Jawaban
laki-laki tua itu dirasakan sangat aneh, dan seperti bermain-main.
Namun belum juga Pendekat Pedang Emas membuka suara lagi, mendadak pertarungan
berhenti. Tampak
Pendekar Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau
terperangah! Hampir mereka tidak bisa mempercayai penglihatannya. Dua orang Pendekar Pulau Neraka
berdiri berhadapan dengan mata saling tatap tajam.
Secara bersamaan, mereka membuat gerakan tubuh
yang serupa. Lalu dengan berteriak lantang, mereka kembali melompat ke depan
dengan kedua tangan
terbuka menjulur ke depan.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
*** 8 Satu ledakan keras terdengar memekakkan telinga, ketika dua pasang telapak tangan berbenturan, di udara. Kedua Pendekar Pulau Neraka itu langsung terpental ke
belakang, dan jatuh
bergulingan di tanah. Namun mereka segera bangkit
kembali tampak dari lubang hidung dan sudut bibir
mereka mengeluarkan darah.
Kedua Pendekar Puiau Neraka itu kembali saling
mengeluarkan jurus-jurus simpanannya. Sungguh
sulit dipercaya, seperti ada yang memberi komando
saja, mereka melakukan gerakan yang sama persis,
lalu kembali melenting sambil berteriak nyaring.
Kembali terdengar suara ledakan keras menggelegar, bersamaan dengan berbenturannya
tangan mereka. Dan untuk kedua kalinya, mereka
terlontar ke belakang dengan keras! Namun kali ini ada sedikit perbedaan. Satu
dari Pendekar Pulau


Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Neraka itu tidak sampai jatuh terguling, dan berhasil menjejakkan kakinya di
tanah. Sedangkan satunya
lagi bergulingan beberapa kali di tanah sebelum bisa bangkit
"Ugh!"
Pendekar yang bergulingan di tanah itu, memuntahkan darah kental kehitaman. Tangan
kanannya tampak menekap dada, namun sorot
matanya tetap tajam pada lawannya. Mendadak saja
paras wajahnya berubah, ketika melihat lawannya
melepaskan senjata Cakra Maut keperakan, dari
pergelangan tangan kanannya
"Cabut cakra palsumu itu, bajingan!"
kata Pendekar Pulau Neraka yang sudah melepaskan
senjatanya. Dan tanpa menghiraukan sentakan itu, Pendekar
Pulau Neraka satunya lagi segera mengibaskan
tangan kanannya dengan cepat. Seketika benda-
benda kecil berbentuk bintang perak, bertebaran
meluruk ke arah lawannya.
"Yaaaat..!"
Pendekar Pulau Neraka itu langsung berlompatan
menangkis serangan, dengan senjata cakra di dalam
genggaman salah satu ujungnya.
Tring! Trang! Bintang-bintang perak itu tidak satu pun yang
mengenai sasaran. Dan begitu kakinya turun ke
tanah, dia menempelkan kembali senjatanya ke
pergelangan tangan kanannya. Tepat pada saat itu,
Pendekar Pulau Neraka satunya kembali melontarkan
bintang-bintang peraknya.
Tring! Cepat sekali tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
itu bergerak menangkis serbuan senjata bintang
perak, dan kakinya bergerak cepat menghindari
bintang-bintang perak yang tidak tertangkis. Sesaat, ketika serbuan bintang
perak itu berhenti, secepat kilat tangan kanannya mengibas ke depan dengan
tubuh agak membungkuk ke samping.
Slap! Seketika Cakra Maut bersegi enam keperakan di
pergelangan tangan kanan, melesat cepat bagai kilat Suaranya mendesing. Pendekar
Pulau Neraka yang
tadi melontarkan bintang-bintang perak Itu langsung terperangah, namun dengan
cepat dia berkelit
menghindarinya.
Sayang bahu kirinya sempat tergores juga. "Akh!"
Senjata cakra itu berbalik dengan cepat, dan
segera menyerang kembali. Pendekar Pulau Neraka
itu langsung berjumpalitan! Sedangkan pemiliknya
mengendalikan dari jarak tidak begitu jauh. Tangan kanannya terus bergerak-gerak
mengatur jalannya
Cakra Maut itu.
"Akh!"
Kembali terdengar pekikan tertahan. Tampak
tubuh Pendekar Pulau Neraka itu limbung, ketika
senjata itu berhasil menembus perutnya. Pada saat
itu, Cakra Maut kembali melesat, dan menempel ke
pergelangan tangan pemiliknya. Dan tanpa membuang waktu sedikit pun, dia segera melompat
sambil mengibaskan tangan kanannya.
Cras! "Aaa...!"
Seketika terdengar jeritan melengking tinggi.
Belum lagi hilang suara jeritan itu, mendadak tubuh Pendekar Pulau Neraka yang
tertancap cakra pada
dadanya, melambung tinggi ke udara, lalu jatuh
dengan keras ke tanah! Sedangkan Pendekar Pulau
Neraka satunya lagi langsung memburu, dan menekan lututnya ke dada lawannya yang terluka itu.
Sejenak dia mencabut cakra dari dada, dan menempelkannya kembali ke pergelangan tangannya.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Heh! Tak ada gunanya kau tahu, aku puas
meskipun harus mati di tanganmu," dengusnya
mengejek. "Monyet...!"
Plak! "Bayu...."
Pendekar Pulau Neraka yang sedang menekan
lawannya, langsung menoleh. Tampak Pengemis Tong
kat Hitam menghampiri dengan langkah cepat dan
lebar. Sementara Pendekar
Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau mengikuti dari belakang.
"Aku tahu siapa dia," kata Pengemis Tongkat Hitam.
Pendekar Pulau Neraka segera bangkit. Sedangkan
Pendekar Pulau Neraka satunya lagi semakin lemah
tak berdaya. Pengemis Tongkat Hitam kemudian
berlutut, dan tangannya menjulur ke wajah Pendekar Pulau Neraka yang menggeletak
tak berdaya. Lalu
dengan hati-hati sekali dia menarik kulit wajah itu Tampaklah di balik wajah
Pendekar Pulau Neraka Itu, tersembunyi wajah lain. Seorang laki-laki dengan
wajah buruk bagai kodok buduk.
*** Pendekar Pulau Neraka segera mengamati laki-
laki yang sudah terbuka kedoknya itu. Sementara
Pendekar Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau
hanya memperhatikan saja, dengan kepala dipenuhi
oleh berbagai macam pertanyaan. Pengemis Tongkat
Hitam lalu berdiri. Sebentar dia menatap wajah yang sudah pucat, dengan napas
kembang kempis tak
teratur, kemudian dia menatap pada Bayu, atau Pen-
dekar Pulau Neraka yang asli.
"Dia bernama Bagaspati, putra tunggal Pendeta Pasanta," kata Pengemis Tongkat
Hitam Bayu kembali memandangi wajah laki-laki yang
ternyata bernama Bagaspati. Dia sudah bisa menduga, kenapa laki-laki ini menyamar jadi Pendekar Pulau Neraka. Putra tunggal Pendeta
Pasanta itu pasti dendam, karena ayahnya tewas di
tangannya. Bayu juga tidak heran lagi, kenapa
Bagaspati bisa menguasai jurus-jurusnya dengan
baik. Hal itu disebabkan Pendeta Pasanta sempat
mencuri kitab peninggalan Eyang Gardika, guru
Pendekar Pulau Neraka, dari tangan Branta Ireng,
atau si Iblis Hitam (Bacalah Serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah,
"Pengantin Dewa Rimba").
"Sebenarnya, maksudku datang ke Desa Gampit
memang untuk memburu Bagaspati, yang telah
membuat banyak kekacauan di daerahku. Juga
Pendeta Pasanta, yang selalu melindunginya. Mereka memang ahli dalam hal
menyamar, merubah wajah,
menirukan suara orang, dan mencuri ilmu. Dan aku
tahu, saat dia mempergunakan senjata bintang perak dia
sebenarnya mempergunakan jurus 'Seribu Mutiara Hitam'. Senjata aslinya adalah berupa bola hitam yang beracun sangat
mematikan," Pengemis Tongkat Hitam menjelaskan.
"Licik!" desis Bayu geram.
Tiba-tiba dengan kemarahan yang memuncak,
Bayu langsung mengangkat tubuh Bagaspati. Dan
dengan cepat tangan kanannya melayang ke arah
leher! Seketika Bagaspati memekik keras, lalu
menggelepar. Bayu pun segera mencampakkan tubuh
Bagaspati dengan kasar.
Bagaspati masih menggelepar sesaat, lalu diam
dan tidak bergerak-gerak lagi. Sementara itu Pengemis Tongkat Hitam, Pendekar Pedang Emas dan
Malaikat Bayangan Hijau hanya menarik napas
panjang menyaksikan kesadisan Pendekar Pulau
Neraka itu Saat itu matahari mulai menampakkan cahayanya
di ufuk Timur. Kabut yang menyelimuti Puncak
Gunung Panjalukan itu, sedikit demi sedikit tersibak.
Dan kehangatan sang mentari pagi pun mulai terasa.
Bayu kemudian melangkah menghampiri tubuh
Murti, yang masih tidak sadarkan diri. Dia lalu
mengangkat tubuh gadis itu dan menggendongnya.
Kembali langkah kakinya terayun meninggalkan
tempal itu. Tapi baru saja dia berjalan sejauh dua tombak,
langsung terjatuh. Dan gadis yang dipondongnya itu pun tergulir lepas dari
tangannya. Tampak Bayu
memuntahkan darah kental kehitaman.
"Bayu...!" Pengemis Tongkat Hitam terkejut.
Laki-laki tua itu bergegas menghampiri. Matanya
langsung membeliak begitu melihat pundak Bayu
terluka memar merah sebesar kepalan tangan. Buru-
buru dia menotok di sekitar luka memar itu.
"Kau terkena 'Pukulan Tapak Berbisa'," kata Pengemis Tongkat Hitam.
"Pengemis Tongkat Hitam, sebaiknya kau segera bawa dia ke Tabib Salaka, hanya
dialah yang mampu
menyembuhkan 'Pukulan Tapak Berbisa'," kata
Pendekar Pedang Emas.
"Ugh!" Bayu kembali terbatuk dan memuntahkan darah kental kehitaman.
Maka tanpa menunggu waktu lagi, Pengemis
Tongkat Hitam segera memondong tubuh Pendekar
Pulau Neraka, dan membawanya pergi dengan cepat.
Dalam waktu singkat saja. Bayangan tubuhnya
sudah lenyap ditelan kelebatan hutan.
Sementara Pendekar Pedang Emas segera mengangkat tubuh Murti, dan membawanya meninggalkan Puncak Gunung Panjalukan. Sedangkan Malaikat Bayangan Hijau mengikuti di
sampingnya. Mereka kemudian meninggalkan tempat
itu bersamaan dengan semakin naiknya matahari.
"Hendak kau bawa ke mana gadis itu?" tanya Malaikat Bayangan Hijau.
"Ke Desa Galuhung," sahut Pendekar Pedang Emas. "Biar para penduduk desa yang
merawatnya. Untung dia belum sempat jadi korban."
"Sebaiknya kita bawa juga mayat Dewi Ranti,"
usul Malaikat Bayangan Hijau.
"Ya, cepatlah kau ambil mayatnya." Malaikat Bayangan Hijau segera melompat
menuju lereng berbatu. ***

Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat itu di pondok Tabib Salaka, Pendekar Pulau
Neraka tampak terbaring di atas dipan kayu beralaskan tikar daun pandan. Sementara Tabib
Salaka tengah berusaha mengeluarkan racun yang
mengendap di dalam tubuh Bayu. Sedangkan Pengemis Tongkat Hitam menungguinya tidak jauh
dari tempat tidur itu.
"Hhh...!" Tabib Salaka menarik napas panjang seraya bangkit
"Bagaimana, Ki?" tanya Pengemis Tongkat Hitam cemas.
"Tidak parah, untung belum menyebar. Sebentar lagi juga akan pulih," sahut Ki
Salaka. Pengemis Tongkat Hitam segera menarik napas
lega "Apakah dia bertarung dengan Pendeta Pasanta?"
tanya tabib Salaka.
"Anaknya."
"Hhh! Rupanya Ayah dan anak sama saja."
"Tapi semuanya sudah tewas, Ki."
"Syukurlah.
Kalau manusia-manusia
seperti mereka dibiarkan hidup, bisa hancur dunia in "
Tabib Salaka memandang Bayu sejenak, lalu dia
menarik tangan Pengemis
Tongkat Hitam, dan
membawanya ke luar pondok. Sedangkan Pengemis
Tongkat Hitam hanya menurut saja. Mereka kemudian berhenti di bawah pohon rindang di depan
pondok kecil itu.
"Bukankah dia Pendekar Pulau Neraka, yang telah membuat
keonaran di sekitar Kaki Gunung Panjalukan ini?" agak berbisik suara Ki Salaka.
"Benar," sahut Pengemis Tongkat Hitam.
"Kenapa kau bawa dia ke sini"'
"Ceritanya panjang, Ki. Yang jelas, dia Pendekar Pulau Neraka yang asli."
"Maksudmu?"
"Akan kuceritakan semuanya kalau dia sudah
sehat." "Baiklah, kau janji. Aku tidak mau menolong
orang jahat seperti Pendekar Pulau Neraka "
"Pendekar Pulau Neraka tidak jahat, Ki. Tindakannya memang tegas, bahkan cenderung
kejam. Tapi dia tidak sembarangan bertindak, Ki "
"Yang namanya penjahat, tetap saja jahat."
Pengemis Tongkat Hitam hanya tersenyum saja.
Kemudian dia melangkah kembali ke dalam pondok.
Tampak Bayu masih terbaring tidak sadarkan diri.
Noda merah pada pundaknya sudah hilang. Kini Pen-
dekar Pulau Neraka itu tinggal menunggu kesehatan-
nya pulih. "Sayang sekali, kau sudah terlanjur dicap sebagai pendekar kejam, Bayu," desah
Pengemis Tongkat Hitam pelan.
Entah kenapa, Pengemis Tongkat Hitam tersenyum. Mungkin dia teringat dengan kata-kata
Bayu, bahwa dia tidak peduli dengan aliran dalam
rimba persilatan. Siapa saja yang menantangnya
akan dihadapi! Mungkin hal itu dikarenakan oleh
latar belakang kehidupannya.
"Kenapa kau tersenyum, Kakek Pengemis?"
"Oh!" Pengemis Tongkat Hitam terperanjat. Dia terkejut sekali begitu melihat
Bayu tahu-tahu sudah duduk.
"Kau belum pulih benar, Bayu. Sebaiknya segera berbaring lagi," kata Ki Salaka,
yang sejak tadi memperhatikan.
"Terima kasih, aku harus segera melanjutkan
perjalanan," sahut Bayu.
"Bayu...."
Pengemis Tongkat Hitam mau mencegah. "Maaf, aku tidak bisa lama-lama berada di sini."
Kemudian Bayu segera mengayunkan langkahnya
keluar dari pondok itu. Pendekar Pulau Neraka it
uterus berjalan, tanpa menoleh sedikit pun. Sementara Pengemis Tongkat Hitam hanya bisa
memandangi saja. Dia sudah
bisa memahami wataknya yang keras. Sedangkan Ki Salaka tampak
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia heran, tapi
juga kagum dengan daya tahan tubuh Bayu yang luar
biasa. Tak lama kemudian Pengemis Tongkat Hitam juga
minta diri. Tapi Ki Salaka mencegahnya Dia segera
mengingatkan janji Pengemis Tongkat Hitam untuk
menceritakan tentang Pendekar Pulau Neraka. Laki-
laki tua berbaju compang-camping itu pun tak bisa
menolak. Dia sudah terlalu banyak menyusahkan
tabib itu, dan tidak keberatan untuk menceritakan
tentang semuanya. Sementara itu Pendekar Pulau
Neraka sudah semakin jauh meninggalkan pondok
Tabib Salaka. Dia berjalan ke arah Timur. Sebuah
perjalanan panjang yang berliku, dan penuh tantangan! SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Dendam Darah Tua 2 Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih Pendekar Guntur 7
^