Pencarian

Pendekar Tanah Seberang 1

Pendekar Pulau Neraka 44 Pendekar Tanah Seberang Bagian 1


PENDEKAR TANAH SEBERANG Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Pendekar Tanah Seberang
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Seorang muda tampak memacu kencang kudanya
melewati pinggiran hutan. Rambutnya yang panjang
dan diikat sehelai pita kuning, berkibar-kibar ditiup angin. Melihat cara
berpakaian dan pedang besar yang tersandang di punggung, sekilas saja sudah bias
diduga kalau pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun ini berasal dari
kalangan persilatan. Pakaian biru dengan sulaman gambar naga dan pedang yang
tertera di dadanya, menandakan kalau pemuda itu murid Pergu-
ruan Pedang Naga Sembilan yang diketuai orang tua
sakti bernama Ki Bagus Lamtara. Di kalangan rimba
persilatan Ki Bagus Lamtara adalah seorang tokoh
yang memiliki kepandaian tinggi dan amat disegani
baik kawan maupun lawan.
"Heaaa...!" pemuda itu berteriak keras, memacu kudanya agar berlari kian
kencang. Agaknya murid Perguruan Pedang Naga Sembilan
itu tak sabar untuk sampai tujuan. Memang selama
menjadi murid perguruan itu, baru hari ini mempunyai kesempatan untuk bertemu
orangtuanya. Wajahnya
terlihat cerah, dan sesekali senyum kecilnya mengembang. Akan ditujukkan pada
orangtua dan saudara-
saudaranya bahwa apa yang dipelajarinya selama ini
tak sia-sia dan patut dibanggakan.
Namun baru saja kuda itu mulai berlari kencang,
mendadak dua sosok tubuh melayang menghadang ja-
lannya. Begitu ringan mereka mendarat, sehingga ti-
dak menimbulkan suara sedikit pun.
"Hoooup...!"
Pemuda itu tersentak kaget. Buru-buru tali kekang
kudanya ditarik. Hampir saja tubuhnya terlempar dari punggung kuda yang mendadak
mengangkat dua kaki
depannya tinggi-tinggi, kalau saja tak sigap melompat.
"Apa-apaan kalian menghadang perjalanan Perma-
di"! Siapa kalian"!" tanya pemuda yang mengaku bernama Permadi sambil menaikkan
alis dan memandang
pada kedua orang asing itu dengan wajah bingung.
Kalau Permadi agak bingung, memang beralasan.
Kedua orang yang menghadangnya jelas bukan pendu-
duk negeri ini. Kulit dan cara mereka berpakaian sangat berbeda. Yang laki-laki
berusia sekitar empat puluh tahun. Bagian depan kepalanya pitak. Sementara
bagian belakang tumbuh rambut panjang yang dikun-cir sampai sebatas punggung.
Pada ujung rambutnya
diikat pita merah. Kumis dan jenggotnya yang panjang menjuntai melambai-lambai
ditiup angin. Bajunya ter-buat dari sutera berwarna merah darah dan celananya
berwarna hijau tua. Di pinggangnya terselip sepasang golok bergerigi.
Sementara yang wanita berusia sekitar tiga puluh
tahun. Di pinggangnya terselip sebuah suling perak.
Wajahnya sangat cantik, namun terkesan galak dan
berangasan. "Kulihat kau membawa pedang. Apakah kau seo-
rang tokoh persilatan negeri ini?" Laki-laki asing itu balik bertanya dengan
nada dingin. "Kalau memang betul, kalian mau apa?" sahut Permadi seenaknya.
Permadi memang kesal melihat sikap dan menden-
gar kata-kata orang asing itu, yang terkesan sombong dan menantang.
"Bagus! Cabutlah pedangmu!" tantang laki-laki asing itu sambil berjalan tiga
langkah mendekati. Seketika dibukanya jurus pertama.
Permadi tak sempat bertanya lebih lanjut ketika le-
laki bermata sipit itu telah melompat menyerang.
"Yeaaah...!"
"Hup! Setan!" sambil menundukkan kepala menghindari tendangan lawan, murid
Perguruan Pedang
Naga Sembilan itu memaki geram.
Baru kali ini Permadi bertemu orang seaneh mere-
ka. Tak ada sebabnya, tiba-tiba menyerang orang. Ten-tu saja hal itu membuatnya
geram. Maka sambil
mengkertak rahang, tubuhnya berbalik.
"Kalau memang itu keinginanmu, baiklah. Li-hat serangan!" bentak Permadi
nyaring, berusaha membalas serangan.
Kepalan tangan kanan pemuda itu menyodok ke
dada lawan. Namun orang asing itu lebih cepat menge-goskan badannya ke kiri.
Maka dengan cepat tubuh
Permadi berputar sambil melakukan tendangan ketika
serangan pertamanya gagal.
"Hiyaaa...!"
Plak! Bukan main terkejutnya pemuda itu, karena bera-
ni-beraninya orang asing ini menangkis serangannya
dengan tangan kiri. Bahkan pergelangan kakinya sem-
pat ditangkap dan ditarik sekuat-kuatnya. Permadi
bermaksud menarik pulang kakinya, namun kepalan
tangan kanan orang asing itu lebih cepat lagi menghajar dadanya.
Des! "Akh...!"
Tanpa sempat berkelit, pemuda itu terpekik. Tu-
buhnya kontan terjungkal sambil memuntahkan darah
segar. "Kurang ajar! Kau akan mampus, Keparat!" geram Permadi seraya bangkit. Kedua
tangannya tampak
mendekap dada yang terasa nyeri bukan main. Namun
tak lama kemudian....
Sring.... Permadi mencabut pedangnya. Dan dengan sorot
mata tajam penuh kemarahan, kembali dibukanya ju-
rus berikut. Jelas, pemuda itu telah siap menghajar lawan.
*** Sebaliknya orang asing itu memperhatikan Permadi
sambil menyipitkan matanya yang sudah sipit dengan
sikap menganggap enteng lawan.
"Hm.... Kulihat kau seperti orang yang baru belajar ilmu silat satu dua jurus.
Siapa gurumu" Apakah dia seorang tokoh persilatan negeri ini?"
"Huh! Kau belum sederajat untuk bertemu guruku!
Dia seorang tokoh persilatan terkenal yang berjuluk Pedang Naga Sembilan. Kalau
kau hendak menantangnya, lupakan saja. Dengan sekali hajar, kau akan jungkir
balik dibuatnya!" dengus Permadi.
"Ha ha ha...! Begitukah"! Baiklah. Sekarang, pergilah padanya. Dan katakan,
Daeng Mapparewang me-
nantangnya duel!" kata laki-laki asing yang ternyata bernama Daeng Mapparewang
jumawa. "Huh! Sudah kukatakan, kau tak sederajat untuk berhadapan dengannya. Sebaiknya,
jaga kepalamu dari tebasan pedangku!" bentak Permadi sambil melompat menyerang
lawan. Wut! "Yeaaah...!"
Dengan amarah meluap-luap, Permadi mengerah-
kan segenap kemampuannya untuk menjatuhkan la-
wan secepat mungkin. Bahkan sekaligus membalas
kekalahannya tadi. Namun agaknya hal itu tak mudah.
Dengan gerakan gesit dan ringan, Daeng Mapparewang
mampu menghindari setiap serangannya sambil terke-
keh-kekeh kecil seperti mengejek.
"Kau bukan lawanku, Bocah. Nah! Keluarkanlah
seluruh kemampuanmu sebelum kukirim ke akherat!"
ujar Daeng Mapparewang meremehkan, seraya meng-
hindar. Sepertinya laki-laki asing itu ingin memamer-kan kepandaiannya,
sekaligus mengejek lawan.
"Ayo, keluarkanlah seluruh kepandaianmu! Lawanlah aku! Mana omong besarmu itu"!"
bentak Permadi kalap.
"Hm.... Kalau itu memang keinginanmu, baiklah.
Lihat serangan!"
Tiba-tiba Daeng Mapparewang membentak keras.
Tubuhnya melompat ke atas kepala Permadi sambil
mencabut sepasang goloknya yang tajam bergerigi.
Permadi tersentak kaget melihat Daeng Mappare-
wang bergerak cepat. Dan karena kedua golok laki-laki asing itu memantulkan
sinar matahari yang mengenai
mata Permadi, akibatnya pemuda itu kelabakan untuk
beberapa saat. Tapi dengan cepat pedangnya diputar
sedemikian rupa untuk menangkis serangan lawan.
Trang! Permadi berhasil menangkis satu golok Daeng
Mapparewang. Namun golok yang satunya lagi luput
dari perhatiannya. Sehingga....
Cras! Breeet! "Aaa...!"
Permadi kontan menjerit menyayat begitu golok
bergerigi Daeng Mapparewang menyambar perutnya
dari atas ke bawah. Isi perutnya seketika terurai keluar, disertai darah segar.
Pemuda itu terhuyung-
huyung ke belakang, untuk kemudian ambruk tak
berdaya. Setelah meregang sesaat, nyawanya seketika melayang. Sementara pedang
yang masih tergenggam
di tangannya telah patah.
"Huh! Bocah tak berguna! Menyesal aku bertemu
dengannya!" dengus laki-laki asing itu kecewa.
"Kenapa harus marah-marah, Kak" Kita baru tiba di negeri ini. Jadi, belum tahu
banyak, mana pendekar hebat dan mana pendekar picisan. Tak lama lagi tentu kita
akan bertemu tokoh-tokoh hebat negeri ini. Sebaiknya, mari tinggalkan tempat ini
dan melanjutkan perjalanan," ajak wanita di dekat Daeng Mapparewang yang sejak
tadi hanya diam memperhatikan.
"Kau benar, Mamparini. Kita memang tak perlu
terburu-buru. Masih banyak yang harus kita kerjakan, selain menaklukkan pendekar
negeri ini. Ha ha ha...!"
Daeng Mapparewang tertawa terbahak-bahak.
Tak berapa lama, kedua orang asing yang memang
suami istri itu melesat meninggalkan tempat ini dengan gerakan ringan dan gesit,
Sedikit pun mereka tak mempedulikan korbannya yang mati secara mengenaskan!
Tepian hutan ini kembali sepi. Hanya desir angin
saja yang menyapu dedaunan. Namun, kesunyian itu
kembali pecah oleh suara langkah-langkah beberapa
orang, menuju tempat terbujurnya mayat Permadi.
Dan begitu melewati tempat itu, mereka tersentak
kaget ketika melihat sesosok mayat tergeletak di jalanan. Salah seorang dari
mereka mendekati, dan terkejut ketika melihat mayat itu.
"Astaga! Ini Den Permadi anak Saudagar Su-manta.
Kenapa jadi begini" Dan siapa orang yang telah begitu tega dan kejam
membunuhnya?" seru orang itu dengan wajah ngeri.
"Jangan berdiri saja, Karta. Cepat angkat dan kita bawa mayat ini pulang!"
teriak seseorang yang berpakaian kuning.
Serentak Karta bersama dua orang pemuda dari
rombongan itu mengangkat mayat Permadi dan mem-
bawanya pulang ke rumah orangtuanya.
*** Tak seorang pun di Desa Lobak Sari yang tak men-
genal Saudagar Sumanta. Selain kaya raya, dia juga
terkenal karena kedermawanannya. Sehingga seluruh
penduduk desa itu sangat menghormatinya. Maka ke-
tika mendengar kematian seorang putranya, tentu saja penduduk desa itu sangat
terkejut. Dan mereka pun
berduyun-duyun menuju rumah Saudagar Sumanta
untuk mengucapkan turut bela-sungkawa.
"Pembunuhnya harus mendapat pembalasan yang
setimpal!" kata seorang yang turut menyatakan bela sungkawa pada Saudagar
Sumanta. "Betul! Kita tak bisa mendiamkannya begitu saja.
Den Permadi adalah orang yang sangat baik dan tak
pernah menyakiti orang lain," timpal yang lain.
'Tapi pada siapa kita akan menuntut balas" Se-
dangkan kita sendiri tak tahu, siapa orang yang telah membunuhnya!"
Suara-suara bersemangat yang keluar dari mulut
penduduk Desa Lobak Sari yang tengah berkumpul itu
menjadi sunyi. Mereka hanya bisa menyimpan amarah
dan dendam yang tak tahu harus ditujukan pada sia-
pa. Memang tidak seorang pun yang tahu, siapa pem-
bunuh Permadi. "Apakah tidak sebaiknya menghubungi perguruan, tempat Den Permadi belajar,
Juragan" Siapa tahu ada permusuhan antara Perguruan Pedang Naga Sembilan
dengan perguruan lain. Dan ketika melihat Den Per-
madi berjalan sendirian, mereka langsung mencegat
dan membunuhnya. Dengan begitu, kita akan menge-
tahui pembunuh Den Permadi," usul salah seorang.
Saudagar Sumanta tak langsung menjawab. Sebe-
narnya laki-laki berusia enam puluh dua tahun itu sakit hati dan dendam sekali
melihat keadaan anaknya.
Tapi orang tua itu berusaha menahan diri. Dia men-
ganggap, kematian anaknya sudah suratan takdir. Ta-
pi ketika banyak penduduk desa mendesaknya, akhir-
nya disetujui juga untuk mengusut kematian anaknya
sampai tuntas. "Ayah, izinkan aku pergi ke Perguruan Pedang Na-ga Sembilan untuk menanyakan hal
ini pada Ki Bagus
Lamtara!" pinta salah seorang anaknya yang bernama Permana. Dia adalah kakak
dari Permadi, dan, sekaligus anak tertua Saudagar Sumanta.
"Yah.... Kalau itu sudah menjadi tekadmu, aku tak kuasa menolaknya. Hati-hati
kau di jalan...," "sahut orang tua itu.
"Jangan khawatir, Ayah. Aku akan membawa lima
orang pengawal," sahut Permana.
*** Di sebuah ruangan, di dalam Perguruan Pedang
Naga Sembilan, seorang laki-laki tua, tampak meman-


Pendekar Pulau Neraka 44 Pendekar Tanah Seberang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

carkan wajah keterkejutan. Laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun itu
benar-benar tak mengerti,
mendengar kabar kematian Permadi. Padahal, baru
kemarin Permadi meninggalkan perguruan.
"Demikianlah, Ki. Kedatangan kami ke sini atas perintah ayahanda untuk
menanyakan, apakah pergu-
ruan ini memiliki musuh. Atau, barangkali Permadi
sendiri yang mempunyai musuh. Kami akan mengejar
orang itu sampai dapat, kemanapun bersembunyi," jelas Permana setelah bertemu Ki
Bagus Lamtara. Wajah orang tua itu tampak tegang. Urat-urat di
pelipisnya mengembang. Dan saat itu pula rahangnya
bergeletuk, mendengar berita yang dibawa Permana.
Ditatapnya wajah pemuda itu untuk beberapa saat.
"Hm... Kalian tak perlu turun tangan. Aku sendiri yang akan mencari pembunuh
keparat itu!" sergah la-
ki-laki tua yang memang Ki Bagus Lamtara.
"Ki...."
"Aku tahu!" potong Ki Bagus Lamtara.
"Permadi anak baik. Dan dia adalah muridku yang sangat berbakat. Anak itu selama
di sini tidak punya musuh. Bahkan sangat disukai kawan-kawannya. Aku
sendiri heran, siapa pembunuh kejam itu. Tapi yang
jelas kami akan membuat perhitungan dengannya!"
"Terima kasih atas kesediaan Ki Bagus. Tapi terus terang, kami tak akan surut
dengan niat semula. Permadi adalah adikku. Dan aku berhak menuntut balas
atas kematiannya!" kata Permana, geram.
"Aku mengerti perasaanmu, Permana...."
"Syukurlah, Ki...."
Untuk beberapa saat ruangan itu sunyi. Masing-
masing tenggelam dalam pikiran yang sama, tentang
malangnya nasib Permadi. Namun, mendadak saja me-
reka dikejutkan oleh kemunculan seorang murid per-
guruan yang masuk secara tergesa-gesa.
"Maaf, Eyang. Ada dua orang asing yang ingin bertemu Eyang," ucap pemuda
tanggung, murid. Perguruan Pedang Naga Sembilan.
"Siapa mereka?"
"Yang laki-laki bernama Daeng Mapparewang, se-
dangkan yang perempuan bernama Nyai Mamparini,"
jelas murid itu.
Dahi Ki Bagus Lamtara jadi berkerut begitu men-
dengar dua nama yang baru hari ini didengarnya. Jelas laki-laki tua itu belum
pernah mengenal mereka sebe-lumnya. Namun meski demikian, terpaksa ditinggal-
kannya Permana dan lima orang pengawalnya untuk
menemui kedua orang tamunya.
Begitu tiba di depan beranda ruangan utama ini, Ki
Bagus Lamtara melihat kedua orang yang bertampang
asing sedang berdiri tegak di tengah halaman depan
perguruan. Ki Bagus Lamtara dan beberapa orang mu-
rid terpandainya segera menyambut mereka.
"Kisanak, silakan masuk ke dalam," sambut orang tua itu sambil memberi salam
penghormatan. 'Terima kasih. Kurasa itu tak perlu. Kedatangan
kami ke sini bukan untuk bertamu, melainkan ingin
menantangmu bertarung. Kaukah orangnya yang ber-
juluk Pedang Naga Sembilan?" tanya laki-laki bermata sipit yang tak lain Daeng
Mapparewang, jumawa.
Ki Bagus Lamtara tersenyum kecil mendengar tan-
tangan tamunya.
"Betul. Akulah si Pedang Naga Sembilan. Dari ma-na kau mengetahui julukanku?"
"Apakah muridmu tak memberitahukan dari akhe-
rat sana?" tanya Daeng Mapparewang sinis.
"Jadi kaukah yang telah membunuh muridku"!"
sentak Ki Bagus Lamtara dengan wajah kaget dan
amarah menyala-nyala.
"Hm.... Agaknya kau mulai mengerti. Nah, cabutlah pedangmu dan pertahankan
selembar nyawamu!" dingin sekali suara Daeng Mapparewang.
Orang asing itu sama sekali tak mempedulikan se-
luruh murid Perguruan Pedang Naga Sembilan yang
langsung mencabut pedang begitu mengetahui kalau
pembunuh Permadi ada di depan mereka. Wajah me-
reka terlihat marah dan tak bersahabat. Agaknya me-
reka memang, tak suka melihat cara kedua orang as-
ing yang sombong dan menganggap remeh itu.
"Kisanak, di antara kita tak ada saling permu-
suhan. Tapi, kenapa kau membunuh muridku dengan
kejam?" "Aku tak perlu saling bermusuhan lebih dulu untuk membunuh lawan. Silakan kau
cabut pedangmu.
Perlihatkanlah padaku, kalau kau pantas bertarung
denganku!"
"Baiklah. Aku memang harus membalas kematian
muridku," sahut Ki Bagus Lamtara tenang sambil memberi isyarat pada murid-
muridnya untuk tidak
ikut campur. Setelah melihat orang tua itu menerima sebilah pe-
dang yang disodorkan seorang murid, Daeng Mappa-
rewang langsung membuka jurus dan bersiap menye-
rang lawan. "Yeaaah...!"
Sambil membentak nyaring Daeng Mapparewang
melompat menyerang lawan disertai pengerahan tena-
ga dalam penuh.
Ki Bagus Lamtara tersentak kaget melihat angin
serangan lawan yang demikian kuat. Sambil menden-
gus geram, pedangnya segera diputar dalam permai-
nan jurus 'Sembilan Naga Menggiring Gunung'. Jurus
ini memang sangat hebat, karena mampu mengurung
pertahanan lawan sedemikian rupa. Sehingga, tak terlihat sedikit pun celah yang
ada untuk meloloskan diri.
Namun Daeng Mapparewang memang bukan tokoh
sembarangan. Di tanah tumpah darahnya, dia dikenal
sebagai tokoh tingkat tinggi. Tak heran kalau laki-laki bermata sipit ini hanya
terkekeh pelan seraya berkelit dengan gesit. Tubuhnya meliuk-liuk menghindari
sambaran pedang lawan, seperti sedang menari. Dua jurus telah berlalu, tetapi
orang tua itu belum juga berhasil mendesak Daeng Mapparewang. Dan Ki Bagus
Lamtara betul-betul merasa penasaran dan sangat geram.
"Hanya seginikah kemampuanmu, Orang Tua"!
Kau sungguh membuat malu saja," ejek Daeng Mapparewang.
"Keparat!" Ki Bagus Lamtara mendengus garang, seraya kembali melancarkan
serangan. Tapi dengan cepat, tokoh dari tanah seberang itu
menangkis dengan tangan kanannya. Maka secara
mendadak pedang di tangan kanan Ketua Perguruan
Pedang Naga Sembilan itu berputar dan meliuk me-
nyambar ke arah leher. Melihat hal ini Daeng Mappa-
rewang melenting ke atas. Dan pada saat itu, Ki Bagus Lamtara tak mau menyia-
nyiakan kesempatan, langsung tubuhnya melompat mengejar sambil berteriak
nyaring. "Yeaaah...!"
Namun Daeng Mapparewang tak kalah sigap. Tu-
buhnya cepat berbalik, seraya mencabut golok bergeriginya. Langsung dibabatnya
pedang laki-laki tua itu.
Trak! Trak! Pedang Ki Bagus Lamtara kontan patah menjadi
empat bagian, begitu berbenturan dengan senjata
Daeng Mapparewang. Bahkan cepat sekali golok berge-
rigi itu menyambar ke arah dada hingga perut dengan gerakan melintang.
Breeet! "Aaa...!"
Ki Bagus Lamtara kontan memekik tinggi. Tubuh-
nya langsung terjungkal ke tanah bermandikan darah.
Setelah menggelepar sebentar, nyawanya putus saat
itu juga. "Eyang Guru...!"
Serentak murid-murid Perguruan Pedang Naga
Sembilan berteriak kaget, langsung menghampiri orang tua itu dengan wajah sedih.
Namun sebagian dari mereka tak menerima. Bahkan langsung mengurung ke-
dua orang asing itu.
"Keparat! Kalian harus membayar kematian guru kami!"
"Hentikan perbuatan kalian!" bentak salah seorang murid tertua.
"Kakang Sadewo, kenapa kau menghentikan kami"
Tidakkah hatimu tersentuh melihat kematian Eyang
Guru?" kata salah seorang yang tadi hendak menyerang kedua orang asing itu.
"Eyang Guru tewas dalam pertarungan jujur. Dan kita tak berhak membalasnya
dengan cara pengeroyo-kan begini," kilah murid yang dipanggil Sadewo itu.
"Lalu apa yang dilakukannya terhadap Permadi?"
sahut orang itu sengit, seraya menunjuk Daeng Map-
parewang. "Tidak. Biar bagaimanapun, kita tak boleh membalasnya secara keroyokan begini.
Dan aku akan mewa-
kili Eyang Guru untuk menuntut kematiannya lewat
pertarungan adil!" sahut Sadewo tegas.
"Bukan kalian yang akan menuntutnya. Tapi, aku.
Biar dia akan kutantang bertarung, untuk membalas
kematian adikku Permadi!" sambung sebuah suara.
Orang itu tak lain Permana, yang sejak tadi kema-
rahannya tak terbendung lagi melihat pembunuh
adiknya berada di tempat ini. Perlahan-lahan pemuda itu melangkah mendekati
Daeng Mapparewang dan Istrinya dengan sorot mata tajam.
"Kisanak! Kutantang kau bertarung atas nama
adikku Permadi yang telah kau bunuh!" sentak Permana dingin.
*** 2 "Kisanak! Kau adalah tamu kami di sini. Maka tak sepatutnya kami membiarkanmu
menantangnya. Lagi
pula, Permadi adalah murid perguruan ini juga. Kami juga perlu menuntut balas
atas kematiannya," selak Sadewo, datar.
Permana hanya melirik sekilas kepada Sadewo.
"Kisanak aku tak bermaksud meremehkan kalian,
juga tak bermaksud bersikap tak sopan. Tapi kematian adikku, sangat memukul
keluargaku. Maka sudah sepatutnya aku yang menuntut balas, karena siapa pun
yang membalaskan dendam adikku aku tak akan me-
rasa puas," sahut Permana.
"Ha ha ha...! Sungguh hebat kalian ini! Tapi
sayang, aku sama sekali tak tertarik meladeni kalian.
Menurutku, kalian bukanlah lawanku!" kata Daeng Mapparewang sambil tertawa
keras. Sikapnya benar-benar memandang rendah pada mereka.
"Bangsat! Meski kau memiliki kemampuan bagai
dewa, jangan harap aku takut!" dengus Permana sambil melompat menyerang lawan.
"Hiyaaa...!"
"Uts! Hm.... Boleh juga ilmu silatmu," puji Da-eng Mapparewang, setelah
menghindar dari dua serangan
lawan dengan mudah.
Permana memang memiliki sedikit kepandaian ilmu
silat yang dipelajarinya pada salah satu perguruan
yang tak jauh dari desanya, beberapa tahun silam sebelum Permadi berguru di
sini. Namun Permana dalam
menuntut ilmu tak berlanjut lama, karena harus men-
gurus usaha ayahnya. Sehingga bila Daeng Mappare-
wang berkata demikian, jelas sama artinya dengan
menghina. Karena menyadari kemampuannya seperti
itu, Permana seperti anak ayam menghadapi rajawali.
"Bocah! Pulanglah, karena kau bukan tanding-
anku. Lagi pula, aku merasa terhina bila harus berhadapan denganmu!"
"Puiiih! Tutup mulutmu. Aku akan mengha-
dapimu, meskipun nyawaku menjadi taruhannya!" geram Permana sengit.
"Kalau kau memang sudah bosan dengan nya-
wamu, baiklah!" sahut Daeng Mapparewang dingin.
Sambil mendengus kesal, tubuh orang asing itu
melompat ke atas kemudian jungkir balik menuju ke
arah Permana. Langsung dilepaskannya satu sodokan
keras yang ke arah ulu hati Permana. Namun dengan
cekatan, pemuda itu berusaha menghindar. Bahkan
berusaha cepat balas menyerang dengan satu ayunan
kaki ke perut lawan.
Sayang, kepalan tangan Daeng Mapparewang lebih
cepat lagi meluruk ke arah tubuh pemuda itu tanpa
bisa dicegah. Dan....
Desss! Kepalan tangan Daeng Mapparewang tepat menge-
nai dada kiri Permana. Dan pemuda itu hanya sempat
mengeluh pelan. Tubuhnya kaku tak bergerak dalam
keadaan kaki kanan terangkat ke atas. Tak lama, tu-
buhnya ambruk ke tanah dengan nyawa melayang.
"Astaga! Apa yang terjadi?" seru seseorang sambil berlari kecil mendekati tubuh
pemuda itu. Maka seketika orang-orang yang berada di situ ter-
sentak kaget dan bergerak menghampiri.
'Tubuhnya membiru dan dingin!" desis seorang lagi yang telah lebih dulu tiba dan
memeriksa keadaan
Permana. "Keparat! Dia harus mendapat pembalasan yang
setimpal!" sahut yang lain.
Dan ketika orang-orang berpaling, kedua orang as-
ing itu sudah tak ada di tempat Namun....
"Kalian bukan tandinganku. Kalau masih penasa-
ran, panggillah pendekar terhebat di negeri ini. Dan, carilah kami untuk
menuntut balas!" tantang Daeng Mapparewang dan Nyai Mamparini, yang menggunakan
ilmu pengirim suara. Memang, saat itu dua orang asing tadi telah melesat pergi
entah ke mana. "Setan! Apa yang harus kita lakukan seka-rang"!"
geram salah seorang murid perguruan, sambil menge-
palkan kedua kuku jari-jari tangannya.
"Kakang Sadewo! Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya salah seorang.
Pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun
itu terdiam beberapa saat.
"Kita tak akan berhasil membalaskan kematian
Eyang Guru...," desah Sadewo.
"Apa maksudmu?"
"Mereka memang hebat. Dan aku melihatnya sen-
diri. Meskipun kita maju bersama, belum tentu mereka dapat dikalahkan," kilah
Sadewo. "Kakang telah merendahkan kemampuan kita. Apa
Kakang putus asa?" tanya adik seperguruan-nya itu.
Sadewo memandang adik seperguruannya itu le-
kat-lekat. Kemudian mengalihkan perhatian pada yang lainnya dan tersenyum pahit.
"Aku tak berputus asa. Tapi aku menyadari kea-
daan, setelah melihat kenyataan. Kita harus mencari orang yang sepadan bagi
mereka. Tujuan orang asing
itu sudah jelas, bukan hanya kita yang akan menjadi korban. Tapi seluruh


Pendekar Pulau Neraka 44 Pendekar Tanah Seberang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendekar negeri ini. Nah, sudah sepatutnya kita mencari tokoh yang sepadan
sebagai lawannya," jelas Sadewo.
Seluruh adik seperguruan Sadewo menganggukkan
kepala mendengar penjelasan itu.
'Tapi menurutmu, siapakah di negeri ini yang
mampu menandinginya?" tanya salah seorang adik seperguruannya.
"Entahlah. Kita akan mencari sambil memi-
kirkannya. Barangkali Pendekar Pulau Neraka...," sahut Sadewo setengah bergumam.
'Pendekar Pulau Neraka" Di mana kita bisa mene-
mukannya?" tanya yang lain.
Sadewo menggeleng. Untuk beberapa saat me-reka
terdiam. Tanpa ada yang menjawab pertanyaan itu,
mereka segera mengurus pemakaman mayat guru me-
reka. Sementara, mayat Permana dibawa pulang oleh
kelima orang pengawal yang menyertainya tadi.
*** Juragan Sudira memang bukan hanya harta-wan
biasa di kota ini. Bahkan orang terkaya di seluruh Kadipaten Asem Bagus.
Rumahnya besar dan dijaga pu-
luhan pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian
lumayan. Sehingga sepintas lalu, dia terlihat sebagai raja kecil di daerahnya.
Meski tak terlalu suka meng-hambur-hamburkan dengan hartanya, namun semua
orang yang bekerja padanya mendapat upah besar.
Sehingga tak heran banyak sekali yang berminat be-
kerja padanya. Sebenarnya, dulu jumlah pengawal rumahnya tak
banyak seperti sekarang. Namun sejak peristiwa pe-
rampokan yang terjadi sekitar dua tahun lalu di rumahnya, maka sejak itulah
Juragan Sudira terus me-
nambah jumlah pengawalnya. Sehingga mereka mirip
pasukan prajurit kerajaan saja.
Malam telah larut ketika Juragan Sudira masuk ke
kamarnya, setelah memeriksa semua pintu rumah. La-
ki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu memang selalu berbuat demikian,
meskipun para pengawalnya
telah melaksanakan tugas itu. Memang ia tak bisa se-penuhnya mempercayakan
urusan pada orang lain.
Sikapnya sangat hati-hati dan selalu waspada.
Namun baru saja mengunci pintu dari dalam,
mendadak terdengar jeritan kecil dari arah depan. Tak lama beberapa derap
langkah kaki para pengawalnya
terdengar menyerbu. Namun kembali terdengar jeritan kecil menyusul. Wajah
Juragan Sudira mulai tegang.
Mulai bisa diduga apa yang terjadi di depan sana.
"Mau ke mana, Kang?" tanya seorang wanita. setengah baya dengan wajah cemas,
ketika melihat Juragan Sudira hendak keluar kamar.
"Kau tenang saja di sini Nyai, aku akan melihat, apa yang terjadi di luar sana,"
ujar Juragan Sudira.
"Kang! Aku takut!" ratap wanita itu, yang rupanya istri Juragan Sudira. Wanita
itu nyaris memekik kecil, ketika secara bersamaan terdengar jeritan panjang dari
arah luar. Wajah Juragan Sudira yang tegang, kini tampak
pucat ketika mendengar suara ribut seperti pintu dan jendela yang hancur
berantakan dihantam benda keras. "Kang...!" panggil Nyi Sudira seraya bangkit
dari tempat tidur dan memeluk suaminya.
Tiba-tiba.... Bruak! "Ouuuw...!"
Bukan main terkejutnya suami istri itu, ketika
mendadak pintu kamar mereka melayang terbang
menghajar dinding. Di pintu tampak tegak berdiri sesosok laki-laki dan perempuan
yang sangat asing.
"Si..., siapa kalian" Dan apa yang kalian inginkan...?" tanya Juragan Sudira
memberanikan diri dengan suara gemetar.
Laki-laki bermata sipit itu menyeringai lebar.
"Kaukah yang bernama Juragan Sudira?" tanya la-ki-laki bermata sipit, yang
memang Daeng Mappare-
wang. Sementara wanita di sebelahnya adalah Nyai
Mamparini. "Be..., betul..!"
"Kami datang ke sini untuk meminta sedikit harta bendamu yang begitu melimpah.
Tapi sayang, anjingmu terlalu banyak dan menghalangi kami. Maka ter-
paksa mereka kami kirim ke akherat..."
Belum lagi habis bicara laki-laki itu, mendadak
terdengar bentakan nyaring dari arah belakang.
"Perampok keparat! Mampuslah kau, yeaaa...!"
Ciet! Cieeet! Tanpa menoleh, Nyai Mamparini tiba-tiba me-
lemparkan senjata rahasia ke arah pengawal-pengawal Juragan Sudira yang hendak
menyerang. Crab! "Aaa...!"
Senjata rahasia itu seketika menghantam tubuh
para pengawal. Maka seketika itu pula terdengar jeritan panjang, begitu tubuh
mereka ambruk ke lantai.
"Itulah anjing-anjingmu yang terakhir. Agaknya mereka tak menyukai kehadiran
kami di sini. Tapi,
mereka telah menerima bagiannya. Nah, Juragan Sudi-
ra. Bolehkah kami meminta sedikit hartamu yang me-
limpah ruah ini?" tanya Daeng Mapparewang sambil tersenyum kecil.
"Dan sebaiknya kalian istirahat dulu," tambah Nyai Mamparini. Seketika itu pula,
istri Daeng Mapparewang ini menggerakkan tangannya. Lalu....
Tuk! Tuk! Juragan Sudira dan istrinya kontan ambruk dilan-
tai dengan tubuh lemas, setelah menerima totokan dari wanita asing itu. Sama
dengan istrinya, dia hanya bisa mengawasi kedua tamunya yang tak diundang itu
dalam menguras habis harta bendanya.
Kemudian setelah merasa cukup menguras harta
berharga di rumah ini, suami istri itu mengumpulkannya dalam tiga buah karung.
Sebentar kemudian kem-
bali menjumpai tuan rumah, sambil tersenyum menge-
jek. "Juragan Sudira! Terima kasih atas kemurahan hatimu yang telah merelakan
harta bendamu untuk dis-
edekahkan pada kami. Aku, Daeng Mapparewang dan
istriku, Nyai Mamparini tentu tak akan melupakan bu-di baikmu ini. Kapan-kapan
kau tentu tak keberatan
bila kami kembali lagi ke sini," kata Daeng Mapparewang.
Setelah berkata begitu, keduanya segera me-lesat
cepat keluar dari rumah Juragan Sudira yang megah
dan mewah. Tinggal Juragan Sudira terkesima untuk
beberapa saat lamanya. Namun ketika kesadarannya
kembali timbul....
"Tolooong...!"
*** Sepasang anak muda tampak menjalankan ku-
danya perlahan seperti ingin menikmati pemandangan
indah yang ada di sekitarnya itu. Memang pemandan-
gan di Kadipaten Asem Bagus ini begitu indah. Di kejauhan terlihat Gunung
Muntang yang menjulang se-
perti menantang langit berwarna biru kehitam-
hitaman. "Kalau saja bukan kau yang mencegahku, ingin rasanya aku menetap di kota itu,
Kakang Bayu," gumam gadis yang menunggang kuda di sebelah pemuda berwajah
tampan, berbaju kulit harimau. Sementara, pe-
muda yang tak lain Bayu alias Pendekar Pulau Neraka itu hanya tersenyum kecil.
"Kenapa kau berkata begitu?" tanya Bayu.
Wanita di sebelah Pendekar Pulau Neraka yang se-
benarnya bernama Wulandari tertawa sambil meman-
dang pemuda itu dengan seksama.
"Di kota itu, semua memungkinkan bila aku tinggal di sana. Walaupun, terkadang
aku merasa rindu dengan hijau dan segarnya pegunungan. Kau seperti tak
memberi kesempatan padaku!" suara Wulandari agak meninggi.
"Wulandari! Kau bicara tentang apa?" tanya Bayu, bingung.
"Kau terlalu berlebihan dalam bertindak untukku.
Padahal, aku bisa melakukannya!"
Pendekar Pulau Neraka menggeleng lemah sambil
tersenyum. "Lalu kau mau apa?"
"Aku ingin kau pun percaya, kalau aku bisa melakukan segalanya untukku sendiri."
"Misalnya apa?" pancing Bayu.
"Ya..., misalnya seperti...,' aku bisa menjaga diriku sendiri tanpa harus
bergantung padamu," kata Wulandari.
"Aku tak mengatakan kalau kau harus bergantung padaku. Tapi mana mungkin aku
membiarkanmu berada dalam bahaya. Kau sendiri tahu hal itu!"
"Nah! Itu sama artinya mengecilkan kebe-
radaanku. Di sampingmu, aku seperti tak ada guna.
Aku ingin mereka tahu, bahwa aku bisa melakukan
apa saja yang baik menurutku," bela Wulandari.
Bayu tak menimpali ocehan gadis yang keli-
hatannya sedang kesal. Bibirnya tersenyum dan terus mendengarkan ocehan
Wulandari. "Aku ingin semua orang tahu bahwa tanpa ban-
tuanmu, aku pun bisa hidup mandiri di kota!"
"Kau ingin begitu?"
"Iya!"
"Baiklah. Kau boleh melakukannya sekehendak hatimu. Tapi, jangan di kota
kadipaten. Kau sendiri tahu, kota itu terlalu ganas untukmu. Seorang gadis belia
yang cantik di tengah-tengah kota yang penduduknya sebagian besar lebih suka
berjudi dan meminum mi-numan keras, tak pantas berdiam di sana."
"Maafkan aku, Kakang. Kukira Kakang tak menyu-
kai kalau aku sedikit bersenang-senang di-kota Itu.
Atau mungkin kau iri melihatku, karena bisa hidup di tempat yang kuinginkan.
Tidak seperti Kakang, yang
selalu berkelana," kata Wulandari pelan.
Bayu tak menyahut. Dia tahu gadis itu berwatak
baik dan periang. Sayang nasibnya begitu buruk dan
harus kehilangan orangtua kandungnya yang belum
cukup memberinya kasih sayang.
Namun belum juga Bayu berpikir lebih jauh, men-
dadak meluruk dua sosok tubuh dari atas se-buah ca-
bang pohon. Dan kedua sosok itu langsung mengha-
dang mereka, dengan golok tajam berkilat di tangan.
Wajah mereka ditutupi topeng hitam. Namun hanya
sekali pandang saja, Bayu tahu kalau kedua orang itu pasti laki-laki.
"Berhenti...!" bentak salah seorang ketika Bayu dan Wulandari tidak menghentikan
langkah kudanya.
Baru setelah itu, Bayu dan Wulandari menghenti-
kan langkah kudanya, kedua bola mata mereka me-
nyorot tajam penuh ancaman.
"Turun!" bentak orang yang satu lagi.
Wulandari memandang sekilas pada Bayu, ke-
mudian bergerak turun. Baru saja gadis itu menda-
ratkan kakinya di tanah, Pendekar Pulau Neraka juga segera turun.
"Ini bagianku, Kakang...!" ujar Wulandari, ketika Bayu telah berada di
sampingnya. "Berhenti...!" bentak salah seorang penghadang itu ketika Bayu dan Wulandari
tidak juga menghentikan
langkah kudanya.
Baru setelah itu, Bayu dan Wulandari menghenti-
kan langkah kudanya. Kedua bola mata mereka me-
nyorot tajam penuh tanda tanya.
"Turun!" bentak orang yang satu lagi.
"Coba-coba melawan, kugorok leher gadis ini!" ancam orang bertopeng yang berada
di dekat Wulandari.
"Kalian mau apa?" tanya Bayu tenang.
"Serahkan semua barang berharga yang kalian miliki!" ujar penghadang yang
tubuhnya agak tinggi.
"Kalian lihat" Kami tak membawa barang berharga.
Kalaupun ada, hanya ini!"
Belum juga gema kata-katanya lenyap, Wulandari
cepat mengayunkan kaki kanannya ke arah perampok
yang tengah mengancam Bayu.
"Heh"!"
Plak! "Aaakh...!"
Gerakan Wulandari memang cepat tak terduga.
Langsung dihantamnya pergelangan tangan orang yang
berada di dekat Bayu. Hingga menjerit kesakitan.
Sementara orang yang berada dekat Wulandari ter-
kejut bukan kepalang. Dia hendak menyabetkan go-
loknya, tapi Wulandari lebih cepat menggerakkan si-
kutnya. Maka....
Des! "Aaakh...!"
Orang itu kontan terjajar lima langkah ke belakang.
*** 3 Ketika kedua perampok bermaksud menyerang
kembali, Wulandari telah lebih dulu mencabut pedang tipis dari warangkanya.
Matanya terus mengawasi
sambil tersenyum mengejek.
"Nah, Kisanak. Kalian telah mengetahui benda berharga yang kami miliki, bukan"
Apakah kalian masih
bermaksud mengambilnya?"
Kedua perampok itu saling berpandangan satu sa-
ma lain. Kemudian seperti memberi isyarat, mereka se-rentak menyerang Wulandari.
"Yeaaah...!"
"Huh, bandel!" Wulandari mendengus kesal.
Tubuh gadis itu membungkuk, ketika dua bilah go-
lok itu menyambar kepalanya. Kemudian tubuhnya
jungkir balik ke depan sambil mengayunkan kakinya.
Duk! Des! "Aaakh...!"
Tendangan beruntun yang dilakukan Wulandari,
tepat menghajar dada kedua orang perampok itu hing-
ga tersungkur. Kalau saja gadis ini bertindak telengas, bisa saja kedua perampok
itu menemui ajalnya. Namun, agaknya hal itu tak disadari kedua perampok itu.
Dengan amarah meluap, mereka bangkit. Dan mereka
kembali menyerang gadis itu dengan amarah mengge-
legak dalam dada.
"Oh! Belum surut juga nyalimu" Baiklah. Akan kubuat kalian jera untuk selama-
lamanya," sinis suara Wulandari dengan nada geram.
"Hiyaaa...!"
Wulandari cepat menunduk untuk menghindari
sambaran kedua golok lawan. Pada saat yang bersa-
maan, pedangnya menyambar.
Rasanya, sulit bagi kedua perampok itu untuk
menghindar. Mereka terkejut setengah mati, dan berusaha mengelak sebisanya.
Namun....

Pendekar Pulau Neraka 44 Pendekar Tanah Seberang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bet! Bet! Bret..! Topeng kedua perampok itu kontan robek, dan
membuat goresan kecil di wajah, begitu tersambar pedang tipis Wulandari. Dan
belum lagi habis rasa terkejutnya, satu tendangan beruntun segera dilepaskan
Wulandari. Des! Des! Kedua perampok itu langsung menjerit kesakitan,
begitu tubuh masing-masing mendapat bagian. Mereka
terpental beberapa tombak. Dan dari sudut bibirnya, tampak menetes darah kental.
Wulandari tidak berhenti sampai di situ saja. Tubuhnya cepat melompat ke arah
mereka yang belum bersiap.
"Yeaaah...!"
"Ampun, Dewi! Ampuni kami...!" teriak kedua orang perampok itu sambil bersujud
dengan suara memelas.
Wulandari segera menarik pulang serangannya.
Tubuhnya berputaran dua kali dan berdiri tegak di depan kedua perampok itu.
"Kali ini kalian kuampuni. Tapi sekali lagi bertemu kalian masih dalam keadaan
begini, jangan harap aku akan mengampuni!" tegas Wulandari.
"Ba..., baik, Dewi...," sahut keduanya seren-tak.
"Nah! Pergilah sebelum amarahku bangkit lagi!"
bentak gadis itu.
Tanpa diperintah dua kali, perampok-perampok itu
langsung bangkit dan mengambil langkah seribu.
Sambil tersenyum-senyum kecil, Wulandari me-
lompat ke atas punggung kudanya. Kemudian pedang-
nya disarungkan kembali. Matanya melirik sekilas pa-da Bayu sambil menghela
kudanya perlahan.
"Lihat Kakang! Bukankah Kakang tak perlu men-
cemaskanku" Aku mampu menjaga diriku sendiri...,"
ujar gadis itu bangga.
"Begitukah?" sahut Bayu sambil tersenyum.
"Hm.... Kakang lihat sendiri, bukan?"
"Ya, aku melihatnya...," sahut Bayu acuh tak acuh.
Dan sepanjang perjalanan Wulandari seolah mem-
busungkan dada sambil tersenyum-senyum kecil. Kini
mereka terus memacu kudanya, hingga akhirnya sam-
pai di sebuah desa.
"Kakang, aku lapar. Sebaiknya kita makan dulu,"
ujar Wulandari.
Mata gadis itu melirik Pendekar Pulau Neraka se-
saat. Wajah Bayu tampak kecut, namun berusaha ter-
senyum. "Kenapa tersenyum?" tanya Wulandari.
"Kau ingin makan di kedai itu" Nah, pergilah ke sana lebih dulu. Aku ada urusan
yang tak dapat di-tunda!" sahut Bayu sambil senyum-senyum.
"Urusan apa, Kakang?" tanya Wulandari penuh se-lidik.
Bayu menunjuk perutnya. Dengan air wajah berke-
rut begitu, Wulandari cepat mengerti apa yang dimaksud pemuda itu.
"Jangan lama-lama!" sungut Wulandari sambil memacu kudanya terus menuju ke kedai
yang tadi ditunjuk Bayu.
Sedangkan pemuda berpakaian dari kulit hari-mau
itu segera menggebah kudanya ke arah yang berlawa-
nan, mencari anak sungai untuk melepaskan hajatnya
yang sejak tadi ditahan.
*** Wulandari duduk tenang di dalam kedai setelah
memesan makanan yang diinginkannya. Bola matanya
merayapi ke sekeliling. Tak begitu banyak pengunjung yang datang. Namun melihat
dari cara berpakaian serta beberapa buah senjata yang terselip di pinggang dan
punggung, bisa dipastikan kalau di antara pengunjung kedai ada yang dari
kalangan persilatan.
"Silakan, Nisanak...," ujar pelayan kedai sambil menghidangkan makanan yang
dipesan Wulandari.
Wajah laki-laki tua pelayan kedai terlihat heran.
Beberapa kali matanya mencuri pandang ke arah gadis itu. Mulanya Wulandari tak
begitu mempedulikannya.
Namun ketika pelayan itu tak juga beranjak, gadis itu tersenyum sambil
berpaling. "Kenapa" Adakah sesuatu yang aneh pada di-
riku?" "Eh! Tidak, Nisanak. Maaf aku hanya heran, kena-pa Nisanak memesan makanan untuk
dua orang. Apa-
kah Nisanak yang akan makan semua-nya?"
Wulandari kembali tersenyum sambil menggeleng.
"Tidak. Yang satu untuk kawanku. Sebentar lagi dia akan kemari, setelah
menyelesaikan urusannya,"
Jelas Wulandari.
Pelayan tua bertubuh kurus itu mengangguk-kan
kepala, ketika mendengar penjelasan itu, lalu langsung berlalu dari tempat itu.
Wulandari menunggu beberapa saat lamanya, dan
membiarkan makanan yang terhidang di depannya be-
gitu saja. Dia memang sengaja menunggu Bayu untuk
makan bersama. Namun setelah sekian lama ditunggu,
ternyata pemuda itu belum juga muncul. Hatinya kini mulai kesal. Pandangannya
kembali merayapi sekeliling. Kebetulan juga di dekatnya terlihat beberapa
orang berkumpul pada satu meja. Dan sejak tadi, me-
reka terlibat pembicaraan menarik. Semula, Wulandari tak begitu mempedulikannya.
Tapi lama kelamaan, dia tertarik juga untuk mendengarkannya.
"Wan! Kasihan Juragan Sudira itu. Sekarang seperti orang gila. Sejak harta
bendanya ludes di-habisi kedua orang asing itu, dia melamun terus sepanjang hari
di teras rumahnya!" tutur seorang yang bertubuh kurus. "Kabarnya kedua orang
asing itu berilmu sangat tinggi?" timpal seseorang yang memakai baju hitam.
'Ya! Mereka memang orang asing dari tanah sebe-
rang. Bahkan tak hanya harta benda Juragan Sudira
yang ludes. Tapi, juga banyak hartawan lain yang di-
rampok. Bahkan banyak pula tokoh persilatan yang
tewas di tangan mereka!" jelas pemuda bertubuh kurus itu lagi.
"Dari mana kau tahu kalau mereka yang melaku-
kannya?" tanya kawannya yang memiliki mata lebar seperti orang melotot.
"Kenapa tidak" Semua orang tahu, kedua orang asing itu sangat sombong! Dengan
perbuatan mereka,
seakan-akan tak ada seorang pun yang mampu meng-
halanginya. Mereka selalu berkata pada semua kor-
bannya, agar mendatangkan tokoh persilatan hebat
untuk menantang mereka setelah menyebutkan na-
manya." "Siapa nama tokoh dari tanah seberang itu?" tanya laki-laki bermata bulat itu,
makin tertarik.
"Kalau tak salah..., Daeng Mapparewang dan is-
trinya Nyai Mamparini...," sahut laki-laki bertubuh kurus sambil mengingat-
ingat. "Huh! Kalau mereka dibiarkan terus, pasti akan banyak jatuh korban. Mereka bukan
saja pembuat keonaran, tapi juga perampok. Apakah tak ada tokoh
persilatan yang mau turun tangan untuk menghenti-
kan sepak terjang mereka?" tanya laki-laki berbaju hitam dengan nada bergumam.
"Suami istri itu tampaknya tak perlu menunggu tokoh-tokoh persilatan untuk
mencari mereka. Tapi, me-rekalah yang akan mendatangi kediaman tokoh-tokoh
persilatan dan menantangnya bertarung. Kemudian
sambil lalu di perjalanan, mereka mengincar harta
benda orang-orang kaya dan merampoknya!" jelas yang bertubuh ceking, dengan
suara kesal bercampur geram.
"Huh! Kalau saja aku memiliki kemampuan hebat, sudah kuhajar kedua orang asing
itu!" dengus kawannya yang bermata bulat.
"Ha ha ha...! Mana mungkin kau bisa mengalah-
kannya" Dengan binimu saja, kau takut!" ejek kawannya yang berbaju hitam itu.
"Sial kau...!" maki laki-laki bermata bulat sambil cengar-cengir.
Pembicaraan mereka memang menarik perhatian
Wulandari. "Dua tokoh asing menantang jago-jago persilatan negeri ini, itu hal biasa. Tapi
perbuatan mereka merampok harta benda orang-orang kaya tak bisa dibiarkan," ucap
Wulandari dalam hati.
"Huh! Akan kuhajar kedua orang asing itu. Di-
kiranya hanya mereka saja yang memiliki kepandaian!"
geram Wulandari.
Wulandari berpikir sesaat, kemudian beranjak dari
tempat itu. Dia terus melangkah ke luar kedai, menuju selatan.
Wulandari merasa inilah kesempatan baginya un-
tuk menunjukkan pada Bayu kalau dia mampu me-
nyelesaikan persoalan seorang diri. Selama ini na-
manya memang selalu dikaitkan dengan keperkasaan
Bayu. Seolah-olah, segala urusannya akan beres bila Pendekar Pulau Neraka selalu
berada di dekatnya.
Tak lama setelah Wulandari berlalu dari tempat itu, Bayu pun tiba. Pemuda
berpakaian dari kulit harimau itu memandang heran ke seluruh ruangan kedai.
Namun, Wulandari tak terlihat berada di tempat ini. Kudanya pun tak ditambatkan
di depan. Otaknya mulai
berpikir, pasti Wulandari tak jadi menunggunya di si-tu. Dan baru saja Bayu akan
meninggalkan kedai, se-
konyong-konyong seorang pelayan tergopoh-gopoh
menghampirinya.
"Aden! Apakah Aden kawan gadis cantik berbaju
merah muda itu?"
"Ya, kenapa" Apakah dia tadi di sini?"
"Betul, Den. Tapi sekarang, dia telah pergi entah ke mana. Katanya, Aden tak
usah menyusulnya. Karena,
dia pergi tak lama. Begitu katanya," kata pelayan itu menjelaskan.
"Ke arah mana dia tadi pergi?"
Pelayan kedai itu menunjuk ke arah selatan. Maka
setelah mengucapkan terima kasih, Bayu menghampiri
kudanya. Dia melompat naik, dan menggebah kudanya
ke arah yang ditunjukkan pelayan tadi.
*** Ki Jumeneng adalah seorang tokoh persilatan dari
kalangan tua. Sejak sepuluh tahun terakhir, namanya memang jarang terdengar
lagi. Meskipun demikian,
semua tokoh persilatan telah mengakui kalau dia ma-
sih memiliki pamor yang membuatnya tetap disegani
sampai saat ini. Dan hal itu tak terlepas dari sepak terjang beberapa orang
muridnya, yang selalu menolong
siapa saja yang mengalami kesulitan. Mereka tak segan-segan membasmi kejahatan
yang selalu meresah-
kan masyarakat. Sehingga, orang akan selalu teringat sepak terjang orang tua
berusia sekitar enam puluh
tahunan itu. Belakangan ini, sedikit sekali yang mengetahui
tempat tinggal orang tua itu. Karena selama sepuluh tahun belakangan ini, dia
selalu berpindah-pindah
tempat. Kalaupun ada yang mengetahuinya, pastilah
jumlahnya sedikit sekali. Tapi, ternyata masih ada juga orang lain yang berhasil
menemuinya. "Orang tua! Keluarlah kau dari pondokmu!" teriak seorang laki-laki bermata sipit
dengan suara nyaring.
Di sebelahnya berdiri seorang wanita yang juga berma-ta sipit.
Beberapa saat kemudian, terlihat seorang laki-laki
kurus terbungkuk-bungkuk tengah keluar dari dalam
pondok. Wajahnya penuh kerut-kerut. Rambutnya
yang jarang-jarang, telah memutih semuanya. Bajunya lusuh bergaris-garis coklat
pudar. Sambil membawa
tongkat di tangannya, dia memandang heran pada dua
orang asing di depan rumahnya.
"Siapakah kalian" Dan, ada keperluan apa memin-taku keluar?" tanya orang tua itu
dengan suara berwi-bawa.
"Kaukah yang bernama Ki Jumeneng?" tanya orang asing itu dengan wajah tak yakin.
"Benar. Siapakah kalian?"
"Aku Daeng Mapparewang. Dan ini, istriku Mamparini...," jelas laki-laki bermata
sipit itu hambar.
Laki-laki yang ternyata Daeng Mapparewang itu
memang tak menyangka kalau orang tua yang diden-
garnya hebat, ternyata telah tua renta. Bahkan sama sekali tak mengesankan
sebagai seorang tokoh gagah perkasa yang dibayangkannya semula.
"Hm.... Lantas, apa maksud kalian ke tempat-ku ini?"
"Kudengar kau tokoh gagah perkasa. Tapi, ternyata yang kulihat hanya seorang tua
renta yang telah bau tanah. Sia-sia aku datang ke sini. Huh! Setelah sekian
banyak tokoh persilatan di negeri ini yang kubunuh, tak seorang pun yang
memiliki kepandaian berarti,"
kata Daeng Mapparewang menghina.
"Orang muda! Kudengar dari nada bicaramu, se-
pertinya kau menantangku?" dengus Ki Jumeneng sinis. "Kalaupun betul, apa yang
bisa kau lakukan" Dengan sekali dorong, tubuhmu pasti akan tersungkur di liang
kubur!" sahut Daeng Mapparewang sambil mendongakkan kepala, jumawa.
"Hm... Kau boleh mencobanya," sahut Ki Jumeneng
singkat. Orang tua itu pada mulanya tak ingin meladeni ke-
sombongan Daeng Mapparewang. Namun lama kela-
maan, telinganya tak tahan mendengar kata-katanya
yang berbau penghinaan. Maka dengan jawaban sing-
katnya, jelas dia menyambut tantangan orang asing
itu. Sebaliknya bagi Daeng Mapparewang yang men-
dengar jawaban orang tua itu malah terkekeh kecil. Sikapnya masih merendahkan.
Seolah-olah orang tua di
hadapannya kini telah lumpuh sama sekali.
"Ingin kulihat, apakah kau mampu melangkahkan
kakimu...!"
"Hup!"
Belum lagi selesai kata-katanya, Ki Jumeneng telah
melompat ringan ke arah lawan sambil memutar tong-
kat di tangan. Daeng Mapparewang tersentak kaget.
Buru-buru dia melompat ke atas, begitu mengetahui
angin serangan yang deras menerpa tubuhnya, akibat
serangan orang tua itu.
"Hih!"
Sambil menggeram marah, Daeng Mapparewang
mencabut sepasang golok bergeriginya yang tajam berkilat dan memantulkan cahaya
matahari. Langsung dia balas mendesak lawan. Namun ujung tongkat Ki Jumeneng
berkelebat cepat menghantam kedua golok itu.
Trak! Nyaris Daeng Mapparewang terpental kalau saja
tak memiliki tenaga dalam kuat, begitu senjatanya
berbenturan. Tapi itu sudah cukup membuktikan ka-
lau Ki Jumeneng memang tak bisa dipandang enteng.
Apalagi ketika tiba-tiba datang serangan kembali dari orang tua itu. Tongkatnya
tampak berputar cepat. Sementara ujungnya yang lain menyodok ke dada. Daeng
Mapparewang ter-sentak, dan buru-buru melompat ke
belakang. Namun, terlambat. Karena....
Duk! Tetap saja dada Daeng Mapparewang terhajar,
meskipun tak sekeras seandainya tak melompat tadi.
Tapi itu cukup membuat dadanya terasa nyeri. Dan dia hanya terjajar beberapa


Pendekar Pulau Neraka 44 Pendekar Tanah Seberang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langkah saja. "Apakah pelajaran itu masih belum cukup ba-
gimu?" tanya Ki Jumeneng sambil tersenyum sinis.
"Huh! Jangan merasa menang dulu, Orang Tua!
Aku belum kalah. Mari kita lanjutkan kembali permainan kita!" dengus Daeng
Mapparewang dengan sorot mata tajam penuh kemarahan.
Laki-laki dari tanah seberang itu melangkah maju
dan membuka jurus. Sementara, Ki Jumeneng berdiri
tegak memperhatikan dengan seksama. Dilihatnya wa-
nita yang bersama orang asing itu mencabut suling perak yang terselip di
pinggang. Kemudian suling perak itu mulai ditiup perlahan-lahan membentuk irama
mendayu-dayu. "Orang tua, lihat serangan!" bentak Daeng Mapparewang nyaring.
Bersamaan dengan itu, laki-laki dari negeri asing
itu melompat menyerang lawan sambil mengayunkan
kedua golok bergeriginya yang tajam berkilat. Ki Jumeneng cepat menangkis.
Trang! Benturan kedua senjata itu menimbulkan bunyi
berdentang yang sangat nyaring. Maka semakin sadar-
lah Daeng Mapparewang, kalau tongkat di tangan
orang tua yang kelihatan butut dan rapuh, ternyata
merupakan senjata menakjubkan! Belum lagi tenaga
dalam orang tua itu yang disalurkan lewat serangan
tongkatnya terasa sangat hebat dan luar biasa.
"Hih!"
Daeng Mapparewang kembali menyerang lawan
dengan pengerahan segenap kemampuan bergeraknya
yang sangat hebat. Berkali-kali senjatanya menyam-
bar-nyambar, seolah mengurung dan mengunci orang
tua itu. Namun sejauh ini, Ki Jumeneng masih mampu
meladeninya. Dan rasanya, kalau pertarungan itu berlanjut dengan jujur, maka
orang tua itu akan sulit dijatuhkan. Jelas terlihat, tenaga dalamnya berada se-
tingkat di atas lawannya. Bahkan kemampuan berge-
rak orang tua itu juga sangat mengagumkan. Jurus-
jurus yang dimainkan sangat hebat, penuh gerak tipu yang sangat membahayakan
lawan. Hanya karena
Daeng Mapparewang memiliki ilmu meringankan tu-
buh yang sudah mencapai tingkat sempurna, setiap
serangan gencar orang tua itu masih mampu dihinda-
rinya. *** 4 Tapi lama kelamaan Ki Jumeneng merasakan ju-
rus-jurusnya semakin kacau. Bahkan berkali-kali la-
wan berusaha mencuri kesempatan untuk melukainya
dengan senjata golok bergerigi itu. Tapi mana dia tahu kalau hal itu karena
pengaruh irama suling yang sedang dimainkan Nyai Mamparini. Iramanya memang
terdengar aneh. Bahkan suaranya seperti dikerahkan
lewat tenaga batin yang telah sempurna, sehingga
mampu mempengaruhi jiwa seseorang yang diingin-
kannya. Dalam hal ini jelas sedang mempengaruhi jiwa Ki Jumeneng, agar suaminya
leluasa menghajar lawan.
Orang tua itu sendiri menyadari, setelah keadaan
agak terlambat Daeng Mapparewang telah mencecar-
nya habis-habisan, dan seolah tak memberi kesempa-
tan sedikit pun juga. Sedangkan semangat bertarung-
nya terus menurun. Dia seperti kehilangan separo tenaganya dan terus berkurang
perlahan-lahan.
"Huh! Hanya sampai di sinikah kemampuan-mu,
Orang Tua?" ejek Daeng Mapparewang seraya me-
nyambar leher dan pinggang lawan dengan se-pasang
goloknya. Ki Jumeneng mengibaskan tongkatnya, sehingga
kedua ujungnya masing-masing menangkis dua senja-
ta lawan. Trak! Trak! "Hih!"
Terdengar bunyi yang hebat, ketika senjata mereka
berbenturan. Tangan orang tua itu kontan bergetar
hebat, dan kepalanya mulai terasa pening. Samar-
samar masih terasa olehnya, lawan tengah mengayun-
kan satu tendangaan. Maka Ki Jumeneng telah me-
lompat ke belakang sambil memutar tongkatnya untuk
berjaga-jaga dari serangan Daeng Mapparewang selan-
jutnya. Dan hal itu memang terjadi. Daeng Mapparewang
mengejar dengan sengit. Golok bergeriginya menyam-
bar cepat ke arah tongkat orang tua itu. Sementara, sebuah lagi ke arah kaki.
Trak! Ki Jumeneng langsung merasakan tangannya
mendadak terasa nyeri, begitu habis berbenturan senjata. Dan belum lagi
menyadari apa yang terjadi, golok bergerigi Daeng Mapparewang yang meluncur ke
arah kaki, kelihatannya sulit dihindari. Sehingga....
Cras! "Aaakh...!"
Ki Jumeneng kontan mengeluh kesakitan, begitu
kaki kirinya tersambar senjata lawan, hingga putus
sebatas lutut! Darah seketika mengucur deras dari kakinya yang
buntung sebatas lutut. Serangan Daeng Mapparewang
tak berhenti sampai di situ. Tubuhnya telah kembali melompat sambil mengayunkan
kedua goloknya. Sebisanya Ki Jumeneng menangkis dengan tongkatnya.
Tras! Namun kali ini tak berarti banyak. Sekali tebas, golok di tangan Ki Jumeneng
patah menjadi dua bagian.
Terpaksa orang tua itu membuang diri ke samping un-
tuk menghindari sambaran golok yang satu lagi. Tu-
buhnya terus berguling-gulingan untuk menghindari
tebasan golok lawan yang terus mengejarnya. Dan tan-pa sadar, tubuhnya bergerak
mendekati Nyai Mampa-
rini. Maka tiba-tiba....
Des! "Aaakh...!"
Tanpa mengenal rasa belas kasihan lagi, kaki ka-
nan Nyai Mamparini langsung menghajar perut orang
tua itu tanpa menghentikan irama sulingnya. Tubuh Ki Jumeneng kontan terangkat
tiga jengkal dari tanah.
Dan belum lagi sempat menyadari apa yang terjadi,
kedua golok Daeng Mapparewang telah meluncur ke
arah leher dan pinggang orang tua itu.
Cras! Bret! "Oookh...!"
Tanpa dapat berkelit sedikit pun, leher dan ping-
gang Ki Jumeneng tertebas dua golok bergerigi Daeng Mapparewang. Orang tua itu
hanya mengaduh terta-han, dengan mata mendelik. Se-bentar tubuhnya
menggelepar, lalu diam tak berkutik lagi. Dia mati ber-simbah darah dengan
keadaan mengerikan.
"Phuih! Hanya sampai di situ saja kemampuan-
nya!" dengus Daeng Mapparewang sambil meludahi tubuh lawan yang terpotong
menjadi tiga bagian.
Sementara, Nyai Mamparini tersenyum sinis.
"Jangan gegabah, Kak. Kalau saja bertarung secara jujur, kau pasti bisa
dijatuhkannya. Kepandaian orang tua itu memang hebat" puji Nyai Mamparini.
"Huh! Kata siapa begitu" Aku belum sempat men-
geluarkan seluruh kemampuanku. Apalagi kalau dia
sempat merasakan jurus-jurus ampuhku. Tentu dia
akan lebih menderita lagi!"
"Hi hi hi...! Pukulanmu yang berhawa dingin itu memang hebat. Dan sejauh ini,
belum ada tandingan-nya," kata Nyai Mamparini memuji kehebatan suaminya.
"Kau pun hebat Istriku. Permainan sulingmu tiada tertandingi, sehingga mampu
mengacaukan kesadaran
siapa pun juga. Apalagi, ilmu totokanmu. Belum ada
yang menandingi sampai saat ini."
"Kak, tugas kita belum selesai di negeri ini. Masih ada tokoh-tokoh persilatan
yang harus ditemui. Aku
masih belum puas kalau belum membinasakan orang
itu," desis Nyai Mamparini.
"Siapa yang kau maksud" Bukankah sudah banyak
tokoh ternama di negeri ini yang mati di tangan kita?"
tanya Daeng Mapparewang, heran.
"Kau betul. Tapi, ingatkah kau pada ocehan beberapa orang yang kita temui?"
"Maksudmu?"
'Tokoh yang diagung-agungkan di negeri ini."
"Maksudmu Pendekar Pulau Neraka?"
"Ya...."
Wajah Daeng Mapparewang tampak kelam, begitu
mendengar nama yang disebutkan istrinya. Kedua tan-
gannya terkepal dan dengus napasnya terasa kasar.
"Sayang, tak seorang pun yang mengetahui di ma-na keberadaannya saat ini. Kalau
saja kita tahu tem-patnya, akan kupatahkan batang lehernya. Agar orang-
orang di sini tahu, pendekar yang diagung-agungkan
itu hanya cecurut busuk yang tak berdaya. Lalu, kepalanya akan ku tendang di
tempat orang yang ramai
berkumpul," dengus Daeng Mapparewang geram.
Laki-laki bermata sipit itu seperti menaruh dendam
kesumat yang hebat terhadap Pendekar Pulau Neraka.
Padahal, bertemu orangnya saja belum pernah. Me-
mang tak seorang pun boleh melebihi kehebatannya.
Di tanah seberang sana, Daeng Mapparewang memang
tokoh nomor satu. Itu sebabnya, ketika tidak ada seorang pun yang sanggup
menandinginya, dia bersama
istrinya pergi ke negeri ini. Tujuannya, menantang bertarung pendekar setempat!
*** Kematian Ki Jumeneng yang mengenaskan itu, ten-
tu saja menimbulkan kemarahan bagi tokoh-tokoh
persilatan lainnya. Selama ini, orang tua itu tak pernah mencampuri urusan
orang. Bahkan sengaja men-
gasingkan diri untuk menghindari diri dari urusan ke-duniaan. Dan kini, orang
tua itu malah tewas menjadi korban kedua pendekar asing dari tanah seberang.
Lebih-lebih bagi ketiga murid Ki Jumeneng. Mereka
telah bersumpah di depan makam orang tua itu, untuk membalaskan kematian gurunya
yang mengenaskan.
Kini, telah seharian mereka berjalan, mencari jejak kedua orang asing itu. Dan
ketiga orang itu semakin dekat saja dengan orang yang dicari, ketika menemu-kan
korban-korban lain. Kalau tidak tewasnya tokoh-
tokoh persilatan, maka berita mengenai ludesnya harta benda orang-orang kaya
yang semakin sering terdengar. Menjelang sore, mereka tiba di sebuah desa yang
cukup ramai dan bermaksud untuk bermalam. Namun
mendadak terdengar ribut-ribut di ruang atas rumah
penginapan yang akan dimasuki. Mulanya, ketiga pe-
muda berusia rata-rata sekitar dua puluh tahun itu
tak begitu ambil peduli. Tapi....
"Daeng Mapparewang, mampuslah kau!"
Seseorang terdengar berteriak keras. Maka men-
dengar teriakan yang menyebutkan nama orang yang
tengah dicari, ketiganya langsung melompat ke atas.
Begitu sampai di atas, tampak di sebuah ruangan
yang telah porak-poranda seorang laki-laki setengah baya bermata sipit tengah
berhadapan dengan seorang laki-laki tegap dan bertubuh pendek yang bernafsu
sekali menyerang. Sementara, di lantai tergeletak dua sosok mayat dalam keadaan
kaku persis patung.
Ketiga murid Ki Jumeneng itu menduga, laki-laki
bertubuh pendek tegap inilah yang tadi berteriak. Mereka memandang ke
sekeliling, dan melihat banyak
penghuni rumah penginapan ini yang kabur terburu-
buru mengetahui adanya keributan. Tapi beberapa
orang terlihat menonton pada jarak dekat
"Yeaaa...!"
Sambil membentak nyaring, laki-laki pendek itu
menyerang laki-laki bermata sipit yang tak lain Daeng Mapparewang, sambil
mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Daeng Mapparewang tampak tersenyum si-
nis. Sambil mengangkat sebelah kaki, kepalanya me-
nunduk, lalu bergerak mundur selangkah. Sambil ber-
putar sebelah tangannya menghantam pergelangan
tangan laki-laki bertubuh pendek yang sedang meme-
gang senjata. Plak! Pada saat yang bersamaan satu tendangan keras
Daeng Mapparewang menghajar dada lawan.
Des! "Aaakh!"
Orang bertubuh pendek itu kontan terjengkang ke
belakang sambil menjerit kesakitan. Dan sebelum
orang bertubuh pendek itu jatuh ke lantai, Daeng
Mapparewang melesat sambil mengayunkan kepalan
tangannya. Des! "Hukh...!"
Pukulan maut Daeng Mapparewang tepat mengha-
jar perut orang bertubuh pendek itu hingga jatuh ber-debam di lantai. Setelah
meregang nyawa, orang ber-
tubuh pendek itu tewas seketika dalam kaku! Semen-
tara sambil mengibas-ngibaskan kedua tangan, laki-
laki bermata sipit itu memandang ke sekeliling.
"Ada lagi yang mencoba-coba mengganggu kete-
nangan kami?" tanyanya dengan suara nyaring dan wajah menunjukkan kesombongan.
Tak seorang pun ada yang menyahut. Satu persatu
mereka berpaling dan meninggalkan tempat itu. Na-
mun seorang gadis berbaju merah muda bersama tiga
orang pemuda maju mendekati dengan sorot mata ta-
jam. "Kaukah yang bernama Daeng Mapparewang?"
tanya salah seorang dari ketiga pemuda itu.
"Siapa kalian"! Dan aku memang Daeng Mappare-
wang," sahut laki-laki bermata sipit itu.
"Bagus. Kami adalah murid Ki Jumeneng. Namaku
Bambang Perkasa. Dan ini kedua adik seperguruanku.
Sukma Dewantara dan Wahyu Sudana," kata pemuda yang membawa tongkat pendek itu
memperkenalkan diri. "Dan kau adalah murid Ki Jumeneng juga?" tanya Daeng Mapparewang, menatap
kepada gadis berbaju
merah muda yang berwajah cantik itu.
Gadis itu tersenyum sinis.
"Bukan. Kedatanganku ke sini untuk memenuhi
undanganmu yang akan menantang tokoh-tokoh persi-
latan di negeri ini," sahut gadis berbaju merah yang tak lain adalah Wulandari.
"Oh, begitu" Lalu siapa kau sebenarnya"! Kalau kau tak punya pengalaman apa-apa


Pendekar Pulau Neraka 44 Pendekar Tanah Seberang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di dunia persilatan negeri ini, lebih baik mundur. Huh! Hanya mengo-tori
tanganku saja," sahut, Daeng Mapparewang sombong.
"Daeng Mapparewang! Apakah kau pikir si Dewi
Maut terlalu rendah bagimu?" tanya Wulandari dingin.
"Hm.... Dewi Maut" Boleh juga. Pernah kudengar namamu...."
"Hei, Orang Asing! Kami datang ke sini untuk menuntut balas atas kematian Ki
Jumeneng yang kau
bunuh secara kejam. Bukan untuk mendengar oce-
hanmu itu!" bentak Bambang Perkasa yang berangasan, dengan suara nyaring.
Daeng Mapparewang memalingkan muka. Kemu-
dian dipandanginya mereka sambil tersenyum kecil.
Sikapnya sama sekali tak memandang sebelah mata
pada ketiga orang itu.
"Guru kalian saja mampus di tanganku. Apa yang kalian bisa lakukan sekarang"
Sebaiknya, kalau memang ingin buru-buru mampus, majulah kalian ber-
sama. Biar lebih cepat bagiku untuk membereskan ka-
lian," kata Daeng Mapparewang semakin jumawa.
"Keparat! Apa kau pikir kami tak mampu membe-
reskan cecunguk sepertimu"!" bentak Bambang Perkasa geram.
"Hei"! Kenapa banyak ribut segala" Buktikan-lah segera. Ayo, majulah bersama-
sama!" "Setan! Mari, Kakang! Kita buktikan kalau kita tak bisa dianggap enteng. Biar
dia mampus sekalian!" dengus murid Ki Jumeneng yang bernama Sukma Dewan-
tara. Langsung pedangnya yang terselip di pinggang
dicabut. "Hiyaaa...!"
*** Ketiga pemuda itu langsung melompat menyerang
lawan dengan sengit. Sementara Daeng Mapparewang
masih tersenyum sinis. Namun dengan sekali berputar, tubuhnya lenyap dan luput
dari serangan lawan-lawannya. Kemudian mendadak, dari atas dia menukik
tajam sambil memutar golok bergeriginya yang telah
tergenggam di tangan.
"Yeaaah...!"
Trak! Trak! "Hih!"
Bambang Perkasa dan Sukma Dewantara terkejut
ketika senjata mereka dihantam sepasang golok bergerigi lawan. Terasa sekali
himpitan tenaga dalam yang kuat, sehingga membuat mereka mengeluh menahan
sakit. Belum lagi habis rasa terkejutnya, kedua ujung golok Daeng Mapparewang
telah berkelebat menyambar ke arah leher-leher lawannya. Tapi pada saat itu
pula, Wahyu Sudana melemparkan dua bilah pisau
kecil senjata andalannya.
"Yeaaah...!"
Ser! Ser! "Huh!"
Daeng Mapparewang menggeram marah. Tubuhnya
cepat jungkir balik di udara menghindari lemparan pisau-pisau itu.
"Hiyaaa...!"
Bambang Perkasa tak mau menyia-nyiakan kesem-
patan. Langsung tongkatnya diputar hebat, menghajar lawan dengan mengerahkan
tenaga dalam kuat. Angin
serangannya terasa menderu, sehingga membuat pa-
kaian Daeng Mapparewang berkibar-kibar.
Namun Daeng Mapparewang cukup gesit untuk
memapak serangan. Tangan kirinya cepat bergerak
menyambarkan golok untuk menangkis terjangan pe-
dang Sukma Dewantara.
Trak! Kemudian dengan cepat kaki kanan Daeng Mappa-
rewang menyapu ke depan.
"Uts!"
Untung Bambang Perkasa dan Sukma Dewan-tara
cepat melompat ke belakang, menghindari tendangan
keras laki-laki bermata sipit itu. Sementara, Daeng Mapparewang pun langsung
mengikuti gerakan lawan,
dengan melompat ke atas, sekaligus menghindari sam-
baran pisau-pisau terbang yang kembali dilemparkan
Wahyu Sudana. "Yeaaah...!"
Gerakan Daeng Mapparewang memang cepat bu-
kan main. Bahkan kedua saudara seperguruan itu be-
lum sempat menjejakkan kaki ke lantai, ketika Daeng Mapparewang mengikuti
gerakan mereka dengan kedua golok yang menyambar ke arah mereka. Terpaksa
mereka menangkis dengan untung-untungan karena
keadaan yang tidak me-mungkinkan untuk membuat
kuda-kuda yang mantap.
Trang! Sekali kelebatan golok Daeng Mapparewang yang
satu berhasil ditangkis. Namun golok yang sebuah lagi menyambar ke arah bahu
Bambang Perkasa tanpa bi-sa dihindari.
Cras! "Aaakh...!"
Bambang Perkasa menjerit kesakitan, ketika ba-
hunya mendapat luka yang dalam. Sukma Dewantara
tersentak kaget. Langsung pedangnya di-putar dengan
kalap menyambar pinggang dan leher lawan. Tapi
Daeng Mapparewang cepat meliuk-liuk menghindari.
Sementara itu, kepalan tangan Wulandari meluncur ke arah dada kiri Daeng
Mapparewang. "Hiyaaa...!"
Sambil membentak nyaring, Daeng Mapparewang
cepat mengebutkan sepasang goloknya balik menyam-
bar ke leher Wahyu Sudana. Maka cepat-cepat pemuda
itu menundukkan kepala. Namun bukan main kaget-
nya dia, ketika merasakan kelebatan golok lawan yang keras bukan main akibat
pengerahan tenaga dalam
tinggi. Dan belum habis rasa terkejutnya, tiba-tiba golok Daeng Mapparewang
menebas lehernya.
Cras! "Aaakh...!"
Sementara Sukma Dewantara tertegun melihat ke-
matian Wahyu Sudana. Dan keterpakuannya itu harus
dibayar mahal. Tiba-tiba saja satu tendangan yang dilancarkan lawan menghantam
telak ke arah dadanya.
Des! "Aaakh...!"
Pemuda itu memekik kesakitan. Tubuhnya kontan
tersungkur menghantam dinding ruangan. Bahkan tu-
lang rusuknya sampai melesak ke dalam!
"Sukma...! Wahyu...!" Bambang Perkasa tersentak kaget melihat kejadian yang
berlangsung cepat itu.
Dengan wajah tak percaya, pemuda itu meng-
hampiri kedua adik seperguruannya yang telah tewas.
Jantung Sukma Dewantara pecah akibat tulang ru-
suknya yang menembus ke dalam. Sementara kepala
Wahyu Sudana bergulir ke kaki wanita asing yang juga istri Daeng Mapparewang.
Bahkan dengan tersenyum
mengejek wanita itu malah menendang kepala Wahyu
Sudana ke arah Bambang Perkasa.
"Huh! Tak tahu diri! Sebaiknya berpikir seribu kali
Pendekar Aneh Naga Langit 13 Ikat Pinggang Kemala Sabuk Kencana Karya Khu Lung Pendekar Setia 2
^