Pencarian

Perisai Kulit Naga 2

Pendekar Pulau Neraka Perisai Kulit Naga Bagian 2


Sempalan. Orang itulah yang tadi hendak memaksa Rara
Inten. Arya Sempalan tampak geram melihat kenyataan ini.
Arya Sempalan kini tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Rupanya kejadian tadi hanya tipu daya belaka. Ki Sambura
sengaja, memperalat Rara Inten untuk mengambil Perisai Kulit
Naga. Namun gadis itu terlalu lemah untuk mengangkat
Perisai Kulit Naga. Dia tidak kuat hingga terjatuh ke lantai
dengan suara keras. Menyadari dirinya masuk ke dalam
perangkap yang sangat halus ini, Arya Sempalan marah bukan
kepalang. "Huh!"
Sambil mendengus geram, Arya Sempalan menyentakkan
tubuh Rara Inten ke depan, hingga membuat wanita cantik
yang mengenakan baju tipis biru muda itu jatuh tersungkur ke
lantai. Mulutnya terpekik kecil. Lalu perlahan dia merangkak
mendekati pembaringan. Wajahnya masih kelihatan pucat
seperti mayat. Dan tubuhnya terus gemetaran hebat, dengan
bintik-bintik keringat mengalir di keningnya.
"Serahkan Perisai Kulit Naga itu, Anak Muda. Dan aku jamin
keselamatan nyawamu sampai ke perbatasan desa ini," ujar Ki
Sambura dingin, dengan tatapan mata tajam menusuk
langsung ke bola mata Arya Sempalan.
"Tidak semudah itu kau merebut Perisai Kulit Naga dariku,
Ki Sambura," sambut Arya Sempalan dengan suara tenang.
"Kau tidak akan bisa keluar dari rumahku ini, Anak Muda.
Serahkan saja perisai itu, kalau kau masih sayang pada
nyawamu. Rumah ini sudah terkepung orang-orangku...,"
ancam Ki Sambura masih dengan nada suara dingin
menggetarkan. "Hm...," Arya Sempalan hanya menggumam sedikit.
Dia melirik ke jendela yang tertutup rapat dengan sudut
ekor matanya. Sementara Ki Sambura sudah melangkah
masuk ke kamar, diikuti empat orang pengawalnya yang
masing-masing memegang golok terhunus. Belum sempat Ki
Sambura bisa mendekat, mendadak...,
"Hup! Y eaaah...!"
Cepat sekali Arya Sempalan mengambil Perisai Kulit Naga
dari punggungnya, dengan tangan kiri. Secepat kilat tubuhnya
melompat ke depan sambil mengebutkan perisai pusaka itu
dengan keras ke arah Ki Sambura dan empat orang anak
buahnya itu. Buk! Plak! "Ugkh...!"
"Akh...!"
Dua orang seketika terpental, terkena sambaran Perisai
Kulit Naga di tangan kiri Arya Sempalan. Pemuda itu langsung
melesat ke luar dengan kecepatan bagai kilat. Untung saja Ki
Sambura cepat melompat ke samping, hingga terhindar dari
terjangan Arya Sempalan.
Arya Sempalan dengan manis sekali menjejakkan kakinya di
tanah yang berumput lembut. Namun baru saja dia
menegakkan tubuhnya, puluhan batang anak panah sudah
melesat menghujaninya dari segala arah.
"Edan...! Hup!"
Dengan cepat Arya Sempalan melentingkan tubuhnya di
udara, sambil mengibaskan Perisai Kulit Naga guna melindungi
tubuhnya dari hunjaman anak-anak panah. Cepat sekali
gerakan yang dilakukannya hingga tak satu pun anak panah
yang sempat menghunjam ke tubuhnya.
"Hup! Y eaaaah...!"
O o o dw o o O 5 Sambil berteriak keras menggelegar, Arya Sempalan
melesat ke atas. Kemudian meluruk kencang ke atap salah
satu bangunan di belakang rumah penginapan. Tiga orang
yang berada di atas atap dengan busur di tangan, tersentak
kaget setengah mati. Belum sempat ketiganya bisa menyadari
kedatangan Arya Sempalan, tendangan keras dan beruntun
menyerang mereka.
Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Arya Sempalan,
hingga tiga orang yang ada di atas atap tidak sempat
menangkis atau menghindari. Seketika tubuh mereka
berpentalan jatuh dari atap diiringi jeritan panjang melengking
yang saling bersahutan.
Arya Sempalan berdiri tegak di atas atap bangunan kamar
sewaan khusus itu. Dia melihat Ki Sambura sudah berada di
luar bersama empat orang anak buahnya. Dia tampak terkejut
sekali melihat Arya Sempalan berada di atas atap bangunan
kamar sewaannya.
Beberapa saat Arya Sempalan memandangi mereka. Segera
disampirkannya lagi Perisai Kulit Naga ke punggung. Kemudian
dia me lesat turun ke belakang bangunan kamar sewaannya.
Begitu ringan dan cepat gerakannya. Sebentar saja dia sudah
menjejakkan kakinya di luar pagar belakang rumah
penginapan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Hup!"
Arya Sempalan tak mau membuang-buang waktu. Dengan
cepat dia melesat dengan mempergunakan ilmu peringan
tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Bagai angin
tubuhnya melesat begitu cepat. Sehingga sebentar saja
pemuda itu sudah berada di luar perbatasan desa. Dia baru
berhenti berlari setelah dirasakan cukup jauh meninggalkan
desa itu. "Phuh...! Rasanya tidak ada lagi tempat tenang untukku...,"
dengus Arya Sempalan, seraya menghembuskan napas berat.
Dengan punggung tangannya, Arya Sempalan menyeka
keringat yang membanjiri wajah dan lehernya. Sejenak dia
memandangi desa yang masih terlihat lelap dalam buaian
mimpi. Tidak ada seorang pun yang mengejar. Arya Sempalan
kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan desa itu.
Namun belum jauh dia berjalan, tiba-tiba berkelebat
beberapa sosok bayangan mendekatinya. Sebentar saja
pemuda itu sudah terkepung tidak kurang dari sepuluh orang
dengan senjata terhunus.
"Hhh! Ada apa lagi ini...?" desah Arya SempaIan.
Kesepuluh sosok berpakaian hitam semuanya menggenggam pedang yang berkilatan tajam. Jelas sekali
sikap mereka sama sekali tidak menunjukkan persahabatan.
Arya Sempalan memandangi mereka satu persatu. Sementara
sepuluh orang itu sudah bergerak berputar mengelilinginya.
"Serahkan perisai itu, Bocah! Atau kau ingin kepalamu
terpisah dari leher...!"
"Hm...."
Arya Sempalan hanya menggumam seraya menatap tajam
pada lelaki separo baya yang berada tepat di depannya. Tanpa
dijelaskan lagi, Arya Sempalan sudah tahu apa maksud
mereka mengepungnya. Tanpa menyahut tangan kirinya
segera mengambil Perisai Kulit Naga yang ada di punggung.
Sikapnya tampak tenang sekali. Seolah sedikit pun tak ada
rasa takut dalam hatinya. Dengan perisai yang kini berada di
depan dada, pemuda itu memiliki pelindung yang tidak akan
bisa ditembus siapa pun.
"Kalian ingin perisai ini..." Langkahi dulu mayatku!" dengus
Arya Sempalan dingin menggetarkan.
"Bocah sombong! Kau akan rasakan akibatnya! Seraaang...!"
Lelaki berusia separo baya yang berada tepat di depan Arya
Sempalan, berteriak lantang memberi perintah. Seketika itu
juga, salah seorang yang berada di sebelah kiri Arya Sempalan
melompat sambil membabatkan pedangnya. Tepat ke kepala
pemuda ini. Bettt! "Hih!"
Arya Sempalan sengaja tidak bergerak menghindar.
Namun, begitu pedang lawannya hampir menebas kepala,
dengan cepat sekali dia mengangkat Perisai Kulit Naga guna
memapak serangan itu. Hingga....
Trang! "Akh..."!"
Orang itu terpekik, ketika pedangnya menghantam Perisai
Kulit Naga yang melindungi kepala Arya Sempalan. Dan belum
hilang rasa terkejutnya, Arya Sempalan sudah memberikan
satu tendangan menyamping yang begitu cepat, disertai
dengan pengerahan tenaga dalam.
"Yeaaah...!"
Begkh! "Akh...!"
Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Arya Sempalan,
hingga lawannya tidak dapat menghindari. Dan tendangan
yang keras bertenaga dalam tinggi itu menghantam telak dada
lelaki berpakaian hitam. Tubuh orang itu terpental jauh ke
belakang. Kemudian dengan keras terbanting di tanah. Sesaat
tubuhnya berkelojotan. Kemudian mengejang kaku, tewas
dengan darah merembes keluar dari mulutnya.
Wuttt! "Hup!"
Arya Sempalan cepat memutar tubuhnya, ketika merasa
ada serangan dari belakang. Dengan cepat pula dikibaskan
Perisai Kulit Naga, menangkis tebasan pedang lawan yang
menyerangnya. Namun lelaki bercambang lebat itu sepertinya
sudah tahu kalau Perisai Kulit Naga tidak dapat ditembus
dengan pedang biasa. Cepat dia memutar pedangnya, dan
langsung menyabet ke pinggang.
"Haiiit...!"
Mengetahui lawannya memindah arah pedang, Arya
Sempalan meliukkan tubuhnya ke belakang. Sehingga tebasan
pedang lelaki berewok itu tak mengenai sasaran. Dan belum
sempat tubuhnya dapat berdiri tegak satu serangan lagi
datang dari sebelah kanan. Disusul dengan serangan lain
memburu dari sebelah kirinya. Tampaknya lawan tak ingin
memberi kesempatan bagi Arya Sempalan untuk menghindari
serangan yang datang dari segala arah secara bersamaan.
Dengan cepat tubuhnya berputar sambil mengebutkan Perisai
Kulit Naga. Wuttt! Trang! Tak! Sabetan-sabetan pedang yang mengarah ke tubuh Arya
Sempalan, seketika itu juga membentur Perisai Kulit Naga.
Dentingan nyaring terdengar bersahutan diiringi percikan
bunga api ke segala arah, ketika pedang-pedang itu beradu
dengan Perisai Kulit Naga. Para pergeroyok itu berlompatan ke
belakang dengan wajah memancarkan keterkejutan yang
hebat. Mereka merasakan getaran hebat di tangan ketika
berbenturan, bagai menghantam sebongkah batu cadas yang
begitu keras melebihi baja.
Sementara Arya Sempalan telah berdiri tegak dengan sikap
yang tampak tenang sekali. Tinggal sembilan orang lawan
yang masih mengepungnya. Namun tampaknya mereka
berkeras ingin menjatuhkan pemuda berpakaian dari kulit ular
yang kini memegang senjata sakti itu.
Belum sempat kesembilan lelaki berpakaian hitam itu
melakukan serangan tiba-tiba berdatangan orang-orang dari
arah desa. Puluhan orang dengan berbagai macam senjata
berlarian ke tempat pertarungan. Dan saat itu pula, terlihat
dari arah utara serombongan orang berdatangan. Lalu dari
segenap arah bermunculan orang-orang yang dilihat dari
pakaian dan sikap mereka pasti orang-orang dari kalangan
persilatan. Hingga tempat yang merupakan sebuah padang
rumput kecil itu penuh dengan orang-orang dari kalangan
persilatan, maupun mereka yang datang dari perguruan-
perguruan silat. Mereka semua mengurung Arya Sempalan.
"Gila...! Apa mereka semua menginginkan Perisai Kulit
Naga..."!" desis Arya Sempalan dalam hati.
O o o dw o o O Arya Sempalan benar-benar tidak mengerti dengan semua
ini. Sungguh dia tidak menyangka kalau begitu banyak orang
yang sudah tahu tentang Perisai Kulit Naga, bahkan
menginginkankan senjata pusaka itu. Bergetar juga hatinya
melihat begitu banyak orang yang mengepungnya. Mereka
rata-rata tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi yang sudah
punya nama di rimba persilatan.
Arya Sempalan tidak tahu, apakah dia bisa selamat..."
Namun dirinya tidak ingin menyerah begitu saja. Terlebih lagi,
dia harus mempertahankan Perisai Kulit Naga yang
dipercayakan Hyang Widi padanya. Arya Sempalan yakin,
kalau Perisai Kulit Naga memang diserahkan dewa padanya.
Tapi sungguh hatinya tidak pernah menduga akan
menghadapi persoalan rumit ini. Begitu berat tantangan yang
harus dihadapinya.
Di antara puluhan tokoh persilatan tampak Pendekar Pulau
Neraka dan Ki Denawa yang berdiri di sebelahnya. Triwarni
yang dikenal dengan nama julukan si Kupu-kupu Putih juga
terlihat ada di antara mereka semua. Tapi yang jelas,
kehadiran Pendekar Pulau Neraka bukan karena menginginkankan Perisai Kulit Naga. Entah, mungkin juga apa
yang diramalkan Ki Denawa memang benar. Selain itu juga
terlihat Ki Sambura bersama sekitar lima belas orang anak
buahnya. Sementara itu Arya Sempalan sudah harus menghadapi dua
orang lelaki berwajah kembar mengenakan baju warna merah
menyala. Mereka menggunakan senjata berupa sepasang
tombak pendek bermata pada setiap ujungnya. Semua orang
tahu kalau dua orang lelaki kembar itu berjuluk Setan Kembar
dari Utara. Dan semua tahu kalau sepak terjang mereka selalu


Pendekar Pulau Neraka Perisai Kulit Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merugikan orang lain.
Dengan geram dan sengit keduanya menyerang Arya
Sempalan. Tapi pemuda yang mengenakan baju dari kulit ular
dengan tenang sekali menghadapi mereka. Tidak satu pun
serangan-serangan yang dilancarkan si Setan Kembar dari
Utara berhasil bersarang di tubuhnya. Sementara pertarungan
mereka sudah berjalan lima jurus. Namun saat memasuki
jurus keenam, Perisai Kulit Naga yang berada di tangan kiri
Arya Sempalan menghantam kepala kedua lawan kembarnya.
Begitu keras hantamannya, hingga menimbulkan suara
ledakan keras dan memekakkan telinga. Tampak Setan
Kembar dari Utara terhuyung-huyung dengan kepala pecah.
Tubuh keduanya ambruk dengan darah mengucur dari kepala
mereka yang pecah.
Belum sempat Arya Sempalan menarik napas lega, tiba-tiba
sesosok bayangan hitam melesat ke arah Arya Sempalan.
Sosok bayangan itu ternyata seorang perempuan tua berjubah
hitam dan sudah lusuh. Sebatang tongkat berbentuk ular yang
juga berwama hitam, tergenggam di tangan kanannya. Tanpa
banyak bicara, perempuan tua yang berjuluk Iblis Ular Betina
itu langsung menyerang Arya Sempalan dengan jurus-jurus
cepat dan dahsyat luar biasa.
"Dia tidak akan sanggup menghadapi mereka semua...,"
gumam Bayu perlahan, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Gumaman Pendekar Pulau Neraka yang sangat pelan,
menarik perhatian K i Denawa. Dia berpaling menatap pemuda
berbaju kulit harimau yang selalu membawa seekor monyet
kecil berbulu hitam di pundak kanannya. Pandangan lelaki tua
berjubah putih itu membuat Bayu melirik sedikit padanya.
Namun kemudian dia cepat kembali memperhatikan
pertarungan Arya Sempalan dengan si Iblis Ular Betina.
"Hanya pertolongan dewa yang bisa menyelamatkannya,"
ujar Ki Denawa dengan suara pelan.
"Rasanya dewa juga tidak akan bisa menolongnya dari
keroyokan yang begitu banyak, Ki," selak Triwarni.
Sementara itu Arya Sempalan sudah menguasai jalannya
pertarungan. Dua kali pukulan menggeledek mendarat di
tubuh si Iblis Ular Betina. Kemudian disusul keprukan Perisai
Kulit Naga di kepala, membuat perempuan tua itu menjerit
melengking. Sebelum tubuhnya ambruk, Arya Sempalan sudah
memberikan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi.
Seketika tubuh perempuan tua itu terpental jauh ke belakang
dan jatuh dengan keras sekali menghantam tanah. Seketika
itu juga nyawanya melayang. Darah berhamburan dari
kepalanya yang pecah terhantam Perisai Kulit Naga tadi.
"Ayo...! Siapa lagi yang mau merebut Perisai Kulit Naga
dariku! Langkahi dulu mayatku...!" lantang sekali suara Arya
Sempalan menantang.
Pemuda itu tampaknya sudah tak tahan menanggung
kekesalan hatinya, melihat begitu banyak orang yang
menghendaki Perisai Kulit Naga. Baru saja suara tantangan
tadi lenyap dari pendengaran, sudah melesat empat orang
laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan otot-otot bersembulan
ke luar. Mereka adalah tukang-tukang pukul Ki Sambura.
Tanpa bicara lagi, keempatnya langsung menyerang Arya
Sempalan dengan golok yang berukuran sangat besar.
Namun tukang-tukang pukul rumah penginapan itu tampak
bukanlah tandingan berat bagi Arya Sempalan. Sehingga
dalam beberapa gebrakan saja keempat lelaki bertubuh kekar
itu berjatuhan dan tewas seketika. Kematian empat tukang
pukulnya, membuat berang Ki Sambura. Namun melihat
ketangguhan pemuda itu, hatinya gentar juga. Dia hanya bisa
menahan kegeramannya di dalam hati. Sedikit pun kakinya tak
bergerak maju melawan Arya Sempalan.
"Ayo, serang saja dia! Jangan diberi ampun...!"
Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar memberi
perintah. Mendengar suara seruan menggelegar itu, Bayu
tersentak kaget. Apalagi ketika dilihatnya mereka yang
mengepung pemuda berbaju kulit ular sudah mulai bergerak
maju hendak mengeroyok.
"Dia bisa mati kalau dikeroyok. Huh! Pengecut...!" dengus
Bayu tidak tahan lagi melihat keadaan pemuda yang
memegang perisai sakti itu benar-benar terjepit.
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka
langsung me lompat, melewati beberapa kepala yang ada di
depannya. Melihat lesatan Bayu yang begitu cepat, Ki Denawa
dan Triwarni tersentak kaget. Namun sebelum mereka bisa
menghilangkan keterkejutannya, Pendekar Pulau Neraka
sudah berada di sebelah kanan Arya Sempalan.
"Tahan...!" bentak Bayu dengan suaranya yang keras
menggelegar, disertai pengerahkan tenaga dalam yang
sempuma. Bentakan Pendekar Pulau Neraka menghentikan gerakan
orang-orang yang hendak mengeroyok Arya Sempalan.
Mereka terkejut sekali me lihat munculnya pemuda berbaju
kulit harimau yang sudah mereka kenali. Orang-orang yang
berkecimpung di dalam rimba persilatan, sudah barang tentu
sudah mendengar nama Pendekar Pulau Neraka. Bahkan
mereka yang sudah pernah bertemu dengannya, langsung
tergetar hatinya melihat kemunculan pendekar muda digdaya
yang sukar sekali dicari tandingannya itu.
O o o dw o o O "Aku paling benci melihat tikus-tikus pengecut berebut
makanan basi! Kalau kalian tidak berani menghadapi sendiri,
cepat angkat kaki dari s ini!"
Lantang sekali kata-kata Pendekar Pulau Neraka, karena
disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Hingga
semua orang yang ada di tempat itu mendengar dengan jelas.
Mereka yang sudah tahu siapa Pendekar Pulau Neraka, segera
menarik diri ke belakang. Namun tidak sedikit juga yang masih
tetap tidak bergerak mundur. Mereka adalah yang merasa
memiliki kepandaian tinggi dan bisa menandingi kepandaian
Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Bayu berpaling sedikit menatap Arya Sempalan.
Pada saat itu Ki Denawa melompat menghampiri. Lelaki tua
berjubah putih itu langsung menjejakkan kakinya tiga langkah
lagi di depan Bayu dan Arya Sempalan. Jejak Ki Denawa diikuti
oleh si Kupu-kupu Putih. Mereka langsung mengambil tempat
mengapit kedua anak muda digdaya itu.
Kemunculan dua tokoh persilatan tingkat tinggi yang berdiri
di pihak Arya Sempalan, semakin membuat mereka terkejut.
Mereka yang berkepandaian rendah semakin tak berani
menunjukkan muka. Dan langsung memutuskan untuk
menjadi penonton, daripada harus mati konyol seperti yang
lain. Untuk menghadapi Arya Sempalan saja sudah begitu sulit.
Apalagi sekarang ini dia mendapat dukungan dari Pendekar
Pulau Neraka, Ki Denawa yang dikenal dengan nama julukan
Malaikat Bayangan itu, serta si Kupu-kupu Putih. Jelas
kekuatan Arya Sempalan kini semakin sulit untuk dapat
dikalahkan. Mereka yang masih sayang dengan nyawa,
langsung menyingkir menjauhi tempat pertarungan. Untuk
beberapa saat lamanya, keadaan di tempat itu jadi sunyi
senyap. Tidak seorang pun yang mengeluarkan suara. Seperti
berada di tengah-tengah padang pasir yang luas. Hanya angin
malam yang terdengar mengusik telinga.
"Siapa kalian" Kenapa berpihak padaku...?" tanya Arya
Sempalan sambil melirik pada Pendekar Pulau Neraka.
"Kami hanya orang-orang yang tidak suka akan keributan
seperti ini. Kau berhak memiliki Perisai Kulit Naga. Tidak ada
seorang pun yang berhak merebutnya darimu. Pertahankan
perisai itu! Aku dan teman-temanku ini akan membantumu
menghadapi mereka," Ki Denawa yang menyahuti.
"Terima kasih," ucap Arya Sempalan seraya tersenyum.
Ada kelegaan di dalam hati Arya Sempalan melihat masih
ada orang yang tidak tergiur dengan Perisai Kulit Naga.
Bahkan kini berpihak padanya untuk menghadapi tokoh-tokoh
persilatan yang menghendaki perisai itu. Walaupun tidak kenal
siapa ketiga orang ini, Arya Sempalan sudah bisa merasakan
adanya ketulusan pada sinar mata mereka.
"Ki Denawa, usahakan dia bisa lolos dari tempat ini! Aku
dan Triwarni akan menghadang mereka," kata Bayu.
"Aku percaya padamu, Bayu," sahut Ki Denawa seraya
tersenyum kecil.
"Ayo, Triwarni! Kita hadapi mereka," ajak Bayu sambil
mencolek sedikit lengan si Kupu-kupu Putih.
"Dengan senang hati, Kakang Bayu," sambut Triwarni
diiringi senyuman manis.
Bayu hanya meringis mendapat gurauan seperti itu. Dan
saat itu Ki Denawa membisikkan sesuatu pada Arya Sempalan.
Pemuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara
tokoh-tokoh persilatan yang masih menginginkan Perisai Kulit
Naga, sudah kembali bergerak maju. Mereka ternyata tokoh-
tokoh persilatan golongan hitam. Sedangkan tokoh persilatan
golongan putih, sudah tidak ada lagi yang menginginkan
Perisai Kulit Naga, setelah tahu si Malaikat Bayangan,
Pendekar Pulau Neraka, dan si Kupu-kupu Putih berpihak pada
Arya Sempalan. Jelas kalau ketiga tokoh itu tidak dapat
dihadapi. Walaupun mereka menyerang secara gabungan.
Ketiga tokoh itu tak dapat diragukan memiliki kepandaian
ilmu silat yang sukar sekali dicari tandingannya. Namun tidak
demikian dengan para tokoh persilatan dari golongan hitam.
Tidak peduli siapa yang berpihak pada Arya Sempalan. Mereka
terus bergerak maju semakin rapat mengepung.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Begitu terdengar suara teriakan memberi perintah, seketika
mereka berhamburan sambil berteriak-teriak melakukan
serangan. Mereka meluruk cepat bagai air sungai yang
menjebol tanggul. Triwarni langsung mencabut pedangnya.
Sedangkan Pendekar Pulau Neraka sudah menggenggam
Cakra Maut di tangan kanannya.
"Hadapi mereka, Triwarni! Y eaaah...!"
Wuttt! Sambil membentak keras menggelegar, Bayu langsung
melompat menghadang orang-orang itu. Dengan cepat dan
keras dia mengibaskan tangan kanannya, menyabetkan Cakra
Maut pada salah seorang yang berada dekat dengannya.
Namun sabetan senjata itu berhasil dihindari. Sementara
Triwarni sudah menghadapi tidak kurang dari lima orang
lawan yang menyerangnya dengan gencar.
"Hiyaaat...!"
Arya Sempalan sendiri tidak bisa tinggal diam begitu saja.
Dia langsung me lompat menghajar lawan-lawannya. Ki
Denawa sendiri sudah berkelebatan begitu cepat, menghadapi
beberapa orang yang menyerangnya. Begitu cepat gerakan-
gerakan yang dilakukan si Malaikat Bayangan itu, hingga yang
terlihat hanya kelebatan bayangan putih dari jubah yang
dikenakannya. Pertempuran terbuka tidak dapat dihindarkan lagi. Puluhan
orang mengeroyok empat orang yang berkepandaian tinggi.
Pertempuran itu baru berlangsung beberapa saat. Namun
suara pekik kemarahan dan jeritan kesakitan sudah terdengar
bersahutan ditingkahi dentangan beradunya senjata. Kesunyian malam yang dingin seketika terpecah oleh riuh dan
hiruk-pikuk mereka. Beberapa tubuh ambruk dan bergelimpangan berlumuran darah.
Tampak Bayu sendiri sudah merobohkan lima orang
lawannya. Sementara pedang di tangan Triwarni juga sudah
bernoda darah. Tubuh-tubuh tidak bernyawa bergelimpangan
terinjak-injak mereka yang masih terus bertarung dengan
sengit. "Ki Denawa, cepat bawa dia pergi sekarang juga...!" teriak
Bayu sambil menundukkan tubuhnya, menghindari sambaran
sebuah tombak yang menyabet kepalanya.
Wuttt! "Hih! Y eaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan kanannya
sambil me lepaskan Cakra Maut yang berada dalam
genggaman. Senjata maut persegi enam itu melesat begitu
cepat, hingga orang yang baru menyerang dengan tombaknya
tidak sempat bergerak untuk menghindari. Dan...
Crab! "Aaaa...!"
Hup! Pendekar Pulau Neraka langsung me lesat melompat sambil
mengangkat tangan kanannya ke atas. Cakra Maut kembali
menempel di pergelangan tangan kanannya. Kemudian
dengan cepat dia melesat mendekati Ki Denawa yang tengah
menghadapi lebih dari sepuluh orang lawan berkepandaian
tinggi. "Yeaaah...!"
Bettt! Diegkh! "Akh...!"
Lelaki berbaju hitam langsung terjerembab, terkena
tendangan keras yang dilepaskan Bayu. Pemuda berpakaian
kulit harimau itu langsung menjejakkan kakinya di samping Ki
Denawa. Rupanya teriakannya tadi tidak terdengar sama
sekali oleh orang tua ini.
"Bawa dia pergi sekarang, Ki! Cepat...!" sentak Bayu agak
keras suaranya.
"Baik... Hati-hatilah...!" sahut Ki Denawa. "Hup! Hiyaaa...!"
Ki Denawa langsung melompat menghampiri Arya
Sempalan yang baru saja menghantamkan Perisai Kulit Naga
ke kepala lawannya. Pemuda itu rupanya melihat juga
kelebatan tubuh si Ma laikat Bayangan yang menuju ke
arahnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia langsung
melesat ke atas dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh
yang sudah tinggi tingkatannya. T epat pada saat itu juga, Ki


Pendekar Pulau Neraka Perisai Kulit Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Denawa menyambar tubuhnya. Pemuda itu dibawanya
melesat dengan kecepatan bagai kilat, tanpa menyentuh kaki
sedikit pun ke tanah.
"Triwarni, cepat ke sini...!" teriak Bayu, begitu melihat Ki Denawa sudah bisa
membawa pergi Arya Sempalan.
Mendengar panggilan Pendekar Pulau Neraka, si Kupu-kupu
Putih cepat melompat menghampiri. Dan saat itu juga mereka
sama-sama melesat dengan cepat sekali sambil berpegangan
tangan. "Hup!"
"Hiyaaa...!"
"Kejaaar...! Jangan biarkan mereka lolos...!"
"Kejaaar...!"
O o o dw o o O 6 Puluhan tokoh golongan hitam langsung me lesat mengejar
Pendekar Pulau Neraka dan si Kupu-kupu Putih. Namun sulit
untuk dapat mengimbangi ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Ki Denawa maupun Pendekar Pulau Neraka. Keduanya
telah mampu mengerahkan ilmu peringan yang telah
sempuma tingkatannya. Hingga jejak mereka tidak mungkin
bisa terkejar lagi. Apalagi saat itu suasana gelap karena bulan
tampak terselimut awan di langit.
Sementara si Malaikat Bayangan yang membawa Arya
Sempalan sudah sampai di tepi sebuah telaga kecil di tengah-
tengah hutan. T idak lama mereka menunggu, Pendekar Pulau
Neraka dan si Kupu-kupu Putih muncul dari balik kabut yang
sangat tebal di dalam hutan. Mereka langsung mengedarkan
pandangan berkeliling, mengamati keadaan sekitarnya yang
sunyi dan sepi. Suasana gelap dan berkabut di hutan itu
membuat pandangan mata mereka tidak bisa menembus jarak
yang jauh. "Aku rasa mereka tidak bisa mengejar, Ki," ujar Triwarni
dengan suara pelan seperti berbisik.
"Hm, tapi kita jangan lengah. Mereka tentu tidak akan
menyerah begitu saja, sebelum memperoleh Perisai Kulit
Naga," kata Ki Denawa dengan nada suara terdengar agak
menggumam. "Benar, Ki. Kita harus tetap waspada sampai semua
persoalan ini selesa i," sambung Bayu.
Sementara Arya Sempalan hanya diam saja memandangi
ketiga orang penolongnya. Entah apa yang ada di dalam
pikiran pemuda itu. Tapi yang jelas, dia masih belum bisa
mengerti dengan semua yang telah terjadi padanya. Sejak dia
memiliki Perisai Kulit Naga, selalu saja datang bahaya yang
mengancam. "Tempat ini cukup aman untuk melewatkan ma lam," kata
Bayu lagi. "Kau yakin...?" tanya Triwarni menegaskan.
"Aku tahu betul seluk-beluk hutan ini. Aku yakin, mereka
tak akan sampai mengejar ke sini. Kalaupun mereka ke sini,
sudah tentu menunggu pagi," sahut Bayu meyakinkan.
"Aku percaya padamu, Bayu," kata Ki Denawa.
"Tapi sebaiknya jangan membuat api," kata Bayu lagi.
"Aku bisa mengerti," sahut Ki Denawa lagi seraya
tersenyum mengerti.
"Tapi udara di s ini dingin sekali, Bayu," selak Triwarni.
"Tidak terlalu lama. Aku yakin sebentar lagi pagi akan
datang. Dan tempat ini akan kembali hangat. Tapi kita harus
segera pergi sebelum matahari terbit. Nah, kita istirahat dulu
di s ini," kata Bayu lagi.
"Hm..., bagaimana denganmu...?"
Bayu menatap pada Arya Sempalan.
"Aku menurut saja apa yang menjadi keputusan kalian
bersama. Aku berhutang budi pada kalian," sahut Arya
Sempalan. "Oh, ya.... Namaku Arya Sempalan."
"Bayu."
'Triwarni."
"Ki Denawa..."
Mereka saling berjabatan tangan, sambil memperkenalkan
nama masing-masing. Kemudian duduk me lingkar di tepi
telaga. Sementara malam terus merambat menjelang pagi.
Udara di sekitar telaga kecil itu semakin bertambah dingin.
Suasana begitu lengang, hanya desau angin lembut yang
terdengar. O o o dw o o O Pagi-pagi sekali, sebelum matahari memancarkan cahayanya, mereka sudah berangkat meninggalkan telaga
kecil di tengah hutan itu. Keempatnya berjalan cepat menuju
ke arah timur, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Hingga dalam waktu sebentar saja mereka sudah jauh,
menembus ke dalam hutan lebat
Mereka terus berjalan tanpa beristirahat. Ketika matahari
berada tepat di atas kepala, mereka sampai di kaki sebuah
gunung yang tinggi. Mereka berhenti memandangi puncak
gunung yang tertutup kabut itu.
"Untuk apa kita ke sana, Ki Denawa?" tanya Arya Sempalan
tanpa mengalihkan pandangannya dari puncak gunung yang
berdiri angkuh di depannya.
"Di sana Eyang Brajasakti tinggal. Kau harus menempa diri
bersamanya, agar lebih sempurna lagi menggunakan Perisai
Kulit Naga. Biasanya, mereka yang mendapatkan sesuatu dari
Dewata, akan menempa diri bersama Eyang Brajasakti, agar
lebih sempurna dalam menggunakannya," ujar Ki Denawa
menjelaskan. Arya Sempalan memandangi Perisai Kulit Naga yang masih
melekat di tangan kirinya. Kemudian memandangi wajah Ki
Denawa, lalu Bayu dan terakhir memandangi T riwarni. Mereka
semua menganggukkan kepala pertanda menyetujui saran
yang diberikan K i Denawa.
"Maaf, kalian tidak ingin menjebakku, bukan...?" tukas Arya
Sempalan seperti curiga.
"Ha ha ha...!"
Ki Denawa tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan
bernada curiga pemuda itu. Bayu dari Triwarni hanya
tersenyum. Mereka tidak bisa menyalahkan Arya Sempalan
kalau punya rasa curiga di hatinya. Memiliki sesuatu yang
dibuat para dewa memang tidak bisa hidup tenang di mana
pun. Namun, manusia yang dipercaya Dewata untuk
menggunakan senjata buatannya, selalu mendapat perlindungan dalam menegakkan kebenaran di muka bumi ini.
"Kau tidak perlu curiga pada kami, Arya Sempalan. Kami
semua masing-masing sudah memiliki senjata yang tidak kalah
ampuhnya dari Perisai Kulit Naga. Untuk apa menginginkan
benda pusaka milik orang lain..." Sedangkan kita sendiri sudah
memilikinya," kata Bayu tanpa bermaksud membuat Arya
Sempalan merasa tersinggung.
"Maaf...," hanya itu yang bisa diucapkan Arya Sempalan.
"Ah, sudahlah.... Ayo kita teruskan!" selak Bayu menengahi.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung
yang selalu berselimut kabut itu. Sepanjang berjalanan tidak
ada satu rintangan pun yang mereka hadapi. Ketika matahari
hampir tenggelam di peraduannya, mereka sampai di puncak
gunung yang berkabut dan berhawa dingin.
Sungguh menakjubkan pemandangan di atas puncak
gunung. Triwarni sampai berdecak kagum tiada hentinya,
memandangi panorama yang sangat indah, bagai berada di
taman swargaloka. Namun kekaguman Triwarni terganggu
dengan berhentinya langkah Pendekar Pulau Neraka, yang
sejak tadi berjalan di depan bersama Ki Denawa.
"Ada apa, Bayu?" tanya Triwarni.
"Diam saja di situ dulu," kata Bayu tanpa berpaling.
Pendekar Pulau Neraka menurunkan monyet kecil yang
selalu berada di pundak kanannya. Kemudian perlahan
kakinya terayun melangkah. Ki Denawa sendiri berhenti
melangkah. Triwarni dan Arya Sempalan menghampiri orang
tua itu. "Mau apa dia, Ki?" tanya Triwarni.
"Lihat saja, Triwarni. Dia memiliki pendengaran dan
penciuman yang tajam seperti binatang...."
Belum juga habis ucapan Ki Denawa, tiba-tiba Pendekar
Pulau Neraka melentingkan tubuhnya dan bersalto ke
belakang. Bersamaan dengan itu terlihat sebuah jebakan dari
bambu, dengan tongkat-tongkat runcing terangkat dari dalam
tanah. Namun dengan manis Pendekar Pulau Neraka
menjejakkan kaki di tanah. Dia menarik napas panjang,
memandangi jebakan yang bisa memanggang tubuhnya itu.
"Apa kataku, T riwarni. Tidak percuma membawa Pendekar
Pulau Neraka ke sini," kata Ki Denawa.
Pendekar Pulau Neraka langsung memberi isyarat pada
mereka agar terus berjalan. Dan dia sendiri sudah
mengayunkan kakinya melangkah. Tiren sudah naik lagi di
pundak kanannya. Ketiga orang itu pun kembali berjalan
dengan biasa, mengikuti Bayu yang berada di depan.
Namun baru saja mereka berjalan beberapa batang tombak
jauhnya, Bayu kembali memberi isyarat dengan menggerakkan
tangan. Dan mereka yang berada di belakang langsung
berhenti. Sementara Bayu terus berjalan dengan ayunan kaki
perlahan dan hati-hati. Dia mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah sempurna. Sehingga, rerumputan yang
berada di bawah telapak kakinya tidak bergoyang sedikit pun.
Bahkan tidak terlihat ada bekas jejak langkah kakinya.
Baru saja Pendekar Pulau Neraka berjalan beberapa
langkah, mendadak saja....
Wusss...! "Hup! Y eaaaah...!"
Dengan cepat Bayu melompat sambil mengibaskan tangan
kirinya, ketika tiba-tiba dari dalam tanah melesat dua batang
tombak ke arahnya. Satu tombak berhasil dihindari dan lewat
di bawah kakinya. Sedangkan yang satu lagi berhasil ditangkis
hingga terpental ke tanah berumput.
Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara. Kemudian
dengan manis sekali dia menjejakkan kaki kembali ke tanah.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka terdiam sambil memasang
telinganya dengan tajam. Dia menurunkan Tiren dari
pundaknya lalu menepuk-nepuk lembut kepala monyet kecil
itu. "Ki, tolong bawa T iren!" pinta Bayu tanpa berpaling.
Ki Denawa langsung merendahkan tubuhnya, dengan
tangan kiri terulur ke bawah. Tiren berlari-lari kecil sambil
mencerecet pelan menghampiri orang tua itu. Lincah sekali dia
melompat naik ke pundak kiri Ki Denawa me lalui tangannya
yang menjulur ke bawah. Sementara Bayu sudah melangkah
dengan ayunan kaki yang perlahan sekali. Di belakangnya
mengikuti K i Denawa, Triwarni, dan Arya Sempalan.
O o o dw o o O Ternyata banyak rintangan yang harus dihadapi Bayu di
puncak gunung ini. Namun semua rintangan dan jebakan itu
dapat dilalui dengan mudah. Dengan cekatan Pendekar Pulau
Neraka mampu menghadapi segala rintangan dan jebakan,
membuat mereka yang mengikuti berdecak kagum. Seakan
pemuda berbaju kulit harimau itu sudah mengetahui semua
letak jebakan. Hanya Ki Denawa yang kelihatan biasa melihat
kegesitan Bayu dalam menghadapi semua jebakan. Dia
memang sudah tahu siapa sebenarnya Pendekar Pulau
Neraka. Akhirnya mereka sampai di sebuah lembah di puncak
gunung. Lembah yang cukup luas dan berselimut kabut tebal.
Mereka berhenti di tepi lembah itu. Keempatnya memandangi
hamparan rumput yang bagai permadani terhampar menutupi
seluruh permukaan lembah. Bunga-bunga tampak bermekaran, menambah indahnya pemandangan di lembah
itu. Beberapa saat mereka terdiam dengan hati diliputi rasa
kagum menyaksikan keindahan lembah yang bagai taman
swargaloka. "Di mana rumahnya, Ki?" tanya Bayu tanpa berpaling
sedikit pun dari lembah itu.
Ki Denawa tidak langsung menjawab pertanyaan Pendekar
Pulau Neraka. Dia terus mengerahkan pandangan ke depan,
merayapi hamparan rerumputan dengan bunga-bunga
bermekaran di bawah sana. Namun sejauh mata memandang
tak terlihat ada sebuah rumah pun berdiri di lembah itu.
Bahkan tak tampak adanya tanda-tanda kehidupan manusia.
Bayu sendiri tidak merasakan adanya napas kehidupan di
dalam lembah itu.
"Ayo kita turun!" ajak Ki Denawa sete lah beberapa saat
terdiam. Laki-laki tua berjubah putih itu langsung saja melangkah
menuruni lereng menuju lembah. Bayu, Triwarni, dan Arya
Sempalan mengikuti di belakang. Kali ini bukan Bayu yang
berjalan di depan, melainkan Ki Denawa sebagai pemandu
jalan yang sudah mengetahui keadaan di situ.
Namun belum jauh mereka memasuki lembah, mendadak..., "Hiyaaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Awas, Ki...!" teriak Bayu.
"Hup!"
Teriakan-teriakan keras terdengar memecah kesunyian
senja, disusul munculnya beberapa sosok tubuh dari balik
rerumputan. Ki Denawa melompat berputar ke belakang ketika
sosok-sosok tubuh itu langsung menyerangnya.
"Hiyaaaa...!"


Pendekar Pulau Neraka Perisai Kulit Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Pulau Neraka melesat ke depan sambil
melepaskan Cakra Mautnya ke arah salah seorang yang
menyerang Ki Denawa. Cepat sekali senjata maut itu melesat,
hingga lelaki baju hitam dan bersenjata tombak panjang itu
tidak sempat bergerak mengelak dan memapakinya.
Crab! "Aaaakh...!"
Jeritan panjang me lengking pun seketika terdengar
menyayat, memecah kesunyian. Sementara itu Bayu sudah
melepaskan satu pukulan dahsyat dan bertenaga dalam tinggi
ke kepala salah seorang gerombolan penyerang Ki Denawa.
Prakk! "Aaaa...!"
Tak dapat dihindari, pukulan cepat Pendekar Pulau Neraka
mendarat. Setika terdengar suara jeritan panjang dan
menyayat. Tubuh seorang lelaki berpakaian merah menyala
dan bersenjata sebuah kapak berputar lalu terhuyung-huyung.
Tangannya memegangi kepala yang pecah terkena pukulan
menggeledek dari Pendekar Pulau Neraka tadi.
Sementara Ki Denawa sendiri sudah merobohkan satu
orang lawan dengan tusukan ujung tongkatnya yang runcing.
Namun jumlah para pengeroyok tampak semakin bertambah.
Mereka bermunculan dari rerumputan, seakan-akan berasal
dari dalam tanah. Semua langsung melancarkan serangan
terhadap Ki Denawa dan Pendekar Pulau Neraka.
"Ayo kita bantu mereka!" ajak Triwarni. "Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Melihat orang-orang itu terus bermunculan, Triwarni dan
Arya Sempalan tidak bisa tinggal diam. Keduanya langsung
berlompatan, terjun ke dalam kancah pertarungan.
Empat orang berkepandaian tinggi itu tampaknya tak
kesulitan sedikit pun dalam menghadapi para pengeroyok.
Gerakan-gerakan tubuh mereka yang cepat sulit diikuti
pandangan mata biasa. Bahkan serangan yang mereka
lakukan sama sekali tak terbendung. Jeritan kematian pun
semakin sering terdengar menyayat, memecah kesunyian
lembah di puncak gunung itu.
Tubuh-tubuh berlumuran darah terus berjatuhan. Sebentar
saja rerumputan di lembah itu sudah berubah merah tersiram
darah. Namun gerombolan penyerang tampaknya tidak
merasa gentar sedikit pun. Walau sudah tak terhitung kawan
mereka yang ambruk bersimbah darah.
"Munduuur...!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan menggelegar keras.
Gerombolan itu seketika berlompatan mundur. Pertarungan
pun terhenti. Ki Denawa, Triwarni, dan Arya Sempalan
langsung berlompatan mendekati Pendekar Pulau Neraka.
Mereka berdiri saling beradu punggung memandangi lawan-
lawannya yang tetap mengepung dengan rapat, di antara
mayat-mayat yang bersimbah darah.
Dan di saat keheningan menyelimuti sekitar lembah itu,
tampak sesosok bayangan merah berkelebat begitu cepat
melewati kepala gerombolan itu. Dan tahu-tahu di depan
Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang laki-laki tua
berjubah merah. Seluruh rambutnya berwarna merah menyala
bagai api. Sebatang tongkat yang juga berwama merah
tergenggam di tangan kanannya.
O o o dw o o O 7 "Siapa kalian" Mau apa datang ke lembahku ini?" tanya
orang tua berjubah merah dengan suaranya yang besar dan
menggelegar bagai guntur memecah angkasa.
Ki Denawa melangkah ke depan Bayu, menghadapi orang
tua yang seluruh rambutnya berwarna merah seperti api itu.
Dia menjura memberi hormat, dengan merapatkan kedua
telapak tangannya ke depan dada. Orang tua serba merah itu
membalas salam penghormatan Ki Denawa dengan membungkukkan tubuhnya sedikit. Sementara Bayu, Arya
Sempalan, dan T riwarni berada di belakang Ki Denawa. Masih
terasa sunyi, belum ada seorang pun yang membuka
suaranya. "Aku Ki Denawa. Aku datang mengantar Arya Sempalan ini
untuk menempa diri bersamamu di sini," kata Ki Denawa
setelah memperkenalkan dirinya.
"Hm...," laki-laki tua berambut merah menggumam kecil.
Tatapan matanya yang tajam menembus langsung ke bola
mata Ki Denawa.
Beberapa saat dia terdiam memandangi Ki Denawa. Seakan
dia hendak mencari kebenaran pada kata-kata Ki Denawa dari
sinar matanya yang seperti langsung menembus sampai ke
lubuk hatinya. "Siapa yang kau maksud?" tanya laki-laki tua berjubah
merah dengan suaranya yang dalam dan berat.
"Arya Sempalan," sahut Ki Denawa sambil menunjuk Arya
Sempalan yang berada di sebelah kanannya.
Arya Sempalan langsung maju beberapa langkah.
"Dia memiliki perisai sakti dari dewa. Baru beberapa hari
dia memilikinya. Tapi sudah banyak orang yang tahu dan
menginginkannya," kata Ki Denawa lagi menjelaskan.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja laki-laki tua berambut merah yang dikenal
dengan nama Eyang Brajasakti itu tertawa terbahak-bahak.
Dan begitu suara tawanya menghilang dari pendengaran, dia
mengebutkan kedua tangannya merentang ke samping.
Seketika orang-orang yang berada di sekelilingnya lenyap.
Mereka langsung berubah menjadi pohon-pohon kecil yang
tumbuh di sekitar lembah. Bahkan mayat-mayat yang tadi
bergelimpangan juga berubah menjadi pohon-pohon yang
mati. Sedangkan darah yang berceceran berubah menjadi
bunga-bunga yang berguguran, berserakan di atas hamparan
rumput. Semua perubahan itu membuat Bayu, Arya Sempalan, dan
Triwarni terlongong bengong. Hanya Ki Denawa yang
kelihatan tenang. Seakan sudah tahu kesaktian yang dimiliki
Eyang Brajasakti.
"Aku bisa menjadikan apa saja di sini sesuka hatiku. Kalau
aku mau, bisa saja aku membuat satu pohon yang tidak bisa
kalian kalahkan. Bahkan kalian akan mati di sini oleh makhluk
ciptaanku," kata Eyang Brajasakti menjelaskan.
"Hebat...," desis Bayu mengagumi dengan hati yang jujur.
"Hm...."
Eyang Brajasakti menggumam kecil memandangi Pendekar
Pulau Neraka dengan sinar mata yang tajam. Mendapat
tatapan mata yang begitu menusuk, entah kenapa Bayu
memalingkan wajahnya ke arah lain. Seakan dia tidak sanggup
menentang tatapan mata yang sangat tajam menusuk itu.
"Kau yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...?" tanya Eyang
Brajasakti dengan suara datar.
"Oh..., benar," sahut Bayu terkejut
"Kau juga akan menempa diri di sini?" tanya Eyang
Brajasakti lagi.
Bayu tidak bisa langsung menjawab pertanyaan itu. Dia
malah menatap pada Ki Denawa. Namun lelaki tua berjubah
putih itu seakan tidak mau melihat tatapan Pendekar Pulau
Neraka. Sepertinya dia menyerahkan semua keputusan pada
pemuda itu. "Tidak, Eyang." sahut Bayu dengan sikap yang sopan.
"Hm, kenapa..." Apa kau merasa dirimu sudah sangat
tangguh, hingga tidak mau lagi memperdalam semua yang
sudah kau miliki?" agak tinggi nada suara Eyang Brajasakti.
"Bukan.... Bukan itu maksudku, Eyang. Mungkin lain kali
aku akan datang ke sini meminta petunjuk darimu," kata Bayu
cepat-cepat "Hm, aku tahu.... Apa yang ada di dalam hatimu, Anak
Muda. Tidak apa, aku bisa mengerti," ujar Eyang Brajasakti.
"Terima kasih," ucap Bayu seraya tersenyum.
"Mari, kalian ikut aku!" ajak Eyang Brajasakti kemudian.
Mereka langsung bergerak mengikuti Eyang Brajasakti yang
sudah berjalan lebih dulu. Tidak ada lagi yang membuka
suara. Mereka berjalan melintasi lembah di puncak gunung itu.
Rerumputan yang tinggi hampir menenggelamkan separo dari
tubuh mereka. Namun belum jauh mereka berjalan, tiba-tiba...,
"Heh..."! Apa itu...?" desis Arya Sempalan yang berjalan
tepat di belakang Eyang Brajasakti.
"Ada tamu," ujar Eyang Brajasakti setengah menggumam
pelan suaranya.
"Tamu...?"
O o o dw o o O Belum terjawab keheranan Bayu, terlihat debu bercampur
rerumputan kering berkepul membumbung tinggi di angkasa,
dari arah belakang mereka. Disertai dengan suara yang
menggemuruh, seakan-akan terjadi gempa di lembah puncak
gunung itu. Namun tidak lama kemudian, semua keheranan
dan pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepala mereka
sudah terjawab.
"Kalian ke belakangku, cepat...!" sentak Eyang Brajasakti.
Tanpa ada yang membantah, semua segera bergerak
menyingkir ke belakang orang tua serba merah itu. Sementara
di depan mereka terlihat puluhan orang sudah berdiri tegak
dengan sikap yang menunjukkan pertentangan. Mereka tak
lain orang-orang dari kalangan persilatan yang menginginkan
Perisai Kulit Naga milik Arya Sempalan.
"Mereka yang menginginkan Perisai Kulit Naga yang kau
miliki, Arya Sempalan?" tanya Eyang Brajasakti tanpa
berpaling sedikit pun juga.
"Benar, Eyang," sahut Arya Sempalan.
"Hhh! Aku paling tidak suka melihat orang-orang yang
menginginkan milik orang lain dengan cara memaksa," dengus
Eyang Brajasakti dengan suara dingin.
"Biar aku bereskan mereka, Eyang," selak Bayu yang sejak
kemarin sudah muak melihat mereka yang terus mengejar
Perisai Kulit Naga.
Eyang Brajasakti berpaling ke belakang, dan tersenyum
melihat Bayu sudah melangkah maju dan berhenti di sebelah
kirinya. Pendekar Pulau Neraka langsung memberi hormat
dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan dada,
sambil membungkuk sedikit pada orang tua berambut merah
itu. "Hadapilah, usir mereka dari lembah ini!" kata Eyang
Brajasakti memberi izin.
"Aku tidak akan mengecewakanmu, Eyang," sahut Bayu
sambil menjura memberi hormat
Eyang Brajasakti tersenyum dan menepuk pundak
Pendekar Pulau Neraka. Sementara Bayu menurunkan Tiren
dari pundaknya. Monyet kecil itu langsung berlari menghampiri
Ki Denawa, lalu me lompat naik ke pundak orang tua itu,
melalui tangan yang dijulurkan ke bawah. Sedangkan Bayu
sudah melangkah beberapa tindak ke depan, menghadapi
orang-orang yang masih menginginkan Perisai Kulit Naga dari
Arya Sempalan. "Pendekar Pulau Neraka, menyingkirlah! Kami tidak ada
urusan denganmu!" bentak seorang laki-laki kekar, dengan
tubuh yang tingginya hampir dua kali ukuran orang dewasa.
Sebuah gada yang sangat besar berwarna kuning
keemasan terpanggul di pundak kanan. Kedua bola matanya
yang besar berwarna merah, menatap tajam pemuda berbaju
kulit harimau yang berdiri tepat di depannya.
"Aku tidak akan pergi sebelum kalian semua meninggalkan
lembah ini," sahut Bayu tidak kalah tegasnya.
"Keparat..! Kupecahkan batok kepalamu!" geramnya sengit.
Wuttt! Keras sekali hempasan angin menerpa tubuh Bayu, ketika
lelaki kekar itu mengebutkan gadanya ke depan. Begitu
kerasnya terpaan angin itu, membuat Bayu yang tidak
menduga sama sekali terdorong dua langkah ke belakang.
Namun pendekar muda itu dengan cepat bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya. Dia langsung menyilangkan tangan
kanannya ke depan dada.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Sambil membentak keras menggelegar, orang bertubuh
besar seperti raksasa itu melompat. Dengan keras diayunkan
gadanya yang besar itu, tepat diarahkan ke kepala Pendekar
Pulau Neraka. Namun sedikit pun Bayu tidak berusaha berkelit
menghindar. Dan begitu gada kuning berukuran besar itu
hampir menghantam kepalanya, cepat dia mengangkat kedua
tangannya ke atas kepala. Dan...,
Tap! "Heh..."!"
Semua orang yang menyaksikan terbeliak kaget, melihat
kedua tangan Bayu menangkap ujung gada yang lebih besar
dari kepalanya. Bahkan orang bertubuh tinggi besar bagai
raksasa itu juga tersentak kaget. Tidak menyangka kalau
lawannya ini menangkap gada tepat di atas kepala. Dan belum
hilang rasa keterkejutannya, tiba-tiba saja Bayu sudah
mengempos seluruh tenaga dalamnya yang sudah mencapai
tingkatan sempurna.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Pulau
Neraka mengangkat gada itu ke atas, membuat lawannya juga
terangkat naik. Secepat kilat, diputarnya gada itu di atas
kepala. Lalu sambil membentak keras menggelegar,
dilontarkan kuat-kuat gada bersama pemiliknya ke atas.
"Hiyaaa...!" .
Bayu melesat ke atas menyusul lawannya. Dan cepat sekali
kakinya melontarkan satu tendangan keras menggeledek
disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepatnya
tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, sehingga
membuat manusia setengah raksasa itu tidak sempat
menghindarinya.
Prakkk! "Aaaa...!"
Blukk! Raungan yang begitu keras seketika terdengar, ketika


Pendekar Pulau Neraka Perisai Kulit Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tendangan-tendangan dahsyat Bayu mendarat di kepala
lawan. Tubuh manusia raksasa itu terbanting keras sekali ke
tanah berumput Dan hanya sebentar si manusia raksasa
menggeliat. Kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Dari
kepalanya yang remuk tampak darah berhamburan keluar
membasahi rerumputan.
Sementara dengan manis sekali Pendekar Pulau Neraka
mendarat ke tanah berumput.
Kematian si manusia bertubuh raksasa membuat mereka
yang menyaksikan terlongong bengong, seakan tidak percaya
kalau Bayu yang bertubuh jauh lebih kecil mampu
mengalahkannya hanya dalam satu gebrakan. Bahkan hanya
dalam waktu singkat. Tindakan Pendekar Pulau Neraka yang
begitu cepat dan tegas juga membuat Eyang Brajasakti
menggeleng-gelangkan kepala, tidak menyangka kalau
kepandaian yang dimiliki pemuda berpakaian kulit harimau itu
sangat dahsyat.
O o o dw o o O "Pendekar Pulau Neraka, aku lawanmu! Hiyaaa...!"
Baru saja Bayu bisa menarik napas, sudah melompat
seorang perempuan tua berjubah merah longgar, dengan
sebatang tongkat tergenggam di tangan kanannya. Semua
tokoh persilatan tahu kalau perempuan tua itu seorang tokoh
sakti dari golongan hitam yang berjuluk si Iblis Jubah Merah.
Tanpa banyak bicara, dia langsung meluruk me lancarkan
serangan. Secepat kilat si Iblis Jubah Merah mengibaskan
tongkatnya yang berujung runcing dan tipis seperti pisau itu,
tepat mengarah ke dada Pendekar Pulau Neraka.
Wuttt! "Haiiit..!"
Namun dengan cepat pula Pendekar Pulau Neraka
mengegoskan tubuhnya, membuat ujung tongkat Iblis Jubah
Merah lewat di depan dadanya. Pada saat itu juga, Bayu
memutar tubuhnya dengan cepat sambil me lepaskan satu
tendangan menggeledek disertai dengan pengerahan tenaga
dalam sempurna.
"Hup!"
Namun si Iblis Jubah Merah sudah melentingkan tubuhnya
ke atas, sehingga tendangan kaki kiri Pendekar Pulau Neraka
tidak mengenai sasaran. Ketika dia berada di atas, tombaknya
kembali berkelebat cepat sekali menyambar kepala lawan.
"Hih! Bayu langsung mengangkat tangan kanannya ke atas
kepala, hingga...,
Tring! "Heh..."!"
Ketika si Iblis Jubah Merah tersentak kaget karena
serangannya tertangkis, secepat kilat Pendekar Pulau Neraka
mengibaskan tangan kanannya. Seketika itu juga Cakra Maut
yang berada di pergelangan tangan kanan me lesat begitu
cepat. Wusss! Sementara si Iblis Jubah Merah sama sekali belum bisa
menguasai dirinya. Sehingga tak sempat bergerak mengelak
atau menangkis terjangan Cakra Maut.
Crab! "Aaaa...!"
Jeritan panjang melengking seketika terdengar dari mulut si
Iblis Jubah Merah. Senjata pipih bersegi enam itu menembus
ke dadanya. Begitu keras hentakan tangan kanan Bayu tadi,
sehingga senjata maut itu menembus sampai ke punggung.
Dan terus melesat berputar kembali pada pemiliknya. Cakra
Maut kembali menempel di pergelangan tangan yang terjulur
di atas kepala.
Sementara itu si Iblis Jubah Merah tampak terhuyung-
huyung ke belakang, dengan dada dan punggung berlubang
mengucurkan darah segar.
Bruk! "Hukh...!"
Keras sekali perempuan tua itu terjungkal menghantam
tanah. Beberapa saat tubuhnya mengejang, kemudian diam
tak berkutik lagi. Tewas!
Bayu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan
dada. Memandangi mereka yang berada di depannya. Untuk
beberapa saat suasana di lembah berubah hening. Orang-
orang tampak tegang memandangi si Pendekar Pulau Neraka
yang dengan mudah menghabisi dua orang lawannya.
Beberapa saat tidak ada seorang pun yang maju
menghadapi Pendekar Pulau Neraka. Sementara Bayu sendiri
tetap berdiri tegak dengan sikap tenang. Eyang Brajasakti
melangkah menghampirinya. Lelaki tua berjubah dan
berambut merah itu berdiri di samping kanannya. Bayu hanya
melirik sedikit dengan sudut ekor matanya pada Eyang
Brajasakti. "Kau ke belakang! B iar kuusir mereka dari s ini," ujar Eyang
Brajasakti tanpa menoleh sedikit pun pada Pendekar Pulau
Neraka. "Mereka tidak akan mundur sebelum mendapat Perisai Kulit
Naga, Eyang," tukas Bayu.
"Aku tahu.... Mudah-mudahan dengan caraku mereka
kapok, tidak lagi memperebutkan Perisai Kulit Naga."
"Mudah-mudahan saja, Eyang," desah Bayu pelan.
Pendekar Pulau Neraka segera menarik kakinya ke
belakang, sampai dia berada di sebelah Ki Denawa. T iren yang
ada di pundak orang tua itu, langsung melompat berpindah ke
pundak tuannya. Sementara Eyang Brajasakti sudah
melangkah beberapa tindak ke depan, mendekati gerombolan
yang masih menginginkan Perisai Kulit Naga.
"Dengar...! Kalian tidak berhak memiliki Perisai Kulit Naga.
Sebaiknya kalian pergi dari lembah ini," kata Eyang Brajasakti
dengan suaranya yang lantang dan menggelegar.
Namun tidak seorang pun yang mengindahkan anjuran
orang tua penghuni lembah di puncak gunung itu. Mereka
masih tetap berdiri di tempat tak bergeming sedikit pun.
Bahkan orang-orang itu menunjukkan sikap menantang.
Eyang Brajasakti rupanya masih bisa menahan diri untuk tidak
turun tangan. Sebenarnya bagi dia, tidak ada persoalan untuk
menghadapi mereka, walaupun jumlahnya sangat banyak.
Namun lelaki tua berjubah merah itu tidak ingin lembah yang
damai dan indah kembali bernoda darah. Meskipun dirinya
tahu kalau mereka adalah tokoh-tokoh sakti dari golongan
hitam. "Aku tak ingin kalian membuang-buang nyawa percuma di
sini. Kembalilah kalian, dan jangan lagi bermimpi dapat
memiliki Perisai Kulit Naga! Perisai itu sudah ada yang punya.
Dan hanya dia yang bisa menggunakannya. Kalian semua
tidak berhak sama sekali...!" ujar Eyang Brajasakti dengan
suara lebih lunak.
Bagai tak mendengar permintaan Eyang Brajasakti
gerombolan itu tetap tak beranjak meninggalkan lembah.
Bahkan mereka yang berada di depan, terlihat mulai bergerak
mendekati Eyang Brajasakti perlahan-lahan. Bahkan mereka
sudah menghunus senjata masing-masing. Jelas sekali dari
sikapnya, mereka tidak mempan hanya dengan kata-kata.
Eyang Brajasakti bukan tidak menyadari semua ini. Namun
tampaknya dia masih bisa menahan diri.
Sementara mereka yang berada di belakangnya, terlihat
sudah hampir tidak dapat menahan diri. Terlebih lagi Pendekar
Pulau Neraka yang sudah sangat geram melihat sikap orang-
orang itu tidak mau juga menyerah. Bahkan tampak Pendekar
Pulau Neraka sudah menurunkan Tiren dari pundaknya.
Monyet kecil berbulu hitam itu seperti sudah bisa mengetahui
akan bahaya yang bakal terjadi. Dia segera menyingkir jauh
ke belakang. "Aku tidak mau mengotori tangan dengan darah kalian,
cepat pergi, sebelum aku berubah pikiran...!" bentak Eyang
Brajasakti mulai tidak sabar.
"Jangan banyak bicara kau, Orang Tua! Menyingkirlah,
sebelum kutebas batang lehermu!" bentak seorang pemuda
dengan pedang terhunus di tangan. Dia berada tepat sekitar
satu batang tombak di depan Eyang Brajasakti.
Bentakan pemuda berwajah cukup tampan dan bertubuh
tegap itu membuat wajah Eyang Brajasakti yang memang
merah, semakin bertambah merah. Sorot matanya langsung
menatap tajam wajah pemuda itu. Terdengar gemerutuk dari
geraham yang menahan kesabaran. Sementara mereka sudah
semakin dekat pada Eyang Brajasakti. Ketika jarak mereka
tinggal beberapa langkah lagi, tiba-tiba pemuda bersenjata
pedang itu berteriak lantang menggelegar. Suaranya bagai
hendak menggetarkan seluruh lembah di puncak gunung itu.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
O o o dw o o O 8 Mendengar suara perintah untuk menyerang, seketika
gerombolan itu langsung berlompatan sambil berteriak-teriak
dengan suara keras menggetarkan. Mereka serentak
menyerang orang tua berambut merah bagai api itu. Sambil
menggeram marah Eyang Brajasakti dengan cepat sekali dia
menghentakkan kedua tangannya ke depan, dengan seluruh
jari-jari terbuka lebar. Hal itu diiringi bentakan keras
menggelegar bagai guntur membelah angkasa.
"Yeaaah...!"
Wusss! Dari kedua te lapak tangan Eyang Brajasakti seketika keluar
hembusan angin kencang bagai badai di lautan. Orang-orang
yang berlompatan menyerangnya langsung berpentalan ke
belakang, bagai daun-daun kering terhempas angin.
Namun beberapa di antara para penyerang cepat menahan
gempuran penghuni lembah di puncak gunung itu. Dan
mereka pun menghentakkan tangannya ke depan, menyambut
serangan yang dahsyat itu. Tenaga dorongan mereka
membuat Eyang Brajasakti terdorong ke belakang beberapa
langkah. Dan pengerahan tenaga dalamnya yang sudah begitu
sempurna pun terhenti. Saat itu juga, mereka yang tadi
berpentalan ke belakang, langsung melompat dengan cepat
melakukan serangan sambil berteriak dengan keras menggelegar. "Bunuh saja mereka semua! Hiyaaaa...!"
"Cincang...!"
"Yeaaah...!"
Beberapa senjata mulai berkelebatan di sekitar tubuh
Eyang Brajasakti. Orang tua berambut merah ini terpaksa
harus berjumpalitan di udara menghindari serangan yang
datang bagai ombak samudera, cepat dan beruntun.
Serangan-serangan itu datang begitu cepat dari segala arah,
hingga membuat Eyang Brajasakti tak sempat lagi
memberikan serangan balasan. Dia hanya bisa berjumpalitan
di udara, dengan sesekali menangkis senjata lawan dengan
tongkatnya. Melihat Eyang Brajasakti mendapat serangan dahsyat dan
tanpa dapat memberikan perlawanan membuat geraham Bayu
bergemeletuk menahan geram. Pendekar Pulau Neraka itu
tidak dapat menahan kesabaran. Diiringi teriakan yang keras
menggelegar, dia langsung mengebutkan tangan kanannya
sambil melompat ke depan.
"Hiyaaa...!"
Wuttt! Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka seketika melesat secepat kilat. Dan
langsung menyambar salah seorang yang tengah melancarkan
serangan dengan senjatanya ke kepala Eyang Brajasakti.
Belum juga senjatanya sampai, dia sudah menjerit seketika
tubuhnya terbanting ke tanah dengan Cakra Maut menembus
dari punggung hingga ke dada.
"Hih!"
Sambil mengangkat tangan kanan ke atas, Bayu
melepaskan satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri.
Begitu keras pukulannya sehingga orang yang terkena
langsung terpental jauh disertai dengan suara jeritannya yang
panjang melengking tinggi. Lelaki berpakaian hitam itu
menggelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak lagi.
Sementara Ki Denawa cepat mencegah Triwarni dan Arya
Sempalan yang hendak terjun ke dalam pertarungan. Kedua
anak muda itu mengurungkan niat. Walaupun mereka melihat
dengan jelas, kalau lawan yang dihadapi Bayu dan Eyang
Brajasakti begitu banyak dan dari kalangan persilatan tingkat
tinggi. "Cukup mereka berdua saja. Kalian tidak perlu ikut turun
tangan! Lihat saja, tidak ada seorang pun yang bisa
menyentuh tubuhnya," ujar Ki Denawa.
"Tapi tanganku sudah gatal, Ki. Biar mereka cepat habis,"
kilah Triwami tidak sabar.
"Tunggu saja beberapa saat, Triwam i! Tidak lama, Bayu
dan Eyang Brajasakti pasti bisa membuat mereka kabur dari
sini," Ki Denawa masih menyabarkan.
Triwarni tidak dapat membantah lagi. Memang hanya
menghadapi dua orang saja, mereka tak ada yang sanggup
menjamah tubuhnya. Bahkan jeritan-jeritan
panjang melengking mengiringi kematian semakin sering terdengar
bersahutan. Tubuh-tubuh bersimbah darah pun terus
berjatuhan di rerumputan yang hijau subur. Sementara Bayu
dan Eyang Brajasakti sama sekali tidak bisa tertandingi lagi.
Gerakan-gerakan mereka begitu cepat, hingga sukar untuk
diikuti dengan pandangan mata. Hanya kelebatan bayangan
tubuh mereka di tengah keremangan senja.
O o o dw o o O Setelah cukup lama pertarungan itu berlangsung, Eyang
Brajasakti yang dibantu Pendekar Pulau Neraka tampak mulai
menguasai keadaan. Bahkan para pengeroyok tampaknya tak


Pendekar Pulau Neraka Perisai Kulit Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada yang sanggup membendung setiap serangan yang
dilancarkan kedua tokoh sakti itu. Sementara dari pihak lawan
sudah tidak terhitung lagi, berapa orang yang tewas
berlumuran darah.
Ki Denawa tampak tersenyum kagum menyaksikan
pertarungan sudah dapat dikuasai Eyang Brajasakti dan
Pendekar Pulau Neraka. Bahkan kini tidak ada lagi perlawanan
sengit yang terjadi dari pihak lawan.
Bayu, dengan Cakra Maut yang menjadi senjata
andalannya, terlihat seperti malaikat maut mencabut nyawa
lawan-lawannya tanpa terbendung. Senjata maut itu
berkelebatan melesat ke sana kemari. Bagaikan memiliki mata,
terus memburu sasaran. Sesekali cahaya matahari senja
terbias dari senjata lempeng persegi enam itu.
Jeritan-jeritan melengking mengiringi kematian pun terus
terdengar saling sambut. Membuat lembah di puncak gunung
ini bagaikan sebuah ladang pembantaian. Rerumputan pun
telah berubah merah tersiram darah.
"Cukup...!" bentak Eyang Brajasakti tiba-tiba dengan
suaranya yang keras dan menggelegar.
Setelah membentak keras, Eyang Brajasakti langsung
melompat keluar dari kancah pertempuran. Jejak lelaki tua
berambut merah itu langsung diikuti Pendekar Pulau Neraka.
Mereka meninggalkan lawannya yang kini tinggal kurang dari
sepuluh orang. Kesepuluh anggota gerombolan itu tampaknya
sudah tak punya daya guna melanjutkan pertarungan.
Keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuh
mereka. Tarikan napas pun tersengal memburu dengan cepat.
Sementara itu Eyang Brajasakti dan Pendekar Pulau Neraka
berdiri berdampingan.
Cakra Maut sudah menempel di pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka yang melintang di depan. Seakan siap
untuk dilepaskan lagi, kalau lawan yang tinggal sedikit itu
masih tetap nekat menyerang.
Di sekitar mereka terlihat tubuh-tubuh bersimbah darah
yang sudah tak bernyawa, bergelimpangan saling tumpang
tindih. Membuat pemandangan di lembah tidak sedap
dipandang mata. Darah berceceran di mana-mana membuat
rerumputan di sekitar tempat pertarungan berwarna merah.
Lembah ini benar-benar menjadi ladang pembantaian orang-
orang yang dipenuhi nafsu serakah.
"Kalian harus sayang dengan nyawa. Lupakan Perisai Kulit
Naga! Perisai itu bukan milik kalian...!" terdengar lantang
suara Eyang Brajasakti masih juga memperingatkan.
Orang-orang dari kalangan persilatan golongan hitam itu
saling melemparkan pandangan. Dari sinar mata dan raut
wajah mereka tampak kegentaran. Jumlah mereka yang
begitu banyak saja tak sanggup menghadapi dua orang.
Apalagi sekarang tinggal sepuluh orang, mustahil mereka
mampu bertahan.
Kalau pertarungan ini diteruskan, sudah pasti mereka akan
tewas semua. Dan dunia persilatan akan sepi tanpa mereka.
Sedangkan Perisai Kulit Naga,
tidak mungkin bisa diperebutkan lagi. Perisai itu sudah berada dalam lindungan
orang-orang berkepandaian tinggi yang tidak mungkin bisa
ditaklukan. "Cepat pergi! Atau kalian juga mau mati di sini...?" bentak
Eyang Brajasakti dengan suaranya yang masih terdengar
lantang menggelegar.
Tampak dua orang dari gerombolan itu menarik diri ke
belakang, sambil menyarungkan senjata. Dan tanpa bicara
lagi, mereka segera memutar tubuhnya berbalik, lalu
melangkah pergi meninggalkan lembah. Tinggal delapan orang
lagi yang masih tetap bertahan. Namun mereka pun sudah
gentar melihat ketangguhan Pendekar Pulau Neraka dan
Eyang Brajasakti.
Beberapa saat mereka masih diam, memandangi Eyang
Brajasakti dan Pendekar Pulau Neraka dengan sinar mata
memancarkan dendam kesumat yang dalam. Ikut campurnya
dua tokoh tingkat tinggi itu membuat keinginan mereka untuk
merebut Perisai Kulit Naga terhalang. Bahkan rasanya tidak
mungkin lagi dapat memilikinya dengan cara apa pun.
"Hhh...! Dunia akan semakin hancur, kalau Hyang Widi
terus mengeluarkan senjata-senjatanya," desah Eyang
Brajasakti disertai hembusan napasnya yang panjang dan
terasa berat O o o dw o o O Bukan hanya Bayu yang bisa menarik napas lega, karena
Eyang Brajasakti bersedia menempa Arya Sempalan untuk
menguasai Perisai Kulit Naga. Ki Denawa dan Triwam i pun ikut
merasakan kelegaan. Mereka merasa keselamatan Arya
Sempalan tak perlu dikhawatirkan lagi, selama berada dalam
lindungan Eyang Brajasakti yang tidak akan mungkin bisa
tertandingi oleh siapa pun. Dalam pertarungan di lembah tadi
pun sebenarnya tanpa bantuan Pendekar Pulau Neraka, orang
tua itu bisa menghadapi seorang diri.
Bahkan kalau mau, tidak perlu dia sampai mengotori
tangannya dengan darah. Orang tua sakti itu mampu
menciptakan seluruh rerumputan dan pepohonan di lembah
menjadi bala tentara yang tangguh. Namun entah kenapa,
Eyang Brajasakti sendiri tak ingin menggunakan kesaktiannya
untuk menghadapi orang-orang dari golongan hitam. Dia
menggunakan kesaktiannya hanya untuk menguji maksud baik
setiap orang yang datang menemuinya. Seperti yang dialami
Pendekar Pulau Neraka saat pertama kali masuk ke lembah di
puncak gunung itu.
"Rasanya tidak ada lagi yang perlu aku lakukan di sini. Aku
mohon diri...," ujar Ki Denawa.
"Kau akan pergi, Ki...?" terasa berat Arya Sempalan
mengucapkan kata-kata itu. Hatinya seperti tak rela sahabat
baru itu harus segera meninggalkannya.
"Ya, kau sudah aman di sini, Arya Sempalan. Tak ada lagi
yang akan mengganggumu," ujar Ki Denawa seraya
tersenyum. "Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan untukku,
Ki," ucap Arya Sempalan tulus.
Ki Denawa hanya tersenyum. Dia menepuk lembut pundak
pemuda itu. Kemudian menjura memberi hormat pada Eyang
Brajasakti. Setelah berbasa-basi sebentar, orang tua berjubah
putih yang dikenal dengan nama julukan si Malaikat Bayangan
itu segera meninggalkan lembah.
Dan tidak lama Ki Denawa pergi, Triwarni juga meminta
diri. Gadis cantik yang dikenal dengan nama julukan si Kupu-
kupu Putih itu berjalan meninggalkan lembah, ke arah yang
berlawanan dari Ki Denawa tadi. Kini tinggal Bayu yang masih
menemani Arya Sempalan yang untuk beberapa waktu harus
tinggal bersama Eyang Brajasakti dalam menempa diri.
"Aku juga mohon diri, Eyang," ujar Bayu dengan sikap
hormat. "Tawaranku masih berlaku, Bayu. Kau bisa lebih
menyempurnakan kepandaianmu di sini," ujar Eyang
Brajasakti. "Mungkin nanti, Eyang. Masih banyak yang harus
kukerjakan di luar sana," sahut Bayu menolak secara halus.
"Datanglah kapan saja kau ada waktu, Bayu! Tanganku
selalu terbuka untukmu," ujar Eyang Brajasakti.
"Terima kasih, Eyang," ucap Bayu.
Pendekar Pulau Neraka beralih memandangi Arya
Sempalan. Dia menghampiri dan mengulurkan tangan
kanannya. Arya Sempalan menyambut uluran tangan
Pendekar Pulau Neraka. Kedua pemuda itu saling berjabatan
tangan dengan hangat, disaksikan Eyang Brajasakti yang
tersenyum-senyum dengan kepala terangguk perlahan.
"Aku harap kau menjadi seorang pendekar tangguh yang
berada di jalan kebenaran, Arya
Sempalan. Dunia
mengharapkan baktimu," ujar Bayu lembut
"Aku bersumpah akan membela kebenaran dan memerangi
segala bentuk kejahatan. Dengan Perisai Kulit Naga, aku akan
menjadi seorang pendekar tangguh sepertimu, Kakang Bayu,"
sambut Arya Sempalan yang langsung menganggap Pendekar
Pulau Neraka sebagai saudara tuanya.
"Jaga dirimu baik-baik! Ikuti semua petunjuk Eyang
Brajasakti," pesan Bayu lagi.
Arya Sempalan mengangguk. Keduanya kemudian berpelukan dengan hangat, bagai dua orang saudara yang
hendak berpisah. Bayu menghampiri Eyang Brajasakti setelah
memberi beberapa petuah lagi pada Arya Sempalan.
"Aku mohon diri, Eyang," ucap Bayu seraya menjura
hormat. "Doaku menyertai setiap langkahmu, Pendekar Pulau
Neraka," ucap Eyang Brajasakti.
Bayu kemudian melangkah pergi meninggalkan lembah,
setelah menjura memberi hormat sekali lagi pada orang tua
berambut merah itu. Kepergian Pendekar Pulau Neraka diiringi
pandangan mata Arya Sempalan sampai lenyap tertelan
rerumputan dan keremangan suasana senja lembah itu.
SELESAI Pembuat Ebook :
Editor & Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 33 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Anak Harimau 3
^