Pencarian

Pesanggrahan Goa Larangan 3

Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan Bagian 3


Semula Bayu terkejut, tapi akhirnya bisa mengerti
dengan tindakan wanita itu. Hasilnya memang nyata,
Raden Bantar Gading jadi cemburu buta, sehingga
amarahnya meluap. Lebih-lebih setelah mendapat
perlawanan sengit dari wanita itu. Amarah Raden Bantar Gading semakin bertambah
tidak terkendalikan.
"Kau mencintainya?" tanya Bayu dengan pandangan mata sukar dimengerti.
Mayang tidak langsung menjawab. Kepalanya
tertunduk, tidak sanggup membalas tatapan mata
Pendekar Pulau Neraka itu. Dia memang mencintai
Raden Bantar Gading, tapi tidak mungkin....
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Mayang. Aku
datang menemuimu bukan untuk mendesak seperti yang
dilakukan Eyangmu. Justru kedatanganku ingin
membuktikan kebenaran kata-kata laki-laki yang
kujumpai, dan mengaku sebagai Eyangmu sekaligus
gurumu itu," lembut kata-kata Bayu.
"Sebagian memang ada benarnya, tapi...," kembali Mayang tidak melanjutkan kata-
katanya. "Kenapa, Mayang?"
"Aku.... Aku tidak tahu, sejak kapan berada di tempat ini. Eyang selalu datang
dengan baju serba hitam dan wajah hampir tertutup kain hitam. Rasanya kalau
bersamanya sejak usia tujuh tahun, aku pasti ingat.
Sedangkan aku tidak ingat sama sekali," kata Mayang ragu-ragu.
"Kau masih ingat suasana Istana Kerajaan Gantar Angin?" tanya Bayu mulai merasa
mendapat teka-teki lagi. Mayang menggeleng pelahan. Jelas sinar matanya
memancarkan keraguan.
"Kau ingat, sejak kecil berada di mana?"
"Yang aku tahu, sejak kecil aku berada di Puncak Bukit Cemara bersama ibu
pengasuhku. Dia meninggal
dunia beberapa tahun yang lalu. Kemudian aku bertemu dengan Raden Bantar Gading.
Dialah yang membuatkan
aku pondok di sini. Hanya itu, dan tidak ada yang
menarik" "Kau masih ingat wajah Ayah dan Ibumu?"
"Tidak..," kembali Mayang menggeleng.
"Mustahil! Usia tujuh tahun seharusnya kau masih ingat wajah orang tuamu," gumam
Bayu tidak percaya.
"Sungguh! Aku tidak tahu, dan tidak ingat sama sekali. Bahkan aku sendiri ragu-
ragu, apakah benar aku ini putri Gusti Ratu yang sekarang ditawan dalam kamar
bawah tanah bersama saudara-saudaraku."
"Kau pernah ke kotaraja?"
Lagi-lagi Mayang menggeleng.
"Tidak tahu sama sekali suasana di kotaraja?"
"Tidak"
"Aneh...," gumam Bayu pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
Bayu kembali terdiam. Keterangan yang diperoleh
dari Mayang membuatnya berpikir keras. Dirasakan
adanya kejanggalan dan keanehan. Tapi itu tidak
mungkin dapat terungkap jika tidak mencari keterangan lain di kotaraja. Hanya di
sanalah semuanya bisa
terungkap, sekaligus mengetahui maksud dan tujuan
Paman Nampi yang sebenarnya.
Bayu jadi ragu-ragu dengan kebenaran cerita Pamari
Nampi. Sebab keterangan yang didapatnya dari laki-laki tua berjubah putih itu
banyak yang tidak cocok dengan cerita Mayang sendiri. Terutama tentang keluarga
kerajaan. Semuanya masih membingungkan. Hal ini jadi pertanyaan besar di benak
Pendekar Pulau Neraka. Bayu bangkit berdiri dari duduknya, kemudian melangkah ke
pintu yang sudah hancur daunnya.
"Benahi pakaianmu, kita pergi sekarang," kata Bayu seraya melangkah ke luar.
"Ke mana...?" tanya Mayang seraya melompat turun dari pembaringan.
"Ke kotaraja!" sahut Bayu dari luar.
"Untuk apa ke sana" Eyang pasti tidak akan
mengijinkan."
"Kau ingin tahu siapa dirimu, kan?"
Mayang tidak menjawab. Dia termenung sebentar,
lalu menyiapkan pakaian beberapa potong dan
membungkusnya dengan selembar kain. Bergegas dia
melangkah keluar setelah merapikan diri. Bayu sudah menunggu di depan pondok.
Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kakinya begitu melihat Mayang keluar
dari pondok Mereka berjalan berdampingan tanpa bicara sedikit pun.
*** Suasana di Kotaraja Kerajaan Gantar Angin tampak
ramai. Keramaian itu juga ditandai dengan banyaknya prajurit yang berkeliaran di
setiap sudut. Tetapi semua keramaian itu berjalan seperti dipaksakan. Wajah-
wajah mendung dengan sinar mata kosong tanpa gairah,
terpancar dari raut wajah setiap rakyat. Keramaian itu ada karena hari ini
adalah hari pasaran, sehingga banyak pedagang dan pendatang yang ingin berjual-
beli memadati kota. Di antara keramaian itu, tampak Bayu dan Mayang
berjalan menuju sebuah rumah penginapan yang
sekaligus kedai makan. Di tempat itu juga ramai di-
kunjungi. Bahkan beberapa prajurit terlihat di sana. Dua orang punggawa juga
ada. Bayu dan Mayang masuk ke
dalam kedai itu. Seorang laki-laki tua menghampiri
terbungkuk-bungkuk Dia mempersilakan Bayu dan
Mayang duduk kemudian menanyakan makanan dan
minuman yang dipesan.
Ki Rampit, pemilik kedai dan rumah makan itu
bergegas ke belakang setelah Bayu menyebutkan
pesanannya. Sementara Mayang mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sungguh tidak disangka
kalau kotaraja begini ramai, dan banyak berdiri rumah besar dan indah. Baru kali
ini Mayang menyaksikan
begitu banyak orang hilir-mudik dengan kesibukannya masing-masing. Ki Rampit
datang lagi dengan membawa pesanan yang diminta Bayu. Diletakkan pesanan itu di
atas meja dengan sikap sopan. Bibirnya selalu
menyunggingkan senyum.
"Tampaknya Kisanak datang dari jauh...," kata Ki Rampit setelah menaruh semua
pesanan tamunya di
meja.. "Benar," sahut Bayu.
"Kisanak perlu tempat untuk menginap?"
"Ya. Aku agak lama berada di sini," sahut Bayu lagi.
"Di sini juga menyediakan kamar penginapan.
Tapi...." "Kenapa?"
"Tinggalsatu kamar lagi yang tersisa."
"Tidak apa. Kami ini pasangan suami istri," kata Bayu berbohong.
"Oh, kalau begitu aku siapkan dulu kamarnya."
"Terima kasih," ucap Bayu.
Ki Rampit bergegas meninggalkan tamunya itu.
Mayang mencubit tangan Bayu. Bola matanya mendelik
lebar. Bayu hanya meringis saja. Dia tahu, kenapa
Mayang mencubitnya.
"Supaya tidak menyolok. Lagi pula, biar aku lebih leluasa menjaga
keselamatanmu," kata Bayu setengah berbisik.
"Tapi...," Mayang mau protes.
"Sudahlah! Di sini nyawamu terancam."
Mayang langsung diam. Matanya sempat melirik
beberapa prajurit dan dua orang punggawa yang berada di dalam kedai ini.
Sementara Bayu sudah sibuk dengan makanannya. Rasa lapar yang sejak tadi
ditahan, membuat Mayang segera melahap hidangannya. Mereka
makan tanpa banyak bicara lagi. Sementara kedai ini tidak pernah sepi, selalu
saja ada orang yang keluar masuk. Ki Rampit tampak sibuk melayani tamu-tamunya.
Namun senyumnya tetap terkembang ramah.
Mungkin keramahan inilah yang membuat kedainya
ramai dikunjungi, disamping masakannya memang
sangat lezat. Ki Rampit datang lagi ke meja Bayu, setelah
Pendekar Pulau Neraka dan Mayang menyelesaikan
makannya. Mereka kini menikmati arak manis yang
memang selalu disediakan pemilik kedai meskipun tidak termasuk pesanan. Ki
Rampit tersenyum
dan mengangguk ramah. Bayu membalasnya dengan ramah
pula."Kamar sudah disiapkan. Silakan, jika Kisanak ingin beristirahat," kata Ki
Rampit lagi. "Bagaimana, Mayang?" tanya Bayu menoleh pada Mayang.
"Bolehlah. Dan lagi, badanku memang sudah pegal,"
sahut Mayang. Bayu bangkit berdiri, dan membantu wanita itu
berdiri dengan memegang tangannya. Mayang membiarkan saja tangannya digenggam pemuda tampan
berbaju kulit harimau itu. Ki Rampit memandanginya
dengan bibir tetap terhias senyum. Dia melangkah lebih dulu untuk menunjukkan
kamar yang sudah disiapkan.
Beberapa perintah yang ditujukan kepada pembantunya meluncur dari bibir laki-
laki tua itu. Bayu dan Mayang berjalan bergandengan tangan
mengikuti Ki Rampit. Mereka melewati bagian belakang kedai, dan terus masuk ke
dalam satu lorong yang sangat besar. Di kiri dan kanannya terdapat banyak pintu
berjajar rapi. Lorong itu bercabang, dan mereka berbelok ke arah kanan. Bayu
agak berkerut keningnya ketika Ki Rampit mengajaknya keluar dari lorong setelah
berbelok ke kanan.
Tampak sebuah taman indah, terhampar di bagian
belakang rumah penginapan ini. Mereka terus berjalan melintasi taman itu, dan
baru berhenti setelah tiba pada satu bangunan yang tidak begitu besar, namun
kelihatan terawat rapi. Letaknya memang menyendiri, di antara bangunan-bangunan
lain. "Silakan," kata Ki Rampit seraya membuka pintu.
Bayu mengamati keadaan di dalam. Sungguh indah
sekali. Mayang mengayunkan kakinya masuk ke dalam.
Dia memutari ruangan yang tidak begitu besar, namun ditata sangat indah.
Bangunan itu memang hanya berupa satu kamar saja. Sedangkan Bayu tetap berdiri
di ambang pintu. Di sampingnya Ki Rampit masih berdiri
menunggu. "Bukankah ini kamar khusus?" tanya Bayu.
"Benar. Khusus untukmu, Kisanak," sahut Ki Rampit.
"Untukku..."!" Bayu tersentak kaget.
Ki Rampit hanya tersenyum saja, kemudian
melangkah masuk ke dalam. Sejenak Bayu masih berdiri di ambang pintu, kemudian
ikut masuk ke dalam. Ki
Rampit menutup pintunya dan duduk di kursi dekat
pintu. Sementara Mayang sudah merebahkan diri di
pembaringan dengan tubuh miring. Bayu berdiri di
samping jendela yang langsung menghadap ke taman.
"Aku tahu, kalian berdua pasti datang ke sini," kata Ki Rampit. Bibirnya tetap
tersenyum. Bayu memandang dengan kening sedikit berkerut
Mayang langsung terlonjak bangun dari pembaringan.
Dia duduk di tepi pembaringan itu. Kata-kata Ki Rampit membuat jantungnya
seperti berhenti berdetak seketika.
Sedangkan Bayu hanya diam. Pandangan matanya jadi
penuh rasa curiga.
"Bagaimana kau tahu kamiakan datang?" tanya Bayu dingin.
Lagi-lagi Ki Rampit hanya tersenyum saja.
*** "Kerajaan Gantar Angin ini tidak terlalu besar. Setiap kali ada peristiwa yang
terjadi, selalu cepat tersebar luas.
Aku tahu kalau Raden Bantar Gading selalu ke Bukit
Cemara, aku juga tahu peristiwa yang terjadi di Bukit Batu...," kata Ki Rampit
kalem. Kata-kata laki-laki tua pemilik kedai itu memang
cukup jelas. Tapi, Bayu tidak mau menerima begitu saja.
Dia yakin itu bukan alasan yang tepat. Hanya saja. Bayu tidak mau mendesak lebih
jauh lagi. Dan kecemasan pun mulai menjalar di harinya. Kalau memang demikian
alasan Ki Rampit, pasti semua orang sudah tahu
kedatangannya. Apalagi para prajurit serta punggawa yang ada di kedai! Hal ini
bisa jadi kesulitan besar bagi Bayu dan Mayang.
Ki Rampit bangkit berdiri, dan membuka pintu
kamar itu. Dia berbalik dan tersenyum pada Bayu.
"Aku tahu kalian bukan pasangan suami istri. Tapi jangan khawatir, tempat ini
cukup aman bagi kalian
berdua," kata Ki Rampit sebelum meninggalkan kamar itu. Bayu tersentak kaget.
Dia ingin mencegah, tapi Ki Rampit sudah keburu pergi dengan menutup pintu
kamar ini. Bayu hanya bisa mendesah panjang dengan
mata menatap lurus pada Mayang. Wanita itu juga
membalas tatapan Pendekar Pulau Neraka.
"Kau di sini saja, Mayang. Jangan keluar dari kamar,"
kata Bayu seraya bangkit berdiri.
"Kakang mau ke mana?" tanya Mayang.
"Aku akan cari keterangan, siapa Ki Rampit
sebenarnya."
Mayang membiarkan saja Pendekar Pulau Neraka itu
keluar dari kamar ini, dan hanya duduk merenung di
tepi pembaringan. Wanita itu bangkit berdiri dan
melangkah ke jendela. Dari sini, kelihatan Bayu sedang berjalan cepat melintasi
taman. Tubuh Pendekar Pulau Neraka itu lenyap di balik lorong kamar penginapan
lainnya. Mayang menarik napas panjang, dan kembali
berbalik. Dihenyakkan tubuhnya di pembaringan.
Sementara itu Bayu sudah menyusuri lorong yang di
kanan kirinya terdapat kamar-kamar sewaan. Langkahnya cepat dan bergegas. Sebentar saja dia sudah sampai di ujung lorong.
Tapi saat tangannya hendak
membuka pintu, telinganya mendengar suara percakapan dari balik pintu lorong ini.
Bayu paham betul akan suara dua orang laki-laki
yang sedang berbicara itu. Segera dikerahkan ilmu
meringankan tubuh dan ditajamkan telinganya. Suara
dua orang itu jelas suara Ki Rampit dan Raden Bantar Gading.
"Kau yakin, kalau mereka adalah Mayang dan


Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Pulau Neraka?" terdengar suara Raden Bantar Gading.
"Tidak salah, Raden. Seperti yang Raden katakan, wanitanya cantik, berkulit
putih dengan rambut panjang tergelung hitam. Ada andeng-andeng di sudut bibir
kanan. Sedangkan yang laki-laki berwajah tampan, tinggi tegap dan memakai baju
dari kulit harimau. Bukankah begitu yang Raden katakan?"
"Hm, di mana kau tempatkan mereka?"
"Di kamar biasa, Raden."
"Bagus! Kau ajak Pendekar Pulau Neraka itu ke luar.
Biar kubereskan wanita keparat itu!"
"Hamba, Raden."
"Aku tunggu di kamar, lalu kau ajak dia pergi."
"Sekarang, Raden?"
"Iya, sekarang!"
"Baik, Raden."
Pada saat itu, Bayu sudah berlari cepat meninggalkan lorong kamar penginapan
itu. Dalam sekejap saja, dia sudah sampai di depan pintu kamar, tempat Mayang
menunggu. Bergegas dibukanya pintu kamar itu.
Mayang terkejut melihat kedatangan Bayu begitu
tergesa-gesa. "Cepat tinggalkan tempat ini!" kata Bayu.
"Ada apa, Kakang?" tanya Mayang.
Bayu tidak menjawab. Dengan cepat disambarnya
tangan wanita itu, dan ditariknya keluar. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka
itu memondong Mayang sambil
melentingkan tubuhnya ke atas atap. Tepat pada saat Pendekar Pulau Neraka
membawa Mayang pergi, Ki
Rampit keluar dari lorong. Langkah kakinya bergegas melintasi taman, langsung
menuju kamar khusus itu.
Ki Rampit mengetuk pintu yang sedikit terbuka. Tak
ada sahutan dari dalam. Pelahan-Iahan didorongnya
daun pintu itu. Matanya membeliak lebar begitu
mendapati kamar sudah kosong. Buntalan kain milik
Mayang masih teronggok di atas pembaringan. Bergegas Ki Rampit berlari
meninggalkan kamar itu.
"Raden...! Raden...!" teriaknya memanggil.
Pada saat Ki Rampit hampir mencapai pintu lorong,
Raden Bantar Gading muncul dengan tergesa-gesa. Ki
Rampit segera menjatuhkan diri berlutut. Napasnya
tersengal, seolah baru saja berlari jauh.
"Ada apa"!" tanya Raden Bantar Gading setengah membentak.
"Celaka, Raden. Mereka kabur...." sahut Ki Rampit dengan napas terengah-engah.
"Apa..."!"
"Mereka kabur, Raden," ulang Ki Rampit.
"Bodoh!"
Plak! Ki Rampit mengaduh begitu telapak tangan Raden
Bantar Gading mendarat di pipinya. Laki-laki tua itu terjungkal jatuh. Belum
sempat dia bangkit, satu
tendangan keras membuat tubuhnya terguling beberapa depa
jauhnya. Raden Bantar Gading kembali mendaratkan tendangannya ke tubuh laki-laki tua itu.
Benar-benar dilampiaskan kekesalannya.
Tidak puas dengan tendangan. Raden Bantar Gading
mengangkat tubuh tua itu. Maka dua pukulan mendarat di tubuh laki-laki tua itu
sekaligus. Darah mengucur deras dari mulut dan pelipisnya yang luka. Ki Rampit
hanya bisa mengeluh dan merintih lirih. Seluruh tulang-tulangnya terasa remuk
redam. Tidak terhitung lagi, berapa pukulan dan tendangan mendarat di wajah dan
tubuhnya. "Mampus kau! Tua bangka tidak ada guna!" geram Raden Bantar Gading.
Sret! Raden Bantar Gading mencabut pedangnya, dan
langsung dikibaskan ke dada kurus kerempeng itu. Ki Rampit tidak mungkin lagi
mengelak. Tak pelak lagi, dadanya terbabat ujung pedang Raden Bantar Gading. Ki
Rampit menjerit melengking, darah pun muncrat dari
luka panjang dan dalam di dadanya.
"Hiya...!"
"Aaakh...!"
Satu jeritan keras melengking mengantarkan nyawa
laki-laki tua malang itu. Darah kembali muncrat dari perutnya yang tertembus
pedang. Raden Bantar Gading menendang tubuh tua yang tak bernyawa lagi itu.
Sambil melangkah pergi, disarungkan kembali pedangnya.
Beberapa orang yang mendengar ribut-ribut itu, hanya bisa mengintip dari balik
jendela kamar penginapan.
Tidak seorang pun yang berani mencegah. Mereka tahu siapa Raden Bantar Gading,
yang biasa membunuh
orang tanpa berkedip!
*** 7 "Kakang, turunkan...!" jerit Mayang memberontak.
Bayu berhenti berlari setelah sampai di perbatasan
kotaraja. Diturunkan Mayang dari pondongannya.
Wanita itu memberengut sambil merapikan bajunya
yang kusut. Bayu memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Tak ada seorang pun yang terlihat.
"Kenapa buru-buru" Seperti dikejar setan saja!"
rungut Mayang. "Dengar, Mayang: Ini kesalahanmu," kata Bayu tajam.
"Aku..."!" Mayang tidak mengerti.
"Iya! Kalau saja kau biarkan Raden bergajul itu mati, kita bisa bebas masuk ke
kotaraja!"
"Kakang, apa sebenarnya yang terjadi?" Mayang masih belum mengerti juga.
"Tidak ada lagi tempat aman bagimu! Raden Bantar Gading sudah memerintahkan
siapa saja untuk menjebak dan menangkap kita, terutama kau!"
"Jadi...?"
"Ki Rampit sudah tahu siapa kita sebenarnya dari Raden Bantar Gading. Dia
sengaja memberi kamar
khusus, sementara Raden Bantar Gading menunggunya
di kamar lain," jelas Bayu singkat.
"O.... Pantas dia bisa tahu...," Mayang mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dunia memang kejam, Mayang. Kau tidak boleh
percaya begitu saja pada siapa pun. Sekali kau terjebak, selamanya tidak akan
merasa aman."
"Kau juga tidak pernah percaya pada siapa pun?"
"Itu tergantung, Mayang. Kita boleh percaya pada seseorang, tapi jangan
sepenuhnya. Coba kalau tadi kita percaya begitu saja pada omongan Ki Rampit...."
"Aku percaya padamu, Kakang," potong Mayang.
"Jangan! Kau belum tahu siapa aku sebenarnya."
"Tidak! Aku tetap percaya padamu."
"Kau begitu polos, Mayang. Kepolosan dirimu bisa menjeratmu.
Bahkan bukan tidak mungkin disalahgunakan orang lain. Kau tidak akan merasa
diperalat sebelum benar-benar terjerumus."
Mayang terdiam membisu. Pandangan matanya
tajam menembus langsung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka itu. Bisa ditebak
arah pembicaraan Bayu
Hanggara. Mendadak saja hatinya jadi tidak menentu.
Kehadiran Bayu seperti sebuah pelita yang menerangi hatinya. Mayang baru sadar
kalau selama ini hatinya begitu tertutup dan buta akan keadaan sekelilingnya.
Sungguh tidak disadari, bahwa banyak serigala liar
berada di sekitarnya. Serigala yang siap mencabik-cabik tubuhnya.
"Kakang, apakah Eyang juga tidak bermaksud baik padaku?" tanya Mayang ragu-ragu.
"Aku tidak mengatakan begitu, Mayang. Yang jelas, saat ini bukan hanya satu dua
orang menginginkanmu.
Kau juga harus tahu, siapa dirimu sebenarnya," sahut Bayu.
"Aku jadi seperti bukan diriku lagi, Kakang," kata Mayang bergumam.
"Kau tetap Mayang. Hanya saja asal-usulmu harus kau ketahui. Jangan sampai ada
orang yang memanfaatkanmu untuk kepentingan pribadi."
"Bagaimana aku bisa tahu?"
"Kau akan tahu, Mayang. Percayalah, pasti masih ada orang yang tahu betul akan
asal-usulmu. Kau
percaya padaku, Mayang?"
"Tentu."
"Aku akan membantumu."
"Sungguh?"
Bayu mengangguk pasti. Hari Pendekar Pulau
Neraka itu tergerak melihat keadaan Mayang yang buta akan riwayat hidupnya
sendiri. Hal itu sama dengan
keadaan Bayu yang juga tidak tahu dan belum pernah
melihat wajah orang tuanya. Meskipun Pendekar Pulau Neraka itu sudah mengetahui
asal-usulnya, tapi masih juga belum yakin kalau ibunya sudah tewas dalam
kerusuhan di Padepokan Teratai Putih. Sampai saat ini, pusaranya saja belum
ditemukan. Kesamaan nasib antara dirinya dengan Mayang,
membuat hati Pendekar Pulau Neraka itu tergerak untuk membantu. Terlepas sampai
kapan Bayu bisa
mengungkap asal-usul wanita itu. Sedangkan orang-
orang yang ingin memanfaatkan kepolosan Mayang saja belum bisa dipastikan. Saat
ini Bayu menghadapi dua persoalan yang hampir berlawanan. Dan itu pasti
menyangkut keluarga Kerajaan Gantar Angin.
Bayu tersentak dari lamunannya ketika riba-riba
Mayang menubruk dan memeluknya dengan erat.
Sebentar Bayu gelagapan. Buru-buru dilepaskan
pelukan wanita itu. Tapi Mayang malah memperketat
pelukannya. Bahkan tanpa sungkan-sungkan lagi,
diciuminya wajah Pendekar Pulau Neraka itu. Tentu saja hal ini membuat hati Bayu
tidak menentu. "Mayang...," desah Bayu agak tersengal.
Dengan halus, Bayu melepaskan pelukan wanita itu.
Digeser kakinya dua langkah ke belakang. Sedangkan
Mayang tidak melepaskan genggaman tangannya pada
tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Bibirnya yang selalu merah merekah, mengulas
senyum. Bola matanya
berbinar, seperti mata bocah yang baru diberi hadiah.
"Aku gembira, Kakang. Kau telah membuka mata
hariku," kata Mayang.
"Iya, tapi jangan begitu caranya."
"Kau tidak suka?" '
Bayu tidak menjawab. Laki-laki mana yang tidak
suka dipeluk wanita cantik seperti ini" Hanya laki-laki bodoh yang menolak. Tapi
dalam suasana seperti ini, rasanya Bayu enggan untuk bercinta. Memang diakui,
hatinya sempat tergetar saat memandang wajah wanita itu. Lebih-lebih setelah
Mayang memeluk dan
menciuminya. Rasanya saat itu juga jantung Bayu copot.
"Jangan gembira dulu, Mayang. Perjalananmu masih jauh," kata Bayu agak tertahan
suaranya. "Maafkan aku, Kakang. Aku...," agak tersipu wajah Mayang.
"Lupakan saja."
*** Malam baru saja beranjak turun menyelimuti bumi.
Angin dingin berhembus kencang membawa titik-titik
embun. Kabut pun ikut merayap menambah dinginnya
udara malam itu. Udara semakin menusuk tulang saat
titik-titik air hujan mulai merinai. Tapi, keadaan malam yang tidak ramah itu
tidak menghentikan langkah
seorang pemuda yang tengah memasuki Kotaraja
Kerajaan Gantar Angin.
Pemuda tampan dengan tubuh tinggi tegap itu
berjalan melintasi jalan yang cukup lebar dan berbatu.
Pandangan matanya lurus ke depan, dengan sorot mata mencerminkan kemantapan
hati. Tak ada seorang pun
yang terlihat di sepanjang jalan. Suasana malam yang dingin dengan rintik air
hujan merinai, membuat semua orang lebih senang berada dalam rumah.
"Hm..., sepi. Mudah-mudahan dia ada di rumah,"
gumamnya pelan.
Langkah kakinya berhenti tepat di depan kedai dan
rumah penginapan milik Ki Rampit. Tempat itu
kelihatan gelap, tak ada satu pelita pun yang menerangi.
Suasana rumah penginapan itu seperti sudah lama tidak berpenghuni. Pemuda tampan
itu melangkahkan
kakinya mendekati pintu kedai yang tidak tertutup
dengan sempurna. Keningnya sedikit berkerut, seraya tangannya mendorong pintu
kedai itu. "Sepi. Ke mana Ki Rampit?" kembali dia bergumam sendiri.
Pelan kakinya terayun masuk ke dalam kedai. Benar-
benar sepi, tidak terlihat seorang pun di sini.
Keadaannya juga gelap dan tidak teratur. Masih banyak bekas-bekas makanan
berserakan di meja. Bahkan
beberapa meja dan kursi hancur berantakan. Pemuda
tampan itu mulai menduga-duga, apa yang telah terjadi di kedai ini.
"Jangan-jangan...."
Pemuda itu bergegas melangkah menuju bagian
belakang kedai. Dia terus berjalan memasuki lorong yang di kanan kirinya
terdapat kamar-kamar untuk
disewakan. Semua pintu kamar terbuka lebar. Tidak ada satu pun penyewa yang
menghuni di situ. Pemuda itu
terus melangkah cepat keluar dari lorong. Mulutnya
terbuka, dan matanya membeliak lebar begitu melihat tubuh Ki Rampit menggeletak
bersimbah darah di atas rerumputan taman belakang.
Belum sempat pemuda itu menghampiri mayat Ki
Rampit, mendadak telinganya menangkap desiran halus dari arah belakang. Dia agak
terperangah begitu melihat seorang gadis mengayunkan sebilah golok ke arah
kepala. Buru-buru dia merunduk, dan tangannya
melayang menyentil golok di atas kepalanya.
"Akh!" gadis muda itu memekik tertahan.
Golok di tangannya terlepas dan mental cukup jauh.
Belum sempat gadis itu berbuat sesuatu, pemuda
tampan berbaju kulit harimau itu sudah menyergapnya, dan langsung memelintir
tangannya ke belakang.
"Ah...! Lepaskan...!" jerit gadis itu seraya meronta coba melepaskan diri.
"Aku lepaskan kalau kau mau diam!" dingin suara pemuda itu.
Gadis berbaju biru muda itu langsung diam tidak
meronta lagi. Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu melepaskan ringkusannya,
dan mendorong tubuh gadis
itu ke depan. Gadis yang masih berusia sekitar lima belas tahun itu memijit-
mijit pergelangan tangannya. Kedua bola matanya tajam menatap pemuda tampan di
depannya. "Siapa kau" Kenapa menyerangku?" tanya pemuda itu mulai lembut suaranya.
"Huh'" gadis itu mendengus ketus.
"Aku tidak bermaksud buruk," kata pemuda itu lagi seraya melirik mayat Ki
Rampit. Pemuda itu melangkah menghampiri mayat itu, tapi
gadis berbaju biru muda itu sudah melompat
menghadang. Tatapan matanya semakin tajam menusuk.


Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan sentuh ayahku!" keras suara gadis itu.
"Kau putri Ki Rampit...?"
"Iya!"
"Kenapa kau diamkan saja mayat ayahmu" Kau kan bisa meminta bantuan saudaramu
yang lain atau tetangga untuk menguburkannya?"
"Percuma. Tidak ada yang mau!" masih ketus nada suara gadis itu.
"Aneh...!" desis pemuda itu.
Tanpa menghiraukan cegahan gadis putri Ki Rampit,
pemuda berbaju kulit harimau itu mendekati mayat Ki Rampit, lalu mengangkatnya.
Gadis itu seperti terpaku dan tidak mencegah lagi. Malah di kutinya pemuda yang
membawa mayat laki-laki tua pemilik kedai dan rumah penginapan itu. Langkah
pemuda itu berhenti di
samping kamar sewa khusus. Mayat Ki Rampit
diletakkan di atas balai-balai bambu yang beralaskan tikar daun pandan.
Tanpa menghiraukan putri Ki Rampit, pemuda itu
mengambil cangkul di belakang, dan mulai menggali
lubang.. Agak lama juga dia membuat lubang yang cu-
kup besar di samping rumah sewa itu. Setelah dirasakan cukup dalam, diangkatnya
tubuh Ki Rampit untuk
dikuburkan. Gadis berbaju biru muda itu mulai terisak begitu tubuh ayahnya mulai
tertimbun tanah.
"Ayah...," rintihnya lirih.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menghampiri putri
Ki Rampit setelah selesai mengubur mayat Ki Rampit
Gadis itu diajak masuk ke kamar sewaan khusus,
Pemuda itu menyuruhnya duduk di kursi. Dia sendiri
kemudian mengambil tempat dekat jendela. Gadis itu
masih terisak sesekali. Dengan punggung tangan,
dihapusnya air mata yang jatuh menitik ke pipi.
"Siapa namamu?" tanya pemuda itu lembut suaranya.
"Rintan," sahut gadis itu pelan. Hampir tidak terdengar suaranya.
"Aku Bayu. Kau boleh memanggilku, Kakang Bayu,"
pemuda berbaju kulit harimau itu juga memperkenalkan diri.
"Kau bukan orang suruhan Raden Bantar Gading?"
Rintan ingin kepastian.
Bayu hanya menggeleng dan tersenyum manis.
"Untuk apa kau datang" Orang-orang Raden Bantar Gading sangat kejam. Kau pasti
akan dibunuh bila
mereka tahu bahwa kau yang mengubur mayat ayahku.
Raden Bantar Gading melarang siapa saja menguburkan jenazah Ayah," kembali
Rintan terisak.
"Lalu, saudaramu?"
"Aku anak tunggal, sedangkan Ibu sudah tiga tahun
lalu meninggal dunia."
Bayu terdiam membisu. Gerahamnya bergemeletuk
menahan geram menyaksikan kekejaman yang berlangsung di depan matanya. Sungguh tak disangka
kalau Ki Rampit akan bernasib seperti itu. Semula Bayu menyangka kalau orang tua
itu memang sengaja
menjebaknya. Ternyata semua itu dilakukan karena
terpaksa. Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri Rintan, dan
memeluk dengan penuh perasaan. Rintan semakin keras menangis. Dipeluknya Bayu
erat-erat. Kepalanya
disembunyikan di dada pemuda itu. Bayu membiarkan
Rintan menumpahkan air mata dukanya. Hatinya
terenyuh menyaksikan penderitaan yang dialami gadis muda ini.
*** Bayu membawa Rintan ke hutan perbatasan Kerajaan
Gantar Angin. Mayang pun menerima baik gadis itu.
Tetapi mereka terpaksa harus tinggal di dalam goa yang sangat tersembunyi.
Pendekar Pulau Neraka itu kembali ke kotaraja setelah menitipkan Rintan pada
Mayang. Dia langsung menuju ke Istana Kerajaan Gantar Angin.
Bangunan istana nan megah itu dikelilingi tembok
benteng yang tinggi dan kokoh. Tidak kurang dari
seratus prajurit berjaga-jaga di setiap sudut benteng.
Cukup sulit untuk menembus ke dalam. Hampir setiap
jengkal selalu ada prajurit penjaga. Bayu mempelajari keadaan sekitar istana itu
dari atas dahan pohon yang cukup tinggi.
"Hm. Seperti ada pesta di dalam...," gumam Bayu dalam hati.
Di dalam ruangan yang besar dan megah, memang
sedang ada pesta. Tidak banyak yang hadir. Hanya para kerabat dan keluarga
kerajaan serta pembesar saja. Pesta itu diadakan untuk menyambut jago-jago dari
seberang yang diundang secara khusus oleh Prabu Abiyasa.
Ada sekitar sepuluh orang berpakaian aneh dengan
senjata beraneka ragam yang mengaku jago-jago dari
seberang. Sedangkan Prabu Abiyasa duduk dengan
angkuh di atas singgasananya. Di samping kanan dan
kirinya duduk Raden Bantar Gading dan Raden Sangga
Alam. Tampak jelas kalau Raden Sangga Alam tidak
senang akan kehadiran jago-jago dari seberang itu.
Sedikit pun bibirnya tidak menyunggingkan senyum.
Prabu Abiyasa bangkit dari duduknya. Semua orang
yang ada di ruangan itu langsung diam, kemudian
membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Tidak
terkecuali sepuluh orang jago yang diundang dari
seberang yang juga memberi hormat dengan cara
masing-masing. "Malam ini kita semua berkumpul untuk menyambut kedatangan sepuluh jago yang
kuundang. Mereka adalah tokoh yang sukar dicari tandingannya di negaranya
masing-masing. Tugas mereka tidak lain untuk
mengamankan jalannya pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan...," lantang dan berwibawa kata-kata Prabu Abiyasa.
Tidak ada seorang pun yang berani membuka suara.
Semuanya menyimak dengan sikap penuh hormat Mata
Prabu Abiyasa merayapi semua orang satu persatu.
"Di samping itu, tugas khusus yang harus mereka jalankan adalah mencari dan
membunuh perusuh!"
sambung Prabu Abiyasa.
"Ayah...," Raden Bantar Gading menyelak.
"Ada apa, Anakku?"
"Aku inginkan kepala Pendekar Pulau Neraka.
Tingkat kepandaiannya sangat tinggi. Akan kuberi
hadiah besar bagi siapa saja di antara mereka yang
berhasil memenggal kepala Pendekar Pulau Neraka,"
kata Raden Bantar Gading.
"Dengar itu! Anakku meminta satu kepala dan akan memberikan hadiah yang sangat
besar," sambung Prabu Abiyasa.
Pernyataan Raden Bantar Gading disambut hangat
sepuluh orang jago dari seberang yang diundang itu.
Bahkan para kerabat dan pembesar istana juga
menyambut gembira. Lain halnya dengan Raden Sangga
Alam dan Paman Nampi. Mereka hanya diam saja. Dari
sikapnya, mereka tidak lagi betah berada dalam ruangan ini. Kegelisahan mulai
meyelimuti hati mereka.
Sementara pesta kembali dilanjutkan. Raden Bantar
Gading sibuk memberi keterangan tentang ciri-ciri
Pendekar Pulau Neraka pada sepuluh orang jago dari
seberang itu. Bahkan para patih dan panglima juga
menanyakan ciri-ciri Pendekar Pulau Neraka. Mereka
juga tertarik dengan hadiah yang dijanjikan Raden
Bantar Gading. Tentu saja hal ini membuat putra
mahkota itu gembira.
"Ayah. Bolehkah Ananda beristirahat" Rasanya
kepala ini pening," kata Raden Sangga Alam yang sudah tidak tahan lagi berada di
ruangan itu. "Pergilah," sahut Prabu Abiyasa.
Raden Sangga Alam beranjak bangkit. Diajaknya
Paman Nampi. Laki-laki tua berjubah putih itu memberi hormat pada Prabu Abiyasa,
kemudian beranjak pergi
mengikuti langkah Raden Sangga Alam. Mereka
bergegas meninggalkan ruangan yang besar itu. Raden Sangga Alam langsung masuk
ke dalam kamar peristi-rahatannya. Sedangkan Paman Nampi menunggu di
depan pintu. Dia baru melangkah masuk setelah Raden Sangga Alam memanggilnya.
Paman Nampi duduk di
kursi dekat jendela.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Paman?"
tanya Raden Sangga Alam terdengar mengeluh.
Paman Nampi tidak langsung menjawab. Pikirannya
kini terpusat pada keinginan Raden Bantar Gading yang menghendaki kepala
Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan sudah beberapa hari ini, dia tidak lagi bertemu
pendekar muda itu. Bahkan pondok tempat Mayang tinggal juga
sudah kosong. Dia tidak tahu, ke mana Mayang pergi.
Ada rasa gelisah menyeruak di dalam dadanya dengan
hilangnya Mayang.
"Paman...."
"Oh!" Paman Nampi terbangun dari lamunannya.
"Apa yang dipikirkan?" tanya Raden Sangga Alam.
"Tidak, Raden. Aku tidak memikirkan apa-apa,"
sahut Paman Nampi berdusta.
"Kedatangan
jago-jago dari seberang bisa membahayakan, Paman. Kita tidak mungkin lagi dapat
mencegah pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larang an," keluh Raden Sangga
Alam. "Raden...,
Ayahanda Prabu memusatkan perhatiannya pada para pemberontak. Jago-jago dari
seberang itu sebenarnya ditugaskan untuk menumpas
para pemberontak. Bukan untuk menjaga kelancaran
pembuatan jalan."
"Tapi tidak semua, Paman. Dua orang dari mereka saja sudah merupakan ancaman
besar." "Memang benar, Raden."
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Raden ingat orang tua yang kita tolong?" Paman Nampi balik bertanya.
"Ki Maruta, maksudmu?"
"Benar! Ki Maruta pernah cerita padaku. Dia tahu di mana tempat tinggal para
pemberontak."
"Lalu?"
"Ki Maruta percaya kalau Raden selalu menentang Ayahanda Prabu. Baik menentang
pembuatan jalan itu, maupun pembongkaran Pesanggrahan Goa Larangan.
Bahkan dia berharap Raden mau bergabung dengannya,
menyusun kekuatan untuk menggulingkan kekuasaan
Prabu Abiyasa. Setelah itu kekuatan akan kita
kembalikan pada Gusti Ratu Kunti Boga," kata Paman Nampi panjang lebar.
"Tidak mungkin, Paman. Aku tidak bisa mengkhianati Ayahanda Prabu," sahut Raden Sangga Alam dengan nada bingung.
"Rasanya hanya itu cara satu-satunya, Raden."
"Tapi...."
"Percayalah padaku, Raden. Rakyat pastiakan berada di pihak Raden. Bahkan
bukannya tidak mustahil Raden akan menduduki tahta di Kerajaan Gantar Angin
ini." "Paman! Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi raja."Aku tahu, Raden. Demi
kebenaran dan keadilan, tidak ada salahnya jika Raden membantu mereka. Lagi pula
Ayahanda Prabu tidak pernah mempedulikan
Raden. Beliau selalu membanggakan Raden Bantar
Gading. Aku yakin jika tahta sampai jatuh ke tangan Raden Bantar Gading, Raden
pasti akan mengalami nasib yang sama dengan Gusti Ratu Kunti Boga."
"Aku tidak bisa memutuskannya sekarang, Paman,"
pelan suara Raden Sangga alam.
"Selama Raden berpikir, aku akan membantu mereka secara diam-diam."
"Jangan, Paman. Terlalu berbahaya! Bisa-bisa...."
"Jangan khawatir, Raden," potong Paman Nampi cepat.
Raden Sangga Alam mengangkat bahunya, kemudian membaringkan tubuhnya di pembaringan.
Paman Nampi bangkit berdiri dan melangkah ke luar.
Raden Sangga Alam berusaha memejamkan matanya,
tapi terasa sulit. Kata-kata Paman Nampi terus-menerus terngiang-ngiang di
telinganya. "Haruskah aku mengkhianati Ayahanda...?" gumam Raden Sangga Alam dalam hari.
*** 8 Pembicaraan antara Paman Nampi dan Raden
Sangga Alam didengar jelas oleh Bayu Hanggara, yang saat itu tidak jauh dari
kamar Raden Sangga Alam.
Pendekar Pulau Neraka itu bergegas melompat turun
dari atas dahan, dan langsung berlari cepat menjauhi benteng Istana Kerajaan
Gantar Angin. Dia baru berhenti berlari setelah tiba di sebuah rumah yang tidak
begitu besar. Rumah dari dinding papan dan beratapkan daun
rumbia itu, tampak gelap. Hanya sebuah pelita yang
meneranginya. Nyala lampu pelita nampak menari-nari tertiup angin malam. Bayu
mendekati pintu yang
tertutup rapat. Pelahan diketuknya pintu itu. Matanya tidak pernah lepas
mengamari keadaan sekitarnya.
"Siapa...?" terdengar suara dari dalam. Sepertinya suara seorang laki-laki tua
yang sedang mengantuk.
Bayu kembali mengetuk pintu itu.
"Sebentar...!"
Tak lama kemudian pintu itu terbuka. Tampak
seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering muncul dari ambang pintu. Dia hanya
mengenakan kain lusuh yang
melilit bagian pinggangnya hingga ke bawah. Laki-laki tua yang ternyata Ki
Maruta itu terkejut melihat seorang pemuda tampan dan gagah mendatangi rumah nya
di tengah malam buta begini.
"Ki Maruta...?" Bayu ingin memastikan.
"Ya...."


Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf, aku telah mengganggu tidurmu."
"Siapa Kisanak, dan ada keperluan apa malam-
malam begini?" tanya Ki Maruta.
"Maaf, aku tidak bisa mengatakannya disini."
Secepat Bayu berkata, secepat itu pula jari tangannya bergerak menotok jalan
darah laki-laki tua itu. Ki Maruta hanya sempat mengeluh sedikit, sedangkan
tubuhnya langsung melorot turun. Bayu cepat-cepat menyangga, dan memanggulnya di pundak.
Saat itu juga dia
melompat meninggalkan rumah berdinding papan itu.
Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya lenyap
ditelan kegelapan malam.
Tepat, pada saat bayangan tubuh Pendekar Pulau
Neraka yang membawa Ki Maruta pergi, Paman Nampi
tiba dengan menunggang kuda. Panglima Perang
Kerajaan Gantar Angin itu langsung melompat turun
dari punggung kudanya. Dengan langkah tergesa-gesa
dia menerobos masuk ke rumah Ki Maruta.
"Ki...! Ki Maruta...!" panggil Paman Nampi.
Keningnya agak berkerut ketika melihat keadaan
rumah yang sunyi senyap. Paman Nampi membuka
pintu sebuah kamar. Kosong! Tak ada seorang pun di
kamar itu. Kemudian dibukanya pintu kamar lainnya.
Semua kamar yang diperiksa, kini tak berpenghuni sama sekali.
"Ke mana dia" Jangan-jangan.... Ah! Tidak...! Tidak mungkin!" Paman Nampi bicara
pada dirinya sendiri.
Bergegas dia melangkah ke luar. Tapi, baru saja
kakinya menjejak di depan pintu, matanya membeliak
lebar. Bahkan mulutnya ternganga tanpa ada suara.
Tampak di depannya sudah berdiri sepuluh prajurit
yang siap dengan anak panah terbidik. Di belakangnya ada dua puluh prajurit lagi
dengan pedang terhunus.
Sedangkan di tengah-tengah, berdiri Raden Bantar
Gading didampingi dua orang jago undangan dari se-
berang. Paman Nampi kaget bukan main menghadapi
kenyataan ini. "Untuk apa kau mencari Ki Maruta, Paman?" tanya Raden Bantar Gading dingin. Nada
suaranya terdengar sinis.Paman Nampi tidak bisa menjawab.
Kerongkongannya terasa kering.
"Tangkap dia!" perintah Raden Bantar Gading.
'Tunggu....'" sentak Paman Nampi.
Lima orang prajurit yang sudah bergerak maju, jadi
menghentikan langkahnya. Mereka pun ragu-ragu untuk melaksanakan perintah itu.
Paman Nampi melangkah
tiga tindak ke depan.
"Kenapa kalian ingin menangkapku?" tanya Paman Nampi.
"Kau dituduh berkomplot dengan pemberontak,
Pangfima Nampi!" sahut Raden Bantar Gading.
"Mana buktinya?"
"Malam-malam kau datang ke sini, di saat kami
tengah mengadakan pesta. Sedangkan kami tengah
mencurigai Ki Maruta sebagai pemimpin pemberontak.
Apa itu bukan suatu bukti?"
"Kecurigaan bukan satu bukti!"
"Bagaimana dengan ini?"
Raden Bantar Gading mengeluarkan seuntai kalung
dengan lambang Kerajaan Gantar Angin. Kalung itu juga sebagai lambang kebesaran
kerajaan. Paman Nampi jadi terbeliak melihat kalung itu ada di tangan Raden
Bantar Gading. Sepengetahuannya hanya Ratu Kunti Boga yang memiliki kalung itu.
"Dari mana kau dapatkan kalung itu?" tanya Paman Nampi tidak mungkin lagi
bersilat lidah.
"Kau tidak perlu tahu dari mana aku mendapat-
kannya," jawab Raden Bantar Gading. "Tangkap dia!
Kalau melawan, bunuh saja!"
Lima orang prajurit yang tadi sudah maju, kini tidak ragu-ragu lagi melaksanakan
perintah. Mereka semua
memegang rantai dan siap untuk mengikat tubuh Paman Nampi. Tapi laki-laki tua
berjubah putih itu bergerak cepat sebelum kelima prajurit itu berhasil menyentuh
tubuhnya. Jerit melengking terdengar saling susul. Lima orang prajurit itu tidak bisa lagi
mengelak. Tubuh mereka ambruk dengan darah mengucur deras. Entah kapan
dimulainya, tahu-tahu di tangan Paman Nampi sudah
tergenggam sebilah pedang pendek yang ujungnya
berlumuran darah.
"Tangkap! Jangan sampai lolos...!" teriak Raden Bantar Gading gusar melihat lima
orang prajuritnya
tewas dalam sekali gebrak saja. "Bunuh pengkhianat itu!"
Sepuluh prajurit yang sudah siap dengan panah,
langsung melepaskan apak panahnya. Paman Nampi
segera memutar-mutar pedang pendeknya cepat bagai
baling-baling. Anak panah yang meluncur menghu-
janinya rontok sebelum sampai pada sasaran. Dua orang berpakaian aneh yang jelas
adalah jago dari tanah
seberang, langsung melompat begitu hujan anak panah terhenti.
Mereka langsung menyerang Paman Nampi dengan
dahsyat. Jurus-jurus yang mereka gunakan sungguh
aneh, sehingga laki-laki tua berjubah putih itu agak kewalahan juga. Tapi dengan
cepat dia dapat menguasai keadaan. Pedang
pendeknya berkelebatan cepat
mengarah pada bagian-bagian yang mematikan pada
tubuh lawannya.
"Hiya...! Yeaaah...!"
Tring! Trang! Paman Nampi terkejut saat senjatanya beradu
dengan senjata salah seorang lawannya. Tangannya
seperti kesemutan. Buru-buru dia melompat mundur.
Tapi seorang lawannya lagi langsung menyodokkan
senjatanya yang berbentuk tombak pendek bermata lima.
Paman Nampi buru-buru mengibaskan pedang nya,
berusaha menyampok sodokan itu.
Trang! "Heh!"
Paman Nampi kaget bukan main, karena pedangnya
terjepit di sela-sela ujung tombak pendek bermata lima itu. Belum lagi sempat
menarik pulang senjatanya, satu tendangan dahsyat menghajar samping dadanya.
"Akh!"
Paman Nampi terpental sejauh dua batang tombak.
Pedangnya terlepas dari pegangan. Laki laki tua
berjubah putih itu berusaha bangkit, tapi ujung golok besar sudah menempel di
tenggorokannya. Bahkan kini disusul dengan ujung tombak yang menekan dadanya.
Paman Nampi benar-benar tidak berdaya lagi sekarang.
"Ikat dia!" perintah Raden Bantar Gading.
Tiga orang prajurit segera melaksanakan perintah itu.
Mereka mengikat tangan dan tubuh Paman Nampi
dengan rantai baja. Laki-laki tua itu dipaksa bangun, dan diseret oleh kuda yang
ditunggangi seorang prajurit.
Tangan prajurit itu memegang ujung rantai yang
mengikat Paman Nampi.
Raden Bantar Gading segera melompat ke punggung
kudanya, di kuti dua orang jago dari seberang itu. Para prajurit yang lain
segera mengikuti. Sedangkan beberapa di antaranya mengurus mayat-mayat temannya.
Paman Nampi tidak bisa lagi berbuat apa apa. Tubuhnya
bergelimpangan terseret kuda
*** Sementara itu, jauh di perbatasan Kerajaan Gantar
Angin. Tepatnya di sebuah hutan yang cukup lebat, Bayu Hanggara berdiri tegak
memandang laki-laki tua
bernama Ki Maruta yang duduk bersila di atas tum-
pukan dedaunan. Tidak jauh dari Ki Maruta duduk, dua orang wanita juga duduk
berdampingan. Mereka semua
memandang pada laki-laki tua itu.
"Aku tidak tahu, apakah kau salah seorang
pemimpin atau hanya pengikut kaum pemberontak. Tapi bukan itu yang ingin
kuketahui darimu...," kata Bayu tegas.
Ki Maruta mengangkat kepalanya. Tatapan matanya
langsung tertuju pada wajah pemuda tampan berbaju
kulit harimau di depannya. Bayu menggeser kakinya
sedikit ke kanan, lalu duduk di atas batu pipih, tidak jauh dari Mayang dan
Rintan duduk. "Kau kenal dengan kedua wanita ini?" tanya Bayu.
"Aku hanya kenalsatu," sahut Ki Maruta. "Rintan."
"Satunya lagi?"
Ki Maruta tidak segera menjawah. Dipandanginya
wajah Mayang lekat-lekat. Tapi kepalanya menggeleng beberapa kali. Dia memang
belum pernah melihat
Mayang sebelumnya, sehingga sama sekali tidak
mengenalnya. "Kau kenal dengan wanita yang bernama Bibi
Durati?" tanya Bayu lagi.
"Tidak," sahut Ki Maruta setelah berpikir sejenak.
Bayu memandang pada Mayang. Wanita itu hanya
menundukkan kepala saja.
"Kisanak. Untuk apa kau membawa aku ke sini" Lagi pula, mengapa kau mengajukan
pertanyaan-pertanyaan
yang aku tidak mengerti?" selak Ki Maruta.
"Ketahuilah, Ki Maruta. Apa yang kulakukan tidak ada sangkut pautnya dengan
kegiatanmu dalam
menghimpun kekuatan untuk menggulingkan tahta
Kerajaan Gantar Angin. Ini hanya sekedar ingin
menolong wanita itu," Bayu berusaha menjelaskan.
"Kisanak. Aku tidak berkeberatan membantu jika kau bersedia menjelaskan duduk
persoalannya," kata Ki Maruta lagi.
Bayu memandang Mayang sekali lagi. Wanita
berbaju merah muda itu balas memandang, kemudian
kepalanya terangguk sedikit. Sebentar Bayu menarik
napas panjang, kemudian mulai menceritakan semua
yang diketahuinya tentang diri Mayang. Dan Mayang
sendiri pun menambahkan kalau ada kata-kata Bayu
yang kurang. Ki Maruta mendengarkannya dengan
penuh perhatian.
"Hm, jadi selama ini kau tidak tahu tentang asal-usul dirimu?" tanya Ki Maruta
seraya menatap Mayang.
"Ya," sahut Mayang pelan.
"Aneh..., kau tidak tahu asal-usul dirimu. Kau juga tidak
tahu orang yang selalu muncul dan mengajarkanmu ilmu olah kanuragan. Benar-benar
aneh...," gumam Ki Maruta.
"Tapi sekarang aku tahu siapa dia, Ki," selak Mayang
'Ya, aku tahu. Panglima Nampi memiliki jurus 'Cakar Maut' yang sangat dahsyat.
Apa kau juga diajarkan jurus itu?"
"Benar! Bahkan Bibi Durati juga mengajarkan aku jurus 'Selendang Sakti'."
'"Selendang Sakti'..."!" Ki Maruta terkejut setengah mati.
"Ada apa, Ki?" tanya Bayu.
"Kau punya selendangnya?" Ki Maruta tidak menggubris pertanyaan Bayu.
"Ini," Mayang mengeluarkan selembar kain berwarna kuning gading. Selendang itu
tampaknya tidak berarti.
Tapi mata Ki Maruta jadi terbeliak begitu melihat ujung selendang tergambar
seekor naga bersisik emas.
Ki Maruta menggeleng-gelengkan kepalanya dengan
bibir memperdengarkan suara berdecak. Diserahkan
kembali selendang itu pada Mayang. Wanita itu
menyimpannya kembali ke balik bajunya.
"Kau beruntung, Mayang. Tidak sembarang orang
bisa menjadi murid si Selendang Sakti. Bahkan kau kini memiliki benda sakti itu.
Ck ck ck...," Ki Maruta kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Siapa siSelendang Sakti itu, Ki?" tanya Bayu.
"Mungkin selama ini kau hanya mengenalnya
sebagai Bibi Durati, Mayang. Atau mungkin juga
memang itu nama aslinya. Si Selendang Sakti seorang tokoh wanita yang sukar
dicari tandingannya. Rasanya sukar untuk dipercaya kalau Panglima Nampi bisa
berhubungan dengannya. Bahkan sama-sama merawat
dan mendidikmu, Mayang."
"Lalu, siapa sebenarnya aku ini?" tanya Mayang, seperti untuk dirinya sendiri.
"Kau percaya dengan kata-kata Panglima Nampi?"
tanya Ki Maruta.
"Entahlah," desah Mayang pelan.
"Gusti Ratu Kunti Boga memang memiliki seorang putri. Pada saat Prabu Abiyasa
menggulingkan tahtanya, putri Gusti Ratu Kunti Boga memang baru berusia tujuh
tahun, dan hilang tanpa jejak. Tak ada seorang pun yang tahu, di mana dia sampai
saat ini. Sedangkan Gusti Ratu Kunti Boga dimasukkan ke dalam tahanan bersama
kerabat dan keluarga lainnya."
"Siapa namanya?" tanya Bayu.
"Mayang...," sahut Ki Maruta.
*** Keterangan Ki Maruta membuat Mayang semakin
tidak tahu tentang dirinya. Sedangkan Bayu tidak bisa mencegah Ki Maruta pergi.
Yang dibutuhkan memang
hanya keterangan dari laki-laki tua itu. Tapi Bayu sempat berpesan agar Ki
Maruta tidak kembali ke rumahnya.
Kekhawatirannya memang beralasan, karena pihak
kerajaan sudah mengetahui tentang dirinya yang
berkomplot dengan kaum pemberontak.
Sepeninggal Ki Maruta, Mayang bergegas keluar dari
dalam goa. Bayu langsung mengikutinya. Sementara
Rintan hanya diam saja. Dia tidak mengerti sama sekali, meskipun sejak tadi
mengikuti terus pembicaraan itu.
Macam-macam pertanyaan berkecamuk di benaknya.
"Mayang, tunggu...!"
Mayang menghentikan langkahnya Dia berbalik dan
menatap dengan mata berkaca-kaca pada Pendekar "ulau Neraka itu. Bayu
menghampiri dan me-megarg
pundaknya. Ditatapnya dalam-dalam bola mata wanita
itu. "Jangan melakukan tindakan yang bisa membahayakan dirimu, Mayang," kata Bayu lembut.
"Aku harus bertemu dengan Panglima Nampi.
Hanya dia yang tahu," kata Mayang agak tersedak suaranya.
"Aku mengerti perasaanmu, Mayang. Cobalah
mengendalikan diri dan berpikir dengan tenang. Tidak mudah untuk mengetahui


Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asal-usulmu. Sedangkan saat
ini nyawamu terancam," bujuk Bayu.
"Kakang! Benarkah aku putri Ratu Kunri Boga?"
tanya Mayang pelan.
"Kita akan mencari jawabannya, Mayang."
"Kapan?"
Bayu tidak segera menjawab, dan hanya mendesah
panjang sambil mengajak wanita itu kembali ke dalam goa. Sementara Rintan hanya
memandang saja dengan
tatapan tidak mengerti. Gadis belia itu hanya duduk tanpa mengucapkan satu patah
kata pun. "Mayang! Bukan hanya kau saja yang menderita.
Coba lihatlah Rintan. Dia juga sangat menderita karena baru kehilangan ibunya.
Bahkan kini ayahnya menyusul.
Aku yakin, Rintan juga ingin membalas sakit hatinya.
Sama seperti kau. Mungkin juga masih banyak yang
lebih menderita lagi darimu. Kau harus berpikir dengan tenang, Mayang.
Kendalikan dirimu," lemah lembut Bayu menasehati.
Mayang hanya diam saja. Kata-kata Bayu yang lemah
lembut membuat harinya kembali mencair. Dipandanginya Rintan, dan dihampirinya. Mayang
memeluk gadis belia itu. Rintan yang tidak mengerti persoalannya hanya bisa
membalas dengan pandangan
kosong menatap pada Pendekar Pulau Neraka.
"Aku akan menemui Panglima Nampi, kalian jangan pergi jauh-jauh," kata Bayu
berpesan. Mayang menoleh dan mengangguk.
"Lepas senja nanti, aku akan kembali," ujar Bayu lagi.
"Hati-hati, Kakang," ucap Mayang pelan.
Bayu hanya tersenyum saja, kemudian berbalik dan
melangkah keluar dari dalam goa ini. Begitu sampai di luar, dia langsung melesat
cepat bagaikan kilat. Sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap. Saat itu
matahari baru menampakkan diri di ufuk Timur. Sementara
Mayang duduk merenung di dalam goa ditemani Rintan.
Dia berharap pendekar Pulau Neraka bisa mengetahui
asal-usul dirinya. Mayang tak dapat tenang sebelum
mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Hanya Panglima Nampi harapan satu-satunya.
Tapi siapa yang tahu
keadaan Panglima Nampi saat ini" Sedangkan kaum
pemberontak mulai melancarkan aksinya. Dapatkah
Bayu mengungkap diri Mayang yang sebenarnya" Nah,
tentunya Anda semua menginginkan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan di atas bukan" Untuk itu,
ikutilah kisah selanjutnya yang sangat seru dan
mendebarkan! Serta akan membahas seluruh permasalahan dalam cerita ini secara tuntas, yaitu
episode "JAGO DARI SEBERANG".
SELESAI Ratu Cendana Sutera 2 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Warisan Berdarah 2
^