Pencarian

Pendekar Tanah Seberang 2

Pendekar Pulau Neraka 44 Pendekar Tanah Seberang Bagian 2


dan lihat kemampuan kalau hendak menantang
orang!" dengus wanita itu.
Amarah Bambang Perkasa yang menyala-nyala se-
makin menggejolak saja melihat penghinaan itu. Ditatapnya mereka secara
bergantian dengan sorot mata
tajam berkilat, seolah ingin menelan bulat-bulat.
"Jahanam keparat! Aku akan mengadu jiwa dengan kalian! Hiyaaa...!"
Sambil membentak nyaring bagai raungan harimau
terluka, Bambang Perkasa menyambarkan tongkatnya
dengan kemarahan meluap-luap.
Bet! Bet! "Hih!"
Kedua ujung tongkat pemuda itu secara bergantian
cepat mengurung Daeng Mapparewang dengan seran-
gan-serangan gencarnya. Tapi, orang asing itu meng-hadapinya penuh percaya diri.
Maka begitu ujung
tongkat Bambang Perkasa menyodok ke arah dada,
Daeng Mapparewang hanya sedikit memiringkan tubuh
untuk menghindarinya. Dan sambil berbalik, cepat
disambarnya leher serta pinggang lawan.
"Uts!"
Bambang Perkasa cepat meliuk-liuk menghindari,
kemudian terus bergerak ke samping. Maka pada saat
itulah satu tendangan lawan yang telah menunggu,
menyambar deras.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Bambang Perkasa masih sempat melompat ke atas
sambil mencoba bersalto ke belakang. Namun baru sa-
ja bergerak setengah, ujung golok Daeng Mapparewang lebih cepat menyambar
perutnya. Cras! "Aaakh...!"
Kemudian sebuah lagi menebas leher pemuda itu.
"Okh!"
Bambang Perkasa sempat mengeluh pelan, dan
ambruk di tanah, dan tubuhnya terpotong menjadi tiga bagian. Darah mengucur
deras mengiringi nyawanya
yang melayang dari tubuh.
"Mampus!" dengus Daeng Mapparewang sambil meludah.
"Kini giliranmu yang akan mengalami nasib sepertinya!" sahut sebuah suara.
"Heh"!"
Srak! *** 5 Daeng Mapparewang memandang tajam ke arah
wanita cantik berbaju merah muda yang telah menca-
but pedang tipis dari pinggangnya.
"Hm.... Sebaiknya berpikirlah kembali untuk
menghadapiku, Bocah. Wajahmu yang cantik akan ku-
sayat-sayat dengan golokku ini!" ancam Daeng Mapparewang.
"Kau boleh mencobanya," sahut gadis itu yang tak lain Wulandari atau lebih
dikenal berjuluk Dewi Maut.
"Kakak! Biar kuhadapi anak bandel itu!" selak Nyai Mamparini seraya melangkah
maju. Daeng Mapparewang memandang istrinya sekilas,
kemudian tertawa kecil.
"He he he...! Sebaiknya begitu. Nah! Berilah pelajaran pada gadis keras kepala
ini supaya tidak penasaran di akheratnya," kata Daeng Mapparewang sambil mundur,
memberi jalan pada istrinya untuk berhadapan dengan Wulandari.
"Silakan, Anak Manis!" ujar Nyai Mamparini.
"Hiyaaa...!"
Tanpa banyak basa-basi lagi, Wulandari memben-
tak nyaring sambil melompat menyerang lawan. Ber-
samaan dengan itu, Nyai Mamparini mencabut suling
peraknya, memapak sambaran senjata lawan.
Trak! Werrr! Ketika benturan terjadi, tangan masing-masing te-
rasa kesemutan. Namun pedang tipis Wulandari masih
sempat menyambar ke wajah Nyai Mamparini. Wanita
asing itu terkejut, lalu buru-buru memiringkan kepalanya. Sehingga, serangan itu
luput. Wulandari kembali melancarkan serangan susulan
dengan satu tendangan keras ke perut lawan. Namun,
Nyai Mamparini telah melompat ke belakang, sambil
bersalto dengan gerakan ringan.
"Yeaaah...!"
Wulandari berusaha mengejar sambil mengi-
baskan pedangnya. Disertai geraman, kedua kaki Nyai Mamparini menggunting dengan
gerakan menyilang
untuk menghindari serangan lawan, sekaligus hendak
menyambar pergelangan tangan Wulandari.
"Lepas!"
Tangan Wulandari cepat meliuk menghindari sam-
baran kedua kaki Nyai Mamparini. Kemudian dengan
membuka kedua kakinya agak lebar, tubuhnya berpu-
tar ke arah lawan sambil menyerang perut Nyai Mam-
parini cepat mengangkat kaki kirinya, sehingga lututnya persis sejajar dengan
perut. Sementara suling perak di tangan kanannya segera menangkis pedang ga-
dis berpakaian merah muda itu.
Trak! Benturan senjata terjadi, sehingga masing-masing
terjajar mundur beberapa langkah.
"Hih!"
Mendapat perlawanan ini, dengan gemas Nyai
Mamparini mengayunkan kakinya. Tapi, Wulandari
begitu gesit menghindari dengan berputar ke samping.
Sementara, Nyai Mamparini masih sempat mengayun-
kan suling peraknya, bermaksud untuk menotok la-
wan. Wulandari terkejut merasakan angin totokan la-
wan yang keras dan membuat kulit tubuhnya bergetar.
Tapi hal itu tak menyurutkan niatnya untuk menyodok perut lawan dengan kepalan
tangan kiri. "Haaat!"
Des! "Uh!"
Tubuh Nyai Mamparini langsung terjajar beberapa
langkah ke belakang sambil mengeluh kesakitan.
"Huh! Kau perlu belajar sepuluh tahun lagi untuk menghadapiku!" dengus
Wulandari. Bibirnya tersenyum mengejek sambil berkacak pinggang.
"Kurang ajar! Akan kupecahkan batok kepalamu,
Bocah!" geram wanita bermata sipit itu sambil melompat menyerang lawan.
"Huh! Sebaiknya jangan banyak mulut! Buktikan ocehanmu!"
"Hiyaaa...!"
Kali ini Nyai Mamparini mengerahkan seluruh ke-
mampuannya untuk menjatuhkan lawan secepat
mungkin. Kejadian tadi sungguh membuat hatinya pa-
nas. Tadinya gadis itu dianggapnya remeh. Namun dia harus menelan pil pahit,
begitu terkena hajarannya.
Maka kali ini dia bertekad untuk tidak melakukan kesalahan yang kedua kali. Jadi
tak heran kalau gera-
kannya sungguh cepat dan sulit diikuti mata biasa.
Tapi Wulandari bukannya tak menyadari. Dengan
sigap diladeninya serangan-serangan lawan. Tubuhnya bergerak lincah, dan
sesekali balas menyerang mendadak. Tentu saja hal ini membuat Nyai Mamparini
ter- kejut. Permainan pedangnya betul-betul mampu men-
guasai jalannya pertarungan.
Dan ketika Nyai Mamparini mencoba menotok be-
berapa jalan darah Wulandari dengan suling peraknya, tapi pedang tipis di tangan
gadis itu cepat berbalik.
Sehingga ditangkisnya senjata lawan.
Trang! Nyai Mamparini semakin geram saja. Kaki kanan-
nya langsung menyodok ke arah perut, memberi se-
rangan susulan. Tapi Wulandari cepat bergerak ke
samping dengan ujung pedang menyambar pinggang
lawan. "Yeaaah...!"
"Uts!"
Nyai Mamparini berusaha melompat ke samping.
Namun bagai gerakan gelombang air laut, pedang di
tangan Wulandari lebih cepat bergerak mengikuti kelebatan tubuhnya. Sehingga....
Breeet! "Akh...!"
Pedang Wulandari menyambar dada wanita asing
itu. Sehingga Nyai Mamparini kontan menjerit kesakitan. Darah mengucur deras
dari luka yang tersayat pedang.
Sementara kali ini, Wulandari bermaksud mengha-
bisi lawannya. Tubuhnya langsung bergerak menyam-
bar Nyai Mamparini sambil mengayunkan pedang. Ta-
pi, wanita bermata sipit itu menyadari keadaannya
yang terjepit. Tangannya cepat meraih sesuatu dari balik bajunya, lalu
dilemparkannya ke arah Wulandari.
Pada saat yang bersamaan, Wulandari pun merasakan
satu pukulan jarak jauh yang dilepaskan seorang dari arah belakangnya.
"Hiyaaat...!"
Dewi Maut cepat bergulingan ke lantai untuk
menghindari kedua serangan yang datang ke arah nya.
Segera pedangnya dikebutkan untuk menyambar bin-
tang perak beracun yang dilemparkan Nyai Mamparini
ke arahnya. Tring! Namun gadis itu agaknya tak bisa menghindar ke-
tika selarik cahaya merah keputih-putihan yang dilancarkan Nyai Mamparini secara
curang, terus-menerus menghajarnya. Sehingga....
Cras! "Uh!"
Sinar merah itu sempat menyerempet pinggang kiri
Wulandari Gadis itu mengeluh pelan. Dan seketika tubuhnya terasa dingin. Tapi
untung saja pedangnya
masih sempat dikibaskan ketika senjata rahasia yang dilontarkan Nyai Mamparini
kembali melesat hendak
menghabisinya. Tring! Namun sayang, tak urung satu dari senjata rahasia
itu menyambar bahu kanannya. Tubuhnya seketika
terjajar ke belakang. Namun bersamaan dengan itu,
tubuhnya melenting melompat turun dari ruang atas
itu. "Hup!"
"Kurang ajar! Dia kabur!" maki Daeng Mapparewang geram.
Laki-laki bermata sipit itu melompat mengejar keti-
ka melihat tubuh Wulandari terus meluncur ke bawah, dan lari sekencang-
kencangnya. Nyai Mamparini pun ikut mengejar sambil mende-
kap perutnya yang masih mengucurkan darah akibat
luka sambaran pedang Wulandari tadi.
*** Hari telah menjelang malam ketika suami istri dari
tanah seberang itu kehilangan jejak Wulandari. Daeng Mapparewang geram bukan
main melihat lawannya telah menghilang. Sambil mengepal kedua tangan, wa-
jahnya membiaskan kegeraman dengan sorot mata ta-
jam mengawasi ke sekeliling tempat itu.
"Sial! Dia dapat meloloskan diri. Huh! Kalau sampai ketemu, akan ku lumatkan
tubuhnya!" dengus Daeng Mapparewang.
"Kita tak akan sempat lagi bertemu dengannya. Dia akan mampus oleh pukulanmu.
Juga oleh senjata rahasiaku yang sangat beracun ini!" sahut Nyai Mamparini.
"Benar juga kata-katamu itu. Tapi..., he"! Tunggu dulu! Dia memiliki tenaga
dalam yang kuat. Paling tidak, mampu bertahan kurang dari dua hari. Masih ada
dua kemungkinan dia tertolong oleh orang lain," kata Daeng Mapparewang.
"Tidak mungkin, Kak! Senjata rahasiaku sudah
terbukti kehebatannya. Selama ini, tak pernah ada
yang selamat dari pengaruh racun pada senjata raha-
siaku itu. Demikian juga 'Pukulan Racun Bidadari'
yang kau lepaskan tadi. Dia pasti akan mampus ma-
lam ini juga!"
Daeng Mapparewang berpikir keras, kemudian
mengangguk-angguk.
"Ya, kau benar. Dia mengalami dua luka dalam
yang tak bisa dianggap ringan. Kalau tidak malam ini, tentu besok pagi sudah
mampus. Kita tak perlu lagi
susah payah mencarinya."
"Kalau begitu, mari kita kembali, Kak!" ajak Nyai.
Mamparini sambil berbalik.
Daeng Mapparewang pun segera mengikuti langkah
istrinya, dan berlalu dari tempat itu tanpa berpaling lagi.
*** Sementara itu keadaan Wulandari memang sangat
memprihatinkan. Seluruh tubuhnya menggigil kedin-
ginan. Peredaran darahnya yang kacau akibat penga-
ruh racun yang mulai bekerja di tubuhnya, menimbul-
kan rasa sakit yang hebat. Berkali-kali gadis itu tersungkur sambil memuntahkan
darah kental berwarna
kehitam-hitaman. Namun, semangat hidup dalam di-
rinya masih begitu kuat. Sehingga dengan segera, dia bangkit dan kembali berlari
sekuat tenaga. Setibanya di pinggir sebuah desa yang tak begitu
ramai, Wulandari tersungkur. Seluruh tenaganya se-
perti terkuras habis. Pandangan matanya mulai ber-
kunang-kunang. Namun begitu, tubuhnya berusaha
digerakkan dengan langkah terseret.
Untung saja, saat itu melintas beberapa orang pen-
duduk desa yang bertugas jaga malam. Salah seorang
dari mereka melihat Wulandari.
"Coba lihat, siapa itu!" tunjuk orang itu.
Sementara yang lain segera mencabut golok. Mere-
ka bersiaga, seraya mendekati sesosok tubuh yang terhuyung-huyung itu.
"Siapa kau"! Dan, apa yang kau kerjakan di situ?"
bentak salah seorang yang bertubuh besar dan ber-
kumis lebat. Wulandari mendongakkan kepalanya sambil mena-
tap ke arah mereka. Sementara tangannya menggapai-
gapai. "To..., tolong..."
Tubuh gadis itu kontan tersungkur ke tanah begitu
mulutnya mendesah pelan. Kelima orang petugas jaga
malam langsung melompat mendekatinya. Kemudian
salah seorang memeriksa nadinya.


Pendekar Pulau Neraka 44 Pendekar Tanah Seberang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Celaka! Nadinya berdenyut pelan. Gadis ini terluka parah. Kita harus mencarikan
tabib untuk menolong-
nya!" desis orang itu dengan wajah terkejut.
"Kenapa dia kira-kira?" tanya kawannya.
Orang yang ditanya menggeleng lemah. Mereka me-
lihat luka kecil di bahu gadis itu. Kelihatannya tak berarti. Namun, darah di
sekitar luka itu telah menghitam.
"Mungkin dia terkena racun. Sebaiknya, lekas kita carikan tabib. Kau, Parian.
Tolong beri tahu Ki Walang.
Kami akan membopongnya ke sana!" kata orang yang memeriksa Wulandari.
Salah seorang berlari cepat ke arah desa. Sementa-
ra, keempat kawannya menggotong tubuh Wulandari.
Namun baru saja mereka melangkah kira-kira sepuluh
langkah, mendadak seorang pemuda berbaju kulit ha-
rimau menghadang. Wajahnya tampak terkejut ketika
mengenali wajah gadis itu.
"Wulandari!" jerit pemuda itu sambil melompat mendekati.
Namun keempat penduduk desa itu langsung men-
cegah. Golok mereka telah tercabut dengan sikap berjaga-jaga.
"Tahan! Siapa kau"!" bentak orang berkumis tebal dengan garang.
"Aku kawannya. Biarkan aku menolongnya!"
"Hm.... Apa kau pikir kami akan percaya begitu sa-ja" Sebaiknya pergilah dari
desa ini, Orang Asing. Gadis itu tengah terluka parah. Barangkali kaulah penye-
babnya." Pemuda yang tak lain Bayu Hanggara itu semula
ingin berkeras memaksa. Apalagi, melihat keadaan
Wulandari yang tengah sekarat itu. Namun ketika me-
lihat sikap keempat penduduk desa ini yang agaknya
mencurigai dirinya, dia hanya menarik napas panjang.
Kemudian ditatapnya mereka satu persatu.
"Hm.... Apakah Pendekar Pulau Neraka tak ada ar-
tinya bagi kalian...?" tanya Bayu datar.
"He"! Kaukah Pendekar Pulau Neraka"!" sentak keempat orang itu begitu mendengar
pemuda itu menyebutkan julukannya.
"Percayalah, Kisanak semua. Aku mengerti maksud kalian itu. Tapi tak ada waktu
lagi untuk berdebat saat ini. Gadis itu terluka parah. Aku harus mengobatinya
segera," lanjut Bayu.
Meskipun setengah percaya, tapi mereka membiar-
kan saja ketika pemuda itu mendekat dan mengambil
gadis berbaju merah muda. Bahkan salah seorang ber-
baik hati mengajak Bayu untuk membawa gadis itu ke
tempat Ki Walang, salah seorang tabib di desa ini.
Bayu pun menyetujuinya! ***
Wulandari tidak tahu, sudah berapa lama ter-
baring di tempat itu. Namun ketika kelopak mata nya bergerak-gerak, secercah
cahaya matahari menerpa
dan menyilaukan pandangannya. Dicobanya menoleh
ke samping. Dan bola matanya menangkap seraut wa-
jah yang sudah tidak asing lagi baginya.
"Kakang Bayu...."
"Hm.... Kau sudah agak baikan sekarang...?"
Wulandari berusaha bangkit, namun Bayu mena-
hannya. Wulandari memandang ke sekelilingnya. Tam-
pak seorang laki-laki tua berkulit hitam dan memakai baju jubah hitam yang sudah
lusuh. Wajahnya penuh
kerut, menandakan usianya yang sudah lanjut. Se-
mentara tak jauh dari pintu, terlihat dua sosok tubuh memperhatikannya dengan
seksama sambil tersenyum" Yang seorang bertubuh tegap dan berkumis
tebal. Sementara yang seorang lagi bertubuh sedang
dan agak lebih pendek.
"Orang tua ini bernama Ki Walang. Dia ikut membantu mengobati lukamu. Sementara,
kedua orang itu
adalah penduduk desa sini, yang semalam menolong-
mu," jelas Bayu.
Wulandari tersenyum kepada mereka. Mulut-nya
bergerak-gerak pelan.
'Terima kasih...."
"Untunglah kawanmu ini memiliki kemampuan he-
bat. Kalau tidak, nyawamu tak akan selamat," Nisanak. Darahmu yang bercampur
racun hampir membe-
ku. Dan obatku tak banyak berguna, kalau kawanmu
ini tak menyalurkan hawa murninya ke tubuhmu," jelas Ki Walang sambil tersenyum
kecil. Wulandari tersenyum lebar pada Bayu.
'Terima kasih, Kawan...," kata gadis itu lirih dengan maksud menggoda pemuda
itu. "Siapa yang melakukan ini semua...?" tanya Bayu tak mempedulikan godaan gadis
itu. Wulandari terdiam sambil memalingkan muka. Wa-
jahnya terlihat kesal bercampur dendam.
"Inikah yang kau inginkan" Apakah kau sengaja mempermalukan dirimu dan sekaligus
bertaruh nyawa demi harga diri yang seharusnya tak perlu dipersoalkan. Padahal, persoalan itu
tak ada sangkut-pautnya dengan harga diri," lanjut Bayu dengan kesal.
Wulandari masih tetap diam membisu. Namun me-
lihat keadaan itu, Ki Walang dan kedua orang pendu-
duk desa yang berada di tempat ini agaknya mengerti persoalannya, meskipun tak
begitu jelas. Namun yang pasti, mereka menangkap gejala bahwa kedua orang
ini bukan sekadar kawan biasa. Melainkan, sepasang
kekasih yang sedang bertengkar. Dan mereka merasa
tak enak di tempat ini. Maka terlihat perlahan-lahan mereka keluar dari ruangan
itu. "Kisanak, kami ada urusan di luar. Sebaiknya kami
permisi dulu," kata salah seorang dari mereka.
Setelah semua orang itu menghilang di depan pin-
tu, Ki Walang pun ikut bangkit.
"Kurasa, aku pun ada sedikit keperluan di luar, Nak. Bicaralah kalian di sini
dengan tenang."
"Silakan, Kisanak...," sahut Bayu.
Setelah ruangan itu hanya tinggal mereka berdua,
tak seorang pun yang mulai bicara. Tempat itu sepi sesaat, sebelum Bayu buka
suara. "Dengan siapa kau bertarung...?" tanya Bayu lem-but. "Kedua orang asing itu,"
sahut Wulandari.
"Siapa mereka?"
"Menurut orang-orang, namanya Daeng Mappare-
wang dan istrinya Nyai Mamparini..," sahut Wulandari lagi. "Ya! Kudengar tentang
mereka kemarin dari orang-orang yang kutemui. Mereka telah banyak mene-
waskan tokoh persilatan di negeri ini. Dan mereka juga seorang perampok."
"Kalau saja mereka tak berbuat curang, tentu keduanya sudah mati di tanganku!"
rutuk Wulandari sambil bersungut geram.
"Bukan saja tubuhmu saat ini sangat lemah karena banyak keluar darah. Tapi untuk
berjalan pun, barangkali kau tak akan kuat..."
"Huh! Aku masih mampu memenggal kepala mere-
ka itu!" Wulandari bersikeras dan bermaksud bangkit un-
tuk membuktikan kata-katanya. Namun baru saja
bermaksud menjejakkan kaki di lantai, sekonyong-
konyong tubuhnya terasa ringan dan tak bertulang
sama sekali. Kalau saja Bayu tak buru-buru menang-
kapnya, mungkin telah ambruk ke tanah.
"Aku hanya mengatakan apa yang terbaik untuk
kau ketahui. Dan, jangan membandel, Wulan! Kalau
kau terus keras kepala, aku bisa marah!" suara Bayu mulai terdengar keras.
Wulandari terdiam sambil menatap kosong ke atas.
Meskipun gadis itu keras kepala, tapi kalau sudah melihat gelagat pemuda itu
yang mulai marah, dia tak berani bersikap sesuka hatinya lagi.
"Maaf! Aku tak bermaksud membentakmu. Hanya
saja aku ingin kau tahu, kalau pendirianmu itu salah.
Aku hanya tak ingin kehilanganmu. Banyak hal di du-
nia ini yang tak kau ketahui. Di samping itu, kau sering ceroboh serta melakukan
sesuatu dengan kehen-
dakmu sendiri. Aku hanya ingin melindungimu karena
aku mencintaimu. Apakah itu salah...?"
Wulandari masih terdiam dan masih tetap belum
bertindak apa-apa ketika Bayu mengelus-elus rambut-
nya perlahan. Tak berapa lama, pemuda itu berdiri.
'Tunggulah di sini untuk beberapa waktu. Aku te-
lah bicara dengan Ki Walang, sampai keadaanmu sehat kembali. Ada yang harus
kukerjakan," ujar Bayu.
Wulandari tetap tak menoleh, ketika pemuda Itu
keluar meninggalkan ruangan itu.
*** 6 Bayu tersentak kaget ketika mendengar suara ri-
but-ribut di ruangan tempat Wulandari terbaring. Terpaksa langkahnya berbalik
kembali ke dalam. Ternyata tubuh Wulandari sudah terjerembab ke lantai. Buru-
buru diangkatnya Wulandari kembali ke atas.
"Kenapa kau tak mau menuruti kata-kata-ku...?"
tanya Bayu sambil menggeleng lemah.
"Aku tak mau di sini...," lirih suara Wulandari.
'Tapi keadaanmu masih lemah."
"Aku tak peduli!"
Bayu menghela napas panjang.
"Kau tahu, apa yang harus kulakukan saat ini?"
tanya Bayu pelan.
Wulandari tak langsung menjawab. Diliriknya wa-
jah pemuda itu sekilas, kemudian kembali memaling-
kan pandangannya.
"Kakang akan mencari kedua orang asing itu, bukan?"
"Kau sendiri mungkin telah mengetahui. Sudah
banyak tokoh persilatan yang tewas di tangan mereka.
Dan aku tak bisa mendiamkan mereka berlaku seenak
hatinya di negeri ini. Lagi pula, cepat atau lambat mereka pasti akan mencari
dan menantangku pula. Kalau saja ini urusan pribadi, kutunggu kedatangan mereka.
Tapi kalau aku menunggu, tentu korban akan terus
berjatuhan. Bahkan perampokan akan berlangsung te-
rus," sahut Bayu datar tanpa menjawab pertanyaan gadis itu.
"Berapa lama aku harus menunggu di sini, Ka-
kang" Sehari, dua hari" Atau, seminggu" Apa yang harus kulakukan selama hari-
hari itu" Tidak, Kakang.
Aku tak bisa membayangkannya karena aku tak mam-
pu melakukannya...," keluh Wulandari lirih.
Bayu terdiam beberapa saat lamanya sambil meng-
hela napas panjang. Diliriknya kembali gadis itu sambil tersenyum hambar.
"Sekarang hari sudah sore, bukan?" tanya Wulandari meyakinkan penglihatannya,
ketika mengintip lewat celah-celah dinding yang bolong.
Bayu mengangguk pelan.
"Kita pergi sama-sama esok hari saja, Kakang?"
Bayu tak langsung menjawab. Ditatapnya Wulan-
dari lekat-lekat, kemudian bibirnya tersenyum kecil.
Wulandari membalasnya dengan senyum hangat.
"Wajahmu terlihat pucat. Kau tentu banyak mengeluarkan tenaga untuk mengeluarkan
racun di dalam tubuhku, bukan?"
"Keadaanmu gawat sekali. Racun orang asing itu memang hebat. Terlambat sedikit
saja, nyawamu tak
akan selamat."
"Kakang, maafkan aku...," lirih suara Wulandari penuh penyesalan sambil
menundukkan wajahnya.
"Sudahlah. Mudah-mudahan ini bisa jadi pelajaran yang berguna bagimu," sahut
Bayu tersenyum sambil menarik dagu gadis itu.
"Ehm! Ehm...!"
Kedua anak muda itu tersentak dan buru-buru
mengalihkan perhatian, ketika Ki Walang masuk sam-
bil mendehem-dehem kecil. Orang tua itu mengambil
tempat duduk di antara mereka.
"Bagaimana keadaanmu" Sudah merasa lebih
baik?" tanya orang tua itu.
"Syukurlah. Kelihatannya begitu...," sahut Wulandari sambil tersenyum.
"Hm.... Jadi, apa yang menyebabkan sehingga Nisanak terluka begini?" tanya Ki
Walang lagi. Wulandari memandang sekilas pada Bayu. Dan ke-
tika melihat pemuda itu mengangguk pelan, terdengar helaan napas pendeknya.
Kemudian diceritakannya
yang telah dialami sehingga menderita luka dalam begitu.
"Hm.... Kedua orang asing itu lagi!" gumam Ki Walang dengan nada geram.
"Ki Walang sepertinya pernah mengenal mereka?"
tanya Bayu. 'Tidak. Tapi sepak terjang mereka sungguh keterla-
luan. Sudah sepatutnya ada yang menghentikan. Ka-
lau tidak, kesombongannya akan semakin menjadi-
jadi. Bahkan bisa seenaknya menginjak-injak semua
tokoh persilatan di negeri ini!"
' Aku pun bermaksud demikian, Ki. Kalau kau tak
keberatan, kami bermaksud menumpang menginap
malam ini di sini. Karena, besok pagi kami mempunyai rencana untuk mencari kedua
orang asing itu," sahut Bayu.
"Ah! Bagus sekali! Kudengar kau adalah seorang pendekar hebat. Dan aku yakin,
kau mampu menghentikan kesombongan mereka. Tapi, kenapa mesti
buru-buru" Kalian boleh tinggal di sini sampai ka-
wanmu sembuh dan sehat seperti sediakala," kata Ki Walang setengah memaksa pada
kedua anak muda itu.
"Terima kasih, Ki. Kau terlalu baik kepada kami.
Tapi kalau dibiarkan, tentu akan semakin banyak korban yang berjatuhan.
Kepandaianku tak terlalu hebat.
Tapi, harus ada orang yang menghentikan sepak ter-
jang mereka. Dan kawanku ini besok tentu telah sehat kembali," sahut Bayu sambil
tersenyum. Ki Walang tak bisa berbuat apa-apa mendengar ja-
waban itu. Dia yakin, tekad kedua anak muda itu telah bulat dan tak seorang pun
mampu menyurutkan langkahnya.
*** Bayu dan Wulandari memacu kuda meninggalkan
desa itu dengan tenang. Wajah mereka tampak tegang.
Terlebih-lebih Bayu yang sejak tadi tak banyak bicara.
Sesekali Wulandari mencuri pandang. Namun sedikit
pun pemuda itu tak menoleh. Wulandari menghela na-
pas pendek, kemudian mengalihkan pandangannya.
"Untunglah si Putih penurut dan jinak. Agaknya dia mampu mencium bauku...," kata
Wulandari seperti
berkata pada diri sendiri.
Bayu menoleh sekilas.
"Apa tubuhmu sudah lebih segar sekarang?" tanya Bayu.
"Lumayan."
"Ingat! Kau yang memaksa untuk ikut. Maka, kau harus patuh pada segala
perintahku. Kau tak boleh
ikut campur urusanku," tegas Bayu.
"Iya, iya...!"
Bayu kembali diam sambil memacu kudanya sedi-


Pendekar Pulau Neraka 44 Pendekar Tanah Seberang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kit lebih cepat dari semula. Wulandari jadi heran, karena melihat Bayu seperti
yakin betul. "Sekarang kita mau ke mana, Kakang?" tanya Wulandari.
"Mencari kedua orang asing itu," sahut Bayu.
"Ya! Tapi ke mana?"
Bayu memandang gadis itu, kemudian menggeleng
pelan. "Selama ini, yang mereka kerjakan hanya dua. Kalau tidak merampok, pasti menuju
ke tempat tokoh
persilatan yang ingin ditantangnya. Menurut pemilik rumah penginapan tadi,
mereka menuju ke arah ini.
Dan aku bertanya, di mana tokoh persilatan yang na-
manya terkenal dan bertempat tinggal tidak jauh dari desa ini. Lalu mereka
menyebut Nyai Danang Sari alias Bidadari Bermata Emas. Pemilik rumah penginapan
itu juga mengatakan kalau tak jauh dari desa mereka, yai-tu Desa Sekarjaya, ada
seorang hartawan yang sangat kaya raya. Itulah yang membuatku mengambil arah
ini," jelas Bayu.
Sementara Wulandari tersenyum kecil sambil men-
gangguk-angguk.
"Aku tahu. Sekarang tujuan kita ke rumah hartawan itu, bukan?" kata Wulandari
dengan wajah meyakinkan.
"Bagus. Kau mulai pintar sekarang," puji Bayu.
'Tapi, Kakang. Aku masih mendendam pada mere-
ka. Kalau saja mereka tak berbuat curang, tentu tak akan begini jadinya!" gerutu
Wulandari geram.
"Itu kesalahanmu. Kau tak cepat waspada. Padah-al, tak semua orang berhati
jujur. Sudahlah. Kau sudah berjanji tak akan ikut campur urusanku kali ini,
bukan" Jangan membandel. Ingat itu!"
"Iya, iya...!" sahut Wulandari sedikit jengkel.
Setengah harian mereka memacu kuda. Hingga
menjelang sore, mereka baru tiba di desa yang dimaksud. Keadaan Desa Sekarjaya
memang ramai dan keli-
hatan banyak kesibukan. Tak sulit bagi mereka untuk mencari rumah hartawan yang
dimaksudkan. Karena
di desa ini, hanya orang itulah satu-satunya yang terkaya.
Begitu tiba di halaman depan rumah hartawan itu,
keadaan terlihat sepi. Bayu memandang ke sekeliling, lalu melompat dari kudanya.
Dia memang melihat beberapa mayat tergeletak dalam keadaan mengenaskan
di kejauhan. Tanpa banyak bicara lagi, tubuhnya langsung melompat ke dalam dan
hinggap di atas atap.
Kemudian, tubuhnya merangkak pelan menyusuri ba-
gian tengah sambil mempertajam pendengarannya.
"Ouw, tolong...! Tolooong...!"
Terdengar jeritan suara seorang perempuan.
"Diam! Kalau kau berteriak, kutebas leher suami-mu ini!" bentak satu suara.
Tak terdengar teriakan perempuan itu lagi. Dan ki-
ni berganti isak tangis yang tersendat-sendat Bayu
mencongkel sebuah genteng, lalu mengintip. Tampak
sepasang suami istri berusia setengah baya tengah
duduk bersimpuh di depan dua orang asing yang me-
manggul buntalan. Yang laki-laki tampak mengelua-
rkan sebilah golok bergigi, tengah mengancam pemilik
rumah yang kelihatan menggigil ketakutan.
"Ampun, Tuan. Ampunilah selembar nyawa ini.
Bukankah kalian telah mengambil apa yang kalian in-
ginkan...?" pemilik rumah itu memohon sambil me-rangkapkan kedua tangannya.
"Baik. Tapi, jaga mulut istrimu itu. Kalau berteriak lagi, bukan lehermu saja
yang kugorok. Tapi, istrimu pula akan kubuat mampus. Kau mengerti"!" bentak
orang asing itu.
"Me..., mengerti, Tuan."
"Nah! Sekarang, kami pergi dulu. Ingat! kalau harta bendamu tak suka diambil,
kau boleh mengejarku.
Aku tak akan lari. Namaku Daeng Mapparewang. Dan
istriku Mamparini!" dengus laki-laki asing itu sinis.
"Aku rela, Tuan. Asal jangan bunuh kami..," sahut pemilik rumah itu cepat.
"Bagus. Itu namanya masih sayang dengan nya-
wamu. Nah! Kalau hartamu sudah banyak lagi, aku
akan datang untuk meminta sebagiannya. Kau tentu
tak keberatan, bukan?"
"Nah! Sekarang, kami pergi dulu. Ingat! Kalau harta bendamu tak suka diambil,
kau boleh mengejarku.
Aku tak akan lari. Namaku Daeng Mapparewang!" dengus laki-laki asing itu sinis.
"Kami rela, Tuan. Kami rela.... Asal jangan bunuh kami...," sahut pemilik rumah
itu sambil menyembah-nyembah ketakutan.
'Tentu saja tidak, Tuan!"
"He he he...! Ingat baik-baik ucapanmu. Dan aku pasti akan datang lagi ke sini,"
sahut laki-laki asing yang memang Daeng Mapparewang sambil mengajak
istrinya berlalu dari tempat itu.
Sambil melangkah cepat, mereka bergegas keluar
dari rumah itu lewat jalan depan sambil ter-kekeh-
kekeh kecil. Namun mendadak langkah ke-duanya ter-
henti, ketika di halaman depan tak begitu jauh dari depan pintu, telah berdiri
tegak sesosok tubuh yang membelakangi. Rambutnya panjang, diikat secarik kulit
seperti warna bajunya yang dari kulit harimau. Tidak terlihat satu pun senjata
tersandang. Hanya pada pergelangan tangan kanannya, terlihat sebuah cakra
persegi enam. *** "He he he...! Rupanya ada juga centengnya yang tersisa dan mau cari mati!" kata
Daeng Mapparewang, terkekeh-kekeh. Segera buntalan yang dipegangnya di-turunkan.
"Kakak! Biar aku yang bereskan!" selak istrinya sambil melangkah gusar mendekati
orang itu. Daeng Mapparewang mendiamkan saja niat is-
trinya, karena yakin sekali dengan kemampuan Nyai
Mamparini. Dia pasti mampu menjatuhkan orang itu
dalam sekejap. "Siapa pun adanya kau, kuperingatkan lebih baik pergi dari sini. Itu kalau masih
sayang nyawamu!"
dengus Nyai Mamparini sinis.
"Aku mencari sepasang pendekar dari tanah seberang yang katanya akan
menantangku..."
Terdengar sahutan dingin dari orang yang berdiri
tegak itu tanpa berpaling.
"Oh! Rupanya kau punya kepandaian juga" Nah!
Kau kini tengah berhadapan dengan orang yang kau
cari. Perkenalkan julukanmu, agar kami tahu apakah
kau patut mampus di tangan kami!" sahut Nyai Mamparini dengan nada mengejek.
"Betulkah aku telah berhadapan dengan sepasang pendekar dari tanah seberang"
Atau, barangkali mata-ku yang salah. Sebab yang kulihat saat ini, hanya se-
pasang perampok hina!"
"Huh! Apa pedulimu"! Apa kau pikir kau adalah
abdi kerajaan yang akan menangkap kami"!"
"Tidak. Aku justru menginginkan kepala kalian."
"Nyai Mamparini, minggir kau! Biar kubereskan
orang sombong ini!"
Agaknya, Daeng Mapparewang tak sabar menden-
gar perang mulut itu. Dan dia sudah langsung melom-
pat menyerang orang berbaju dari kulit harimau itu.
Segera dilepaskannya satu tendangan geledek ke arah orang itu.
"Hup!"
Satu tendangan menggeledek yang dilancarkan
Daeng Mapparewang cepat ditangkis tangan kiri orang berbaju kulit harimau itu.
Plak! Dan rupanya, Daeng Mapparewang melanjut-kan
dengan sabetan kaki ke arah kepala. Namun, orang itu mudah menghindarinya,
sambil merundukkan kepala.
Bahkan ketika tubuhnya berbalik dengan satu puku-
lan keras, Daeng Mapparewang terkejut Maka buru-
buru ditangkisnya dengan tangan kanan.
Plak! "Uhhh...!"
Bukan main kagetnya Daeng Mapparewang ketika
merasakan tangannya terasa perih akibat benturan
itu. Belum lagi kedudukannya diperbaiki, tiba-tiba sa-tu hantaman telak yang
dilancarkan orang berbaju kulit harimau itu menghajar perutnya.
Desss! "Aaakh!"
Daeng Mapparewang menjerit kesakitan. Tubuhnya
kontan terjungkal ke belakang. Masih untung kedua
kakinya mampu berpijak di atas tanah.
Orang berbaju kulit harimau yang tak lain Bayu itu
berbalik dan tersenyum kecil.
"Kesalahan yang paling banyak terjadi adalah menganggap enteng lawan...," kata
Bayu setengah bergumam.
"Siapa kau"!" bentak Daeng Mapparewang garang.
"Kudengar kau mencari-cariku. Apakah itu benar?"
sahut Bayu balik bertanya.
"Phuih! Kau pikir dirimu punya derajat lebih, sehingga aku mesti mencari-
carimu"!" geram Daeng Mapparewang.
"Hm.... Kalau begitu, biarlah aku yang mencari-carimu. Dan kini, kita telah
bertemu." "Aku tak ingin berhadapan dengan seorang yang
tak punya kepandaian. Percuma hanya buang-buang
waktu saja!" sinis ucapan Daeng Mapparewang.
"Betul! Kau tak salah bicara, Kisanak. Pendekar Pulau Neraka tak banyak dikenal.
Juga, tak memiliki kepandaian hebat," sahut Bayu tenang.
"Oh! Jadi kau yang berjuluk Pendekar Pulau Nera-ka" Hm.... Pucuk dicinta ulam
pun tiba. Ku cari-cari ke mana-mana, malah kini kau mendatangiku di sini!"
ucap Daeng Mapparewang tersenyum sinis.
"Syukurlah kalau memang kau telah mengenalku."
"Pendekar Pulau Neraka! Tak usah banyak bi-cara!
Cabutlah senjatamu! Buktikan kalau kau memang pa-
tut menyandang gelar orang sakti yang tak terkalah-
kan di negeri ini!" teriak Daeng Mapparewang garang sambil mencabut sepasang
golok bergeriginya.
Sring! Bayu tersenyum ketika melihat lawan telah mem-
buka jurus. Kaki orang asing itu melangkah perlahan mendekatinya dengan arah
menyamping. "Silakan, Kisanak...," sahut pemuda itu enteng seraya membuka jurus pula.
"Huh! Aku tak peduli kau memakai senjata atau ti-
dak. Tapi sepasang golokku yang tak bermata, tak pernah gagal menghirup darah
bila sudah keluar dari sa-rangnya!"
"Kenapa sungkan" Kau bebas menggunakan senja-
ta apa saja yang kau miliki."
"Lihat serangan!" bentak Daeng Mapparewang langsung melesat cepat ke arah Bayu
sambil menghu-nus kedua golok di tangannya.
Suara tebasan golok Itu bercuitan, dan melesat ba-
gai ribuan senjata tajam yang mengurung Pendekar
Pulau Neraka ke mana saja bergerak. Untuk sesaat
Bayu terkejut dan terpaksa melompat ke sana kemari
dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh sempur-
na. Sehingga, gerakannya cepat dan sulit diikuti pandangan mata biasa.
"Hiyaaa...!"
98 "Heh"!"
Kali ini terlihat Daeng Mapparewang yang menjadi
bingung serta penasaran, melihat sepasang goloknya
seolah tak berarti menghadapi gerakan Pendekar Pulau Neraka yang cepat luar
biasa. Bahkan dalam satu kesempatan, dia terkejut. Karena tiba-tiba saja,
Pendekar Pulau Neraka menukik deras menyambar batok kepalanya. Buru-buru orang
asing itu memapak dengan
sebelah tangan. Namun, tiba-tiba Pendekar Pulau Ne-
raka meliuk cepat, menyambar ke arah punggungnya.
Maka dengan untung-untungan Daeng Mapparewang
membabatkan senjatanya yang satu lagi ke belakang.
Wut! "Uts!"
Pendekar Pulau Neraka cepat menekuk tubuhnya
untuk menghindari sabetan golok lawan. Dan dia terus menjatuhkan diri ke tanah
sambil mengayunkan satu
tendangan keras ke perut. Untung Daeng Mappare-
wang masih sempat menghindar ke belakang. Tapi,
Pendekar Pulau Neraka agaknya telah menduga. Se-
hingga dengan cepat langsung dikirimkannya serangan berikut. Sambil bergulingan
mengikuti gerakan Daeng Mapparewang, kaki kirinya bergerak menyapu pinggang.
Begitu cepat gerakannya, sehingga tak mungkin dihindari.
Begkh! "Aaakh...!"
Daeng Mapparewang menjerit keras. Tubuhnya
kontan terlempar ke belakang dalam kedudukan yang
tak menguntungkan. Bersamaan dengan itu, Bayu te-
rus melompat untuk menghabisi lawannya. Namun....
Serrr! Serrr...!
Mendadak telinga Pendekar Pulau Neraka yang ta-
jam merasakan sambaran angin deras datang dari
arah belakang. "Kakang Bayu, awasss...!"
Bersamaan dengan itu terdengar bentakan nyaring
yang memperingatkan adanya bahaya bagi Pendekar
Pulau Neraka. "Hup!"
"Yeaaah...!"
Bayu cepat membuang tubuhnya ke samping. Dan
seketika terasa hawa beracun yang sangat kuat begitu beberapa buah senjata
rahasia berbentuk bintang keperak-perakan lewat dekat wajahnya.
Serrr! Serrr! "Hup!"
Terpaksa Pendekar Pulau Neraka kembali melom-
pat sambil bergulingan, ketika merasakan senjata rahasia itu kembali mengancam
dirinya seperti tiada
henti. Dalam keadaan demikian, Daeng Mapparewang
merasa mendapat peluang. Dia langsung melompat
menyerang dengan kedua golok kembarnya.
"Yeaaa...!"
Bet! Bet! *** 7 Pendekar Pulau Neraka cepat bergeser ke samping
menghindari sambaran golok bergerigi Daeng Mappa-
rewang. Namun agaknya golok bergerigi satu lagi yang mengarah ke punggung sulit
dihindari Bayu. Sehingga....
Breeet! Golok itu cepat sekali menyerempet punggung
Bayu sehingga menimbulkan sedikit luka. Dan agak-
nya lawannya tak memberi kesempatan sedikit pun
untuk bernapas. Bahkan Nyai Mamparini ikut-ikutan
menyerang dengan senjata rahasianya.
Sementara Daeng Mapparewang terus mendesak
dengan segenap kemampuannya. Beberapa kali Pen-
dekar Pulau Neraka dibuat jatuh bangun.


Pendekar Pulau Neraka 44 Pendekar Tanah Seberang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiyaaa...!"
Dalam satu kesempatan, Pendekar Pulau Neraka
membentak nyaring sambil bersalto ke atas.
"Hup!"
"Mampus...!" dengus Daeng Mapparewang.
Tubuh orang asing itu melompat, mengikuti dari
belakang sambil mengibaskan kedua goloknya. Semen-
tara saat itu pula senjata rahasia yang dilemparkan Nyai Mamparini mengurung
ruang gerak Pendekar Pulau Neraka tanpa memberikan peluang sedikit pun un-
tuk lolos. Namun secepat kilat Pendekar Pulau Neraka men-
gebutkan tangan kanannya, untuk menghalau semua
senjata yang mengarah kepadanya.
Trak! Trak! Senjata rahasia yang mengelilingi seketika rontok
terhantam pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka. Sepasang suami istri ini tersentak kaget melihat senjata itu rontok
begitu membentur pergelangan tangan lawan. Sehingga, serangan Daeng Mapparewang
terhenti sesaat.
Namun waktu yang sekejap itu harus ditebus den-
gan mahal. Tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
langsung mengibas cepat. Sehingga cakra maut yang
menempel di pergelangan tangan kanannya melesat
dengan kecepatan bagai kilat ke arah kepala.
"Uts!"
Daeng Mapparewang cepat menundukkan kepala
seraya mengayunkan kedua goloknya untuk menang-
kis. Trang! Trang!
Cakra maut Pendekar Pulau Neraka langsung.
membabat putus kedua golok bergerigi Daeng Mappa-
rewang. Akibatnya orang asing itu terkejut bukan kepalang. Dan kesempatan itu
digunakan Pendekar Pu-
lau Neraka untuk melancarkan serangan.
Wut! Kepalan tangan kiri Pendekar Pulau Neraka men-
deru ke arah wajah Daeng Mapparewang. Dan orang
asing itu mencelat ke belakang sambil jungkir balik.
Seketika Pendekar Pulau Neraka cepat menyusuli den-
gan kaki kanan ke arah pinggang orang asing itu.
"Hiyaaa...!"
Begkh! Kembali sodokan keras kepalan kiri pemuda itu
mendarat ketika tubuhnya berbalik.
Des! "Aaakh...!"
Daeng Mapparewang menjerit keras. Tubuhnya
kontan terpental beberapa langkah sambil memuntah-
kan darah segar. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tak
berhenti sampai di situ. Tubuhnya langsung berkelebat menyusul dengan kibasan
tangan kanan. Tapi
sayang.... Ser! Serrr...! "Keparat...!"
Bayu memaki ketika beberapa senjata rahasia ber-
bentuk bintang berwarna keperak-perakan yang di-
lempar Nyai Mamparini melesat cepat ke arah tubuh-
nya. Terpaksa serangannya dihentikan, lalu melenting menghindari serangan gelap
itu. "Hih!" Ser! Serrr...!
"Sial! Hup...!"
Kembali terdengar makian Pendekar Pulau Neraka
ketika senjata-senjata rahasia itu berdesingan di seluruh bagian tubuhnya
seperti tiada henti. Terpaksa dia terus berputaran beberapa kali sambil
mengayunkan tangannya menghalau serangan gelap itu. Namun keti-
ka kedua kakinya menjejak tanah, serangan tidak
muncul kembali. Dan ternyata kedua orang asing itu telah melesat cepat
meninggalkan tempat itu. Begitu cepat gerakan mereka, sehingga sebentar saja
telah hilang dari pandangan.
"Sial!" dengus Bayu geram.
Wulandari menghampiri sambil berlari-lari kecil.
"Kakang! Kau tak apa-apa?" tanya gadis itu cemas.
Bayu menggeleng lemah. Segera digamitnya lengan
gadis itu, begitu sudah dekat. Dan mereka pun segera berlalu meninggalkan
halaman rumah besar itu.
*** "Ke mana kita sekarang, Kakang?" tanya Wulandari ketika mereka telah jauh
meninggalkan desa itu.
"Entahlah. Tapi kita harus mengejar mereka sampai ketemu."
"Kenapa tak menuju tempat kediaman Nyai Da-
nang Sari?"
"Tidak. Kurasa mereka tak pergi ke sana."
"Kenapa?"
"Orang asing yang laki-laki telah terkena pukulan-ku. Rasanya dia tak akan mampu
bertarung lama. Pal-
ing tidak, saat ini mereka mencari tempat persembu-
nyian, sehingga aman dari pengejaran kita."
Wulandari hanya mengangguk mendengar penjela-
san itu. "Aku hanya mengira-ngira, ke mana mereka akan pergi?"
"Ke mana?"
"Ke Pantai Utara...."
"Kakang menduga mereka akan berlayar mening-
galkan negeri ini dan pulang ke negerinya?" tanya Wulandari cepat menduga.
"Itu dugaan pertama. Dugaan kedua, mereka ber-
sembunyi dan menanti kesempatan untuk membalas
kekalahan," jelas Bayu.
Kini mereka telah tiba di Desa Muara Singa yang
cukup ramai. Memang tak jauh dari desa itu, terletak pelabuhan yang dikunjungi
kapal-kapal besar.
"Kakang, perutku lapar. Sebaiknya kita mencari makanan dulu," keluh Wulandari.
"Baiklah. Kebetulan perutku mulai terasa perih,"
sahut Bayu. Mereka pun segera melangkah menuju salah satu
kedai. Berbeda dengan desa-desa lain, di desa ini banyak sekali ditemui kedai
makan. Baik yang besar
maupun bertingkat, dan banyak pula yang kecil serta berkesan sekadarnya saja.
Kedai yang dipilih mereka cukup sederhana. Namun, bangunannya terkesan rapi
dan bersih. Lagi pula pengunjungnya tak terlalu ber-jejal-jejal seperti di
tempat lain. "Aku paling tak suka kalau mereka memandang ki-ta seperti makhluk aneh!" gerutu
Wulandari kesal ketika memasuki kedai, dan melihat beberapa pengunjung
menoleh kepada mereka.
"Mereka hanya sekadar kagum...," sahut Bayu enteng.
"Huh! Kagum" Kagum pada siapa" Kenal pun me-
reka tidak!"
"Mereka kagum pada kecantikanmu," kata Bayu tersenyum menggoda, seraya duduk di
belakang sebuah meja yang ditunjukkan seorang pelayan.
Wajah Wulandari tampak bersemu merah menden-
gar pujian pemuda itu. Dia terdiam beberapa saat,
sampai hidangan yang dipesan tiba.
"Kakang, kurasa keadaanku sudah lebih baik sekarang," ujar gadis itu mengalihkan
perhatian. "Lalu?"
"Aku mampu menghajar mereka!"
Bayu tersenyum kecil sambil memperhatikan wajah
gadis itu yang terlihat garang ketika mengepalkan tangan. "Kau sudah berjanji,
bukan?" sahut Bayu seperti mengingatkan.
"Kakang sudah merasakan kecurangan mereka,
bukan?" balik bertanya Wulandari dengan nada kesal.
"Coba sekali ini kau turuti perintahku dan jangan membantah. Aku tahu, kau mampu
melawan mereka.
Tapi dalam keadaan tubuhmu yang masih lemah, kau
hanya akan menambah penyakitmu saja."
"Kakang..., iiih!" gadis itu merajuk dengan wajah kesal.
Bayu tersenyum-senyum melihat kemanjaan gadis
itu. Kemudian matanya memandang ke se-keliling
ruangan. Pendengarannya yang tajam mendengar be-
berapa orang pengunjung kedai membicarakan dua
orang asing yang tengah mereka buru. Wulandari me-
mandang sekilas pada Bayu, kemudian tersenyum ke-
cil. "Hm.... Aku mengerti. Kakang bermaksud mencari keterangan tentang kedua.
orang itu se-hingga berpu-ra-pura lapar!"
"Kata siapa?"
"Jangan mengelak!"
"Kenapa mesti mungkir" Yang jelas adalah kedua-duanya. Cari keterangan dan juga
lapar," sahut Bayu enteng.
"Huuu!"
Pemuda itu tersenyum-senyum melihat Wulandari
pasang muka cemberut.
Tengah nikmat-nikmatnya mereka melahap maka-
nan... "Lariii...! Ki Tabuk sedang mengamuk!"
Mendadak terdengar suara ribut dari arah luar ke-
dai. Beberapa orang berlari-lari ketakutan me-
nyelamatkan diri seperti dikejar banteng liar yang sedang mengamuk.
"Ki Tabuk mengamuk...!" teriak yang lain bersahu-tan. Tak berapa lama, di
belakang orang-orang yang lari serabutan itu terlihat seorang laki-laki bertubuh
besar dengan telanjang dada, membawa-bawa golok besar
dan panjang. Wajahnya seram dan matanya melotot
lebar sambil menggeram berkali-kali. Apa saja yang
menghalangi, senjatanya langsung bicara menyabet ke sana kemari. Tak seorang pun
yang berani mendekati laki-laki yang berotot besar itu. Semuanya menyingkir
ketakutan. Bahkan orang-orang yang berada di dalam rumah
atau di dalam kedai, lari ketakutan sebelum orang
yang dipanggil Ki Tabuk mendekat. Tak terkecuali,
pengunjung kedai yang ada di tempat mereka itu. Pe-
milik kedai serta beberapa orang pelayannya telah kabur lebih dulu, ketika Ki
Tabuk melangkah gusar
mendekati kedainya.
"Kisanak! Lebih baik pergi menyelamatkan diri! Ki Tabuk orang gila. Dia tak
segan-segan membunuh
orang!" teriak pelayan itu memperingatkan Bayu dan Wulandari sebelum kabur lewat
pintu belakang.
Tapi Pendekar Pulau Neraka dan Wulandari te-
nang-tenang saja. Di dalam kedai itu kini hanya mere-ka berdua, karena yang lain
telah melarikan diri. Mereka sebenarnya sedikit heran. Karena yang diketahui,
beberapa orang pengunjung kedai terlihat bukan orang sembarangan. Bahkan
membawa-bawa senjata pula.
Paling tidak, mereka memiliki ilmu silat yang lumayan untuk diandalkan. Tapi
mendengar orang gila mengamuk, mereka malah ikut-ikutan kabur.
Orang gila itu melangkah masuk ke dalam kedai
sambil menggeram keras. Beberapa buah kursi dan
meja hancur dihantam senjatanya. Sementara yang
lain berantakan dihajar pukulan serta tendangannya.
Kini barulah Bayu dan Wulandari mengerti, sebab Ki
Tabuk ternyata bukan orang gila sembarangan. Puku-
lan dan tendangannya mengandung tenaga dalam he-
bat, dan tak bisa dianggap enteng.
"Huaaah...!"
Ki Tabuk menggeram buas dengan mulut me-
nyeringai lebar, ketika menghampiri kedua anak muda yang sama sekali tak peduli
dengan kehadirannya.
"Kisanak dan Nisanak. Sebaiknya kalian cepat-
cepat menyingkir dari situ!" teriak beberapa orang memperingatkan mereka dari
luar. Sementara yang lain malah memandang cemas ke
arah mereka. Mereka menduga, keduanya akan tewas
dihajar Ki Tabuk. Sehingga, yang melihat dari luar ke-
dai tampak berwajah penuh kecemasan.
*** "Huaaah...!"
Bruak! "Hup!"
Dengan kemarahan meluap senjata di tangan Ki
Tabuk menghajar meja hingga terbelah dua. Kaki tan-
gannya menyapu kursi-kursi yang tengah diduduki
kedua anak muda itu hingga hancur berantakan. Ke-
mudian dengan beringas, golok panjang di tangannya
menyambar ke leher Bayu dan Wulandari.
"Hiaaah!"
Bet! Bet! "Wulan, mundur kau!" perintah Bayu ketika golok di tangan Ki Tabuk nyaris
menyerempet tubuh Wulandari.
Gadis itu buru-buru bergerak ke belakang Bayu.
Wulandari sendiri memang merasakan angin serangan
yang dahsyat, ketika golok itu menyambar-nyambar.
Masih untung dia mampu menjatuhkan diri dan ber-
gulingan menghindari kelebatan senjata lawan. Dan
kalau saja saat itu Bayu tak merenggut pinggangnya
dan mendorong ke samping, barangkali Wulandari
akan mendapat sabetan golok orang gila itu. Gadis itu sendiri merasakan,
gerakannya masih belum segesit
semula. "Hiyaaa...!" Ki Tabuk menggeram dan melompat ke arah Bayu yang berada di
depannya sambil mengayunkan golok.
Bayu bergerak cepat. Tubuhnya berbalik dan me-
nyambar pedang Wulandari.
Trang! "Hiiih!"
"Uts! Terlihat wajah Ki Tabuk berkerut menahan rasa
sakit, ketika senjatanya beradu. Namun tubuhnya ma-
sih sempat dimiringkan, ketika kaki Bayu menyambar
ke arah perut dengan deras.
"Heaaa...!"
Dengan cepat Ki Tabuk mengayunkan senjatanya
menyambar leher Pendekar Pulau Neraka. Kemudian
golok itu terus meliuk ke dada, pinggang dan bagian bawah. Bayu melompat ke atas
untuk menghindari.
Kemudian pedang di tangannya menyambar deras ke
arah batok kepala Ki Tabuk. Tapi, orang itu ternyata cukup cerdik. Tubuhnya
cepat dimiringkan memapas
pinggang Pendekar Pulau Neraka. Namun hal itulah
yang diharapkan si Pendekar Pulau Neraka. Dengan
jarak dekat begini, jelas akan leluasa menekan lawan.
Trang! Pedang di tangan Pendekar Pulau Neraka me-
nangkis senjata orang gila itu. Seperti tadi, terlihat wajah orang bertubuh


Pendekar Pulau Neraka 44 Pendekar Tanah Seberang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar itu meringis kesakitan. Kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh
Pendekar Pulau Neraka untuk menyodok perut Ki Tabuk dengan
menggunakan lutut kanan.
Duk! "Aaah!"
Ki Tabuk mengeluh kesakitan. Tubuhnya kontan
limbung ke belakang. Pada saat yang sekejap itu kaki kanan Bayu cepat menyambar
ke arah rahang dan da-da dengan tendangan keras.
Digh! Digh! Ki Tabuk menjerit kesakitan. Tubuhnya langsung
terjungkal menghajar dinding kedai hingga jebol.
"Hup!"
Tubuh Bayu langsung mengejar, melepas totokan
ke beberapa bagian tubuh Ki Tabuk.
Tuk! Tuk! Ki Tabuk yang berusaha bangkit, langsung terkulai
kembali. Bola matanya melotot garang sambil mengge-
ram-geram buas ke arahnya.
"Hm... Kepandaianmu hebat, Ki sanak. Sayang
otakmu miring, sehingga membuat susah orang se-
kampung. Kalau kau mau dengar kata-kataku dan tak
akan mengamuk, tentu totokanmu akan kubebaskan,"
kata Bayu pelan.
Tapi Ki Tabuk bukannya menurut. Dia malah
menggeram buas, seolah-olah ingin menelan bulat-
bulat pemuda di hadapannya.
"Baiklah. Kalau kau merasa lebih senang begini, aku akan mengabulkannya. Dan
karena kau merasa
senang diperlakukan begini, aku akan menambahnya,"
kata pemuda itu sambil menotok dua kali ke tubuh Ki Tabuk.
Tuk! Tuk! Wajah Ki Tabuk menggeram. Kerongkongan-nya
seperti tersumbat dan tak mampu berkata se-patah
pun. "Kau akan begitu terus selama sehari semalam.
Itulah upah dari perbuatanmu," kata Bayu enteng.
Beberapa orang yang melihat kejadian itu, mulai
berani mendekat sambil memandang takjub pada pe-
muda itu. Dan satu persatu yang lain pun mendekat.
"Wah, hebat! Kisanak! Siapa kau sebenarnya" Selama ini tak ada seorang pun yang
mampu me- ngalahkan Ki Tabuk!" tanya seseorang.
"Aku hanya orang biasa. Hanya, Ki Tabuk agaknya hari ini sial," sahut Bayu
sekenanya. "Lho" Ki Tabuk kenapa" Kok seperti ayam ke-ok
begini?" "Awas, dia masih galak! Salah-salah kau diter-
kamnya nanti!"
Beberapa orang yang mengerubungi orang berwa-
jah seram itu tampak memperhatikan dengan segala
macam ocehan-ocehannya ke arah Ki Tabuk. Namun
tiba-tiba.... "Woooi...! Ada perkelahian di kapal Ki Sam- pan!"
teriak seseorang sambil berlari ke arah kerumunan itu.
"Siapa?" tanya beberapa orang dengan wajah sungguh-sungguh.
"Tidak tahu. Tampaknya dua orang asing itu bukan penduduk kampung ini. Mereka
hebat. Lawannya banyak yang mati!"
Tak lama kemudian, mereka berlari-lari kecil ke
arah tempat yang ditunjuk orang itu. Sedangkan Bayu dan Wulandari lebih dulu
menyelinap dari tempat itu, saat mendengar teriakan orang tadi.
*** 8 Di tepi pantai memang terlihat perkelahian yang
tak seimbang. Dua orang asing yang berada di atas sebuah perahu layar berukuran
sedang, tengah dikeru-
buti lebih dari tujuh orang laki-laki bersenjata lengkap.
Sementara beberapa perahu kecil yang bermuatan be-
berapa orang nelayan, semakin mendekat ke perahu
layar itu. Dan ketika telah merapat, dengan sigap mereka melompat ke atas perahu
layar. Bahkan ikut
mengeroyok kedua orang asing itu.
"Hm.... Akhirnya kita temui juga mereka," gumam Bayu sambil tersenyum kecil.
"Kenapa Kakang tak langsung turun dan mengha-
jar mereka?" tanya Wulandari.
"Aku tak bisa berbuat begitu, Wulan. Beberapa
orang pengeroyok terlihat bukan nelayan biasa. Mere-
ka adalah tokoh persilatan. Sedangkan yang lain
mungkin anak buah pemilik perahu layar yang hendak
dicuri itu," sahut Bayu tenang.
"Huh! Kakang memang selalu banyak basa-basi!
Apakah Kakang akan menunggu korban berjatuhan
lebih dulu, baru akan turun tangan?" dengus Wulandari mengejek.
"Apakah kau tak mengerti, Wulan" Para tokoh persilatan itu punya harga diri.
Kalau aku turun tangan, mereka tentu akan merasa diremehkan. Padahal, kedatangan
mereka ke sini untuk bertarung menghadapi
dua orang asing itu. Mungkin ada yang kesal karena
kesombongan orang asing itu, atau dendam karena
guru atau saudara seperguruan mereka terbunuh di
tangan orang asing itu. Dan mereka merasa punya hak untuk membinasakannya," kata
Bayu menjelaskan.
Wulandari tak menyahut lagi. Pandangannya dipa-
lingkan ke arah pertarungan itu. Sepintas lalu, me-
mang kelihatannya tak seimbang. Namun kalau diper-
hatikan seksama, justru kedua orang asing itu berada di atas angin. Bahkan
mereka mampu menewaskan
beberapa orang pengeroyok yang langsung tercebur ke laut. Namun demikian,
terlihat tak seorang pun yang takut melihat kehebatan lawan. Mereka malah
menyerang semakin ganas dan gencar.
Kedua orang asing tidak lain suami istri Daeng
Mapparewang dan Nyai Mamparini yang memang ber-
maksud meninggalkan negeri ini, setelah men-
dapatkan harta benda berharga hasil merampok sela-
ma ini. Namun sayang, ketika berusaha mencuri se-
buah perahu layar, beberapa orang nelayan yang bera-da di situ mengetahui. Dan
mereka sudah langsung
dikeroyok. Kedua suami istri itu tidak menyerah begitu saja.
Tanpa mengenal belas kasihan, mereka langsung
menghajar para nelayan hingga tewas. Tapi, ternyata keributan kecil itu
berkembang menjadi besar, setelah para nelayan yang lain yang berada di
sekitarnya berteriak-teriak memberitahukan kawan-kawannya. Se-
hingga, beberapa tokoh persilatan yang lewat, dan
memang sengaja mencari kedua orang asing itu, lang-
sung turun tangan. Namun mereka pun agaknya tak
banyak membantu. Karena satu persatu mereka sudah
tewas di tangan Daeng Mapparewang dan Nyai Mam-
parini. "Mampuslah kalian semua kecoa-kecoa tak bergu-
na. Hiiih!"
Wer! "Aaa...!"
Dengan geram bercampur amarah, Daeng Mappa-
rewang tak tanggung-tanggung lagi menggunakan pu-
kulan Gunung Es dari Tibet yang mampu membuat
siapa saja menjadi beku karena seluruh aliran darahnya-berhenti.
Agaknya, ini memang disengaja kedua orang asing
itu. Mereka ingin menghabiskan lawan-lawannya sece-
pat mungkin, agar bisa kabur dari tempat ini secepatnya. Memang, saat itu angin
bertiup sangat kencang.
Dan layar perahu pun telah terbentang. Sehingga, perahu layar yang telah
berjarak kurang lebih dua puluh tombak dari pantai, bergerak perlahan-lahan
terus menjauhi pantai. Namun meskipun demikian, agaknya
para nelayan tak mau membiarkan orang asing itu me-
larikan diri. Mereka mengejar menggunakan perahu-
perahu kecil dengan membawa tambang-tambang be-
sar. Sehingga perahu layar yang ditumpangi Daeng
Mapparewang dan istrinya tersendat-sendat lajunya.
"Serang terus...! Jangan biarkan mereka melarikan diri!"
"Jangan takut...!" sahut yang lain memberi seman-
gat. Namun meskipun mereka terus bersemangat, tin-
dakan itu percuma saja. Karena satu persatu, mereka hanya mengantar nyawa sia-
sia. "Yeaaah...!"
Bret! "Aaa...!"
Di tangan Daeng Mapparewang, golok berge-riginya
melesat ke sana kemari mencari mangsa. Dua orang
yang berada di dekatnya terjungkal ke laut bermandikan darah. Beberapa orang
yang mendekat hendak
menyerang Nyai Mamparini, kembali terpekik kesaki-
tan disambar senjata rahasia.
Ketika jumlah para pengeroyoknya itu tinggal lima
orang lagi, para nelayan pun jadi ragu-ragu untuk melompat ke perahu layar itu.
Mereka telah melihat sendiri kehebatan ilmu silat kedua orang asing itu. Dan
rasanya, tak ada harapan untuk menang. Sehingga,
kelima orang itu pun ikut-ikutan menjadi ragu.
"Ayo, majulah! Apakah nyali kalian sudah ciut" Kalau begitu goroklah leher
kalian sendiri, sebelum aku yang melakukannya!" dengus Daeng Mapparewang
sambil menyeringai.
Baru saja selesai kata-katanya, mendadak melesat
satu bayangan kuning yang bergerak cepat dari arah
pantai. Daeng Mapparewang dan Nyai Mamparini yang
melihat bayangan itu bergerak demikian cepatnya, jadi tersentak kaget.
"Celaka! Pendekar Pulau Neraka!" desis Daeng Mapparewang dan Nyai Mamparini
nyaris bersamaan.
*** Dengan bantuan sepotong kayu yang agak le-bar
dan panjang, Pendekar Pulau Neraka meluncur cepat
di atas laut menuju ke perahu layar dengan berdiri tegak di atas potongan kayu.
Hal ini tentu saja sudah membuktikan kalau ilmu meringankan tubuh pemuda
itu telah sampai tingkat sempurna. Tapi kedua orang asing itu tampaknya tak
gentar. Bahkan Nyai Mamparini telah menyambutnya dengan sambaran senjata
rahasia. Ser! "Hup!"
Pendekar Pulau Neraka melenting ke atas setelah
menotol potongan kayu itu sebagai pijakan. Kemudian tubuhnya terus bersalto
beberapa kali. Tapi serangan Nyai Mamparini tak berhenti sampai disitu saja.
Senjata rahasianya kembali menyambar, sebelum tubuh la-
wan berpijak di atas sebuah perahu kecil yang meru-
pakan penghubung ke perahu layar.
Beberapa buah senjata rahasia berhasil dihindari
Pendekar Pulau Neraka. Tapi untuk yang lain sungguh sulit baginya untuk
menghindar. "Hiyaaa...!"
Tras! Tak ada jalan lain bagi Pendekar Pulau Neraka un-
tuk mempertahankan diri, selain menggunakan senja-
ta Cakra Mautnya untuk mematahkan senjata-senjata
rahasia lawan hingga terpotong-potong beberapa ba-
gian. "Hup!"
Dan begitu kedua kakinya berpijak di tepi sebuah
perahu, tubuh Pendekar Pulau Neraka telah kembali
melejit sambil melompat tinggi ke arah perahu layar yang ditumpangi kedua orang
asing itu. Daeng Mapparewang dan Nyai Mamparini agaknya
tak mau tinggal diam. Sebelum lawan menyentuhkan
kakinya di perahu layar itu, Nyai Mamparini telah menyambutnya dengan senjata
rahasianya kembali. Se-
mentara, Daeng Mapparewang melepaskan pukulan ja-
rak jauhnya. Pendekar Pulau Neraka telah memperhitungkan se-
rangan itu. Sehingga ketika senjata rahasia yang dilemparkan Nyai Mamparini
menyambar tubuhnya,
langsung dipapaknya dengan gerakan tangan kanan
yang menggenggam Cakra Maut. Sedangkan tangan ki-
rinya menghantamkan satu pukulan maut untuk me-
mapak pukulan yang dilepaskan Daeng Mapparewang.
Tras! Glarrr! "Uh...!"
Daeng Mapparewang mencelat mundur beberapa
langkah, ketika kedua pukulan itu beradu. Seketika
terasakan tekanan yang kuat dari pukulan yang dile-
paskan pemuda itu.
"Yeaaah...!"
Dengan satu bentakan nyaring, Pendekar Pulau
Neraka telah melompat ke atas kapal. Langsung tan-
gan kanannya dikibaskan ke arah Daeng Mappare-
wang. Bet! Bet! Namun laki-laki asing itu masih sempat me-
nyelamatkan diri sambil membuang tubuh ke samping.
Dan tubuhnya terus bergulingan menghindari tendan-
gan beruntun yang dilepaskan lawan.
Nyai Mamparini merasa kalau tak ada gunanya
membokong lawan dengan menggunakan senjata raha-
sia. Karena, hasilnya selalu sia-sia. Maka dengan sigap dicabutnya suling
peraknya. Seketika tenaga batinnya dikerahkan sambil meniup sending, memainkan
lagu mendayu-dayu. Dan suara suling itu memang menga-
caukan pikiran siapa saja yang mendengarkannya.
Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget. Beberapa
saat serangannya dihentikan sambil mengerahkan te-
naga batinnya untuk melawan pengaruh irama suling
yang sempat menggoncangkan kesadarannya.
Yeaaah...!"
Daeng Mapparewang tak menyia-nyiakan ke-
sempatan itu. Langsung lawannya disergap dengan
permainan ilmu goloknya yang hebat.
"Uts!"
Namun dengan sigap Pendekar Pulau Neraka me-
miringkan tubuhnya. Kedua kakinya menghentak, se-
hingga tubuhnya melejit ke atas. Sehingga golok Daeng Mapparewang menyambar
bagian bawah kakinya.
Namun pada saat itu juga, Pendekar Pulau Neraka
menghentakkan tangan kanannya. Sehingga Cakra
Mautnya melesat cepat ke arah batok kepala Daeng


Pendekar Pulau Neraka 44 Pendekar Tanah Seberang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mapparewang. Melihat hal ini orang asing itu menja-
tuhkan diri sambil mengayunkan goloknya untuk me-
mapaki. Tras! Begitu hebat benturan itu. Senjata di tangan orang
asing itu kontan putus dibabat Cakra Maut. Namun
hal itu tak membuatnya terkejut. Telah disadari kalau ternyata pemuda itu
demikian hebat. Kembali Daeng Mapparewang melancarkan serangan utama yang
terletak pada tendangan kaki secara beruntun ke arah
dada dan perut. Namun dengan sigap, Pendekar Pulau
Neraka menjatuhkan diri ke lantai kapal, dengan kaki menyapu bagian bawah tubuh
lawan. "Yeaaah....!"
Daeng Mapparewang membentak nyaring. Tubuh-
nya langsung berkelebat ke atas, dan tahu-tahu telah berada di belakang pemuda
itu. Dan Pendekar Pulau
Neraka pun cepat mengibaskan tangan, menyambar
tubuh Daeng Mapparewang.
Daeng Mapparewang memang sengaja me-mancing
lawan agar perhatiannya teralih ke belakang. Karena
serangan sebenarnya adalah bagian pinggang lawan
dengan jurus Gunung Es dari Tibet.
Tapi Pendekar Pulau Neraka agaknya sulit ter-
kecoh. Sehingga keadaan kini jadi berbalik. Bahkan
Cakra Maut di tangan kanan Bayu telah melesat cepat, menyambar-nyambar tubuhnya.
Sedangkan Irama suling yang dimainkan istrinya, kini tak terlalu banyak
membantu. Maka dengan nekat segenap kekuatan di
tubuhnya dikerahkan untuk menyerang menggunakan
pukulan mautnya.
"Hiyaaa...!"
Gemuruh angin bertiup kencang, sehingga menye-
babkan beberapa tiang kapal hancur berantakan.
Bahkan udara terasa membeku, ketika selarik cahaya
merah keputih-putihan melesat dari kedua belah tan-
gan Daeng Mapparewang yang menggunakan jurus
Gunung Es dari Tibet.
Nyai Mamparini terkejut bukan main. Seumur hi-
dupnya, belum pernah Daeng Mapparewang menge-
rahkan pukulan Gunung Es dari Tibet yang sampai
pada taraf seperti itu. Wajahnya tampak cemas, karena tahu betapa berbahayanya
bila mengerahkan pukulan
itu. Dan itu sama artinya bunuh diri bersama lawan.
Sekali saja lawan berhasil luput dari pukulan itu, ma-ka bisa dipastikan jiwa
Daeng Mapparewang dalam
bahaya. Ini karena pukulannya akan berbalik meng-
hantam dirinya sendiri. Berpikir hal itu, tanpa pikir panjang lagi Nyai
Mamparini melompat membantu suaminya untuk menyerang Bayu.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka melihat kalau keadaannya
sangat tidak menguntungkan. Bahkan bisa memba-
hayakan jiwanya. Maka tak ada pilihan lagi, pemuda itu membentak nyaring sambil
mengusap-usap kedua
tangannya. Lalu, tubuhnya berkelebat sambil men-
gayunkan tangan kiri ke arah lawan. Sementara, dari tangan kanannya melesat
Cakra Maut secepat kilat
yang menimbulkan desir angin bagai topan untuk
memapak serangan.
"Yeaaa...!"
Glarrr...! Seketika terdengar ledakan menggelegar hebat dan
dahsyat, ketika pukulan jarak jauh Pendekar Pulau
Neraka beradu dengan pukulan Daeng Mapparewang
yang memakai jurus Gunung Es dari Tibet.
Pukulan Pendekar Pulau Neraka bukan saja berha-
sil menekan, bahkan juga menderu menyambar tubuh
Daeng Mapparewang tanpa mampu ditahan.
Glarrr...! Kembali terdengar ledakan dahsyat. Asap hitam
tampak mengepul kembali. Dan di antara kepulan
asap, tubuh Daeng Mapparewang tampak terlempar
keluar dari perahu layar dalam keadaan hitam gosong.
Sebentar saja tubuh yang telah tak bernyawa itu tercebur ke laut.
Bersamaan dengan itu, ujung Cakra Maut yang
menyambar tubuh Nyai Mamparini tak mampu diben-
dung lagi. Kendati wanita itu masih mencoba menangkis,
namun suling peraknya kontan patah dihantam senja-
ta Cakra Maut. Bahkan tubuh wanita itu ikut tersam-
bar Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka pada lehernya.
"Aaakh!"
Terdengar jeritan panjang dan menyayat, ketika
leher wanita itu tersambar Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka. Bersamaan dengan
terlemparnya Nyai Mamparini ke laut darah segar terus berceceran mengikuti
tubuhnya. Di atas perahu layar itu kini sunyi sesaat. Pende-
kar Pulau Neraka telah berdiri tegak sambil meman-
dang ke arah laut tempat dua orang asing itu terkubur selama-lamanya.
"Hidup Pendekar Pulau Neraka...!" teriak seseorang seperti memberi aba-aba.
Teriakan itu diikuti yang lain sehingga makin gegap gempita, mengelu-elukan
Pendekar Pulau Neraka.
Bayu melambaikan tangan beberapa kali menyambut
teriakan mereka, kemudian perlahan-lahan menuju
pantai dengan menggunakan perahu kecil.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Sepasang Pedang Iblis 6 Siluman Goa Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Utusan Siluman Tujuh Nyawa 2
^