Pencarian

Pergolakan Di Istana Langkat 2

Pendekar Pulau Neraka 22 Pergolakan Di Istana Langkat Bagian 2


itu. Namun, salah seorang terlambat menyelamatkan diri. Maka tak pelak lagi satu
pukulan Bayu bersarang di tubuhnya.
Padahal dia telah berusaha melompat meng-
hindarinya. Bugkh! "Akh...!" orang berbaju serba hitam itu memekik keras sekali.
Pukulan Bayu yang begitu keras dan bertenaga dalam tinggi, mengakibatkan orang
itu terpental deras ke belakang Keras sekali tubuhnya menghantam tanah. Dan
sebelum mampu menggeliat, Bayu sudah melompat bagaikan kilat. Langsung
didaratkan kakinya di tubuh pemuda berbaju serba hitam itu.
"Hih!"
Bres! ''Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi ketika kaki kanan Pendekar
Pulau Neraka menjejak dada pemuda berbaju serba hitam itu.
Seketika darah muncrat keluar dari mulutnya. Hanya sedikit saja pemuda itu mampu
bergerak, sebentar kemudian tak berkutik lagi. Mati dengan dada remuk dan
menghitam. Pada saat Bayu melompat menjauhi tubuh yang sudah tidak bernyawa, terlihat
beberapa prajurit berlari-lari berdatangan ke arahnya. Sementara dua orang yang
mengenakan baju serba hitam, mendadak saja mereka melesat cepat bermaksud
meninggalkan tempat ini.
"Hey...! Jangan lari kau...!" sentak Bayu agak terkejut juga begitu melihat dua
orang berpakaian serba hitam mendadak saja melesat pergi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Pulau Neraka melesat cepat mengejar dua orang berpakaian serba hitam itu. Begitu
sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga mudah saja Pendekar
Pulau Neraka mengejar mereka.
"Yeaaah...!"
Keras dan cepat sekali Bayu melepaskan dua pukulan ke arah dua orang berbaju
hitam itu. Pukulan keras dan cepat disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu
tak dapat dihindari lagi, tepat menghantam tubuh kedua orang berpakaian serba
hitam. Padahal mereka sedikit lagi akan melewati pagar tembok yang tinggi dan kokoh
ini. Des! Dieghk! Dua jeritan keras terdengar bersama terpentalnya dua orang berbaju hitam. Keras
sekali mereka meluncur, dan tak pelak lagi menghantam tembok tebal yang
mengelilingi bangunan kediaman Jawala ini.
Dan sebelum tubuh mereka bisa digerakkan, Bayu sudah melesat mengejar. Tangannya
sudah terangkat tinggi hendak melontarkan satu pukulan yang dapat membuat kedua
orang itu tewas seketika. Namun sebelum niat itu terlaksana, mendadak saja....
"Tahan...!"
Bayu menghentikan arus pukulannya, lalu berpaling ke belakang. Tampak Jawala
berlari-lari menghampiri diikuti beberapa orang berpakaian seragam prajurit
pengawal. Sementara dua orang berbaju hitam itu hanya bisa merintih, sambil
menggeliatkan tubuhnya.
Pukulan Bayu yang keras dan bertenaga dalam tinggi, membuat seluruhan tulang
mereka seperti remuk. Untung saja Pendekar Pulau Neraka tidak mengerahkan tenaga
dalam secara penuh, sehingga mereka tidak tewas seketika. Dan belum juga mereka
bisa bangkit berdiri, Jawala sudah tiba di tempat itu.
"Bagaimana mereka bisa berada di sini, Bayu?"
tanya Jawala begitu tiba di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Mereka ingin membunuhku," sahut Bayu dingin.
Jawala memerintahkan beberapa prajurit yang mengikuti untuk menangkap kedua
orang itu. Tanpa menunggu perintah dua kali, beberapa prajurit mendekati kedua
orang berbaju hitam dan
meringkusnya. "Masukkan mereka ke tahanan," perintah Jawala.
Prajurit-prajurit itu segera melaksanakan perintah laki-laki tua berjubah putih
itu. Mereka membawa kedua orang berbaju hitam ke dalam tahanan yang tidak berapa
jauh dari tempat ini. Jawala kemudian mengajak Bayu kembali ke dalam rumahnya.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak membantah, meskipun masih diliputi kegeraman
atas kemunculan empat orang yang mencoba membunuhnya.
*** Pagi-pagi sekali Bayu sudah berada di depan
rumah kediaman Narata. Diyakini betul kalau empat orang yang mencoba membunuhnya
semalam adalah suruhan dari pemuda kurus kering yang bernama Jarong. Selama ini,
semua orang tahu kalau Jarong itu kemenakan Narata. Dan Bayu juga sudah diper-
kenalkan pada laki-laki bertubuh gembur dan berperut buncit yang bernama Narata.
Pendekar Pulau Neraka seperti tidak percaya kalau Narata bersekongkol dengan
kemenakannya itu untuk menggulingkan tahta Ratu Nyai Langas.
Pendekar Pulau Neraka itu semakin menajamkan matanya ketika melihat pintu
gerbang tempat kediaman Narata terbuka. Tampak dari dalam muncul
seekor kuda hitam dan belang putih pada kakinya tengah ditunggangi pemuda
bertubuh kurus kering.
Bayu mengawasi terus dari tempat yang cukup tersembunyi.
"Hm...," Bayu menggumam perlahan saat dari dalam juga keluar seekor kuda lain
yang ditunggangi seorang laki-laki setengah baya bertubuh gemuk.
Kemudian, muncul lagi sekitar tiga puluh orang berkuda dan berseragam prajurit.
Mereka semua juga membawa senjata lengkap. Bayu yang sudah
mengenal laki-laki bertubuh gemuk itu, terus memperhatikan tanpa berkedip. Kini
dua ekor kuda bersisian berada paling depan, diikuti tiga puluh orang berseragam
prajurit "Hup!"
Pendekar Pulau Neraka itu melesat cepat
menyelinap dari balik pohon ke pohon lain, mengikuti rombongan kecil itu.
Sementara, terlihat kalau dua orang berkuda yang ada di depan sedang bercakap-
cakap. Percakapan itu seperti begitu penting. Malah pembicaraan itu menggunakan
suara pelan, dan tidak terdengar orang lain. Bayu yang mengenali kalau mereka
itu adalah Narata dan Jarong, mencoba mendengarkan pembicaraan itu.
"Kurasa langkahmu sudah terlalu jauh, Jarong. Aku khawatir gerakanmu akan
mengundang perhatian dan kecurigaan," kata Narata dengan suara pelan.
"Semua yang kulakukan demi paman juga," sahut Jarong datar, tanpa tekanan nada
suara sedikit pun.
"Aku hanya menginginkan agar kau berhati-hati dulu, Jarong. Nampaknya, pembesar-
pembesar di istana mulai kasak-kusuk. Meskipun tidak secara langsung menuduhku,
tapi mereka bisa mencurigaiku secara diam-diam."
"Biarkan saja, Paman. Siapa pun yang mencoba macam-macam, umurnya tidak akan
panjang," kalem sekali suara Jarong. Namun tetap bernada dingin dan datar.
"Bagaimana kalau untuk sementara waktu dihentikan dulu semuanya?" Narata memberi
saran. Jarong tampak kaget mendengar ucapan laki-laki setengah baya bertubuh gembur
itu. Seketika langkah kaki kudanya dihentikan dan ditatapnya Narata dalam-dalam.
Mendapat tatapan begitu tajam, agak bergidik juga sekujur tubuh laki-laki gemuk
itu. "Aku hanya menyarankan saja, Jarong. Itu pun kalau dituruti. Kalau tidak.., aku
juga tidak memaksa," ralat Narata buru-buru.
"Kenapa Paman jadi ketakutan begitu?" tanya Jarong dingin. Tatapan matanya tetap
tajam menusuk. Narata tidak menjawab, dan hanya menarik napas panjang, lalu menghembuskannya
kuat-kuat. Laki-laki bertubuh gembur dan berperut buncit itu kembali menjalankan
kudanya. Sementara Jarong pun
kembali menghentakkan tali kekang kudanya. Ayunan langkah kaki kudanya
disejajarkan kembali di samping kuda pamannya ini.
Tak ada lagi yang dibicarakan. Mereka terus menjalankan kudanya perlahan-lahan
membelah jalan yang masih terlihat agak sunyi. Hanya beberapa orang saja
terlihat berada di tepi jalan ini. Memang masih terlalu pagi, dan segala
kesibukan belum sepenuhnya berjalan. Rombongan kecil itu terus bergerak menuju
Istana Langkat yang berdiri megah di tengah-tengah Kotaraja Langkat
*** Senja sudah merayap turun mendekati malam.
Rona merah jingga yang mengambang di ufuk Barat, menambah indahnya suasana senja
itu. Keindahan senja yang begitu sedap dinikmati, seperti dilewatkan begitu saja
oleh seorang wanita berparas cantik, dan berpakaian indah gemerlapan. Wanita itu
duduk di sebuah bangku taman keputren Istana Langkat yang indah dan tertata apik
sekali. Beberapa gadis cantik mengelilingi, dan siap melakukan segala yang
diperintahkan. Meski suasana senja begitu indah, namun tampaknya tidak dinikmati
wanita cantik itu. Terlihat jelas kalau raut wajahnya murung, dan matanya
memandang kosong ke arah matahari yang hampir tenggelam di peraduannya. Di depan
wanita yang tak lain adalah Ratu Nyai Langas, bersimpuh seorang laki-laki muda
berwajah tampan mengenakan baju kulit harimau.
"Jadi, kau ini sebenarnya siapa, kalau bukan kemenakan Paman Jawala?" tanya Ratu
Nyai Langas. Pandangannya lurus, tak berkedip pada wajah pemuda tampan berbaju kulit harimau
itu. Pemuda itu memberi sembah dengan merapatkan telapak tangannya di depan hidung.
Sikapnya begitu hormat sekali, meskipun sebenarnya dia paling tidak suka pada
aturan seperti ini. Ya...! Karena, pemuda berbaju kulit harimau itu adalah Bayu,
atau berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
"Hamba hanyalah seorang pengembara yang
kebetulan lewat, Gusti Ratu," sahut Bayu, penuh rasa hormat.
Ratu Nyai Langas tertegun mendengar pengakuan Bayu yang jujur. Dia jadi teringat
dengan Jarong, yang diakui Narata sebagai kemenakannya. Wanita ayu itu menatap
Pendekar Pulau Neraka lekat-lekat
"Bagaimana kau bisa bertemu Paman Jawala, dan kemudian diakui sebagai
kemenakannya?" tanya Ratu Nyai Langas lagi.
Bayu menceritakan semua yang terjadi pada
dirinya. Dimulai dari pertemuannya dengan Bokor.
Juga diceritakan tentang surat penting yang khusus disampaikan untuk penguasa
tunggal Kerajaan Langkat ini. Demikian pula pertemuannya dengan Paman Jawala dan
Paman Rahseta, serta orang-orang berbaju serba hitam yang kata Paman Jawala
adalah kelompok pemberontak.
"Memang, aku sudah mendengar kalau adanya
sekelompok orang yang hendak berbuat makar. Tapi, aku tidak mengetahui kalau
beberapa pembesar ada yang terlibat dalam rencana itu. Terlebih lagi, apabila
pemberontakan itu dikendalikan Kakang Narata. Apa kau punya bukti kuat, Bayu?"
lembut dan tenang sekail nada suara Ratu Nyai Langas.
"Untuk saat ini, memang belum ada bukti yang cukup, Gusti Ratu," sahut Bayu.
"Lalu, mengapa kau begitu berani masuk ke
keputren secara diam-diam, dan mengatakan semua ini padaku?" tanya Ratu Nyai
Langas lagi. "Entahlah, Gusti Ratu. Hamba sendiri tidak tahu, mengapa tiba-tiba saja
mempunyai pikiran seperti itu," sahut Bayu.
Pendekar Pulau Neraka memang tidak tahu,
mengapa sampai berani menemui Ratu Nyai Langas secara demikian. Padahal, belum
ada bukti kuat untuk menyeret Narata ke pengadilan kerajaan atas tuduhan hendak
melakukan makar. Namun Bayu yakin betul kalau Jarong yang diakui Narata sebagai
kemenakan adalah pemimpin pemberontak yang bermarkas di Gunung Landaka. Beberapa
kejadian yang dialaminya memang sudah membuat Pendekar Pulau Neraka yakin. Terlebih lagi,
dua orang yang mencoba membunuhnya semalam sudah mengakui kalau mereka mendapat
perintah dari Jarong.
Dan memang, Bayu belum menceritakan kejadian semalam pada wanita cantik penguasa
tunggal Kerajaan Langkat ini. Pendekar Pulau Neraka belum ingin mengatakan hal
itu, kecuali Paman Jawala sendiri yang mengatakannya.
"Bayu...," ujar Ratu Nyai Langas setelah terdiam beberapa saat
"Hamba, Gusti Ratu," sahut Bayu seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua
telapak tangan di depan hidung.
"Bukannya aku tidak mau mempercayai semua
yang kau katakan. Tapi, aku inginkan bukti yang cukup, kalau memang benar Kakang
Narata mempunyai maksud buruk padaku," tegas Ratu Nyai Langas.
"Hamba, Gusti Ratu."
Meskipun kata-kata Ratu Nyai Langas tidak begitu jelas, namun maksudnya sudah
bisa dipahami. Secara tidak langsung, wanita cantik ini meminta Pendekar Pulau Neraka untuk
menyelidiki kebenaran ceritanya. Dan Bayu memang tidak punya jawaban lain lagi,
kecuali menyanggupinya. Bagi Pendekar Pulau Neraka, sekali sudah terjun, tidak
akan ditinggalkan begitu saja sebelum tuntas. Terutama sekali, sebenarnya Nyai
Ratu Langas meminta Bayu menyelidiki Jarong. Dan itu dikatakan dengan terus
terang. Dan sekarang, mau tak mau dia sudah terlibat dalam kemelut yang melibatkan
orang-orang berdarah biru di Kerajaan Langkat ini.
*** Kaki Bayu terayun perlahan-lahan, melintasi jalan berdebu. Sementara senja
semakin jauh merayap turun. Matahari tidak lagi terasa terik seperti tengah hari
tadi, membuat suasana terasa begitu indah dinikmati Namun keindahan alam ini
tidak bisa dinikmati Pendekar Pulau Neraka. Otaknya terus berputar memikirkan
kata-kata Ratu Nyai Langas yang baru ditemuinya tadi.
"Aku merasakan kalau Ratu Nyai Langas seperti tidak mempedulikan keadaan ini,"
gumam Bayu perlahan, berbicara pada dirinya sendiri.
Memang, Bayu merasakan kalau sikap Ratu Nyai Langas begitu tenang. Bahkan terasa
sekali ketidak-peduliannya terhadap masalah yang sedang terjadi di
sekelilingnya. Bayu sama sekali tidak melihat ada kekhawatiran pada diri wanita
penguasa Kerajaan Langkat yang tengah terancam ini.
"Berhenti kau, Bayu...!"
"Eh..."!" Bayu terkejut ketika tiba-tiba terdengar bentakan keras dari belakang.
Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya,
berbalik. Keningnya langsung berkerut, dan matanya agak menyipit begitu melihat
seorang pemuda berbaju putih longgar yang didampingi sekitar dua puluh orang
laki-laki berbaju hitam dan bersenjata golok.
Pandangan Bayu beredar ke sekeliling. Sungguh tidak disadari kalau dirinya sudah
begitu jauh meninggalkan perbatasan kota kerajaan. Dan kini tidak terlihat lagi
bangunan rumah. Di sekelilingnya, yang terlihat hanya pepohonan dan semak
belukar saja. Agak jauh di belakang orang-orang berbaju
hitam itu, terlihat bangunan batu sebagai tanda dari perbatasan kota. Di sana
tampak sekitar sepuluh orang berpakaian prajurit. Keberadaan prajurit yang pasti
bisa melihat ke tempat ini, membuat kening Bayu jadi berkerenyut. Karena, para
prajurit itu seperti hanya memandangi saja tanpa berbuat apa-apa.
Trek! Jarong menjentikkan ujung jarinya. Seketika itu juga, orang-orang berpakaian
serba hitam berlompatan. Mereka langsung mengepung Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan Bayu hanya melirik merayapi orang-orang yang sudah mengepungnya dari
segala penjuru. Mereka semua sudah mencabut senjata masing-masing, sehingga
sinar keperakan berkelebatan tertimpa rona jingga sinar matahari.
Golok mereka kini telah melintang di depan dada.
"Kau sudah terlalu banyak ikut campur, Bayu,"
desis Jarong Suaranya dingin agak menggetarkan.
"Hm...," Bayu hanya menanggapi dengan
gumaman saja. "Kali ini aku tidak akan sungkan-sungkan lagi, kecuali bila kau serahkan
selongsong bambu itu padaku," ancam Jarong. Nada suaranya tetap dingin
menggetarkan. "Aku tidak mengerti, apa yang kau inginkan, Jarong," ujar Bayu kalem. "Lagi pula
siapa kau sebenarnya?"
"Ha ha ha...! Bokor sudah tewas. Tidak ada lagi orang yang dekat dengannya,
selain kau, Bayu.
Sebaiknya serahkan saja benda itu padaku, jika masih ingin menikmati indahnya
matahari besok,"
ujar Jarong tanpa mempedulikan pertanyaan Bayu.
"Seandainya aku memiliki yang kau inginkan, tidak
bakalan kuserahkan padamu, Jarong," tegas Bayu agak mendesis.
"Keparat..!" geram Jarong, langsung memuncak amarahnya mendengar kata-kata
Pendekar Pulau Neraka.
Meskipun diucapkan tenang, namun bagi Jarong merupakan suatu tantangan yang
tidak bisa dianggap remeh. Sementara Bayu terus berputar otaknya, dan mencari


Pendekar Pulau Neraka 22 Pergolakan Di Istana Langkat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemikiran tersendiri.
Untuk beberapa saat suasana di tempat itu
demikian sunyi. Hanya desiran angin saja yang terdengar. Perlahan Pendekar Pulau
Neraka meng-geser kakinya ke kanan beberapa tindak, dan sedikit menyunggingkan
senyum. Tepat ketika Jarong memberi satu isyarat dengan ujung jarinya, seketika
itu juga Bayu melesat cepat. Dan....
*** 6 "Hiyaaa...!"
Bayu yang merasa tidak ada pilihan lagi, seketika itu juga menerjang, mendahului
menyerang orang-orang yang sudah rapat mengepungnya. Gerakan Pendekar Pulau
Neraka yang begitu cepat dan tidak terduga, membuat mereka terperanjat setengah
mati. Dan sebelum ada yang bisa menyadari, mendadak saja terdengar jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi.
Tampak tiga orang terpental ke belakang disertai jeritan panjang melengking
tinggi. Darah menyembur deras dari tubuh ketiga orang berbaju serba hitam itu.
Bukan hanya orang-orang berbaju serba hitam saja yang terkejut. Bahkan Jarong
yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, juga terperanjat melihat kecepatan
gerak Pendekar Pulau Neraka.
"Setan keparat..!" desis Jarong geram.
Dan sebelum laki-laki kurus itu sempat melakukan sesuatu, Bayu sudah kembali
bergerak cepat.
Dihajarnya orang-orang berbaju serba hitam yang masih diliputi keterkejutan yang
amat sangat. Sesaat kemudian, kembali terdengar jeritan panjang melengking
tinggi yang saling susul.
"Jangan diam saja! Serang...! Bunuh keparat itu...!"
teriak Jarong berang setengah mati.
Seruan pemuda bertubuh kurus kering itu
membangkitkan kesadaran orang-orang berpakaian serba hitam. Seketika itu juga
mereka berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka yang baru saja
hendak melancarkan serangan kembali setelah merobohkan tujuh orang hanya dua
kali gebrakan. Seketika itu juga beberapa golok berkelebat cepat mengincar tubuh Pendekar Pulau
Neraka. Hal ini memang sudah diperhitungkan Bayu. Maka dengan cepat sekali
tubuhnya melenting ke udara. Namun pada saat itu, Jarong berseru keras,
mengalahkan teriakan-teriakan orang-orang berpakaian serba hitam.
"Panah...! Serang...!"
Sebelum seruan keras menggelegar itu lenyap dari pendengaran, mendadak saja dari
balik gerumbul semak dan pepohonan meluncur anak-anak panah dari segala penjuru.
Pada saat yang sama, orang-orang berpakaian serba hitam yang mengeroyok Pendekar
Pulau Neraka berlompatan cepat ke belakang.
"Setan...!" umpat Bayu geram.
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka memutar
tubuhnya beberapa kali. Sementara, kedua
tangannya berkelebat cepat, menyampok anak-anak panah yang berdesiran di sekitar
tubuhnya. "Yeaaah...!"
Beberapa batang anak panah rontok berguguran, tertebas tangan Pendekar Pulau
Neraka. Dan sebagian lagi berhasil dielakkan dengan meliukkan tubuhnya. Namun,
Bayu jadi gusar juga. Memang, panah-panah itu seperti tidak pernah habis,
berdesir seperti hujan di sekitar tubuhnya.
"Ha ha ha...! Mampus kau sekarang, Bayu...!"
Jarong tertawa terbahak-bahak melihat Pendekar Pulau Neraka kewalahan
menghindari serbuan anak-anak panah.
Sementara itu, Bayu memang benar-benar
kerepotan menghadapi serbuan anak panah yang datang bagaikan hujan itu. Sama
sekali kesempatan untuk menarik napas barang sejenak saja tidak dimilikinya.
Bahkan untuk menjejakkan kakinya di tanah saja, kesempatan yang dimiliki tidak
begitu banyak. Baru saja kakinya dijejakkan, Pendekar Pulau Neraka harus kembali
melesat ke udara menghindari serbuan anak-anak panah.
"Phuih! Bisa habis napasku kalau begini terus,"
dengus Bayu kesal.
Pendekar Pulau Neraka berpikir keras, mencari jalan keluar dari serbuan anak
panah ini. Dan bibirnya jadi tersenyum setelah mengetahui, arah datangnya anak
panah yang bagaikan hujan ini.
"Yeaaah...!"
Mendadak saja Pendekar Pulau Neraka mengecut-kan tangannya cepat bagai kilat.
Dan memang, beberapa anak panah berhasil ditangkap, dengan sekali kebutan
tangannya saja. Lalu secepat itu pula tangannya dikibaskan, untuk melepaskan
panah-panah yang berhasil ditangkap tadi.
Wus...! Ada sekitar sepuluh batang anak panah melesat balik dengan cepat, melebihi
kecepatan datangnya tadi. Tak berapa lama kemudian, terdengar jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi disusul ber-jatuhannya tubuh-tubuh yang bersembunyi di
balik semak dan di atas kerimbunan pepohonan.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka kembali menyambar panah-panah yang meluruk
deras ke arahnya. Dan secepat itu pula panah-panah itu kembali dilepaskan.
Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi. Tubuh-tubuh berbaju
hitam pun kembali berjatuhan oleh panah-panah yang kini tertancap di tubuh.
"Keparat..!" geram Jarong yang menyaksikan anak buahnya bergelimpangan tak
bernyawa lagi. Saat hujan anak panah berhenti, Bayu men-
jejakkan kakinya kembali ke tanah. Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak, menatap
tajam pemuda bertubuh kurus kering yang berada di belakang orang-orangnya.
"Kau hanya sia-sia saja mengganggu kehidupanku, Jarong," ujar Bayu dengan suara
dingin menggetarkan.
"Jangan besar kepala dulu, Bayu. Anak kecil pun bisa melakukan itu," ejek
Jarong, menutupi kegentaran yang mulai merambat hatinya setelah melihat
kedigdayaan Pendekar Pulau Neraka.
"Berapa banyak lagi anak buahmu, Jarong"
Keluarkan semua, biar lebih kunikmati pesta pembantaian mereka," kembali Bayu
memanasi pemuda kurus kering itu.
"Kubunuh kau, Setan Keparat..!" geram Jarong memuncak amarahnya.
Meskipun geram bukan main, namun Jarong tidak juga bertindak. Rupanya pemuda
bertubuh kurus kering itu harus berpikir seribu kali untuk menghadapi Pendekar
Pulau Neraka. Sudah beberapa kali mereka bertemu, dan hanya kepahitan saja yang
didapat-kannya. Dia sudah kehilangan begitu banyak anak buah, sedangkan Bayu
masih tetap tegar, tak kurang satu apa pun juga.
"Tunggulah, Bayu. Kematianmu pasti akan cepat datangnya," desis Jarong
mengancam. Setelah berkata demikian, pemuda kurus kering itu segera memerintahkan orang-
orangnya untuk me-
ninggalkan tempat ini. Sementara, Jarong pun segera melesat pergi cepat sekali.
Bayu sama sekali tidak mengejar, tapi malah memandang ke arah para prajurit yang
tetap berada di dekat gerbang perbatasan kota. Bahkan tampaknya jumlah mereka
bertambah. Bayu kemudian mengayunkan kakinya mendekati para prajurit itu.
*** Langkah Bayu terhenti sekitar dua tombak di
depan para prajurit yang seperti menghadangnya. Di antara para prajurit itu,
terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap. Dia duduk di atas punggung
seekor kuda yang tegap dan berotot Bayu
mengenalinya sebagai Panglima Narasoma.
"Kau dilarang menginjakkan kaki kembali di tanah Kerajaan Langkat, Anak Muda,"
tegas Panglima Narasoma langsung, dengan suara lantang.
"Kenapa?" tanya Bayu agak terkejut juga
mendengar larangan yang tanpa basa-basi lagi.
"Kau tidak perlu bertanya alasannya, Anak Muda.
Yang jelas, kedatanganmu ke sini sudah menimbulkan kekacauan dan keresahan,"
sahut Panglima Narasoma.
"Hm...," gumam Bayu pelan, sementara matanya agak menyipit.
Pendekar Pulau Neraka benar-benar tidak
mengerti, kenapa tiba-tiba saja dilarang memasuki Kotaraja Langkat kembali.
Bahkan yang langsung melarangnya adalah seorang panglima utama yang sangat
berpengaruh di kalangan prajurit dan pembesar-pembesar kerajaan. Bayu semakin
yakin kalau ada sesuatu yang tidak beres di lingkungan
istana ini. "Paman Panglima! Boleh aku tahu, siapa yang memerintahkannya?" tanya Bayu ingin
tahu. "Gusti Narata," sahut Panglima Narasoma tegas.
Kembali Bayu menggumam pelan, tapi kini
bibirnya tersenyum. Sudah bisa ditebak, kenapa kakak sepupu Ratu Nyai Langas
melarangnya kembali memasuki kota. Dan itu berarti, kehadirannya di Kerajaan
Langkat ini merupakan ancaman tersendiri bagi kelancaran niat jahat Narata.
"Baiklah. Aku akan meninggalkan kerajaan ini setelah berpamitan pada Paman
Jawala," ujar Bayu menyanggupi setelah agak lama berdiam diri.
"Tidak perlu," sahut Panglima Narasoma.
"Tidak perlu..." Apa maksudmu?"
"Tidak ada yang bisa kau tanyakan, Anak Muda.
Aku hanya diperintahkan untuk satu kali saja mem-peringatkanmu. Dan jika
membandel, maka aku diperbolehkan bertindak dengan caraku sendiri. Aku yakin kau
mengerti maksudku."
Bayu tidak membuka suara lagi. Dia tahu kalau perintah larangan ini hanya
sepihak saja. Tapi, mendadak saja hatinya mencemaskan Paman
Jawala. Semua orang di lingkungan istana sudah tahu kalau Bayu diakui Paman
Jawala sebagai kemenakannya. Dan inilah yang membuatnya jadi mencemaskan
keselamatan laki-laki tua itu.
"Baiklah. Untuk sementara, aku harus mengalah,"
bisik Bayu di dalam hati.
Tanpa berkata apa pun, Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya dan berjalan
perlahan menuju hutan yang menghadang di depannya kini. Sementara itu Panglima
Narasoma sudah memberi aba-aba kepada para prajuritnya untuk meninggalkan
perbatasan ini. Sedangkan Bayu sudah semakin jauh saja mendekati hutan.
*** Malam sudah demikian larut menyelimuti alam
Kerajaan Langkat Angin yang berhembus kencang menyebarkan udara dingin, membuat
semua orang lebih senang berlindung di bawah selimut. Sehingga, seluruh Kotaraja
Kerajaan Langkat ini seperti sebuah kota mati saja layaknya. Tak ada seorang pun
terlihat berkeliaran di jalan. Bahkan suara binatang malam pun tak terdengar
bergerit seakan-akan enggan memperdengarkan suaranya.
Namun dalam kesunyian malam ini, ternyata ada juga sebuah bayangan yang
berkelebat cepat menyelinap dari satu atap rumah ke rumah lainnya.
Bayangan itu bergerak cepat sekali, sehingga sukar dikenali secara jelas.
Terlebih lagi, malam ini langit tertutup awan tebal menghitam. Sehingga, cahaya
bulan tak kuasa untuk menembusnya agar memberi sedikit cahayanya ke permukaan
bumi. Tap! Bayangan itu berhenti tepat di atas sebuah atap rumah yang cukup besar,
dikelilingi tembok batu yang tinggi dan kokoh. Beberapa orang berseragam
prajurit terlihat di beberapa tempat, melindungi diri dari terpaan angin malam
yang dingin menggigilkan.
Untuk sesaat, awan hitam yang menggumpal di langit sedikit tersibak sorot cahaya
bulan. Namun sesaat kemudian, awan kembali menggumpal
membuat seluruh alam menjadi pekat. Namun
cahaya bulan yang sempat menyinari sesaat tadi, sudah cukup untuk bisa mengenali
orang yang berada di atas atap itu. Dia seorang pemuda bertubuh tegap berisi, dan berparas
tampan. Yang sangat dikenali adalah pakaiannya, karena terbuat dari kulit
harimau. Pemuda itu memang Pendekar Pulau Neraka yang memiliki nama asli Bayu.
Pendekar Pulau Neraka sedikit menyipitkan
matanya saat mendengar isak lirih dan tertahan, tepat di bawah atap ini.
Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Lalu....
"Hup!"
Ringan sekali, pemuda berbaju kulit harimau itu melompat turun dari atap. Dan
tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat di depan pintu yang
langsung menuju ke dalam. Perlahan Bayu membuka pintu itu, kemudian melangkah
masuk hati-hati sekali. Ayunan langkahnya begitu ringan, dan tak bersuara
sedikit pun juga. Pendekar Pulau Neraka memang menggunakan ilmu meringankan
tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Langkahnya terhenti setelah tiba di depan pintu yang tidak tertutup rapat.
Sedikit cahaya pelita menerobos keluar, dengan sinarnya yang redup.
Suara isak lirih yang tertahan itu jelas datang dari balik pintu ini. Dan
Pendekar Pulau Neraka tahu kalau di balik pintu ini merupakan sebuah kamar
seseorang yang dikenalnya. Perlahan-lahan pintu itu didorong-nya.
Bayu tertegun begitu melihat seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun,
tengah duduk di atas ranjang. Rambutnya terurai acak-acakan.
Bahkan bajunya tidak karuan letaknya, sehingga menampakkan beberapa bagian tubuh
yang berkulit putih dan halus sekali.
"Nilakandi...," pelan sekali suara Bayu seraya
melangkah mendekati
Pendekar Pulau Neraka memang sudah mengenalnya. Dan panggilannya tadi cukup
membuat gadis itu terkejut. Namun begitu mengenali orang yang memanggilnya,
gadis yang bernama Nilakandi itu beranjak bangkit dari pembaringan. Dia
menghambur, memeluk Bayu. Saat itu juga, tangisnya meledak dalam dada Pendekar
Pulau Neraka. Untuk beberapa saat lamanya, Bayu tidak bisa berbuat apa-apa.
Bahkan untuk bersuara saja, tenggorokannya seakan-akan tersumbat.
"Ada apa, Nilakandi?" tanya Bayu lembut, setelah tangis gadis itu sedikit reda.
"Ayah.... Ayah, Kakang...," suara Nilakandi tersendat.
"Ada apa dengan Paman Jawala?" tanya Bayu.
Seketika itu juga, perasaan Bayu jadi tidak menentu. Pendekar Pulau Neraka
merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetak. Bahkan seluruh aliran darah
dalam tubuhnya, bagai terbalik mengalir.
Berbagai macam dugaan dan perasaan, berkecamuk di hatinya.
"Katakan, Nilakandi. Apa yang terjadi terhadap Paman Jawala?" desak Bayu dengan
nada suara agak tertahan.
Namun Nilakandi malah sukar menjawab. Kembali tangisnya pecah dalam pelukan
Pendekar Pulau Neraka. Maka Bayu pun tak dapat lagi mendesak. Dia jadi
kebingungan sendiri, menghadapi keadaan gadis ini. Perlahan-lahan pelukan gadis
itu dilepaskan. Bayu membawanya duduk di tepi pembaringan yang acak-acakan.
Untuk beberapa saat, Bayu mendiamkan saja
gadis itu untuk menguras air matanya. Dia sendiri
tidak tahu, apa yang harus diperbuat untuk me-nenangkan gadis ini. Pendekar
Pulau Neraka memang paling tidak mengerti untuk menghadapi seorang gadis yang
tengah kacau perasaannya.
Terlebih lagi kalau tengah menangis begini. Dia hanya bisa diam dan menunggu
sampai tangis itu reda.
Memang hanya itu yang bisa dilakukannya.
"Katakan, Nilakandi. Apa yang terjadi pada Paman Jawala?" tanya Bayu, setelah
gadis itu mulai sedikit tenang. Dan isak tangisnya juga mulai mereda.
"Ayah..., Ayah tewas terbunuh," sukar sekali Nilakandi menjawabnya.
"Apa..."!"
*** Bayu seperti tidak percaya kalau Paman Jawala tewas terbunuh. Namun
ketidakpercayaannya luntur karena yang mengatakannya justru anak gadis Paman
Jawala sendiri. Maka berita itu harus diper-cayainya, meskipun ada perasaan
tidak percaya. "Kapan kejadiannya?" tanya Bayu setelah bisa menguasai dirinya kembali.
"Siang tadi," sahut Nilakandi, masih dengan suara tersendat
Bayu termenung diam. Siang tadi dia berada dalam keputren, untuk berbicara pada
Ratu Nyai Langas. Dan sekeluarnya dari sana, langsung menuju ke perbatasan dekat
Hutan Landaka. Di sana Pendekar Pulau Neraka bertarung melawan orang-orang
berbaju hitam yang langsung dipimpin oleh Jarong.
"Siapa yang melakukannya, Nilakandi?" tanya Bayu lagi.
Nilakandi hanya menggelengkan kepalanya
dengan lemah sekali. Ditatapnya dalam-dalam pemuda tampan di sampingnya ini.
Bibirnya seakan-akan hendak mengatakan sesuatu, namun terasa sukar untuk
bersuara sekecil apa pun juga. Saat itu, Bayu sama sekali tidak memperhatikan.
Perasaan Pendekar Pulau Neraka saat ini tidak menentu sekali.
Bahkan terasa sukar sekali membuka jalan


Pendekar Pulau Neraka 22 Pergolakan Di Istana Langkat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikirannya. Untuk beberapa saat lamanya, tak ada yang
berbicara lagi. Semua terdiam, sibuk bersama pikiran masing-masing. Sedangkan
Bayu masih mereka-reka, siapa orang yang begitu tega membunuh Paman Jawala.
Sedangkan, tidak mungkin Pendekar Pulau Neraka bertanya pada gadis ini, karena
tampaknya Nilakandi tidak tahu pembunuh ayahnya.
"Nilakandi, apakah Paman Rahseta sudah tahu?"
tanya Bayu yang kemudian teringat Rahseta.
"Sudah. Tapi..," jawaban Nilakandi terputus.
"Tapi, kenapa?" desak Bayu.
"Paman Rahseta dipenjara."
"Dipenjara..."! Kenapa...?" lagi-lagi Bayu tersentak kaget
"Aku tidak tahu pasti. Tapi katanya, Paman Rahseta merencanakan pemberontakan
pada Ratu Nyai Langas," Nilakandi mencoba menjelaskan.
"Siapa yang menangkapnya?" tanya Bayu lagi.
"Gusti Narata."
Bayu mendesis kuat setelah mendengar kalau yang menangkap dan menjebloskan Paman
Rahseta ke penjara adalah Narata, kakak misan dari Ratu Nyai Langas. Kembali
Pendekar Pulau Neraka terdiam membisu. Maka suasana dalam kamar itu pun terasa
sunyi sekali. Tak terdengar suara sedikit pun juga.
Hanya tarikan napas yang masih terdengar jelas, disertai isak tertahan yang
sekali-sekali saja.
"Kau sudah melaporkan pada Ratu Nyai Langas?"
tanya Bayu setelah terdiam agak lama juga.
"Sudah," sahut Nilakandi.
"Lalu, apa tanggapannya?"
"Kanjeng Ratu Nyai Langas akan mencari
pembunuhnya."
Bayu hanya menarik napas dalam-dalam saja, kemudian menghembuskannya kuat-kuat.
Bayu memang sudah menduga kalau Ratu Nyai Langas akan menjawab seperti itu. Hal
inilah yang membuatnya jadi bertanya-tanya dalam hati. Dan yang pasti, Ratu Nyai
Langas pasti mempunyai maksud tertentu. Hanya saja, Bayu belum bisa menebaknya.
*** 7 Malam itu juga, Pendekar Pulau Neraka menyelinap ke dalam kediaman Narata. Tidak
seperti tempat tinggal pembesar lainnya, tempat tinggal Narata mendapat
pengawalan sangat ketat. Sebenarnya laki-laki tambun itu memang bukan pembesar
biasa, tapi kakak sepupu Ratu Nyai Langas. Namun, jabatan yang dipegang Narata
di Kerajaan Langkat ini memang penting sekali. Bahkan bisa dikatakan dialah yang
mengendalikan jalannya roda pemerintahan.
"Hm...," Bayu menggumam perlahan ketika melihat Narata melintas di dalam sebuah
ruangan. Dengan gerakan ringan sekali, Pendekar Pulau Neraka melompat, dan mendarat di
samping jendela ruangan yang tampak terang. Bayu merapatkan punggungnya ke
dinding bangunan besar dan megah ini. Sedikit kepalanya dijulurkan melihat
keadaan dalam ruangan ini Tak ada seorang pun yang terlihat.
Padahal, dia tadi melihat Narata berada di dalam ruangan ini.
"Apa yang kau cari, Bayu...?"
"Heh..."!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara orang
menegurnya. Dan sebelum wajahnya sempat dipalingkan ke arah suara itu, mendadak saja satu
desiran halus terdengar. Bayu belum bisa melakukan sesuatu, tahu-tahu dadanya
terasa dihantam keras sekali.
Dieghk! "Akh...!"
Bruk! Begitu kuatnya hantaman tadi, sehingga tembok batu yang berada di belakang
Pendekar Pulau Neraka hancur berantakan. Tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu
terpental masuk ke dalam ruangan, bersama reruntuhan dinding batu ruangan ini.
Beberapa kali Bayu bergelimpangan di atas lantai batu pualam yang licin, dingin,
dan berkilat Dan sebelum sempat bangkit berdiri, mendadak satu tendangan keras
mendarat di tubuhnya. Kembali Pendekar Pulau Neraka memekik tertahan, dan
tubuhnya terpental bergulingan di lantai. Namun sebelum berhenti kembali sebuah
bayangan putih berkelebat cepat hendak menerjangnya. Namun kali ini, Bayu tidak
akan memberikan tubuhnya menjadi sasaran kembali.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka me-
lentingkan tubuhnya ke udara, dan berputaran beberapa kali. Bayangan putih itu
lewat di bawah tubuhnya. Dan dengan gerakan ringan, kakinya mendarat di lantai,
tepat ketika bayangan putih itu berbalik.
"Jarong...," desis Bayu mengenali orang yang menyerangnya.
"Kau terlalu berani datang ke sini, Pendekar Pulau Neraka," desis Jarong dingin.
"Heh...! Dari mana kau tahu julukanku?" tanya Bayu terkejut
"Tidak sukar membongkar kedok busukmu,
Pendekar Pulau Neraka," tetap dingin nada suara Jarong. "Orang lain boleh gentar
mendengar julukan-mu. Tapi di sini, kau tidak akan mampu berbuat macam-macam."
Pada saat itu, beberapa orang berpakaian serba
hitam dan beberapa prajurit sudah memasuki ruangan ini Dan mereka langsung
mengepung ruangan yang cukup besar dan bertata indah ini. Tak berapa lama kemudian, dari
sebuah pintu muncul seorang laki-laki setengah baya bertubuh gembur dan berperut
buncit seperti gentong. Bayu mengenalinya.
Siapa lagi kalau bukan Narata.
Laki-laki bertubuh gemuk itu langsung mendekati Jarong, yang berada sekitar satu
tombak di depan Bayu. Ditatapnya tajam-tajam Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan
yang dipandangi malah mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Bayu menyadari
kemungkinan untuk bisa keluar dari ruangan ini kecil sekali. Jumlah pengepungnya
begitu banyak dan rapat sekali. Bahkan terlihat, sekitar dua puluh prajurit
sudah siap dengan busur terentang dan siap dilepaskan anak panahnya.
"Bagaimana dia bisa masuk ke sini, Jarong?" tanya Narata. Pandangan matanya
tidak terlepas dari Pendekar Pulau Neraka.
"Aku memang sengaja menjebaknya," sahut
Jarong kalem. Tapi nada suaranya terdengar datar dan dingin sekali.
"Bukankah kau telah menempatkan penjagaan
ketat?" "Memang benar. Tapi, satu sisi kubiarkan lowong.
Ternyata dia tidak sepandai yang kukira. Terlalu tolol untuk masuk dengan
mudah," sinis sekali suara Jarong.
Pendekar Pulau Neraka yang mendengarkan
percakapan itu jadi menggeram. Dia memang melihat kalau penjagaan di tempat
kediaman Narata ini ketat sekali. Dan hanya ada satu sisi yang kelihatannya
tidak ketat dijaga. Namun sama sekali tidak disangka,
kalau kedatangannya sudah ditunggu. Dan ini merupakan jebakan halus yang tidak
terduga sama sekali.
Sementara itu, Narata melangkah tiga tindak mendekati Pendekar Pulau Neraka.
Dipandanginya pemuda berbaju kulit harimau itu dari ujung kepala hingga ke ujung
kaki. Seakan-akan sedang
menyelidiki, atau mungkin menilai pemuda di depannya ini.
"Untuk apa kau menyelinap ke rumahku?" tanya Narata, dingin nada suaranya.
"Untuk meminta kembali Paman Rahseta," tegas Bayu.
"Meminta" Kau pikir Rahseta ada di sini, heh..."!"
"Kau sudah membunuh Paman Jawala, dan
menculik Paman Rahseta. Sekarang kedatanganku ke sini untuk membebaskannya, juga
untuk membalas kematian Paman Jawala," tetap tegas nada suara Bayu.
"Ha ha ha...!" Narata tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban tegas Pendekar
Pulau Neraka. Sedangkan Jarong hanya tersenyum tipis saja.
Sementara Bayu sama sekali tidak bertindak.
Kedatangannya ke tempat ini memang hendak
membebaskan Rahseta, yang menurut Nilakandi diculik anak buah Narata. Dan
setelah mendengar pengakuan Jarong yang katanya sengaja menjebak, Pendekar Pulau
Neraka semakin yakin kalau memang merekalah yang membunuh Jawala dan menculik
Rahseta. "Kau terlalu gegabah menuduhku seperti itu, Anak Muda. Memang kuakui kalau di
antara kami tidak pernah ada kecocokan. Tapi untuk melakukan perbuatan pengecut
begitu, tidak pernah terlintas di
dalam pikiranku," tegas Narata setelah tawanya reda.
"Mungkin kau memang tidak melakukannya. Tapi kemenakan palsumu itu yang mungkin
melakukan atas perintahmu," sambut Bayu, tetap dingin nada suaranya.
"Bedebah...! Kau telah menghinaku, Anak Muda!"
geram Narata. "Biar aku yang tangani setan kurang ajar ini, Paman," selak Jarong.
Dan sebelum Narata menjawab, Jarong sudah
menjentikkan ujung jari tangannya. Seketika itu juga, empat orang berpakaian
serba hitam sudah
melompat maju. Mereka semua membawa rantai baja hitam yang cukup panjang, yang
pada ujungnya terdapat bola-bola berduri. Mereka langsung memutar-mutar rantai
baja hitam itu kuat-kuat, sehingga memperdengarkan suara deru angin yang keras.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil saja.
"Serang..!" teriak Jarong tiba-tiba.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup!"
*** Bagaikan kilat, Bayu melompat begitu empat orang berpakaian serba hitam
melontarkan rantainya. Suara berdesir terdengar saat rantai-rantai berujung
bola-bola berduri itu meluruk deras ke arah Pendekar Pulau Neraka. Tepat ketika
ujung bola-bola berduri itu dekat, dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka
memutar tubuhnya. Dan tahu-tahu, empat ujung rantai itu sudah tergenggam dalam
tangan Bayu. Rrrt..! Sekali sentak saja, empat orang berbaju hitam itu terpental ke udara. Pekikan-
pekikan keras terdengar saling susul. Dan sebelum ada yang menyadari, Bayu sudah
melesat sambil melontarkan beberapa pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang
menyayat yang saling susul. Kemudian empat tubuh berbaju hitam terpental keras
menghantam lantai.
Tepat ketika Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya di lantai, mereka sudah
tidak bergerak-gerak lagi. Mati. Dada mereka remuk, terhantam pukulan keras yang
dilontarkan Bayu.
"Keparat..!" desis Jarong geram, melihat empat orang anak buahnya tewas hanya
sekali gebrakan saja.
Sementara itu, Bayu sudah berdiri tegak dengan pandangan menusuk ke arah pemuda
bertubuh kurus kering itu. Sedangkan Narata tampak sudah
menyingkir. Untuk beberapa saat, suasana di dalam ruangan ini jadi sunyi senyap.
Semua orang yang sebelumnya telah siap di sekeliling ruangan besar dan megah ini
menjadi terpaku melihat kehebatan Pendekar Pulau Neraka. Hanya dalam sekali
gebrak saja, pendekar digdaya itu sudah berhasil
menewaskan empat orang sekaligus!
"Kenapa kalian diam saja..." Serang dan bunuh manusia keparat itu...!" teriak
Jarong keras menggelegar.
Bagaikan lebah yang sarangnya dihantam kayu, orang-orang berpakaian serba hitam
yang mengelilingi ruangan ini, serentak berlompatan sambil berteriak-teriak
mengeroyok Pendekar Pulau
Neraka. Dan hal ini memang sudah diperhitungkan.
Maka tanpa membuang waktu lagi, pemuda berbaju kulit harimau itu segera melesat
ke udara. Tubuhnya langsung meruruk deras ke arah orang-orang yang berada di
depannya. "Yeaaah...!"
Cepat sekali gerakan Bayu saat melontarkan beberapa pukulan keras beruntun
bertenaga dalam tinggi ke arah orang-orang yang berada di depannya.
Pendekar Pulau Neraka memang semakin geram saja. Tapi saat ini sangat kecil
kemungkinan untuk mendekati pemuda kurus kering itu. Sedangkan untuk keluar dari
keroyokan ini saja, Bayu masih terus mencari celah. Dan celah itu harus didapat
sebelum tenaganya terkuras habis.
*** "Hiyaaa...!"
Mendadak saja Bayu berteriak keras menggelegar.
Dan seketika itu juga, tubuhnya melesat cepat bagai kilat ke udara. Sementara
tangan kanannya mengibas cepat ke atas, melepaskan Cakra Maut yang merupakan
senjata andalannya. Sesaat kemudian, terdengar ledakan keras menggelegar ketika
secercah cahaya keperakan melesat bagai kilat menghantam atap ruangan ini.
Dan secepat itu pula, Bayu melesat menerobos atap yang jebol berantakan. Begitu
cepatnya, sehingga tak ada seorang pun yang bisa menyadari.
Dan tahu-tahu, Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri di atas atap bangunan besar
dan megah ini. Pemuda berbaju kulit harimau itu mengangkat tangannya ke atas,
maka senjata bersegi enam keperakan itu
melesat ke arahnya dan langsung melekat di pergelangan tangan kanannya.
"Kejar...!" mendadak saja terdengar teriakan keras dari dalam ruangan itu.
Belum lagi suara teriakan itu menghilang, mendadak dari atap yang jebol
berlompatan orang-orang berbaju serba hitam. Saat itu Bayu sempat meninggalkan
tempat ini. Dan kini sudah kembali diserang orang-orang berbaju serba hitam.
"Yeaaah...!"
Sambil memiringkan tubuh ke kiri, Bayu mengibaskan tangan kanannya ke depan.
Seketika, cakra bersegi enam berwarna keperakan di pergelangan tangan kanannya
melesat cepat menghajar orang yang berada paling dekat
Cras! "Aaa...!" satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat
Sebelum jeritan itu menghilang dari pendengaran, seorang berbaju hitam terguling
dengan leher sobek hampir buntung. Bayu cepat menarik tangan kanannya ke atas,
maka secepat itu pula dihentakkan kembali. Cakra Maut yang baru saja tercabut
dari leher yang menganga lebar kembali melesat dan menghajar seorang lagi. Untuk
kedua kalinya, terdengar jeritan panjang melengking tinggi.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Bayu menggerak-gerakkan cepat tangan kanannya, diimbangi gerakan kaki yang
lincah dan ringan.
Senjata Cakra Maut yang menjadi andalan Pendekar Pulau Neraka bagai memiliki
mata saja. Cakra Maut berkelebat cepat menyambar orang-orang berbaju serba
hitam. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar
saling sambut, disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh berbaju serba hitam
berlumur darah dari atas atap. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, Bayu
sudah mendapat kesempatan untuk melarikan diri dari kepungan itu.
"Yeaaah...!"
Begitu mempunyai kesempatan, secepat itu pula tubuh Bayu melenting, meluruk
deras ke bawah. Dan saat kakinya menjejak tanah berumput, secepat itu pula
tubuhnya kembali melesat cepat melompati pagar tembok yang tinggi dan kokoh.
Slap! Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka.
Dalam waktu sekejap mata saja, bayangan tubuhnya telah lenyap tertelan kegelapan
malam. Bersamaan dengan meng-hilangnya Pendekar Pulau Neraka, dari dalam
bangunan besar dan megah tempat kediaman Narata bermunculan orang-orang berbaju
serba hitam. Sementara, Jarong dan Narata sudah mendahului mereka. Sedangkan para prajurit
berseragam dan bersenjata lengkap berada paling akhir.
"Keparat..!" desis Jarong geram.
*** Malam terus merayap semakin larut. Udara pun
terasa semakin bertambah dingin oleh hembusan angin kencang. Namun keadaan alam
yang nampak tidak ramah ini tidak membuat lari Bayu terhenti.
Pendekar Pulau Neraka terus berlari cepat mem-pergunakan ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Begitu cepatnya, seolah-olah berlari di
atas angin saja. Yang terlihat
hanya kelebatan bayangannya saja yang mirip hantu.
Bayu baru menghentikan larinya setelah tiba di depan pintu sebuah rumah besar
dan megah, dikelilingi pagar tembok batu yang cukup tinggi Sebentar napasnya ditarik dalam-


Pendekar Pulau Neraka 22 Pergolakan Di Istana Langkat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam. Bibirnya sedikit meringis saat menarik napas tadi. Kemudian tangannya
mengetuk pintu kayu jati tebal yang tertutup itu.
Tok, tok tok...!
Tak ada sahutan sama sekali. Bayu kembali
mengetuk pintu lebih keras lagi, lalu sebentar menunggu. Dari balik pintu
terdengar suara langkah terseret. Tak berapa lama kemudian, pintu kayu jati
berukir ini terbuka sedikit. Dari dalam menyembul sebuah kepala seorang gadis
yang wajahnya kusut dan rambutnya acak-acakan. Langsung pintu itu dibuka lebar-
lebar begitu melihat siapa yang berdiri di depannya.
Bayu bergegas masuk dan menutup pintu kembali.
Sebentar diintipnya keadaan di luar dari celah jendela. Kemudian napasnya
ditarik dalam-dalam.
Sambil menghembuskan napas panjang, Pendekar Pulau Neraka menghempaskan tubuhnya
di kursi rotan yang ada di samping pintu ini. Sementara gadis itu hanya
memandangi saja dengan kening berkerut dalam.
"Ada apa, Kakang" Heh...! Kenapa punggung-
mu...?" Gadis itu tampak terkejut. Bayu meraba punggungnya yang terasa perih. Ujung jari
tangannya merasakan adanya cairan hangat merembes dari punggungnya. Bayu kembali
membawa tangannya ke depan.
"Darah...," desis Bayu.
Sama sekali Pendekar Pulau Neraka tidak
menyadari kalau punggungnya terluka. Bahkan sama sekali tidak tahu, kapan dan
bagaimana punggungnya bisa terluka seperti ini. Bayu melirik gadis berparas
cantik itu, yang bergegas ke belakang. Dan tak berapa lama kemudian sudah
kembali lagi sambil membawa semangkuk besar air dan kain.
Tanpa berkata apa-apa, gadis itu memutar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Dibersihkannya darah yang mengalir di punggung pemuda berbaju kulit harimau itu.
Sedikit Bayu meringis saat merasakan kain yang basah menyentuh luka di
punggungnya. "Sakit..?" tanya gadis itu.
"'Tidak," sahut Bayu seraya meringis. "Besar lukanya, Nilakandi?"
"Cukup panjang, tapi tidak dalam," sahut gadis itu yang ternyata Nilakandi,
putri Paman Jawala.
Bayu terpaksa membuka baju saat gadis itu
hendak membalut luka di punggungnya. Kembali Bayu meringis sedikit. Dia mencoba
mengingat-ingat pertarungan di tempat kediaman Narata tadi
"Hm.... Mungkin aku tertuka sewaktu berada di atap...," gumam Bayu menduga-duga
dalam hati. "Sudah," ujar Nilakandi setelah membalut luka di punggung Pendekar Pulau Neraka.
Bayu kembali mengenakan pakaiannya yang
terbuat dari kulit harimau. Sementara Nilakandi mem-bereskan peralatan yang
digunakan untuk membalut luka di punggung Pendekar Pulau Neraka.
"Tadi Panglima Narasoma ke sini. Dia me-
nanyakanmu," Nilakandi memberi tahu.
"Apa jawabmu" tanya Bayu.
"Kubilang kau sudah pergi," sahut Nilakandi.
"Hm..., ada apa dia mencariku...?" gumam Bayu
seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
"Panglima Narasoma tidak mengatakan apa-apa.
Dia langsung pergi begitu kukatakan kau sudah pergi," kata Nilakandi lagi.
Bayu hanya diam saja.
"Kakang, ada sesuatu yang ingin kuberikan
padamu," kata Nilakandi lagi.
Bayu mengangkat kepalanya, memandang gadis itu.
"Apa?"
Nilakandi mengeluarkan selongsong bambu yang terikat pita biru dari balik
lipatan bajunya. Sebentar Bayu memandangi, kemudian menerima selongsong bambu
itu. Sesaat, diperhatikannya selongsong bambu itu, kemudian dibuka tutupnya.
Dari dalamnya dikeluarkannya beberapa lembar daun lontar yang penuh coretan
tulisan. Kening Pendekar Pulau Neraka itu berkerut saat membaca tulisan yang tertera di
atas selembar daun lontar. Sebentar dipandangnya Nilakandi, kemudian kembali
menekuri tulisan-tulisan yang tertera di atas lembaran daun lontar itu.
"Dari mana kau dapatkan ini?" tanya Bayu.
"Aku menemukannya di Keputren Ratu Nyai
Lengas, ketika sedang bermain di sana," sahut Nilakandi.
"Kau tahu apa isinya?" tanya Bayu lagi seraya memasukkan daun lontar itu ke
dalam selongsong bambu, kemudian menutup kembali ujungnya.
Nilakandi hanya mengangguk saja, menjawab
pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu. Gadis itu memang sudah melihat isi surat
itu, makanya kini diberikan pada Bayu. Dia sendiri terkejut setelah mengetahui
kalau tulisan yang tertera pada lembaran
daun lontar berisi nama-nama pembesar yang berkomplot untuk menggulingkan tahta
Ratu Nyai Langas. Bahkan semua pemberontakan tertulis di sana. Yang lebih
mengejutkan lagi, tulisan itu dibuat oleh Narata!
Yang membuat Bayu bertanya-tanya, untuk apa Narata menulis semua ini" Dan kenapa
sampai berada di tangan Bokor" Memang, surat ini bisa menjadi bukti kuat untuk
menggulung komplotan pemberontak itu. Dan di dalam surat ini, juga tertulis
kalau penggulingan kekuasaan dilaksanakan tepat saat Ratu Nyai Langas melakukan
pemujaan di sebuah puri yang terletak di tengah Hutan Landaka.
Dan itu berarti tinggal tiga hari lagi. Sementara, seluruh Hutan Landaka kini
sudah dikuasai oleh kaum pemberontak.
"Aku harus segera memberi tahu Ratu Nyai
Langas," gumam Bayu agak mendesis.
"Memang lebih cepat lebih baik, Kakang," sambut Nilakandi.
"Kau diam saja di sini, Nilakandi. Jangan ke mana-mana," tegas Bayu seraya
bangkit berdiri.
"Tapi, punggungmu..."
"Hanya luka kecil, tidak apa-apa."
Nilakandi tidak bisa mencegah lagi, karena cepat sekali Pendekar Pulau Neraka
melompat ke pintu.
Dan secepat itu pula pintu dibuka, lalu tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi.
Nilakandi bergegas menutup pintu lagi. Dia sempat melongok ke luar, tapi
Pendekar Pulau Neraka tidak ada lagi di sana.
"Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa pada
Kakang Bayu...," desah Nilakandi.
*** 8 "Heh...!"
Ratu Nyai Langas terperanjat ketika tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka muncul
di dalam kamarnya.
Bahkan hampir saja berteriak. Untung Bayu segera memintanya untuk tenang. Wanita
cantik itu menarik selimut dan menutupi tubuhnya yang hanya mengenakan baju
tipis, hingga menampakkan keindahan bentuk tubuhnya.
"Bagaimana kau bisa berada di kamarku?" tanya Ratu Nyai Langas bernada kurang
senang. "Maaf, Gusti Ratu. Hamba terpaksa melumpuhkan dua orang penjaga," sahut Bayu.
"Apa maksudmu datang malam-malam begini?"
"Hamba akan menyerahkan bukti yang Gusti Ratu minta," sahut Bayu.
Pendekar Pulau Neraka menyodorkan selongsong bambu dengan sikap penuh hormat
Ratu Nyai Langas memandanginya sejenak, kemudian menerima
selongsong bambu itu. Sebentar dipandanginya Bayu, kemudian tutup selongsong
bambu itu dibuka. Dari dalamnya dikeluarkan beberapa daun lontar yang
bertuliskan sesuatu yang mengejutkan.
Kening wanita itu berkerut saat membaca tulisan yang tertera pada daun lontar
itu. Kembali dipandangnya Bayu yang berdiri saja tidak jauh di depannya. Hanya
sedikit raut wajahnya berubah.
Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja.
Pendekar Pulau Neraka kagum juga dengan
ketabahan yang dimiliki wanita cantik ini. Sama sekali
dia tidak kelihatan terkejut, meskipun raut wajahnya tadi sempat berubah sedikit
"Dari mana kau dapatkan ini?" tanya Ratu Nyai Langas, sambil menggulung kembali
daun lontar dan memasukkan ke dalam selongsong bambu.
Tanpa diminta dua kali, Bayu kemudian me-
nuturkan beberapa kejadian yang dialami hingga mendapatkan selongsong bambu ini
dari Nilakandi, putri tunggal Paman Jawala. Juga, diceritakan tentang Bokor yang
membawa surat itu, dan Jarong yang menginginkan surat-surat itu kembali.
"Ini memang merupakan bukti kuat, Bayu. Tapi aku tidak akan mengambil tindakan
apa-apa, sampai tiba saatnya nanti," tegas Ratu Nyai Langas, setelah Bayu
menceritakan semuanya.
"Maksud, Gusti Ratu...?" tanya Bayu tidak
mengerti. "Biarkan mereka bertindak sesuai rencana," sahut Ratu Nyai Langas diiringi
sunggingan senyuman manis.
"Gusti Ratu akan membiarkan mereka merebut tahta...?" tanya Bayu semakin tidak
mengerti. Ratu Nyai Langas tidak menjawab, tapi malah tersenyum saja. Perlahan wanita
cantik penguasa tunggal Kerajaan Langkat ini beranjak bangkit dari pembaringan.
Sepertinya dia sudah lupa dengan keadaan tubuhnya yang hanya tertutup baju
tipis. Melihat hal ini Bayu hanya bisa menelan ludah saja.
Biar bagaimanapun Pendekar Pulau Neraka tidak akan bertindak kurang ajar. Karena
sekali berbuat kotor, maka wibawanya akan turun di mata sang Ratu.
Dengan ayunan langkah gemulai, Ratu Nyai
Langas menghampiri meja kecil, lalu mengambil dua
gelas perak. Dan dari sebuah guci perak, dituang-kannya arak ke dalam gelas itu,
lalu dibawanya pada Bayu. Satu gelas diserahkan pada pemuda itu, dan satu gelas
lagi untuknya sendiri.
"Kau bukan rakyat Kerajaan Langkat ini, Bayu.
Tapi mengapa begitu gigih mempertahankan
keutuhan negeri ini?" tanya Ratu Nyai Langas ingin tahu.
"Hamba akan membela siapa saja yang berada di jalur kebenaran, Gusti Ratu. Sama
sekali hamba tidak memandang pangkat dan derajat seseorang," sahut Bayu kalem.
"Aku punya sesuatu untukmu, Bayu," kata Ratu Nyai Langas seraya mengambil
gulungan surat yang sama persis dengan yang dibawa Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu menerima, dan mem-bacanya dengan cepat. Keningnya
langsung berkerut.
Surat ini datang dari Narata, dan meminta wanita ini untuk menyerahkan tahtanya.
Bayu menatap Ratu Nyai Langas, sedangkan yang ditatap kelihatan tenang.
"Gusti Ratu... hamba juga akan menyampaikan sesuatu," kata Bayu.
"'Tentang apa?"
"Jarong."
"Hm...."
"Sebenarnya Jarong seorang tokoh persilatan yang disewa Narata untuk membantunya
dalam pemberontakan ini."
"Sudah kuduga...," gumam Ratu Nyai Langas.
Bayu benar-benar kagum pada wanita ini. Meskipun dalam keadaan gawat, tetap saja
tenang. Ratu Nyai Langas hanya tersenyum saja men-
dengar jawaban Bayu yang lugas itu. Tidak perlu
dijelaskan lagi kalau Pendekar Pulau Neraka sama sekali tidak memandang wanita
ini sebagai ratu yang menguasai seluruh wilayah Kerajaan Langkat. Bagi Bayu
sendiri, semua manusia sama. Hanya pangkat dan derajat saja yang membedakannya
di dunia ini. Dan Bayu sama sekali tidak pernah memandang hal semacam itu.
"Bayu. Jika kau memang ingin menolong kejayaan Kerajaan Langkat, aku minta
padamu untuk menjadi pengawal pribadiku," pinta Ratu Nyai Langas.
"'Terima kasih, Gusti Ratu. Tapi...," ucapan Bayu terputus.
"Aku mengerti, Bayu. Bukan untuk selamanya kau menjadi pengawal pribadiku. Tapi
hanya untuk tiga hari ini saja," ujar Ratu Nyai Langas, bisa memahami keberatan
Pendekar Pulau Neraka.
"Maksud, Gusti Ratu...?" Bayu masih belum
mengerti. "Mereka akan kubiarkan melaksanakan rencananya. Aku yakin kalau tujuan mereka
yang utama adalah melenyapkanku, sebelum mengambil alih singgasana. Dan pasti
mereka sudah menunggu di Hutan Landaka. Jadi, tidak perlu kita menggulung mereka
di kotaraja ini, tapi cukup di dalam hutan sana," Ratu Nyai Langas menjelaskan
rencana yang terlintas di kepalanya.
"Jumlah mereka sangat banyak, Gusti. Dan kalau Gusti Ratu membawa pengawal
berjumlah banyak, akan membuat curiga. Bisa-bisa mereka langsung menguasai
istana ini," Bayu mengemukakan
pendapatnya. "Aku mempunyai angkatan perang ketiga, yang langsung berada di bawah komandoku.
Aku juga sudah tahu, kalau sebagian prajurit sudah berpihak
pada mereka. Tapi itu memang prajurit mereka sendiri. Jadi, tidak perlu
khawatir."
"Gusti Ratu akan mengerahkan seluruh kekuatan ke Hutan Landaka?"
"Tidak, tapi hanya sebagian saja. Dan itu juga tidak secara terang-terangan,
Bayu. Mereka akan
berangkat terlebih dahulu, namun tidak mengenakan seragam prajurit."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda bisa memahami maksud Ratu Nyai
Langas. Dalam hati, Pendekar Pulau Neraka memuji kecerdikan wanita berparas
cantik ini. Juga, ketenangannya dalam menghadapi kemelut. Bayu benar-benar
memuji secara turus, meskipun hanya diucapkan dalam hati. Memang dalam
menghadapi sesuatu, sangat dibutuhkan ketenangan. Dan ketenangan itu dimiliki
Ratu Nyai Langas.
*** Bayu berdiri tegak di atas bangunan tua yang
tersusun dari batu, membentuk sebuah candi. Dan memang, bangunan ini digunakan
untuk memuja dewa. Hanya keluarga istana saja yang boleh menggunakan candi di
tengah Hutan Landaka ini.
Pendekar Pulau Neraka berpaling saat merasakan ada seseorang berdiri agak ke
belakang di samping kanannya.
Bayu memberi senyum setelah mengetahui kalau Ratu Nyai Langas sudah berada di
dekatnya. Di belakang wanita cantik ini berdiri seorang laki-laki tua mengenakan
jubah warna kuning gading. Laki-laki yang sudah berusia lanjut itu, bernama
Eyang Lanjaran. Seorang pertapa yang menghuni candi tua
ini. "Mereka sudah terlihat, Bayu?" tanya Ratu Nyai Langas.
"Tidak ada tanda-tandanya, Gusti Ratu," sahut Bayu dengan sikap hormat
Pandangan Ratu Nyai Langas beredar ke
sekeliling. Hanya ada beberapa prajurit saja yang menjaga di sekitar bangunan
tua dari batu ini, serta sepuluh orang pelayan yang tampak sibuk di bagian
belakangnya. Bayu sendiri masih diliputi keheranan, karena sejak tadi tidak
melihat prajurit khusus yang dikatakan Ratu Nyai Langas. Hanya lima puluh
prajurit saja yang terlihat di sekitar bangunan ini. Dan kedatangan mereka pun
bersama-sama. "Hamba khawatir rencana ini sudah diketahui mereka, Gusti Ratu," kata Bayu
mengemukakan perasaan khawatirnya.
"Kalaupun mengetahui, yang pasti ada dua tempat yang diserang. Di sini, atau
mereka ke istana," sahut Ratu Nyai Langas. Tetap terdengar tenang suaranya.
"Ada kemungkinan mereka menyerang istana,
Gusti Ratu," selak Eyang Lanjaran yang sejak tadi diam saja.
"Mereka akan berpikir dua kali untuk menyerang istana, Eyang. Aku yakin, jumlah
mereka jauh lebih sedikit bila dibandingkan prajurit yang berada di istana,"
bantah Ratu Nyai Langas.
"Lalu, bagaimana dengan yang ada di sini?" tanya Eyang Lanjaran.
"Di samping prajurit biasa yang datang bersamaku, ada sekitar lima ratus pasukan
khusus yang hanya aku sendiri mengetahuinya. Tak ada seorang pun yang tahu, juga
Kakang Narata," sahut Ratu Nyai Langas menjelaskan lagi. "Maaf, Eyang. Aku
terpaksa membentuk kekuatan khusus, dan mungkin ada gunanya sekarang ini."
"Kau tidak perlu meminta maaf, Anakku.
Tindakanmu tepat sekali. Mempersiapkan diri lebih penting daripada tidak sama
sekali," kata Epang Lamaran bijaksana.
"Terima kasih, Eyang."
"Mereka datang...," desis Bayu menyelak tiba-tiba.
Ratu Nyai Langas langsung memandang ke arah yang sama dengan pandangan Pendekar


Pendekar Pulau Neraka 22 Pergolakan Di Istana Langkat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pulau Neraka. Tampak di sebelah Utara, bergerak sekitar lima puluh orang menuju candi
ini. Bukan hanya itu.
Dari arah-arah lain juga terlihat orang-orang yang mengenakan baju serba hitam
bergerak cepat ke arah tempat ini.
Baik Ratu Nyai Langas, maupun Bayu sudah
menyadari kalau sudah terkepung dari empat jurusan. Dan jumlah mereka ada
sekitar dua ratus orang. Namun perhatian Pendekar Pulau Neraka bukanlah pada
orang-orang berbaju hitam itu, melainkan pada dua orang yang berjalan cepat dari
arah Timur. "Bagus.... Ternyata mereka tidak mengetahui kalau rencananya sudah terbaca,"
ujar Ratu Nyai Langas dengan suara setengah bergumam.
"Bagaimana sekarang, Anakku?" tanya Eyang
Lanjaran. Ratu Nyai Langas tidak menjawab, dan hanya tersenyum seraya memandang Pendekar
Pulau Neraka yang saat itu juga tengah menatap ke arah wanita cantik ini.
"Kau hadapi pemimpin mereka, Bayu. Jangan
sampai mereka menjarah tempat suci ini," tegas Ratu Nyai Langas.
Tanpa menjawab sedikit pun, Bayu segera melesat turun. Begitu ringan dan indah
gerakannya. Dan tanpa memperdengarkan suara sedikit pun, Pendekar Pulau Neraka
sudah berada di tanah. Secepat kakinya menjejak tanah, secepat itu pula melesat
ke arah Timur, yang di sana terlihat Narata dan Jarong serta sekitar lima puluh
orang berpakaian serba hitam bergerak menuju candi ini.
Begitu bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka lenyap ditelan kelebatan hutan, Ratu
Nyai Langas mengambil sebuah benda bulat sebesar mata kucing dari balik sabuk
yang membelit pinggangnya. Benda bulat berwarna merah itu, dilontarkan ke udara
dengan hanya menjentikkan ujung jarinya sedikit saja. Dan begitu berada di
angkasa, benda itu pecah memperdengarkan ledakan keras menggelegar bagaikan
guntur di angkasa. Sebentar kemudian memercik bunga-bunga api yang beraneka
ragam warnanya.
"Hm...," Ratu Nyai Langas tersenyum.
"Apa yang kau lakukan tadi, Anakku?" tanya Eyang Lanjaran.
"Hanya memberi tanda saja, Eyang," sahut Ratu Nyai Langas.
Setelah menjawab pertanyaan pertapa tua itu, Ratu Nyai Langas melangkah ringan
meninggalkan atap depan bangunan candi ini. Eyang Lanjaran mengikuti saja tanpa
mengucapkan sesuatu lagi.
Sungguh tak pernah terpikirkan kalau tempat suci ini akan ternoda darah, dari
orang-orang yang tengah diliputi nafsu keangkaramurkaan.
*** ''Berhenti...!"
Narata dan Jarong terkejut ketika tiba-tiba terdengar bentakan keras
menggelegar. Mereka segera menghentikan langkahnya diikuti lima puluh orang
berpakaian serba hitam yang berjalan di belakang. Bentakan keras itu demikian
jelas, dan mengejutkan sekali. Dan sebelum mereka semua lenyap dari rasa
terkejutnya, kembali mereka dikejut-kan munculnya seorang pemuda berbaju kulit
harimau. "Bayu...," desis Jarong mengenali pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Aku minta, sebaiknya kalian menyerah saja.
Tempat ini sudah terkepung," tegas Bayu namun bernada mengancam.
"Phuih! Bagaimana kau bisa tahu kami akan ke sini, Bayu"!" tanya Narata agak
mendesis, menghilangkan rasa keterkejutannya.
"Ini...," sahut bayu seraya menunjukkan
selongsong bambu yang berisi beberapa lembar daun lontar.
"Sudah kuduga, Paman pasti salah mengambil surat," ujar Jarong pelan, seperti
berbicara pada diri sendiri.
Narata hanya diam saja. Sebentar matanya
menatap tajam Pendekar Pulau Neraka, kemudian beralih pada pemuda kurus kering
yang berdiri di sampingnya. Selongsong bambu yang berisi nama-nama pembesar yang
berada di pihaknya itu memang miliknya.
Narata memang mengakui di dalam hati kalau telah salah memberi selongsong bambu
itu pada anak buahnya. Meskipun tidak dikatakannya pada Jarong, tapi pemuda
kurus kering itu sudah
mengetahuinya. Itulah sebabnya mengapa Jarong harus melenyapkan Bokor sekaligus
berniat merampas selongsong bambu itu kembali. Dan sekarang selongsong bambu itu sudah
berada di tangan Pendekar Pulau Neraka. Dan yang pasti, semua rencana makar ini
sudah diketahui.
"Tempat surat itu memang sama, dan kuletakkan di tempat yang sama pula. Aku
tidak melihat lagi isinya ketika mengambil," kata Narata perlahan, seakan-akan
ingin mengakui kesalahannya.
Kesalahan yang kecil, namun fatal akibatnya.
"Tidak ada jalan lain lagi, Paman. Kita harus melenyapkan manusia keparat
bersama yang lainnya di hutan ini," tegas Jarong. Suaranya terdengar dalam, agak
tertahan. Dan sebelum Narata menjawab, Jarong sudah
berteriak kencang memerintahkan anak buahnya menyerang Pendekar Pulau Neraka.
Tepat ketika orang-orang berbaju serba hitam itu meluruk deras hendak menyerang
Bayu, mendadak saja dari atas pohon dan gerumbul semak berlompatan orang-orang
berpakaian seragam prajurit. Mereka langsung menyerang orang-orang berpakaian
serba hitam tanpa menunggu perintah lagi.
"Keparat..!" desis Jarong geram.
"Bagus...!" Bayu menyambut gembira kemunculan para prajurit itu. "Hiyaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Pulau Neraka langsung melompat menerjang Jarong yang tengah dihinggapi berbagai
macam perasaan.
Hatinya terkejut, marah, dan juga kebingungan melihat para prajurit bermunculan
secara tiba-tiba dan langsung menyerang anak buahnya. Sebelum keterkejutannya
lenyap, kembali pemuda kurus
kering itu terperanjat begitu tiba-tiba saja Bayu sudah melompat menerjangnya.
"Uts...!"
Bergegas Jarong melompat ke samping seraya menjatuhkan tubuhnya ke tanah,
menghindari serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka.
Beberapa kali dia bergulingan di tanah, sebelum cepat melompat bangkit berdiri.
"Yeaaah...!"
Sebelum pemuda bertubuh kurus kering itu bisa berdiri dengan tegak, Bayu sudah
melompat menyerang kembali disertai lontaran dua pukulan beruntun bertenaga dalam tinggi.
Sejenak Jarong terperangah kaget, namun cepat sekali mengegoskan tubuhnya ke
kiri dan ke kanan untuk menghindari serangan.
Di lain pihak, pertempuran antara prajurit khusus Ratu Nyai Langas dengan orang-
orang berpakaian serba hitam terus berlangsung sengit. Dan agak jauh dari tempat
pertarungan itu, terlihat Narata hanya berdiri mengawasi saja. Dia tampak
kebingungan, melihat anak buahnya terdesak menghadapi prajurit yang sama sekali
tidak diketahuinya ini. Pakaian prajurit itu sangat lain sekali dengan pakaian
prajurit yang berada di istana. Dan laki-laki gemuk itu tidak tahu, mereka ini
prajurit-prajurit dari mana. Perhatian Narata beralih pada pertarungan antara
Bayu dan Jarong.
"Hm... Kelihatannya Jarong bukan tandingan pemuda itu," gumam Narata dalam hati.
Dan pengamatan Narata memang tepat. Saat itu Jarong sudah demikian terdesak
sekali. Beberapa kali dia tersungkur jatuh terhantam pukulan keras Pendekar
Pulau Neraka. Namun rupanya pemuda
bertubuh kurus kering itu masih tetap bertahan. Dia selalu dapat bangkit dan
langsung menyerang, meskipun selalu mudah dipatahkan Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu cepat sekali melentingkan tubuhnya ke udara. Dan secepat itu
pula tubuhnya meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan keras bertenaga
dalam tinggi. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka
itu, sehingga Jarong tak dapat lagi menghindarinya.
Dieghk...! "Aaakh...!" satu jeritan melengking tinggi terdengar.
Bersamaan dengan itu, terlihat Jarong terpental beberapa tombak ke belakang. Dan
sebelum tubuh pemuda kurus kering itu menyentuh tanah, Bayu sudah mengebutkan
tangan kanannya ke depan.
Slap! Seketika itu juga Cakra Maut yang selalu
menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat
bagaikan kilat. Begitu cepatnya, sehingga baik Jarong maupun Narata yang
memperhatikan pertarungan tidak sempat lagi menyadari. Sehingga....
Crab...! "Aaakh...!" Jarong menjerit melengking tinggi.
Cakra Maut keperakan bersegi enam, menancap dalam di dada pemuda kurus kering
itu. Hanya sebentar saja Jarong bisa menggeliat, kemudian diam tak bernyawa
lagi. Darah seketika muncrat keluar, begitu Cakra Maut terlepas dari dada pemuda
bertubuh kurus kering itu. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu kembali
menempel di pergelangan
tangan kanannya.
Bayu memutar tubuhnya menghadap Narata yang tampak terkejut melihat kematian
Jarong. Laki-laki setengah baya bertubuh gemuk itu melangkah mundur beberapa
tindak. Pada saat yang sama, lebih dari separuh orang-orang berpakaian serba
hitam sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Darah bersimbah menggenangi tanah
berumput, menyebarkan aroma anyir terbawa angin.
"Sekarang giliranmu, Narata...," desis Bayu dingin.
"Jangan... Jangan bunuh aku, Bayu. Biarkan aku hidup...," terdengar bergetar
suara Narata. Wajah laki-laki setengah baya itu nampak pucat pasi, seperti tak teraliri darah.
Seluruh tubuhnya menggeletar, basah oleh keringat yang mengucur deras. Bayu
sendiri jadi tidak mengerti, mengapa sikap Narata seperti ini. Apakah Narata
tidak mengerti ilmu olah kanuragan" Atau sudah gentar melihat kedigdayaan
Pendekar Pulau Neraka"
Perlahan-lahan Bayu melangkah mendekati.
"Biarkan dia hidup, Bayu...!"
Bayu berpaling saat mendengar seruan halus dari arah samping kanannya. Tampak
Ratu Nyai Langas yang didampingi Eyang Lanjaran dan beberapa orang prajurit
serta panglima perang menghampiri. Melihat penguasa tunggal Kerajaan Langkat
itu, Narata langsung memburu dan berlutut di depannya. Mau tak mau Ratu Nyai
Langas menghentikan langkahnya.
''Dinda Ratu.... Hamba mohon, biarkan hamba hidup...," rengek Narata.
"Hm.... Mengapa kau begitu lemah, Kakang
Narata" Bukankah kau selalu mencari kesempatan untuk menyingkirkan aku" Kau
ingin menduduki tahta, bukan...?" agak sinis suara Ratu Nyai Langas.
Namun nada suaranya terdengar lembut sekali.
Narata hanya diam saja. Kepalanya sama sekali tidak berani diangkat. Rasanya dia
tidak sanggup membalas tatapan mata wanita cantik itu.
"Panglima Narasoma, tangkap dia," perintah Ratu Nyai Langas.
"Hamba, Kanjeng Ratu."
Panglima Narasoma segera menjalankan perintah itu. Bersama empat orang prajurit
diringkusnya Narata yang sudah tidak memiliki daya lagi untuk memberi
perlawanan. Panglima Narasoma membawa laki-laki setengah baya bertubuh gemuk
itu, kembali ke Kotaraja Langkat Ratu Nyai Langas mengalihkan pandangannya ke
arah Bayu berada. Namun....
"Heh...! Ke mana Bayu...?"
Bukan main terkejutnya Ratu Nyai Langas begitu melihat Bayu tidak berada lagi di
tempatnya. Bahkan di sekitar tempat ini, tidak terlihat lagi Pendekar Pulau
Neraka. Tak ada yang tahu, kapan dan ke mana pendekar digdaya itu pergi.
"Sudahlah, Anakku. Mungkin Bayu tidak menginginkan imbalan apa-apa darimu,"
hibur Eyang Lanjaran, seakan-akan bisa membaca isi hati wanita itu.
Ratu Nyai Langas hanya menghembuskan napas saja. Bayu bukan hanya tampan, tapi
sikap dan tindak tanduknya sudah membuat wanita itu tertarik.
Ratu Nyai Langas merasakan ada sekeping hatinya yang hilang, saat Pendekar Pulau
Neraka pergi. "Hhh.... Semoga saja aku bisa bertemu lagi dengannya," desah Ratu Nyai Langas
dalam hati "Mari kita kembali ke pertapaan. Ananda Ratu,"
ajak Eyang Lanjaran.
Ratu Nyai Langas tidak mengeluarkan suara
sedikit pun juga. Kemudian tubuhnya berputar, lalu melangkah mengikuti laki-laki
tua pertapa itu.
"Apa yang akan kau lakukan pada Narata?" tanya Eyang Lanjaran.
"Tergantung dari putusan pengadilan nanti, Eyang.
Mungkin dia dibuang dan tidak boleh kembali lagi,"
sahut Ratu Nyai Langas perlahan.
"Satu keputusan yang bijaksana jika kau tidak menjatuhkan hukuman mati."
Ratu Nyai Langas hanya tersenyum saja. Sama sekali Narata tidak ada dalam
pikirannya. Seluruh pikiran dan sekeping hatinya kini tercurah pada seorang
pemuda yang telah mencuri sekeping hatinya. Bahkan Ratu Nyai Langas sendiri
tidak mengerti, apa yang sedang dirasakannya kini.
Mungkinkah ini yang dinamakan cinta..." Entahlah.
Yang jelas, dia belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Hatinya hanya
bisa berharap, agar dapat bertemu lagi dengan Pendekar Pulau Neraka.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Kisah Pendekar Bongkok 3 Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan Karya Opa Pedang Angin Berbisik 9
^