Pencarian

Selir Raja 1

Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja Bagian 1


SELIR RAJA Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh Syam CK.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Selir Raja 128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Siang itu keadaan di Kotaraja Balungan tampak
lain dari biasanya. Hampir semua orang berbondong-
bondong datang ke sebuah lapangan di depan Istana
Balungan. Lapangan luas yang disebut alun-alun itu
seakan-akan tidak mampu menampung orang yang te-
rus berdatangan memadatinya. Kedatangan mereka
adalah untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman ba-
kar yang akan dilakukan siang ini di sana.
Dan memang, di tengah-tengah lapangan luas itu
terlihat sebatang tonggak kayu yang berdiri tegak di tengah-tengah tumpukan kayu
bakar. Pada tonggak
kayu, tampak terikat seorang wanita cantik mengena-
kan baju hitam ketat, dari bahan sutra halus. Begitu ketatnya, sehingga tubuhnya
yang indah dan ramping
membentuk lekuk-lekuk yang menggairahkan. Dia te-
rikat di tonggak dengan tangan ke belakang.
Sekitar tiga puluh prajurit bersenjata lengkap men-
gelilingi tonggak kayu itu. Tampak seorang laki-laki bertubuh tegap berada di
atas punggung kuda hitam.
Sedangkan enam orang berpakaian prajurit tengah
memegang obor menyala di kanan kirinya. Mata laki-
laki itu menatap tajam wanita berbaju hitam yang terikat di tonggak. Sedangkan
yang ditatap malah menga-
rahkan pandangannya ke bangunan istana yang dikeli-
lingi tembok benteng tinggi dan kokoh.
"Sebelum hukuman ini dilaksanakan, apa permin-
taanmu yang terakhir, Nini Anjar?" terdengar lantang suara laki-laki di atas
punggung kuda hitam yang
mengenakan pakaian panglima itu.
Perempuan berbaju hitam yang dipanggil Nini Anjar
hanya menyunggingkan senyuman saja, seakan-akan
tidak peduli kalau sebentar lagi akan mati dibakar. Di-balasnya tatapan panglima
itu dengan tajam pula.
"Gusti Prabu Wijaya akan mengabulkan permin-
taan terakhirmu, Nini Anjar," tegas panglima itu lagi.
'Terima kasih. Sebaiknya sampaikan saja pada
Gusti Prabu untuk memperhatikan kata-kataku, Pan-
glima Pangkar," lembut sekali suara Nini Anjar, namun terasa hambar dan datar.
Laki-laki di atas punggung kuda hitam yang ber-
nama Panglima Pangkar itu hanya tersenyum saja. Ke-
tika tangannya memberikan isyarat, maka enam orang
yang membawa obor bergerak maju. Mereka mengeli-
lingi wanita berbaju hitam yang terikat di tonggak
kayu. "Dengar, Nini Anjar. Kau akan diampuni jika mencabut kembali kata-katamu itu.
Tidak ada seorang pun yang sudi mempercayainya. Bahkan kau telah membuat Gusti
Prabu Wijaya murka. Jika kata-katamu ti-
dak mau dicabut, maka kau harus rela menerima hu-
kuman ini," tegas Panglima Pangkar, bernada membujuk. "Kalian akan menyesal.
Percayalah...," kata Nini Anjar datar.
"Bakar...!" perintah Panglima Pangkar lantang.
Tanpa diperintah dua kali, enam orang yang me-
megang obor langsung melemparkan obornya ke tum-
pukan kayu itu. Seketika api berkobar membesar, me-
lahap kayu bakar. Lidah-lidah api mulai menjilati tubuh wanita itu. Namun Nini
Anjar tetap tersenyum
dingin, disertai sorot mata tajam. Api terus berkobar semakin besar. Dan tubuh
Nini Anjar benar-benar tertutup api. Namun, tak sedikit pun terdengar keluhan.
Apalagi jeritan kesakitan. Hal ini membuat Panglima
Pangkar dan semua orang yang menyaksikan jadi ke-
heranan. Pada saat seluruh kayu-kayu terbakar, mendadak
saja.... Glarrr! Satu ledakan keras tiba-tiba terdengar bagai letu-
san gunung berapi. Dan itu jelas berasal dari api yang berkobar semakin besar.
Bunga-bunga api memercik,
membumbung tinggi ke angkasa. Semua orang yang
memadati alun-alun terbengong kaget. Dan sebelum
hilang keterkejutan mereka....
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja terdengar tawa terbahak-bahak
Bagaikan ada yang memberi perintah, semua orang
yang memadati alun-alun berserabutan pergi. Jerit ke-takutan terdengar
membahana. Akibatnya suasana
yang semula sunyi, mendadak jadi gaduh. Bahkan pa-
ra prajurit mulai kelihatan gelisah. Mereka mulai bergerak mundur perlahan-
lahan. Saat itu semua orang
sudah meninggalkan lapangan luas ini. Tinggal Pan-
glima Pakar dan para prajuritnya yang masih bertahan pada tempatnya.
Glarrr....! Satu ledakan keras kembali terdengar menggelegar,
membuat Panglima Pangkar dan para prajuritnya ter-
peranjat kaget. Mereka semakin terkejut, begitu tiba-tiba kobaran api mendadak
padam. Tonggak kayu yang
menghitam hangus masih tetap terpancang tegak. Na-
mun, disana tidak ada lagi Nini Anjar.
"Heh...! Ke mana dia...?" desis Panglima Pangkar
keheranan. Dan sebelum panglima itu memperoleh jawaban,
mendadak saja berkelebat cepat sebuah bayangan hi-
tam. Panglima Pangkar cepat melompat dari punggung
kuda, maka terjangan bayangan hitam tidak sampai
menghantamnya. Namun pada saat yang sama, ter-
dengar jeritan melengking tinggi saling sambut. Itu pun masih di susul
bergelimpangannnya para prajurit
yang belum bisa menyadari, apa yang terjadi.
Bayangan hitam it uterus berkelebat cepat, meng-
hajar para prajurit, tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk bisa melakukan
sesuatu. "Celaka...," desis Panglima Pangkar.
Bagaikan kilat, Panglima Pangkar melompat ke
atas punggung kudanya. Dan secepat itu pula kudanya
digebah menuju pintu gerbang istana.
"Aku harus melaporkan kejadian ini pada Gusti
Prabu. Hiya! Hiyaaa...!"
Sementara bayangan hitam itu masih saja berkele-
bat menghajar para prajurit. Jeritan dan pekikan me-
nyayat terus terdengar saling sambut. Dalam waktu
sebentar saja, lebih dari separuh prajurit sudah bergelimpangan tak bernyawa
lagi. Darah mengucur deras
di tubuh-tubuh yang koyak, seperti terkena cakaran
binatang buas. "Hiya! Buka pintu..,! Yeaaah...!" teriak Panglima Pangkar keras menggelegar.
Pintu gerbang yang sejak tadi tertutup, perlahan-
lahan terbuka. Tanpa memperlambat lari kudanya,
panglima itu terus menerobos masuk. Pintu gerbang
yang terbuat dari kayu jati tebal kembali bergerak menutup begitu Panglima
Pangkar melewatinya.
Tepat pada saat itu, semua prajurit yang berada di
alun-alun sudah tewas bersimbah darah. Tak ada seo-
rang pun yang tersisa. Sedangkan bayangan hitam itu
juga lenyap, entah ke mana. Tak ada seorang pun yang mengetahui kepergiannya.
Suasana di alun-alun depan
istana kini mendadak jadi sunyi senyap. Hanya desir
angin saja yang terdengar mempermainkan dedaunan.
Tak ada seorang pun terlihat di sana.
Sementara Panglima Pangkar sudah mendekati ba-
gian depan istana. Dia langsung melompat turun dari punggung kuda, begitu sampai
di depan tangga istana.
Gerakannya sangat ringan, pertanda kepandaiannya
cukup tinggi. Begitu kakinya menjejak undakan per-
tama, panglima itu langsung berlari cepat menaiki
anak-anak tangga yang berjumlah dua puluh.
Dua orang prajurit yang menjaga pintu depan sege-
ra membungkuk memberi hormat. Namun Panglima
Pangkar tidak mempedulikan sama sekali, dan malah
terus melangkah cepat setengah berlari menerobos
masuk. Dia langsung menuju Balai Sema Agung, tem-
pat Prabu Wijaya tengah berbincang-bincang bersama
pembesar-pembesarnya.
Mereka semua terkejut melihat kedatangan Pan-
glima Pangkar yang begitu tergesa-gesa. Terlebih lagi, seluruh wajahnya terlihat
pucat bersimbah keringat.
Panglima Pangkar cepat berlutut di depan Prabu Wi-
jaya yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun.
"Ada apa, Panglima Pangkar" Kenapa kelihatan begitu tergesa-gesa?" tanya Prabu
Wijaya langsung.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba... hamba...," jawab Panglima Pangkar terbata-bata.
"Ada apa"! Bukankah kau bertugas melaksanakan
hukuman mati bagi Nini Anjar?" agak keras suara Prabu Wijaya.
Sebentar Panglima Pangkar terdiam, lalu menarik
napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan
dirinya. Sedangkan Prabu Wijaya kelihatan tidak sabar menunggu. Dari raut wajah
dan sorot matanya, sudah
bisa diduga-duga, apa yang akan dikatakan pangli-
manya ini. "Hamba memang bertugas untuk melakukan hu-
kuman bagi Nini Anjar, Gusti Prabu. Semua sudah di
laksanakan sesuai perintah. Tapi...," laporan Panglima Pangkar terputus.
'Tapi kenapa, Panglima" Teruskan...," desak Prabu Wijaya semakin terlihat
gelisah. "Nini Anjar, Gusti Prabu. Dia..., dia bisa lolos se-waktu api membakar
tubuhnya," dengan suara perlahan dan terputus-putus, Panglima Pangkar melapor-
kan kejadian sebenarnya di alun-alun istana tadi.
"Apa..."!" sentak Prabu Wijaya terkejut. "Mustahil.... Tidak Mungkin...!"
Begitu terkejutnya, sampai-sampai Prabu Wijaya
terlonjak berdiri dari singgasana. Wajahnya seketika memerah. Meskipun sejak
semula sudah menduga
akan menerima laporan kegagalan pelaksanaan hu-
kuman mati, tapi saat mendengar laporan itu tetap sa-ja Raja Kerajaan Balungan
ini terkejut. Bukan hanya Prabu Wijaya yang terperanjat. Bah-
kan semua orang yang berada di dalam Balai Sema
Agung ini juga tersentak kaget begitu menerima lapo-
ran Panglima Pangkar. Mereka memandangi panglima
itu, seakan-akan ingin mendengar lagi laporan yang
sangat mengejutkan tadi.
"Panglima! Jelaskan semua kejadiannya," pinta Prabu Wijaya setelah duduk kembali
di singgasananya.
Tanpa diminta dua kali, Panglima Pangkar menje-
laskan semua peristiwa yang terjadi di alun-alun tadi dengan hati-hati dan suara
pelan. Sedapat mungkin
Panglima Pangkar mencoba untuk tetap tenang saat
memberikan penjelasan. Semua yang ada di dalam Ba-
lai Sema Agung ini mendengarkan penuh perhatian.
Tak seorang pun membuka suara, sampai Panglima
Pangkar menyelesaikan laporannya. Untuk beberapa
saat, keadaan jadi sunyi senyap. Tak seorang pun yang
membuka mulut. Semua kepala tertunduk dengan
kening berkerut.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hukumlah ham-
ba, karena telah gagal melaksanakan titah," ucap Panglima Pangkar seraya memberi
sembah. Prabu Wijaya hanya diam merenung saja. Kening-
nya terlihat berkerut semakin dalam. Kepalanya ter-
tunduk, menekuri ujung jari kakinya. Entah, apa yang ada dalam pikiran dan
hatinya saat ini. Yang jelas,
Prabu Wijaya kelihatan begitu gelisah.
"Hm.... Perempuan itu harus ditangkap hidup atau mati. Dia bisa menjadi ancaman
terbesar bagi seluruh rakyat negeri ini," tegas Prabu Wijaya. Suaranya terdengar
bergumam, seakan-akan berbicara pada dirinya
sendiri. "Apa yang harus hamba lakukan, Gusti Prabu?"
tanya Panglima Pangkar.
'Tidak ada," sahut Prabu Wijaya pelan.
Panglima Pangkar memandangi Prabu Wijaya, sea-
kan-akan tidak mempercayai jawaban yang didengar-
nya barusan. Persoalan ini memang tidak seperti bi-
asanya. Walaupun hanya seorang wanita yang harus
mereka hadapi, tapi dia bisa menghancurkan seluruh
negeri ini. Kata-kata yang diucapkannya begitu berbi-sa, dan berbahaya sekali.
"Ampun, Gusti Prabu...," tiba-tiba seorang laki-laki tua berjubah kuning, dan
berkepala gundul menyelak.
Laki-laki tua berjubah kuning yang selalu meng-
genggam tasbih batu hitam itu membungkuk memberi
hormat Prabu Wijaya dan semua orang yang berada di
ruangan Balai Sema Agung memandang ke arah laki-
laki tua berjubah kuning ini. Sedangkan yang dipan-
dangi tampak tidak peduli. Bahkan malah bangkit dari duduknya, lalu melangkah ke
depan. Setelah jaraknya
tinggal sekitar tiga langkah di depan Prabu Wijaya, dia berhenti. Kembali
tubuhnya membungkuk memberi
hormat. "Ada apa, Paman Suratmaja?" tanya Prabu Wijaya.
"Ampun, Gusti Prabu. Menurut hamba, pencega-
han lebih baik daripada harus menghadapi kenyataan
yang bakal terjadi nanti. Hamba merasa yakin, peristi-wa ini akan berbuntut
panjang. Dan sudah pasti akan
merugikan sekali. Kita tidak boleh menganggap remeh
Nini Anjar, Gusti Prabu. Dia bukan wanita sembaran-
gan. Di samping kutukannya yang terkenal, kepan-
daiannya pun sangat tinggi. Sukar untuk dicari tan-


Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingannya."
"Hm...," Prabu Wijaya menggumam sambil mengelus-elus janggutnya yang hanya
sedikit ditumbuhi
rambut halus. Agak lama juga Prabu Wijaya terdiam, memikirkan
saran yang diajukan Pendeta Suratmaja. Memang da-
lam keadaan seperti ini, Nini Anjar tidak bisa dipandang remeh. Tapi bukan watak
Prabu Wijaya yang be-
gitu saja mudah menyerah. Terlebih lagi, mereka
hanya menghadapi seorang wanita berkepandaian
tinggi. Sedangkan ratusan prajurit asing saja sanggup mereka hadapi.
"Akan ku pikirkan saran mu, Paman Pendeta," ujar Prabu Wijaya, tidak ingin
mengecewakan Pendeta Suratmaja.
"Hamba, Gusti Prabu," ucap Pendeta Suratmaja seraya memberi hormat.
Laki-laki tua berjubah kuning dan berkepala gun-
dul itu kembali ke tempat semula. Sementara suasana
kembali menjadi sunyi. Tanpa berbicara lagi, Prabu
Wijaya bangkit berdiri dari singgasana, kemudian me-
langkah perlahan meninggalkan ruangan Balai Sema
Agung ini. Semua orang yang berada di ruangan itu
bergegas berdiri, dan membungkuk memberi hormat.
Sepeninggal Prabu Wijaya, ruangan besar dan in-
dah itu bagaikan dipenuhi lebah. Suara-suara meng-
gumam terdengar memenuhi ruangan Balai Sema
Agung. Pendeta Suratmaja mendekati Panglima Pang-
kar. Sementara satu persatu orang-orang yang berada
di ruangan itu beranjak pergi.
"Kau bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya secara jelas padaku, Panglima
Pangkar?" pinta Pendeta Suratmaja.
Panglima Pangkar tidak langsung menjawab. Di
pandanginya laki-laki tua berkepala gundul itu, sea-
kan-kan sedang mempertimbangkan permintaan Pen-
deta Suratmaja barusan.
"Aku rasa, persoalan ini bukan urusan para pan-
glima saja, Panglima Pangkar. Biar bagaimanapun, aku juga merasa bertanggung
jawab atas keselamatan kerajaan ini," tegas Pendeta Suratmaja lagi.
"Aku sudah jelas menceritakannya, Paman Pende-
ta," ujar Panglima Pangkar.
"Aku yakin ada yang kau sembunyikan, Panglima
Pangkar," Pendeta Suratmaja tidak mau percaya.
Memang tadi Panglima Pangkar sudah mengatakan
semua peristiwa di alun-alun. Dan semua orang sudah
mendengarnya. Demikian pula Pendeta Suratmaja.
Panglima Pangkar semakin dalam memandangi pende-
ta gundul berjubah kuning ini. Ada terselip sedikit kecurigaan atas desakan
Pendeta Suratmaja. Tapi dia tidak tahu, apa yang membuatnya mempunyai perasaan
curiga. "Baiklah, bila kau tidak ingin mengatakannya padaku, Panglima Pangkar. Tapi aku
yakin, kau me- nyembunyikan sesuatu. Dan yang pasti, aku bisa
mengetahuinya," kata Pendeta Suratmaja, bernada seolah-olah menyerah.
'Tidak ada yang bisa ku sembunyikan, Paman Pen-
deta," tegas Panglima Pangkar.
"Mungkin kau bisa memberikan kepercayaan pada
orang lain. Bahkan mungkin Prabu Wijaya sendiri
mempercayaimu. Tapi, kulihat ada sesuatu yang kau
sembunyikan, Panglima Pangkar. Dan itu menjadi ra-
hasiamu sendiri," Pendeta Suratmaja tetap tidak percaya.
"Apa maksudmu berkata demikian, Paman Pende-
ta?" Panglima Pangkar mulai tidak senang.
Pendeta Suratmaja hanya tersenyum saja, kemu-
dian melangkah meninggalkan ruangan Balai Sema
Agung ini. Sementara Panglima Pangkar masih berdiri
tegak memandangi kepergian laki-laki tua gundul ber-
jubah kuning itu.
Ruangan ini kembali sepi, tidak ada seorang pun
yang terlihat. Perlahan-lahan Panglima Pangkar men-
gayunkan kakinya, meninggalkan ruangan besar yang
indah ini. Hatinya masih tidak mengerti akan sikap
Pendeta Suratmaja barusan.
"Apa sebenarnya keinginan Pendeta Suratmaja"
Aku tidak menyembunyikan apa-apa, tapi kenapa dia
terus mendesak ku...?" Panglima Pangkar berbicara sendiri dalam hati.
Memang dalam keadaan seperti ini, kecurigaan se-
seorang cepat sekali timbul. Dan itu kini disadari oleh Panglima Pangkar. Namun
dalam hati, Panglima Pangkar bertekad untuk membuktikan kalau dirinya tidak
terlibat dalam kemelut ini.
*** 2 Malam sudah demikian larut. Sejak siang tadi sete-
lah pertemuan di Balai Sema Agung, Prabu Wijaya
mengurung diri dalam kamar pribadinya. Tidak ada
seorang pun di dalam kamar ini, kecuali dirinya sendi-ri. Laki-laki setengah
baya itu berdiri mematung di depan jendela. Matanya lurus tidak berkedip
memandan- gi sang rembulan yang bersinar penuh. Begitu cantik dan indah. Namun semua
kecantikan dan keindahan
malam ini tidak dapat dirasakan Prabu Wijaya.
Hati dan pikirannya begitu kacau, setelah menden-
gar laporan kegagalan pelaksanaan hukuman mati Ni-
ni Anjar. Terlebih lagi, seluruh prajurit yang mengawal pelaksanaan hukuman itu
tewas. Tak seorang pun
yang diberi kesempatan hidup. Hanya Panglima Pang-
kar saja yang berhasil lolos dari maut. Prabu Wijaya sendiri hampir tidak
percaya, kalau seseorang yang
sudah terbakar masih bisa lolos. Bahkan sempat
membunuh puluhan prajurit sebelum menghilang.
"Heh...! Uts!"
Prabu Wijaya tersentak kaget, ketika tiba-tiba me-
lihat sebuah benda berwarna kuning keemasan tiba-
tiba meluruk deras ke arahnya. Cepat tubuhnya ditarik ke kanan, maka benda
berwarna kuning keemasan itu
lewat sedikit saja di samping tubuhnya dan langsung
menancap di dinding. Prabu Wijaya cepat melompat,
menjauhi jendela.
"Keris emas...," desis Prabu Wijaya begitu melirik ke arah benda kuning keemasan
yang menancap di
dinding. Benda itu memang berbentuk keris kecil berwarna
kuning keemasan. Hanya ujungnya saja yang menan-
cap di dinding, tapi kelihatannya begitu kuat. Prabu Wijaya menjulurkan tangan,
untuk meraih keris kecil
itu. Dicobanya mencabut benda berwarna kuning kee-
masan itu, tapi sia-sia. Bahkan bergerak saja tidak sama sekali.
"Hih...!"
Prabu Wijaya terpaksa mengerahkan tenaga dalam
untuk mencabut keris kecil keemasan itu. Baru setelah tenaga dalamnya
dikerahkan, benda berkeluk tujuh itu bisa tercabut Prabu Wijaya mengamati
sebentar, kemudian memandang ke arah jendela yang masih ter-
buka lebar. "Nyai Legok.." Tidak mungkin...!" desis Prabu Wijaya.
"Apa yang tidak mungkin bisa saja terjadi, Prabu Wijaya...!"
"Heh..."!"
Prabu Wijaya tersentak kaget. Dan belum lagi ke-
terkejutannya hilang, mendadak dari jendela meluncur masuk sebuah bayangan
hitam. Begitu cepatnya, sehingga tahu-tahu di depan laki-laki setengah baya itu
telah berdiri seseorang mengenakan baju hitam long-gar dan panjang. Rambutnya
yang panjang, meriap ti-
dak teratur. Sebagian wajahnya tertutup rambut. Pra-
bu Wijaya sedikit bergidik begitu melihat wajah orang itu. Begitu mengerikan!
Karena, sebelah pipinya terke-lupas, sehingga menampakkan tulang pipinya yang
di- hiasi tulang gigi. Dan pipi sebelahnya lagi berwarna hitam bagai terbakar
hangus. Tidak ada sebuah benda
pun yang tergenggam di tangannya. Juga tidak ada sa-
tu senjata melekat di tubuhnya.
"Siapa kau?" tanya Prabu Wijaya setelah dapat menguasai diri.
"Wajahku memang sudah berubah, Prabu Wijaya.
Tapi aku yakin kau masih dapat mengenali suaraku,
sahut orang itu.
Dari nada suaranya, jelas kalau dia adalah wanita.
Suaranya begitu lembut dan halus, tidak sesuai den-
gan raut wajahnya yang mengerikan bagai sosok mayat
hidup. Prabu Wijaya tertegun beberapa saat. Suara
wanita berwajah bagai mayat hidup itu memang di ke-
nalinya. Tapi...
'Tidak...! Tidak Mungkin...!" desis Prabu Wijaya dalam hati.
Kepala Prabu Wijaya bergerak menggeleng perlahan
beberapa kali. Tatapan matanya begitu tajam menyeli-
dik sosok tubuh di depannya. Meskipun wajah wanita
itu rusak bagai mayat hidup, tapi kulit tangan dan kakinya nampak putih mulus
bagai kulit putrid bangsa-
wan. "Kau pasti bukan Nyai Legok! Siapa kau sebenar-
nya..."!" agak bergetar suara Prabu Wijaya.
"Dua puluh tahun lebih kita tidak berjumpa lagi, Prabu Wijaya. Tidak heran jika
kau tidak lagi menge-naliku. Apalagi sekarang wajahku sudah demikian ru-
sak. Apa kau masih ingat, siapa yang membuat wajah-
ku seperti ini, Prabu Wijaya...?" tetap terdengar lembut suara wanita itu.
Kembali Prabu Wijaya tertegun. Ingatannya kemba-
li ke masa silam, saat dia masih muda dan gagah. Tapi ingatan itu cepat
dihilangkannya. Dia masih belum yakin kalau wanita berwajah bagai mayat hidup
ini ada- lah Nyai Legok, yang juga pernah mengisi kehidupan-
nya. Wanita yang wajahnya pernah dirusak, dan per-
nah dihanyutkan ke sungai setelah diyakini sudah ti-
dak bernyawa lagi.
"Aku tidak percaya kalau Nyai Legok masih bisa
hidup," desis Prabu Wijaya perlahan, seakan-akan
berbicara sendiri.
"Tapi kenyataannya demikian, Prabu Wijaya," wani-ta berwajah bagai mayat hidup
itu menyahuti. "Dan keris itulah yang kau gunakan untuk menyayat wajahku, dan
menikam dadaku. Kau bakar wajahku hingga
hangus, lalu kau buang aku ke dalam sungai. Tapi,
rupanya Dewata belum berkenan memanggilku, Prabu
Wijaya. Maka hingga sampai sekarang aku masih tetap
hidup." 'Tidak..! Kau bukan Nyai Legok..!" bentak Prabu Wijaya.
"Aku Nyai Legok, Prabu Wijaya. Dan sekarang da-
tang hendak menuntut balas atas perbuatanmu pada-
ku!" kali ini nada suara wanita itu terdengar dingin.
Prabu Wijaya melangkah mundur sejauh empat
tindak. Sedangkan kedua tangan wanita yang menga-
ku bernama Nyai Legok sudah terkepal erat. Mereka
tidak berbicara lagi, dan saling menatap tajam.
"Bersiaplah menerima pembalasanku, Prabu Wi-
jaya...!" *** Prabu Wijaya terperangah sesaat ketika tiba-tiba
saja Nyai Legok melompat menerjang dengan ganas se-
kali. Kedua tangannya terentang lurus ke depan, dan
jari-jari tangannya terkembang kaku bagai sepasang
cakar burung elang.
"Uts...!"
Namun sebelum jari-jari tangan yang menegang
kaku itu sempat menyentuh wajah, Prabu Wijaya cepat
mengegoskan kepala ke kanan. Maka terkaman Nyai
Legok lewat sedikit saja di samping kepala Prabu Wi-
jaya. Bergegas laki-laki setengah baya itu melompat ke
samping beberapa tindak. Dan sebelum sempat men-
guasai keseimbangan tubuhnya, Nyai Legok sudah ce-
pat berbalik. Langsung dilakukannya serangan beri-
kut. "Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Tak ada lagi kesempatan bagi Prabu Wijaya untuk
berkelit menghindar. Cepat kedua tangannya dihen-
takkan ke depan, untuk menyambut uluran tangan
Nyai Legok yang meregang kaku. Tak pelak lagi, satu
benturan dua pasang telapak tangan pun terjadi.
"Akh...!" Prabu Wijaya terpekik.
Laki-laki setengah baya itu keras sekali terlempar
kebelakang. Punggungnya menghantam dinding sangat
keras, sehingga bergetar bagai diguncang gempa. Be-
lum lagi dia sempat berbuat banyak, Nyai Legok sudah kembali melompat menerjang.
"Hiyaaat...!"
Prabu Wijaya cepat membanting tubuh ke lantai,
lalu bergulingan beberapa kali. Hasilnya, jari-jari tangan Nyai Legok menghantam
dinding hingga melesak
masuk. Wanita berwajah buruk bagai mayat hidup itu
menggeram sambil mencabut jari tangannya yang me-
nembus dinding. Tubuhnya berputar, menatap tajam
Prabu Wijaya yang kini sudah bersiap. Sebilah pedang sudah tergenggam di tangan
laki-laki setengah baya
itu. "Dulu kau boleh mencampakkan aku seperti binatang, Prabu Wijaya. Tapi
sekarang..., kau akan mera-
sakan bagaimana terhinanya mati seperti binatang!"
dingin sekali suara Nyai Legok.
"Majulah, jika ingin mati dua kali!" dengus Prabu Wijaya.
Wanita berwajah buruk itu menyeringai sinis. Ta-
tapan matanya begitu tajam menusuk. Kakinya ber-
geser perlahan ke kanan. Jari-jari tangannya tetap meregang kaku, dengan kuku-
kukunya yang panjang
berwarna hitam. Perlahan sekali kedua tangannya di-
gerakkan, membuat lingkaran di depan dada. Tampak
dari kuku-kuku yang panjang hitam itu mengepulkan
asap tipis berwarna hitam.
"Aku ingin tahu, sampai di mana kau mampu ber-
tahan menghadapi jurus 'Cakar Beracun," sindir Nyi Legok dingin.
"Hm...," Prabu Wijaya hanya menggumam kecil.
Pedangnya dilintangkan di depan dada. Pandan-
gannya semakin tajam, mengamati gerakan-gerakan
perlahan tangan Nyai Legok. Untuk beberapa saat me-
reka saling menatap tajam, seakan-akan tengah men-
gukur tingkat kepandaian masing-masing.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Hampir bersamaan, mereka sama-sama melompat
menyerang. Prabu Wijaya cepat mengibaskan pedang-
nya secara beruntun. Sedangkan tangan Nyai Legok
bergerak-gerak cepat, diimbangi liukan tubuh yang indah mengagumkan. Serangan


Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mereka lakukan
secara bersamaan demikian cepat, sehingga sukar di-
ikuti pandangan mata biasa.
"Ah...!"
Tiba-tiba saja terdengar pekikan tertahan. Tampak
tubuh Prabu Wijaya deras sekali terpental ke belakang.
Punggungnya menghantam dinding, hingga seluruh
kamar ini bergetar bagai terguncang gempa. Dan sebe-
lum Prabu Wijaya sempat melakukan sesuatu, Nyai
Legok sudah melompat disertai rentangan tangan ka-
nan yang lurus ke depan.
"Hiyaaat..!"
Bres! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar
menyayat memecah kesunyian malam ini. Prabu Wi-
jaya terbeliak, seakan-akan tidak percaya melihat tangan Nyai Legok menembus
dadanya. Tubuh laki-laki
setengah baya itu langsung jatuh tersungkur begitu
Nyi Legok menarik tangannya.
Dalam genggaman tangan wanita berwajah buruk
bagai mayat hidup itu terdapat jantung yang berlumu-
ran darah. Nyai Legok melompat mundur. Matanya
berbinar memandangi jantung yang berhasil dikelua-
rkan dari dalam dada Prabu Wijaya. Sedangkan laki-
laki setengah baya itu sudah tidak berkutik lagi. Darah langsung mengucur deras
dari dada yang berlubang
cukup besar. Brakkk..! Baru saja Nyai Legok hendak melompat dari kamar
ini, mendadak pintu kamar yang tertutup rapat terdo-
brak dari luar. Beberapa orang berpakaian prajurit
berhamburan masuk, mengikuti Pendeta Suratmaji,
Panglima Pangkar, serta beberapa orang patih dan
panglima lainnya.
Mereka memang datang terlambat, setelah men-
dengar suara ribut-ribut seperti orang bertempur. Sebenarnya hal ini memang
kesalahan Prabu Wijaya
sendiri yang tidak menempatkan beberapa prajurit de-
pan pintu kamarnya. Tapi, dia memang punya alasan
tersendiri. Dia berpikir kalau kamar pribadinya tak perlu dijaga, karena selama
ini aman-aman saja.
Mereka terkejut setengah mati melihat Prabu Wi-
jaya tergeletak berlumuran darah, dan seorang wanita berwajah buruk bagai mayat
hidup yang sudah bersiap
hendak pergi. "Hup...?"
Dan sebelum ada yang menyadari lebih lanjut Nyai
Legok sudah melesat pergi cepat sekali. Panglima
Pangkar yang lebih dahulu tersadar, langsung berte-
riak memerintahkan para prajurit untuk mengejar. Dia sendiri cepat melompat
menerobos jendela, mengejar
wanita berbaju hitam dan berwajah buruk bagai mayat
hidup. Sedangkan Pendeta Suratmaja dan beberapa
orang pembesar kerajaan ini mendekati Prabu Wijaya
"Cakar Beracun...," desis Pendeta Suratmaja setelah memeriksa luka di dada Prabu
Wijaya. Laki-laki tua berjubah kuning dan berkepala gun-
dul itu mendesah panjang. Kepalanya terangkat, me-
natap ke luar melalui jendela yang terbuka lebar.
Perlahan kakinya melangkah mendekati jendela
itu. Sementara beberapa orang mulai memberesi mayat
Prabu Wijaya. "Apakah mungkin dia masih hidup...?" Pendeta Suratmaja bergumam perlahan,
bertanya pada dirinya
sendiri. *** Seluruh rakyat Kerajaan Balungan berselimut duka
atas kematian Prabu Wijaya. Mereka semua marah, ta-
pi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena, pembunuh raja mereka tidak ketahuan di
mana rimbanya. Suasana
duka lebih tersirat di dalam Istana Kerajaan Balungan.
Sejak kematian Prabu Wijaya, Permaisuri Ratna Na-
wangsih selalu saja mengurung diri dalam kamar.
Bahkan sama sekali tidak ingin ditemui kedua pu-
tranya, Raden Prayoga dan Putri Dian Lestari. Hal ini membuat kedua putra Prabu
Wijaya itu semakin di-rundung duka.
Dan setelah tiga hari lewat setelah kematian Prabu
Wijaya, Raden Prayoga berhasil membujuk ibunya un-
tuk bicara. Mereka bicara di dalam kamar semalaman
penuh. Baru pada pagi harinya, terlihat Raden Prayoga keluar dari kamar ibunya.
Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu tidak langsung menuju kamarnya
sendiri, tapi menuju ke kaputren, begitu melihat sekilas adiknya berada di sana.
"Rayi Dian...."
"Oh...!" Dian Lestari tampak terkejut.
Cepat gadis itu memberi senyuman tipis begitu me-
lihat kakaknya tahu-tahu sudah berada dalam taman
keputren ini. Sedapat mungkin dukanya berusaha dis-
embunyikan, namun sama sekali tidak bisa lenyap dari wajah dan sinar matanya.
Raden Prayoga kemudian
duduk di samping gadis ini.
"Sudah lama kau berada di sini, Rayi?" tanya Raden Prayoga lembut.
"Sejak semalam," sahut Dian Lestari pelan. Hampir tidak terdengar suaranya.
'Tidak tidur?"
Dian Lestari menggeleng perlahan. Matanya me-
mandang lurus ke depan, seakan-akan ingin menyem-
bunyikan sesuatu dari pengamatan kakaknya ini.
"Semalaman aku juga tidak tidur," kata Raden Prayoga.
"Aku tahu."
"Kau tahu...?"
Dian Lestari menatap pemuda yang duduk di sam-
pingnya. Beberapa saat mereka saling berpandangan.
Perlahan kemudian, gadis itu mengarahkan pandan-
gan ke arah lain.
"Apa saja yang kau bicarakan dengan ibu, Ka-
kang?" tanya Dian Lestari.
"Banyak," sahut Raden Prayoga.
"Ibu pasti masih membenci ku," lirih sekali suara Dian Lestari.
"Tidak. Bahkan ibu ingin berbicara denganmu."
Gadis itu menggelengkan kepala. Sinar matanya
terlihat semakin redup.
"Seharusnya aku yang mati, Kakang. Bukan
ayah...," terasa sendu nada suara Dian Lestari.
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Rayi. Kalau pembunuh itu sudah tertangkap,
pasti semuanya akan
jelas," hibur Raden Prayoga.
"Kau tidak tahu, Kakang. Semua ini salahku. Maka sudah sepantasnya kalau aku
mendapatkan hukuman. Bahkan seharusnya akulah yang dibunuh. Aku
tidak menyalahkan, jika ibu membenci ku seumur hi-
dup." 'Tapi ibu tidak membenci mu, Rayi. Ibu ingin bicara
denganmu."
"Kau hanya menghibur ku saja, Kakang."
"Tidak Aku bicara yang sebenarnya. Ibu banyak
bertanya tentang keadaanmu. Ibu sangat rindu pada-
mu, Rayi. Temuilah, dan bicara padanya."
Dian Lestari menggelengkan kepala. Bibirnya ter-
senyum, namun begitu tipis dan hambar. Sama sekali
tidak dipercaya kalau ibunya merindukan, dan ingin
bicara dengannya. Dia tahu kalau ibunya begitu mem-
benci dan menyalahkan dirinya yang telah menyebab-
kan ayah mereka dibunuh seseorang yang tidak di
kenal. "Aku akan mengantarkanmu menemui ibu, Rayi!"
bujuk Raden Prayoga lagi.
"Untuk apa bersusah payah, Kakang" Tidak ada
gunanya," tolak Dian Lestari.
"Percayalah padaku, Rayi."
Dian Lestari terdiam. Kata-kata kakaknya diper-
timbangkannya. Meskipun hatinya tetap berpendirian
kalau Raden Prayoga hanya menghibur saja tapi meli-
hat kesungguhan itu, dia jadi berpikir juga. Mungkinkah ibunya rindu dan ingin
bicara dengannya..." Atau ini hanya rencana Raden Prayoga saja untuk memper-
temukannya dengan ibu"
Dian Lestari tidak dapat melupakan. Malam ini
saat mereka diberi tahu tentang kematian Prabu Wi-
jaya, Permaisuri Retna Nawangsih langsung memarahi
putrinya ini. Dian Lestari langsung dituduh sebagai penyebab kematian Prabu
Wijaya. Bahkan Permaisuri
Retna Nawangsih bersumpah, tidak akan mengakui
Dian Lestari sebagai putrinya lagi. Pedih hati gadis ini.
Tapi, semua itu memang sudah diduga. Dan dia hanya
dapat menerima dengan lapang dada.
"Ayo, Rayi. Aku rasa ibu sedang menunggu, desak Raden Prayoga.
"Nanti saja, Kakang," tolak Dian Lestari.
"Tidak perlu kalian repot menemuiku...."
Kakak beradik itu terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara lembut dari
arah belakang. Mereka sa-
ma-sama menoleh, dan langsung beranjak bangkit dari
duduk. Sebentar kemudian, mereka berlutut memberi
sembah. Di depan mereka kini berdiri seorang wanita
berusia sekitar empat puluh lima tahun. Garis ketuaan memang sudah membayangi
wajahnya. Namun dia
masih kelihatan cantik dan anggun. Meskipun, sorot
matanya nampak mendung terselimut duka.
"Ibu..., terimalah sembah kami," ucap Raden Prayoga.
"Duduklah. Tidak perlu kalian bersikap begitu padaku," kata Permaisuri Retna
Nawangsih lembut.
Wanita hampir separuh baya yang masih kelihatan
cantik dan anggun itu duduk di kursi taman. Sedang-
kan Raden Prayoga dan adiknya duduk di kursi lain.
Tampak Dian Lestari terus menundukkan kepala, sea-
kan-akan tidak sanggup memandang wajah wanita di-
depannya ini. "Aku sudah bicara pada Pendeta Suratmaja dan
pembesar lainnya, untuk mempersiapkan penobatan-
mu sebagai raja, Prayoga," jelas Permaisuri Retna Nawangsih.
"Ibu.... Apakah itu tidak terlalu cepat" Belum lagi empat puluh hari Ayahanda
Prabu mangkat," Raden Prayoga terkejut mendengar pemberitahuan itu.
"Singgasana tidak baik dibiarkan kosong terlalu lama, Prayoga. Semua sudah ibu
atur." 'Tapi...," suara Raden Prayoga tercekat di tenggorokan.
Pemuda itu ingin menolak, tapi tidak sanggup
mengatakannya. Dia tidak ingin mengecewakan hati
wanita ini. Sementara Permaisuri Retna Nawangsih
menatap Dian Lestari yang masih tetap tertunduk.
"Dan kau, Dian. Selesai hari penobatan nanti, akan dikirim kepada Eyang Wanari,"
jelas Permaisuri Retna Nawangsih.
"Nanda bersedia, Ibu," sahut Dian Lestari perlahan.
Dia memang sudah tidak bisa lagi berkata apa-apa.
Dan baginya, segala keputusan yang telah diambil
ibunya harus dituruti tanpa dapat dibantah lagi. halnya Raden Prayoga. Dia
seperti tidak senang adiknya
harus bersama Eyang Wanari. Dian Lestari harus ting-
gal di tempat yang sunyi, di puncak gunung. Tanpa
ada kawan yang menemani. Hanya seorang pertapa
tua yang akan menempa gadis ini dengan keras.
Tapi Raden Prayoga juga tidak bisa membantah.
Dia hanya diam saja, sambil memandangi adinya pe-
nuh iba. Dia tidak tahu, kenapa semua musibah ini
harus dipikul Dian Lestari. Kenapa bukan dirinya saja yang pasti lebih mampu dan
kuat menanggungnya"
Raden Prayoga merasakan ada sesuatu yang tersem-
bunyi di balik semua peristiwa ini. Namun itu tidak bi-sa dikatakannya sekarang.
Masih terlalu gelap, dan
sukar diduga-duga.
Kakak beradik itu masih tetap duduk di tempatnya
meskipun Permaisuri Retna Nawangsih sudah mening-
galkan tempat itu. Agak lama juga mereka berdiam
sampai Permaisuri Retna Nawangsih sudah tidak terli-
hat lagi di taman keputren ini.
"Rayi Dian...," panggil Raden Prayoga perlahan.
Kepala Dian Lestari terangkat perlahan. Tampak ti-
tik air bening menggulir jatuh di pipinya yang halus, putih agak kemerahan.
Terasa sesak dada Raden
Kayoga melihat air mata menggulir di pipi gadis ini. Ingin dihapus dan
diberikannya kata-kata manis untuk
menghibur. Tapi semua itu terasa sulit dilakukannya.
Hingga mereka hanya bisa diam dan saling pandang.
Dian Lestari bangkit berdiri. Perlahan kakinya di-
ayunkan meninggalkan taman itu. Sedangkan Raden
Prayoga hanya dapat memandangi, tanpa mampu me-
lakukan sesuatu. Keputusan yang diambil ibu mereka
memang sangat berat, dan sangat tidak adil. Namun
itu sudah terjadi, dan mereka tidak dapat berbuat apa-apa untuk membatalkannya.
Mungkin sudah takdir
kalau mereka harus berpisah untuk jangka waktu
yang sulit ditentukan.
"Maafkan aku, Rayi. Tapi aku berjanji, akan sering datang mengunjungimu," ucap
Raden Prayoga pelan.
*** 3 Mendung yang menyelimuti Kerajaan Balungan,
sudah benar-benar terusir. Seluruh rakyat di kerajaan itu kini terlihat cerah
dan gembira. Wajah Kotaraja Balungan juga benar-benar cerah, dihiasi umbul-umbul
yang menyemaraki di setiap sudut kota.
Suasana meriah, sangat terasa di Istana Kerajaan
Balungan. Hari ini merupakan hari bersejarah bagi seluruh rakyat Balungan,
karena Raden Prayoga akan
dinobatkan menjadi raja. Pemuda itu menggantikan
ayahnya yang sudah meninggal, karena dibunuh se-
seorang yang tidak dikenal.
Semua orang, baik pembesar, prajurit, punggawa,
patih, panglima dan kerabat keluarga mendiang Prabu
Wijaya sudah berkumpul di Balai Sema Agung. Mereka
semua ingin menyaksikan penobatan Raden Prayoga.
Namun pemuda itu sendiri masih berada dalam ka-
marnya, bersama Raden Ayu Dian Lestari.
"Semua sudah menunggu di Balai Sema Agung,
Kakang," jelas Dian Lestari.


Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya, sebentar lagi," sahut Raden Prayoga tanpa membalikkan tubuhnya.
Pemuda itu berdiri di depan jendela, menghadap ke
luar. Sejak pagi buta tadi, dia terus berdiri di sana tanpa bergeming sedikit
pun. Sedangkan Dian Lestari
sudah kelima kalinya memberi tahu kalau semua
orang sudah menunggu di Balai Sema Agung. Dan ja-
waban Raden Prayoga selalu sama. "Sebentar lagi."
"Ada apa, Kakang" Kenapa Kakang tidak mau ke
luar...?" tanya Dian Lestari.
Gadis ini merasakan ada sesuatu yang sedang di-
pikirkan kakaknya, sehingga tidak juga mau keluar
dari dalam kamarnya. Sedangkan yang ditanya hanya
menghembuskan napas panjang saja. Perlahan tubuh-
nya diputar, lalu menatap adiknya dalam-dalam. Dian
Lestari tercenung sesaat mendapat tatapan yang begitu dalam dan penuh arti.
Kemudian kepalanya tertunduk
tidak sanggup membalas tatapan mata pemuda ini.
"Apa sebenarnya yang Kakang pikirkan...?" tanya Dian Lestari lagi. Kali ini
suaranya terdengar pelan sekali. "Entahlah, Rayi. Aku merasa seperti akan
terjadi sesuatu yang sangat besar. Sesuatu yang tidak pernah dipikirkan semua
orang," sahut Raden Prayoga, bernada ragu-ragu.
"Memang akan terjadi sesuatu yang besar dan bersejarah bagi seluruh rakyat
Balungan, Kakang. Untuk
pertama kalinya mereka akan mendapat seorang raja
muda yang belum mempunyai pendamping," sambut
Dian Lestari mencoba berseloroh.
"Kau cepat sekali melupakan duka yang belum terhapus, Rayi," pancing Raden
Prayoga yang merasa heran atas perubahan sikap adiknya yang begitu cepat.
Dian Lestari tidak lagi kelihatan bersedih. Bahkan
tampak riang. Sering dia melontarkan kata-kata yang
dapat memancing orang tersenyum geli. Bahkan dalam
dua hari ini, Raden Prayoga selalu mengamati kalau
adiknya ini sering berpenampilan lain dari biasanya.
Suatu perubahan yang sangat menyolok pada diri Dian
Lestari. Perubahan itu terlihat sehari setelah Permaisuri Retna Nawangsih
menemui mereka di taman ke-
putren. "Aku tidak ingin memikirkan semua itu, Kakang.
Aku sudah mencoba untuk menerima semua kenya-
taan ini dengan lapang dada dan senyuman di bibir,"
sahut Dan Lestari kalem.
"Benar begitu?" Raden Prayoga tidak percaya.
"Sumpah...."
Raden Prayoga mengangkat bahunya. Pemuda itu
masih belum percaya, tapi tidak ingin memperpanjang
pembicaraan ini. Kembali matanya memandang ke luar
melalui jendela.
"Keluar sekarang, Kakang. Mereka sudah menung-
gu," ajak Dian Lestari setengah merengek manja.
Kemanjaan inilah yang dalam beberapa hari sem-
pat hilang, namun sekarang muncul lagi. Kerinduan
Raden Prayoga pada kemanjaan adiknya ini berangsur
lenyap. Tapi jika teringat kalau mereka akan berpisah untuk jangka waktu yang
lama dan tidak ditentukan,
kepedihan terukir di hatinya.
"Kau tampak bingung sekali, Kakang. Apa yang
kau pikirkan?" tanya Dian Lestari agak mendesak.
Raden Prayoga tidak segera menjawab. Dia benar-
benar tidak tahu, apa yang sedang dirasakan hatinya saat ini. Begitu dekat dan
terasa jelas sekali, namun sukar diungkapkan. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa
merasa enggan hadir di Balai Sema Agung. Perasaannya mengatakan, kalau sebentar
lagi akan terjadi sesuatu yang besar. Sesuatu yang tidak akan pernah bi-
sa dilupakan. Hanya saja dia tidak tahu, peristiwa apa yang akan terjadi nanti.
Raden Prayoga melangkah menghampiri adiknya.
Kedua tangannya dijulurkan, dan diletakkan di bahu
gadis itu. Untuk beberapa saat mereka saling bertatapan, dengan sinar mata yang
mengandung arti sangat
dalam. Dan hanya mereka sendiri yang bisa mengeta-
hui artinya. "Rayi! Seandainya terjadi sesuatu, kau harus tetap bersamaku. Jangan sekali-
sekali terpisah dariku, walau hanya satu langkah," ujar Raden Prayoga.
"Ada apa sebenarnya, Kakang?" tanya Dian Lestari semakin tidak mengerti.
'Terus terang, aku sendiri belum tahu. Tapi pera-
saanku mengatakan akan terjadi sesuatu, yang mung-
kin bisa memisahkan kita berdua. Kau dan aku, atau
ibu," jelas Raden Prayoga agak mendesah.
"Maksud, Kakang..?" Dian Lestari meminta penjelasan lagi.
"Kau masih ingat kutukan Nini Anjar, Rayi...?" Raden Prayoga seperti
mengingatkan. Dian Lestari terdiam, namun wajahnya mendadak
saja memucat. Tidak mungkin kutukan yang dijatuh-
kan Nini Anjar padanya bisa terlupakan. Dan kabar
kutukan itu akhirnya meluas sampai ke seluruh wi-
layah Kerajaan Balungan ini. Memang dalam hari-hari
belakangan ini, tepatnya setelah kematian Prabu Wi-
jaya tidak pernah terjadi sesuatu yang bisa mengin-
gatkan orang akan kutukan Nini Anjar. Bahkan tam-
paknya semua orang sudah melupakan kejadian itu.
Dian Lestari sendiri, sebenarnya sudah tidak ingin
mengingat-ingat lagi. Bahkan kutukan itu dianggapnya tidak pernah ada, dan tidak
akan terjadi pada dirinya.
Namun begitu kembali diingatkan kakaknya, wajahnya
langsung pucat pasi. Dian Lestari benar-benar tidak
bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Lidahnya terasa keluh. "Kau mau dengar cerita
ku, Rayi...?" pelan sekali suara Raden Prayoga, seakan-akan takut ada orang
lain yang mendengar.
"Cerita apa?" tanya Dian Lestari.
"Semalam aku seperti didatangi seseorang. Seperti mimpi, tapi yakin kalau aku
sadar...," Raden Prayoga memulai ceritanya.
Dian Lestari mendengar penuh perhatian.
"Dia mengenakan pakaian serba hitam. Bahkan
wajahnya pun hitam, seperti hangus terbakar...."
"Ah...!" Dian Lestari terpekik kaget.
"Ada apa, Rayi?"
"Tidak..., Tidak apa-apa. Teruskan, Kakang."
"Orang itu mengatakan, kalau bukan aku yang se-
harusnya jadi raja. Tapi, ada orang lain yang lebih
pantas dan berhak menduduki tahta, menggantikan
Ayahanda Prabu. Kalau aku menerima dan sampai di-
nobatkan, maka satu persatu orang-orang yang berhu-
bungan dengan penobatan ini akan mati. Terutama pi-
hak keluarga dan para kerabat," lanjut Raden Prayoga.
Dian Lestari terdiam membisu. Pikirannya jadi ka-
lut. Terlebih lagi setelah mendengar Raden Prayoga
mengatakan orang yang datang menemuinya memakai
baju hitam, dan berwajah hangus seperti terbakar.
Bayangan gadis itu langsung tertuju pada Nini Anjar.
"Kakang.... Apa tidak mungkin kalau orang itu...,"
Dian Lestari tidak melanjutkan kata-katanya.
"Itulah sebabnya, kenapa aku tadi mengingatkan
mu, Rayi," Raden Prayoga sudah bisa mengerti.
"Lalu, bagaimana sekarang?"
"Entahlah...," sahut Raden Prayoga mendesah. Aku belum bisa memutuskan. Aku
tidak ingin mempercayai
mimpi itu. Tapi setiap kali hendak ke Balai Sema
Agung, kembali terlintas bayangan orang itu, Rayi. Dan setiap kali itu pula,
perasaanku selalu menyatakan kalau akan terjadi sesuatu."
"Apa tidak sebaiknya hal ini dibicarakan pada ibu, Kakang?" saran Dian Lestari.
"Aku tidak ingin membuat hati ibu kecewa."
"Tapi kau harus memutuskan sekarang juga, Ka-
kang. Atau sebaiknya kau tetap dinobatkan menjadi
raja. Biarlah semua itu kita hadapi bersama," kembali
Dian Lestari memberi saran.
Raden Prayoga terdiam merenung. Agak lama juga
saran yang diajukan adiknya ini dipikirkan. Perlahan wajahnya berpaling
memandang ke arah pintu. Pada
saat itu terdengar ketukan dari luar. Belum juga Ra-
den Prayoga dan Dian Lestari membuka suara, pintu
kamar ini sudah terbuka. Dan mendadak saja...
"Heh..."!"
Slap! Raden Prayoga belum juga bisa melakukan sesua-
tu, ketika tiba-tiba dari pintu yang terbuka melesat sebuah bayangan hitam.
Langsung disambarnya Dian
Lestari. Begitu cepatnya bayangan hitam itu bergerak, tahu-tahu sudah kembali
berkelebat ke luar melalui
jendela sambil membawa gadis itu.
"Kakang, tolooong...!" jerit Dian Lestari.
"Rayi...!" Raden Prayoga tersentak dari keterkejutannya.
Namun begitu tubuhnya diputar ke arah jendela,
bayangan hitam itu sudah tidak terlihat lagi. Bergegas Raden Prayoga berlari ke
jendela. Bayangan hitam itu benar-benar sudah lenyap tak berbekas sama sekali.
Pemuda itu cepat berlari ke pintu, lalu tersentak kaget.
Ternyata empat orang prajurit yang bertugas menjaga
di depan pintu sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Da-ri dada dan leher
mengucurkan darah segar.
"Pengawal..!" teriak Raden Prayoga sekeras-kerasnya.
*** Upacara penobatan Raden Prayoga terpaksa diba-
talkan akibat menghilangnya Raden Ayu Dian Lestari.
Separuh prajurit, semua jawara, serta panglima-
panglima andalan, langsung menyebar ke seluruh pe-
losok negeri, untuk mencari Raden Ayu Dian Lestari.
Namun hingga siang berganti malam, belum juga ada
yang menemukan gadis itu. Sementara Raden Prayoga
semakin kelihatan gelisah saja dalam kamarnya.
"Aku tidak bisa diam menunggu saja. Apa pun
yang akan terjadi, Dian harus kucari," gumam Raden Prayoga.
Pemuda itu menghampiri lemari yang terbuat dari
kayu jati berukir. Perlahan dibukanya pintu lemari
yang cukup besar itu. Dari dalam lemari ini, dikeluarkan sebuah pedang bergagang
penuh batu-batu mu-
tiara. Pedang peninggalan ayahnya. Sebentar pedang
itu diamati kemudian dipasangnya di pinggang.
Namun belum juga melangkah keluar dari kamar,
pintu sudah terbuka. Kini muncul Permaisuri Retna
Nawangsih, yang langsung tertegun melihat putranya
seperti sudah siap hendak pergi. Lebih tertegun lagi, saat melihat di pinggang
pemuda itu sudah tersampir
pedang pusaka peninggalan Prabu Wijaya.
"Akan ke mana dengan pedang itu?" Tanya Permaisuri Retna Nawangsih.
"Aku harus mencari Rayi Dian, Bu," sahut Raden Prayoga.
"Hampir seluruh prajurit sudah mencarinya,
Prayoga. Tunggu saja laporan mereka."
"Tidak, Ibu. Aku tidak bisa diam dan menunggu di sini. Aku harus mencari Rayi
Dian," tegas Prayoga menolak.
"Ke mana akan mencarinya?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.
Raden Prayoga tidak menjawab. Dia memang tidak
tahu, ke mana harus mencari adiknya. Yang ada da-
lam pikirannya, dia tidak mungkin bisa tinggal di ista-
na ini sambil menunggu laporan saja. Hatinya sudah
mantap. Ke manapun, dia harus mencari Dian Lestari.
Entah kenapa, hatinya begitu cemas mengkhawatirkan
keselamatan gadis itu.
"Aku harus pergi, Bu," pamit Raden Prayoga.
'Tunggu!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih.
Raden Prayoga mengurungkan ayunan kakinya.
"Kau tidak boleh meninggalkan istana ini. Dian
Lestari sedang menjalani kutukannya. Kau harus me-
relakannya pergi," tegas dan mantap sekali suara wanita separuh baya ini.
Raden Prayoga jadi tersentak mendengar kata-kata
ibunya. Belum pernah terdengar ibunya berkata ma-
cam demikian. Dan sepertinya, Permaisuri Retna Na-
wangsih tidak peduli atas hilangnya Dian Lestari. Raden Prayoga kini percaya
kalau wanita separuh baya
ini sama sekali tidak menghiraukan apa yang telah terjadi pada anak gadisnya.
"Kenapa Ibu berkata seperti itu?" tanya Raden Prayoga ingin tahu.
"Adikmu sudah mendapat kutukan. Dan kutukan
itu tidak akan bisa dilawan oleh apa pun juga. Tidak ada gunanya kau mencarinya,
Prayoga," tetap tegas nada suara Permaisuri Retna Nawangsih.
Tapi, Bu...."
"Cukup!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih cepat, memotong ucapan anaknya.
Raden Prayoga langsung terdiam. Hatinya semakin
heran atas sikap ibunya. Sebelum ini, wanita separuh baya itu kelihatan begitu
sayang dan mencintai Dian Lestari. Tapi, mengapa tiba-tiba saja jadi berubah
tidak peduli" Keheranan Raden Prayoga semakin bertambah,
karena memang belakangan ini sikap ibunya selalu be-
rubah-ubah. Bahkan gampang sekali marah. Namun
pemuda itu tidak ingin berpikir yang bukan-bukan.
"Aku hanya mengatakan sekali saja, Prayoga. Jika kau tetap tidak mau menuruti
kata-kataku, terserah.
Segala akibatnya tanggunglah sendiri," tegas Permaisuri Retna Nawangsih.
Suaranya tetap tegas. Bahkan terdengar datar, tanpa tekanan sama sekali.
Setelah berkata demikian, Permaisuri Retna Na-
wangsih berbalik, lalu berjalan keluar dari kamar ini.
Tinggal Raden Prayoga yang kelihatan bingung.
Benaknya jadi kacau, dan terus bertanya-tanya ten-
tang sikap Ibunya yang dirasakan sangat aneh.
"Kenapa ibu jadi seperti itu...?" Raden Prayoga bertanya-tanya sendiri.
Pemuda ini jadi ragu-ragu. Kini tubuhnya dihe-
nyakkan di kursi dekat jendela. Keningnya berkerut
dalam, pertanda sedang berpikir keras. Sungguh sulit dipahami sikap ibunya yang
begitu tidak peduli akan
nasib Dian Lestari saat ini.
"Belakangan ini ibu selalu memanjakan Rayi Dian.
Segala apa keinginannya selalu dituruti. Tapi, kenapa sekarang jadi berbalik
begini..." Aku benar-benar tidak mengerti sikap ibu. Cepat sekali berubah, dan
selalu mengambil keputusan tiba-tiba," Raden Prayoga berbicara sendiri.
Pemuda itu terus merenung setelah cukup lama
duduk diam sambil berpikir, perlahan dia bangkit berdiri seraya menghembuskan
napas panjang. Tangan-
nya menepuk-nepuk gagang pedang yang tersampir di
pinggang. Sebentar kemudian kakinya melangkah ke-
luar dari kamar ini dengan hati mantap.
'Tampaknya ada suatu rahasia yang tersembunyi,
dan aku harus memecahkannya. Dan yang terpenting,
menemukan kembali Rayi Dian. Aku tidak peduli apa-
pun yang akan terjadi," tekad hati Raden Prayoga.
Pemuda itu terus mengayunkan kakinya dengan
mantap, semakin jauh meninggalkan kamarnya. Dia


Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus berjalan menuju bagian belakang bangunan is-
tana ini. Beberapa prajurit yang berpapasan, memberi hormat. Tapi dari sorot
mata, mereka jelas bertanya-tanya. Karena, tidak biasanya Raden Prayoga menuju
istal sambil membawa pedang.
Sementara itu tanpa sepengetahuannya, tampak
dari balik sebuah jendela seorang perempuan separuh
baya memperhatikan Raden Prayoga. Dia terus mem-
perhatikan tanpa tidak berkedip.
"Anak ini benar-benar tidak bisa dipisahkan dari Dian. Aku jadi khawatir...,"
wanita itu berbicara sendiri. Begitu pelan suaranya, dan hanya dirinya sendiri
yang dapat mendengar.
Sementara Raden Prayoga sudah keluar dari ban-
gunan bagian belakang istana, dan terus menuju se-
buah bangunan yang cukup besar. Bangunan tempat
merawat kuda. Ayunan kakinya begitu mantap, se-
mantap hatinya.
*** Raden Prayoga memacu cepat kudanya, bagaikan
dikejar setan saja. Semakin jauh meninggalkan kota,
semakin cepat kudanya digebah. Arah yang dituju je-
las, ke Gunung Watujajar. Memang hanya ada satu tu-
juan di kepalanya, yaitu Pertapaan Lebak Garing yang berada di Puncak Gunung
Watujajar. Tidak ada lagi tempat untuknya mengadu, selain
Eyang Wanari. Laki-laki tua itu berusia sekitar seratus tahun. Dia dulu menjadi
guru Prabu Wijaya, juga yang mengajarkan ilmu-ilmu olah kanuragan dan kedig-
dayaan pada Raden Prayoga.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Raden Prayoga terus menggebah kudanya agar ber-
lari lebih kencang lagi. Kuda putih tinggi tegap dan be-rotot itu, mendengus-
dengus kelelahan. Namun bina-
tang itu terus berlari kencang.
"Berhenti..!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggele-
gar. Raden Prayoga terkejut mendengarnya. Bentakan
itu seakan-akan berada tepat di depan telinganya.
Bahkan juga sempat mengejutkan kuda putih yang di-
tungganginya, sehingga meringkik keras sambil men-
gangkat kedua kaki depannya. Kalau saja Raden
Prayoga tidak cepat melompat, pasti sudah terlempar
dari punggung kuda putih itu. Dan begitu kaki Raden
Prayoga menjejak tanah, kuda putih itu langsung ber-
lari kabur. "Hei...! Tunggu...!" teriak Raden Prayoga.
Namun kuda putih itu terus berlari kencang, tidak
mempedulikan teriakan majikannya. Raden Prayoga
hanya berdiri memandangi saja. Kuda putih itu sudah
demikian jauh, tak mungkin terkejar lagi. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke
sekeliling. "Hm..., siapa tadi yang berteriak mengejutkan..."
gumam Raden Prayoga, bertanya pada dirinya sendiri.
Belum sempat Raden Prayoga berpikir lebih jauh
lagi, mendadak dari arah samping kanannya berkele-
bat sebuah bayangan hitam. Pemuda itu tersentak ka-
get, namun cepat melompat ke belakang. Dia berputa-
ran di udara dua kali, sebelum menjejakkan kakinya
dengan manis di tanah.
"Siapa kau..."!" bentak Raden Prayoga.
"Ha ha ha...!"
Raden Prayoga terhenyak, begitu tahu-tahu di de-
pannya sudah berdiri seseorang mengenakan baju
warna hitam dari kain sutra halus. Matanya lebih terbeliak lebar, saat melihat
wajah orang itu bagaikan hangus terbakar. Dari bentuk tubuh dan suara ta-wanya,
jelas kalau orang itu adalah wanita.
"Untuk apa kau meninggalkan istana, Prayoga?"
terdengar dingin suara orang serba hitam itu.
"Itu bukan urusanmu!" dengus Raden Prayoga.
Pemuda itu langsung meraba gagang pedangnya
yang tergantung di pinggang. Dia tahu, kalau kini sedang berhadapan dengan
pembunuh ayahnya. Seorang
wanita yang diduga sebagai Nini Anjar. Raden Prayoga tidak lagi bersikap hormat.
Apalagi bermanis-manis.
Dan dia sudah yakin kalau orang ini yang menculik
Dian Lestari dari depan hidungnya.
"Di mana kau sembunyikan adikku?" bentak Raden Prayoga.
"Adikmu yang mana, Prayoga?" orang serba hitam itu malah balik bertanya.
"Aku tidak punya waktu bermain-main denganmu,
Nini Anjar!" sentak Raden Prayoga, langsung menyebut nama orang itu.
"Ha ha ha...! Kenapa kau berpikir kalau aku ini Ni-ni Anjar Prayoga" Apakah aku
mirip gadis itu?"
Raden Prayoga menggeser kakinya sedikit ke ka-
nan. Pandangan matanya begitu tajam menusuk men-
gamati wajah yang hitam hangus. Kemudian seluruh
tubuh wanita itu diamati dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
"Kau tidak bisa menipuku, Nini Anjar. Katakan di mana kau sembunyikan adikku"!"
dengus Raden Prayoga. Sama sekali pemuda itu tidak melihat adanya per-
bedaan, dan tidak percaya kalau wanita ini bukan Nini Anjar. Bentuk tubuh dan
pakaiannya sama persis den-
gan Nini Anjar. Hanya saja, wajah dan seluruh tangan serta kakinya berwarna
hitam pekat seperti arang. Terlebih lagi jika memandang wajahnya. Sungguh tidak
sedap sekali. Wajah yang hitam, dengan bintik-bintik seperti bisul, membuat
bentuk wajahnya tidak lagi be-raturan.
"Kenapa kau menuduhku menculik adikmu, yoga?"
wanita itu malah balik bertanya. Namun suaranya ma-
sih saja terdengar datar.
"Kau membunuh ayahku! Lalu kau menculik adik-
ku, di depan hidungku sendiri. Sungguh memalukan.
Masih juga mau mungkir," dengus Raden Prayoga.
"Ketahuilah, Prayoga. Aku bukan Nini Anjar. Dan aku tidak membunuh ayahmu.
Apalagi menculik
adikmu. Aku bernama Rara Ireng. Dan biasanya orang
selalu memanggilku Gadis Hitam," wanita serba hitam ini memperkenalkan dirinya.
"Kau mau membela diri rupanya, Nisanak," tegas Raden Prayoga sinis.
"Aku mengatakan yang sebenarnya. Dan lebih baik kau kembali lagi ke istana. Kau
akan menyesal jika
meninggalkan istana, Prayoga," kali ini suara wanita itu terdengar tenang
Raden Prayoga kembali memandangi wanita itu.
Namun bibirnya tersenyum sinis. Sama sekali tidak di-percayainya kata-kata
wanita serba hitam ini. Sudah
jelas kalau yang membunuh Prabu Wijaya adalah wa-
nita berbaju hitam yang mukanya menghitam hangus.
Dan dia sendiri melihat, kalau yang menculik Dian
Lestari adalah orang berbaju hitam. Walaupun, hanya
bayangannya saja yang terlihat berkelebat cepat.
"Kau pikir aku akan percaya begitu saja, Nisanak,"
dengus Raden Prayoga dingin.
Sret! Raden Prayoga mencabut pedangnya. Wanita serba
hitam yang mengaku bernama Rara Ireng langsung
melangkah mundur dua tindak. Kedua matanya me-
nyorot tajam melihat pedang yang berada di tangan
Raden Prayoga. "Kau terlalu gegabah menggunakan pedang itu,
Prayoga," desis Rara Ireng tajam.
"Ha ha ha.... Rupanya kau sudah gentar hanya melihat pedangku ini, Nisanak."
"Jangan main-main dengan pedang itu, Prayoga.
Masukkan kembali ke warangkanya."
"Pedang ini akan masuk kembali ke warangka setelah meminum darahmu."
"Masukkan, kataku!" bentak Rara Ireng keras.
Raden Prayoga malah tersenyum tipis. Pedangnya
dimain-mainkan di depan dada. Mata pedang itu berki-
lat keperakan menyilaukan mata. Rara Ireng kembali
menggeser kakinya dua tindak ke belakang. Mulutnya
mendesis bagai ular, melihat Raden Prayoga malah me-
langkah maju dengan pedang direntangkan lurus ke
depan. "Katakan, di mana kau sembunyikan adikku. Atau
pedang ini yang akan berbicara," geram Raden Prayoga dingin menggetarkan.
"Sudah kukatakan, aku tidak menculik Dian Lesta-ri!" bentak Rara Ireng.
"Kau menginginkan pedang ini yang bicara, heh!
Baik, terimalah seranganku ini. Hiyaaat..!"
Raden Prayoga tidak dapat lagi mengendalikan di-
rinya. Dia melompat cepat bagai kilat menerjang wani-ta berbaju hitam yang
seluruh wajah dan tubuhnya
berwarna hitam legam itu.
"Hup! Yeaaah...!"
Rara Ireng bergegas melentingkan tubuh ke udara
lalu melesat cepat melewati kepala Raden Prayoga.
Namun tanpa diduga sama sekali, Raden Prayoga ce-
pat mengibaskan pedangnya, menebas ke arah perut
wanita serba hitam itu.
Bet! "Uts!"
Cepat Rara Ireng memutar tubuhnya, lalu berjum-
palitan di udara untuk menghindari tebasan pedang
bergagang penuh batu mutiara itu. Dan setelah berpu-
taran beberapa kali di udara, kakinya mendarat turun ditanah dengan manis
sekali. "Hiyaaa...!"
Tapi sebelum wanita serba hitam itu melakukan
sesuatu, Raden Prayoga sudah kembali memberi se-
rangan dengan pedangnya. Terpaksa Rara Ireng harus
berjumpalitan menghindari setiap serangan yang da-
tang dengan cepat dan dahsyat. Pedang di tangan Ra-
den Prayoga seperti memiliki mata saja. Kemana pun
Rara Ireng berusaha menghindar, selalu diburu den-
gan cepat. Rara Ireng seperti tidak menyangka kalau jurus-
jurus yang dimainkan Raden Prayoga begitu dahsyat
dan berbahaya. Beberapa kali matanya terbeliak, kare-na hampir terbabat oleh
pedang itu. Namun karena ke-
lincahan gerak dan ketajaman matanya, dia masih
mampu menghindar. Meskipun dengan susah payah.
*** 4 Jurus demi jurus berlalu cepat, dan silih berganti.
Tanpa terasa, Raden Prayoga sudah menghabiskan le-
bih dari dua puluh jurus, namun belum juga mende-
sak lawan yang mengaku bernama Rara Ireng atau
berjuluk Gadis Hitam. Sedangkan sampai sejauh ini,
Rara Ireng belum juga memberi serangan berarti. Dia seperti sengaja, tidak
menyerang Raden Prayoga.
"Cukup, Prayoga. Tidak ada gunanya menyerang-
ku...!" bentak Rara Ireng.
Tapi peringatan itu tidak dipedulikan Raden Prayo-
ga. Pemuda itu terus menyerang lewat jurus-jurusnya
yang cepat dan berbahaya. Sedangkan Rara Ireng ma-
sih saja berkelit, menghindari setiap serangan.
"Kau benar-benar keras kepala, Prayoga!" desis Ra-ra Ireng mulai tidak sabar.
Pada saat itu, Raden Prayoga mengibaskan pedang
ke arah kepala. Tapi manis sekali, Rara Ireng menarik kepalanya ke belakang.
Maka tebasan pedang pemuda
itu tidak sampai mengenai kepalanya.
"Maaf, aku harus menghentikan mu!" ujar Rara Ireng agak tersengal.
Setelah berkata demikian, Rara Ireng langsung
memberi serangan-serangan tangan kosong yang ce-
pat. Begitu mendapat serangan, Raden Prayoga jadi
kewalahan. Tubuhnya berjumpalitan, berusaha meng-
hindari serangan-serangan yang dilancarkan perem-
puan serba hitam itu. Akibatnya, dia tidak mempunyai kesempatan sedikit pun
untuk memberikan serangan
kembali. "Lepas...!" tiba-tiba saja Rara Ireng berseru lantang.
Dan seketika itu juga tangan kirinya dihentakkan
menyampok pergelangan tangan kanan Raden Prayoga.
Begitu cepat sampokan itu, sehingga Raden Prayoga tidak punya kesempatan
mengelak lagi. Plak! "Akh...!" Raden Prayoga terpekik tertahan.
Cepat pemuda itu menarik tangannya, tapi tidak
bisa lagi mempertahankan pedangnya yang langsung
mencelat lepas. Pedang itu melayang tinggi ke angkasa.
Rara Ireng cepat melompat mengejar pedang itu, sebe-
lum Raden Prayoga bertindak. Namun begitu tangan
Rara Ireng hampir saja mencapai pedang yang me-
layang itu, mendadak saja....
Slap! "Heh..."!"
Rara Ireng tersentak kaget begitu tiba-tiba sebuah
bayangan kuning kehitaman berkelebat cepat me-
nyambar pedang itu. Cepat tubuhnya meluruk turun
lalu manis sekali mendarat di tanah. Kedua matanya
terbeliak lebar begitu tahu-tahu di depannya berdiri seorang pemuda berwajah
tampan. Bajunya dari kulit
harimau, dan di tangannya kini terdapat pedang Raden Prayoga yang terpental ke
udara tadi. "Huh!" dengus Rara Ireng.
Cepat dia memutar tubuhnya, dan secepat itu pula
melesat pergi. Begitu cepat gerakannya, sehingga da-
lam sekejap mata saja bayangan tubuh wanita serba
hitam itu sudah lenyap dari pandangan. Pemuda ber-
baju kulit harimau itu menghampiri Raden Prayoga.
'Terima kasih," ucap Raden Prayoga seraya mene-
rima pedangnya yang disodorkan pemuda berbaju kulit
harimau itu. "Kau terluka?" tanya pemuda itu.
"Hanya nyeri sedikit di pergelangan," sahut Raden Prayoga.
"Hm...," pemuda berbaju kulit harimau itu menggumam kecil, lalu berpaling
menatap ke arah Rara
Ireng pergi. "Kalau boleh aku tahu, siapa Kisanak ini?" tanya Raden Prayoga meminta.
"Aku Bayu," sahut pemuda berbaju kulit harimau ini memperkenalkan diri.
Pemuda itu memang bernama Bayu, yang lebih di-
kenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Bayu kembali
berpaling, menatap Raden Prayoga. Langsung ditanya-
kannya nama pemuda putra mahkota ini. Tentu saja
Raden Prayoga tidak memperkenalkan siapa dirinya
sebenarnya. Dia memang memperkenalkan dirinya


Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan nama Prayoga, tapi tidak ditambah raden di
depan namanya. "Bagaimana kau bisa berada di sini, dan memban-
tuku?" tanya Raden Prayoga.
"Kebetulan lewat saja, dan melihatmu tampaknya
membutuhkan pertolongan," sahut Bayu. "Oh, ya, Siapa orang yang bertarung
denganmu tadi?"
"Pembunuh ayahku. Dan sekarang dia telah men-
culik adik perempuanku satu-satunya," sahut Raden Prayoga.
"Hm, jadi kau sedang mencari adikmu?"
"Benar."
"Tampaknya kau tidak akan mampu menandin-
ginya," terdengar pelan suara Bayu, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.
"Kuakui itu. Tapi aku harus menyelamatkan adik-
ku," sahut Raden Prayoga berterus terang.
"Bagaimana caranya?"
"Entahlah. Sedangkan...," Raden Prayoga tidak melanjutkan ucapannya.
"Kau tahu, di mana adikmu disembunyikan?" tanya Bayu seakan bisa mengerti arti
pandangan Raden
Prayoga. "Itulah sulitnya. Aku tidak tahu, di mana adikku disembunyikan. Sedangkan dia
tidak mau mengakui
perbuatannya," terdengar lirih suara Raden Prayoga.
"Tidak ada maling teriak maling, Prayoga," Bayu tersenyum.
"Kau benar."
"Hm.... Bagaimana orang itu bisa membunuh
ayahmu, dan sekarang menculik adikmu?" Bayu jadi ingin tahu.
Raden Prayoga tidak segera menjawab. Dipandan-
ginya Pendekar Pulau Neraka itu dalam-dalam, seperti menyelidik. Sedangkan yang
dipandangi hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau Raden Prayoga memandang
curiga. Mereka memang baru kali ini berjumpa, jadi
memang tidak salah jika satu sama lain saling curiga.
Tapi di hati Bayu, tidak terselip sedikit pun perasaan curiga. Bahkan merasa
simpati atas perbuatan Raden
Prayoga yang begitu gigih mencari adiknya. Padahal
disadari kalau kemampuan yang dimilikinya tidak
akan mampu. "Ceritakan saja padaku kejadiannya. Mungkin aku bisa menolongmu menemukan
adikmu," kata Bayu diiringi senyum manis.
"Kau sungguh-sungguh ingin membantuku, Bayu?"
Raden Prayoga masih ragu-ragu.
Saat ini Raden Prayoga memang membutuhkan
bantuan seseorang. Itu sebabnya dia berada di sini.
Sedangkan tujuannya tadi hendak ke Pertapaan Lebak
Garing, untuk minta bantuan Pertapa Eyang Wanari.
Dan sekarang, muncul seorang pemuda yang usianya
mungkin sebaya dengannya. Dan ternyata dia bersedia
membantu. Namun Raden Prayoga tidak ingin terburu-
buru. Dia harus tahu dulu, siapa sebenarnya pemuda
yang baru saja menolongnya ini.
"Bayu! Apakah kau seorang pendekar kelana tanya Raden Prayoga, bernada
menyelidik. "Aku hanya seorang pengembara yang tidak tentu
arah tujuannya," sahut Bayu merendah.
Raden Prayoga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dia tahu, Bayu adalah seorang tokoh rimba persilatan.
Dan sudah menjadi watak orang rimba persilatan un-
tuk tidak menyebutkan dirinya pada orang lain yang belum dikenal.
Raden Prayoga tidak ingin sembarangan memilih
teman perjalanan dari kalangan persilatan. Eyang Wa-
nari seringkali menasihatkan untuk berhati-hati bila bertemu orang kaum
persilatan. Karena batas antara
golongan hitam dengan golongan putih tipis sekali.
"Apa arti sebuah gelar bagimu, Prayoga?" Bayu malah balik bertanya.
"Penting sekali. Karena sebuah gelar akan menunjukkan, apakah orang itu jahat
atau tidak," Raden Prayoga, jujur.
Bayu terdiam. Kali ini dia benar-benar bingung dan
merasa terpojok. Karena disadari, gelar yang didapatnya bisa menimbulkan
prasangka buruk terhadap di-
rinya sendiri. Meskipun begitu, Bayu sangat menyukai julukan yang dimilikinya.
"Katakan, Bayu. Apa julukanmu?" desak Raden Prayoga lagi.
"Aku yakin, kau akan menyangka buruk padaku
setelah mendengar julukanku, Prayoga," kata Bayu mencoba menjelaskan.
Tidak sedikit kaum pendekar memiliki julukan
yang dapat membuat orang merinding mendengarnya.
Julukan memang bisa sebagai cermin watak pemilik-
nya. Tapi kadangkala bertentengan."
Bayu tersenyum kagum mendengar penuturan Ra-
den Prayoga. Sungguh tidak disangka kalau pemuda
ini mempunyai pandangan luas tentang dunia persila-
tan. Bahkan bisa mengambil hikmah dan tidak me-
mandang dari sebelah mata saja.
"Baiklah," akhirnya Bayu menyerah juga. "Orang-orang sering memanggilku Pendekar
Pulau Neraka. Ka-
rena, aku memang berasal dari Pulau Neraka, yang be-
rada di dekat Pantai Selatan."
"Pendekar Pulau Neraka...," Raden Prayoga meng-gumamkan julukan Bayu dengan
suara perlahan.
Raden Prayoga kembali memandangi Pendekar Pu-
lau Neraka dalam-dalam, dengan kening berkerut. Dia
seperti tengah menyelidiki pemuda berbaju kulit harimau ini. Atau mungkin juga
tengah mengingat-ingat
sesuatu yang berhubungan dengan Pendekar Pulau
Neraka. Dan perlahan kemudian, bibirnya tersenyum.
Semakin lama, senyumnya semakin lebar. Melihat pe-
rubahan ini, Bayu jadi heran juga.
"Ada apa, Prayoga?" tanya Bayu jadi ingin tahu.
"Aku ingat sekarang. Cerita tentang seorang pendekar yang berjuluk Pendekar
Pulau Neraka memang
pernah kudengar. Tidak kusangka, ternyata aku akan
bertemu seorang pendekar besar yang menjadi buah
bibir," ucap Raden Prayoga.
"Ah! Kau jangan terlalu mendengar omongan
orang," Bayu merendah agak tersipu.
"Mari. Sebaiknya kita cari tempat yang nyaman, agar enak berbincang-bincang,"
ajak Raden Prayoga, Bayu tidak bisa lagi menolak. Apalagi Raden Prayoga
sudah menggamit lengannya dan mengajak mening-
galkan tempat berdebu yang berantakan ini. Mereka
terus berjalan, namun tidak menyadari ada sepasang
mata mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi.
*** Sementara itu di Istana Balungan. Permaisuri Ret-
na Nawangsih tengah duduk sendiri di dalam kepu-
tren. Entah sudah berapa lama berada di taman istana itu, sampai-sampai dia
tidak tahu kalau seorang penjaga pintu keputren menghampirinya. Dia baru tahu
setelah mendengar suara penjaga itu.
"Ada apa?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.
"Ampun, Gusti Permaisuri. Eyang Wanari hendak
bertemu," sahut prajurit penjaga itu memberi tahu. Si-kapnya penuh hormat.
"Eyang Wanari...?" Permaisuri Retna Nawangsih tampak terkejut mendengar guru mendiang suaminya
hendak bertemu.
"Benar, Gusti Permaisuri"
"Di mana sekarang?"
"Menunggu di depan pintu keputren ini, Gusti."
"Kenapa tidak kau suruh ke sini saja...?"
"Ampun, Gusti Eyang Wanari meminta hamba un-
tuk menanyakan kesediaan Gusti."
"Suruh dia ke sini."
"Hamba laksanakan, Gusti Permaisuri."
Setelah memberikan sembah, prajurit penjaga itu
segera berlalu. Namun sepeninggal prajurit itu, Permaisuri Retna Nawangsih jadi
tercenung. Sepengeta-
huannya, Eyang Wanari tengah melakukan semadi.
Itulah sebabnya dia tidak datang pada hari penobatan Raden Prayoga. Hari
penobatan yang gagal, karena Di-an Lestari menghilang diculik di depan hidung
kakak- nya. Permaisuri Retna Nawangsih bangkit berdiri ketika seorang laki-laki berusia
lanjut mengenakan jubah putih panjang, datang menghampiri. Wanita separuh
baya itu berlutut dan memberikan hormat. Laki-laki
tua berjubah putih itu membangunkannya, dan me-
minta Permaisuri Retna Nawangsih kembali duduk di
kursi taman. Sedangkan dia sendiri duduk di depan-
nya. "Apakah Eyang sudah selesai bersemadi, sehingga datang ke istana ini?"
tanya Permaisuri Retna Nawangsih. 'Terpaksa semadi ku kuhentikan," sahut Eyang
Wanari. "Kenapa?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.
"Anakku, Nawangsih. Kenapa tidak kau ceritakan
saja apa yang telah terjadi di sini. Dan kini kau justru menanyakan tentang
diriku?" Eyang Wanari malah
bertanya. "Maaf, Eyang," ucap Permaisuri Retna Nawangsih.
"Apa sebenarnya yang sedang terjadi, Anakku?" desak Eyang Wanari.
"Aku tidak tahu, Eyang Semua yang terjadi begitu cepat. Aku sendiri bingung...,"
sahut Permaisuri Retna Nawangsih pelan.
"Hm..., kau tahu siapa yang menculik Dian?" tanya Eyang Wanari, setengah
bergumam suaranya.
"Nini Anjar," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.
"Gadis yang mengutuk Dian?"
Permaisuri Retna Nawangsih mengangguk.
"Aneh.... Untuk apa dia menculik?" Eyang Wanari seperti bertanya pada dirinya
sendiri. Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih hanya di-
am saja. "Suamimu tidak pernah menceritakan, kenapa Di-
an sampai kena kutukan begitu" Dan aku sendiri
sampai sekarang tidak tahu, kutukan apa yang dija-
tuhkan pada Dian. Kau bisa menceritakannya pada-
ku?" pinta Eyang Wanari.
"Aku juga tidak tahu, Eyang," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.
'Tidak tahu.." Kau kan, ibunya. Masa tidak tahu?"
Eyang Wanari tidak percaya.
"Sungguh! Aku benar-benar tidak tahu, Eyang."
"Lalu, apa saja yang kau ketahui?"
"Yang ku tahu, gadis itu tiba-tiba saja datang menemui Kanda Prabu. Aku sendiri
tidak tahu, apa yang
dikatakannya. Kanda Prabu kemudian menahannya,
dan menuduh gadis itu mengutuk Dian. Entah apa ku-
tukannya. Aku tidak tahu, Eyang. Hanya itu saja yang kuketahui."
"Benar gadis itu dijatuhi hukuman bakar?"
"Benar. Tapi gadis itu menghilang setelah dibakar.
Kemudian, muncul seseorang yang tidak dikenal.
Orang itu membunuh Kanda Prabu. Semua orang
mengira kalau dia adalah Nini Anjar. Dialah yang juga menculik Dian di depan
Prayoga." "Hm, lalu di mana Prayoga sekarang?"
"Pergi."
"Pergi...?"
"Prayoga ingin mencari adiknya sendiri. Aku sudah mencoba melarang, tapi tetap
saja dia pergi."
Eyang Wanari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih hanya diam
saja. "Prayoga tidak mengatakan, ke mana dia pergi?"
tanya Eyang Wanari lagi.
"Tidak"
Kembali Eyang Wanari terdiam. Kepalanya mengge-
leng-geleng. Beberapa kali mulutnya mendesah berde-
cak. Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih juga ter-
diam membisu. Dia tidak tahu, apa yang sedang dipi-
kirkan laki-laki tua pertapa ini. Tapi dia yakin kalau Eyang Wanari sedang
berpikir keras. Atau mungkin ju-ga sedang merangkai semua kejadian dalam istana
ini. "Aneh...," desah Eyang Wanari perlahan.
"Ada apa, Eyang?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih, seraya menatap laki-laki tua
pertapa itu dalam-dalam.
"Aku tidak percaya bila seseorang melontarkan kutukan, kemudian melakukan
pembunuhan dan pencu-
likan. Lagi pula, tidak ada seorang pun yang bisa selamat jika sudah dibakar.
Hm.... Aku merasakan ada
yang ganjil...," pelan sekali suara Eyang Wanari.
Sementara Permaisuri Retna Nawangsih masih saja
diam. "Retna, apa ada orang lain yang mendengar gadis itu melontarkan kutukan?" tanya
Eyang Wanari. "Hampir semua pembesar. Bahkan Paman Pendeta
Suratmaja juga mendengar," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.
"Kau tahu, apa bunyi kutukannya?"
"Dian akan meruntuhkan Kerajaan Balungan, jika
tidak segera dilenyapkan," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.
"Dilenyapkan..." Apa maksudnya?"
"Dibunuh."
"Apa..."!"
*** Kalau saja ada guntur di siang bolong begini,
mungkin tidak akan mengejutkan bila dibanding jawa-
ban Permaisuri Retna Nawangsih. Eyang Wanari
menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan tidak per-
caya bunyi kutukan yang didengarnya barusan. Laki-
laki tua pertapa itu semakin yakin, kalau ada sesuatu yang tidak beres di sini.
Jelas sekali, kalau itu bukan kutukan. Tapi, lebih tepat dikatakan sebuah
tuntutan. Hanya saja dia belum bisa menemukan hubungan
antara satu dengan lainnya. Eyang Wanari tidak kenal gadis yang bernama Nini
Anjar. Juga tidak tahu, apa
hubungannya antara Nini Anjar dengan Dian Lestari,
sehingga menjatuhkan satu kutukan. Sedangkan Per-
maisuri Retna Nawangsih sendiri kelihatannya tidak
tahu banyak semua kejadian ini.
Eyang Wanari tidak bisa lagi mendesak Permaisuri
Retna Nawangsih untuk membeberkan semuanya.
Meskipun didesak dengan cara apa saja, perempuan
separuh baya itu kelihatannya memang hanya tahu
sedikit peristiwanya. Eyang Wanari menyayangkan si-
kap Prabu Wijaya yang tidak menceritakan awal peris-
tiwa ini sejak semula, hingga sampai mati terbunuh.
Padahal, Eyang Wanari sudah menganggap seperti
anak sendiri, walaupun Prabu Wijaya hanya seorang
murid yang belajar ilmu olah kanuragan padanya.
Setelah pembicaraannya dengan Permaisuri Retna
Nawangsih di keputren, Eyang Wanari menanyai satu-


Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persatu orang-orang yang mengetahui persis semua
peristiwa ini. Tapi, kelihatannya semua orang ingin
ikut campur. Alasan mereka, takut kutukan Nini An-
jar. Nyatanya hal ini telah terbukti. Setelah tiga hari Eyang Wanari berada di
istana, jatuh korban dari dua orang patih dan tiga panglima yang telah
menceritakan secara gamblang pada Eyang Wanari. Bahkan mereka
yang tidak percaya adanya kutukan itu, langsung mati dengan cara mengenaskan
sekali. 'Tampaknya ada orang tertentu yang menginginkan
kerajaan ini runtuh...," pilar Eyang Wanari saat dalam perjalanan kembali
setelah menengok salah seorang
panglima yang tewas dengan cara mengerikan.
Dan panglima itu baru kemarin bicara pada laki-
laki tua pertapa ini. Dia mati dengan seluruh tubuh
penuh lubang tusukan, dan dadanya hancur. Hanya
bagian kepala saja yang kelihatan masih utuh. Sama
seperti korban-korban lainnya, yang mencoba mencari
tahu tentang semua peristiwa ini. Mendung benar-
benar menyelimuti Kerajaan Balungan.
"Aku harus mencari keterangan, siapa dalang se-
mua ini...," gumam Eyang Wanari bicara sendiri.
"Jangan punya pikiran buruk, Eyang Wanari...!"
"Heh..."!"
Eyang Wanari tersentak kaget ketika tiba-tiba saja
terdengar suara menggema mengejutkan. Laki-laki tua
pertapa itu menghentikan ayunan kakinya. Suara itu
jelas sekali terdengar, dan seakan-akan datang dari
Pukulan Naga Sakti 16 Sarang Perjudian Karya Gu Long Perguruan Kera Emas 3
^