Pencarian

Setan Seribu Nyawa 2

Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa Bagian 2


mengorbankan nyawa demi menuruti perintahku," sahut Ki Rantek bangga.
"Hm, hebat sekali!"
Ki Rantek tersenyum-senyum kecil.
"Apa rencanamu setelah ini selesai...?" tanya Nyai Dasih Malela.
"Belum kupikirkan..., eh, apa maksudmu dengan
rencana itu?" tanya Ki Rantek seperti sadar ada maksud tersembunyi dari wanita
tua itu. Nyai Dasih Malela tersenyum tipis. Kemudian kem-
bali dia melanjutkan kata-katanya.
"Bukankah dengan perkawinan muridmu dan mu-
ridku, maka kedudukan kita akan semakin kuat?"
"Hm, apakah dengan begitu berarti kau ingin ber-
gabung dalam kelompokku?" tanya Ki Rantek penuh
selidik. 'Tepatnya membantumu, tapi..., apakah kau mera-
sa keberatan?"
'Tentu saja tidak!"
"Aku punya rencana hebat...," sahut Nyai Dasih Malela sambil tersenyum.
"Rencana apa, Nyai...?"
"Kita akan merampok rumah-rumah bangsa-wan
kerajaan!"
'Tapi, Nyai..., itu sangat berbahaya!" sahut Ki Rantek kaget.
"Apakah kau takut?"
"Aku tidak ingin mengorbankan jiwa anak buahku.
Umumnya rumah-rumah para bangsawan dijaga ketat
oleh lebih dari dua puluh orang prajurit!"
"Serahkan soal itu padaku! Dan kalian beres-kan
barang-barang berharganya. Kita akan mendapat ba-
rang berharga yang banyak sekali. Asal harus ingat!
Bagianmu dan bagianku harus adil!"
Ki Rantek berpikir sejurus lamanya sebelum men-
gangguk setuju. Wajah Nyai Dasih Malela tampak
gembira melihat sikap Ki Rantek. Bersama-sama me-
reka kembali minum anggur.
Saat mereka tengah menikmati minuman yang
memabukkan itu, mendadak saja mereka dikejutkan
dengan terdengarnya suara jerit kesakitan salah seo-
rang anak buah Ki Rantek yang begitu panjang dan
melengking tinggi.
"Aaa...!"
"Heh..."! Ada apa itu..."!"
Ki Rantek cepat melesat, dan....
*** 5 Pesta itu seketika terhenti oleh jeritan tersebut. Ki Rantek tersentak kaget
ketika melihat sesosok tubuh
anak buahnya melayang persis di kakinya. Tubuhnya
pucat dengan kulit yang membusuk dan terus meleleh
perlahan-lahan. Orang tua itu lekas bangkit dari du-
duknya sambil membentak garang.
"Kurang ajar...! Siapa yang berani melakukan hal ini"!" bentak Ki Rantek garang
sambil mengedar pandangan ke sekeliling tempat itu.
"Aku...!" sahut satu suara pelan yang diikuti mele-satnya dua sosok tubuh di
hadapan Ki Rantek dan
Nyai Dasih Malela.
Ki Rantek sedikit kaget melihat begitu cepat kedua
sosok tubuh itu telah berada di hadapannya. Mereka
adalah seorang pemuda berwajah tampan dengan sinar
mata berkilau menyeramkan. Pakaian kuning yang di-
kenakannya agak keemasan dan terbuat dari sutera
halus. Pada salah satu jari tangan kanannya terdapat
sebentuk cincin yang amat menyolok bergambar kepa-
la tengkorak manusia dengan dua buah gigi taring me-
lengkung keluar bagai tanduk banteng! Di sebelah pe-
muda itu tampak seorang gadis manis berusia sekitar
dua puluh tahun memakai baju warna putih. Wajah-
nya tampak pucat ketakutan. Hal itu menimbulkan
keanehan bagi Ki Rantek dan yang lainnya.
Orang tua itu memberi isyarat pada anak buahnya
agar tidak bertindak lebih dulu. Di pandanginya pe-
muda itu dengan seksama.
Demikian juga halnya dengan Aria Denta. Dia
bangkit dari kursinya dan menghampiri pemuda itu
dengan wajah penasaran sebab dia seperti merasa
pernah melihat pemuda itu sebelumnya.
"Siapa kau" Rasanya wajahmu tidak asing bagiku?"
tanya Aria Denta dengan sikap curiga.
"Hm, bagus kau masih mengenaliku. Akan lebih
memudahkan pekerjaanku nantinya," sahut pemuda
berbaju kuning keemasan itu dingin.
Kemudian terlihat pemuda itu memandang tajam
ke arah Ki Rantek.
"Kaukah yang bernama Ki Rantek?" tanyanya dingin. "Hm, ya. Ada urusan apa kau
mengacau pestaku ini?" tanya orang tua itu kurang senang.
"Oh, jadi kau sedang mengadakan pesta perkawi-
nan muridmu" Sungguh kebetulan!" dengus pemuda
itu dengan nada geram.
"Apa maksudmu, Anak Muda" Bicaralah yang be-
nar kalau tidak kau akan menyesal sendiri nantinya!"
sentak Ki Rantek mengancam.
Mendengar ancaman itu bukannya pemuda itu
menjadi takut dan ciut nyalinya. Pemuda itu malah
tertawa dengan suara menggelegar, sehingga membuat
kaget mereka yang hadir di tempat itu.
"Hua ha ha...! Hari ini adalah pembalasan yang
akan kau terima dariku! Hari ini adalah kematian yang mengerikan bagi kalian!
Hari ini akan kulebur menjadi rata dengan tanah kawanan Perampok Tangan
Darah...!"
"Kurang ajar! Bunuh orang sinting ini!" bentak Ki Rantek sembari memberi
perintah pada anak buahnya.
Saat itu juga seluruh anak buahnya mengepung
dua orang itu dengan sikap waspada. Pemuda berbaju
kuning keemasan itu sama sekali tidak mempeduli-
kannya. "Ki Rantek, kenalkah kau dengan Nyai Ningsih He-
rang?" tanya pemuda itu dingin.
"Apa maksudmu?"
"Wanita yang kau cintai puluhan tahun lalu dan
akhirnya pergi meninggalkanmu karena perbuatanmu
yang keji dan tidak juga mau insaf-insaf. Aku tahu kau
masih mencintainya sampai saat ini...."
"Tutup mulutmu! Tahu apa kau tentang masa si-
lamku!" dengus Ki Rantek mulai naik darah.
"Aku tahu banyak tentangmu. Ketahuilah bahwa
wanita itu kini telah tewas di tanganku!" dingin suara pemuda itu ketika
mengatakan demikian.
"Apa"!" kedua bola mata Ki Rantek tampak semakin besar mendengar kata-kata
pemuda itu. "Sebelum dia pergi meninggalkanmu, wanita itu
mengandung anakmu dan gadis yang bersamaku in-
ilah darah dagingmu. Maaf, dia nakal sekali sehingga
terpaksa aku menotoknya begini rupa agar dia tidak
melarikan diri dan tidak berteriak-teriak...," kata pemuda itu sambil tersenyum
mengejek. "Keparat! Lepaskan putriku...!" bentak Ki Rantek semakin garang.
"Ha ha ha...! Tentu saja kulepaskan bila saatnya telah tiba...!" sahut pemuda
berbaju kuning keemasan itu sambil tertawa dengan suara menyeramkan.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Rantek mulai curiga.
"Ingatkah kau pada peristiwa seminggu yang lalu"
Pembantaian yang kalian lakukan di Desa Ngampar
Cai" Saat itu sebuah keluarga yang tengah melang-
sungkan pesta perkawinan kalian aniaya dan kalian
perkosa istri, ibu, serta mertuaku dengan keji dan laknat. Kalian adalah
binatang keparat! Dan hari ini pembalasan itu akan tiba. Aku bersumpah demi
langit dan bumi, akan mencincang tubuh kalian untuk kujadikan
santapan serigala-serigala kelaparan. Aku Danu Um-
bara, akan merencah kalian menjadi serpihan kecil
yang nista...!" sahut pemuda itu dengan suara menggelegar penuh raungan
kemarahan dan dendam yang
berkobar-kobar.
"Apa" Kau..., kau..." Tidak mungkin! Kau sudah
mati...!" sentak Aria Denta terkejut mendengar kata-kata pemuda bernama Danu
Umbara itu. "Hua ha ha...! Pemuda keparat! Kau akan menda-
pat giliranmu sebentar lagi...!" dengus Danu Umbara sambil tertawa panjang.
"Bunuh dia! Bunuh dia...!" teriak Aria Denta panik sambil berteriak keras.
"Yeaaah...!"
Serentak dengan itu seluruh anak buah Ki Rantek
yang sejak tadi telah bersiaga, melompat menyerang
pemuda itu dengan cepat. ***
"Hiyaaa...!" Danu Umbara membentak nyaring
sambil membalikkan tubuhnya menyambut serangan
lawan. Dari telapak tangan kirinya menderu angin ken-
cang dan sinar kuning yang menghantam para penge-
royoknya itu. Des! "Aaakh...!"
Para pengeroyoknya memekik kesakitan dengan
tubuh ambruk terjungkal seperti di hantam pukulan
keras. Tubuh mereka berguling-gulingan sambil meng-
garuk-garuk seluruh bagian tubuhnya dan terus men-
jerit keras. "Celaka! Dia menggunakan pukulan beracun!" desis Ki Rantek kaget.
Sisa-sisa anak buah Ki Rantek langsung menerjang
ke arah pemuda itu dengan kalap. Namun seperti tadi,
mereka pun akhirnya mengalami nasib yang sama se-
perti kawan-kawannya.
"Keparat! Bunuh saja kami...! Bunuuuh...!" teriak mereka geram sambil terus
menggaruk-garuk seluruh
bagian tubuhnya tiada berhenti.
"Membunuh kalian terlalu mudah bagiku. Nyawa
busuk kalian tak ada harganya. Tapi aku akan mela-
kukannya setelah kalian kubuat sengsara lebih du-
lu...!" dingin terdengar suara Danu Umbara.
"Ki Rantek, biar kuberi pelajaran pemuda sombong ini...!" dengus Nyai Dasih
Malela sambil melompat menyerang Danu Umbara dengan permainan ilmu pe-
dangnya yang hebat.
Sring! Wut! Pedang di tangan Nyai Dasih Malela melesat-lesat
menyambar tubuh pemuda itu. Desir angin kencang
dan suara bercuitan menandakan kalau Nyai Dasih
Malela memiliki tenaga dalam yang kuat dan hebat.
Tapi gerakan pemuda itu lebih gesit lagi menghindari
setiap sabetan pedangnya. Bahkan dengan tidak dis-
angka-sangka ketika Nyai Dasih Malela menyambar
leher lawan, pemuda itu tegak berdiri sambil menden-
gus sinis. "Huh, kau pikir bisa berbuat apa dengan segala
kepandaianmu yang rendah?"
"Mampus!" Nyai Dasih Malela menggeram sambil mengerahkan tenaga dalam kuat.
Dia pikir dengan sekali tebas maka kepala lawan
akan menggelinding. Apalagi saat itu si pemuda sama
sekali tidak berusaha mengelak.
Tap! "Hiiih!"
Des! "Aaa...!"
Tanpa diduga oleh wanita tua itu, tangan kiri pe-
muda itu menangkap batang pedangnya dan langsung
memelintir senjata itu hingga patah. Nyai Dasih Malela terbelalak matanya.
Demikian juga Ki Rantek dan Aria
Denta. Apa yang dilakukan pemuda itu sungguh ber-
bahaya, namun lebih mengagetkan lagi ketika telapak
tangannya sama sekali tidak tergores senjata lawan
sedikit pun. Bahkan dengan bengis pemuda itu men-
gayunkan satu tendangan keras ke dada lawan. Nyai
Dasih Malela memekik setinggi langit. Tubuhnya ter-
jungkal ke belakang dua tombak sambil menyembur-
kan darah segar.
"Guru...!" Kusumawardani menjerit keras sambil memburu ke arah gurunya dengan
wajah cemas. Wanita tua itu menggelepar-gelepar beberapa saat
seperti ayam disembelih. Darah kental tiada hentinya
keluar dari mulut, hidung, dan bola matanya. Dia hen-
dak berkata sesuatu terhadap Kusumawardani yang
memangku tubuhnya, namun sebelum keluar kata-
katanya, kepala wanita tua itu terkulai lesu dan tu-
buhnya diam tak bergerak.
"Kini giliranmu, Keparat!" dengus Danu Umbara geram sambil melompat ke arah Ki
Rantek dengan satu
gerakan cepat menyerang lawan.
Srakkk! "Huh, kau pikir aku takut denganmu" Mampuslah
kau...!" sahut Ki Rantek geram sambil mencabut senjatanya yang berbentuk clurit
panjang dan membabat
lawan. Danu Umbara menundukkan kepala menghindari
tebasan senjata lawan. Tangan kirinya bergerak cepat
menangkap pergelangan tangan lawan, sementara kaki
kanannya terayun menghantam dada Ki Rantek. Orang
tua itu tercekat kaget. Tapi buru-buru dia memutar
tubuhnya untuk menghindari. Namun cengkeraman
lawan di pergelangan tangannya seperti tidak mau le-
pas. Bahkan dengan sekali sentak, tubuhnya terangkat
ke atas mendekati si pemuda.
"Hiyaaa...!"
Krak! "Aaakh...!"
Danu Umbara menekuk tangannya hingga terden-
gar tulang berderak patah. Ki Rantek menjerit kesaki-
tan. Namun orang tua itu masih sempat mengayunkan
tendangan keras ke muka lawan. Tangan kanan Danu
Umbara cepat menangkap pergelangan kakinya. Sam-
bil melepaskan cengkeraman di tangan lawan, dia me-
mutar tubuh Ki Rantek dengan mencengkeram kuat
pergelangan kakinya.


Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yeaaa...!"
Krakkk! Desss! "Aaa...!"
Sebelum membanting tubuh orang tua itu, Danu
Umbara menghantam keras tulang kering lawan den-
gan tangan kirinya. Kemudian dengan gemas ujung
kaki kanannya menendang punggungnya, sehingga Ki
Rantek memekik keras sambil memuntahkan darah
segar ketika terjungkal ke belakang.
"Guru...!" Aria Denta tersentak kaget melihat keadaan gurunya itu.
Dengan cepat dia memburu dan memeriksa kea-
daan orang tua yang tengah megap-megap menahan
rasa sakit. "Aria, selamatkan dirimu, dan..., bawa Kusuma-
wardani pergi dari sini cepat. Dia..., dia bukan tandin-ganmu. Tenaganya seperti
iblis. Ce... cepat..!" kata Ki Rantek dengan suara terbata-bata.
'Tidak! Aku harus membalas perlakuannya terha-
dapmu. Akan kubunuh dia...!" geram Aria Denta kalap.
Ki Rentak hendak mencegah perbuatan Aria Denta,
namun suaranya tercekat di tenggorokan, dan tangan-
nya hanya mampu menggapai. Aria Denta sama sekali
tidak mempedulikan kata-katanya.
Srang! Cring! Bersamaan dengan Aria Denta mencabut pedang-
nya, Kusumawardani pun telah mencabut pedangnya,
dan dengan amarah serta kebencian yang meluap-luap
keduanya menyerang lawan dengan bersamaan.
"Yeaaah...!"
*** "Ha ha ha...! Bagus, lebih cepat kalian maju maka akan lebih cepat lagi urusan
ini selesai!" kata Danu Umbara sambil tertawa dengan suara nyaring.
Bet! Bet! Tap! "Hiiih...!"
Dua tebasan senjata lawan menyambar leher dan
dadanya. Danu Umbara bergerak lincah dengan me-
liuk-liuk. Tiba-tiba dia telah berada di atas kepala Aria Denta. Dengan gemas
pemuda itu menyabetkan senjatanya membelah pinggang lawan. Begitu juga yang di-
lakukan Kusumawardani. Tapi secepat mereka men-
gayunkan senjata, maka tubuh Danu Umbara telah
berada di belakang si gadis dan memeluk tubuhnya
erat-erat sambil menghantam pedang di tangannya,
sehingga terlepas dari genggaman. Gadis itu terkejut
dan menjerit keras. Aria Denta bermaksud menolong
sambil melompat ke samping dan membabatkan senja-
tanya. Wut! "Hiiih!"
Begitu senjatanya berkelebat saat itu juga Danu
Umbara mencelat ke atas sambil tetap me-rangkul Ku-
sumawardani. Kaki kanannya menghantam dagu la-
wan. Tak! "Aaakh...!"
Aria Denta menjerit kesakitan. Dan sebuah giginya
tanggal dengan mulut penuh darah akibat tendangan
itu. Tubuhnya terjajar ke belakang dengan pandangan
berkunang-kunang.
"Ha ha ha...! Gadis ini sangat cantik dan cocok untukku!" kata Danu Umbara tanpa
mempedulikan la-
wan dia menotok tubuh Kusumawardani, sehingga ga-
dis itu tidak mampu bergerak.
Bret! "Aouw...!" Kusumawardani menjerit keras ketika bajunya di bagian dada dirobek
kasar oleh Danu Umbara.
"Aouw, Keparat! Lepaskan! Hentikan perbuatan ko-
tormu...!"
"Ha ha ha...! Apa yang diperbuat pemuda bejat itu lebih dari ini terhadap
istriku. Dan kau pun akan merasakan hal yang sama di depan hidungnya!" sahut
Danu Umbara sambil menciumi gadis itu dengan ber-nafsu.
"Setan! Lepaskan dia...!" geram Aria Denta dengan kemarahan yang meluap-luap
melihat kelakuan lawan.
Tanpa mempedulikan keadaan dirinya, dia lang-
sung menerjang kembali sambil menghunuskan senja-
ta. Namun tanpa menoleh, Danu Umbara melompat ke
belakang. Ujung senjata lawan terus mengejar dan
dengan sekali memiringkan tubuh, senjata lawan luput
menyambar. Tangan kanan Danu Umbara dengan ce-
pat menotok dada kiri lawan.
Tuk! "Aaakh...!"
Aria Denta menjerit kesakitan. Otot jantungnya
mengejang dan tubuhnya ambruk tidak berdaya. Dia
hanya bisa menjerit-jerit menahan rasa sakit.
"Sekarang kau akan merasakan bagaimana pera-
saanku saat itu...! Akan kau rasakan bagaimana mele-
daknya dadaku saat itu...!" dengus Danu Umbara
sambil menyeret Kusumawardani di depan Aria Denta.
Dengan geram Danu Umbara menindih tubuh ga-
dis itu yang menjerit-jerit ketakutan sambil memaki-
maki tidak karun. Aria Denta mendidih darahnya me-
lihat apa yang dilakukan pemuda itu terhadap istrinya.
"Keparat! Hentikan perbuatanmu! Hentikan perbu-
atanmu...!"
Tapi meskipun dia berteriak-teriak sambil memaki-
maki, Danu Umbara malah terkekeh-kekeh. Lebih-
lebih ketika Kusumawardani memaki-maki sambil
menjerit ketakutan. Tidak ada satu pun yang bisa me-
reka lakukan untuk mencegah perbuatan Danu Umba-
ra terhadap gadis itu.
Aria Denta memejamkan matanya dengan mena-
han dendam kesumat yang hebat di dadanya. Hatinya
tidak kuasa menahan marah dan kebencian yang me-
luap-luap. Matanya tidak sanggup melihat pemandan-
gan yang mengiris-iris hatinya, dan telinganya seperti mau pecah mendengar
jeritan-jeritan Kusumawardani
yang ketakutan dan kesakitan.
"Ha ha ha...! Sungguh hebat sekali istrimu ini.
Sungguh hebat. Dan kau tidak akan sempat merasa-
kannya, karena sebentar lagi kau bakal mampus!" kata Danu Umbara tertawa lebar
sambil menyudahi perbuatannya.
"Keparat! Lebih baik kau bunuh aku cepat! Bunuh
saja aku...!" teriak Aria Denta kalap.
"Ha ha ha...! Urusan membunuhmu soal mudah,
tapi aku harus merasakan lebih dahulu kemarahan
orang tua busuk ini!" desis Danu Umbara sambil menuding ke arah Ki Rantek yang
masih megap-megap
menahan rasa sakit yang tiada tertahankan di tubuh-
nya. "Bedebah keparat! Kau pikir aku takut dengan kematian"!" dengus Ki Rantek
geram. "Tentu saja aku tahu bahwa kau tidak takut, tapi aku akan membuat kau merasakan
apa yang kurasa-kan saat itu...!" balas Danu Umbara sinis sambil menangkap gadis
yang tadi bersamanya dan direbahkan-
nya di depan mata orang tua itu.
Dan apa yang dilakukannya terhadap Diah Kemun-
ing, maka dilakukannya juga terhadap gadis itu. Ki
Rantek memejamkan mata, meski hatinya perih. Tapi
dia berusaha untuk tidak menunjukkan kemarahan
dan menguatkan hatinya. Orang tua itu memang cu-
kup berpengalaman, sehingga dia tidak mau membiar-
kan pemuda itu merasa menang dengan perbuatannya
itu. Di samping itu dia sendiri masih belum merasa
yakin bahwa gadis itu putrinya. Walau di dalam hati
dia mengakui bahwa wajah gadis itu mirip sekali den-
gan kekasihnya yang telah menghilang puluhan tahun
lalu. *** 6 Hari telah menjelang senja ketika mereka tiba di
mulut lembah itu. Wulandari membentak nyaring keti-
ka mereka mengatakan bahwa sarang Perampok Tan-
gan Darah berada di depan mata.
"Berhenti! Awas, kalau kalian macam-macam
membuat isyarat sehingga kawan-kawanmu menge-
pung tempat ini, maka kalian bertiga yang akan mam-
pus lebih dulu. Mengerti!"
Ketiga orang anak buah Perampok Tangan Darah
yang mereka tawan itu mengangguk cepat.
"Ayo, jalan lagi pelan-pelan!" lanjut gadis itu.
"Suasana ini terasa sepi dan mencurigakan...," gumam Bayu pelan.
"Apakah menurutmu mereka telah mengetahui ke-
datangan kita, Kakang?"
"Hm, aku belum merasakan tanda-tanda kehadiran
seseorang di tempat ini...," sahut Bayu pelan.
Mendadak Wulandari tersentak kaget. Dia meman-
dang ke arah Bayu dengan wajah aneh.
"Kakang, kau mencium sesuatu?"
"Ya, seperti...."
"Bau busuk dan anyir darah...!" desis Wulandari.
"Astaga...!" salah seorang anak buah Perampok Tangan Darah yang berjalan paling
depan ter-sentak
kaget. Yang lainnya, termasuk Wulandari dan Bayu cepat-
cepat mengalihkan pandangan ke depan. Mereka meli-
hat beberapa sosok tubuh bergantungan dengan kepa-
la ke bawah. "Siapa mereka?" tanya Bayu.
"Ini kawan-kawan kami!" desis Delangu, salah seorang dari ketiga tawanan mereka.
Wulandari nyaris menjerit dengan perut mual me-
nyaksikan pemandangan yang ada di depan matanya.
Beberapa sosok tubuh tampak membusuk dengan dag-
ing yang terkelupas menimbulkan bau busuk yang
menyengat hidung. Tidak kurang dari dua puluh orang
tergantung di cabang-cabang pohon di dekat tempat
itu. 'Yang mana ketuamu itu?" tanya Bayu lagi.
Ketiga orang itu mencari-cari, dan ketika mereka
melangkah kembali, Bayu terpaksa memalingkan mu-
ka. Dua sosok tubuh wanita tanpa mengenakan pa-
kaian secuil pun tergantung di atas cabang yang sama.
Yang seorang terlihat bekas pukulan keras yang me-
remukkan isi dadanya, sementara yang seorang lagi
bola matanya melotot dengan lidah terjulur keluar.
Terlihat bekas telapak tangan di lehernya. Jelas bahwa wanita ini mati dicekik.
Sementara pada cabang yang
lain terlihat dua mayat membusuk dan rusak sekali
dengan daging-dagingnya yang mengelupas.
"Ini Ki Rantek...!" desis salah seorang dari tiga tawanan itu.
"Dan ini Aria Denta, murid kesayangannya!" sambung yang lain dengan nada yakin.
"Hm, siapa yang melakukan perbuatan ini pada
mereka?" tanya Bayu seperti bergumam pada diri sendiri. "Entalah, kami pun tidak
mengetahuinya...."
"Kakang, kawanan Perampok Tangan Darah sudah
mati semuanya. Tidak ada gunanya lagi kita di tempat
ini," kata Wulandari.
"Kalau begitu mari kita tinggalkan tempat ini...,"
ajak Bayu. "Tunggu dulu!" sentak Wulandari sambil menghampiri ketiga anak buah Ki Rantek
yang masih tersi-
sa. "Eh, ka..., kalian tetap akan membiarkan kami hidup, bukan?" tanya Jaka
Sunggring dengan wajah pucat. "Ya...," sahut Wulandari tenang sambil
menggerakkan tangannya cepat.
Tuk! Tuk! Tuk! "Hei, apa-apaan ini"!" teriak Jaka Sunggring dan kedua kawannya kesal ketika
tiba-tiba saja gadis itu
telah menotok mereka, sehingga tidak mampu berge-
rak. "Aku berjanji tidak akan membunuh kalian, tapi tidak berjanji untuk tidak
meninggalkan kalian di sini
dalam keadaan demikian. Mudah-mudahan tubuh ka-
lian menjadi santapan lezat serigala-serigala yang ada di hutan ini. Atau
barangkali dicekik penghuni lembah ini yang telah membinasakan seluruh kawan-
kawanmu!" desis Wulandari geram sambil melompat ke punggung kudanya dan melesat
cepat dari tempat ini
menyusul Bayu yang telah lebih dulu memacu ku-
danya. Ketiga orang itu berteriak-teriak dengan wajah pu-
cat ketakutan. "Hei, lepaskan kami! Lepaskaaan...!"
Suara mereka terhenti ketika kedua orang muda-
mudi itu telah lenyap dari pandangan. Tapi bukan cu-
ma itu yang membuat mereka bungkam, melainkan
karena kehadiran sesosok tubuh yang tiba-tiba saja
muncul di depan mereka.
Sesosok tubuh itu tidak lain dari seorang pemuda
berwajah tampan memakai pakaian warna kuning
keemasan dengan sinar mata tajam menakutkan.
"Sis..., siapa kau...?" tanya salah seorang dari mereka ketakutan.
Kehadiran pemuda itu sama sekali tidak diketahui.
Tiba-tiba saja dia telah berdiri tegak seperti dijatuhkan dari langit dan persis
di depan hidung ketiganya.
"Aku adalah iblis kematian yang akan mencabut
nyawa kalian yang tertunda!" dingin terdengar suara pemuda itu sambil
menjulurkan tangan kanannya
yang terkepal, sehingga terlihat sebentuk cincin ber-
gambar tengkorak dengan dua buah taring yang tajam
dan runcing. Crab! Srap! "Aaa...!"
Tiba-tiba saja dua buah taring di cincin itu menan-
cap erat di leher dua orang dari mereka. Orang itu
menjerit setinggi langit sambil merasakan kesakitan
yang hebat. Tubuhnya berangsur-angsur pucat ketika
tubuhnya mulai timbul gelembung-gelembung yang
kemudian meletus dan mengeluarkan cairan putih ke-
kuning-kuningan yang berbau busuk.
Kedua orang kawannya tersentak kaget. Bola mata
mereka melotot lebar melihat pemandangan itu. Tidak
terasa keringat dingin mereka mengucur sebesar buti-


Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ran jagung. Malam mulai merayap ketika di lembah kematian
itu kembali terdengar jeritan panjang yang melengking tinggi bagai raungan
serigala yang terluka dan akan
menemui ajalnya!
*** Orang-orang bertepuk tangan sambil berteriak-
teriak memberi semangat pada seorang laki-laki tinggi besar yang berhasil
menjatuhkan lawannya, seorang
laki-laki berbadan besar dengan perut sedikit buncit.
Kepalanya botak dan wajahnya seram. Lebih-lebih ke-
tika dia menyeringai. Telah dua orang yang tadi dibantainya sampai muntah darah.
Tapi menghadapi lawan-
nya kali ini, dia betul-betul sulit sekali menaklukkan.
Bahkan dengan sekali hajar, tubuhnya tadi sempat ter-
jerembab meskipun dia cepat bangkit kembali.
Pertarungan yang diadakan di suatu tempat yang
agak luas di tengah Desa Kedung Balang ini memang
bukan hal yang aneh. Setiap seminggu sekali sering
diadakan adu kekuatan di antara para pesilat yang
berdatangan ke desa ini. Ada seorang hartawan kaya
raya yang akan memberikan hadiah bagi setiap peme-
nang dengan jumlah banyak. Bukan hanya itu, tapi se-
tiap pemenang akan mendapat pekerjaan sebagai cen-
tengnya dengan upah yang tinggi. Hal itu tentu saja
amat menggiurkan bagi setiap pesilat yang pernah
mendengar berita itu untuk menguji kemampuan serta
peruntungannya. Bukan hanya itu yang membuat me-
reka tertarik, melainkan juga karena si hartawan kaya raya itu adakah seorang
adipati yang amat berpenga-ruh. Dia tidak segan-segan mengirimkan centengnya
yang hebat dan berbakat untuk diangkat menjadi pra-
jurit kerajaan. Dan menjadi prajurit kerajaan adalah
dambaan setiap pemuda di masa itu!
"Horeee...!"
"Hidup Ki Bajra Kelana...!" teriak laki-laki bertubuh besar itu menjatuhkan
lawannya untuk yang ketiga
kalinya. Dan menurut peraturan yang telah ditetapkan
apabila seseorang telah jatuh tiga kali, dia dinyatakan kalah. Maka mau tidak
mau lawannya yang bertubuh
besar dengan perut gendut itu harus keluar dari arena dengan wajah menahan malu
menerima ejekan dari
orang-orang yang menonton di pinggir arena itu. Tidak heran bila dia mendapat
ejekan karena apa yang dilakukannya terhadap dua lawannya tadi sungguh kejam
dan tidak mengenal belas kasihan. Lain halnya dengan
laki-laki yang mengalahkannya dan bernama Ki Bajra
Kelana. Laki-laki itu bertanding dengan jujur dan ge-
rakannya ketika menjatuhkan lawan sangat indah dan
sama sekali tidak kasar.
"Siapa lagi yang akan bertanding melawanku?"
tanya Ki Bajra Kelana.
Seorang laki-laki berbaju hitam segera melompat
ke arena. Kulitnya hitam legam dan wajahnya buruk
penuh dengan lubang-lubang seperti bekas penyakit
cacar. Sorot matanya sama sekali tidak bersahabat ke-
tika menatap ke arah Ki Bajra Kelana. Bahkan terlihat bermusuhan.
"Siapakah kau, Kisanak" Baru kali ini aku meli-
hatmu?" tanya Ki Bajra Kelana.
"Namaku Sawung Kampret dan aku datang dari wi-
layah selatan. Nah, kurasa cukup basa-basi ini. Mari
kita mulai!" sahut laki-laki berbaju hitam itu.
Setelah menyelesaikan dengan kata-katanya, Sa-
wung Kampret langsung melompat menyerang lawan
dengan satu tendangan maut ke arah perut Ki Bajra
Kelana. 'Yeaaah...!"
"Uts...!"
Ki Bajra Kelana melompat ke samping untuk
menghindari tendangan lawan sambil menunduk-kan
kepala ketika kaki lawan kembali berkelebat balik. Tubuhnya mencelat ke atas
sambil mengayunkan satu
tendangan ke dagu lawan.
"Hiiih!"
"Hup!"
Sawung Kampret melompat ke belakang sambil
menyilangkan kakinya menjepit pinggang lawan. Na-
mun Ki Bajra Kelana telah mengayunkan sebelah ka-
kinya menangkis.
Tak! "Uhhh...!"
'Yeaaah...!"
Ketika kedua kaki mereka beradu, Sawung Kamp-
ret mengeluh kesakitan. Ki Bajra Kelana menggunakan
kesempatan itu untuk mengayunkan kepalan tangan
kanannya menghantam ke dada lawan. Meski sebelah
kakinya masih terasa sakit, namun dengan gesit Sa-
wung Kampret bergulingan ke kiri. Namun tubuh Ki
Bajra Kelana telah melompat mengikuti dan men-
gayunkan kaki kirinya menghantam tubuh lawan ke
arah pinggang. "Uts...!"
Blap! "Aaakh...!"
Tubuh Sawung Kampret bergulingan menghindari
tendangan. Namun sebelum dia menjauh, mendadak
telapak kaki kanan Ki Bajra Kelana telah menahan da-
danya dan bermaksud menghimpitnya dengan keras,
sehingga Sawung Kampret tersedak dan sulit berna-
pas. "Kalau kau mengaku kalah maka aku akan melepaskan kakiku...," kata Ki Bajra
Kelana tenang. "Eh, ekh..., baiklah aku kalah...," sahut Sawung Kampret.
Mendengar orang itu mengaku kalah, Ki Bajra Ke-
lana langsung melepaskan himpitan kakinya.
Sawung Kampret meninggalkan arena dengan wa-
jah lesu bercampur malu diteriaki oleh para penonton.
Mau tidak mau dia harus mengakui kehebatan Ki Ba-
jra Kelana. Baik dari jurus-jurus ilmu silatnya, tenaga dalam maupun ilmu
meringankan tubuhnya berada
satu tingkat di atasnya.
Sementara itu Ki Bajra Kelana kembali mendapat
tepukan tangan dan sorak-sorai gembira dari orang-
orang yang mengaguminya.
"Hidup Ki Bajra Kelana...!" teriak salah seorang yang diikuti yang lainnya.
'Terima kasih...," sahut Ki Bajra Kelana tersenyum.
"Ayo, siapa lagi yang berani melawan Ki Bajra Kelana?" teriak salah seorang yang
diikuti teriakan-teriakan lainnya.
Namun untuk beberapa saat tidak ada seorang pun
yang berani menantang Ki Bajra Kelana.
"Huuu..., takut! Pengecut..!" teriak seseorang.
"Ayo, siapa lagi" Kalau tidak maka Ki Bajra Kelana akan menjadi pemenangnya!"
teriak salah seorang pengawas pertandingan itu.
"Dia akan mampus!" dengus seorang pemuda ber-
baju kuning keemasan sambil melangkah mendekati
arena pertarungan.
Melihat ada orang yang berani menantang Ki Bajra
Kelana, para penonton bersorak-sorai sambil bertepuk
tangan memberi semangat. ***
"Kisanak, siapa namamu?" tanya Ki Bajra Kelana berusaha bersikap tenang.
Tidak seperti menghadapi kedua lawannya yang
bertampang seram, pemuda di hadapannya ini lebih
rapi dan berwajah tampan. Pakaiannya rapi dan men-
gesankan bahwa dia berasal dari keluarga yang ter-
pandang. Bahkan sepintas lalu pemuda itu mengesan-
kan seorang terpelajar yang sama sekali tidak mengerti apa-apa soal ilmu silat.
Kalaupun ada yang aneh pada
dirinya, hanya cincin yang melekat di jari tengah pada tangan kanannya. Cincin
itu berbentuk kepala tengkorak manusia dengan taring yang mencuat keluar, ta-
jam serta mengerikan. Namun meskipun begitu Ki Ba-
jra Kelana sempat tersentak kaget, dan diam-diam da-
rahnya berdesir kencang ketika bola matanya beradu
pandang dengan pemuda itu. Seperti ada terpancar
hawa kesadisan yang amat menakutkan dan sempat
membuatnya bergidik.
"Aku tidak punya nama, tapi orang-orang memang-
gilku sebagai Setan Seribu Nyawa...," sahut pemuda yang tidak lain dari Danu
Umbara dengan suara lirih.
Mendengar pemuda itu menyebutkan nama itu,
orang-orang yang berada di tempat itu tersentak kaget.
Mereka memang baru sekali ini mengenal nama itu,
tapi siapa yang tidak tahu akan keangkeran dan kese-
raman Hutan Mapag Nyawa. Hal itu membuat mereka
bertanya-tanya, apakah pemuda itu berasal dari hutan
itu" "Hm, jadi kau berasal dan Hutan Mapag Nyawa...?"
tanya Ki Bajra Kelana mencoba menenangkan jan-
tungnya yang berdetak kencang.
Pemuda itu bukannya menjawab pertanyaan Ki Ba-
jra Kelana, melainkan membentak nyaring sambil me-
lompat menyerang lawan.
"Lihat serangan...!"
"Hup!"
Satu kepalan tangan lawan melesat cepat meng-
hantam dada Ki Bajra Kelana. Orang itu tersentak ka-
get ketika merasakan desir angin bertiup kencang seiring dengan gerakan pemuda
itu. Buru-buru dia me-
nangkis. Plak! "Uhhh...!"
Bet! Ki Bajra Kelana mengeluh kesakitan ketika tan-
gannya beradu menahan kepalan tangan lawan. Na-
mun begitu dia masih sempat mengayunkan satu ten-
dangan ke perut lawan. Pemuda itu memiringkan tu-
buh, dan kaki kirinya melakukan tendangan mendatar
ke pinggang lawan.
Plakkk! Des! "Aaakh...!"
Ki Bajra Kelana kembali terkejut melihat kecepatan
lawan bergerak. Dia menangkis sambil mengibaskan
tangan kanannya. Tapi kemudian menjerit kesakitan
ketika lengannya berderak patah, dan tendangan la-
wan terus menghantam tubuhnya hingga terjungkal
beberapa langkah.
Jder! "Uhhh...!"
Setan Seribu Nyawa langsung melompat dan
menghantam telapak kakinya menghajar lawan. Ter-
dengar tanah tempatnya melesak dalam dan tempat di
sekitar itu seakan bergoncang keras akibat tendan-
gannya itu. Masih untung Ki Bajra Kelana sempat me-
nyelamatkan diri dengan berguling-gulingan. Tapi saat itu juga kepalan tangan
kiri lawan menderu keras
menghantam dadanya.
Jder! Krak! "Aaa...!"
Tanpa bisa dielakkan, kepalan tangan pemuda
berbaju kuning keemasan menghantam, sehingga tu-
lang rusuk Ki Bajra Kelana berderak patah. Orang itu
memekik kesakitan ketika tubuhnya mulai bersimbah
darah. Namun pemuda berbaju kuning keemasan itu
seperti tidak mempedulikan keadaan lawan, dia kemu-
dian menendangnya dengan keras sehingga tubuh Ki
Bajra Kelana melayang jauh. Ketika ambruk ke tanah,
nyawanya telah lepas dari raga!
"Sadis...!" desis seseorang.
"Biadab! Dia telah membunuh Ki Bajra Kelana...!"
timpal yang lainnya dengan suara marah.
"Bunuh dia! Bunuuuh...!" teriak seseorang memberi perintah pada yang lainnya.
Maka dengan kemarahan yang meluap-luap, para
penonton yang terdiri dari orang-orang persilatan itu beramai-ramai menyerbu
Setan Seribu Nyawa dengan
mengeluarkan berbagai macam senjata tajam.
"Yeaaah...!"
Pemuda berbaju keemasan itu mendengus sinis.
Dia menggeram dan sambil membentak nyaring, tela-
pak tangan kirinya terkembang ke depan.
"Tikus-tikus busuk, mampuslah kalian...!" teriak pemuda itu dengan marahnya.
Yeaaa...!"
Jlegarrr...! "Aaa...!"
Ketika itu juga melesat selarik sinar kuning keema-
san menerpa para pengeroyok itu. Seperti ledakan petir yang keras, beberapa
orang langsung terpekik kesakitan dengan tubuh ambruk. Daging tubuh mereka me-
leleh seperti disiram air panas. Beberapa orang lagi
yang maju secara bersamaan mengalami nasib yang
sama. Dan Setan Seribu Nyawa itu tertawa keras sam-
bil membantai orang-orang yang berada di tempat itu
tanpa mengenal belas kasihan.
"Hua ha ha...! Mampuslah kalian, mampuslah ka-
lian...!" *** 7 Ketika pemuda itu tengah membantai orang-orang
yang berada di tempat itu seketika terdengar bentakan nyaring.
"Hentikan perbuatanmu...!"
Setan Seribu Nyawa menghentikan sepak terjang-
nya dan cepat berpaling ke belakang. Tidak jauh dari
tempatnya berdiri, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun
bertubuh kurus dengan rambut lebar diikat pita hijau. Di pinggang-nya terselip
sepasang trisula berwarna keperakan.
"Siapa kau, orang tua busuk" Apakah kau pun in-
gin mampus seperti mereka...?" dengus pemuda itu geram.
"Perbuatanmu sungguh keterlaluan! Setelah kau
membunuh muridku, kini kau membantai orang-orang
yang tidak bersalah apa-apa terhadapmu. Aku, Ki Ran-
tung Jagat tidak bisa membiarkanmu seenaknya saja
menyebar keangkaramurkaan di tempat ini!" sahut
orang tua itu dingin.
"Huh, tidak usah banyak bicara lagi! Cabutlah sen-jatamu, dan ingin kulihat


Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apakah mulut besarmu sa-
ma dengan kepandaianmu!" sahut Setan Seribu Nyawa sambil terus melompat
menerjang lawannya.
Ki Rantung Jagat memang bukan orang ter-kenal
dalam dunia persilatan, tapi semua orang di kadipaten ini menghormatinya. Dia
dianggap memiliki kepandaian yang cukup hebat meski tidak sering menonjol-
kan diri. Bahkan jarang sekali terdengar bahwa dia
bertarung dengan seseorang pun. Namun banyak mu-
rid-muridnya yang telah membuktikan kehebatan ilmu
silat orang tua itu. Salah satunya adalah Ki Bajra Kelana. Rasanya Ki Rantung
Jagat tidak akan turun tan-
gan bila muridnya terluka dalam pertarungan jujur.
Dan dalam pertarungan tadi ada larangan untuk
membunuh lawan, sedangkan larangan itu dilanggar
pemuda berbaju kuning keemasan itu seenaknya.
Bahkan dengan kepandaiannya dia telah membantai
orang-orang yang berada di tempat itu. Hal itulah yang mendorong Ki Rantung
Jagat untuk tidak bisa membiarkan pemuda itu berbuat seenak hatinya saja.
"Hiyaaa...!"
Plak! Ki Rantung Jagat menangkis kepalan tangan lawan
yang menderu keras menghantam muka, dada, dan
perutnya dengan cepat. Orang tua itu mengeluh kesa-
kitan ketika kedua tangan mereka beradu. Tidak dis-
angka bahwa lawan memiliki tenaga yang dahsyat luar
biasa. Pantas saja tidak ada seorang pun yang mampu
menghentikannya. Bukan hanya itu, tapi gerakan pe-
muda itu sangat gesit dan sulit diduga, sehingga diam-diam orang tua itu
mengeluh di hati seolah tidak yakin
bahwa dia mampu mengalahkan lawannya.
"Yeaaah...!"
Wut! Des! "Aaakh...!"
Tubuh Setan Nyawa Seribu melompat sambil mela-
kukan tendangan ke muka lawan. Meski Ki Rantung
Jagat yakin bahwa dia tidak akan mampu menahan
tendangan lawan, tapi orang tua itu tidak punya pili-
han sebab sebelah tangan pemuda itu telah berjaga-
jaga untuk menghantamnya bila dia mengelak ke
samping. Sehingga terpaksa Ki Rantung Jagat me-
nangkisnya dengan kedua belah tangannya sambil
mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya. Orang
tua itu mengeluh kesakitan ketika kedua tangannya
diinjak lawan, dan dengan bertumpu pada tangannya
itu, tubuh pemuda itu melenting ke belakang sambil
menghantamkan punggungnya dengan keras. Ki Ran-
tung Jagat berteriak kesakitan. Tubuhnya terjungkal
ke depan sambil menyemburkan darah segar.
Tendangan yang dilakukan lawan keras bukan
main. Orang tua itu merasakan punggungnya seperti
dihantam batang kayu yang besar. Belum lagi dia
sempat bangkit, lawan telah menerjangnya dengan sa-
tu tendangan menggeledek.
"Hiyaaa...!"
Ki Rantung Jagat tersentak. Buru-buru dia bergu-
lingan menyelamatkan diri.
"Uhhh...!"
Srak! Telapak kaki si pemuda itu yang menghantam
tempat kosong membuat tanah melesak sedalam be-
tisnya. Kakinya yang satu lagi menyapu tubuh Ki Ran-
tung Jagat. Orang tua itu langsung mencabut sepa-
sang trisulanya dan menghantamkan ke kaki lawan.
Tapi alangkah terkejutnya dia ketika merasakan bah-
wa senjatanya seperti menghantam dinding baja yang
amat tebal. Desss! "Aaa...!" Ki Rantung Jagat memekik kesakitan ketika ujung kaki lawan menyodok
dadanya dengan cepat
dan sama sekali tidak disangkanya.
Tubuh Ki Rantung Jagat berguling-gulingan sambil
menyemburkan darah kental berkali-kali. Tapi belum
lagi dia memperbaiki kedudukan, lawan telah kembali
menyerang sambil menghantamkan kaki kanannya.
"Hiiih!"
Prak! "Aaakh...!"
Ki Rantung Jagat yang tengah sekarat itu tidak
mampu lagi mengelak. Dia menjerit panjang ketika
ujung kaki lawan menghantam batok kepalanya hingga
remuk. Orang-orang yang berada di tempat itu tersentak
kaget. Sebagian tampak memalingkan muka dengan
wajah ketakutan. Yang lainnya malah berlari-larian
menyelamatkan diri.
"Siapa lagi yang mau menantangku...?" bentak pemuda itu garang.
Dia memandang berkeliling dan menatap orang-
orang yang berada di tempat itu satu persatu. Mereka
hanya bisa menundukkan kepala dengan wajah takut.
Tidak ada seorang pun yang berani buka suara atau
bertindak terhadap kekejaman yang dilakukan pemuda
itu. "Hua ha ha...! Siapa yang berani menantangku la-gi" Ayo maju! Biar kukirim
kalian ke akherat..!" teriak pemuda itu dengan suara menggelegar penuh kesom-
bongan. "Anak muda, perbuatanmu sungguh keterlaluan!
Menyerahlah, karena kau sudah terkepung dan tidak
ada jalan keluar bagimu!" bentak seseorang.
"Heh..."!"
*** Orang-orang yang berada di tempat itu menyingkir
ketika melihat serombongan orang bersenjata lengkap
telah mengurung pemuda berbaju kuning keemasan
itu. Pemuda itu menghitung jumlah mereka yang tidak
kurang dari lima belas orang. Yang berdiri paling dekat dengannya berjarak tujuh
langkah dan bertubuh sedang dengan wajah bersih. Usianya sekitar dua puluh
lima tahun. Agaknya dia merupakan pimpinan orang-
orang ini. Senjatanya sebilah pedang yang masih ter-
genggam berikut warangkanya pada tangan kiri.
"Namaku Setya Jingga, dan aku adalah kepala pa-
sukan pengawal di kadipaten ini. Atas nama kerajaan
kau kutangkap karena mengacau dan membunuh
orang-orang yang tidak bersalah!" kata pemuda itu.
"Kau mau menangkapku" Nah, tangkaplah aku!"
sahut Setan Seribu Nyawa tenang sambil tersenyum
kecil. Setya Jingga memandang sekilas, kemudian me-
nyuruh dua orang anak buahnya membawa tambang
besar untuk meringkus pemuda itu.
"Jangan berbuat macam-macam atau kau akan
kami bunuh di sini juga!" kata Setya Jingga mengancam.
"Hua ha ha...! Kau hendak membunuhku" Laku-
kanlah kalau memang kau mampu!" sahut pemuda
berbaju kuning keemasan yang bernama Danu Umba-
ra itu dengan suara mengejek.
Setya Jingga mendengus pelan.
"Hati-hati...!" katanya memperingatkan dua orang
anak buahnya yang mendekati Danu Umbara dengan
perlahan-lahan.
"Hup!"
Plas!" Salah seorang melemparkan tali laso dan men-jerat
tubuh Danu Umbara. Yang seorang lagi melakukan hal
yang sama. Tapi Danu Umbara diam saja tidak beru-
saha mengelak. Namun ketika keduanya mulai me-
nyentak menjatuhkan tubuhnya, saat itu juga kedua
tangannya meregang dan menangkap kedua utas tali
itu, lalu menyentakkannya dengan kuat sekali.
"Hihhh...!"
"Wuaaa...!"
Saat itu juga kedua pengawal kadipaten itu me-
layang ke atas dan jatuh ke bawah dengan membentur
batang pohon besar yang berada tidak jauh dari tem-
pat itu. Melihat sikap pemuda itu, Setya Jingga langsung
memberi perintah pada anak buahnya yang lain.
"Ringkus dia hidup atau mati...!"
'Yeaaah...!"
Bersamaan itu juga anak buahnya langsung me-
lompat menyerang Danu Umbara dengan senjata ter-
hunus. Sementara beberapa orang lagi menyiapkan tali
laso untuk meringkus pemuda itu.
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus! Majulah kalian semua agar gampang bagiku untuk
meringkus dan mengirim
kalian ke akherat!" kata Danu Umbara sambil tertawa keras.
Kemudian terlihat tubuhnya mencelat ke atas un-
tuk menghindari serangan-serangan lawan. Namun
bersamaan dengan itu, tubuh Setya Jingga mencelat
pula memapaki serangan lawan. Agaknya dia telah
menduga bahwa hal itu akan dilakukan oleh lawan.
Sring! Crak! "Heh"!"
Bukan main terkejutnya Setya Jingga ketika dia
mencabut pedang dan menghajar pinggang lawan.
Setya Jingga merasa bahwa senjatanya membentur
dinding baja yang tebal. Bola matanya ter-belalak saking kagetnya dan seperti
tidak percaya pada pengliha-
tan matanya sendiri.
Prak! "Aaakh...!"
Tapi kesempatan itu justru digunakan lawan untuk
mengayunkan kepalan tangan kanannya dan meng-
hantam batok kepalanya hingga remuk. Pemuda itu
menjerit sesaat. Tubuhnya ambruk ke bawah dengan
bermandikan darah, dan nyawanya putus tidak lama
kemudian. "Setan! Jangan beri dia kesempatan lolos!" bentak salah seorang pengeroyoknya
sambil menebas lawan
dengan senjatanya.
"Uts...!"
"Hiiih!"
Des! "Aaakh...!"
Tiga orang kembali terpekik dengan tubuh roboh
bermandikan darah ketika tubuh Danu Umbara mele-
sat cepat sambil berputar untuk menghindari serangan
lawan. Tahu-tahu saja sebelah kakinya menendang
pada dua orang lawan yang berada di belakangnya. Ke-
tiga orang itu tewas sesaat kemudian!
"Yeaaah...!"
Blarrr...! "Aaa...!"
Danu Umbara tidak berhenti sampai di situ. Tela-
pak kirinya menyambar ke arah lawan sambil menge-
rahkan pukulan mautnya. Sesaat kemudian terlihat
selarik sinar kuning yang berbau busuk menyambar
para pengeroyoknya. Beberapa orang langsung meme-
kik kesakitan dengan tubuh terjungkal bermandikan
darah. Pukulan yang dilancarkan pemuda berbaju
kuning keemasan itu tampaknya tidak main-main dan
mampu membuat tubuh lawan remuk dengan kulit
dagingnya yang terkelupas membusuk.
"Hm, sungguh keji ilmu pukulannya!" desis seseorang yang menyaksikan
pertarungan. Namun seperti yang lainnya, mereka tidak punya
keberanian untuk ikut menyerang pemuda itu. Bahkan
terlihat satu persatu mereka yang berada di tempat itu berlalu dan tidak mau
mencampuri urusan. Dan ketika seluruh pengeroyoknya telah binasa, pemuda itu ti-
dak melihat siapa pun.
"Hi hi hi...! Pada ke mana mereka semua" Tikus-
tikus busuk pengecut! Hua ha ha...! Siapa saja yang
berani melawan Setan Seribu Nyawa akan mampus! Ha
ha ha...!"
Setelah puas berteriak-teriak dan tertawa keras,
Danu Umbara melesat pergi dari tempat itu dengan ke-
cepatan yang sulit diikuti oleh mata.
*** Kedua penunggang kuda itu memacu kudanya
lambat-lambat ketika mereka memasuki mulut sebuah
desa. "Kakang, perutku lapar. Sebaiknya kita men-cari
makanan lebih dulu...!" kata seorang gadis berbaju merah muda yang tidak lain
dari Wulandari.
"Ya, aku pun merasa lapar juga. Kita akan mencari sebuah kedai besar yang
makanannya lezat. Sudah
lama sekali aku tidak makan makanan yang enak," sahut pemuda berbaju kulit
harimau yang tak lain dari
Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.
Setelah berjalan beberapa saat mereka segera me-
nemukan sebuah kedai besar yang merupakan satu-
satunya di desa ini. Tanpa mempedulikan pengunjung
yang lain, keduanya segera bersantap ketika pesanan
mereka telah datang. Dan Bayu betul-betul membukti-
kan keinginannya untuk makan enak dengan meme-
san makanan yang harganya cukup mahal. Sehingga
sepintas lalu terkesan bahwa mereka berdua adalah
dua orang pelancong kaya. Dan hal itu ternyata mena-
rik perhatian pengunjung lainnya. Terutama dua orang
yang duduk paling pojok.
"Kakang Ganda, kau lihat mereka?" tanya seorang yang bertubuh sedang dengan
kumis tebal sambil melirik pada Bayu dan Wulandari.
"Hm...," kawannya yang dipanggil Ganda itu mendengus pelan sambil ikut
memperhatikan ke-dua orang
itu. "Kurasa mereka adalah anak-anak kemarin sore yang baru turun gunung.
Bagaimana menurutmu, Kakang...?" tanya si kumis tebal kembali.
"Kita akan cegat mereka di luar desa. Mereka tentu membawa uang cukup banyak di
kantung-nya...," sahut Ganda dengan wajah menggeram.
"Aku..., eh, maksudku gadis itu cukup cantik, Kakang. Apakah kau tidak berniat?"
tanya si kumis tebal yang bernama Sanjaya sambil mesem-mesem.


Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha...! Kau tahu saja kalau melihat wanita cantik, Sanjaya. He, mana
mungkin akan kubiarkan
begitu saja si cantik itu. Dia betul-betul hebat, dan aku harus memilikinya!"
sahut Ganda sambil tertawa-tawa.
"Kakang, kedua orang di pojok itu mencurigakan
sekali...," bisik Wulandari sambil melirik sekilas terhadap kedua orang laki-
laki yang tengah membicarakan
mereka. "Ya, aku dengar pembicaraan mereka...," sahut Bayu tenang.
"Apa yang mereka percakapkan?"
"Mereka hendak berbuat kotor padamu...."
"Kurang ajar!" Wulandari menggeram dan bermaksud bangkit untuk memberi pelajaran
pada kedua orang itu. Namun Pendekar Pulau Neraka cepat mena-
hannya. "Jangan di sini. Tidak baik dilihat orang. Lagi pula kedai ini akan rusak
berantakan. Nanti saja kita panc-ing keluar. Mereka pasti mengikuti kita...,"
saran Bayu. "Kakang, selera makanku hilang. Mari kita pergi
dari tempat ini...!" sahut Wulandari cepat sambil menarik lengan pemuda itu.
Mau tidak mau terpaksa Bayu harus menuruti
keinginan gadis itu meskipun dia belum selesai ma-
kan. Setelah membayar harga makanan itu, mereka
segera keluar dari kedai dan memacu kudanya lambat-
lambat menuju ke pinggiran desa.
Apa yang diperkirakan Bayu memang benar. Kedua
orang di dalam kedai itu mengikuti mereka dari bela-
kang sambil berkuda dengan tergesa-gesa. Dan ketika
jarak mereka telah dekat, salah seorang membentak
nyaring. "Berhenti...!"
"Hup!"
Begitu mereka selesai membentak maka saat itu
juga tubuh Wulandari melesat ke belakang menyerang
keduanya. Sring! Bet! Sret! "Ukh,..!"
Kedua orang itu tersentak kaget karena tidak men-
gira bahwa gadis itu mampu berbuat demikian. Salah
seorang berhasil melompat ke belakang untuk meng-
hindari sabetan pedang Wulandari, namun yang seo-
rang lagi buru-buru mencabut pedangnya.
Ujung pedang Wulandari lebih cepat lagi menyam-
bar gagang goloknya hingga putus. Kemudian gadis itu
berdiri tegak sambil menjulurkan pedang tipisnya.
"Kalian pikir aku tidak tahu maksud busuk kalian"
Huh, cuma ada satu pilihan bagi kalian yaitu mam-
pus!" dengus gadis itu geram sambil melompat menyerang keduanya dengan gerakan
cepat. Bet! Keduanya pontang-panting menyelamatkan diri da-
ri kejaran senjata lawan. Salah seorang lalu mencabut goloknya dan mencoba
memapaki serangan lawan.
Trang! Cras! "Aaakh...!"
Orang yang bernama Ganda mengeluh kesakitan
ketika kedua senjata mereka beradu. Pada saat yang
hampir bersamaan, ujung pedang Wulandari meng-
gores dadanya hingga dia menjerit kesakitan.
Duk! "Akh...!"
Wulandari melanjutkan serangan dengan menen-
dang tubuh lawan, sehingga terjungkal ke belakang.
Ganda berusaha bangkit, namun ujung pedang ga-
dis itu telah melekat di tenggorokannya.
"Jangan coba-coba bangkit kalau tidak ingin le-
hermu putus!" desisnya geram dengan sikap mengancam.
"Ekh..., ampun. Ampuni aku, Nisanak!" sahut laki-laki itu dengan wajah pucat
ketakutan dan suara ter-
sendat di tenggorokan.
"Huh, penjahat picisan! Apa kalian kira bisa berbuat seenaknya pada orang lain!"
dengus Wulandari
geram. Sementara kawannya yang seorang lagi diam tidak
berkutik menyaksikan Ganda diperlakukan demikian
oleh si gadis. Laki-laki bernama Sanjaya itu berpikir bahwa, ilmu silatnya
berada di bawah kawannya itu,
dan kalau saja Ganda dapat dijatuhkan dengan mu-
dah, apa lagi yang bisa dilakukannya" Lagi pula kalau kepandaian si gadis sudah
sedemikian hebat, bagaimana pula dengan kepandaian pemuda berbaju kulit
harimau itu" Tentu dia lebih hebat dari gadis itu, pikir Sanjaya. Sehingga dia
diam saja dengan wajah ketakutan. "Am..., ampun, Nisanak...," Ganda kembali
memohon dengan wajah yang semakin pucat.
"Huh, orang seperti kalian sebaiknya dilenyapkan saja dari muka bumi ini agar
tidak mengganggu orang
lain...!" geram Wulandari menekan ujung pedangnya agak kuat sehingga laki-laki
itu menjerit-jerit ketakutan. Mendadak pada saat itu terdengar kegaduhan dari
arah desa. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri
sambil berteriak-teriak ketakutan.
'Tolooong...! Tolooong...!"
*** 8 Bayu dan Wulandari tersentak kaget. Keduanya
cepat melompat ke punggung kuda masing-masing dan
meninggalkan kedua orang itu untuk kemudian me-
macu kudanya dengan kencang memasuki desa.
"Kira-kira apa yang terjadi, Kakang?" tanya Wulandari.
"Entahlah, yang jelas kerusuhan besar. Bisa jadi seperti yang dialami Desa
Ngampar Cai beberapa hari
lalu...!" sahut Bayu.
Dalam beberapa saat saja mereka telah berada di
desa dan melihat kerumunan orang-orang yang tengah
mengeroyok seseorang. Namun meskipun dikeroyok
justru para pengeroyoklah yang terpelanting, kemu-
dian bermandikan darah dan tidak berkutik lagi. Pe-
muda itu bermaksud untuk turun tangan ketika saat
itu terdengar bentakan nyaring.
"Mundur semua...!"
Mendengar bentakan itu orang-orang yang tadi
mengeroyok satu persatu mundur dan membuat ling-
karan besar dan luas, sehingga terlihat orang yang mereka keroyok dengan jelas.
Orang itu adalah seorang
pemuda berwajah bersih dengan pakaian rapi berwar-
na kuning keemasan. Senyumnya sinis, dan meski di-
keroyok demikian banyak orang, sama sekali tidak ter-
lihat sedikit pun luka di tubuhnya.
Sementara di depan pemuda itu berdiri tegak seo-
rang laki-laki berbadan besar dengan rambut panjang
digelung ke atas. Orang itu memiliki kumis tebal dan
wajah keras. Otot-ototnya bertonjolan memperlihatkan
kekuatan tenaga yang dimilikinya. Tangan kanannya
menggenggam sebuah golok besar yang berukuran
panjang. Bola matanya yang lebar menatap pemuda di
hadapannya itu dengan tajam.
"Siapa kau sebenarnya dan mengapa mengacau di
wilayah ini"!" bentak laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu dengan
garang. "Siapa pula kau" Dan apa hakmu bertanya pa-
daku?" pemuda berbaju kuning keemasan itu ma-lah balik bertanya tidak kalah
garangnya. "Aku panglima ketiga dari kerajaan yang kebetulan lewat di desa ini. Namaku
Wayan Sudira. Aku punya
hak untuk meringkus pengacau atau membunuh di
tempat ini!" dengus laki-laki bertubuh besar itu geram.
"Orang-orang menyebutku dengan Setan Seribu
Nyawa. Aku berbuat sesuka hatiku dan tidak ada seo-
rang pun yang punya hak melarangku. Siapa yang
mencoba-cobanya bakal mampus di tanganku!" dengus pemuda yang tidak lain dari
Danu Umbara itu dengan
sikap sombong. "Keparat sombong! Kau pikir siapa dirimu bisa berbuat seenaknya di wilayah ini"
Huh, kau harus ku
ringkus hidup-hidup. Dan bila berani melawan, maka
tidak ada jalan lain. Aku harus membunuhmu!" sahut Panglima Wayan Sudira sambil
melompat menyerang
lawan. Tubuhnya melayang sambil mengayunkan satu
tendangan ke dada Danu Umbara. Pemuda itu terke-
keh kecil, sambil memiringkan tubuh dia menangkis
tendangan itu dengan hajaran tangan kanannya.
Plak! "Uhhh...!"
Panglima Wayan Sudira tersentak kaget ketika me-
rasakan tulang kakinya terasa mau remuk menerima
tangkisan lawan. Masih untung dia cepat membuang
diri ketika lawan menyodokkan kepalan tangan kirinya
ke arah dada. "Keparat! Kalau begitu aku terpaksa membunuhmu
di sini!" desis Panglima Wayan Sudira.
Bersamaan dengan itu, dia cepat bangkit dan
menghajar lawan dengan senjatanya.
"Hiyaaa...!"
Bet! Golok besar itu menyambar-nyambar tubuh lawan
dengan menimbulkan desir angin kencang.
Namun dengan gesit Danu Umbara menghinda-
rinya sambil tertawa mengejek.
"Ha ha ha...! Kerahkan seluruh tenagamu untuk
mencari bagian-bagian yang empuk di tubuh-ku!"
Suatu ketika Danu Umbara merasa bahwa dia te-
lah cukup mempermainkan lawan. Ketika Panglima
Wayan Sudira membabat punggungnya, pemuda itu
pura-pura bergerak lambat untuk menghindarinya,
sehingga.... Tak! "Heh"!"
Des! Senjata Panglima Wayan Sudira menghajar telak
dengan sekuat tenaganya ke punggung lawan. Dalam
hati dia berpikir tentulah tubuh lawan setidak-
tidaknya akan terbelah dua. Tapi yang terjadi sungguh membuatnya kaget bukan
main. Golok besarnya seperti menghantam dinding baja. Tangannya bergetar he-
bat. Dalam keadaan demikian Danu Umbara menghan-
tamkan kepalan tangan kanannya ke dada lawan den-
gan telak. "Aaa...!"
'Yeaaah....'"
Panglima Wayan Sudira tersungkur ke belakang
sambil memuntahkan darah segar dari mulutnya. Tapi
saat itu juga tubuh lawan telah melompat menyerang-
nya. Kali ini bisa dipastikan Panglima Wayan Sudira
tidak akan mampu menghindari serangan lawan. Kea-
daannya sangat kritis sekali.
Plak! "Uhhh...!"
"Heh!"
*** Pada saat itulah Pendekar Pulau Neraka me-lompat
untuk memapaki serangan pemuda berbaju kuning
keemasan itu untuk menyelamatkan nyawa Panglima
Wayan Sudira. Danu Umbara bukannya tidak menge-
tahui ada seseorang yang berusaha menahan seran-
gannya. Pemuda itu melipatgandakan tenaganya dan
berbalik menghantam lawan barunya itu. Pendekar Pu-
lau Neraka tersentak kaget ke-tika kedua tangan me-
reka beradu. Baru kali ini dia merasakan tenaga yang
begitu hebat dan kuat serta mampu membuat tangan-
nya bergetar. "Hup! Yeaaah...!"
Bayu melompat ke belakang sambil membuat bebe-
rapa putaran untuk menghindari lawan yang menye-
rang secara gelap. Kedua kakinya menjejak tanah den-
gan ringan. "Hm, sudah kuduga pasti kau...!" dengus Danu Umbara dengan wajah sinis.
"Siapa kau sebenarnya" Apakah di antara kita pernah bertemu sebelumnya?"
"Aku berterima kasih karena kau mengantar-kan
ketiga anak buah Perampok Tangan Darah untuk ku-
bunuh. Lengkaplah sudah mereka menanggung akibat
perbuatan mereka terhadapku!"
"Hm, jadi kaukah yang membantai kawanan pe-
rampok itu?" tanya Bayu meyakinkan.
"Mereka pantas mendapatkan itu...!"
'Tapi perbuatanmu tidak lebih dari mereka. Kau
bahkan sama kejinya. Tidakkah kau sadari bahwa
perbuatanmu selama ini merugikan banyak orang?"
"Huh, apa peduliku terhadap orang-orang?" dengus Danu Umbara geram.
Kemudian dia memandang sinis ke arah Bayu
sambil melanjutkan kata-katanya.
"Sekarang kau menepilah dan jangan campuri uru-
sanku!" katanya dengan sikap mengancam.
"Maaf, aku tidak bisa membiarkan kau se-enaknya
membunuh orang tanpa sebab!"
"Hm, kalau begitu kau termasuk orang yang patut
dilenyapkan!" desis Danu Umbara sambil melesat menyerang lawan.
Pendekar Pulau Neraka yang sejak tadi telah ber-
siaga, tidak urung merasa terkejut juga melihat gera-
kan lawan yang cepat bukan main..
Plak! "Uhhh...!"
Bug! Beberapa kali dia mencoba menangkis tendangan
serta sodokan kepalan tangan lawan, namun saat itu
juga Bayu mengeluh kesakitan. Tenaga dalam lawan
luar biasa, bahkan dia tidak yakin apakah tenaga da-
lamnya mampu mengungguli lawan. Lagi pula lawan-
nya itu seperti tidak takut pertahanannya terbuka.
Dan hal itu yang dimanfaatkan Bayu ketika dia men-


Pendekar Pulau Neraka 43 Setan Seribu Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat satu peluang baik, kaki kanannya dengan cepat
menyambar ke arah perut dan menghantamnya den-
gan tenaga keras.
Duk! Desss! Bayu terkejut bukan main ketika kakinya seperti
menendang dinding baja yang tebal. Namun meski de-
mikian lawan hanya terlihat mundur dua langkah dan
tubuhnya terangkat ke atas, lalu dengan cepat dan
tiada terduga menghantamkan satu tendangan ke da-
da. Pendekar Pulau Neraka mengeluh kesakitan. Tu-
buhnya terjajar ke belakang dengan darah kental mele-
leh di sudut bibirnya.
Tendangan yang dilakukan Danu Umbara bukan
main dan seolah meremukkan seluruh isi dadanya.
Bayu menggeram kesal ketika tubuh Danu Umbara
kembali melenting sambil membentak keras dan ber-
maksud menghabisinya.
"Yeaaah...!"
Sring! Merasa bahwa dengan menggunakan jurus-jurus
tangan kosong pemuda itu tidak menang, dia lalu me-
lontarkan Cakra Mautnya yang meluncur deras mem-
babat tubuh lawan dengan cepat. Tapi bukan main ka-
getnya Bayu ketika melihat tubuh lawan sama sekali
tidak mampu dilukai oleh Cakra Mautnya.
"Hiyaaa...!"
"Uts...!"
Pendekar Pulau Neraka cepat bergulingan ketika
telapak kaki lawan menggedor tubuhnya. Tubuhnya
melenting cepat ketika merasakan sambaran kaki la-
wan yang satu lagi menyapu tubuhnya.
'Yeaaah...!"
Danu Umbara membentak nyaring sambil mener-
jang tubuh lawan yang tengah melompat. Agaknya dia
sama sekali tidak mau memberi kesempatan sedikit
pun agar lawan lolos.
"Uh, manusia macam apa dia" Cakra Mautku
mampu menembus baja sekalipun, tapi tidak mampu
melukai tubuhnya. Kelihatannya dia sama sekali tidak
terpengaruh oleh kehebatan Cakra Mautku...!" desis Bayu mengeluh pelan.
Apa yang dikhawatirkan Pendekar Pulau Neraka
memang kenyataannya demikian. Beberapa kali tubuh
Danu Umbara disambar Cakra Mautnya, tapi pemuda
berbaju kuning keemasan itu sama sekali tidak mera-
sakan perubahan apa-apa pada tubuhnya. Dia tetap
menyerang dengan ganas.
"Hm, kulit tubuhnya memang tidak mempan oleh
senjataku ini, tapi pakaiannya robek. Akan kulihat
apakah dia manusia yang mempunyai malu atau ti-
dak...," gumam Bayu seperti mempunyai akal untuk
mengalahkan lawan.
"Yeaaah...!"
Sring! Pendekar Pulau Neraka membentak nyaring sambil
melemparkan Cakra Mautnya dengan kuat ke arah tu-
buh lawannya. Danu Umbara sama sekali tidak ber-
maksud menghindar karena merasa yakin bahwa sen-
jata lawan sama sekali tidak mampu melukainya.
Bret! Bret! Bret!
Dengan kecepatan yang luar biasa Cakra Maut itu
mencabik-cabik seluruh pakaian yang melekat di tu-
buh lawan. "Ahhh...!"
Danu Umbara tersentak kaget, bukan karena di-
rinya yang kini hampir tidak berpakaian melainkan ka-
rena sebuah benda yang terpental dari balik pinggang-
nya. Sebuah keris kecil yang melesat cepat ke atas
akibat terbentur dengan Cakra Maut Pendekar Pulau
Neraka. Dengan cepat Danu Umbara melompat ber-
maksud mengejarnya tanpa mempedulikan lawannya.
Pendekar Pulau Neraka yang telah cukup berpengala-
man tidak membiarkannya begitu saja, maka dengan
mengerahkan kecepatan bergeraknya, dia menyambar
keris kecil yang terpental itu lebih dulu dari lawan.
Danu Umbara tersentak kaget. Dia memandang
marah pada Pendekar Pulau Neraka.
"Berikan padaku! Itu milikku! Berikaaan...!" bentaknya dengan sikap panik.
"Hm, agaknya benda ini amat berharga sekali ba-
gimu." "Berikan padaku kataku! Keparat! Kubunuh kau!
Kubunuh kau...!" geram Danu Umbara sambil melom-
pat menyerang lawan.
Pendekar Pulau Neraka kini merasa berada di atas
angin melihat kepanikan lawan. Sambil melompat ke
samping, tubuhnya melesat menyambar tenggorokan
lawan dengan menyodorkan ujung keris kecil di tan-
gannya itu. Dan....
"Aaakh...!"
Danu Umbara menjerit seperti orang tercekik dan
buru-buru dia melompat ke belakang. Wajah-nya pu-
cat ketakutan, dan matanya melotot garang meman-
dang ke arah lawan.
"Jahanam keparat! Berikan keris itu padaku! Berikan cepaaat... atau kubunuh
kau!" teriaknya berkali-kali dengan nada mengancam.
*** Tubuh Danu Umbara kembali melompat menerjang
lawan sambil menghantam pukulan mautnya dengan
tenaga dalam yang dahsyat. Bumi seperti berguncang,
dan rumah-rumah yang berada di dekat tempat itu
ambruk. Orang-orang yang menonton pertarungan itu
menyingkir jauh-jauh ketika selarik sinar kuning kee-
masan yang berbau busuk meliuk-liuk menyambar tu-
buh Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!" bentak Danu Umbara dengan se-gala kemarahan yang meluap-luap.
"Maaf. Aku tidak bisa membiarkan kau hidup un-
tuk mengumbar nafsu setanmu dan mengacau see-
nakmu saja...," gumam Pendekar Pulau Neraka.
Beberapa saat kemudian tubuh Pendekar Pulau
Neraka berkelebat cepat menghindari serangan lawan.
Dengan mengerahkan kemampuan bergeraknya, dia
mengeluarkan tenaga dalam sepenuhnya untuk meng-
hantam wajah lawan dengan tenaga tendangan keras.
Danu Umbara tersentak kaget dan buru-buru men-
gangkat kedua tangan untuk menangkis. Tapi Bayu
menggunakan tangan lawan untuk membuat tubuh-
nya jungkir balik dan melakukan serangan yang se-
sungguhnya. Dan....
Crab! "Aaa...!"
Danu Umbara menjerit setinggi langit ketika keris
kecil di tangan Pendekar Pulau Neraka menancap ke
jantungnya. Tubuhnya ambruk menggelepar-gelepar di
tanah. Bayu menunduk sedih. Dia segera mengetahui ke-
lemahan lawan ketika Danu Umbara kelihatan takut
sekali terhadap kerisnya itu. Maka dengan keris itu dia merasa yakin mampu
menghabisi lawan.
"Wualah, pertarungan sudah selesai!" teriak seseorang.
"Siapa yang kalah?" tanya kawannya.
"Hoiii, setan itu telah mati...!" teriak yang lainnya sambil menghampiri sesosok
tubuh. Orang-orang langsung mengerubungnya, namun
saat itu juga mereka berpaling cepat sambil menutup
hidungnya. "Uh, bau! Dagingnya membusuk dan mengeluarkan
bau yang menusuk hidung!" teriak seseorang.
"Siapa pemuda tadi yang membunuhnya?" tanya salah seorang pada kawannya.
'Tidak tahu. Tapi dengar-dengar dia Pendekar Pu-
lau Neraka."
'Pendekar Pulau Neraka" Wah, mana dia orang-
nya..."' "Tidak ada! Tadi kulihat dia masih berdiri di tempat ini, tapi..., kok sekarang
sudah hilang, ya...?"
Orang-orang desa itu sibuk mencari-cari pemuda
berbaju kulit harimau yang telah mengalahkan Setan
Seribu Nyawa. Pendekar Pulau Neraka dan Wulandari
telah berada jauh dari desa itu. Begitu urusannya selesai, Bayu segera
menyelinap dan pergi dari tempat itu.
Namun demikian hatinya masih sempat bergetar me-
nyaksikan peristiwa terakhir yang menimpa lawannya
tadi. Ingatannya masih terbayang ketika tubuh pemu-
da itu diselubungi cahaya kuning, dari ketika sinar itu hilang maka cincin di
jari serta keris kecil yang menembus jantungnya lenyap seketika tanpa bekas
sebe- lum tubuhnya berangsur-angsur membusuk!
SELESAI Scan/E-book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pedang Ular Merah 7 Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien Sepasang Garuda Putih 10
^