Pencarian

Pesanggrahan Goa Larangan 2

Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan Bagian 2


kudanya. Dengan lincah dan
sangat cekatan, laki-laki tua berjubah putih itu
mengendalikan kudanya.
Saat senja baru saja merayap turun, kuda yang
ditunggangi Paman Nampi berhenti di Puncak Bukit
Cemara. Sejenak laki-laki tua itu memandang ke bukit seberang yang hanya terdiri
dari batu-batuan bertumpuk itu. Tidak kurang dari seratus orang tengah bekerja
memecah dan mengangkat batu dari bukit itu.
Sedangkan sekitar dua ratus prajurit berjaga-jaga di sekitarnya.
"Hup!"
Paman Nampi melompat dari punggung kudanya
ketika melihat seorang Panglima Perang Kerajaan Gantar Angin berada di antara
para prajurit di Puncak Bukit Batu itu. Bayangan tubuh Paman Nampi langsung
lenyap ditelan kelebatan puncak pohon cemara. Dan
kudanya melangkah pelahan meninggalkan tempat itu.
Saat itu, Raden Bantar Gading juga tengah berada di antara para prajurit yang
sedang mengawasi para
pekerja memecah batu untuk pembuatan jalan menuju
Pesanggrahan Goa Larangan. Putra Mahkota Kerajaan
Gantar Angin itu juga didampingi dua orang panglima perang. Mereka adalah
Panglima Rapaksa dan Panglima Jampala.
"Berapa lama lagi mereka harus mengangkut batu-batu ini, Raden?" tanya Panglima
Jampala. "Sampai cukup untuk jalan ke pesanggrahan," sahut Raden Bantar Gading.
"Rasanya sudah lebih dari cukup, Raden," sergah Panglima Rapaksa.
"Lebih baik berlebihan daripada kekurangan, Paman Panglima," sahut Raden Bantar
Gading. Kedua panglima itu tidak bertanya lagi. Mereka tahu betul watak Raden Bantar
Gading yang keras dan tidak pernah mengikuti saran atau pendapat orang lain. Apa
yang diperintahkan, harus dilaksanakan tanpa bersedia mendengar bantahan walau
dengan alasan apa pun.
Tindakannya juga tegas, bahkan cenderung kasar. Bisa juga dikatakan kejam.
Mendadak Raden Bantar Gading dan dua orang
panglima perang itu dikejutkan oleh teriakan
melengking tinggi yang disusul dengan terjungkalnya dua orang pekerja yang
bersimbah darah. Sebuah
bayangan hitam berkelebatan cepat menghajar para
pekerja yang semuanya hanya rakyat biasa. Suasana
tenang itu mendadak berubah jadi penuh jerit dan pekik melengking.
"Kepung! Tangkap setan keparat itu...!" seru Raden Bantar Gading keras.
Dua orang panglima perang, ditambah sekitar lima
puluh prajurit serempak berlompatan mengepung orang berbaju hitam dengan kepala
terbungkus kain hitam
pula. Sedangkan para prajurit lainnya segera mengungsikan para pekerja yang berlarian serabutan
menyelamatkan diri. Raden Bantar Gading langsung
melompat. Dua kali tubuhnya berputar di udara, lalu dengan manis kakinya
menjejak tanah, tepat sekitar dua batang tombak jaraknya dari orang berbaju
serba hitam itu.
"Hm..., rupanya kau punya nyali besar juga,
bangsat!" geram Raden Bantar Gading dingin.
"Sudah kuperingatkan, hentikan pekerjaan ini. Tapi kau tetap meneruskannya.
Jangan salahkan aku jika
seluruh rakyat Gantar Angin musnah!" kata orang berbaju serba hitam itu.
Suaranya berat dan datar.
"Siapa kau?" tanya Raden Bantar Gading.
"Hhh! Tak perlu kau tahu siapa aku! Yang jelas tidak akan
kubiarkan tangan-tangan kotor menjarah Pesanggrahan Goa Larangan!" sahut orang berbaju serba hitam itu tegas.
"Heh! Apa hakmu melarang?"
"Karena aku tidak ingin tempat suci itu jadi tempat maksiat!"
"Setan! Kau telah menghina Kerajaan Gantar Angin!
Kau harus mampus, bangsat!" geram Raden Bantar Gading.
Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu langsung
memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh
orang berbaju serba hitam itu. Teriakan-teriakan
peperangan kini terdengar memecah kesunyian Bukit
Batu itu. Orang berbaju hitam dengan lincah menghalau setiap serangan yang
datang dari segala penjuru.
Gerakannya sangat cepat dan sukar diduga arahnya.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, sepuluh prajurit sudah menggeletak tidak
bernyawa lagi. Darah kembali menyiram Puncak Bukit Batu itu.
Raden Bantar Gading semakin geram menyaksikan
para prajuritnya yang tidak mampu menghadang
amukan orang itu. Dengan satu teriakan, Raden Bantar Gading melompat menerjang.
Pada saat yang bersamaan, dua orang panglima perang juga menyerang orang
berbaju serba hitam itu.
Terjunnya Raden Bantar Gading dan dua orang
panglima perang kerajaan, membuat orang berbaju serba hitam itu sedikit
kewalahan. Ketiga lawannya yang baru terjun dalam pertempuran itu rata-rata
memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Jurus-jurusnya pun
sangat dahsyat.
"Mampus kau, bangsat...!" bentak Raden Bantar Gading seraya mencabut pedangnya
yang selalu tergantung di pinggang.
Begitu pedang tercabut, langsung dibabarkan ke arah leher orang berbaju serba
hitam itu. Namun dengan
manis sekali, sabetan pedang itu dielakkan hanya
dengan menarik leher ke belakang. Tak lama kemudian, Panglima Jampala melepaskan
pukulan maut ke arah
dada. "Hiya...!"
"Uts!"
Orang berbaju hitam itu segera melompat mundur ke
belakang. Tapi dari arah lain, Panglima Rapaksa ternyata sudah siap dengan satu
tendangan geledeknya. Kali ini orang itu tidak bisa berkelit lagi. Pinggangnya
tersambar tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Dia hanya
mengeluh pendek sedikit meskipun tubuhnya terjajar
sekitar satu depa.
"Pisah kepalamu!" seru Raden Bantar Gading.
Di saat orang berbaju hitam itu dalam keadaan tidak seimbang posisi tubuhnya,
Raden Bantar Gading
mengibaskan pedangnya dengan cepat ke arah leher.
Orang berbaju serba hitam itu agak terperangah sejenak, namun dengan cepat
dibanting tubuhnya ke tanah.
Serangan Raden Bantar Gading luput dari sasaran.
Namun putra mahkota itu segera mencecar dengan
menusukkan ujung pedangnya ke arah tubuh orang
berbaju hitam itu.
Beberapa kali orang berbaju hitam itu bergulingan
menghindari tusukan ujung pedang Raden Bantar
Gading. Dan pada satu kesempatan, dia berhasil
melentingkan tubuhnya ke udara. Namun, di udara
Panglima Jampala sudah melenting seraya melontarkan tendangan menggeledek
bertenaga dalam tinggi. Orang berbaju serba hitam itu tidak mampu lagi berkelit,
maka dengan telak dadanya terkena hantaman kaki dengan
keras. "Akh!" dia memekik tertahan.
Kembali tubuhnya terhempas ke tanah dengan keras.
Tampak penutup wajahnya berubah merah pada bagian
mulutnya. Dia berusaha bangkit, namun dadanya terasa sesak. Tulang-tulangnya
seperti remuk kena tendangan keras bertenaga dalam tinggi itu. Raden Bantar
Gading yang melihat lawannya tengah tidak berdaya, segera
melompat seraya mengibaskan pedangnya.
"Hiya...!"
Tepat pada saat ujung pedang Raden Bantar Gading
hampir merobek dada orang berbaju serba hitam itu,
sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar tubuh
orang itu. Ujung pedang Raden Bantar Gading
membabat angin. Tentu saja hal ini membuat putra
mahkota itu berang.
Bayangan yang menyambar tubuh orang berbaju
hitam itu demikian cepat, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap ditelan
lebatnya hutan pohon cemara.
Raden Bantar Gading memerintahkan dua orang
panglimanya untuk mengejar. Tanpa membantah sedikit pun, dua orang panglima itu
segera mengejar dengan
mengajak sekitar
tiga puluh prajurit. Mereka berlompatan naik ke punggung kuda, dan memacu cepat menuju Bukit Cemara yang
banyak ditumbuhi pohon
cemara. "Setan belang...!" maki Raden Bantar Gading sengit.
*** 4 Siapa sebenarnya orang berbaju serba hitam itu" Dan mengapa
menghalangi pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan" Dan siapa pula yang telah menyelamatkan orang berbaju
serba hitam itu dari maut"
Semua itu masih menjadi pertanyaan yang menjengkelkan Raden Bantar Gading. Tentu saja dia
tidak tahu. Apalagi para prajurit yang diperintahkan untuk mengejar, juga tidak
akan bisa menemukannya.
Orang berbaju serba hitam itu memang telah
diselamatkan oleh seorang pemuda tampan bertubuh
tegap mengenakan baju dari kulit harimau.
Pemuda tampan itu membawa orang berbaju serba
hitam ke dalam sebuah goa yang letaknya sangat
tersembunyi di Puncak Bukit Cemara. Goa kecil yang
penuh ditutupi semak dan pepohonan di mulutnya.
Tidak ada yang menyangka kalau di situ tersembunyi
sebuah goa kecil.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu membuka
kain hitam yang menyelubungi kepala orang itu.
Tampak seraut wajah tua, namun bercahaya di balik
selubung kain hitam. Rambutnya panjang memutih dan
digelung ke atas. Ikat kepala dari logam berwarna
kuning keemasan menghias kepalanya. Kumis dan
janggutnya juga sudah panjang memutih semua. Saat
pemuda itu membuka baju hitam yang menutupi tubuh
laki-laki tua itu, tampak sebuah jubah putih tersembunyi di balik baju hitam
yang tidak begitu ketat.
"Jangan bergerak dulu! Kau terluka dalam cukup parah," kata pemuda itu ketika
laki-laki tua itu akan bangkit.
Laki-laki tua itu kembali berbaring di atas tumpukan rumput kering. Sedangkan
pemuda tampan berbaju kulit harimau itu memeriksa tubuh yang kelihatan biru
memar. Jari-jari tangannya bergerak lincah di sekitar tubuh yang memar. Kemudian
ditekan telapak tangan
kanannya ke dada laki-laki tua itu.
"Akh...!" laki-laki tua itu memekik tertahan.
Dua kali dia memuntahkan darah kental dari
mulutnya, lalu terkulai lemas dengan napas memburu
agak tersengal. Pemuda itu masih menekan telapak
tangannya, menyalurkan hawa murni ke tubuh laki-laki tua itu. Keringat
membanjiri kening dan lehernya.
Telapak tangan yang menempel di dada kurus itu sedikit bergetar, pertanda tengah
mengerahkan hawa murni
untuk menyembuhkan luka dalam laki-laki tua itu.
"Hhh...!" pemuda tampan itu mengeluh panjang seraya menghenyakkan tubuhnya di
samping laki-laki
tua yang terbaring lemah.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu melakukan
semadi sebentar untuk memulihkan hawa murni yang
sudah berkurang tadi. Tidak lama melakukan semadi,
kemudian mata pemuda itu merayapi tubuh laki-laki tua yang tetap terbaring
dengan kedua matanya yang
terbuka. Air mukanya sudah kelihatan cerah. Padahal wajahnya semula pucat
seperti mayat. Pelahan laki-laki berjubah putih itu bangkit duduk. Tanpa
diminta, dia segera melakukan semadi untuk menormalkan jalan
darahnya. Tidak lama laki-laki tua yang kini memakai jubah
putih itu melakukan semadi. Kemudian tatapan matanya beralih pada seonggok baju
hitam di samping pemuda
itu. 'Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawaku, Kisanak," kata laki-laki
tua itu. "Kenapa Kakek bisa sampai bentrok dengan para
prajurit itu?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Ceritanya panjang, Kisanak. Tapi karena kau telah menyelamatkan nyawaku,
rasanya tidak ada salahnya
jika kau mengetahui."
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu diam
membisu. "Aku sebenarnya seorang Panglima Kerajaan Gantar Angin, dan juga penasehat
pribadi Raden Sangga Alam, sekaligus gurunya dalam ilmu olah kanuragan. Aku
bernama Nampi, tapi kau cukup memanggilku Paman
Nampi...."
"Aku Bayu Hanggara," pemuda tampan berbaju kulit harimau itu juga memperkenalkan
diri. "Hm..., aku seperti pernah mendengar namamu.
Ah...! Apakah kau yang berjuluk Pendekar Pulau
Neraka?" tebak Paman Nampi.
"Benar," sahut Bayu.
Paman Nampi terdiam dengan mata seolah-olah
menyelidik pemuda tampan berbaju kulit harimau di
depannya. Dia memang pernah dengar sepak terjang
Pendekar Pulau Neraka. Nama pendekar itu sudah
sangat kondang dan selalu menggemparkan dalam
setiap pemunculannya. Hampir semua tokoh-tokoh
rimba persilatan, baik dari golongan putih maupun
hitam kesulitan untuk menentukan golongan pendekar


Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Apakah Pendekar Pulau Neraka masuk dalam
golongan putih atau hitam" Sepak terjangnya memang
sangat membingungkan tokoh-tokoh rimba persilatan.
"Ada apa, Paman?" tanya Bayu agak jengah
dipandangi sedemikian rupa.
"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya tidak menyangka
bakal bertemu muka dengan seorang pendekar yang
kondang dan amat disegani," sahut Paman Nampi.
"Ah, sudahlah...," Bayu merendah. "Ceritakan saja, kenapa Paman bisa bentrok
dengan teman sendiri.
Bukankah para prajurit itu juga dari Kerajaan Gantar Angin?"
Paman Nampi tidak segera menjawab dan hanya
menarik napas panjang. Dibetulkan letak duduknya agar lebih enak. Sementara Bayu
menanti dengan sabar. Tapi, dia masih merasa jengah juga setiap kali tatapan
mata Paman Nampi bertemu dengan tatapan matanya. Sorot
matanya memang menandakan berbagai perasaan yang
sulit diterka. "Mereka memang teman-temanku sendiri...," Paman Nampi memulai.
* * * "Dulu, Kerajaan Gantar Angin diperintah oleh
seorang ratu bernama Gusti Ratu Kunti Boga. Gusti Ratu hanya memiliki seorang
anak perempuan, dari hasil
perkawinannya dengan seorang panglima muda yang
gagah dan sangat tinggi kepandaiannya. Tapi pada saat anaknya berusia tujuh
tahun, malapetaka datang
menimpa. Adik tiri Gusti Ratu yang bernama Abiyasa
merebut tahta. Dibunuhnya suami Gusti Ratu.
Sedangkan Gusti Ratu ditawan dalam penjara bawah
tanah, bersama saudaranya yang berjumlah enam
orang...," cerita Paman Nampi tentang kemelut yang terjadi di Kerajaan Gantar
Angin. Sementara Bayu Hanggara mendengarkan penuh
perhatian. "Pada saat pemberontakan itu berlangsung, aku
sempat menyelamatkan putri Gusti Ratu, dan kubawa ke Bukit Cemara ini. Seorang
emban yang setia telah
merawatnya. Sedangkan aku mendidiknya berbagai
macam ilmu olah kanuragan. Aku berharap, kelak dia
bisa mengembalikan keutuhan Kerajaan Gantar Angin
seperti semula. Tapi...," Paman Nampi menghentikan kisahnya.
"Ada apa?" desak Bayu.
"Entahlah. Yang jelas, aku merasa gagal dalam
mendidiknya. Aku tidak bisa mencegah...," suara Paman Nampi bernada mengeluh.
Bayu tidak mendesak lagi. Bisa dimengerti kalau hal itu tidak pantas untuk
dibicarakan. Tapi dia masih belum bisa menghubungkan cerita Paman Nampi dengan
pertempuran yang hampir menewaskan laki-laki tua
berjubah putih yang kini ada di hadapannya.
"Kulihat Paman membantai para pekerja di Bukit Batu. Kenapa Paman lakukan itu?"
tanya Bayu. "Mereka memang pantas mati karena tidak bisa
memegang omongannya sendiri! Padahal, mereka telah
bersumpah setia pada Gusti Ratu! Tapi kenyataannya, mereka membantu membuat
jalan ke Pesanggrahan Goa
Larangan!" agak tertahan suara Paman Nampi.
"Maaf. Bukannya hendak mencampuri urusanmu,
tapi kurasa penilaianmu keliru terhadap mereka," kata Bayu.
"Apa maksudmu, Kisanak?"
"Kupikir mereka juga terpaksa melakukannya."
"Tidak mungkin! Mereka tahu betul kalau
Pesanggrahan Goa Larangan tempat yang sangat indah, tapi sangat disucikan.
Tempat itu digunakan Gusti Ratu untuk memuja Dewata. Seharusnya mereka sadar
kalau pembuatan jalan itu akan mengotori tempat suci itu.
Prabu Abiyasa hendak menjadikan Pesanggrahan Goa
Larangan sebagai tempat peristirahatan dan tempat
berlibur para pembesar. Bukankah itu akan merusak
kesucian yang selama ini selalu kami pelihara" Jadi jelas, mereka yang membantu
pembuatan jalan itu adalah
manusia-manusia kotor yang harus dilenyapkan dari
muka bumi!"
"Hm...," gumam Bayu tidak jelas.
Kata-kata Paman Nampi memang jelas dan tegas,
sehingga Pendekar Pulau Neraka bisa memahami semua
persoalannya. Kini dia tahu, kenapa laki-laki tua
berjubah putih itu sangat berang dan gelap mata. Bayu tidak bisa menyalahkan
tindakan Paman Nampi.
Kelihatannya, tindakan itu semata-mata hanya pelampiasan rasa amarah dan kekecewaan yang lama
terpendam di dalam hati. Tapi bagi Bayu, tindakan
Paman Nampi tidak bisa dibenarkan. Meskipun dia
sendiri selalu bertindak tegas, namun tidak membabi-buta dengan membantai
penduduk yang tidak mengerti
ilmu olah kanuragan.
"Apakah hanya Paman sendiri yang menentang?"
tanya Bayu. "Tidak. Sebenarnya masih banyak. Hanya saja
mereka tidak berani menentang secara terang-terangan.
Prabu Abiyasa selalu bertindak tegas, bahkan cenderung kejam pada siapa saja
yang mencoba menentangnya,"
sahut Paman Nampi.
"Dan Paman juga menganggap mereka manusia
kotor?" Paman Nampi tidak segera menjawab. Pertanyaan
Pendekar Pulau Neraka itu sungguh tepat, dan langsung menyentuh hati Paman
Nampi. Laki-laki tua itu kini
diam merenung. "Bagiku, manusia di mana saja sama. Hanya pangkat dan kedudukan saja yang
membedakannya. Maaf,
bukannya ingin mencampuri urusan itu terlalu jauh.
Masalahnya aku tidak melihat adanya alasan yang tepat sehingga kau bantai orang-
orang yang tidak berdosa dan dalam keadaan tertekan," kata Bayu lagi.
"Bagaimana kau bisa berkata begitu, Kisanak"
Sedangkan kau sendiri bukan rakyat Gantar Angin."
"Paman sudah tahu, siapa aku sebenarnya. Di dalam kalangan rimba persilatan, hal
seperti itu sudah terlalu sering terjadi. Dan aku bisa mengambil kesimpulan
hanya dari cerita yang kudengar. Jangan salah kira. Aku bukannya sok pintar
dalam hal ini. Ini hanya sekedar uneg-uneg yang ada di dalam kepalaku," sahut
Bayu. "Bisa kau buktikan, Kisanak?"
Bayu hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau
pertanyaan itu bernada menantang. Bukan permintaan
bantuan. Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri dan melangkah keluar dari
dalam goa kecil itu. Paman
Nampi juga ikut bangkit dan mengikuti pendekar itu.
Luka-luka di dalam tubuhnya sudah tidak terasa lagi.
Cahaya matahari senja langsung menerpa begitu mereka sampai di depan mulut goa.
"Siapa nama anak Gusti Ratu?" tanya Bayu dengan pandangan tetap lurus ke depan.
"Mayang," jawab Paman Nampi.
"Dia tahu kalau kau seorang panglima?"
"Tidak. Yang diketahuinya, aku adalah orang tua yang telah menyelamatkannya dari
malapetaka. Dia
selalu memanggilku dengan sebutan Eyang."
"Dia juga tahu namamu?"
"Juga tidak."
"Rupamu?"
Paman Nampi menggeleng.
"Hebat! Berapa tahun hal itu berlangsung...?"
"Tiga belas tahun. Dan aku selalu menemuinya
dengan pakaian hitam yang hampir menutupi seluruh
wajahku. Hanya tiga kali dalam satu pekan aku
menemuinya. Itu pun hanya untuk mengajarkan jurus-
jurus ilmu olah kanuragan, dan terus berlangsung
hingga emban pengasuhnya meninggal dunia karena
usia tua."
"Di mana dia tinggal?"
"Untuk apa?" Paman Nampi merasa keberatan.
"Kau keberatan...?"
"Tidak! Kau boleh menemuinya di Lereng Bukit
Cemara sebelah Barat. Dia tinggal di pondok kecil dan agak tersembunyi
letaknya."
"Siapa saja yang tahu selain kau sendiri?"
"Raden Bantar Gading, putra pertama Prabu Abiyasa dan pewaris tahta kerajaan."
Bayu tersenyum tipis. Pertanyaan-pertanyaan tadi
sebenarnya merupakan pancingan saja. Kini dia tahu, kenapa Paman Nampi tidak mau
menceritakan kekecewaannya pada Mayang. Bisa saja wanita itu jatuh cinta pada orang yang
sebenarnya musuh dan harus
dilenyapkan. Itu pun juga yang menjadi salah satu sebab, kenapa Paman Nampi
sampai bertindak brutal. Laki-laki tua ini memendam rasa kecewa yang bertumpuk.
Rasa kecewa itu dilampiaskan menjadi kemarahan yang tak
terkendalikan. "Sudah senja. Aku harus kembali ke Hutan Danaraja.
Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," kata Paman Nampi.
"Hm, kenapa ke Hutan Danaraja" Bukankah seorang panglima tinggal di dalam
lingkungan istana?" agak heran juga Bayu mendengarnya.
"Aku harus menemui Raden Sangga Alam karena
dialah satu-satunya putra Prabu Abiyasa yang
menentang ayahnya. Hanya sayang dia tidak memiliki
kekuasaan untuk menentang, karena lahir dari rahim
seorang selir," Paman Nampi tidak ragu-ragu lagi menceritakannya.
"O..., kau menyusun kekuatan di Hutan Danaraja?"
"Oh..., tidak. Aku dan Raden Sangga Alam sedang berburu bersama tiga puluh
prajuritku."
Lagi-lagi Bayu tersenyum tipis. Dia tidak mencegah
ketika laki-laki tua berjubah putih itu berjalan dengan cepat. Pendekar Pulau
Neraka itu tahu kalau Paman
Nampi mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dalam
waktu sebentar saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan rimbunan pohon
cemara yang menutupi seluruh permukaan bukit itu.
"Hm, harus ada orang yang bisa mencegah luapan kemarahan Paman Nampi. Aku tidak
yakin, apakah Pendekar Pulau Neraka akan beraksi lagi kali ini...?"
gumam Bayu bicara pada dirinya sendiri.
*** Paman Nampi menemukan kudanya
tengah merumput dengan tenang. Dengan kuda tunggangannya
itu, dia segera menuju Hutan Danaraja. Paman Nampi
memang cekatan dalam mengendalikan kuda. Meskipun
dipacu cepat dalam kelebatan hutan, hal itu bukan satu rintangan yang berarti,
karena dia adalah panglima
perang yang handal. Laki-laki tua berjubah putih itu baru memperlambat laju
kudanya setelah berada dekat sekitar perkemahan Raden Sangga Alam.
Suasana senja yang temaram membuat para prajurit
harus menyalakan api unggun lebih awal. Apalagi kabut begitu cepat datang,
sehingga menutupi cahaya matahari sore ini. Paman Nampi turun dari punggung
kudanya, lalu melangkah pelan-pelan sambil menuntun kudanya.
Seorang prajurit yang melihat kehadirannya, segera
berlari menghampiri. Diambilnya tali kekang kuda itu dari tangan Paman Nampi.
Segera dibawanya pergi ke
tempat kuda-kuda lain yang tengah di stirahatkan.
Paman Nampi menghenyakkan tubuhnya di depan
perapian. Raden Sangga Alam yang tengah menghadapi
perapian sejak tadi, hanya melirik saja. Keningnya
sedikit berkerut melihat kemuraman pada air muka
Paman Nampi. "Ada apa, Paman" Bagaimana suasana di Bukit
Batu?" tanya Raden Sangga Alam.
"Hhh...," Paman Nampi menarik napas panjang.
Raden Sangga Alam menggeser duduknya mendekat ke
arah laki-laki tua berjubah putih itu.
"Ada sesuatu yang ditemukan di sana?" tanya Raden Sangga Alam lagi.
"Entahlah. Aku merasa
tidak yakin dapat
menghentikan rencana Gusti Prabu," sahut Paman Nampi mendesah pelan.
Raden Sangga Alam terkejut mendengar kata-kata
bernada putus asa itu. Dipandanginya wajah tua di
sampingnya dengan penuh selidik. Perasaannya jadi
tidak menentu mendapati wajah Paman Nampi begitu
murung, tanpa gairah sama sekali.
"Paman. Bagaimanapun juga, rencana Ayahanda
Prabu harus dihentikan. Pesanggrahan Goa Larangan
adalah tempat suci. Tempat untuk memuja para Dewata.
Aku sebenarnya tidak keberatan jika pembuatan jalan itu un+uk memperlancar
menuju ke pesanggrahan. Tapi,
kalau tempat itu juga dirubah dan dihilangkan arti
kesuciannya, jelas aku menentang. Walaupun aku hanya anak dari selir, tapi tidak
serendah itu, Paman. Aku bersedia mengangkat senjata jika memang keadaannya
sudah harus demikian," tegas kata-kata Raden Sangga Alam.
Paman Nampi menoleh. Dipandangnya Raden
Sangga Alam dengan bola mata berkaca-kaca. Hatinya
sangat terharu mendengar kata-kata pemuda tampan
yang seperti wanita itu. Tidak disangkanya kalau Raden Sangga Alam memiliki
ketegasan. Lain dengan
perawakannya yang kelihatan lemah lembut dan tidak
mencerminkan kejantanan seorang laki-laki. Ternyata, di balik semua itu
tersimpan sebentuk hati yang lebih
jantan daripada seorang laki-laki bertubuh kekar dan tegap.
Kemuliaan hati Raden Sangga Alam inilah yang
membuat Paman Nampi lebih terharu lagi. Sama sekali dia bukan menghasut. Namun
jelas, bahwa pemuda itu
memang tidak menyetujui kalau tempat suci dirubah
kegunaannya. Kalau saja tidak mengingat pemuda ini
putra seorang raja, mungkin Paman Nampi sudah
memeluknya. "Paman, besok pagi sebaiknya kita kembali ke istana.
Aku telah mendapat seekor kijang yang gemuk dan akan kupersembahkan pada
Ayahanda Prabu. Di istana nanti kita susun lagi rencana berikutnya," sambung
Raden Sangga Alam kembali lembut suaranya.
Paman Nampi hanya mengangguk. Raden Sangga
Alam bangkit berdiri, kemudian melangkah menuju ke
tendanya yang dijaga dua orang prajurit pada pintu
tenda. Sedangkan Paman Nampi masih duduk dekat
perapian. Diangkatnya sedikit kepalanya ketika seorang prajurit menghampiri.


Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prajurit itu membungkukkan
badan. "Ada apa?" tanya Paman Nampi.
"Patih Amoksa ingin bertemu, Gusti. Beliau
menunggu di tenda," lapor prajurit itu.
"Patih Amoksa...!?"
"Benar, Gusti."
Paman Nampi langsung bangkit berdiri. Baru saja
dua tindak melangkah, kepalanya menoleh pada prajurit itu. "Apa RadenSangga Alam
tahu?" tanyanya setengah berbisik.
"Tidak! Patih Amoksa datang sebelum Raden Sangga Alam kembali dari berburu."
Paman Nampi bergegas melangkah menuju ke
tendanya. Seorang prajurit yang menjaga membungkukkan badan. Laki-laki tua berjubah putih itu segera masuk ke dalam
tenda itu. Tampak di dalam
seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, duduk menunggu di atas
permadani. Ketika dia akan
bangkit, Paman Nampi lebih dulu mencegah dan segera duduk di depan Patih Amoksa.
"Ada apa?" tanya Paman Nampi langsung.
"Aku membawa berita yang harus disampaikan,
Kakang. Penting!" jawab Patih Amoksa setengah
berbisik. "Berita apa?"
"Gusti Prabu Abiyasa mengutus seorang kurir..."
"Jelaskan saja pokoknya," potong Paman Nampi tidak sabar.
"Hm..., Gusti Prabu meminta bantuan jago-jago dari sahabatnya. Kakang tahu,
jago-jago dari daratan
seberang sangat sukar dicari tandingannya."
"Ya, Tuhan...!" desis Paman Nampi. "Kenapa Gusti Prabu sampai bertindak begitu?"
"Gusti Prabu sudah mencium adanya gerakan
pemberontakan, Kakang."
"Apakah dia tahu seluruhnya?"
"Tidak! Tapi Gusti Prabu sudah menyebar banyak telik sandi. Bahkan pasukan
khusus pun sudah
dikerahkan untuk menumpas pemberontakan itu. Aku
khawatir, Kakang. Tindakan para pasukan khusus
membabi-buta sehingga rakyat semakin sengsara. Dan
kalau sudah demikian, tidak mustahil ada pengkhianatan. "Kenapa baru sekarang kau laporkan itu, Amoksa?"
nada suara Paman Nampiagak menyesali.
"Baru kali ini aku punya kesempatan bertemu
denganmu. Itu pun setelah aku mendapat perintah untuk membawa pulang kembali
Raden Sangga Alam. Beliau
diperintahkan agar segera pulang hari ini juga."
"Kenapa?"
"Gusti Prabu menduga kalau para pemberontak itu bersarang di Bukit Cemara atau
sekitar Hutan Danaraja ini."
Paman Nampi menarik napas panjang dan berat.
Rasanya tidak mungkin kalau Prabu Abiyasa hanya
menduga-duga adanya gerakan pemberontakan. Penyebaran telik sandi dan pengerahan pasukan khusus sudah menandakan kalau
beliau sudah mencium dan
mengetahui pasti adanya gerakan pemberontakan itu.
Apalagi sampai mengirim kurir untuk minta bantuan
jago-jago dari seberang. Jadi, jelas sudah kalau Prabu Abiyasa merasa
kedudukannya sebagai raja, tengah
terancam. Perasaan Paman Nampi jadi tidak menentu. Kalau
sampai pasukan khusus menyebar ke Bukit Cemara, jelas akan membahayakan. Laki-
laki tua berjubah putih itu memandang keadaan di luar. Dari sini, tenda Raden
Sangga Alam bisa langsung dilihatnya. Sementara gelap sudah menyelimuti seluruh
Hutan Danaraja. Hanya api unggun di tengah-tengah perkemahan itu yang
menerangi sekitarnya.
"Kakang, aku khawatir Gusti Prabu sudah...."
'Tenanglah, Amoksa," potong Paman Nampi cepat.
'Tapi, Raden Bantar Gading memerintahkan Patih
Mara Kobra untuk memata-mataimu."
Paman Nampi tidak bisa menyembunyikan rasa
terkejutnya. Sungguh tidak disangka kalau Patih Mara Kobra yang sudah tewas di
tangannya itu, sengaja
memata-matai karena perintah Raden Bantar Gading.
Kalau memang demikian, jelas! Prabu Abiyasa dan
Raden Bantar Gading sudah menaruh kecurigaan
terhadapnya. Dan itu bukan tidak mustahil Raden
Sangga Alam akan ikut dicurigai. Karena pemuda itu
selalu gigih menentang pembuatan jalan dan perubahan Pesanggrahan Goa Larangan.
"Amoksa, sebaiknya kau segera menemui Raden
Sangga Alam. Sedangkan aku akan memerintahkan para
prajurit untuk membongkar tenda," kata Paman Nampi.
"Kita kembali ke istana malam ini juga "
"Baik, Kakang."
*** 5 Sementara itu di sebuah pondok di Kaki Bukit Batu,
Raden Bantar Gading tengah berbincang-bincang dengan dua orang panglimanya. Saat
itu, mereka kedatangan
seorang utusan dari Kerajaan Gantar Angin yang
membawa surat langsung dari Prabu Abiyasa. Surat itu segera diserahkan kepada
Raden Bantar Gading.
Raden Bantar Gading menatap sejenak utusan itu
sebelum membuka surat dari ayahnya. Sudah bisa
ditebak kalau isi surat itu pasti penting, karena dibawa langsung oleh utusan
khusus kepercayaan Prabu
Abiyasa. Raden Bantar Gading membuka surat yang
tergulung rapi itu, lalu membacanya. Keningnya sedikit berkerut begitu
mengetahui isinya. Kembali digulung surat itu dan ditatapnya utusan yang masih
menunggu sambil duduk bersimpuh di atas permadani tebal.
"Katakan pada Ayahanda Prabu, bahwa aku akan
berangkat malam ini juga," kata Raden Bantar Gading.
Utusan itu memberi hormat, lalu bangkit berdiri. Dua langkah mundur ke belakang,
lalu badannya langsung
berbalik dan keluar dari pondok itu. Raden Bantar
Gading menatap Panglima Jampala dan Panglima
Rapaksa yang masih setia menemaninya di ruangan
yang tidak terlalu besar ini.
"Ayahanda Prabu memerintahkan, agar aku segera ke Pesanggrahan Goa Larangan,"
kata Raden Bantar Gading pelan.
"Untuk apa, Raden?" tanya Panglima Jampala.
"Beberapa telik sandi melihat Braga dan Kinca ada di sana."
"Heh! Ada urusan apa mereka ke sana?" ujar Panglima Rapaksa terkejut
"Itulah yang ingin diketahui Ayahanda Prabu. Kalau maksud mereka buruk, aku
diperintahkan untuk
memenggal kepalanya. Hm..., aku sendiri sebenarnya
memang ingin memenggal kepala mereka!"
"Raden! Ijinkan hamba membereskan bangsat
pengecut itu!" kata Panglima Jampala.
"Tugas itu langsung ditujukan padaku, Paman
Panglima," tolak Raden Bantar Gading tegas.
"Tapi, Raden...," Panglima Jampala ingin membantah.
"Kenapa?" tanya Raden Bantar Gading. Nada suaranya terdengar sinis. Tatapan
matanya pun juga lain.
Panglima Jampala menundukkan kepalanya.
"Ayahanda Prabu juga meminta agar kau segera
kembali ke istana. Ada tugas penting yang harus segera dilaksanakan, Paman
Jampala," kata Raden Bantar Gading tersenyum dingin.
"Hamba, Raden," sahut Panglima Jampala pelan.
"Berangkatlah malam ini juga," perintah Raden Bantar Gading.
Panglima Jampala memberi hormat, lalu bangkit
berdiri. Kembali dia memberi hormat sebelum mening-
galkan ruangan pondok itu. Raden Bantar Gading me-
mandangi panglima itu hingga hilang di balik pintu.
Tidak lama kemudian terdengar derap langkah kaki
kuda menjauhi daerah Kaki Bukit Batu. Kini, Raden
Bantar Gading pandangannya beralih pada Panglima
Rapaksa. "Paman Panglima! Kuserahkan pengawasan pekerjaan ini padamu. Aku akan secepatnya kembali
setelah membereskan tikus-tikus keparat itu," kata Raden Bantar Gading.
"Hamba, Raden," Panglima Rapaksa memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak
tangan di depan
hidung. "Dan ada satu tugas berat lagi untukmu."
"Tugas apa, Raden?"
"Kejar Panglima Jampala, lalu bunuh!"
Panglima Rapaksa terkejut setengah mati hingga
terdongak memandang putra mahkota itu.
"Panglima Jampala ternyata pengkhianat! Dialah salah satu pemimpin gerombolan
pemberontak. Ayahanda Prabu menginginkan kepalanya, dan tugas ini kuserahkan padamu. Kau akan
menerima hadiahnya"
besar jika berhasil membawa kepala pengkhianat pada Ayahanda Prabu."
"Segera hamba laksanakan, Raden."
"Cepatlah, sebelum jauh."
Panglima Rapaksa bergegas bangkit dan melangkah
ke luar. Raden Bantar Gading tersenyum, kemudian juga bangkit berdiri dari
duduknya. Dengari langkah ringan, dia berjalan keluar dari pondok itu. Dua orang
prajurit yang mengawal di depan pintu, langsung membungkuk
memberi hormat. Pada saat itu Panglima Rapaksa sudah memacu cepat kudanya
menyusul Panglima Jampala.
"Siapkan kuda!" perintah Raden Bantar Gading pada salah seorang prajurit.
"Segera, Raden."
*** Panglima Rapaksa memacu kudanya bagai dikejar
setan. Diambilnya jalan pintas, dengan merambah hutan yang lebat di sekitar Kaki
Bukit Batu. Laki-laki tegap berusia sekitar empat puluh tahun itu menghentikan
kudanya begitu riba di tepi sungai yang mengalir tenang bagai sebuah batas
antara kotaraja dengan daerah hutan dan berbukit ini. Pandangannya tajam
menembus kegelapan malam.
Tampak dari arah depan di sebuah jalan setapak,
seseorang tengah menunggang kuda dalam kecepatan
sedang. Betapa terkejutnya dia begitu melihat Panglima Rapaksa telah berdiri
menghadang. Penunggang kuda
yang tak lain dari Panglima Jampala langsung melompat turun ketika Panglima
Rapaksa juga turun dari
punggung kudanya.
"Kakang Rapaksa! Bukankah kau bersama Raden
Bantar Gading?" Panglima Jampala
tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Benar. Tapi, sekarang aku sudah berada di
depanmu," sahut Panglima Rapaksa.
"Ada apa?"
"Adi Jampala, aku ingin kejujuranmu. Katakan terus terang...," agak tertahan
suara Panglima Rapaksa.
"Kakang! Ada apa ini" Kenapa kau berkata seperti itu?"
"Benarkah kau ingin memberontak pada Prabu
Abiyasa?" Panglima Rapaksa tidak bisa menahan diri lagi."He..."!"
PanglimaJampala terkejutsetengahmati.
"Jawab dengan jujur, Adi Jampala."
"Dari mana kau tahu, Kakang?"
"Gusti Prabu sudah mengetahui, dan aku
diperintahkan untuk membunuhmu!"
"Hm..., jadi utusan itu datang hanya untuk
memberitahu kalau aku salah satu dari pemberontak
itu?" "Kau salah satu pemimpinnya!"
"He! Permainan macam apa ini?"
"Adi Jampala! Aku kenal baik, siapa kau
sesungguhnya. Aku sendiri sebenarnya tidak percaya
kalau kau adalah salah satu dari pemimpin kaum
pemberontak. Katakan terus terang padaku, apakah kau benar-benar
pemimpin pemberontak itu?"
pinta Panglima Rapaksa.
"Kalau benar, apakah kau tetap akan memenggal
kepalaku?" nada suara Panglima Jampala terdengar menantang.
"Maaf, Adi Jampala. Malam ini juga, salah satu di antara kita harus ada yang
tewas," sahut Panglima Rapaksa.
"Aku kagum pada kesetiaanmu, Kakang. Tapi
sungguh menyesal, kau menumpahkan kesetiaan pada
orang yang salah! Prabu Abiyasa tidak berhak atas tahta Kerajaan Gantar Angin.
Dia hanya adik tiri, dan
seharusnya sudah beruntung diberi jabatan kepala
panglima perang. Tapi nyatanya dia serakah! Bahkan
sekarang semakin gila dengan menghancurkan tempat
suci untuk pemujaan!"
"Menyesal sekali, Adi Jampala. Kita akan berhadapan sebagai lawan," dingin suara
Panglima Rapaksa.
"Silakan, jika kau ingin memenggal kepalaku."
"Bersiaplah! Hiyaaa...!"
Panglima Rapaksa segera melompat menerjang
dengan jurus mautnya. Panglima Jampala yang sadar
tingkat kepandaiannya dua tingkat di bawah Panglima Rapaksa, harus lebih
berhati-hati. Pertarungan antara dua panglima itu berlangsung sengit. Sementara
Raden Bantar Gading memperhatikan sejak tadi dari tempat
yang cukup tersembunyi. Putra Mahkota Kerajaan
Gantar Angin itu memang mengikuti kepergian
Panglima Rapaksa. Dia memang ingin melihat sendiri
kesetiaan panglimanya itu. Kehadiran Raden Bantar
Gading memang tidak diketahui oleh dua orang yang
tengah menyabung nyawa itu.


Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertarungan antara dua panglima itu semakin sengit.
Lima belas jurus sudah terlewati, namun belum ada
tanda-tanda yang terdesak. Serangan-serangan yang
dilancarkan Panglima Jampala maupun Panglima
Rapaksa, sungguh dahsyat. Debu mengepul di sekitar
pertarungan. Pohon-pohon bertumbangan kena sambaran pukulan atau tendangan yang luput dari
sasaran. Batu-batu hancur berkeping-keping. Mereka
sama-sama mengerahkan jurus-jurus andalan.
Pada saat memasuki jurus yang kedua puluh,
Panglima Jampala mulai kelihatan terdesak. Beberapa kali pukulan dan tendangan
dahsyat dari Panglima
Rapaksa hampir menghantam tubuhnya. Panglima
Jampala harus jatuh bangun menghindari serangan-
serangan yang gencar dan cepat itu. Bahkan kini tidak lagi punya kesempatan
untuk balas menyerang.
"Mampus kau! Hiya...!"
"Kalau benar aku pemimpin pemberontak, apakah
kau tetap akan memenggal kepalaku?" nada suara Panglima Jampala terdengar
menantang. "Maaf, Adi Jampala. Malam ini juga, salah satu dari kita harus tewas!" tegas
Panglima Rapaksa.
Tahu kalau lawannya sudah tidak mampu lagi
membalas, Panglima Rapaksa semakin memperhebat
serangannya. Hingga pada satu kesempatan yang baik, pukulan telak Panglima
Rapaksa berhasil bersarang di dada Panglima Jampala.
"Hugh!" Panglima Jampala mengeluh pendek
Tubuhnya terjajar ke belakang sejauh dua batang
tombak. Darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
Belum sempat panglima yang malang itu mengatur jalan napasnya, Panglima Rapaksa
kembali melancarkan
beberapa pukulan beruntun. Semampunya Panglima
Jampala berkelit menghindar, tapi sebuah pukulan
bertenaga dalam tinggi kembali bersarang di tubuhnya.
Panglima Jampala terjungkal keras mencium tanah.
Dan pada saat kaki Panglima Rapaksa menjejak dadanya, dia tidak mungkin lagi
menghindar. Darah langsung
muncrat dari lubang hidung dan mulutnya, begitu kaki Panglima Rapaksa menghantam
telak dadanya. Krek! Panglima Jampala tidak bisa bersuara lagi. Tulang
dadanya remuk terinjak kaki dengan tenaga luar biasa itu. Tubuhnya terkulai
lemas. Nyawanya pun langsung terbang melayang saat itu juga. Panglima Rapaksa
melangkah mundur. Matanya memandangi mayat
Panglima Jampala yang terbujur diam dengan tulang-
tulang dada remuk.
Pelahan-lahan Panglima Rapaksa mengeluarkan
pedangnya yang tergantung di pinggang, lalu dengan
cepat dikibaskan ke leher Panglima Jampala. Tak pelak lagi. Sekali tebas saja
leher Panglima Jampala terpenggal buntung. Panglima Rapaksa menyarungkan kembali
pedangnya, lalu diangkatnya kepala Panglima Jampala.
"Bagus! Kau memang seorang panglima yang setia, Paman Rapaksa!"
"Raden...!" Panglima Rapaksa terkejut ketika tiba-tiba Raden Bantar Gading
muncul. Panglima Rapaksa segera membungkukkan badan
memberi hormat. Raden Bantar Gading melangkah
mendekati. Bibirnya yang tipis menyunggingkan
senyum. "Biar aku yang menyerahkan kepala pengkhianat itu pada Ayahanda Prabu. Kau
kembali saja ke Bukit Batu,"
kata Raden Bantar Gading.
"Hamba, Raden."
Panglima Rapaksa menyerahkan kepala Panglima
Jampala pada Raden Bantar Gading. Setelah membungkuk memberi hormat, Panglima Rapaksa
segera menghampiri kudanya. Dengan satu lompatan
ringan, panglima tinggi tegap itu naik ke atas punggung kudanya.
Dan pada saat yang tepat, Raden Bantar Gading
mengibaskan tangan kirinya. Maka tiga buah jarum
berwarna hitam pekat meluncur deras ke arah Panglima Rapaksa dan tidak bisa
terelakkan lagi. Dalam waktu yang singkat, Panglima Rapaksa jatuh tersungkur
seketika. Kuda tunggangannya pun meringkik sambil
mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.
"Raden...," lirih suara Panglima Rapaksa.
"Aku tahu, kau memang seorang panglima yang setia,
Paman Rapaksa. Tapi Ayahanda Prabu menghendaki kematianmu," kata Raden Bantar Gading dingin.
Panglima Rapaksa berusaha merayap, tapi seluruh
tubuhnya terasa kaku. Dari hidung dan mulutnya
mengucur darah kental kehitaman. Jarum yang
dilepaskan Raden Bantar Gading ternyata mengandung
racun yang bekerja cepat, sangat dahsyat dan
mematikan. Sebentar saja seluruh tubuh Panglima
Rapaksa sudah membiru, dan tidak bisa digerakkan lagi.
"Kau bekas Patih Ratu Kunti Boga, Panglima
Rapaksa. Ayahanda Prabu menghendaki orang-orang
sepertimu agar dilenyapkan," kata Raden Bantar Gading dingin.
"Raden..., aku bukan pengkhianat. Aku setia pada Gusti Prabu Abiyasa," lirih
suara Panglima Rapaksa.
"Kau selalu setia pada siapa saja yang berkuasa di Kerajaan Gantar Angin. Orang
sepertimu tidak patut
hidup di dunia. Memang kau sekarang tidak berkhianat.
Tapi, begitu para pemberontak mengacau, kau pastiakan berpihak pada mereka! Dan
ular sepertimu sudah
seharusnya mati!"
"Kau.. Kau kejam, Raden!" desis Panglima Rapaksa.
"Ha ha ha..! Sebentar lagi kau akan mampus,
Rapaksa!" Panglima Rapaksa berusaha bangkit, tapi seluruh
tubuhnya terasa kaku dan sulit digerakkan. Racun yang menjalar ke seluruh aliran
darahnya kini membuat
jaringan urat syaraf di seluruh tubuhnya mati. Panglima Rapaksa hanya dapat
mengumpat di dalam hati. Ada
terbersit rasa penyesalannya setelah membunuh
Panglima Jampala.
"Selamat tinggal, Panglima Rapaksa. Terimalah
kematianmu dengan tenang!" kata Raden Bantar Gading seraya tertawa terbahak-
bahak. "Iblis! Binatang kau...!" geram Panglima Rapaksa.
"Ha ha ha...!"
Raden Bantar Gading kemudian bersiul nyaring.
Terdengar suara ringkikan yang disusul dengan
munculnya seekor kuda putih dari balik rimbunan
pohon. Raden Bantar Gading melesat naik ke punggung kuda putih itu. Dilemparkan
kepala Panglima Jampala ke dekat Panglima Rapaksa. Kepala tanpa tubuh itu jatuh
tepat di depan muka Panglima Rapaksa.
"Terkutuk kau, Raden...!" pekik Panglima Rapaksa.
"Hiya! Hiya...!"
Raden Bantar Gading menggebah kudanya. Kuda
putih itu meringkik keras sambil mengangkat kaki
depannya tinggi-tinggi. Dan..., jatuh tepat di tubuh Panglima Rapaksa.
"Aaakh...!" Panglima Rapaksa menjerit keras.
Beberapa kali kaki depan kuda putih itu menghunam
tubuh Panglima Rapaksa, hingga panglima itu tewas.
Setelah puas, baru Raden Bantar Gading menghentikan injakan-injakan kaki
kudanya. Suara tawanya pecah
berderai membelah kesunyian malam. Kuda putih itu
melesat cepat bagai sebatang anak panah lepas dari
busurnya. Sementara malam terus merayap semakin
jauh. Titik-titik embun menyirami dua onggok mayat
yang menggeletak sia-sia. Suara tawa Raden Bantar
Gading lenyap, bersama bayangan tubuhnya yang
berada di atas punggung seekor kuda putih.
*** Raden Bantar Gading terus memacu cepat kudanya
menuju Lereng Bukit Cemara sebelah Barat. Tujuannya pasti ke pondok kecil tempat
tinggal Mayang. Sudah
beberapa hari ini, sejak pertengkarannya dengan
Mayang, dia tidak pernah datang lagi menemui wanita cantik yang selalu
menghangatkan tubuhnya. Memang,
dalam beberapa hari ini wajah Mayang selalu terbayang di pelupuk matanya. Malam
ini ingin dihabiskannya
bersama wanita cantik menggairahkan itu, sebelum ke Pesanggrahan Goa Larangan
mencari dua orang bayaran yang melarikan diri meninggalkan tugasnya.
Dalam waktu tidak berapa lama, kuda putih
tunggangan Raden Bantar Gading tiba di depan pondok kecil yang hanya diterangi
sebuah pelita di ruangan dalam. Raden Bantar Gading segera melompat turun dari
punggung kuda. Dengan ayunan kaki pasti, bergegas
dihampirinya pintu pondok itu. Dia agak tertegun ketika melihat pintu pondok
sedikit terbuka.
Brak! Hanya sekali pukul saja, pintu pondok itu hancur
berantakan. Kelopak matanya membeliak lebar melihat di dalam pondok itu telah
duduk seorang pemuda
tampan dan gagah mengenakan baju kulit harimau.
Sedangkan di atas pembaringan, Mayang tergolek
setengah berbaring miring. Tubuhnya hanya ditutupi
selembar kain sutra tipis, sehingga menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya yang indah
menggairahkan. "Setan! Dasar pelacur...!" geram Raden Bantar Gading.
Mayang melilitkan kain dengan tenang, lalu bangkit
berdiri dari pembaringannya. Sedangkan pemuda
tampan berbaju kulit harimau tetap duduk tenang.
Sedikit pun tidak mempedulikan kedatangan Raden
Bantar Gading. "Keluar kau!" bentak Raden Bantar Gading menunjuk pemuda berbaju kulit harimau.
Pemuda tampan itu hanya tersenyum tipis. Sedikit
pun tidak bergeming. Sedangkan Mayang malah
melangkah menghampiri, lalu duduk di pangkuan
pemuda itu dengan sikap manja. Tentu saja hal ini
membuat Raden Bantar Gading semakin berang. Dengan
kasar direnggutnya tangan wanita itu, dan dicampakkannya dengan keras.
"Akh!" Mayang memekik tertahan.
Dinding pondok sampai bergetar kena hantam tubuh
ramping itu. Pemuda berbaju kulit harimau terkejut
melihat kekasaran Raden Bantar Gading terhadap
Mayang. Dia melompat bangun dari duduknya. Sinar
matanya tajam langsung menusuk ke bola mata putra
mahkota itu. Raden Bantar Gading melangkah mundur
dua tindak. Hatinya tergetar juga melihat sorot mata yang dingin menusuk itu.
"Siapa kau?" tanya Raden Bantar Gading. Suaranya agak bergetar.
"Namaku Bayu Hanggara!" jawab pemuda berbaju kulit harimau itu dingin.
"Kuminta kau segera keluar, sebelum hilang
kesabaranku!" tegas kata-kata Raden Bantar Gading.
"He! Apa hakmu mengusirku?"
"Keparat! Ini pondokku, dan dia milikku!" Raden Bantar Gading menunjuk Mayang.
"Benar begitu?" Bayu memandang pada Mayang.
"Bohong!" sahut Mayang keras.
"Mayang...!"
"Aku tidak mengenalnya. Dan aku hidup sendiri di sini!" sambung Mayang tidak
menghiraukan bentakan Raden Bantar Gading.
"Tutup mulutmu, Mayang!" bentak Raden Bantar Gading geram.
"Harusnya kau yang tutup mulut!"
"Perempuan liar! Kubunuh kau!"
"Hhh, ingin kulihat, sampai di mana keberanianmu,"
tantang Mayang sinis.
"Keparat! Hiya...!"
Raden Bantar Gading tidak bisa lagi menahan luapan
amarahnya. Bagai seekor serigala lapar menerkam
mangsa, dia melompat hendak menyambar wanita itu.
Namun dengan menggeser kakinya sedikit ke samping,
Mayang berhasil menghindari sergapan Raden Bantar
Gading. Tentu saja hal ini membuat putra mahkota itu semakin meluap amarahnya.
Dengan cepat dia berbalik, dan melancarkan pukulan beruntun. Tapi sungguh di
luar dugaan, ternyata Mayang mampu menghindari
serangan itu dengan manis.
"Heh! Kau...!" Raden Bantar Gading terkejut bukan main.
Sama sekali tidak disangka kalau Mayang memiliki
ilmu olah kanuragan. Selama ini dia hanya mengenal
Mayang sebagai seorang wanita lemah yang hanya bisa melayaninya di atas ranjang.
Dan kini ternyata wanita lemah dan selalu hangat di ranjang itu memiliki
simpanan, bahkan mampu meredam serangan dengan
lincah. "Kenapa bengong" Ayo, bunuh aku!" tantang Mayang.
"Phuih!" Raden Bantar Gading menyemburkan ludahnya.
Sambil menahan perasaan heran bercampur geram,
Raden Bantar Gading mencabut pedangnya dan
langsung dikibaskan ke arah dada wanita itu. Mayang melompat mundur menghindari
tebasan pedang Raden
Bantar Gading. Dan pada saat Raden Bantar Gading
menarik pedangnya, dengan cepat kaki Mayang
melayang ke arah dada pemuda itu.
"Akh!" Raden Bantar Gading memekik kaget.
Cepat-cepat putra mahkota itu menarik tubuhnya ke
belakang seraya mengibaskan pedangnya. Secepat
Mayang menarik kembali kakinya, secepat itu pula dia melontarkan tiga pukulan
bertenaga dalam secara
beruntun. Wajah Raden Bantar Gading memerah
terkesiap. Serangan yang dilancarkan Mayang sungguh diluar dugaan. Tak ada jalan
lain, kecuali menghindar dengan berkelit ke kiri dan ke kanan.
Raden Bantar Gading bergegas melompat ke luar,
setelah ada kesempatan baik Mayang tidak mem-
biarkannya begitu saja. Dia pun segera melenting ke luar.


Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedangkan Bayu hanya melangkah ringan saja mengikuti mereka. Di luar pondok,
kembali pertarungan
berlangsung. Di alam terbuka ini gerakan-gerakan
mereka tidak lagi terbatas. Pedang keperakan di tangan Raden Bantar Gading
berkelebatan mengurung tubuh
wanita itu. Jurus demi jurus berlangsung cepat. Meskipun
Mayang tidak bersenjata, nampaknya masih mampu juga menandingi Raden Bantar
Gading yang menggunakan
pedang. Namun harus diakui, kalau posisi Mayang saat ini tidak menguntungkan
sama sekali. Lebih-lebih dia hanya mengenakan kain yang menutupi tubuhnya.
Gerakan-gerakannya jadi terbatas. Tiga kali ujung
pedang Raden Bantar Gading mengoyak kain yang
menutupi tubuh wanita itu.
"Hm..., tiga jurus lagi Mayang pasti tidak akan mampu menandingi," gumam Bayu
yang sejak tadi
memperhatikan. *** 6 "Akh!"
Mayang memekik tertahan. Buru-buru dia melompat
mundur. Tapi ujung pedang Raden Bantar Gading masih sempat menyentuh bagian
dadanya, sehingga kain yang dikenakan hampir melorot turun. Pada saat wanita itu
sibuk dengan kainnya, Raden Bantar Gading melompat
seraya mengibaskan pedang ke arah leher
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Bayu melentingkan tubuhnya, dan menyentil ujung
pedang Raden Bantar Gading. Seluruh tangan putra
mahkota itu jadi bergetar kesemutan. Cepat-cepat ditarik kembali pedangnya
seraya melompat mundur. Bayu
berdiri tegak melindungi Mayang.
"Masuklah, Mayang. Pakai lagi bajumu," kata Bayu lembut
"Baik Kakang," sahut Mayang menurut.
"Phuih!" Raden Bantar Gading menyemburkan ludahnya sengit.
Mayang melangkah masuk kembali ke dalam
pondoknya. Sementara Raden Bantar Gading sudah
kembali melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
Rasa geram, marah, dan cemburu yang meluap-luap
membuat serangannya jadi liar dan membabi-buta. Hal ini sempat membuat Bayu
sedikit kerepotan. Tapi
dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu bisa menguasai keadaan. Sudah bisa diukur
sampai di mana tingkat
kepandaian putra raja pemberang itu.
Beberapa kali ujung pedang Raden Bantar Gading
hampir merobek tubuh Bayu. Namun dengan manis
sekali Pendekar Pulau Neraka itu mengelak. Hal ini
membuat Raden Bantar Gading jadi semakin berang,
karena merasa dipermainkan.
"Pergilah, sebelum aku berubah pikiran, Raden!" kata Bayu memperingatkan.
"Kau yang pergi, Setan!" balas Raden Bantar Gading.
"Kau bukan lawanku, Raden! Jangan paksa aku
untuk bertindak kejam padamu!"
"Keparat! Mampus kau...!"
Raden Bantar Gading tidak mempedulikan peringatan Bayu dan malah semakin memperhebat
serangan-serangannya. Sementara Bayu hanya melayani setengah-setengah. Tapi kini
gerahamnya mulai
bergemeletuk melihat Raden Bantar Gading tidak
mengindahkan peringatannya. Bahkan serangan- serangannya semakin gencar saja.
"Hentikan, Raden!" bentak Bayu gusar.
"Jangan banyak mulut! Kau atau aku yang harus
mampus!" dengus Raden Bantar Gading.
"Kau yang memaksaku, Raden!" Bayu jadi kesal.
Raden Bantar Gading benar-benar tidak peduli lagi.
Bahkan jarum-jarum beracunnya malah beraksi setiap
kali ada kesempatan dan jarak yang cukup. Hal ini
semakin membuat Pendekar Pulau Neraka geram. Batas
kesabarannya sudah habis. Dia bisa merasakan adanya hawa racun pada jarum-jarum
hitam yang dilontarkan
Raden Bantar Gading.
"Kau memilih mampus rupanya, Raden!" geram Bayu.
Saat itu juga, Bayu segera melenting tinggi ke udara, lalu dengan cepat menukik
turun sambil melontarkan
dua kali pukulan bertenaga dalam sangat tinggi. Raden Bantar Gading terperangah
sesaat. Buru-buru dibanting tubuhnya ke samping, dan bergulingan beberapa kali
di tanah. Pukulan Bayu menghantam tanah kosong.
Tanah yang dipijak langsung bergetar bagai terjadi
gempa. Debu berkepul tinggi ke angkasa. Mata Raden
Bantar Gading terbeliak melihat tanah yang terkena
pukulan Pendekar Pulau Neraka itu berlubang besar dan cukup dalam. Belum sempat
putra mahkota itu hilang
dari rasa terkejutnya, Bayu sudah melompat menerjangnya. "Hiya...!"
Des! "Akh...!" Raden Bantar Gading memekik keras.
Pukulan keras bertenaga dalam hampir sempurna itu
tidak bisa dielakkan lagi. Tubuh Raden Bantar Gading terpental keras ke
belakang. Dua pohon yang cukup
besar tumbang kena hantam punggungnya. Dan pada
pohon ketiga, baru tubuh Raden Bantar Gading melorot turun. Pedang di tangannya
pun terlepas dari
genggaman. Raden Bantar Gading berusaha bangkit, tapi dadanya
yang sesak seperti terasa hancur, sehingga membuatnya sulit bergerak. Darah
segar mengucur deras dari
mulutnya. Pandangan matanya berkunang-kunang, dan
napasnya tersengal. Seluruh tubuhnya terasa remuk.
"Jangan...!" pekik Mayang ketika Bayu hendak melontarkan kembali pukulan
mautnya. Mayang berlari menghampiri Bayu dan berdiri
menghadangnya. Tangan Bayu yang sudah terangkat
naik, pelahan-lahan turun kembali. Sementara Raden
Bantar Gading masih bersandar pada pohon yang
hampir tumbang terbentur punggungnya tadi. Mayang
berbalik memandang pemuda pongah itu.
"Cepatlah pergi," kata Mayang agak bergetar suaranya.
Sebentar Raden Bantar Gading menatap Mayang dan
Bayu bergantian. Tangannya menggapai meraih pedang
yang tergolek tidak jauh darinya. Setelah menyarungkan pedangnya kembali, dia
berusaha bangkit dengan sisa-sisa kekuatan yang ada. Dadanya kembali terasa
sesak setiap kali menggerakkan tubuhnya. Pandangannya pun semakin mengabur.
Namun Raden Bantar Gading terus
berusaha merayap mendekati kudanya.
Seperti mengetahui kalau majikannya tidak bisa
berdiri dengan tegak, kuda putih itu menghampiri.
Kepalanya tertunduk hampir menyentuh tanah. Raden
Bantar Gading berusaha naik ke punggung kudanya.
Langsung direbahkan tubuhnya begitu berada di atas
punggung kudanya. Pelahan-lahan kuda putih itu
melangkah pergi tanpa diperintah lagi.
"Kenapa kau cegah aku untuk membunuhnya,
Mayang?" tanya Bayu setelah mereka berdua berada di dalam pondok kembali.
"Dia sebenarnya baik, Kakang. Hanya pengaruh
ayahnya begitu kuat, sehingga wataknya jadi keras
begitu," jawab Mayang seraya menghenyakkan tubuhnya di pembaringan.
Bayu kembali duduk di kursi dekat jendela. Angin
malam yang dingin menerobos masuk dari pintu yang
jebol berantakan. Mayang menutupi tubuhnya dengan
kain tebal berbulu. Dimiringkan tubuhnya untuk
memandang pemuda tampan berbaju kulit harimau itu.
Sesaat keheningan mencekam menyelimuti mereka
berdua. Tatapan mata wanita cantik itu dibalas Bayu dengan
lembut. Mayang memang sudah menceritakan segalanya
pada Pendekar Pulau Neraka itu. Lebih-lebih setelah Bayu bercerita kalau dia
sudah mengetahui hal itu dari seorang laki-laki yang dipanggil eyang oleh
Mayang. Tapi Bayu tidak mengatakan siapa laki-laki tua itu
sebenarnya. Bayu hanya ingin mengetahui lebih jelas lagi dari wanita yang
dikatakan putri tunggal Ratu Kunti Boga, penguasa yang terguling di Kerajaan
Gantar Angin. Sebenarnya, tadi mereka sudah tahu kalau Raden
Bantar Gading datang. Suara derap langkah kaki kuda sudah menandakan kalau Raden
Bantar Gading akan
muncul. Bukan Bayu yang merencanakan. Tapi memang
Mayang sendiri yang langsung melepaskan seluruh
bajunya, dan hanya ditutupi dengan selembar kain tipis.
Mawar Maut Perawan Tua 1 Tongkat Rantai Kumala Seruling Kumala Kim Lan Pay Karya Oh Chung Sin Naga Naga Kecil 6
^