Pencarian

Pewaris Keris Naga Emas 2

Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas Bagian 2


"Untuk apa...?"
"Bekalmu belum cukup, Anting."
'Tapi, di antara yang lain, aku tidak pernah terka-
lahkan, Bu. Mereka semua masih berada di bawah ke-
pandaianku. Hanya Paman Gaduk dan Ibu yang tidak
bisa aku kalahkan," tolak Rara Anting, tegas.
"Hhh...!"
Nyai Wandari hanya menghembuskan napas pan-
jang. Memang sulit baginya untuk bisa berdebat den-
gan Rara Anting. Gadis itu tidak akan mau mengubah
pendiriannya. Kalau sudah mengatakan sesuatu, se-
lamanya dia tidak akan mengubah atau menarik lagi
ucapannya. Nyai Wandari pun tidak bisa lagi mende-
sak. Dia hanya bisa berpesan agar anak bungsunya ini berhati-hati, karena akan
sangat banyak rintangan
dan bahaya yang akan dihadapinya, di alam bebas
nanti. *** 5 Intan Kumala duduk memeluk lutut sambil me-
mandang ke arah Desa Gebang dari atas ketinggian
bukit batu. Angin yang bertiup kencang sore ini membuat rambutnya yang dibiarkan
meriap melambai-
lambai mengganggu penglihatannya. Tapi, gadis yang
dikenal selalu menggunakan nama Dewi Beruang Putih
itu tetap diam tak bergeming sedikit pun. Kedua ma-
tanya tidak berkedip memandang lurus ke arah Desa
Gebang, desa tempatnya dilahirkan.
Tring! "Heh..."! Apa itu...?"
Intan Kumala terhenyak kaget ketika tiba-tiba te-
linganya mendengar dentingan halus. Cepat dia terlonjak bangkit berdiri.
Sebentar dia menengadahkan ke-
palanya sedikit. Dicobanya untuk mendengarkan lebih jelas lagi suara yang
membuatnya terkejut tadi.
"Suara pertarungan...," gumamnya, perlahan.
Beberapa saat Intan Kumala mencoba menen-
tukan arah datangnya suara yang didengarnya baru-
san. Kemudian tubuhnya melesat begitu cepat bagai
kilat. Sungguh ringan gerakannya, bagaikan daun kering tertiup angin. Dewi
Beruang Putih terus berlari cepat disertai ilmu meringankan tubuhnya menuruni
le- reng bukit batu ini. Begitu ringan dan cepat larinya, sehingga kedua telapak
kakinya bagaikan tidak menyentuh tanah sama sekali. Dan, sebentar saja dia sudah
sampai di kaki bukit batu ini.
Tampak di sebuah padang rumput yang tidak sebe-
rapa luas, seorang gadis berbaju biru muda tengah
bertarung melawan empat orang laki-laki bertubuh
tinggi kekar yang masing-masing menggunakan senja-
ta berupa golok Gadis itu tampak kewalahan mengha-
dapi serangan-serangan empat orang lawannya.
"Akh...!"
Jelas sekali terlihat gadis itu terpental sambil memekik keras begitu dadanya
terkena tendangan salah
seorang lawannya. Dia tersuruk jatuh mencium tanah.
Dan, pada saat itu, seorang lawannya lagi sudah melompat sambil mengibaskan
goloknya dengan cepat.
Pada saat itu juga....
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Intan Kumala cepat me-
lompat. Langsung dia melepaskan satu pukulan keras
disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah
mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya serangan
yang dilakukan Intan Kumala, sehingga laki-laki bertubuh tinggi tegap yang
mengenakan baju hitam itu tidak dapat lagi menghindar.
Diegkh! "Akh...!"
Keras sekali pukulan yang dilontarkan Intan Ku-
mala. Akibatnya, laki-laki berbaju hitam itu terpental ke belakang sejauh dua
batang tombak. Tubuhnya
menghantam tanah dengan keras, lalu bergulingan be-
berapa kali. Tapi, dia cepat melompat bangkit berdiri, meskipun agak sedikit
terhuyung. Sedangkan Intan
Kumala sudah mendarat tepat di samping gadis berba-
ju biru muda yang mulai bergerak bangkit berdiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Intan Kumala sambil berpaling sedikit.
"Hanya dadaku sesak. Terima kasih...," sahut gadis itu, setelah bisa berdiri
kembali. Tangan kanan gadis berbaju biru muda itu terus
memegangi dadanya yang sesak, akibat terkena ten-
dangan keras bertenaga dalam cukup tinggi dari la-
wannya tadi. Sementara itu, empat laki-laki bertubuh tinggi tegap dan kekar
dengan wajah kasar yang men-cerminkan kebengisan sudah bergerak mengepung dari
empat arah. Golok-golok mereka bergerak-gerak perlahan melintang di depan dada.
"Kalau ada kesempatan, menyingkirlah. Biar mere-ka aku yang tangani," kata Intan
Kumala. Gadis cantik berbaju biru muda itu hanya men-
ganggukkan kepalanya. Dia memang menyadari, tidak
akan mungkin dirinya bisa bertahan lebih lama lagi
kalau meneruskan pertarungan ini. Dadanya yang ter-
kena tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi
tadi masih terasa sangat nyeri dan sesak. Nafasnya
pun tersendat-sendat.
"Sakit..?" tanya Intan Kumala sambil memandangi gadis di sampingnya ini.
"Iya," sahut gadis itu sambil meringis menahan sakit di dadanya.
Sebentar Intan Kumala memandangi gadis itu. Ke-
mudian, tiba-tiba saja dia bergerak cepat menyambar pinggang gadis berbaju biru
muda itu. Dan, secepat kilat pula dia melompat tinggi ke udara. Begitu cepat dan
ringan gerakannya. Keempat orang pengepung
pun tidak sempat lagi menyadari. Tahu-tahu, Intan
Kumala sudah berada di luar kepungan, lalu segera
menurunkan gadis berbaju biru muda yang berada da-
lam kepitannya. Pada saat itu, keempat orang laki-laki bertampang kasar dan
bengis itu baru menyadari keadaan yang terjadi. Dan, mereka langsung berlompatan
hendak mengepung kembali.
"Hiyaaat..!"
Pada saat yang bersamaan, Intan Kumala sudah
begitu cepat bertindak, Sambil melompat dan berteriak nyaring, gadis yang
menjuluki dirinya si Dewi Beruang Putih itu melontarkan beberapa pukulan secara
beruntun yang begitu cepat, disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
Tapi, empat orang laki-laki bertampang kasar itu
memang bukanlah lawan yang sembarangan. Dengan
manis sekali mereka berhasil menghindari serangan
cepat yang dilancarkan Dewi Beruang Putih.
"Hup! Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Intan Kumala menjatuhkan tubuh-
nya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Dan, begitu melompat bangkit,
secepat kilat dia mengibaskan tangan kanannya dengan cepat sekali sambil memutar
tubuhnya. Tampak rumput-rumput kering, yang dica-
butnya tadi ketika bergulingan, berhamburan bagai
anak-anak panah yang terlepas dari busurnya.
"Hup! Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Keempat lawan Dewi Beruang Putih kelabakan se-
tengah mati menghindari rumput-rumput kering yang
berhamburan bagai serbuan anak panah itu. Mereka
mengebutkan goloknya dengan cepat untuk menyam-
pok rumput-rumput yang berubah menjadi senjata
mematikan itu. Dan, pada saat itu pula, Intan Kumala kembali dengan cepat
melentingkan tubuhnya.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali Dewi Beruang Putih melesat. Dan, se-
cepat itu pula dia melepaskan satu pukulan keras
menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang
tinggi ke arah salah seorang lawannya. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan
Dewi Beruang Putih
itu, sehingga sulit sekali diikuti dengan pandangan mata biasa. Dan....
Des! "Aaakh...!"
"Hiyaaa.,.!"
Begitu berhasil menjatuhkan seorang lawan, Intan
Kumala cepat melompat kembali dan melepaskan satu
tendangan keras bertenaga dalam tinggi pada seorang lawan lainnya. Sungguh cepat
luar biasa gerakan yang dilakukan Dewi Beruang Putih. Laki-laki tinggi besar dan
berwajah kasar itu pun sulit untuk bisa menghindari lagi.
Begkh! "Akh...!"
*** Gerakan-gerakan yang dilakukan Intan Kumala
memang sangat sulit diikuti dengan pandangan mata
biasa. Satu persatu dia menjatuhkan lawan-lawannya
hingga berpelantingan sambil memekik keras. Pukulan serta tendangan yang
dilontarkan Dewi Beruang Putih juga mengandung pengerahan tenaga dalam yang
sudah mencapai tingkat tinggi. Dan, akibatnya sungguh luar biasa. Keempat laki-
laki berwajah kasar itu langsung terjungkal dan tak mampu bangkit lagi setelah
memperdengarkan erangan kecil.
"Hup...!"
Dengan sekali lesatan saja, Intan Kumala sudah
berada dekat di depan gadis cantik berbaju biru muda.
Sedangkan keempat laki-laki yang mengeroyoknya tadi sudah tidak ada lagi yang
bisa berdiri. Keempat laki-laki bertubuh besar itu menggeletak tak bergerak-
gerak lagi. Tapi, dari gerakan halus di dada masing-masing bisa dipastikan
mereka masih hidup. Memang,
pukulan serta tendangan yang dilepaskan Intan Kuma-
la tidak sampai mematikan, walaupun disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang
tinggi tingkatannya.
Karena, Intan Kumala sengaja tidak melakukannya
pada bagian tubuh yang mematikan. Dia hanya ingin
membuat keempat orang itu tidak sadarkan diri.
"Bagaimana dadamu" Masih sakit...?" tanya Intan Kumala.
"Sedikit," sahut gadis berbaju biru muda itu.
"Coba aku periksa."
Tanpa menunggu persetujuan gadis itu, si Dewi
Beruang Putih segera menempelkan telapak tangan
kanannya di dada gadis ini. Saat itulah dia menyalur-
kan hawa murni, yang membuat dada gadis itu terasa
hangat. Hanya sebentar Intan Kumala menempelkan
telapak tangan kanannya. Dia kemudian melangkah
mundur dan duduk bersila di bawah pohon. Sedang-
kan gadis berwajah cantik yang mengenakan baju biru muda itu mengambil tempat di
depan Dewi Beruang
Putih. Dia merasakan dadanya tidak lagi sesak dan
nyeri. "Sepertinya aku pernah melihatmu...," kata Intan Kumala, agak ragu-ragu.
"Memang, kau pernah melihatku di padepokan
ibu," sahut gadis itu.
"Padepokan ibu...?" Intan Kumala menyipitkan keningnya.
"Kau yang datang kemarin malam," kata gadis itu lagi. Intan Kumala langsung
terlonjak berdiri begitu teringat bahwa gadis inilah yang dilihatnya di rumah
yang didatanginya kemarin malam. Dia ingat, gadis ini berdiri di dekat pintu
ketika dia sedang berusaha
meyakinkan Nyai Wandari kalau dia adalah anaknya.
"Aku sengaja keluar dari padepokan untuk berte-mu denganmu, Kak Intan," kata
gadis cantik berbaju biru muda yang tak lain adalah Rara Anting ini.
"Eh..."! Kenapa kau memanggilku Kak Intan..."'
sentak Intan Kumala.
"Aku yakin kalau kau adalah kakakku. Kau adalah Intan Kumala, kakakku yang
hilang lima belas tahu
yang lalu," kata Rara Anting, mantap.
"Siapa namamu?" tanya Intan Kumala.
"Rara Anting."
Intan Kumala memandangi gadis cantik yang se-
sungguhnya baru berusia sekitar lima belas tahu ini.
Tapi, tubuh Rara Anting yang bongsor memang mem-
buatnya tampak sudah berusia lebih dari delapan be-
las tahun. Hanya sorot matanya yang masih menam-
pakkan kekanak-kanakannya.
Intan Kumala kembali duduk. Punggungnya di
sandarkan ke batang pohon. Namun, pandangannya
tetap tertuju pada gadis cantik yang masih tetap duduk di depannya ini.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa aku ka-
kakmu?" tanya Intan Kumala lagi.
"Waktu itu aku memang belum lahir, Kak. Aku masih berada di dalam kandungan ibu.
Jadi aku bisa memaklumi kalau kau tidak bisa mengenaliku," jelas Rara Anting
"Rara Anting, sebaiknya kau kembali saja kepada ibumu. Tidak ada gunanya kau
menemuiku. Ibumu
sendiri tidak mau mengakui aku sebagai anaknya," ka-ta Intan Kumala, dengan
suara agak tertahan.
Dewi Beruang Putih tampak menggigit-gigit bibir-
nya sendiri saat mengatakan bahwa ibunya tidak mau
mengakui dia sebagai anaknya yang hilang lima belas tahun lalu. Saat itu Rara
Anting menggeser duduknya lebih dekat, sehingga jaraknya hanya tinggal satu
langkah lagi di depan Dewi Beruang Putih.
"Aku akan membantumu mencari pusaka itu, Kak.
Kita akan bersama-sama menyerahkannya kepada
ibu," kata Rara Anting, mantap.
"Tidak..," desah Intan Kumala seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak..?"
"Kau tidak tahu bahayanya mendapatkan Keris Na-ga Emas, Rara Anting," kata Intan
Kumala. "Keris itu sekarang berada di tangan orang yang memiliki tingkat
kepandaian sangat tinggi. Aku sendiri belum tentu bisa memperolehnya dengan
mudah. Kecuali, aku bisa
mengalahkannya. Dan itu juga sulit, Rara Anting. Sebaiknya kau kembali saja ke
padepokan. Biar aku sen-
diri yang berusaha merebut keris itu, ini persoalanku, kau tidak perlu
melibatkan diri."
'Tapi, Kak..."
"Sudahlah, Rara Anting. Ibumu pasti cemas memikirkan mu. Jangan kau buat ibu
menderita lagi. Sudah terlalu banyak penderitaan yang dialaminya,' potong Intan
Kumala dengan cepat.
Rara Anting tidak bersuara lagi. Entah kenapa, dia
tidak bisa membantah semua ucapan yang dikatakan
oleh Dewi Beruang Putih. Padahal, biasanya dia tidak mau kalah.
Sementara itu Intan Kumala sudah berdiri lagi. Dia
melangkah beberapa tindak menjauhi Rara Anting.
Pandangannya tertuju lurus ke arah Desa Gebang
yang terlihat begitu kecil dari kaki bukit batu ini.
"Pulanglah, Anting. Masih banyak yang harus aku kerjakan," kata Intan Kumala


Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa berpaling sedikit pun.
"Kak...."
Tapi, Intan Kumala sudah melesat begitu cepat,
sehingga Rara Anting tidak sempat lagi meneruskan
kata-katanya. Gadis itu hanya bisa diam. Dipandan-
ginya arah kepergian Dewi Beruang Putih, yang dengan cepat sekali melesat bagai
menghilang tertelan bumi.
"Aku yakin, kau adalah Intan Kumala, Kakakku,"
desah Rara Anting sambil bangkit berdiri.
Sebentar gadis cantik berbaju biru muda itu masih
memandang ke arah kepergian Intan Kumala. Dia ke-
mudian perlahan-lahan mengayunkan kakinya me-
ninggalkan tepian hutan ini. Rara Anting pun terus
berjalan perlahan-lahan. Dan, tanpa disadari dia justru berjalan menuju ke Desa
Gebang. *** Sementara itu Intan Kumala sendiri sudah berada
di Desa Gebang. Pakaiannya yang compang-camping
dan penuh tambalan tentu saja membuatnya menjadi
perhatian semua orang di desa yang cukup besar ini.
Tapi, Intan Kumala tidak mau peduli. Dia terus men-
gayunkan kakinya perlahan-lahan. Disusurinya jalan
tanah berdebu yang seakan-akan membelah Desa Ge-
bang ini menjadi dua bagian.
Ayunan kaki Dewi Beruang Putih tiba-tiba terhenti
ketika melihat seorang pemuda tampan berbaju kulit
harimau berada di dalam sebuah kedai kecil tidak jauh dari tempatnya berdiri. Di
depan pemuda itu, tampak duduk seorang gadis cantik yang mengenakan baju
berwarna merah muda. Dan, sebilah gagang pedang
menyembul di punggung gadis itu. Seekor monyet kecil berbulu hitam terlihat pula
duduk nangkring di pinggiran meja. Pada saat itu, pemuda berbaju kulit harimau
yang tak lain adalah Bayu dan lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka
itu menoleh ke arah ja-
lan. Sesaat darah Pendekar Pulau Neraka terkesiap begitu melihat Intan Kumala
berada di seberang jalan.
Cepat dia berdiri dari kursinya. Bersamaan dengan itu, gadis cantik berbaju
merah yang berada di depannya juga melihat ke arah jalan, lalu cepat-cepat
berdiri mengikuti Pendekar Pulau Neraka.
"Sebentar aku kembali," kata Bayu, seraya mengambil Tiren dan meletakkan di
pundak kanannya. La-
lu, bergegas dia keluar dari kedai.
Intan Kumala, yang melihat Pendekar Pulau Nera-
ka melangkah menghampirinya, segera mengayunkan
kakinya cepat-cepat. Dia langsung menyeruak di anta-ra kerumunan banyak orang
yang hampir memadati
jalan tanah berdebu ini. Sedangkan Bayu terus berjalan cepat dengan langkahnya
yang lebar-lebar menge-
jar gadis berbaju compang-camping itu. Dan, di belakangnya tampak Ratna Wulan
mengikuti. "Nisanak, tunggu...!" seru Bayu seraya memperce-pat langkahnya.
Namun, Intan Kumala malah semakin memperce-
pat langkah. Bahkan, kini dia berlari menghindari ke-jaran Pendekar Pulau
Neraka. Tanpa berpikir panjang lagi, Bayu pun segera berlari semakin cepat. Tapi
ketika sampai di perbatasan desa sebelah Timur, Bayu kehilangan gadis berpakaian
pengemis yang dikejarnya
itu. Dewi Beruang Putih tiba-tiba saja menghilang setelah melawan perbatasan
Desa Gebang ini.
"Hhh! Ke mana dia...?" keluh Bayu sambil menghentikan langkahnya.
Pendekar Pulau Neraka mengedarkan pandangan-
nya berkeliling. Tapi, tetap saja dia tidak melihat Dewi Beruang Putih. Bahkan,
bayangannya gadis itu pun tidak terlihat sama sekali. Intan Kumala benar-benar
seperti lenyap tertelan bumi. Sementara itu, Ratna Wulan sudah berada di samping
pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Sudahlah, Kakang. Tidak perlu kau bersusah
payah mencari dia," kata Ratna Wulan.
Bayu tidak menyahut. Dia terus mengedarkan
pandangannya berkeliling. Tapi, si Dewi Beruang Putih benar-benar lenyap begitu
saja seperti tertelan bumi di perbatasan sebelah Timur Desa Gebang ini.
"Kau pasti terpengaruh oleh cerita perempuan tua di kedai kemarin, Kakang," kata
Ratna Wulan lagi.
"Hampir semua orang di Desa Gebang ini bilang, anak gadis Ki Satria lima belas
tahun lalu jatuh tercebur ke dalam Jurang Setan. Bukan hanya perempuan
tua yang aneh itu saja yang bilang, Wulan," kata Bayu'.
'Tapi...."
"Aku yakin, dia memang Intan Kumala, yang lima
belas tahun lalu tercebur ke dalam Jurang Setan," potong Bayu cepat.
Ratna Wulan tidak bisa bicara lagi. Dia tahu, Pen-
dekar Pulau Neraka sudah merasa pasti bahwa si Dewi Beruang Putih adalah Intan
Kumala, gadis yang sudah dicarinya selama ini. Dan, gadis itulah satu-satunya
pewaris Keris Naga Emas, yang diserahi oleh Ki Rahun dulu kepada Bayu (Baca
serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah 'Tiga Pengemis Sakti').
"Kalau ternyata bukan dia pewarisnya, apa kau
akan terus mencari pewaris Keris Naga Emas yang se-
benarnya, Kakang?" tanya Ratna Wulan, ingin kepas-tian.
"Aku tidak bisa mengabaikan pesan orang yang sudah meninggal, Wulan. Sampai
kapan pun, aku akan
tetap mencari pewaris Keris Naga Emas. Bahkan kalau perlu aku akan berusaha
mencari istri Ki Satria, yang belum kita ketahui nasibnya sampai saat ini. Sahut
Bayu, tegas. Trek! Tiba-tiba saja terdengar suara ranting patah terin-
jak. Bayu cepat memutar tubuhnya. Ratna Wulan
mengikuti gerak Pendekar Pulau Neraka. Dan, mereka
langsung terkejut begitu melihat si Dewi Beruang Putih tahu-tahu sudah berdiri
di atas punggung seekor
ruang putih raksasa.
*** 6 "Hup!"
Dengan gerakan yang begitu ringan dan indah, si
Dewi Beruang Putih melompat turun dari punggung
beruang raksasa berbulu putih itu. Dan, tanpa me-
nimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah tepat sekitar satu batang
tombak di depan Pendekar
Pulau Neraka. Dia seakan-akan ingin memamerkan il-
mu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai
tingkat tinggi. Sedangkan beruang raksasa berbulu putih itu tetap diam tak
bergerak sedikit pun. Namun, sorot matanya yang begitu tajam tertuju langsung ke
bo-la mata Pendekar Pulau Neraka.
"Kisanak, aku pernah mengatakan padamu bahwa
aku akan membuktikan kalau diriku adalah Intan
Kumala. Aku sudah bertemu dengan ibuku. Tapi aku
tidak diakuinya sebelum mendapatkan bukti. Dan aku
harus menyerahkan Keris Naga Emas sebagai bukti
bahwa aku adalah anaknya. Kau mengerti maksudku,
Kisanak..?" ujar Dewi Beruang Putih dengan nada suara yang terasa dingin sekali.
Bayu tersenyum, lalu melangkah beberapa tindak
mendekati Dewi Beruang Putih. Dia berhenti setelah
jaraknya tinggal sekitar lima langkah. Dan, dari balik sabuk yang membelit
pinggangnya, dikeluarkannya
sebilah keris yang berwarna kuning emas dan berca-
haya indah. "Memang tidak ada alasan lagi bagiku untuk tidak mempercayaimu, Nisanak.
Terimalah pusaka warisan
mu ini," kata Bayu dengan suara yang terdengar begitu lembut.
"Heh..."!"
Si Dewi Beruang Putih tampak terkejut. Sungguh
dia tidak menyangka kalau pemuda berbaju kulit ha-
rimau itu bisa begitu cepat sekali mengubah pendi-
riannya. Bahkan, dia mau menyerahkan Keris Naga
Emas begitu saja. Intan Kumala bukannya menerima
keris yang disodorkan itu, tapi malah memandangi
Bayu, seakan-akan tidak percaya kalau pemuda berba-
ju kulit harimau ini benar-benar mau menyerahkan
keris itu. "Ambillah.... Keris Naga Emas ini memang milikmu, Intan Kumala," kata Bayu
sambil tetap menyodorkan Keris Naga Emas itu.
Intan Kumala masih, belum juga mau menerima
keris itu. Dia benar-benar tidak mengerti akan perubahan sikap Bayu yang begitu
cepat ini. Padahal, semula Bayu tidak percaya kalau dia adalah putri Ki Satria,
pewaris tunggal Keris Naga Emas. Tapi sekarang, dengan mudah sekali Bayu ingin
menyerahkan keris
itu. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai perta-
nyaan di dalam benak Dewi Beruang Putih.
Wusss! "Awaaas...!"
"Heh..."!"
Teriakan Intan Kumala yang begitu keras dan tiba-
tiba membuat Bayu tersentak kaget. Cepat-cepat dia
melompat ke belakang ketika melihat sebuah bayan-
gan hitam berkelebat begitu cepat ke arahnya. Pada saat yang bersamaan, Intan
Kumala juga melompat ke
belakang dan berputaran dua kali di udara.
"Hap!"
Indah sekali Bayu menjejakkan kakinya kembali di
tanah setelah melakukan tiga kali putaran di udara.
Tapi, mendadak dia langsung tersentak kaget setengah mati. Keris Naga Emas yang
tadi berada dalam genggaman tangannya ternyata sudah tidak ada lagi.
"Hik hik hik...!"
"Oh..."!"
Bukan hanya Bayu yang tampak terkejut. Intan
Kumala dan Ratna Wulan pun tersentak kaget ketika
tiba-tiba terdengar suara tawa yang terkikik kering mengerikan. Suara tawa itu
terdengar menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angina. Je-
las, tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
dalam yang tinggi sekali tingkatannya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Bayu melesat ke arah sebatang po-
hon beringin yang sangat besar, tidak jauh dari Intan Kumala berdiri. Begitu
cepatnya gerakan Pendekar Pulau Neraka, sehingga sulit diikuti dengan pandangan
mata biasa. Srak! Baru saja Pendekar Pulau Neraka menembus
daun-daun pohon yang rimbun itu, mendadak dia su-
dah terpental keluar dengan deras sekali. Beberapa
kali pemuda berbaju kulit harimau itu melakukan pu-
taran di udara. Dan, dengan manis sekali kedua ka-
kinya menjejak tanah. Tepat pada saat itu, dari kerim-bunan daun pohon meluncur
sesosok tubuh berbaju
serba hitam yang longgar. Cepat sekali sosok tubuh hitam itu meluncur turun dari
atas pohon. Dan, tahu-
tahu di depan Bayu sudah berdiri seorang perempuan
tua yang berjubah panjang dan longgar berwarna hi-
tam pekat. Sebatang tongkat berkepala tengkorak
tampak tergenggam di tangan kanannya. Sedangkan
tangan kirinya memegang Keris Naga Emas. Wajahnya
yang berkeriput terlihat pucat seperti mayat. Namun, sinar matanya yang merah
bersorot begitu tajam.
Sementara itu Intan Kumala tertegun diam me-
mandangi perempuan tua bungkuk berjubah hitam
yang tiba-tiba muncul itu. Ingatannya langsung kem-
bali ke masa lima belas tahun silam, di saat dia baru berusia sekitar empat
tahun. Perempuan tua inilah
yang datang memperingatkan ayahnya dan hendak
mengambilnya sebelum terjadi peristiwa yang mene-
waskan Ki Satria. Intan Kumala ingat, perempuan tua bungkuk dan berjubah hitam
itu adalah Ratu Mayat
Bukit Tengkorak.
"Nek, bukankah kau yang bernama Ratu Mayat
Bukit Tengkorak...?" tanya Intan Kumala, ingin meyakinkan hatinya.
"Heh..."! Dari mana kau tahu...?" sentak perempuan tua berjubah hitam itu, agak
terkejut. "Aku tahu siapa kau, Nek. Kau yang datang pada ayahku dan hendak mengambilku
lima belas tahun
yang lalu. Tapi..., bukankah kau sudah mati oleh senjata rahasia...?" ujar Intan
Kumala, agak ragu-ragu.
"Hik hik hik...! Tidak kusangka, rupanya kau masih hidup, Bocah. Hik hik hik...!
Bagus, aku senang melihat kau masih hidup. Itu berarti kau bisa mewarisi ilmu-
ilmuku, Intan Kumala."
Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak gembira. Dia
kemudian melangkah menghampiri Dewi Beruang Pu-
tih. Tawanya yang terkekeh terus terdengar sumbang
menyakitkan telinga. Sementara itu Intan Kumala ma-
sih tetap diam dan tak bergeming sedikit pun. Sedangkan Bayu dan Ratna Wulan
hanya bisa memandang
dengan sinar mata yang memancarkan ketidakmenger-
tian. "Senjata-senjata rahasia itu memang mengandung racun. Tapi tidak ada artinya
bagiku, Intan. Waktu itu aku hanya pingsan sebentar," kata Ratu Mayat Bukit
Tengkorak. "Sayang.... Kalau saja ayahmu mau mendengar kata-kataku, tidak akan
mungkin terjadi mala-petaka itu."
Saat itu Intan Kumala tampak gembira, karena
masih ada orang yang mengenalinya. Dia melirik sedikit pada Pendekar Pulau
Neraka yang berdiri tidak
jauh darinya. Saat itu Bayu juga tengah memandang
pada Dewi Beruang Putih yang sesungguhnya berwa-
jah cantik. Dan, tanpa disadari, pandangan mata me-
reka bertemu pada satu titik. Entah kenapa, saat itu juga Intan Kumala merasakan
adanya desiran pada
aliran darahnya. Tapi cepat-cepat dia segera mema-
lingkan mukanya dan memandang kembali pada Ratu
Mayat Bukit Tengkorak.
"Ini milikmu. Terimalah...."
Ratu Mayat Bukit Tengkorak menyerahkan Keris
Naga Emas yang tadi dirampasnya dari tangan Bayu.
Tapi, Intan Kumala tidak langsung menerima senjata
pusaka warisan terakhir ayahnya itu. Dia malah melirik lagi pada Pendekar Pulau
Neraka. Dan, rupanya
pemuda berbaju kulit harimau itu bisa mengetahui li-rikan Dewi Beruang Putih
ini. Sambil tersenyum, dia menganggukkan kepalanya sedikit. Hampir tidak
terlihat gerakan pada anggukan kepala Pendekar Pulau
Neraka itu. 'Terima kasih," ucap Intan Kumala seraya meneri-ma Keris Naga Emas dari tangan
perempuan tua ber-
tubuh bungkuk itu.
Sebentar Dewi Beruang Putih memandangi keris
bergagang kepala naga dan berwarna kuning keema-
san itu. Kemudian diselipkannya keris itu ke balik ikat pinggangnya. Ratu Mayat
Bukit Tengkorak tampak tersenyum-senyum melihat Keris Naga Emas sudah ter-
simpan di balik ikat pinggang Intan Kumala.


Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau sudah bertemu dengan ibumu, Intan?" tan Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Intan Kumala tidak langsung menjawab. Kepalanya
bergerak tertunduk saat mendengar pertanyaan pe-
rempuan tua berwajah pucat seperti mayat itu. Na-
mun, tak berapa lama kemudian dia sudah mengang-
kat kepalanya kembali. Sebentar ditatapnya wajah keriput yang pucat itu.
Kemudian kepalanya diangguk-
kan sedikit. "Lalu?" desak Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Intan Kumala masih belum juga membuka mulut-
nya. Saat itu juga dia merasakan lidahnya menjadi ke-
lu, sulit untuk diajak bicara. Entah apa yang akan di-katakannya pada perempuan
tua ini. Karena, tidak
mungkin baginya untuk mengatakan bahwa ibunya ti-
dak mau menerima dirinya tanpa membawa Keris Naga
Emas. "Ada apa, Intan?" tanya Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Kelopak mata perempuan tua
itu tampak menyipit ketika melihat raut wajah Dewi Beruang Putih yang kelihatan
murung. Sementara itu Bayu, yang sejak tadi juga memperhatikan, merasakan ada
sesuatu yang tersembunyi yang membuat Intan Kumala tampak mu-
rung begitu. Perlahan-lahan pemuda tampan itu men-
dekati, lalu berdiri di samping Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Sedangkan perempuan
tua berjubah hitam yang
wajahnya pucat bagai mayat itu hanya melirik sedikit pada Pendekar Pulau Neraka.
"Katakan padaku, Intan. Kau sudah menemui ibu-
mu, bukan...?" desak Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Intan Kumala menganggukkan kepalanya.
"Lalu, apa yang terjadi?" desak Ratu Mayat Bukit Tengkorak lagi.
"Ibu tidak mau menerima kehadiranku," jawab Intan Kumala, pelan sekali.
"Heh..."! Benar begitu...?" sentak Ratu Mayat Bukit Tengkorak, terkejut.
Bukan hanya perempuan tua itu yang terkejut
mendengar pengakuan Dewi Beruang Putih. Tapi, Bayu
yang sejak tadi diam saja juga tersentak kaget men-
dengarnya. Dia sampai memandangi wajah gadis itu
dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kesunggu-
han dari ucapannya barusan. Sedangkan Intan Kuma-
la hanya mengangguk. Lalu kepalanya kembali tertun-
duk menekuri ujung jari kakinya.
Keheningan langsung menyelimuti mereka semua.
Tak ada lagi yang membuka suara. Bukan hanya Ratu
Mayat Bukit Tengkorak yang tidak mengerti dengan sikap Nyai Wandari. Bayu juga
tidak habis mengerti, kenapa Nyai Wandari tidak mau mengakui Intan Kumala
sebagai anaknya. Apakah perpisahan yang begitu lama telah menjadikan Nyai
Wandari lupa pada anak gadisnya ini" Sulit untuk mencari jawaban dari semua
pertanyaan yang bergayut di kepala mereka saat itu. Sedangkan Intan Kumala
sendiri hanya diam, seperti
menerima saja semua yang telah terjadi pada dirinya.
*** Nyala api unggun yang cukup besar membuat uda-
ra malam yang dingin ini sedikit terusir. Tidak jauh da-ri api unggun itu,
terlihat Ratu Mayat Bukit Tengkorak tengah berbincang-bincang dengan Ratna
Wulan. Dan seekor monyet kecil tampak duduk di pangkuan Ratna
Wulan sambil menikmati pisang.
Sementara itu agak jauh di suatu tempat yang cu-
kup gelap dan padat ditumbuhi pepohonan, tampak
Bayu berdiri tegak di depan Intan Kumala. Gadis ber-juluk Dewi Beruang Putih itu
tidak lagi kelihatan kum-al dan kotor. Meskipun pakaian putih yang dikena-
kannya masih tetap compang-camping dan penuh
tambalan, terlihat rambutnya tidak lagi dibiarkan meriap tak teratur. Dan,
kecantikannya kini sudah bisa jelas dipandang.
"Kenapa kau tidak mengatakan hal yang sebenar-
nya pada Ratu Mayat, Intan?" ujar Bayu, dengan suara yang terdengar pelan.
"Entahlah.... Aku sepertinya belum percaya penuh padanya," sahut Intan Kumala,
agak mendesah. "Tapi, kenapa kau mengatakannya padaku?"
Intan Kumala tidak bisa menjawab. Entah kenapa,
si Dewi Beruang Putih jadi begitu mudah mempercayai Pendekar Pulau Neraka.
Bahkan, dia telah menceritakan semua tentang pertemuannya dengan ibunya,
termasuk permintaan ibunya agar dia membawa Keris
Naga Emas kalau ingin diakui sebagai anak. Hal inilah yang tidak diceritakan
Intan Kumala kepada Ratu
Mayat Bukit Tengkorak.
"Lalu, kau akan ke sana lagi dan menyerahkan Keris Naga Emas itu kepada ibumu?"
tanya Bayu lagi.
"Aku..., aku jadi ragu-ragu," sahut Intan Kumala, bimbang.
"Kenapa?"
"Aku memang merasakan adanya getaran saat me-
lihatnya, Bayu. Tapi aku merasa asing, dan...," ucapan Intan Kumala terputus.
"Kau merasa, ada sesuatu yang lain pada ibumu, Intan?" tanya Bayu lagi.
"Entahlah.... Aku tidak tahu," sahut Intan Kumala, dengan suara tetap mendesah.
Tiba-tiba saja Intan Kumala terisak. Bayu langsung
terkejut melihat gadis yang selama ini dikenalnya begitu tegar dan keras tiba-
tiba saja mengeluarkan air ma-ta. Dan, tidak ada yang bisa dilakukan Pendekar
Pulau Neraka selain merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Namun, tangisan
Intan Kumala bukannya berhenti, tapi malah menjadi-jadi. Dia menyembunyikan
wajahnya di dada Bayu yang bidang dan sedikit berbulu.
Dan, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Bayu. Dia membiarkan saja dadanya
dibasahi air mata, Cukup
lama juga Pendekar Pulau Neraka membiarkan Intan
Kumala menangis di dadanya. Dia baru melepaskan
pelukannya setelah tidak lagi mendengar isak tangis gadis itu.
"Rasanya tidak ada lagi gunanya aku hidup. lbu
kandungku saja tidak mau menerimaku sebagai anak-
nya," keluh Intan Kumala, setelah bisa menguasai dirinya lagi.
'Tidak, Intan. Masih banyak yang bisa kau laku-
kan," hibur Bayu.
Intan Kumala memandangi wajah tampan Pende-
kar Pulau Neraka. Begitu dekatnya wajah mereka, se-
hingga desah napas mereka terasa begitu hangat me-
nerpa kulit wajah. Beberapa saat keduanya terdiam
dan hanya saling pandang.
"Bayu..., boleh aku memanggilmu dengan sebutan Kakang...?" pinta Intan Kumala.
"Kenapa tidak" Aku senang kalau kau mau me-
manggilku begitu," sambut Bayu seraya memberikan senyumnya yang manis.
Intan Kumala tersenyum kecil. Jarak mereka masih
begitu dekat, seakan-akan sama-sama tidak mau men-
jauh. Intan Kumala sendiri seperti tidak menyadari
bahwa sejak tadi tangannya digenggam Pendekar Pu-
lau Neraka. Dan, genggaman itu membuatnya seperti
mendapat kekuatan di hati. Kehangatan genggaman
tangan Bayu membuat Intan Kumala kembali tegar.
Isak tangisnya pun benar-benar hilang. Hanya sisa-
sisa air matanya yang masih terlihat membasahi wa-
jahnya. "Kakang, boleh aku tahu kenapa kau selalu menca-ri dan memperhatikan aku...?"
tanya Intan Kumala setelah beberapa saat terdiam.
"Aku mendapat pesan dari seseorang untuk menyerahkan Keris Naga Emas pada
pemiliknya. Orang itu
hanya menyebutkan nama Intan Kumala. Dan dari se-
kian banyak orang yang aku tanyai, aku merasa pasti kalau kau adalah pewaris
Keris Naga Emas. Itu sebabnya kenapa aku selalu mencarimu, Intan," jelas Bayu
dengan suara yang lembut.
"Sekarang Keris Naga Emas sudah ada padaku. La-lu, apa yang akan kau lakukan?"
Bayu hanya mengangkat bahunya. Dia tidak segera
menjawab pertanyaan Dewi Beruang Putih. Saat ini lelaki berbaju kulit harimau
itu memang tidak tahu, apa yang akan dilakukannya. Mungkin dia akan melanjutkan
pengembaraannya lagi. Dan, dia akan melaku-
kan perjalanan yang tiada ujung akhirnya, yang begitu panjang dan melelahkan.
Tapi, memang sudah demi-kianlah garis perjalanan hidup seorang pendekar kela-na
seperti Pendekar Pulau Neraka. Pendekar kelana
seperti ini tidak akan pernah bisa hidup dalam satu tempat. Dia akan selalu
berpindah-pindah dan selalu menentang maut.
"Kakang, kau tadi bilang bahwa Keris Naga Emas kau dapatkan dari seseorang.
Boleh aku tahu siapa
orangnya...?" Intan Kumala kembali membuka suara.
"Ki Rahun," sahut Bayu.
"Paman Rahun..."!" Intan Kumala tampak agak terkejut mendengar nama yang barusan
disebut Bayu. "Iya, dia mengaku bernama Ki Rahun. Kau kenal
dia, Intan...?"
"Paman Rahun adalah salah seorang pekerja ayah-ku yang sudah dipercaya. Dia yang
membawa aku dan
ibu keluar dari rumah. Oh... kenapa Keris Naga Emas ada padanya...?"
"Katanya, dia mencuri keris itu dari ayahmu. Tapi dia akhirnya menyadari kalau
dirinya hanya diperalat oleh Ki Laksa. Dia mencoba membalas, karena dia pun
kemudian dikhianati. Tapi nasib menentukan lain. Ki Rahun tewas akibat luka-
lukanya terlalu parah,
Sayang..., aku tidak bisa menyelamatkannya," ujar Bayu, pelan.
"Akh..., kenapa begitu banyak orang yang berkhianat...?" keluh Intan Kumala
dengan nada suara yang
terdengar mendesah.
Bayu diam saja. Dan, keduanya kembali terdiam.
Namun mata mereka kini berpandangan. Perlahan-
lahan Bayu melingkarkan tangannya ke pinggang yang
ramping ini, kemudian merengkuhnya dengan lembut
ke dalam pelukan. Sama sekali Intan Kumala tidak
menolak. Dan, saat itu dia merasakan dadanya meng-
gemuruh. "Mhhh...."
Perlahan-lahan kedua kelopak mata Intan Kumala
terpejam saat Bayu mulai mendekatkan wajahnya.
Semakin dekat ke wajah Bayu, semakin terasa pula
kehangatan dari desah nafasnya. Dan, tiba-tiba saja seluruh tubuh gadis itu
menggeletar ketika merasakan sentuhan lembut dan hangat di bibirnya.
"Ohhh...," desah Intan Kumala.
Merasakan tidak ada perlawanan dari gadis ini,
Bayu langsung melumat bibir yang selalu merah
menggairahkan itu. Sedangkan Intan Kumala hanya
mendesah dan menggumam kecil. Dia merasakan ada
sesuatu yang aneh di dalam dirinya, sesuatu yang
sangat asing dan belum pernah dirasakannya selama
ini. Tapi, seperti ada suatu dorongan kuat di dalam dirinya yang membuat dia
melingkarkan tangannya di
leher Pendekar Pulau Neraka. Intan Kumala pun se-
makin mendesakkan tubuhnya lebih ke dalam pada
pelukan, pemuda tampan itu.
Sementara jari-jari tangan Bayu mulai bergerak
menjelajahi tubuh gadis itu, Intan Kumala menggelinjang di dalam pelukan pemuda
ini, sama sekali si Dewi Beruang Putih tidak menyadari kalau jari-jari tangan
Pendekar Pulau Neraka dengan lincah sekali mulai melepaskan pakaiannya. Dan,
ketika Bayu melepaskan
pagutannya.... "Oh..."!"
Intan Kumala seketika tersentak. Dia langsung
menyurukkan kepalanya ke dada Bayu yang bidang
dan tegap. Wajahnya seketika bersemu merah. Entah
apa yang ada di dalam dadanya. Seumur hidupnya, be-
lum pernah dia merasakan hal seperti tadi, sesuatu
yang membuatnya menggeletar. Dia seperti tidak pedu-li bahwa pakaiannya sebagian
sudah terbuka hingga
menampakkan kulit tubuhnya yang putih dan halus.
Baru saja Bayu mengecup pundak gadis itu, tiba-
tiba.... Srek! *** Bayu segera menoleh ketika mendengar suara ber-
gemerisik. Dan, dia tampak terpana begitu tahu-tahu Ratna Wulan muncul dari
kegelapan malam. Gadis itu
juga terbeliak lebar. Dia terkejut setengah mati melihat Intan Kumala berada di
dalam pelukan Pendekar Pulau Neraka.
Beberapa saat Ratna Wulan terpaku diam dengan
mata terbeliak dan mulut ternganga lebar. Dia seakanakan tidak percaya dengan
apa yang disaksikannya
saat ini. Kemudian gadis itu cepat-cepat memutar tubuhnya dan langsung berlari
cepat menjauhi tempat
itu. Pada saat itu juga, Intan Kumala baru melepaskan pelukannya. Dia sempat
melihat sedikit bagian belakang tubuh Ratna Wulan sebelum menghilang ditelan
kegelapan malam dan rimbunnya pepohonan.
Bayu cepat-cepat melepaskan pelukannya pada In-
tan Kumala. Tampak jelas sekali di wajahnya bahwa
dia begitu serba salah. Sebentar dia memandang Intan Kumala, dan sebentar
kemudian menatap ke arah
Ratna Wulan yang sudah tidak terlihat lagi.
"Ayo kita kembali, Intan," ajak Bayu, langsung
mengusir kekakuan yang menghinggapi dirinya.
"Siapa itu tadi?" tanya Intan Kumala, yang memang tidak sempat melihat jelas.
"Ratna Wulan," sahut Bayu.
Intan Kumala yang baru saja melangkah mengikuti
Pendekar Pulau Neraka seketika berhenti berjalan.
Dan, Bayu juga ikut berhenti. Dia memutar tubuhnya
menghadap pada Dewi Beruang Putih. Pandangan ma-
ta mereka langsung bertemu begitu dalam.
"Dia..., dia melihat...," suara Intan Kumala ter-gagap dan terputus.
"Mungkin," sahut Bayu seraya mengangkat bahunya sedikit.
Intan Kumala memandang Pendekar Pulau Neraka
dalam-dalam. Kemudian dia bergegas berlari mening-
galkan pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Intan, tunggu...!" teriak Bayu.
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka mengejar. Se-
dangkan Intan Kumala sudah jauh menembus lebat-
nya hutan yang gelap ini. ***
7 Bayu kelabakan setengah mati, karena pagi ini dia
tidak melihat Ratna Wulan. Padahal, semalam gadis
itu masih terlihat tidur melingkar di dekat Ratu Maya Bukit Tengkorak. Pendekar
Pulau Neraka sudah mencari ke setiap pelosok hutan ini, tapi tidak juga mene-
mukan gadis itu. Ratna Wulan benar-benar mening-
galkannya tanpa pamit. Bayu terduduk lemas di samp-
ing Intan Kumala. Sedangkan Ratu Mayat Bukit Teng-
korak hanya diam memandangi Pendekar Pulau Nera-
ka, yang terus kelihatan gelisah dengan hilangnya
Ratna Wulan. "Sudah kau cari ke sungai, Bayu?" tegur Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
"Sudah. Dia tidak ada di sana," sahut Bayu, lesu.
"Aneh.... Kenapa dia pergi begitu saja...?" desah Ra-tu Mayat Bukit Tengkorak,
seperti bertanya pada diri sendiri.
Tentu saja Bayu dan Intan Kumala tidak menjawab
pertanyaan yang bernada menggumam itu. Mereka


Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya saling melemparkan pandang. Mereka tahu, ke-
napa Ratna Wulan pergi tanpa pamit. Gadis itu pasti merasa marah, kecewa, dan
entah apa lagi, setelah melihat Intan Kumala berada di dalam pelukan Bayu da-
lam keadaan setengah telanjang.
"Mungkin dia punya urusan sendiri yang tidak mau dicampuri, Bayu. Apa Ratna
Wulan pernah cerita sesuatu padamu, Bayu?" ujar Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
"Tidak. Dia jarang bicara, Nek," sahut Bayu tenang.
"Hm..., gadis itu memang pendiam. Dia jarang sekali bicara kalau tidak ditanya,"
gumam Ratu Mayat Bukit Tengkorak, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Bayu dan Intan Kumala diam saja. Sambil meng-
hembuskan napas panjang, Pendekar Pulau Neraka
kemudian bangkit berdiri. Dia mengulurkan tangan
pada Intan Kumala. Dibantunya gadis itu berdiri. Sedangkan Tiren langsung
melompat naik ke pundak
Pendekar Pulau Neraka. Monyet kecil berbulu hitam ini juga tidak bersikap
seperti biasanya. Tidak terdengar sedikit pun celotehnya yang ribut menyakitkan
telinga. Dia seakan-akan mengetahui kegundahan yang sedang
terjadi pada diri Pendekar Pulau Neraka.
"Ayo, kita berangkat," ajak Bayu, memecah kebi-suan yang terjadi di antara
mereka. "Apa tidak sebaiknya kita cari Ratna Wulan dulu, Kakang...?" usul Intan Kumala,
yang merasa bersalah terhadap kepergian Ratna Wulan yang tanpa pamit.
Bayu tidak menjawab. Dia menatap pada Ratu
Mayat Bukit Tengkorak. Sedangkan wanita tua itu ma-
lah mengarahkan pandangannya ke arah lain, seakan-
akan tidak ingin mencampuri urusan ini. Dia seperti membiarkan Pendekar Pulau
Neraka memutuskannya
sendiri. "Aku akan mencarinya kalau urusanmu sudah se-
lesai," kata Bayu.
Intan Kumala hanya mengangkat bahunya sedikit.
Sedangkan Bayu sudah mengayunkan kakinya mengi-
kuti Ratu Mayat Bukit Tengkorak yang sudah lebih du-lu berjalan tiga batang
tombak di depan. Intan Kumala kemudian mensejajarkan langkahnya di samping
Pendekar Pulau Neraka. Tak ada yang berbicara sedikit
pun. Tapi, sesekali Intan Kumala terlihat melirik ke wajah Pendekar Pulau Neraka
di sampingnya. "Kau masih memikirkannya, Kakang?" tegur Intan Kumala.
"Hm...."
Bayu hanya menggumam. Dia melirik pada gadis di
sebelahnya ini. Kakinya terus terayun melangkah dengan teratur. Sedangkan Intan
Kumala terus meman-
dang wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Dia tahu
kalau Bayu masih memikirkan Ratna Wulan yang pergi
begitu saja tanpa pamit.
Entah kenapa, ada perasaan tidak senang di hati
Intan Kumala melihat Bayu diam saja dengan kening
terus berkerut. Timbul dugaan di dalam kepalanya
bahwa Pendekar Pulau Neraka masih terus memikir-
kan Ratna Wulan. Rasa tidak senang gadis cantik pe-
waris Keris Naga Emas ini timbul dan rasa cemburu.
Intan Kumala sendiri tidak tahu, kenapa dia bisa
mencemburui Ratna Wulan. Padahal, baru semalam
dia merasa begitu dekat dengan pendekar tampan ini.
Sedangkan sebelumnya, Bayu sudah bersama-sama
dengan Ratna Wulan.
"Dia tentu sangat berarti bagimu, Kakang," ujar Intan Kumala dengan nada suara
yang terdengar agak
sinis. "Aku merasa bertanggung jawab padanya, Intan,"
sahut Bayu, mencoba meminta pengertian.
Pendekar Pulau Neraka merasakan adanya nada
kecemburuan di dalam suara Intan Kumala barusan.
Bayu langsung menyadari bahwa gadis ini sudah ter-
pikat padanya. Entah terpikat karena apa. Mungkin
karena ketampanannya, atau mungkin karena tingkat
kepandaian yang dimilikinya begitu tinggi. Tapi yang jelas, Bayu tahu bahwa
Intan Kumala mencemburui
Ratna Wulan Dan, itu jelas sekali tersirat dari nada suaranya yang terdengar
sinis tadi. "Bagiku, Ratna Wulan bukan orang lain lagi. Dia kuanggap adikku sendiri. Orang
tua angkatnya meni-tipkan padaku sampai dia bisa bertemu kembali den-
gan orang tua kandungnya. Aku sudah berjanji akan
selalu menjaganya," ujar Bayu, mengatakan yang sebenarnya tentang Ratna Wulan.
"Oh, benarkah...?" desah Intan Kumala, setengah tidak percaya.
"Orang tua angkatnya adalah adik angkat ayahku.
Jadi tidak berlebihan kalau aku juga menganggap-
nya adik. Dan aku masih mempunyai tanggung jawab
yang tidak kecil. Dia harus kupertemukan dengan
orangtua kandungnya," sambung Bayu.
Intan Kumala terdiam. Bayu juga tidak bicara lagi.
Mereka terus berjalan mengikuti langkah kaki Ratu
Mayat Bukit Tengkorak, yang berjalan sekitar satu batang tombak di depan. Tidak
ada lagi yang berbicara.
Dan, tidak ada yang tahu, apa yang ada di dalam hati masing-masing. Tapi,
sesekali tampak Intan Kumala
melirik dan memandangi wajah Pendekar Pulau Neraka
yang berjalan di sampingnya. Entah apa yang ada di
dalam kepalanya saat ini, hanya dia sendiri yang tahu.
Dan, dia sendiri juga tidak bisa menebak isi hati Pendekar Pulau Neraka.
*** Matahari sudah berada di atas kepala. Bayu, Intan
Kumala, dan Ratu Mayat Bukit Tengkorak pun sudah
sampai di depan sebuah bangunan besar yang dikeli-
lingi pagar gelondongan kayu. Bangunan besar ini menyerupai sebuah benteng
pertahanan. Di dalam ban-
gunan seperti benteng itulah ibu kandung Intan Ku-
mala tinggal. "Pertama kali aku datang ke sini, ada dua orang penjaga di depan pintu," gumam
Intan Kumala. 'Tapi kenapa sekarang tidak ada penjaga seorang pun...?"
Keadaan bangunan itu memang kelihatan sepi, se-
perti tidak berpenghuni. Tapi, Bayu mendengar suara-suara orang dari dalam pagar
benteng yang tinggi dan kokoh itu. Pendengarannya memang tajam, sehingga
bisa mengetahui kalau di dalam pagar benteng itu ada orang.
"Coba, aku lihat dulu," kata Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Tapi, baru saja dia berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja dari atas pagar
benteng itu bermunculan
orang-orang yang siap dengan anak panah terpasang
di busur. Perempuan tua bertubuh bungkuk dan ber-
jubah hitam panjang itu langsung menghentikan ayu-
nan kakinya. Sekitar tiga puluh orang di atas pagar benteng itu tampak
mengarahkan panah kepadanya.
"Hm..., sikap mereka seperti menyambut musuh
saja," gumam Bayu, agak mendesis.
"Biar aku bicara dengan mereka, Kakang," kata Intan Kumala.
Belum juga Bayu menjawab, si Dewi Beruang Putih
sudah melangkah ke depan. Dilewatinya Ratu Mayat
Bukit Tengkorak Sementara itu Bayu juga melangkah.
Tapi, dia berhenti setelah sampai di samping perempuan tua bungkuk berjubah
hitam itu. Sedangkan In-
tan Kumala sudah dekat sekali dengan pintu. Sekitar satu batang tombak lagi
jaraknya. Dan yang pasti, gadis itu sudah berada di dalam jangkauan panah yang
terarah kepadanya.
"Dengar...! Kami datang bukan sebagai musuh.
Kami ingin bertemu dengan Nyai Wandari...!"
Lantang sekali suara Intan Kumala. Tapi, tak ada
sahutan sedikit pun dari orang-orang yang berada di atas pagar benteng itu.
Mereka tetap mengarahkan
ujung anak panah masing-masing kepada Dewi Be-
ruang Putih. Sedangkan gadis itu tetap berdiri tegak dengan kepala agak
menengadah ke atas. Dipandanginya orang-orang yang berada di atas pagar benteng
dengan anak panah terpasang pada busurnya. Dan,
tampaknya mereka tinggal menunggu perintah untuk
melepaskan anak-anak panah itu. Intan Kumala ke-
mudian melangkah lagi beberapa tindak.
"Katakan pada pimpinanmu. Aku... Intan Kumala
yang datang membawa pesanannya!" seru Intan Kumala lagi, masih tetap lantang
karena disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Begitu suara Intan Kumala menghilang dari pen-
dengaran, tampak pintu gerbang yang tebal dan kokoh itu bergerak terbuka
perlahan-lahan. Dan, dari balik pintu itu keluar seorang gadis cantik berbaju
biru mu-da, yang didampingi seorang laki-laki setengah baya.
Di belakang mereka, terlihat sekitar sepuluh orang
yang menyandang senjata tombak, pedang, dan golok
di pinggang. Tapi, semuanya tetap berdiri di ambang pintu.
"Kak Intan, cepat masuk...!" seru gadis cantik berbaju biru muda itu lantang.
Intan Kumala berpaling ke belakang. Sebentar ke-
dua matanya menatap pada Ratu Mayat Bukit Tengko-
rak dan Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dia men-
gayunkan kakinya melangkah. Bayu dan Ratu Mayat
Bukit Tengkorak bergegas mengikuti.
Gadis cantik berbaju biru muda yang tak lain ada-
lah Rara Anting, itu pun bergegas memeluk Intan Ku-
mala. Langsung saja dia memberikan ciuman di pipi si Dewi Beruang Putih.
"Ayo masuk...," ajak Rara Anting.
Pintu gerbang itu segera tertutup kembali begitu
mereka sudah berada di dalam. Rara Anting dan lelaki setengah baya yang tak lain
adalah Paman Gaduk
membawa mereka masuk ke bangunan utama yang
berdiri di tengah-tengah pagar benteng ini. Di dalam bangunan itu sudah menunggu
Nyai Wandari. Perempuan berusia setengah baya yang masih kelihatan cantik itu
mempersilakan tamu-tamunya ini duduk.
Tidak ada kursi ataupun meja di dalam ruangan
yang berukuran cukup besar ini. Mereka semua duduk
bersila di lantai kayu yang beralaskan permadani tebal berwarna merah muda yang
lembut. Rara Anting duduk di samping si Dewi Beruang Putih. Mereka duduk
tepat di depan Nyai Wandari. Sedangkan Bayu dan Ra-
tu Mayat Bukit Tengkorak berada di sebelah kanan,
agak di belakang Nyai Wandari.
"Aku bawa Keris Naga Emas yang kau inginkan,
Nyai," kata Intan Kumala dengan nada suaranya agak ditekan.
Terasa canggung sekali suara dan sikap Dewi Be-
ruang Putih. Gadis itu mengeluarkan Keris Naga Emas dari balik ikat pinggangnya.
Kemudian, keris itu dile-takkannya dengan hati-hati di depan Nyai Wandari.
Perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik itu menjumput Keris Naga
Emas. Beberapa saat dia
memperhatikan, lalu bibirnya tampak tersenyum sam-
bil mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian dia
memandang Intan Kumala dalam-dalam. Dan, tiba-tiba
saja kedua bola matanya terlihat berkaca-kaca.
"Anakku...," desis Nyai Wandari, mendesah.
"Oh, Ibu...."
Intan Kumala tidak dapat lagi menahan perasaan
hatinya. Dia langsung menghambur dan memeluk
ibunya yang sudah lima belas tahun terpisah dengan-
nya ini. Saat itu juga, semua orang yang berada di dalam ruangan ini menundukkan
kepala. Mereka sea-
kan-akan tidak sanggup menyaksikan pertemuan yang
begitu mengharukan ini. Rara Anting pun sampai me-
nitikkan air mata, walaupun bibirnya yang bergetar terlihat menyunggingkan
senyum. Entah berapa lama Intan Kumala dan ibunya ber-
pelukan saling menumpahkan seluruh kerinduannya
yang selama ini terpendam dalam di hati. Perlahan-
lahan Nyai Wandari melepaskan pelukannya. Dipan-
danginya wajah Intan Kumala dalam-dalam, seakan-
akan ingin menuntaskan kerinduannya. Sedangkan In-
tan Kumala mengusap air mata yang membasahi selu-
ruh wajahnya. Dia kembali duduk bersila di samping
Rara Anting. Kesunyian masih terjadi beberapa saat
lamanya di dalam ruangan yang berukuran cukup be-
sar ini. *** "Intan, bagaimana kau bisa mendapatkan Keris
Naga Emas ini?" tanya Nyai Wandari setelah bisa menenangkan dirinya kembali.
"Keris itu ada pada Kakang Bayu," sahut Intan Kumala, sambil melirik pemuda
tampan berpakaian
kulit harimau. Nyai Wandari langsung menatap pada pemuda
tampan berbaju kulit harimau itu. Dan, sesaat kemu-
dian pandangannya tertuju langsung pada perempuan
tua bertubuh bungkuk dan berjubah panjang hitam
yang duduk di samping Bayu. Tapi Nyai Wandari ce-
pat-cepat mengalihkan pandangannya kembali kepada
Bayu begitu Ratu Mayat Bukit Tengkorak membalas
tatapannya dengan tidak kalah dalamnya.
'Terima kasih, Anak Muda," ucap Nyai Wandari.
Bayu hanya tersenyum. Kepalanya sedikit ter-
angguk. Sedangkan Ratu Mayat Bukit Tengkorak diam
saja. Sedikit pun perempuan tua itu tidak membuka
suara. Dia masih tetap diam meskipun beberapa kali
memergoki Nyai Wandari memperhatikannya dengan
begitu dalam. Dan, Ratu Mayat Bukit Tengkorak me-
nebak, Nyai Wandari pasti sedang berusaha mengin-
gat-ingat perihal dirinya.
"Anak muda, Boleh aku tahu bagaimana kau bisa
mendapatkan Keris Naga Emas ini?" tanya Nyai Wandari.
"Seseorang yang memberikannya kepadaku," sahut Bayu.
"Seseorang..." Siapa?" tanya Nyai Wandari.
Tanpa diminta lagi, Pendekar Pulau Neraka mence-
ritakan semuanya tentang bagaimana dia memperoleh
Keris Naga Emas itu. Juga, bagaimana di berusaha untuk bisa menyelamatkan nyawa
Ki Rahun yang akhir-
nya tidak bisa tertolong lagi. Bayu bercerita. Ki Rahun hanya bisa menyerahkan
Keris Naga Emas kepadanya,
sebelum menghembuskan napas terakhir. Bahkan, Ki
Rahun sempat pula memberikan pesan terakhir yang
harus dikerjakan Pendekar Pulau Neraka. Dan, pesan
yang kelihatannya sangat menyenangkan itu ternyata
membuat Bayu terpaksa beberapa kali bertarung.
"Oh, jadi Rahun sudah meninggal...?" desah Nyai Wandari dengan suara agak
tertahan. "Ya, aku tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Lu-ka-luka akibat pertarungannya
dengan Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa terlalu parah. Dia meninggal setelah
memberikan Keris Naga Emas sambil berpesan
kepadaku," jelas Bayu lagi.
(Untuk lebih jelas lagi, baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode "Tiga
Pengemis Sakti" dan "Dewi Beruang Putih")
"Lalu, bagaimana dengan Laksa dan si Perampok


Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiga Nyawa?" tanya Nyai Wandari lagi, ingin tahu lebih dalam.
"Mereka sudah mati semua, Bu," sahut Intan Kumala.
"Oh, benarkah..."!"
Intan Kumala mengangguk meyakinkan. Tergurat
kelegaan dalam hembusan napas Nyai Wandari begitu
mengetahui kalau orang yang mengkhianati dan mem-
bunuh suaminya sudah tewas. Tapi, sesaat kemudian
wajahnya langsung diselimuti mendung.
"Kakang Bayu yang menewaskan mereka semua,"
kata Intan Kumala lagi, sambil melirik pada Pendekar Pulau Neraka.
"Mereka orang-orang yang berkepandaian tinggi.
Tentu kau memiliki tingkat kepandaian yang sangat
tinggi hingga bisa mengalahkan mereka, Anak Muda,"
kata Nyai Wandari.
Pada saat itu, masuk seorang anak muda dengan
sebilah pedang tergantung di pinggang. Pemuda itu
membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Nyai
Wandari hanya menganggukkan kepalanya sedikit un-
tuk membalas penghormatan anak muda yang usianya
sekitar dua puluh dua tahun itu.
"Ada apa?" tanya Nyai Wandari.
"Mereka sudah datang, Nyai. Jumlah mereka se-
makin bertambah banyak saja."
"Hm...."
Nyai Wandari menggumam perlahan. Sebentar dia
memandangi Bayu dan Ratu Mayat Bukit Tengkorak
bergantian, lalu beralih memandangi kedua anak ga-
disnya, kemudian kembali menatap pada pemuda yang
masih berdiri di ambang pintu dengan tubuh agak
membungkuk itu.
"Siapkan semua orang yang ada. Sebentar lagi aku keluar," kata Nyai Wandari,
tegas. "Baik, Nyai," sahut pemuda itu seraya menjura memberi hormat.
Kemudian pemuda itu bergegas meninggalkan
ruangan ini. Saat itu Nyai Wandari bangkit berdiri dari duduknya, lalu diikuti
Paman Gaduk. Dan, semua
yang berada di ruangan ini juga bergegas berdiri. Tapi, tidak ada yang
mendahului berjalan keluar dari rumah ini. Kemudian Nyai Wandari pun melangkah
keluar, setelah mengedarkan pandangannya berkeliling bebe-
rapa saat. "Siapa yang datang, Anting?" tanya Intan Kumala, berbisik perlahan di dekat
telinga Rara Anting.
"Mereka yang mau merebut tempat ini," sahut Rara Anting.
"Siapa mereka?" tanya Intan Kumala lagi.
Sementara itu Nyai Wandari dan Paman Gaduk su-
dah sampai di luar ruangan, diikuti Bayu dan Ratu
Mayat Bukit Tengkorak. Sedangkan Intan Kumala dan
Rara Anting masih tetap berada di dalam ruangan de-
pan yang berukuran cukup luas dan kelihatan begitu
lapang ini, karena tidak ada satu pun barang di da-
lamnya. "Gerombolan perampok yang ingin menguasai hu-
tan ini. Mereka tidak senang dan merasa terganggu
dengan berdirinya padepokan ini. Sudah beberapa kali mereka berusaha
menghancurkan dan merebutnya,
tapi ibu dan semua murid-muridnya berhasil mengha-
lau mereka," Rara Anting menjelaskan dengan singkat keadaan di dalam lingkungan
benteng padepokan ini.
"Hm, kenapa ibu tidak menceritakan hal ini kepadaku...?" gumam Intan Kumala,
seperti berbicara pada diri sendiri. "Dan kau juga, Anting, kenapa waktu itu
tidak mengatakannya kepadaku?"
"Maafkan aku, Kak Aku memang dilarang ibu untuk menceritakan hal ini kepadamu
sebelum ibu mera-
sa yakin kalau kau adalah Intan Kumala," sahut Rara Anting.
Intan Kumala mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dia bisa mengerti akan semua yang diucapkan Rara
Anting barusan. Kemudian dia mengajak adik satu-
satunya ini keluar. Tanpa membantah sedikit pun, Ra-ra Anting melangkah
mengikuti kakaknya yang sudah
lebih dahulu berjalan keluar.
*** 8 Intan Kumala bergegas menghampiri Bayu begitu
sampai di luar. Sungguh dia terkejut bukan main, karena sudah terjadi
pertempuran yang begitu sengit luar benteng bangunan padepokan ini. Jeritan-
jeritan melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Tampak
murid-murid Nyai Wandari melepaskan anak-anak pa-
nah dari atas pagar benteng. Sedangkan Nyai Wandari sendiri terlihat berdiri di
atas menara, didampingi Paman Gaduk. Sementara itu, di halaman yang luas,
terlihat lebih dari lima puluh orang sudah siap dengan senjata. terhunus di
tangan. Mereka semua berdiri dan berbaris dengan rapi menghadap ke pintu
gerbang. Der! Der! Der! Tampak pintu gerbang yang kokoh itu bergetar dis-
ertai dengan suara yang begitu keras menggetarkan
hati. Rupanya orang-orang yang berada di luar pagar benteng ini tengah berusaha
untuk mendobrak pintu.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terus terdengar, disertai dengan
dentingan-dentingan senjata yang beradu dengan anak-anak panah.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Bayu melentingkan tubuhnya ke
udara. Begitu cepat dan ringan gerakannya, sehingga dalam sekejap saja Pendekar
Pulau Neraka sudah
hinggap di atas pagar benteng yang mengelilingi bangunan besar padepokan ini.
Kening pemuda, berbaju
kulit harimau itu tampak berkerut ketika melihat begitu banyak orang tengah
berusaha menerobos masuk
ke dalam benteng ini, meskipun anak-anak panah te-
rus menghujani tanpa henti.
Bayu berpaling sedikit saat merasakan ada orang
mendarat tepat di sebelah kanannya. Ternyata Nyai
Wandari yang menghampirinya. Pendekar Pulau Nera-
ka kembali mengarahkan pandangan keluar benteng
ini. Jelas sekali terlihat, tidak sedikit dari orang-orang di luar sana yang
sudah menggeletak tak bernyawa ter-tembus panah.
"Siapa pemimpin mereka, Nyai?" tanya Bayu.
"Garang Dungkul," sahut Nyai Wandari. "Itu yang ada di bawah pohon kenanga."
Bayu mengarahkan pandangannya mengikuti jari
telunjuk Nyai Wandari. Di bawah sebatang pohon ke-
nanga, memang terlihat seorang laki-laki bertubuh
tinggi tegap dengan wajah yang kasar dan dipenuhi
brewok. Sebilah golok yang berukuran sangat besar
tampak tersandang di pundaknya.
"Apakah dia memimpin mereka semua seorang diri saja, Nyai?" tanya Bayu.
"Ya, dia memang memimpin sendiri," sahut Nyai Wandari.
"Hm...."
Bayu menggumam perlahan. Dia merasa aneh ada
orang yang bisa memimpin begitu banyak anak buah
seorang diri saja. Biasanya, seorang pemimpin sebuah kelompok selalu didampingi
oleh wakil-wakil kepercayaan. Tapi, Garang Dungkul sama sekali tidak di-
dampingi seorang wakil pun. Sementara itu teriakan-
teriakan Garang Dungkul yang memberi perintah begi-
tu keras terdengar menggelegar. Suaranya mengalah-
kan teriakan-teriakan dan jeritan-jeritan melengking dari orang-orangnya yang
berjumlah begitu banyak,
yang terus berusaha menerobos masuk ke dalam ben-
teng padepokan Nyai Wandari ini.
"Kau jangan heran melihat kenekatan mereka,
Bayu. Mereka orang-orang yang tidak mengenal kata
takut. Mereka tidak pernah peduli, meskipun sudah
banyak yang tewas," kata Nyai Wandari lagi.
"Hentikan pertumpahan darah ini, Nyai," kata Bayu, tegas.
"Apa..."!"
Nyai Wandari tampak terkejut mendengar permin-
taan Bayu yang tidak diduganya sama sekali itu. Dipandanginya wajah tampan
Pendekar Pulau Neraka.
dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kesunggu-
han hati dari kata-katanya barusan. Sedangkan yang
dipandangi malah menatap pada Garang Dungkul
dengan sinar mata yang begitu tajam.
"Aku akan menantang pemimpinnya," kata Bayu lagi, dengan nada suara yang tetap
tegas. "Kau jangan gila-gilaan, Bayu!" sentak Nyai Wandari. Bayu tersenyum saja.
"Aku akan membuat perjanjian dengannya, Nyai.
Aku akan mengusir mereka tanpa harus mengeluarkan
darah lebih banyak lagi," sambung Bayu.
Nyai Wandari masih belum percaya dengan ke-
sanggupan Pendekar Pulau Neraka ini untuk menan-
tang Garang Dungkul, seorang pemimpin gerombolan
perampok yang sangat tinggi kepandaiannya. Selain
itu, kekejamannya juga sudah begitu terkenal. Dia tidak pernah membiarkan lawan-
lawannya tetap hidup.
Dia akan membunuh siapa saja yang berani menan-
tangnya. "Perintahkan murid-muridmu menghentikan se-
rangannya, Nyai," pinta Bayu, tegas.
"Kau akan dilumatnya habis, Bayu," kata Nyai Wandari, masih mencoba mencegah
keinginan Bayu untuk menantang pemimpin gerombolan perampok itu.
"Percayalah kepadaku, Nyai," ujar Bayu, berusaha meyakinkan Nyai Wandari.
Sebentar Nyai Wandari termenung berpikir. Kemu-
dian dia memerintahkan murid-muridnya untuk ber-
henti menghujani perampok-perampok itu dengan
anak panah. Begitu terdengar teriakan keras dari Nyai Wandari, panah-panah itu
pun berhenti berhamburan.
Saat itu juga Bayu hendak melompat turun. Tapi,Nyai Wandari cepat mencegahnya.
"Bawa ini, Bayu," kata Nyai Wandari sambil menyerahkan Keris Naga Emas.
Bayu hanya memandangi senjata pusaka berwarna
kuning keemasan yang berbentuk seekor naga itu.
"Aku sengaja mencari Keris Naga Emas ini untuk menghadapi Garang Dungkul. Tapi
karena kau yang
akan menghadapinya, maka keris ini aku serahkan
padamu," kata Nyai Wandari lagi.
'Terima kasih, Nyai. Simpan saja pusaka itu. Aku
tidak akan bisa menggunakannya," tolak Bayu, halus.
Setelah berkata begitu, Bayu segera melompat ke-
luar dari benteng padepokan ini. Begitu indah dan ringan gerakannya. Nyai
Wandari sendiri tidak dapat lagi mencegahnya. Perempuan setengah baya itu pun
me-nyimpan kembali Keris Naga Emas ke balik lipatan bajunya.
Tepat di saat Pendekar Pulau Neraka mendarat di
tanah, Intan Kumala dan Rara Anting sampai di samp-
ing ibunya. Mereka tampak terkejut melihat Bayu sudah berada di luar pagar
benteng padepokan ini. Se-
dangkan perampok-perampok itu juga menghentikan
usahanya mendobrak pintu. Mereka langsung bergerak
mengepung Pendekar Pulau Neraka. Tampak pemuda
berbaju kulit harimau itu melangkah tegap mengham-
piri Garang Dungkul yang masih tetap berdiri angkuh di bawah pohon kenanga.
"Mau apa Kakang Bayu ke sana, Bu?" tanya Intan Kumala.
"Menantang Garang Dungkul," sahut Nyai Wandari.
"Heh..."!"
Bukan hanya Intan Kumala yang terkejut, tapi Ra-
ra Anting juga tersentak kaget mendengar jawaban
ibunya. Saat itu juga tersirat kecemasan di wajah Intan Kumala. Dia begitu
cemas, karena Bayu akan
menghadapi pemimpin gerombolan perampok itu seo-
rang diri saja. Tapi, saat itu Bayu sudah melangkah menghampiri Garang Dungkul,
dengan ayunan kaki
yang tegap dan mantap.
*** "Kau yang bernama Garang Dungkul?" tanya Bayu dengan nada suara yang agak dalam
begitu berada sekitar dua batang tombak lagi di depan laki-laki bertubuh tinggi
tegap dan berwajah kasar penuh brewok itu.
"Phuih!" Garang Dungkul menyemburkan ludahnya. "Benar, aku yang bernama Garang
Dungkul. Mau apa kau kemari?"
"Aku akan menantangmu bertarung, Garang
Dungkul," sahut Bayu, tegas.
"Ha ha ha...!"
Garang Dungkul tertawa terbahak-bahak menden-
gar tantangan terbuka yang diucapkan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu diam
saja sambil menatap tajam pada laki-laki berwajah kasar ini. Sementara itu semua
anak buah Garang Dungkul sudah membuat
lingkaran mengepung tempat keduanya berdiri.
Di atas pagar benteng, terlihat Nyai Wandari dan
kedua putrinya serta murid-muridnya menyaksikan
dengan hati berdebar cemas. Tapi, tak ada seorang
pun yang bisa berbuat sesuatu. Mereka hanya bisa
memohon perlindungan bagi Pendekar Pulau Neraka
pada Sang Hyang Widi di dalam hati.
"Dengar, Garang Dungkul. Kalau kau bisa menga-
lahkan aku, kau boleh menduduki padepokan itu. Tapi kalau kau yang kalah, kau
harus membawa pergi semua anak buahmu. Dan jangan kembali lagi ke sini,"
kata Bayu, memberikan penawaran.
"Phuih! Matamu sudah buta, Bocah! Apa kau tidak tahu siapa aku, heh..."!" bentak
Garang Dungkul, sengit. "Justru karena aku tahu siapa kau, maka aku ingin
menantangmu bertarung, Garang Dungkul," sahut
Bayu, mantap. "Edan...! Apa yang kau andalkan, Bocah?"
"Keyakinan untuk mengalahkanmu."
"Phuih!"
Merah padam seluruh wajah Garang Dungkul
mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka yang be-
gitu tenang dan mantap. Dia merasa direndahkan dan
tidak dipandang sebelah mata. Baru kali ini dia ditantang oleh seorang pemuda
yang usianya jauh di ba-
wahnya. Tapi, tantangan yang dilontarkan secara terbuka ini tidak mungkin bisa
ditolak lagi. Dia akan kehilangan muka kalau menolak tantangan terbuka se-
perti ini. "Baik, aku terima tawaranmu, Bocah. Tapi aku
akan menambahkan tawaranmu," kata Garang Dung-
kul. "Katakan," balas Bayu.
"Aku akan membantai semua yang ada di dalam
sana. Dan kau harus menyaksikan semua itu. Menger-
ti..."!"
Lantang sekali suara Garang Dungkul, sehingga
sampai terdengar oleh mereka yang berada di atas pagar benteng padepokan itu.
"Kau tidak akan bisa mengumbar nafsumu, Garang Dungkul," ujar, Bayu yang nada
suaranya kali ini terasa sinis.
"Keparat..!" geram Garang Dungkul, tak bisa lagi menahan kemarahannya. "Mampus


Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Garang Dungkul melompat sambil
mengayunkan goloknya yang besar ke arah kepala pe-
muda berbaju kulit harimau ini. Tapi, dengan gerakan yang begitu manis, Bayu
berhasil menghindari serangan itu. Dan, cepat-cepat dia melompat ke belakang
beberapa langkah.
"Hiyaaa...!"
Baru saja Bayu menjejakkan kakinya di tanah, Ga-
rang Dungkul sudah melakukan serangan lagi secara
beruntun dengan cepat sekali. Bayu pun terpaksa berjumpalitan menghindarinya.
Pendekar Pulau Neraka mencoba mencari peluang
untuk balas menyerang. Tapi, Garang Dungkul ru-
panya tidak mau memberi kesempatan sedikit pun ke-
pada lawannya untuk balas menyerang. Cepat sekali
dia kembali menyerang dengan goloknya yang besar
dan berkilatan tajam. Bayu pun harus berjumpalitan
lagi. Tubuhnya meliuk-liuk menghindari setiap serangan yang datang begitu cepat
dan dahsyat luar biasa ini. "Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Semakin dahsyat saja serangan-serangan yang di-
lancarkan Garang Dungkul. Semua orang yang me-
nyaksikan pertarungan itu pun tampak menahan na-
pas. Dan, gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kedua orang yang tengah bertarung
ini terlihat begitu cepat, sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata biasa.
Hanya bayangan-bayangan yang terlihat berkelebatan
begitu cepat. Pertarungan itu berjalan begitu dahsyat. Garang
Dungkul langsung mengerahkan jurus-jurusnya yang
dahsyat dan sangat berbahaya. Goloknya yang beruku-
ran raksasa berkelebatan begitu cepat di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Entah sudah berapa jurus
berlalu, tapi tampaknya pertarungan itu masih akan
terus berlangsung dan semakin bertambah sengit saja.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
"Hap!"
Tepat ketika Garang Dungkul membabatkan golok-
nya ke dada, cepat sekali Bayu mengatupkan kedua telapak tangannya di depan
dada. Sehingga ujung golok yang berkilatan tajam itu terjepit di antara kedua
tan- gan yang merapat itu.
"Ihhh...!"
Garang Dungkul terkejut setengah mati. Cepat-
cepat dia menarik senjatanya disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Dan,
pada saat itu juga....
"Hih!"
Bayu malah menghentakkan kedua tangannya me-
lepaskan jepitan pada golok itu. Hingga tak pelak lagi, Garang Dungkul jadi
tersentak. Dia langsung terhuyung ke belakang, tidak bisa lagi menguasai ke-
seimbangan tubuhnya. Dan, pada saat itu pula, den-
gan kecepatan bagai kilat, Bayu melompat sambil me-
lepaskan satu tendangan keras menggeledek yang
mengarah ke dada.
"Hiyaaa...!"
"Hih!"
Tanpa diduga sama sekali, Garang Dungkul malah
mengebutkan goloknya ke depan. Cepat-cepat Bayu
memutar tubuhnya. Dihindarinya sambaran golok itu.
Lalu, beberapa kali Bayu melakukan putaran di udara.
Dan, dengan manis sekali dia menjejakkan kakinya di tanah, sekitar dua batang
tombak di depan Garang
Dungkul. "Hap!"
Cepat-cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri
dan mendoyongkan sedikit ke depan. Kedua kakinya
dipentang lebar ke samping. Sorot matanya yang begi-tu tajam terarah lurus ke
bola mata laki-laki bertubuh tinggi besar dan berwajah kasar penuh brewok itu.
"Hiya! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu menghentakkan tangan ka-
nannya yang menyilang di depan dada. Tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka itu terulur ke depan. Saat itu juga, terlihat Cakra Maut
yang selama ini menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka meluncur
deras. "Hup!"
Garang Dungkul cepat-cepat melentingkan tubuh-
nya ke udara dan melakukan putaran beberapa kali.
Dihindarinya terjangan senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Tapi, baru saja
dia menjejakkan kakinya di tanah, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya.
Cakra Maut kembali melesat begitu cepat.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil melompat ke udara, Garang Dungkul men-
gebutkan goloknya dengan cepat, tepat di saat Cakra Maut hampir menembus
dadanya. Dua senjata pun
langsung berbenturan begitu keras, sampai menim-
bulkan ledakan yang dahsyat luar biasa, bagai ledakan gunung berapi yang murka
akibat ulah manusia yang
tidak bertanggung jawab.
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu melenting ke udara sambil
menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Ca-
kra Maut kembali menempel di pergelangan tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka dengan cepat sekali.
Dan, tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau itu su-
dah melompat begitu cepat dan meluruk deras ke arah Garang Dungkul.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat serangan yang dilancarkan Bayu kali
ini. Akibatnya Garang Dungkul, yang masih berusaha
menguasai diri akibat benturan goloknya dengan Ca-
kra Maut tadi, tidak dapat lagi menghindari tendangan menggeledek yang
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka
dari udara. Des! "Akh...!"
Garang Dungkul memekik sedikit begitu tendangan
yang dilepaskan Bayu mendarat telak di dadanya. Se-
ketika itu juga tubuhnya terpental deras ke belakang.
Sebatang pohon yang terlanda tubuh besar itu lang-
sung hancur berkeping-keping. Dan, saat itu juga
Bayu sudah kembali melompat tinggi-tinggi ke udara.
"Hiyaaa...!"
Bet! Slap! Kembali Cakra Maut melesat cepat begitu tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka mengibas ke depan. Ce-
pat sekali senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu meluncur, sehingga Garang
Dungkul yang baru saja men-
coba bangkit berdiri tidak dapat lagi menghindari.
Dan... Crab! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar menyayat ketika
Cakra Maut menembus da-da Garang Dungkul. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu
menggelepar di tanah. Darah langsung muncrat keluar begitu Cakra Maut melesat
balik dan kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Ne-
raka. "Hap!"
Ringan sekali Bayu menjejakkan kakinya kembali
di tanah. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh
yang dimilikinya. Sehingga, tak sedikit pun terdengar suara saat tubuhnya
mendarat tidak jauh dari Garang Dungkul, yang menggeletak dan menggelepar
meregang nyawa di antara puing-puing kayu pohon yang
terlanda tubuhnya tadi.
"Kau..., kau...
Akh!" Garang Dungkul tidak mampu lagi menyelesaikan
ucapannya. Dia langsung mengejang kaku dan tewas
seketika dengan dada berlubang berlumuran darah.
Melihat pemimpinnya tewas, seketika itu juga
orang-orang yang mengepung Bayu langsung berlarian
mengambil langkah seribu. Sedangkan Pendekar Pulau
Neraka tersenyum saja melihat anak buah si Garang
Dungkul berserabutan melarikan diri.
Sementara itu dari dalam benteng, berhamburan-
lah semua murid Nyai Wandari. Di antara mereka, terlihat pula Intan Kumala, Rara
Anting, dan Nyai Wan-
dari sendiri. Mereka setengah berlari menghampiri
Pendekar Pulau Neraka.
Nyai Wandari langsung menyodorkan tangan begitu
sampai di dekat pemuda berbaju kulit harimau ini.
Dan, Bayu langsung menyambutnya dengan senyum
tersungging di bibir.
'Terima kasih, kau telah menyelamatkan padepo-
kanku," ucap Nyai Wandari, tulus.
"Sudah sepantasnya sesama makhluk hidup saling membantu, Nyai," sambut Bayu,
merendah. "Bayu, sebagai ucapan rasa terima kasihku, mau-kah kau tinggal beberapa hari di
padepokanku," pinta Nyai Wandari.
Bayu belum bisa menjawab permintaan itu. Tapi,
Intan Kumala sudah mendesak dibantu adiknya. Pen-
dekar Pulau Neraka pun tidak bisa lagi menolak per-
mintaan mereka. Dia hanya menganggukkan kepala
saja. Dan Intan Kumala tampak tersenyum cerah meli-
hat anggukan kepala Pendekar Pulau Neraka.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
Darah Perempuan Iblis 1 Dewi Ular Parit Kematian Bara Api Di Laut Kidul 2
^