Pencarian

Perempuan Bertopeng Emas 1

Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas Bagian 1


PEREMPUAN BERTOPENG EMAS Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji. S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Perempuan Bertopeng Emas
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 "Perempuan setan! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
Terdengar bentakan penuh kemarahan dari
seorang pemuda.
"Hik hik hik...!"
Namun belum juga pemuda tampan itu bisa
berbuat sesuatu, sudah terlihat kilatan selendang kuning keemasan menyambar ke
arah lehernya. Bet! Cras! "Aaa...!"
Dan anak muda itu langsung, terpaku dengan
mata mendelik, disertai jeritan panjang memilu-
kan. Tampak darah mengalir deras dari batang
lehernya yang menganga, akibat sambaran selen-
dang kuning yang bagai sebilah pedang. Hanya
sesaat saja dia masih mampu berdiri, kemudian
limbung di depan seorang wanita bertubuh ramp-
ing, yang baru saja mengebutkan selendang ku-
ningnya. Tak lama kemudian pemuda itu ambruk,
dan menggelepar bersama empat tubuh lain yang
sudah sejak tadi tergeletak tidak bernyawa den-
gan tubuh bersimbah darah.
"Hik hik hik...!"
Suara tawa mengikik kembali terdengar nyar-
ing mengerikan, mengiringi berkelebatnya tubuh
ramping terbalut pakaian kuning keemasan, me-
ninggalkan lima sosok tubuh yang bergelimpan-
gan di dalam ruangan depan sebuah rumah di
Desa Caringin. Belum lama suara tawa mengikik itu menghi-
lang dari pendengaran, sudah terlihat orang-
orang berdatangan sambil membawa obor dan
senjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran.
Mereka mendatangi rumah yang agak terpencil di
Desa Caringin ini.
Para penduduk desa ini begitu terkejut melihat
darah berceceran di depan pintu rumah yang ter-
buka lebar itu. Jelas sekali terlihat kalau daun pintu itu hancur, seperti
diterjang kerbau men-gamuk. Lebih terkejut lagi, setelah melihat ke dalam.
Tampak tubuh-tubuh bergelimpangan tak
bernyawa lagi dengan darah menggenang di seki-
tarnya. Tidak ada seorang pun yang tahu kejadiannya.
Para penduduk ini datang setelah mendengar jeritan dan tawa yang panjang
mengikik tadi. Dan
mereka tahu, siapa penghuni rumah yang terkena
bencana ini. Tidak ada seorang pun yang masih
kelihatan hidup. Namun entah kenapa, wajah pa-
ra penduduk kelihatan gembira melihat mayat-
mayat yang bergelimpangan memenuhi ruangan
depan ini. "Mereka patut menerima ganjaran seperti ini,"
gumam salah seorang, seraya melangkah pergi
meninggalkan rumah ini.
Yang lainnya pun ikut melangkah pergi tanpa
mempedulikan mayat-mayat di dalam rumah itu.
Hingga akhirnya, hanya tinggal seorang saja yang tetap berada di depan pintu
yang sudah hancur
itu. Dia tadi memang kebetulan lewat, tepat keti-
ka para penduduk itu sudah menimbrung di de-
pan rumah itu. Karena merasa tertarik, kakinya
langsung melangkah mendekati, ikut melihat apa
yang terjadi. Dia adalah seorang pemuda tampan
berbaju dari kulit harimau. Seekor monyet kecil berbulu hitam tampak bertengger
di pundak kanannya. Dipandanginya mayat-mayat itu dengan
kelopak mata tidak berkedip. Dan kepalanya baru berpaling ke belakang, ketika
mendengar suara
langkah kaki mendekati.
Ternyata yang datang menghampiri adalah seo-
rang laki-laki tua berjubah putih. Sebatang tongkat kayu rupanya ikut membantu
ayunan lang- kah kakinya. Tubuhnya juga sudah kelihatan ter-
bungkuk. Meskipun usianya kelihatan sudah be-
gitu lanjut, tapi sinar wajahnya tampak begitu
bersih dan bercahaya. Sinar matanya juga men-
cerminkan gairah hidup yang menyala-nyala.
Ayunan langkahnya begitu ringan, pertanda orang tua ini memiliki kepandaian yang
tidak bisa dipandang sebelah mata. Hentakan ujung tongkat-
nya pada tanah pun tidak mengeluarkan suara
sedikit pun. Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu
menggeser kakinya sedikit ke tepi pintu, seakan memberi kesempatan pada orang
tua ini untuk melihat ke dalam.
"Kau tidak pergi seperti mereka, Anak Mu-
da...?" terdengar lembut sekali suara orang tua itu.
Sedikit orang tua itu menjulurkan kepalanya
ke dalam, melongok keadaan di dalam rumah ini.
Kemudian matanya kembali menatap wajah tam-
pan pemuda yang tetap berdiri di samping pintu.
Pemuda itu hanya diam saja, seakan tidak men-
dengar pertanyaan orang tua ini tadi.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya orang tua
itu lagi. "Bayu," sahut pemuda berbaju kulit harimau
itu singkat, memperkenalkan namanya.
Dia memang Bayu Hanggara" yang di dalam
rimba persilatan lebih dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka.
Sementara orang tua itu mengangguk-
anggukkan kepala. Bibirnya yang hampir tertutup kumis putih kelihatan
menyunggingkan senyum
tipis yang begitu ramah. Bayu membalas dengan
anggukan kepala sedikit, disertai ulasan senyu-
man kecil di bibirnya.
"Dan kau siapa, Ki?" tanya Bayu dengan suara
dan sikap ramah.
"Orang-orang selalu memanggilku Dewa
Bayangan Putih. Kau juga boleh memanggilku be-
gitu, Anak Muda," sahut orang tua yang mengaku
berjuluk Dewa Bayangan Putih.
"Nama aslimu?" tanya Bayu ingin tahu lagi.
"Entahlah.... Aku sendiri sudah lupa namaku
yang sebenarnya," sahut si Dewa Bayangan Putih, agak mendesah.
Bayu bisa memaklumi. Memang begitu banyak
orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan, namun sudah tidak lagi peduli
nama sebenarnya.
Bahkan mereka selalu melupakannya. Mereka le-
bih senang menggunakan julukan daripada nama
sebenarnya. Tapi, buat Bayu malah sebaliknya.
Dia selalu memperkenalkan diri dengan nama se-
benarnya. Bahkan begitu sulit untuk menye-
butkan julukannya, kalau tidak terpaksa sama
sekali. Hanya orang-orang tertentu saja yang
mengenalnya sebagai Pendekar Pulau Neraka.
"Kau kenal siapa mereka, Anak Muda?" tanya
Dewa Bayangan Putih seraya melirik ke dalam
rumah. "Tidak," sahut Bayu seraya menggeleng. "Aku
hanya kebetulan saja lewat di desa ini, Ki. Aku tidak tahu sama sekali, apa yang
terjadi. Juga tidak mengerti sikap mereka yang tidak ambil pe-
duli terhadap orang-orang malang ini."
"Kau tidak bisa menyalahkan mereka, Anak
Muda." "Kenapa, Ki?"
Orang tua itu tidak langsung menjawab. Tu-
buhnya lalu diputar berbalik, dan terus saja melangkah meninggalkan rumah ini.
Sementara, kening Bayu jadi berkerut. Pemuda berbaju kulit harimau itu benar-benar tidak
mengerti sikap semua orang di desa ini. Bahkan orang tua yang
mengaku berjuluk Dewa Bayangan Putih itu juga
seakan tidak peduli. Beberapa saat Pendekar Pu-
lau Neraka diam termenung, kemudian bergegas
melangkah menyusul orang tua itu. Sebentar saja ayunan langkahnya sudah di
samping si Dewa
Bayangan Putih.
*** Malam terus merayap semakin larut, menyeli-
muti seluruh Desa Caringin. Sementara, suasana
desa sudah kembali sunyi, tanpa seorang pendu-
duk pun yang kelihatan berada di luar. Hanya
Bayu dan Dewa Bayangan Putih saja yang masih
kelihatan berjalan membelah jalan tanah di desa itu. Bulan yang tertutup awan
hitam, seakan tidak ingin memperlihatkan cahayanya di sana.
Sehingga, membuat keadaan di desa itu semakin
sunyi bagai berada di tengah-tengah kuburan.
"Seharusnya kita kuburkan mereka, Ki. Toh,
mereka juga manusia. Bukan binatang," usul
Bayu setelah cukup lama berdiam diri.
"Untuk apa...?" terdengar ringan sekali nada
suara Dewa Bayangan Putih. Seakan, sedikit pun
tidak ada beban pada mereka yang mati di rumah
itu. "Aku belum tahu kejahatan apa yang mereka
lakukan, hingga semua orang begitu membenci.
Sampai-sampai mereka mati pun tidak ada yang
sudi mengurusnya," jelas sekali terdengar nada
ketidaksenangan kata-kata Bayu.
"Kau bukan orang sini, Anak Muda. Sebaiknya,
jangan campuri urusan mereka. Aku berkata be-
gini, demi dirimu juga. Terutama, keselamatan-
mu," sergah Dewa Bayangan Putih tanpa meng-
hentikan langkah sedikit pun.
"Kelihatannya kau sudah tahu apa yang terja-
di, Ki," duga Bayu bernada curiga.
"Hm...," Dewa Bayangan Putih hanya menggu-
mam saja sedikit
"Kau bersedia menjelaskannya padaku, Ki...?"
pinta Bayu langsung.
"Untuk apa?" Dewa Bayangan Putih malah ba-
lik bertanya. Pendekar Pulau Neraka hanya mengangkat ba-
hu saja sedikit Dia sendiri tidak tahu, untuk apa mengetahui semua urusan
berdarah ini. Cepat
disadari kalau dirinya memang tidak ada hubun-
gannya dengan persoalan yang sama sekali tidak
diketahuinya ini.
"Ke mana tujuanmu, Anak Muda?" tanya Dewa
Bayangan Putih mengalihkan pembicaraan.
"Ke mana saja kakiku melangkah, Ki," sahut
Bayu seenaknya.
"Kau pengembara?" tanya Dewa Bayangan Pu-
tih lagi. Bayu hanya menganggukkan kepala sedikit sa-
ja. "Sebaiknya, kita berpisah di sini saja, Anak Muda. Kalau kau akan mencari
penginapan, ada
di ujung jalan ini," ujar Dewa Bayangan Putih seraya menunjuk ke depan.
Bayu membuang pandangannya ke arah yang
ditunjuk Dewa Bayangan Putih. Di ujung jalan ini memang terdapat sebuah rumah
yang besar. Dan
kelihatannya, rumah itu lebih terang dan ramai
daripada yang lain. Saat Pendekar Pulau Neraka
itu berpaling kembali, dia jadi terkejut Ternyata orang tua berjubah putih itu
sudah tidak ada lagi di sampingnya. Entah ke mana dan kapan per-
ginya, sama sekali tidak diketahuinya.
"Ke mana dia pergi...?" gumam Bayu jadi ber-
tanya-tanya sendiri dalam hati.
Bayu jadi tertegun juga memikirkan orang tua
yang baru dikenalnya. Sikapnya memang aneh
dan menimbulkan begitu banyak pertanyaan. Ta-
pi, tampaknya dia tahu banyak terhadap semua
yang terjadi di Desa Caringin ini.
Pendekar Pulau Neraka menarik napas dalam-
dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, men-
coba menghalau semua pikiran yang timbul da-
lam benaknya. Kakinya kembali terayun melang-
kah menuju rumah penginapan yang ditunjukkan
Dewa Bayangan Putih tadi. Sementara, monyet
kecil yang ada di pundaknya sudah sejak tadi
mendengkur, melingkarkan tangannya ke leher
pemuda ini. Namun baru beberapa langkah Bayu berjalan,
ayunan langkah kakinya tiba-tiba saja terhenti.
Dan kening Pendekar Pulau Neraka jadi kelihatan berkerut Tiba-tiba saja tubuhnya
berbalik. Lalu dengan kecepatan bagai kilat, Bayu melesat cepat mempergunakan
ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat sempurna. Begitu cepat
lesatannya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan tubuhnya saja.
Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka sudah
kembali berada di depan rumah yang kelihatan
sunyi, setelah seluruh penghuninya terbantai ta-di. Bayu menghentikan larinya


Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tepat sekitar tiga langkah lagi di depan pintu yang tetap terbuka
ini. Sunyi sekali keadaan sekitarnya, tidak seorang pun terlihat Bahkan gerit
bintang malam pun tidak terdengar. Hanya desir angin saja yang terdengar mengusik gendang
telinga. "Hm...," Bayu menggumam kecil.
Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengayunkan
kakinya, mendekati pintu yang sudah hancur.
Dan dia berhenti tepat di ambang pintu. Namun,
seketika itu juga kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Hampir Bayu tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya. Memang sulit bisa dipercaya, karena mayat-
mayat yang ada di dalam rumah ini
kini sudah lenyap tidak meninggalkan bekas sa-
ma sekali. Bahkan darah yang tadi begitu banyak menggenang di lantai, juga tidak
terlihat setetes pun. Tanpa sadar, Bayu menarik kakinya ke belakang beberapa
langkah. Namun baru saja ber-
gerak sekitar lima langkah....
Wusss...! "Heh..."! Hup!"
*** Cepat Bayu melenting ke atas dan berputaran
dua kali, tiba-tiba dari belakangnya terdengar suara desingan disertai hempasan
angin yang begitu kuat hampir menerpa tubuhnya. Tampak sebuah
benda bercahaya kuning keemasan tiba-tiba me-
lesat begitu cepat bagai kilat di bawah tubuhnya.
"Hap!"
Sungguh ringan gerakan Pendekar Pulau Nera-
ka saat kakinya menjejak kembali di tanah. Me-
mang begitu sempurna ilmu meringankan tubuh-
nya, sehingga sama sekali tidak terdengar suara saat mendarat tadi. Sementara
kilatan cahaya kuning keemasan itu terus menghantam tiang
penyangga beranda rumah di belakang Pendekar
Pulau Neraka. Brak! Seketika, atap beranda rumah ini roboh ter-
hantam kilatan cahaya kuning keemasan itu.
Bayu sempat melompat ke depan, menghindari
potongan kayu yang berpentalan di sekitarnya.
Kembali kakinya menjejak mantap di tanah dan
berdiri tegak dengan tangan kanan tersilang di
depan dada. Seakan cakar mautnya yang me-
nempel di pergelangan tangan kanan ingin diper-
lihatkan pada penyerang gelapnya.
"Siapa kau..."!" teriak Bayu membentak keras.
Begitu keras suara yang dikeluarkan Pendekar
Pulau Neraka, hingga menggema ke segala arah.
Tapi tidak terdengar sahutan sedikit pun. Kea-
daan di sekitarnya tetap sunyi, bagai berada di tengah-tengah hutan yang sedang
lelap dalam tidur. Pandangan Bayu beredar ke sekeliling den-
gan sorot mata tajam. Tetap tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Begitu
sunyi, hingga membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya jadi mere-mang
berdiri. Dan belum juga Bayu sempat berpikir panjang,
terdengar suara tawa mengikik yang begitu keras dan menggema di sekelilingnya.
Seakan, suara tawa itu datang dari segala arah. Jelas sekali ka-
lau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tena-ga dalam tinggi.
Bayu mencoba untuk mencari arah sumber
suara itu, tapi sulit untuk bisa menduga arahnya.
Dan ini membuatnya jadi kebingungan sendiri,
karena tidak dapat menentukan dari mana da-
tangnya suara yang membingungkan ini.
Di saat Pendekar Pulau Neraka itu tengah ke-
bingungan, mendadak saja....
Siap! "Heh..."!"
Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak lebar, be-
gitu tiba-tiba dari depan berkelebat cahaya kuning keemasan yang begitu cepat
bagai kilat. "Hup!"
Cepat Bayu melenting dan berputaran ke atas
dua kali, menghindari terjangan cahaya kuning
keemasan itu. Sehingga, serangan itu lewat sedikit saja di bawah tubuhnya. Manis
sekali Bayu menjejakkan kaki kembali di tanah. Namun pada
saat itu juga...
Wusss...! "Edan! Hup...!"
Kembali Bayu terpaksa harus berjumpalitan di
udara, begitu mendapat serangan cahaya kuning
keemasan lagi. Memang sulit bagi Pendekar Pulau Neraka untuk menghadapi serangan
yang tidak ketahuan arahnya. Cahaya kuning keemasan itu
bagai memiliki nyawa saja, selalu menyerang dari arah yang sulit dengan
kecepatan bagai kilat. Dan mau tak mau, Pendekar Pulau Neraka terpaksa
harus berjumpalitan di udara untuk menghinda-
rinya. "Setan! Hih...!"
Pendekar Pulau Neraka jadi berang juga men-
dapat serangan yang tidak berwujud ini. Begitu
mendapat kesempatan, cepat tubuhnya sedikit
merunduk. Dan tangan kanannya langsung diki-
baskan ke depan, tepat di saat kilatan cahaya
kuning keemasan itu meluruk deras ke arahnya
dari depan. Dan.... Plash! "Hap...!"
Cepat Bayu mengangkat tangan kanannya ke
atas kepala, begitu Cakra Maut yang dilepaskan-
nya kembali ke arahnya. Seketika senjata persegi enam itu kembali menempel di
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Sementara saat itu
juga cahaya kuning keemasan itu segera lenyap,
setelah berbenturan dengan Cakra Maut senjata
andalan Pendekar Pulau Neraka tadi.
"Hm.... Siapa pun dia, pasti memiliki kepan-
daian tinggi sekali," gumam Bayu perlahan, bica-ra pada diri sendiri.
Kembali keadaan menjadi sunyi, tanpa terden-
gar suara sedikit pun. Bayu mengedarkan pan-
dangan ke sekeliling, mencari orang yang menye-
rangnya tadi begitu gencar. Tapi, sulit untuk bisa melihat jelas di dalam
kegelapan malam yang begitu pekat Sementara, bulan terus menyembunyi-
kan diri di balik awan yang menggumpal hitam.
Dan angin pun terasa semakin keras menerpa wa-
jah Pendekar Pulau Neraka. Lama juga Bayu me-
nunggu, tapi tidak ada satu pun serangan yang
datang. Dan suasana di sekitarnya semakin tera-
sa sunyi mencekam.
"Kau pergi dulu, Tiren," ujar Bayu seraya me-
nurunkan monyet kecil yang sejak tadi berada di pundaknya.
"Nguk!"
Seperti tahu kalau sedang menghadapi bahaya,
monyet kecil yang bernama Tiren itu segera berla-ri mendekati pohon yang tidak
jauh dari Pendekar Pulau Neraka. Ringan sekali gerakannya saat naik ke atas
pohon itu. Dan binatang itu duduk diam
di cabang pohon. Sementara, Bayu tetap berdiri
tegak dengan tangan kanan berada di depan da-
da. Sorot matanya terlihat begitu tajam meman-
dangi sekitarnya.
Suasana tetap sunyi, tanpa terdengar suara
sedikit pun. Perlahan kaki Bayu terayun ke de-
pan. Matanya lalu melirik sedikit pada monyet kecilnya yang kini sudah berada di
tempat aman. Agak tenang juga hatinya melihat Tiren berada di tempat yang aman, cukup jauh
dari jangkauan serangan yang mungkin saja datang secara tiba-
tiba nanti. Ayunan kakinya baru berhenti setelah berjalan sekitar lima langkah.
"Siapa pun kau, keluarlah...! Tunjukkan diri-
mu...!" teriak Pendekar Pulau Neraka dengan sua-ra lantang menggelegar, disertai
pengerahan tena-ga dalam tinggi.
Belum juga hilang suara Pendekar Pulau Nera-
ka, kembali dikejutkan oleh munculnya satu
bayangan putih yang berkelebat begitu cepat ba-
gai kilat Dan tahu-tahu, di depan Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang
laki-laki tua berjubah putih, dengan sebatang tongkat kayu berada
dalam genggaman tangan kanan.
"Dewa Bayangan Putih...," desis Bayu langsung
mengenali orang tua ini.
"Kau benar-benar mencari susah, Anak Muda.
Untuk apa datang lagi ke sini, heh..."!" terdengar begitu dingin nada suara Dewa
Bayangan Putih.
Kata-kata orang tua itu membuat Bayu jadi
tersentak kaget Sungguh tidak disangka kalau
orang tua itu akan berkata demikian, seakan-
akan tidak menghendaki kehadirannya di sini.
Bayu jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati,
"Mengenai orang tua aneh ini. Dia selalu muncul tiba-tiba, dan pergi juga tanpa
diketahui arahnya."
"Kau yang tadi menyerangku, Ki?" tanya Bayu
langsung, dengan nada curiga tanpa disembunyi-
kan lagi. "Untuk apa aku menyerangmu...?" Dewa
Bayangan Putih jadi mendelik mendengar perta-
nyaan Pendekar Pulau Neraka. "Justru kedatan-
ganku untuk menyelamatkan nyawamu yang
hanya selembar itu, Anak Muda. Pergilah sebelum kau menyesali kebodohanmu!"
"Heh..."! Kenapa...?" Bayu jadi terkejut
"Jangan banyak tanya! Cepat pergi sebelum
kau menyesal!"
Tapi belum juga habis kata-kata Dewa Bayan-
gan Putih dari pendengaran, sudah terlihat kilatan cahaya kuning keemasan
meluruk deras ke
arah mereka berdua.
"Awas...!" teriak Dewa Bayangan Putih sambil
cepat melompat ke belakang.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka juga cepat-cepat me-
lenting berputar ke belakang menghindari terjangan cahaya kuning keemasan itu.
Dan kilatan ca-
haya kuning keemasan itu pun hanya menghan-
tam tepat di tengah-tengah antara Bayu dan De-
wa Bayangan Putih tadi berdiri. Dan seketika itu juga, terdengar ledakan yang
begitu dahsyat! Tanah yang terhantam kontan terbongkar, hingga
menyembur sampai ke atas bagai ledakan gunung
berapi. Bayu yang baru saja bisa menjejakkan kakinya
di tanah, jadi tersentak kaget Sungguh tidak disangka kalau serangan itu dahsyat
luar biasa. "Edan...! Bagaimana jadinya kalau cahaya itu
menghantam tubuhku...?" desis Bayu dalam hati.
Sementara, Dewa Bayangan Putih sudah kem-
bali melesat mendekati Pendekar Pulau Neraka.
Dan langsung kakinya menjejak di samping pe-
muda berbaju kulit harimau ini. Tangannya cepat mencekal pergelangan tangan
Bayu. Dan.... "Hey..."!"
Bayu jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba tubuhnya terasa tersentak keras.
Dan belum lagi bisa menyadari apa yang terjadi, Dewa Bayangan
Putih sudah melesat dengan kecepatan bagai kilat tanpa dapat dicegah lagi. Belum
juga Bayu men-gucapkan sesuatu, tahu-tahu sudah berada begi-
tu jauh dari tempat yang membingungkan di-
rinya. Begitu tiba di suatu tempat, mereka berhenti.
Pendekar Pulau Neraka langsung berdiri di depan Dewa Bayangan Putih dengan
tangan masih ter-cekal erat. Dewa Bayangan Putih baru mele-
paskan, setelah mendapatkan tatapan yang begi-
tu tajam dari Pendekar Pulau Neraka.
*** 2 "Apa yang kau lakukan padaku, Ki?" tanya
Bayu meminta penjelasan.
"Kau seharusnya berterima kasih padaku,
Anak Muda. Itu berarti aku sudah menyela-
matkanmu," sahut Dewa Bayangan Putih dingin,
tanpa tekanan sedikit pun pada suaranya.
"Kau selamatkan aku" Selamat dari apa...?"
Bayu kembali meminta penjelasan.
"Kematian yang sia-sia," sahut Dewa Bayangan
Putih singkat dan datar.
"Jangan mengada-ada, Ki. Aku masih sanggup
menghadapi serangan gila seperti itu. Bahkan
yang lebih gila pun pernah kuhadapi," dengus
Bayu jadi kesal juga menghadapi orang tua aneh
ini. "Kau tidak akan bisa menghadapinya, Anak
Muda. Bukan manusia yang kau hadapi tadi. Ta-
pi, iblis dari neraka."
"Aku..., aku semakin tidak mengerti...," Bayu
kelihatan kebingungan sekali mendengar kata-
kata Dewa Bayangan Putih.
"Dengar, Anak Muda. Kau sekarang berada da-
lam neraka yang sewaktu-waktu bisa menghan-
curkan seluruh kehidupanmu. Hanya dalam pan-
danganmu saja sepertinya kau berada di sebuah
desa. Tapi, sebenarnya desa itu adalah neraka
bagi semua orang sepertimu. Termasuk aku
ini...," Dewa Bayangan Putih mencoba menje-
laskan. Tapi penjelasan orang tua itu malah membuat
Bayu semakin bertambah bingung. Benar-benar
sulit dimengerti semua yang diutarakan Dewa
Bayangan Putih barusan. Dan dia juga tidak ta-
hu, apa yang sedang terjadi di sekitarnya selama ini. Baru siang tadi Pendekar
Pulau Neraka sampai di Desa Caringin, tapi sudah beberapa keja-
dian aneh dan membingungkan yang ditemuinya.
Bahkan baru saja mengalami peristiwa aneh yang
membuat kepalanya semakin dipenuhi segala ma-
cam pertanyaan yang sulit dijawab untuk seka-
rang ini.

Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah lebih dari tiga purnama ini aku terus
membayanginya. Dan sudah beberapa kali aku
bentrok dengannya. Tapi, sampai sekarang belum
juga bisa kuhentikan semua perbuatan iblisnya.
Bahkan sepak terjangnya semakin ganas. Walau-
pun, semua yang menjadi korbannya bisa dikata-
kan bukan orang baik-baik. Hanya saja, dia tidak memandang, sampai sejauh mana
kejahatan yang dilakukan korbannya. Memang banyak orang
yang senang akan tindakannya. Tapi, bagiku se-
mua yang dilakukannya di luar batas kemanu-
siaan. Dan aku tidak menyukai tindakan yang
tanpa aturan seperti itu," keluh Dewa Bayangan Putih seakan sedang mengeluarkan
segala keke-salan yang terpendam dalam hatinya.
"Siapa orang itu, Ki?" tanya Bayu.
"Entahlah.... Sampai saat ini aku sendiri belum tahu, siapa dia sebenarnya,"
sahut Dewa Bayangan Putih agak mendesah nada suaranya. "Wa-
laupun sudah beberapa kali bentrok dengannya,
tapi belum pernah wajahnya bisa kulihat dengan
jelas. Setiap kali muncul dia selalu berpakaian seperti terbuat dari emas. Dan
semua senjata yang digunakannya juga bagai terbuat dari emas."
Bayu terdiam dengan kening berkerut. Dari ce-
rita Dewa Bayangan Putih tadi, sedikitnya sudah bisa dimengerti apa yang tengah
terjadi di Desa Caringin ini. Bayu bisa langsung menduga kalau
orang yang melakukan semua pembunuhan itu
menyimpan dendam mendalam. Dan mungkin dia
bertekad membunuh siapa saja yang pernah me-
lakukan kejahatan. Entah dendam apa yang ada
dalam hatinya, hingga membantai semua orang
yang pernah berkecimpung dalam dunia hitam.
Bahkan mereka yang sudah lama meninggalkan
dunia kelam pun tak lepas dari incarannya.
Di dalam hatinya, Bayu langsung sependapat
dengan Dewa Bayangan Putih. Apa pun alasan-
nya, tindakan hantam kromo seperti itu tidak dapat dibenarkan. Dan Bayu jadi
semakin ingin mengetahui, bahkan kalau bisa menghentikan se-
gala pembunuhan liar seperti itu. Walaupun, yang menjadi korbannya sudah jelas
mereka yang berjalan dalam dunia hitam.
"Ada satu lagi yang menjadi pertanyaan di da-
lam hatiku sampai sekarang ini, Anak Muda," ka-
ta Dewa Bayangan Putih.
"Apa itu, Ki?" tanya Bayu ingin tahu.
"Dia selalu muncul di malam hari. Dan tidak
pernah keluar dari Desa Caringin ini. Bahkan semua penduduk desa, seakan-akan
begitu senang atas kemunculannya, karena segala bentuk keja-
hatan memang tidak pernah tenggelam di desa
ini," jelas Dewa Bayangan Putih lagi.
"Apa tidak mungkin orang itu juga penduduk
Desa Caringin ini, Ki?" Bayu langsung menduga.
"Dugaan seperti itu sudah ada sejak sepak ter-
jangnya kuamati, Anak Muda. Tapi sampai seka-
rang ini, aku belum punya bukti kuat untuk me-
mastikannya. "
"Aku akan mencoba menyelidikinya, Ki," tegas
Bayu. "Tidak semudah apa yang kau kira, Anak Mu-
da. Kau pasti akan mendapat kesulitan dari pen-
duduk desa ini. Mereka tidak akan mau mengata-
kan siapa dan di mana orang itu."
"Tapi perbuatannya harus segera dihentikan,
Ki. Bukannya tidak mungkin, hal itu akan menja-
di kebiasaan. Sehingga, bisa saja dia membunuh
siapa saja tanpa pandang bulu."
Dewa Bayangan Putih jadi terdiam. Entah ke-
napa, matanya jadi memandangi Pendekar Pulau
Neraka dengan sinar yang begitu sukar diartikan.
Sedangkan Bayu malah mengarahkan pandan-
gan ke Desa Caringin yang masih tetap lelap da-
lam buaian malam. Dan saat itu, terdengar jerit seekor monyet Bayu jadi
tersentak. Langsung in-gatannya tertuju pada Tiren yang ditinggalkan-
nya. Tapi belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa
berbuat sesuatu, terlihat seekor monyet kecil berlari-lari sambil mencerecet
ribut menghampiri.
Bayu langsung mengulurkan tangannya. Dan
monyet kecil berbulu hitam itu pun melompat
naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka, langsung
memeluk erat leher seakan ingin mengatakan se-
suatu pada pemuda ini. Bayu hanya menepuk
kepala monyet kecil itu dengan lembut, seakan
ingin menenangkannya.
"Maaf, aku tadi terpaksa memisahkan kalian
berdua," ucap Dewa Bayangan Putih.
Tidak apa, Ki. Tiren selalu tahu, di mana aku
berada," sahut Bayu seraya tersenyum, dan men-
gelus kepala monyet kecilnya.
Dewa Bayangan Putih juga tersenyum melihat
Tiren merapatkan tubuhnya ke leher Pendekar
Pulau Neraka. Tangannya yang kecil melingkari
leher pemuda ini, seakan ingin melindungi diri
dari terpaan angin yang semakin terasa dingin di tengah malam ini. Sementara
bulan perlahan mulai menampakkan cahayanya dari gumpalan awan
hitam yang semakin terlihat menipis di angkasa.
Cahayanya yang keemasan mulai menyirami Desa
Caringin. "Biasanya tidak akan ada kejadian lagi setelah
lewat tengah malam. Sebaiknya, kau beristirahat di tempatku saja, Anak Muda,"
ajak Dewa Bayangan Putih, menawarkan.
"Kau punya tempat tinggal di sini, Ki?" tanya
Bayu. "Hanya gubuk kecil yang kubangun di luar de-
sa. Tidak jauh dari sini," sahut Dewa Bayangan
Putih. Bayu mengayunkan kakinya, begitu Dewa
Bayangan Putih juga melangkah meninggalkan
tempat ini. Mereka berjalan bersisian sambil terus membicarakan peristiwa yang
tengah terjadi di
Desa Caringin. Mereka terus menyusuri tepian
hutan yang melingkari desa ini, bagai sebuah
benteng pertahanan untuk berlindung dari seran-
gan orang luar.
*** Rumah yang ditempati Dewa Bayangan Putih
memang tidak begitu besar. Hanya ada satu ka-
mar tidur dan ruangan depan yang menyatu den-
gan ruangan tengah, yang hanya dipisahkan oleh
selembar kain tipis berwarna merah muda. Tidak
ada yang bisa dilihat di dalam rumah ini. Bahkan untuk tidur pun hanya berupa
sebuah balai bambu beralaskan selembar tikar daun pandan yang
sudah lusuh. "Kau bisa tidur di dalam. Aku cukup di sini sa-
ja," kata Dewa Bayangan Putih, seraya menunjuk
hamparan tikar yang menggeletak di sudut ruang
tengah. "Terima kasih, Ki. Sebaiknya, aku saja yang ti-
dur di sini," sahut Bayu menolak halus.
"Kau tamuku, Anak Muda. Sudah sepantasnya
aku memberi yang terbaik untukmu."
"Bukannya aku menolak, Ki. Tapi aku sudah
terbiasa tidur beratap langit Dan aku sudah berterima kasih sekali bisa berada
dalam ruangan tertutup, jauh dari gangguan embun."
Dewa Bayangan Putih mengangkat bahunya
sedikit, tidak dapat lagi memaksa Bayu agar mau tidur di dalam kamar. Sedangkan
Pendekar Pulau Neraka sendiri sudah merebahkan dirinya di su-
dut ruangan yang hanya beralaskan selembar ti-
kar saja. Tak lama Dewa Bayangan Putih men-
gambil selembar tikar lagi yang tergulung di sudut lain dari ruangan ini.
Digelarnya tikar itu, tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka.
"Kenapa tidak di dalam saja, Ki?" tegur Bayu
melihat orang tua itu merebahkan dirinya di da-
lam ruangan ini juga.
"Kau dan aku sama, Anak Muda. Sudah terbia-
sa tidur beratap langit. Rumah ini memang sudah kosong waktu aku datang. Tidak
pantas kalau ada perbedaan di antara kita di dalam rumah ini,"
kilah Dewa Bayangan Putih lembut.
Bayu menggeliatkan tubuhnya sedikit, kemu-
dian duduk bersila. Sedangkan Tiren sudah men-
dengkur di sebelahnya dengan tubuh melingkar
memeluk lututnya sendiri. Sementara, Dewa
Bayangan Putih tetap telentang melipat kedua
tangannya di bawah kepala. Pandangannya lurus,
menatap langit-langit ruangan ini. Beberapa saat mereka terdiam, tidak ada yang
membuka pembicaraan lebih dulu. Begitu sunyinya, sehingga tarikan napas dan
detak jantung mereka berdua ja-
di terdengar jelas.
"Sejak kapan kau menempati rumah ini, Ki?"
tanya Bayu memecah kebisuan yang terjadi di an-
tara mereka. "Sejak mengintai wanita itu," sahut Dewa
Bayangan Putih.
"Wanita...?"
"Ya! Dia seorang wanita. Dan semua orang se-
lalu menyebutnya Perempuan Bertopeng Emas,"
kata Dewa Bayangan Putih menjelaskan lagi.
"Nama yang penuh teka-teki...," desis Bayu
perlahan. "Memang. Dan, sangat cocok dengan perbua-
tannya. Dia seperti baru bangkit dari alam kubur, lantas membantai orang-orang
yang sepertinya
terkait dengan kematiannya," sambung Dewa
Bayangan Putih juga pelan suaranya, seakan bi-
cara pada diri sendiri.
"Tentunya kau sudah cukup banyak tahu ten-
tang dirinya, Ki. Sudah cukup lama kau mengin-
tainya," ujar Bayu lagi.
"Bisa dikatakan begitu, Anak Muda. Tapi
sayangnya, apa yang kuketahui selama ini belum
cukup untuk mengetahui tentang dia sebenar-
nya," sahut Dewa Bayangan Putih mengakui ke-
kurangannya. "Dia selalu muncul seperti hantu, Ki?" tanya
Bayu lagi. "Sulit untuk memperkirakannya, Anak Muda.
Memang gerakannya seperti hantu. Muncul dan
menghilang begitu saja, tanpa dapat diikuti jejaknya. Seakan, dia tidak pernah
menapak tanah. Berkali-kali aku selalu mendapat kesukaran un-
tuk mendapatkan jejaknya!" jelas Dewa Bayangan
Putih lagi. Bayu terdiam membisu. Keningnya terlihat
berkerut begitu dalam, seakan tengah memikir-
kan sesuatu. Sementara Dewa Bayangan Putih
sudah memejamkan matanya. Tarikan napasnya
terdengar begitu halus dan teratur. Sedangkan
Bayu masih sulit memejamkan matanya. Pikiran-
nya terus menerawang, mencerna semua cerita
Dewa Bayangan Putih.
Pendekar Pulau Neraka merasakan hatinya be-
gitu tergerak untuk menyingkap tabir yang me-
nyelimuti seluruh Desa Caringin ini. Terutama
sekali, tabir teka-teki yang menyelimuti wanita yang selama ini dikenal berjuluk
Perempuan Bertopeng Emas itu. Wanita yang sudah meminta
korban cukup banyak, dari orang-orang yang ber-
kecimpung dalam dunia hitam.
"Aneh...," gumam Bayu, bicara pada diri sendi-
ri. Beberapa kali kepala Pendekar Pulau Neraka
bergerak menggeleng dan keningnya semakin da-
lam berkerut Beberapa kali pula terdengar suara decakan dari bibirnya yang terus
merapat. Sementara malam terus merayap menjelang pagi.
Angin yang bertiup menerobos lubang-lubang
dinding rumah ini, menyebarkan udara dingin
yang cukup membuat tubuh menggigil. Dan Pen-
dekar Pulau Neraka semakin sulit memejamkan
matanya. Entah berapa kali matanya melirik De-
wa Bayangan Putih yang dengkurnya sejak tadi
sudah terdengar halus. Orang tua itu pasti sudah terlelap dalam buaian mimpi.
*** Desa Caringin memang bukan desa kecil, wa-
laupun dikelilingi hutan yang lebat dan bukit
Penduduknya sangat padat, dengan rumah-
rumah yang hampir merapat letaknya. Bayu sen-
diri sempat heran melihat semua penduduknya.
Mereka seperti tidak merasa kalau ada seorang
pembunuh liar yang hampir setiap malam selalu
meminta korban nyawa. Memang tidak ada alasan
untuk merasa takut atau cemas, karena pembu-
nuh itu hanya mengambil korban dari orang-
orang yang hidupnya berada dalam lembah hitam.
Sejak matahari mulai terbit tadi, Bayu sudah
mengelilingi desa ini untuk mengamati keadaan
dan suasananya. Semua ini memang membuat di-
rinya semakin diselimuti berbagai macam perta-
nyaan. Semua orang yang dijumpai, tidak satu
pun yang menampakkan wajah takut atau kece-
masan terhadap kemunculan Perempuan Berto-
peng Emas itu. Bahkan sampai matahari berada
di atas kepala, sama sekali tidak terdengar ada seorang pun yang membicarakan
wanita itu. Bahkan korban-korbannya mereka lupakan begi-
tu saja. Kejadian semalam pun tidak ada yang
membicarakannya. Dan ini yang membuat Bayu
jadi bertanya-tanya sendiri dalam benaknya.
"Nguk!"
"Kau sudah lapar, Tiren?" tanya Bayu sambil


Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpaling menatap monyet kecil di pundaknya.
"Nguk!" Tiren mengangguk kecil, seakan men-
gerti apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka.
"Sebentar kita cari kedai dulu," ujar Bayu se-
raya tersenyum.
"Nguk!"
Senyuman Bayu semakin lebar, melihat Tiren
menunjuk ke depan. Dan memang, tidak jauh ter-
lihat sebuah kedai yang pengunjungnya tidak be-
gitu ramai. Sebuah kedai yang tidak begitu besar dan cukup terbuka, terletak di
bawah pohon be-ringin yang sangat besar. Hingga, keadaannya terlihat begitu
damai dan menyejukkan. Bayu lang-
sung mengarahkan kakinya menuju ke kedai itu.
Pendekar Pulau Neraka berhenti sebentar, begi-
tu berada di depan kedai ini. Hanya ada lima pengunjung yang semuanya berada
dalam satu meja.
Tapi dari pakaian dan senjata yang dibawa, jelas sekali kalau mereka dari
kalangan persilatan.
Bayu segera melangkah memasuki kedai itu. Sa-
lah seorang dari pengunjung melirik ke arahnya
sedikit, tapi kemudian tidak mempedulikannya.
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengambil
tempat agak ke sudut. Tidak berapa lama, seo-
rang wanita berwajah cantik dan berbaju biru
muda agak ketat yang membungkus tubuh ram-
pingnya, datang menghampiri. Senyumnya lang-
sung terkembang begitu manis, membuat setiap
mata laki-laki yang memandangnya pasti tidak
akan berkedip. Bayu membalas senyuman itu se-
dikit saja. "Mau makan, Den...?" sapa wanita itu dengan
suara lembut. "Ya," sahut Bayu singkat.
"Makan apa?"
"Apa saja yang ada di sini. Juga, sediakan sesi-sir pisang untuk sahabatku ini,"
sahut Bayu sambil menempatkan Tiren di atas meja.
"Sebentar disiapkan, Den."
Wanita itu kembali meninggalkannya. Tapi
hanya sebentar saja, dia sudah kembali lagi bersama seorang laki-laki tua yang
membawa sebuah baki cukup besar, penuh berisi makanan serta
seguci arak. Dengan sikap lembut disertai se-
nyum manis tersungging di bibir, wanita itu me-
nyiapkan hidangan yang dipesan Bayu di atas
meja di depannya. Sementara Bayu hanya mem-
perhatikan saja sekilas.
"Silakan, Den," ucap wanita itu setelah selesai dengan pekerjaannya.
"Terima kasih," ucap Bayu seperti tidak peduli.
Tapi ketika wanita itu hendak pergi meninggal-
kannya, cepat Bayu menangkap pergelangan tan-
gan kirinya. Seketika wanita itu agak terperanjat.
Sementara, laki-laki tua yang datang bersamanya tadi sudah tidak terlihat lagi
di dalam ruangan kedai yang terbuka ini.
"Kau bisa menemaniku makan di sini...?" Bayu
langsung menawarkan.
Wanita itu tersenyum manis sekali. Tanpa bi-
cara sedikit pun juga, dia langsung saja duduk di sebelah kiri Pendekar Pulau
Neraka. Bayu sempat mencium bau harum tubuh wanita yang berwajah
cantik ini. Sementara, lima orang yang sudah ada di kedai ini sejak tadi menatap
Bayu dengan sorot mata memancarkan ketidaksenangan. Bahkan salah seorang
langsung menyemburkan ludahnya
dengan sikap sengit Tapi pemuda berbaju kulit
harimau itu sama sekali tidak mempedulikannya.
Malah duduknya dirapatkan pada wanita di sebe-
lahnya ini. "Boleh aku tahu namamu, Nisanak...?" tanya
Bayu. "Tarsih," sahut wanita itu memperkenalkan di-
ri. "Nama yang cantik, secantik orangnya," puji Bayu.
"Ah, Aden bisa saja...," Tarsih jadi tersipu, dan langsung menunduk mendapat
pujian. Sedangkan Bayu mulai menikmati makanan-
nya. Tiren juga seperti tidak mempedulikan kea-
daan sekelilingnya. Binatang lucu ini begitu nikmat menyantap pisang yang
disediakan khusus
untuknya. Sementara, Tarsih selalu menambah-
kan arak ke dalam bambu yang selalu kosong di-
hirup Pendekar Pulau Neraka. Sementara senyum
manis tidak pernah terlepas dari bibirnya yang
merah menggairahkan.
"Kau asli penduduk desa ini, Tarsih?" tanya
Bayu lagi. Tarsih hanya menganggukkan kepala saja.
"Dan yang tadi itu, ayahmu...?" tanya Bayu la-
gi. "Dia bekas pelayan ayahku," sahut Tarsih begitu lirih.
"Bekas pelayan...?" kening Bayu jadi berkerut,
langsung menghentikan makannya.
"Iya. Hanya Ki Radut yang masih setia mengi-
kutiku. Sedangkan yang lainnya sudah tidak ada
lagi sejak...," Tarsih tidak melanjutkan.
"Orangtuamu sudah meninggal...?" tebak Bayu
langsung. Tarsih hanya menganggukkan kepala saja. Dan
wanita ini jadi terus tertunduk dengan wajah
mencerminkan duka. Bayu merasa jadi tidak
enak atas pertanyaannya yang membuat wanita
ini jadi berubah murung.
"Maaf, tidak seharusnya aku banyak bertanya,"
ucap Bayu cepat-cepat.
"Ah, tidak apa-apa...," sahut Tarsih kembali
tersenyum. Bayu membalas senyuman itu dengan manis.
"Sejak beberapa tahun ini, hanya kau yang ba-
ru menanyakan itu. Mereka semua sudah melu-
pakannya. Padahal, peristiwa itu selalu saja datang membayangiku," ujar Tarsih
pelan suaranya, sehingga hampir tidak terdengar di telinga Pendekar Pulau
Neraka. Baru saja Bayu membuka mulutnya hendak
bertanya lagi, tiba-tiba saja....
"Tarsih...!"
"Oh..."!"
Tarsih jadi tersentak kaget, begitu terdengar
suara yang keras menggelegar memanggilnya. Wa-
jahnya seketika jadi memucat, begitu melihat salah seorang dari lima orang
pengunjung kedai
yang sejak tadi memperhatikan Bayu berdiri den-
gan berkacak pinggang. Wajahnya kelihatan begi-
tu garang, dengan sepasang bola mata merah
menyala. Kumis tebal menghiasi bibirnya yang
besar. Kulitnya juga kelihatan hitam terjemur matahari. Sepasang gelang berwarna
hitam berben- tuk ular yang menggigit ekornya sendiri, terpa-
sang pada kedua pergelangan tangannya.
Tarsih langsung bangkit berdiri dengan tubuh
bergetar. Sementara, Bayu hanya memperhatikan
saja dengan kelopak mata agak menyipit.
"Ke sini kau...!" bentak laki-laki bertubuh besar dan kekar dengan wajah garang
itu kasar. "Iii.., iya. Sebentar, Kang...," sahut Tarsih ter-bata.
Bergegas Tarsih menghampiri dengan sikap be-
gitu takut. Sementara, Bayu terus memperhati-
kan tanpa berkedip sedikit pun. Tarsih terbung-
kuk-bungkuk, begitu sampai di depan laki-laki
bertubuh besar dan kekar ini. Dan tiba-tiba sa-
ja.... Plak! "Aouwh...!"
"Heh..."!"
Bayu jadi terlonjak begitu melihat tangan yang
besar itu menampar wajah cantik wanita pelayan
kedai ini. Sementara, Tarsih langsung berputar
dan jatuh menimpa meja. Saat itu, laki-laki bertubuh kekar ini sudah melompat
menghampiri. Langsung dicengkeramnya batang leher Tarsih.
Seketika wanita itu jadi terpekik. Dan sebelum
ada yang sempat menyadari, tahu-tahu tubuh
Tarsih sudah terangkat. Lalu....
"Perempuan rendah! Mampus kau! Hih...!"
Bruk! "Akh...!"
*** 3 Kembali Tarsih terpekik, begitu tubuhnya di-
lempar dengan keras sekali ke atas permukaan
meja. Begitu kerasnya, hingga meja itu hancur
berkeping-keping. Sementara wanita itu jatuh
bergulingan di lantai kedai ini. Bayu yang me-
nyaksikan semua itu kontan mendidih darahnya.
Tidak mungkin hatinya tak tersentuh melihat seorang wanita lemah tersiksa begitu
rupa. Langsung dia melompat, tepat di saat kaki yang besar dan berbulu itu sudah
terangkat hendak menginjak
tubuh ramping yang tergeletak di lantai tanah ini.
Seketika dilepaskannya tendangan keras ke arah
kaki berbulu itu. Dan....
Plak! "Akh...!"
Tiba-tiba saja laki-laki bertubuh besar itu me-
mekik keras agak tertahan, begitu kakinya ter-
hantam kaki Pendekar Pulau Neraka. Dan tahu-
tahu tubuhnya terpental ke belakang hingga
menghantam meja yang ditempatinya bersama
empat orang temannya. Mereka jadi begitu terke-
jut melihat meja yang ditempati hancur tertimpa tubuh besar dan kekar.
Sementara, Tarsih bangkit berdiri dibantu Bayu yang tahu-tahu sudah
berada di dekatnya.
"Keparat..! Monyet buntung!" umpat laki-laki
bertubuh kekar itu seraya bangkit berdiri dengan beringas.
Kedua bola mata laki-laki itu semakin merah
menyala, melihat Tarsih kini berada dalam deka-
pan seorang pemuda tampan yang mengenakan
baju dari kulit harimau itu. Sedangkan empat
orang lainnya sudah langsung mencabut senjata
masing-masing. Sedangkan laki-laki bertubuh
kekar yang tadi tendangannya dipapak Bayu,
langsung mencabut goloknya yang besar dari ba-
lik ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit sapi.
"Menyingkirlah. Akan kuhadapi mereka," ujar
Bayu sambil mendorong pelan tubuh wanita pe-
layan kedai itu.
Sambil meringis menahan sakit di sekujur tu-
buhnya, Tarsih melangkah mundur menjauhi
Pendekar Pulau Neraka. Saat itu, dari belakang
kedai muncul Ki Radut Laki-laki tua itu bergegas menghampiri Tarsih, dan
membawanya ke belakang. Tapi, Tarsih berhenti begitu mencapai pintu yang
memisahkan ruangan kedai ini dengan bagian belakang. Sementara, Bayu sudah
dikelilingi lima orang yang semuanya sudah menghunus
senjata di tangan kanan.
"Monyet jelek! Kau belum tahu siapa kami,
heh..."!" bentak laki-laki bertubuh kekar itu
menggeram marah.
"Aku tahu, siapa kalian semua. Kalian adalah
tikus-tikus busuk yang beraninya hanya pada pe-
rempuan lemah," sahut Bayu begitu dingin nada
suaranya. "Beledek! Kau akan mampus di tangan Lima
Begal Sungai Ular!" geram laki-laki bertubuh kekar itu semakin berang.
"Sudah.... Jangan banyak bicara, Kakang. Bu-
nuh saja manusia picik ini!" selak salah seorang, tidak dapat lagi menahan
kegeramannya. Dan saat itu juga....
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, laki-laki
bertubuh kekar itu langsung saja melompat me-
nerjang disertai ayunan goloknya yang besar, tepat mengarah ke kepala pemuda
berbaju kulit ha-
rimau ini. Bet! "Hap...!"
Tapi hanya dengan egosan kepala sedikit saja,
tebasan golok itu bisa dihindari Bayu dengan
mudah. Bahkan tanpa diduga-duga, tangan ka-
nan Pendekar Pulau Neraka bergerak cepat Lang-
sung dilepaskannya satu sodokan yang mengarah
tepat ke bagian tengah dada laki-laki ini.
Diegkh! "Hegkh...!"
Laki-laki bertubuh kekar itu langsung ter-
huyung ke belakang dengan tubuh agak terbung-
kuk. Melihat itu, empat orang lainnya jadi berang setengah mati. Tanpa
diperintah lagi, mereka
yang berjuluk Lima Begal Sungai Ular langsung
berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Hup! Yeaaah...!"
Tapi sebelum serangan sampai, Bayu sudah
melesat cepat bagai kilat melewati atas kepala
mereka. Dan Pendekar Pulau Neraka langsung
melesat keluar dari kedai itu. Indah sekali gerakannya saat berputar di udara,
lalu ringan sekali kakinya menjejak tanah. Pendekar Pulau Neraka
langsung berdiri tegak, menanti Lima Begal Sun-
gai Ular. Dan memang seperti yang diduga Pendekar Pu-
lau Neraka, lima orang laki-laki bertampang bengis itu berlompatan keluar
mengejarnya. Dua
orang langsung saja menyerang dengan senjata
golok yang besar ke arah kepala dan kaki. Tapi
hanya sedikit melompat dan merundukkan tu-
buh, serangan serentak itu berhasil dihindari
Bayu dengan manis. Bahkan begitu cepat sekali
tubuhnya berputar sambil melepaskan tendangan


Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beruntun yang begitu keras disertai sedikit pengerahan tenaga dalam. Begitu
cepatnya tendangan
yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, sehingga dua orang lawannya tidak dapat
lagi menghindar.
Diegh! Dugh! "Aaakh...!"
"Ugh!"
Dan kedua orang itu kontan menjerit begitu
tubuhnya terpental akibat tendangan yang sangat keras ini. Sementara, Bayu
kembali berdiri tegak.
Di pandangnya dua orang lawannya yang bergu-
lingan di tanah sambil mengerang menahan sakit
di tubuhnya. "Serang! Bunuh monyet keparat itu...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
*** Pendekar Pulau Neraka cepat melenting ke
atas, begitu kelima orang yang menamakan diri
Lima Begal Sungai Ular itu berlompatan menye-
rang secara bersamaan. Dan pada saat itu juga,
dengan gerakan cepat luar biasa Bayu berputaran di udara. Seketika dilepaskannya
pukulan beruntun beberapa kali dengan kecepatan tinggi, diser-
tai pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh.
Begitu cepat pukulan-pukulannya, sehingga
membuat Lima Begal Sungai Ular tidak dapat
menghindari lagi.
Plak plak plakkk...!
"Aaakh...!
"Ugh!"
Dan jeritan-jeritan keras pun terdengar saling
sambut, mengiringi tubuh-tubuh yang berpenta-
lan dan jatuh bergulingan di tanah.
Entah bagaimana caranya, di tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka sudah tergenggam lima
buah golok yang dirampasnya dari tangan kelima
orang lawannya. Pendekar Pulau Neraka berdiri
tegak memadangi Lima Begal Sungai Ular yang
bergelimpangan sambil merintih menahan sakit di sekujur tubuhnya, akibat terkena
pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Sambil meringis dan me-
rintih, mereka bangkit berdiri. Tapi mereka jadi terkejut setengah mati, begitu
melihat senjata
masing-masing sudah berpindah tangan tanpa
diketahui lagi.
"Sebaiknya kalian cepat angkat kaki dari sini,
sebelum pikiranku berubah untuk menghirup da-
rah kalian!" terdengar begitu dingin suara Bayu.
"Nih...!"
Sekali sentak saja, lima buah golok yang bera-
da dalam genggaman tangan Bayu terlempar ke
depan, dan tepat jatuh menancap di depan kaki-
kaki kelima orang itu. Seketika mereka jadi terbeliak lebar dengan wajah kontan
memucat Maka tanpa mengeluarkan suara lagi, mereka bergegas
mengambil golok masing-masing, dan langsung
berlarian meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu jadi tersenyum melihat lima orang laki-
laki bertubuh kekar dengan wajah garang itu berlarian seperti lima ekor kelinci
melihat harimau.
Sambil tersenyum-senyum, Pendekar Pulau Nera-
ka kembali melangkah masuk ke dalam kedai.
Sedangkan Tarsih dan pelayan tuanya langsung
menyambutnya di pintu kedai. Mereka membawa
Pendekar Pulau Neraka kembali duduk di me-
janya semula. "Ada yang sakit...?" tanya Bayu langsung sam-
bil menatap Tarsih yang duduk di samping ki-
rinya. "Tidak," sahut Tarsih seraya menggeleng.
Bayu memperhatikan wanita itu beberapa saat
Deraan yang diterima Tarsih tadi memang sangat
menyakitkan bagi orang biasa. Tapi, kelihatannya Tarsih sama sekali tidak
merasakan sakit Bahkan sedikit pun tidak terlihat luka di wajah maupun tubuhnya.
Wanita ini masih tetap kelihatan cantik, walaupun tadi sampai terbanting
menghan- tam meja hingga meja itu hancur berkeping-
keping. Sementara Bayu sempat melirik keluar.
Dan saat itu juga, keningnya jadi berkerut.
"Aneh...," desis Bayu tanpa sadar.
"Apanya yang aneh, Den?" tanya Ki Radut yang
duduk di seberang meja.
"Ah, tidak apa-apa...," sahut Bayu langsung
mengambil lodong bambu, dan meneguknya hing-
ga tandas tak tersisa lagi.
Tarsih segera menuangkan kembali arak dari
dalam guci ke dalam lodong bambu di tangan
Pendekar Pulau Neraka itu. Sementara Bayu
kembali melirik keluar kedai. Begitu banyak orang yang lalu-lalang di jalan
depan kedai ini. Tapi, tidak ada seorang pun yang peduli dengan perta-
rungan tadi. Seakan, mereka tidak mau tahu
dengan urusan orang lain. Bahkan tidak seorang
pun yang melirik ke kedai ini.
"Mereka memang begitu, Kang," ujar Tarsih,
yang kini langsung tidak lagi memanggil Raden-
pada Bayu. Kelihatannya wanita itu tahu apa yang ada di
dalam kepala Pendekar Pulau Neraka. Kata-kata
Tarsih membuat kening Bayu jadi berkerut, me-
mandang wajah cantik yang duduk di sebelahnya.
"Semua orang di sini terlalu sibuk dengan diri
sendiri. Jadi, tidak ada perhatian sedikit pun
dengan sekitarnya," sambung Ki Radut.
Bayu hanya diam saja. Entah, apa yang ada
dalam kepalanya saat ini. Diteguknya sedikit arak dan diletakkannya lodong bambu
itu ke atas me-ja. Sedangkan tangan kirinya mengusap kepala
Tiren. Monyet kecil itu hanya menyeringai, mem-
perlihatkan baris-baris giginya yang kecil dan sedikit runcing.
"Mereka tidak akan peduli dengan sekeliling-
nya, meskipun desa ini dibayangi kehancuran,"
sambung Ki Radut lagi.
"Kehancuran bagaimana, Ki?" tanya Bayu jadi
ingin tahu. "Raden sudah dengar pembunuhan-
pembunuhan yang terjadi di sini...?" Ki Radut malah balik bertanya.
Bayu hanya diam saja. Wajahnya begitu datar,
seakan tidak memperhatikan pertanyaan yang di-
lontarkan laki-laki tua itu. Tapi tatapannya justru begitu tajam, menembus
langsung ke bola mata
Ki Radut Sehingga orang tua itu jadi tidak menen-tu perasaannya.
"Sudah lebih dari dua purnama terjadi pembu-
nuhan di desa ini, Den. Memang, yang menjadi
korban adalah orang-orang jahat Tapi semua
penduduk desa ini tidak menyadari kalau sebe-
narnya juga terancam. Raden lihat sendiri, mere-ka begitu tidak peduli, walaupun
semalam satu keluarga habis terbantai. Bahkan mayat mereka
juga tidak bisa ditemukan lagi," sambung Ki Ra-
dut. "Apakah tidak ada orang yang berusaha me-
nyelidikinya, Ki?" tanya Bayu.
"Tidak," sahut Ki Radut seraya menggelengkan
kepala. "Mereka malah senang, Kang. Mereka men-
ganggap pembunuh itu akan membuat desa ini
jadi tenteram. Tapi, malah sebaliknya...," selak Tarsih yang sejak tadi diam
saja. "Kalian merasa terganggu?" tanya Bayu lagi.
"Selama ini memang belum, Den. Tapi, aku me-
rasa tidak lama lagi bencana akan datang ke desa ini," sahut Ki Radut
"Bencana apa, Ki?"
"Pembunuh itu pasti akan membantai semua
orang di sini satu persatu. Dan aku, rasanya tinggal menunggu waktu saja," sahut
Ki Radut lagi. Bayu jadi terdiam lagi. Kata-kata Ki Radut yang terakhir membuatnya jadi
tertegun. Perkiraan Ki Radut begitu sama dengan dugaannya yang sudah dikemukakan
pada Dewa Bayangan Maut
semalam. Tapi, inilah yang membuat Bayu jadi
merasa aneh. Sejak datang ke desa ini kemarin, baru Ki Radut saja yang mempunyai
perasaan seperti itu. Sedangkan semua orang di desa ini sa-ma sekali tidak bisa
melihat kalau akan ada bencana yang bakal datang menimpa.
Bayu merasa inilah saatnya bisa memperoleh
keterangan lebih banyak lagi. Maka semua yang
belum diketahuinya terus ditanyakan pada Ki Ra-
dut Hanya sesekali saja Tarsih menambahkan ce-
rita Ki Radut mengenai keadaan di Desa Caringin ini. Tapi semakin banyak cerita
yang masuk, semakin sulit bagi Bayu mencari jalan untuk men-
getahui, siapa wanita yang berjuluk Perempuan
Bertopeng Emas itu.
*** Bayu tidak bisa lagi menolak ketika Tarsih
memintanya untuk menginap di kedainya yang
juga menjadi tempat tinggalnya. Dan memang,
saat itu matahari sudah sejak tadi tenggelam di balik peraduannya. Suasana di
Desa Caringin ini kembali sunyi, tanpa seorang pun terlihat lagi be-
rada di luar rumah.
Wanita itu menyediakan satu kamar yang letak
jendelanya langsung menghadap keluar. Memang,
rumah wanita ini cukup besar, dan berada tepat
di belakang kedainya. Tapi, Bayu belum juga be-
ranjak masuk ke dalam kamarnya. Pemuda ber-
baju kulit harimau itu masih tetap duduk meng-
hadapi meja di sudut kedai. Dan perhatiannya tidak lepas dari jalan yang
langsung menjadi sunyi, begitu matahari tenggelam di ufuk barat.
Keanehan memang begitu terasa di desa ini.
Dan Bayu sangat merasakannya. Tapi, sungguh
tidak diketahuinya, apa yang menjadi sebab dari semua keanehan ini. Hatinya
hanya dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang sukar dijawab.
Bayu melirik sedikit, saat telinganya menden-
gar ayunan langkah kaki yang halus dari sebelah kanan. Tampak Ki Radut datang
menghampiri sambil membawa sebuah pelita kecil di tangan ki-ri. Orang tua itu langsung saja
duduk di depan Pendekar Pulau Neraka, tanpa dipersilakan lagi.
Diletakkannya pelita yang dibawa tepat di tengah-tengah meja. Bayu hanya
memperlihatkan saja
dengan sudut ekor mata.
"Sudah malam. Tidak tidur, Den...?" tegur Ki
Radut lembut. Bayu hanya tersenyum saja menjawab sapaan
lembut dan ramah itu. Ditariknya napas sedikit, dan dihembuskannya dengan kuat.
Ekor matanya sempat memperhatikan Tiren yang sudah meling-
kar di sudut meja ini. Monyet kecil itu memang
mudah sekali jatuh tidur kalau perutnya sudah
terasa kenyang.
"Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Den...?"
ujar Ki Radut lagi masih nada suara sopan.
"Apa yang ingin kau tanyakan, Ki?"
"Boleh aku tahu dari mana asal Raden...?"
tanya Ki Radut langsung.
Kembali Pendekar Pulau Neraka tersenyum, ti-
dak langsung menjawab pertanyaan itu. Baginya
pertanyaan seperti ini tidak pernah didengar. Dan pemuda berbaju kulit harimau
itu sendiri tidak
bisa menjawab pasti, dari mana asalnya. Walau-
pun Bayu tidak bisa melupakan asal kelahiran-
nya, tapi sudah lama mencoba melupakannya.
Dan dia tidak ingin kembali hanyut dalam duka
yang mendalam setiap kali teringat asal-usulnya sendiri. Memang begitu
menyakitkan....
"Aku datang dari sebuah pulau yang jauh dari
sini, Ki. Pulau yang tidak bernama dan tidak ada penghuninya," sahut Bayu
mencoba memuaskan
hati orang tua ini.
"Orangtua Raden...?" tanya Ki Radut lagi seper-
ti sedang menyelidiki Pendekar Pulau Neraka.
"Sudah lama tiada. Sejak aku masih bayi," sa-
hut Bayu pelan.
"Lalu, Raden diasuh siapa di pulau itu?"
"Kakek."
Ki Radut mengangguk-angguk sambil memper-
dengarkan gumaman kecil bagai lebah. Sementa-
ra Bayu mengarahkan pandangan lurus ke depan,
menembus malam yang begitu pekat tanpa dis-
inari cahaya bintang maupun bulan. Malam ini,
langit kelihatan hitam tertutup awan tebal bergulung-gulung. Sehingga membuat
suasana malam di desa ini semakin terasa mencekam.
"Sejak tadi aku tidak melihat Tarsih. Di mana
dia, Ki?" tanya Bayu mengalihkan pembicaraan.
"Dia selalu berada dalam kamarnya kalau su-
dah malam, Den. Baru besok pagi dia keluar dari kamarnya," sahut Ki Radut.
"Kasihan dia. Sepertinya batinnya begitu terte-
kan," desah Bayu perlahan, seakan bicara pada
diri sendiri. "Begitulah keadaannya, Den. Kedua orangtua
dan seluruh saudaranya mati dibantai perampok.
Bahkan rumahnya dibakar bersama semua ke-
luarganya yang mati. Masih untung dia bisa se-
lamat Yah..., kejadian itu memang sudah lama,
Den. Ketika Tarsih sendiri juga masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Tapi, dia
menyaksikan semua kekejaman yang dialami keluarganya. Akulah
yang membawanya pergi dari rumah ketika peris-
tiwa itu terjadi. Tapi yang lebih menyakitkan lagi, semua penduduk di sini tidak
ada yang mau me-nolongnya. Mereka malah hanya menyaksikan sa-
ja tanpa berbuat apa-apa, sampai api menghan-
curkan rumah orangtuanya Tarsih," tutur Ki Ra-
dut dengan suara begitu pelan, mengisahkan ke-


Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidupan Tarsih.
"Menyakitkan sekali...," desis Bayu tanpa sa-
dar. "Memang sangat menyakitkan, Den. Tapi aku
tidak pernah memberi kesempatan padanya un-
tuk melampiaskan dendam. Bahkan aku memeli-
hara dan membesarkannya seperti layaknya seo-
rang wanita. Yah..., kami hidup dari membuka
kedai ini saja, Den. Kedai ini kubangun sendiri, di atas bekas reruntuhan
rumahnya sendiri," sambung Ki Radut menceritakan.
"Tapi aku lihat, kedai ini selalu sepi saja, Ki.
Tidak seperti kedai-kedai lainnya," ujar Bayu. Jelas sekali kalau nada suaranya
menyelidik. "Itulah yang membuatku selalu sedih, Den. Se-
jak membuka kedai ini, tidak ada seorang pendu-
duk pun yang mau datang ke sini. Entah kenapa,
mereka seperti merasa jijik makan di sini. Hanya pengembara dan pendatang saja
yang singgah di
sini. Dan kini belum tentu dapat tamu satu atau dua orang dalam sehari. Aku
sendiri sebenarnya
sudah tidak tahan, Den. Tapi, Tarsih tidak mau
meninggalkan desa ini. Dia tetap bertekad untuk hidup di desa ini, walaupun
semua orang tidak
mau memandangnya, " sambung Ki Radut dengan
bola mata berkaca-kaca.
Sesaat Pendekar Pulau Neraka jadi diam terte-
gun. Keningnya kelihatan berkerut dengan kelo-
pak mata agak menyipit memandangi wajah orang
tua yang duduk di depannya. Entah apa yang ada
dalam pikiran Pendekar Pulau Neraka. Sambil
menghembuskan napas panjang, Bayu bangkit
berdiri dari kursinya. Sedangkan Ki Radut sempat melirik memperhatikannya.
"Aku mau jalan-jalan dulu, Ki," ujar Bayu ber-
pamitan. "Sebaiknya jangan, Den. Bahaya...," cegah Ki
Radut sambil berdiri dari duduknya.
"Kenapa...?" tanya Bayu memancing.
"Apa Raden tidak ingat, ada pembunuh kejam
berkeliaran di desa ini...?"
"Aku tahu, Ki. Aku percaya, dia tidak akan
mencelakakan aku. Dia hanya mencari orang-
orang yang hidup dalam kejahatan saja," sahut
Bayu seraya tersenyum.
Setelah Pendekar Pulau Neraka menepuk lem-
but pundak laki-laki tua itu, kakinya terayun melangkah. Sekilas matanya sempat
melirik Tiren yang masih tetap tidur lelap di atas meja.
"Tolong jaga sahabatku, Ki," pinta Bayu berpe-
san. "Hati-hati, Den. Kembali lagi ke sini, sebelum
tengah malam," pesan Ki Radut.
Bayu hanya tersenyum saja. Sementara ka-
kinya terus terayun melangkah keluar dari dalam kedai ini. Ki Radut sendiri
bergegas meninggalkan kedai, sambil menggendong Tiren yang masih saja terlelap
dalam tidurnya. Sementara, Bayu tenis
mengayunkan kakinya semakin jauh meninggal-
kan kedai itu. Dia menyusuri jalan tanah yang
berdebu dan membelah Desa Caringin ini bagai
menjadi dua. *** 4 Belum jauh berjalan meninggalkan kedai Ki
Radut, Bayu sudah dikejutkan oleh terdengarnya
jeritan panjang yang begitu tinggi dan melengking dari arah timur. Tanpa
membuang-buang waktu
lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh
tingkat sempurna.
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka itu, sehingga larinya bagaikan terbang di
atas angin. Kedua telapak kakinya bagai tidak menyentuh tanah sedi-
kit pun. Dan yang terlihat hanya bayangan kun-
ing yang berkelebat di antara rumah-rumah pen-
duduk Desa Caringin ini.
"Heh..."!"
Bayu sampai terhenyak, begitu melihat seseo-
rang bertubuh ramping terbungkus pakaian kun-
ing bagai terbuat dari emas. Sosok bertubuh wa-
nita itu tengah bertarung sengit menghadapi tiga orang laki-laki berbadan besar
dan kekar bersen-jatakan golok. Terlihat dua orang tubuh laki-laki bertubuh
kekar telah tergeletak tidak jauh dari tempat pertarungan dengan darah
menggenang di sekitarnya. Dan pada saat Pendekar Pulau Neraka bisa
mengenali lawan wanita berpakaian serba kuning
keemasan itu, sudah kembali terdengar jeritan
panjang melengking tinggi dari salah seorang aki-
bat lehernya terlilit selendang emas. Dan ketika selendang itu ditarik oleh
wanita berpakaian serba kuning itu dengan kuat...
Brolll...! Tidak ada lagi terdengar jeritan di saat kepala orang itu tertarik buntung dari
lehernya. Darah seketika menghambur keluar dengan deras sekali
dari leher yang buntung tak berkepala lagi. Hanya sebentar saja dia masih mampu
berdiri tanpa kepala, kemudian tubuhnya ambruk begitu kepa-
lanya jatuh dari belitan selendang kuning keemasan itu.
Sementara, dua orang lainnya yang tersisa jadi
terpaku tidak percaya. Wajah mereka pucat-pasi
seperti mayat, melihat tiga orang temannya sudah menggeletak jadi mayat dengan
darah menggenang di sekitar tubuhnya. Tapi hanya sebentar
saja mereka terpaku bagai tersihir, kemudian....
"Perempuan setan! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Serentak mereka berlompatan menyerang wa-
nita bertopeng kuning keemasan ini dengan golok yang berkelebatan begitu cepat
Tapi saat itu juga, wanita bertopeng kuning keemasan ini juga sudah cepat
mengebutkan selendang mautnya.
Dan.... Bet! Bret! Cras! "Akh!"
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking mengiringi kema-
tian kembali terdengar saling sambut, disusul
ambruknya dua orang laki-laki kekar yang dike-
nali Bayu sebagai dua dari Lima Begal Sungai
Ular. Mereka ambruk menggelepar di tanah den-
gan leher hampir buntung mengucurkan darah
segar begitu deras, sebelum bisa berbuat lebih
banyak lagi. Sementara, sosok tubuh ramping berpakaian
serba kuning emas itu berdiri tegak sambil mem-
belitkan selendang di pinggangnya yang ramping.
Sedangkan Bayu seperti terpana, menyaksikan
semua kejadian yang begitu cepat ini. Dalam wak-tu tidak berapa lama saja, Lima
Begal Sungai Ular sudah tidak ada lagi yang bergerak. Mereka mati secara
mengerikan sekali. Beberapa saat Bayu
berdiri tegak bagai tersihir, memandangi sosok tubuh ramping berpakaian serba
kuning emas itu. "Kau tidak termasuk dalam hitunganku, Bayu.
Jangan coba-coba mencampuri urusanku...."
"Heh..."!"
Bayu jadi tersentak kaget mendengar kata-kata
yang jelas dikeluarkan oleh wanita berbaju kun-
ing itu. Tapi bukan itu yang membuat Bayu jadi
terkejut. Ternyata yang mengenakan topeng pada
wajahnya itu sudah mengenal namanya. Padahal,
rasanya mereka belum pernah bertemu. Dan
mungkin baru kali ini berhadapan muka.
"Siapa kau sebenarnya, Nisanak?" tanya Bayu
langsung begitu bisa menguasai diri.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Bayu. Kau ju-
ga tidak perlu mencampuri urusan ini. Lebih baik lagi, cepatlah tinggalkan desa
ini, sebelum tubuhmu kuhancurkan!" sahut wanita bertopeng
emas itu dingin menggetarkan.
"Hm...," Bayu jadi menggumam perlahan.
Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka mem-
perhatikan wanita berpakaian serba kuning kee-
masan di depannya. Tapi memang sulit bisa men-
genali jelas wajahnya, karena tertutup topeng
berbentuk wajah seorang wanita berwarna kuning
emas. "Dari mana kau tahu namaku, Nisanak?" ter-
dengar agak datar nada suara Bayu.
"Aku tahu nama semua orang yang ada di desa
ini, walaupun baru datang beberapa saat yang la-lu," sahut wanita itu, masih
datar nada suaranya.
"Hm...," kembali Bayu menggumam perlahan.
"Maaf, aku ada urusan lain yang lebih penting,"
ucap wanita itu, seraya membalikkan tubuhnya.
"Tunggu...!"
Bayu cepat mencegah, begitu melihat wanita
berpakaian serba kuning keemasan yang dikenal
berjuluk Perempuan Bertopeng Emas itu hendak
pergi meninggalkannya. Dan Pendekar Pulau Ne-
raka langsung melompat mendekati. Hanya sekali
lesat saja, dia sudah berada sekitar lima langkah lagi di depan Perempuan
Bertopeng Emas ini.
"Mau apa kau..."!" terdengar ketus nada suara
wanita ini. "Kenapa kau lakukan semua ini" Apa kau ingin
membunuh habis semua orang di desa ini...?"
tanya Bayu langsung, tanpa menunggu waktu la-
gi. "Itu urusanku, Bayu. Sebaiknya jangan ikut
campur! Atau, kau ingin kusamakan dengan me-
reka..."!" bentak Perempuan Bertopeng Emas ter-
dengar kesal suaranya.
Dan begitu kata-katanya selesai, Perempuan
Bertopeng Emas ini langsung saja melesat cepat
sekali, meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.
"Hey! Tunggu...!" teriak Bayu, mencoba mence-
gah. "Hup...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Pulau Neraka langsung saja melesat mengejar
wanita berpakaian serba kuning keemasan ini.
Tapi, Bayu jadi kelabakan juga. Baru beberapa
saat wanita itu melesat pergi, ternyata sudah lenyap tidak terlihat lagi. Dan
Bayu terpaksa menghentikan pengejarannya. Dirayapinya kea-
daan sekitarnya, tapi bayangan Perempuan Ber-
topeng Emas memang sudah tak terlihat lagi.
Sungguh cepat sekali menghilangnya, bagaikan
hantu saja. "Ilmu meringankan tubuhnya begitu sempurna,
hingga bisa cepat menghilang tanpa diketahui lagi jejaknya. Hm..., benar apa
kata Dewa Bayangan
Putih. Dia benar-benar seperti hantu yang baru
bangkit dari alam kubur," desis Bayu menggu-
mam pelan, bicara pada diri sendiri.
Beberapa saat Bayu masih mengedarkan pan-
dangan ke sekeliling, memperhatikan sekitarnya.
Sorotan matanya sangat tajam, bagai hendak me-
nembus kegelapan malam yang begitu pekat ini.
"Sebaiknya aku kelilingi saja desa ini," gumam
Bayu mengambil keputusan.
Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya
kembali sambil memperhatikan sekitarnya tanpa
berkedip. Kakinya terus melangkah, mencari ka-
lau-kalau Perempuan Bertopeng Emas itu terlihat lagi. Rasa penasarannya semakin
membakar me-nyulut hatinya. Ayunan langkah kaki Pendekar
Pulau Neraka berhenti, setelah tiba di ujung jalan yang bercabang.
"Hm.... Kalau ke kiri kembali ke rumah Tarsih.
Dan ke kanan..., ini jalan menuju pondok yang ditempati Dewa Bayangan Putih,"
gumam Bayu bi- cara sendiri. Dan setelah Pendekar Pulau Neraka sudah
mengambil keputusan, kakinya terayun ke kiri.
Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-
tiba saja.... "Aaa...!"
"Heh..."!"
*** Bayu tersentak kaget setengah mati, begitu ti-
ba-tiba terdengar jeritan panjang melengking dari sebuah rumah yang berada tepat
di sebelah kirinya. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, terlihat sebuah
bayangan kuning keemasan
melesat cepat bagai kilat, keluar menembus jen-
dela samping rumah itu.
"Hey...!"
Kedua bola mata Bayu seketika terbeliak meli-
hat si Perempuan Bertopeng Emas keluar dari
rumah, menyusul terdengarnya jeritan panjang
melengking tadi. Tanpa berpikir panjang lagi,
Bayu langsung saja melesat mengejar wanita ber-
pakaian serba kuning keemasan itu. Seluruh ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai tingkat kesempurnaan langsung dikerahkan,
hingga bagaikan terbang saja. Dia melesat begitu cepat, melintasi beberapa atap
rumah penduduk.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar
Pulau Neraka mengempos seluruh kepandaiannya
mengejar wanita yang dijuluki Perempuan Berto-
peng Emas. Beberapa kali tubuhnya berputaran
di udara, kemudian cepat bagai kilat meluruk deras ke arah punggung wanita ini.
Tapi begitu jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi....
Bet! Siap...! "Heh..."! Hup...!"


Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cepat Bayu memutar tubuhnya. Langsung di-
hindarinya kilatan cahaya kuning keemasan yang
tiba-tiba saja melesat ke arahnya, bersamaan
dengan berputarnya tubuh Perempuan Bertopeng
Emas itu. Kilatan cahaya kuning keemasan itu
hanya lewat sedikit saja di bawah tubuh Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!"
Kembali Bayu berteriak keras menggelegar,
dengan tubuh terus meluruk deras ke arah wani-
ta berpakaian serba kuning keemasan itu. Dan
seketika itu juga, satu pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna
dilepaskan den-
gan kecepatan sangat tinggi. Namun hanya meli-
ukkan tubuhnya sekali, wanita ini berhasil menghindari pukulan Pendekar Pulau
Neraka. "Hih! Hiyaaa...!"
Rrrt! "Haiiit..!"
Bayu cepat-cepat mengegoskan tubuhnya ke
kanan, begitu Perempuan Bertopeng Emas ini me-
lepaskan selendang kuningnya. Selendang itu me-
luruk deras bagaikan seekor ular naga ke arah
Pendekar Pulau Neraka. Untung saja Bayu cepat
mengegos, sehingga hanya sedikit saja ujung se-
lendang lewat di samping tubuhnya. Namun pada
saat itu juga, selendang kuning keemasan itu
kembali meliuk cepat, dan langsung meluruk ke
arah leher Pendekar Pulau Neraka.
"Hap!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk
berkelit Maka dengan cepat sekali tangan kirinya diangkat Lalu....
Tap! "Ikh..."!"
Perempuan Bertopeng Emas jadi terpekik ka-
get, tidak menyangka kalau Bayu bisa menangkap
ujung selendang emasnya. Saat itu juga, selen-
dangnya dihentakkan dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi. "Hih!"
Bayu jadi tersentak juga. Tubuhnya sampai
terlonjak ke depan sedikit, tapi cepat mengerahkan tenaga dalamnya. Segera
ditahannya tarikan
selendang emas yang berada dalam genggaman
tangan kirinya ini. Namun pada saat itu juga,
tangan kiri Perempuan Bertopeng Emas mengibas
ke depan. Maka seketika itu juga dari telapak
tangannya melesat tiga buah benda bulat berwar-
na kuning keemasan yang begitu cepat, bagai
anak panah lepas dari busur.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat Bayu melenting ke atas tanpa mele-
paskan ujung selendang emas itu dari genggaman
tangan kirinya. Dan tiga buah benda berwarna
kuning keemasan pun melesat lewat di bawah te-
lapak kaki Pendekar Pulau Neraka. Namun pada
saat Bayu berada di udara, tiba-tiba saja Perempuan Bertopeng Emas itu melesat
cepat bagai ki-
lat, langsung memberikan satu pukulan mengge-
ledek dengan tangan kiri.
"Hiyaaa...!"
"Upths...!"
Terpaksa Bayu melepaskan ujung selendang
emas itu. Lalu, tubuhnya cepat berputar dua kali ke belakang, menghindari
pukulan tangan kiri
wanita berpakaian serba kuning keemasan ini.
Saat itu juga si Perempuan Bertopeng Emas mele-
sat cepat meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.
"Jangan lari kau! Hiyaaa...!"
Bayu tidak mau lagi membuang-buang waktu.
Didukung oleh pengerahan ilmu meringankan tu-
buhnya yang sudah sempurna, tubuhnya lang-
sung saja melesat mengejar Perempuan Bertopeng
Emas itu. Dan kini kejar-kejaran pun terjadi di antara rumah-rumah penduduk Desa
Caringin. Bahkan mereka sesekali terlihat berlompatan dari satu atap, ke atap rumah
lainnya. Dan ketika tiba di jalan dekat rumah Tarsih, mendadak saja Perempuan
Bertopeng Emas itu menghilang dari
pandangan Pendekar Pulau Neraka.
"Heh..."! Ke mana dia...?" desis Bayu jadi celin-gukan.
Terpaksa Bayu menghentikan pengejarannya.
Kini Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di tengah-tengah jalan, tepat di depan
kedai Tarsih. Beberapa saat pandangannya beredar ke sekitarnya
dengan sinar mata begitu tajam. Tapi, sedikit pun tidak terlihat bayangan wanita
berpakaian serba kuning keemasan itu. Bahkan tidak ada seorang
penduduk pun yang keluar dari dalam rumahnya.
Padahal jelas sekali kalau malam yang sunyi ini tadi sudah terpecah oleh jeritan
melengking kematian dan teriakan-teriakan Bayu yang keras
saat mengejar si Perempuan Bertopeng Emas. Ta-
pi, keadaan di desa ini tetap sunyi seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
"Hm...," perlahan Bayu menggumam.
Dan kaki Pendekar Pulau Neraka segera te-
rayun melangkah menghampiri kedai, saat meli-
hat titik cahaya lampu pelita keluar dari bagian belakang kedai itu.
*** "Raden.... Syukurlah, kau tidak apa-apa," ujar
Ki Radut yang baru keluar dari dalam kedai
membawa pelita yang nyala apinya begitu kecil.
"Aku tadi mendengar jeritan, kemudian teriakan-
teriakan seperti orang bertarung."
"Aku mengejar wanita itu, Ki," jelas Bayu.
"Oh, Perempuan Bertopeng Emas...?" desis Ki
Radut agak terbeliak kedua bola matanya.
Laki-laki tua itu jadi kelihatan bergetar tubuhnya. Cepat-cepat dihampirinya
Pendekar Pulau Neraka, dan langsung ditariknya masuk ke dalam
kedai. Bayu tidak membantah. Diturutinya saja
ajakan Ki Radut. Mereka kemudian duduk meng-
hadapi sebuah meja di dalam kedai yang gelap
keadaannya ini. Ki Radut meletakkan pelitanya di atas meja. Sesaat dipandanginya
wajah Bayu yang terus saja mengarahkan pandangan ke de-
pan jalan. "Dia menghilang di sekitar sini, Ki," ujar Bayu memberitahu lagi tanpa berpaling
sedikit pun. "Di sini..."!" kembali kedua bola mata Ki Radut terbeliak lebar.
"Kau tidak melihatnya, Ki?" tanya Bayu.
"Tidak...," sahut Ki Radut agak bergetar sua-
ranya. Pendekar Pulau Neraka kembali terdiam. Se-
mentara pandangannya terus beredar ke jalan
yang masih tetap sunyi tanpa seorang pun terli-
hat di sana. Sementara bulan di langit mulai memancarkan cahayanya, setelah awan
hitam yang menutupinya tersingkap tertiup angin. Siraman
cahaya bulan membuat penglihatan Bayu sema-
kin leluasa mengamati jalan di depan kedai ini.
"Sebaiknya kau tidur saja, Ki. Kalau perlu, li-
hat Tarsih. Apa dia masih ada di dalam kamarnya atau tidak," ujar Rangga seraya
berpaling menatap orang tua yang duduk di seberang meja.
"Baik..., baik. Aku lihat Tarsih dulu," sahut Ki Radut jadi tergagap.
Bergegas laki-laki tua itu melangkah mening-
galkan Pendekar Pulau Neraka seorang diri di dalam kedai. Ayunan langkah kakinya
agak tergesa. Dan Bayu sempat memperhatikannya. Seketika
keningnya jadi berkerut, melihat ayunan langkah kaki Ki Radut yang begitu
ringan, seperti seorang tokoh peralatan berkepandaian tinggi. Bahkan
Bayu hampir tidak mendengar hentakan kakinya
pada lantai kedai yang hanya dari tanah ini.
Namun belum juga Bayu bisa membuka mu-
lutnya untuk memanggil, Ki Radut sudah menghi-
lang di balik pintu yang menghubungkan kedai
dengan rumah tinggal. Terpaksa mulutnya dika-
tupkan lagi. Tapi entah kenapa, perasaan hatinya mengatakan lain. Sambil
menghembuskan napas
yang terasa begitu berat, pemuda berbaju kulit
harimau itu bangkit berdiri dari duduknya. Se-
bentar pandangannya dilayangkan ke depan. Ke-
mudian kakinya terayun, melangkah masuk ke
bagian belakang kedai ini.
Cukup gelap keadaan di dalam, karena tidak
satu pelita pun menyala. Hanya cahaya bulan re-
dup saja yang menerangi dari lubang-lubang di
atas jendela dan pintu rumah ini. Bayu terus melangkah melintasi ruangan yang
cukup luas. Dan
ketika baru saja melewati pintu, tiba-tiba saja....
"Eh..."!"
"Oh..."!"
"Tarsih...," desis Bayu terkejut.
Hampir saja mereka bertabrakan, kalau saja
Bayu tidak cepat menarik kakinya selangkah ke
belakang. Tarsih sendiri juga kelihatan terkejut sekali bertemu Pendekar Pulau
Banjir Darah Bojong Gading 3 Serigala Dari Kunlun Long Cu Ya Sim Karya Kwao La Yen Hati Budha Tangan Berbisa 3
^