Pencarian

Pendekar Kembar 1

Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar Bagian 1


PENDEKAR KEMBAR
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku Ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Teguh Supnanto Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Pendekar Kembar
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Pagi itu langit kelihatan cerah. Matahari bersinar penuh, tanpa sedikit pun awan
yang menghalangi.
Burung-burung berkicau riang sambil berlompatan
dari dahan ke dahan. Sementara anak-anak pun tampak ceria bermain air di sungai
yang mengalir jernih, membawa berkah kehidupan dan kemakmuran. Gadis-gadis desa juga bergembira
merendam tubuhnya sambil mencuci. Di sepanjang
sungai Desa Galuhung tak seorang pun yang
berwajah murung.
Tidak jauh dari sungai itu, tampak seorang
pemuda gagah dan berbaju kulit harimau tengah
berdiri tegak sambil memandang ke arah sungai.
Tatapan matanya terus tertuju pada seorang gadis
yang tengah bercanda ria bersama gadis-gadis lain.
Kain basah yang membelit tubuhnya, hampir melorot
turun, sehingga menampakkan kulit dadanya yang
putih halus. Dua gundukan di dadanya menyembul
hampir ke luar. Tak lama kemudian, gadis itu pun
membetulkan kainnya, dan mengangkat keranjang
cuciannya. "Aku duluan, ya...!" seru gadis itu dengan nada ceria.
Sedang gadis-gadis lainnya menyahuti dengan
mengangkat tangannya. Ada beberapa orang yang
menggodanya, membuat wajah gadis itu sedikit
bersemu merah. Dia kemudian melangkah keluar dari dalam sungai. Tampak seorang
anak kecil segera
membantunya dengan mengambil keranjang yang
sedang dibawa gadis itu. Dan sambil berlari lari kecil, bocah
itu memanggul keranjang meninggalkan sungai. Gadis itu hanya tersenyum dan melangkah
pelan-pelan di jalan setapak, meninggalkan sungai
itu Sementara canda tawa ceria masih terdengar,
membuat pagi yang indah itu jadi semakin semarak.
Dengan langkah pelan dan ceria, gadis itu terus
berjalan semakin jauh meninggalkan sungai. Sementara anak kecil yang membawa keranjangnya
sudah cukup jauh meninggalkannya.
Sejenak tangannya yang halus lentik, memetik bunga-bunga
yang tumbuh di sepanjang jalan setapak itu. Dari
bibirnya terdengar suara menggumam menyanyikan
lagu yang iramanya terdengar merdu. Dan saat dia
mencapai tikungan jalan, langkahnya mendadak
terhenti. Tampak seorang pemuda tampan dan gagah
sudah berdiri di tengah-tengah jalan menghadangnya. "Maaf," gadis
itu menganggukkan
kepalanya seraya berjalan menyamping melanjutkan langkahnya. Namun pemuda itu segera menyambar tangannya
dan mencekalnya dengan kuat. Gadis itu pun
langsung tersentak kaget.
"Heh! Apa-apaan ini"!"
sentak gadis itu memberengut "Kau cantik, aku suka padamu," kata pemuda itu sambil tersenyum menyeringai.
"Lepaskan!" gadis itu menyentakkan tangannya, tapi cekalan pemuda itu lebih
kuat. "Kau bertambah cantik kalau marah begitu,
Manis" Melihat keadaan demikian, naluri gadis itu segera
mengatakan kalau dirinya sedang menghadapi bahaya. Maka dengan sekuat tenaga, dia kembali
menyentakkan cekalan pemuda itu. Begitu terlepas, dia langsung lari. Namun baru
saja dia berlari
beberapa depa, tahu-tahu pemuda itu sudah berdiri
menghadangnya. gadis itu buru-buru berbalik dan
kembali berlari. Tapi pemuda itu kembali menghadangnya. Kini pucat pasi-lah wajah gadis itu.
Napasnya mulai memburu. Rasa takut pun langsung
menghinggapi dirinya.
"Kau tidak akan bisa lepas dariku, Manis...,"
lembut suara pemuda berbaju kulit harimau itu.
Namun di balik kelembutannya, mengandung nada
ancaman. Tiba-tiba saja pemuda itu melompat, dam langsung menerkam gadis itu. Jeritan tertahan segera terdengar. Dan tanpa dapat
ditahan lagi, mereka
jatuh bergulingan di atas rerumputan kering. Gadis itu memberontak sambil
menjerit-jerit, berusaha
melepaskan diri dari dekapan pemuda itu. Namun
dengan ganas dan liar, pemuda itu merenggut kain
basah yang melilit tubuh gadis itu.
"Akh...!" gadis itu menjerit kaget
Tangannya jadi sibuk menutupi bagian-bagian
tubuhnya yanq terbuka. Dalam keadaan demikian,
mata pemuda itu semakin liar merayapi tubuh indah
di dalam dekapannya. Namun dia agak kewalahan
juga, karena gadis itu terus memberontak sambil
menjerit jerit "Lepaskan! Au...! Tolooong...!" jerit gadis itu melengking.
"Diam!" bentak pemuda itu kasar
Plak! "Ah...!"
Satu tamparan keras membuat gadis itu kembali
menjerit. Pipinya jadi merah bergambar lima jari
tangan. Air mata mulai menitik dari sudut matanya
yang indah. Perlawanan gadis itu langsung berhenti.
Dia merintih, memohon belas
kasihan. Namun pemuda itu tidak mempedulikan lagi. Dan pada saat
dia hampir terlaksana maksudnya, mendadak terdengar sebuah bentakan keras yang mengejutkan.
"Hey...!"
Pemuda itu langsung tersentak dan menoleh.
Tampak seorang laki-laki muda bertubuh tegap
tengah berlari menghampiri. Dan di saat pemuda itu lengah, gadis itu segera
memanfaatkannya untuk
memberontak. Kemudian dia langsung berdiri dan
berlari sambil membetulkan kainnya.
"Setan!" dengus pemuda berbaju kulit harimau itu.
'Tolong aku, Kang. Dia mau memperkosaku...!"
rintih gadis itu seraya berlindung di balik tubuh
pemuda yang baru datang.
"Phuih!" pemuda itu menyemburkan ludahnya Matanya tajam menatap pada laki-laki
tampan dan gagah, berbaju kulit harimau di depannya.
Dua laki-laki muda dan tampan itu saling
bertatapan dengan
tajam. Sementara si gadis beringsut mundur menjauh. Tangannya tetap memegangi kain di depan dada. Keadaannya kini
sudah benar-benar tidak karuan. Tampak kainnya
sudah sobek-sobek di beberapa bagian. Rambutnya
juga kusut tidak teratur. Namun dia tidak peduli lagi dengan keadaan dirinya.
Matanya menatap penuh
kekhawatiran pada
pemuda yang baru datang menolongnya. *** "Siapa kau, orang asing?" tanya pemuda itu ketus.
"Aku, Pendekar Pulau Neraka!" sahut laki-laki tampan berbaju kulit harimau.
Suaranya dingin
menggetarkan. Pemuda itu tampak terkejut mendengar nama
Pendekar Pulau Neraka disebut. Matanya merayapi
dengan tajam pada laki-laki muda tampan di
depannya. Dia memang pernah mendengar nama
Pendekar Pulau Neraka, seorang pendekar digdaya
yang sukar untuk dicari tandingannya. Pemuda itu
kemudian melangkah mundur dua tindak. Ada
sedikit rasa gentar yang tiba tiba menghinggapi.
"Murti, cepat lari. Selamatkan dirimu!" kata pemuda itu sambil menoleh pada
gadis yang masih
berdiri memandanginya.
"Kakang...," gadis itu terasa berat untuk pergi.
"Cepat pergi!" bentak pemuda Itu.
Dan masih dengan hati ragu-ragu, gadis itu pun
berbalik dan langsung berlari cepat. Namun baru saja dia berlari, laki-laki
berbaju kulit harimau yang
mengaku Pendekar Pulau Neraka itu, langsung
melompat mengejar. Pemuda gagah dengan dada
telanjang, se gera melompat memapaknya.
"Hiya...!"
Teriak pemuda itu seraya melancarkan dua kali
pukulan yang beruntun, namun dengan manis sekali
laki-laki berbaju kulit harimau bisa mengelakkannya.
Dan tanpa diduga sama sekali, kakinya mendadak
bergerak cepat menyepak. Tentu saja pemuda itu
terperangah, buru-buru dia berkelit, namun sepakan kaki
laki-laki berbaju kulit harimau berhasil bersarang di pundaknya.
"Akh!" pemuda itu langsung memekik tertahan.
Tubuhnya terjungkal ke tanah.
"Kakang Saka...!" jerit Murti terkejut melihat pemuda yang menolongnya
bergulingan di tanah.
"Cepat pergi, Murti!" bentak pemuda bernama Saka itu. Dia segera melompat
bangkit. Bibirnya


Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak menyeringai merasakan sakit pada pundaknya. Namun Murti malah berlari menghampiri Saka
Dipta. Dan hal itu segera dimanfaatkan oleh laki laki yang mengaku bernama
Pendekar Pulau Neraka.
Kemudian dengan cepat dia melompat, dan menerkam gadis itu.
"Akh!"
"Murti...!"
Laki-laki yang mengaku bernama Pendekar Pulau
Neraka berhasil meringkus Murti dengan kuat.
Sedang gadis itu langsung menjerit sambil meronta
berusaha melepaskan diri. Melihat itu Saka Dipta jadi geram. lalu tanpa
menghiraukan lagi siapa orang
yang sedang dihadapi itu, dia segera melompat sambil mengirimkan dua kali
pukulan beruntun.
Pendekar Pulau Neraka berhasil mengelakkan
serangan Saka Dipta, namun dia jadi geram, karena
Murti menggigit tangannya. Sambil menahan marah,
dia segera mendorong dengan keras tubuh gadis itu, hingga terjungkal ke tanah.
Seketika Murti memekik kesakitan.
Buru-buru Saka Dipta melompat menghampiri gadis itu, dan membantunya bangun.
"Cepat pergi! Minta bantuan pada orang-orang
desa!" kata Saka Dipta sedikit membentak.
"Kakang...."
"Jangan hiraukan aku, cepat pergi!" bentak Saka Dipta.
Murti segera beringsut mundur menjauh, dan
langsung berlari cepat ke desanya. Tentu saja laki-laki tampan berbaju kulit
harimau, menggeram
melihat gadis itu berlari semakin jauh. Maka dengan nyalang matanya menatap Saka
Dipta, yang sudah
kembali bersiap-siap menghadapi laki-laki yang
berpakaian mirip dengan Pendekar Pulau Neraka.
Saka Dipta yang sudah banyak mendengar
tentang sepak terjang Pendekar Pulau Neraka dari
gurunya, kini semakin berhati-hati. Dia sadar kalau tidak mungkin bisa
menandingi pendekar itu. Dan
Saka Dipta semakin yakin, kalau laki-laki di
depannya itu adalah benar-benar Pendekar Pulau
Neraka yang sering didengar ceritanya, dan selalu
menjadi pembicaraan hangat di kalangan kaum
rimba persilatan, karena tindakannya yang tegas dan kejam pada setiap lawannya.
*** Sementara itu Murti terus berlari dengan sekuat
tenaga. Dia terus berteriak-teriak minta tolong.
Tampak beberapa orang yang tengah bekerja di
ladang, terkejut mendengar teriakan itu. Bahkan para penduduk
Desa Galuhung sampai berlarian menghampiri gadis itu. Murti kemudian berhenti
terengah-engah dengan keringat membanjiri seluruh
tubuhnya. Sebentar saja di sekelilingnya sudah
berkumpul orang-orang desa, laki-laki, perempuan,
tua dan muda. Mereka semuanya membawa senjata
bermacam-macam.
"Murti, ada apa?" tanya seorang laki-laki tua berjubah putih.
"Ki Sandak..., tolong, Ki. Kakang Saka sedang bertarung dengan Pendekar Pulau
Neraka," sahut Murti masih tersengal.
"Pendekar Pulau Neraka..."! Di mana?" laki-laki tua berjubah putih yang bernama
Ki Sandak itu terkejut. "Di sana, Ki. Di jalan setapak yang menuju
sungai," sahut Murti sambil menunjuk ke arah
sungai. Ki Sandak tidak bertanya lagi, dengan cepat dia
melompat dan berlari bagai angin. Para penduduk
desa segera mengikuti. Sedang Murti masih berdiri
bengong, tampak seorang perempuan tua berjalan
menghampiri. Dan Murti langsung memeluk perempuan tua itu, yang di belakangnya berdiri
seorang laki-laki berusia lanjut.
"Ibu..," Murti langsung menangis di pelukannya.
"Sudahlah, Murti. Kau tidak apa-apa, kan?"
lembut suara wanita tua itu. Murti hanya menggeleng. "Sebaiknya kalian segera pulang, aku akan
menyusul yang lain," kata laki-laki lanjut usia yang sejak tadi diam saja.
Perempuan tua itu pun membimbing anaknya
pulang sedangkan laki-laki berbaju putih bersih itu segera melangkah menyusul
yang lainnya. Benaknya
terus berputar dengan segudang tanda tanya. Dia
sering mendengar sepak terjang Pendekar Pulau
Neraka, tapi rasanya tidak mungkin, kalau pendekar itu
sampai berbuat tidak senonoh, dan mementingkan nafsu setannya.
Pendekar Pulau Neraka memang sudah terkenal
dengan kekejamannya. Tapi perbuatannya yang tidak
mengenal belas kasihan itu hanya pada lawan-
lawannya. Baru kali ini laki-laki tua itu mendengar perbuatan Pendekar Pulau
Neraka di luar kontrol.
Dan itu terjadi pada anak gadisnya. Namun dia
masih bersyukur, karena Murti belum sempat
ternodai. *** Sementara itu di jalan setapak menuju sungai,
Saka Dipta tengah bertarung melawan Pendekar
Pulau Neraka. Pertarungan mereka berjalan tidak
seimbang, dan Saka Dipta terus menjadi bulan-
bulanan Pendekar Pulau Neraka. Sudah beberapa
kali pukulan dan tendangan keras mendarat di tubuh pemuda itu, namun Saka Dipta
pantang menyerah.
Dia tetap melakukan perlawanan sengit.
Perlawanan Saka Dipta yang alot tentu saja
membuat Pendekar Pulau Neraka itu jadi sengit. Dia pun meningkatkan serangannya
lebih hebat lagi.
Hingga satu saat, pukulan mautnya berhasil mendarat di dada Saka Dipta.
"Akh!" seketika Saka Dipta memekik tertahan.
Dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terlontar
keras menghantam pohon. Pemuda itu menggelosor
ambruk ke tanah. Buru-buru dia berusaha untuk
bangkit kembali, namun dadanya mendadak terasa
sesak dan panas bagai terbakar. Dia memuntahkan
darah kental kehitaman. Sedangkan Pendekar Pulau
Neraka segera menghampiri dengan tatapan mata
tajam dan bengis.
"Kau telah berani mencampuri urusanku, itu
berarti bahwa kau harus mati di tangan Pendekar
Pulau Neraka!" dingin suara Pendekar Pulau Neraka.
"Phuih! Kau pikir aku takut mati, manusia iblis!"
dengus Saka Dipta geram.
Pendekar Pulau Neraka melangkah semakin dekat,
dan tangannya sudah terkepal erat. Saka Dipta
tampak pasrah, namun matanya bersorot tajam
penuh kebencian. Tiba-tiba dengan satu teriakan
melengking tinggi, Pendekar Pulau Neraka melompat
deras, dan menghajar kepala Saka Dipta dengan satu pukulan keras bertenaga dalam
sempurna. Prak! "Aaa...!" seketika Saka Dipta menjerit melengking tinggi.
Sebentar tubuhnya menggelepar, lalu diam dengan kepala retak. Pendekar Pulau Neraka masih
memandangi mayat lawannya. Bi birnya segera menyunggingkan senyum sinis dan dingin. Tapi
mendadak kepalanya terangkat ke atas. Dia mendengar suara langkah-langkah kaki menghampiri.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berbaju
kulit harimau itu melesat cepat dan tangannya
sempat melontarkan sebuah benda berwarna keperakan. Benda itu pun langsung tertanam di dada Saka Dipta yang sudah mati!
Tidak lama setelah pemuda itu pergi, tampak Ki
Sandak berlari-lari diikuti oleh beberapa orang di belakangnya.
Mereka semua memegang senjata bermacam-macam. Malah ada di antaranya yang
memegang cangkul. Mereka memang rata-rata penduduk desa yang sehari-harinya bertani.
"Saka Dipta...!" seru Ki Sandak tersentak kaget begitu melihat Saka Dipta
menggeletak dengan kepala pecah.
Mereka yang berlari mengikuti Ki Sandak, langsung berhenti begitu melihat laki-laki tua itu menubruk dan memeluk Saka
Dipta. Sebagian ada
yang meringis ngeri melihat mayat pemuda itu. Ki
Sandak kemudian mencabut benda berbentuk bintang dan berwarna perak, dari dada Saka Dipta
yang berwarna hitam membiru bagai terbakar.
Tiga orang pemuda bertubuh tegap dengan
pedang tergantung di pinggang, segera mendekat di
saat Ki Sandak beranjak bangkit. Ketiga pemuda itu segera
mengangkat tubuh Saka Dipta, dan membawanya meninggalkan tempat itu. Sedang Ki
Sandak mengikutinya dengan kepala tertunduk.
Sesekali dia melihat benda berbentuk bintang keperakan di dalam genggaman tangannya. Para
penduduk juga mengikuti dari belakang. Tidak ada
seorang pun yang bicara.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Ki Sandak selalu mengamati benda di tangannya.
"Kakang," panggil seorang laki-laki berusia lanjut dan berbaju putih sambil
menghampiri. "Adi Lebong, bagaimana keadaan putrimu?" Tanya Ki Sandak.
Laki-laki berusia lanjut dan ternyata ayah Murti,
tak segera menjawab. Dia malah memandang mayat
Saka Dipta yang tengah digotong oleh tiga orang
pemuda bertubuh tegap. Matanya lalu beralih ke
tangan Ki Sandak. Dan dia segera mengambil benda
berbentuk bintang keperakan itu.
"Apakah benda ini tadi ada di tubuh Saka Dipta?"


Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya Ki Lebong tanpa menjawab pertanyaan Ki
Sandak lebih dulu.
"Ya," sahut Ki Sandak pelan.
"Pendekar Pulau Neraka selalu meninggalkan senjata bintang sebagai tanda kemunculannya,"
gumam Ki Lebong pelan.
Ki Sandak tidak menyahuti. Dia diam saja dengan
kepala tertunduk. Sedang Ki Lebong juga tidak lagi membuka mulutnya. Mereka
terus berjalan pelan-pelan mengikuti yang lain. Ki Lebong bisa merasakan, betapa
pedihnya perasaan yang diderita oleh kakak
kandungnya saat ini. Memang berat kehilangan
seorang murid utama kesayangan. Apalagi kematiannya karena dibunuh oleh seorang pendekar
yang sudah ternama, dan selalu menggemparkan
pada setiap kali kemunculannya.
Kini pagi yang semula ceria, dan penuh dengan
canda tawa riang, berubah jadi mendung berseling
duka. Kematian seorang murid utama Padepokan
Galuhung membuat semua orang bersedih.
*** 2 Peristiwa yang terjadi di Desa Galuhung itu, cepat menyebar sampai ke desa-desa
tetangganya. Bahkan
sampai ke desa yang jauh sekalipun. Nama Pendekar
Pulau Neraka kini semakin dikenal dan ditakuti.
Pendekar itu juga selalu muncul dengan tiba-tiba,
dan membuat keonaran di seluruh desa sekitar Kaki
Gunung Panjalukan. Beberapa padepokan sudah
mulai gelisah dan membicarakan sepak terjang
Pendekar Pulau Neraka, yang dianggap sudah melewati batas-batas kemanusiaan.
Daiam waktu beberapa pekan saja, sudah tidak
terhitung lagi gadis-gadis yang menjadi korban
kepuasannya. Mereka yang berusaha menentang,
selalu tewas dengan mengerikan. Dan pada setiap
mayat yang tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka,
selalu tertancap senjata bintang keperakan. Seluruh desa di sekitar Kaki Gunung
Panjalukan diliputi
kegelisahan dan kecemasan. Bahkan kini gadis-gadis tidak ada yang berani ke luar
rumah sendirian.
Hari itu seluruh ketua padepokan di seluruh
wilayah tersebut berkumpul di Padepokan Galuhung.
Dan maksud dari mereka berkumpul sudah jelas,
mereka akan membicarakan tentang sepak terjang
Pendekar Pulau Neraka. Karena semakin hari tindakan pendekar itu semakin brutal. Bukan saja
gadis-gadis yang menjadi sasarannya, bahkan harta
benda penduduk pun menjadi sasaran.
"Saudara-saudara sekalian, mungkin saudara-
saudara sudah mengetahui maksud dari undanganku
ini," Kata Ki Sandak membuka pertemuan ini
Semua yang hadir di ruangan besar Padepokan
Galuhung tersebut mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka semua rata-rata sudah tua.
Dilihat dari pakaian dan sikap mereka, orang-orang itu adalah tokoh-tokoh rimba
persilatan yang selalu menentang keangkaramurkaan.
"Aku sengaja mengumpulkan saudara-saudara di
sini, khusus untuk membicarakan tentang tindakan
Pendekar Pulau Neraka...," lanjut Ki Sandak dengan suara penuh kewibawaan.
"Benar!" celetuk salah seorang yang duduk paling depan.
Orang itu mengenakan jubah panjang berwarna hijau tua. Dia dikenal sebagai ketua
padepokan di Kaki Gunung Panjalukan sebelah Utara
Namanya Ki Jarak. "Tindakan Pendekar Pulau Neraka memang tidak bisa didiamkan
begitu saja. Kita
semua sudah tahu, bagaimana sepak terjangnya
sebelum sampai ke sini."
'Tunggu dulu!" celetuk salah seorang lagi. Tampak seorang laki-laki setengah
baya berusia sekitar empat puluh tahun, segera berdiri. Wajahnya tampan, dan
tubuhnya tegap. Dia menyandang sebilah pedang di
punggung bergagang kuning keemasan. Pemuda itu
juga mengenakan baju ketat berwarna kuning emas.
Sebenarnya dia bukan utusan dari suatu padepokan,
tapi seorang pendekar kelana yang selalu memerangi kezaliman.
Semua mata memandang pada Pendekar Pedang
Emas. Mereka semua tahu, siapa dia sebenarnya.
Seorang pendekar yang arif dan bijaksana. Tindakannya selalu dipikirkan dulu masak-masak,
tidak main hantam kromo
tanpa perhitungan.
Bahkan tidak jarang dia mengampuni lawannya yang
tidak berdaya. "Aku sering mendengar sepak terjang Pendekar
Pulau Neraka. Meskipun aku belum pernah berjumpa
dengannya, tapi aku yakin kalau dia bukan seorang
pendekar beraliran sesat. Memang tindakannya bisa
dikatakan kejam, tapi tidak brutal. Terus terang, aku masih belum yakin kalau
pengacau itu adalah
Pendekar Pulau Neraka!" kata Pendekar Pedang Emas lantang.
Sebentar saja suara bergumam terdengar memenuhi ruangan besar itu. Kata-kata Pendekar
Pedan-Emas tidak pernah mereka duga sebelumnya.
Mereka semua yang ada di ruangan itu tadinya
sepakat, untuk menghadapi Pendekar Pulau Neraka
sampai titik darah penghabisan. Tapi ternyata masih ada juga orang yang belum
percaya akan hal itu.
"Saudaraku, Pendekar Pedang Emas. Aku juga
belum pernah bentrok dengan Pendekar Pulau
Neraka, tapi aku punya bukti kuat, kalau semua
kekacauan yang terjadi akibat ulahnya. Lihat ini !"
kata Ki Sandak sambil mengeluarkan bintang keperakan dari balik lipatan jubahnya.
Kembali terdengar suara menggumam bagai lebah
diusik sarangnya. Mereka semua sudah mengenali
benda itu. " Bukan hanya benda ini saja sebagai bukti, tapi juga keterangan orang-orang
yang selamat dari
cengkeraman mautnya. Mereka semua mengatakan,
bahwa orang itu Pendekar Pulau Neraka. Seorang
pemuda yang mengenakan baju dari kulit harimau.
Bukankah itu ciri-ciri Pendekar Pulau Neraka?"
sambut Ki Sandak mantap.
"Saudara Pendekar Pedang Emas, kami semua
juga punya bukti kuat, kalau tindakan Pendekar
Pulau Neraka sudah melampaui batas kemanusiaan.
Sejak kemunculannya di Pesisir Pantai Selatan, dia sudah meminta banyak korban!"
celetuk seorang laki-laki tua yang memegang sebatang tongkat berbentuk
ular. Pendekar Pedang Emas kembali duduk. Dia tidak
bisa berkala apa-apa lagi. Semua bukti memang
menyatakan, kalau semua perbuatan dan kejadian
yang meresahkan itu, adalah perbuatan Pendekar
Pulau Neraka. Namun dalam hatinya masih belum
yakin benar, jauh-jauh dia datang memenuhi undangan Ki Sandak, memang bukan untuk langsung mendukung menghadapi Pendekar Pulau
Neraka, tapi mencoba untuk mengajak mereka semua
menimbang kembali. Tapi rupanya mereka sudah
begitu yakin akan keputusannya itu.
Semakin lama, pembicaraan tokoh-tokoh persilatan itu semakin menghangat. Dan mereka
kemudian mengambil satu kesepakatan, untuk menghadapi Pendekar Pulau Neraka bersama-sama.
Mereka yakin, dengan kekuatan yang bersatu penuh,
cita-cita mereka akan berhasil. Sementara Pendekar Pedang Emas hanya diam dengan
benak bekerja keras. Pada saat mereka sedang berunding, tiba-tiba
terdengar suara tawa terbahak-bahak. Suara tawa itu bergema seolah-olah datang
dari segala penjuru mata angin. Tentu saja yang berada di ruangan itu
serempak bangkit, dan langsung berlompatan ke
luar. Suara tawa itu terus terdengar semakin
melengking tinggi.
*** Seorang laki-laki tua berbaju kumal dan penuh
tambalan, tampak duduk di sebuah dahan pohon
dekat pagar tembok, yang mengelilingi Padepokan
Galuhung. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat
berwarna hitam pekat. Laki-laki tua itu tertawa
terbahak-bahak, seperti sedang menonton suatu
pertunjukan badut. Hal itu membuat tokoh-tokoh
persilatan yang sedang berkumpul di padepokan itu
jadi geram. "Pengemis Tongkat Hitam, silakan turun. Maaf
aku telah lupa untuk mengundangmu," kata Ki
Sandak yang mengenali siapa laki-laki tua itu.
"He he he...," laki-laki tua yang ternyata Pengemis tongkat hitam itu kembali
terkekeh lalu dengan
gerakan ringan, dia meluruk turun dari dahan pohon itu.
"Selamat datang di padepokanku yang buruk ini,
Pengemis Tongkat Hitam," sambut Ki Sandak ramah.
"He...he...he...," untuk kesekian kalinya Pengemis Tongkat Hitam terkekeh. Matanya
tampak merayapi
orang-orang yang berdiri di belakang Ki Sandak.
"Rupanya kalian semua sedang berkumpul di sini.
Apa ada pesta?"
"Kami berkumpul bukan sedang berpesta, Pengemis Tongkat Hitam," celetuk salah seorang berbaju biru tua, senjatanya yang
berupa rantai baja membelit pinggangnya.
"Lalu?"
"Kami sedang membicarakan tentang Pendekar
Pulau Neraka."
"O...!" Pengemis Tongkat Hitam agak terkejut mendengarnya. Dia kemudian menatap
tajam pada Ki Sandak, seolah meminta penjelasan.
"Beberapa pekan belakangan ini, kami semua
disibukkan dengan perbuatan Pendekar Pulau Neraka yang brutal dan kejam. Sudah tidak terhitung lagi nyawa yang melayang,
dan gadis-gadis pun jadi korban
nafsu kebinatangannya,"
Ki Sandak menjelaskan dengan singkat.
"Pendekar Pulau Neraka memang selalu bertindak tegas, bahkan cenderung kejam.
Tapi aku tidak yakin, kalau dia yang telah melakukan perbuatan
itu," kata Pengemis Tongkat Hitam seperti bergumam.
Serempak semua yang hadir di situ saling
berpandangan. "Aku pernah

Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersama-sama dengannya menumpas perbuatan Pendeta Pasanta di Desa
Gampil. Aku sudah kenal betul, siapa Pendekar Pulau Neraka. Kalau tidak ada dia,
mungkin aku pun tidak akan bisa sampai ke sini. Dia memang kejam dan
sadis segala tindakannya, namun semua itu dilakukan hanya pada lawan-lawannya saja. Ah...,
mungkin kalian salah menduga," sambung Pengemis Tongkat Hitam.
"Kau kenal benda Ini, Pengemis Tongkat Hitam?"
Ki Sandak mengeluarkan benda berbentuk bintang
berwarna keperakan, dari lipatan jubahnya.
"Dari mana kau dapatkan benda itu?" tanya Pengemis Tongkat Hitam.
"Dari mayat muridku. Dia kalah bertarung
melawan Pendekar Pulau Neraka yang hampir
memperkosa Murti, seorang gadis anak adik kandungku," sahut Ki Sandak.
"Kau yakin kalau muridmu benar-benar bertarung dengan Pendekar Pulau Neraka?"
"Murti telah menyebutkan ciri-cirinya, dan sama persis dengan Pendekar Pulau
Neraka. Seorang laki-laki muda yang memakai baju dari kulit harimau.
Kalau kau pernah bersamanya, tentu mengenali ciri-
ciri Itu, Pengemis Tongkat Hitam," agak sengit nada suara Ki Sandak
Pengemis Tongkat Hitam langsung diam. Ciri-ciri
yang telah disebutkan Ki Sandak itu memang benar,
apalagi ditambah senjata bintang keperakan, yang
merupakan tanda dari kemunculan Pendekar Pulau
Neraka Tapi dalam hatinya masih belum percaya
begitu saja. Beberapa hari yang lalu dia bersama Pendekar Pulau Neraka di Desa
Gampil, dan dia tahu betul siapa Pendekar Pulau Neraka!
"Pendekar Pedang Emas, apakah kau juga ingin
membunuh Pendekar Pulau Neraka?" tanya Pengemis Tongkat Hitam, seraya menatap
Pendekar Pedang
Emas. Dia tahu kalau pendekar itu memiliki hati
yang arif dan bijaksana.
"Aku belum bisa memutuskan, Pengemis Tongkat
Hitam," sahut Pendekar Pedang Emas.
"Kalau begitu, kita harus segera pergi dari sini!"
Tentu saja semua orang terkejut mendengar kata-
kata tegas dari Pengemis Tongkat Hitam. Tak
terkecuali Pendekar Pedang Emas, dia juga langsung menatap tidak berkedip. Dia
memang masih belum
yakin, kalau Pendekar Pulau Neraka melakukan
perbuatan brutal tanpa alasan, tapi tidak sedikit pun terbetik di hatinya, untuk
langsung menentang
keputusan mereka.
"Dengar baik-baik, kalian akan menyesal telah bertindak ceroboh, menuruti rasa
amarah yang tidak beralasan!" kata Pengemis Tongkat Hitam. "Ayo, Pendekar Pedang
Emas. Kita buktikan bahwa bukan
Pendekar Pulau Neraka yang telah berbuat itu!"
Pendekar Pedang Emas jadi bimbang hatinya. Dia
masih berdiri diam dengan bingung. Sementara
Pengemis Tongkat Hitam sudah melesat pergi,
melompati pagar tembok yang tinggi dan tebal itu.
Kata-kata Pengemis Tongkat Hitam barusan membuat semua orang yang ada di Padepokan
Galuhung jadi terdiam dengan pikiran masing-
masing. "Ki Sandak, maaf. Bukannya aku tidak mendukung keputusan itu. Tapi kupikir kata-kata
Pengemis Tongkat Hitam harus dipertimbangkan.
Dan aku akan bersama kalian semua, jika memang
terbukti bahwa Pendekar Pulau Neraka-lah yang
melakukan perbuatan keji itu," kata Pendekar Pedang Emas.
Setelah berkata demikian, Pendekar Pedang Emas
segera menjura memberi hormat, lalu dengan satu
Iesatan saja, tubuhnya sudah lenyap di balik tembok yang mengelilingi padepokan
itu. Suasana kini jadi hening, masing-masing jadi sibuk dengan pikirannya
*** Kegagalan dalam menghimpun tokoh-tokoh golongan putih untuk menghadapi Pendekar Pulau
Neraka, membuat Ki Sandak kelihatan putus asa.
Mereka tidak semua mengikuti jejak Pengemis
Tongkat Hitam dan Pendekar Pedang Emas. Tapi
keadaan itu malah membuat Ki Sandak jadi gundah.
Sejak siang tadi hingga malam ini, Ki Sandak duduk saja merenung di dalam kamar
pribadinya. Tidak
seorang pun diijinkan masuk.
Slap! Tiba-tiba seberkas cahaya keperakan menyusup
masuk melalui jendela kamar pribadi Ki Sandak.
Buru-buru laki-laki tua itu melompat sedikit, dan
cahaya keperakan itu lewat di samping kepalanya.
"Bintang perak...!" desis Ki Sandak tersentak.
Laki-laki tua berjubah putih itu segera melompat
keluar melalui jendela. Pada saat itu, mendadak
sebuah bayangan melesat turun dari atas dahan
pohon. Ki Sandak terperangah, begitu di depannya
berdiri seorang pemuda tampan dan gagah, mengenakan baju dari kulit harimau.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Ki sandak di sela rasa terkejutnya.
"Kau terkejut, Ki Sandak?" sinis suara laki-laki muda itu. Matanya tajam dan
bengis menatap tajam
pada Ki Sandak.
"Mau apa kau datang ke sini?" bentak Ki Sandak.
"Mau apa..." Ha ha ha...!" pemuda tampan yang dikenal sebagai Pendekar Pulau
Neraka itu tertawa
terbahak-bahak.
Ki Sandak melangkah mundur dua tindak. Tiba-
tiba saja dia bersiul nyaring melengking. Dan belum lagi siulannya berhenti,
dari segala arah sudah
bermunculan orang-orang bersenjata macam-macam.
Tampak Pendekar Pulau Neraka memandanginya
dengan bibir menyunggingkan senyum sinis. Sikapnya jelas memandang remeh pada murid-murid
Padepokan Galuhung itu. Dia juga tidak memandang
dengan sebelah mata pun pada Ki Sandak yang
sangat dihormati di Desa Galuhung.
"Ayah...."
Seorang gadis tiba tiba muncul dari dalam rumah
yang paling besar, di antara rumah-rumah lainnya di sekitar padepokan itu.
Pendenar Pulau Neraka
langsung memandang pada gadis yang baru muncul,
dengan mata liar penuh nafsu. Sejenak gadis itu
menatap pada Pendekar Pulau Neraka. Seketika
tubuhnya bergidik saat pandangannya
bertemu dengan mata pendekar itu.
"Ranti, kenapa kau ke sini" Masuk sana!" Ki Sandak mencemaskan putrinya. Dia
sempat melihat pandangan Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa dia, Ayah?" tanya Ranti tidak menghirau kan perintah ayahnya.
"Dia manusia iblis," sahut Ki Sandak sengit.
"Iblis yang tampan, bukan?" celetuk Pendekar Pulau Neraka seraya melemparkan
senyum pada Ranti Gadis itu langsung membuang mukanya ke arah
lain. Hatinya memang mengakui kalau pemuda itu
sangat tampan dan gagah. Tapi begitu melihat
bajunya, tahulah dia kalau pemuda itu adalah
Pendekar Pulau Neraka, yang telah membuat onar di
seluruh Kaki Gunung Panjalukan.
"Manusia iblis! Cepat tinggalkan rumahku, sebelum kau mendapat celaka di sini'" bentak Ki Sandak keras.
"Kl Sandak, bukankah kau ingin bertemu denganku. Aku tahu, kalau kau telah mengumpulkan ketua-ketua padepokan di Kaki
Gunung Panjalukan. Bahkan tokoh-tokoh rimba
persilatan juga kau undang. Aku tahu maksud
undanganmu itu, Kl Sandak. Justru kedatanganku
ingin mempercepat kematianmu," pelan dan lembut kata-kata Pendekar Pulau Neraka,
namun suaranya bernada kejam penuh ancaman
"Bunuh dia...!" seru Ki Sandak keras. Seketika semua
murd-murid Padepokan Galuhung yang berjumlah tiga puluh orang itu, berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pemuda itu pun
bergerak lincah menghindari setiap serangan yang
datang, bahkan setiap kali tangannya berkelebat,
satu dua orang langsung terjungkal roboh dan tidak bangun lagi
Ki Sandak tentu saja terkejut melihat sepuluh
orang muridnya tewas dalam waktu singkat. Gerakan-gerakan Pendekar Pulau Neraka begitu
cepat, sukar diikuti oleh pandangan mata biasa. Dan setiap kali pukulan atau
tendangannya terlontar,
berarti nyawa melayang. Ki Sandak kemudian memeriksa salah seorang muridnya yang tewas.
Seketika dia tersentak karena pada dada muridnya
itu tergambar telapak tangan hitam.
"'Pukulan Tapak Beracun'...," desis Ki Sandak.
Laki-laki tua berjubah putih itu sudah tahu, kalau jurus 'Pukulan Tapak Beracun'
sangat dahsyat, dan
sulit dicari tandingannya. Kebesaran nama Pendekar Pulau Neraka memang dari
jurus 'Pukulan Tapak
Beracunnya, di samping senjatanya yang berbentuk
cakra bersegi enam keperakan. Keterkejutan Ki
Sandak semakin bertambah, dengan tewasnya ketiga
puluh orang muridnya, dalam waktu tidak berapa
lama. "Setan! Kau benar benar binatang, Pendekar
Pulau Neraka!" geram Ki Sandak.
"Majulah, Ki Sandak. Aku ingin memberi peringatan pada yang lainnya," kata Pendekar Pulau Neraka dingin.
"Mampus kau, iblis keparat! Hiyaaa...!" Ki Sandak tidak bisa lagi meredam
amarahnya. Sambil berteriak keras melengking, Ki Sandak
melompat seraya mengirimkan pukulan mautnya.


Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya sedikit, Pendekar Pulau Neraka berhasil mengelakkan serangan Ketua Padepokan
Galuhung itu. Bahkan
tanpa diduga sama sekali, tangan kanannya melayang cepat ke arah dada Ki Sandak.
Buk! "Hughk!" Ki Sandak langsung mengeluh pondok.
Tubuhnya dengan cepat terjajar ke belakang
"Ayah...!" jerit Dewi Ranti.
Dengan penuh emosi gadis cantik itu pun melompat
menerjang pada Pendekar Pulau Neraka. Serangannya sangat dahsyat, dan bertenaga dalam
cukup tinggi. Sedang Pendekar Pulau Neraka hanya
berkelit ke kiri dan ke kanan menghindari setiap
serangan gadis itu. Dewi Ranti jadi geram, karena
serangannya selalu luput membawa hasil.
"Kau terlalu cantik untuk mati, Gadis Ayu," kata Pendekar Pulau Neraka seraya
berkelit menghindari
pukulan Dewi Ranti.
Pada saat itu, tangan kiri Pendekar Pulau Neraka
segera meluncur ke arah dada. Seketika Dewi Ranti
memekik tertahan, buru-buru dia melompat mundur!
Namun jari tangan Pendekar Pulau Neiaka sempat
menyentuh dadanya. Merah padamlah wajah gadis
itu. "Kurang ajar! Kubunuh kau!" bentak Dewi Ranti menahan malu dan marah luar biasa.
"Ah, kau semakin cantik bila marah begitu, Gadis Ayu," goda Pendekar Pulau
Neraka. Sementara Ki Sandak yang sudah bisa bangkit
kembali, langsung melompat menerjang ke arah
pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Dewi
Ranti tidak mau ketinggalan. Rasa benci dan marah
yang meluap di dalam dada membuatnya tidak peduli
lagi, kalau lawannya berada jauh di atas tingkat
kepandaiannya. Namun Pendekar Pulau Neraka tetap tangguh
meskipun dikeroyok dua orang berkepandaian cukup
tinggi. Serangan-serangan Ki Sandak dan Dewi Ranti dengan mudah dapat
dipatahkan. Bahkan beberapa
kali pukulan Pendekar Pulau Neraka mendarat di
tubuh Ki Sandak. Tampaknya Pendekar Pulau Neraka
tidak mau menjatuhkan tangan pada Dewi Ranti.
"Rasanya sudah cukup aku memberi pelajaran
pada kalian," kata Pendekar Pulau Neraka, tetap lembut suaranya.
Setelah berkata begitu, dengan cepat dia menggerakkan tangannya di depan dada, lalu bagaikan seekor elang menyambar mangsa, pemuda
berbaju kulit harimau itu melompat dan meluruk
deras ke arah Ki Sandak.
"Ikh!" Ki Sandak terperangah.
Buru-buru dia memutar tubuhnya sambil menarik
kakinya ke belakang Namun serangan Pendekar
Pulau Neraka begitu cepat. Tiga kali pukulan maut
pendekar itu mendarat di dada Ki Sandak. Seketika
laki-laki tua itu memekik keras, dan tubuhnya
terjungkal ke tanah! Tampak pada bagian dadanya
melesak dalam, hangus bagai terbakar.
"Ayah...!" jerit Dewi Ranti pilu.
Gadis itu langsung melompat menghampiri ayahnya, namun lompatannya terhalangi Pendekar
Pulau Neraka dengan cepat menendang tubuh gadis
itu hingga terpental beberapa tombak. Dan belum lagi Dewi Ranti bisa bangkit,
tahu-tahu tubuh Pendekar
Puhku Neraka sudah berada di atasnya. Cepat sekali jari-jari tangan pemuda
berbaju kulit harimau itu
bergerak di beberapa bagian tubuh Dewi Ranti.
Sehingga gadis itu lemas tak berdaya. Tubuhnya kini sulit untuk digerakkan lagi.
"He...he...he,,,," Pendekar Pulau Neaka terkekeh.
Pemuda berbaju kulit harimau kemudian bangkit
seraya mengangkat tubuh Dewi Ranti ke dalam
pondongannya. Gadis itu sudah terkulai lemas
dengan beberapa darah tertotok. Sebentar pemuda
itu memandang ke arah Ki Sandak yang tergeletak
dengan dada melesak ke dalam.
"Ha...ha...ha...!"
Pendekar Pulau Neraka itu tertawa keras, lalu dengan cepat dia melompat
meninggalkan Padepokan Galuhung.
Suara tawanya yang keras masih sempat terdengar, walaupun tubuhnya sudah lenyap. Kini
suasana di Padepokan Galuhung kembali sunyi,
tampak mayat-mayat bergelimpangan dengan darah
mengucur membasahi tanah. Malam itu Padepokan
Galuhung benar-benar hancur di tangan Pendekar
Pulau Neraka. Tak seorang pun dari murid-murid Padepokan
Galuhung yang tersisa hidup. Semuanya tewas
dengan keadaan tubuh mengerikan! Di antara mayat-
mayat yang bergelimpangan, tampak Ki Sandak
menggerak-gerakkan
tubuhnya. Terdengar suara rintihan lirih. Kemudian laki-laki tua itu berusaha bangkit, namun tubuhnya
masih terasa kaku, sulit
digerakkan! "Akh...!" Ki Sandak memekik keras saat dia memaksakan diri untuk bangkit.
Laki-laki tua pemimpin Padepokan Galuhung itu
kembali jatuh. Sebentar dia mengerang lirih, lalu
diam dan tak bergerak-gerak lagi. Namun dari
dadanya yang hitam melesak ke dalam, dapat
diketahui kalau laki-laki itu masih hidup. Dadanya bergerak lemah hampir tidak
terlihat. Pada saat itu, tiba-tiba sebuah
bayangan melesat cepat, dan menyambar tubuh Ki Sandak. Begitu cepatnya,
sehingga dalam sekejap mata saja tubuh Ki Sandak
sudah lenyap bersama bayangan itu.
*** 3 Kabar tentang hancurnya Padepokan Galuhung,
membuat padepokan-padepokan lain di sekitar Kaki
Ciunung Panjalukan gempar! Bahkan tokoh-tokoh
rimba persilatan pun, dibuat tidak mengerti dengan tindakan Pendekar Pulau
Neraka kali ini tidak sedikit dari mereka yang kemudian mencari Pendekar Pulau
Neraka. Tapi banyak pula yang masih meragukan,
bahwa orang itu benar-benar Pendekar Pulau Neraka.
Benarkah yang membuat keonaran ilu Pendekar
Pulau Neraka" Pertanyaan itulah yang selalu menghantui sebagian dari tokoh-tokoh rimba persilatan, yang sudah mengenal pendekar Pulau
Neraka. Pertanyaan itu juga selalu menghantui
Pengemis Tongkat Hitam, yang selama beberapa hari
pernah bersama Pendekar Pulau Neraka.
Kini laki-laki tua berpakaian compang-camping
itu tampak tengah duduk merenung di beranda
depan sebuah pondok kecil beratap daun rumbia. Dia masih belum yakin, kalau
semua keonaran dan
kegemparan itu ulah dari Pendekar Pulau Neraka,
namun untuk membuktikannya masih terlalu sulit.
Bahkan semakin hari tindakan orang itu semakin
bertambah brutal. Dan hancurnya Padepokan Galuhung merupakan awal dari malapetaka yang
lebih besar lagi.
"Ehm-ehm!"
"Oh!" Pengemis Tongkat Hitam tersentak dari lamunannya.
Laki-laki tua bertongkat hitam itu segera menoleh.
Tampak seorang laki laki berusia sekitar empat puluh tahunan sudah berdiri di
ambang pintu pondok. Di
punggungnya tersampir sebilah pedang bergagang
keemasan. "Bagaimana
keadaannya, Pendekar Pedang Emas?" tanya Pengemis
Tongkat Hitam seraya
bangkit. "Ki Salaka masih berusaha mengobatinya," sahut Pendekar
Pedang Emas. Dia kemudian menghenyakkan tubuhnya di balai-balai bambu
dekat pintu. "Hhh..., rasanya sulit untuk dipercaya kalau
Pendekar Pulau Neraka sampai bertindak sebrutal
itu," desah Pengemis Tongkat Hitam, juga duduk di sam ping Pendekar Pedang Emas.
'Tapi luka-luka di tubuh Ki Sandak aki bat dari
'Pukulan Tapak Beracun'. Dan jurus itu hanya
dimiliki deh Pendekar Pulau Neraka," sahut Pendekar Padang Emas.
"Hal itulah yang membuatku tidak habis mengerti, Pendekar Pedang Emas. Aku tidak
mau percaya begitu saja, tapi bukti-bukti yang kudapatkan
semakin menunjukkan, kalau semua itu adalah
perbuatan Pendekar Pulau Neraka," keluh Pengemis Tongkat Hitam.
"Kau ada sesuatu dengan pendekar itu?" pertanyaan Pendekar Pedang Emas bernada curiga.
"Ya," sahut Pengemis Tongkat Hitam mendesah.
Pendekar Pedang Emas mengerutkan keningnya.
"Aku berhutang nyawa pada Pendekar Pulau
Neraka. Dia pernah menyelamatkan nyawaku akibat
terkena 'Pukulan Tapak Beracun'," pelan suara Pengemis Tongkat Hitam.
"Heh! Kau juga pernah bentrok dengannya"!"
Pendekar Pedang Emas terkejut.
"Tidak, aku belum pernah bentrok. Aku terkena
'Pukulan Tapak Beracun' dari orang lain, dan
Pendekar Pulau Neraka-lah yang menolongku,"
Pengemis Tongkat Hitam menjelaskan.
"Mustahil! Semua orang juga sudah tahu, kalau jurus 'Pukulan Tapak Beracun'
hanya dimiliki oleh
Pendekar Pulau Neraka. Tidak ada seorang pun yang
bisa menguasai jurus itu," bantah Pendekar Pendekar Emas.
"Kau memang tidak akan percaya, Pendekar
Pedang Emas. Tapi aku sudah mengalaminya sendiri.
Jurus itu dimiliki juga oleh seorang pendekar yang berjuluk si Iblis Hitam, dan
Pendeta Pasanta. Tapi mereka sudah tewas di tangan Pendekar Pulau
Neraka...."
Pengemis Tongkat Hitam kembali menjelaskan (Baca; Serial Pendekar Pulau Neraka


Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam kisah "Pengantin Dewa Rimba").
Pendekar Pedang Emas menggeleng-gelengkan
kepalanya masih belum percaya. Sedangkan Pengemis Tongkat Hitam tampaknya juga tidak mau
mendesak agar pendekar itu mempercayai ceritanya.
Memang tidak ada orang lain yang tahu selain dia
sendiri, kecuali si Kembar Iblis Biru yang kini sudah menetap di Istana Dewa
Rimba. Saat mereka terdiam, tampak seorang laki-laki tua
bertubuh bungkuk
keluar dari dalam pondok. Langkahnya tertatih-tatih dengan bantuan tongkat
rotan. Pengemis Tongkat Hitam dan Pendekar Pedang
Emas bergegas bangkit, dan membantu laki-laki tua
itu untuk duduk di balai-balai bambu. Kedua tokoh
rimba persilatan itu pun juga mengambil tempat di
balai-balai bambu itu.
"Bagaimana
keadaannya, Ki Salaka?" tanya Pengemis Tongkat Hitam.
"Racun yang mengendap di tubuhnya sudah
sampai ke aliran darah. Maaf, aku tidak bisa berbuat banyak
lagi. Paling-paling aku hanya bisa memperlambat penjalarannya," sahut Ki Salaka
dengan suaranya yang agak bergetar karena tua.
Mungkin laki-laki itu sudah berusia lebih dari seratus tahun.
"Apakah ada cara lain untuk menyembuhkannya,
Ki?" tanya Pendekar Pedang Emas.
"Entahlah, aku kenal betul dengan jenis racun itu.
Sebuah racun yang disebarkan melalui jurus ' Pukulan Tapak Beracun'," sahut Ki Salaka pelan.
"Benar, Ki!" seru Pengemis Tongkat Hitam
"Kau juga tahu itu, Pengemis Tongkat Hitam?"
"Ya, aku tahu persis!" sahut Pengemis Tongkat Hitam pasti.
"Berarti kau tahu, siapa orang yang mempunyai jurus itu?"
"Ya."
"Rasanya hanya dia yang mampu menyembuhkannya,"
wajah Ki Salaka berubah seketika. Kepalanya tertunduk "Berpuluh-puluh
tahun yang lalu, aku kenal dengan seseorang yang
mempunyai juus 'Pukulan Tapak Beracun'. Tapi dia
sudah tewas dikeroyok oleh tokoh tokoh rimba
persilatan yang dendam padanya. Dan aku tidak tahu lagi, apakah di zaman ini
masih ada orang yang bisa menguasai dangan baik jurus itu?" nada suara Ki
Salaka seperti bicara pada dirinya sendiri.
Pengemis Tongkat Hitam menundukkan kepalanya. Rasanya dia ingin mengatakan, bahwa dia juga sudah tahu tentang itu
semua. Tapi sulit untuk diucapkannya.
Semalam dia sempat menyelamatkan Ki Sandak,
Ketua Padepokan Galuhung yang hampir tewas di
tangan Pendekar Pulau Neraka. Kedatangannya
memang terlambat, tapi masih bersyukur bahwa
nyawa Ki Sandak tertolong.
* * * Pengemis Tongkat Hitam tampak berdiri mematung, sambil memandangi tubuh Ki Sandak
yang terbujur dengan napas pelan satu-satu. Di
sampingnya berdiri Pendekar Pedang Emas. Sedangkan tabib tua Ki Salaka, duduk di tepi balai-balai bambu. Sampai saat ini
Ki Sandak belum juga
sadarkan diri. Kondisi tubuhnya semakin lemah, dan noda hitam juga semakin
melebar dari dadanya.
"Ohhh...," Ki Sandak merintih lirih. Kepalanya bergerak-gerak.
Sebentar kemudian dia mulai sadarkan diri. Tabib tua Ki Salaka segera menggerakkan jari-jari
tangannya di sekitar leher Ki Sandak. Dan sedikit
demi sedikit kelopak mata Ki Sandak terbuka. Sinar matanya begitu lemah dan
sayu. "Oh, di mana aku" Apakah aku sudah mati...?"
pelan dan lirih suara Ki Sandak.
"Kau masih hidup, Ki," kata Pengemis Tongkat Hitam cepat-cepat.
"Kaukah Pengemis Tongkat Hitam?"
"Ya, aku Pengemis Tongkat Hitam. Ini Pendekat Pedang Emas, dan ini Tabib
Salaka," sahut Pengemis Tongkat Hitam.
"Pengemis Tongkat Hitam yang telah menyelamatkanmu, Ki Sandak," sambung Tabib
Salaka. 'Terima kasih...," ucap Ki Sandak lemah "Ah, anakku...."
'Tenang, Ki. Kau masih lemah." Tabib Salaka
mencegah Ki Sandak yang mau bangkit
Akibat dari gerakannya itu, Ki Sandak terbatuk-
batuk . Tampak darah kental kehitaman keluar dari
mulutnya. Buru-buru Ki Salaka membersihkan dengan sehelai kain.
"Oh..., tolong selamatkan anakku.
Dia diculik Pendekar Pulau Neraka," kata Ki Sandak pelan.
"Tenang, Ki. Kau masih lemah, aku pasti akan
mencari anakmu," kata Pengemis Tongkat Hitam
menenangkan. 'Tolong selamatkan Dewi Ranti...," kembali Ki
Sandak terbatuk.
Darah kental keluar lagi dari mulut laki-laki tua
itu. Dia kembali jatuh pingsan. Tabib Salaka segera membersihkan darah yang
keluar dari mulut Ki
Sandak, kemudian tampak jari-jari tangannya juga
bergerak di sekitar leher Ki Sandak. Tampak
Pengemis Tongkat Hitam mendesah panjang, dan
melangkah ke luar. Sementara Pendekar Pedang
Emas mengikutinya.
"Kau harus segera menghentikan kebiadabannya,"
kata Pendekar Pedang Emas.
"Aku tidak tahu lagi, apa yang mesti kulakukan,"
Pengemis Tongkat Hitam mengeluh.
"Kau sudah berjanji untuk menyelamatkan putri KI Sandak. Tepatilah janjimu."
Pengemis Tongkat Hitam kembali menarik napas
panjang-panjang.
" Aku bisa memahami perasaanmu, Pengemis Tongkat Hitam. Tapi sebagai seorang
pendekar sejati, kita harus mampu menyingkirkan perasaan pribadi.
Kau bisa membayar hutangmu dengan tidak membunuhnya. Kau cukup menyelamatkan Dewi
Ranti dari tangannya, biar aku yang menghadapi
pendekar berhati iblis itu," kata Pendekar Pedang Emas lagi.
"Yaaah...,
memang tidak ada jalan lain. Bagaimanapun juga aku berkewajiban memberantas
keangkaramurkaan," pelan suara Pengemis Tongkat Hitam.
"Sebaiknya
kita segera berangkat mencari Pendekar Pulau Neraka, sebelum terjadi sesuatu pada Dewi
Ranti," kata Pendekar Pedang Emas mengusulkan. "Benar, sebaiknya kalian cepat pergi. Biar aku yang mengurus Ki Sandak," sergah
Tabib Salaka, yang tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu.
"Ah, terima kasih atas bantuanmu, Ki," ucap Pendekar Pedang Emas sambil menjura
hormat "Sudahlah, hal ini memang menjadi kewajibanku untuk menolong sesama. Tapi jangan
lupa, kalau bisa minta racun pemunahnya," kata Tabib Salaka berpesan.
"Racun pemunah..."!"
"Ya. 'Pukulan Tapak Beracun' hanya bisa di
sembuhkan oleh yang memiliki pukulan itu juga. Tapi bisa juga disembuhkan dengan
racun pemunah. Memang aneh, racun dilawan dengan racun. Tapi itu
sudah menjadi ketentuannya."
"Baik, Ki. Akan kuusahakan," kata Pengemis Tongkat Hitam.
" Berangkatlah restuku bersama kalian. "
Kedua tokoh itu pun menjura memberi hormat,
lalu segera pergi meninggalkan pondok kecil, di
tengah lereng Gunung Panjalukan itu. Sedangkan
Tabib Salaka masuk kembali ke pondok, setelah
bayangan kedua tokoh itu lenyap dari pandangannya.
*** Saat itu, di sebuah sungai yang membelah Lereng
Gunung Panjalukan, tampak seorang pemuda gagah
tengah asyik memancing. Dia duduk di alas batu
pipih yang menjorok ke sungai berair bersih itu.
Dengan sabar dia menanti ikan yang memakan
umpannya. Di sampingnya tergolek tiga ekor ikan
yang cukup besar.
Pemuda itu tidak menyadari kalau sejak tadi
diperhatikan oleh sepasang mata yang bersembunyi
dari balik gerumbul semak. Dia baru menoleh ketika telinganya mendengar suara
ranting patah terinjak.
Tampak dari gerumbul semak itu, melesai sebuah
bayangan. Pemuda itu hanya memperhatikan saja.
Bibirnya segera tersenyum melihat seseorang berlari cepat seperti melihat setan.
Pemuda tampan itu
kembali memusatkan perhatiannya pada pancingnya.
Baru beberapa saat pemuda itu kembali menekuni
pekerjaannya, kembali telinganya mendengar suara
langkah kaki menghampirinya. Dia menoleh ke arah
suara itu. Tampak dua orang laki-laki tengah berjalan cepat ke arahnya. Yang
satu seorang laki-laki tua
berbaju kumuh compang-camping,
sedangkan satunya lagi adalah laki-laki bertubuh tegap dan
memakai baju indah berwarna kuning keemasan.
"Ah...! Kakek Pengemis Tongkat Hitam...!" seru pemuda itu gembira melihat
Pengemis Tongkat Hitam
datang menghampiri bersama Pendekar Pedang
Emas. Namun Pengemis Tongkat Hitam tidak menyambut dengan gembira. Dia hanya berdiri tegak
sekitar tiga batang tombak jaraknya. Wajahnya kaku, dan


Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sinar matanya menampakkan keraguan. Sedangkan Pendekar Pedang Emas sudah bersiaga
penuh. Pemuda itu tampak mengerutkan keningnya
melihat sikap dua orang yang mendatanginya. Dia
kemudian membuang pancingnya, dan melompat
turun dari atas batu.
"Tidak kusangka kita akan bertemu lagi, Kakek Pengemis Tongkat Hitam," kata
pemuda itu masih ramah.
"Jangan mendekat, Pendekar Pulau Neraka!"
sentak Pengemis Tongkat Hitam saat pemuda berbaju
kulit harimau itu hendak melangkah mendekatinya
Tentu saja pemuda berbaju kulit harimau yang
ternyata adalah Bayu Hanggara, atau Pendekar Pulau Neraka itu jadi terkejut,
melihat sikap Pengemis
Tongkat Hitam. Dia tidak mengerti, apa sebenarnya
yang diinginkan laki-laki tua itu.
"Ada apa ini" Kenapa kau menyambutku begitu
dingin, Kek?" tanya Bayu bernada heran
"Di mana kau sembunyikan Dewi Ranti?" dingin pertanyaan Pengemis Tongkat Hitam.
"He...! Ada apa ini" Siapa itu Dewi Ranti?" tampak sekali kalau Bayu benar-benar
tidak mengerti "Jangan pura-pura bodoh, Pendekar Pulau Neraka!" bentak Pendekar Pedang Emas geram. "Kau memang tangguh dan digdaya,
tapi jangan kira aku
takut menghadapimu!"
"Kakek, apa sebenarnya yang terjadi" Kenapa kau bersikap begitu?"
"Huh! Rupanya kau pintar juga bersandiwara,
heh!" dengus Pendekar Pedang Emas tak sabar.
Sret! Pendekar Pedang Emas langsung mencabut pedangnya yang memancarkan cahaya keemasan.
Kembali Bayu terkejut setengah mati. Sejenak masih mengharapkan penjelasan,
dengan tatapan matanya
pada Pengemis Tongkat Hitam. Namun hal itu tidak
tersampaikan, karena Pendekar Pedang Emas telah
menerjangnya dengan jurus-jurus mautnya.
"Hey, tunggu dulu...!" seru Bayu seraya berkelit menghindari serangan itu.
"Mampus kau, manusia iblis!" geram Pendekat Pedang Emas kembali menerjangnya.
"Uts!"
Pendekar Pulau Neraka langsung melompat ke
samping menghindari sabetan pedang Pendekar
Pedang Emas. Dan ketika kakinya baru saja menjejak tanah, satu tendangan kilat
segera dilancarkan
Pendekar Pedang Emas. Bayu yang masih diliputi
ketidakmengertian,
jadi lengah. Tendangan itu kontan bersarang di perutnya.
" H ugh! "
Seketika Pendekar Pulau Neraka itu terjajar ke
belakang beberapa langkah. Bibirnya tampak meringis merasakan mual pada perutnya. Tapi
Pendekar Pedang Emas tidak memberinya kesempatan lagi. Dia langsung menyerang kembali
dengan ganas. Sedang Bayu pun kembali berlompatan ke sana kemari menghindarinya.
"Pendekar iblis! Ayo lawan aku, jangan bisanya hanya berkelit!" bentak Pendekar
Pedang Emas sengit. "Jelaskan dulu, kenapa kau menyerangku?"
"Tidak ada penjelasan bagimu, manusia keparat!"
Tiba-tiba Bayu melompat tinggi ke udara! Pada saat itu juga, Pendekar Pedang
Emas segera melentingkan tubuhnya ke udara. Pedangnya berkelebat cepat
menimbulkan suara angin menderu. Bayu memutar
tubuhnya dua kali dan dengan cepat kakinya
menghentak ke depan.
Buk! "Hegk...!"
Tubuh Pendekar Pedang Emas meluruk deras ke
bawah setelah kaki Bayu menghantam punggungnya.
Pendekar Pedang Emas bergulingan beberapa kali di
tanah, namun dengan cepat dia bisa bangkit kembali.
Pada saat yang bersamaan, Pendekar Pulau Neraka
sudah mendarat dengan manis di tanah. Jarak
mereka cukup jauh sekarang. Sementara Pengemis
Tongkat Hitam hanya memperhatikan saja dengan
sikap ragu-ragu.
* * * "Kakek Pengemis, kenapa kau diam saja. Jelaskan, kenapa dia ingin membunuhku?" Bayu
meminta penjelasan.
"Maaf, Bayu. Aku memang berhutang nyawa
padamu, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa," sahut Pengemis Tongkat Hitam.
'Tunggu dulu!" sentak Bayu ketika Pendekar
Pedang Emas bergerak hendak menyerang lagi. "Aku tidak
kenal siapa kau, kenapa kau ingin membunuhku?"
"Kau memang harus mati, Pendekar Pulau Neraka!" dingin kata-kata Pendekar Pedang Emas.
"Aku tidak bisa diam melihat kau membantai orang-orang tidak berdosa!"
Bayu lalu menatap Pengemis Tongkat Hitam laki-
Iaki tua itu hanya membalas dengan pandangan
sayu. "Katakan, di mana kau sembunyikan Dewi Panti, sebelum kurobek dadamu!" bentak
Pendekar Pedang Emas.
"Sejak tadi kau menyebut-nyebut nama Dewi
Ranti, sudah kukatakan, aku tidak kenal siapa dia!"
jengkel juga Bayu menjawabnya
"Baiklah. kalau kau tidak mau mengaku. Tahan
seranganku, Pendekar Pulau Neraka! Hiyaaa...!"
" He...! "
Pendekar Pulau Neraka tidak punya kesempatan
lagi untuk bicara. Kini Pendekar Pedang Emas sudah menyerangnya kembali dengan
dahsyat. Pedangnya
yang berwarna kuning keemasan, berkelebat cepat
mengurung tubuh Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan segera berlangsung dengan cepat dan
dahsyat. Namun Bayu belum mau menyerang balik
Dia masih saja berkelit dan menghindar!
Sikap Bayu yang demikian itu, membuat Pendekar
Pedang Emas semakin gusar. Namun sebaliknya bagi
Pengemis Tongkat Hitam. Dia jadi ragu-ragu, apakah benar yang melakukan semua
keonaran selama ini
adalah Pendekar Pulau Neraka" Mendadak, Pengemis
Tongkat Hitam tersentak. Dia jadi ingat akan
sesuatu. "Tahan...!" serunya keras.
Bayu langsung melompat mundur, begitu Pendekar Pedang Emas menghentikan serangannya.
Pengemis Tongkat Hitam melesat bagai kilat, dan
tahu-tahu dia sudah berdiri di tengah-tengah kedua pendekar itu.
"Pengemis Tongkat Hitam, mundurlah! Jangan
menghalangiku!" bentak Pendekar Pedang Emas.
'Tenang dulu, Pendekar Pedang Emas," Pengemis Tongkat Hitam menyabarkan.
"Huh!" Pendekar Pedang Emas mendengus kesal.
"Bayu, sejak kapan kau berada di Lereng Gunung Panjalukan ini?" tanya Pengemis
Tongkat Hitam. "Baru saja," sahut Bayu tanpa curiga.
"Boleh aku minta satu bintang perakmu?"
"Untuk apa?" Bayu jadi keheranan.
"Berikan, Bayu. Ini menyangkut nama baikmu ju-ga, " desak Pengemis Tongkat Hitam
Sejenak Bayu ragu-ragu, tapi akhirnya dia mengeluarkan juga sebuah benda berbentuk bintang
bersegi enam, dan berwarna keperakan. Dia kemudian menghampiri Pengemis Tongkat Hitam dan
menyerahkan benda tersebut. Sedangkan laki-laki
tua itu berbalik memandang Pendekar Pedang Emas.
"Kau masih menyimpan bintang perak itu, Pendekar Pedang Emas?"
Setelah berpikir sebentar, Pendekar Pedang Emas
merogoh ke balik lipatan bajunya. Kemudian dia
menjulurkan tangannya, yang sudah menggenggam
sebuah benda berwarna perak berbentuk bintang.
Pengemis Tongkat Hitam pun menerima benda itu. Di
kedua telapak tangannya kini terdapat dua benda
berbentuk bintang keperakan. Keningnya sedikit
berkerut melihat dua benda yang sama dari orang
berbeda. Benda itu sama persis!
"Mustahil...!"
desis Pengemis Tongkat Hitam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ada apa, Pengemis
Tongkat Hitam?" tanya
Pendekar Pedang Emas seraya menghampiri.
Pengemis Tongkat Hitam tidak menjawab. Dia
kembali memandangi dua benda di telapak tangannya, tatapannya lalu beralih pada Bayu
Tampak jelas kilau Pendekar pulau Neraka itu tidak mengerti dengan sikap
Pengemis Tongkat Hitam
"Bayu, sebenarnya aku tidak mau percaya begitu
saja. Tapi semua bukti menunjukkan, kalau kaulah
yang telah melakukan pembantaian dan keonaran di
sini," pelan suara Pengemis Tongkat Hitam.
"Kakek Pengemis, aku tidak mengerti maksudmu?"
"Bayu, kau masih menganggapku sebagai sahabat?" Bayu segera mengangguk walau

Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertambah bingung. "Tolong, berikan racun pemunah 'Pukulan Tapak Beracun'," kata Pengemis Tongkat
Hitam. "He...!" Bayu langsung terlonjak kaget.
"Demi membalas hutangku padamu, aku tidak
akan ikut campur dalam persoalan ini. Tapi jika kau masih
menganggapku sahabat, berikan racun pemunah dari 'Pukulan Tapak Beracun' yang kau
miliki. Aku juga minta, agar kau menunjukkan di
mana kau sembunyikan Dewi Ranti," agak terpaksa nada suara Pengemis Tongkat
Hitam. "Kakek Pengemis, kau ini bicara apa" Aku benar-benar tidak kenal siapa Dewi
Ranti. Kau jangan
membuatku pusing, Kakek Pengemis."
"Sudah kubilang, tidak ada gunanya lagi bicara dengan bocah setan ini!" dengus
Pendekar Pedang Emas menyelak.
"He! Jaga mulutmu, Kisanak!" bentak Bayu mulai sengit juga. "Aku tidak bisa
menahan sabar terlalu lama!"
"Kau pikir aku juga akan sabar mendengar segala macam ketololanmu?" balas
Pendekar Pedang Emas tidak kalah sengitnya
"Aku tidak kenal kau, Kisanak. Dan aku juga
tidak pernah punya urusan denganmu! Tapi kalau
kau mencari urusan denganku, aku tidak akan
menolak!" dingin kata-kata Bayu. Kata-kata Pendekar Pedang
Emas benar-benar membuat darahnya mendidih. "Persoalannya ada pada dirimu sendiri, manusia keparat!"
"Kadal buduk! Rupanya kau belum kenal, siapa
Pendekar Pulau Neraka, heh"!" kini Bayu benar-benar tidak bisa lagi
mengendalikan amarahnya.
"Dan kau juga harus tahu, dengan siapa kau
berhadapan!"
"Sudah..., sudah, tenang!" Pengemis Tongkat Hitam berusaha melerai.
Pertengkaran mulut itu pun segera berhenti
Namun mereka masih saling tatap dengan amarah
memuncak hampir meledak!
"Bayu, berikan racun pemunah 'Pukulan Tapak
Beracun'," kata Pengemis Tongkat Hitam
'Aku tidak punya!" ketus jawaban Bayu. Amarahnya dan rasa tersinggungnya membuat dia
tidak bisa mengendalikan diri lagi.
"Bayu. jika kau mau menyelamatkan nyawa
orang tua yang tengah sekarat, aku jamin, kau bisa meninggalkan Lereng Gunung
Panjalukan ini dengan
dengan damai. "Kakek Pengemis, aku menghoimatimu sebagai
sahabat. Tapi aku bukan orang lemah yang memerlukan jaminan keselamatanmu! Aku tidak
punya pemunah 'Pukulan Tapak Beracun', dan aku
tidak pernah melukai seorang pun di Lereng Gunung
Panjalukan ini! Cukup jelas, Kakek Pengemis Tongkat Hitam!" tegas kata-kata
Bayu. "Bayu...."
"Maaf, aku tidak mau lagi mendengar persoalan yang aku tidak tahu!" potong Bayu
cepat Setelah berkata begitu, Bayu langsung melesat
cepat bagai kilat! Dalam sekejap mata saja, tubuhnya sudah
lenyap ditelan kerimbunan pepohonan. Sedangkan Pendekar Pedang Emas buru-buru mau
mengejar, tapi segera ditahan oleh Pengemis Tongkat Hitam.
"Pendekar Pedang Emas, kalau kau masih penasaran, aku bersedia bertarung melawanmu!"
terdengar suara menggema.
"Monyet!" geram Pendekar Pedang Emas.
Suara itu jelas datang dari mulut Bayu. Teriakan
itu terdengar menggema, seolah-olah datang dari
segala penjuru mata angin. Hal itu menandakan
kalau Pendekar Pulau Neraka adalah seorang tokoh
yang sukar diukur tingkat kepandaiannya.
"Aku tidak mengerti, kenapa kau membiarkan dia kabur?" dengus Pendekar Pedang
Emas kesal. "Aku merasakan kejujuran pada nada suaranya,"
sahut Pengemis Tongkat Hitam tenang.
"Hhh! Seharusnya kita bisa memaksa dia."
"Pendekar Pedang Emas..., aku jadi tidak mengerti. Kau yang dikenal sebagai pendekar arif
bijaksana, kini jadi mudah terbakar amarah."
"Aku juga manusia, Pendekar Tongkat Hitam. Aku sudah tidak tahan lagi melihat
tingkah lakunya.
Semakin hari, semakin brutal saja!"
"Aku mengerti, tapi cobalah untuk berkepala
dingin. Sekarang ini kita tengah menghadapi persoalan yang bukan hanya menyangkut nama baik
seseorang, tapi juga seluruh kalangan rimba persilatan. Apa kau tidak bisa melihat, akibat dari kemelut ini bisa membuat
seluruh tokoh rimba
persilatan terpecah belah, karena tidak bisa saling mengendalikan emosi."
Pendekar Pedang Emas hanya bisa diam. Dalam
hati, dia mengakui kebenaran kata-kata Pengemis
Tongkat Hitam. Kemudian dia memasukkan kembali
pedangnya, dan berjalan tanpa berkata-kata lagi.
Sementara Pengemis Tongkat Hitam mengikuti di
belakangnya. 4 Siang itu, Bayu sampai di sebuah desa yang tidak
jauh dari sungai di Lereng Gunung Panjalukan. Dia
tidak tahu nama desa itu, tapi semua orang yang
melihatnya langsung berlarian. Rumah-rumah pun
langsung ditutup rapat-rapat Tak ketinggalan kedai-kedai juga segera menutup
pintu. Bahkan para
pedagang di pasar desa. Itu meninggalkan dagangannya Pokoknya mereka seperti tengah melihat datangnya satu makhluk yang mengerikan!
Bayu benar-benar tidak mengerti dengan sikap
para penduduk desa itu. Sudah dua desa dia masuki, dan semua penduduknya
bersikap sama. Tentu saja
hal itu membuat Bayu jadi bertanya-tanya sendiri.
Desa yang semula ramai, langsung berubah sepi
sekali. Namun Pendekar Pulau Neraka itu tahu, kalau dari
celah-celah jendela, para penduduk desa mengintip memperhatikannya.
"Aneh, kenapa mereka semua ketakutan...?"
gumam Bayu dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka itu terus melangkahkan
kakinya menyusuri jalan desa yang sudah sepi
senyap. Tak seorang pun yang terlihat. Bahkan
rumah-rumah penduduk juga tertutup rapat. Benar-
benar suatu pemandangan yang tidak mengenakkan.
"Aku jadi penasaran. Apa sebenarnya yang tengah terjadi" Sudah dua desa
kumasuki, dan keadaannya
sama. Semua orang ketakutan melihatku. Bahkan
sudah tiga tokoh persilatan yang mencoba membunuhku. Hhh...! Aku jadi tidak mengerti...,"
kembali Bayu bergumam sendiri.
Langkah Pendekar Pulau Neraka itu langsung
berhenti, ketika di depannya
tiba-tiba muncul
seorang laki-laki setengah baya, didampingi oleh
sekitar dua puluh orang bersenjata golok! Mereka
berdiri dengan sikap tidak bersahabat, dan pandangan mata mereka penuh kebencian. Sejenak
Bayu tertegun melihat sikap orang-orang tersebut.
"Aku adalah Kepala Desa Gantang, dan atas nama seluruh warga, aku meminta agar
kau segera meninggalkan desa ini," kata seorang laki-laki yang berdiri paling depan.
"Boleh aku tahu, kenapa semua orang tampaknya memusuhiku?"
tanya Bayu masih diliputi ketidakmengertian.
"Kau Pendekar Pulau Neraka, kan?" "Benar."
"Tidak ada lagi gadis yang bisa kau ambil, juga seluruh harta kami sudah habis!"
lantang suara kepala desa itu.
'Tunggu! Kalian pasti salah duga, aku bukan
perampok gadis atau harta. Aku...."
"Jangan bersilat lidah, Pendekar Pulau Neraka!"
bentak Kepala Desa Gantang memotong. "Cepat
tinggalkan desa ini, atau kami akan menyabung
nyawa denganmu'"
Kini Bayu benar-benar terkejut mendengar kata-
kata tegas bernada kasar itu. Tapi dia berusaha
sekuatnya untuk tetap menahan diri. Kala kata
Kepala Desa Gantang itu membuatnya jadi berpikir.
Dia merasa yakin, kalau ada seseorang yang telah
menjual namanya untuk kepentingan pribadi, dan
orang itu melakukan tindakan yang merugikan desa-
desa di sekitar Kaki Lereng Gunung Panjalukan ini.
"Baiklah, aku akan pergi," kata Bayu mengalah, tapi kalian harus tahu, aku tidak
pernah melakukan perbuatan yang kalian tuduhkan padaku "
Setelah berkata begitu, Bayu segera berbalik dan
melangkah pergi meninggalkan desa itu. Dia berjalan cepat dengan kepala semakin
dipenuhi berbagai
macam pertanyaan. Pendekar Pulau Neraka itu pun
segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Sehingga sebentar saja dia sudah melewati batas
Desa Gantang. "Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras yang
disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Seketika Bayu langsung menghentikan langkahnya.
Tampak matanya agak menyipit, ketika dari gerumbul semak dan balik pohon, bermunculan
orang-orang yang langsung mengepungnya. Mereka
semua sudah memegang senjata yang beraneka
ragam. Sikap mereka jelas tidak menunjukkan
persahabatan. "Hhh..., ada apa lagi ini...?" keluh Bayu dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka itu memperhatikan orang-
orang yang mengepungnya. Mereka berjumlah tidak
kurang dari tiga puluh orang. Dan semuanya jelas


Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tokoh-tokoh dari rimba persilatan.
"Apa maksud kalian menghadang perjalananku?"
tanya Bayu agak lantang suaranya.
"Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Pulau
Neraka!" bentak salah seorang yang memegang golok besar bagai penjagal. "Apa
yang baru saja kau lakukan di Desa Gantang?"
"Aku..."! Aku tidak melakukan apa-apa..."!" sahut Bayu Hanggara keheranan.
"Kau sudah terkepung, manusia keparat! Ajalmu sudah dekat, masih juga berlagak
tolol!" bentak salah seorang lagi.
"Heh! Apa maksud kalian sebenarnya?" Bayu jadi sengit.
"Hari ini kau harus mempertanggungjawabkan
semua perbuatanmu, Pendekar Pulau Neraka!"
"Berapa banyak kau sudah memperkosa dan
membunuh gadis-gadis, merampok harta rakyat, dan
membantai orang-orang tidak berdosa! Kami semua
muak denganmu, manusia keparat!"
"Kau harus mati, iblis!" teriak yang lain.
Bermacam-macam makian dan umpatan segera
terlontar bagai tanggul terhempas badai. Kini merah padamlah seluruh wajah Bayu!
Caci maki itu membuat darahnya ketika mendidih. Gerahamnya
bergemeletuk menahan geram. Tapi dengan sekuat
tenaga dia menahan perasaan amarahnya. Dia sadar,
kalau mereka semua hanya salah paham. Namun
rasanya tidak ada waktu lagi untuk menjelaskannya.
Ketiga puluh orang itu langsung berlompatan menerjang, dengan teriakan-teriakan menggelegar
membelah angkasa!
"Hiya...!" Bayu berteriak keras.
Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan ke sana
kemari menghindari serangan yang dalang dengan
cepat silih berganti. Keadaan Pendekar Pulau Neraka kini benar-benar tidak
menguntungkan. Dia diserang dari segala jurusan. Ketiga puluh orang itu makin
mengepungnya dengan rapat. Tidak sedikit pun
memberi kesempatan pada Bayu untuk menarik
napas. * * * Bayu benar-benar kewalahan menghadapi tiga
puluh orang yang rata-rata memiliki kepandaian
cukup tinggi. Pendekar Pulau Neraka itu hanya
mampu berkelit, berlompatan dan menghindar tanpa
mampu membalas. Mereka semua tidak memberi
kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka untuk
membalas. Setiap kali pendekar itu hendak melakukan pembalasan, selalu terhalang oleh serangan yang datang dengan cepat.
Buk! Mendadak satu tendangan keras berhasil mendarat di punggung Pendekar Pulau Neraka.
Seketika pemuda berbaju kulit harimau itu terjungkal keras! Pada saat yang
bersamaan, sebuah senjata
rantai tiba-tiba meluncur ke tubuhnya. Buru-buru
Bayu menggulirkan tubuhnya ke samping, dan rantai
itu pun mendarat di samping tubuhnya.
Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu sempat
bangkit, sebilah pedang sudah berkelebat cepat ke
arahnya, dan Bayu berusaha berkelit, namun ujung
pedang itu berhasil juga menggores perutnya. Tampak darah segera merembes
ke luar dari perutnya yang sobek
"Uh! Mereka benar-benar ingin membunuhku!"
dengus Bayu daiam hati.
Pendekar Pulau Neraka itu menggelimpangkan
tubuhnya ke samping, tepat pada saat sebatang
tombak meluruk ke arahnya. Lalu dengan kecepatan
yang sukar diikuti oleh mata biasa, kaki Bayu
melayang menghantam tombak itu.
Trak! Seketika tombak itu patah jadi dua. Secepat kilat
Bayu melenting bangkit. Tangan kanannya berkelebat mengibas ke depan. Mendadak
secercah cahaya
keperakan melesat cepat dari pergelangan tangannya.
Langsung saja satu jeritan melengking terdengar,
disusul ambruknya satu orang dengan dada terbelah!
"Sejenak Bayu menarik tangannya ke depan dada,
dan kembali mengebutkan dengan kuat. Senjata
cakra bersegi enam keperakan itu pun melesat cepat bagai memiliki saja. Dalam
waktu singkat, lima orang sudah
terjungkal dengan bersimbah darah. Sementara , jeritan melengking terus mengiringi
pertarungan itu. Pada satu saat, Bayu melompat
bagai kijang ke arah seorang yang terdekat, dan
melepaskan pukulan keras dari jurus 'Pukulan Tapak Beracun'
"Aaakh...!" seketika orang itu menjerit melengking.
Musuh itu mendekap dadanya yang terluka
dalam, dengan gambar telapak tangan berwarna
hitam. Dan belum lagi jeritan itu hilang dari
pendengaran, kembali terdengar satu jeritan melengking. Kini Bayu benar-benar tidak mau lagi
mengalah. Dia terus mengamuk dengan ganas, bagai
singa terluka! Tubuh-tubuh tak henti-hentinya bergelimpangan mengucurkan darah segar. Sebentar
saja serangan tokoh-tokoh rimba persilatan itu jadi kacau.
"Kalian sungguh-sungguh
manusia-manusia
picik! Mencari mati berurusan dengan Pendekar
Pulau Neraka!" seru Bayu keras menggelegar.
Para pengeroyok yang kini sudah berkurang
hampir separuhnya itu, segera berlompatan mundur.
Bayu sejenak mengangkat tangan kanannya ke atas,
seketika senjata mautnya kembali melayang ke arah
pergelangan tangan kanannya, dan menempel.
"Dengar! Aku tidak pernah melakukan perbuatan yang kalian tuduhkan, Jika kalian
masih juga ingin membunuhku, majulah. Biar kukirim kalian semua
ke neraka!" keras suara Bayu. Emosinya masih belum reda.
Musuh-musuhnya yang kini berjumlah delapan
belas itu, terdiam dengan sikap tetap bersiaga penuh.
Hati mereka mulai dilanda kegentaran.
Suasana hening segera melanda tempat itu. Bayu
masih menatap tajam pada mereka yang masih
mengelilinginya.
Pelahan-lahan kakinya
bergerak melangkah maju. Mereka yang berada di depannya,
bergegas menyingkir.
Pendekar Pulau Neraka itu terus melangkah
pelan-pelan. Matanya tetap tajam merayapi sekitarnya. Tak seorang pun yang
berani lagi mendekat. Hari mereka benar-benar sudah gentar
menghadapi kedahsyatan pendekar itu!
Merasa ada kesempatan untuk lolos, Bayu segera
melesat pergi meninggalkan tempat itu. Gerakannya
ringan, dan cepat bagai kilat! Dalam sekejap mata
saja. tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Sementara tokoh-tokoh rimba persilatan itu langsung bubar tanpa berkata-kata
sedikitpun. Kini tinggal
mereka yang tewas menggeletak, tanpa ada yang
mempedulikan *** Bayu segera menjatuhkan dirinya di rerumputan,
begitu mencapai tepi sungai dekat Desa Galuhung.
Darah masih mengucur dari perutnya yang sobek.
Sebentar dia memejamkan matanya, lalu bangkit
duduk bersila. Jari tangannya bergerak lembut dan
lincah menotok di sekitar luka pada perutnya.
Seketika darah berhenti mengalir. Pandangan matanya beredar berkeliling. Sepi, tidak terlihat
seorang pun di tempat itu.
"Hhh...! Untung senjata itu tidak beracun," desah Bayu pelan.
Pendekar Pulau Neraka itu kemudian bangkit dan
melangkah ke sungai. Dia jongkok di tepi sungai, lalu membersihkan luka di
perutnya dengan air. Terakhir Bayu membalut lukanya dengan kain berwarna
merah yang selalu membeliti pinggangnya.
Baru saja dia berdiri, mendadak telinganya
mendengar suara langkah kaki dari arah belakang.
Bayu segera berbalik, tampak seorang gadis sudah
berdiri tertegun sambil memandangnya. Gadis itu
tampak terkejut melihat Pendekar Pulau Neraka
berada dekat sungai. Sampai-sampai keranjang yang
dibawanya terlepas! Seketika dia berbalik, dan
langsung berlari cepat.
"Hey! Tunggu...!" teriak Bayu seraya melompat mengejar.
Hanya dua kali lompatan saja, Bayu sudah
berhasil menyusul gadis itu. Tangannya langsung
mencekal lengan gadis itu.
"Lepaskan!" sentak gadis itu ketakutan.
"Diamlah, aku tidak akan menyakitimu," kata Bayu datar.
Gadis itu pun diam tidak memberontak. Namun
wajahnya masih kelihatan pucat, dan tubuhnya
gemetaran. Bayu melepaskan cekalannya pada tangan gadis itu.
"Kenapa kau lari melihatku?" tanya Bayu lembut.
"Tolong, lepaskan aku. Jangan hancurkan hidupku, jangan bunuh aku Lepaskan aku, Tuan...,"
rintih gadis itu memelas.
Bayu mengerutkan keningnya.
"Siapa namamu ?" tanya Bayu lembut.
"Murti...," sahut gadis itu pelan. Hampir tidak terdengar suaranya
"Dengar, Murti Aku bukan hantu, aku bukan
tukang begal, atau pembunuh. Aku manusia biasa,
kau tidak perlu takut," kata Bayu berusaha meyakinkan Gadis cantik yang bernama Murti itu, segera
mengamati pemuda tampan dan gagah, berbaju kulit
harimau di depannya. Dia memandangi dari ujung
kepala hingga ujung kaki. Seolah-olah gadis itu
sedang menilai laki-laki di depannya.
"Kau..., Pendekar Pulau Neraka...?" bergetar suara Murti.
"Ya," sahut Bayu mengangguk.
"Oh...," Murti langsung jatuh tertunduk lemas.
"Hey, ada apa?" Bayu tersentak, dia segera berlutut dengan mata menatap heran
pada gadis itu.
"Dewata Yang Agung.... Jika kau menghendaki
nyawaku. Ambillah tapi jangan kau biarkan dia
memperkosaku", rintih Murti lirih. Setitik air bening tampak menggalir dari
sudut matanya. Seketika Bayu terduduk lemas

Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar rintihan Murti. Dia menjambaki rambutnya sendiri.
Sungguh, dia tidak bisa memahami semua yang
terjadi di Kaki Lereng Gunung Panjalukan ini. Segala peristiwa yang ditemui,
membuat kepalanya serasa
mau pecah! Dia tidak mengerti, kenapa semua orang
jadi membenci dirinya" Mungkinkah ada orang yang
telah mengaku dirinya, dan membuat kebodohan"
Melakukan keonaran, menculik gadis-gadis, memperkosanya lalu membunuhnya" Kalau memang
benar, apa maksudnya"
Keheningan menyelimuti sekitar tepian sungai itu.
Pelahan-lahan Murti mengangkat kepalanya. Sejenak
dia tertegun melihat laki-laki yang menjadi momok
menakutkan selama ini, terduduk lemas sambil
menjambaki rambutnya sendiri. Gadis itu tampak
keheranan melihat paras Pendekar Pulau Neraka
tidak garang. Bahkan tampak kusut bagai sedang
menyimpan ribuan persoalan yang sukar dipecahkan.
Tanpa disadari, Bayu juga menatap ke arah gadis itu.
Sesaat mereka saling berpandangan.
"Apa sebenarnya yang telah kulakukan" Kenapa
semua orang membenciku, dan mau membunuhku?"
desah Bayu seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Murti diam membisu.
"Kau pernah bertemu denganku sebelumnya?"
tanya Bayu. Murti mengangguk tanpa disadari.
"Kapan" Apa yang aku lakukan padamu?" tanya Bayu lagi setengah mendesak.
Murti tidak menjawab. Mendadak ada perasaan
lain hinggap di hatinya, begitu mendengar pertanyaan pertanyaan Pendekar Pulau
Neraka itu. Matanya yang bulat indah tampak berputar-putar, seakan-akan dia
tengah meneliti pemuda tampan di depannya.
"Pandanglah aku, benarkah aku orang yang
pernah bertemu denganmu?"
Murti masih belum menjawab. Pelahan-lahan
kepalanya menggeleng, saat dia melihat ke pergelangan tangan Bayu Hanggara. Kemudian matanya kembali menatap wajah tampan di depannya. "Tidak...," desis Murti seperti tak sadar.
"Murti, baru kemarin aku datang ke sini. Dan aku jadi bingung, kenapa semua
orang membenciku, dan
mau membunuhku" Apa sebenarnya yang telah
terjadi di sini, Murti" Katakanlah, apa yang telah terjadi"," desak Bayu penuh
harap. "Siapa kau sebenarnya?" tanya Murti berbalik tanpa menjawab pertanyaan Bayu.
"Namaku Bayu Hanggara, aku memang lebih di
kenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu jujur.
"Kau benar-benar tidak melakukan perbuatan-
perbuatan itu, atau kau hanya pura-pura saja?"
selidik Murti. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu dia punya keberanian
"Kenapa kau tanyakan itu" Apakah aku kelihatan berpura-pura?"
" Dia juga bernama Pendekar Pulau Neraka.
Semuanya mirip denganmu. Wajahnya, pakaiannya,
pokoknya mirip. Tapi...."
"Tapi, apa?" desak Bayu.
"Dia tidak membawa itu," sahut Murti sambil melirik ke pergelangan tangan kanan
Maling Romantis 4 Rajawali Sakti Dari Langit Selatan Lanjutan Sin Tiauw Hiap Lu Karya Sin Long Pendekar Muka Buruk 18
^