Pencarian

Sepasang Bangau Putih 2

Pendekar Pulau Neraka 57 Sepasang Bangau Putih Bagian 2


terdiam. "Panjang ceritanya, Kakang," sahut Perbawa.
"Ceritakan saja! Kalau memang alasan kalian benar, aku tak akan segan-segan
membantu," kata Bayu mantap.
Seketika itu juga wajah Perbawa langsung cerah mendengar kesediaan Pendekar
Pulau Neraka untuk membantu tugas mereka. Dan tanpa banyak bicara lagi, Perbawa
langsung menceritakan pada Bayu hal yang membuat mereka melakukan sepak terjang
selama ini. Bayu mendengarkan dengan penuh perhatian. Sementara Wulan sendiri
sudah tidak peduli lagi, karena keasyikan bermain dengan Tiren.
Monyet kecil berbulu hitam sahabat Pendekar Pulau Neraka.
*** 5 "Jadi mereka yang membunuh istri Ki Sarpakenaka dan membuatnya tidak memiliki
kaki lagi...?" ujar Bayu setelah Perbawa selesai dengan ceritanya.
"Benar, Kakang. Sekarang Ki Sarpakenaka sudah tidak ada lagi. Namun guru
berpesan agar kami berdua membalaskan dendamnya," sahut Perbawa.
"Hm..., siapa sebenarnya mereka?" tanya Bayu dengan suara agak bergumam.
"Sebagian dari mereka adalah para begal Bukit Setan, Kakang," selak Wulan.
"Oh, kau tahu dari mana...?" tanya Bayu agak terkejut
"Tiga orang dari mereka aku kenali. Tapi mereka sudah mati semuanya. Dan yang
sekarang ini, para pemimpin yang dulunya menguasai daerah selatan.
Mereka tentunya lebih tangguh dan sulit dihadapi,"
kata Wulan menjelaskan lagi.
"Hm, tinggal berapa orang lagi mereka?" tanya Bayu.
"Lima," sahut Perbawa. "Sekarang mereka berkumpul semua di sini. Juga semua
murid-muridnya,"
sambung Wulan. "Dan kalian akan menghadapinya dengan berdua saja...?"
Perbawa dan Wulan Untari bersamaan meng-
anggukkan kepala. Bayu tampak menggelenggelengkan kepala. Walaupun belum pernah
bertemu, tapi dia sering mendengar lima orang tokoh persilatan yang menguasai
daerah selatan. Sudah barang tentu
mereka tidak bisa dipandang dengan sebelah mata.
Sehingga tidak mungkin menghadapi mereka hanya dengan bertiga. Sebab, jumlah
murid mereka yang kini berkumpul di Padepokan Teratai Emas ini, bisa lebih dari
dua ratus orang. Setangguh apa pun kepandaian yang dimiliki mereka bertiga,
tidak akan mungkin menghadapi lawan sebanyak itu. Apalagi di antara mereka ada
lima tokoh persilatan yang pernah menguasai daerah selatan. Bayu merasa itu
hanya mimpi belaka.
"Apa yang akan kalian lakukan sekarang?" tanya Bayu setelah cukup lama terdiam.
"Yaaah..., tunggu sampai mereka lengah," sahut Wulan seraya mengangkat bahunya
sedikit "Kalian sudah cukup banyak berbuat Sebaiknya tinggalkan saja mereka," kata Bayu
lagi menyarankan.
"Apa..."! Tidak...!" sentak Wulan dengan mata mendelik. "Kau pikir semua ini
akan berakhir begitu saja, selama mereka masih hidup..." Tidak! Aku tak akan
berhenti sebelum mereka semua kuhancurkan!"
"Benar, Kakang. Semua yang sudah kami lakukan tidak akan berhenti sebelum mereka
semua lenyap dari muka bumi ini. Kami sudah berjanji untuk membalas dendam
kematian istri guru kami. Tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi," sambung
Perbawa membela Wulan Untari.
"Tapi kalian tidak mungkin menghadapi mereka semua hanya berdua saja. Pikirkan
itu...!" kata Bayu menyarankan.
"Itulah yang sedang kami pikirkan, Kakang. Harus ada cara yang tepat untuk
menghancurkan mereka semua," kata Wulan Untari.
"Lalu, apa rencanamu?" tanya Bayu.
Wulan tidak langsung menjawab. Dia hanya mengangkat bahunya sedikit.
"Aku akan menyelidiki dulu kekuatan mereka malam nanti," kata Perbawa.
"Sudah jelas kekuatan mereka lebih dari dua ratus orang. Apa lagi yang akan kau
selidiki, Perbawa...?"
ujar Bayu menegaskan.
"Paling tidak, malam nanti aku bisa mengurangi sedikit jumlah mereka. Aku akan
terus bergerak dengan sembunyi-sembunyi, sampai kekuatan mereka benar-benar
berkurang dan bisa ditembus dengan mudah," sahut Perbawa mengemukakan
rencananya. "Lalu..., kau sendiri bagaimana, Wulan?" tanya Bayu sambil menatap pada Wulan
Untari. "Mungkin sama seperti yang Kakang Perbawa lakukan. Tapi aku bergerak dari arah
lain," sahut Wulan Untari langsung menyetujui rencana Perbawa.
Bayu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dalam rimba persilatan, tindakan yang
mereka rencanakan itu bisa dikatakan pengecut. Memang tidak ada jalan lain bagi
Sepasang Bangau Putih untuk mengurangi kekuatan lawan. Namun Bayu tidak ingin
nama Sepasang Bangau Putih rusak hanya karena mengikuti rasa dendam di hati guru
mereka, yang terbawa sampai mati tanpa dapat melaksanakan pembalasan-nya.
"Kalau kalian setuju, aku punya rencana yang tak akan merusak nama kalian
berdua," kata Bayu.
"Apa rencanamu, Kakang...?"
*** "Edan...! Kau akan biarkan begitu saja murid-
muridnya" Membiarkan mereka tetap hidup berkeli-aran dan melakukan kejahatan
dengan bebas..."
Tidak! Aku tak akan membiarkan itu terjadi, Kakang,"
sentak Wulan Untari begitu mendengar rencana yang diutarakan Bayu.
"Tapi dengan menantang pemimpin mereka, nama kalian bisa lebih harum lagi," kata
Bayu beralasan.
"Maaf, Kakang...," selak Perbawa. "Kami berdua harus melenyapkan mereka tanpa
sisa. Dan itu sesuai dengan apa yang sudah mereka lakukan pada guru kami serta
murid-muridnya. Hanya Ki Sarpakenaka waktu itu masih bisa menyelamatkan diri.
Sedangkan istri, anak-anak serta semua muridnya mereka bantai tanpa ampun lagi.
Jadi semua yang sudah kami lakukan berdua, sesuai dengan perbuatan mereka,
Kakang." "Dendam tidak akan menyelesaikan masalah," ujar Bayu pelan.
"Karena itu, Kakang. Kalau membiarkan satu orang muridnya saja tetap hidup,
persoalan ini tak akan selesai. Kami berdua sudah berjanji tak akan lagi
berpetualang dalam dendam kalau mereka sudah lenyap semuanya," kata Perbawa
lagi. "Jadi kalian tetap akan melaksanakan...?" tanya Bayu ingin ketegasan.
"Benar," sahut Perbawa mantap.
"Dengan mempertaruhkan nama baik kalian...?"
tegas Bayu lagi.
Sepasang Bangau Putih itu mengangguk dengan mantap. Bayu tidak bisa lagi berbuat
apa-apa. Dan hanya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kuat.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk melunakkan hati Sepasang Bangau
Putih. Dendam guru mereka sudah terbawa
sampai ke relung hati yang paling dalam dan men-darah daging. Sehingga sulit
untuk bisa dipisahkan lagi. Dengan cara apa pun, mereka tetap akan membalaskan
dendam sang Guru.
Tidak ada yang dapat dibicarakan lagi. Mereka terdiam bergelut dengan pikiran
masing-masing. Sementara Perbawa sudah kembali memperhatikan barftjunan Padepokan Teratai Emas
yang seperti sebuah benteng pertahanan, terjaga ketat itu. Diakui, memang tidak
mudah untuk menembus ke dalam sana. Terlebih lagi beberapa perguruan sudah
bergabung menjadi satu, hingga kekuatan yang ada dalam padepokan itu demikian
besar. Bayu kini duduk di samping Wulan Untari. Gadis itu masih asyik bermain dengan
Tiren. Digelitiknya perut monyet itu hingga bergulingan di atas rerumputan
sambil mencerecet ribut. Wulan baru berhenti bercanda dengan Tiren saat Bayu
menepuk lembut pundaknya. Dia mengambil monyet kecil itu, dan ditaruh di
pangkuannya. "Bagaimana kau bisa menjadi murid Ki Sarpakenaka, Wulan?" tanya Bayu dengan
suara pelan, hingga Perbawa yang berada cukup jauh tidak mendengar.
"Aku menemukannya sudah hampir mati, dengan luka-luka yang parah. Aku merawatnya
sampai dia sembuh. Tapi aku tak bisa menyembuhkan
kelumpuhan pada kedua kakinya, hingga dia tidak bisa jalan lagi," ujar Wulan
menceritakan pertemuan-nya dengan Ki Sarpakenaka.
"Kau tahu kenapa dia sampai terluka begitu?"
tanya Bayu lagi.
"Ya, dia menceritakan padaku," sahut Wulan Untari.
"Lalu...?"
"Setelah sembuh, dia memintaku untuk mencari seorang muridnya yang sedang
mengembara. Aku melaksanakan semua perintahnya. Aku bertemu dengan Kakang
Perbawa dan membawanya pulang pada gurunya. Semula Kakang Perbawa ingin langsung
membalas kekalahan gurunya. Tapi Ki Sarpakenaka tidak mengizinkan. Akhirnya kami
berdua diberi jurus-jurus Sepasang Bangau Putih.
Juga pedang ini...," sambung Wulan menyentuh pedang di pundaknya.
Bayu mengangguk-anggukkan kepala. Dirinya kini baru mengerti, kenapa kepandaian
yang dimiliki Wulan begitu pesat berkembang. Memang tidak mengherankan, karena
gadis itu menemukan seorang tokoh sakti yang memiliki tingkat kepandaian sangat
tinggi. Dan Bayu tahu kalau kepandaian yang dimiliki Ki Sarpakenaka hanya berada
setingkat di bawah kepandaian yang dimiliki gurunya sendiri.
Ki Sarpakenaka mungkin tidak akan sampai kalah begitu, kalau saja lawan-lawannya
tidak bermain curang dan dikeroyok sepuluh orang yang berkepandaian tinggi. Bayu
juga bisa mengerti kalau api dendam yang ada di dalam dada Perbawa tidak bisa
dipadamkan begitu saja. Dia juga tidak akan membiarkan orang-orang yang sudah
membuat gurunya cacat, hidup lebih lama lagi. Namun tindakan yang dilakukannya
tidak seperti yang dilakukan Perbawa dan Wulan Untari sekarang ini. Mereka
benar-benar menghancurleburkan semuanya tanpa seorang pun dibiarkan tetap hidup.
Bahkan murid-murid yang tidak tahu persoalannya juga dihancurkan tanpa sisa.
"Aku sudah bersumpah untuk membantu Kakang Perbawa menghancurkan mereka. Bahkan
Ki Sarpakenaka sendiri sudah berpesan, aku tidak boleh berpisah dengan Kakang
Perbawa," sambung Wulan Untari.
Bayu tetap diam. Dia bisa mengerti semua yang dikatakan Wulan barusan. Dirinya
tahu jurus-jurus Bangau Putih bisa lebih dahsyat lagi kalau dikerah-kan secara
bersamaan. Dan tidak bisa dilakukan oleh satu orang, karena jurus itu memang
harus berpasangan. Ki Sarpakenaka sendiri bisa dikalahkan oleh lawan-lawannya,
karena mereka tahu kelemahan jurus Bangau Putih. Mereka membunuh istrinya lebih
dulu, hingga jurus Bangau Putih yang dikuasai Ki Sarpakenaka tidak berarti.
Akhirnya dengan mudah mereka bisa mengalahkannya.
"Aku sebenarnya berharap, kau bersedia mem-bantuku menghadapi mereka, Kakang,"
ujar Wulan Untari dengan suaranya yang pelan, namun jelas sekali bernada
mengharapkan kesediaan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu tampak diam saja membisu. Enfah apa yang ada di dalam hatinya saat ini.
"Wulan, sini...!" panggil Perbawa tiba-tiba.
Wulan langsung beranjak bangkit berdiri, dan menyerahkan Tiren pada Pendekar
Pulau Neraka. Bergegas dia menghampiri pemuda itu. Perbawa langsung menunjuk, begitu Wulan
berada dekat di sampingnya. Sementara Bayu hanya memperhatikan tanpa
berkeinginan mendekati mereka. Dia memasang pendengarannya dengan tajam, agar
bisa mendengar apa yang dibicarakan Sepasang Bangau Putih.
"Mereka tentu akan mencari kita, Kakang," kata Wulan pelan, seperti berbisik.
"Aku akan menghadang mereka," kata Perbawa
mantap. "Kau sanggup sendiri saja?" tanya Wulan.
"Paling hanya dua puluh orang, Wulan."
"Tapi hati-hati, Kakang. Mungkin itu hanya jebakan saja," Wulan memperingatkan.
Pada saat itu, keluar lagi satu kelompok yang berjumlah sekitar dua puluh orang.
Mereka bergerak dengan arah yang berlawanan dengan kelompok yang pertama.
"Itu bagianku, Kakang," ujar Wulan langsung dengan bibir tersenyum.
"Kita tunggu dulu sampai mereka cukup jauh dari benteng itu," kata Perbawa.
Sepasang Bangau Putih tampak tersenyum,
melihat dua kelompok yang masing-masing berjumlah sekitar dua puluh orang keluar
dari lingkungan padepokan. Kedua kelompok itu bergerak menuju arah yang
berlawanan. Entah apa maksud mereka keluar dari padepokan. Mungkin memang benar
dugaan Wulan Untari barusan. Mereka memang sengaja keluar mencari Sepasang
Bangau Putih. Atau hanya suatu jebakan untuk memancing Sepasang Bangau Putih
keluar dari persembunyiannya.
"Ayo, Kakang! Kita bergerak sekarang," ajak Wulan Untari. "Hup...!"
"Hap!"
Tanpa membuang-buang waktu mereka langsung saja melesat dengan cepat, ke arah
tujuannya masing-masing. Dan pada saat itu Bayu segera mengambil alih tempat
mereka tadi berdiri. Dari tempat yang agak tinggi ini, dia bisa melihat dengan
jelas, Sepasang Bangau Putih bergerak terpisah, menghampiri dua kelompok lawan
yang juga terpisah dengan arah berlawanan. Namun pada saat itu
juga.... "Heh..."!"
*** Apa yang disaksikan Bayu, membuat kedua bola matanya terbeliak lebar, seperti
melihat ribuan hantu yang akan menghancurkan dunia ini. Bersamaan dengan
melesatnya Sepasang Bangau Putin, dari dalam padepokan keluar empat orang tokoh
persilatan yang sedang mereka kejar. Keempat orang itu memisahkan diri ke arah
yang berbeda. Dan pada saat itu juga, sekitar tiga puluh orang yang dipimpin
langsung oleh Ki Denggis bergerak menuju ke arah Pendekar Pulau Neraka berdiri.
"Gila...! Rupanya mereka lebih cepat bertindak. Ini bisa berbahaya bagi Wulan
dan Perbawa. Tidak..."
Bayu tidak bisa lagi berpikir lebih jauh. Saat itu Ki Denggis yang diikuti
sekitar tiga puluh orang sudah dekat dengannya. Mendadak orang tua itu berteriak
memberi perintah untuk menyerang Pendekar Pulau Neraka. Hal itu membuat Bayu
tidak sempat lagi memperhatikan Wulan Untari dan Perbawa yang juga terkejut
melihat kedatangan dua orang buruan mereka masing-masing ke tempat yang berbeda
dan berjarak sangat jauh.
"Seraaang...! Bunuh dia...!" teriak Ki Denggis memberi perintah menyerang
Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"
"Nguk! Craaakh...!"
"Menjauh dariku, Tiren!" seru Bayu.
"Nguk!"
Tiren langsung melompat turun dari pundak
Pendekar Pulau Neraka. Dia segera berlari menjauh, dan naik ke pohon. Sementara
Bayu sendiri sudah harus berlompatan, menghindari serangan-serangan yang datang
bagai ombak di lautan. Serangan-serangan itu demikian gencar, membuat Bayu tidak
punya kesempatan sedikit pun untuk memberikan serangan balasan. Sedangkan Ki
Denggis sendiri selalu mencari kesempatan untuk menghantamkan pukulannya di saat
pemuda berpakaian kulit harimau itu sibuk menghindari serangan-serang-an mereka.
Di tempat lain, Wulan Untari juga tengah ke-walahan menghadapi gempuran dahsyat,
dari dua puluh orang murid Padepokan Teratai Emas yang ditambah dua orang tokoh
persilatan pimpinan mereka. Keadaan yang sama pun dialami Perbawa.
Mereka benar-benar tidak sempat menghindari jebakan itu. Tidak mungkin lagi bagi
keduanya untuk menyatu, karena jarak mereka sangat berjauhan.
Akhirnya mereka terpaksa menghadapi lawannya masing-masing seorang diri.
Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus menggunakan Cakra Maut untuk bisa keluar
dari keroyokan yang cukup banyak itu.
Jeritan-jeritan panjang melengking dan menya-yat pun seketika terdengar saling
sambung. Dan baru beberapa saat saja pertarungan itu berlang-sung, Bayu sudah
merobohkan lebih dari sepuluh orang lawannya. Sementara Ki Denggis semakin mem-
perhebat serangan-serangannya. Dia selalu mencari kelengahan Pendekar Pulau
Neraka. Namun tampaknya tidak mudah untuk memasukkan serangannya, karena setiap
gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka memang sulit diduga dan hampir
tidak terlihat*dengan pandangan mata biasa.
Satu persaru Bayu berhasil merobohkan lawan-
lawannya. Hingga akhirnya tinggal sekitar lima orang ditambah dengan Ki Denggis
yang mulai kelihatan gentar. Namun tiba-tiba terdengar suara genderang dipukul
bertalu-talu dari arah bangunan Padepokan Teratai Emas.
"Cepat tinggalkan dia...!" teriak Ki Denggis tiba-tiba.
"Hup! Yeaaah...!"
Tanpa membuang waktu lagi, Ki Denggis langsung melesat meninggalkan Pendekar
Pulau Neraka dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkat tinggi. Kelima orang anak buahnya yang tersisa tidak sempat mengikuti.
Karena dengan gerakan yang begitu cepat, Bayu memberikan pukulan-pukulan


Pendekar Pulau Neraka 57 Sepasang Bangau Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beruntun dan mengandung tenaga dalam. Seketika lima orang itu menjerit keras,
dan ambruk dengan nyawa melayang.
"Keparat...!"
Bayu menggeram melihat Ki Denggis sudah masuk kembali ke dalam benteng Padepokan
Teratai Emas. Dan dia jadi tersentak kaget setengah mati, begitu melihat Wulan terseret masuk
ke dalam benteng itu.
Sementara Perbawa tampak menggeletak di antara mayat-mayat lawannya. Dari tempat
itu lawan yang masih hidup bergerak cepat masuk kembali ke benteng padepokan.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka bergegas menghampiri Perbawa yang sudah berlumuran darah,
tapi tampak masih bergerak. Sebentar saja Bayu sudah sampai.
Dia langsung mendekati Perbawa yang masih bergerak hidup.
"Oh..."!"
Bayu terkejut setengah mati, melihat hampir sekujur tubuh Perbawa sudah terluka.
Darah mengalir deras dari luka-luka yang menganga. Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka mengangkat
dan membawa pergi dari tempat itu. Dan pada saat Bayu melesat, Perbawa terkulai
pingsan. Bayu membawa Perbawa ke tempat yang cukup jauh dan aman dari jangkauan orang-
orang Teratai Emas, yang kini dibantu oleh tiga padepokan sahabatnya. Dia
merebahkan tubuh pemuda itu di atas rerumputan yang cukup tebal, di bawah pohon
rindang. Sehingga terlindung dari sengatan sinar matahari yang sudah condong ke
arah barat. Bayu memberikan totokan di beberapa bagian tubuh Perbawa. Darah yang semula
mengalir pun seketika terhenti. Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka bekerja
merawat luka-luka di tubuh Perbawa.
Dia juga menyalurkan hawa mumi untuk membantu Perbawa mengembalikan tenaga
dalamnya. Sehingga dapat bertahan, meskipun luka-luka yang dideritanya cukup
parah. "Aku akan membawamu pada tabib, Perbawa. Kau harus sembuh...," ujar Bayu dengan
suara berdesis di telinga Perbawa.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera membawa pemuda itu. Dengan
pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna tingkatannya, Pendekar
Pulau Neraka bergerak dengan cepat menuruni lereng Bukit Angsa. Dia tidak ingat
pada monyet kecil sahabatnya yang ditinggalkan di puncak bukit itu. Bayu terus
berlari menuruni lereng bukit membawa Perbawa yang teriuka cukup parah.
*** 6 Sementara itu di dalam lingkungan Padepokan Teratai Emas, tubuh Wulan Untari
telah diikat pada tongkat kayu, tepat di tengah-tengah halaman padepokan yang
sangat luas. Tampak wajahnya sudah sembab membiru, akibat terkena beberapa
pukulan. Dan di sudut bibirnya darah kering masih melekat. Baju yang
dikenakannya juga sudah terkoyak. Sehingga beberapa bagian tubuhnya yang ber-
kulit putih mulus terlihat, membuat puluhan pasang mata yang ada di dalam
padepokan itu tidak berkedip memandanginya.
Kepala gadis itu terkulai, seakan dia sudah tidak bernyawa lagi. Hanya gerakan
perlahan dadanya yang menandakan Wulan masih hidup. Saat itu dari dalam bangunan
besar yang merupakan bangunan utama Padepokan Teratai Emas, keluar Nyai Kantil
bersama Ki Denggis dan tiga orang tua lainnya. Diikuti sekitar sepuluh orang
laki-laki bertubuh tegap, yang merupakan sepuluh orang murid andalan Nyai
Kantil, Ketua Padepokan Teratai Emas. Mereka melangkah menghampiri Wulan yang
terikat dengan kepala terkulai di tonggak kayu. Sementara itu matahari sudah
hampir tenggelam di balik peraduannya. Cahayanya yang redup, seakan ikut
merasakan penderitaan yang dialami Gadis Seribu Nama ini.
Nyai Kantil menunjuk ember kayu yang ada di depan Wulan Untari. Seorang muridnya
langsung menghampiri, dan mengambil ember kayu itu. Tanpa
banyak bicara lagi, dia menumpahkan semua air di dalam ember itu ke tubuh Wulan.
Membuat gadis itu jadi gelagapan setengah mati. Dia langsung meringis, merasa
nyeri pada seluruh tubuhnya yang penuh luka tersiram air dingin ini. Namun
sesaat saja sinar matanya sudah menyorot tajam pada o-rang-orang tua yang berada
tepat di depannya.
"Siapa namamu, Cah Ayu...?" tanya Ki Denggis.
Wulan tidak langsung menjawab. Ditatapnya laki-laki tua itu dengan sinar mata
yang tajam. Kemudian memandangi yang lainnya. Di sebelah Ki Denggis berdiri Nyai
Kantil. Dan di belakang mereka ada dua tiga orang lelaki tua lagi yang usianya
mungkin sebaya dengan Ki Denggis. Wulan Untari tahu kalau mereka adalah Ki
Tampul, Ki Balung, dan Ki Rampak.
Semua memang satu kelompok dengan Ki Denggis dan Nyai Kantil. Dan mereka inilah
yang menjadi buruan pembalasan dendam Ki Sarpakenaka.
"Siapa namamu, Nisanak...?" Ki Denggis mengulangi pertanyaannya lagi.
"Nama yang mana yang kau inginkan...?" balas Wulan ketus.
"Aku tanya namamu...," agak ditekan nada suara Ki Denggis.
"Banyak," sahut Wulan Untari smis. "Mana yang kau inginkan..." Untari, Cempaka,
Wulan, Melati, atau kau ingin memberiku nama lain..." Aku tidak keberatan."
Kening Ki Denggis jadi berkerut mendengar jawaban gadis int. Sementara Nyai
Kantil langsung tahu kalau gadis ini tentu yang dikenal dengan nama julukan si
Gadis Seribu Nama. Dan dia jadi ingat dengan peristiwa di Bukit Setan. Nyai
Kantil langsung membisikkannya pada Ki Denggis. Laki-laki tua itu
mengangguk-anggukkan kepala dengan senyuman lebar terkembang di bibirnya. Entah
apa arti senyumannya itu.
"Kau tentu si Gadis Seribu Nama. Benar...?" ujar Ki Denggis dengan bibir masih
menyunggingkan senyuman.
Wulan Untari hanya mencibirkan bibirnya. Tatapan matanya masih terlihat tajam,
bersorot langsung ke bola mata Ki Denggis yang berada tepat di depannya.
"Kalau memang kau benar si Gadis Seribu Nama, itu berarti tidak ada lagi
pengadilan di sini. Kau tahu apa maksudku...?" ujar Ki Denggis lagi.
Wulan masih tetap diam membisu dengan tatapan mata yang tajam sekali, bersorot
langsung ke bola mata laki-laki tua di depannya ini. Namun sebentar kemudian dia
menatap dengan bola mata berapi-api pada Nyai Kantil yang tadi mengenalinya
lebih dulu. Wulan yakin kalau perempuan tua ini ada ketika dia hampir mati dan temoda di
Bukit Setan. Hanya saja dia tidak sempat mengenalinya waktu itu.
"Bagaimana...?" tanya Ki Denggis meminta pendapat pada yang lainnya.
"Ya.... Bagaimana lagi...?" desah Nyai Kantil sambil mengangkat bahunya.
"Dia bisa menjadi duri dalam daging kita, Kakang.
Sudah pantas kalau dia mendapat hukuman mati,"
selak Ki Balung.
Ki Denggis mengangguk-anggukkan kepala dengan bibir tersenyum menatap gadis di
depannya. Kemudian dia memutar tubuh berbalik, dan melangkah pergi meninggalkan si Gadis
Seribu Nama. Namun baru beberapa langkah, terdengar perintahnya pada murid-murid Padepokan
Teratai Emas. "Kalian boleh lakukan apa saja padanya, sebelum
dia mendapat hukuman besok pagi," kata Ki Denggis.
Seketika itu juga seluruh wajah Wulan Untari berubah pucat pasi seperti mayat.
Dia tahu apa yang dimaksudkan Ki Denggis barusan. Terbayang lagi peristiwa di
Bukit Setan. Wulan tidak ingin peristiwa itu terulang lagi sekarang. Dan dia
sadar tidak ada lagi keajaiban seperti yang pernah dialaminya dulu, hingga
dirinya tetap suci dan bertahan hidup sampai sekarang.
"Keparat kau, Denggis! Akan kubunuh kau...!"
teriak Wulan memaki.
"Ha ha ha...!"
Ki Denggis hanya tertawa terbahak-bahak, seakan tidak menghiraukan makian gadis
itu. Dia terus berjalan ke dalam bangunan besar padepokan, diikuti Nyai Kantil
dan yang lainnya. Sementara itu puluhan laki-laki sudah mengelilingi Gadis
Seribu Nama. Pandangan mata mereka begitu liar, melahap seluruh tubuh yang sudah sebagian
terbuka, dengan pakaian yang tercabik akibat pertarungan tadi. Kulit tubuh Wulan
yang putih dan halus, membuat tenggorokan mereka turun naik menahan gejolak
nafsu yang seketika itu juga menggelegar liar. Melihat mereka sudah begitu
dekat, seluruh tubuh Wulan merasa bergidik. Dan wajahnya semakin pucat seperti
mayat. Suara-suara tawa penuh mengejek terus terdengar di telinganya.
"Kubunuh kalian kalau berani menyentuhku...!"
bentak Wulan mengancam.
Namun dalam keadaan tubuh terikat seperti ini, tentu saja ancamannya hanya
disambut dengan se-ringai dan tawa terkekeh. Wulan sadar kalau keadaannya memang
tidak menguntungkan dirinya sama sekali. Dan dia tahu, tidak akan ada lagi ke-
ajaiban yang bisa menolongnya dari kesulitan ini Dia merasa lebih baik langsung
mati, daripada harus ternoda dan terhina seperti ini. Dia tidak rela tangan-
tangan mereka menjamah tubuhnya. Namun apa daya, tak ada lagi yang bisa
dilakukannya. Sementara mereka sudah semakin mendekat dengan sinar mata penuh
nafsu yang membara tanpa dapat dibendung lagi.
Kini, Wulan hanya bisa berharap ada satu keajaiban lagi yang membantunya
melepaskan diri dari siksaan yang bakal dialami. Dia tidak sanggup lagi
memandang mereka yang sudah dirasuki hawa nafsu menggejolak membara di dalam
dada. Pandangan yang liar menjilati sekujur tubuh yang sudah terkoyak
pakaiannya. Wulan benar-benar tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Hatinya sudah
pasrah, apa pun yang akan terjadi.
Namun pada saat yang sangat kritis itu, tiba-tiba saja...
"Craaakh...!"
"Oh..."!"
*** Wulan tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar suara nyaring yang sudah
dikenalnya dengan baik.
Belum sempat ada seorang pun yang bias menyadari, tahu-tahu sudah terlihat
sebuah bayangan hitam kecil meluruk deras dari atas. Dan langsung hinggap pada
tonggak kayu yang mengikat Gadis Seribu Nama ini dengan tambang yang cukup
besar. Wulan melirik sedikit dengan kepala menoleh ke belakang.
"Tiren...," desisnya, begitu melihat seekor monyet tengah menggigit tambang yang
mengikat tubuhnya.
Gigi-gigi Tiren yang tajam dan bertaring, dengan mudah memutuskan tambang itu,
hingga WuIan terlepas dari ikatannya. Tanpa banyak membuang waktu lagi, Wulan
segera melompat menerjang dua orang laki-laki yang berada tepat di depannya. Dua
kali pukulannya dilepaskan dengan kecepatan tinggi, disertai pengerahan tenaga
dalam yang masih tersisa. Begitu cepat terjangannya, sehingga dua orang itu
tidak sempat lagi bergerak.
Begkh! Des! "Akh...!"
"Aaaa...!"
Keduanya menjerit melengking, begitu dada dan kepala mereka terkena pukulan yang
keras dan bertenaga dalam.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu, Wulan langsung melentingkan tubuhnya ke atas dengan
pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatannya. Dan gadis itu
langsung meluruk deras ke belakang orang-orang yang sudah mau
mengeroyoknya. Begitu kakinya menyentuh tanah, dengan cepat sekali dia melesat
tinggi ke atas.
Langsung naik ke pagar benteng yang mengelilingi padepokan.
Dua orang yang berada di atas pagar benteng itu tersentak kaget setengah mati.
Mereka tidak sempat berbuat sesuatu. Wulan sudah memberikan pukulan-pukulan
beruntun yang begitu cepat, disertai dengan pengerahan tenaga dalam. Seketika
kedua orang yang memegang busur itu terbanting jatuh dengan keras sekali,
disertai suara jeritan melengking dan menyayat hati. Sementara Wulan sempat
melihat Tiren sudah naik ke atas pagar dengan tangkas sekali. Monyet kecil itu langsung
melompat keluar melalui dahan pohon yang menjuntai melewati pagar benteng
padepokan itu. "Akan kuhancurkan kalian semua! Hiyaaa...!"
Sambil membentak nyaring, Wulan langsung melompat keluar dari atas pagar benteng
padepokan. Ringan sekali kedua kakinya menjejak tanah diluar benteng. Dia langsung berlari
cepat dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, menjauhi
padepokan itu. Sementara dari atas pohon, Tiren terus mengikuti melalui dahan
pohon yang satu ke dahan pohon lainnya. Begitu ringan gerakan monyet kecil itu.
Sehingga dalam waktu sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan benteng Padepokan
Teratai Emas. Sedangkan Wulan terus berlari dengan kecepatan tinggi, menembus
hutan yang cukup lebat di puncak bukit itu.
Berhasilnya Wulan melepaskan diri, membuat keadaan di dalam lingkungan Padepokan
Teratai Emas gempar. Ki Denggis yang mendapat laporan jadi berang setengah mati.
Bahkan Nyai Kantil memarahi semua muridnya. Tidak ada yang bisa dilakukan
mereka, kecuali berusaha mengejar si Gadis Seribu Nama itu keluar dari benteng
padepokan. Tapi mana mungkin bisa terkejar" Wulan sudah begitu jauh pergi masuk
ke dalam hutan. Jejaknya pun tidak terlihat lagi, karena saat itu matahari sudah
tenggelam di balik peraduannya. Sehingga pencarian mereka hanya pekerjaan sia-
sia belaka. Lolosnya Wulan tidak hanya menimbulkan ke-geraman di hati Ki Denggis, melainkan
juga membuat mereka gelisah. Terlebih lagi mereka tidak menemukan tubuh Perbawa
di tempatnya, yang mereka
tinggalkan dengan tubuh terluka parah. Nyai Kantil langsung memberi perintah
pada murid-muridnya untuk mengadakan penjagaan lebih ketat lagi.
Bahkan Ki Balung, Ki Tampul, dan Ki Rampak juga memerintahkan para muridnya
untuk memperkuat pertahanan Padepokan Teratai Emas. Ki Denggis sendiri
memutuskan untuk tetap mencari Wulan di sekitar bagian luar padepokan. Dia
merasa yakin kalau gadis itu tidak bisa lagi berlari jauh dengan tubuh yang
tcriuka. Dia tampaknya tidak menyadari kalau luka yang diderita Wulan tidak
seberapa parah.
Dan gadis itu sudah jauh berada di lereng Bukit Angsa bersama Tiren, sahabat
kecil Pendekar Pulau Neraka yang membuat keajaiban bagi dirinya.
*** Di pinggir sebuah telaga di lereng Bukit Angsa, Wulan membersihkan darah kering
yang melekat di tubuhnya. Dia juga mengganti pakaiannya yang sudah koyak. Dia
memang membawa pakaian ganti
disimpan di pelana kudanya yang ditinggalkan di tepi telaga itu. Namun pakaian
penggantinya pun tetap berwarna putih.
Selesai membersihkan diri, Wulan melakukan semadi, ditemani Tiren yang duduk
dekat di depannya. Monyet kecil itu tampak diam saja memperhatikan Wulan
melakukan semadi untuk memulihkan kembali tenaga dan kekuatannya yang berkurang
jauh, akibat pertarungannya sore tadi.
Sementara itu Pendekar Pulau Neraka sudah berada kembali di puncak Bukit Angsa.
Dia berada tidak jauh dari bangunan Padepokan Teratai Emas yang seperti benteng
pertahanan. Entah sudah
berapa lama dia mengamati keadaan di sekitar padepokan itu. Tujuannya sudah
pasti, akan membebaskan Wulan Untari yang ditawan di dalam sana.
Dirinya tidak tahu kalau Gadis Seribu Nama itu sudah keluar ditolong Tiren.
Ketika Pendekar Pulau Neraka baru saja mau melangkah mendekati bangunan
Padepokan Teratai Emas, tiba-tiba saja....
"Apa yang kau cari di sini, Kisanak...?"
"Heh..."!"
Pendekar Pulau Neraka terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara berat dari arah
belakang. Dan belum sempat dia memutar tubuhnya berbalik, tahu-tahu sudah terasa
desiran angin kencang dari belakang.
Bayu tidak sempat lagi menyadari apa yang terjadi.
Tahu-tahu satu pukulan keras dan bertenaga dalam tinggi sudah menghantam
punggungnya. Diegkh! "Akh...!"
Pendekar Pulau Neraka tersungkur jatuh mencium tanah. Tubuhnya bergulingan
beberapa kali hingga menumbangkan dua batang pohon. Namun cepat dia bisa bangkit
berdiri dan memutar tubuhnya berbalik.
Pada saat itu juga, sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menerjangnya.
"Haiiittt...!"
Cepat Bayu memiringkan tubuh ke kanan, hingga terjangan bayangan itu tidak
sampai mengenainya.
Dengan cepat Bayu mengibaskan tangan kiri, men-coba untuk menghantam bayangan
yang lewat di sebelah kirinya. Namun hantamannya lewat tanpa mengenai sasaran
sedikit pun. Pemuda berambut gondrong itu cepat memutar tubuh berbalik, tepat di


Pendekar Pulau Neraka 57 Sepasang Bangau Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat bayangan yang menyerangnya juga berputar
balik menghadapinya.
"Ki Denggis...," desis Bayu langsung mengenali orang itu.
"Mau apa kau datang ke sini?" bentak Ki Denggis.
"Aku mau bebaskan Wulan," sahut Bayu tegas.
"Ha ha ha...!" Ki Denggis tertawa terbahak-bahak.
Suara tawanya begitu keras menggelegar, membuat telinga Bayu terasa pekak seakan
hendak pecah. Bayu bisa merasakan kalau suara tawa itu disertai dengan
pengerahan tenaga dalam, hingga dia terpaksa harus melawannya dengan pengerahan
tenaga dalam juga.
"Dia sudah mampus! Dan kau datang juga mengantarkan nyawa!" bentak Ki Denggis
lantang. "Keparat...! Kau harus menebus nyawanya...!"
dengus Bayu geram, mendengar Wulan Untari sudah mati di padepokan itu.
"Ha ha ha...!"-
Ki Denggis hanya tertawa terbahak-bahak. Seakan dia merasa menang sudah membuat
Pendekar Pulau Neraka jadi berang. Bayu memang marah mendengar Wulan Untari
sudah mati. Wajahnya langsung memerah. Namun Pendekar Pulau Neraka ternyata
tidak mudah terpancing begitu saja. Walau hatinya sudah membara, dia tetap
benlsaha tenang.
"Kedatanganmu akan menemaninya di neraka, Bocah...!" desis Ki Denggis dingin
menggetarkan. Bayu hanya diam dengan geraham bergemeletuk menahan geram. Dia tetap menunjukkan
kete-nangan, walau Ki Denggis sudah berusaha keras memancing kemarahannya.
Melihat Pendekar Pulau Neraka tetap bersikap tenang, wajah Ki Denggis tampak
meregang kaku menahan geram.
"Mampus kau, Bocah Keparat! Hiyaaattt...!"
Sambil membentak keras, Ki Denggis melesat cepat bagai kilat menyerang Pendekar
Pulau Neraka. Satu pukulan yang sangat keras dan bertenaga dalam tinggi langsung dilepaskan
tepat mengarah ke dada pemuda berbaju kulit harimau itu. Namun sedikit pun Bayu
tidak terlihat berusaha menghindari. Begitu pukulan tangan kanan orang tua itu
hampir menghantam dadanya, tiba-tiba saja Bayu mengangkat tangan kanan ke depan
dada. Hingga...
Plak! "Akh...!"
*** Ki Denggis terpekik, saat pukulannya menghantam pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka.
Di pergelangan tangan kanan pemuda itu menempel Cakra Maut yang menjadi senjata
andalannya. Sudah barang tentu Ki Dejiggis merasa seluruh tulang tangannya
seperti remuk berpatahan menghantam senjata maut itu.
Dan belum sempat dia berbuat sesuatu, Bayu sudah melepaskan satu tendangan keras
menggeledek dengan gerakan secepat kilat. Kecepatan tendangan geledek Pendekar
Pulau Neraka itu tidak dapat lagi terlihat, hingga Ki Denggis sama sekali tidak
dapat berkelit menghindarinya. Buk!
"Ugkh...!"
Ki Denggis terbungkuk sambil mengeluarkan keluhan pendek, begitu tendangan
dahsyat Pendekar Pulau Neraka menghantam tepat di perutnya.
Bersamaan dengan itu Bayu melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan
tenaga dalam, menghantam telak wajah lawan.
Plak! "Akh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Denggis memekik
kesakitan, begitu wajahnya seakan diremukkan dengan pukulan menggeledek Pendekar
Pulau Neraka. Begitu kerasnya, hingga membuat orang tua itu terhuyung-huyung ke
belakang. Tampak darah mengalir sangat deras dari kedua lubang hidung dan
mulutnya. Sementara Bayu sama sekali tidak memberi kesempatan pada lawan. Sambil membentak
keras menggelegar, Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya, dengan
tubuh agak membungkuk doyong ke kiri.
"Yeaaah...!"
Slap! Seketika itu juga, Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan melesat dengan
kecepatan bagai kilat. Sementara Ki Denggis sendiri belum bisa menguasai keadaan
dirinya, hingga dia tidak dapat lagi menghindari sambaran senjata dahsyat
berben-tuk lempengan persegi enam itu.
Crabb! "Aaaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar memecah kesunyian di puncak
Bukit Angsa. Ki Denggis terhuyung-huyung ke belakang, dengan Cakra Maut membenam
dalam di dadanya.
Darah seketika muncrat, menyemburat dengan deras sekali, begitu Cakra Maut
melesat keluar bersamaan dengan menghentaknya tangan Bayu ke atas kepala.
Senjata itu kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Ki Denggis masih terhuyung-huyung memegangi dadanya yang beriubang dan
berlumuran darah. Tidak lama kemudian, tubuhnya, ambruk dengan keras sekali
menghantam tanah.
Dan hanya sebentar dia bergerak menggeliat meregang nyawa. Kemudian mengejang
kaku, dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Ki Denggis tewas seketika.
Jeritan Ki Denggis yang keras dan melengking sebelum tewas tadi, terdengar
sampai ke dalam benteng Padepokan Teratai Emas. Semua orang yang ada di dalam
bangunan seperti benteng itu jadi tersentak kaget. Dan mereka yang berada di
atas pagar benteng melihat kematian Ki Denggis di tangan seorang pemuda berbaju
kulit harimau, tidak jauh di sebelah kanan depan padepokan. Orang-orang itu
berteriak keras memberitahu pemimpin mereka yang juga sudah keluar dari dalam
bangunan utama padepokan, ketika mendengar jeritan panjang kematian Ki Denggis
tadi. Sementara Pendekar Pulau Neraka segera melesat dengan cepat, masuk kembali ke
hutan, tepat di saat puluhan orang bersama Nyai Kantil dan tiga orang sahabatnya
keluar dari dalam padepokan. Mereka langsung menuju ke tempat Ki Denggis
bertarung dengan Pendekar Pulau Neraka.
Mereka tidak dapat lagi menahan kemarahan, mendapati Ki Denggis tewas dengan
dada berlubang berlumuran darah. Pemimpin-pemimpin padepokan itu langsung
memerintahkan para muridnya menyebar, mencari pembunuh Ki Denggis.
Tidak ada seorang pun yang berani membantah.
Mereka segera melaksanakan perintah, walau di dalam hati mencuat kegentaran.
7 Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau sebenarnya Bayu berputar mengelilingi
bangunan Padepokan Teratai Emas. Sehingga kini dia sudah ada di bagian belakang
bangunan itu. Bayu melihat kalau bagian belakang tidak terjaga dengan ketat.
Tanpa banyak kesulitan, Pendekar Pulau Neraka melompat naik ke atas pagar
benteng yang tinggi.
"Hup!"
Mengagumkan sekali ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka.
Hanya sekali genjot, dia melesat tinggi ke atas, dan tahu-tahu sudah berada di
atas pagar benteng padepokan.
Hanya sebentar saja dia mengamati keadaan sekitarnya. Kemudian dengan gerakan
yang ringan sekali, tubuhnya melompat turun dari atas pagar benteng.
Sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua telapak kakinya menjejak tanah.
Bayu cepat merundukkan tubuh, ketika melihat dua orang berjalan dari arah
samping bangunan utama padepokan menuju ke bagian belakang.
"Hep!"
Kembali Bayu melesat dengan kecepatan tinggi sekali. Sehingga, tahu-tahu dirinya
sudah berada di belakang kedua orang penjaga itu. Sebelum ada yang menyadari,
Bayu sudah memberikan satu totokan tepat pada tengkuk mereka, hingga tanpa
bersuara lagi, kedua orang itu ambruk tidaK sadarkan diri.
Sebentar Bayu mengamati keadaan sekitarnya.
Kemudian dia kembali melentingkan tubuh ke atas,
langsung hinggap di atas atap bangunan utama Padepokan Teratai Emas.
Saat itu juga kening Bayu jadi berkerut. Dia melihat di tengah-tengah halaman
depan padepokan terdapat sebatang tonggak dengan tambang yang menggeletak di
sekitarnya. Di sekitar tonggak itu juga banyak terdapat tumpukan ranting kering.
Sepertinya padepokan ini sedang mempersiapkan sebuah hukuman bakar hidup-hidup.
Namun tidak ada seorang pun yang terikat pada tonggak kayu itu.
"Hm..., apakah Wulan bisa menyelamatkan diri"
Siapa yang menyelamatkannya...?" pikir Bayu, bertanya-tanya sendiri di dalam
hati. "Atau mungkin mereka mengurungnya di tempat lain...?"
Bayu berpikir keras mencari segala kemungkinan yang terjadi pada diri si Gadis
Seribu Nama itu.
Beberapa saat dia masih mengedarkan pandangan berkeliling, merayapi keadaan
sekitarnya yang terjaga dengan ketat di bagian depan.
"Hm, sebaiknya aku periksa dulu seluruh tempat di sini selagi masih malam,"
gumam Bayu bicara sendiri di dalam hati.
Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Pulau Neraka langsung bergerak seperti
seekor kucing, memeriksa setiap bagian di lingkungan padepokan yang seperti
benteng pertahanan ini. Dengan ilmu meringankan tubuh yang dikuasainya, membuat
setiap gerakan langkahnya tidak menimbulkan suara sedikit pun. Sehingga tidak
ada seorang pun penjaga yang mengetahuinya.
Bayu bergerak cepat memeriksa sampai ke bagian dalam bangunan utama, dan
beberapa bangunan lainnya yang ada di lingkungan benteng Padepokan Teratai Emas.
Sudah seluruh bagian ditelitinya, tapi
Bayu tidak juga menemukan di mana adanya Wulan Untari. Kini dia kembali ke
bagian belakang padepokan. Kemudian melesat keluar melompati pagar benteng yang
tinggi dan kokoh itu. Keadaan yang gelap, membuat gerakan Pendekar Pulau Neraka
bisa lebih leluasa. Sebentar saja dirinya sudah berada di luar padepokan.
"Aku yakin Wulan sudah bisa menyelamatkan diri,"
gumam Bayu bicara pada diri sendiri, setelah berada di luar lingkungan benteng
padepokan. Beberapa saat dia memperhatikan padepokan yang masih tenaga cjengan ketat itu.
Kemudian dia mengayunkan kaki meninggalkan Padepokan Teratai Emas. Cepat sekali
dia berjalan, karena menggunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga sebentar saja
dia sudah jauh dari padepokan milik Nyai Kantil itu.
Sementara itu Nyai Kantil memerintahkan murid-muridnya membawa masuk mayat Ki
Denggis. Kemudian bersama ketiga sahabatnya dia membicarakan keadaan yang semakin terasa
memburuk. Mereka merasa bahwa keadaan seperti ini tidak akan cepat berakhir, sebelum
Sepasang Bangau Putih bisa dilenyapkan untuk selamanya. Dan sekarang ini, tidak
diketahui di mana mereka berada. Meski begitu, tokoh-tokoh tua itu merasa
sedikit lega, karena sudah bisa membuat lawan-lawan mereka terpencar-pencar.
Nyai Kantil sudah tahu kalau kedua anak muda itu adalah murid Ki Sarpakenaka,
yang memiliki ilmu Bangau Putih. Mereka, juga tahu kelemahannya, hingga
memisahkan keduanya untuk mendapatkan kelemahan ilmu Bangau Putih itu.
Sedangkan Bayu yang merasa yakin kalau Wulan Untari sudah selamat dari tangan
musuh-musuhnya,
berusaha mencari gadis itu di sekitar puncak Bukit Angsa. Bahkan dia terus
mencari sampai ke lereng bukit. Namun sampai jauh malam, tidak juga dia bisa
menemukan jejak si Gadis Seribu Nama itu. Wulan seakan lenyap tertelan bumi di
malam yang gelap tanpa bulan dan bintang ini. Bayu tetap mencari gadis itu di
sekitar lereng Bukit Angsa. Dia bertekad akan terus mencari sampai Wulan Untari
ditemukan, meskipun hanya tinggal jasadnya. Tekad itu terus membara di dada
Pendekar Pulau Neraka, hingga tidak peduli malam terus merambat semakin larut.
Tidak peduli udara di seluruh bu itu sudah terasa begitu dingin menusuk sampai
ke tulang. *** Matahari baru saja muncul dari balik bukit. Cahayanya menerangi sekitar Bukit
Angsa yang kelihatan sunyi dan lengang. Sementara tidak jauh dari kaki bukit
itu, Perbawa duduk bersila dengan sikap bersemadi di sebuah ruangan kecil, dalam
sebuah pondok yang sederhana. Di depan pemuda itu duduk bersila seorang laki-
laki tua berjubah putih yang sudah memutih semua rambut dan janggutnya. Orang
tua itu tidak lepas memandangi Perbawa yang masih bersemadi memulihkan kekuatan
dan tenaga di dalam tubuhnya.
Orang tua itu tampak tersenyum, saat melihat Perbawa membuka kelopak matanya.
Dia langsung menyodorkan semangkuk air putih yang sejak tadi ada di depannya.
Tanpa ragu-ragu lagi, Perbawa menerima mangkuk dari tanah Hat itu. Lalu meneguk
habis semua air di dalamnya. Dia meletakkan mangkuk yang sudah kosong di atas
balai bambu yang didudukinya.
"Terima kasih, Ki Marunta," ucap Perbawa.
"Bagaimana" Sudah enak kan tubuhmu...?" tanya orang tua yang bernama Ki Marunta
itu. "Aku merasa seperti hidup kembali dari kematian, Ki. Terima kasih, kau sudah
menolong menyembuhkan lukaku," sahut Perbawa.
"Syukurlah...! Aku senang kalau kau sudah sehat kembali," ujar Ki Marunta.
Perbawa melihat pakaiannya teronggok di sebelahnya dalam keadaan sudah bersih.
Ki Marunta tersenyum melihat Perbawa mengambil pakaian dan langsung
mengenakannya. Pedangnya disampirkan ke punggung. Pemuda itu turun dari balai
bambu yang hanya beralaskan selembar tikar lusuh. Dia berlutut di depan Ki
Marunta. Tapi orang tua itu cepat menyentuh pundak Perbawa dan membangunkannya.
"Tidak perlu kau bersikap begitu padaku, Perbawa.
Aku senang kalau kau sudah sembuh dan pulih seperti sedia kala," kata Ki Marunta
lembut. "Di mana Kakang Bayu, Ki?" tanya Perbawa, begitu teringat dengan Pendekar Pulau
Neraka yang membawanya ke tabib tua ini semalam.
"Dia kembali ke Bukit Angsa. Katanya mau membebaskan adikmu yang ditawan
mereka," sahut Ki Marunta.
"Oh, Wulan.... Dia ditawan mereka...?"
Perbawa tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Dia tidak tahu kalau Wulan
Untari ter-tangkap.
"Kau tunggu saja di sini sampai Bayu kembali,"
kata Ki Marunta.
"Tapi, Ki. Aku harus membantunya. Kekuatan mereka besar sekali," kata Perbawa.
"Aku kenal betul siapa Bayu.. Aku yakin dia tak akan berbuat gegabah
menyelamatkan adikmu.
Percayalah, dia pasti kembali bersama adikmu yang ditawan mereka!" kata Ki
Marunta menyabarkan.
Walaupun perasaannya tidak bisa tenang,
Perbawa tidak mau mengecewakan hati tabib tua yang sudah menolong nyawanya ini.
Dia kembali duduk di tepi balai bambu. Namun Ki Marunta malah bangkit berdiri
dan berjalan keluar dari ruangan yang berukuran kecil itu. Perbawa mengikutinya
dari belakang. Keduanya langsung keluar dari gu-buk kecil yang sangat sederhana
itu. Mereka kemudian duduk di bangku yang terbuat dari bambu di depan rumah.
Sebuah pohon beringin melindungi mereka dari sengatan sinar matahari.
"Sudah berapa lama kau kenal dengan Kakang Bayu, Ki?" tanya Perbawa setelah
beberapa saat mereka terdiam.
"Lama juga...," sahut Ki Marunta tanpa memalingkan pandangannya sedikit pun dari
puncak Bukit Angsa.
"Apakah dia seorang pendekar tangguh, Ki?" tanya Perbawa lagi, ingin tahu siapa
sebenarnya pemuda, berbaju kulit harimau itu.
"Benar, Perbawa. Kepandaian yang dimilikinya sukar dicari tandingannya. Dan dia
itu dikenal dengan nama Pendekar Pulau Neraka," sahut Ki Marunta menjelaskan.
"Pendekar Pulau Neraka...?" .
Lagi-lagi Perbawa terkejut, meskipun sebelumnya sudah tahu kalau pemuda berbaju
kulit harimau itu Pendekar Pulau Neraka. Sebab kemarin Untari telah
menjelaskannya tentang pendekar muda yang sangat disegani semua orang di
kalangan rimba persilatan
itu. Sering dia mendengar sepak terjang Pendekar Pulau Neraka, tapi baru kali
ini dirinya yakin, setelah mendengar dari Ki Marunta, bahwa ternyata pendekar
muda digdaya itu yang menyelamatkan nyawanya dari kematian di puncak Bukit
Angsa. Pantas saja Ki Marunta begitu percaya pada Bayu, karena kemampuannya bisa
diandalkan untuk menembus benteng pertahanan Padepokan Teratai Emas.
"Ki, itu mereka...!" seru Perbawa tiba-tiba.
Ki Marunta hanya tersenyum saja melihat Bayu berjalan sambil menggendong seorang
gadis berbaju putih yang terkulai lemah seperti mati. Melihat keadaan Wulan
seperti itu, Perbawa jadi terkesiap.
Bergegas dia mengejar Pendekar Pulau Neraka.
Perbawa langsung menggantikan Bayu menggendong Wulan dan membawanya ke pondok Ki


Pendekar Pulau Neraka 57 Sepasang Bangau Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Marunta. "Dia masih hidup?" tanya Ki Marunta langsung, begitu kedua pemuda ini sampai di
depannya. "Masih, Ki," sahut Bayu.
"Bawa dia ke dalam, Perbawa!" pinta Ki Marunta.
Perbawa segera membawa Wulan Untari masuk ke pondok tabib tua ini. Sementara
Bayu menunggu di luar bersama Tiren yang tetap berada di pundaknya.
Tidak lama Perbawa keluar lagi. Dia langsung duduk di samping Pendekar Pulau
Neraka. "Untung kau cepat menyelamatkannya, Kakang.
Tapi keadaannya tidak separah dari yang aku derita,"
kata Perbawa. Bayu hanya menghembuskan napasnya panjang-panjang. Pandangannya tertuju lurus ke
arah puncak Bukit Angsa. Perbawa juga terdiam membisu. Matanya juga memandang ke
arah yang sama. Entah apa yang ada di dalam benak kedua pemuda itu.
Sementara Ki Marunta sibuk mengobati luka-luka yang diderita Wulan Untari di
dalam pondoknya.
*** Dua hari Wulan Untari berada dalam perawatan tabib tua Ki Marunta. Keadaan gadis
itu sudah kembali pulih seperti semula. Selama dua hari itu, Bayu pun terus
menyebdiki keadaan di Padepoka Teratai Emas. Sedangkan Perbawa harus menunggui
Wulan hingga gadis itu benar-benar pulih keadaannya. Dan setiap kali Bayu
kembali ke pondok Ki Marunta, dia selalu mengatakan kalaukKeadaan di puncak
Bukit Angsa masih tetap sama. Bahkan penjagaannya semakin bertambah ketat. Bukan
hanya di dalam saja, penjagaan juga dilakukan di luar bangunan padepokan yang
seperti benteng pertahanan itu.
"Lalu, bagaimana kita menembusnya...?" tanya Wulan Untari, ketika sore itu
mereka berkumpul di depan pondok Ki Marunta.
Bayu hanya diam mendengar pertanyaan Wulan.
Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya untuk menyenangkan hati gadis ini.
Karena memang tidak ada satu cara pun yang terbaik untuk menembus ketatnya
penjagaan di Padepokan Teratai Emas.
Namun Bayu juga tidak ingin membuat Sepasang Bangau Putih jadi kecewa. Dia
merasa sudah terlalu dalam mencampuri urusan mereka. Apa pun yang terjadi,
dirinya sudah berada di pihak Sepasang Bangau Putih.
"Malam nanti kita ke sana. Kita coba menembus pertahanan mereka," kata Bayu
memutuskan. "Kau sudah punya cara, Bayu?" tanya Ki Marunta
yang ikut dalam pembicaraan itu.
"Belum, Ki," sahut Bayu.
"Lalu, bagaimana kau akan menembus pertahanan mereka?" tanya Ki Marunta lagi.
"Mudah-mudahan saja malam nanti pertahanan mereka berkurang," sahut Bayu seraya
tersenyum. Ki Marunta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dia seakan bisa memahami arti senyuman Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan
Wulan Untari dan Perbawa hanya saling berpandangan. Mereka memang tidak bisa
mengetahui jalan pikiran Pendekar Pulau Neraka. Mereka terus diliputi
kebimbangan, karena tidak tahu cara yang tepat untuk menembus pertahanan yang
ketat di Padepokan Teratai Emas.
"Sebaiknya kalian persiapkan diri untuk malam nanti," kata Bayu seraya menatap
pada Wulan Untari dan Perbawa.
"Benar, mungkin saja malam nanti kalian akan menguras seluruh kemampuan yang
kalian miliki,"
sambung Ki Marunta.
"Tapi ingat, kalian jangan lagi terpisah. Kalian bisa lemah dan mudah
ditaklukkan kalau terpisah. Ingat dengan pengalaman yang sudah terjadi pada diri
kalian sendiri. Bukankah hal itu sudah pernah terjadi pada guru kalian?" tukas
Bayu memperingat kan.
Wulan dan Perbawa hanya menganggukkan
kepala. Sudah tentu keduanya tidak mau lagi mengulangi kesalahan yang hampir
saja membuat nyawa mereka berdua melayang.
"Pergilah kalian ke belakang! Ada tempat yang cocok untuk kalian mempersiapkan
diri," ujar Ki Marunta.
Sebentar kedua anak muda yang dijuluki
Sepasang Bangau Putih itu saling berpandangan.
Kemudian mereka beranjak pergi dari depan pondok ta-bib tua Ki Marunta. Keduanya
langsung menuju ke belakang melalui jalan samping pondok. Sementara Bayu hanya
memandangi dengan bibir menyunggingkan senyuman.
Tidak lama kemudian, sudah terdengar teriakan-teriakan kedua anak muda itu
berlatih, mempersiapkan diri untuk menghadapi orang-orang di Padepokan Teratai
Emas. Bayu kembali memandang pada Ki Marunta. Terlihat kepala orang tua itu
bergerak terangguk-angguk perlahan-lahan beberapa kali.
"Kenapa kau sembunyikan hal sebenarnya pada mereka, Bayu?" tanya Ki Marunta
langsung menegur Pendekar Pulau Neraka itu.
"Aku tidak ingin mereka menganggap enteng lawan-lawannya, Ki. Mereka sudah
melakukan kesalahan sekali. Dan aku tidak ingin kesalahan itu terulang kembali.
Biar mereka menganggap lawan kali ini merupakan lawan yang berat," sahut Bayu.
"Tapi sebenarnya kau sudah mengurangi kekuatan mereka, kan...?" desak Ki
Marunta. "Ya.... Begitulah, Ki. Aku sudah mengurangi tiga orang dari kekuatan mereka.
Tinggal Nyai Kantil dan Ki Rampak saja yang belum. Juga orang-orang mereka kini
tinggal sedikit lagi," sahut Bayu.
"Selama dua hari ini kau sudah mengurangi kekuatan mereka begitu banyak...?"
Kali ini Ki Marunta jadi terlongong heran.
"Sebenarnya kekuatan mereka tidak seberapa, Ki.
Hanya saja Perbawa dan Wulan terlalu yakin akan kemampuannya sendiri, hingga
mereka menganggap kecil lawan-lawannya. Dan itu satu kesalahan yang sangat
besar. Kesalahan itu tidak boleh terulang
kembali kalau keduanya ingin berhasil menumpas mereka," kata Bayu menjelaskan.
"Kau memang pintar, Bayu," puji Ki Marunta.
"Sebenarnya aku sendiri tidak ingin mencampuri urusan ini, Ki. Tapi karena guru
mereka adalah sahabat guruku, bahkan bisa dikatakan bersaudara, jadi aku tidak
bisa melihat mereka menghadapi bahaya sendiri. Bagaimanapun aku harus turun
tangan membantu. Dan mereka memang sudah pantas mendapat ganjaran seperti itu.
Apalagi tujuan mereka mendirikan padepokan, untuk memperkuat diri dan mengulangi
kejayaan mereka di masa lalu.
Kau bisa bayangkan, Ki. Bagaimana kalau mereka benar-benar kuat dan menguasai
seluruh rimba persilatan..." Dunia ini akan hancur kalau sampai orang-orang
seperti mereka menguasainya," panjang lebar Bayu menjelaskan.
Ki Marunta. hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar penuturan Pendekar Pulau
Neraka itu. Dia sendiri sebenarnya sudah tahu kalau Nyai Kantil dan yang lainnya mendirikan
padepokan hanya untuk membangun kembali kekuatan dan kejayaan masa lalunya.
Orang tua itu sebenarnya senang kalau orang-orang itu dapat dihancurkan sebelum
bisa menguasai seluruh dunia ini dengan menyebar kejahatan di mana-mana. Apalagi
dalam persoalan ini, Pendekar Pulau Neraka ikut campur tangan.
Walaupun kehadirannya tanpa disengaja. Dan mungkin ini memang sudah menjadi
kehendak Sang Hyang Widi, yang tidak menginginkan orang-orang seperti Nyai
Kantil dan Ki Denggis menguasai dunia yang memang sudah hancur ini.
"Aku pergi dulu, Ki," ujar Bayu tiba-tiba seraya bangkit berdiri.
"Kau mau ke mana, Bayu?" tanya Ki Marunta.
"Aku akan mengurangi kekuatan mereka sedikit lagi untuk malam nanti," sahut Bayu
seraya tersenyum.
"Hati-hatilah kau, Bayu! Jangan sampai kau celaka karenanya," ujar Ki Marunta
menasihati. Bayu hanya tersenyum. Setelah dia menjura memberi hormat pada orang tua itu,
kakinya langsung saja terayun melangkah pergi meninggalkannya. Ki Marunta hanya
memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka. Sementara dari belakang pondoknya
masih terdengar teriakan-teriakan Sepasang Bangau Putih yang sedang
mempersiapkan diri untuk pertarungan malam nanti di Padepokan Teratai Emas.
Ki Marunta baru beranjak ke belakang pondoknya, setelah tidak lagi melihat
Pendekar Pulau Neraka yang lenyap tertelan lebatnya hutan di kaki Bukit Angsa.
*** 8 Malam begitu pekat. Tidak sedikit pun terlihat cahaya bintang maupun bulan di
langit yang gelap berselimut awan hitam menggumpal. Angin yang berhembus di
seluruh daerah Bukit Angsa terasa begitu dingin menusuk sampai ke tulang. Namun
keadaan alam yang seakan tidak ramah ini, sama sekali tidak menghalangi tiga
orang pendekar muda yang menuju ke puncak bukit itu. Mereka melangkah dengan
ayunan kaki yang mantap, tanpa peduli kegelapan menyelimuti sekitarnya. Tidak
peduli terpaan angin dingin yang menggigilkan. Tidak peduli dengan kabut yang
menghalangi pandangan mata. Mereka terus melangkah dengan hati mantap mendaki
lereng bukit yang menghitam pekat terselimut kabut.
Langkah mereka baru berhenti setelah sampai di depan sebuah bangunan padepokan.
Tampak bangunan itu seperti tidak terjaga dengan ketat.
Keadaannya lengang sekali. Seakan-akan bangunan besar bagai benteng itu sudah
ditinggalkan penghuni-nya. Sepasang Bangau Putih yang mengapit Pendekar Pulau
Neraka jadi saling berpandangan melihat keadaan yang sungguh di luar dugaan.
Tidak seperti ketika pertama kali mereka datang ke tempat ini, penjagaannya
ketat sekali. Bahkan kini di atas pagar benteng, tidak terlihat seorang pun di
sana dengan anak panah siap dilepaskan dari busurnya.
"Jangan-jangan mereka sudah pergi...," gumam Wulan Untari.
"Mungkin juga ini jebakan," selak Perbawa. "Kita
harus hati-hati dengan keadaan seperti ini."
Sepasang Bangau Putih itu terus menduga-duga.
Sedangkan Bayu nampak diam saja. Dia tahu kalau kekuatan yang dimiliki Nyai
Kantil dan Ki Rampak tidak bisa lagi mengatur penjagaan yang ketat di dalam
bangunan benteng padepokan itu. Dan murid-murid yang mereka miliki juga tidak
seberapa lagi jumlahnya. Sudah barang tentu keadaan di Padepokan Teratai Emas
sunyi, seperti tidak ber-penghuni lagi.
"Ayo, kita dekati!" ajak Bayu. Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Pulau
Neraka melangkah mendekati bangunan Padepokan Teratai Emas.
Sementara Perbawa dan Wulan Untari mengikuti dari belakang, setelah mereka
saling berpandangan sejenak. Tanpa ada halangan apa pun, mereka sampai di depan
pintu gerbang benteng padepokan itu. Sebentar Bayu mengamati. Kemudian....
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka berteriak.
keras menggelegar. Dan bagaikan kilat dia mengibaskan tangan kanannya ke depan,
bersamaan dengan tubuhnya yang bergerak membungkuk.
Seketika Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan kanannya melesat dengan
kecepatan bagai kilat. Senjata maut andalan Pendekar Pulau Neraka itu langsung
menghantam pintu gerbang Padepokan Teratai Emas.
Glarrr! Sungguh dahsyat sekali senjata Pendekar Pulau Neraka itu. Pintu gerbang yang
tebal seketika hancur berkeping-keping diterjangnya. Dan senjata bundar bersegi
enam itu melesat balik, langsung menempel di pergelangan tangan kanan Bayu yang
terangkat ke atas kepala. "Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat dengan cepat
sekali menerobos pintu gerbang yang sudah hancur berkeping-keping. Namun begitu
kakinya menjejak tanah, seketika puluhan batang anak panah menyam-butnya dengan
gencar bagai hujan.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Bayu melentingkan tubuh ke atas, dan berputaran menghindari
terjangan panah yang menghujaninya. Tangan kanannya mengibas dengan cepat,
menyampok anak-anak panah itu dengan Cakra Maut yang menempel di pergelangan.
Sementara Sepasang Bangau Putih juga sudah menerobos ke dalam bangunan benteng
Padepokan Teratai Emas. Mereka langsung melompat sambil mencabut pedang dan
menghalau panah-panah yang menghujani Pendekar Pulau Neraka. Tidak satu batang
anak panah pun yang bisa menembus tubuh mereka. Bahkan pendekar-pendekar muda
itu mampu menerobos, dan langsung menghantam murid-murid Padepokan Teratai Emas
ini. "Hiyaaaa...!"
"Yeaaaah...!"
*** Jeritan-jeritan panjang menyayat seketika terdengar bersahutan. Disusul dengan
ambruknya tubuh-tubuh bersimbah darah. Bayu dan Sepasang Bangau Putih memang
bukan tandingan mereka.
Hingga dalam waktu singkat saja sudah tidak ter-hitung lagi berapa orang yang
mati terkapar ber-
lumuran darah. Sementara itu Bayu sudah mendekati bangunan utama Padepokan
Teratai Emas. Namun, begitu dia hendak menerobos ke dalam bangunan itu, mendadak
saja melesat dua bayangan dan langsung menerjangnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Dengan cepat Bayu melenting ke atas, hingga dua bayangan yang menerjangnya lewat
sedikit di bawah tubuhnya yang berputaran di udara. Manis sekali Pendekar Pulau
Neraka menjejakkan kaki kembali ke tanah. Cepat dia memutar tubuh berbalik,
bersamaan dengan meluruknya dua orang tua ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka langsung mengebutkan tangan kanannya ke depan. Dan
bersamaan dengan itu dia melesat ke atas, lalu meluruk deras ke arah Nyai
Kantil. Satu pukulan menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
seketika dilepaskan dengan cepat sekali. Begitu cepatnya serangan yang
dilancarkan pemuda berbaju kulit harimau itu, membuat Nyai Kantil jadi terbeliak
kaget setengah mati. Sementara itu Ki Rampak terpaksa harus berjumpalitan
menghindari serangan Cakra Maut yang bagai memiliki mata, berkelebatan mengincar
tubuhnya. "Hap!"
Nyai Kantil cepat meliukkan tubuhnya, menghindari pukulan yang dilepaskan pemuda
berbaju kulit harimau itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Bayu memutar tubuhnya
dengan cepat sambil melepaskan satu tendangan menggeledek yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi. Serangan beruntun yang dilancarkan dengan
kecepatan tinggi
itu membuat lawan tidak dapat lagi menghindari.
Diegkh! "Akh...!"
Perempuan tua itu memekik keras agak tertahan, begitu tendangan yang dilepaskan
Bayu menghantam telak dadanya. Tubuh perempuan tua itu terpental cukup jauh ke
belakang dan dengan keras sekali menghantam tanah. Kembali Nyai Kantil memekik
keras agak tertahan. Pada saat yang bersamaan, Bayu menghentakkan tangan kanan
ke arah perempuan tua itu. Seketika Cakra Maut yang sedang menyerang Ki Rampak langsung
berputar arah dengan cepat, memburu Nyai Kantil.
Wusss! Begitu cepatnya Cakra Maut melesat, membuat Nyai Kantil tidak punya kesempatan
lagi menghindar.
Terlebih lagi dia belum bisa mengurangi rasa nyeri yang menghantam dadanya,
akibat tendangan keras Pendekar Pulau Neraka tadi. Hingga...,
Crab! "Aaaa...!"
Nyai Kantil menjerit melengking ketika Cakra Maut menghujam deras dadanya hingga
langsung melesat keluar lagi melalui punggung. Perempuan tua itu terhuyung-
huyung ke belakang dengann darah berhamburan deras dari lubang di dada dan
punggungnya. Hanya beberapa saat perempuan tua itu masih mampu bertahan berdiri.
Kemudian tubuhnya ambruk menggelimpang ke tanah. Sebentar dia menggeliat
meregang nyawa. Kemudian
mengejang kaku, dan diam tidak bergerak-gerak lagi-Kematian Nyai Kantil membuat
Kr Rampak tampak pucat dan tegang. Kegentaran seketika menyelimuti seluruh
rongga dadanya. Sementara Bayu berdiri
tegak dengan Cakra Maut sudah kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.
Dalam pandangan Ki Rampak, Pendekar Pulau Neraka bagaikan sosok malaikat maut
yang siap mencabut nyawanya.
Sementara di lain tempat, tampak Sepasang Bangau Putih sudah menguasai jalannya
pertarungan. Tidak ada lagi yang bisa menahan gempuran sepasang pendekar muda
itu. Jeritan-jeritan kematian pun terus terdengar saling sambut menggiriskan
hati. Namun Perbawa dan Wulan Untari benar-benar tidak memberi kesempatan pada
lawan-lawannya untuk tetap hidup. Walaupun tidak ada lagi yang sanggup menahan


Pendekar Pulau Neraka 57 Sepasang Bangau Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gempurannya, mereka tetap menghajar semua lawan tanpa memberi ampun sedikit pun.
Hingga jeritan-jeritan kematian pun terus terdengar saling sambut.
Sementara Ki Rampak sendiri tidak punya pilihan lain lagi. Walau sudah menyadari
tidak akan mampu menghadapi Pendekar Pulau Neraka, dia tetap melompat melakukan
serangan. *** Malam yang dingin ini terasa hangat di puncak Bukit Angsa. Jeritan-jeritan
kematian terus terdengar sating sambut dan menyayat. Sementara Wulan Untari
sudah meninggalkan lawan-lawannya. Dengan sebuah obor, dia membakar seluruh
bangunan Padepokan Teratai Emas.
Api cepat sekali berkobar membakar seluruh bangunan padepokan di puncak Bukit
Angsa itu. Membuat suasananya yang memang sudah hangat semakin bertambah panas membara. Api
yang melumat habis bangunan padepokan membuat
suasana seakan bagai berada dalam neraka.
Sementara Bayu masih menghadapi Ki Rampak yang menyerangnya dengan gencar. Orang
tua itu seakan tidak ingin memberi kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka untuk
memberikan serangan balasan.
"Berikan dia padaku, Kakang...!"
Bayu cepat melompat ke belakang, ketika melihat Wulan Untari melesat dengan
cepat sekali menerjang Ki Rampak. Dengan pedangnya, Wulan mencecar, hingga orang
tua itu terpaksa harus berjumpalitan menghindariya. Dan kali ini Ki Rampak
sendiri yang tidak punya kesempatan untuk melakukan serangan.
Gempuran yang dilakukan Wulan begitu cepat dan beruntun, membuat dirinya kian
terdesak. Sementara Bayu terpaksa harus jadi penonton. Dia melihat kalau Perbawa sudah
hampir menyelesaikan pertarungannya. Hanya tinggal lima orang yang menjadi
lawannya. Namun dalam waktu tidak berapa lama, pemuda itu sudah dapat
menghabiskan lawan-lawannya tanpa tersisa seorang pun. Dan tanpa membuang-buang
waktu lagi, Perbawa langsung melompat membantu Wulan Untari menyerang Ki Rampak.
"Gunakan jurus Bangau Putih, Untari...!" seru Perbawa. "Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Sepasang Bangau Putih langsung mengerahkan jurus andalan mereka yang begitu
cepat. Serangan-serangan mereka sangat beruntun dan silih berganti, membuat Ki
Rampak semakin kelabakan menghadapinya. Sementara Bayu yang kini hanya menjadi
penonton, bisa melihat kalau Ki Rampak tidak akan mampu bertahan lebih lama
menghadapi serangan Sepasang Bangau Putih yang begitu gencar dan silih
berganti dengan cepat.
"Awas kaki...!" seru Perbawa tiba-tiba.
Wuttt! "Heh .."! Ups!"
Ki Rampak terkejut setengah mati, ketika tiba-tiba pedang Perbawa berkelebat
cepat mengarah ke kakinya. Cepat dia melompat ke atas menghindari serangan
lawan. Dan pada saat yang bersamaan, Wulan Untari sudah melesat ke atas sambil
meng-hunjamkan pedangnya tepat ke dada orang tua itu.
Begitu cepat serangan yang hampir bersamaan itu membuat Ki Rampak tidak dapat
lagi menghindari hunjaman pedang Wulan Untari. Dan.... Jreps!
"Aaaa...!"
Orang tua itu menjerit nyaring, ketika pedang di tangan Wulan Untari menghunjam
dalam sekali ke dadanya, hingga langsung tembus ke punggung. Dan ketika Wulan
mencabutnya, darah menyemburat keluar dari dada orang tua itu.
Tampak Ki Rampak terhuyung-huyung sambil men-dekap dadanya. Dan pada saat itu,
Perbawa sudah melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dan secepat kilat
dikibaskan pedangnya tepat mengarah ke leher lawan yang sudah tidak mungkin lagi
bisa berkelit menghindarinya.
Cras! Tidak ada lagi suara jeritan terdengar, ketika pedang Perbawa menebas leher Ki
Rampak hingga buntung. Kepala orang tua itu jatuh menggelinding ke tanah.
Sementara tubuhnya beberapa saat masih bisa berdiri, tapi kemudian jatuh
menggelimpang di antara mayat-mayat yang sudah sejak tadi memenuhi halaman depan
Padepokan Teratai Emas. Hanya beberapa saat tubuh yang sudah tidak berkepala itu
menggelepar. Setelah itu diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah terus berhamburan
keluar dari dada, punggung, dan lehemya yang sudah buntung.
Sepasang' Bangau Putih segera menghampiri Bayu yang sejak tadi hanya
memperhatikan tindakan mereka. Sementara itu, api semakin besar berkobar menghanguskan seluruh bangunan Padepokan Teratai Emas. Cahayanya
seakan menerangi seluruh puncak Bukit Angsa yang gelap berselimut kabut tebal.
Udara yang tadi terasa dingin, kini hangat oleh kobaran api yang membakar hangus
seluruh bangunan padepokan.
"Ayo, kita pergi!" ajak Bayu.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Pulau Neraka melangkah meninggalkan
padepokan yang sudah hancur itu. Sepasang Bangau Putih pun segera beranjak pergi
tanpa banyak bicara lagi. Dendam mereka benar-benar sudah terbalas. Entah apa
yang akan mereka lakukan selanjutnya. Sedangkan Bayu sendiri terus berjalan
tanpa mengucap sepatah kata pun. Dia juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya
melihat tindakan pendekar-pendekar muda itu dalam membalaskan dendam guru
mereka. SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (syauqy_arr)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pendekar Pemetik Harpa 1 Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara Ilmu Halimun 2
^