Pencarian

Perisai Kulit Naga 1

Pendekar Pulau Neraka Perisai Kulit Naga Bagian 1


1 Siang itu matahari bersinar sangat terik, seakan ingin
membakar hangus seluruh permukaan bumi. Langit terlihat
cerah, tanpa awan sedikit pun. Rerumputan tampak
menguning terbakar teriknya mentari. Pepohonan pun
menggugurkan daunnya. Debu beterbangan terhembus angin
kencang. Namun, teriknya sinar matahari tidak menghalangi ayunan
langkah kaki seorang anak muda berusia sekitar dua puluh
tujuh tahun. Meskipun keringat sudah mengucur deras
membasahi sekujur tubuhnya, dia tetap melangkah tegap
menyusuri jalan tanah yang panas dan berdebu. Sesekali dia
menyeka keringat yang membanjiri wajahnya dengan
punggung telapak tangan.
Sebentar pemuda berpakaian dari kulit ular itu berhenti.
Ditatapnya sang Surya yang dengan angkuhnya bersinar,
seakan hendak menghanguskan tubuhnya. Hawa siang yang
terasa sangat panas, membuat dia terpaksa menggulung
rambutnya yang panjang, hingga melewati bahu. Ditatapnya
kembali sang Raja Siang dengan kelopak mata agak menyipit.
Kemudian kakinya terayun lagi menyusuri jalan tanah yang
panas dan berdebu.
"Hhh...! Panas sekali siang ini. Sepertinya dunia mau
kiamat...," keluhnya perlahan.
Walaupun dia mengeluh, kakinya terus terayun melangkah
dengan mantap. Namun tiba-tiba kelopak matanya menyipit,
ketika di depannya terlihat sesosok tubuh terbaring di tengah-
tengah jalan. Bergegas dia mempercepat langkah menghampiri tubuh kurus yang tergeletak menelentang
seperti mati. Pemuda itu langsung berlutut di sisinya. Jari
tangannya menekan lembut leher di bawah rahang laki-laki
tua bertubuh kurus dan kotor berlumur debu itu. Perlahan laki-
laki tua itu membuka kelopak matanya.
Sedikit pun tidak terlihat lagi cahaya semangat kehidupan
di dalam sinar matanya yang redup. Bibirnya yang kering dan
pecah-pecah tampak gemetaran seperti ingin mengucapkan
sesuatu. Pemuda berbaju kulit ular segera mengambil kantung
kulit yang dibawanya. Dia menuangkan air dingin dari kantung
kulitnya tepat di mulut laki-laki tua itu. Sedikit air dari kantung
kulit itu sudah membuat tubuh si lelaki tua tampak agak
segar. "Te..., terima kasih..."
Ucapan lelaki tua itu hampir tak terdengar di telinga anak
muda yang menolongnya. Setelah mengikat kembali kantung
kulit tempat air ke pinggang, anak muda itu mengangkat
tubuh kurus lelaki tua. Kemudian dibawanya ke bawah pohon
rindang di pinggir jalan. Dibaringkannya tubuh lelaki tua
dengan hati-hati. Dia kembali membasahi tenggorokan lelaki
tua itu dengan air yang ada dalam kantung kulit
"Kau baik sekali, Anak Muda. Siapa namamu...?" tanya
lelaki tua setelah tubuhnya dirasakan cukup segar kembali.
"Arya Sempalan," sahut anak muda itu menyebutkan
namanya. "Aku Ki Rangan," ujar lelaki tua juga menyebutkan
namanya memperkenalkan diri.
Anak muda berbaju kulit ular yang mengaku bernama Arya
Sempalan tersenyum. Dia membantu ketika Ki Rangan hendak
duduk dan menyandarkan punggungnya ke batang pohon.
Daun pohon yang rindang membuat tubuhnya semakin terasa
segar. Dia meneguk lagi air dari kantung kulit yang masih
dipegangnya. Namun belum juga air itu bisa membuatnya
lebih segar, dia tertegun. Air di dalam kantung kulit itu sudah
habis, tak tersisa sedikit pun.
"Airmu habis, Nak..., " ujar Ki Rangan sambil menyerahkan
kembali kantung kulit itu pada Arya Sempalan.
"Tidak mengapa, Ki," sahut Arya Sempalan sambil
menerima kantung kulit tempat air dan kembali mengikatkan
ke pinggangnya.
"Seharusnya air itu untuk bekal perjalananmu. Kenapa kau
berikan padaku...?" pelan sekali suara Ki Rangan.
"Tidak jauh dari sini ada sungai. Aku bisa mengisi penuh
kantung ini nanti," kata Arya Sempalan seraya tersenyum.
Ki Rangan menggeleng-gelengkan kepala perlahan.
Tatapan matanya begitu sayu, memandangi wajah tampan
pemuda di depannya.
"Tidak ada lagi sungai di daerah ini, Anak Muda. Kau akan
mati kehausan di jalan...," lirih sekali suara Ki Rangan, seakan
menyesal telah menghabiskan bekal anak muda yang telah
menolongnya. "Jangan pikirkan itu, Ki! Yang penting sekarang kau sudah
kembali segar," sahut Arya Sempalan masih tetap memberikan
senyum. "Ah, tidak banyak anak muda sepertimu. Rasanya dunia
tidak jadi kiamat dengan kedatanganmu...," desah Ki Rangan.
Arya Sempalan tersenyum. Memang bagi orang yang sudah
sekarat dan mendapat pertolongan, serasa dunia hendak
kiamat kembali berseri.
Sementara matahari semakin terik membakar permukaan
bumi. Jalan di depan tampak retak, seakan tidak mampu lagi
menahan sengatan sang Mentari yang begitu panas
membakar. Sepanjang mata memandang, tak satu rumah pun
yang tampak. Hanya kegersangan yang ada di sekitarnya.
"Ke mana tujuanmu, Anak Muda?" tanya Ki Rangan lagi.
"Desa Kapuk," sahut Arya Sempalan singkat.
"Ah..., masih terlalu jauh dari sini," kembali Ki Rangan
mendesah panjang.
"Memang jauh perjalananku, Ki."
"Ya, tapi bekalmu sudah habis. Kau tentu tidak akan bisa
bertahan sampai ke sana tanpa air sedikit pun di kantungmu."
"Aku berharap Hyang Widi memberi kekuatan padaku, Ki."
"Kau seorang anak yang baik, Arya Sempalan."
Kembali Arya Sempalan tersenyum. Sementara Ki Rangan
merogoh saku jubahnya. Dan dari dalam saku jubah putihnya
itu dia mengeluarkan selembar gulungan kulit tipis diikat
selembar pita berwarna merah darah. Arya Sempalan hanya
memperhatikan ketika Ki Rangan menyodorkan gulungan kulit
itu padanya. "Terimalah, Anak Muda! Di dalamnya berisi petunjuk yang
akan membawamu ke suatu tempat. Dan di sana kau akan
mendapatkan sesuatu yang sangat tidak ternilai harganya.
Sesuatu yang akan membuat dirimu digdaya tanpa tanding,"
kata Ki Rangan bernada mendesak.
"Tapi, Ki...," Arya Sempalan ingin menolak.
"Aku percaya, kau akan menggunakannya di jalan yang
benar. Aku melihat kesucian di dalam sinar matamu. Ambillah!
Benda ini sudah tidak ada artinya lagi bagiku. Tapi akan
sangat berarti sekali bagimu yang masih muda dan jauh
langkahnya," desak Ki Rangan lagi.
Dengan ragu-ragu Arya Sempalan menerima gulungan kulit
berwarna kusam agak kehitaman itu. Namun akhirnya dia
menerima, setelah memandanginya sesaat. Kemudian dia
menatap wajah tua Ki Rangan yang kelihatan sudah segar.
Lelaki tua itu tampak tersenyum senang melihat pemberiannya
diterima. Arya Sempalan menyimpan gulungan kulit itu ke kantung
yang ada di sebelah dalam baju kulit ularnya.
"Pergilah, tinggalkan aku di s ini...!" kata Ki Rangan.
"Tidak, Ki. Aku akan membawamu serta," sahut Arya
Sempalan, tidak tega meninggalkan orang tua yang lemah di
tempat gersang.
"Aku tidak apa-apa, Arya Sempalan. Pergilah, ikuti petunjuk
yang ada dalam kulit kayu itu!" ujar Ki Rangan menyarankan.
Arya Sempalan tidak dapat menolak, setelah beberapa kali
Ki Rangan memintanya meninggalkan dirinya. Dengan
perasaan hati yang berat, Arya Sempalan akhirnya pergi
meninggalkan orang tua itu seorang diri di pinggir jalan yang
panas dan gersang. Beberapa kali Arya Sempalan berpaling ke
belakang, memandangi K i Rangan. Hatinya masih terasa berat
sekali untuk mengayunkan kaki.
"Kuatkan hatimu, Arya Sempalan! Pergilah, jangan
pedulikan aku...!"
Arya Sempalan sempat tertegun ketika mendengar suara Ki
Rangan begitu keras di telinganya. Dia langsung berhenti
melangkah dan berpaling ke belakang. Namun seketika itu
matanya terbeliak kaget dengan mulut ternganga, seakan tak
percaya dengan apa yang sedang disaksikan.
"Oh...!"
Dari seluruh tubuh Ki Rangan memancar cahaya terang
bagai pelangi. Dan tubuh tua itu perlahan menghilang,
tertutup cahaya yang semakin lama semakin terang
menyilaukan mata. Hingga ketika cahaya bagai pelangi itu
lenyap dari pandangan, tubuh Ki Rangan pun telah lenyap
tanpa meninggalkan bekas.
"Oh, apakah dia itu dewa yang memberi petunjuk jalan
hidupku...?" desah Arya Sempalan bertanya sendiri dalam hati.
O o o dw o o O Sepanjang perjalanan, Arya Sempalan belum juga bisa
mengerti dengan semua yang telah dialaminya. Beberapa kali
ia memandangi gulungan kulit yang seperti kulit binatang
kering, dan diikat dengan pita merah. Hatinya terus diliputi
berbagai macam pertanyaan tentang siapa sebenamya orang
tua aneh tadi. Tanpa disadari dia sudah berjalan begitu jauh. Bahkan
matahari pun sudah condong ke arah barat. Namun sinarnya
masih tetap menyengat kulit. Walaupun tidak sepanas tadi,
sekujur tubuhnya bermandikan keringat. Sementara itu Arya
Sempalan merasakan keanehan pada dirinya. Sedikit pun dia
tidak merasa lelah, walaupun berjalan tanpa berhenti sejak
tadi. Hingga matahari sudah hampir tenggelam di balik
peraduannya, Arya Sempalan sampai di tepi sebuah padang
rumput yang tidak begitu luas. Tampak hutan yang cukup
lebat bagai menghadang di seberang padang rumput itu.
"Mudah-mudahan aku bisa memperoleh air di sana. Kering
sekali rasanya tenggorokanku...," gumam Arya Sempalan.
Dia menelan ludahnya sendiri. Terasa sakit tenggorokannya. Arya Sempalan merasa bibirnya kering dan
pedih. Namun kakinya terus melangkah melintasi padang
rumput yang tidak seberapa luas. Sedikit pun dia tidak
merasakan kelelahan. Pemuda itu terus berjalan, hingga
akhimya sampai di sebuah tepi hutan yang ada di seberang
padang rumput. "Sungai...!" desis Arya Sempalan ketika telinganya
mendengar suara aliran sungai.
Dengan wajah memancarkan semangat hidup, anak muda
itu mengayunkan kakinya dengan cepat menuju arah suara
aliran air yang didengarnya. Dan tidak lama setelah berjalan
menembus hutan terlihat di depannya sebuah jeram kecil.
Tampak air itu terus mengalir me lewati sebuah sungai yang
bercabang. "Dewata Yang Agung..., hup!"
Byurrr...! Arya Sempalan langsung me lompat dan mencebur ke
dalam telaga yang berisi air jernih menyejukkan itu. Seperti
sudah berhari-hari tidak bertemu air, Arya Sempalan
merendam tubuhnya di dalam telaga sepuas-puasnya. Bahkan
dia meneguk air telaga itu banyak-banyak, membasahi
tenggorokannya yang tadi terasa kering sekali. Setelah puas,
dia mengisi kantung kulitnya dengan air telaga. Kemudian dia
naik ke tepi telaga.
Sementara sekitarnya mulai terselimut kegelapan. Angin
yang bertiup membuat tubuhnya menggigil kedinginan.
Setelah membuat api unggun di tepi telaga Arya Sempalan
mengeluarkan bekal makanan yang dibawanya di dalam
sebuah kantung kulit. Memang perbekalan yang dibawanya
seperti untuk menempuh perjalanan panjang dan memakan
waktu berhari-hari.
"Nikmat sekali makanmu, Anak Muda...."
"Oh..."!"
Arya Sempalan tersentak kaget setengah mati, ketika tiba-
tiba terdengar suara dari belakangnya. Sekerat daging bakar
yang baru saja digigitnya sampai terlempar keluar karena
terkejutnya. Cepat dia berpaling ke belakang. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu di belakangnya sudah berdiri seorang
perempuan tua berjubah biru gelap yang sudah usang
kelihatannya. Sebatang tongkat kayu yang berbentuk tidak
beraturan tergenggam di tangan kanan, seakan menyangga
tubuhnya yang agak terbungkuk. Arya Sempalan cepat bangkit
berdiri. "Mari, Nyai! Kita makan sama-sama," Arya Sempalan
langsung menawarkan dengan sikap yang ramah, dan
senyuman lebar tersungging di bibirnya.
"Terima kasih," ucap perempuan tua itu seraya melangkah
menghampiri. Tanpa dipersilakan dia duduk dekat api unggun yang dibuat
Arya Sempalan. Kemudian mengambil sekerat daging bakar
yang ada di depannya. Arya Sempalan mengambil tempat
tidak jauh di sebelah kanannya. Tanpa bicara lagi mereka
kemudian menikmati makanan yang sederhana itu bersama-
sama. "Tidak ada air matang, Nyai. Kalau kau mau, cukup banyak
di telaga. Aku juga minum di sana," ujar Arya Sempalan
setelah selesai dengan santapannya.
"Kau baik sekali, Anak Muda," ucap perempuan tua itu
tersenyum. "Siapa namamu?"
"Arya Sempalan," sahut Arya Sempalan. "Kalau boleh aku
tahu, siapa namamu, Nyai...?"
"He he he..., untuk apa kau tahu namaku, Arya Sempalan?"
"Supaya kita bisa lebih enak berbicara, sambil menunggu


Pendekar Pulau Neraka Perisai Kulit Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam." , "Ah, aku sendiri sudah lupa dengan namaku, Arya
Sempalan. Tapi semua orang selalu menyebutku si Kalong
Tua," sahut perempuan tua itu.
"Kalong Tua...?"
Arya Sempalan mengerutkan kening. Dirasakan nama
perempuan tua itu sangat aneh di telinganya. Semua orang
pasti tahu kalau kalong merupakan binatang menjijikkan yang
selalu keluar pada malam hari. Hanya buah-buahan yang
menjadi santapannya.
"Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka selalu memanggilku
begitu. Mungkin karena aku selalu keluar malam," kata si
Kalong Tua menjelaskan, seakan-akan bisa membaca jalan
pikiran Arya Sempalan.
"Ah... Nama hanya sekadar sebutan, Nyai. Kau keberatan
kalau aku juga memanggilmu begitu...?" ujar Arya Sempalan
seperti hendak menghibur.
"Panggil saja aku begitu, Anak Muda! Sama sekali aku tak
keberatan. Memang hidupku seperti kalong. Keluar kalau hari
sudah malam, dan tidur sepanjang siang," ujar Nyai Kalong
Tua seraya tersenyum lebar.
Arya Sempalan juga turut tersenyum. Mungkin hatinya
merasa aneh dengan nama perempuan tua ini. Tapi bagi
orang-orang persilatan, nama seperti itu tidak aneh terdengar
di telinga. Banyak orang-orang yang berkecimpung di dalam
rimba persilatan menggunakan nama julukan yang aneh-aneh
dan sumbang terdengar telinga.
"Hm.... Ke mana tujuanmu, Anak Muda?" tanya Kalong
Tua, setelah beberapa saat terdiam.
"Tadinya aku mau ke Desa Kapuk. Tapi...," Arya Sempalan
tidak melanjutkan.
Dia teringat dengan selembar kulit pemberian Ki Rangan.
Dan tidak mungkin dia memberitahukan benda berharga itu
pada orang yang baru saja dikenalnya. Meskipun dia sendiri
tidak tahu benda apa yang diberikan Ki Rangan padanya.
Namun Arya Sempalan merasa kalau benda seperti lembaran
kulit binatang yang sudah kusam itu sangat berharga sekali.
Dan dia harus melaksanakan amanat Ki Rangan.
"Kenapa tidak jadi" Desa Kapuk tidak jauh lagi dari sini,"
tanya Nyai Kalong Tua kemudian.
"Ada hal penting yang harus aku dahulukan, Nyai. Tapi
maaf, aku tidak bisa mengatakannya padamu. Sangat pribadi
sekali sifatnya," Arya Sempalan beralasan dengan sopan.
Nyai Kalong Tua tersenyum dengan kepala terangguk
beberapa kali. Perempuan tua itu sepertinya bisa mengerti.
Dan dia tidak mau mendesak Arya Sempalan untuk
mengatakan tujuan yang sebenarnya. Beberapa saat Nyai
Kalong Tua terdiam. Namun dia terus memandangi Arya
Sempalan yang sudah menyandarkan punggungnya pada
sebatang pohon tumbang, tidak jauh dari api unggun.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Mereka
tidak lagi mengeluarkan suara. Begitu sunyi suasana di dalam
hutan itu. Angin yang bertiup perlahan, membawa hawa
dingin yang menusuk sampai ke tulang. Membuat Arya
Sempalan terpaksa harus melingkarkan tubuhnya yang
menggigil kedinginan.
"Dingin...?" tegur Nyai Kalong Tua.
"Ya...," sahut Arya Sempalan.
"Cobalah kau duduk bersila! Atur napasmu, dan kendalikan
aliran darahmu. Salurkan hawa murni yang ada di seluruh
tubuhmu. Mudah-mudahan bisa lebih hangat," Nyai Kalong
Tua memberi petunjuk.
Arya Sempalan memandangi orang tua itu beberapa saat.
Tapi dia berpikir kalau petunjuk Nyai Kalong Tua barusan
memang tidak ada salahnya. Kemudian dia melakukan semua
petunjuk perempuan tua itu. Dan ketika dia menyalurkan
hawa murni ke seluruh tubuh, temyata benar apa yang
dikatakan Nyai Kalong Tua. Arya Sempalan merasakan seluruh
tubuhnya mulai menghangat. Dan hembusan angin dingin
tidak lagi terasa mengganggu. Arya Sempalan tersenyum pada
Nyai Kalong Tua.
"Bagaimana..,?" tanya Nyai Kalong Tua.
"Terima kasih, Nyai. Tubuhku sekarang terasa lebih
hangat," sahut Arya Sempalan.
"Nah, sekarang tidurlah! Biar aku yang menjagamu di sini
sampai pagi. Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah terbiasa
tidak tidur malam hari," kata Nyai Kalong Tua itu lagi.
Arya Sempalan hanya tersenyum. Dia masih tetap duduk
bersila dengan sikap bersemadi. Kelopak matanya terpejam
rapat, tapi tarikan napasnya terdengar begitu halus dan
teratur sekali. Sementara Nyai Kalong Tua tersenyum melihat
anak muda itu melakukan semadi.
O o o dw o o O 2 Arya Sempalan terjaga dari semadinya, saat merasakan
kehangatan cahaya matahari menyapu kulit tubuhnya.
Semalaman dia melakukan semadi. Pagi ini tubuhnya terasa
begitu segar. Dia langsung tersenyum melihat Nyai Kalong
Tua masih menemaninya di dalam hutan. Perempuan tua itu
kelihatannya tidak tidur sedikit pun semalaman.
"Kau tidak tidur, Nyai?" tanya Arya Sempalan.
Nyai Kalong Tua hanya tersenyum sedikit. Tubuhnya
kemudian bangkit berdiri. Arya Sempalan ikut berdiri, sete lah
membereskan semua perbekalan yang dibawanya. Semua
masuk ke dalam kantung kulit yang disampirkan di punggung.
Sebuah kantung kulit lainnya yang berisi air, sudah terikat di
pinggang. "Semoga kau berhasil dalam hidupmu, Anak Muda. Aku
melihat kau akan menjadi pendekar besar penegak keadilan.
Semoga Hyang Widi selalu bersamamu!" ucap Nyai Kalong
Tua. "Terima kasih, Nyai."
"Pergilah, sebelum matahari naik tinggi!"
Arya Sempalan menjura memberi hormat. Kemudian
melangkah meninggalkan tepian telaga kecil itu. Sementara
Nyai Kalong Tua juga melangkah pergi dengan arah yang
berlawanan. Mereka berpisah dengan tujuan perjalanan
masing-masing. Arya Sempalan terus berjalan menuju ke arah
barat. Pagi ini dia merasakan tubuhnya begitu segar, hingga
ayunan langkah kakinya pun begitu ringan.
Dan ketika matahari tepat berada di atas kepala, Arya
Sempalan sampai di kaki sebuah bukit batu yang tidak begitu
tinggi. Sambil memandangi ke sekitar, pemuda itu
menghentikan langkahnya. Dia mengambil gulungan kulit
lusuh dari kantung di balik baju kulit ularnya. Diperhatikan
guratan gambar yang ada pada permukaan kulit kusam itu.
Entah kenapa bibirnya tersenyum, saat melihat ke puncak
bukit batu di depannya.
Tampak di puncak bukit itu ada sebuah tonjolan batu
berbentuk seperti kepala seekor kerbau yang begitu besar
ukurannya. Dan batu itu tergambar jelas pada gulungan kulit
Arya Sempalan tahu kalau dia sekarang sudah sampai di
tempat yang ditujunya. Setelah menyimpan kembali gulungan
kulit ke dalam kantung di balik bajunya, segera diayunkan
kembali kakinya mendaki bukit batu.
Tidak terlalu sulit bagi Arya Sempalan yang memiliki ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi untuk mendaki bukit itu.
Dalam waktu tidak begitu lama, dia sudah sampai di puncak
bukit. Arya Sempalan kembali berhenti dan memperhatikan
sekitarnya. Tidak jauh di depannya, tampak sebuah mulut goa
berukuran kecil seakan sudah menanti kedatangannya.
"Pasti goa itu yang dimaksudkan dalam gambar di kulit ini,"
gumam Arya Sempalan.
Sebentar dia memperhatikan lembaran kulit kusam itu,
kemudian kembali mengawasi sekitarnya. Tidak ada yang
dapat dilihatnya di atas puncak bukit, selain batu-batu yang
terhampar. Sedangkan di kaki bukit, terlihat pucuk-pucuk
pepohonan yang menghijau dan indah dipandang mata.
Sedikit Arya Sempalan tersenyum. Kemudian dia melangkah
mendekati mulut goa yang tidak terlalu besar ukurannya.
Namun baru saja dia berjalan beberapa langkah, tiba-
tiba.... Slap! "Heh..."! Hup!"
Arya Sempalan terkejut setengah mati. Tiba-tiba dari dalam
goa itu melesat sesosok bayangan hijau kehitaman dengan
kecepatan bagai kilat. Secepat itu pula dia melompat ke
belakang, sambil memutar tubuhnya sekali. Dan bayangan itu
lewat di atas tubuh Arya Sempalan.
"Hap!"
Dengan manis sekali Arya Sempalan menjejakkan kakinya
di atas bebatuan yang terhampar di puncak bukit. Dan ketika
memutar tubuh dan berbalik, hatinya tersentak kaget dengan
mata terbeliak lebar. Hampir dia tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya. Sekitar tiga batang tombak di depannya,
berdiri sesosok tubuh yang tidak bisa lagi dikatakan manusia.
Walaupun berdiri pada kedua kaki, tapi lengannya begitu
panjang, hingga hampir menyentuh lutut. Tubuhnya yang
agak terbungkuk penuh ditumbuhi bulu-bulu kasar berwarna
hitam legam. Dia mengenakan baju hijau lumut yang sudah
kusam dan hampir pudar warnanya. Bagian dadanya terbuka
hingga memperlihatkan bulu-bulu kasar. Sedangkan wajahnya
lebih mirip kera daripada manusia. dan ketika mulutnya
membuka, tampak baris-baris gigi yang runcing dan bertaring
tajam. Kedua bola matanya yang bulat, menatap tajam anak
muda di depannya.
"Ghrrr...! Mau apa kau datang ke sini, Anak Muda...?"
terdengar begitu besar dan berat suara makhluk aneh
setengah manusia dan kera itu.
Arya Sempalan terkejut karena tidak menyangka kalau
makhluk aneh seperti kera itu bisa berbicara. Begitu
terkejutnya dia, sampai untuk beberapa saat terdiam, tidak
dapat mengeluarkan suara sedikit pun. Hanya tatapan
matanya yang tidak berkedip memandangi makhluk aneh di
depannya. Seakan dia ingin meyakinkan diri, kalau yang
dihadapinya benar-benar kenyataan, dan bukan sedang
bermimpi. O o o dw o o O "Maaf, apakah kedatanganku mengganggumu..." agak
bergetar suara Arya Sempalan.
"Semua yang datang ke sini selalu mengganggu dan
membawa kesulitan. Apa kedatanganmu juga untuk
mengambil Perisai Kulit Naga..." Jangan harap kau bisa
mendapatkannya, Anak Muda! Sebaiknya cepat pergi sebelum
terjadi penyesalan seumur hidup. Atau mungkin juga kau tak
akan sempat lagi melihat matahari esok."
Arya Sempalan mengernyitkan kening mendengar ucapan
makhluk setengah kera. Jelas sekali kalau makhluk aneh itu
tidak menghendaki kedatangannya. Namun ketika dia
mendengar Perisai Kulit Naga disebut, keningnya berkerut
semakin dalam. Arya Sempalan berpikir. Dia teringat dengan
kata-kata Ki Rangan, saat memberikan kulit yang memuat
peta petunjuk untuk ke puncak bukit ini.
"Hm..., apakah sesuatu yang dimaksudkannya itu adalah
Perisai Kulit Naga...?" gumam Arya Sempalan, bertanya-tanya
sendiri di dalam hati.
Sementara Arya Sempalan terus
diliputi berbagai pertanyaan yang membingungkan, makhluk manusia setengah
kera itu menggeram kecil sambil melangkah beberapa tindak
mendekatinya. Pemuda itu hanya memandangi dengan kening
berkerut dan kelopak mata sedikit menyipit.
"Menunggu apa lagi kau..." Cepat tinggalkan tempat ini!"
bentak mahkluk setengah kera dengan suaranya yang keras
menggelegar memekakkan telinga.
Arya Sempalan masih tetap diam memandangi makhluk
aneh di depannya dengan sinar mata tajam, tanpa berkedip
sedikit pun. Melihat tatapan mata yang begitu tajam makhluk
setengah kera itu jadi menggeram marah, merasa dirinya
ditantang. "Ghrrr...! Apa yang kau inginkan datang ke sini, heh...?"
Tampaknya si manusia setengah kera masih juga menahan
kesabarannya. "Aku datang untuk mengambil sesuatu yang ada di sini,"
sahut Arya Sempalan mantap.
"Apa...?" tanya mahluk setengah kera itu seperti ingin tahu.
"Aku tidak tahu. Tapi aku menerima ini dari seseorang. Aku
diperintahkan untuk datang dan mengambil sesuatu di tempat
ini." Arya Sempalan mengambil gulungan kulit dari kantung di
bagian dalam bajunya. Kemudian dilemparkan gulungan kulit
terikat pita merah itu ke depan. Dan jatuh tepat di ujung kaki
makhluk setengah kera di depannya. Makhluk mengerikan itu
memandangi sebentar. Lalu dia membungkukkan tubuhnya
dan memungut gulungan kulit yang dilemparkan Arya
Sempalan tadi. Dia melepaskan ikatan pita merah dan
membuka gulungannya. Seketika itu juga, kedua bola
matanya terbeliak lebar.
"Ghrrrr...!"
Si manusia kera menggeram keras, sambil menggulung lagi
kulit itu. Dia kemudian menatap Arya Sempalan dengan sinar
mata yang merah menyala.
"Dari mana kau dapatkan ini?" tanyanya dengan suara
berat dan besar menyakitkan telinga.
"Dari seseorang. Aku tidak tahu namanya," sahut Arya
Sempalan tidak mau menyebutkan nama Ki Rangan.
"Baik... Kau akan mendapatkannya. Tapi kau harus
mengalahkan aku dulu!" kata makhluk setengah kera itu
tegas. "Aku sudah berjanji padanya. Apa pun yang akan terjadi,
aku harus menghadapi," sambut Arya Sempalan tidak kalah
mantapnya. "Bagus...! Sekarang kau tahan seranganku! Ghraaagkh...!"
Sambil menggeram keras, makhluk setengah kera langsung
melompat dengan kecepatan bagai kilat menyerang Arya
Sempalan. "Haps...!"
Namun dengan sedikit saja Arya Sempalan meliukkan
tubuhnya, serangan lawan tak menemui sasarannya.


Pendekar Pulau Neraka Perisai Kulit Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian dengan cepat Arya Sempalan melompat ke kanan
untuk menjaga jarak. Sementara makhluk bertubuh penuh
bulu itu sudah berputar balik dengan cepat sekali. Tubuhnya
langsung melompat sambil memberikan satu tendangan keras
menggeledek yang begitu cepat dan dahsyat. Begitu
dahsyatnya tendangan si makhluk kera, hingga menimbulkan
deru angin yang begitu keras menggetarkan jantung.
Namun dengan sikap yang sangat tenang, Arya Sempalan
menunggu tendangan lawan datang. Ketika telapak tangan si
makhluk kera hampir mendarat di dadanya, dengan cepat
sekali dia menggerakkan kedua tangan menyilang di depan
dada. Sehingga pergelangan kaki makhluk kera itu terjepit
kedua tangannya yang begitu kuat bagai baja.
"Hih!"
Arya Sempalan langsung memutar jepitan tangannya,
disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Dan...,
Krekh! "Argkh...!"
Manusia kera meraung keras, ketika merasakan tulang
kakinya remuk dipelintir Arya Sempalan. Dan belum lagi dia
bisa berbuat sesuatu, Arya Sempalan sudah menghentakkannya dengan kuat. Tubuh makhluk setengah
kera itu terdorong keras sekali ke belakang hingga beberapa
langkah. Dan dengan keras sekali tubuhnya menghantam
bebatuan. Beberapa kali dia bergulingan. Kemudian cepat
melompat bangkit berdiri.
Namun belum sempat dia bisa berdiri tegak, Arya Sempalan
sudah melompat sambil melepaskan satu tendangan keras
menggeledek, disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang
tinggi. Begitu cepat serangan anak muda itu, sehingga si
manusia kera tidak dapat lagi berkelit menghindarinya.
Diegkh! "Aauuurgkh...!"
Makhluk berwajah mengerikan itu meraung-raung keras
dan menggetarkan, sehingga bebatuan di sekitar puncak bukit
berderak bagai hendak runtuh. Tubuhnya kembali terbanting
dengan keras sekali, menghantam bebatuan. Mulutnya
mengerang-ngerang kesakitan. Sementara Arya Sempalan
sudah berdiri tegak, dengan tangan kanan terkepal erat di
depan dada. Siap untuk melakukan serangan lagi.
"Tahan...!"
Tiba-tiba saja si manusia kera membentak keras, melihat
Arya Sempalan sudah siap melancarkan serangannya lagi.
Sambil menggereng, dia berusaha bangkit berdiri. Tangan kiri
yang berbulu hitam lebat, mendekap dadanya yang terasa
begitu sesak, akibat terkena tendangan menggeledek Arya
Sempalan. Dengan bersusah payah makhluk setengah kera
yang mengerikan wujudnya itu bisa bangkit berdiri. Walaupun
kini tidak lagi bisa tegak, berdiri di atas kedua kakinya yang
berbulu hitam lebat. Arya Sempalan mengurungkan
serangannya. O o o dw o o O "Kau tangguh sekali, Anak Muda. Dari mana asalmu" Dan
siapa gurumu...?" tanya si manusia kera dengan suaranya
yang masih berat menggetarkan.
"Aku datang dari puncak Gunung Angkeran," sahut Arya
Sempalan. "Lalu siapa gurumu?"
"Hm...."
Arya Sempalan tidak langsung menjawab. Dia hanya
menggumam sedikit sambil memandangi manusia kera
dengan sinar mata yang memancarkan kecurigaan. Memang
tidak mudah bagi Arya Sempalan untuk menyebut nama
gurunya. Karena dia sendiri sudah berjanji tidak akan
menyebut nama sang Guru pada orang yang belum dikenalnya
dengan baik. Apalagi pada makhluk setengah kera yang
mengerikan ini.
"Baiklah, Anak Muda. Aku tahu kenapa kau keberatan
memberitahu nama gurumu. Tidak apa, aku tidak akan
memaksa. Tapi apa boleh aku tahu namamu...?" kata si
manusia kera lagi, setelah mengerti akan keberatan Arya
Sempalan untuk menyebutkan nama gurunya.
"Arya Sempalan."
"Hm, kau tahu untuk apa kau diperintahkan datang ke
sini"'' tanya si manusia kera.
Arya Sempalan hanya menggelengkan kepala.
"Kau sudah memahami isi di dalam lembaran kulit ini?"
tanya manusia kera itu lagi.
"Belum. Aku tidak sempat memahaminya," sahut Arya
Sempalan terus terang.
"Sayang sekali, begitu banyak orang menginginkannya.
Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkannya, bahkan tidak
segan-segan mempertaruhkan nyawanya. Tapi kau yang
membawa petunjuknya ke sini justru sama sekali belum
mengetahui...," manusia kera itu seperti bicara pada dirinya
sendiri. "Maaf, Ki! Sebenarnya ada maksud apa dengan lembaran
kulit itu?" tanya Arya Sempalan meminta penjelasan.
"Guratan yang tertera pada lembaran kulit ini berisi
petunjuk untuk memperoleh Perisai Kulit Naga. Dan aku
diperintahkan sang Hyang Widi untuk menjaga perisai itu.
Sang Hyang Widi hanya membuat satu petunjuk, yang dibuat
pada selembar kulit naga. Dengan petunjuk itu, orang yang
memegangnya akan memperoleh Perisai Kulit Naga. Kau
benar-benar beruntung, Anak Muda. Kau mendapatkan
petunjuk dari sang Hyang Widi," kata manusia kera
menjelaskan. Sungguh sulit untuk dikatakan, bagaimana kegembiraan
hati Arya Sempalan mendengar penjelasan manusia kera itu.
Seketika wajahnya berseri-seri dengan kedua bola mata
tampak bercahaya. Dia sering mendengar kalau sesuatu
benda, apakah itu berupa senjata atau lainnya yang dibuat
dewa, tidak akan bisa ditaklukan oleh senjata apa pun di dunia
ini. Dan mereka yang beruntung bisa memperolehnya akan
menjadi seorang manusia digdaya yang sukar dicari
tandingannya. Arya Sempalan sendiri tidak mengerti. Kenapa dia begitu
mudah bisa memperolehnya. Sedangkan semua orang selalu
berlomba-lomba untuk memperoleh benda-benda yang dibuat
dewa. Terlebih lagi kalau benda itu merupakan sebuah
senjata. Nyawa tidak ada harganya sama sekali. Mereka yang
merasa memiliki kepandaian tinggi, akan berusaha dengan
cara apa pun untuk memperolehnya. Tapi sekarang.... Arya
Sempalan benar-benar tidak bisa lagi berkata-kata. Hatinya
gembira sekali karena di puncak bukit batu ini dia akan
memperoleh sebuah benda pusaka yang dibuat dewa di
kayangan. "Mari, aku tunjukkan jalan ke tempat penyimpanan perisai
itu," kata si manusia kera mengajak.
Arya Sempalan pun langsung saja melangkah mengikuti
manusia kera itu. Keduanya memasuki goa yang tidak begitu
besar, tapi di dalam cukup gelap. Arya Sempalan terus
mengikuti dari belakang tanpa berkata-kata sedikit pun.
Hatinya begitu gembira, hingga merasa sulit untuk
mengucapkan kata-kata. Semakin jauh ke dalam, goa itu
semakin menurun dan berputar-putar. Suasananya pun
tampak semakin bertambah gelap. Sehingga Arya Sempalan
tidak mau jauh dari si manusia kera yang membawanya ke
dalam goa itu. Setelah cukup lama berjalan, akhirnya mereka sampai di
mulut ujung goa. Arya Sempalan jadi ternganga melihat suatu
pemandangan yang sangat indah ketika sudah keluar dari
mulut goa. Dia merasa seakan-akan berada di dalam sebuah
taman para dewa di kayangan. Suatu pemandangan
menakjubkan yang pernah dilihatnya. Sementara si manusia
kera terus saja berjalan. Dia berpaling ke belakang sambil
menghentikan langkahnya, ketika merasa tidak ada yang
mengikutinya dari belakang.
"Apa yang kau pandangi, Arya Sempalan?" tegur manusia
kera ketika dilihatnya Arya Sempalan berhenti di depan mulut
goa. "Oh..."!"
Arya Sempalan tergagap lalu bergegas melangkah
menghampiri manusia kera. Mereka pun kembali berjalan
melintasi taman yang sangat indah itu. Akhirnya mereka
sampai di depan sebuah pintu berwarna kuning, bagai terbuat
dari emas. Manusia kera itu memberi hormat dengan
merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada, sambil
membungkuk. Arya Sempalan cepat-cepat mengikutinya.
Dan tiba-tiba saja pintu itu terbuka sendiri. Arya Sempalan
tercengang kaget tapi kemudian bergegas melangkah, begitu
si manusia kera sudah melangkah memasuki pintu itu.
Arya Sempalan kembali terkagum-kagum, melihat dirinya
kini berada di dalam sebuah ruangan yang sangat besar dan
indah sekali. Bagai berada di dalam sebuah istana tempat
tinggal para dewa. Namun dia tidak menghentikan
langkahnya, melihat si manusia kera terus saja berjalan
menyeberangi ruangan yang sangat besar dan indah itu.
Mereka kembali melewati sebuah pintu yang terbuat seperti
dari emas. Pintu itu pun terbuka sendiri, saat keduanya
hendak melewati. Kini mereka berada kembali di luar. Namun
tiba-tiba Arya Sempalan mengerutkan keningnya. Sekelilingnya sekarang hanya ditumbuhi pepohonan yang
rapat. Bahkan suasananya gelap, seperti malam hari.
Walaupun dengan kening berkerut dan berbagai pertanyaan membingungkan berkecamuk di dalam kepalanya,
Arya Sempalan terus mengikuti langkah kaki si manusia kera.
Tidak ada seorang pun dari mereka yang membuka suara.
Dan akhirnya mereka sampai di depan sebuah bangunan
kecil yang terbuat dari batu. Bangunan itu seperti sebuah puri,
berada di tengah-tengah hutan yang sangat lebat. Suara-
suara binatang terdengar di sekitar puri. Membuat bulu-bulu
halus di seluruh tubuh Arya Sempalan meremang berdiri.
Sungguh menyeramkan keadaannya. Terlebih lagi melihat puri
yang berdiri di tengah-tengah hutan itu sudah berlumut
seluruh dindingnya. Bahkan pohon-pohon menjalar hampir
menutupinya. Arya Sempalan menghentikan langkahnya,
mengikuti s i manusia kera yang sudah berhenti lebih dulu.
"Arya Sempalan..," manusia kera itu baru membuka
suaranya. "Ya, Ki," sahut Arya Sempalan.
"Kau benar-benar menginginkan Perisai Kulit Naga?" tanya
si manusia kera itu, seakan ingin meyakinkan.
"Semula aku memang tidak tahu. Namun kalau Hyang Widi
mempercayaiku, apa pun ujiannya akan aku hadapi," sahut
Arya Sempalan mantap.
"Tidak ada ujian sedikit pun, Arya Sempalan," ujar si
manusia kera seraya tersenyum menyeringai.
"Lalu. ?"
"Perisai Kulit Naga ada di dalam puri itu. Masuklah ke sana,
dan ambil perisai itu untukmu!" kata si manusia kera
memberitahu. "Di dalam puri itu...?"
"Ya. Kenapa?"
Arya Sempalan terdiam. Baru saja dia membayangkan
seperti apa dalamnya puri kecil yang kelihatannya sudah tidak
terawat itu. Entah kenapa, tubuhnya jadi bergidik. Puri itu
kelihatan sudah sangat rapuh. Mungkin hanya sekali gedor
saja bisa runtuh. Arya Sempalan berpikir, bagaimana kalau ini
hanya jebakan saja..." Dan begitu dia berada di dalam, si
manusia kera menghantam puri itu hingga hancur. Dan dia
bisa mati terkubur hidup-hidup di dalamnya.
"Kau tidak perlu ragu-ragu, Arya Sempalan. Kalau kau
menghendaki, aku bisa mewakilimu mengambil perisai itu,"
kata si manusia kera, seakan-akan dia bisa membaca semua
jalan pikiran anak muda ini.
"Oh, ti... tidak. Biar aku yang mengambilnya sendiri."
Arya Sempalan bergegas melangkah menghampiri puri kecil
itu. Agak ragu-ragu juga ketika dia hendak membuka pintunya
yang terbuat dari kayu sudah lapuk. Namun dengan
memantapkan hati, dia mendorong pintu itu. Suara bergerit
terdengar bagai mengiris jantungnya. Bau yang tidak sedap
pun langsung menyeruak dari dalam puri. Namun dia terus
melangkah masuk dengan hati mantap.
O o o dw o o O 3 Tidak ada yang dapat dilihat di dalam ruangan puri itu.
Keadaannya begitu kotor. Selain debu tebal dan berbau apek,
daun-daun kering banyak berserakan di lantai yang sudah
berlumut. Pandangan mata Arya Sempalan langsung tertuju
pada sebuah batu seperti altar untuk persembahan, yang ada
di tengah-tengah ruangan dalam puri. Perlahan kakinya
melangkah menghampiri.
Dia melihat di atas batu altar itu terdapat selembar kain
berwarna putih, seperti menutupi sesuatu. Arya Sempalan
berhenti melangkah sete lah dekat. Dipandanginya sebentar
kain putih yang hampir menutupi seluruh permukaan batu
altar. Dan perlahan dia menjulurkan tangan menyentuh kain
putih itu. Lalu dibukanya pelan-pelan. Dan seketika itu juga...,
"Oh..."!"
Kedua bola mata Arya Sempalan tampak berbinar, ketika
melihat sebuah perisai berada di atas batu altar yang ditutupi


Pendekar Pulau Neraka Perisai Kulit Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kain putih itu. Perlahan dibukanya seluruh kain itu, dan
melemparkannya ke samping. Lalu diambilnya benda
berbentuk perisai yang berukuran tidak begitu besar.
Beberapa saat Arya Sempalan memandangi. Tapi mendadak..., "Heh..."!"
Arya Sempalan terperanjat setengah mati, ketika tiba-tiba
lantai puri yang dipijaknya bergetar. Dan seluruh dinding puri
terasa bergetar bagi hendak runtuh. Debu-debu yang berada
di langit-langit mulai berjatuhan. Dan belum lagi Arya
Sempalan bisa berpikir lebih jauh, mendadak...
Brukkk! "Hup...!"
Arya Sempalan melompat ke belakang, ketika sebongkah
batu yang besar jatuh dan tepat menghantam altar. Debu
seketika berhamburan di sekitarnya. Dan getarannya terasa
semakin kuat. Arya Sempalan mendekap Perisai Kulit Naga
erat-erat di dadanya. Batu-batu mulai berguguran di
sekitarnya. "Arya Sempalan, cepat keluar! Puri itu akan segera
runtuh...!"
Arya Sempalan jadi tersentak dan langsung tersadar begitu
mendengar suara si manusia kera dari luar puri. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, dia cepat memutar tubuhnya
berbalik. Dan dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya yang tinggi, dia langsung melesat keluar. Tepat
pada saat itu, batu-batu puri berjatuhan, memperdengarkan
suara bergemuruh dan menggetarkan.
Bruak! Puri itu seketika runtuh di saat Arya Sempalan sudah
berada di samping si manusia kera. Debu seketika
beterbangan ke angkasa, bersamaan dengan ambruknya puri
itu. Arya Sempalan memandanginya dengan mata tak
berkedip. Dia merasakan ada yang aneh pada peristiwa ini. Di
dalam tadi, getarannya begitu kuat. Namun ketika berada di
luar, tidak sedikit pun terasa ada getaran seperti gempa tadi,
yang membuat puri kecil itu runtuh seketika.
"Ayo, kita pergi dari s ini!" ajak si manusia kera.
"Ke mana?" tanya Arya Sempalan seperti orang bodoh.
"Kau sudah mendapatkan Perisai Kulit Naga. Sekarang kau
punya tugas yang sangat penting, Arya Sempalan. Kau harus
manfaatkan perisai itu untuk menegakkan keadilan di bumi.
Nah, sebaiknya kau cepat tinggalkan tempat ini," kata si
manusia kera menjelaskan.
Arya Sempalan menganggukkan kepala. Dia kemudian
melangkah mengikuti si manusia kera meninggalkan puri.
Sebuah perisai berwarna putih keperakan, kini berada di
tangan kirinya. Beberapa kali Arya Sempalan memandangi
perisai itu. Entah kenapa, dia merasakan ayunan langkah
kakinya sekarang terasa begitu ringan, setelah dia memegang
Perisai Kulit Naga. Bahkan tadi ketika melompat keluar dari
dalam puri yang mau runtuh, lesatannya begitu cepat dan
sempurna sekali. Belum pemah dirinya mampu melakukan
lesatan yang begitu sempurna dan cepat. Bahkan sama sekali
tidak terdengar suara ketika kakinya mendarat di samping si
manusia kera ini.
Meskipun menyadari ada perubahan pada dirinya, Arya
Sempalan tidak mau bertanya. Dia tahu kalau semua
perubahan yang terjadi pada dirinya berkat Perisai Kulit Naga
yang kini berada di tangannya. Menyadari semua itu, Arya
Sempalan tidak bisa lagi mengatakan bagaimana gembira
hatinya. Dengan perisai ini, akan sulit bagi tokoh-tokoh
persilatan untuk menandinginya.
Arya Sempalan terus melangkah dengan bibir tersenyum
mengikuti si manusia kera yang berjalan di depannya. Dia
terus mengikuti petunjuk jalan keluar dari tempat yang aneh
dan membingungkan ini. Tanpa petunjuk si manusia kera dia
jelas tak tahu arah mana yang harus dituju. Namun sebelum
dia memperhatikan, tahu-tahu sudah berada kembali di
puncak bukit batu. Sementara si manusia kera hanya
mengantarkan sampai di mulut goa.
"Pergilah, Arya Sempalan! Ingat, banyak ujian yang akan
kau hadapi setelah turun dari bukit ini," ujar si manusia kera
memperingatkan.
"Aku siap menghadapi semua ujian itu, Ki," sahut Arya
Sempalan mantap.
"Jagalah perisai itu, jangan sampai jatuh ke tangan orang
lain. Perisai itu akan sangat berbahaya sekali kalau sampai
jatuh ke tangan orang durjana. Dan kau akan mendapatkan
kesulitan besar jika sampai kehilangan perisai itu," pesan
manusia kera. "Akan kuingat pesanmu, Ki," ucap Arya Sempalan, seraya
menjura memberi hormat
"Pergilah, jalankan tugasmu sebagai pendekar sejati!"
"Terima kasih, Ki."
O o o dw o o O Malam sudah datang menyelimuti permukaan bumi ketika
Arya Sempalan sampai di kaki bukit batu. Sebentar dia
memandang ke puncak bukit. Kemudian kakinya terus terayun
melangkah menuju arah barat. Suasana malam tidak terlalu
gelap. Bulan bersinar penuh, menggantung di langit yang
semarak dengan bintang-bintang gemerlap. Arya Sempalan
terus mengayunkan kakinya sambil bersiul-siul dengan irama
yang tidak jelas. Sama sekali dia tidak menyadari kalau sejak
tadi ada sepasang mata yang terus mengawasinya.
Ketika Arya Sempalan keluar dari sebuah hutan yang tidak
begitu lebat, sepasang mata yang mengawasinya menghilang.
Sementara pemuda berpakaian kulit ular
itu terus mengayunkan kaki sambil bersiul-siul tanpa irama yang jelas.
Namun mendadak.
Wusss...! "Heh..."! Upths!"
Arya Sempalan melompat ke depan, sambil berputaran
beberapa kali di udara, ketika merasakan hembusan angin
yang begitu kuat menerjang dari belakang. Setelah mendarat
dengan manis di tanah dia segera memutar tubuhnya berbalik.
Seketika itu pula terlihat sesosok bayangan merah berkelebat
begitu sangat cepat menyambar ke arahnya.
Slap! "Hap!"
Arya Sempalan langsung melenting sambil bersalto
beberapa kali di udara. Sehingga terjangan bayangan merah
itu lewat di bawah tubuhnya. Kembali dia menjejakkan
kakinya di tanah dengan ringan dan manis sekali. Sementara
bayangan merah telah berputar balik, dan langsung
melancarkan serangan susulan. Gerakannya begitu cepat
laksana kilat, hingga sulit diikuti mata biasa.
"Hm..."
Arya Sempalan menggumam sedikit. Kemudian dia
langsung mengangkat tangan kiri hingga Perisai Kulit Naga
berada tepat di depan dadanya. Dan tepat pada saat itu juga,
bayangan merah itu menghantamnya.
Brakkk! "Akh...!"
Terdengar benturan keras disertai suara jeritan yang
melengking. Tampak sesosok tubuh berbaju warna merah
ketat terpental dan
terhuyung-huyung
ke belakang. Sementara Arya Sempalan sendiri terlihat tetap berdiri tegak,
tak bergeming sedikit pun dari tempatnya.
Pandangan matanya yang tajam memperhatikan sosok
tubuh laki-laki berusia separo baya yang masih terhuyung-
huyung ke belakang. Tampak darah mengalir me lalui jari-
jemari tangan yang tengah mendekap kepalanya.
Beberapa saat dia terhuyung-huyung sambil mengerang
kesakitan. Kemudian tubuhnya ambruk dan langsung
menggelepar di tanah. Kepalanya pecah, akibat membentur
Perisai Kulit Naga di tangan kiri Arya Sempalan. Sebentar
kemudian, laki-laki berusia separo baya berpakaian merah
ketat itu mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak lagi. Darah
semakin banyak bercucuran keluar dari batok kepalanya yang
pecah. "Hhh...!"
Arya Sempalan menghembuskan napas panjang dan berat.
Dirinya belum mengerti, kenapa orang itu tiba-tiba saja
menyerang dan tewas seketika begitu kepalanya membentur
Perisai Kulit Naga. Arya Sempalan memandangi perisai maut
yang baru didapatkannya. Dia teringat dengan kata-kata
pesan yang diucapkan si manusia kera, penunggu benda-
benda pusaka milik dewa.
"Ah, mungkin dia adalah sa lah seorang yang menginginkan
Perisai Kulit Naga ini. Hm... Berapa banyak yang harus aku
hadapi nanti...?" gumam Arya Sempalan dengan nada suara
mendesah perlahan.
Arya Sempalan kembali mengayunkan kakinya perlahan,
setelah memeriksa orang yang sudah tidak bernyawa itu.
Sedikit dia sempat melirik, sebelum melanjutkan perjalanannya. Satu rintangan sudah dihadapinya. Dia tidak
tahu, berapa banyak lagi rintangan dan cobaan yang akan
dihadapinya. Namun dia sudah siap dengan Perisai Kulit Naga
berada di tangannya. hatinya sudah bertekad untuk
menghadapi semua rintangan yang bakal menghadang.
Namun dirinya juga berharap segala cobaan itu akan cepat
berakhir. "Hhhh...!"
Kembali Arya Sempalan menghembuskan napasnya yang
berat. Kakinya terus diayunkan melangkah perlahan-lahan
menembus malam yang semakin larut. Pandangannya tertuju
lurus ke depan sambil terus bersikap waspada. Dia tidak tahu
lagi berada di mana sekarang ini. Sekelilingnya hanya semak,
rerumputan, dan pepohonan yang menghitam terselimut
kegelapan. Sementara bulan yang tadi bersinar tampak
terhalang segumpal awan putih di langit. Arya Sempalan terus
melangkah dengan ayunan kaki perlahan.
O o o dw o o O Sementara itu sosok mayat berpakaian merah tadi sudah
dikelilingi orang-orang yang berpakaian serta bertampang dari
kalangan rimba persilatan. Senjata-senjata yang mereka bawa
juga beraneka ragam bentuk dan ukurannya. Entah kapan
mereka datang. Tapi Arya Sempalan sudah jauh dan
menghilang dari tempat itu.
Ada sekitar dua puluh orang merubungi mayat laki-laki
berbaju merah. Tatapan mata mereka memancar begitu
tajam, sulit untuk diartikan. Tidak ada seorang pun yang
membuka suara. Tanpa ada yang bicara sedikit pun mereka
kemudian bergerak pergi satu persatu. Hingga tinggal tiga
orang saja yang masih berada di dekat mayat itu.
Ketiga orang itu terdiri dari seorang wanita muda berparas
cantik. Di sampingnya berdiri seorang pemuda tampan dengan
seekor monyet kecil dipundaknya. Tubuhnya yang kekar
terbalut pakaian dari kulit harimau. Dan seorang lagi lelaki
berusia lanjut, mengenakan jubah panjang warna putih bersih.
Sebatang tongkat kayu tidak beraturan bentuknya tergenggam
di tangan kanan. Sedang si gadis cantik membawa sebilah
pedang yang tersampir di punggung. Hanya pemuda berbaju
kulit harimau yang tampak tak membawa senjata. Namun
pada pergelangan tangannya terlihat sebuah cakra persegi
enam yang runcing dan berwarna putih keperakan. Mereka
juga tidak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun. Entah
sudah berapa lama ketiganya berdiri mematung memandangi
mayat laki-laki berbaju merah itu.
"Korban sudah jatuh. Perisai Kulit Naga akan meminta
korban lebih banyak lagi selama masih berada di tangan orang
yang salah," gumam orang-tua berjubah putih itu perlahan.
Seakan dia bicara pada dirinya sendiri.
"Apa ada cara untuk memusnahkannya, Ki?" tanya pemuda
berbaju kulit harimau yang berada di sebelahnya.
"Sepanjang zaman, tidak ada satu senjata pun di muka
bumi ini yang dapat mengalahkan senjata milik dewa," sahut
orang tua itu pelan.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan, Ki Denawa?" tanya gadis
cantik yang berada di sebelah pemuda berbaju kulit harimau.
Orang tua berjubah putih yang dipanggil dengan nama Ki
Denawa itu hanya menggelengkan kepala. Seakan hatinya
merasa berat sekali untuk menjawab pertanyaan si gadis. Dia
sendiri sebenarnya tidak tahu, dengan cara apa menghadapi
orang yang memegang senjata buatan dewa di kayangan.
Belum ada seorang pun yang tahu seperti apa bentuk Perisai
Kulit Naga. Namun pada umumnya tokoh-tokoh kalangan
persilatan sudah tahu akan munculnya seseorang membawa
senjata berupa perisai yang dinamakan Perisai Kulit Naga.
"Anak Muda, kaukah yang berjuluk Pendekar Pulau
Neraka...?" tanya Ki Denawa seraya memandang pada
pemuda berbaju kulit harimau di sebelahnya.
"Benar, Ki. Orang-orang memanggilku begitu. Tapi aku
sendiri lebih senang kalau dipanggil dengan nama Bayu,"
sahut pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain Bayu
Hanggara. Pemuda itu di kalangan rimba persilatan lebih dikenal
dengan julukan si Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan gadis
cantik yang berada di sebelahnya bernama Triwarni. Seorang
gadis berkepandaian tinggi yang lebih dikenal dengan julukan
si Kupu-kupu Putih. Entah mengapa dirinya dijuluki si Kupu-
kupu Putih. Mungkin karena kecantikan wajahnya, atau karena
jurus-jurus yang dikuasa inya selalu memiliki gerakan lembut
seperti kupu-kupu. Padahal setiap gerakan jurusnya selalu
mengandung kekuatan yang sangat dahsyat.
"Ada apa dengan dia, Ki?" tanya Triwarni seraya melirik


Pendekar Pulau Neraka Perisai Kulit Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada Pendekar Pulau Neraka di sebelahnya.
"Mungkin bukan hanya aku yang mendapat wangsit dari
Hyang Widi. Entah berapa orang lagi yang sudah tahu. Hanya
aku berpesan padamu, Anak Muda. Hati-hatilah kau dalam
persoalan ini! Kau akan menghadapi bahaya besar, karena kau
akan berpihak pada orang yang memegang Perisai Kulit Naga
sekarang ini. Dan itu berarti semua orang akan memusuhimu
juga," kata Ki Denawa memberitahu wangsit yang diterima
dari Dewa Persembahan.
"Hm...,"
Bayu menggumam seraya mengerutkan keningnya. Sementara Triwarni memandangi Pendekar Pulau Neraka
dengan sinar mata tajam dan sulit untuk diartikan. Dia baru
mengalihkan pandangan ke arah lain, ketika Bayu melirik
sedikit padanya. Ki Denawa sendiri memandangi Pendekar
Pulau Neraka tanpa berkedip sedikit pun. Seakan dia tengah
mencari sesuatu pada diri pendekar muda yang selalu
mengenakan baju dari kulit harimau ini.
"Maaf, aku harus segera melanjutkan perjalananku," ucap
Bayu meminta izin.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Pulau Neraka
segera melangkah meninggalkan tempat itu. Tanpa disadari,
arah yang ditujunya sama dengan arah jalan Arya Sempalan.
Pemegang Perisai Kulit Naga yang kini diperebutkan semua
tokoh persilatan. Sementara Ki Denawa dan si Kupu-kupu
Putih memandangi Pendekar Pulau Neraka hingga lenyap
tertelan keremangan malam di bawah cahaya bulan.
"Aku juga akan segera pergi, Ki," pamit T riwarni.
"Ke mana kau akan pergi, Anakku?" tanya Ki Denawa.
"Entahlah...," sahut Triwarni dengan suara mendesah.
"Kau tidak tertarik untuk mengikuti perlombaan ini,
Triwarni?" tanya Ki Denawa bernada memancing.
Triwarni hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dan
tanpa bicara lagi sedikit pun, dia melangkah pergi. Sementara
Ki Denawa sendiri juga langsung pergi ke arah yang dituju
Pendekar Pulau Neraka. Entah apa yang ada di dalam hati dan
pikiran orang tua itu. Sedangkan Triwarni sendiri menghentikan ayunan langkah kakinya, lalu berpaling ke
belakang. "Hm, dia pasti mengikuti Pendekar Pulau Neraka. Baik, aku
ikuti saja dia...," gumam Triwarni dalam hati.
"Hup!"
Cepat sekali gadis itu melesat. Dalam sekejap mata saja
sudah lenyap bayangan tubuhnya. Entah ke arah mana gadis
itu pergi. Sedangkan Ki Denawa terus saja melangkah dengan
kepala agak tertunduk. Pandangan matanya tidak lepas dari
jalan yang dilaluinya. Jalan yang begitu jelas sekali
meninggalkan tapak-tapak kaki Pendekar Pulau Neraka.
O o o dw o o O Malam terus merayap semakin larut. Arya Sempalan sudah
sampai di tepi sebuah desa yang penduduknya sudah terlelap
dalam buaian tidur. Tidak ada seorang pun terlihat berada di
luar rumah. Desa yang sunyi dan sepi, bagai tidak
berpenghuni. Hanya pelita-pelita kecil tampak menyala di
beranda depan rumah penduduk yang menandakan kalau
desa ini masih berpenduduk. Arya Sempalan terus berjalan
memasuki jalan utama desa yang berdebu dan agak lembab
oleh embun. Ayunan langkah kaki Arya Sempalan terhenti, ketika
melihat sebuah rumah yang terang-benderang keadaannya.
Sebentar matanya memperhatikan keadaan rumah yang
tampak ramai itu. Dia memindahkan Perisai Kulit Naga ke
punggungnya. Dan kembali melangkah menghampiri rumah
yang diduganya sebagai rumah penginapan.
Ternyata dugaan Arya Sempalan benar. Rumah itu ternyata
sebuah rumah penginapan yang sangat ramai pengunjungnya.
Arya Sempalan langsung saja melangkah masuk tanpa ragu-
ragu. Beberapa orang pengunjung di ruangan depan
memperhatikannya dengan sinar mata yang seakan ingin
menyapa atau mengucapkan selamat datang. Tampak ada
yang mengangguk ramah. Ada pula yang tersenyum.
Arya Sempalan langsung menemui pemilik rumah
penginapan yang ada di belakang sebuah meja besar
berbentuk setengah lingkaran.
"Masih ada kamar untukku, Paman...?" tanya Arya
Sempalan dengan nada suara ramah.
Laki-laki berusia separo baya bertubuh gemuk itu
memperhatikan Arya Sempalan beberapa saat. Seakan dia
hendak menilai apakah tamunya memiliki cukup uang untuk
membayar sewa kamar, atau hanya ingin menumpang saja..."
Arya Sempalan seakan-akan tahu maksud pandangan
pemilik rumah penginapan itu. Dia mengeluarkan lima keping
uang emas dari dalam kantung sabuk pinggangnya. Dan
langsung diletakkan di atas meja.
Kedua bola mata laki-laki gemuk pemilik rumah penginapan
terbeliak melihat lima keping uang emas di atas mejanya. Dia
langsung mengambil pembayaran sewa yang sangat mahal itu
dengan bibir tersenyum dan bola mata berbinar.
"Mari, aku antarkan kau ke kamar yang istimewa!" ajak
pemilik kedai itu dengan sikap ramah dan senyuman lebar
terkembang di bibirnya.
Arya Sempalan hanya tersenyum. Dia kemudian melangkah
mengikutinya masuk ke dalam lorong yang cukup lebar,
dengan penataan indah. Pintu-pintu kamar berbaris di kiri dan
kanan lorong. Semuanya dalam keadaan tertutup.
Sampai di ujung lorong, pemilik rumah penginapan
membuka sebuah pintu. Ternyata pintu ini menghubungkan
dengan bagian belakang, tampak sebuah taman yang sangat
indah di bagian belakang rumah peginapan. Dan di taman itu,
terdapat beberapa bangunan kecil yang manis bentuknya.
Arya Sempalan terus saja mengikuti langkah kaki pemilik
rumah penginapan yang membawanya ke salah satu
bangunan di taman belakang ini.
"Silakan...! Tuan bisa beristirahat di dalam dengan nyaman.
Tidak ada yang mengganggumu di sini. Tempat ini kubuat
khusus untuk mereka yang bisa membayar sewa dengan
harga mahal. Seperti Raden...," kata pemilik penginapan yang
menyebut tuan bahkan kemudian raden kepada Arya
Sempalan. Dia membuka pintu, dan mempersilakan Arya
Sempalan masuk.
Arya Sempalan kagum melihat keadaan di dalam ruangan
yang berukuran cukup besar. Sebuah ruangan indah dengan
seperangkat meja dan kursi serta pembaringan yang indah
pula. Di dalam ruangan itu ada satu pintu lagi berada di
samping sebuah lemari kayu.
"Itu kamar untuk berbilas. Raden bisa membersihkan diri di
sana sepuas-puasnya. Tanpa dipungut bayaran lagi. Dan
Raden bisa tinggal di sini selama lima hari. Raden sudah
membayarnya dengan cukup," kata pemilik rumah penginapan
seraya menunjuk pintu dengan ibu jari.
"Terima kasih," ucap Arya Sempalan seraya tersenyum.
Dia merogoh kantung sabuk yang melilit pinggangnya.
Kemudian menyerahkan sekeping lagi uang emas. Membuat
kedua bola mata laki-laki separo baya itu agak kaget dan
heran. "Mungkin aku hanya semalam saja di sini, Paman," ujar
Arya Sempalan. "Ah, Raden bisa tinggal di sini selama mungkin yang Raden
inginkan," kata pemilik rumah penginapan dengan sikap yang
semakin dibuat ramah.
"Terima kasih."
"Oh, ya.... Kalau Raden membutuhkan seorang teman, saya
bisa mencarikannya. Gadis-gadis di sini cantik-cantik. Raden
cukup memberikan satu keping uang perak saja padanya,"
kata pemilik rumah penginapan mencoba menawarkan
pelayannya. Arya Sempalan hanya tersenyum mendapat penawaran
yang sangat menggairahkan itu. Tapi sedikit pun dia tidak
tertarik dengan tawaran pemilik penginapan. Dengan halus
sekali Arya Sempalan memintanya keluar. Dan dia cepat
mengunci pintu rapat-rapat setelah laki-laki gemuk itu keluar
dari kamar yang disewanya.
"Hhhh...!"
Sambil menghembuskan napas panjang dan melepaskan
Perisai Kulit Naga dari punggungnya, Arya Sempalan
menghempaskan tubuh di atas pembaringan. Dia membuka
lebar matanya, memandangi langit-langit kamar yang
berwarna putih bersih. Indah sekali kamar yang disewanya.
Baru pertama kali ini Arya Sempalan bisa merasakan berada di
dalam kamar yang sangat indah dan nyaman.
Ketika matanya hampir terpejam, terdengar suara ketukan
halus di pintu. Arya Sempalan langsung menatap pintu yang
tertutup rapat. Sambil mendengus panjang, dia turun dari
pembaringan. Disimpannya Perisai Kulit Naga di dalam lemari
yang ada di samping pembaringan. Kemudian Arya Sempalan
membuka pintu kamar.
"Aku diminta mengantarkan ini untukmu, Raden.... Namaku
Rara Inten."
Arya Sempalan memandangi gadis muda berwajah cantik
yang telah berdiri di depan pintu kamar. Gadis yang sangat
cantik. Bentuk tubuhnya indah menggiurkan hanya terbungkus
baju dari kain yang sangat tipis. Hingga cahaya lampu di
taman depan kamar membuat bentuk tubuhnya membayang
jelas. Gadis itu membawa sebuah baki kayu dengan seguci
arak, dua cangkir dari perak, serta sepiring makanan kecil.
Arya Sempalan menggeser tubuhnya sedikit ke samping. Gadis
bernama Rara Inten itu melangkah masuk seraya memberikan
senyuman yang manis sekali. Arya Sempalan hanya bisa
memperhatikan tanpa dapat mengucapkan kata-kata. Sementara Rara Inten langsung menata hidangan yang
dibawanya di atas meja di sudut ruangan. Tepat di bawah
jendela yang tertutup rapat.
O o o dw o o O 4 "Terima kasih," ucap Arya Sempalan, setelah gadis cantik
itu selesai dengan pekerjaannya.
Rara Inten hanya tersenyum, lalu duduk di kursi. Arya
Sempalan nampak mengerutkan kening, heran. Dia melangkah
menghampiri, dan duduk di kursi yang ada di seberang meja.
Dengan sikap yang lembut sekali si gadis menuangkan arak
dari guci ke dalam cangkir perak, di depan Arya Sempalan.
"Aku diperintahkan untuk melayanimu, Raden. Aku harus
membuatmu senang," kata Rara Inten dengan suara lembut
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Arya Sempalan seraya
menerima gelas berisi arak yang disodorkan padanya.
"Ki Sambura," sahut Rara Inten.
Arya Sempalan mengerutkan keningnya.
"Dia pemilik rumah penginapan ini," lanjut Rara Inten
menjelaskan tanpa diminta lagi.
Arya Sempalan hanya diam saja. Diteguknya sedikit
minuman yang telah disediakan kemudian meletakkan cangkir
kembali ke atas meja. Arya Sempalan mencegah, saat gadis
itu hendak menuangkan arak lagi.
"Kau sudah cukup baik melayaniku. Terima kasih, aku mau
istirahat," kata Arya Sempalan dengan halus mengusir gadis
itu. "Aku diperintahkan untuk tidak meninggalkanmu, Raden."
"Katakan pada Ki Sambura, kau sudah melayaniku dengan
baik. T erima kasih," kata Arya Sempalan tetap menghendaki si
gadis cantik keluar. Dia mengeluarkan sekeping uang perak
dan Iangsung menaruhnya di telapak tangan Rara Inten.
Dengan halus Arya Sempalan membimbingnya ke pintu. Tanpa
dapat menolak lagi, gadis cantik itu keluar dari dalam kamar.
Dan dia sempat memberikan ciuman kecil di pipi Arya
Sempalan. Setelah gadis itu jauh, Arya Sempalan baru menutup pintu.
Namun belum juga dia beranjak ke pembaringan, tiba-tiba
terdengar suara jeritan seorang wanita dari luar. Arya
Sempalan melompat dan langsung membuka pintu kamar
penginapan. Tampak di tengah taman belakang, seorang laki-laki
bertubuh tinggi besar, dengan wajah kasar tengah memaksa
gadis cantik yang tadi melayani Arya Sempalan. Entah kenapa,
seketika darah Arya Sempalan mendidih. Dan tanpa pikir
panjang lagi, dia segera melesat keluar dari kamar
penginapannya. "Lepaskan dia...!" bentak Arya Sempalan dengan suara
lantang. "Heh..."!"
Laki-laki kekar bertampang seram itu tersentak kaget,
melihat Arya Sempalan tahu-tahu sudah ada di dekatnya. Dan
belum sempat dia bisa berbuat sesuatu, Arya Sempalan sudah
melepaskan satu pukulan keras dan cepat, hingga tak dapat
dihindarkan lagi.
Diegkh! "Ugkh...!"
Lelaki bertubuh kekar terlenguh sedikit. Tubuhnya
terdorong ke belakang, hingga cekalannya pada gadis cantik
terlepas. Arya Sempalan cepat mencekal pergelangan tangan
Rara Inten dan membawa ke belakang dirinya. Sementara
lelaki bertubuh kekar dengan wajah kasar penuh berewok itu
mendengus geram melihat Arya Sempalan berdiri tegak
menantang. "Minggir kau...!" kata Arya Sempalan sambil merentangkan
tangannya. Gadis cantik yang mengenakan baju tipis berwarna biru


Pendekar Pulau Neraka Perisai Kulit Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda itu bergegas menyingkir ke belakang. Sementara lelaki
bertubuh kekar sudah melangkah menghampiri Arya Sempalan
sambil mencabut goloknya. Sementara terlihat Ki Sambura
datang menghampiri karena mendengar ribut-ribut di
belakang rumah penginapannya. Dia tampak begitu terkejut
sekali, melihat dua orang tamunya sudah saling berhadapan
hendak bertarung. Namun begitu melihat Rara Inten berada di
belakang Arya Sempalan lelaki bertubuh gemuk dan berkepala
agak botak itu tampak tersenyum. Entah apa arti
senyumannya itu.
"Ada apa Inten...?" tanya Ki Sambura setengah berbisik.
"Orang itu mau memaksaku," sahut Rara Inten.
"Lalu...?"
"Dia menolongku," sahutnya sambil menunjuk pemuda
berpakaian dari kulit ular.
Ki Sambura tersenyum mendengar jawaban gadis
penghiburnya itu. Sementara Arya Sempalan sudah siap
menghadapi serangan lelaki bertubuh kekar dengan wajah
kasar penuh berewok itu. Beberapa saat mereka saling
bertatapan. Lalu....
"Hiyaaaa...!"
Sambil membentak keras, lelaki kekar itu me lompat
menyerang Arya Sempalan dengan sabetan goloknya yang
tajam berkilat. T api sedikit pun Arya Sempalan tidak berusaha
mengelak. Dan begitu golok yang sudah dekat menyambar ke
kepalanya, cepat dia merapatkan kedua telapak tangannya.
Hingga.... Tap! "Heh..."!'
Belum hilang rasa keterkejutannya lelaki kekar itu langsung
menjerit. Satu tendangan keras yang dilepaskan Arya
Sempalan mendarat tepat di perutnya. Tubuhnya terhuyung
ke belakang dengan tubuh terbungkuk. Dan goloknya lepas
dari pegangan. "Hah..."!"
Kedua bola matanya langsung terbeliak, begitu melihat
Arya Sempalan menekuk golok itu dengan mudah sekali.
Seperti tidak menggunakan tenaga sedikit pun. Golok yang
sudah bengkok dilemparkan Arya Sempalan dengan bibir
menyunggingkan senyum tipis.
"Aku bisa meremukkan batok kepalamu, kalau aku mau!"
dengus Arya Sempalan dingin.
Melihat kedigdayaan lawannya, lelaki bertubuh kekar
dengan wajah kasar penuh berewok ini langsung kabur tanpa
bicara lagi. Arya Sempalan tersenyum. Ki Sambura datang
menghampiri dengan tergopoh-gopoh,
diikuti gadis penghiburnya, Rara Inten.
"Ah, terima kasih. Kau benar-benar seorang pemuda yang
tangguh. Terima kasih, Raden...," ucap Ki Sambura sambil
terbungkuk. "Sudahlah..., sebaiknya kalian kembali saja. Aku ingin
istirahat," kata Arya Sempalan, lalu melangkah kembali ke
kamamya. Sedikit pun dia tidak melirik pada Rara Inten yang ternyata
wanita penghibur di penginapan itu. Sementara Ki Sambura
mendorong punggung Rara Inten agar mengikuti Arya
Sempalan. Dengan wajah takut dan tubuh agak gemetaran,
gadis itu terpaksa juga mengikuti langkah Arya Sempalan.
Sedangkan Ki Sambura berjalan menuju ruang depan
penginapannya. Arya Sempalan tidak jadi melangkah masuk, merasakan
ada langkah kaki mengikuti dari belakang. Dia memutar
tubuhnya berbalik. Dan kedua kelopak matanya langsung
menyipit, me lihat Rara Inten mengikutinya. Sementara dia
tidak lagi melihat Ki Sambura.
"Kenapa kau tidak kembali ke kamarmu...?" tegur Arya
Sempalan masih dengan suara lembut.
"Aku tidak bisa pergi begitu saja, sementara kau sudah
menyelamatkanku,"
sahut Rara Inten dengan wajah
tertunduk. "Lalu, apa yang kau inginkan?" tanya Arya Sempalan.
"Sudah menjadi kebiasaan di desa ini. Orang yang sudah
diselamatkan harus mengabdi sampai mati," sahut Rara Inten
masih dengan wajah tertunduk.
"Kau tidak perlu mengabdi padaku, Nisanak..."
"Inten... Namaku Rara Inten. Kau boleh memanggilku Inten
saja," kata gadis itu menyelak, mengingatkan Arya Sempalan
pada namanya. Arya Sempalan tersenyum. Dia memutar tubuhnya kembali,
dan melangkah masuk. Sementara Rara Inten hanya berdiri di
ambang pintu. Sedangkan Arya Sempalan sudah merebahkan
dirinya di atas pembaringan. Dia menatap Rara Inten yang
masih tetap berdiri menyandar di pintu.
"Masuklah, tutup pintunya!" pinta Arya Sempalan.
O o o dw o o O Rara Inten bergegas masuk ke kamar sewaan yang indah
itu. Dia menutup pintu dan menguncinya dengan rapat.
Sementara Arya Sempalan tetap terbaring menelentang
menatap langit-langit kamar. Dan Rara Inten duduk bersimpuh
di lantai, tidak jauh dari pembaringan. Sikapnya kini tidak lagi
genit, tapi sikap seorang abdi yang berada di depan
majikannya. "Kenapa kau duduk di lantai" Itu ada kursi," kata Arya
Sempalan seraya bangkit dan duduk di tepi pembaringan.
"Biar aku di sini saja. Aku sekarang abdimu, Raden," sahut
Rara Inten. "Aku bukan bangsawan atau putra raja. Jadi jangan panggil
aku dengan sebutan raden. Terlalu tinggi sebutan itu
untukku," kata Arya Sempalan meminta.
"Lalu, aku harus memanggilmu apa...?" tanya Kara Inten
tidak tahu. "Terserah, asal jangan raden."
Rara Inten terdiam dengan wajah masih tertunduk
memandangi lantai kamar. Sedangkan Arya Sempalan sudah
bangkit berdiri, lalu melangkah nendekati meja. Dia kemudian
duduk di kursi menghadapi meja kayu. Diraihnya cangkir yang
masih berisi arak, lalu ditenggaknya sampai habis.
Rara Inten bergegas bangkit berdiri dan langsung mengisi
cangkir yang sudah kosong itu dengan arak. Arya Sempalan
hanya diam memperhatikan. Gadis cantik itu kembali duduk
bersimpuh di lantai, tepat di depan Arya Sempalan.
"Duduklah di sini!" pinta Arya Sempalan.
"Tapi..."
"Kalau kau mau mengabdi padaku, ikut saja perintahku,"
kata Arya Sempalan cepat memotong.
Rara Inten tidak bisa lagi menolak. Dia duduk di sebelah
pemuda berbaju kulit ular ini. Hanya sebuah meja bundar
berukuran tidak begitu besar saja yang menjadi pembatas.
"Nisanak..., kalau kau menjadi abdiku, itu berarti kau harus
ikut ke mana saja aku pergi. Bukan begitu...?"
"Benar, memang begitu seharusnya."
"Lalu, kalau aku tidak mau?"
"Aku harus mati di hadapanmu."
Arya Sempalan terperanjat kaget, tidak menyangka akan
mendengar jawaban seperti itu. Dan tidak mungkin dia
membiarkan gadis secantik Rara Inten mati dengan sia-sia.
Arya Sempalan merasa tidak bisa lagi berbuat lain. Dia harus
menerima kehadiran gadis
itu dalam pengembaraan,
walaupun hatinya tidak menginginkan. Akan menjadi beban
kalau sampai gadis lemah ini mengikutinya terus, ke mana
saja dia pergi.
"Kalau kau perlu sesuatu, katakan saja! Aku akan selalu
melayanimu. Apa pun permintaanmu...," kata Rara Inten
dengan suara pelan.
Arya Sempalan tidak dapat lagi berkata-kata, meskipun ada
sesuatu yang berkecamuk dalam pikirannya. Dia bangkit
berdiri dan me langkah ke pintu yang sudah terkunci rapat.
Sementara Rara Inten masih tetap duduk bersimpuh di lantai.
"Kau tidurlah di sana! Sudah ma lam...," kata Arya
Sempalan sambil menunjuk pembaringan.
"Tapi...," Rara Inten ingin menolak.
"Ini perintahku...!" agak keras suara Arya Sempalan.
Dengan perasaan bimbang Rara Inten naik ke pembaringan. Dia merebahkan diri di tepi pembaringan dekat
dinding. Sementara Arya Sempalan masih tetap berdiri
membelakangi pintu. Dia tidak tahu lagi apa yang akan
dilakukan pada gadis itu. Sedangkan untuk menolak, sudah
tidak mungkin lagi. Dia tahu kalau menolak, Rara Inten akan
bunuh diri di depannya. Dan kalau ditinggalkan begitu saja,
kehidupannya akan terhina di desa ini. Rara Inten pasti akan
pergi meninggalkan desa ini untuk mencarinya. Dan kalau
sudah bertemu, dia akan langsung membunuh dirinya sendiri.
Semua ini yang tidak dikehendaki Arya Sempalan. Namun
dirinya juga tidak mungkin membawa gadis itu ke mana saja
dia pergi mengembara. Sedangkan tujuan kepergiannya masih
begitu jauh, dan memakan waktu sangat lama.
Malam telah larut. Suasana di penginapan itu pun tampak
telah sepi. Arya Sempalan kembali duduk di kursi. Beberapa
kali dia menatap Rara Inten yang tetap terbaring menelentang
di atas pembaringan berukuran cukup besar itu. Cukup untuk
tidur mereka berdua. Namun hatinya merasa jengah jika harus
tidur bersama seorang wanita dalam satu ranjang. Dan itu
belum pemah dilakukan selama hidupnya. Arya Sempalan
lebih memilih tetap duduk di kursi, daripada harus tidur
bersama dengan Rara Inten dalam satu pembaringan.
O o o dw o o O Brak! "Hah..."!"
Tiba-tiba terdengar suara keras seperti benda keras
terjatuh. Arya Sempalan langsung membuka matanya karena
kaget. Kedua bola matanya terbeliak lebar, melihat Rara Inten
terduduk di lantai dengan sebuah perisai berwarna keperakan
berada di depannya. Tangan gadis itu memegangi sisi perisai.
Arya Sempalan cepat melompat bangkit dari kursi.
"Apa yang kau lakukan..."!" bentak Arya Sempalan terkejut.
Rara Inten tersentak kaget. Dia langsung mengangkat
wajahnya yang seketika berubah memucat. Sekujur tubuhnya
menggigil ketakutan. Sementara Arya Sempalan mendelik
melihat senjata perisainya tergeletak di lantai, dipegangi
tangan gadis itu.
"Aku.... Aku...," Rara Inten tampak menggeragap
ketakutan. Lidahnya kaku dan tenggorokannya terasa kering
melihat wajah Arya Sempalan memerah, dengan bola mata
bagai menyala. Dengan cepat pemuda itu langsung
mengambil Perisai Kulit Naga dan menyampirkannya ke
punggung. Dengan kasar dia menarik tangan Rara Inten,
hingga gadis itu terpekik kecil, langsung berdiri. Kerasnya
cekalan tangan Arya Sempalan, membuat Rara Inten meringis
menahan sakit. "Siapa yang menyuruhmu mencuri perisaiku...?" desis Arya
Sempalan dingin menggetarkan.
Rara Inten kelihatan benar-benar ketakutan. Dirinya seakan
tidak sanggup menjawab pertanyaan pemuda itu. Wajahnya
sudah putih seperti mayat. Tubuhnya bergemetaran bagai
terserang demam. Dan belum sempat dia mengeluarkan suara
apa pun, tiba-tiba saja sudah terdengar suara dari arah
belakang Arya Sempalan.
"Serahkan Perisai Kulit Naga itu, Anak Muda...!"
"Heh..."!"
Arya Sempalan cepat membalikkan tubuh ke belakang.
Entah kapan datangnya, tahu-tahu di ambang pintu sudah
berdiri Ki Sambura. Di belakang pemilik penginapan itu berdiri
empat orang lelaki bertubuh besar dan kekar, dengan wajah
kasar penuh berewok. Salah seorang dari mereka dikenali Arya
Pusaka Rimba Hijau 4 Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Si Pemanah Gadis 8
^