Pencarian

Perempuan Bertopeng Emas 2

Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas Bagian 2


Neraka di ruangan ini. Namun rasa keterkejutannya bisa cepat dis-embunyikan, dan
cepat memberi senyum yang
begitu manis. Dan ini membuat Bayu terpaksa
harus menelan air liurnya sendiri melihat senyuman yang begitu manis dari wanita
cantik ini. Entah kenapa, mendadak saja Bayu merasakan ha-
tinya jadi tidak menentu.
"Kau belum tidur, Tarsih?" tanya Bayu mengu-
rangi ketidakmenentuan hatinya.
"Aku baru dari pergi," sahut Tarsih. "Ini baru
mau ke kamar lagi. Kakang sendiri, kenapa belum tidur?"
"Udara panas malam ini. Aku sulit memejam-
kan mata," sahut Bayu sekenanya.
"Memang beberapa hari ini cukup panas uda-
ranya. Mungkin sebentar lagi akan datang musim
hujan," balas Tarsih.
Entah sengaja atau tidak, Tarsih mengipaskan
dadanya dengan belahan bajunya sendiri. Sehing-
ga, dua gundukan putih yang begitu indah jadi
sedikit terbuka. Maka seketika tatapan mata
Bayu jadi tidak berkedip menyorotinya. Kembali
Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus menelan
ludahnya sendiri.
"Tidurlah...," ujar Bayu seraya hendak melang-
kah meninggalkan wanita ini.
Tapi belum juga mengayunkan kakinya, Tarsih
sudah mencekal pergelangan tangan Pendekar
Pulau Neraka itu. Dan seketika itu juga mereka
jadi saling berpandangan dengan sorot mata yang begitu sukar diartikan. Perlahan
Tarsih mendekati pemuda ini, hingga tubuhnya begitu dekat
hampir merapat. Saat itu juga, Bayu mencium
bau harum yang menyebar dari tubuh wanita ini.
Dan jantungnya pun semakin bertambah cepat
berdetak. "Kakang...," terdengar desah suara Tarsih.
Perlahan Tarsih mulai mendekatkan wajahnya
ke wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Dan
hembusan napasnya mulai terasa hangat, mener-
pa kulit wajah Bayu. Dan pemuda itu merasakan
tenggorokannya jadi kering seketika.
Tarsih memang cantik. Bentuk tubuhnya juga
bisa membuat setiap mata laki-laki yang meman-
dangnya tidak akan berkedip. Dalam pandangan
mata laki-laki, Tarsih memang sangat menggai-
rahkan. Dan Bayu tidak memungkiri kelebihan
yang ada pada diri wanita ini.
Tapi ketika Tarsih hendak melingkarkan tan-
gannya ke leher, Bayu cepat mencekalnya dan
menurunkan tangan itu lagi. Kakinya segera dita-
rik ke belakang satu langkah, hingga terdapat jarak yang cukup untuk
menghentikan rayuan wa-
nita ini. "Aku tamu di sini, Tarsih. Tidak baik berbuat
seperti itu," ujar Bayu mencoba menolak halus.
"Kenapa..." Semua laki-laki selalu mengingin-
kan begitu padaku. Apa aku sekarang tidak can-
tik lagi, Kakang...?" jelas sekali kalau nada suara Tarsih tersinggung atas
penolakan Pendekar Pulau Neraka.
"Kau sangat cantik. Bahkan tidak ada wanita
lain di desa ini yang bisa menandingi kecanti-
kanmu, " puji Bayu tidak ingin membuat wanita
itu semakin merasa tersinggung.
"Tapi, kenapa kau menolakku, Kakang?" tanya
Tarsih ingin tahu.
"Bukannya menolakmu, Tarsih. Tapi aku...,
aku...," terasa sulit bagi Bayu untuk mengemu-
kakannya. "Ayo ke kamarku, Kakang. Tidak ada yang bisa
mengganggu di sana," bujuk Tarsih mengajak.
Wanita itu kembali mencekal pergelangan tan-
gan Pendekar Pulau Neraka. Dan entah kenapa,
kali ini Bayu jadi sulit menolak lagi ajakan wanita ini. Seperti kerbau yang
dicucuk hidungnya, Bayu mengikuti saja ayunan langkah kaki wanita ini.
Dan mereka pun masuk ke dalam kamar yang
langsung tertutup pintunya.
*** 5 Pendekar Pulau Neraka menggeliat saat mera-
sakan kehangatan sinar matahari yang menyirami
seluruh tubuhnya. Seketika Bayu jadi terkejut,
begitu membuka matanya. Ternyata dirinya telah
berada di dalam sebuah kamar yang sangat in-
dah, bagai kamar seorang putri bangsawan. Cepat pemuda berbaju kulit harimau ini
menggerinjang bangkit dari pembaringan yang beralaskan kain
sutera merah muda itu. Dan ketika kakinya hen-
dak terayun keluar, pintu kamar itu sudah terbu-ka. Ternyata dari luar kamar ini
Tarsih muncul bersama senyumnya yang manis tersungging di
bibir. Wanita itu langsung masuk dan menutup
kembali pintunya.
"Kau sudah bangun, Kakang...?" tegur wanita
itu lembut Bayu hanya diam saja memandangi. Sedang-
kan yang dipandangi seperti tidak peduli. Diam-
bilnya guci arak dari atas meja kecil di sudut kamar ini. Lalu isinya dituangkan
ke dalam mang- kuk perak. Dengan bibir yang selalu merah terus menyunggingkan senyum, mangkuk
perak itu disodorkan pada Pendekar Pulau Neraka.
"Minumlah, Kakang. Arak ini bisa memulihkan
kembali tenagamu, setelah terkuras semalam,"
ujar Tarsih tetap lembut suaranya.
Bayu menerima mangkuk perak itu, dan lang-
sung meneguk habis isinya. Dan Tarsih mengam-
bil gelas yang sudah kosong itu, lalu meletakkannya di atas meja kecil di sudut
ruangan. Kemu- dian dia duduk di tepi pembaringan. Sengaja tangannya menyingkapkan kain yang
dikenakan, hingga menampakkan sepasang paha yang berku-
lit putih dan indah sekali.
Bayu sempat melirik sedikit ke arah paha yang
menantang itu. Seketika terbayang kembali se-
mua yang sudah dilakukannya di dalam kamar
ini semalam bersama Tarsih. Wanita itu bukan
hanya memiliki wajah cantik dan tubuh indah
menggairahkan, tapi juga memiliki gairah yang
begitu menggelora. Bahkan Bayu merasakan di-
rinya bagai berada dalam taman kayangan para
dewi yang dikelilingi ribuan bidadari cantik.
Bayu memang sulit untuk bisa melupakannya,
bagaimana terlena dalam belaian asmara yang di-
bangkitkan wanita ini semalam. Dan memang,
Tarsih begitu menggairahkan. Bahkan pagi ini ju-ga kelihatan lebih cantik dan
menggairahkan. Detak jantung Bayu jadi semakin tidak beraturan,
saat Tarsih mulai membuka bagian atas pakaian-
nya. Sehingga, belahan dadanya terlihat begitu jelas dan indah.
"Kau begitu gagah sekali semalam, Kakang.
Rasanya aku ingin selalu dekat bersamamu," ujar Tarsih lembut, disertai senyum
menggairahkan tersungging di bibir yang selalu basah memerah.
"Hhh...!" Bayu hanya menghembuskan napas
panjang saja. Pendekar Pulau Neraka tidak tahu lagi, apa
yang harus dilakukannya terhadap wanita ini. Ingin rasanya dia melawan gairah
yang mulai menggelora dalam rongga dadanya. Tapi semakin
keras berusaha memberontak, semakin besar
nyala api gairahnya. Dan tiba-tiba saja, Bayu merasakan pandangannya jadi nanar.
Kepalanya pun terasa jadi pening. Tubuhnya terasa jadi limbung. Dan belum juga bisa
menyadari apa yang
tengah terjadi, kesadarannya pun seketika meng-
hilang. Yang ada pada dirinya kini hanya gairah yang begitu membara, menggelegak
dalam dada. Kini Bayu tidak kuasa lagi bertahan. Kakinya mulai terayun menghampiri wanita
yang kini sudah
terbaring di atas ranjang dengan pakaian seten-
gah terbuka. "Ayo, Kakang. Kita ulangi lagi kenikmatan se-
malam...," desah Tarsih pelan.
Sebentar saja Bayu berdiri di sisi pembaringan
ini, kemudian menjatuhkan dirinya di atas pem-
baringan. Terlihat bergetar tangannya saat bergerak menyusuri sebentuk paha
putih yang mulus
tanpa cacat. Sementara Tarsih mulai merintih
dan mendesah, merasakan lembutnya belaian ja-
ri-jari tangan pemuda ini yang merayap semakin
naik mendekati pangkal pahanya.
"Ah, Kakang...," desah Tarsih lirih.
Wanita itu tidak dapat lagi menguasai gejolak gairahnya. Langsung direngkuhnya
tubuh Pendekar Pulau Neraka ke dalam pelukannya. Sementara, Bayu sendiri sudah
tidak lagi ingat akan dirinya. Seluruh tubuh dan pikirannya sudah tertutup
gejolak gairah yang begitu membara tanpa dapat dibendung lagi. Dan
di dalam kamar ini, peristiwa semalam kembali teru-lang. Tidak ada lagi kata-
kata yang terucap. Semua berganti desahan dan rintihan lirih, disertai dengusan
napas memburu bagai kuda pacu.
*** "Oh...."
Bayu merintih lirih sambil memegangi kepa-
lanya yang terasa begitu berat dan pening. Beberapa kali kepalanya digelengkan,
mencoba men- gusir rasa pening yang menyengat seluruh kepa-
lanya. Dan perlahan kelopak matanya mulai di-
buka. Seketika Pendekar Pulau Neraka jadi tersentak
kaget setengah mati, begitu mendapati dirinya ki-ni berada di dalam sebuah kamar
berdinding bilik bambu. Dan tubuhnya terbaring di atas dipan
bambu, hanya beralaskan selembar tikar lusuh.
"Kau sudah bangun, Bayu...?"
"Oh..."!"
Bayu kembali terkejut begitu mendengar suara
yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Cepat kepalanya berpaling ke arah
datangnya suara itu.
Bergegas pemuda itu bangkit duduk begitu meli-
hat seorang laki-laki tua berjubah putih duduk di atas kursi bambu tidak jauh
dari dipan ini.
"Ki Dewa Bayangan Putih...," desis Bayu lirih, langsung mengenali orang tua
berjubah putih itu.
"Jangan banyak bicara dulu, Bayu. Kerahkan
hawa murnimu. Atur seluruh peredaran darah-
mu. Bersemadilah barang sebentar," ujar Dewa
Bayangan Putih memberi petunjuk.
Bayu menuruti saja kata-kata orang tua itu.
Segera diambilnya sikap bersemadi. Dan kelopak
matanya langsung terpejam rapat. Beberapa kali
ditariknya napas panjang-panjang dan dihem-
buskannya perlahan-lahan. Seluruh pikiran dan
jiwanya dikosongkan. Perlahan Bayu merasakan
peredaran darahnya kembali pulih seperti semula.
Dan rasa pening pun berangsur menghilang, begi-
tu hawa murninya dikerahkan dari pusat tubuh-
nya. Hanya sebentar saja Bayu bersemadi untuk
memulihkan keadaan tubuhnya. Dan kelopak ma-
tanya kembali dibuka. Pandangannya langsung
tertuju pada Dewa Bayangan Putih yang masih te-
tap duduk di kursi, dekat pintu kamar berdinding bilik bambu ini. Sebentar Bayu
mengedarkan pandangan, mengamati kamar ini. Dia ingat, ka-
lau sekarang berada di rumah yang ditempati
Dewa Bayangan Putih, dan letaknya tidak jauh
dari Desa Caringin.
"Apa yang terjadi padaku, Ki?" tanya Bayu
langsung ingin tahu.
"Seharusnya kau sudah tahu, apa yang terjadi
pada dirimu, Bayu. Aku menemukanmu tergele-
tak di tepi hutan. Hampir saja tubuhmu habis
dimakan burung-burung bangkai. Untung saja
aku segera datang dan membawamu ke sini," ujar
Dewa Bayangan Putih.
Bayu jadi terdiam. Dicobanya untuk mengingat
semua peristiwa yang sudah dialaminya selama
ini. "Ingat-ingatlah, Bayu. Apa saja yang kau alami
selama berada di Desa Caringin," ujar Dewa
Bayangan Putih, mencoba membantu ingatan
Pendekar Pulau Neraka.
Sedikit demi sedikit, Bayu mulai bisa merang-
kai satu persatu peristiwa yang dialaminya sela-ma berada di Desa Caringin. Dan
yang terakhir diingatnya, dia berada di dalam sebuah kamar indah bersama Tarsih, wanita cantik
pemilik kedai di ujung jalan Desa Caringin. Hanya sampai di si-tu saja Bayu bisa
mengingatnya. Selebihnya, dia tidak tahu lagi apa yang telah terjadi pada
dirinya. "Di mana Tiren, Ki?" tanya Bayu begitu teringat monyet kecilnya.
"Aku hanya menemukan dirimu saja, Bayu.
Aku tidak tahu, di mana monyet kecilmu itu," sahut Dewa Bayangan Putih.
"Oh...," Bayu melenguh panjang sambil meme-
gangi kepalanya.
"Ada apa, Bayu?" tanya Dewa Bayangan Putih.
"Tiren pasti masih bersama mereka," ujar Bayu
pelan, seperti bicara untuk diri sendiri.
"Siapa mereka?" tanya Dewa Bayangan Putih
lagi. "Tarsih dan pelayan tuanya," sahut Bayu ma-
sih dengan suara pelan.
"Tarsih...?"
"Ya..., wanita pemilik kedai yang ada di ujung
jalan desa. Aku sempat menginap semalam di sa-


Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

na. Dan Tiren kutinggalkan di sana waktu menge-
jar Perempuan Bertopeng Emas. Ah...! Aku tidak
tahu lagi, apa yang terjadi pada diriku...," terdengar lirih suara Bayu.
"Barangkali monyetmu itu masih ada di sana,
Baya. Sebaiknya, cepat kembali ke sana sebelum
terjadi sesuatu padanya. Kau sangat menyayan-
ginya, bukan...?" ujar Dewa Bayangan Putih men-
dorong semangat Pendekar Pulau Neraka.
"Aku memang harus ke sana, Ki," sahut Bayu
mantap. Cepat Pendekar Pulau Neraka turun dari dipan
bambu ini. Dewa Bayangan Putih juga bangkit
berdiri dari kursinya. Sebentar Bayu mengamati
keadaan dirinya. Hatinya jadi lega begitu melihat Cakra Maut masih tetap
menempel di pergelangan
tangan kanannya. Senjata itu memang tidak bo-
leh tercecer sembarangan dari Pendekar Pulau
Neraka. "Aku pergi dulu, Ki," pamit Bayu.
"Hati-hatilah. Mungkin kau akan mendapat
rintangan di sana," ujar Dewa Bayangan Putih
menasihati. Bayu tersenyum dan menganggukkan kepala
sedikit Kemudian dia melangkah keluar dari da-
lam kamar, dan terus berjalan keluar dari rumah kecil yang begitu sederhana ini.
Sementara, Dewa Bayangan Putih mengantarkan hanya sampai di
ambang pintu saja. Dan Bayu sendiri terus berjalan menuju Desa Caringin tanpa
menoleh lagi. Sementara Dewa Bayangan Putih masih tetap
berdiri di ambang pintu memandangi kepergian
Pendekar Pulau Neraka ke Desa Caringin. Sampai
punggung pemuda itu lenyap dari pandangan,
Dewa Bayangan Putih masih tetap berada di am-
bang pintu rumah kecil yang ditempatinya.
"Anak Muda...," desah Dewa Bayangan Putih
seraya menggelengkan kepala sedikit beberapa
kali. Perlahan orang tua itu memutar tubuhnya ber-
balik dan hendak masuk kembali ke dalam rumah
ini. Tapi belum juga kakinya terayun melangkah, mendadak saja....
Wusss...! "Heh..."! Hap!"
Dewa Bayangan Putih cepat memiringkan tu-
buhnya ke kiri, begitu terasa adanya hembusan
angin yang cukup kencang dari arah belakang.
Dan seketika itu juga, tongkatnya bergerak cepat ke sebelah kanannya. Tepat pada
saat itu, terlihat kilatan cahaya kuning keemasan meluncur deras
dari arah belakang orang tua ini Dan....
Trak! "Hup...!"
Dewa Bayangan Putih cepat melompat ke bela-
kang sambil berputaran dua kali di udara, begitu tongkatnya terasa membentur
sebuah benda yang
sangat keras dan berwarna kuning keemasan. Se-
dangkan benda berbentuk bulat sebesar mata
kucing itu kembali terpental balik ke belakang.
Dan tepat ketika benda itu menghantam pohon
hingga tumbang, Dewa Bayangan Putih manis se-
kali menjejakkan kakinya di depan rumah yang
ditempatinya selama ini.
"Hik hik hik...!"
"Perempuan Bertopeng Emas...," desis Dewa
Bayangan Putih, begitu tiba-tiba terdengar tawa mengikik yang menggema bagai
datang dari segala arah.
Dan belum lagi orang tua itu bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja terlihat
sebuah bayangan kuning keemasan berkelebat begitu cepat bagai kilat Tahu-tahu,
di depan Dewa Bayangan Putih sudah
berdiri sesosok tubuh ramping berbaju kuning
keemasan. Wajahnya tertutup topeng berwarna
kuning seperti terbuat dari emas, sehingga sulit dikenali.
"Mau apa kau datang ke sini?" terasa begitu
dingin nada suara Dewa Bayangan Putih.
"Seharusnya kau sudah tahu, untuk apa aku
datang ke sini Dewa Bayangan Putih," sahut Pe-
rempuan Bertopeng Emas tidak kalah dingin.
Dewa Bayangan Putih jadi terdiam. Sudah bisa
ditebak, kemunculan Perempuan Bertopeng Emas
ini tentu untuk mencabut nyawanya. Tapi tentu
saja selembar nyawanya tidak ingin diserahkan
begitu saja. Walaupun disadari kalau kepandaian Perempuan Bertopeng Emas itu
belum bisa diper-kirakannya.
"Kau belum pantas menantangku, Nisanak.
Kepandaian yang kau miliki hanya untuk cacing-
cacing tanah tak berguna," sengaja Dewa Bayan-
gan Putih memanasi.
"Hik hik hik...!"
Tapi kata-kata Dewa Bayangan Putih hanya di-
tanggapi dengan suara tawa mengikik kecil. Se-
mentara, Dewa Bayangan Putih sendiri sudah
menggenggam erat tongkatnya di tangan kanan.
Sementara ujung tongkatnya menekan kuat ke
tanah, tepat di ujung jari kakinya. Sorot matanya terlihat begitu tajam, tidak
berkedip memandangi wanita bertopeng kuning keemasan yang berada
sekitar setengah batang tombak di depannya.
"Sebutlah nama leluhurmu sebelum kau ter-
bang ke neraka, Dewa Bayangan Putih," desis Pe-
rempuan Bertopeng Emas sinis.
"Aku khawatir, justru kau yang akan menggali
lubang kuburmu sendiri, Nisanak," sambut Dewa
Bayangan Putih, tidak kalah sinisnya.
"Hik hik hik! Ajalmu sudah tiba, Dewa Bayan-
gan Putih. Bersiaplah, yeaaah...!"
Sambil membentak nyaring, Perempuan Berto-
peng Emas langsung saja mengebutkan selen-
dangnya yang berwarna kuning keemasan dengan
kecepatan begitu tinggi. Selendang yang kelihatan halus dan lembut itu meluruk
deras bagai seekor naga menyambar ke arah kepala Dewa Bayangan
Putih. "Haiiit...!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepa-
la, ujung selendang itu lewat di samping kepala Dewa Bayangan Putih. Lalu cepat
sekali tongkat putihnya diangkat, dan langsung disabetkan ke
bagian tengah selendang itu. Tapi tanpa diduga
sama sekali, selendang itu bisa meliuk indah
menghindari sabetan tongkat kayu orang tua ini.
Dan dengan kecepatan sukar diikuti pandangan
mata biasa, selendang kuning keemasan itu mele-
sat bagai kilat mengarah ke kaki orang tua ini.
"Hup! Yeaaah...!"
*** Dewa Bayangan Putih cepat melesat ke atas,
menghindari sambaran selendang kuning keema-
san. Tapi begitu berada di atas tanah, tangan kiri Perempuan Bertopeng Emas
sudah bergerak cepat, mengibas ke depan. Maka seketika itu juga, tiga buah benda
bulat sebesar mata kucing berwarna kuning keemasan, melesat ke arah tubuh
orang tua ini. "Hap! Yeaaah...!"
Dewa Bayangan Putih cepat memutar tongkat-
nya. Sehingga tiga buah benda bulat kuning kee-
masan itu berpentalan balik, begitu membentur
putaran tongkat orang tua ini. Manis sekali Dewa Bayangan Putih meluruk turun,
dan menjejakkan
kakinya kembali di tanah. Namun belum juga tu-
buhnya bisa ditegakkan, Perempuan Bertopeng
Emas sudah menyerang cepat bagai kilat dengan
selendangnya lagi.
"Hiyaaa...!"
Bet! Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Dewa
Bayangan Putih untuk menghindari serangan se-
lendang kuning keemasan itu. Maka langsung
tongkatnya diputar dan dihantamkannya tepat di
bagian ujung selendang itu.
Rrrt...! "Heh..."!"
Dewa Bayangan Putih jadi terkejut setengah
mati, begitu tiba-tiba tongkatnya terbelit ujung selendang emas. Cepat
tongkatnya ditarik disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi sungguh tidak
diduga sama sekali, belitan selendang itu
demikian kuat. Sehingga sulit dilepaskannya.
Dan belum juga Dewa Bayangan Putih bisa
menguasai tongkatnya, Perempuan Bertopeng
Emas sudah melesat cepat seperti kilat sambil
berteriak nyaring.
"Hiyaaat..!"
"Upths...!"
Cepat-cepat Dewa Bayangan Putih membanting
tubuhnya ke tanah. Dan dia langsung bergulin-
gan beberapa kali menghindari tendangan meng-
geledek yang dilepaskan Perempuan Bertopeng
Emas. "Hup!"
Kembali dengan gerakan cepat Dewa Bayangan
Putih melompat bangkit berdiri. Namun pada saat itu juga, selendang yang masih
membelit tongkatnya bergerak memutar begitu cepat, sehingga De-
wa Bayangan Putih tidak sempat lagi menyada-
rinya. Dan.... Rrrt! "Ikh...!"
Dewa Bayangan Putih jadi terpekik kaget se-
tengah mati, begitu tahu-tahu seluruh tubuhnya
sudah terlilit selendang Perempuan Bertopeng
Emas ini. Dan pada saat itu juga, wanita ini sudah melompat sambil melepaskan
satu pukulan menggeledek yang begitu keras disertai pengera-
han tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Diegkh! "Akh...!"
Dewa Bayangan Putih kontan menjerit, begitu
pukulan yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi menghantam tepat di dadanya. Seke-
tika tubuhnya, terpental jauh ke belakang dengan tubuh masih terbelit selendang
yang begitu kuat Beberapa kali orang tua itu bergulingan di tanah.
Dan belum juga bisa membebaskan diri dari liba-
tan selendang, Perempuan Bertopeng Emas sudah
melancarkan serangan dahsyat lagi, sambil berteriak keras menggelegar.
"Mampus kau! Yeaaah...!"
Prak! "Aaa...!"
Seketika jeritan panjang yang menyayat pun
terdengar, begitu pukulan yang dilancarkan si Perempuan Bertopeng Emas
menghantam kepala
Dewa Bayangan Putih. Tampak kepala orang tua
itu retak, dan darah mengucur keluar dengan de-
ras sekali. Dewa Bayangan Putih menggelepar di tanah
dengan tubuh masih terlilit selendang. Sedangkan darah semakin banyak keluar
dari kepalanya yang pecah. Sementara, Perempuan Bertopeng
Emas itu sudah mengambil ujung selendangnya.
Dan hanya sekali sentakan saja, libatan selen-
dang pada tubuh Dewa Bayangan Putih terlepas
seketika. "Hih! Yeaaah...!"
Perempuan Bertopeng Emas tidak berhenti
sampai di situ saja saat melihat lawannya masih bisa bergerak, walaupun sudah
tidak mungkin dapat bangkit berdiri lagi. Sambil membentak
nyaring, selendangnya dikebutkan. Seketika
ujung selendang itu tepat menghantam batang
leher Dewa Bayangan Putih.
Bret! Tidak ada lagi jeritan yang terdengar. Tampak
leher laki-laki tua itu terpenggal hingga hampir buntung, membuat darah makin
deras keluar. Dewa Bayangan Putih semakin keras menggelepar
bagai ayam disembelih. Namun hanya sebentar
saja bergerak, sesaat kemudian sudah mengejang
kaku dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah
terus mengucur menggenangi tanah di sekitar tu-
buhnya. "Hik hik hik...!"
Perempuan Bertopeng Emas tertawa mengikik
melihat lawannya dapat mudah ditaklukkan. Lalu
selendangnya dililitkan kembali di pinggangnya
yang ramping. Kemudian dengan ayunan kaki
yang tenang sekali, dia melangkah meninggalkan
Dewa Bayangan Putih yang kini sudah tergeletak
diam tidak bernyawa lagi.
"Hik hik hik...!"
Suara tawa wanita yang selalu bertopeng war-
na emas dengan seluruh pakaian juga berwarna
kuning keemasan itu terus terdengar mengiringi
ayunan langkahnya meninggalkan mayat lawan-
nya. Dan suara tawa itu terus terdengar, walaupun tubuh wanita itu sudah tidak
terlihat lagi, lenyap ditelan lebatnya pepohonan di pinggiran De-sa Caringin
yang berbatasan langsung dengan hu-
tan ini. Sementara, Dewa Bayangan Putih masih terge-
letak kaku dengan darah menggenang di sekitar-
nya. Kematian yang begitu mengenaskan bagi
Dewa Bayangan Putih. Dan suasana pun kembali
sunyi. Hanya desir angin saja yang terdengar
mempermainkan dedaunan. Suara tawa mengikik
itu pun sudah tidak terdengar lagi, begitu tubuh si Perempuan Bertopeng Emas
tidak terlihat lagi di tepian hutan ini.
*** 6

Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, Bayu yang sudah kembali bera-
da di Desa Caringin, langsung menuju kedai milik Tarsih. Namun tidak ada seorang
pun yang datang mengunjungi kedai itu. Keadaannya terlihat begitu sunyi,
walaupun di jalan depan kedai terlihat orang-orang hilir-mudik. Mereka seakan-
akan tidak tahu kalau ada kedai di pinggiran jalan itu.
Bayu langsung menerobos masuk ke dalam ke-
dai. Kali ini bukan Tarsih, tapi Ki Radut yang menyambutnya dengan tergopoh-
gopoh. Orang tua
itu langsung saja menarik tangan Pendekar Pulau Neraka, dan mengajaknya duduk
agak ke sudut dari ruangan kedai yang cukup terbuka ini.
"Den, wanita itu sudah mulai membunuh satu
keluarga penduduk," tutur Ki Radut langsung
memberitahu, begitu mereka duduk berseberan-
gan meja. "Hm...," Bayu hanya menggumam saja sedikit
sambil memandangi wajah laki-laki tua yang du-
duk di seberang mejanya.
Memang Pendekar Pulau Neraka sudah men-
duga sejak semalam, kalau korban Perempuan
Bertopeng Emas itu adalah satu keluarga pendu-
duk yang sehari-harinya hanya berladang, tanpa
mengenal ilmu olah kanuragan. Tapi, Perempuan
Bertopeng Emas itu juga semalam sudah mem-
bunuh Lima Begal Sungai Ular, sebelum menda-
pat korban satu keluarga penduduk Desa Carin-
gin ini. "Tidak lama lagi, desa ini akan rata dengan ta-
nah. Wanita itu pasti akan membunuh habis se-
mua penduduk Desa Caringin ini," sambung Ki
Radut. "Kau kelihatannya malah senang atas kejadian
ini, Ki...," ujar Bayu, agak mendesis suaranya. Jelas sekali kalau kata-kata
Pendekar Pulau Neraka mengandung kecurigaan pada orang tua ini.
"Mereka patut mendapat ganjaran yang setim-
pal seperti itu, Den," sahut Ki Radut, agak datar
nada suaranya. Kening Bayu jadi semakin dalam berkerut
mendengar jawaban orang tua ini. Sungguh tidak
disangka kalau Ki Radut menyukai tindakan si
Perempuan Bertopeng Emas. Semula Bayu meng-
harapkan Ki Radut akan memberi jawaban yang
lain. Tapi, kata-kata orang tua itu malah mem-
buatnya semakin bertambah curiga.
"Mana Tarsih, Ki?" tanya Bayu langsung terin-
gat pada wanita cantik yang menjadi pelayan di
kedai ini. "Pergi," sahut Ki Radut.
"Ke mana?" desak Bayu.
Belum juga Ki Radut bisa menjawab, dari ba-
gian belakang kedai ini muncul Tarsih disertai
senyuman manis tersungging di bibir. Bayu lang-
sung mengarahkan pandangan pada wanita ber-
wajah cantik itu.
"Aku tidak ke mana-mana, Kakang. Sejak tadi,
aku ada di belakang," kata Tarsih langsung, sambil menempatkan diri di samping
Pendekar Pulau Neraka. Saat itu, muncul Tiren dari belakang kedai
sambil mencerecet rebut. Monyet kecil itu langsung melompat naik ke pundak dan
memeluk erat leher Pendekar Pulau Neraka, seakan tidak ingin dilepaskan lagi. Dengan halus
Bayu melepaskan
pelukan monyet kecilnya.
"Dia terus-menerus ribut mencarimu, Den," je-
las Ki Radut. "Hm...," Bayu hanya menggumam saja sedikit
Beberapa saat mereka jadi terdiam membisu.
Sementara, Bayu terus memandang Ki Radut dan
Tarsih bergantian. Entah apa yang dicari Pende-
kar Pulau Neraka pada wajah mereka berdua.
Namun jelas sekali terlihat kalau raut wajah mereka begitu datar, sulit diterka
artinya. Bayu lalu mengarahkan pandangannya ke luar.
Tampak matahari sudah condong ke arah barat
Sinarnya yang semula terasa terik, kini begitu
lembut menyapu seluruh permukaan Desa Carin-
gin ini Sedikit Bayu menghela napas, kemudian
dia bangkit berdiri.
"Kau mau ke mana, Kakang?" tanya Tarsih
langsung ikut berdiri.
"Pergi," sahut Bayu singkat.
Kaki Pendekar Pulau Neraka terus saja terayun
melangkah keluar dari dalam kedai ini. Sementa-
ra Tarsih yang ingin mengejar, cepat dicegah Ki Radut dengan mencekal
pergelangan tangannya.
Terpaksa Tarsih tidak jadi mengejar Pendekar Pulau Neraka. Hanya dipandanginya
saja sampai Bayu tidak terlihat lagi, menghilang di tikungan jalan.
"Biarkan dia pergi, Tarsih," ujar Ki Radut sam-
bil melepaskan cekalannya pada pergelangan tan-
gan wanita itu.
"Tapi, Ki...."
"Sudahlah.... Jangan turutkan kata hatimu,
Tarsih," selak Ki Radut cepat, sebelum Tarsih bisa melanjutkan ucapannya. "Sudah
kau selesaikan pekerjaanmu?"
"Sudah," sahut Tarsih seraya mengangguk.
"Bagus," sambut Ki Radut dengan bibir me-
nyunggingkan senyum. "Masih banyak pekerjaan
lain yang harus kau selesaikan di sini, Tarsih.
Dan kuminta hanya sekali itu saja kau keluar pa-da siang hari".
Tarsih hanya menganggukkan kepala saja, lalu
kembali duduk menghadapi meja. Raut wajahnya
kelihatan begitu datar, dengan pandangan mene-
kuri permukaan meja dari kayu ini. Sementara Ki Radut sudah kembali ke belakang
kedai. *** Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh per-
mukaan bumi. Suasana di Desa Caringin kembali
sunyi, bagaikan tidak berpenghuni lagi. Sementa-ra tidak jauh di pinggiran desa,
tampak Bayu berdiri tegak di depan gundukan tanah yang ma-
sih kelihatan baru. Tidak jauh di belakangnya terlihat sebuah rumah kecil
berdinding bilik bambu.
Entah, apa yang ada dalam hati Pendekar Pulau
Neraka ini, mendapati Dewa Bayangan Putih su-
dah mati dengan luka begitu mengerikan. Kepa-
lanya retak, dengan leher terobek hampir bun-
tung. Bayu menemukan orang tua itu tergeletak mati
tidak jauh di depan rumah yang ditempatinya.
Sedangkan darah yang menggenang sudah men-
gering. Kelihatannya kematian Dewa Bayangan
Putih sudah cukup lama. Malah, beberapa saat
setelah ditinggalkannya.
"Tapi, siapa yang bisa membunuh Dewa
Bayangan Putih...?" pertanyaan ini yang terus
mengganggu pikiran Bayu. Tapi Pendekar Pulau
Neraka bisa langsung menduga, siapa pelakunya.
"Hhh! Aku tidak bisa mendiamkan ini terus
berlangsung. Perempuan itu harus menanggung
akibatnya!" dengus Bayu memuntahkan kekesa-
lan hatinya. Sebentar Bayu masih berdiri memandangi ku-
buran Dewa Bayangan Putih, kemudian tubuhnya
berbalik. Segera kakinya melangkah pergi me-
ninggalkan tempat peristirahatan terakhir tokoh tua itu.
Bayu terus mengayunkan mantap kakinya me-
nuju Desa Caringin lagi. Di dalam hatinya, dia
bertekad akan membuat perhitungan kepada si
Perempuan Bertopeng Emas yang sudah membu-
nuh Dewa Bayangan Putih!
Tanpa disadari, Bayu berjalan sambil menge-
rahkan ilmu meringankan tubuhnya yang tingka-
tannya sudah sempurna sekali. Hingga dalam
waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Pulau
Neraka sudah tiba ke Desa Caringin yang selalu
sunyi jika malam telah datang menyelimuti.
Sungguh menyolok perbedaannya bila pada siang
hari yang selalu ramai. Jika malam sudah datang, desa ini bagaikan mati. Tidak
seorang pun terlihat berada di luar rumahnya.
Terlebih lagi, semalam satu keluarga yang di-
kenal semua penduduk hanya sebagai petani bi-
asa, mati menjadi korban si Perempuan Berto-
peng Emas. Kejadian itu membuat seluruh pen-
duduk Desa Caringin jadi tidak berani keluar rumah, dan benar-benar dicekam
ketakutan yang amat sangat Mereka kini sadar, kalau kematian
telah menghantui. Kalau hari-hari sebelumnya
mereka merasa senang karena yang dibunuh ada-
lah tokoh-tokoh hitam atau penjahat biasa, tapi kini ternyata yang dibunuh oleh
Perempuan Bertopeng Emas juga para penduduk biasa seperti
mereka. Biasanya kalau sehabis ada pembantaian, para
penduduk desa ini berani keluar rumah, untuk
melihat tokoh siapa yang tewas dibunuh. Tapi sekarang, mereka lebih memilih
tinggal di rumah
dengan hati was-was, jangan-jangan diri mereka
yang mendapat giliran menjadi korban.
Ada apakah ini" Apakah pembunuhan-
pembunuhan terdahulu hanya sebagai siasat un-
tuk melenyapkan para penduduk Desa Caringin"
Memang masih terlalu dini untuk menjawabnya.
Sementara itu, Bayu memperlambat ayunan
kakinya, setelah sampai di tengah-tengah desa.
Kedua bola matanya dipentang lebar, mengamati
keadaan sekitarnya yang begitu sunyi. Sehingga, gerit binatang malam pun seakan
enggan memperdengarkan suaranya. Hanya desir angin saja
yang terdengar, mengusik telinga Pendekar Pulau Neraka. Perlahan-lahan Bayu
mengayunkan kakinya menyusuri jalan yang membelah desa ini.
Sementara, Tiren terus berada di pundak Pende-
kar Pulau Neraka tanpa memperdengarkan suara
sedikit pun. Seakan monyet kecil itu juga bisa
merasakan kesunyian yang begitu mencekam di
sekitarnya. "Kita terpaksa tidak tidur malam ini, Tiren,"
ujar Bayu pelan.
"Nguk."
"Malam ini, aku harus bisa mendapatkan wani-
ta iblis itu. Akan kuhajar dia seperti yang dilakukannya pada Ki Dewa Bayangan
Putih!" tegas
Bayu lagi, dengan nada agak ditekan.
Tiren hanya diam saja. Binatang itu seperti ta-
hu kalau Pendekar Pulau Neraka sedang me-
nyimpan kemarahan yang amat sangat dalam da-
danya. Dan memang, saat itu Bayu menyimpan
kemarahan menggelegar. Ini bisa terlihat jelas da-ri raut wajahnya yang memerah,
dengan sorot mata tajam menyala bagai bola api hendak mem-
bakar hangus seluruh Desa Caringin ini. Semen-
tara, malam terus merayap semakin larut Dan ke-
sunyian semakin terasa begitu mencekam. Bayu
terus melangkahkan kakinya, mengelilingi desa
yang selalu sunyi di malam hari.
*** Sampai jauh tengah malam, Bayu belum juga
bisa menemukan adanya si Perempuan Bertopeng
Emas. Sedangkan kakinya sudah terasa penat, te-
rus-menerus berjalan mengelilingi Desa Caringin yang cukup luas. Sedikit pun
tidak ada tanda-tanda kalau Perempuan Bertopeng Emas itu bak-
al muncul malam ini. Bayu berhenti melangkah,
tidak jauh dari rumah Tarsih. Entah kenapa, ha-
tinya begitu tergerak untuk mengamati rumah
yang bagian depannya dijadikan kedai. Sengaja
Bayu berdiri dekat pohon di pinggir jalan, sehingga cahaya bulan tidak sampai
meneranginya. "Hm...."
Bayu menggumam sedikit, ketika melihat se-
seorang seperti akan keluar dari samping rumah
itu. Hanya kepalanya saja yang terlihat menyembul
keluar, menoleh ke kanan dan ke kiri. Seakan dia sedang mengamati keadaan
sekitarnya. Kepala
yang diyakini Bayu adalah Ki Radut kembali tenggelam masuk ke dalam rumah. Dan
tidak lama setelah itu....
"Heh.."!"
Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak lebar begi-
tu tiba-tiba melihat sebuah bayangan kuning
keemasan melesat keluar dari samping rumah itu.
Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekeja-
pan mata saja sudah lenyap dari pandangan. Se-
mentara, Bayu masih terpaku, seperti tidak per-
caya dengan apa yang dilihatnya barusan.
Bayangan kuning keemasan yang diyakininya
adalah si Perempuan Bertopeng Emas, keluar dari rumah yang sedang diamatinya.
Dan pada saat itu, pintu samping rumah itu tertutup lagi, setelah sebelumnya terlihat kepala
Ki Radut sedikit keluar mengamati keadaan sekitarnya yang masih
kelihatan sunyi. Tampaknya, laki-laki tua itu tidak menyadari kalau dari tempat
yang sangat ter-
sembunyi Bayu terus memperhatikan.
"Sebaiknya aku tunggu saja sampai dia kemba-
li di sini. Aku tidak tahu, ke mana dia pergi," gumam Bayu dalam hati, bicara
pada diri sendiri.
Memang tidak mungkin bagi Pendekar Pulau
Neraka untuk mengejar si Perempuan Bertopeng
Emas yang sudah tidak terlihat lagi. Entah, ke
arah mana perginya wanita itu. Tapi Bayu sudah


Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu yakin, kalau Perempuan Bertopeng Emas
itu adalah Tarsih, wanita cantik yang menjadi pelayan di kedai itu. Bayu
mengambil Tiren dari
pundaknya, dan menyuruhnya untuk naik ke
atas pohon. Dia tidak mau monyet kecilnya terlu-ka saat menyergap si Perempuan
Bertopeng Emas nanti. Seperti bisa mengerti kekhawatiran Bayu, Tiren
segera naik ke atas pohon. Dipilihnya dahan yang dirasakannya cukup enak untuk
tempat ber-naung. Monyet kecil itu duduk mencangkung
sambil memperhatikan Bayu yang tetap berada di
bawah pohon. Sedikit pun Tiren tidak memper-
dengarkan suara, sepertinya tahu kalau saat se-
perti ini diperlukan kesunyian.
Belum juga lama Bayu menunggu, tiba-tiba
terdengar jeritan yang begitu panjang melengking dari arah selatan desa ini. Dan
tidak lama, disusul dua kali jeritan lainnya yang tidak kalah
nyaringnya. Seketika, darah Bayu terasa bagai
berhenti mengalir mendengar jeritan-jeritan panjang yang menandakan kematian.
Saat Bayu tengah menduga apa yang sedang
dilakukan Perempuan Bertopeng Emas di sebelah
selatan desa ini, tiba-tiba terlihat kobaran api yang begitu besar dari arah
selatan. Kembali Pendekar Pulau Neraka jadi terkesiap. Dan matanya
tidak berkedip memandangi kobaran api yang
semakin lama semakin besar. Selang beberapa
saat kemudian, terdengar teriakan-teriakan orang yang kalang-kabut melihat
kobaran api itu. Sementara, Bayu masih tetap bertahan. Pemuda ini
tidak mau terpancing dengan keributan yang ter-
jadi di bagian selatan Desa Caringin. Sudah bisa dibayangkan, kalau penduduk
desa ini tengah berusaha memadamkan api yang membakar rumah
penduduk. "Hm.... Itu dia datang...."
Tiba-tiba Bayu menggumam, ketika melihat se-
buah bayangan kuning keemasan berkelebat begi-
tu cepat dari arah selatan. Cepat Pendekar Pulau Neraka mempersiapkan diri untuk
menyergap bayangan kuning keemasan. Tapi belum juga
berbuat sesuatu, tiba-tiba saja bayangan kuning itu berkelebat begitu cepat ke
arah timur. Dan seketika itu juga, lenyap di antara rumah-rumah
penduduk. "Edan...! Ke mana lagi dia...?" desis Bayu jadi terperanjat tidak mengerti.
Begitu cepat sekali si Perempuan Bertopeng
Emas itu berkelebat. Sehingga, dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari
pandangan Pendekar
Pulau Neraka. Sulit untuk bisa diterka lagi, ke mana arah tujuannya. Bayu jadi
ragu-ragu untuk
mengejar dan menunggu di tempat ini. Dan di
saat Pendekar Pulau Neraka tengah berpikir,
mendadak saja....
Wusss...! "Heh..."!"
Bayu jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar hempasan angin yang begitu
kuat dari arah belakang. Dan ketika berpaling ke belakang, terlihat sebuah benda bulat
kecil seperti mata
kucing berwarna kuning keemasan, berkelebat
begitu cepat bagai kilat menuju ke arahnya.
"Haiiit..!"
Cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan.
Sehingga, benda kuning keemasan sebesar mata
kucing itu lewat di samping tubuhnya, dan lang-
sung menghantam sebuah pohon yang ada di se-
berang jalan. Seketika, pohon itu hancur berkeping-keping memperdengarkan
ledakan keras menggelegar bagai gunung memuntahkan lahar.
Bayu sempat terbeliak melihat benda sekecil itu mampu menghancurkan pohon yang
cukup besar! "Hup...!"
Pendekar Pulau Neraka bergegas melompat ke
tengah jalan, begitu bayangan kuning keemasan
itu terlihat berkelebat begitu cepat dari belakang.
Langsung tubuhnya merunduk, hingga bayangan
kuning keemasan itu lewat di atas tubuhnya. Saat itu juga, Bayu merasakan
hempasan hawa panas
yang begitu menyengat, bersamaan dengan melin-
tasnya bayangan kuning keemasan itu di atas tu-
buhnya tadi. "Hup! Yeaaah...!"
Pendekar Pulau Neraka langsung melenting ke
atas dan berputaran beberapa kali, sebelum ke-
dua telapak kakinya kembali menjejak tanah ja-
lan ini. Saat itu juga, sekitar satu batang tombak di
depannya sudah terlihat seseorang berdiri menantang. Tubuhnya ramping mengenakan
baju yang seluruhnya berwarna kuning keemasan. Cahaya
bulan yang memancar di langit, memantulkan
warna kuning keemasan dari topeng yang menu-
tupi wajah orang itu. Dari bentuk tubuhnya yang indah dan ramping, sudah dapat
dipastikan kalau dia seorang wanita. Sementara, Bayu memperhatikannya beberapa
saat Sudah bisa diduga kalau
di balik topeng emas itu tersembunyi wajah Tar-
sih yang cantik.
"Aku sudah tahu, siapa kau sebenarnya, Nisa-
nak. Dan kau tidak perlu lagi bersembunyi di balik topeng," ujar Bayu dengan
suara dingin menggetarkan.
"Kau sudah terlalu banyak ikut campur, Bayu.
Kau sama saja dengan Dewa Bayangan Putih.
Dan rasanya, kau sudah pantas kalau juga men-
dapat ganjaran sama," tidak kalah dinginnya sua-ra Perempuan Bertopeng Emas itu.
"Sudah kuduga, pasti kau yang membunuh-
nya," desis Bayu dengan rahang menggeretak me-
nahan geram. "Hik hik hik.... Sudah sepantasnya dia menda-
patkan itu, Bayu. Dan kau juga akan menda-
patkannya, kalau masih ikut campur urusanku,"
ujar Perempuan Bertopeng Emas dingin.
"Kau bisa saja membunuh Dewa Bayangan Pu-
tih. Tapi, jangan harap begitu mudah melaku-
kannya padaku, Nisanak," tantang Bayu lang-
sung. "Hik hik hik...!" Perempuan Bertopeng Emas itu
hanya tertawa saja mengikik.
Jelas sekali kalau sikap perempuan itu begitu
meremehkan Pendekar Pulau Neraka. Dia sama
sekali tidak tahu kalau yang sedang dihadapinya seorang pendekar muda yang sudah
malang me-lintang menghadapi segala macam bahaya dan
pertarungan berat dalam rimba persilatan. Bah-
kan semua tokoh persilatan akan segan bila ber-
hadapan dengannya. Tapi meskipun julukannya
berada pada deretan atas tokoh persilatan, Bayu tidak merasa dirinya paling
tinggi. Bahkan sama sekali tidak memandang enteng terhadap wanita
bertopeng emas ini. Sudah beberapa kali Bayu
menyaksikan kehebatannya, dan harus hati-hati
menghadapinya. Perlahan Pendekar Pulau Neraka menggeser
kakinya beberapa langkah ke kanan. Sorot ma-
tanya begitu tajam, tanpa berkedip sedikit pun
memperhatikan wanita bertopeng emas di depan-
nya. Sementara Perempuan Bertopeng Emas itu
belum juga bergerak. Dia malah tertawa mengi-
kik, melihat Bayu sudah menyilangkan tangan
kanannya di depan dada.
"Kau akan menyesal datang ke desa ini, Bayu.
Merataplah kau di neraka...!" dengus Perempuan
Bertopeng Emas dingin menggetarkan.
"Kita lihat saja, siapa yang lebih dulu terbang ke neraka," sambut Bayu tidak
kalah dingin. "Bersiaplah, Bayu.... Tahan selendang emasku!
Yeaaah...! Rrrt..! "Hup! Yeaaah...!"
*** 7 Cepat Bayu melenting ke atas, begitu Perem-
puan Bertopeng Emas mengebutkan selendang-
nya sambil membentak keras menggelegar. Selen-
dang tipis berwarna kuning keemasan itu melu-
ruk deras, bagai seekor naga mengarah ke bagian perut Pendekar Pulau Neraka.
Cepat-cepat Bayu
bersalto. Dan ketika tubuhnya mendatar di uda-
ra.... "Hih! Shyaaa...!"
Tepat di saat selendang emas itu berada di ba-
wah tubuhnya, dengan pengerahan seluruh ke-
kuatan tenaga dalamnya yang sudah sempurna,
Bayu melepaskan satu pukulan keras menggele-
dek ke bagian tengahnya. Begitu cepat pukulan
yang dilepaskannya, sehingga Perempuan Berto-
peng Emas itu jadi terkejut setengah mati.
"Hap!"
Cepat wanita itu menghentakkan selendang-
nya, hingga bergerak cepat ke samping. Dengan
demikian, pukulan yang dilepaskan Bayu hanya
sedikit saja melesat di samping selendang emas
itu. Dan ketika kaki Pendekar Pulau Neraka men-
jejak tanah, si Perempuan Bertopeng Emas sudah
menggerakkan tangannya yang menggenggam se-
lendang kuning keemasan itu.
Rrrt! Bagai seekor ular, selendang emas itu meliuk
begitu indah melingkari tubuh Pendekar Pulau
Neraka. Gerakan berputar yang begitu cepat,
sempat membuat Bayu jadi terperangah. Tapi dia
cepat berputaran di udara, seraya langsung men-
gibaskan tangan kanannya. Dan....
Siap! "Heh..."!"
Perempuan Bertopeng Emas jadi kaget seten-
gah mati, tidak menyangka kalau benda bersegi
enam yang menempel di pergelangan tangan pe-
muda berbaju kulit harimau itu ternyata sebuah
senjata yang bisa dilemparkan, hanya dengan
mengebutkan tangannya saja. Dan belum juga
sempat disadari, tahu-tahu Cakra Maut yang di-
lepaskan Bayu sudah menghantam bagian tengah
selendangnya. Bret! "Ikh..."!"
Kembali Perempuan Bertopeng Emas itu terke-
jut hingga terpekik. Ternyata selendang kebang-
gaannya langsung terbelah menjadi dua bagian,
terkena sambaran senjata maut Pendekar Pulau
Neraka. Sementara, Bayu sendiri sudah menje-
jakkan kakinya kembali di tanah. Dan di saat
tangan kanannya terangkat naik ke atas kepala,
Cakra Maut melesat balik, lalu kembali menempel kuat di pergelangan tangan kanan
pemuda ini. "Setan...! Kubunuh kau...!" geram Perempuan
Bertopeng Emas marah, mendapati selendangnya
tinggal sepotong lagi.
Sambil berteriak keras menggelegar, wanita
berpakaian serba kuning keemasan itu berlompa-
tan mengelilingi Pendekar Pulau Neraka. Dan se-
ketika itu juga, puluhan benda bulat kecil seperti mata kucing berwarna kuning
keemasan, berhamburan di sekeliling Pendekar Pulau Neraka.
Cepat sekali benda-benda kuning keemasan itu
berhamburan bagai hujan.
"Hup! Yeaaah...!"
Tidak ada waktu lagi bagi Bayu untuk berpikir
menghadapi serangan gencar Perempuan Berto-
peng Emas ini. Cepat tubuhnya melenting ke atas sambil berputaran beberapa kali,
menghindari benda-benda kecil yang sangat berbahaya itu.
Dan seketika itu juga, terdengar ledakan-ledakan keras menggelegar dari senjata-
senjata maut Perempuan Bertopeng Emas yang saling berbentu-
ran. Bahkan yang jatuh ke bawah pun membuat
tanah jadi terbongkar menimbulkan ledakan yang
begitu dahsyat menggelegar. Sehingga seluruh
Desa Caringin jadi bergetar bagai diguncang gem-pa.
Ledakan akibat pertarungan maut Pendekar
Pulau Neraka dengan Perempuan Bertopeng
Emas, membuat seluruh penduduk Desa Caringin
keluar dari dalam rumah. Tapi mereka langsung
menyingkir menjauh, begitu melihat wanita ber-
pakaian serba emas yang selama ini dianggap se-
bagai dewi pelindung, namun sudah meminta
korban penduduk biasa itu, bertarung melawan
seorang pemuda yang pernah terlihat menghajar
Lima Begal Sungai Ular di depan kedai Tarsih.
Sementara beberapa rumah penduduk yang
berdekatan letaknya dengan tempat pertarungan
sudah mulai hancur terkena sambaran senjata-
senjata maut yang dilemparkan si Perempuan
Bertopeng Emas. Bahkan tidak sedikit yang su-
dah terbakar, hingga membuat keadaan di sekitar pertarungan jadi terang-
benderang. Dan suasana
pun jadi berubah hangat oleh api yang kini ber-
kobar besar, membakar beberapa rumah. Se-
dangkan Bayu masih harus berjumpalitan di uda-
ra, menghindari setiap benda-benda maut yang
dilepaskan lawannya.
*** Serangan-serangan Perempuan Bertopeng
Emas masih terus datang menghujani Pendekar
Pulau Neraka. Benda-benda kecil berwarna kun-
ing keemasan itu bagai tidak pernah habis, terus berhamburan di sekitar tubuh
Bayu. Sedikit pun
pemuda berbaju kulit harimau itu tidak memiliki kesempatan balas menyerang.
Tubuhnya hanya

Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa berputaran di udara dan terus menghindari
serangan gencar lawannya.
Namun setelah cukup lama berlangsung, ak-
hirnya Perempuan Bertopeng Emas menghentikan
serangannya juga. Tampak tarikan napasnya
memburu cepat, bagai kuda yang baru dipacu
mendaki bukit terjal. Wanita itu berdiri tegak, menatap tajam Pendekar Pulau
Neraka dari balik
lubang mata topeng emasnya. Sementara, Bayu
juga sudah berdiri tegak mengatur napasnya yang mulai terdengar agak memburu.
Keringat tampak
menitik deras membasahi sekujur tubuh Pende-
kar Pulau Neraka.
"Hhh...!" Bayu menghembuskan napas berat-
nya. Pendekar Pulau Neraka kali ini melakukan per-
tarungan yang sangat berat dan menguras ba-
nyak tenaga. Lawan yang dihadapinya memang
tidak bisa dianggap sembarangan. Wanita itu
memiliki kepandaian yang begitu tinggi, sehingga sukar diukur tingkat
kepandaiannya. Bayu benar-benar tidak dapat lagi memandang sebelah mata
pada wanita bertopeng ini.
Sementara, orang-orang yang menyaksikan
pertarungan semakin bertambah banyak. Dan api
yang membakar rumah juga semakin besar, me-
rambat ke rumah-rumah lain. Sudah dapat dipas-
tikan kalau tidak lama lagi, Desa Caringin akan hangus termakan api. Sedangkan
di tengah-tengah jalan, Bayu tetap berdiri tegak berhadapan dengan Perempuan
Bertopeng Emas. Entah kena-
pa, mereka jadi terdiam saling menatap tajam,
seakan tengah mengukur tingkat kepandaian
masing-masing. "Kau memang tangguh, Bayu. Tapi, aku belum
kalah. Malam ini juga, kau harus mati di tangan-ku...," desis Perempuan
Bertopeng Emas dingin
menggetarkan. "Hm...," Bayu pun hanya mengeluarkan gu-
maman sedikit. "Bersiaplah menerima kematianmu, Bayu," de-
sis Perempuan Bertopeng Emas lagi.
Setelah berkata demikian, wanita itu mencabut
sebuah benda sepanjang dua jengkal berwarna
kuning emas dari balik sabuk yang membelit
pinggangnya. Dan ketika dikebutkan, benda itu
menjadi panjang seperti tongkat Tampak bagian
ujungnya berbentuk mata tombak yang berkilatan
begitu tajam. Namun Pendekar Pulau Neraka sa-
ma sekali tidak merasa gentar melihat senjata
wanita bertopeng ini. Bahkan sikapnya kelihatan tenang, walaupun kelihatannya
tidak ada satu senjata pun yang tergenggam di tangan.
Sementara semua orang yang menyaksikan se-
perti mencemaskan pemuda berbaju kulit hari-
mau yang kelihatannya tidak memiliki senjata.
Sedangkan lawannya kini sudah memainkan sen-
jata tombak emasnya. Putarannya tampak begitu
cepat, hingga yang terlihat hanya lingkaran
bayangan kuning keemasan bagai sebuah perisai
melindungi dirinya.
"Tahan seranganku, Bayu! Hiyaaat..!"
Bersamaan dengan melompatnya Perempuan
Bertopeng Emas itu dalam menyerang Pendekar
Pulau Neraka, semua orang yang melihat jadi me-
nahan napas. Sementara, Bayu sendiri tetap ber-
diri tegak dengan sikap begitu tenang. Hanya tatapan matanya saja yang terlihat
menyorot tajam, memperhatikan gerakan Perempuan Bertopeng
Emas yang meluruk deras dengan ujung tombak
emas tertuju tepat ke dada.
Tepat di saat ujung tombak berwarna kuning
emas itu hampir menembus dada, cepat Bayu
mengangkat tangan kanannya terbalik ke depan
dada. Maka ujung tombak itu langsung menghan-
tam Cakra Maut yang berada di pergelangan tan-
gan Pendekar Pulau Neraka.
Tring! "Ikh...!"
Perempuan Bertopeng Emas jadi terpekik, begi-
tu seluruh tangannya terasa bergetar, ketika
ujung tombaknya menghantam Cakra Maut di
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Ce-
pat dia melompat ke belakang beberapa langkah.
Namun pada saat yang sama, Bayu pun sudah
membungkukkan tubuhnya sedikit agak miring
ke kiri. Dan dengan kecepatan bagai kilat tangan kanannya dikibaskan ke depan
sambil berteriak
keras menggelegar.
"Yeaaah...!"
Wusss! Cakra Maut seketika itu juga melesat bagai se-
batang anak panah lepas dari busur, tepat men-
garah ke dada Perempuan Bertopeng Emas. Begi-
tu cepat lesatannya hingga membuat Perempuan
Bertopeng Emas terbeliak dari balik topeng yang menutupi wajahnya.
"Haiiit...!"
Bet! Cepat wanita itu menghentakkan tongkat
emasnya menyilang ke depan dada. Sehingga Ca-
kra Maut menghantam bagian tengah batang
tombak kuning keemasan itu. Demikian keras
benturan Cakra Maut pada tombak itu, sehingga
menimbulkan percikan bunga api yang menyebar
ke segala arah. Tampak Perempuan Bertopeng
Emas terdorong tiga langkah, akibat benturan keras Cakra Maut pada tombaknya.
"Gila...! Senjatanya tidak bisa dibuat main-
main, " dengus Perempuan Bertopeng Emas da-
lam hati. Wanita itu masih merasakan nyeri pada selu-
ruh persendian tulang tangannya, akibat dua kali terjadi benturan keras pada
senjatanya tadi. Sementara, Bayu berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan
dada. Sedangkan senjata mautnya
sudah kembali menempel di pergelangan tangan
kanannya. Sikapnya seakan memberi kesempatan
pada lawannya untuk menyerang lagi. Bayu me-
mang sengaja tidak mau menyerang lebih dahulu,
dan selalu memberi kesempatan lawannya me-
nyerang lebih dulu. Paling tidak, untuk mengukur sampai sejauh mana tingkat
kepandaian yang dimiliki lawannya.
*** "Kenapa kau diam, Nisanak...?" terdengar sinis
nada suara Bayu.
"Huh!"
Perempuan Bertopeng Emas itu hanya men-
dengus saja dengan kesal. Dari balik topeng
emasnya, matanya menatap tajam dengan sinar
memerah pada Pendekar Pulau Neraka. Perlahan
kakinya bergeser ke kanan. Dan belum juga bisa
berbuat lebih jauh lagi, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam
melintasi kepala orang-orang yang berkerumun menyaksikan pertarun-
gan maut ini Dan bayangan hitam itu langsung meluruk de-
ras ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dan pada
saat yang bersamaan, sebuah benda bulat sebe-
sar kepala terlempar ke arah pemuda berbaju ku-
lit harimau itu.
"Hup...!"
Cepat Bayu melenting seraya berputaran ke be-
lakang, menghindari benda hitam yang dilempar-
kan ke arahnya. Benda bulat sebesar kepala itu
tepat jatuh di tempat Bayu tadi berdiri. Dan seketika itu juga, terdengar
ledakan dahsyat menggelegar. Sehingga, membuat seluruh tanah di Desa
Caringin ini jadi bergetar bagai diguncang gempa begitu dahsyat.
Tampak tanah yang terbongkar membumbung
tinggi ke angkasa, bersama asap hitam yang men-
gepul membentuk jamur raksasa. Sementara,
Bayu sudah menjejakkan kakinya kembali di ta-
nah dengan dada berdebar keras. Tidak bisa di-
bayangkannya, bagaimana jadinya kalau benda
hitam itu tadi mengenai tubuhnya. Tanah jalan
yang tertimpa benda hitam itu kini terlihat berlubang besar seperti sumur.
"Hiyaaat..!"
Sementara, bayangan hitam itu terus meluruk
deras ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dan pada
saat itu juga, Bayu langsung menghentakkan ke-
dua tangannya ke depan dengan telapak tangan
terbuka lebar, tepat di saat matanya melihat satu pukulan kepalan tangan kanan
yang meluncur deras mengarah dadanya. Hingga....
Glarrr...! Kembali terdengar ledakan keras menggelegar
begitu kedua telapak tangan Bayu berbenturan
dengan kepalan tangan orang berbaju serba hitam itu. Tampak orang berbaju serba
hitam itu berputaran beberapa kali ke belakang. Sementara,
Bayu sempat terdorong dua langkah ke belakang.
Dan Pendekar Pulau Neraka langsung membung-
kukkan tubuhnya sedikit agak miring ke kiri. Tepat di saat orang berpakaian
serba hitam itu menjejakkan kakinya di tanah, Bayu langsung mengi-
baskan tangan kanannya ke depan sambil berte-
riak keras. "Hiyaaa...!"
Wusss! Seketika itu juga, Cakra Maut yang selalu me-
nempel di pergelangan tangan kanan, Pendekar
Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat, mengarah
langsung pada orang berpakaian serba hitam
yang tiba-tiba saja muncul dan langsung menye-
rang. Begitu cepatnya Cakra Maut meluncur, se-
hingga orang berpakaian serba hitam itu tidak
sempat menyadarinya.
"Awas, Ki...!"
Cras! Bersamaan terdengarnya teriakan nyaring
memberi peringatan, orang berpakaian serba hi-
tam yang seluruh kepalanya tertutup kain hitam
itu memiringkan tubuhnya ke kiri. Tapi, gerakannya sudah terlambat Sehingga sisi
Cakra Maut yang runcing sempat merobek bahu kanannya.
"Akh...!"
Orang berpakaian serba hitam itu jadi terpekik
kaget agak tertahan. Seketika, darah mengucur
deras dari bahunya yang terluka cukup lebar akibat tersambar Cakra Maut tadi.
Sementara, senja-ta Pendekar Pulau Neraka terus melesat. Dan ke-
tika Bayu menghentakkan tangan kanannya ke
belakang, maka Cakra Maut langsung berputar
balik dari arah belakang orang berpakaian serba hitam itu. Demikian cepatnya
senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu berputar dan langsung
melesat balik, sehingga membuat orang berpa-
kaian serba hitam yang masih dilanda keterkeju-
tan ini tidak sempat lagi menyadarinya. Dan....
Crab! "Aaa...!"
"Ki...!"
Jeritan nyaring seketika terdengar melengking,
begitu Cakra Maut menancap di punggung orang
berbaju serba hitam agak ketat ini. Bersamaan
dengan itu pula, terdengar teriakan nyaring dari si Perempuan Bertopeng Emas.
Tampak orang berbaju serba hitam itu ter-
huyung-huyung dengan Cakra Maut masih me-
nancap begitu dalam di punggungnya. Begitu
Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan
kanannya ke atas kepala, Cakra Maut melesat
kembali ke arahnya. Maka darah seketika mun-
crat keluar dari punggung orang berbaju serba hitam ini. Cakra Maut kini kembali
menempel di pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit
harimau itu. "Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu
langsung melompat cepat bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar. Dan saat
itu juga, satu pukulan keras menggeledek yang mengandung
pengerahan tenaga dalam sempurna dilepaskan,
tepat ke kepala orang berpakaian serba hitam
yang masih terhuyung-huyung. Serangan Bayu
yang begitu cepat ini, sama sekali tidak dapat dihindari lagi.
Prak! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking
tinggi, begitu pukulan dahsyat yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka menghantam tepat di ke-
pala orang berpakaian serba hitam itu. Tampak
darah merembas keluar dari kain hitam yang me-
nyelubungi kepala. Sementara, Bayu kembali me-
lenting ke belakang sambil mutar tubuhnya. Dan
tangannya sempat mengibas, menjambret kain se-
lubung hitam yang menutupi kepala orang itu.
Bret! "Ki Radut..," desis Bayu begitu kakinya menje-
jak tanah. Tanpa selubung kain hitam, jelas sekali wajah
orang berpakaian serba hitam itu. Memang, orang itu adalah Ki Radut Dan Bayu
sama sekali tidak
terkejut lagi, karena memang sudah menduga.
Sementara Ki Radut sendiri sudah tidak dapat la-gi menguasai diri. Dengan
punggung berlubang
mengeluarkan darah, dan kepala retak terkena
pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka, dia ti-
dak mungkin lagi bisa bertahan lebih lama.
Setelah beberapa saat tubuhnya gontai, laki-
laki tua ini seketika ambruk ke tanah dengan darah terus mengucur dari punggung
dan kepalanya yang retak. Hanya sebentar saja Ki Radut meng-


Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

geliat di tengah jalan berdebu ini, kemudian mengejang kaku sambil mengerang
lirih. Lalu, tubuhnya diam tidak bergerak-gerak lagi, membujur
kaku tanpa nyawa.
"Keparat...! Kubunuh kau...!"
Perempuan Bertopeng Emas jadi geram melihat
Ki Radut tewas begitu mengerikan di tangan Pen-
dekar Pulau Neraka. Sambil menggeram marah,
wanita berpakaian serba kuning emas itu lang-
sung saja melangkah cepat, menghampiri pemuda
berbaju kulit harimau ini. Dan begitu jaraknya
tinggal sekitar lima langkah lagi, langsung tombak emasnya dikebutkan ke depan
sambil melompat
sedikit. "Shyaaa...!"
"Haiiit...!"
Hanya sedikit saja Bayu menarik tubuhnya ke
belakang, hingga ujung tombak yang kuning dan
runcing itu lewat di depan perutnya. Tapi belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa
menegakkan tubuhnya kembali, Perempuan Bertopeng Emas
sudah melompat cepat sambil melepaskan satu
tendangan menggeledek dengan kaki kiri.
"Yeaaah...!"
"Hap!"
*** 8 Bayu langsung menghentakkan tangan kanan-
nya, menyambut tendangan kaki kiri Perempuan
Bertopeng Emas itu. Begitu cepatnya gerakan
yang dilakukan, hingga wanita berpakaian serba
kuning ini tidak dapat lagi menarik pulang serangannya. Maka benturan keras pun
seketika terja-
di. "Akh...!"
Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terpekik
agak tertahan, ketika kakinya membentur tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka. Cepat-cepat tu-
buhnya melenting ke belakang, dengan berputa-
ran dua kali. Dan begitu kaki wanita itu menjejak tanah, Bayu langsung melompat
cepat bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Seketika itu juga, tangan kanan Pendekar Pu-
lau Neraka mengibas ke depan, membuat Cakra
Maut yang selalu berada di pergelangan tangan
kanan melesat menyerang si Perempuan Berto-
peng Emas. "Hup!"
Tidak ada jalan lain lagi bagi wanita itu untuk menghindar. Maka cepat tubuhnya
melenting ke atas. Dan pada saat itu pula, tangan kiri Bayu
berkelebat cepat ke kepala. Begitu cepat gerakan tangan kirinya, sehingga
Perempuan Bertopeng
Emas tidak dapat lagi menghindari. Terlebih lagi, dia harus menghindari serangan
senjata andalan
Pendekar Pulau Neraka. Dan....
Bret! "Aukh...!"
Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terpekik
kaget, ketika topeng yang dikenakannya terampas tangan kiri Pendekar Pulau
Neraka. Maka wajah
yang sejak tadi terlindung di balik topeng emas itu kini terlihat jelas di bawah
siraman cahaya bulan dan terangnya cahaya api yang masih
membakar rumah-rumah penduduk Desa Carin-
gin ini. "Tarsih...."
Semua orang yang menyaksikan pertarungan
itu jadi terperanjat, tidak mengira kalau Perem-
puan Bertopeng Emas itu ternyata Tarsih. Me-
mang, wanita pemilik kedai ini tidak disukai penduduk, karena dulu ayahnya
seorang pemeras
rakyat yang paling kaya di desa ini. Suatu ketika semua kekayaan orangtua Tarsih
ludes dirampok dan rumahnya dibakar habis. Bahkan semua
penghuni rumah itu dibantai habis, kecuali Tar-
sih dan Ki Radut saja yang bisa menyelamatkan
diri. Dan Ki Radut sendiri, dulunya adalah seo-
rang tukang pukul orangtua Tarsih yang paling
kejam. Setelah berhasil menyelamatkan diri, Tarsih dengan diantar Ki Radut,
berguru di Pergu-
ruan Selendang Emas. Kebetulan, yang menjadi
ketuanya adalah paman Ki Ridut sendiri. Dan ke-
tika telah menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi,
Tarsih dan Ki Ridut kembali ke Desa Caringin, setelah terlebih dahulu diwarisi
senjata selendang emas.
Namun ketika mereka kembali, rupanya para
penduduk yang dulu menjadi korban ketamakan
orangtua Tarsih, memasang wajah ketidaksenan-
gan mereka. Inilah yang menyebabkan Tarsih me-
rasa harus membalas sikap mereka. Demikian
pula terhadap penjahat-penjahat atau tokoh-
tokoh hitam yang telah merampok dan memban-
tai habis keluarganya!
"Bunuh saja dia...!"
"Bunuh perempuan setan itu...!"
Seketika seluruh penduduk Desa Caringin
memuntahkan kemarahannya. Dulu mereka ben-
ci terhadap orangtua Tarsih. Dan kini terhadap
Tarsih sendiri. Terlebih lagi sekarang ini mereka sudah kehilangan seluruh harta
benda dan tempat berteduh. Bahkan tidak sedikit yang kehilangan anggota
keluarganya, yang tidak sempat me-
nyelamatkan diri dari dalam rumahnya yang ter-
bakar. Dan dengan malam ini, sudah dua keluar-
ga yang dibantai Tarsih!
Tapi kemarahan mereka hanya pada lontaran
kata-kata saja. Tidak ada seorang pun yang bera-ni mendekati, karena begitu
takut pada senjata
tombak yang masih berada dalam genggaman
Tarsih. Mereka tahu, wanita ini bukanlah wanita sem-
barangan. Kepandaiannya begitu tinggi. Sehingga, entah sudah berapa puluh orang
yang menjadi korbannya selama memakai julukan Perempuan
Bertopeng Emas.
*** "Sebaiknya kau menyerah saja, Tarsih. Demi
keselamatanmu sendiri, kupersilakan kau pergi
dari desa ini. Dan, jangan coba untuk kembali la-gi membuat kekacauan," ujar
Bayu masih mem-
beri kelonggaran pada Perempuan Bertopeng
Emas itu. "Phuih! Aku lebih baik mati bersama hancur-
nya desa ini!" dengus Tarsih tidak mau menyerah begitu saja.
"Tidak ada gunanya kau mengumbar amarah
dan dendam. Rasa dendam tidak akan pernah bi-
sa padam, kalau kau sendiri tidak mau mema-
damkannya," bujuk Bayu masih mencoba melu-
nakkan kekerasan hati wanita itu.
"Jangan banyak bicara kau, Bayu! Lawan aku!
Hiyaaat..!"
Tarsih memang sudah merasa kepalang basah,
sehingga sama sekali tidak mau menyerah. Bah-
kan diiringi pengerahan seluruh kekuatan yang
tersisa, segera dia melompat cepat sekali menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan
senjata tom- bak emasnya. Bet! Tombak berwarna kuning emas itu seketika
berkelebat begitu cepat ke arah tenggorokan
Bayu. Tapi hanya sedikit saja menarik kepala ke belakang, Bayu bisa menghindari
hunjaman ujung tombak yang runcing. Dan segera kakinya
ditarik ke belakang dua langkah, begitu Tarsih
cepat memutar tombaknya dan langsung dis-
odokkan ke perut Pendekar Pulau Neraka.
"Hap!"
Bayu langsung mengibaskan tangan kanannya,
sambil memiringkan tubuh ke kiri. Langsung di-
tangkisnya tusukan tombak emas itu.
Tring! Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka tepat membentur mata
tombak emas ini. Sementara, Tarsih langsung
menarik pulang tombaknya. Tapi dengan kecepa-
tan kilat, senjatanya kembali disodokkan ke arah dada Pendekar Pulau Neraka.
"Upths!"
Cepat Bayu menarik tubuhnya ke kiri, meng-
hindari tusukan tombak ke dadanya. Dan begitu
mata tombak emas itu lewat di depan dada, cepat tangan kirinya dikibaskan.
Maka.... Tap! "Ikh...!"
Tarsih jadi terpekik kaget, begitu tiba-tiba batang tombaknya tertangkap tangan
kiri Pendekar Pulau Neraka. Maka cepat seluruh kekuatan te-
naga dalamnya dikerahkannya untuk menarik
tombaknya. Tapi, genggaman tangan kiri Pende-
kar Pulau Neraka begitu kuat. Sehingga, senjata yang seperti terbuat dari emas
itu tidak bergerak sedikit pun.
"Shyaaa...!"
Belum juga Tarsih bisa menguasai senjatanya
lagi, tiba-tiba saja Bayu sudah membentak keras bagai guntur. Dan seketika itu
juga, tubuhnya mencelat ke atas sambil melepaskan satu tendan-
gan keras menggeledek mengandung pengerahan
tenaga dalam sempurna. Begitu cepat serangan-
nya, hingga membuat kedua bola mata Tarsih jadi terbeliak lebar.
"Haiiit..!"
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Perempuan Ber-
topeng Emas itu. Cepat tubuhnya dibanting ke
tanah sambil melepaskan tombaknya yang masih
berada dalam genggaman tangan kiri Bayu. Bebe-
rapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, hingga terhindar dari tendangan dahsyat
Pendekar Pulau Neraka. Tapi begitu melompat bangkit berdiri,
Bayu sudah melesat cepat sambil melepaskan sa-
tu pukulan menggeledek dengan tangan kiri.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepat serangan Pendekar Pulau Neraka,
sehingga Tarsih tidak sempat lagi berkelit meng-hindarinya. Dan....
Diegkh! "Akh...!"
Tarsih jadi terpekik, begitu pukulan tangan kiri yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi itu menghantam tepat dadanya. Seketika, tu-
buhnya terpental deras ke belakang, dan jatuh
keras sekali menghantam tanah. Kembali tubuh-
nya bergulingan di tanah beberapa kali, hingga
berhenti begitu menabrak sebuah pohon yang
tumbuh di pinggir jalan. Seketika pohon itu roboh terlanda tubuh ramping si
Perempuan Bertopeng
Emas ini. "Hoeeekh...!"
Tarsih langsung menyemburkan darah kental
berwarna agak kehitaman dari mulutnya, begitu
mencoba bangkit berdiri. Seluruh rongga dadanya terasa bagai hendak meledak
akibat terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka tadi. Sam-
bil memegangi dadanya yang terasa remuk, Tarsih mencoba bangkit berdiri.
Dengan susah payah, akhirnya Perempuan
Bertopeng Emas itu bisa juga berdiri. Walaupun, tidak lagi bisa tegak. Darah
masih terlihat menggumpal di seluruh rongga mulutnya. Kembali dis-
emburkannya gumpalan darah kental agak kehi-
taman. Sementara, Bayu berdiri tegak meman-
dangi dengan sinar mata sukar diartikan.
"Kau terluka parah, Tarsih. Sebaiknya tinggal-
kan saja desa ini," bujuk Bayu masih memberi
kesempatan wanita itu untuk menyambung se-
lembar nyawanya.
"Akan kubunuh kau, Bayu. Kubunuh kau...,"
desis Tarsih agak tersedak suaranya.
Dengan tangan dan jari-jari bergetar, Perem-
puan Bertopeng Emas yang sekarang tidak lagi
mengenakan topeng itu menuding Pendekar Pu-
lau Neraka. Walaupun terluka begitu parah, tapi sorot matanya terlihat sangat
tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka.
Jelas sekali terlihat pada sinar matanya yang penuh memendam dendam ini.
Dan Bayu bisa menyadari ketidakpuasan wani-
ta itu padanya. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua yang dilakukan
hanya untuk menyelamatkan nyawa orang banyak yang tidak
berdosa, setelah semua persoalannya diketa-
huinya dari awal. Tapi, Bayu masih saja memberi kesempatan pada Tarsih untuk
tetap hidup. Pemuda itu juga tidak memandang seluruh kesala-
han ada pada wanita ini. Bahkan Bayu merasa
iba melihat persoalan Tarsih, yang memaksanya
harus bertindak seperti iblis dengan membantai
siapa saja yang dianggapnya telah menyinggung
perasaannya. "Pergilah, Tarsih. Jangan sia-siakan kesempa-
tan hidupmu yang hanya sekali ini. Percayalah,
padaku. Tidak ada seorang pun yang bisa mence-
gahmu pergi dari desa ini," bujuk Bayu lagi.
Tarsih hanya diam saja memandangi wajah
tampan Pendekar Pulau Neraka. Sementara darah
masih terus keluar dari sudut bibirnya. Tapi, kali ini sinar matanya tidak lagi
terlihat tajam. Bahkan begitu redup dan berkaca-kaca memandangi
Pendekar Pulau Neraka.
Sementara, Bayu bisa merasakan semua yang
tengah dirasakan wanita ini. Baginya, jalan hidup Tarsih tidak berbeda jauh
dengan jalan hidup
yang ditempuhnya sejak masih bayi. Bayu juga
sudah kehilangan kedua orangtuanya, sejak ma-
sih bayi Bahkan tidak sempat lagi melihat wajah kedua orangtuanya. Hingga, rasa


Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sakit dalam hatinya tidak seperti yang dirasakan Tarsih.
"Ayo, kuantar keluar dari desa ini," ajak Bayu
lagi, tetap membujuk.
Tarsih hanya diam saja. Dia jadi bimbang oleh
ajakan Pendekar Pulau Neraka yang begitu tulus.
Di dalam hatinya, memang tersimpan kemarahan
pada Bayu yang sudah menggagalkan dendam-
nya. Tapi paling tidak, sebagian dari dendamnya sudah terbalas. Walaupun,
seluruh keinginannya
untuk menghancurkan Desa Caringin bersama
penduduknya tidak terlaksana.
"Ayo, Tarsih. Jangan sia-siakan kesempatan
ini," bujuk Bayu lagi.
Bayu sudah hampir tidak sabar, melihat orang-
orang sudah mulai menghampiri dengan wajah
memancarkan kemarahan pada Perempuan Ber-
topeng Emas itu. Sementara, Tarsih hanya diam
saja memandangi Pendekar Pulau Neraka tanpa
berkedip sedikit juga. Perlahan tubuhnya mem-
bungkuk, mengambil tombaknya yang tergeletak
tidak jauh di samping kiri kakinya. Dengan tan-
gan gemetar digenggamnya tombak itu erat-erat
Sementara, semua orang sudah semakin dekat
menghampiri dengan berbagai macam senjata ter-
genggam di tangan.
"Aku tidak pantas hidup dengan semua kega-
galan ini. Maafkan aku, Bayu. Kuhargai semua
kebaikanmu padaku," ujar Tarsih.
Setelah berkata demikian, wanita itu cepat
mengangkat tombaknya. Dan....
Bres! "Tarsih...!"
Bayu jadi terkejut setengah mati, begitu meli-
hat Tarsih menghunjamkan tombak ke dadanya
sendiri. Kuat sekali hunjaman tombak itu, hingga tembus ke punggung. Bukan hanya
Bayu saja yang terkejut. Bahkan semua orang yang melihat
juga tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau Tarsih akan berbuat nekat
seperti itu. Sementara Bayu pun tidak bisa berbuat apa-
apa. Hanya dipandanginya tubuh Tarsih yang
ambruk ke tanah dengan dada tertembus tom-
baknya sendiri. Wanita itu langsung menghem-
buskan napas terakhir begitu tubuhnya ambruk
dan menyentuh tanah.
"Mereka tetap manusia seperti kalian. Makam-
kanlah seperti layaknya," ujar Bayu dengan suara agak tertahan.
Semua orang hanya diam saja. Mereka seperti
tidak tahu, apa yang harus dilakukan. Walaupun
kebencian bersemayam dalam dada, tapi men-
dengar kata-kata yang diucapkan Pendekar Pulau
Neraka, beberapa orang sudah bergerak meng-
hampiri Tarsih dan Ki Radut. Dan mereka segera
mengangkat kedua mayat itu untuk dipindahkan
ke tempat yang lebih nyaman.
Sementara, Bayu hanya memperhatikan saja.
Kepalanya lalu berpaling sedikit, begitu Tiren
menghampiri. Monyet kecil itu naik ke pundak
Pendekar Pulau Neraka. Beberapa saat Bayu ma-
sih berdiri di tempatnya, memandangi orang-
orang yang mulai mengurus mayat-mayat yang
berjatuhan di malam ini. Sementara, mayat Tar-
sih dan Ki Radut ada bersama mereka.
"Ayo kita pergi, Tiren," ajak Bayu pada monyet
kecilnya yang sudah berada di pundak sebelah
kanan. "Nguk."
Perlahan Bayu mengayunkan kakinya, mening-
galkan Desa Caringin. Di dalam kepalanya, masih belum bisa dipahami sikap yang
diambil Tarsih,
dengan membunuh dirinya sendiri. Malah, den-
gan senjatanya sendiri juga. Tapi, Bayu mengakui kalau semua penderitaan yang
dialami Tarsih begitu berat. Memang tidak semua orang bisa me-
nanggung derita seberat itu. Hanya saja sangat
disayangkan tindakan Tarsih yang nekat. Daripa-
da hidup menanggung kekalahan dan kegagalan-
nya dalam melampiaskan dendam, baginya lebih
baik bunuh diri!
SELESAI https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan: Clickers Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** *** *** 2 *** *** *** 3 *** *** *** 4 *** *** *** 5 *** *** *** 6 *** *** *** 7 *** *** *** 8 *** SELESAI Mutiara Hitam 3 Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu Anak Pendekar 12
^