Pencarian

Pesanggrahan Goa Larangan 1

Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan Bagian 1


PESANGGRAHAN GOA LARANGAN
Oleh Teguh S. Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Teguh S. Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode 008 :
Pesanggrahan Goa Larangan
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Tar! Suara cambuk menggeletar membelah angkasa.
Seorang laki-laki muda terjungkal dengan punggung
sobek panjang tersengat lidah cambuk. Sosok tubuh
muda yang hanya ditutupi celana sebatas lutut itu
berusaha bangkit berdiri. Namun satu sengatan cambuk kembali memaksanya
menggelepar sambil merintih lirih.
"Pemalas! Bangun, bangsat!" terdengar suara bentakan keras, disusul dengan
geletarnya ujung
cambuk yang menyengat kulit punggung laki-laki muda itu. Tar!Tar!
"Akh...!" laki-laki muda itu memekik tertahan.
Dua kali cambukan membuatnya jatuh lunglai tidak
sadarkan diri. Dan kini, sebuah tendangan keras
membuat tubuhnya terlempar sejauh dua batang
tombak. Kejadian itu disaksikan oleh berpuluh-puluh pasang mata dengan kepala
tertunduk dan lutut
gemetar. Seorang laki-laki muda berwajah tampan,
namun sorot matanya menyiratkan kebengisan, duduk
angkuh di atas punggung kuda putih. Bibirnya yang tipis selalu tersenyum
menyaksikan kekejaman yang sedang
berlangsung di pagi ini.
Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang memegang
cambuk dari kulit berduri, menghampiri orang yang kini menggeletak tidak
sadarkan diri akibat siksaannya itu.
Hanya dengan sebelah tangan, diangkatnya tubuh yang bersimbah darah itu.
Bagaikan melempar segumpal
kapas saja, tubuh yang tidak berdaya itu dibantingnya ke atas bebatuan.
Trak! Sebelah kaki algojo yang masih memegang cambuk
itu menginjak tubuh pemuda yang baru saja terhempas di bebatuan. Darah langsung
muncrat keluar dari
mulutnya. Laki-laki muda itu tidak sempat lagi
mengeluarkan suara. Nyawanya pun segera melayang.
Algojo bertubuh tinggi tegap itu melangkah mundur,
lalu membungkuk hormat pada pemuda di atas
punggung kuda putih.
"Dengar kalian semua! Jika kalian berani membangkang, dan mencoba melarikan diri, maka akan
bernasib sama dengan orang tolol itu!" lantang suara pemuda di atas punggung
kuda itu sambil menunjuk
tubuh yang tak bernyawa lagi.
Puluhan orang di sekelilingnya hanya bisa
menunduk tanpa berani bersuara sedikit pun. Sebentar pemuda itu memandang
berkeliling, lalu digebah
kudanya pelahan. Kuda putih itu bergerak lambat
meninggalkan tempat berbatu dan berbukit itu. Sepuluh pengawalnya yang
menyandang senjata mengikuti dari
belakang. Sedangkan laki-laki bertubuh tinggi besar yang memegang cambuk itu
mengebutkan cambuknya ke
udara. Tar! "Ayo! Kerja lagi!"
Puluhan orang laki-laki, tua dan muda, segera
melakukan pekerjaannya kembali, memecah batu-batuan dan mengangkutnya ke bawah
bukit. Mereka bekerja
tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sesekali mata mereka melirik mayat pemuda
yang masih berlumuran
darah. Setiap kali melirik, maka hanya suara tarikan napas panjang yang
terdengar. Entah apa yang ada
dalam benak mereka saat ini. Yang jelas, dari raut wajah mereka tercermin rasa
keterpaksaan dan ketersiksaan yang amat dalam.
Sesekali suara cambuk menggeletar membelah
angkasa, disusul suara pekikan mengaduh. Sepuluh
orang bertubuh tinggi tegap, dengan otot-otot yang
bersembulan ke luar, selalu memainkan cambuknya.
Setiap kali ada yang mengeluh, atau berhenti bekerja, cambuklah yang berbicara.
Tak ada seorang pun yang
berani melawan. Mereka pasrah, meskipun sinar
matanya memancarkan kebencian dan keinginan
memberontak. Namun semuanya hanya dipendam di
dalam hati saja.
Agak jauh dari tempat perbukitan batu itu, seorang
laki-laki muda mengenakan baju dari sutra halus dan indah berdiri memperhatikan
dari ketinggian yang
terlindung oleh lebatnya pohon cemara. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki
tua berjubah putih. Pandangan mata mereka tidak lepas ke arah tempat puluhan
orang yang bertelanjang dada tengah bekerja keras menghancurkan batu-batuan dan mengangkutnya
menuruni tebing bukit berbatu itu.
"Seharusnya mereka diberi istirahat. Lihatlah, mereka sudah terlalu lelah dengan
kerja berat seperti itu," kata laki-laki muda berkulit kuning langsat dengan
wajah tampan itu. Suaranya halus dan terdengar pelan.
Pandangannya tidak beralih ke bukit batu itu.
"Pekerjaan itu harus tepat pada waktunya, Raden,"
sahut laki-laki tua di sampingnya.
"Tapi dengan kerja paksa seharian penuh tanpa
istirahat, bukankah akan menambah beban saja, Paman"
Seperti Paman ketahui, sudah lima orang jadi korban, hanya karena tidak tahan
dengan kerja berat itu!" bantah pemuda tampan itu.
"Pekerjaan itu memang berat, Raden. Mungkin itulah sebabnya, mengapa Ayahanda
Prabu meminta mereka
untuk bekerja terus sepanjang hari."
"Aku tidak percaya kalau Ayahanda yang
memerintahkan untuk berbuat kejam. Tidak berperikemanusiaan!" wajah pemuda itu menegang.
Laki-laki tua di sampingnya mendesah panjang.
Dialihkan pandangannya ke arah lain. Pemuda tampan
berbaju indah itu berbalik, lalu menghampiri kudanya yang tertambat tidak jauh
dari bibir tebing yang tinggi itu. Dengan satu gerakan yang manis, dia melompat
naik ke atas punggung kuda hitam itu. Sedangkan laki-laki tua berjubah putih
segera naik ke punggung kuda
miliknya sendiri. Pelahan-lahan mereka menggebah
kudanya menuruni tebing bukit yang tampak subur
dengan pohon cemara menjulang tinggi bagai hendak
menggapai langit.
"Akan kubicarakan hal ini pada Ayahanda," kata pemuda itu.
"Raden...!" laki-laki tua itu terkejut.
"Paman Nampi tidak perlu cemas. Paman tidak akan
kulibatkan pada persoalan ini. Mereka telah bertindak sewenang-wenang. Aku
yakin, Ayahanda
tidak memerintahkan bertindak kejam begitu," kata pemuda itu lagi.
"Raden Sangga Alam..., Gusti Ayahanda Prabu sudah menitahkan pekerjaan itu pada
Kakanda Raden Bantar
Gading. Hamba rasa, Raden tidak perlu turut campur
dalam pekerjaan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan. Ampunkan Hamba,
Raden. Hamba hanya
mengingatkan saja," kata laki-laki tua yang bernama Nampi itu.
Pemuda tampan yang ternyata bernama Raden
Sangga Alam itu hanya diam saja. Kata-kata Paman
Nampi tadi memang tidak bisa disalahkan. Ayahnya,
Raja Abiyasa yang memerintah Kerajaan Gantar Angin
sudah memberinya tugas untuk membangun jalan
menuju ke Pesanggrahan Goa Larangan pada kakaknya.
Dan Raden Sangga Alam hanya diberikan tugas sebagai pendamping saja. Tapi dia
tidak pernah melakukan apa-apa. Kakaknya memang tidak pernah memberi satu pun
tugas kepadanya, karena menganggapnya masih anak-
anak. Raden Sangga Alam memang menyadari kalau
kakaknya lebih tegar dan tegas. Apalagi tingkat
kepandaiannya cukup tinggi. Meskipun demikian,
Raden Sangga Alam tidak pernah kalah jika sedang
berlatih ilmu olah kanuragan. Sangat disayangkan kalau Ayahanda Prabu Abiyasa
lebih menyukai Raden Bantar
Gading. Baik bentuk tubuh, sifat, dan segala tingkah laku kedua kakak beradik
putra mahkota itu memang sangat berbeda. Di antara keduanya selalu saja ada
pertentangan. Namun demikian mereka saling mencintai. Perbedaan yang menyolok bukanlah halangan untuk bersama-sama,
meskipun Raden Sangga Alam
selalu mengalah dalam segala hal.
Dua ekor kuda itu terus berjalan pelan menuruni
bukit. Sementara matahari semakin tinggi, dengan
sinarnya yang terik menyengat kulit. Di seberang Bukit Cemara, puluhan orang
masih bekerja di bawah teriknya sang surya. Pekerjaan yang amat berat, dan
dilakukan dengan hati tersiksa.
*** Waktu terus bergulir sesuai dengan kodratnya. Siang pun berganti malam. Suasana
di Bukit Cemara tampak
sunyi senyap. Kini tidak lagi terdengar suara hantaman palu memecah batu. Juga
tidak lagi terdengar ayunan kapak membelah kayu. Hanya suara jangkrik dan
binatang malam yang meramaikan suasana malam ini.
Seekor kuda putih melintas di jalan berbatu menuju
sebuah rumah yang tidak begitu besar di Kaki Bukit
Cemara. Rumah berdinding kayu dan beratapkan daun-
daun rumbia itu tampak sepi. Hanya sebuah pelita kecil yang meneranginya.
Penunggang kuda itu seorang
pemuda tampan bertubuh tegap, berpakaian sutra halus yang indah. Dihentikan laju
kuda putihnya tepat di
depan pintu rumah itu.
Pemuda itu melompat turun dengan gerakan ringan
dan indah. Ayunan kakinya tegap dan pasti mendekati pintu yang tertutup rapat.
Belum lagi sempat mengetuk, pintu itu sudah terbuka. Seorang wanita berwajah
cantik dengan tubuh ramping terbungkus baju warna merah
muda muncul dari ambang pintu. Bibirnya yang merah
merekah, mengulas senyuman manis.
"Silakan masuk, Raden," ucap wanita itu lembut, seraya membuka pintu lebar-
lebar. Pemuda tampan dan gagah itu melangkah masuk.
Sementara wanita itu menutup pintu kembali setelah
pemuda itu berada di dalam. Sebentar kemudian
dibesarkannya nyala pelita yang berada tepat di tengah-tengah ruangan. Tampak
suatu ruangan yang tidak
begitu besar, namun tertata indah. Lantainya beralaskan permadani berbulu tebal.
Pada dindingnya penuh
dengan hiasan mewah.
Sebuah dipan yang cukup besar nampak sejajar
dengan dinding. Dipan yang beralaskan kain sutra halus berwarna biru muda itu
kini diduduki oleh pemuda itu pada tepinya. Tangannya menyangga pada bantal
berbentuk bulat pipih. Sedangkan wanita cantik itu
hanya mengamati saja. Bibirnya tetap menyunggingkan senyum.
"Ada yang datang ke sini, Mayang?" tanya pemuda itu lembut, namun nada suaranya
menaruh kecurigaan.
"Hanya Raden Bantar Gading," sahut wanita yang dipanggil Mayang itu.
Pemuda tampan itu tersenyum. Dia tahu kalau
Mayang hanya bercanda. Tentu saja, sebab orang yang disebutkan Mayang tadi
adalah dirinya sendiri.
Pemuda itu merentangkan tangannnya, dan Mayang
menghampiri dengan sikap manja. Dibiarkan saja tangan Raden Bantar Gading
memeluk pinggangnya yang
ramping. Bau harum tubuh Mayang membelai hidung pemuda
itu. Mayang menurut saja ketika Raden Bantar Gading menekannya duduk di sisinya.
Raden Bantar Gading
menggamit dagu wanita itu, dan mengecup lembut
bibirnya. Mayang hanya mendesah seraya memejamkan
matanya. "Ah, Raden...," desah Mayang seraya mendorong lembut dada pemuda itu.
"Ada apa, Mayang?" tanya Raden Bantar Gading lembut. Jari-jari tangannya
membelai-belai pipi putih yang halus itu.
Mayang tidak segera menyahut. Digeser duduknya
lebih ke tengah, lalu dibaringkan tubuhnya di atas dipan itu. Raden Bantar
Gading memperhatikan dengan bola
mata berputar nakal. Jari-jari tangannya tidak berhenti bermain-main di dada dan
seluruh tubuh wanita itu.
"Wajahmu murung sekali, Mayang. Ada yang
menyusahkan hatimu" Katakan saja. Aku selalu siap
mendengarkan keluhanmu," lembut suara Raden Bantar Gading.
Kembali Mayang hanya mendesah

Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seraya menggeliatkan tubuhnya. Dia bangkit dan duduk
memeluk bantal bersulam benang emas. Wajahnya
semakin kelihatan murung. Raden Bantar Gading
memperhatikannya dengan penuh tanda tanya.
"Katakan, Mayang. Apa yang membuatmu murung?"
desah Raden Bantar Gading
"Pekerjaan itu," sahut Mayang pelan, hampir tidak terdengar.
"Pembuatan jalan, maksudmu?"
"Ya."
"Kenapa" Ayahanda Prabu menghendaki adanya
jalan yang langsung ke Pesanggrahan Goa Larangan.
Aku rasa wajar jika rakyat mengorbankan tanahnya
untuk jalan itu. Toh nantinya berguna untuk mereka
juga." "Aku tidak peduli dengan mereka."
"Lantas?"
"Aku mengkhawatirkan keselamatanmu."
Raden Bantar Gading tertawa terbahak-bahak
mendengar kata-kata Mayang tadi. Tenggorokannya
serasa tergelitik. Sama sekali tidak diduga kalau Mayang mengkhawatirkan
keselamatannya. Padahal tidak ada
yang perlu dikhawatirkan. Pekerjaan itu bukanlah hal yang sulit, dan tidak ada
yang berani menentangnya.
"Raden...," Mayang menolakkan tubuh Raden Bantar Gading yang hendak memeluknya.
Pemuda itu tidak peduli. Tetap saja tubuh ramping
itu direngkuh ke dalam pelukannya. Dengan liar
diciuminya wajah dan leher wanita itu. Mayang
mendesah dan merintih lirih. Dia tidak kuasa lagi
menolak ketika tubuhnya direbahkan. Mayang menggeliat, berusaha melepas pelukan putra mahkota
itu. "Kenapa" Tidak biasanya kau menolakku, Mayang,"
suara Raden Bantar Gading agak tersengal.
"Raden, aku...."
Mayang tidak bisa melanjutkan kata-kata, karena
bibirnya sudah tersumpal bibir Raden Bantar Gading.
Dia hanya bisa mendesah lirih dan menggumam tidak
jelas. Kembali wanita itu menggeliat, namun kali ini pelukan Raden Bantar Gading
demikian kuat. Mayang
merintih lirih tidak mampu lagi menolak. Gairahnya
mulai bangkit, dan kini malah membalas kehangatan itu.
Tak ada lagi yang bicara, tak ada lagi kata-kata
terdengar. Hanya desah napas dan rintihan tertahan
yang mengusik sepinya malam. Sementara di dinding,
dua ekor cicak bercengkrama, tidak peduli dengan dua manusia yang bergumul di
ranjang beralas kain sutra biru muda itu. Mereka pun asyik bercumbu. Dan sang
dewi malam rianya mampu mengintip malu dari balik
celah-celah jendela.
"Raden..., akh...!"
"Ohhh...."
*** Mayang beringsut bangkit dari pembaringan. Di-
benahi bajunya sebentar sambil matanya menatap Raden Bantar Gading yang tergolek
dengan dada telanjang.
Pandangan matanya sayu, menyimpan sejuta rasa yang
sulit untuk diungkapkan. Pelahan-lahan wanita itu
beringsut turun dan melangkah menjauh. Ayunan
kakinya pelan dan ringan menuju pintu. Sebentar dia menoleh menatap Putra
Mahkota Kerajaan Gantar Angin yang masih terlelap dalam buaian mimpi indah.
Mayang membuka pintu pelahan-lahan, lalu
melangkah ke luar. Angin malam yang dingin langsung menerpa kulit tubuhnya yang
putih halus. Wanita itu segera mengayunkan langkahnya setelah menutup pintu
pondok itu kembali. Kakinya terus terayun semakin jauh meninggalkan pondok itu
tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.
Wanita cantik berbaju merah itu baru berhenti setelah tiba di bibir sebuah
tebing yang membentuk lembah
besar. Dinginnya angin malam membuat tubuhnya
sedikit bergidik menggigil. Tatapan matanya lurus
memandang jauh ke lembah di bawah tebing itu.
Kemudian dia berbalik menghadap hutan yang lebat.
Tampak kerlip lampu pelita di kejauhan sana. Cahaya pelita dari pondok yang
ditinggalkannya.
"Oh...!" Wanita itu menoleh ketika telinganya menangkap suara langkah kaki
mendekatinya. Dari balik kelebatan hutan di sebelah kanannya,
muncul sesosok tubuh berjubah gelap dengan kepala
tertutup kain hitam. Wajahnya tidak terlihat jelas, karena kain hitam itu hampir
mengurung seluruh kepalanya.
Malam yang amat gelap pun membuat tubuh dan
wajahnya hanya terlihat hitam.
"Kapan kau laksanakan tugasmu, Mayang?" tanya orang yang tidak jelas wajahnya
itu. Suaranya berat dan besar.
Mayang tidak segera menjawah. Sinar matanya
memancarkan keraguan, dan hanya beberapa kali
menarik napas panjang dan berat.
"Kau sudah terlalu jauh. Aku tidak suka jika kau lupa dengan tugas utamamu,
Mayang. Ingat! Arwah orang
tuamu tidak sabar menunggu. Bahkan saudara-
saudaramu yang mungkin sudah mati di ruangan sempit bawah tanah. Mereka semua
hanya mengharapkanmu.
Kau harus bisa mengenyahkan perasaan hatimu. Ingat
kata-kataku, Mayang. Tugasmu lebih penting daripada perasaan hati perempuanmu!"
kata orang yang berjubah hitam itu lagi.
"Aku mengerti, tapi...," suara Mayang tersekat di tenggbrokan.
"Kau mencintainya?" dingin suara orang itu.
Mayang tidak menjawab. Dia sendiri tidak tahu,
apakah mencintainya atau tidak. Tapi Mayang tidak bisa membohongi dirinya
sendiri. Bagaimana pun dia hanya seorang wanita yang membutuhkan belaian kasih
seorang pria. Dia ingin mengenyahkan perasaan itu, tapi terasa sulit.
"Kuharap besok kau harus sudah melakukannya.
Aku tidak ingin lagi mendengar alasanmu," kata orang itu tegas.
"Tapi...."
"Sudahlah. Tidak ada waktu lagi untuk berdebat!
Enyahkan segala perasaan cintamu! Masih banyak laki-laki yang lebih cocok. Dia
tidak pantas, dan harus kau lenyapkan. Kau mengerti, Mayang"!"
"Mengerti, Eyang."
"Nah, laksanakan tugasmu dengan baik."
Mayang hanya diam membisu. Orang yang seluruh
tubuhnya terbalut kain hitam longgar itu berbalik, lalu melangkah pergi. Mayang
masih tetap berdiri tidak
bergeming. Matanya terus memandang kepergian orang
itu. Sebentar dia menarik napas panjang, lalu melangkah meninggalkan tempat itu.
Langkahnya gontai menuju ke arah pondok kecil yang hanya diterangi sebuah pelita
yang redup cahayanya.
*** 2 Mayang terkejut setelah membuka pintu pondoknya.
Raden Bantar Gading ternyata sudah berdiri menanti
dengan pakaian lengkap. Mayang membuka pintu lebar-
lebar, dan melangkah masuk. Dia berusaha memberi
senyumannya yang termanis, kemudian duduk di
bangku dekat jendela. Sementara Raden Bantar Gading tetap berdiri tegak
memperhatikannya.
"Kenapa kau memandangku begitu?" tanya Mayang jengah.
"Dari mana kau?" Raden Bantar Gading balik bertanya.
"Keluar," sahut Mayang kalem.
"Untuk apa" Menemui laki-laki lain?" agak kasar suara Raden Bantar Gading.
Mayang tersentak kaget. Sungguh tidak disangka
kalau Raden Bantar Gading berkata kasar seperti itu padanya. Tapi dengan cepat
disembunyikan rasa terkejut itu. Senyumnya yang selalu merekah, terlihat agak
getir. "Siapa laki-laki yang kau temui di atas bukit sana?"
tanya Raden Bantar Gading tajam.
"Laki-laki mana?" suara Mayang jadi bergetar.
Sungguh tidak diduga kalau Raden Bantar Gading
tahu bahwa dirinya barusan menemui seseorang di atas bukit sana. Wajah Mayang
berubah merah seketika.
Matanya tajam menatap langsung ke bola mata putra
mahkota itu. "Kau tidak perlu berpura-pura lagi, Mayang. Kau pikir aku tidak tahu" Kau keluar
diam-diam, lalu
menunggu di atas bukit. Di sana kau bicara dengan
seseorang. Siapa dia?" agak keras suara Raden Bantar Gading.
"Dia kakekku," sahut Mayang tidak bisa berpura-pura lagi.
"Kau tidak bohong, Mayang?"
"Siapa yang bohong" Dia benar-benar kakekku!"
sentak Mayang gusar.
"Sejak kapan kau punya kakek" Sejak kapan kau
punya keluarga?" sinis kata-kata Raden Bantar Gading.
Mayang tidak langsung menjawab. Dia hanya
menatap tajam dengan sinar mata yang menusuk sampai ke sudut hati yang paling
dalam. Pelahan-lahan wanita cantik berbaju merah muda itu bangkit berdiri.
"Kata-katamu sungguh menyakitkan, Raden...!" agak bergetar suara Mayang. "Aku
menghormatimu, karena kau adalah junjunganku. Kau bebas melakukan apa saja
terhadap diriku, tapi jangan kau hina diriku seenaknya!"
"Heh...!'" Raden Bantar Gading tersentak kaget.
"Keluarlah, Raden. Sekarang aku berubah pikiran!"
bentak Mayang. ?"He...! Kau mengusirku, Mayang"!"
"Keluar, kataku!"
"O..., rupanya kau telah memperoleh laki-laki yang lebih dariku. Dasar pelacur!
Perempuan liar...!"
"Keluar...!" jerit Mayang.
"Baik Aku akan keluar sekarang juga. Tapi ingat. Kau tidak akan bisa bebas
berhubungan dengan laki-laki itu.
Nyawamu ada di tanganku, Mayang!" ancam Raden
Bantar Gading. Wajah wanita berbaju merah muda itu semakin
merah menegang. Kedua telapak tangannya terkepal
kaku. Dadanya menggeram menahan amarah yang
meluap-luap. Ancaman dan penghinaan yang terlontar
dari mulut Raden Bantar Gading, rriembuat hatinya
terluka. Mayang langsung beranjak ke pintu ketika putra mahkota itu keluar dari
dalam pondok ini. Wanita itu menghambur ke pembaringan, dan menangis dengan
tubuh menelungkup.
Suara isak tangisnya tersendat. Bahunya berguncang-
guncang menahan tangis agar tidak sempat meledak.
Cukup lama juga Mayang menguras air matanya.
Pelahan dia bangkit dari pembaringan, kemudian
melangkah menuju ke jendela. Pandangannya menerawang jauh ke Puncak Bukit Cemara.
"Tuhan..., kenapa aku diciptakan hanya untuk
menanggung derita?" lirih suara Mayang di sela-sela isaknya.
Mendadak wanita itu tersentak ketika tiba-tiba pintu pondoknya terbuka. Di
ambang pintu sudah berdiri
seorang berbaju serba hitam dengan wajah hampir
semuanya tertutup kain hitam. Mayang langsung
berbalik dan menghapus air matanya. Orang berpakaian serba hitam itu melangkah
masuk "Eyang...," agak tersedak suara Mayang.
"Kau sungguh mengecewakanku, Mayang," berat dan datar suara orang berbaju serba
hitam itu. "Maafkan aku, Eyang. Aku..., aku tidak bisa
melakukannya. Aku mencintainya, Eyang."
"Kau masih juga mencintainya setelah dia
menghinamu" Mencampakkanmu seperti sampah"
Sungguh rendah martabatmu jika hanya diam menerima
penghinaan itu!"
Mayang diam saja.
"Sejak semula aku sudah tidak setuju dengan
caramu, tapi kau tetap bersikap keras. Nah, sekarang apa yang terjadi"
Memalukan!"
Mayang tetap diam.
"Mayang, saat ini aku tidak ingin lagi mendengar segala macam alasanmu. Kau
harus membunuh dia.
Bunuhlah seluruh keluarga Prabu Abiyasa. Ingat, kau adalah pewaris yang syah
Kerajaan Gantar Angin. Kau harus menjadi ratu yang besar. Hilangkan semua
perasaan cintamu pada Raden Bantar Gading. Aku tidak akan menemuimu lagi sebelum
kau bunuh perampok
tahta itu! Kau mengerti, Mayang"!" tegas kata-kata orang berbaju serba hitam
itu. Mayang menganggukkan kepalanya lemah.
"Sekarang saatnya kau melakukan tugasmu.
Sementara aku mengacaukan pembuatan jalan ke
Pesanggrahan Goa Larangan," sambung laki-laki berbaju serba hitam itu lagi.
"Baik, Eyang," hanya itu yang bisa diucapkan Mayang.
Laki-laki berbaju serba hitam itu segera berbalik dan melangkah keluar dari
pondok itu. Sementara Mayang
tetap berdiri membelakangi jendela. Matanya kosong
memandangi punggung laki-laki bersuara berat itu.
Entah apa yang ada di dalam benak Mayang saat ini.
*** Siang itu matahari begitu terik. Sinarnya panas
menyengat seluruh permukaan bumi. Di Bukit Batu yang bersebelahan dengan Bukit
Cemara, puluhan orang
bekerja memecah batu-batuan, dan mengangkutnya ke
bawah bukit. Mereka bekerja seperti tidak peduli akan teriknya sinar matahari
yang membakar kulit.
Tar! Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap mengayunkan cambuknya pada seorang tua yang
terjatuh saat mengangkat batu yang cukup besar. Ujung cambuk itu menggores kulit
orang tua itu. Dia hanya mengaduh tertahan, dan tubuhnya terguling di atas
bebatuan. Laki-laki tinggi tegap itu

Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali mengayunkan cambuknya ke tubuh laki-laki tua tak
berdaya itu. Tar! Tar! "Pemalas! Ayo, kerja...!" terdengar bentakan keras menggelegar.
"Oh.... Aku tidak kuat lagi, Gusti...," kata laki-laki tua itu lirih.
Tar! Kembali cambuk itu menyengat tubuh tua kurus itu.
"Akh!" laki-laki itu memekik tertahan.
Darah mulai mengucur dari tubuhnya yang sobek
terkena ujung cambuk. Laki-laki tua itu berusaha
bangkit, tapi sebuah tendangan keras membuatnya
terjungkal bergulingan. Kembali tubuh renta itu harus menerima hantaman ujung
cambuk. "Tua bangka tidak ada guna! Huh! Sebaiknya kau mampus!" dengus laki-laki tinggi
tegap itu seraya mengangkat cambuknya.
"Tunggu...!"
Satu bentakan keras membuat laki-laki tinggi tegap
berwajah bengis itu langsung menoleh. Raut wajahnya tampak terkejut melihat
kehadiran seorang pemuda
berwajah tampan dengan kulit putih halus bagai wanita, yang kini telah berdiri
tidak jauh dari tempat itu. Dia mengenakan baju sutra halus yang indah dengan
sulaman benang emas. Di sampingnya berdiri seorang
laki-laki tua berjubah putih.
"Raden Sangga Alam...," suara laki-laki tegap yang memegang cambuk itu agak
tergetar. Pemuda tampan itu bergegas melangkah menghampiri laki-laki tinggi tegap itu. Langkahnya
berhenti tepat setengah depa di depannya. Tatapan
matanya tajam. Sedangkan laki-laki yang memegang
cambuk itu hanya menundukkan kepala saja.
Plak! "Akh!" laki-laki tinggi tegap itu memekik tertahan.
Wajahnya memerah dan terasa panas kena gamparan
tangan yang halus bagai tangan perempuan itu.
Tubuhnya sampai berputar sedikit terdorong ke
belakang, namun kembali berdiri tegak dengan kepala masih tertunduk. Sementara
pemuda tampan itu
melangkah menghampiri laki-laki tua kurus yang masih merintih menggeletak di
atas bebatuan. Pemuda itu berlutut dan memeriksa luka-luka di
tubuh laki-laki tua kurus itu, kemudian bangkit dan membalikkan tubuhnya.
Sebentar tatapan matanya tajam pada laki-laki tinggi tegap memegang cambuk,
kemudian beralih pada laki-laki tua berjubah putih.
"Paman Nampi, bawa orang tua ini ke pondokku,"
perintah Raden Sangga Alam.
"Baik, Raden," sahut laki-laki tua berjubah putih yang ternyata adalah Paman
Nampi, penasehat pribadi Raden Sangga Alam. Dia juga guru dalam ilmu olah
kanuragan, sekaligus sebagai abdi setia Putra Mahkota Raden
Sangga Alam. Paman Nampi bergegas menghampiri laki-laki tua
kurus itu. Dibantunya laki-laki tua itu untuk bangkit berdiri dan diajaknya
pergi. Tapi laki-laki tua itu berhenti melangkah setelah baru saja berjalan
sekitar tiga tindak. Matanya sayu menatap pada Raden Sangga
Alam. Bibirnya bergetar, seolah-olah ingin mengucapkan sesuatu, namun tidak ada
kata-kata yang terdengar
keluar. "Terima kasih, Raden. Biarkan hamba di sini, hamba masih sanggup bekerja," kata
laki-laki tua itu, yang akhirnya bersuara juga.
"Kau terluka cukup parah. Aku yakin kau tidak akan sanggup lagi meneruskan
pekerjaan. Paman Nampi,
bawa dia ke pondokku," kata Raden Sangga Alam tegas.
"Raden...."
Laki-laki tua itu ingin menolak, tapi Paman Nampi
cepat membawanya pergi dari tempat itu. Laki-laki tua kurus itu hanya bisa
menurut tanpa membantah lagi.
Sementara Raden Sangga Alam menghampiri laki-laki
tegap yang memegang cambuk kulit hitam pekat.
Sementara para pekerja lainnya, dan beberapa pengawas yang juga memegang cambuk
hanya memperhatikan
peristiwa itu. Mereka tidak ada yang berani membuka mulut sedikit pun.
"Sekali lagi aku lihat ada kekejaman di sini, kubunuh kau!" dingin suara Raden
Sangga Alam. "Raden...," laki-laki itu ingin membantah.
"Tidak ada alasan! Aku tidak ingin lagi melihat korban akibat kekejaman kalian
semua. Mengerti!"
potong Raden Sangga Alam.
Tak ada yang berani membantah. Mereka semua
hanya tertunduk. Raden Sangga Alam segera berlalu
menghampiri kudanya yang tali kekangnya dipegangi
oleh seorang pemuda berpakaian seragam prajurit.
Paman Nampi sudah berada di punggung kudanya,
sedangkan laki-laki tua kurus itu juga sudah berada di atas punggung kuda
bersama seorang prajurit.
Raden Sangga Alam melompat ringan ke atas
punggung kudanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, putra mahkota yang tampan itu
menggebah kudanya
meninggalkan Bukit Batu itu. Sementara laki-laki tegap yang memegang cambuk
masih berdiri memandangi
kepergian Raden Sangga Alam yang didampingi oleh
Paman Nampi dan enam orang prajurit pengawal.
*** "Hey! Kenapa berhenti" Ayo kerja lagi!" terdengar bentakan keras dan lantang.
Puluhan orang bertelanjang dada segera melakukan
pekerjaannya. Kembali terdengar suara denting batu
dipukul. Saat itu laki-laki tegap yang menyiksa seorang tua yang hanya karena
terjatuh, membentak-bentak
memberi perintah kepada puluhan orang yang tengah
bekerja membelah batu. Seorang lagi yang juga bertubuh tegap dan memegang cambuk
menghampiri. "Kenapa tidak kau laporkan saja pada Raden Bantar Gading, Kakang Braga?" tanya
orang yang mendekati itu.
"Biar sajalah, Adik Kinca," jawab laki-laki itu yang ternyata bernama Braga.
"Tapi kalau hal ini terus terjadi, bukan tidak mungkin akan menghambat
pekerjaan, Kakang," kata Kinca lagi.
"Hhh! Kalau bukan Raden Sangga Alam, sudah
kurobek mulutnya tadi," dengus Braga.
Kinca hanya tersenyum tipis. Bisa dimaklumi
perasaan Braga saat ini. Memang sungguh menyakitkan bila ditampar di depan orang
banyak. Bagi orang-orang seperti mereka yang sudah terbiasa hidup dalam dunia
keras berlumur darah, lebih baik bertarung sampai mati daripada dipermalukan di
depan orang banyak begitu.
Tamparan keras yang diterima Braga, sama saja
tamparan bagi sepuluh orang yang mengawasi pekerjaan itu. "Bagaimana pun juga,
Raden Bantar Gading harus tahu, Kakang," kata Kinca lagi.
Braga masih diam. Wajahnya sebentar merah,
sebentar kemudian putih pucat bagai kapas. Napasnya terdengar memburu agak
tersengal. Kinca tahu kalau
Braga tengah menahan luapan amarah karena diper-
malukan oleh Raden Sangga Alam.
Belum lagi Kinca mengeluarkan suara lagi, tiba-tiba dari arah Bukit Cemara,
berkelebat sebuah bayangan
hitam dengan cepat. Bayangan hitam itu, tahu-tahu
mengamuk menghajar orang-orang yang tengah bekerja
membelah dan mengangkut batu. Dalam waktu yang
amat singkat, lima orang telah menggeletak dengan dada sobek lebar dan dalam.
Darah segera mengucur
membasahi bumi.
Belum sempat ada yang menyadari, bayangan hitam
itu sudah berkelebat kembali. Kali ini sasarannya adalah delapan orang memegang
cambuk yang berdiri
berkelompok. Gerakan bayangan hitam itu sangat luar biasa cepatnya, sehingga dua
orang yang memegang
cambuk langsung ambruk dengan leher hampir
terpenggal. Saat itu juga, enam orang bertubuh tinggi tegap serentak berlompatan
mengepung. Sedangkan
Braga dan Kinca masih tetap berdiri memperhatikan.
Trang! Tring! "Aaakh...!"
Jerit dan pekik kematian terdengar saling susul.
Bayangan hitam itu terus berkelebatan dengan cepat, sehingga sukar untuk di kuti
dengan mata biasa. Orang-orang yang bertubuh tinggi tegap itu pun tampak
kerepotan. Mereka harus membanting diri atau mencelat ke belakang jika terlihat
bayangan hitam itu berkelebat menuju ke arahnya.
"Setan! Siapa dia...?" geram Braga melihat dua orang temannya menggeletak tak
bernyawa. Tanpa berkata
apa-apa lagi, Braga segera melompat menerjang
bayangan hitam itu.
Braga yang memiliki ilmu olah kanuragan lumayan,
kelihatannya mampu melayani orang berbaju serba
hitam itu. Laki-laki tinggi tegap itu berusaha
memperhatikan bayangan yang berkelebat. Tapi sangat sulit, karena seluruh tubuh
orang itu terselimut kain hitam. Sedangkan, para algojo mengamuk bagaikan
banteng yang terlukai.
Rupanya perlawanan Braga membuat bayangan
hitam itu agak kerepotan. Namun dengan satu gerakan yang ringan dan indah, dia
melenting ke udara dan
langsung mencelat menuju ke Bukit Cemara. Dalam
sekejap mata saja, bayangan hitam itu sudah lenyap
ditelan rimbunnya pohon cemara.
"Siapa dia" Apa maksudnya mengacau di sini?"
gumam Braga seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
*** Brak! Meja ukir dari kayu jati tebal itu sampai rengat
dihantam pukulan keras Raden Bantar Gading. Putra
Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu tampak merah
wajahnya. Matanya berkilat tajam menatap Braga dan
Kinca yang berdiri dengan kepala tertunduk di
depannya. Sesaat kesunyian menyelimuti ruangan
pondok yang tidak begitu besar itu.
"Goblok! Percuma saja kalian kubayar mahal, kalau hanya menghadapi satu orang
saja sudah tidak becus!"
maki Raden Bantar Gading.
"Tingkat kepandaian orang itu sangat tinggi, Raden,"
kata Braga coba membela diri.
"Empat orang teman kami tewas dalam waktu
singkat, Raden," sambung Kinca.
"Kenapa kalian tidak ikut mampus sekalian"!" geram Raden Bantar Gading.
Braga dan Kinca terdiam. Mereka hanya saling
pandang. Mereka memang orang-orang bayaran yang bekerja
dengan mempertaruhkan segalanya, termasuk nyawa
mereka sendiri. Caci-maki orang yang membayar
mereka, sudah bukan hal baru lagi. Semua itu sudah
terbiasa, dan dianggap sebagai salah satu resiko menjadi orang bayaran.
"Braga! Kau tahu, siapa orang yang mengacau di Bukit Batu itu?" tanya Raden
Bantar Gading tajam.
"Tidak, Raden. Orang itu memakai baju serba hitam.
Mukanya pun tertutup kain hitam juga. Sulit untuk
mengenalinya, Raden," sahut Braga seraya mengangkat kepalanya sedikit.
"Tapi kau bisa mengenali suaranya, bukan?" desak Raden Bantar Gading.
"Orang itu tidak berkata apa-apa, Raden. Datang langsung mengamuk dan membunuh
para pekerja. Kami
berusaha menghalau, tapi empat orang teman kami
malah tewas," sahut Braga lagi.
"Edan!" dengus Raden Bantar Gading menggeram.
Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu bangkit
berdiri dari kursinya yang juga terbuat dari kayu jati ukiran. Sinar matanya
tetap tajam menusuk. Raut
wajahnya menegang, dengan kening sedikit berkerut.
Raden Bantar Gading melangkah pelan-pelan menuju ke jendela yang cukup besar dan
terbuka lebar. Dan baru saja sampai di muka jendela, mendadak
sebuah anak panah melesat bagai kilat ke arahnya.
Raden Bantar Gading terperangah sejenak, lalu dengan cepat diegoskan tubuhnya ke
samping. Anak panah itu melesat sedikit di depan dadanya, langsung menancap pada
tiang penyangga di tengah-tengah ruangan itu.
Braga dan Kinca terkejut. Mereka segera melompat
keluar lewat pintu yang juga terbuka lebar.
Raden Bantar Gading meneliti keadaan di luar se-
bentar, lalu matanya beralih menatap anak panah yang tertancap di riang
penyangga pondok ini. Bergegas
dihampiri, dan dicabutnya anak panah itu. Selembar
daun lontar terikat di batang anak panah itu. Raden Bantar Gading melepas ikatan
daun lontar itu dan
membukanya. Kelopak mata Putra Mahkota Kerajaan
Gantar Angin itu membeliak lebar begitu melihat daun lontar itu berisi sebaris
kalimat.... 'Hentikan pekerjaan kotormu, atau....'
"Setan!" geram Raden Bantar Gading seraya meremas lumat daun lontar berisi
ancaman itu. Pada saat itu Braga dan Kinca masuk ke dalam
pondok. Mereka agak heran melihat air muka putra
mahkota itu kelihatan marah luar biasa. Perhatian
mereka tertuju pada daun lontar yang hampir lumat di dalam genggaman Raden
Bantar Gading. "Raden...," agak bergetar suara Braga.
"Kalian kembali ke Bukit Batu. Aku akan cari orang lain untuk membantu kalian!"
kata Raden Bantar Gading memerintah.
Braga dan Kinca segera membungkuk memberi
hormat, lalu bergegas melangkah keluar dari pondok itu.
Sementara Raden Bantar Gading tetap berada di dalam pondok. Dia berjalan mondar-
mandir dengan wajah
memerah tegang dan kedua tangannya terkepal erat.
Daun lontar di dalam kepalan tangannya sudah hancur bagai tepung.
Begitu terdengar derap kaki kuda dipacu, Raden
Bantar Gading bergegas melangkah ke luar. Tampak
debu mengepul di kejauhan. Sebentar putra mahkota itu memandangi dua orang
bayarannya yang memacu kuda
dengan cepat menuju ke Bukit Batu. Raden Bantar
Gading segera menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon kenanga. Dengan
satu gerakan yang
ringan dan indah, tubuhnya melenting dan hinggap di atas punggung kuda putihnya.
"Yeah! Hiya...!"
Raden Bantar Gading langsung menggebah kudanya,
agar berlari cepat. Bagaikan sebatang anak panah lepas dari busurnya, kuda putih


Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu melesat meninggalkan
pondok kecil tempat bernaung sementara Raden Bantar Gading. Debu mengepul ke
udara terhantam derap kaki kuda. Raden Bantar Gading terus memacu kudanya
dengan cepat menuju ke arah Utara.
*** Sementara itu di Bukit Batu, puluhan orang tengah
mengerang meregang nyawa. Darah berceceran di segala tempat. Bahkan tidak
sedikit yang menggelimpang tidak bernyawa lagi. Tak ada seorang pun yang masih
bisa berdiri tegak. Pemandangan di Bukit Batu itu sungguh mengenaskan. Mayat
tergeletak di mana-mana. Erangan dan rintihan terdengar lirih tersapu angin. Bau
anyir darah menyeruak lubang hidung.
Braga dan Kinca yang baru tiba di bukit itu, langsung melompat turun dari
kudanya. Mereka berlarian dengan mata membeliak lebar hampir tidak percaya.
Kini, tak ada seorang pun yang masih hidup. Suara erangan yang semula masih
terdengar lirih, lenyap bersamaan dengan datangnya dua orang bayaran Raden
Bantar Gading itu.
Braga dan Kinca memeriksa satu persatu mayat yang
bergelimpangan.
"Gila! Siapa yang melakukan ini..."!" geram Braga seperti bertanya kepada
dirinya sendiri.
"Semua tewas, Kakang," lapor Kinca.
Braga tidak menyahuti. Matanya memandang ke
sekeliling. Empat orang
temannya juga sudah
menggeletak dengan keadaan tubuh mengenaskan. Kini
di Bukit Batu tinggal mereka berdua saja yang masih hidup. Seperti dikomando
saja, kedua orang itu bergerak menjauhi tempat yang penuh mayat bergelimpangan
itu. "Sebaiknya kita laporkan saja hal ini pada Raden Bantar Gading, Kakang," kata
Kinca mengusulkan.
Braga tidak segera menyahut. Dia tetap melangkah
menghampiri kudanya. Kinca mengikuti. Mereka segera naik ke punggung kudanya
masing-masing. Sesaat
mereka memandang berkeliling, lalu menjalankan
kudanya pelahan-lahan menuruni Lereng Bukit Batu itu.
"Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan pekerjaan ini, Kinca," ujar
Braga setelah lama terdiam.
"Maksud Kakang?" tanya Kinca tidak mengerti.
"Bukan sekali ini kita dibayar untuk mengawasi pekerjaan pembuatan jalan. Bahkan
yang lebih berat dari ini pun, sering kita lakukan. Tapi aku belum pernah
mengalami hal seperti ini sebelumnya," jelas Braga setengah bergumam.
"Kau menduga ada maksud tersembunyi di balik
pembuatan jalan ini, Kakang?" tebak Kinca.
"Benar, dan kita tidak mengetahuinya," sahut Braga.
Kinca diam merenung. Sementara kuda mereka terus
berjalan pelahan-lahan semakin jauh meninggalkan Bukit Batu. Angin yang
berhembus masih terasa membawa
bau anyir darah dari bukit itu. Sementara matahari yang bersinar terik, tetap
memanggang permukaan bumi.
Sepertinya tidak peduli dengan kejadian yang
berlangsung di bawah siraman cahayanya.
"Lantas, apa yang harus kita lakukan?" tanya Kinca lagi."Seorang raja besar
seperti Prabu Abiyasa, tidak mungkin
melakukan pekerjaan besar tanpa menghasilkan sesuatu yang lebih besar lagi. Lebih-lebih dengan resiko
mengorbankan banyak nyawa. Uh! Bodoh
sekali aku...! Kenapa tidak terpikirkan sejak semula...?"
Braga menepuk keningnya sendiri.
Kinca memandangi dengan kening berkerut. Dia
memang memiliki ilmu olah kanuragan yang lumayan,
tapi otaknya tidak pernah bisa diajak berpikir jauh dan mendalam. Semua yang
dilakukan selalu tergantung dari pemikiran kakaknya, Braga.
"Kau tahu letak Pesanggrahan Goa Larangan, Kinca?"
tanya Braga. "Kalau tidak salah, letaknya di Pantai Utara dekat Desa Muara Pening," jawab
Kinca ragu-ragu.
"Kau yakin?"
"Entahlah. Aku juga hanya dengar-dengar saja. Aku sendiri belum pernah ke sana,"
sahut Kinca. "Kita cari Pesanggrahan Goa Larangan itu, Kinca,"
kata Braga. "Lalu, bagaimana dengan mereka yang tewas,
Kakang?" tanya Kinca.
"Biarkan saja, nanti juga ada prajurit yang tahu,"
sahut Braga. Kinca hanya mengangkat pundaknya saja. Dia
percaya kalau kakaknya ini pasti sudah memiliki suatu rencana yang akan
menguntungkan, daripada tetap
mengikuti Raden Bantar Gading. Kedua laki-laki bayaran itu segera memacu kudanya
memutari Lereng Bukit Batu ini. Mereka tidak peduli lagi dengan pekerjaan yang
dibebankan padanya. Apalagi terhadap mayat-mayat
yang bergelimpangan di Puncak Bukit Batu.
*** 3 Kabar tentang pembantaian yang terjadi di Bukit
Batu telah terdengar di telinga Prabu Abiyasa. Tentu saja hal ini meresahkan
seluruh rakyat di Kerajaan Gantar Angin. Mereka yang terbantai adalah sebagian
dari rakyat Gantar Angia. Sedangkan Raden Bantar Gading
segera mengambil tindakan dengan mengerahkan
seratus prajurit untuk menjaga di sekitar Bukit Batu. Dia juga mengambil lebih
banyak lagi rakyatnya untuk
meneruskan pekerjaan pembuatan jalan dari Kerajaan
Gantar Angin ke Pesanggrahan Goa Larangan.
Sementara itu, Raden Sangga Alam yang sejak
semula tidak menyetujui adanya pembuatan jalan itu, hanya bisa menerka-nerka
arti semua peristiwa
pembantaian di Bukit Batu. Dia berusaha mendekati
ayahnya untuk menghentikan pekerjaan itu. Rupanya,
kata-kata Raden Bantar Gading sudah merasuk begitu
dalam di hati Prabu Abiyasa. Ternyata usaha Raden
Sangga Alam tidak mungkin berhasil dengan cara
pendekatan terhadap ayahnya.
"Tampaknya Ayahanda Prabu sudah tidak berkenan lagi mendengar kata-kataku,
Paman," kata Raden Sangga Alam saat berdua saja dengan Paman Nampi di taman
istana. "Tapi, bagaimanapun juga, Raden harus bisa
mencegah pembuatan jalan itu," kata Paman Nampi.
"Apa lagi yang harus kulakukan, Paman"
Pembantaian di Bukit Baru sudah menandakan kalau ada orang lain yang juga tidak
senang dengan pembuatan
jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan itu. Dan sepertinya, Kanda Bantar Gading
mencurigaiku. Ditambah kini,
Ayahanda Prabu sudah tidak percaya lagi padaku,"
keluh Raden Sangga Alam.
"Jangan putus asa dulu, Raden. Masih banyak cara yang bisa ditempuh," kata Paman
Nampi memberi semangat. "Cara apa lagi, Paman" Semua cara yang kutempuh tidak pernah mengorbankan
rakyat. Tapi sekarang...,"
nada suara Raden Sangga Alam terdengar putus asa.
"Yah..., aku sendiri juga menyesalkan kejadian di Bukit Batu itu, Raden," desah
Paman Nampi pelan.
"Siapa orang itu, Paman?" tanya Raden Sangga Alam.
"Menurut keterangan yang kudengar, dia muncul
dengan menggunakan baju serba hitam. Orang itu juga telah memberi peringatan
sebelumnya," sahut Paman Nampi.
"Dia pasti memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.
Orang-orang bayaran saja tidak mampu menandinginya," pelan suara Raden Sangga Alam
Paman Nampi diam saja.
"Paman, apakah tidak sebaiknya kita cari tahu
tentang orang itu?" usul Raden Sangga Alam.
"Untuk apa?" tanya Paman Nampiagak terkejut.
"Aku yakin, tujuannya sama derujan kita. Tapi
caranya yang berbeda. Kita bisa bergabung dengannya.
sehingga tidak menimbulkan korban lebih banyak lagi, Paman," jelas Raden Sangga
Alam mengemukakan
pikirannya yang mendadak timbul.
"Tidak mudah, Raden. Sama saja mencari jarum di padang luas," kata Paman Nampi.
"Aku yakin bisa menemukannya. Toh kita tidak
bermaksud memusuhinya. Bahkan akan mengajaknya
bergabung dengan cara yang lebih halus, tanpa
mengorbankan rakyat."
Paman Nampi kembali terdiam. Nampaknya usul
Raden Sangga Alam sedang dipikirkannya. Namun dari
sinar mata laki-laki tua berjubah putih itu seakan-akan menyiratkan
ketidakyakinan. Atau mungkin juga tidak setuju akan usul putra kedua Prabu
Abiyasa. Sedangkan Raden Sangga Alam menunggu jawabannya dengan
penuh harapan. "Bagaimana caranya mencari orang itu, Raden?"
tanya Paman Nampi pelan. Sepertinya dia tidak yakin dengan pertanyaannya lagi.
"Itulah yang sedang kupikirkan, Paman," sahut Raden Sangga Alam. Pelan suaranya.
"Bagaimana kalau kita cari di sekitar Bukit Cemara?"
usul Paman Nampi.
"Tidak mungkin, Paman. Ayahanda tidak mengijinkan aku ke Bukit Cemara lagi. Bahkan Kanda
Bantar Gading tidak ingin pekerjaannya dicampuri lagi,"
keluh Raden Sangga Alam.
"Raden bisa beralasan," kata Paman Nampi.
"Alasan apa?"
"Berburu."
"Pasti Ayahanda memerintahkan satu pasukan untuk mengawalku."
"Tidak jadi masalah. Raden bisa pilih pasukanku.
Mereka semua setia padaku, Raden."
"Ah, benar, Paman! Ayahanda Prabu pasti setuju.
Prajurit-prajurit Paman sangat terlatih dan selalu terpilih jadi prajurit utama
kerajaan," seru Raden Sangga Alam gembira.
"Kapan Raden akan menemui Ayahanda Prabu?"
"Hari ini juga, Paman."
"Jangan! Sebaiknya tiga atau empat hari lagi, agar tidak terlalu menyolek. Lagi
pula perhatian Ayahanda Prabu sedang terpusat pada pembuatan jalan ke
pesanggrahan."
"Baiklah, Paman," sahut Raden Sangga Alam menyerah.
"Untuk sementara, sebaiknya Raden tidak keluar istana. Biar Paman saja yang
mengamati setiap
perkembangan di Bukit Batu," kata Paman Nampi lagi.
"Itu juga boleh, Paman."
"Bagus, Raden," Paman Nampi tersenyum lebar.
*** Tiga hari kemudian, Raden Sangga Alam didampingi
Paman Nampi dan tiga puluh orang prajurit bergerak
meninggalkan Istana Kerajaan Gantar Angin. Mereka
semua menunggang kuda tegap dan gagah. Tiga ekor
kuda mengangkut beban. Peralatan yang dibawa jelas
peralatan berburu. Mereka menuju ke arah hutan yang berlawanan arah dengan Bukit
Cemara, Raden Sangga Alam berkuda paling depan,
didampingi Paman Nampi. Sedangkan tiga puluh orang
prajurit mengikuti dari belakang. Mereka adalah para prajurit pilihan dan akan
melakukan apa saja asal
mendapat perintah langsung dari Paman Nampi.
Walaupun raja mereka sendiri yang memerintah, tapi
jika tidak ada persetujuan dari Paman Nampi, mereka tidak akan melakukannya.
Keistimewaan itulah yang
dimiliki para prajurit yang dipimpin Paman Nampi,
selaku penasehat khusus sekaligus guru Raden Sangga Alam. Dia juga menjabat
sebagai salah satu panglima perang Kerajaan Gantar Angin. Memang, setiap
panglima perang memiliki pasukan sendiri-sendiri. Dan tentu saja kemampuannya
juga berbeda. Tergantung
tingginya tingkat kepandaian panglima itu sendiri.
"Kenapa tidak langsung ke Bukit Cemara saja,
Paman?" tanya Raden Sangga Alam.
"Kita menuju Hutan Danaraja dulu, Raden. Dari sana kita berkemah, lalu memutar
arah menuju Bukit Cemara.
Kita tinggalkan tenda di Hutan Danaraja dengan
beberapa prajurit. Sedangkan prajurit lainnya berburu.
Hanya kita berdua yang ke Bukit Cemara," jelas Paman Nampi sambil tangannya
menunjuk ke depan.
Raden Sangga Alam kembali diam. Jarak dari Hutan
Danaraja ke Bukit Cemara, memang tidak terlalu jauh.
Jadi tidak ada salahnya jika berkemah di Hutan Danaraja dengan meninggalkan
beberapa prajurit untuk menjaga.
Raden Sangga Alam tahu betul akan maksud dan tujuan Paman Nampi.
Mereka terus memacu kuda tanpa berbicara lagi.
Hingga tengah hari, baru mereka tiba di Hutan Danaraja.
Sebuah hutan yang sangat luas bagai tak bertepi. Seluruh keluarga Kerajaan
Gantar Angin memang selalu berburu di hutan itu. Hutan yang menyediakan begitu
banyak hewan buruan. Paman Nampi memilih tempat di tepi sungai untuk
mendirikan tenda-tenda. Para prajurit segera mendirikan tenda setelah mendapat
perintah Paman Nampi. Sebuah tenda yang cukup besar terpancang dalam waktu
sebentar saja, dan dikelilingi beberapa tenda kecil-kecil.
Raden Sangga Alam masuk ke dalam tenda yang paling
besar itu. Di dalamnya dua orang prajurit yang tengah merapikan, segera
membungkukkan badan, dan segera
bergegas keluar setelah pekerjaannya selesai.
Saat itu Paman Nampi tengah memberikan beberapa
perintah pada para prajurit. Laki-laki tua berjubah putih itu baru melangkah
masuk ke tenda tempat beristirahat Raden Sangga Alam, setelah selesai memberi
beberapa perintah, dan membagi tugas kepada para prajuritnya.
Paman Nampi membungkuk

Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi hormat, kemudian duduk di atas permadani yang digelar di
dalam tenda besar itu. Raden Sangga Alam duduk di atas peraduan yang beralaskan
permadani dan bantal-bantal bulat pipih terbungkus kain sutra halus.
"Raden sebaiknya istirahat dulu. Biar aku yang mencari jalan aman ke Bukit
Cemara, sekaligus
memeriksa keadaan di sana," kata Paman Nampi.
"Baiklah, Paman. Aku pun rasanya ingin sedikit berburu dulu," jawab Raden Sangga
Alam. "Ah, itu lebih baik Raden. Berikan kesan kalau kita memang benar-benar berburu,"
kata Paman Nampi
tersenyum lebar.
"Kapan Paman berangkat?" tanya Raden Sangga Alam.
"Sekarang juga, Raden. Mumpung belum sore."
"Silakan, Paman."
Paman Nampi bangkit berdiri dan membungkuk
hormat. Kemudian dia keluar dari tenda besar itu. Tidak lama kemudian, terdengar
suara derap langkah kaki
kuda meninggalkan tempat perkemahan itu. Raden
Sangga Alam juga segera bangkit berdiri, lalu melangkah ke luar. Dua orang
prajurit yang menjaga di depan
segera membungkukkan badan memberi hormat.
"Siapkan peralatan, aku ingin berburu sekarang,"
kata Raden Sangga Alam.
Dua prajurit segera melaksanakan perintah junjungannya. Raden Sangga Alam hanya membawa
sepuluh orang prajurit saja, sedangkan sisanya
menunggu di perkemahan. Saat itu matahari memang
masih berada di atas kepala. Sinarnya yang terik tidak terasa menyengat kulit,
karena Hutan Danaraja ini
sangat lebat. Mereka semua tidak menyadari kalau ada sepasang
mata mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi.
Sepasang mata itu sudah ada sejak rombongan Raden
Sangga Alam keluar dari Istana Kerajaan Gantar Angin.
Tapi, pemilik sepasang mata itu juga tidak menyadari kalau kelakuannya ada yang
mengetahui. Dia baru sadar saat sebuah bayangan putih berkelebat cepat hampir
menyambar tubuhnya.
"Uts!"
*** Orang yang mengintai Raden Sangga Alam itu
membanting tubuhnya ke belakang. Dua kali dia
bergulingan sebelum bangkit dengan cepat. Sedangkan bayangan putih yang hampir
menyambar tubuhnya,
sudah berdiri tegak sekitar dua batang tombak jauhnya di depan. Ternyata
bayangan putih itu tidak lain dari Paman Nampi.
"Patih Mara Kobra! Apa yang kau lakukan di sini"!"
bentak Paman Nampi.
"Kau tidak perlu tahu, Panglima Nampi!" sahut laki-laki bertubuh tegap. Usianya
sekitar empat puluh tahun.
"Hm..., lagakmu sangat mencurigakan. Aku yakin kau bermaksud buruk memata-matai
Raden Sangga Alam," gumam Paman Nampi sinis.
"Jangan berlagak suci, Panglima Nampi! Kau pun tidak bermaksud baik membawa
Raden Sangga Alam ke
Hutan Danaraja ini," balas Patih Mara Kobra.
"Edan! Sejak kapan kau berani menentangku, heh"!"
geram Paman Nampi.
"Sejak kau punya niat buruk pada Gusti Prabu
Abiyasa!" "Setan belang!" merah padam wajah Paman Nampi..
Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki tua berjubah putih itu segera melancarkan
serangan cepat dan dahsyat.
Patih Mara Kobra melompat ke samping, menghindari
serangan dahsyat dan cepat itu. Bahkan dengan satu
gerakan manis, tangannya menyodok ke arah iga Paman Nampi. Namun dengan cepat
tangan panglima kerajaan
itu mengibas, memapak sodokan itu.
Trak! Dua tangan beradu keras, membuat Patih Mara
Kobra melompat menjauh dua tindak. Bibirnya meringis menahan nyeri pada
pergelangan tangannya. Dia sadar kalau tenaga dalamnya kalah jauh bila
dibandingkan dengan panglima kepercayaan Raden Sangga Alam itu.
Tapi rupanya Patih Mara Kobra tidak mau peduli.
Kembali dia melompat memberikan serangan balasan
yang tak kalah cepat dan dahsyatnya. Namun serangan-serangan Patih Mara Kobra
dapat dielakkan dengan
mudah oleh Paman Nampi. Bahkan beberapa kali Patih
Mara Kobra terperangah, karena serangan balik Paman Nampi demikian cepat dan
tidak terduga gerakannya.
Pertempuran itu rupanya terdengar oleh para
prajurit yang menjaga perkemahan. Mereka berlari
menghampiri. Tapi begitu mengetahui siapa yang tengah bertarung, tidak ada yang
berani mendekat. Sementara pertempuran antara dua pembesar Kerajaan Gantar
Angin itu terus berlangsung sengit. Patih Mara Kobra tidak tanggung-tanggung
lagi. Dia sadar kalau lawan yang dihadapi memiliki kepandaian yang berada di
atasnya. Patih Mara Kobra segera mengerahkan jurus-
jurus andalannya.
"Hiya...! Hiya...!"
Sulit dipercaya! Pada saat Patih Mara Kobra
melancarkan dua pukulan geledek sekaligus, Paman
Nampi menerimanya hanya dengan mendorong kedua
tangan ke depan. Pada saat itu, dua pasang telapak
tangan saling berbenturan dengan keras sehingga
menimbulkan suara ledakan dahsyat memekakkan
telinga. Tampak Patih Mara Kobra terpental sejauh tiga batang tombak ke
belakang. Sedangkan Paman Nampi
hanya bergeser sedikit.
"Hugh!" Patih Mara Kobra berusaha bangkit, namun darah kental bersemburan keluar
dari mulutnya. Patih Mara Kobra menatap tajam pada Paman Nampi
yang sudah melangkah menghampirinya. Dalam
keadaan tubuh terluka dalam akibat adu tenaga dalam, Patih Mara Kobra tidak
berdaya lagi. Dipejamkan
matanya ketika tangan Paman Nampi terangkat dengan
mengerahkan jurus pukulan maut andalannya.
"Hiya...!"
"Aaakh...!"
Satu teriakan melengking tinggi terdengar memecah
kesunyian Hutan Danaraja ini. Patih Mara Kobra
menggelepar sesaat. Dadanya remuk kena pukulan
bertenaga dalam tinggi. Hanya sesaat dia mampu
bergerak, kemudian diam tidak berkutik lagi. Paman
Nampi berbalik memandang para prajuritnya yang
berdiri berjajar agak jauh.
"Buang mayatnya ke sungai!" perintah Paman Nampi.
Dua orang prajurit segera menghampiri, dan
mengangkat tubuh Patih Mara Kobra yang sudah tidak
bernyawa lagi. Mereka menggotongnya menuju sungai
yang tidak jauh dari tempat itu. Setelah melemparkan tubuh Patih Mara Kobra,
kedua prajurit itu kembali
bergabung dengan teman-temannya. Paman Nampi
menghampiri dua puluh orang prajuritnya yang setia.
"Ingat! Jangan ada yang menceritakan kejadian ini pada siapa pun, terutama pada
Raden Sangga Alam,"
pesan Paman Nampi.
Kedua puluh prajurit itu mengangguk.
"Kalian kembali bertugas. Anggap saja kejadian tadi tidak pernah ada,',' kata
Paman Nampi lagi.
Tanpa ada yang membantah, kedua puluh prajurit
itu segera berlalu. Sementara Paman Nampi langsung
melesat pergi. Gerakannya sangat ringan dan cepat
bagaikan kilat. Tidak lama kemudian terdengar suara ringkik kuda, disusul
berderapnya langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Tampak debu mengepul dari
kerimbunan pepohonan Hutan Danaraja ini.
Suasana pun kembali sunyi senyap, bagai tidak
pernah terjadi pertempuran. Dua puluh orang prajurit setia Paman Nampi kembali
melakukan tugasnya
masing-masing. Tak ada seorang pun yang membicarakan pertarungan itu. Mereka menjalankan
tugas dengan mulut terkunci rapat
*** Paman Nampi memacu cepat kudanya menuju Bukit
Cemara yang berada di sebelah Utara Hutan Danaraja.
Meskipun hutan yang dilalui cukup lebat, tapi dia tidak juga memperlambat lari
Jamur Sisik Naga 3 Dewa Linglung 18 Iblis Pulau Hantu Tangan Hitam Elang Perak 2
^