Pewaris Keris Naga Emas 1
Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas Bagian 1
PEWARIS KERIS NAGA EMAS Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Suhardi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Pewaris Keris Naga Emas
136 hal. ; 12 x 18 cm
1 Bayu duduk diam bersila memandangi Dewi Be-
ruang Putih yang juga duduk bersila dengan sikap bersemadi. Kedua telapak tangan
gadis berpakaian putih compang-camping dan penuh tambalan itu menempel
rapat di depan dada. Kedua matanya terlihat terpejam.
Sedangkan tidak jauh di belakang Dewi Beruang Putih, terlihat seekor beruang
berbulu putih seperti kapas mendekam diam dan memperhatikan gadis itu juga.
Sesekali binatang bertubuh raksasa ini memandang
pada pemuda berbaju kulit harimau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar
Pulau Neraka. Entah sudah berapa lama Dewi Beruang Putih du-
duk bersila dan bersemadi sejak bertarung dengan Ki Laksa dan si Perampok Tiga
Nyawa. Sedangkan Bayu
tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Dan, memang Dewi
Beruang Putih tidak menginginkan pertolongan Pende-
kar Pulau Neraka. Dia masih bisa mengatasi keadaan
dirinya sendiri dengan cara bersemadi.
"Heh! Panas sekali udara di sini," keluh Bayu, perlahan.
Begitu pelan suara Pendekar Pulau Neraka, hingga
hanya dia sendiri yang mendengarnya. Dan, memang
Bayu merasakan udara di sekitarnya menjadi terasa
begitu panas. Bahkan, semakin lama semakin bertam-
bah menyengat, bagaikan berada dekat dengan tungku
api pembakaran. Keringat mulai terlihat menitik di
kening Pendekar Pulau Neraka.
Udara terasa semakin bertambah panas. Bahkan,
rerumputan dan dedaunan mulai kelihatan menguning
kering. Pohon-pohon pun mulai menggugurkan daun-
nya. Bayu sendiri mulai merasa tidak tahan dengan
udara yang semakin panas menyengat ini. Sambil
menghembuskan napas panjang, dia kemudian bang-
kit berdiri. Sebentar pandangannya tertuju pada Dewi Beruang Putih yang masih
duduk bersemadi ditemani
Beruang Putih peliharaannya. Ketika kepala Pendekar Pulau Neraka sedikit
mendongak ke atas, keningnya
langsung berkerut. Karena, meskipun saat itu mataha-ri sedikit tertutup oleh
awan, udara di sekitar Bayu terus bertambah panas dan menyengat, seakan-akan in-
gin membakar seluruh kulit tubuhnya.
Hawa panas yang dirasakan Pendekar Pulau Nera-
ka semakin lama semakin menggila saja. Bayu hampir
tidak tahan lagi. Namun, baru saja dia hendak mengerahkan hawa murni untuk
menahan sengatan hawa
panas itu, mendadak terjadi perubahan yang begitu
cepat. Hawa panas yang dirasakan begitu menyengat
ini mendadak menghilang. Dan, langsung berganti
dengan udara dingin yang menggigilkan.
"Ugkh...!"
Bayu langsung teringat ketika dirinya berada di
pinggiran Jurang Setan. Ketika itu dia merasakan hal yang sama dengan yang
dialaminya sekarang ini. Hawa panas dan dingin yang bergantian itu begitu cepat
membuat peredaran darahnya terganggu (Baca serial
Pendekar Pulau Neraka dalam kisah "Tiga Pengemis Sakti"). Tubuh Pendekar Pulau
Neraka terlihat bergidik dan menggigil kedinginan. Pandangannya tertuju lurus
pada Dewi Beruang Putih yang masih tetap diam, duduk bersila dengan sikap
bersemadi. Cukup lama juga Bayu merasa tersiksa dalam uda-
ra yang begitu dingin menggigilkan ini. Dari langit pun turun gumpalan-gumpalan
putih seperti kapas. Dan,
sebentar saja sekitar hutan itu dipenuhi oleh gumpalan-gumpalan putih yang
menyebarkan udara dingin
membekukan tulang.
"Hep!"
Tidak ada jalan lain bagi Bayu. Dia segera menya-
lurkan hawa murni ke seluruh tubuhnya. Hawa murni
yang terasa hangat membuat tubuhnya tidak lagi
menggigil kedinginan. Pendekar Pulau Neraka kembali duduk bersila. Kedua telapak
tangannya dirapatkan di depan dada. Dia merasakan, semakin kuat hawa murni
dikerahkannya, semakin keras pula hawa dingin itu merasuk ke dalam tubuhnya. Hal
itu membuat darahnya bergolak, seakan-akan ada pertentangan di dalam tubuhnya.
*** Entah berapa lama Pendekar Pulau Neraka duduk
bersila dengan sikap bersemadi melawan hawa dingin
yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Bahkan, kini
gumpalan-gumpalan putih bagai kapas sudah menu-
tupi hampir seluruh tubuhnya. Hanya bagian leher
dan kepalanya yang masih terlihat.
Sementara itu, Dewi Beruang Putih masih tetap
bersemadi. "Hup!"
Tiba-tiba saja gadis berbaju putih dan compang-
camping penuh tambalan itu melompat bangkit berdiri.
Sebentar dia melakukan beberapa gerakan yang indah
dan lembut. Kemudian tubuhnya berdiri tegap, se-
dangkan matanya memandang ke arah matahari yang
saat itu mulai terlihat condong ke arah Barat.
"Oh..."!"
Dewi Beruang Putih tampak terkejut. Dia melihat,
tidak jauh di depannya, seorang pemuda berwajah
tampan duduk bersila dengan seluruh tubuh terbung-
kus gumpalan putih seperti kapas. Bergegas gadis itu menghampiri sambil terus
mengamati. Sedangkan pemuda tampan yang tak lain adalah Bayu tetap diam
dengan mata terpejam rapat.
"Hep...!"
Cepat-cepat Dewi Beruang Putih menghentakkan
kedua tangannya ke depan, sambil duduk bersila di
depan Pendekar Pulau Neraka. Dan, seketika itu juga dari kedua telapak tangannya
memancar cahaya merah bagai api yang berkobar. Cahaya merah itu langsung
menyelubungi seluruh tubuh Pendekar Pulau Ne-
raka. "Hup...!"
Hanya sebentar kemudian, Dewi Beruang Putih
sudah melompat ke belakang sejauh tiga langkah.
Dan, saat itu juga Bayu membuka kelopak matanya.
Tidak ada lagi gumpalan putih yang menyelimuti tu-
buhnya. Perlahan Pendekar Pulau Neraka bangkit ber-
diri. Pandangannya langsung tertuju pada gadis berba-ju putih compang-camping
dan penuh tambalan di de-
pannya. Gadis itu juga memandangi wajah Pendekar
Pulau Neraka dengan sinar mata yang kelihatan cukup tajam, sedikit terlindung
oleh rambutnya yang meriap tak beraturan.
Entah berapa lama mereka berdiam diri dan berta-
tapan saja dengan sinar mata yang cukup tajam. Ke-
mudian Dewi Beruang Putih menggerakkan kepalanya
perlahan. Pandangannya mengarah ke sekeliling tem-
pat ini. Dia melihat, tidak jauh darinya tergeletak dua sosok tubuh tak bernyawa
lagi. Dan, di atas sebatang pohon terlihat pula sesosok tubuh tersampir di
sebatang cabang yang cukup besar dan kuat. Dia tahu,
mayat-mayat itu adalah Ki Laksa dan dua orang dari si Perampok Tiga Nyawa.
"Kau yang membunuh mereka...?" tanya Dewi Beruang Putih.
Nada suara gadis itu terdengar begitu dingin. Bah-
kan, tak ada tekanan nada sedikit pun pada suaranya.
Pandangannya kembali tertuju tajam pada Pendekar
Pulau Neraka. "Kenapa kau bertanya begitu?" Bayu malah balik bertanya.
Pendekar Pulau Neraka tahu, gadis berpakaian
pengemis ini sesungguhnya sudah tahu bahwa dialah
yang menewaskan ketiga laki-laki tua itu. Dan, kalau tidak ada Bayu, mungkin
gadis ini dan beruang putih raksasanya sudah tewas di tangan Ki Laksa dan si
Perampok Tiga Nyawa (Baca serial Pendekar Pulau Nera-
ka dalam kisah "Dewi Beruang Putih"). Tapi, entah kenapa Dewi Beruang Putih
bersikap seakan-akan tidak
tahu apa yang telah terjadi di tempat ini tadi.
"Mereka bukan orang-orang sembarangan. Kalau
kau bisa membunuh mereka semua, itu berarti kau
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari mereka,"
kata Dewi Beruang Putih dengan nada suara yang ter-
dengar datar dan dingin.
"Lalu...?" Bayu sengaja memancing.
"Kau sudah mengalahkan dan membunuh mereka.
Kau juga harus bisa mengalahkan aku kalau ingin
menguasai Keris Naga Emas," desis Dewi Beruang Putih, semakin dingin.
Bayu tersenyum tipis. Dia menggeser kakinya ke
kanan dua tindak. Pandangannya masih tetap tak ber-
kedip, tertuju lurus ke bola mata yang hampir tertutup rambut hitam acak-acakan
itu. Kata-kata Dewi Beruang Putih barusan sudah membuktikan, bahwa se-
benarnya dia memang mengetahui semua yang telah
terjadi di dalam hutan ini. Itulah yang membuat Bayu tersenyum. Beberapa saat
mereka kembali terdiam, tak berbicara lagi. Sedikit Bayu melirik pada beruang
putih raksasa yang masih mendekam diam di bawah pohon,
tidak jauh di belakang Dewi Beruang Putih ini, dengan jarak hanya sekitar dua
batang tombak. "Sebaiknya kau serahkan saja keris itu padaku, Kisanak. Karena, akulah yang
berhak memegang keris
pusaka itu," kata Dewi Beruang Putih lagi.
"Memang yang berhak memegang keris ini adalah
seorang wanita. Tapi aku tidak yakin kalau kau pewarisnya," ujar Bayu, yang
tetap bersikap tenang.
"Huh!"
Dewi Beruang Putih mendengus kesal mendengar
kata-kata pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi, dia cepat menyadari, memang
tidak mudah membuktikan
bahwa dirinyalah pewaris tunggal Keris Naga Emas
yang sekarang berada di tangan Pendekar Pulau Nera-
ka itu. Dia juga menyadari, dirinya sendiri baru sekarang ini muncul ke dunia
luar, setelah selama lima belas tahun tinggal bersama-sama dengan Tiga Pengemis
Sakti di dalam dasar Jurang Setan. Terlebih lagi, dengan keadaannya yang seperti
ini, tidak mungkin ada
orang yang bisa mengenalinya lagi. Bahkan, semua
orang menyangka kalau dia sudah mati tercebur ke
dalam Jurang Setan saat usianya baru empat tahun.
"Kisanak, kau tahu siapa nama pewaris Keris Naga Emas itu?" tanya Dewi Beruang
Putih, kemudian seakan-akan tengah menguji Pendekar Pulau Neraka.
"Ya," sahut Bayu mantap. "Namanya Intan Kumala. Dan dia putri tunggal Ki Satria,
tapi memang kuakui, aku belum pernah bertemu dengannya. Dan
aku akan terus berusaha menemuinya kalau dia me-
mang benar-benar masih hidup sekarang ini."
"Ketahuilah, Kisanak. Akulah yang bernama Intan Kumala. Dan aku putri tunggal Ki
Satria," kata Dewi Beruang Putih dengan tegas.
"Hm..."
Bayu hanya mengerutkan keningnya. Kelopak ma-
tanya tampak menyipit. Diperhatikannya seluruh tu-
buh gadis berpakaian pengemis di depannya ini. Jelas
sekali dari sinar matanya, Pendekar Pulau Neraka tidak percaya dengan pengakuan
yang diucapkan Dewi
Beruang Putih barusan.
"Baiklah kalau kau tidak percaya, Kisanak Aku
akan buktikan bahwa akulah pewaris tunggal Keris
Naga Emas itu," kata Dewi Beruang Putih lagi, dengan suara yang masih tetap
terdengar tegas.
"Bagaimana kau akan membuktikannya?"
"Menemukan ibuku yang hilang. Hanya ibuku yang tahu semua duduk persoalannya."
"Hm...."
"Kita akan bertemu lagi, Kisanak"
Kemudian dengan cepat sekali Dewi Beruang Putih
melesat masuk ke dalam hutan. Bersamaan dengan
itu, Beruang Putih yang sejak tadi mendekam di bawah pohon juga ikut melompat
cepat. Begitu cepat gerakan mereka, hingga dalam sekejap mata keduanya sudah
lenyap tak terlihat lagi.
Sementara itu Bayu masih tetap berdiri tegak di
tempatnya. Kedua matanya memandang lurus ke arah
kepergian gadis pengemis dan beruang putih raksasa
itu. Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka berdiri di-am. Kemudian, dia memutar
tubuhnya dan melangkah
ringan meninggalkan daerah padang rumput di ten-
gah-tengah hutan ini. Ayunan kakinya begitu ringan, seakan-akan tidak menjejak
tanah. Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka sudah jauh meninggalkan tempat
ini, sekaligus meninggalkan dua sosok mayat yang
menggeletak di tanah dan satu lagi di atas pohon.
*** "Wulan...!" seru Bayu lantang, di depan mulut gua yang cukup besar dan hampir
tertutup oleh semak belukar.
Belum lagi suara teriakan Pendekar Pulau Neraka
menghilang dari pendengaran, seorang gadis cantik
berbaju merah muda agak ketat muncul dari dalam
gua. Gadis itu tampak menyibakkan semak belukar
yang menutupi mulut gua. Seekor monyet kecil berada di pundak kanannya. Monyet
kecil itu cepat melompat turun dan berlari-lari menghampiri Pendekar Pulau
Neraka. Bayu mengulurkan tangannya. Diraihnya monyet
kecil berbulu hitam itu, lalu ditaruh di atas pundak kanannya. Sedang gadis
cantik berbaju merah muda
agak ketat itu sudah berada di depan Pendekar Pulau Neraka. Kedua tangannya
kelihatan kotor, penuh dengan lumpur yang melekat.
"Kenapa tanganmu, Wulan?" tanya Bayu.
"Aku baru saja selesai menguburkan si Nyawa Bi-ru," sahut Ratna Wulan.
"Di sana ada sungai. Cuci dulu tanganmu," kata Bayu sambil menunjuk ke arah
kanan. Tanpa berkata-kata sedikit pun, Ratna Wulan me-
langkah mengikuti arah yang ditunjuk Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu tetap
berdiri memperhatikan.
Hanya sebentar, gadis itu telah menghilang di dalam lebatnya pepohonan. Dan, tak
lama kemudian dia
muncul lagi dengan tangan yang sudah bersih dari no-da tanah berlumpur.
"Ke mana saja kau pergi tadi, Kakang?" tanya Ratna Wulan setelah dekat di depan
Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Pulau Ne-
raka. "Membereskan mereka," sahut Bayu, kalem.
"Terus...?" desak Ratna Wulan, ingin tahu lebih jauh.
"Yaaah..., mereka tidak mungkin bisa muncul lagi."
"Kau menewaskan mereka semua?"
Bayu hanya menganggukkan kepala. Kakinya te-
rayun melangkah. Ratna Wulan mengikuti, lalu mense-
jajarkan ayunan kakinya di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka.
"Lalu, apa lagi yang terjadi...?" tanya Ratna Wulan lagi saat melihat ada
sesuatu yang lain pada raut wajah Pendekar Pulau Neraka.
"Kau ingat ketika berada di dasar Jurang Se-
tan...?" Bayu malah balik bertanya.
Ratna Wulan mengerutkan keningnya tidak men-
gerti. Dipandanginya wajah Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam. Sedangkan kakinya
terus terayun melang-
kah mengikuti irama ayunan langkah kaki pemuda
tampan berbaju kulit harimau di sebelah kanannya ini.
"Beruang putih raksasa itu muncul lagi ketika aku sedang terdesak," lanjut Bayu.
'Beruang putih...?"
Ratna Wulan langsung teringat saat dia dan Pen-
dekar Pulau Neraka berada di dasar Jurang Setan. Mereka memang sempat dihadang
seekor beruang putih
bertubuh raksasa. Beruang Putih itu langsung saja
menyerang, tapi kemudian juga dengan mendadak
berhenti menyerang. Bahkan, langsung pergi begitu sa-ja. Dan, sekarang Beruang
Putih itu berada di sini, di hutan yang dekat dengan perbatasan Desa Gebang.
Ratna Wulan hampir tidak percaya mendengarnya. Ta-
pi, dia yakin bahwa Bayu tidak mungkin berbohong
padanya. "Tadi dia muncul tidak sendirian, Wulan," lanjut Bayu dengan suara yang
terdengar pelan.
"Maksudmu...?" Ratna Wulan semakin tidak mengerti.
"Dia datang bersama pemiliknya," sahut Bayu, masih pelan.
"Pemiliknya..."!"
Ratna Wulan tidak bisa lagi menyembunyikan ke-
terkejutannya. Dia memang benar-benar terkejut men-
dengar beruang putih raksasa itu muncul lagi, bahkan kali ini bersama
pemiliknya. Walaupun sejak berada di dasar Jurang Setan dia sudah menduga bahwa
beruang putih raksasa itu dipelihara orang, tetap saja gadis ini tidak bisa
menyembunyikan keterkejutannya.
"Dia bukan saja mempunyai urusan dengan Ki
Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Tapi dia juga menginginkan Keris Naga Emas.
Bahkan dia pun mengaku
bernama Intan Kumala, pewaris Keris Naga Emas itu,
Wulan," sambung Bayu, tanpa menghiraukan keterkejutan gadis di sebelahnya itu.
"Oh...," Ratna Wulan mendesah panjang.
"Ada apa, Wulan?" tanya Bayu sambil memperhatikan wajah gadis ini lekat-lekat.
Ratna Wulan diam saja. Dia terus mengayunkan
kakinya perlahan-lahan.
Bayu menghentikan ayunan langkahnya. Dia terus
memperhatikan Ratna Wulan yang tidak juga meng-
hentikan ayunan kakinya. Sesaat kemudian barulah
Bayu kembali melangkah dan mensejajarkan jalannya
di samping gadis ini. Pendekar Pulau Neraka menge-
rutkan keningnya. Dipandanginya raut wajah Ratna
Wulan yang tampak berubah. Sedangkan pandangan
mata gadis itu tetap tertuju lurus ke depan. Sedikit pun Ratna Wulan tidak
membuka suara. "Ada yang mengganggu pikiranmu, Wulan?"
Pertanyaan Bayu kali ini bernada mendesak. Dia
memang benar-benar ingin tahu, kenapa tiba-tiba si-
kap Ratna Wulan berubah setelah dia menceritakan
semua peristiwa yang dialaminya tadi.
"Entahlah...," desah Ratna Wulan, perlahan.
Gadis cantik berbaju merah itu seakan-akan tidak
yakin dengan jawabannya sendiri. Hal ini membuat
kening Bayu semakin dalam berkerut. Dia yakin, ada
sesuatu yang dipikirkan gadis ini. Tapi, entah apa..."
Sedangkan Ratna Wulan sendiri tidak tahu, kenapa ti-ba-tiba saja seperti ada
sesuatu yang terlintas di dalam kepalanya. Hanya sekelebatan saja pikiran itu
melintas, hingga dia tidak yakin dengan apa yang ada di dalam kepalanya saat
ini. "Kakang, aku jadi lupa, siapa nama gadis pewaris Keris Naga Emas itu?" tanya
Ratna Wulan, setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Intan Kumala," sahut Bayu singkat.
"Lalu, gadis pemilik beruang putih itu, siapa na-manya?"
"Semula dia mengaku bernama Dewi Beruang Pu-
tih. Tapi setelah dia melihat Keris Naga Emas, langsung dia mengaku bernama
Intan Kumala. Bahkan dia
juga menyebutkan bahwa nama ayahnya adalah Ki Sa-
tria. Tapi aku belum percaya kalau Dewi Beruang Pu-
tih itu adalah Intan Kumala, Wulan. Dan aku tidak
mau menyerahkan keris pusaka yang dititipkan pada-
ku ini pada sembarang orang. Aku harus menyerah-
kannya pada orang yang benar-benar tepat," kata Bayu, tegas.
"Aku merasa, memang dialah pewarisnya, Ka-
kang," gumam Ratna Wulan perlahan, seakan-akan bicara dengan dirinya sendiri.
"Apa yang kau bilang, Wulan..."!" sentak Bayu kaget. Ratna Wulan tidak menjawab.
Dia kembali diam
dan terus melangkah tanpa bicara lagi. Sedangkan
Bayu terus memandangi wajah cantik di sampingnya
ini. Sungguh dia tidak mengerti, apa maksud dari ka-ta-kata yang diucapkan Ratna
Wulan barusan. Kata-
kata yang bernada menggumam itu seakan-akan ke-
luar bukan dari bibir gadis ini.
Sementara itu tanpa disadari, mereka berjalan me-
nuju ke Desa Gebang. Saat ini matahari sudah jauh
condong ke ufuk Barat. Cahayanya yang semula terik
mulai terasa begitu lembut dan berwarna merah jing-
ga. Sungguh indah pemandangan senja ini. Tapi, keindahan yang tersirat itu tidak
bisa dinikmati Bayu
maupun Ratna Wulan. Mereka terus sibuk dengan
berbagai macam pikiran yang berkecamuk di dalam
benaknya masing-masing. Entah apa yang ada di da-
lam kepala mereka saat ini. Hanya mereka sendiri yang tahu.
*** 2 Malam sudah turun menyelimuti seluruh permu-
kaan bumi Desa Gebang. Kesunyian begitu terasa me-
nemani sang dewi malam yang memancar lembut den-
gan sinarnya yang indah keperakan. Tidak jauh dari
perbatasan sebelah Timur, tampak seorang gadis berbaju putih, compang-camping,
dan penuh tambalan
berdiri tegak di depan puing-puing reruntuhan sebuah rumah yang berhalaman luas.
Sunyi sekali di sekitarnya. Tak ada seorang pun yang terlihat di tempat ini
selain gadis berpakaian pengemis itu.
Entah sudah berapa lama dia berada di dekat
puing-puing reruntuhan rumah itu. Sinar matanya
yang begitu tajam tampak tak berkedip sedikit pun
memandangi reruntuhan rumah itu. Memang, ada se-
suatu yang sedang dikenangnya, sesuatu yang tak
akan mungkin bisa dilupakannya seumur hidup.
Di dalam pandangannya, seakan-akan dia melihat
rumah itu masih berdiri tegak dan begitu indah. Bibirnya kemudian tersenyum saat
melihat seorang bocah
perempuan berusia sekitar empat tahun tengah berla-
ri-lari kecil sambil tertawa riang mengelilingi taman yang tertata sangat indah.
Di belakang gadis kecil itu, seorang wanita cantik mengikutinya dengan bibir
tersenyum manis.
"Jangan kencang-kencang larinya, Intan. Nanti jatuh...!" seru wanita cantik
berpakaian indah bagai permaisuri raja itu, dengan suara yang terdengar lembut
sekali. Gadis kecil yang memang bernama Intan Kumala
itu berhenti berlari. Dia berbalik memandangi wanita cantik yang tak lain adalah
ibunya ini. Senyuman manis yang begitu lucu menyungging di bibirnya yang merah.
Dari pintu taman, terlihat pula seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh
tahun yang kelihatan gagah dan tampan berdiri tersenyum-senyum memandangi.
Begitu ceria wajah-wajah mereka.
Namun, keceriaan mereka mendadak sirna ketika
tiba-tiba terlihat sebatang anak panah meluncur deras ke arah gadis kecil itu.
Laki-laki setengah baya yang berdiri di ambang pintu taman cepat sekali melesat.
Secepat kilat pula tangan kanannya tampak diki-
baskan ke depan. Dan, langsung disambarnya anak
panah yang hampir menghunjam ke dada gadis kecil
itu. "Hap!"
Manis sekali laki-laki setengah baya itu menjejak-
kan kakinya di tanah, tepat di depan Intan Kumala.
Saat itu juga, wanita yang tadi mengikuti gadis kecil itu bergegas berlari dan
langsung mengambil gadis kecil itu ke dalam gendongannya.
"Cepat kau bawa masuk ke dalam, Rayi," kata laki-laki setengah baya itu sambil
memperhatikan anak
panah yang berada dalam genggaman tangan kanan-
nya. Tanpa diperintah dua kali, wanita itu bergegas me-
ninggalkan taman yang indah ini. Namun, belum juga
dia sampai di pintu taman, mendadak sebuah bayan-
gan terlihat berkelebat begitu cepat. Dan, tahu-tahu di depan wanita cantik itu
sudah berdiri seorang perempuan tua bertubuh bungkuk yang mengenakan jubah
panjang berwarna hitam. Di tangan kanan perempuan
tua itu tergenggam sebatang tongkat, dengan bagian
ujung atasnya berbentuk tengkorak kepala manusia.
"Oh..."!"
"Hup!"
Laki-laki setengah baya yang juga merupakan ayah
gadis kecil itu segera melompat. Begitu ringan gerakannya. Tahu-tahu dia sudah,
berada di samping ka-
nan istrinya yang memeluk Intan Kumala.
"Hik hik hik...!"
"Siapa kau?" bentak ayah Intan Kumala.
"Hik hik hik...!"
Perempuan tua bertubuh bungkuk itu hanya ter-
tawa terkikik. Suara tawanya terdengar sangat kering dan mengerikan. Matanya
yang memerah dan bersinar
tajam menatap langsung ke bola mata lelaki setengah baya itu. Kemudian
pandangannya berpindah pada Intan Kumala yang berada di dalam gendongan ibunya.
"Tidak lama lagi, Satria. Hik hik hik..! Tidak lama lagi kau akan hancur,
Satria...!"
"Perempuan tua, siapa kau" Apa maksudmu da-
tang ke sini?" bentak ayah Intan Kumala yang bernama Ki Satria itu dengan
suaranya yang tajam.
"Hik hik hik...!"
Cepat sekali tangan keriput yang terulur ke depan
itu bergerak hendak menyambar Intan Kumala. Tapi,
sebelum tangan perempuan tua itu menyentuh Intan
Kumala, Ki Satria sudah cepat bertindak.
"Hiyaaa...!"
Bet! "Ikh...!"
Cepat-cepat perempuan tua menarik kembali tan-
gannya ketika Ki Satria mengebutkan tangan kanan-
nya begitu cepat dengan pengerahan tenaga dalam
tinggi. Dua langkah perempuan tua itu melompat
mundur. Dirasakannya angin kebutan tangan kanan
Ki Satria yang mengandung hawa panas begitu me-
nyengat. "Kau benar-benar tidak sayang dengan puterimu, Satria. Aku datang justru ingin
menyelamatkan ketu-runanmu!" bentak perempuan tua itu sambil mendesis dingin.
"Katakan dulu, siapa kau" Apa maksudmu berkata begitu?" ujar Ki Satria dengan
tidak kalah dinginnya.
"Aku Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Aku terpaksa
keluar dari istanaku karena ingin menyelamatkan ke-
turunanmu, Satria. Kau dalam bahaya. Kehancuran
sudah dekat di depan matamu," sahut perempuan tua itu dengan nada suara yang
masih tetap dingin.
"Jangan coba-coba menggertak ku, Nisanak. Se-
baiknya pergi saja kau. Dan, jangan coba-coba meng-
ganggu ketenteraman keluargaku!" bentak Ki Satria, yang tidak percaya dengan
kata-kata perempuan tua
itu. "Heh! Kau benar-benar bodoh, Satria!" dengus perempuan tua yang mengaku
bernama Ratu Mayat Bu-
kit Tengkorak itu.
"Cepat pergi! Atau kau ingin aku panggil para pengawalku, heh...!" bentak Ki
Satria lagi. Sebentar Ratu Mayat Bukit Tengkorak memandan-
gi Ki Satria. Dia melangkah mundur beberapa tindak, kemudian tanpa berkata
sedikit pun melesat pergi
dengan cepat sekali. Begitu cepat gerakannya. Dalam sekejap mata, tubuhnya pun
sudah lenyap tak terlihat
lagi, bagaikan hilang tertelan bumi.
"Mari, Rayi Sebaiknya kita masuk saja," ajak Ki Satria sambil merangkul pundak
istrinya. *** Ajakan Ki Satria membawa istri dan anaknya ma-
suk ke dalam rumah ternyata sama sekali tidak meng-
hilangkan ketegangan yang terjadi dengan tiba-tiba di taman tadi. Kedua bola
matanya kini terbeliak lebar begitu melihat orang-orangnya yang berada di dalam
rumah sudah terkapar tak bernyawa lagi. Darah ber-
cucuran menggenangi lantai. Ki Satria cepat-cepat
membawa anak dan istrinya ke dalam kamar.
"Kau jangan ke mana-mana, Rayi," pesan Ki Satria.
"Kakang...," kata wanita itu dengan suara bergetar.
'Tenanglah, aku akan kembali secepatnya. Jaga
anak kita," kata Ki Satria, mencoba menenangkan istrinya.
Bergegas Ki Satria keluar dari kamar itu setelah lebih dulu berpesan kepada
istrinya untuk mengunci
pintu dan jendela. Dengan langkah yang lebar dan ter-gesa-gesa, Ki Satria
menyusuri lorong yang tidak seberapa panjang. Dia langsung masuk ke dalam
ruangan tengah yang berukuran cukup luas. Kembali bola ma-
tanya terbeliak lebar begitu melihat mayat-mayat bergelimpangan di dalam ruangan
ini. "Hup!"
Bagaikan seekor kijang, Ki Satria melompati mayat-
mayat yang bergelimpangan hampir memenuhi lantai
ruangan ini. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
laki-laki setengah baya itu langsung menjejakkan kakinya di ambang pintu, yang
berhubungan langsung
dengan ruangan depan. Cepat dia menerobos masuk
ke dalam ruangan depan.
Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keparat...!" desis Ki Satria, geram.
Hampir laki-laki setengah baya itu tidak percaya
dengan apa yang disaksikannya sekarang ini. Dia me-
rasa seperti mimpi. Seperti halnya ruangan tengah ta-di, ruangan depan ini pun
dipenuhi oleh mayat-mayat yang tampaknya masih baru. Darah yang menggenangi
lantai pun masih terlihat segar dan hangat. Sambil berjingkat, Ki Satria terus
menuju ke pintu depan. Di-periksanya beberapa orang yang menggeletak tak ber-
nyawa lagi itu. Keningnya langsung berkerut. Kemu-
dian dipandanginya sekalian semua tubuh yang berge-
limpangan saling tumpang tindih itu.
"Hm, aneh..., tak ada luka sedikit pun. Tapi kenapa banyak darah...?" gumam Ki
Laksa pada dirinya sendiri. Memang, tidak ada sedikit pun luka di tubuh mereka.
Meskipun darah yang menggenang dan meme-
nuhi lantai itu jelas sekali tampak keluar dari mulut, hidung, serta telinga.
Kematian yang sangat aneh ini membuat Ki Satria bertanya-tanya sendiri di dalam
ha-ti. Tak ada sedikit pun tanda-tanda bekas terjadi pertarungan. Dan, tak ada
luka sedikit pun di tubuh mereka semua.
"Hup!"
Ringan sekali Ki Satria melompat keluar. Sedikit
pun tak ada suara yang ditimbulkan. Ini pertanda
bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki sudah
mencapai pada tingkatan yang tinggi. Begitu ringan
kedua kakinya mendarat di lantai beranda depan. Se-
bentar dia mengedarkan pandangannya berkeliling.
Tapi, tetap tak ada seorang pun yang terlihat.
Hanya mayat-mayat yang tampak bergelimpangan sal-
ing tumpang tindih di halaman depan rumah yang be-
rukuran besar bagai sebuah istana kecil ini.
"Setan keparat! Bagaimana ini bisa terjadi...!" desis
Ki Satria, geram.
Darah lelaki setengah baya itu langsung mendidih
ketika melihat tak ada seorang pun pengawalnya yang masih hidup. Semua sudah
bergelimpangan tak bernyawa lagi. Dia juga tidak tahu, kapan semua ini terjadi.
Padahal, sejak tadi dia berada di taman belakang bersama anak dan istrinya. Dan,
sama sekali tidak didengarnya suara pertarungan sedikit pun tadi. Tapi, kini
orang-orangnya terlihat sudah menggeletak tak
bernyawa lagi. Darah menggenang dihampir setiap su-
dut tempat tinggalnya yang megah ini.
"Laksa...! Rahun...!"
Ki Laksa berteriak keras memanggil dua orang ke-
percayaannya. Tapi, tak ada sahutan sedikit pun yang terdengar. Suaranya yang
keras karena dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi itu
menggema sampai terdengar ke seluruh penjuru mata
angin. Dan, hanya gemerisik dedaunan yang menyahu-
ti teriakan laki-laki gagah berusia setengah baya ini.
"Hm, ke mana mereka" Apakah mereka juga sudah
mati...?" gumam Ki Satria, bertanya-tanya sendiri.
Kembali Ki Satria mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tapi, tidak juga ada seorang pun yang dilihatnya hidup. Semua yang
dilihatnya hanyalah mayat-
mayat bergelimpangan saling tumpang tindih, Bau an-
yir darah begitu tajam menyeruak rongga hidung. Ke-
mudian perlahan Ki Satria bergerak hendak melang-
kah keluar dari beranda depan rumahnya ini. Tapi, ba-ru saja kakinya menjejak
tanah, mendadak...I
Wusss...! "Hup!"
Cepat sekali Ki Satria melentingkan tubuhnya begi-
tu mendengar desiran angin yang sangat halus dari
arah kanannya. Dan, secepat itu pula dia menge-
butkan tangan kanannya.
Tap! "Hap!"
Manis sekali Ki Satria menjejakkan kakinya di ta-
nah, di antara tubuh-tubuh yang bergelimpangan tak
bernyawa lagi. Perlahan tangan kanannya yang terkep-al bergerak terbuka. Dan,
kedua bola matanya lang-
sung terbeliak lebar begitu melihat di dalam telapak tangannya terdapat sebuah
benda berbentuk kapak
kecil berwarna merah.
"Perampok Tiga Nyawa...," desis Ki Satria.
Tapi, belum juga Ki Satria sempat berpikir jauh,
mendadak terlihat tiga buah bayangan berkelebatan
meluruk turun dari atas atap. Ki Satria cepat-cepat melompat ke belakang sejauh
dua batang tombak. Manis sekali gerakannya. Dan, tanpa menimbulkan suara sedikit
pun, kakinya kembali menjejak tanah.
Tap! "Keparat...!" bentak Ki Satria.
Lelaki setengah baya yang masih kelihatan gagah
itu mendesis ketika melihat tiga orang laki-laki berusia muda sudah berada
sekitar dua batang tombak di depannya. Ketiga lelaki muda itu mengenakan baju
den- gan potongan yang sama, tapi dengan warna yang ber-
beda. Mereka memang jelas masih tergolong muda.
Paling tidak, usia mereka baru sekitar tiga puluh tahun. Tampak di tangan kanan
mereka masing-masing
ter-genggam sebilah kapak yang berukuran sangat be-
sar. Dan, kilatan cahaya membersit dari mata kapak di tangan kanan ketiga pemuda
itu. Ki Satria tahu, mereka adalah tokoh-tokoh persilatan yang dikenal dengan
julukan si Perampok Tiga Nyawa.
"Pasti kalian yang membantai para pengawalku,"
desis Ki Satria, dingin menggetarkan. "Keparat...! Apa maksud kalian membunuhi
orang-orangku, heh...?"
'Tidak terlalu sulit menidurkan mereka, Ki Satria,"
kata salah seorang dari ketiga pemuda itu, yang mengenakan baju berwarna merah
menyala. "Hanya dengan ini...," sambung pemuda satunya lagi, yang mengenakan baju biru.
Pemuda berbaju biru itu melemparkan sesuatu
yang diambil dari dalam saku bajunya. Ki Satria cepat melompat dan berputaran
beberapa kali di udara, lalu kakinya kembali menjejak tanah. Benda yang dilem-
parkan pemuda berbaju biru itu ternyata berupa ser-
buk berwarna kuning, yang langsung menguap menja-
di asap. . "Upfhs...!"
Cepat-cepat Ki Satria menutup seluruh aliran da-
rah dan memindahkan pernafasannya ke perut. Dia
tahu bahwa serbuk kuning yang menguap menjadi
asap itu adalah serbuk racun yang sangat berbahaya
dan mematikan. Kembali tubuhnya melenting ke udara
dan berputaran beberapa kali. Lalu, kembali pula kakinya menjejak tanah setelah
jaraknya sudah menca-
pai sekitar tiga batang tombak
"Phuuuh...! Edan...!" dengus Ki Satria disertai hembusan nafasnya yang berat.
*** Sementara itu di dalam kamar, istri Ki Satria yang
bernama Nyai Wandari kelihatan cemas. Dia tidak me-
lepaskan putrinya dari pelukan. Gadis kecil itu juga seperti bisa merasakan
kecemasan ibunya. Dia memeluk dan menyembunyikan kepalanya di dada yang
membusung indah itu.
Tok! Tok! Tok..!
"Oh..."!"
Nyai Wandari tersentak kaget ketika mendengar
suara ketukan di pintu. Pandangannya langsung tertu-
ju ke arah pintu yang tertutup rapat. Ketukan itu sebentar saja sudah
menghilang. Tapi, tak lama kemu-
dian terdengar lagi. Perlahan-lahan wanita itu bangkit dari pembaringan.
"Siapa.."!" tanya Nyai Wandari, agak keras.
"Aku, Nyai...," sahut suara seorang laki-laki dari balik pintu.
"Siapa?" tanya Nyai Wandari lagi.
"Rahun."
"Oh, Rahun...."
Bergegas Nyai Wandari menghampiri pintu kamar
ini. Dia langsung membukanya. Dan, seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
lima tahun terlihat berdiri tegak di ambang pintu. Tampak rambutnya yang panjang
tergelung ke atas kepala.
"Ada apa, Rahun?"
"Ki Satria meminta ku untuk membawa Nyai dan Rara Putri Intan."
"Oh..."! Apa yang terjadi sebenarnya, Rahun" Di mana suamiku?" tanya Nyai
Wandari, tidak bisa lagi menyembunyikan kecemasannya.
"Keadaan gawat, Nyai. Sebaiknya Nyai bergegas...,"
sahut Ki Rahun, terputus.
"Sebentar."
Nyai Wandari kembali menutup pintu. Sedangkan
Ki Rahun tetap menunggu di depan pintu. Nyai Wan-
dari mengambil bungkusan kain putih dari dalam ko-
tak kayu yang ada di meja kecil dekat jendela. Dia me-nyelipkan bungkusan kain
putih yang tampak berisi
sebilah pisau kecil itu ke balik ikat pinggangnya. Tak berapa lama kemudian, dia
sudah keluar lagi sambil
tetap menggendong putrinya.
"Ke mana kau akan membawaku, Rahun?" tanya Nyai Wandari sambil terus berjalan
mengikuti orang
kepercayaan suaminya ini.
"Mengungsi ke tempat yang aman," sahut Ki Rahun, tanpa menghentikan langkahnya.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang tidak
begitu panjang menuju ke bagian belakang rumah be-
sar dan megah ini. Ki Rahun membuka pintu yang ada
di ujung lorong. Kemudian dipersilahkannya Nyai
Wandari untuk masuk lebih dulu. Nyai Wandari tahu,
pintu ini merupakan pintu kamar semadi suaminya.
Dan, di dalam kamar ini terdapat sebuah pintu rahasia yang langsung menuju
keluar melalui jalan di bawah
tanah. Setelah berada di dalam kamar semadi itu. Ki Ra-
hun menggeser sebongkah baru besar yang sering di-
gunakan untuk bersemadi. Di bawah baru yang ber-
bentuk pipih itu terdapat lubang yang cukup besar., Tanpa banyak bicara lagi,
Nyai Wandari bergegas masuk ke dalam lubang itu. Ki Rahun mengikuti dari
belakang. Batu pipih itu pun kembali bergerak menutup setelah mereka
melewatinya. "Ke mana suamiku menyuruh mengungsi, Rahun?"
tanya Nyai Wandari.
"Ke gua penyimpanan senjata pusaka," sahut Ki Rahun. "Di sana sudah menunggu dua
puluh orang pengawal, Nyai."
"Lalu, di mana suamiku?"
"Menghadapi mereka bersama yang lain."
"Mereka..." Siapa mereka, Rahun?"
"Aku tidak tahu, Nyai. Mereka tiba-tiba saja datang dan menyerang. Sudah banyak
yang menjadi korban,"
jelas Ki Rahun dengan singkat.
Nyai Wandari tidak bertanya lagi. Dia terus berja-
lan di depan sambil tetap memeluk putrinya dalam
gendongan. Sedangkan Ki Rahun mengikuti dari bela-
kang. Tampak sebentar-sebentar dia menoleh ke bela-
kang. Lorong rahasia di bawah tanah ini cukup panjang
juga. Tapi, keadaannya sangat terang, karena banyak obor terpasang di dinding.
Ki Rahun bergegas mendahului setelah mereka sampai di ujung lorong bawah
tanah ini. Dia mendorong sebongkah batu yang cukup
besar. Sedikit demi sedikit batu itu pun tergeser. Dan, tampaklah dengan nyata
bahwa tempat ini merupakan
ujung lorong. Mereka langsung bergegas keluar. Dan, ternyata mereka sudah
ditunggu oleh sekitar dua puluh orang pemuda bersenjata golok. Tanpa banyak bi-
cara lagi, semuanya bergegas berjalan dan langsung
masuk ke dalam hutan.
Nyai Wandari sendiri tidak banyak bertanya lagi.
Dia terus mengikuti pemuda-pemuda yang dia kenali
sebagai para pengawal suaminya. Sedangkan Ki Rahun
selalu berada di belakang wanita itu, sambil sesekali berpaling ke belakang. Tak
ada seorang pun yang
membuka suara lagi. Semuanya terdiam dan terus ber-
jalan merambah hutan yang cukup lebat ini.
"Rahun, bukankah ini jalan menuju ke Jurang Setan...?"
Nyai Wandari baru membuka suara ketika sadar
bahwa jalan yang ditempuh mereka bukan menuju ke
gua tempat penyimpanan senjata.
"Memang benar, Nyai," sahut Ki Rahun.
"Tapi tadi kau bilang, kita akan ke gua penyimpanan senjata pusaka."
"Ini hanya siasat saja, Nyai. Untuk mengelabui mereka," sahut Ki Rahun.
Nyai Wandari tidak bertanya lagi. Dia bisa meneri-
ma alasan yang diberikan Ki Rahun barusan. Memang,
mereka bisa saja melalui pinggiran Jurang Setan ini untuk menuju ke gua
penyimpanan senjata pusaka.
Walaupun, tentu saja mereka harus memutar dan ber-
jalan lebih jauh. Tapi, Nyai Wandari tidak mengeluh
dan tidak mau bertanya lagi. Dia terus saja berjalan mengikuti para pengawalnya
yang berjumlah sekitar
dua puluh orang itu. Sedangkan Ki Rahun tetap berjalan di belakangnya.
*** 3 Sementara itu Ki Satria tengah bertarung mengha-
dapi tiga orang lawannya yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa.
Pertarungan yang semula
berlangsung di halaman rumah berangsur-angsur ber-
pindah. Dan, tanpa disadari, mereka bergerak ke arah hutan yang langsung
berbatasan dengan bagian belakang rumah. Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi
pertarungan itu tampaknya belum menunjukkan tan-
da-tanda akan berhenti.
Akhirnya, pertarungan itu sampai di dekat Jurang
Setan, yang tampak sangat besar dan dalam. Begitu
dalam jurang ini, sampai-sampai dasarnya pun sangat sulit dilihat. Apalagi,
kabut yang sangat tebal selalu menutupinya.
Pada saat yang hampir bersamaan, Nyai Wandari,
Ki Rahun, dan dua puluh orang pengawalnya juga
sampai di jurang ini. Nyai Wandari begitu terkejut ketika melihat suaminya
sedang bertarung sengit dengan tiga lelaki yang masing-masing bersenjatakan
kapak. "Rahun, cepat bantu suamiku!" perintah Nyai Wandari.
"Tidak mungkin, Nyai. Ki Satria tidak akan senang kalau pertarungannya
dicampuri," tolak Ki Rahun.
'Tapi...," Nyai Wandari tidak melanjutkan ucapannya.
Memang, alasan yang dikemukakan Ki Rahun tidak
bisa dibantah lagi. Ki Satria pasti tidak akan senang kalau pertarungannya
dicampuri orang lain. Nyai
Wandari tahu betul watak suaminya. Lelaki tua gagah itu lebih memilih mati dalam
pertarungan daripada harus dicampuri orang lain. Meskipun ada orang yang
benar-benar bermaksud membantunya, Ki Satria tidak
akan berterima kasih. Bahkan, dia bisa marah besar.
"Ayo, Nyai. Sebaiknya kita menyingkir dari sini,"
Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ajak Ki Rahun. Nyai Wandari memperhatikan pertarungan itu be-
berapa saat. Kemudian dia bergegas mengikuti Ki Ra-
hun yang sudah lebih dulu berjalan menjauhi perta-
rungan. Dua puluh orang yang mengawal mereka juga
bergegas mengikuti. Tidak ada seorang pun yang bera-ni ikut terjun ke dalam
pertarungan itu. Tapi, belum juga mereka jauh, tiba-tiba....
"Berhenti kalian semua...!"
"Heh..."!"
"Hah..."!"
Bukan main terkejutnya mereka ketika tiba-tiba
saja terdengar bentakan yang sangat keras dan meng-
gelegar bagai guntur di siang hari. Mereka langsung j berhenti melangkah. Pada
saat itu, terlihat sebuah
bayangan putih berkelebat begitu cepat. Dan, tahu-
tahu di depan mereka sudah berdiri seseorang yang
berjubah putih panjang dan longgar. Wajah orang itu sulit dikenali, karena
tertutup oleh topeng kayu berwarna hitam. Tampak di tangan kanannya tergenggam
sebatang tongkat kayu yang runcing pada bagian
ujungnya. "Kau tidak akan bisa lolos dariku, Nyai Wandari,"
ujar orang berjubah putih dan bertopeng kayu hitam
itu dengan nada suara yang terdengar begitu dingin.
"Siapa kau?" bentak Nyai Wandari.
"Ha ha ha...!"
Orang bertopeng hitam itu hanya tertawa terbahak-
bahak. Begitu keras dan menggelegar suara tawanya.
Telinga yang mendengarnya pun terasa sakit, seperti tertusuk jarum. Nyai Wandari
cepat-cepat menutup telinga putrinya.
"Kalian semua harus mampus! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, orang bertopeng hitam itu melom-
pat dan langsung menerjang ke arah Nyai Wandari.
Tapi, belum juga dia sampai, mendadak terlihat se-
buah bayangan hitam berkelebat begitu cepat memo-
tong arus terjangan orang bertopeng itu.
"Uts...!"
Untung saja orang bertopeng hitam itu cepat me-
lenting ke belakang, sehingga terhindar dari suatu
benturan keras. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara. Dan, dengan manis
sekali kakinya menjejak tanah, sekitar dua batang tombak jauhnya dari Nyai
Wandari, yang masih didampingi Ki Rahun dan dua
puluh orang pengawalnya.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan
Nyai Wandari sudah berdiri seorang perempuan tua
bertubuh bungkuk, dengan tongkat berkepala tengko-
rak tergenggam pada tangan kanannya. Nyai Wandari
langsung mengenali, perempuan tua itulah yang da-
tang menemuinya di taman dan hendak meminta
anaknya tadi. "Tidak ada gunanya kau menutupi wajahmu den-
gan topeng jelek, Laksa," desis perempuan tua bungkuk yang dikenali Nyai Wandari
bernama Ratu Mayat
Bukit Tengkorak itu, dengan suara yang terdengar begitu kering dan dingin.
"Laksa...?" desis Nyai Wandari, terkejut.
"Phuih!"
Orang bertopeng hitam itu mendengus berat. Den-
gan kasar sekali dia membuka topeng kayu berwarna
hitam yang menutupi wajahnya. Kini tampaklah di ba-
lik topeng kayu itu, seraut wajah seorang laki-laki yang agaknya berusia lima
puluh tahun lebih. Sorot matanya tampak tajam berapi-api. Dan, wajah itu sangat
dikenali oleh Nyai Wandari.
"Laksa...!" desis Nyai Wandari, hampir tidak percaya.
Tapi, Nyai Wandari tidak sempat lagi bertanya-
tanya ataupun berpikir panjang. Karena, tiba-tiba saja Ki Laksa sudah melompat
begitu cepat melakukan serangan.
"Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Pada saat yang bersamaan, Ratu Mayat Bukit
Tengkorak ternyata juga melentingkan tubuhnya. Dis-
ambutnya serangan laki-laki berjubah putih itu. Dan, secara bersamaan keduanya
melepaskan satu pukulan
keras menggeledek yang mengandung pengerahan te-
naga dalam tingkat tinggi. Begitu cepat pukulan yang dilepaskannya, hingga
mereka sama-sama tidak dapat
lagi menghindari benturan dua tenaga dalam yang
tinggi tingkatannya itu.
Plak! Seketika itu juga tubuh mereka sama-sama terpen-
tal balik ke belakang. Namun, dengan manis sekali keduanya berhasil menjejakkan
kaki di tanah secara bersamaan. Dan, tanpa membuang-buang waktu lagi, me-
reka sudah berlompatan kembali saling menyerang.
Pertarungan pun tak lagi terhindarkan, seakan-akan
menyaingi pertarungan seru yang sedang terjadi antara Ki Satria dan tiga orang
lawannya yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa.
Pertarungan antara Ratu Mayat Bukit Tengkorak
dan Ki Laksa terlihat semakin sengit. Keduanya men-
geluarkan jurus-jurus yang begitu dahsyat dan sangat berbahaya. Pukulan-pukulan
yang mereka lontarkan
mengandung pengerahan tenaga dalam yang sangat
tinggi. Sehingga setiap pukulan yang tidak mengenai sasaran akan menimbulkan
ledakan dahsyat jika
menghantam pohon atau bebatuan hingga hancur ber-
keping-keping. "Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan kilat
Ki Laksa melompat ke udara. Dan, secepat kilat pula tongkatnya yang berujung
runcing dikebutkan ke arah kepala Ratu Mayat Bukit Tengkorak Begitu tinggi
tenaga dalam yang disalurkan ke dalam kebutan tongkat Ki Laksa, sehingga
menimbulkan suara angin menderu
yang disertai hempasan hawa panas menyengat.
"Uts...! Hap!"
Cepat-cepat Ratu Mayat Bukit Tengkorak melompat
ke belakang. Dan, secepat itu pula dia menghentakkan tongkatnya. Ditangkisnya
kibasan tongkat Ki Laksa.
Trakkk! Dua senjata tongkat beradu begitu keras sampai
menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke
segala arah. Tampak Ratu Mayat Bukit Tengkorak ter-
dorong ke belakang dua langkah. Dan, pada saat itu
pula terlihat Ki Laksa memutar tubuhnya di udara. La-lu, tanpa diduga sama
sekali, lelaki tua itu melepaskan satu tendangan keras menggeledek disertai
pengerahan tenaga dalam yang begitu tinggi tingkatannya.
"Hiyaaa...!"
"Oh..."!"
Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak terperangah
setengah mati. Cepat-cepat dia menggeser kakinya ke samping sambil meliukkan
tubuh menghindari tendangan menggeledek yang dilepaskan laki-laki berju-
bah putih itu. Tapi dengan gesit dan cepat sekali Ki
Laksa bisa memutar balik kakinya. Dan, secepat kilat kembali dia menghentakkan
kaki kanannya ke depan
dengan setengah berputar. Begitu cepatnya serangan
yang dilancarkan laki-laki berjubah putih itu, sehingga Ratu Mayat Bukit
Tengkorak tidak sempat lagi menghindar. Dan....
Des! "Akh...!"
Telak sekali tendangan kaki kanan Ki Laksa men-
darat di dada kiri Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Aki-
batnya, tubuh perempuan tua yang agak kurus itu
terpental cukup jauh ke belakang. Dan, sebongkah ba-tu sebesar kerbau yang
sangat kokoh langsung hancur berkeping-keping seketika begitu tubuh si Ratu
Mayat Bukit Tengkorak menghantamnya.
"Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu sedikit pun, Ki
Laksa cepat melompat ke arah Nyai Wandari. Tapi, ti-ba-tiba saja wanita cantik
itu mengebutkan tangan kirinya dengan cepat. Dan, tahu-tahu di tangan kirinya
sudah tergenggam sebilah pisau kecil yang sangat tajam dan berkilatan, yang
dicabutnya dengan cepat tadi dari balik ikat pinggangnya.
"Heh..."! Uts!"
Ki Laksa terperanjat setengah mati begitu tiba-tiba sekelebatan cahaya keperakan
hampir saja membelah
dadanya. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke
belakang dan berputaran beberapa kali.
Pada saat itu, Ratu Mayat Bukit Tengkorak sudah
bisa berdiri lagi. Dia segera menghampiri Nyai Wandari yang masih menggendong
putrinya. "Berikan anakmu padaku, Nyai. Dia harus diselamatkan," kata Ratu Mayat Bukit
Tengkorak cepat-cepat.
Nyai Wandari memandangi perempuan tua berwa-
jah buruk penuh keriput itu beberapa saat. Kemudian dia menyerahkan Intan Kumala
kepadanya. Dan, cepat-cepat perempuan tua itu meraih Intan Kumala dari gendongan
Nyai Wandari, lalu bergegas melesat pergi dengan cepat sekali. Namun, belum juga
dia pergi jauh, tiba-tiba tangan kanan Ki Rahun bergerak cepat tanpa seorang pun sempat
mengetahuinya. Dan, saat
itu juga terlihat beberapa benda halus seperti jarum berhamburan dengan deras
sekali ke arah si Ratu
Mayat Bukit Tengkorak.
Ratu Mayat Bukit Tengkorak, yang tidak menyadari
akan mendapat serangan gelap yang begitu cepat itu, tidak dapat lagi
menghindarkan diri. Dan....
Crap! "Akh...!"
Beberapa benda halus seperti jarum itu langsung
menembus tubuh Ratu Mayat Bukit Tengkorak Perem-
puan tua itu pun jatuh terguling ke tanah. Dan Intan Kumala yang berada dalam
gendongannya seketika terlepas dan langsung melayang jauh menuju ke arah ju-
rang. "Intan...!" jerit Nyai Wandari, benar-benar terperanjat.
*** Cepat-cepat Nyai Wandari melompat hendak me-
raih anaknya yang melayang ke arah jurang. Tapi belum juga dia bergerak jauh, Ki
Laksa sudah bertindak cepat. Tongkatnya yang berujung runcing segera dikebutkan
ke arah lambung wanita cantik itu.
Bet! "Ikh...!"
Hampir saja lambung Nyai Wandari robek. Untung
saja dia cepat-cepat berkelit meliukkan tubuhnya tadi
menghindari sabetan tongkat yang berujung runcing
itu. Sedangkan Intan Kumala terus meluncur deras ke arah jurang.
"Ibuuu...!" jerit Intan Kumala, ketakutan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Nyai Wandari kembali melesat mengejar anaknya!
begitu kakinya menjejak tanah. Tapi, baru saja dia melesat, kembali Ki Laksa
menghadang dengan cepat. Sa-tu pukulan keras yang disertai dengan pengerahan,
tenaga dalam tinggi langsung dilepaskannya dengan ce-
pat sekali ke arah dada.
"Hap!"
Nyai Wandari cepat-cepat melentingkan tubuhnya
dan berputaran ke belakang menghindari pukulan itu.
Dan, begitu kakinya menjejak tanah kembali, tahu-
tahu Ki Laksa sudah melepaskan satu tendangan ke-
ras menggeledek yang begitu cepat. Benar-benar cepat tendangan yang dilepaskan
laki-laki berjubah putih
itu. Nyai Wandari pun tidak sempat lagi menghindar, terlebih lagi pikirannya
tengah tercurah pada putrinya yang sedang menghadapi maut.
Des! "Akh...!"
Nyai Wandari terpental deras ke belakang, lalu ja-
tuh bergulingan beberapa kali di tanah. Sementara itu Intan Kumala terus
meluncur dan mulai masuk ke dalam jurang. Jeritannya yang panjang melengking
ter- dengar begitu menggiris.
"Ibuuu...!"
"Intan...!"
Nyai Wandari tidak mempedulikan dadanya yang
terasa sesak akibat terkena tendangan Ki Laksa tadi.
Cepat-cepat dia melompat bangkit berdiri hendak
mengejar lagi anaknya yang sudah mulai tercebur ke
dalam Jurang Setan. Jeritan bocah kecil itu masih juga
terdengar, meskipun semakin jauh.
"Intan...!"
Nyai Wandari berteriak-teriak memanggil nama
anaknya sambil terus berlari menghampiri jurang. Ta-pi, begitu dia sampai di
tepi jurang, tubuh Intan Kumala sudah tidak terlihat lagi. Hanya kabut tebal
yang terlihat kini menyelimuti seluruh bagian dalam jurang itu. "Oh, Intan...."
Jeritan Intan Kumala dan Nyai Wandari sempat ju-
ga mempengaruhi perhatian Ki Satria yang sedang bertarung melawan si Perampok
Tiga Nyawa. Dia sempat
berpaling ke arah Jurang Setan. Dan, pada saat itu ju-ga si Perampok Tiga Nyawa
yang mengenakan baju bi-
ru melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi
tingkatannya. "Hiyaaa...!"
Ki Satria yang tengah lengah tidak sempat lagi
menghindari pukulan itu. Akibatnya, dadanya telah
terkena pukulan yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi itu.
Degkh! "Akh...!"
Ki Satria memekik tertahan. Tubuhnya langsung
terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Dan tubuh kekar itu baru
berhenti melayang setelah menghantam sebatang pohon yang cukup besar hingga han-
cur berkeping-keping.
"Hiyaaa...!"
Saat itu juga si Perampok Tiga Nyawa yang menge-
nakan baju kuning melompat cepat sambil menge-
butkan kapaknya yang berukuran sangat besar.
Wuk! "Hih...!"
Ki Satria cepat-cepat menggulirkan tubuhnya ke
samping. Dihindarinya hantaman kapak yang berkila-
tan itu. Kemudian, dengan cepat dia melompat bangkit berdiri sambil mendekap
dadanya yang terasa begitu
sesak. "Yeaaah...!"
Belum lagi pijakan kaki Ki Satria sempurna, datang
lagi serangan berupa tendangan kaki kiri dari si Perampok Tiga Nyawa yang
mengenakan baju merah.
Kembali Ki Satria masih bisa menghindar dengan men-
gegoskan tubuhnya ke kanan. Namun, begitu kaki ka-
Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nan salah seorang dari si Perampok Tiga Nyawa itu terayun cepat sambil memutar
ke arah lambung, Ki Sa-
tria tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Des! "Akgh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Satria terpekik. Kembali
dia jatuh bergulingan di tanah beberapa kali. Belum lagi dia sempat bangkit
berdiri, si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju biru sudah mengayunkan
kapaknya dengan deras sekali sambil melompat dan
berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaat.:.!"
Wuk! "Uts...!"
Cepat-cepat Ki Satria menggulirkan tubuhnya ke
samping. Crab! Hantaman kapak itu hanya mengenai tanah yang
kosong. Namun, secepat kilat pemuda berbaju merah
itu kembali mengayunkan kapaknya sambil berteriak-
keras menggelegar. Dan, pada saat yang bersamaan
pemuda yang mengenakan baju kuning juga melaku-
kan serangan dengan kapaknya dari arah lain.
"Hup!"
Ki Satria cepat-cepat melompat menghindari dua
serangan yang datang secara bersamaan itu. Tapi begi-tu berada di udara,
mendadak pemuda yang mengena-
kan baju biru mengebutkan tangan kanannya. Saat itu juga terlihat serbuk
berwarna kuning tersebar langsung ke wajah Ki Satria. Begitu cepat serangan kali
ini, sehingga ki Satria tidak sempat lagi menghindarinya.
"Ukgh...!"
Ki Satria langsung terhuyung dan terbatuk. Wa-
jahnya seketika membiru. Serbuk racun yang ditebar-
kan si Perampok Tiga Nyawa yang berbaju biru itu
langsung merasuk ke dalam hidung Ki Satria dan terus merembes dengan cepat ke
dalam dada. Napas Ki Satria terasa bagai tersumbat batu yang sangat besar.
"Ugkh! Ugkh...!"
Ki Satria semakin terhuyung, lalu tubuhnya am-
bruk menggelepar di tanah. Mulut, hidung, dan telinganya mulai kelihatan
mengeluarkan darah. Dia terus menggelepar sambil mengerang meregang nyawa,
hingga akhirnya diam tak bergerak-gerak lagi. Seluruh tubuh lelaki tua itu
langsung membiru. Dan, darah terus bercucuran keluar dari mulut, hidung, dan
telinganya. Sementara itu Nyai Wandari masih berdiri mema-
tung sambil terus memandang ke dalam Jurang Setan
yang selalu berkabut itu. Dia kini sudah didampingi Ki Rahun dan dua puluh orang
pengawalnya, yang semuanya menyandang golok terhunus di tangan kanan.
"Ayo, Nyai. Kita cepat tinggalkan tempat ini," ajak Ki Rahun.
Sebentar Nyai Wandari memandangi Ki Rahun. Ta-
pi, wanita cantik itu tampaknya sama sekali belum ta-hu bahwa laki-laki di
hadapannya ini telah mengkhia-natinya. Kemudian Nyai Wandari segera melangkah
menjauhi bibir jurang diikuti para pengawalnya. Se-
dangkan Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa hanya
diam memandang dengan bibir mengulum senyum.
Keempat lelaki itu terus memperhatikan Nyai Wandari, Ki Rahun, dan dua puluh
orang pengawalnya yang semakin jauh meninggalkan tempat ini.
"Bagaimana sekarang, Ki?" tanya si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju
merah. 'Tunggu sampai mereka jauh dulu. Aku tidak ingin
Nyai Wandari mengetahui rencanaku. Juga Ki Rahun
itu. Dia bisa berbahaya nantinya," sahut Ki Laksa.
"Ternyata tidak sulit, Ki. Tidak perlu mengerahkan orang-orang kita," kata si
Perampok Tiga Nyawa yang berbaju merah lagi.
"He he he...!" Ki Laksa hanya terkekeh-kekeh.
"Ayo...."
Nyai Wandari, Ki Rahun, dan dua puluh orang
pengawalnya terus bergerak cepat menerobos lebatnya hutan. Dan, tidak ada
seorang pun yang tahu kalau Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa terus membuntuti
dari jarak yang cukup jauh. Akhirnya, sampailah mereka di gua tempat penyimpanan
senjata. Ki Rahun segera membuka pintu gua yang terbuat dari batu. Me-
reka cepat-cepat masuk ke dalam gua itu. Kemudian, begitu pintu ditutup, Ki
Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa muncul di sana.
"Bagaimana, Ki?" tanya si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju biru.
"Hancurkan gua itu," perintah Ki Laksa.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang pe-
muda yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga
Nyawa itu langsung melepaskan pukulan-pukulan ja-
rak jauh yang begitu dahsyat. Tak pelak lagi, gua itu pun tak lama kemudian
hancur seiring dengan terden-garnya ledakan-ledakan dahsyat menggelegar yang
menggetarkan bumi.
"Ha ha ha...!" Ki Laksa tertawa terbahak-bahak melihat gua itu telah hancur tak
berbentuk lagi.
3 Glarrr! "Oh..."!"
Gadis berbaju putih dan compang-camping penuh
tambalan itu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras
menggelegar, Lamunannya buyar saat
itu juga. Dia segera menengadahkan kepalanya ke
atas. Tampak langit begitu kelam, tersaput awan hitam yang menggumpal tebal.
Gadis itu kemudian kembali
memandangi reruntuhan puing rumah di depannya.
"Ayah, Ibu.... Walaupun bukan aku yang melaku-
kannya, kini sakit hatimu sudah terbalas. Tapi aku masih punya satu persoalan.
Aku belum bisa mendapatkan keris pusaka mu. Aku janji, Ayah. Aku akan
mendapatkan keris itu."
Gadis berbaju putih dan compang-camping penuh
tambalan itu berkata-kata dengan suara yang terden-
gar pelan sekali. Dan, tanpa disadari, setitik air bening menitik keluar dari
sudut matanya. Tapi, cepat dia
menyadari, lalu cepat-cepat menghapus air matanya
dengan punggung tangan. Sebentar kemudian kakinya
mulai bergerak melangkah mendekati reruntuhan
puing rumah di depannya ini. Namun, baru beberapa
langkah dia berjalan, mendadak...
Srek! "Heh..."!"
Cepat dia berhenti dan langsung memutar tubuh-
nya ketika tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari arah belakang. Saat itu,
terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat menyelinap di antara lebatnya pepoho-
nan yang menghitam kelam.
"Hup...!"
Begitu cepat dan ringan gerakannya saat melom-
pat. Dan, tahu-tahu gadis itu sudah berada di atas cabang pohon yang cukup
tinggi. Saat itu sekilas dia melihat kembali sebuah bayangan berkelebat tidak
jauh darinya. "Hup!"
Kembali dia melompat turun dan langsung melu-
ruk deras ke arah menghilangnya bayangan itu. Sete-
lah sedikit ujung jari kakinya menyentuh tanah, kembali tubuhnya melenting
tinggi ke udara. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara, lalu dengan manis
sekali meluruk deras begitu melewati atas kepala seseorang yang berlari cepat
menyelinap di antara pepohonan.
"Berhenti kau...!"
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis ber-
baju putih compang-camping dan penuh tambalan itu
menjejakkan kakinya pada jarak setengah batang tom-
bak dari seorang laki-laki setengah baya. Gadis berbaju putih compang-camping
dan penuh tambalan yang
tak lain adalah si Dewi Beruang Putih itu tampak menyipitkan kelopak matanya
saat memperhatikan laki-laki setengah baya di depannya.
"Siapa kau, Kisanak" Kenapa kau memata-matai
ku?" tegur Dewi Beruang Putih.
Suara gadis itu terdengar dingin dan datar. Tata-
pan matanya yang begitu tajam menembus langsung
ke bola mata lelaki di hadapannya yang kelihatan agak memerah. Sedangkan laki-
laki setengah baya yang
mengenakan baju kuning agak ketat itu beberapa saat terdiam. Tampak dia
memindahkan tongkat kayunya
dari tangan kanan ke tangan kiri. Lalu dua tindak dia melangkah ke depan. Sinar
matanya yang memerah
terlihat begitu tajam membalas tatapan mata si Dewi Beruang Putih.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Nisanak.
Untuk apa kau datang dan memperhatikan bekas ru-
mah Ki Satria...?" ujar laki-laki setengah baya itu dengan nada suara yang
terdengar dingin sekali.
"Heh..."! Siapa kau ini sebenarnya, Kisanak?" balas si Dewi Beruang Putih yang
tampak terkejut.
"Orang-orang selalu memanggilku Ki Gaduk..."
"Paman Gaduk.."!" desis Dewi Beruang Putih, langsung memutuskan ucapan laki-laki
setengah baya itu.
"Heh..."!"
Kali ini laki-laki setengah baya yang memper-
kenalkan dirinya dengan nama Ki Gaduk itulah yang
terperanjat, saat gadis berpakaian pengemis itu me-
nyebutnya paman. Dia langsung memperhatikan gadis
didepannya ini dalam-dalam, seakan-akan mencari se-
suatu pada diri gadis berpakaian pengemis ini.
"Oh...! Kau... kau pasti sudah tidak mengenaliku lagi, Paman. Lima belas tahun
memang bukan waktu
yang pendek," kata si Dewi Beruang Putih dengan nada suara yang terdengar agak
mendesah. "Nisanak, siapa kau ini?" tanya Ki Gaduk, yang tampak penasaran.
"Paman, aku... aku Intan, Paman. Intan Kumala...,"
jawab Dewi Beruang Putih, agak tersendat.
"Intan Kumala..."!"
Ki Gaduk tampak semakin terperanjat saat gadis
itu memperkenalkan dirinya. Dia sampai menarik ka-
kinya ke belakang tiga langkah. Dan, kelopak matanya terlihat menyipit
memperhatikan gadis berpakaian
pengemis di depannya ini. Kelihatannya lelaki tua ini tidak percaya kalau gadis
itu bernama Intan Kumala.
"Tidak...," desis Ki Gaduk kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku benar-benar Intan, Paman. Intan Kumala..., putri tunggal Ki Satria dan Nyai
Wandari," selak si De-wi Beruang Putih, mencoba meyakinkan.
"Tidak.... Intan Kumala sudah mati...," desis Ki Gaduk sambil terus menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Oh..., kenapa kau menyangka begitu, Paman?" keluh Dewi Beruang Putih. "Kenapa
semua orang menyangka aku sudah mati" Padahal aku masih hidup,
walaupun...."
Dewi Beruang Putih tidak melanjutkan kata-
katanya. Dia memandangi Ki Gaduk dalam-dalam. Ga-
dis itu ingat, Ki Gaduk adalah salah seorang pengawal yang ikut dengan ibunya
ketika Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa menghancurkan rumah ayahnya.
Dia juga tahu, Ki Laksa telah mengambil alih kedudukan Ki Satria sebagai orang
kepercayaan kerajaan yang bertugas mengantar barang-barang berharga ataupun
mengawal anggota keluarga istana dan para pembesar
lainnya. Gadis itu pun masih ingat, bukan hanya Ki
Gaduk, melainkan masih ada dua puluh orang lagi
yang bersama dengan Nyai Wandari ketika itu.
"Aku tahu, memang tidak mudah untuk memper-
cayai ku begitu saja. Aku memang tidak mungkin bisa meyakinkanmu bahwa aku
benar-benar Intan Kumala.
Tidak mengapa, Paman. Aku tidak menyalahkanmu.
Tapi aku akan membuktikan kalau aku adalah Intan
Kumala, putri tunggal Ki Satari," kata Dewi Beruang Putih dengan nada suara agak
tertahan. Setelah berkata demikian, Dewi Beruang Putih
memutar tubuhnya berbalik, lalu segera melangkah
pergi dengan ayunan kaki perlahan-lahan. Sedangkan
Ki Gaduk masih tetap diam memandangi. Entah apa
yang ada di dalam kepalanya saat itu. Bahkan dia masih tetap berdiri diam
mematung walaupun si Dewi Beruang Putih yang mengaku bernama Intan Kumala su-
dah tidak terlihat lagi, tertelan pekatnya malam ya dingin ini.
"Oh, benarkah dia Intan Kumala...?" desah Ki Ga-
duk perlahan, bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
*** Entah berapa lama Ki Gaduk berdiri diam mema-
tung di dalam gelapnya malam. Kemudian dia memu-
tar tubuhnya dan cepat berlari sambil mengerahkan
ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat
tinggi. Begitu cepatnya dia berlari, sehingga sebentar saja sudah jauh. Dan Ki
Gaduk terus berlari menembus lebatnya hutan. Dia tampak sudah mengenali dae-
rah hutan ini. Tidak ada sedikit pun halangan baginya, meski malam begitu pekat
dan bulan tersaput awa hitam yang tebal menggumpal.
Cras! Glarrr! Sesekali terlihat cahaya kilat menyambar di angka-
sa, disertai dengan ledakan guntur menggelegar bagai hendak membelah alam.
Namun, Ki Gaduk terus berlari semakin jauh masuk ke dalam hutan. Dia baru
berhenti setelah sampai di depan sebuah bangunan
cukup besar yang dikelilingi pagar tinggi dari balok-balok kayu bulat. Di depan
pintu, terlihat dua orang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Mereka
masing-masing membawa tombak dan golok yang ter-selip di pinggang. Salah seorang
langsung membuka
pintu begitu melihat Ki Gaduk.
"Jangan biarkan siapa pun masuk," pesan Ki Gaduk saat melewati dua orang penjaga
pintu itu. "Baik, Ki," sahut mereka bersamaan.
Salah seorang penjaga cepat-cepat menutup pintu
setelah Ki Gaduk berada di dalam. Pada saat itu juga, dari balik sebatang pohon
muncul seorang gadis berpakaian putih penuh tambalan dan compang-camping.
Dari pakaiannya, jelas dia adalah si Dewi Beruang Pu-
tih. Rupanya dia mengikuti Ki Gaduk sampai ke tem-
pat yang menyerupai sebuah benteng ini. Dengan ayu-
nan kaki yang ringan dan tenang, dia melangkah men-
dekati pintu yang dijaga dua orang pemuda itu.
"Berhenti...!" bentak salah seorang pemuda itu sambil menyilangkan tombaknya di
depan dada. "Biarkan aku masuk ke dalam!" desis si Dewi Beruang Putih, dingin.
"Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan ma-
suk," sahut salah seorang penjaga itu, tegas.
"Hm, kenapa...?"
"Itu perintah dari Ki Gaduk. Dan sebaiknya kau cepat tinggalkan tempat ini."
Dewi Beruang Putih menyipitkan kelopak matanya.
Dipandanginya dua orang pemuda penjaga pintu itu.
Dan, tiba-tiba....
"Hih!"
Cepat sekali dia melompat sambil mengebutkan
kedua tangannya secara bergantian. Begitu cepat gerakannya, sehingga dua orang
pemuda itu tampak ter-
Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
henyak. Dan, sebelum mereka bisa berbuat sesuatu
tahu-tahu.... "Hegkh!"
"Ugkh...!"
Kedua pemuda itu langsung jatuh tersuruk begitu
terkena totokan halus di bagian dada sebelah kiri. Sedangkan Dewi Beruang Putih
berdiri tegak di depan
pintu. Dia hanya melirik sedikit pada dua orang pemu-da penjaga pintu yang
menggeletak tak sadarkan diri setelah jalan darahnya tertotok.
"Kalian tidak akan bersikap begitu kalau tahu siapa aku," desis Dewi Beruang
Putih. Kemudian gadis berpakaian compang-camping
mendorong pintu yang terbuat dari gelondongan kayu.
Perlahan-lahan pintu terkuak. Sedikit dia menjulurkan
kepalanya melongok ke dalam. Setelah yakin tidak ada seorang pun yang terlihat,
cepat dia melompat masuk ke dalam. Tapi, baru saja dia menjejakkan kakinya,
mendadak bermunculan orang-orang bersenjata tom-
bak dan golok. Dan, sebentar saja Dewi Beruang Putih sudah terkepung oleh tidak
kurang dari tiga puluh
orang yang masih muda-muda.
"Hm...."
Dewi Beruang Putih hanya menggumam perlahan.
Dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Diraya-
pinya orang-orang yang telah rapat mengepungnya
dengan senjata masing-masing terhunus di tangan.
Kemudian pandangannya tertuju ke arah sebuah ban-
gunan rumah besar yang terbuat dari kayu. Tampak di beranda depan rumah yang
sangat besar berdiri seorang wanita berusia setengah baya. Di samping wanita
itu, berdiri pula seorang laki-laki berbaju kuning yang dikenal oleh Dewi
Beruang Putih sebagai Ki Gaduk.
Walaupun sudah berusia setengah baya, garis-garis
kecantikan masih terlihat jelas pada raut wajah wanita itu. Wanita cantik
setengah baya itu kemudian melangkah perlahan dengan anggun sekali keluar dari
beranda. Ki Gaduk pun mengikuti dari belakang.
Dewi Beruang Putih memandangi wajah wanita se-
tengah baya yang masih kelihatan cantik. Kemudian
pandangannya berpindah ke beranda. Di situ terlihat seorang gadis berdiri tidak
jauh dari pintu. Gadis itu tampak amat cantik, dengan baju biru muda ketat,
yang membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping
dan indah. Tampak pula sebilah pedang berukuran
panjang tergantung di pinggangnya yang ramping.
Sementara itu, Ki Gaduk dan wanita setengah baya
itu sudah sampai begitu dekat di depan Dewi Beruang Putih. Jarak mereka tinggal
sekitar enam langkah. Sedangkan sekitar tiga puluh orang bersenjata tombak
dan golok masih tetap mengepung dengan sikap siap
menerima perintah. Tak ada seorang pun yang mem-
buka suara. Suasana pun menjadi hening dan begitu
mencekam. Detak-detak jantung begitu terasa jelas
terdengar. Entah kenapa, sorot mata Dewi Beruang Putih dan
wanita setengah baya yang cantik itu saling bertemu.
Mereka sama-sama merasakan adanya getaran di da-
lam dada. Dan, getaran itu semakin lama semakin bertambah kuat. Kedua wanita itu
terus terpaku dari
mematung diam. Cukup lama juga keduanya berpan-
dangan, seperti tengah berbicara di antara hati masing-masing.
"Kau yang mengaku bernama Intan Kumala..."
Wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik itu terlebih dulu tersadar. Dia
langsung bertanya dengan suara yang agak tertekan.
"Aku memang Intan Kumala," sahut Dewi Beruang Putih.
'Terus terang, aku memang kehilangan seorang
anak perempuan lima belas tahun yang lalu. Dan ka-
lau memang masih hidup, dia tentu sudah sebesar mu.
Tapi aku ingin bukti kalau kau benar-benar Intan Kumala," kata wanita itu,
tegas. Dewi Beruang Putih langsung terdiam. Dia memang
tidak mempunyai bukti satu pun yang bisa menunjuk-
kan bahwa dirinya adalah Intan Kumala, putri tunggal Ki Satria. Tapi di dalam
hatinya dia merasa yakin kalau wanita yang berdiri di depannya ini adalah
ibunya, ibu kandungnya yang sudah lima belas tahun terpisah.
Ingin rasanya dia bersimpuh dan memeluk kaki wanita di hadapannya ini. Tapi,
karena sikap wanita itu jelas sekali menunjukkan keragu-raguan, Dewi Beruang
Putih harus menahan rasa kerinduan selama lima belas
tahun ini. "Nisanak, kalau kau memang anakku Intan Kuma-
la, kau pasti tahu nama ayah dan ibumu," kata wanita setengah baya itu lagi,
yang jelas hendak menguji.
"Ayahku bernama Ki Satria. Sedangkan ibuku Nyai Wandari," sahut Dewi Beruang
Putih, tegas. "Lalu, bagaimana kau bisa sampai terpisah dari kedua orang tuamu?"
"Ayah dikhianati oleh Paman Laksa yang dibantu Perampok Tiga Nyawa. Ayah tewas
dalam pertarungan,
sedangkan aku tidak tahu bagaimana nasib ibuku, se-
telah aku terlempar masuk ke dalam Jurang Setan.
Hanya itu yang aku ingat," jelas Dewi Beruang Putih dengan singkat.
Wanita setengah baya yang tak lain memang Nyai
Wandari itu hanya bisa menggigit-gigit bibirnya mendengar penuturan gadis berpakaian pengemis itu. Dan tampak jelas
kedua bola matanya berkaca-kaca. Degup detak jantungnya begitu jelas terdengar.
Sedangkan ta-rikan nafasnya juga begitu kuat memburu. Di hada-
pannya, Dewi Beruang Putih tetap berdiri diam me-
mandangi dengan perasaan yang tidak menentu.
"Apa yang kau katakan memang benar, Nisanak.
Tapi apakah kau tahu kalau ada seorang lagi yang
berkhianat?" tanya Nyai Wandari lagi.
Dewi Beruang Putih hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dia memang tidak tahu kalau masih ada
satu orang lagi yang mengkhianati ayahnya. Yang dia tahu, hanya Ki Laksa yang
berkhianat. Dan, lelaki itu telah merebut kedudukan Ki Satria menjadi orang
kepercayaan kerajaan.
"Seorang lagi telah berkhianat dan mencuri senjata pusaka suamiku. Itu sebabnya,
kenapa suamiku sampai mudah dikalahkan. Nisanak, jika kau memang be-
nar Intan Kumala, aku hanya ingin bukti lewat pusaka itu. Kalau kau bisa membawa
pusaka itu padaku, kau
memang anakku yang hilang lima belas tahun lalu,"
kata Nyai Wandari, dengan suara agak tersendat.
Dewi Beruang Putih hanya diam memandangi. Dia
tahu, pusaka apa yang dimaksudkan wanita setengah
baya ini. Dan dia juga tahu, siapa yang memegangnya sekarang. Inilah yang
membuatnya diam terpaku. Dia
justru mencari wanita ini karena ingin merebut kem-
bali Keris Naga Emas dari tangan Pendekar Pulau Ne-
raka. Tapi sekarang wanita yang diyakini sebagai
ibunya ini malah memintanya untuk membawa Keris
Naga Emas kepadanya.
Dewi Beruang Putih tidak bisa lagi berbicara. Dia
harus membawa Keris Naga Emas agar bisa berkumpul
kembali dengan ibu kandungnya ini. Tanpa berkata-
kata sedikit pun, dia memutar tubuhnya dan langsung melangkah keluar dari
bangunan besar berbentuk benteng pertahanan ini. Dua orang pemuda yang meme-
gang senjata tombak cepat-cepat membuka pintu ger-
bang. Dewi Beruang Putih terus melangkah keluar tanpa
berpaling lagi sedikit pun. Sedangkan Nyai Wandari
yang terus didampingi Ki Gaduk masih berdiri me-
mandangi sampai pintu gerbang ditutup kembali.
"Gaduk...," kata Nyai Wandari pelan sekali.
"Iya, Nyai," sahut Ki Gaduk.
"Kau ikuti dia. Dan bantu sebisa mu untuk mendapatkan Keris Naga Emas," ujar
Nyai Wandari, memberi perintah.
'Tapi, Nyai...," kata Ki Gaduk, seperti hendak menolak "Gaduk, perasaanku
mengatakan, dia memang Intan Kumala," selak Nyai Wandari, memotong cepat.
"Ikuti dia, jangan sampai ketahuan."
"Baik, Nyai," sahut Ki Gaduk, tidak bisa membantah lagi.
Nyai Wandari bergegas memutar tubuhnya dan me-
langkah cepat-cepat ke rumah besar tempat tinggalnya selama ini. Dia berhenti
setelah sampai di depan pintu.
Sedikit dia melirik pada seorang gadis cantik yang sejak tadi berdiri saja di
samping pintu. Gadis itu juga memandangnya dengan sinar mata yang begitu sukar
diartikan. "Bu..., benarkah aku masih punya kakak...?" ujar, gadis itu, ragu-ragu.
"Ayo masuk, Ibu ceritakan semuanya di dalam" ka-ta Nyai Wandari.
'Tapi, benarkah aku masih punya kakak, Bu"' de-
sak gadis itu. Nyai Wandari tersenyum, lalu merengkuh bahu ga-
dis itu. Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam
rumah yang berukuran besar dan terbuat dari kayu
ini. Keduanya duduk di balai-balai dari bambu yang
beralaskan permadani lembut berwarna biru muda.
Dengan tutur kata yang lembut dan perlahan-lahan,
Nyai Wandari kemudian menceritakan semua peristiwa
yang terjadi lima belas tahun yang lalu, di saat dia tengah mengandung sekitar
dua bulan. Gadis cantik itu
tampak mendengarkan dengan penuh perhatian. Sedi-
kit pun dia tidak menyelak sampai Ny Wandari selesai dengan ceritanya.
Lama juga kedua wanita itu terdiam. Gadis cantik
berbaju biru muda itu masih tetap diam, meskipun
ibunya sudah tidak bercerita lagi. Dia memandangi wajah yang sudah mulai keriput
itu dalam-dalam. Entah apa yang dirasakannya saat ini setelah mendengar semua
cerita menyedihkan yang terjadi lima belas tahun lalu itu.
"Begitulah ceritanya, Rara Anting. Sampai sekarang ini aku tidak tahu, bagaimana
nasib kakakmu," kata Nyai Wandari agak mendesah, setelah cukup lama
berdiam diri. "Bu, apa mungkin Kak Intan Kumala masih bisa
hidup di dalam Jurang Setan...?" tanya gadis cantik yang dipanggil Rara Anting
itu, dengan suara yang pelan sekali dan terdengar ragu-ragu.
"Entahlah, Anakku. Belum pernah aku mendengar
ada orang yang bisa hidup setelah jatuh ke dalam Jurang Setan," sahut Nyai
Wandari, mendesah perlahan.
'Tapi, siapa gadis itu tadi, Bu?" tanya Rara Anting, terus mendesak.
"Aku tidak tahu, Rara Anting. Tapi dia mengaku sebagai Intan Kumala."
"Ibu percaya?"
Nyai Wandari hanya menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. Bibirnya terlihat mengukir sebuah senyum. Ta-pi, terasa getir sekali
senyum itu. Perlahan-lahan me-malingkan kepalanya, lalu menatap keluar melalui
jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Raut wajahnya terlihat menyiratkan
kedukaan yang begitu dalam. Ra-ra Anting beringsut mendekati dan langsung
memeluk bahu ibunya. "Bu..., aku senang sekali kalau Kak Intan masih hidup," ujar Rara Anting,
berbisik pelan.
"Aku juga berharap begitu, Anting. Siang malam aku selalu memohon pada Hyang
Widi untuk melin-dungi Intan Kumala dan mempertemukan aku den-
gannya kembali," sahut Nyai Wandari, yang juga berbisik pelan.
"Jika Ibu mengizinkan, aku akan mencarinya," kata Rara Anting.
Nyai Wandari langsung menatap dalam-dalam ke
bola mata anak gadisnya ini. Terlihat jelas adanya ke-sungguhan pada sinar mata
Rara Anting. Nyai Wandari tidak dapat lagi mengendalikan diri. Dia langsung
menarik gadis itu dan merengkuhnya ke dalam pelukan.
Tak dapat lagi dia menahan air matanya yang jatuh
menitik. Sedangkan Rara Anting hanya diam saja, ti-
dak tahu harus berbuat apa lagi. Dia takut kalau ucapannya tadi membuat hati
ibunya terluka.
Lama juga Nyai Wandari memeluk putrinya. Kemu-
dian perlahan-lahan dia melepaskan pelukannya dan
memandangi wajah Rara Anting begitu dalam. Dengan
punggung tangannya dia menyeka air mata yang men-
galir membasahi pipinya.
"Dunia luar begitu kejam, Anakku. Sedangkan
bekal yang kau miliki belum cukup untuk mengarungi
ganasnya rimba belantara," kata Nyai Wandari, agak tersendat.
'Tapi, Bu...."
"Aku sudah memerintahkan Paman Gaduk untuk
mencari keterangan tentang kakakmu. Sebaiknya kau
di sini saja bersamaku, Anting. Tidak ada lagi yang aku miliki sekarang ini
selain kau," selak Nyai Wandari, cepat-cepat memotong ucapan putrinya.
"Bu, orang-orang mungkin masih ada yang menge-
nali Paman Gaduk. Tapi tidak ada seorang pun yang
bisa mengenaliku. Izinkan aku mencari kak Intan,
Bu...," rengek Rara Anting.
"Jangan, Anting.... Aku tidak mau kehilangan mu."
"Aku janji, Bu. Hanya satu pekan saja. Setelah itu, aku tidak akan keluar dari
tempat ini. Berikan aku kesempatan, Bu. Aku akan mencari tahu kabar Kak In-
tan," desak Rara Anting.
Nyai Wandari terdiam. Memang sulit baginya untuk
mencegah Rara Anting jika gadis itu sudah menginginkan sesuatu. Gadis ini memang
keras. Dan, wataknya
yang keras ini mengingatkan Nyai Wandari pada men-
diang suaminya. Agaknya, tidak ada sedikit pun yang terbuang dari watak-watak Ki
Satria pada diri Rara
Anting... "Baiklah...," desah Nyai Wandari, mengalah.
"Oh, terima kasih, Bu...," ucap Rara Anting sambil langsung memeluk wanita yang
melahirkannya ini.
"Tapi ingat, Anting. Satu pekan saja. Setelah itu kau jangan keluar lagi dari
tempat ini," pesan Nyai Wandari, mengingatkan.
"Aku janji, Bu. Satu pekan saja," sahut Rara Anting dengan gembira.
"Dan sebaiknya pula kau membawa teman," usul Nyai Wandari.
Prahara Rimba Buangan 1 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Si Racun Dari Barat 9
PEWARIS KERIS NAGA EMAS Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Suhardi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Pewaris Keris Naga Emas
136 hal. ; 12 x 18 cm
1 Bayu duduk diam bersila memandangi Dewi Be-
ruang Putih yang juga duduk bersila dengan sikap bersemadi. Kedua telapak tangan
gadis berpakaian putih compang-camping dan penuh tambalan itu menempel
rapat di depan dada. Kedua matanya terlihat terpejam.
Sedangkan tidak jauh di belakang Dewi Beruang Putih, terlihat seekor beruang
berbulu putih seperti kapas mendekam diam dan memperhatikan gadis itu juga.
Sesekali binatang bertubuh raksasa ini memandang
pada pemuda berbaju kulit harimau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar
Pulau Neraka. Entah sudah berapa lama Dewi Beruang Putih du-
duk bersila dan bersemadi sejak bertarung dengan Ki Laksa dan si Perampok Tiga
Nyawa. Sedangkan Bayu
tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Dan, memang Dewi
Beruang Putih tidak menginginkan pertolongan Pende-
kar Pulau Neraka. Dia masih bisa mengatasi keadaan
dirinya sendiri dengan cara bersemadi.
"Heh! Panas sekali udara di sini," keluh Bayu, perlahan.
Begitu pelan suara Pendekar Pulau Neraka, hingga
hanya dia sendiri yang mendengarnya. Dan, memang
Bayu merasakan udara di sekitarnya menjadi terasa
begitu panas. Bahkan, semakin lama semakin bertam-
bah menyengat, bagaikan berada dekat dengan tungku
api pembakaran. Keringat mulai terlihat menitik di
kening Pendekar Pulau Neraka.
Udara terasa semakin bertambah panas. Bahkan,
rerumputan dan dedaunan mulai kelihatan menguning
kering. Pohon-pohon pun mulai menggugurkan daun-
nya. Bayu sendiri mulai merasa tidak tahan dengan
udara yang semakin panas menyengat ini. Sambil
menghembuskan napas panjang, dia kemudian bang-
kit berdiri. Sebentar pandangannya tertuju pada Dewi Beruang Putih yang masih
duduk bersemadi ditemani
Beruang Putih peliharaannya. Ketika kepala Pendekar Pulau Neraka sedikit
mendongak ke atas, keningnya
langsung berkerut. Karena, meskipun saat itu mataha-ri sedikit tertutup oleh
awan, udara di sekitar Bayu terus bertambah panas dan menyengat, seakan-akan in-
gin membakar seluruh kulit tubuhnya.
Hawa panas yang dirasakan Pendekar Pulau Nera-
ka semakin lama semakin menggila saja. Bayu hampir
tidak tahan lagi. Namun, baru saja dia hendak mengerahkan hawa murni untuk
menahan sengatan hawa
panas itu, mendadak terjadi perubahan yang begitu
cepat. Hawa panas yang dirasakan begitu menyengat
ini mendadak menghilang. Dan, langsung berganti
dengan udara dingin yang menggigilkan.
"Ugkh...!"
Bayu langsung teringat ketika dirinya berada di
pinggiran Jurang Setan. Ketika itu dia merasakan hal yang sama dengan yang
dialaminya sekarang ini. Hawa panas dan dingin yang bergantian itu begitu cepat
membuat peredaran darahnya terganggu (Baca serial
Pendekar Pulau Neraka dalam kisah "Tiga Pengemis Sakti"). Tubuh Pendekar Pulau
Neraka terlihat bergidik dan menggigil kedinginan. Pandangannya tertuju lurus
pada Dewi Beruang Putih yang masih tetap diam, duduk bersila dengan sikap
bersemadi. Cukup lama juga Bayu merasa tersiksa dalam uda-
ra yang begitu dingin menggigilkan ini. Dari langit pun turun gumpalan-gumpalan
putih seperti kapas. Dan,
sebentar saja sekitar hutan itu dipenuhi oleh gumpalan-gumpalan putih yang
menyebarkan udara dingin
membekukan tulang.
"Hep!"
Tidak ada jalan lain bagi Bayu. Dia segera menya-
lurkan hawa murni ke seluruh tubuhnya. Hawa murni
yang terasa hangat membuat tubuhnya tidak lagi
menggigil kedinginan. Pendekar Pulau Neraka kembali duduk bersila. Kedua telapak
tangannya dirapatkan di depan dada. Dia merasakan, semakin kuat hawa murni
dikerahkannya, semakin keras pula hawa dingin itu merasuk ke dalam tubuhnya. Hal
itu membuat darahnya bergolak, seakan-akan ada pertentangan di dalam tubuhnya.
*** Entah berapa lama Pendekar Pulau Neraka duduk
bersila dengan sikap bersemadi melawan hawa dingin
yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Bahkan, kini
gumpalan-gumpalan putih bagai kapas sudah menu-
tupi hampir seluruh tubuhnya. Hanya bagian leher
dan kepalanya yang masih terlihat.
Sementara itu, Dewi Beruang Putih masih tetap
bersemadi. "Hup!"
Tiba-tiba saja gadis berbaju putih dan compang-
camping penuh tambalan itu melompat bangkit berdiri.
Sebentar dia melakukan beberapa gerakan yang indah
dan lembut. Kemudian tubuhnya berdiri tegap, se-
dangkan matanya memandang ke arah matahari yang
saat itu mulai terlihat condong ke arah Barat.
"Oh..."!"
Dewi Beruang Putih tampak terkejut. Dia melihat,
tidak jauh di depannya, seorang pemuda berwajah
tampan duduk bersila dengan seluruh tubuh terbung-
kus gumpalan putih seperti kapas. Bergegas gadis itu menghampiri sambil terus
mengamati. Sedangkan pemuda tampan yang tak lain adalah Bayu tetap diam
dengan mata terpejam rapat.
"Hep...!"
Cepat-cepat Dewi Beruang Putih menghentakkan
kedua tangannya ke depan, sambil duduk bersila di
depan Pendekar Pulau Neraka. Dan, seketika itu juga dari kedua telapak tangannya
memancar cahaya merah bagai api yang berkobar. Cahaya merah itu langsung
menyelubungi seluruh tubuh Pendekar Pulau Ne-
raka. "Hup...!"
Hanya sebentar kemudian, Dewi Beruang Putih
sudah melompat ke belakang sejauh tiga langkah.
Dan, saat itu juga Bayu membuka kelopak matanya.
Tidak ada lagi gumpalan putih yang menyelimuti tu-
buhnya. Perlahan Pendekar Pulau Neraka bangkit ber-
diri. Pandangannya langsung tertuju pada gadis berba-ju putih compang-camping
dan penuh tambalan di de-
pannya. Gadis itu juga memandangi wajah Pendekar
Pulau Neraka dengan sinar mata yang kelihatan cukup tajam, sedikit terlindung
oleh rambutnya yang meriap tak beraturan.
Entah berapa lama mereka berdiam diri dan berta-
tapan saja dengan sinar mata yang cukup tajam. Ke-
mudian Dewi Beruang Putih menggerakkan kepalanya
perlahan. Pandangannya mengarah ke sekeliling tem-
pat ini. Dia melihat, tidak jauh darinya tergeletak dua sosok tubuh tak bernyawa
lagi. Dan, di atas sebatang pohon terlihat pula sesosok tubuh tersampir di
sebatang cabang yang cukup besar dan kuat. Dia tahu,
mayat-mayat itu adalah Ki Laksa dan dua orang dari si Perampok Tiga Nyawa.
"Kau yang membunuh mereka...?" tanya Dewi Beruang Putih.
Nada suara gadis itu terdengar begitu dingin. Bah-
kan, tak ada tekanan nada sedikit pun pada suaranya.
Pandangannya kembali tertuju tajam pada Pendekar
Pulau Neraka. "Kenapa kau bertanya begitu?" Bayu malah balik bertanya.
Pendekar Pulau Neraka tahu, gadis berpakaian
pengemis ini sesungguhnya sudah tahu bahwa dialah
yang menewaskan ketiga laki-laki tua itu. Dan, kalau tidak ada Bayu, mungkin
gadis ini dan beruang putih raksasanya sudah tewas di tangan Ki Laksa dan si
Perampok Tiga Nyawa (Baca serial Pendekar Pulau Nera-
ka dalam kisah "Dewi Beruang Putih"). Tapi, entah kenapa Dewi Beruang Putih
bersikap seakan-akan tidak
tahu apa yang telah terjadi di tempat ini tadi.
"Mereka bukan orang-orang sembarangan. Kalau
kau bisa membunuh mereka semua, itu berarti kau
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari mereka,"
kata Dewi Beruang Putih dengan nada suara yang ter-
dengar datar dan dingin.
"Lalu...?" Bayu sengaja memancing.
"Kau sudah mengalahkan dan membunuh mereka.
Kau juga harus bisa mengalahkan aku kalau ingin
menguasai Keris Naga Emas," desis Dewi Beruang Putih, semakin dingin.
Bayu tersenyum tipis. Dia menggeser kakinya ke
kanan dua tindak. Pandangannya masih tetap tak ber-
kedip, tertuju lurus ke bola mata yang hampir tertutup rambut hitam acak-acakan
itu. Kata-kata Dewi Beruang Putih barusan sudah membuktikan, bahwa se-
benarnya dia memang mengetahui semua yang telah
terjadi di dalam hutan ini. Itulah yang membuat Bayu tersenyum. Beberapa saat
mereka kembali terdiam, tak berbicara lagi. Sedikit Bayu melirik pada beruang
putih raksasa yang masih mendekam diam di bawah pohon,
tidak jauh di belakang Dewi Beruang Putih ini, dengan jarak hanya sekitar dua
batang tombak. "Sebaiknya kau serahkan saja keris itu padaku, Kisanak. Karena, akulah yang
berhak memegang keris
pusaka itu," kata Dewi Beruang Putih lagi.
"Memang yang berhak memegang keris ini adalah
seorang wanita. Tapi aku tidak yakin kalau kau pewarisnya," ujar Bayu, yang
tetap bersikap tenang.
"Huh!"
Dewi Beruang Putih mendengus kesal mendengar
kata-kata pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi, dia cepat menyadari, memang
tidak mudah membuktikan
bahwa dirinyalah pewaris tunggal Keris Naga Emas
yang sekarang berada di tangan Pendekar Pulau Nera-
ka itu. Dia juga menyadari, dirinya sendiri baru sekarang ini muncul ke dunia
luar, setelah selama lima belas tahun tinggal bersama-sama dengan Tiga Pengemis
Sakti di dalam dasar Jurang Setan. Terlebih lagi, dengan keadaannya yang seperti
ini, tidak mungkin ada
orang yang bisa mengenalinya lagi. Bahkan, semua
orang menyangka kalau dia sudah mati tercebur ke
dalam Jurang Setan saat usianya baru empat tahun.
"Kisanak, kau tahu siapa nama pewaris Keris Naga Emas itu?" tanya Dewi Beruang
Putih, kemudian seakan-akan tengah menguji Pendekar Pulau Neraka.
"Ya," sahut Bayu mantap. "Namanya Intan Kumala. Dan dia putri tunggal Ki Satria,
tapi memang kuakui, aku belum pernah bertemu dengannya. Dan
aku akan terus berusaha menemuinya kalau dia me-
mang benar-benar masih hidup sekarang ini."
"Ketahuilah, Kisanak. Akulah yang bernama Intan Kumala. Dan aku putri tunggal Ki
Satria," kata Dewi Beruang Putih dengan tegas.
"Hm..."
Bayu hanya mengerutkan keningnya. Kelopak ma-
tanya tampak menyipit. Diperhatikannya seluruh tu-
buh gadis berpakaian pengemis di depannya ini. Jelas
sekali dari sinar matanya, Pendekar Pulau Neraka tidak percaya dengan pengakuan
yang diucapkan Dewi
Beruang Putih barusan.
"Baiklah kalau kau tidak percaya, Kisanak Aku
akan buktikan bahwa akulah pewaris tunggal Keris
Naga Emas itu," kata Dewi Beruang Putih lagi, dengan suara yang masih tetap
terdengar tegas.
"Bagaimana kau akan membuktikannya?"
"Menemukan ibuku yang hilang. Hanya ibuku yang tahu semua duduk persoalannya."
"Hm...."
"Kita akan bertemu lagi, Kisanak"
Kemudian dengan cepat sekali Dewi Beruang Putih
melesat masuk ke dalam hutan. Bersamaan dengan
itu, Beruang Putih yang sejak tadi mendekam di bawah pohon juga ikut melompat
cepat. Begitu cepat gerakan mereka, hingga dalam sekejap mata keduanya sudah
lenyap tak terlihat lagi.
Sementara itu Bayu masih tetap berdiri tegak di
tempatnya. Kedua matanya memandang lurus ke arah
kepergian gadis pengemis dan beruang putih raksasa
itu. Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka berdiri di-am. Kemudian, dia memutar
tubuhnya dan melangkah
ringan meninggalkan daerah padang rumput di ten-
gah-tengah hutan ini. Ayunan kakinya begitu ringan, seakan-akan tidak menjejak
tanah. Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka sudah jauh meninggalkan tempat
ini, sekaligus meninggalkan dua sosok mayat yang
menggeletak di tanah dan satu lagi di atas pohon.
*** "Wulan...!" seru Bayu lantang, di depan mulut gua yang cukup besar dan hampir
tertutup oleh semak belukar.
Belum lagi suara teriakan Pendekar Pulau Neraka
menghilang dari pendengaran, seorang gadis cantik
berbaju merah muda agak ketat muncul dari dalam
gua. Gadis itu tampak menyibakkan semak belukar
yang menutupi mulut gua. Seekor monyet kecil berada di pundak kanannya. Monyet
kecil itu cepat melompat turun dan berlari-lari menghampiri Pendekar Pulau
Neraka. Bayu mengulurkan tangannya. Diraihnya monyet
kecil berbulu hitam itu, lalu ditaruh di atas pundak kanannya. Sedang gadis
cantik berbaju merah muda
agak ketat itu sudah berada di depan Pendekar Pulau Neraka. Kedua tangannya
kelihatan kotor, penuh dengan lumpur yang melekat.
"Kenapa tanganmu, Wulan?" tanya Bayu.
"Aku baru saja selesai menguburkan si Nyawa Bi-ru," sahut Ratna Wulan.
"Di sana ada sungai. Cuci dulu tanganmu," kata Bayu sambil menunjuk ke arah
kanan. Tanpa berkata-kata sedikit pun, Ratna Wulan me-
langkah mengikuti arah yang ditunjuk Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu tetap
berdiri memperhatikan.
Hanya sebentar, gadis itu telah menghilang di dalam lebatnya pepohonan. Dan, tak
lama kemudian dia
muncul lagi dengan tangan yang sudah bersih dari no-da tanah berlumpur.
"Ke mana saja kau pergi tadi, Kakang?" tanya Ratna Wulan setelah dekat di depan
Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Pulau Ne-
raka. "Membereskan mereka," sahut Bayu, kalem.
"Terus...?" desak Ratna Wulan, ingin tahu lebih jauh.
"Yaaah..., mereka tidak mungkin bisa muncul lagi."
"Kau menewaskan mereka semua?"
Bayu hanya menganggukkan kepala. Kakinya te-
rayun melangkah. Ratna Wulan mengikuti, lalu mense-
jajarkan ayunan kakinya di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka.
"Lalu, apa lagi yang terjadi...?" tanya Ratna Wulan lagi saat melihat ada
sesuatu yang lain pada raut wajah Pendekar Pulau Neraka.
"Kau ingat ketika berada di dasar Jurang Se-
tan...?" Bayu malah balik bertanya.
Ratna Wulan mengerutkan keningnya tidak men-
gerti. Dipandanginya wajah Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam. Sedangkan kakinya
terus terayun melang-
kah mengikuti irama ayunan langkah kaki pemuda
tampan berbaju kulit harimau di sebelah kanannya ini.
"Beruang putih raksasa itu muncul lagi ketika aku sedang terdesak," lanjut Bayu.
'Beruang putih...?"
Ratna Wulan langsung teringat saat dia dan Pen-
dekar Pulau Neraka berada di dasar Jurang Setan. Mereka memang sempat dihadang
seekor beruang putih
bertubuh raksasa. Beruang Putih itu langsung saja
menyerang, tapi kemudian juga dengan mendadak
berhenti menyerang. Bahkan, langsung pergi begitu sa-ja. Dan, sekarang Beruang
Putih itu berada di sini, di hutan yang dekat dengan perbatasan Desa Gebang.
Ratna Wulan hampir tidak percaya mendengarnya. Ta-
pi, dia yakin bahwa Bayu tidak mungkin berbohong
padanya. "Tadi dia muncul tidak sendirian, Wulan," lanjut Bayu dengan suara yang
terdengar pelan.
"Maksudmu...?" Ratna Wulan semakin tidak mengerti.
"Dia datang bersama pemiliknya," sahut Bayu, masih pelan.
"Pemiliknya..."!"
Ratna Wulan tidak bisa lagi menyembunyikan ke-
terkejutannya. Dia memang benar-benar terkejut men-
dengar beruang putih raksasa itu muncul lagi, bahkan kali ini bersama
pemiliknya. Walaupun sejak berada di dasar Jurang Setan dia sudah menduga bahwa
beruang putih raksasa itu dipelihara orang, tetap saja gadis ini tidak bisa
menyembunyikan keterkejutannya.
"Dia bukan saja mempunyai urusan dengan Ki
Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Tapi dia juga menginginkan Keris Naga Emas.
Bahkan dia pun mengaku
bernama Intan Kumala, pewaris Keris Naga Emas itu,
Wulan," sambung Bayu, tanpa menghiraukan keterkejutan gadis di sebelahnya itu.
"Oh...," Ratna Wulan mendesah panjang.
"Ada apa, Wulan?" tanya Bayu sambil memperhatikan wajah gadis ini lekat-lekat.
Ratna Wulan diam saja. Dia terus mengayunkan
kakinya perlahan-lahan.
Bayu menghentikan ayunan langkahnya. Dia terus
memperhatikan Ratna Wulan yang tidak juga meng-
hentikan ayunan kakinya. Sesaat kemudian barulah
Bayu kembali melangkah dan mensejajarkan jalannya
di samping gadis ini. Pendekar Pulau Neraka menge-
rutkan keningnya. Dipandanginya raut wajah Ratna
Wulan yang tampak berubah. Sedangkan pandangan
mata gadis itu tetap tertuju lurus ke depan. Sedikit pun Ratna Wulan tidak
membuka suara. "Ada yang mengganggu pikiranmu, Wulan?"
Pertanyaan Bayu kali ini bernada mendesak. Dia
memang benar-benar ingin tahu, kenapa tiba-tiba si-
kap Ratna Wulan berubah setelah dia menceritakan
semua peristiwa yang dialaminya tadi.
"Entahlah...," desah Ratna Wulan, perlahan.
Gadis cantik berbaju merah itu seakan-akan tidak
yakin dengan jawabannya sendiri. Hal ini membuat
kening Bayu semakin dalam berkerut. Dia yakin, ada
sesuatu yang dipikirkan gadis ini. Tapi, entah apa..."
Sedangkan Ratna Wulan sendiri tidak tahu, kenapa ti-ba-tiba saja seperti ada
sesuatu yang terlintas di dalam kepalanya. Hanya sekelebatan saja pikiran itu
melintas, hingga dia tidak yakin dengan apa yang ada di dalam kepalanya saat
ini. "Kakang, aku jadi lupa, siapa nama gadis pewaris Keris Naga Emas itu?" tanya
Ratna Wulan, setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Intan Kumala," sahut Bayu singkat.
"Lalu, gadis pemilik beruang putih itu, siapa na-manya?"
"Semula dia mengaku bernama Dewi Beruang Pu-
tih. Tapi setelah dia melihat Keris Naga Emas, langsung dia mengaku bernama
Intan Kumala. Bahkan dia
juga menyebutkan bahwa nama ayahnya adalah Ki Sa-
tria. Tapi aku belum percaya kalau Dewi Beruang Pu-
tih itu adalah Intan Kumala, Wulan. Dan aku tidak
mau menyerahkan keris pusaka yang dititipkan pada-
ku ini pada sembarang orang. Aku harus menyerah-
kannya pada orang yang benar-benar tepat," kata Bayu, tegas.
"Aku merasa, memang dialah pewarisnya, Ka-
kang," gumam Ratna Wulan perlahan, seakan-akan bicara dengan dirinya sendiri.
"Apa yang kau bilang, Wulan..."!" sentak Bayu kaget. Ratna Wulan tidak menjawab.
Dia kembali diam
dan terus melangkah tanpa bicara lagi. Sedangkan
Bayu terus memandangi wajah cantik di sampingnya
ini. Sungguh dia tidak mengerti, apa maksud dari ka-ta-kata yang diucapkan Ratna
Wulan barusan. Kata-
kata yang bernada menggumam itu seakan-akan ke-
luar bukan dari bibir gadis ini.
Sementara itu tanpa disadari, mereka berjalan me-
nuju ke Desa Gebang. Saat ini matahari sudah jauh
condong ke ufuk Barat. Cahayanya yang semula terik
mulai terasa begitu lembut dan berwarna merah jing-
ga. Sungguh indah pemandangan senja ini. Tapi, keindahan yang tersirat itu tidak
bisa dinikmati Bayu
maupun Ratna Wulan. Mereka terus sibuk dengan
berbagai macam pikiran yang berkecamuk di dalam
benaknya masing-masing. Entah apa yang ada di da-
lam kepala mereka saat ini. Hanya mereka sendiri yang tahu.
*** 2 Malam sudah turun menyelimuti seluruh permu-
kaan bumi Desa Gebang. Kesunyian begitu terasa me-
nemani sang dewi malam yang memancar lembut den-
gan sinarnya yang indah keperakan. Tidak jauh dari
perbatasan sebelah Timur, tampak seorang gadis berbaju putih, compang-camping,
dan penuh tambalan
berdiri tegak di depan puing-puing reruntuhan sebuah rumah yang berhalaman luas.
Sunyi sekali di sekitarnya. Tak ada seorang pun yang terlihat di tempat ini
selain gadis berpakaian pengemis itu.
Entah sudah berapa lama dia berada di dekat
puing-puing reruntuhan rumah itu. Sinar matanya
yang begitu tajam tampak tak berkedip sedikit pun
memandangi reruntuhan rumah itu. Memang, ada se-
suatu yang sedang dikenangnya, sesuatu yang tak
akan mungkin bisa dilupakannya seumur hidup.
Di dalam pandangannya, seakan-akan dia melihat
rumah itu masih berdiri tegak dan begitu indah. Bibirnya kemudian tersenyum saat
melihat seorang bocah
perempuan berusia sekitar empat tahun tengah berla-
ri-lari kecil sambil tertawa riang mengelilingi taman yang tertata sangat indah.
Di belakang gadis kecil itu, seorang wanita cantik mengikutinya dengan bibir
tersenyum manis.
"Jangan kencang-kencang larinya, Intan. Nanti jatuh...!" seru wanita cantik
berpakaian indah bagai permaisuri raja itu, dengan suara yang terdengar lembut
sekali. Gadis kecil yang memang bernama Intan Kumala
itu berhenti berlari. Dia berbalik memandangi wanita cantik yang tak lain adalah
ibunya ini. Senyuman manis yang begitu lucu menyungging di bibirnya yang merah.
Dari pintu taman, terlihat pula seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh
tahun yang kelihatan gagah dan tampan berdiri tersenyum-senyum memandangi.
Begitu ceria wajah-wajah mereka.
Namun, keceriaan mereka mendadak sirna ketika
tiba-tiba terlihat sebatang anak panah meluncur deras ke arah gadis kecil itu.
Laki-laki setengah baya yang berdiri di ambang pintu taman cepat sekali melesat.
Secepat kilat pula tangan kanannya tampak diki-
baskan ke depan. Dan, langsung disambarnya anak
panah yang hampir menghunjam ke dada gadis kecil
itu. "Hap!"
Manis sekali laki-laki setengah baya itu menjejak-
kan kakinya di tanah, tepat di depan Intan Kumala.
Saat itu juga, wanita yang tadi mengikuti gadis kecil itu bergegas berlari dan
langsung mengambil gadis kecil itu ke dalam gendongannya.
"Cepat kau bawa masuk ke dalam, Rayi," kata laki-laki setengah baya itu sambil
memperhatikan anak
panah yang berada dalam genggaman tangan kanan-
nya. Tanpa diperintah dua kali, wanita itu bergegas me-
ninggalkan taman yang indah ini. Namun, belum juga
dia sampai di pintu taman, mendadak sebuah bayan-
gan terlihat berkelebat begitu cepat. Dan, tahu-tahu di depan wanita cantik itu
sudah berdiri seorang perempuan tua bertubuh bungkuk yang mengenakan jubah
panjang berwarna hitam. Di tangan kanan perempuan
tua itu tergenggam sebatang tongkat, dengan bagian
ujung atasnya berbentuk tengkorak kepala manusia.
"Oh..."!"
"Hup!"
Laki-laki setengah baya yang juga merupakan ayah
gadis kecil itu segera melompat. Begitu ringan gerakannya. Tahu-tahu dia sudah,
berada di samping ka-
nan istrinya yang memeluk Intan Kumala.
"Hik hik hik...!"
"Siapa kau?" bentak ayah Intan Kumala.
"Hik hik hik...!"
Perempuan tua bertubuh bungkuk itu hanya ter-
tawa terkikik. Suara tawanya terdengar sangat kering dan mengerikan. Matanya
yang memerah dan bersinar
tajam menatap langsung ke bola mata lelaki setengah baya itu. Kemudian
pandangannya berpindah pada Intan Kumala yang berada di dalam gendongan ibunya.
"Tidak lama lagi, Satria. Hik hik hik..! Tidak lama lagi kau akan hancur,
Satria...!"
"Perempuan tua, siapa kau" Apa maksudmu da-
tang ke sini?" bentak ayah Intan Kumala yang bernama Ki Satria itu dengan
suaranya yang tajam.
"Hik hik hik...!"
Cepat sekali tangan keriput yang terulur ke depan
itu bergerak hendak menyambar Intan Kumala. Tapi,
sebelum tangan perempuan tua itu menyentuh Intan
Kumala, Ki Satria sudah cepat bertindak.
"Hiyaaa...!"
Bet! "Ikh...!"
Cepat-cepat perempuan tua menarik kembali tan-
gannya ketika Ki Satria mengebutkan tangan kanan-
nya begitu cepat dengan pengerahan tenaga dalam
tinggi. Dua langkah perempuan tua itu melompat
mundur. Dirasakannya angin kebutan tangan kanan
Ki Satria yang mengandung hawa panas begitu me-
nyengat. "Kau benar-benar tidak sayang dengan puterimu, Satria. Aku datang justru ingin
menyelamatkan ketu-runanmu!" bentak perempuan tua itu sambil mendesis dingin.
"Katakan dulu, siapa kau" Apa maksudmu berkata begitu?" ujar Ki Satria dengan
tidak kalah dinginnya.
"Aku Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Aku terpaksa
keluar dari istanaku karena ingin menyelamatkan ke-
turunanmu, Satria. Kau dalam bahaya. Kehancuran
sudah dekat di depan matamu," sahut perempuan tua itu dengan nada suara yang
masih tetap dingin.
"Jangan coba-coba menggertak ku, Nisanak. Se-
baiknya pergi saja kau. Dan, jangan coba-coba meng-
ganggu ketenteraman keluargaku!" bentak Ki Satria, yang tidak percaya dengan
kata-kata perempuan tua
itu. "Heh! Kau benar-benar bodoh, Satria!" dengus perempuan tua yang mengaku
bernama Ratu Mayat Bu-
kit Tengkorak itu.
"Cepat pergi! Atau kau ingin aku panggil para pengawalku, heh...!" bentak Ki
Satria lagi. Sebentar Ratu Mayat Bukit Tengkorak memandan-
gi Ki Satria. Dia melangkah mundur beberapa tindak, kemudian tanpa berkata
sedikit pun melesat pergi
dengan cepat sekali. Begitu cepat gerakannya. Dalam sekejap mata, tubuhnya pun
sudah lenyap tak terlihat
lagi, bagaikan hilang tertelan bumi.
"Mari, Rayi Sebaiknya kita masuk saja," ajak Ki Satria sambil merangkul pundak
istrinya. *** Ajakan Ki Satria membawa istri dan anaknya ma-
suk ke dalam rumah ternyata sama sekali tidak meng-
hilangkan ketegangan yang terjadi dengan tiba-tiba di taman tadi. Kedua bola
matanya kini terbeliak lebar begitu melihat orang-orangnya yang berada di dalam
rumah sudah terkapar tak bernyawa lagi. Darah ber-
cucuran menggenangi lantai. Ki Satria cepat-cepat
membawa anak dan istrinya ke dalam kamar.
"Kau jangan ke mana-mana, Rayi," pesan Ki Satria.
"Kakang...," kata wanita itu dengan suara bergetar.
'Tenanglah, aku akan kembali secepatnya. Jaga
anak kita," kata Ki Satria, mencoba menenangkan istrinya.
Bergegas Ki Satria keluar dari kamar itu setelah lebih dulu berpesan kepada
istrinya untuk mengunci
pintu dan jendela. Dengan langkah yang lebar dan ter-gesa-gesa, Ki Satria
menyusuri lorong yang tidak seberapa panjang. Dia langsung masuk ke dalam
ruangan tengah yang berukuran cukup luas. Kembali bola ma-
tanya terbeliak lebar begitu melihat mayat-mayat bergelimpangan di dalam ruangan
ini. "Hup!"
Bagaikan seekor kijang, Ki Satria melompati mayat-
mayat yang bergelimpangan hampir memenuhi lantai
ruangan ini. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
laki-laki setengah baya itu langsung menjejakkan kakinya di ambang pintu, yang
berhubungan langsung
dengan ruangan depan. Cepat dia menerobos masuk
ke dalam ruangan depan.
Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keparat...!" desis Ki Satria, geram.
Hampir laki-laki setengah baya itu tidak percaya
dengan apa yang disaksikannya sekarang ini. Dia me-
rasa seperti mimpi. Seperti halnya ruangan tengah ta-di, ruangan depan ini pun
dipenuhi oleh mayat-mayat yang tampaknya masih baru. Darah yang menggenangi
lantai pun masih terlihat segar dan hangat. Sambil berjingkat, Ki Satria terus
menuju ke pintu depan. Di-periksanya beberapa orang yang menggeletak tak ber-
nyawa lagi itu. Keningnya langsung berkerut. Kemu-
dian dipandanginya sekalian semua tubuh yang berge-
limpangan saling tumpang tindih itu.
"Hm, aneh..., tak ada luka sedikit pun. Tapi kenapa banyak darah...?" gumam Ki
Laksa pada dirinya sendiri. Memang, tidak ada sedikit pun luka di tubuh mereka.
Meskipun darah yang menggenang dan meme-
nuhi lantai itu jelas sekali tampak keluar dari mulut, hidung, serta telinga.
Kematian yang sangat aneh ini membuat Ki Satria bertanya-tanya sendiri di dalam
ha-ti. Tak ada sedikit pun tanda-tanda bekas terjadi pertarungan. Dan, tak ada
luka sedikit pun di tubuh mereka semua.
"Hup!"
Ringan sekali Ki Satria melompat keluar. Sedikit
pun tak ada suara yang ditimbulkan. Ini pertanda
bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki sudah
mencapai pada tingkatan yang tinggi. Begitu ringan
kedua kakinya mendarat di lantai beranda depan. Se-
bentar dia mengedarkan pandangannya berkeliling.
Tapi, tetap tak ada seorang pun yang terlihat.
Hanya mayat-mayat yang tampak bergelimpangan sal-
ing tumpang tindih di halaman depan rumah yang be-
rukuran besar bagai sebuah istana kecil ini.
"Setan keparat! Bagaimana ini bisa terjadi...!" desis
Ki Satria, geram.
Darah lelaki setengah baya itu langsung mendidih
ketika melihat tak ada seorang pun pengawalnya yang masih hidup. Semua sudah
bergelimpangan tak bernyawa lagi. Dia juga tidak tahu, kapan semua ini terjadi.
Padahal, sejak tadi dia berada di taman belakang bersama anak dan istrinya. Dan,
sama sekali tidak didengarnya suara pertarungan sedikit pun tadi. Tapi, kini
orang-orangnya terlihat sudah menggeletak tak
bernyawa lagi. Darah menggenang dihampir setiap su-
dut tempat tinggalnya yang megah ini.
"Laksa...! Rahun...!"
Ki Laksa berteriak keras memanggil dua orang ke-
percayaannya. Tapi, tak ada sahutan sedikit pun yang terdengar. Suaranya yang
keras karena dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi itu
menggema sampai terdengar ke seluruh penjuru mata
angin. Dan, hanya gemerisik dedaunan yang menyahu-
ti teriakan laki-laki gagah berusia setengah baya ini.
"Hm, ke mana mereka" Apakah mereka juga sudah
mati...?" gumam Ki Satria, bertanya-tanya sendiri.
Kembali Ki Satria mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tapi, tidak juga ada seorang pun yang dilihatnya hidup. Semua yang
dilihatnya hanyalah mayat-
mayat bergelimpangan saling tumpang tindih, Bau an-
yir darah begitu tajam menyeruak rongga hidung. Ke-
mudian perlahan Ki Satria bergerak hendak melang-
kah keluar dari beranda depan rumahnya ini. Tapi, ba-ru saja kakinya menjejak
tanah, mendadak...I
Wusss...! "Hup!"
Cepat sekali Ki Satria melentingkan tubuhnya begi-
tu mendengar desiran angin yang sangat halus dari
arah kanannya. Dan, secepat itu pula dia menge-
butkan tangan kanannya.
Tap! "Hap!"
Manis sekali Ki Satria menjejakkan kakinya di ta-
nah, di antara tubuh-tubuh yang bergelimpangan tak
bernyawa lagi. Perlahan tangan kanannya yang terkep-al bergerak terbuka. Dan,
kedua bola matanya lang-
sung terbeliak lebar begitu melihat di dalam telapak tangannya terdapat sebuah
benda berbentuk kapak
kecil berwarna merah.
"Perampok Tiga Nyawa...," desis Ki Satria.
Tapi, belum juga Ki Satria sempat berpikir jauh,
mendadak terlihat tiga buah bayangan berkelebatan
meluruk turun dari atas atap. Ki Satria cepat-cepat melompat ke belakang sejauh
dua batang tombak. Manis sekali gerakannya. Dan, tanpa menimbulkan suara sedikit
pun, kakinya kembali menjejak tanah.
Tap! "Keparat...!" bentak Ki Satria.
Lelaki setengah baya yang masih kelihatan gagah
itu mendesis ketika melihat tiga orang laki-laki berusia muda sudah berada
sekitar dua batang tombak di depannya. Ketiga lelaki muda itu mengenakan baju
den- gan potongan yang sama, tapi dengan warna yang ber-
beda. Mereka memang jelas masih tergolong muda.
Paling tidak, usia mereka baru sekitar tiga puluh tahun. Tampak di tangan kanan
mereka masing-masing
ter-genggam sebilah kapak yang berukuran sangat be-
sar. Dan, kilatan cahaya membersit dari mata kapak di tangan kanan ketiga pemuda
itu. Ki Satria tahu, mereka adalah tokoh-tokoh persilatan yang dikenal dengan
julukan si Perampok Tiga Nyawa.
"Pasti kalian yang membantai para pengawalku,"
desis Ki Satria, dingin menggetarkan. "Keparat...! Apa maksud kalian membunuhi
orang-orangku, heh...?"
'Tidak terlalu sulit menidurkan mereka, Ki Satria,"
kata salah seorang dari ketiga pemuda itu, yang mengenakan baju berwarna merah
menyala. "Hanya dengan ini...," sambung pemuda satunya lagi, yang mengenakan baju biru.
Pemuda berbaju biru itu melemparkan sesuatu
yang diambil dari dalam saku bajunya. Ki Satria cepat melompat dan berputaran
beberapa kali di udara, lalu kakinya kembali menjejak tanah. Benda yang dilem-
parkan pemuda berbaju biru itu ternyata berupa ser-
buk berwarna kuning, yang langsung menguap menja-
di asap. . "Upfhs...!"
Cepat-cepat Ki Satria menutup seluruh aliran da-
rah dan memindahkan pernafasannya ke perut. Dia
tahu bahwa serbuk kuning yang menguap menjadi
asap itu adalah serbuk racun yang sangat berbahaya
dan mematikan. Kembali tubuhnya melenting ke udara
dan berputaran beberapa kali. Lalu, kembali pula kakinya menjejak tanah setelah
jaraknya sudah menca-
pai sekitar tiga batang tombak
"Phuuuh...! Edan...!" dengus Ki Satria disertai hembusan nafasnya yang berat.
*** Sementara itu di dalam kamar, istri Ki Satria yang
bernama Nyai Wandari kelihatan cemas. Dia tidak me-
lepaskan putrinya dari pelukan. Gadis kecil itu juga seperti bisa merasakan
kecemasan ibunya. Dia memeluk dan menyembunyikan kepalanya di dada yang
membusung indah itu.
Tok! Tok! Tok..!
"Oh..."!"
Nyai Wandari tersentak kaget ketika mendengar
suara ketukan di pintu. Pandangannya langsung tertu-
ju ke arah pintu yang tertutup rapat. Ketukan itu sebentar saja sudah
menghilang. Tapi, tak lama kemu-
dian terdengar lagi. Perlahan-lahan wanita itu bangkit dari pembaringan.
"Siapa.."!" tanya Nyai Wandari, agak keras.
"Aku, Nyai...," sahut suara seorang laki-laki dari balik pintu.
"Siapa?" tanya Nyai Wandari lagi.
"Rahun."
"Oh, Rahun...."
Bergegas Nyai Wandari menghampiri pintu kamar
ini. Dia langsung membukanya. Dan, seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
lima tahun terlihat berdiri tegak di ambang pintu. Tampak rambutnya yang panjang
tergelung ke atas kepala.
"Ada apa, Rahun?"
"Ki Satria meminta ku untuk membawa Nyai dan Rara Putri Intan."
"Oh..."! Apa yang terjadi sebenarnya, Rahun" Di mana suamiku?" tanya Nyai
Wandari, tidak bisa lagi menyembunyikan kecemasannya.
"Keadaan gawat, Nyai. Sebaiknya Nyai bergegas...,"
sahut Ki Rahun, terputus.
"Sebentar."
Nyai Wandari kembali menutup pintu. Sedangkan
Ki Rahun tetap menunggu di depan pintu. Nyai Wan-
dari mengambil bungkusan kain putih dari dalam ko-
tak kayu yang ada di meja kecil dekat jendela. Dia me-nyelipkan bungkusan kain
putih yang tampak berisi
sebilah pisau kecil itu ke balik ikat pinggangnya. Tak berapa lama kemudian, dia
sudah keluar lagi sambil
tetap menggendong putrinya.
"Ke mana kau akan membawaku, Rahun?" tanya Nyai Wandari sambil terus berjalan
mengikuti orang
kepercayaan suaminya ini.
"Mengungsi ke tempat yang aman," sahut Ki Rahun, tanpa menghentikan langkahnya.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang tidak
begitu panjang menuju ke bagian belakang rumah be-
sar dan megah ini. Ki Rahun membuka pintu yang ada
di ujung lorong. Kemudian dipersilahkannya Nyai
Wandari untuk masuk lebih dulu. Nyai Wandari tahu,
pintu ini merupakan pintu kamar semadi suaminya.
Dan, di dalam kamar ini terdapat sebuah pintu rahasia yang langsung menuju
keluar melalui jalan di bawah
tanah. Setelah berada di dalam kamar semadi itu. Ki Ra-
hun menggeser sebongkah baru besar yang sering di-
gunakan untuk bersemadi. Di bawah baru yang ber-
bentuk pipih itu terdapat lubang yang cukup besar., Tanpa banyak bicara lagi,
Nyai Wandari bergegas masuk ke dalam lubang itu. Ki Rahun mengikuti dari
belakang. Batu pipih itu pun kembali bergerak menutup setelah mereka
melewatinya. "Ke mana suamiku menyuruh mengungsi, Rahun?"
tanya Nyai Wandari.
"Ke gua penyimpanan senjata pusaka," sahut Ki Rahun. "Di sana sudah menunggu dua
puluh orang pengawal, Nyai."
"Lalu, di mana suamiku?"
"Menghadapi mereka bersama yang lain."
"Mereka..." Siapa mereka, Rahun?"
"Aku tidak tahu, Nyai. Mereka tiba-tiba saja datang dan menyerang. Sudah banyak
yang menjadi korban,"
jelas Ki Rahun dengan singkat.
Nyai Wandari tidak bertanya lagi. Dia terus berja-
lan di depan sambil tetap memeluk putrinya dalam
gendongan. Sedangkan Ki Rahun mengikuti dari bela-
kang. Tampak sebentar-sebentar dia menoleh ke bela-
kang. Lorong rahasia di bawah tanah ini cukup panjang
juga. Tapi, keadaannya sangat terang, karena banyak obor terpasang di dinding.
Ki Rahun bergegas mendahului setelah mereka sampai di ujung lorong bawah
tanah ini. Dia mendorong sebongkah batu yang cukup
besar. Sedikit demi sedikit batu itu pun tergeser. Dan, tampaklah dengan nyata
bahwa tempat ini merupakan
ujung lorong. Mereka langsung bergegas keluar. Dan, ternyata mereka sudah
ditunggu oleh sekitar dua puluh orang pemuda bersenjata golok. Tanpa banyak bi-
cara lagi, semuanya bergegas berjalan dan langsung
masuk ke dalam hutan.
Nyai Wandari sendiri tidak banyak bertanya lagi.
Dia terus mengikuti pemuda-pemuda yang dia kenali
sebagai para pengawal suaminya. Sedangkan Ki Rahun
selalu berada di belakang wanita itu, sambil sesekali berpaling ke belakang. Tak
ada seorang pun yang
membuka suara lagi. Semuanya terdiam dan terus ber-
jalan merambah hutan yang cukup lebat ini.
"Rahun, bukankah ini jalan menuju ke Jurang Setan...?"
Nyai Wandari baru membuka suara ketika sadar
bahwa jalan yang ditempuh mereka bukan menuju ke
gua tempat penyimpanan senjata.
"Memang benar, Nyai," sahut Ki Rahun.
"Tapi tadi kau bilang, kita akan ke gua penyimpanan senjata pusaka."
"Ini hanya siasat saja, Nyai. Untuk mengelabui mereka," sahut Ki Rahun.
Nyai Wandari tidak bertanya lagi. Dia bisa meneri-
ma alasan yang diberikan Ki Rahun barusan. Memang,
mereka bisa saja melalui pinggiran Jurang Setan ini untuk menuju ke gua
penyimpanan senjata pusaka.
Walaupun, tentu saja mereka harus memutar dan ber-
jalan lebih jauh. Tapi, Nyai Wandari tidak mengeluh
dan tidak mau bertanya lagi. Dia terus saja berjalan mengikuti para pengawalnya
yang berjumlah sekitar
dua puluh orang itu. Sedangkan Ki Rahun tetap berjalan di belakangnya.
*** 3 Sementara itu Ki Satria tengah bertarung mengha-
dapi tiga orang lawannya yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa.
Pertarungan yang semula
berlangsung di halaman rumah berangsur-angsur ber-
pindah. Dan, tanpa disadari, mereka bergerak ke arah hutan yang langsung
berbatasan dengan bagian belakang rumah. Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi
pertarungan itu tampaknya belum menunjukkan tan-
da-tanda akan berhenti.
Akhirnya, pertarungan itu sampai di dekat Jurang
Setan, yang tampak sangat besar dan dalam. Begitu
dalam jurang ini, sampai-sampai dasarnya pun sangat sulit dilihat. Apalagi,
kabut yang sangat tebal selalu menutupinya.
Pada saat yang hampir bersamaan, Nyai Wandari,
Ki Rahun, dan dua puluh orang pengawalnya juga
sampai di jurang ini. Nyai Wandari begitu terkejut ketika melihat suaminya
sedang bertarung sengit dengan tiga lelaki yang masing-masing bersenjatakan
kapak. "Rahun, cepat bantu suamiku!" perintah Nyai Wandari.
"Tidak mungkin, Nyai. Ki Satria tidak akan senang kalau pertarungannya
dicampuri," tolak Ki Rahun.
'Tapi...," Nyai Wandari tidak melanjutkan ucapannya.
Memang, alasan yang dikemukakan Ki Rahun tidak
bisa dibantah lagi. Ki Satria pasti tidak akan senang kalau pertarungannya
dicampuri orang lain. Nyai
Wandari tahu betul watak suaminya. Lelaki tua gagah itu lebih memilih mati dalam
pertarungan daripada harus dicampuri orang lain. Meskipun ada orang yang
benar-benar bermaksud membantunya, Ki Satria tidak
akan berterima kasih. Bahkan, dia bisa marah besar.
"Ayo, Nyai. Sebaiknya kita menyingkir dari sini,"
Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ajak Ki Rahun. Nyai Wandari memperhatikan pertarungan itu be-
berapa saat. Kemudian dia bergegas mengikuti Ki Ra-
hun yang sudah lebih dulu berjalan menjauhi perta-
rungan. Dua puluh orang yang mengawal mereka juga
bergegas mengikuti. Tidak ada seorang pun yang bera-ni ikut terjun ke dalam
pertarungan itu. Tapi, belum juga mereka jauh, tiba-tiba....
"Berhenti kalian semua...!"
"Heh..."!"
"Hah..."!"
Bukan main terkejutnya mereka ketika tiba-tiba
saja terdengar bentakan yang sangat keras dan meng-
gelegar bagai guntur di siang hari. Mereka langsung j berhenti melangkah. Pada
saat itu, terlihat sebuah
bayangan putih berkelebat begitu cepat. Dan, tahu-
tahu di depan mereka sudah berdiri seseorang yang
berjubah putih panjang dan longgar. Wajah orang itu sulit dikenali, karena
tertutup oleh topeng kayu berwarna hitam. Tampak di tangan kanannya tergenggam
sebatang tongkat kayu yang runcing pada bagian
ujungnya. "Kau tidak akan bisa lolos dariku, Nyai Wandari,"
ujar orang berjubah putih dan bertopeng kayu hitam
itu dengan nada suara yang terdengar begitu dingin.
"Siapa kau?" bentak Nyai Wandari.
"Ha ha ha...!"
Orang bertopeng hitam itu hanya tertawa terbahak-
bahak. Begitu keras dan menggelegar suara tawanya.
Telinga yang mendengarnya pun terasa sakit, seperti tertusuk jarum. Nyai Wandari
cepat-cepat menutup telinga putrinya.
"Kalian semua harus mampus! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, orang bertopeng hitam itu melom-
pat dan langsung menerjang ke arah Nyai Wandari.
Tapi, belum juga dia sampai, mendadak terlihat se-
buah bayangan hitam berkelebat begitu cepat memo-
tong arus terjangan orang bertopeng itu.
"Uts...!"
Untung saja orang bertopeng hitam itu cepat me-
lenting ke belakang, sehingga terhindar dari suatu
benturan keras. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara. Dan, dengan manis
sekali kakinya menjejak tanah, sekitar dua batang tombak jauhnya dari Nyai
Wandari, yang masih didampingi Ki Rahun dan dua
puluh orang pengawalnya.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan
Nyai Wandari sudah berdiri seorang perempuan tua
bertubuh bungkuk, dengan tongkat berkepala tengko-
rak tergenggam pada tangan kanannya. Nyai Wandari
langsung mengenali, perempuan tua itulah yang da-
tang menemuinya di taman dan hendak meminta
anaknya tadi. "Tidak ada gunanya kau menutupi wajahmu den-
gan topeng jelek, Laksa," desis perempuan tua bungkuk yang dikenali Nyai Wandari
bernama Ratu Mayat
Bukit Tengkorak itu, dengan suara yang terdengar begitu kering dan dingin.
"Laksa...?" desis Nyai Wandari, terkejut.
"Phuih!"
Orang bertopeng hitam itu mendengus berat. Den-
gan kasar sekali dia membuka topeng kayu berwarna
hitam yang menutupi wajahnya. Kini tampaklah di ba-
lik topeng kayu itu, seraut wajah seorang laki-laki yang agaknya berusia lima
puluh tahun lebih. Sorot matanya tampak tajam berapi-api. Dan, wajah itu sangat
dikenali oleh Nyai Wandari.
"Laksa...!" desis Nyai Wandari, hampir tidak percaya.
Tapi, Nyai Wandari tidak sempat lagi bertanya-
tanya ataupun berpikir panjang. Karena, tiba-tiba saja Ki Laksa sudah melompat
begitu cepat melakukan serangan.
"Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Pada saat yang bersamaan, Ratu Mayat Bukit
Tengkorak ternyata juga melentingkan tubuhnya. Dis-
ambutnya serangan laki-laki berjubah putih itu. Dan, secara bersamaan keduanya
melepaskan satu pukulan
keras menggeledek yang mengandung pengerahan te-
naga dalam tingkat tinggi. Begitu cepat pukulan yang dilepaskannya, hingga
mereka sama-sama tidak dapat
lagi menghindari benturan dua tenaga dalam yang
tinggi tingkatannya itu.
Plak! Seketika itu juga tubuh mereka sama-sama terpen-
tal balik ke belakang. Namun, dengan manis sekali keduanya berhasil menjejakkan
kaki di tanah secara bersamaan. Dan, tanpa membuang-buang waktu lagi, me-
reka sudah berlompatan kembali saling menyerang.
Pertarungan pun tak lagi terhindarkan, seakan-akan
menyaingi pertarungan seru yang sedang terjadi antara Ki Satria dan tiga orang
lawannya yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa.
Pertarungan antara Ratu Mayat Bukit Tengkorak
dan Ki Laksa terlihat semakin sengit. Keduanya men-
geluarkan jurus-jurus yang begitu dahsyat dan sangat berbahaya. Pukulan-pukulan
yang mereka lontarkan
mengandung pengerahan tenaga dalam yang sangat
tinggi. Sehingga setiap pukulan yang tidak mengenai sasaran akan menimbulkan
ledakan dahsyat jika
menghantam pohon atau bebatuan hingga hancur ber-
keping-keping. "Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan kilat
Ki Laksa melompat ke udara. Dan, secepat kilat pula tongkatnya yang berujung
runcing dikebutkan ke arah kepala Ratu Mayat Bukit Tengkorak Begitu tinggi
tenaga dalam yang disalurkan ke dalam kebutan tongkat Ki Laksa, sehingga
menimbulkan suara angin menderu
yang disertai hempasan hawa panas menyengat.
"Uts...! Hap!"
Cepat-cepat Ratu Mayat Bukit Tengkorak melompat
ke belakang. Dan, secepat itu pula dia menghentakkan tongkatnya. Ditangkisnya
kibasan tongkat Ki Laksa.
Trakkk! Dua senjata tongkat beradu begitu keras sampai
menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke
segala arah. Tampak Ratu Mayat Bukit Tengkorak ter-
dorong ke belakang dua langkah. Dan, pada saat itu
pula terlihat Ki Laksa memutar tubuhnya di udara. La-lu, tanpa diduga sama
sekali, lelaki tua itu melepaskan satu tendangan keras menggeledek disertai
pengerahan tenaga dalam yang begitu tinggi tingkatannya.
"Hiyaaa...!"
"Oh..."!"
Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak terperangah
setengah mati. Cepat-cepat dia menggeser kakinya ke samping sambil meliukkan
tubuh menghindari tendangan menggeledek yang dilepaskan laki-laki berju-
bah putih itu. Tapi dengan gesit dan cepat sekali Ki
Laksa bisa memutar balik kakinya. Dan, secepat kilat kembali dia menghentakkan
kaki kanannya ke depan
dengan setengah berputar. Begitu cepatnya serangan
yang dilancarkan laki-laki berjubah putih itu, sehingga Ratu Mayat Bukit
Tengkorak tidak sempat lagi menghindar. Dan....
Des! "Akh...!"
Telak sekali tendangan kaki kanan Ki Laksa men-
darat di dada kiri Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Aki-
batnya, tubuh perempuan tua yang agak kurus itu
terpental cukup jauh ke belakang. Dan, sebongkah ba-tu sebesar kerbau yang
sangat kokoh langsung hancur berkeping-keping seketika begitu tubuh si Ratu
Mayat Bukit Tengkorak menghantamnya.
"Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu sedikit pun, Ki
Laksa cepat melompat ke arah Nyai Wandari. Tapi, ti-ba-tiba saja wanita cantik
itu mengebutkan tangan kirinya dengan cepat. Dan, tahu-tahu di tangan kirinya
sudah tergenggam sebilah pisau kecil yang sangat tajam dan berkilatan, yang
dicabutnya dengan cepat tadi dari balik ikat pinggangnya.
"Heh..."! Uts!"
Ki Laksa terperanjat setengah mati begitu tiba-tiba sekelebatan cahaya keperakan
hampir saja membelah
dadanya. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke
belakang dan berputaran beberapa kali.
Pada saat itu, Ratu Mayat Bukit Tengkorak sudah
bisa berdiri lagi. Dia segera menghampiri Nyai Wandari yang masih menggendong
putrinya. "Berikan anakmu padaku, Nyai. Dia harus diselamatkan," kata Ratu Mayat Bukit
Tengkorak cepat-cepat.
Nyai Wandari memandangi perempuan tua berwa-
jah buruk penuh keriput itu beberapa saat. Kemudian dia menyerahkan Intan Kumala
kepadanya. Dan, cepat-cepat perempuan tua itu meraih Intan Kumala dari gendongan
Nyai Wandari, lalu bergegas melesat pergi dengan cepat sekali. Namun, belum juga
dia pergi jauh, tiba-tiba tangan kanan Ki Rahun bergerak cepat tanpa seorang pun sempat
mengetahuinya. Dan, saat
itu juga terlihat beberapa benda halus seperti jarum berhamburan dengan deras
sekali ke arah si Ratu
Mayat Bukit Tengkorak.
Ratu Mayat Bukit Tengkorak, yang tidak menyadari
akan mendapat serangan gelap yang begitu cepat itu, tidak dapat lagi
menghindarkan diri. Dan....
Crap! "Akh...!"
Beberapa benda halus seperti jarum itu langsung
menembus tubuh Ratu Mayat Bukit Tengkorak Perem-
puan tua itu pun jatuh terguling ke tanah. Dan Intan Kumala yang berada dalam
gendongannya seketika terlepas dan langsung melayang jauh menuju ke arah ju-
rang. "Intan...!" jerit Nyai Wandari, benar-benar terperanjat.
*** Cepat-cepat Nyai Wandari melompat hendak me-
raih anaknya yang melayang ke arah jurang. Tapi belum juga dia bergerak jauh, Ki
Laksa sudah bertindak cepat. Tongkatnya yang berujung runcing segera dikebutkan
ke arah lambung wanita cantik itu.
Bet! "Ikh...!"
Hampir saja lambung Nyai Wandari robek. Untung
saja dia cepat-cepat berkelit meliukkan tubuhnya tadi
menghindari sabetan tongkat yang berujung runcing
itu. Sedangkan Intan Kumala terus meluncur deras ke arah jurang.
"Ibuuu...!" jerit Intan Kumala, ketakutan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Nyai Wandari kembali melesat mengejar anaknya!
begitu kakinya menjejak tanah. Tapi, baru saja dia melesat, kembali Ki Laksa
menghadang dengan cepat. Sa-tu pukulan keras yang disertai dengan pengerahan,
tenaga dalam tinggi langsung dilepaskannya dengan ce-
pat sekali ke arah dada.
"Hap!"
Nyai Wandari cepat-cepat melentingkan tubuhnya
dan berputaran ke belakang menghindari pukulan itu.
Dan, begitu kakinya menjejak tanah kembali, tahu-
tahu Ki Laksa sudah melepaskan satu tendangan ke-
ras menggeledek yang begitu cepat. Benar-benar cepat tendangan yang dilepaskan
laki-laki berjubah putih
itu. Nyai Wandari pun tidak sempat lagi menghindar, terlebih lagi pikirannya
tengah tercurah pada putrinya yang sedang menghadapi maut.
Des! "Akh...!"
Nyai Wandari terpental deras ke belakang, lalu ja-
tuh bergulingan beberapa kali di tanah. Sementara itu Intan Kumala terus
meluncur dan mulai masuk ke dalam jurang. Jeritannya yang panjang melengking
ter- dengar begitu menggiris.
"Ibuuu...!"
"Intan...!"
Nyai Wandari tidak mempedulikan dadanya yang
terasa sesak akibat terkena tendangan Ki Laksa tadi.
Cepat-cepat dia melompat bangkit berdiri hendak
mengejar lagi anaknya yang sudah mulai tercebur ke
dalam Jurang Setan. Jeritan bocah kecil itu masih juga
terdengar, meskipun semakin jauh.
"Intan...!"
Nyai Wandari berteriak-teriak memanggil nama
anaknya sambil terus berlari menghampiri jurang. Ta-pi, begitu dia sampai di
tepi jurang, tubuh Intan Kumala sudah tidak terlihat lagi. Hanya kabut tebal
yang terlihat kini menyelimuti seluruh bagian dalam jurang itu. "Oh, Intan...."
Jeritan Intan Kumala dan Nyai Wandari sempat ju-
ga mempengaruhi perhatian Ki Satria yang sedang bertarung melawan si Perampok
Tiga Nyawa. Dia sempat
berpaling ke arah Jurang Setan. Dan, pada saat itu ju-ga si Perampok Tiga Nyawa
yang mengenakan baju bi-
ru melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi
tingkatannya. "Hiyaaa...!"
Ki Satria yang tengah lengah tidak sempat lagi
menghindari pukulan itu. Akibatnya, dadanya telah
terkena pukulan yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi itu.
Degkh! "Akh...!"
Ki Satria memekik tertahan. Tubuhnya langsung
terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Dan tubuh kekar itu baru
berhenti melayang setelah menghantam sebatang pohon yang cukup besar hingga han-
cur berkeping-keping.
"Hiyaaa...!"
Saat itu juga si Perampok Tiga Nyawa yang menge-
nakan baju kuning melompat cepat sambil menge-
butkan kapaknya yang berukuran sangat besar.
Wuk! "Hih...!"
Ki Satria cepat-cepat menggulirkan tubuhnya ke
samping. Dihindarinya hantaman kapak yang berkila-
tan itu. Kemudian, dengan cepat dia melompat bangkit berdiri sambil mendekap
dadanya yang terasa begitu
sesak. "Yeaaah...!"
Belum lagi pijakan kaki Ki Satria sempurna, datang
lagi serangan berupa tendangan kaki kiri dari si Perampok Tiga Nyawa yang
mengenakan baju merah.
Kembali Ki Satria masih bisa menghindar dengan men-
gegoskan tubuhnya ke kanan. Namun, begitu kaki ka-
Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nan salah seorang dari si Perampok Tiga Nyawa itu terayun cepat sambil memutar
ke arah lambung, Ki Sa-
tria tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Des! "Akgh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Satria terpekik. Kembali
dia jatuh bergulingan di tanah beberapa kali. Belum lagi dia sempat bangkit
berdiri, si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju biru sudah mengayunkan
kapaknya dengan deras sekali sambil melompat dan
berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaat.:.!"
Wuk! "Uts...!"
Cepat-cepat Ki Satria menggulirkan tubuhnya ke
samping. Crab! Hantaman kapak itu hanya mengenai tanah yang
kosong. Namun, secepat kilat pemuda berbaju merah
itu kembali mengayunkan kapaknya sambil berteriak-
keras menggelegar. Dan, pada saat yang bersamaan
pemuda yang mengenakan baju kuning juga melaku-
kan serangan dengan kapaknya dari arah lain.
"Hup!"
Ki Satria cepat-cepat melompat menghindari dua
serangan yang datang secara bersamaan itu. Tapi begi-tu berada di udara,
mendadak pemuda yang mengena-
kan baju biru mengebutkan tangan kanannya. Saat itu juga terlihat serbuk
berwarna kuning tersebar langsung ke wajah Ki Satria. Begitu cepat serangan kali
ini, sehingga ki Satria tidak sempat lagi menghindarinya.
"Ukgh...!"
Ki Satria langsung terhuyung dan terbatuk. Wa-
jahnya seketika membiru. Serbuk racun yang ditebar-
kan si Perampok Tiga Nyawa yang berbaju biru itu
langsung merasuk ke dalam hidung Ki Satria dan terus merembes dengan cepat ke
dalam dada. Napas Ki Satria terasa bagai tersumbat batu yang sangat besar.
"Ugkh! Ugkh...!"
Ki Satria semakin terhuyung, lalu tubuhnya am-
bruk menggelepar di tanah. Mulut, hidung, dan telinganya mulai kelihatan
mengeluarkan darah. Dia terus menggelepar sambil mengerang meregang nyawa,
hingga akhirnya diam tak bergerak-gerak lagi. Seluruh tubuh lelaki tua itu
langsung membiru. Dan, darah terus bercucuran keluar dari mulut, hidung, dan
telinganya. Sementara itu Nyai Wandari masih berdiri mema-
tung sambil terus memandang ke dalam Jurang Setan
yang selalu berkabut itu. Dia kini sudah didampingi Ki Rahun dan dua puluh orang
pengawalnya, yang semuanya menyandang golok terhunus di tangan kanan.
"Ayo, Nyai. Kita cepat tinggalkan tempat ini," ajak Ki Rahun.
Sebentar Nyai Wandari memandangi Ki Rahun. Ta-
pi, wanita cantik itu tampaknya sama sekali belum ta-hu bahwa laki-laki di
hadapannya ini telah mengkhia-natinya. Kemudian Nyai Wandari segera melangkah
menjauhi bibir jurang diikuti para pengawalnya. Se-
dangkan Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa hanya
diam memandang dengan bibir mengulum senyum.
Keempat lelaki itu terus memperhatikan Nyai Wandari, Ki Rahun, dan dua puluh
orang pengawalnya yang semakin jauh meninggalkan tempat ini.
"Bagaimana sekarang, Ki?" tanya si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju
merah. 'Tunggu sampai mereka jauh dulu. Aku tidak ingin
Nyai Wandari mengetahui rencanaku. Juga Ki Rahun
itu. Dia bisa berbahaya nantinya," sahut Ki Laksa.
"Ternyata tidak sulit, Ki. Tidak perlu mengerahkan orang-orang kita," kata si
Perampok Tiga Nyawa yang berbaju merah lagi.
"He he he...!" Ki Laksa hanya terkekeh-kekeh.
"Ayo...."
Nyai Wandari, Ki Rahun, dan dua puluh orang
pengawalnya terus bergerak cepat menerobos lebatnya hutan. Dan, tidak ada
seorang pun yang tahu kalau Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa terus membuntuti
dari jarak yang cukup jauh. Akhirnya, sampailah mereka di gua tempat penyimpanan
senjata. Ki Rahun segera membuka pintu gua yang terbuat dari batu. Me-
reka cepat-cepat masuk ke dalam gua itu. Kemudian, begitu pintu ditutup, Ki
Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa muncul di sana.
"Bagaimana, Ki?" tanya si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju biru.
"Hancurkan gua itu," perintah Ki Laksa.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang pe-
muda yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga
Nyawa itu langsung melepaskan pukulan-pukulan ja-
rak jauh yang begitu dahsyat. Tak pelak lagi, gua itu pun tak lama kemudian
hancur seiring dengan terden-garnya ledakan-ledakan dahsyat menggelegar yang
menggetarkan bumi.
"Ha ha ha...!" Ki Laksa tertawa terbahak-bahak melihat gua itu telah hancur tak
berbentuk lagi.
3 Glarrr! "Oh..."!"
Gadis berbaju putih dan compang-camping penuh
tambalan itu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras
menggelegar, Lamunannya buyar saat
itu juga. Dia segera menengadahkan kepalanya ke
atas. Tampak langit begitu kelam, tersaput awan hitam yang menggumpal tebal.
Gadis itu kemudian kembali
memandangi reruntuhan puing rumah di depannya.
"Ayah, Ibu.... Walaupun bukan aku yang melaku-
kannya, kini sakit hatimu sudah terbalas. Tapi aku masih punya satu persoalan.
Aku belum bisa mendapatkan keris pusaka mu. Aku janji, Ayah. Aku akan
mendapatkan keris itu."
Gadis berbaju putih dan compang-camping penuh
tambalan itu berkata-kata dengan suara yang terden-
gar pelan sekali. Dan, tanpa disadari, setitik air bening menitik keluar dari
sudut matanya. Tapi, cepat dia
menyadari, lalu cepat-cepat menghapus air matanya
dengan punggung tangan. Sebentar kemudian kakinya
mulai bergerak melangkah mendekati reruntuhan
puing rumah di depannya ini. Namun, baru beberapa
langkah dia berjalan, mendadak...
Srek! "Heh..."!"
Cepat dia berhenti dan langsung memutar tubuh-
nya ketika tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari arah belakang. Saat itu,
terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat menyelinap di antara lebatnya pepoho-
nan yang menghitam kelam.
"Hup...!"
Begitu cepat dan ringan gerakannya saat melom-
pat. Dan, tahu-tahu gadis itu sudah berada di atas cabang pohon yang cukup
tinggi. Saat itu sekilas dia melihat kembali sebuah bayangan berkelebat tidak
jauh darinya. "Hup!"
Kembali dia melompat turun dan langsung melu-
ruk deras ke arah menghilangnya bayangan itu. Sete-
lah sedikit ujung jari kakinya menyentuh tanah, kembali tubuhnya melenting
tinggi ke udara. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara, lalu dengan manis
sekali meluruk deras begitu melewati atas kepala seseorang yang berlari cepat
menyelinap di antara pepohonan.
"Berhenti kau...!"
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis ber-
baju putih compang-camping dan penuh tambalan itu
menjejakkan kakinya pada jarak setengah batang tom-
bak dari seorang laki-laki setengah baya. Gadis berbaju putih compang-camping
dan penuh tambalan yang
tak lain adalah si Dewi Beruang Putih itu tampak menyipitkan kelopak matanya
saat memperhatikan laki-laki setengah baya di depannya.
"Siapa kau, Kisanak" Kenapa kau memata-matai
ku?" tegur Dewi Beruang Putih.
Suara gadis itu terdengar dingin dan datar. Tata-
pan matanya yang begitu tajam menembus langsung
ke bola mata lelaki di hadapannya yang kelihatan agak memerah. Sedangkan laki-
laki setengah baya yang
mengenakan baju kuning agak ketat itu beberapa saat terdiam. Tampak dia
memindahkan tongkat kayunya
dari tangan kanan ke tangan kiri. Lalu dua tindak dia melangkah ke depan. Sinar
matanya yang memerah
terlihat begitu tajam membalas tatapan mata si Dewi Beruang Putih.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Nisanak.
Untuk apa kau datang dan memperhatikan bekas ru-
mah Ki Satria...?" ujar laki-laki setengah baya itu dengan nada suara yang
terdengar dingin sekali.
"Heh..."! Siapa kau ini sebenarnya, Kisanak?" balas si Dewi Beruang Putih yang
tampak terkejut.
"Orang-orang selalu memanggilku Ki Gaduk..."
"Paman Gaduk.."!" desis Dewi Beruang Putih, langsung memutuskan ucapan laki-laki
setengah baya itu.
"Heh..."!"
Kali ini laki-laki setengah baya yang memper-
kenalkan dirinya dengan nama Ki Gaduk itulah yang
terperanjat, saat gadis berpakaian pengemis itu me-
nyebutnya paman. Dia langsung memperhatikan gadis
didepannya ini dalam-dalam, seakan-akan mencari se-
suatu pada diri gadis berpakaian pengemis ini.
"Oh...! Kau... kau pasti sudah tidak mengenaliku lagi, Paman. Lima belas tahun
memang bukan waktu
yang pendek," kata si Dewi Beruang Putih dengan nada suara yang terdengar agak
mendesah. "Nisanak, siapa kau ini?" tanya Ki Gaduk, yang tampak penasaran.
"Paman, aku... aku Intan, Paman. Intan Kumala...,"
jawab Dewi Beruang Putih, agak tersendat.
"Intan Kumala..."!"
Ki Gaduk tampak semakin terperanjat saat gadis
itu memperkenalkan dirinya. Dia sampai menarik ka-
kinya ke belakang tiga langkah. Dan, kelopak matanya terlihat menyipit
memperhatikan gadis berpakaian
pengemis di depannya ini. Kelihatannya lelaki tua ini tidak percaya kalau gadis
itu bernama Intan Kumala.
"Tidak...," desis Ki Gaduk kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku benar-benar Intan, Paman. Intan Kumala..., putri tunggal Ki Satria dan Nyai
Wandari," selak si De-wi Beruang Putih, mencoba meyakinkan.
"Tidak.... Intan Kumala sudah mati...," desis Ki Gaduk sambil terus menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Oh..., kenapa kau menyangka begitu, Paman?" keluh Dewi Beruang Putih. "Kenapa
semua orang menyangka aku sudah mati" Padahal aku masih hidup,
walaupun...."
Dewi Beruang Putih tidak melanjutkan kata-
katanya. Dia memandangi Ki Gaduk dalam-dalam. Ga-
dis itu ingat, Ki Gaduk adalah salah seorang pengawal yang ikut dengan ibunya
ketika Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa menghancurkan rumah ayahnya.
Dia juga tahu, Ki Laksa telah mengambil alih kedudukan Ki Satria sebagai orang
kepercayaan kerajaan yang bertugas mengantar barang-barang berharga ataupun
mengawal anggota keluarga istana dan para pembesar
lainnya. Gadis itu pun masih ingat, bukan hanya Ki
Gaduk, melainkan masih ada dua puluh orang lagi
yang bersama dengan Nyai Wandari ketika itu.
"Aku tahu, memang tidak mudah untuk memper-
cayai ku begitu saja. Aku memang tidak mungkin bisa meyakinkanmu bahwa aku
benar-benar Intan Kumala.
Tidak mengapa, Paman. Aku tidak menyalahkanmu.
Tapi aku akan membuktikan kalau aku adalah Intan
Kumala, putri tunggal Ki Satari," kata Dewi Beruang Putih dengan nada suara agak
tertahan. Setelah berkata demikian, Dewi Beruang Putih
memutar tubuhnya berbalik, lalu segera melangkah
pergi dengan ayunan kaki perlahan-lahan. Sedangkan
Ki Gaduk masih tetap diam memandangi. Entah apa
yang ada di dalam kepalanya saat itu. Bahkan dia masih tetap berdiri diam
mematung walaupun si Dewi Beruang Putih yang mengaku bernama Intan Kumala su-
dah tidak terlihat lagi, tertelan pekatnya malam ya dingin ini.
"Oh, benarkah dia Intan Kumala...?" desah Ki Ga-
duk perlahan, bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
*** Entah berapa lama Ki Gaduk berdiri diam mema-
tung di dalam gelapnya malam. Kemudian dia memu-
tar tubuhnya dan cepat berlari sambil mengerahkan
ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat
tinggi. Begitu cepatnya dia berlari, sehingga sebentar saja sudah jauh. Dan Ki
Gaduk terus berlari menembus lebatnya hutan. Dia tampak sudah mengenali dae-
rah hutan ini. Tidak ada sedikit pun halangan baginya, meski malam begitu pekat
dan bulan tersaput awa hitam yang tebal menggumpal.
Cras! Glarrr! Sesekali terlihat cahaya kilat menyambar di angka-
sa, disertai dengan ledakan guntur menggelegar bagai hendak membelah alam.
Namun, Ki Gaduk terus berlari semakin jauh masuk ke dalam hutan. Dia baru
berhenti setelah sampai di depan sebuah bangunan
cukup besar yang dikelilingi pagar tinggi dari balok-balok kayu bulat. Di depan
pintu, terlihat dua orang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Mereka
masing-masing membawa tombak dan golok yang ter-selip di pinggang. Salah seorang
langsung membuka
pintu begitu melihat Ki Gaduk.
"Jangan biarkan siapa pun masuk," pesan Ki Gaduk saat melewati dua orang penjaga
pintu itu. "Baik, Ki," sahut mereka bersamaan.
Salah seorang penjaga cepat-cepat menutup pintu
setelah Ki Gaduk berada di dalam. Pada saat itu juga, dari balik sebatang pohon
muncul seorang gadis berpakaian putih penuh tambalan dan compang-camping.
Dari pakaiannya, jelas dia adalah si Dewi Beruang Pu-
tih. Rupanya dia mengikuti Ki Gaduk sampai ke tem-
pat yang menyerupai sebuah benteng ini. Dengan ayu-
nan kaki yang ringan dan tenang, dia melangkah men-
dekati pintu yang dijaga dua orang pemuda itu.
"Berhenti...!" bentak salah seorang pemuda itu sambil menyilangkan tombaknya di
depan dada. "Biarkan aku masuk ke dalam!" desis si Dewi Beruang Putih, dingin.
"Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan ma-
suk," sahut salah seorang penjaga itu, tegas.
"Hm, kenapa...?"
"Itu perintah dari Ki Gaduk. Dan sebaiknya kau cepat tinggalkan tempat ini."
Dewi Beruang Putih menyipitkan kelopak matanya.
Dipandanginya dua orang pemuda penjaga pintu itu.
Dan, tiba-tiba....
"Hih!"
Cepat sekali dia melompat sambil mengebutkan
kedua tangannya secara bergantian. Begitu cepat gerakannya, sehingga dua orang
pemuda itu tampak ter-
Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
henyak. Dan, sebelum mereka bisa berbuat sesuatu
tahu-tahu.... "Hegkh!"
"Ugkh...!"
Kedua pemuda itu langsung jatuh tersuruk begitu
terkena totokan halus di bagian dada sebelah kiri. Sedangkan Dewi Beruang Putih
berdiri tegak di depan
pintu. Dia hanya melirik sedikit pada dua orang pemu-da penjaga pintu yang
menggeletak tak sadarkan diri setelah jalan darahnya tertotok.
"Kalian tidak akan bersikap begitu kalau tahu siapa aku," desis Dewi Beruang
Putih. Kemudian gadis berpakaian compang-camping
mendorong pintu yang terbuat dari gelondongan kayu.
Perlahan-lahan pintu terkuak. Sedikit dia menjulurkan
kepalanya melongok ke dalam. Setelah yakin tidak ada seorang pun yang terlihat,
cepat dia melompat masuk ke dalam. Tapi, baru saja dia menjejakkan kakinya,
mendadak bermunculan orang-orang bersenjata tom-
bak dan golok. Dan, sebentar saja Dewi Beruang Putih sudah terkepung oleh tidak
kurang dari tiga puluh
orang yang masih muda-muda.
"Hm...."
Dewi Beruang Putih hanya menggumam perlahan.
Dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Diraya-
pinya orang-orang yang telah rapat mengepungnya
dengan senjata masing-masing terhunus di tangan.
Kemudian pandangannya tertuju ke arah sebuah ban-
gunan rumah besar yang terbuat dari kayu. Tampak di beranda depan rumah yang
sangat besar berdiri seorang wanita berusia setengah baya. Di samping wanita
itu, berdiri pula seorang laki-laki berbaju kuning yang dikenal oleh Dewi
Beruang Putih sebagai Ki Gaduk.
Walaupun sudah berusia setengah baya, garis-garis
kecantikan masih terlihat jelas pada raut wajah wanita itu. Wanita cantik
setengah baya itu kemudian melangkah perlahan dengan anggun sekali keluar dari
beranda. Ki Gaduk pun mengikuti dari belakang.
Dewi Beruang Putih memandangi wajah wanita se-
tengah baya yang masih kelihatan cantik. Kemudian
pandangannya berpindah ke beranda. Di situ terlihat seorang gadis berdiri tidak
jauh dari pintu. Gadis itu tampak amat cantik, dengan baju biru muda ketat,
yang membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping
dan indah. Tampak pula sebilah pedang berukuran
panjang tergantung di pinggangnya yang ramping.
Sementara itu, Ki Gaduk dan wanita setengah baya
itu sudah sampai begitu dekat di depan Dewi Beruang Putih. Jarak mereka tinggal
sekitar enam langkah. Sedangkan sekitar tiga puluh orang bersenjata tombak
dan golok masih tetap mengepung dengan sikap siap
menerima perintah. Tak ada seorang pun yang mem-
buka suara. Suasana pun menjadi hening dan begitu
mencekam. Detak-detak jantung begitu terasa jelas
terdengar. Entah kenapa, sorot mata Dewi Beruang Putih dan
wanita setengah baya yang cantik itu saling bertemu.
Mereka sama-sama merasakan adanya getaran di da-
lam dada. Dan, getaran itu semakin lama semakin bertambah kuat. Kedua wanita itu
terus terpaku dari
mematung diam. Cukup lama juga keduanya berpan-
dangan, seperti tengah berbicara di antara hati masing-masing.
"Kau yang mengaku bernama Intan Kumala..."
Wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik itu terlebih dulu tersadar. Dia
langsung bertanya dengan suara yang agak tertekan.
"Aku memang Intan Kumala," sahut Dewi Beruang Putih.
'Terus terang, aku memang kehilangan seorang
anak perempuan lima belas tahun yang lalu. Dan ka-
lau memang masih hidup, dia tentu sudah sebesar mu.
Tapi aku ingin bukti kalau kau benar-benar Intan Kumala," kata wanita itu,
tegas. Dewi Beruang Putih langsung terdiam. Dia memang
tidak mempunyai bukti satu pun yang bisa menunjuk-
kan bahwa dirinya adalah Intan Kumala, putri tunggal Ki Satria. Tapi di dalam
hatinya dia merasa yakin kalau wanita yang berdiri di depannya ini adalah
ibunya, ibu kandungnya yang sudah lima belas tahun terpisah.
Ingin rasanya dia bersimpuh dan memeluk kaki wanita di hadapannya ini. Tapi,
karena sikap wanita itu jelas sekali menunjukkan keragu-raguan, Dewi Beruang
Putih harus menahan rasa kerinduan selama lima belas
tahun ini. "Nisanak, kalau kau memang anakku Intan Kuma-
la, kau pasti tahu nama ayah dan ibumu," kata wanita setengah baya itu lagi,
yang jelas hendak menguji.
"Ayahku bernama Ki Satria. Sedangkan ibuku Nyai Wandari," sahut Dewi Beruang
Putih, tegas. "Lalu, bagaimana kau bisa sampai terpisah dari kedua orang tuamu?"
"Ayah dikhianati oleh Paman Laksa yang dibantu Perampok Tiga Nyawa. Ayah tewas
dalam pertarungan,
sedangkan aku tidak tahu bagaimana nasib ibuku, se-
telah aku terlempar masuk ke dalam Jurang Setan.
Hanya itu yang aku ingat," jelas Dewi Beruang Putih dengan singkat.
Wanita setengah baya yang tak lain memang Nyai
Wandari itu hanya bisa menggigit-gigit bibirnya mendengar penuturan gadis berpakaian pengemis itu. Dan tampak jelas
kedua bola matanya berkaca-kaca. Degup detak jantungnya begitu jelas terdengar.
Sedangkan ta-rikan nafasnya juga begitu kuat memburu. Di hada-
pannya, Dewi Beruang Putih tetap berdiri diam me-
mandangi dengan perasaan yang tidak menentu.
"Apa yang kau katakan memang benar, Nisanak.
Tapi apakah kau tahu kalau ada seorang lagi yang
berkhianat?" tanya Nyai Wandari lagi.
Dewi Beruang Putih hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dia memang tidak tahu kalau masih ada
satu orang lagi yang mengkhianati ayahnya. Yang dia tahu, hanya Ki Laksa yang
berkhianat. Dan, lelaki itu telah merebut kedudukan Ki Satria menjadi orang
kepercayaan kerajaan.
"Seorang lagi telah berkhianat dan mencuri senjata pusaka suamiku. Itu sebabnya,
kenapa suamiku sampai mudah dikalahkan. Nisanak, jika kau memang be-
nar Intan Kumala, aku hanya ingin bukti lewat pusaka itu. Kalau kau bisa membawa
pusaka itu padaku, kau
memang anakku yang hilang lima belas tahun lalu,"
kata Nyai Wandari, dengan suara agak tersendat.
Dewi Beruang Putih hanya diam memandangi. Dia
tahu, pusaka apa yang dimaksudkan wanita setengah
baya ini. Dan dia juga tahu, siapa yang memegangnya sekarang. Inilah yang
membuatnya diam terpaku. Dia
justru mencari wanita ini karena ingin merebut kem-
bali Keris Naga Emas dari tangan Pendekar Pulau Ne-
raka. Tapi sekarang wanita yang diyakini sebagai
ibunya ini malah memintanya untuk membawa Keris
Naga Emas kepadanya.
Dewi Beruang Putih tidak bisa lagi berbicara. Dia
harus membawa Keris Naga Emas agar bisa berkumpul
kembali dengan ibu kandungnya ini. Tanpa berkata-
kata sedikit pun, dia memutar tubuhnya dan langsung melangkah keluar dari
bangunan besar berbentuk benteng pertahanan ini. Dua orang pemuda yang meme-
gang senjata tombak cepat-cepat membuka pintu ger-
bang. Dewi Beruang Putih terus melangkah keluar tanpa
berpaling lagi sedikit pun. Sedangkan Nyai Wandari
yang terus didampingi Ki Gaduk masih berdiri me-
mandangi sampai pintu gerbang ditutup kembali.
"Gaduk...," kata Nyai Wandari pelan sekali.
"Iya, Nyai," sahut Ki Gaduk.
"Kau ikuti dia. Dan bantu sebisa mu untuk mendapatkan Keris Naga Emas," ujar
Nyai Wandari, memberi perintah.
'Tapi, Nyai...," kata Ki Gaduk, seperti hendak menolak "Gaduk, perasaanku
mengatakan, dia memang Intan Kumala," selak Nyai Wandari, memotong cepat.
"Ikuti dia, jangan sampai ketahuan."
"Baik, Nyai," sahut Ki Gaduk, tidak bisa membantah lagi.
Nyai Wandari bergegas memutar tubuhnya dan me-
langkah cepat-cepat ke rumah besar tempat tinggalnya selama ini. Dia berhenti
setelah sampai di depan pintu.
Sedikit dia melirik pada seorang gadis cantik yang sejak tadi berdiri saja di
samping pintu. Gadis itu juga memandangnya dengan sinar mata yang begitu sukar
diartikan. "Bu..., benarkah aku masih punya kakak...?" ujar, gadis itu, ragu-ragu.
"Ayo masuk, Ibu ceritakan semuanya di dalam" ka-ta Nyai Wandari.
'Tapi, benarkah aku masih punya kakak, Bu"' de-
sak gadis itu. Nyai Wandari tersenyum, lalu merengkuh bahu ga-
dis itu. Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam
rumah yang berukuran besar dan terbuat dari kayu
ini. Keduanya duduk di balai-balai dari bambu yang
beralaskan permadani lembut berwarna biru muda.
Dengan tutur kata yang lembut dan perlahan-lahan,
Nyai Wandari kemudian menceritakan semua peristiwa
yang terjadi lima belas tahun yang lalu, di saat dia tengah mengandung sekitar
dua bulan. Gadis cantik itu
tampak mendengarkan dengan penuh perhatian. Sedi-
kit pun dia tidak menyelak sampai Ny Wandari selesai dengan ceritanya.
Lama juga kedua wanita itu terdiam. Gadis cantik
berbaju biru muda itu masih tetap diam, meskipun
ibunya sudah tidak bercerita lagi. Dia memandangi wajah yang sudah mulai keriput
itu dalam-dalam. Entah apa yang dirasakannya saat ini setelah mendengar semua
cerita menyedihkan yang terjadi lima belas tahun lalu itu.
"Begitulah ceritanya, Rara Anting. Sampai sekarang ini aku tidak tahu, bagaimana
nasib kakakmu," kata Nyai Wandari agak mendesah, setelah cukup lama
berdiam diri. "Bu, apa mungkin Kak Intan Kumala masih bisa
hidup di dalam Jurang Setan...?" tanya gadis cantik yang dipanggil Rara Anting
itu, dengan suara yang pelan sekali dan terdengar ragu-ragu.
"Entahlah, Anakku. Belum pernah aku mendengar
ada orang yang bisa hidup setelah jatuh ke dalam Jurang Setan," sahut Nyai
Wandari, mendesah perlahan.
'Tapi, siapa gadis itu tadi, Bu?" tanya Rara Anting, terus mendesak.
"Aku tidak tahu, Rara Anting. Tapi dia mengaku sebagai Intan Kumala."
"Ibu percaya?"
Nyai Wandari hanya menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. Bibirnya terlihat mengukir sebuah senyum. Ta-pi, terasa getir sekali
senyum itu. Perlahan-lahan me-malingkan kepalanya, lalu menatap keluar melalui
jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Raut wajahnya terlihat menyiratkan
kedukaan yang begitu dalam. Ra-ra Anting beringsut mendekati dan langsung
memeluk bahu ibunya. "Bu..., aku senang sekali kalau Kak Intan masih hidup," ujar Rara Anting,
berbisik pelan.
"Aku juga berharap begitu, Anting. Siang malam aku selalu memohon pada Hyang
Widi untuk melin-dungi Intan Kumala dan mempertemukan aku den-
gannya kembali," sahut Nyai Wandari, yang juga berbisik pelan.
"Jika Ibu mengizinkan, aku akan mencarinya," kata Rara Anting.
Nyai Wandari langsung menatap dalam-dalam ke
bola mata anak gadisnya ini. Terlihat jelas adanya ke-sungguhan pada sinar mata
Rara Anting. Nyai Wandari tidak dapat lagi mengendalikan diri. Dia langsung
menarik gadis itu dan merengkuhnya ke dalam pelukan.
Tak dapat lagi dia menahan air matanya yang jatuh
menitik. Sedangkan Rara Anting hanya diam saja, ti-
dak tahu harus berbuat apa lagi. Dia takut kalau ucapannya tadi membuat hati
ibunya terluka.
Lama juga Nyai Wandari memeluk putrinya. Kemu-
dian perlahan-lahan dia melepaskan pelukannya dan
memandangi wajah Rara Anting begitu dalam. Dengan
punggung tangannya dia menyeka air mata yang men-
galir membasahi pipinya.
"Dunia luar begitu kejam, Anakku. Sedangkan
bekal yang kau miliki belum cukup untuk mengarungi
ganasnya rimba belantara," kata Nyai Wandari, agak tersendat.
'Tapi, Bu...."
"Aku sudah memerintahkan Paman Gaduk untuk
mencari keterangan tentang kakakmu. Sebaiknya kau
di sini saja bersamaku, Anting. Tidak ada lagi yang aku miliki sekarang ini
selain kau," selak Nyai Wandari, cepat-cepat memotong ucapan putrinya.
"Bu, orang-orang mungkin masih ada yang menge-
nali Paman Gaduk. Tapi tidak ada seorang pun yang
bisa mengenaliku. Izinkan aku mencari kak Intan,
Bu...," rengek Rara Anting.
"Jangan, Anting.... Aku tidak mau kehilangan mu."
"Aku janji, Bu. Hanya satu pekan saja. Setelah itu, aku tidak akan keluar dari
tempat ini. Berikan aku kesempatan, Bu. Aku akan mencari tahu kabar Kak In-
tan," desak Rara Anting.
Nyai Wandari terdiam. Memang sulit baginya untuk
mencegah Rara Anting jika gadis itu sudah menginginkan sesuatu. Gadis ini memang
keras. Dan, wataknya
yang keras ini mengingatkan Nyai Wandari pada men-
diang suaminya. Agaknya, tidak ada sedikit pun yang terbuang dari watak-watak Ki
Satria pada diri Rara
Anting... "Baiklah...," desah Nyai Wandari, mengalah.
"Oh, terima kasih, Bu...," ucap Rara Anting sambil langsung memeluk wanita yang
melahirkannya ini.
"Tapi ingat, Anting. Satu pekan saja. Setelah itu kau jangan keluar lagi dari
tempat ini," pesan Nyai Wandari, mengingatkan.
"Aku janji, Bu. Satu pekan saja," sahut Rara Anting dengan gembira.
"Dan sebaiknya pula kau membawa teman," usul Nyai Wandari.
Prahara Rimba Buangan 1 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Si Racun Dari Barat 9