Pencarian

Prahara Di Pantai Selatan 1

Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan Bagian 1


PRAHARA DI PANTAI SELATAN
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan Pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Widarto
Gambar Sampul : Syam CK
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Teguh Suprianto
Pendekar Pulau Neraka
Dalam Episode 024 :
Prahara Di Pantai Selatan
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Beno Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Gunung Jati Anom tampak indah, menjulang tinggi
bagai hendak menembus langit Puncaknya selalu berselimut kabut tebal, sehingga
menghalangi pandangan untuk sampai memandang ke batas puncak gunung itu. Udara
di sekitarnya pun terasa sejuk, bersih dengan desiran angjn lembut
Suasana seperti itu membuat seorang pemuda berbaju kulit harimau yang duduk
bersandar di bawah pohon cukup
rindang, terkantuk dibelai hembusan angin lembut menyejukkan. Pluk! "Hei..!"
Tiba-tiba saja pemuda itu terlonjak ketika merasakan
sesuatu menimpa kepalanya. Sebuah biji kenari yang cukup besar dan keras.
Padahal dia tidak duduk di bawah pohon
kenari. Dengan terheran-heran, pemuda itu mendongak ke
atas. Tampak seekor monyet kecil duduk di dahan yang tepat berada di atas
kepalanya. "Huh.. !" gerutu pemuda berpakaian kulit harimau itu.
Monyet itu menjerit nyaring, dan kembali melemparkan sebuah biji kenari pada pemuda itu sambil
berjingkrakan diatas dahan. Pemuda berbaju kulit harimau itu tersentak. Kalau
saja tadi tidak mengegoskan kepalanya, pasti dia sudah terkena lemparan biji
kenari lagi. "Monyet kau!" bentak pemuda itu memaki.
Monyet kecil itu hanya menyeringai lebar, kemudian
menjerit-jerit sambil berjingkrakan. Seakan-akan dia memang sengaja ingin menggoda. Binatang itu menggembungkan pipinya yang sudah melembung seperti
balon. Lalu.. .
"Hei.. !"
Bukan main terkejutnya pemuda itu. Tahu-tahu dari
mulut monyet kecil itu menyembur biji-biji buah kenari yang kecil-kecil ke
arahnya. Beberapa biji buah kenari itu sempat mengenai wajahnya. Tentu saja hal
ini membuat wajah
pemuda itu memerah karena geram.
"Kurang ajar. .! Awas kau!" geram pemuda itu.
Cepat bagaikan kilat, pemuda berbaju kulit harimau
itu melesat ke atas, mengejar monyet kecil tadi. Tapi monyet kecil itu memang
sangat lincah sekali. Dia melompat gesit dari dahan yang satu ke dahan lainnya.
Sambil berteriak
ribut, seakan-akan menggoda pemuda itu agar terus
mengejarnya. Sesekali kepalanya berpaling, sambil menjulurkan lidahnya.
"Sial! Kenapa aku melayani binatang jelek ini...?"
dengus pemuda berbaju kulit harimau itu
Menyadari tidak ada gunanya marah-marah pada
seekor binatang, pemuda itu menghentikan pengejaran.
Sesaat kemudian dia sudah kembali meluruk turun. Manis
sekali kedua kakinya mendarat di tanah. Sebentar
dipandanginya monyet kecil tadi. Kemudian kembali duduk
bersandar di pohon lain. Sementara monyet itu masih duduk di dahan pohon yang
tadi. "Aku tidak ada waktu main-main denganmu, Monyet
Kecil!" bentak pemuda itu.
Monyet kecil itu hanya mencericit sambil menjulur-
julurkan lidahnya.
"Huh!"
Pemuda itu memejamkan matanya, sambil tetap
bersandar pada batang pohon yang cukup besar. Tapi belum juga dia dapat
beristirahat tenang, sesuatu kembali
menimpa kepalanya. Cepat dia membuka mata, dan. .
"Setan. .!" umpat pemuda itu geram Dilihatnya
monyet kecil itu kini sudah berada di atas dahan, tepat di atas kepalanya.
Pemuda tampan itu bergegas bangkit Dipandanginya
monyet kecil itu tajam-tajam. Kemudian melangkah pergi
sambil mendengus kesal. Sedangkan monyet itu mencericit, seperti mengejek. Tapi
pemuda berbaju kulit harimau itu
tidak peduli. Dia terus saja berjalan pergi.
Suara monyet kecil yang mencericit ribut, terus
terdengar di belakangnya. Rupanya binatang itu terus
mengikutinya. Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu sama sekali tidak peduli
lagi. Dia terus berjalan dengan ayunan langkah lebar-lebar.
"Dasar monyet.. !" maki pemuda berbaju kulit
harimau yang tak lain adalah Bayu alias Pendekar Pulau
Neraka. Bayu menghentikan langkah, dan berbalik. Bukan
main terkejut hatinya, karena monyet kecil itu memang benar masih
mengikuti. Padahal dia sudah cukup jauh meninggalkan tempat tadi. Kini monyet kecil itu menggelantung pada dahan pohon yang cukup tJnggi. Hal ini tentu saja membuat
pemuda berbaju kulit harimau itu
tercenung. "Apa sih maunya monyet ini. .?"
Dipandanginya binatang berbulu coklat itu, yang kini
sudah duduk di atas dahan yang tidak begitu tinggi. Monyet kecil berbulu coklat
juga memandang ke arahnya. Seakan-akan hendak mengatakan sesuatu dengan
pandangan matanya. Kini dia tidak lagj mencericit ribut, melainkan duduk tenang sambil
menggaruk-garuk kepala.
*** "Kenapa kau mengikutiku terus?" tanya Bayu, seperti tidak sadar kalau dia
bertanya pada seekor monyet.
Dan monyet kecil itu hanya mencericit kecil sambil
terus menggaruk-garuk kepala. Bayu memperhatikan tingkah binatang kecil yang
lucu ini. Entah kenapa, harinya
merasakan kalau monyet kecil ini ingin mengatakan sesuatu.
Sayangnya, bahasa yang mereka gunakan berbeda, jadi tidak mungkin bisa
dimengerti. Monyet kecil itu kembali mencericit, kemudian
melompat ke dahan lain. Sambil bergelantungan, dia
berlornpatan dari satu dahan ke dahan lain. Sesaat
kemudian berhenti sebentar, dan berpaling ke arah pemuda berbaju kulit harimau.
"Hm.. , tampaknya dia mengingjnkan aku mengikuti,"
gumam Bayu. Setelah berpikir beberapa saat, Pendekar Pulau
Neraka melompat ke atas dahan, dan berpijak pada dahan
itu dengan ujung jari kakinya, lalu melenting ke dahan lain.
Mengikuti monyet kecil yang juga beriornpatan dari dahan yang satu ke dahan
lainnya. Lucu sekali pemandangan di
hutan itu, dua makhluk yang berbeda jenis itu terlihat saling kejar-kejaran dari
dahan yang satu ke dahan lainnya.
Mereka terus berlornpatan, hingga akhirnya sampai
pada suatu tempat Bayu meluruk turun dari atas dahan
dengan satu gerakan yang indah dan ringan. Sedangkan
monyet kecil itu tetap berada di dahan pohon.
"Pantai Selatan. .," gumam Bayu seraya memandang jauh ke depan.
Dari tempat dia berdiri, memang sudah terdengar
suara deburan ombak menghantam pantai berbatu karang.
Juga tercium kuat udara laut yang khas. Dari tempatnya
berdiri, Bayu bisa melihat sebuah dermaga yang kelihatan ramai. Sementara nun
jauh dari dermaga itu, terlihat sebuah pulau kecil yang memerah bagai terbakar.
Itulah Pulau Neraka, dimana Bayu alias Pendekar Pulau Neraka tumbuh
besar bersama gurunya.
Bayu berpaling menatap monyet kecil yang duduk
tenang di atas dahan. Sungguh dia tidak mengerti, apa
maksud monyet kecil ini membawanya kembali ke daerah
Pantai Selatan. Tapi monyet kecil itu malah membalas
dengan pandangan yang sangat tajam.
"Nguk. .!"
Monyet kecil itu kembali melompat, dan tentu
bergelantungan sambil berlornpatan dari pohon yang satu ke pohon lain. Bayu
bergegas mengikuti binatang kecil berbulu coklat yang dirasakan sangat aneh itu.
Dia jadi penasaran, dan merasa yakin kalau binatang Ini menyimpan satu
maksud yang tidak diketahuinya.
Pendekar Pulau Neraka terus berlompatan dari satu
dahan ke dahan lainnya, mengikuti gerakan monyet kecil.
Menembus hutan lebat, dengan pepohonan yang merapat,
dan saling berkaitan. Tak berapa lama kemudian, kedua
makhluk berlainan jenis itu berhenti di suatu tempat yang tidak begitu lebat
pepohonannya. Bayu tertegun melihat sebuah cungkup makam
berada di tengah-tengah hutan ini. Dan tampaknya cungkup makam ini tidak pernah
terawat. Bagian atapnya sudah
banyak yang berlubang. Dan rerumputan liar menyemaki
sekitarnya. Pendekar Pulau Neraka memandangi monyet
kecil yang berjalan tertatih mendekati cungkup makam itu.
"Pusara siapa ini?" tanya Bayu agak berbisik, seolah-olah bertanya pada dirinya
sendiri. Pendekar Pulau Neraka melangkah mendekati.
Sejenak dipandanginya monyet kecil yang tengah duduk
bersila di samping makam. Cara duduknya, mirip sekali
dengan orang yang tengah melakukan semadi. Dan raut
wajahnya.. . Bayu agak tersentak juga melihat bola mata
binatang kecil berbulu coklat itu merembang. Setitik air bening menggulir jatuh
dari sudut matanya yang bulat merah.
"Hei.. ! Kau menangis. .!"
Monyet kecil itu mengangkat kepala, menatap lurus
ke bola mata Bayu yang sudah berada di seberang makam.
Perlahan Bayu berlutut dan ikut duduk bersila. Tangannya menjulur, meraba sebuah
batu berlumut di atas makam tak
terawat itu. "Aku tidak tahu pusara siapa ini. Tapi tampaknya kau ingin aku memperbaikinya,.
Baiklah, akan kurapikan tempat ini agar kelihatan bersih dan bagus kembali,"
ujar Bayu perlahan.
"Nguk!"
Monyet kecil itu kelihatan senang. Seolah-olah bisa
mengerti semua yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu tersenyum. Kemudian bergegas bangkit. Sebentar
dipandanginya cungkup makam. Kemudian mengedarkan
pandangannya ke sekeliling.
"Kau tunggu di sini sebentar. Aku segera kembali,"
kata Bayu lagi.
"Nguk!"
Monyet kecil itu mengangguk, seolah-olah mengiyakan permintaan Bayu. Kembali Pendekar Pulau
Neraka tersenyum. Entah kenapa, kini dia jadi menyukai
binatang yang tampaknya bisa mengerti setiap kata yang
diucapkannya. "Hup!"
Cepat bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka melesat ke
dalam hutan. Begitu cepat dan sempurnanya ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki Bayu, sehingga dalam
sekejap saja bayangan tubuhnya sudah tak terlihat lagi.
Monyet kecil itu memandangi batu nisan yang
berlumut. Kepalanya bergerak-gerak, dengan bibir bergetar memperdengarkan
suara kecil. Seakan-akan sedang mengatakan sesuatu pada pusara bercungkup itu.


Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Selama tiga hari ini Bayu terpaksa tinggal di dalam
hutan yang tidak jauh dari Pesisir Pantai Selatan. Dan
selama tiga hari itu dia bekerja keras membersihkan dan
membenahi cungkup makam yang tidak dia ketahui makam
siapa. Semua rumput dan ilalang liar yang menyemaki
makam sudah diratakan habis. Sekaligus juga mehgganti
cungkup, dan membenahi pagar makam dengan bambu.
Saat itu senja sudah merayap turun. Dan Bayu baru
saja selesai memasang cungkup bagian atas. Kini Pendekar Pulau Neraka tengah
memandangi hasil pekerjaannya. Puas
hatinya melihat tempat ini kelihatan bersih, dan makam itu juga tidak terlihat
kumuh lagi. "Nguk. .!"
Bayu berpaling dan tersenyum melihat monyet kecil
yang membawanya ke tempat ini, sudah berada di dekat
kakinya. Pemuda berpakaian kulit harimau itu lalu
menjulurkan tangan, dan mengangkat binatang kecil itu, lalu menaruh di
pundaknya. Monyet kecil berbulu coklat itu
tampak sangat gembira berada di pundak Pendekar Pulau
Neraka. Selagi Bayu menikmati hasil kerja yang belum pernah
dilakukannya selama ini, mendadak saja terlihat sesosok
bayangan berkelebat di balik pepohonan. Sesaat Pendekar
Pulau Neraka tersentak.
Kemudian cepat mengejar bayangan yang hanya terlihat sekelebatan saja itu.
"Kaaakh. .!"
Monyet kecil yang berada di pundak Pendekar Pulau
Neraka terjatuh. Namun dia sempat berputaran dua kali, dan langsung melompat
begitu kakinya menjejak tanah berpasir.
Gerakannya bejptu cepat dan ringan sekali, seperti seorang tokoh persilatan
berilmu tinggL "Hei! Siapa kau.. "!" bentak Bayu keras.
Namun tak ada jawaban. Pendekar Pulau Neraka
berhenti berlari. Pandangannya diedarkan berkeliling. Namun tidak lagi melihat
bayangan yang tadi berkelebat Sedangkan monyet kecil berbulu coklat kembali
mendarat lunak di
pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Hm.. , kau tahu di mana dia, Sobat Kecil?" tanya Bayu setengah bergumam.
"Nguk!" monyet kecil itu menggelengkan kepalanya.
Baru saja Bayu hendak bertanya lagi, mendadak
saja.. . Glanr.. ! "Heh. ."!"
"Kaaakh. .!"
Begitu terdengar ledakan menggelegar, terlihat api
membumbung tinggi ke angkasa dari arah cungkup makam.
Bayu terkesiap sesaat, lalu cepat melesat ke arah cungkup makam. Saat pemuda itu
berlari, monyet kecil memegangi
ikat kepala Pendekar Pulau Neraka. Rupanya binatang
cerdas ini tidak ingin terjatuh lagi dari pundak Pendekar Pulau Neraka.
Hanya dengan beberapa kali lompatan saja, tahu-
tahu Pendekar Pulau Neraka sudah sampai di cungkup
makam. Mendadak sepasang matanya terbelalak, melihat
cungkup makam itu terbakar, dan sekitamya porak-poranda
seperti baru saja diamuk puluhan gajah.
"Kaaakh. .!" monyet keci itu menjerit keras sambil melompat ke arah cungkup
makam yang masih terbakar.
"Hei, jangan. .!" sentak Bayu.
Cepat Pendekar Pulau Neraka
melesat, dan menangkap tubuh kecil berbulu coklat itu. Tapi monyet kecil ini memberontak,
mencoba melepaskan diri. Bayu terpaksa
mendekapnya kuat-kuat di depan dada. Tapi lama-kelamaan
akhirnya perlawanan monyet kecil itu melemah. Dan kini
malah memeluk leher Pendekar Pulau Neraka dengan erat,
seraya menyembunyikan wajahnya di dada Bayu yang kekar
dan bidang. "Sudahlah, aku bisa mengerti perasaanmu. Nanti
akan kubuatkan lagi yang lebih bagus," Bayu mencoba menghibur.
"Nguk!"
"lya, besok pagi aku akan membuat cungkup baru."
"Nguk!"
"Kenapa.. ?"
Bayu memandang bola mata bulat kecil merah itu.
Sepertinya binatang cerdas ini hendak mengatakan sesuatu, tapi sukar bagi
Pendekar Pulau Neraka untuk bisa mengerti.
"Apa yang kau inginkan, Sobat Kecil?" tanya Bayu tidak mengerti.
Monyet kecil itu menjulurkan lidah ke luar. Tangannya
digerakkan, menggorok leher sendiri. Karuan saja Bayu
tersentak kaget Sungguh dia tidak mengira kalau binatang ini bisa membuat
isyarat yang mengerikan.
"Kau mau mati. .?" .
Monyet kecil itu menggeleng
"Lalu.. ?" suara Bayu terputus.
Pendekar Pulau Neraka mendesah seraya mendongakkan kepalanya. Mulai bisa dimengertinya kalau
monyet kecil ini menyimpan dendam, dan menginginkan
dirinya untuk membalaskan dendamnya. Tapi pada siapa. ."
Dan kenapa binatang ini menyimpan dendam" Dari sorot
mata binatang kecil ini, Bayu bisa merasakan adanya
dendam yang begitu besar.
Pendekar Pulau Neraka meletakkan monyet kecil itu
di pundak. Kemudian menatap cungkup makam yang masih
menyala terbakar. Perlahan dia berpaling, menatap monyet kecil di pundaknya.
Bayu baru menyadari kalau di leher
binatang cerdas ini melingkar seuntai katung yang melilit ketat Sebuah kalung
berwarna kuning keemasan. Dan baru
kini pula dia menyadari kalau binatang ini adalah peliharaan seseorang. Dan
orang itu pasti yang terbaring di dalam
makam bercungkup itu.
Hanya saja Bayu tidak tahu makam siapa. Untuk
bertanya pada monyet ini, memang tidak mungkin. Tidak ada seekor binang pun yang
bisa diajak berbicara oleh manusia.
"Sudah hampir malam. Sebaiknya kita cari tempat
istirahat. Besok baru akan kubuatkan cungkup baru," kata Bayu pelan.
"Nguk. .!"
"Hm.. , siapa yang membakar cungkup ini. .?" gumam Bayu bertanya pada dirinya
sendiri. "Siapa pun dia, pasti tidak lagi memiliki hati manusia. Membakar
cungkup makam adalah perbuatan keji."
"Nguk! Kaaakh. .!"
"Iya, Sobat Kecil. Akan kucari orang yang membakar
cungkup makam majikanmu," janji Bayu.
Monyet kecil itu berjingkrakan. Sepertinya merasa
gembira mendengar janji Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu
hanya tersenyum saja. Terkadang, tingkah binatang cerdas ini memang lucu, dan
membuat hati siapa saja yang
melihatnya akan tergelitik. Tapi tak jarang malah membuat keninjg berkerut
Monyet ini seperti manusia saja. Memiliki hati dan perasaan. Juga cerdik dan
dapat mengerti setiap kata yang diucapkan Pendekar Pulau Neraka. Siapa pun
orang yang pernah memeliharanya, pasti sudah melatihnya
dengan baik sekali.
*** 2 Bayu menghenyakkan tubuh di atas rerumputan yang
cukup tebal. Dalam beberapa hari ini, dia benar-benar
merasakan seolah-olah ada sesuatu yang lain dalam dirinya.
Sesuatu yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Membangun kembali sebuah cungkup makam, memang
baru pertama kali ini dilakukan, tapi pekerjaan yang
kelihatannya tidak memiliki arti ini sangat besar artinya bagi Bayu. Dari sekian
banyak kebajikan yang pernah dilakukan, mungkin inilah kebajikan pertama yang
benar-benar dinikmatinya. "Seluruh tubuhku terasa penat, tapi aku puas dan
bahagia sekali...," desah Bayu seraya memandangi cungkup makam yang sudah
berdiri kembali setelah ludes terbakar.
Bayu menguap beberapa kali Tangannya memeluk
monyet kecil berbulu coklat yang semakin dekat dan manja padanya. Perlahan
Pendekar Pulau Neraka memejamkan
mata. Dia merasakan seluruh tubuhnya benar-benar penat,
dan kelopak matanya begitu berat Seakan-akan tidak
sanggup lagi untuk terus terbuka.
Sebentar saja sudah terdengar suara dengkur halus.
Kelelahan dan kebanggaan di dalam dirinya telah membuat
Pendekar Pulau Neraka cepat tertidur. Dan monyet kecil di dalam pelukannya juga
sudah mendengkur. Malam ini
memang terasa begitu dingjn sekali, dan angin yang
berhembus agak kencang menambah kenyamanan bagi
kedua makhluk berlainan jenis itu tertidur lelap.
"Bayu. ., bangunlah."
Tiba-tiba saja terdengar suara halus di telinga
Pendekar Pulau Neraka. Sebentar Bayu menggeliat,
menggosok-gosok telinganya. Tapi belum juga membuka
mata, kemudian kembali mendengkur.
"Bangunlah di dalam tidurmu, Bayu," kembali
terdengar suara halus.
Dengan mata masih terpejam, Pendekar Pulau
Neraka bangkit Dan langsung duduk bersila. Sementara
monyet kecil berbulu coklat yang masih terlelap, berpindah ke pangkuannya.
Perlahan Bayu membuka mata. Namun pandangannya begitu kosong, tak terbetik sedikit pun cahaya di matanya. Sesaat
kemudian seberkas cahaya berpendar
menyilaukan di depan wajahnya. Dan begitu cahaya itu
lenyap, tahu-tahu di depan Pendekar Pulau Neraka telah
berdiri seorang laki-laki tua dengan baju ktsuh dan penuh tambalan. Dia berdiri
di atas kedua kakinya yang buntung sebatas paha.
"Eyang. ," desis Bayu begitu mengenali laki-laki tua itu.
Laki-laki tua berkaki buntung dan kedua matanya
buta itu memang Eyang Gardika. Seorang laki-laki tua yang merawat dan mendidik
Bayu sejak masih merah di Pulau
Neraka (Jika pembaca ingin tahu lebih jelas tentang Eyang Gardika, bacalah
serial perdana Pendekar Pulau Neraka
dalam episode "Geger Rimba Persilatan"). Bayu cepat merapatkan kedua tangan di
depan hidung, memberi
penghormatan pada orang tua yang telah menjadikan dirinya seperti sekarang ini.
"Aku bangga memiliki murid sepertimu Bayu.
Meskipun ilmu-ilmu yang kau miliki bersumber dari aliran sesat, tapi kau gunakan
untuk kebajikan, membantu yang
lemah dan memberantas keangkaramurkaan.
Satu perbuatan kebajikan yang baru saja kau lakukan, merupakan satu kebanggaan
tersendiri di dalam hatiku," ujar Eyang Gardika dengan suara berat dan agak
serak. Bayu menatap kosong ke arah cungkup makam yang
baru saja dibuatnya setelah ludes dibakar oleh orang
misterius kemaria Kemudian pandangannya dialihkan
kembali menatap laki-laki tua cacat di depannya. Meskipun kedua matanya buta,
namun mata hati Eyang Gardika sangat tajam. Bahkan melebihi mata biasa.
"Kau tahu, kepada siapa kau baru berbuat kebajikan, Bayu?" tanya Eyang Gardika.
Bayu hanya menggelengkan kepalanya saja.
"Orang yang terbaring di bawah cungkup itu adalah
putraku. Hanggara namanya."
"Ohhh. .," Bayu mendesah panjang
Dia memang pernah mendengar cerita dari mulut
Eyang Gardika sendiri, kalau laki-laki tua ini juga memiliki seorang anak laki-
laki bernama Hanggara.
Usianya sebaya dengan dirinya. Itulah sebabnya
mengapa Eyang Gardika menambahkan kata-kata Hanggara
pada nama di belakang Bayu. Dan pemuda itu pun tidak
keberatan kalau namanya menjadi Bayu Hanggara. Tapi lebih dikenal dengan sebutan
Pendekar Pulau Neraka.
"Sayang, aku bukan lagi manusia sepertimu. Jadi
tidak bisa menolongnya. Sedangkan pada waktu itu aku tidak tahu, di mana kau
berada," kata Eyang Gardika lagi.
"Maafkan aku, Eyang," ucap Bayu.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bayu. Aku rasa
belum terlambat jika kau bersedia mencari mereka dan
membalas kematian Hanggara."
Bayu menganggukkan kepala. Lalu menatap monyet
kecil yang tertidur di atas pangkuannya.
"Dia dapat menunjukkan di mana mereka."
Bayu mengangkat kepalanya, menatap laki-laki tua
cacat di depannya. Apa yang sedang dipikirkan Pendekar
Pulau Neraka saat itu rupanya dapat dibaca Eyang Gardika.
"Dia bernama Tiren. Hanggara sangat menyayanginya.
Dia sudah terlatih baik dan dapat kau perintah melakukan apa saja. Kuharap kau
bisa cocok dengannya, Bayu," kata Eyang Gardika lagi.
"Aku memang menyukainya, Eyang," sahut Bayu.
"Bagus. Itu berarti di antara kalian sudah ada
kecocokan. Hm. ., aku rasa sudah cukup. Aku pergi dulu,
Bayu." Setelah berkata demikian, Eyang Gardika lenyap
dengan meninggalkan cahaya menyilaukan. Bayu kembali
rebah begitu cahaya berkilauan itu lenyap dari pandangan.
Namun mendadak saja. .
"Heh. .!"
Pendekar Pulau Neraka tersentak bangun. Monyet
kecil di pangkuannya juga terbangun sambil mencericit ribut Bayu bergegas
berdiri. Dan monyet kecil berbulu coklat itu pun cepat naik ke pundak Pendekar
Pulau Neraka. "Eyang. .,"
desis Bayu seraya

Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengedarkan pandangan berkeliling.
Tapi hanya kegelapan saja yang terlihat di sekitarnya.
Pandangannya kemudian tertuju ke arah cungkup makam.
Beberapa saat lamanya Pendekar Pulau Neraka memandangi cungkup makam di depannya.
"Apakah aku tadi bermimpi. ." Tapi. ., ah, tidak. Aku tidak bermimpi. Eyang
Gardika benar-benar datang padaku
tadi," Bayu berbicara sendiri.
Pendekar Pulau Neraka menatap monyet kecil yang
duduk di pundaknya.
"Tiren.. , kau bernama Tiren, Sahabat Kecil?"
"Nguk.,.!" binatang cerdas itu mengangguk.
Bayu tersenyum. Kini dia yaldn kalau tadi tidak
bermimpi. Dan dia pun yakin kalau tadi gurunya benar-benar datang. Kini Pendekar
Pulau Neraka kembali mengalihkan
pandangan ke arah cungkup makam di depannya.
"Aku akan membalas kematian majikanmu, Tiren,"
ujar Bayu perlahan.
"Kaaakh. .!" monyet kecil berbulu coklat yang temyata bernama Tiren itu
berteriak gembira.
Binatang lucu itu berjingkrakan di atas pundak
Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju kulit harimau itu
tersenyum. Lalu mengelus-elus kepala Tiren, menyuruhnya
diam. Monyet kecil itu akhirnya diam, duduk tenang kembali di pundak Bayu. Pada
saat itu terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan di kejauhan. Dan tak lama
kemudian, kicauan burung mulai terdengar ramai.
"Sudah pagi. Sebaiknya kita berangkat sekarang,
Tiren. Kau tahu tempat mereka, bukan. .?" ujar Bayu.
"Nguk!" sahut Tiren mengangguk.
"Ayolah. Kita buat perhitungan dengan mereka."
"Nguk! Kaaakh. . "
"Ha ha ha. .!"
*** Siang itu udara di sekitar Pantai Selatan memang
cerah sekali. Matahari bersinar terang. Langit begitu bersih, tanpa sedikit pun
awan yang menghalangi cahaya matahari.
Seperti hari-hari yang lalu, hari ini pun wilayah Pesisir Pantai Selatan kembali
ramai. Begitu banyak para pendatang yang singgah, dengan tujuan dan kesibukan
masing-masing. Di antara orang-orang yang hilir mudik, terlihat
Pendekar Pulau Neraka berjalan perlahan bersama sahabat
barunya. Seekor monyet kecil berbulu coklat yang nangkring di pundak. Tempat
inilah tempat Bayu pertama kali
menginjakkan kakinya setelah keluar dari Pulau Neraka. Dan di sini pula dia
pertama kali membunuh orang untuk
membalas kematian orang tuanya.
"Ibu.. , di manakah kini kau berada.. ?" desah Bayu dalam hati.
Tiba-tiba saja Bayu teringat kepada ibunya yang
sampai saat ini belum ketahuan apakah masih hidup atau
sudah mati. Sampai saat ini, dia hanya menemukan pusara
ayahnya di antara pusara-pusara lain di bekas reruntuhan Padepokan Teratai
Putih. Dan menurut salah seorang bekas murid Padepokan Teratai Putih yang sempat
menyelamatkan diri dari kehancuran, tidak diperoleh keterangan kalau ibunya telah tewas.
"Jangir.. . Mudah-mudahan dia masih ingat padaku."
Bayu teringat bekas murid ayahnya yang masih hidup.
Dari Jangir inilah pemuda berbaju kulit harimau itu tahu kalau ibunya tidak
tewas, tapi entah berada di mana
sekarang. Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya
menuju ke Timur. Rupanya ingin menemui bekas murid
ayahnya. Dulu Bayu pernah menemuinya, begitu mendengar
ada murid-murid Padepokan Teratai Putih yang masih hidup.
"Kita temui dulu sahabat lamaku, Tiren," kata Bayu pada monyet kecil di
pundaknya. "Nguk. .!" sahut Tiren.
Bayu menepuk-nepuk kaki Tiren. Langkahnya pun
semakin dipercepat, menyusuri tepian Pantai Selatan yang selalu ramai. Dia terus
berjalan dengan langkah-langkah
lebar, tidak mempedulikan beberapa pasang mata yang
memperhatikannya. Tiga orang laki-laki bertubuh tegap
dengan wajah kasar, memperhatikan Pendekar Pulau Neraka
dari sebuah kedai. Dan dua orang laki-laki tua yang duduk di atas bangkai perahu
juga memperhatikan Bayu. Namun
Pendekar Pulau Neraka terus berjalan.
Bayu menghentikan ayunan kakinya ketika sampai di
depan sebuah rumah kecil yang atapnya terbuat dari
anyaman daun rumbia. Seluruh dindingnya terbuat dari bilik bambu. Sementara di
beranda depan rumah, tampak
seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahunan, duduk mencangkung di atas
balai-balai bambu. Laki-laki itu
kelihatan sibuk menganyam benang jala.
"Paman Jangir.. ," panggil Bayu setelah dekat
Seketika laki-laki tua tanpa mengenakan baju itu
menghentikan pekerjaannya. Kepalanya diangkat, memandang Bayu yang berdiri tidak jauh di depannya.
Sejenak diamatinya pemuda berbaju kulit harimau itu tajam-tajam.
"Kau lupa padaku, Paman.. ?"
'Bayu.. . Ah, apakah aku tidak salah lihat. ?"
''Tidak, Paman. Aku memang Bayu."
Laki-laki tua yang dipanggil Paman Jangir itu bergegas
turun dari balai-balai bambu. Pekerjaannya ditinggalkan, dan segera menyongsong
Pendekar Pulau Neraka. Sebentar dia
memandang Bayu dari atas kepala hingga ke ujung kaki, lalu memeluk dengan hangat
Pendekar Pulau Neraka balas
memeluk sambil menepuk-nepuk punggung yang kurus dan
coklat terbakar sinar matahari.
"Ayo, masuk. .," ajak Paman Jangir.
Bayu tersenyum senang karena Paman Jangir
ternyata tidak melupakan dirinya meskipun sudah begitu
lama mereka tidak bertemu. Pertama kali keduanya bertemu adalah saat Bayu
membalas kematian ayahnya pada
Rengganis. Wanita yang mendalangi penghancuran Padepokan Teratai Putih. Dari Paman Jangir inilah Bayu
mengetahui siapa itu Rengganis. Bahkan dari Paman Jangir pula dia bisa
mendapatkan nama-nama pembunuh ayahnya,
dan orang-orang yang membantu menghancurkan Padepokan Teratai PutJh yang dipimpin Dewa Pedang, orang tua Bayu.
"Duduk, Bayu. .," Paman Jangir mempersilakan
setelah berada di dalam
''Terima kasih," ucap Bayu seraya duduk di lantai
yang beralaskan tikar lusuh.
Rumah-rumah di sekitar Pesisir Pantai Selatan
memang berbentuk panggung. Hal ini dimaksudkah untuk
menangkal kalau-kalau terjadi laut pasang. Sehingga tidak perlu lagi mengungsi,
dan tidak khawatir rumah mereka
terendam. "Lama sekali kau tidak mengunjungiku lagi, Bayu,"
ujar Paman Jangir.
"Maaf, Paman. Perjalananku jauh sekali. Jadi tidak
sempat mengunjungimu," sahut Bayu.
"Apakah kau sudah menemui mereka semua?" tanya Paman Jangir langsung.
"Belum,"
sahut Bayu seraya menggelengkan kepalanya. ''Tidak mengapa, Bayu. Kebanyakan dari mereka
adalah para pengembara. Tentu tidak mudah menemui
mereka. Ah, sudahlah. . Aku senang bisa melihat kau
kembali dalam keadaan selamat," kata Paman Jangir.
Bayu hanya tersenyum saja. Selama pengembaraannya, memang dia jarang bertemu dengan
orang-orang yang telah membunuh ayahnya sekaligus yang
menghancurkan Padepokan Teratai Putih. Dan bukannya
tidak mungkin ada di antara mereka yang sudah meninggal, karena dimakan usia.
Masa dua puluh lima tahun memang
bukan kurun waktu yang pendek. Dan tidak ada seorang
manusia pun yang sanggup mempertahankan kehidupan
untuk selamanya. Kematian pasti akan menjemput juga.
"Bayu, kau datang ke sini tidak hanya sekadar
singgah, bukan.. ?" tanya Paman Jangir.
Bayu tidak segera menjawab. Dia hanya tersenyum
mendengar pertanyaan laki-laki tua yang dulunya pernah
menjadi penghuni Padepokan Teratai Putih, sekaligus
merupakan murid setia Dewa Pedang.
"Istirahatlah dulu, Bayu. Anggap saja di sini rumahmu sendiri. Jadi jangan
sungkan-sungkan," kata Paman Jangir lagi, seraya bangkit berdiri.
''Terima kasih, Paman," ucap Bayu.
"Aku selesaikan dulu pekerjaanku, Bayu."
"Silakan, Paman. Jangan karena kedatanganku,
pekerjaan Paman jadi telantar."
"Ah, sama sekali tidak."
Paman Jangir kembali melangkah ke luar untuk
meneruskan pekerjaannya yang tertunda. Sementara Bayu
menyandarkan punggungnya ke dinding. Sebenarnya, ingin
dibantunya laki-laki tua ini. Tapi sungguh tidak dimengertinya tata cara dan
pekerjaan sebagai nelayan. Di samping itu, memang tubuhnya terasa penat sekali.
"Kau tidur di atas sana, Tiren," kata Bayu, seraya menunjuk palang rumah.
"Nguk. .!"
Tiren segera melompat, dan nangkring di atas palang
kayu yang melintang di tengah atap rumah. Bayu tersenyum ketika melihat binatang
cerdas itu langsung merebahkan
tubuhnya di palang kayu. Kemudian dia sendiri merebahkan tubuhnya, menopang
kepala dengan kedua tangan.
"Hhh.. ."
*** Apa saja yang bisa dikerjakan, Bayu tidak segan-
segan membantu Paman Jangir. Selama dua hari Bayu
tinggal, pekerjaan Paman Jangir memang lebih ringan.
Bahkan pagi ini Pendekar Pulau Neraka ikut melaut.
Paman Jangir merasakan seakan-akan dia melihat
kembali Dewa Pedang. Meskipun sejak masih bayi Pendekar
Pulau Neraka tidak pernah melihat rupa ayahnya, namun
watak yang ada dalam dirinya tidak jauh berbeda dengan
ayahnya. Dan itu dapat dilihat jelas oleh Paman Jangir yang dulunya murid si
Dewa Pedang. Tapi tentu saja ada perbedaannya. Ketegasan dan
kekerasan yang dimiliki Bayu bukanlah ketegasan sikap
seorang pendekar persilatan golongan putih. Dan ini bisa terjadi karena selama
dua puluh tahun lebih, dia tinggal dan dididik oleh bekas tokoh hitam yang
menyepi di Pulau
Neraka. Setelah tokoh itu dibuat cacat oleh musah-
musuhnya. Yang pasti, sedikit banyaknya, watak-watak keras Eyang Gardika yang
dulu dikenal berjuluk si Cakra Maut
tertanam di dalam pribadi pemuda ini.
"Menyenangkan juga hidup jadi nelayan, Paman,"
kata Bayu seraya memandang ikan hasil tangkapan mereka.
"Kau baru dua hari di sini, Bayu. Lama-lama kau juga akan bosan," sahut Paman
Jangir. Bayu hanya meringis saja. Memang tidak dipungkiri,
segala sesuatu yang baru pertama kali dilakukan akan
terasa sangat menyenangkan. Tapi jika terus-menerus
dilakukan selama bertahun-tahun, bisa jadi membosankan.
Namun hidup memang selalu menuntut manusia melakukan
pekerjaan untuk mempertahankan hidup.
"Mau dikemanakan ikan-ikan ini, Paman?" tanya
Bayu. "Nanti juga ada yang datang membeli," sahut Paman Jangir.
"Tengkulak.. ?"
"Bisa dikatakan begitu, Bayu. Memang harganya
rendah, tapi buat nelayan tua seperti paman ini, lebih baik begitu daripada
membawa ke pasar sendiri. Sudah tidak
kuat.. " Lagi-lagi Bayu tersenyum.
"Yang penting masih bisa hidup, tidak menyusahkan
orang lain, Bayu," sambung bekas murk) Dewa Pedang itu lagi.
"Asal mereka tidak menyusahkan Paman saja."
"Terkadang
memang menjengkelkan. Mereka seenaknya saja menawar dengan harga rendah. Tapi kalau
tidak dijual, mau diapakan ikan-ikan ini.. " Dimakan sendiri juga tidak habis."
"Kau suka ikan, Tiren. .?" Bayu menatap monyet kecil di pundaknya.
Monyet kecil itu berjingkrak sambil mencericit. Tentu
saja Bayu tertawa melihat tingkah Tiren. Sedangkan Paman Jangir hanya tersenyum
saja. Mana ada monyet yang makan
ikan. ." Kalau buah, tidak perlu ditawarkan lagi.
"Dari mana kau dapatkan monyet itu, Bayu?" tanya Paman Jangir.
'Dari seseorang," sahut Bayu asal saja.
"Cerdik sekali dia," puji Paman Jangir.
Tiren kembali berjingkrakan sambil mencericit ribut
Merasa senang mendapat pujian dari laki-laki tua ini Dan Bayu hanya tertawa saja
melihat tingkah monyet kecil di
pundaknya ini. Memang, sejak kehadiran Tiren, Pendekar Pulau
Neraka jadi sering tertawa. Tingkah binatang cerdas ini


Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang lucu, dan segala yang dilakukannya selalu
menggelitik, membuat orang yang melihat jadi ingin tertawa.
"Itu mereka datang, Bayu," Paman Jangir memberi tahu.
Bayu menatap empat orang laki-laki yang berjalan ke
arahnya. Di pinggang mereka menyembul gagang golok. Dan
tampang-tampangnya juga bengis. Bayu langsung dapat
menebak kalau mereka paling juga cuma tukang pukul.
"Mereka orang-orangnya Juragan Basra. Yang paling
depan Itu Calong. Yang pakai baju merah, Winaya. Dan dua lagi Cagak serta
Landar," Paman Jangir memberi tahu keempat laki-laki berwajah bengis yang
melangkah semakin dekat
"Hm."!" Bayu hanya menggumam saja sambil
memperhatikan keempat orang itu.
"Hati-hati, Bayu. Biasanya mereka main pukul saja
kalau sedikit tersinggung," Paman Jangir memperingatkan.
"Hebat. .," gumam Bayu langsung merasa muak.
Begitu sudah dekat, empat laki-laki itu langsung
melongok ke dalam keranjang di depan Paman Jangir. Salah seorang di antaranya
membolak-balikkan ikan-ikan di dalam keranjang. Sedangkan Bayu yang duduk di
pinggiran perahu milik Paman Jangir, hanya memperhatikan saja.
"Banyak hasilmu, Jangir," kata Calong di ringi senyuman sinis.
"Lumayan, mungkin memang lagi mujur," sahut
Paman Jangir. Calong melirik Bayu yang kelihatan tidak peduli.
Pendekar Pulau Neraka memang tengah asyik bercanda
dengan Tiren. Calong kembali menatap Paman Jangir.
"Berapa kau akan jual?" tanya Calong lagi.
"Dua puluh kepeng," sahut Paman Jangir.
"Semuanya."
"Dua puluh kepeng. " Ikan kecil-kecil begini" sentak Calong sambil menendang
keranjang yang berisi ikan.
Kalau saja Paman Jangir tidak cepat menahan
keranjangnya, pasti ikan-ikan di dalam keranjang sudah
tumpah. Sedangkan tiga orang lainnya tertawa terbahak-
bahak melihat perbuatan Calong.
"Dengar, Jangir. Aku cuma mau tiga kepeng. Dan itu
tidak bisa ditawar lagi. Kalau kau mau, aku berikan uangnya.
Tapi kalau tidak, kau boleh buang ikanmu itu ke laut!" keras sekali suara Calong
"Baiklah, lima belas kepeng saja," Paman Jangir menurunkan harga ikannya.
"Sudah kubilang, tiga kepeng!"
"Ikan ini besar-besar, Den Calong. Lagi pula
banyaknya dua kali lipat dari biasa. Dan lagi, biasanya kan sepuluh kepeng."
"Menjualnya lagi susah, tahu!" bentak Calong. "Sudah, kalau tidak mau uang
segitu, akan kubawa ikan ini. Dan kau boleh menangis tanpa menerima uang!"
Calong memberi isyarat pada teman-temannya. Dua
orang di antara mereka langsung menggotong keranjang
ikan. Dan Calong melemparkan tiga keping uang logam yang bernilai satu kepeng
sekepingnya. Tiga keping uang logam itu jatuh di depan kaki Paman Jangir.
''Terimalah uang itu, dan tangkap lagi ikan yang lebih
banyak! Ha ha ha.. !" Calong tertawa terbahak-bahak.
"Kurang, Den.. !" teriak Paman Jangir.
"Apa. ." Kurang" Nih, kurangnya.. !" sentak Calong.
Cepat sekali Calong mengibaskan tangan hendak
menampar muka Paman Jangir. Tapi hanya sedikit saja laki-laki tua ini menarik
kepalanya ke belakang, sehingga
ramparan Calong lewat tanpa membawa hasil.
"Heh! Kau mau melawan, ya.. ?" bentak Calong
bertambah gusar.
"Maaf, Den. Kalau tidak mau lima belas kepeng, aku
mau jual sendiri ke pasar," kata Paman Jangir.
"Tua bangka keparat. .! Kau rupanya sudah bosan
hidup, heh.. !" bentak Calong geram.
Selesai berkata demikian, Calong langsung mencabut
goloknya. Dan secepat itu pula, goloknya dibabatkan ke leher Paman Jangir. Tapi
tanpa diduga sama sekali, bekas murid Dewa Pedang ini menarik kakinya selangkah
ke belakang, seraya menarik kepalanya ke belakang, menghindari tebasan golok.
"Setan. .!" geram Calong, memuncak amarahnya.
Laki-laki berwajah bengis itu kembali menyerang
dengan membabatkan golok beberapa kali. Dan memang,
Paman Jangir bukanlah orang tua sembarangan yang mau
menyerah begitu saja. Dengan lincah sekali, tubuhnya meliuk menghindari serangan
Calong. "Phuih! Rupanya kau punya kepandaian juga, Jangir!
Bagus. .! Terima seranganku! Hiyaaat. !"
Menyadari kalau orang tua ini tidak kosong, Calong
langsung memberikan serangan yang lebih cepat dan
dahsyat Sedangkan tiga orang temannya, hanya menonton
saja. Mereka juga terkejut melihat Paman Jangir yang selama ini dikenal tidak
pernah membantah dan mau dibayar berapa saja, ternyata memiliki kepandaian juga.
Entah sudah berapa jurus Calong menyerang Paman
Jangir. Tapi belum juga dapat menjatuhkan orang tua yang kelihatan lemah itu.
Bahkan untuk mendesak saja,
kelihatannya Calong mendapat kesulitan. Serangan- serangannya selalu dapat dimentahkan Paman Jangir
dengan mudah. "Keparat. .!" geram Calong, semakin memuncak
amarahnya. Belum juga Calong mendapat cara untuk men-
jatuhkan orang tua ini, mendadak saja Paman Jangir
memutar tubuhnya dengan cepat Dan sebelum Calong
menyadari, tahu-tahu tangan bekas murid Dewa Pedang ini
sudah menyodok ke arah dada. Begitu cepatnya sodokan
tangan kanan laki-laki tua ini, sehingga Calong tidak dapat lagi menghindar.
Begkh! "Akh. .!" Calong memekik kaget.
Tubuh yang tegap berotot itu terpental ke belakang,
dan jatuh dengan keras di atas pasir. Calong menggeram
marah seraya berusaha bangkit Dadanya terasa sesak, dan
sukar bernapas. Rupanya sodokan tangan Paman Jangir tadi cukup keras juga.
"Bunuh orang tua keparat itu.. !" teriak Calong memerintah.
Seketika tiga orang temannya beriornpatan me-
nyerang seraya mencabut golok masing-masing. Namun
sebelum mereka sampai, Bayu sudah bertindak cepat
Pendekar Pulau Neraka sudah melesat, dan langsung
melontarkan beberapa pukulan keras tanpa disertai
pengerahan tenaga dalam.
Begkh! Duk! Des! Tiga lelaki kasar yang berlornpatan menyerang
Paman Jangir, mendadak berpentalan balik. Mereka
memekik keras dan jatuh bergulingan di atas pasir yang
panas terpanggang matahari. Mereka cepat berdiri dengan
mata terbelalak ketika melihat di samping Paman Jangir
telah berdiri seorang pemuda berbaju kulit harimau. Mereka lebih terkejut lagi,
karena tangan pemuda itu menggenggam tiga batang golok.
Tiga orang itu beringsut mundur. Entah bagaimana
caranya, tahu-tahu golok mereka sudah pindah ke tangan
Bayu. Dan hal ini tentu saja membuat hati mereka ciut.
"Bayar ikan itu dua puluh kepeng!" bentak Bayu tegas.
Calong dan ketiga temannya saling berpandangan.
Meskipun Bayu hanya sekali saja melakukan tindakan,
namun sudah cukup membuat hati keempat orang berwajah
bengis ini bergetar. Bagaimana tidak. ." Bukan sembarang orang bisa merampas
golok sambil melakukan penyerangan
begitu cepat. "Cepat bayar.. !" bentak Bayu menggelegar.
Buru-buru Calong melempar sepundi uang ke arah
Paman Jangir. Kemudian bergegas kabur dari situ.
"Hei, tunggu. .!" teriak Bayu.
Calong dan ketiga temannya berhenti berlari.
"Bawa ikan ini, kalian sudah membelinya!" ujar Bayu.
Kembali keempat orang kasar itu saling berpandangan. Akhirnya Calong menyuruh Winaya dan Cagak
membawa keranjang ikan. Dengan perasaan kecut, Winaya
dan Cagak terpaksa menuruti perintah Calong. Bayu
melempar golok yang dirampasnya ke dalam keranjang.
Bergegas Winaya dan Cagak membawa ikan dengan kaki
gemetar. "Ha ha ha.. !" Paman Jangir tertawa terbahak-bahak melihat empat tukang pukul
Juragan Basra lari terbirit-birit sambil membawa sekeranjang ikan.
"Ayo kita pulang, Paman," ajak Bayu.
"Ayo, Bayu. Kita mampir dulu di kedai Nyai Sinah.
Uang ini pasti lebih dari dua puluh kepeng," sahut Paman Jangir balik mengajak.
"Siapa Itu Nyai Sinah?" tanya
Bayu sambil mengayunkan kakinya.
"Janda yang buka kedai di sudut desa," sahut Paman Jangir memberi tahu.
"Makanannya enak."
"Makanannya atau orangnya.. ?" seloroh Bayu.
"Ha ha ha. .!"
*** 3 Memang benar apa yang dikatakan Paman Jangir.
Kedai Nyai Sinah terlihat dipadati pengunjung. Nyai Sinah bukan saja seorang
janda cantik, tapi makanan yang
dihidangkan juga enak. Maka tidak mengherankan jika
hampir semua meja di kedai kecil ini penuh sesak, dan
hampir tanpa sisa.
Bayu dan Paman Jangir mendapat meja yang berada
agak di belakang, karena meja-meja di bagian depan sudah penuh. Kebanyakan dari
pengunjung yang datang adalah
para pelancong. Tapi tidak sedildt di antaranya penduduk asli. Dan mereka yang
datang, biasanya bukan hanya
sekadar menikmati hidangan saja. Tapi untuk menikmati
kecantikan Nyai Sinah. Tidak heran jika di antara para
pengunjung ada yang suka berbuat usil. Nyai Sinah sendiri hanya menanggapi
dengan senyuman saja. Mungkin dia
memang sudah memaklumi risiko membuka kedai. Dan juga
menyadari kalau kecantikan wajahnya itulah yang membuat
kedainya selalu dipenuhi pengunjung
Braki Semua orang di kedai tersentak kaget ketika tiba-tiba
pintu kedai didobrak hingga hancur berantakan. Bersamaan dengan itu, muncul
seorang laki-laki bertubuh gemuk,
dengan kepala setengah botak. Dibelakangnya menyusul
enam orang laki-laki berwajah beringas. Beberapa pengunjung kedai yang rupanya mengenal orang-orang itu
bergegas ke luar dengan tergesa-gesa.
"Siapa dia, Paman?" tanya Bayu berbisik.
"Juragan Basra," sahut Paman Jangir.
Laki-laki gemuk berkepala setengah botak itu
menghampiri Bayu dan Paman Jangir. Kembali satu persatu
orang-orang di dalam kedai beranjak pergi. Sementara Bayu memandangi laki-laki
gemuk itu. Bibirnya menyunggingkan
senyuman tipis saat melihat empat orang di belakang laki-laki gemuk yang
dikenalkan Paman Jangir bernama Juragan
Basra. "Ini dia orangnya, Juragan," kata Calong seraya menunjuk Bayu.
"O..., jadi ini anak kemarin sore yang mau jadi jago di sini...," sinis sekali
nada suara Juragan Basra.
Saat itu Nyai Sinah datang menghampiri dengan
tergopoh-gopoh. Wanita cantik itu membungkuk di depan
Juragan Basra seraya memberikan senyuman manis.
"Juragan, silakan duduk. .," ucap Nyai Sinah
menyambut dengan ramah.
"Aku ke sini bukan mau makan. Minggir.. !" bentak Juragan Basra kasar.
Dengan sikap yang kasar pula Juragan Basra
mendorong dada Nyai Sinah, hingga wanita itu terlempar ke belakang. Nyai Sinah
terpekik keras. Tapi, untunglah Bayu bertindak cepat Ditangkapnya janda cantik
itu, sehingga tidak sampai jatuh.
"Oh, terima kasih," ucap Nyai Sinah.
"Hm.. ," Bayu hanya tersenyum saja.
Pendekar Pulau Neraka menatap tajam laki-laki
bertubuh gemuk di depannya. Ketida ksukaannya langsung
timbul melihat kekasaran Juragan Basra. Meskipun hidupnya penuh kekerasan, namun
Bayu tidak pernah memperlakukan
wanita dengan kasar begitu. Lain halnya kalau wanita itu memang lawannya.
"Jangir! Ke sini kau...!" bentak Juragan Basra kasar sambil menuding Paman
Jangir., "Untuk apa?" tanya Paman Jangir, tetap tidak
bergeming dari kursinya.
"Ke sini...!" bentak Juragan Basra berang.
Paman Jangir hanya diam saja, malah meneguk
araknya hingga tandas tak bersisa. Sedikit dia melirik Bayu yang kini berdiri di
samping Nyai Sinah. Laki-laki tua itu memberikan senyuman tipis. Bayu juga mem-
balas dengan senyuman yang sama. Sementara monyet kecil di pundak
Pendekar Pulau Neraka mulai mencericit ribut, berjingkrakan seperti hendak
mengatakan sesuatu.
"Tenang, Tiren," Bayu menenangkan monyet berbulu
coklat itu. Tapi Tiren malah semakin ribut. Bayu terpaksa
mengambil monyet kecil itu dan memberikan pada Nyai
Sinah. Mulanya wanita ini agak takut. Tapi begitu melihat binatang ini tampak
jinak, wanita itu pun membiarkan Tiren yang langsung memeluk lehernya.
"Rupanya kau sudah bosan hidup, Tua Bangka!" desis Juragan Basra sambil
menggebrak meja di hadapannya
hingga terbelah dua.
"Maaf, selera makanku jadi hilang," kata Paman Jangir seakan-akan tidak peduli
dengan kegusaran laki-laki gemuk yang menggebrak mejanya itu.
Kini, Tiren tidak melonjak-lonjak lagi setelah berada


Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam dekapan Nyai Sinah.
Sementara itu Juragan Basra sudah berada dekat di
depan meja yang ditempati Paman Jangir. Tiba-tiba saja laki-laki gemuk itu
menggebrak meja, hingga patah terbelah dua.
"Rupanya kau sudah bosan hidup, Tua Bangka!" desis Juragan Basra menggeram.
"Maaf, selera makanku jadi hilang," kata Paman Jangir tidak peduli.
Laki-laki tua itu bangkit berdiri.
"Ayo, Bayu. Kita pulang," ajak Paman Jangir, sama sekali tidak dipedulikannya
Juragan Basra. Bayu segera mengambil Tiren dari dekapan Nyai
Sinah. Setelah membayar apa yang dimakan, Pendekar
Pulau Neraka mengikuti Paman Jangir.
"Berhenti, Keparat.. !" bentak Juragan Basra semakin berang.
Tapi Paman Jangir dan Bayu tetap saja melangkah ke
luar. Melihat kedua orang itu seolah-olah tidak peduli sama sekali, tentu saja
Juragan Basra kian memuncak amarahnya.
"Bunuh mereka. .!" perintah Juragan Basra yang sudah meluap amarahnya.
Empat orang yang siang tadi dipecundangi Bayu,
segera beriornpatan sambil mencabut golok masing-masing.
Telinga Pendekar Pulau Neraka yang peka, segera dapat
mendengar angin serangan yang dilakukan empat orang di
belakangnya, dan.. .
"Hiyaaa. .!"
Bayu langsung memutar tubuh dengan cepat Sekali
saja tangannya dikibaskan, empat orang yang menyerang
dari belakang itu berpentalan sambil menjerit keras.
Sementara golok mereka berpentalan dari genggaman.
"Aku paling tidak suka kecurangan. .!" desis Bayu.
"Kau. .! Maju ke sini!"
Bayu langsung menunjuk Juragan Basra. Sementara
empat tukang pukul juragan gemuk itu, menggeliat bangkit sambil merintih
kesakitan. Juragan Basra tampak terkesiap, dan seketika wajahnya memucat Tapi
dua orang laki-laki
bertubuh kekar di belakangnya tetap kelihatan tenang.
Seperti meremehkan Pendekar Pulau Neraka.
"Sudah, Bayu. Ayo kita pulang," ajak Paman Janglr.
Bayu masih tetap menatap tajam Juragan Basra.
"Sekali lagi kudengar kau mengusik pamanku,
lehermu jaminannya," ancam Bayu.
Setelah berkata demikian, Bayu memutar tubuh dan
melangkah ke luar. Sedangkan Paman Jangir sudah lebih
dahuhi berada di luar kedai. Sepeninggal kedua orang itu, Juragan Basra
mengumpat dan memaki habis-habisan.
Gerakan yang cepat dari pemuda berbaju kulit harimau tadi rupanya membuat hati
laki-laki gemuk ini jadi ciut.
Sambil mendengus dan menggerutu habis-habisan,
Juragan Basra melangkah ke luar kedai. Enam orang yang
mendampinginya, mengikuti di belakang. Tinggal ah Nyai
Sinah yang hanya bisa memandangi kedainya yang
berantakan. Janda cantik itu jatuh terduduk lemas.
*** Prang! Jambangan bunga dari porselen hancur berantakan
terkena tamparan Juragan Basra yang cukup besar dan
gempal. Peristiwa di kedai Nyai Sinah tadi benar-benar
membuatnya berang. Belum pernah dia dipermalukan seperti itu di depan orang
banyak. Terlebih lagi setelah melihat empat tukang pukulnya yang selama ini
selalu ditakuti, tidak berkutik sama sekali Bahkan sudah terpental dalam
segebrakan saja.
Juragan Basra menghempaskan tubuhnya di kursi
sambil menghembuskan napas panjang. Sedangkan empat
tukang pukulnya bersila di lantai. Dua orang lagi yang
bertubuh tegap berotot, berdiri di samping kiri dan kanan laki-laki gemuk itu.
Yang seorang mengenakan baju warna
biru dengan dada terbuka lebar, menampakkan bulu-bulu
dada yang halus menghitam. Dia bersenjata sepasang trisula yang terselip di
kiri-kanan pinggangnya.
Sedangkan yang seorang lagi mengenakan baju
warna kuning. Seutas cambuk tergenggam di tangan kanan.
Dan di pinggangnya menggantung sebilah pedang bergagang
hitam, dengan gagang berbentuk kepala tengkorak. Wajah
mereka tampak bengis, dengan sorot mata tajam,
mencerminkan nafsu membunuh.
"Pangkeng.. !" panggil Juragan Basra.
"Ya, Juragan," sahut laki-laki bersenjata sepasang
trisula. "Dan kau, Bancak."
"Ya, Juragan," sahut orang bersenjata cambuk dan pedang
"Urus mereka, dan penggal kepalanya. Buang mayat
mereka ke laut untuk tumbal penguasa lautan," perintah Juragan Basra tegas.
"Jangan khawatir, Juragan. Besok pagi, mereka tidak akan bisa melihat matahari
lagi," sahut Pangkeng enteng.
"Bagus! Laksanakan segera."
"Baik, Juragan," sahut Pangkeng dan Bancak hampir berbarengan.
"Huh! Tidak boleh ada seorang pun yang mempermainkan aku!" dengus Juragan Basra geram.
Pangkeng dan Bancak meninggalkan ruangan depan
rumah Juragan Basra yang cukup megah. Juragan Basra
memang bisa dibilang orang paling kaya di sekitar Pesisir Pantai Selatan.
Hampir semua perahu nelayan di
perkampungan ini adalah miliknya. Dan dialah yang
menguasai pasar penjualan ikan. Wala-pun ada nelayan yang memiliki perahu
sendiri, seperti Paman Jangir, mereka tidak akan bisa menjual hasil tangkapannya
ke tempat lain.
Meskipun dibawa kepasar, tetap saja akan jatuh ke tangan Juragan Basra. Meski
harga di pasar lebih mahal sedikit.
Namun tetap terasa sangat rendah. Hal inilah yang membuat nelayan sulit
memperbaiki kehidupannya. Bahkan untuk
merawat perahunya saja sudah terasa sulit Akibatnya, tidak sedikit yang menjual
perahu pada Juragan Basra, karena
tidak mampu lagi merawatnya.
"Sepertinya aku tidak membutuhkan kalian lagi," kata Juragan Basra seraya
menatap empat orang yang bersimpuh
di depannya. "Ampunkan kami, Juragan. Anak muda itu benar-
benar tangguh. Dan kepandaiannya pun sangat tinggi," kata Calong mewakili yang
lain. "Dan itu berarti kalian tidak becus!"
Empat orang yang biasanya congkak itu hanya diam
saja dengan kepala tertunduk. Mereka memang tidak
mungkin lagi bisa membantah. Karena tingkat kepandaian
mereka memang masih sangat jauh dibandingkan Pendekar
Pulau Neraka. Terbukti, dalam satu gebrakan saja dua kali mereka dibuat tidak
berkutik. "Kalian masih mau kerja?" tanya Juragan Basra.
"Mau, Juragan," sahut keempat orang itu serempak.
"Aku ada tugas yang lebih ringan. Tapi jika gagal. ., kepala kalian terpisah
dari badan!" nada suara Juragan Basra terdengar dingin.
Empat orang berwajah kasar itu seketika meneguk
ludahnya sendiri. Mereka menatap dalam-dalam Juragan
Basra. Tugas ringan, tapi leher mereka jadi jaminannya. . itu namanya bukan
tugas ringan lagi.
"Apa yang harus kami lakukan, Juragan?" tanya
Calong. "Apa pun cara kalian, bawa Nyai Sinah ke sini."
"Hanya itu, Juragan. .?"
"Ya. Dan aku minta, siang ini juga Nyai Sinah sudah ada di kamarku."
"Pasti, Juragan. .," sahut Calong.
Calong dan ketiga temannya menghembuskan napas
lega. Semula mereka mengira kalau Juragan Basra akan
memberi tugas yang tidak akan sanggup mereka jalankan.
Ternyata hanya tugas kecil, dan sangat ringan sekali. Mereka memang sering
melakukan pekerjaan seperti ini. Membawa
gadis-gadis kampung dengan cara paksa untuk pemuas
nafsu binatang Juragan Basra.
"Berangkat sekarang."
"Baik, Juragan."
Empat laki-laki berwajah kasar itu bergegas keluar.
Kini tinggal ah Juragan Basra sendiri, duduk terayun-ayun di kursi goyang.
Bibimya tersenyum membayangkan kecantikan
wajah Nyai Sinah, dengan bentuk tubuh yang ramping, indah, dan menggiurkan.
Memang, laki-laki gemuk ini sudah lama mengincar
janda muda pemilik kedai itu. Tapi Nyai Sinah se-lalu
menolak dengan halus, meskipun setiap kali Juragan Basra datang, wanita itu
selalu melayaninya dengan ramah. Sama seperti pengunjung kedai lainnya.
"He he he..., Nyai Sinah.. . Kau akan kubuat umpan
untuk memaksa mereka menyerah dan bunuh diri. Ha ha
ha. .!" *** "Masuk.. !"
"Ah. .!"
Nyai Sinah jatuh tersungkur didorong dengan kasar
ke dalam sebuah ruangan yang kotor dan pengap. Kedua
tangannya yang terikat ke belakang membuat dia sukar
berdiri. Wanita pemilik kedai di Pesisir Pantai Selatan ini hanya bisa merintih,
sambil menarik tubuhnya ke tepi. Dan duduk bersandar pada dinding papan yang
kotor berdebu. Brak! Pintu ruangan sempit itu ditutup dengan keras,
hingga menggetarkan seluruh dinding ruangan. Seketika
keadaan di dalam ruangan sempit dan kotor ini jadi gelap.
Tak ada setitik cahaya pun yang menerangi. Nyai Sinah
mencoba membiasakan penglihatannya di dalam kegelapan.
Dia merenung, mencoba mengingat apa yang terjadi, hingga dirinya sampai di
ruangan ini. Sungguh dia tidak tahu apa yang telah terjadi pada
dirinya. Yang jelas, pada saat dia tengah tidur lelap. Tahu-tahu selembar kain
menyelubungi kepalanya. Dan seseorang menggotongnya, lalu membawa pergi dengan
cepat. Begitu selubung kain yang menutupi kepalanya dibuka, tahu-tahu
sudah berada di dalam ruangan sempit dan pengap berdebu
ini. Krieeet..! Nyai Sinah semakin merapat ke dinding kerika
mendengar suara pintu dibuka. Bunyi berderit terdengar
mengjlukan hati Cahaya lampu pelita yang menerobos
masuk membuat mata janda cantik pemilik kedai itu
mengerjap silau. Dari pintu yang terbuka, tiba-tiba muncul seorang laki-laki
bertubuh gemuk dengan kepala agak botak.
Sedangkan di belakangnya mengikuti seorang laki-laki
berwajah kasar dan bengis.
"He he he.. ," Iaki-laki gemuk itu terkekeh.
"Juragan Basra. ., apa yang akan kau lakukan
padaku?" tanya Nyai Sinah mencoba tenang.
"Ada yang periu aku bicarakan denganmu, Nyai
Sinah," kata Juragan Basra.
Laki-laki bertubuh gemuk itu memberikan isyarat
pada orang berbaju hitam yang membawa pelita kecil di
belakangnya. Laki-laki yang temyata adalah Calong itu
menempelkan pelita di dinding. Kemudian melangkah keluar.
Pintu ruangan pun kembali tertutup rapat setelah Calong
berada di luar.
"Sudah lama aku ingin bicara berdua saja denganmu,
Nyai Sinah," kata Juragan Basra menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang kecil bagai biji ketimun.
"Kenapa harus dengan cara seperti ini.. ?" Nyai Sinah menggeliat
Janda pemilik kedai itu meringis kerika merasakan
perih pada kedua tangan yang terikat. Juragan Basra
terkekeh seraya mendekati. Lalu membuka ikatan yang
membelenggu tangan Nyai Sinah.
"Aku sudah pernah melamarmu. Tapi kau tolak. Dan
aku tidak mau mengulangi untuk kedua kalinya," kata Juragan Basra lagi.
Nyai Sinah hanya diam saja. Memang diakui kalau
Juragan Basra pernah melamarnya, tapi dengan halus
ditolaknya. Dia sendiri heran, karena laki-laki gemuk yang berangasan ini tidak
marah menerima penolakannya.
Bahkan seperti memberi angin saja. Membiarkan kedai
miliknya tetap buka. Tapi memang Nyai Sinah tidak tahu
kalau semua yang dilakukan Juragan Basra selama ini punya maksud tertentu.
Janda cantik bertubuh sintal ini memang tidak pernah
menyadari kalau dirinya sudah masuk ke dalam jerat setan yang ditebarkan Juragan
Basra. Dan dia tidak mungkin bisa keluar lagi dengan mudah dari jerat setan yang
ditebarkan dengan cara-cara yang begitu halus.
*** 4 "Dengar, Nyai Sinah. Aku bisa membuatmu senang,
dan juga bisa membuatmu sengsara. Untuk membunuhmu,
sama mudahnya dengan membalik telapak tangan bagiku,"
kata Juragan Basra dingin.
Bergetar seluruh tubuh Nyai Sinah mendengar kata-
kata bernada ancaman begitu. Dia sadar kalau Juragan
Basra sudah mengeluarkan ancaman, itu berarti bukan
ancaman kosong. Kini tak ada lagi yang bisa dilakukan Nyai Sinah selain menunggu
dengan dada berdebar keras.
"Kau pasti mengenal Jangir.. ," kata Juragan Basra lagi.
Nyai Sinah hanya mengangguk saja. Dugaannya
sudah pasti, tentu ada hubungan dengan peristiwa tadi
siang. Tapi, ada hubungan apa dengan dirinya.. " Nyai Sinah bukan
cuma kenal Paman Jangir. Bahkan sudah menganggap laki-laki tua itu sebagai pengganti orang tuanya.
"Aku tahu, kau begitu dekat dengan Jangir. ltulah
sebabnya aku memintamu datang ke sini," lanjut Juragan Basra.
"Aku diculik!" protes Nyai Sinah.


Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He he he.. , maaf kalau mereka membuatmu takut.
Aku tidak menyuruh mereka menyakitimu."
Nyai Sinah hanya diam saja. Di dalam benaknya,
sudah merasa pasti kalau ada sesuatu yang harus dilakukan untuk kepentingan
Juragan Basra. Dan dia sudah yakin kalau sesuatu itu pasti menyangkut antara
hidup dan mati Paman Jangir. Bahkan bukan tidak mungkin dirinya juga terancam.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Nyai Sinah.
"Kau memang cerdas, Nyai," puji Juragan Basra
seraya tersenyum.
Tapi bagi Nyai Sinah, senyum laki-laki gemuk ini
merupakan seringai seekor serigala yang kelaparan melihat anak domba. Bukan
senyuman manusia lagi. Kembali wanita
cantik bertubuh sintal ini bergidik. Diam-diam dia mulai merasakan adanya
kengerian yang menyelusup ke dalam
hatinya. "Katakan saja terus terang, apa yang kau inginkan
dariku?" desak Nyai Sinah.
Juragan Basra terkekeh panjang. Nyai Sinah hanya
diam dengan mata terbuka lebar. Laki-laki bertubuh gemuk itu mendekati. Kemudian
membisikkan sesuatu di telinga
janda cantik ini. Sejenak Nyai Sinah terbelalak. Seolah-olah tidak
percaya mendengar bisik-an Juragan Basra. Dipandanginya laki-laki bertubuh gemuk itu dalam-dalam,
seakan-akan ingin mencari kebenaran dari apa yang tadi
telah didengarnya.
"Ada satu lagi sebelum kau lakukan itu, Nyai Sinah,"
kata Juragan Basra lagi.
"Apa. .?" kali ini suara Nyai Sinah terdengar bergetar.
"He he he.. ," Juragan Basra hanya tertawa saja.
Belum juga Nyai Sinah bisa berpikir lebih jauh,
mendadak saja laki-laki gemuk itu sudah menerkamnya. Nyai Sinah memekik kaget
Tubuhnya jatuh telentang di lantai
berdebu sambil mencoba melepaskan diri dari pelukan
Juragan Basra. Namun pelukan laki- laki gemuk itu demikian kuat.
"Auw! Lepaskan. .!" bentak Nyai Sinah.
"Hanya sebentar, Nyai.. , tidak apa-apa.. ," suara Juragan Basra mulai terdengar
mendengus. Nyai Sinah terus menggeliat, mencoba melepaskan
diri dari himpitan tubuh gemuk itu. Napasnya mulai tersengal sesak. Kepalanya
menggeleng ke kanan dan ke kiri,
menghindari hujan ciuman yang didaratkan Juragan Basra
dengan penuh nafsu.
Bret! "Auh.. !" lagi-lagi Nyai Sinah terpekik Dia tidak dapat lagi mempertahankan
diri. Baju yang dikenakannya dikoyak dengan kasar. Kulit tubuhnya yang putih
halus, terbuka lebar di bawah himpitan tubuh gemuk. Nyai Sinah berteriak-teriak,
sambil terus berusaha melepaskan diri. Namun semua
usaha yang dilakukannya malah menambah gairah Juragan
Basra melonjak.
Satu persatu pakaian yang dikenakan wanita itu
direnggut paksa. Kini tak ada lagi sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya.
Air bening mulai menitik dari sudut matanya. Dan akhimya periawanan Nyai Sinah
berhenti. Wanita itu hanya bisa menangis dan rnerintih pedih.
Nyai Sinah tidak sanggup lagi membuka matanya. Dia
hanya dapat mendengar dengus napas memburu yang begitu
dekat di wajahnya. Bukan hanya tubuhnya saja yang terasa nyeri, tapi harinya
ikut hancur. Apa yang selama ini
dipertahankannya, meskipun sudah janda, luntur sudah
malam ini. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya, selain
menangis menyesali semua yang terjadi. Memohon belas
kasihan pun sudah tidak mungkin lagi.
Nyai Sinah baru membuka matanya kerika merasakan beban yang menghimpit tubuhnya tidak terasa
lagi. Mukanya langsung dipalingkan begitu melihat Juragan Basra membenahi
pakaiannya dengan bibir menyunggingkan
senyuman lebar. Tubuhnya yang gemuk, basah oleh keringat.
"Binatang kau, Basra.. !" desis Nyai Sinah me-maki.
"He he he.. ," Juragan Basra hanya terkekeh saja.
Laki-laki gemuk itu menjawil dagu Nyai Sinah. Tapi
janda cantik itu cepat menepis, Juragan Basra terus terkekeh sambil melangkah
keluar dari ruangan sempit yang berdebu dan pengap ini. Kini tinggal ah Nyai
Sinah dalam kesendiriannya, menangis sambil mengenakan pakaiannya
kembali. Meskipun bentuknya sudah tidak lagi beraturan.
*** Sementara itu, jauh dari tempat di mana Nyai Sinah
tengah meratapi nasib buruknya, Bayu tengah menikmati
secangkir kopi yang dipadu dengan sepiring pisang goreng.
Pemuda berbaju kulit harimau ini duduk di beranda depan
rumah Paman Jangir sambil memandang ke laut lepas. Dari
rumah Paman Jangir ini, Pulau Neraka bisa dilihatnya dengan jelas. Ingin rasanya
dia kembali ke sana. Tempat yang begitu tenang, tanpa harus bergelimang dengan
segala macam urusan duniawi.
Namun Bayu tidak mungkin bisa kembali ke sana
lagi. Eyang Gardika, gurunya, sudah berpesan agar dirinya tidak kembali lag
walau apa pun yang terjadi. Bayu memang bisa meredam keinginannya untuk kembali
ke pulau tak berpenghuni itu. Tapi tidak bisa melupakan masa-masa
indahnya di sana. Dan sampai kapan pun akan tetap teringat
"Hei.. !" tiba-tiba Bayu tersentak.
Sekelebat dilihatnya sebuah bayangan berkelebat di
antara pepohonan yang menyemak di samping rumah
Paman Jangir. Belum lagi keterkejutannya lenyap, tahu-tahu berkelebat sebuah
bayangan lagi dari arah yang sama. Bayu baru saja hendak bangkit, ketika Paman
Jangir keluar dari dalam.
"Kau lihat dua bayangan tadi, Bayu?" tanya Paman Jangir.
"Paman juga melihat?" Bayu balik bertanya.
"Aku tadi melihatnya dari jendela," sahut Paman Jangir.
"Kira-kira siapa mereka, Paman. .?"
Belum juga Paman Jangir sempat menjawab
pertanyaan Pendekar Pulau Neraka, mendadak terlihat
sebuah bola api meluncur cepat ke arah rumah kecil ini.
Bayu dan Paman Jangir tersentak sejenak. Namun dengan
cepat, Pendekar Pulau Neraka menyambar piring yang berisi pisang goreng di
sampingnya. "Yeaaah.. !"
Sambil mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Pulau
Neraka melemparkan piring ke arah bola api tadL Piring itu meluncur deras,
menghantam bola api selagi masih berada
di udara. Satu ledakan keras terdengar begitu piring itu menghantam bola api.
'Tampaknya kita kedatangan tamu malam ini,
Paman," kata Bayu, seraya melompat keluar dari beranda.
"Kau mau ke mana, Bayu?" tanya Paman Jangir.
"Paman tunggu saja di situ"
Bayu melompat cepat ke arah datangnya bola api
tadi. Namun begitu tubuhnya berada di udara, mendadak
saja sebuah bayangan biru berkelebat cepat menyambar
kearahnya. Bayu cepat-cepat memutar tubuh, menghindari
terjangan bayangan biru itu.
Dua kali Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan di
udara. Kemudian dengan manis sekali mendarat di tanah
berpasir halus. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tahu-
tahu bayangan biru itu sudah kembali meluruk deras ke
arahnya. "Hiyaaa. .!"
Bayu cepat menghentakkan kedua tangannya ke
depan, menyongsong kedatangan bayangan biru. Satu
benturan keras tidak dapat dihindari lag. Saat itu juga
terdengar ledakan keras menggelegar, tepat di saat kedua telapak tangan Bayu
membentur bayangan biru.
Bayu cepat melentingkan tubuhnya ke belakang,
berputaran beberapa kali sebelum mendarat dengan manis
sekali. Sedangkan bayangan biru tampak bergulingan di atas tanah berpasir. Namun
cepat bangkit kembali berdiri. Kini, sekitar tiga tombak di depan Pendekar Pulau
Neraka, sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh tegap mengenakan baju ketat
berwarna biru. Sehingga bentuk tubuhnya yang tegap dan berotot terlihat jelas.
Bayu mengenali laki-laki itu sebagai salah seorang yang menemani Juragan Basra
ketika melabrak Paman Jangir di kedai Nyai Sinah.
Laki-laki bertubuh tegap dengan
raut wajah memancarkan kebengisan itu, mencabut sepasang trisula
kembar dari balik sabuk pinggangnya. Dengan tangkas sekali senjata itu
dimainkannya. Bayu memperhatikan dengan
mata hampir tidak berkedip. Dalam hati, dipujinya
ketangkasan orang yang tak lain adalah Pangkeng itu.
Bet! Bet! "Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Pangkeng menerjang
Pendekar Pulau Neraka. Lesatannya begitu cepat dan ringan sekali. Sambaran kedua
senjatanya menimbulkan suara
angin menderu bagaikan topan. Bayu cepat melakukan
tindakan penyelamatan dengan melompat beberapa tindak
ke kanan. Tapi Pangkeng terus mendesak dengan jurus-
jurusnya yang cepat dan dahsyat. Sepasang senjatanya yang berujung tiga dan
berwarna keemasan, berkelebatan cepat
mengancam tubuh Pendekar Pulau Neraka. Beberapa kali
Bayu terpaksa harus menjatuhkan diri dan bergulingan di
tanah. Bahkan beberapa kali pula Pendekar Pulau Neraka
terpaksa melentingkan tubuhnya ke udara. Rupanya
Pangkeng benar-benar tidak ingin memberi kesempatan
pada pemuda berbaju kulit harimau itu untuk menyerang.
Sementara Bayu tengah menghadapi Pangkeng,
Paman Jangir hanya memperhatikan saja dari depan rumah.
Harinya agak cemas juga melihat Bayu sama sekali tidak
diberikan kesempatan balas menyerang. Beberapa kali Iaki-laki tua ini terkesiap,
melihat ujung senjata Pangkeng hampir merobek tubuh Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat..!"
"Heh. ."!"
Paman Jangir tersentak kaget kerika tiba-tiba saja
ada sebuah bayangan kuning berkelebat ke arahnya. Cepat
laki-laki tua itu melompat ke depan, dan menjatuhkan diri di tanah. Setelah
bergulingan beberapa kali, kemudian dia
melompat bangkit dengan cepat Tapi belum lagi dia benar-
benar siap, tahu-tahu bayangan kuning tadi sudah kembali menyerang.
"Hup! Yeaaah.. !"
Paman Jangir bergegas merunduk, menghindari
terjangan bayangan kuning. Dan sambil memutar tubuh
bagai gasing, tangannya dihentakkan, memberi satu pukulan keras disertai
pengerahan seluruh tenaga dalam.
Plak! "Akh. .!" Paman Jangir memekik kaget kerika
tangannya menghantam bayangan kuning.
Cepat tubuhnya ditarik ke belakang. Paman Jangir
merasakan seperti menghantam sebongkah batu karang
saja. Jari-jari tangannya terasa nyeri, seperti hendak remuk rasanya. Kening
lak-laki tua itu berkernyit ketika melihat seorang laki-laki bertubuh tegap,
mengenakan baju kuning, berdiri tidak jauh di depannya.
Ctar! Terdengar suara menggeletar kerika orang berbaju
kuning itu melecutkan cambuk hitamnya. Paman Jangir
menarik kakinya ke belakang dua tindak. Dia tahu kalau
orang yang memegang cambuk adalah tangan kanan
Juragan Basra. Dialah yang dikenal bernama Bancak. Ilmu
olah kanuragannya juga tlnggi. Dan sampai saat ini belum ada seorang pun yang
dapat menandinginya. Di antara
tukang-tukang pukul Juragan Basra, Bancak memang paling
ditakuti. Laki-laki tegap itu tidak segan-segan membunuh, meskipun karena
persoalan sepele saja.
"Kenapa kalian menyerang kami.. ?" tanya Paman Jangir.
"Jangan banyak tanya, Tua Bangka!" bentak Bancak lantang.
"Kalian pasti disuruh Juragan Basra," tebak Paman Jangir.
"Benar. Juragan ingin kau matil"
"Tidak semudah itu menentukan kematian orang,
Bancak." "Banyak omong. .! Hiyaaat. .!"
Bancak yang memang paling tidak suka banyak
bicara, langsung menyerang Paman Jangir. Mau tidak mau,
bekas murid Dewa Pedang ini harus melayani tukang pukul
andalan Juragan Basra, meskipun sadar kalau Bancak tidak mudah ditundukkan.
Hal ini segera dirasakan Paman Jangir. Dalam
beberapa jurus saja, dia sudah mulai kewalahan. Usia tua memang menyulitkan
baginya untuk mengatur pernapasan.
Terlebih lag Bancak mengajak bertarung cepat. Seakan-akan memang tidak ingin
memberi kesempatan Paman Jangir
mengambil napas.
Beberapa kali lecutan cambuk laki-laki berbaju
kuning itu hampir mengenai tubuh Paman Jangir. Namun
sampai sejauh ini, belum ada satu serangan pun yang
berhasil mengenai sasaran. Sedangkan Paman Jangir sendiri hanya memiliki
beberapa kesempatan kecil untuk balas
menyerang. Dan itu pun dapat dimentahkan dengan mudah.
Serangan balasan yang dilakukan orang tua itu tidak berarti sama sekali bagi
Bancak. Ctarr Satu lecutan cambuk yang menggelegar dahsyat, kali
ini begitu cepat Sehingga Paman Jangir tidak punya
kesempatan lagi untuk menghindar. Ujung cambuk Bancak
tepat menghantam dada kerempeng nelayan tua itu.
"Akh. .!" Paman Jangir memekik keras.
Laki-laki tua itu terhuyung-huyung ke belakang. Darah
mengucur dari kulit dada yang terkena sambaran ujung
cambuk berduri halus. Dan belum lagi Paman Jangir bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya, Bancak sudah kembali
melancarkan serangan dahsyat.
Ctar!

Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembali melecutkan satu cambukan yang menggelegar dahsyat Begitu dahsyatnya cambukan Bancak,
sehingga dari ujung cambuk yang berduri halus itu memercik bunga api.
"Aaakh. .!" kembali Paman Jangir menjerit
Cambukan Bancak merobek kulit wajah orang tua itu.
Dan darah pun kembali mengucur deras dari kulit wajahnya yang sobek cukup
panjang dan dalam.
"Mampus kau! Hiyaaat.. !"
Bancak melompat bagaikan kilat sambil melepaskan
satu pukulan menggeledek, disertai pengerahan seluruh
tenaga dalam. Serangan Bancak kali ini sukar dihindari lagi.
Des! "Aaa. . ."
Paman Jangir terpental deras ke belakang disertai
jeritan panjang melengking. Keras sekali tubuh tua itu
menghantam tanah berpasir. Sebentar tubuhnya mampu
menggeliat, sesaat kemudian diam tak berkutik lagi. Darah segar mengucur deras
dari mulutnya. "Ha ha ha. .!" Bancak tertawa terbahak-bahak melihat Paman Jangir menggeletak
tak bernyawa lagi
Laki-laki bertubuh tegap berbaju kuning itu memutar
tubuhnya, mengamati pertarungan antara Bayu dan
Pangkeng. Pertarungan itu tampaknya tidak akan berlangsung lama lag. Dan sudah kelihatan kalau kali ini Pangkeng terdesak.
"Yeaaah.. !"
Pada satu kesempatan, satu pukulan menggeledek
yang dilancarkan Bayu berhasil mendarat telak di dada
Pangkeng. Sehingga membuat tukang pukul Juragan Basra
ini terpental jauh ke belakang.
Tepat pada saat itu, Bancak sudah melompat cepat
bagaikan kilat menyambar Pangkeng sebelum tubuhnya
menghantam tanah. Begitu berhasil menyambar tubuh
temannya, dia langsung melesat pergi dengan kecepatan
yang sukar di kuti mata biasa. Semula Bayu hendak
mengejar, tapi terpaksa niatnya itu diurungkan ketika
teringat Paman Jangir. Pendekar Pulau Neraka terkesiap
begitu melihat Paman Jangir menggeletak berlumuran darah.
"Paman.. !" jerit Bayu.
Bergegas Pendekar Pulau Neraka memburu. Sejenak
dia tertegun melihat Paman Jangir sudah tidak bergerak lagi Darah segar masih
mengucur deras dari luka di dada dan
muka. Mulutnya yang terbuka, penuh tersumpal gumpalan
darah kental kehitaman.
"Paman. . "
Bayu beriutut di samping tubuh tua yang menggeletak
mandi darah itu. Pendekar Pulau Neraka cepat memeriksa
urat nadi di leher. Dia mengeluh dan tertunduk lemas kefika tahu kalau Paman
Jangir sudah tewas.
"Keparat. ," desis Bayu menggeram.
Pendekar Pulau Neraka mendongak. Sinar matanya
yang tajam tampak memerah. Dan mendadak wajahnya
menegang kaku. Seluruh tubuhnya bergetar, menahan
gejolak marah yang menggelegak bagaikan lahar di perut
gunung. "Keparat kau, Basra.. . Kubunuh kau. .!" jerit Bayu melengking.
Disertai teriakan menggelegar, Pendekar Pulau
Neraka melampiaskan kemarahannya. Sebatang pohon
besar yang berada di dekatnya, hancur berkeping-keping
terkena pukulan bertenaga dalam penuh. Sebongkah batu
karang juga hancur terkena pukulan.
Bayu terus mengamuk, menumpahkan seluruh
kemarahannya. Sesaat kemudian, pemuda itu jatuh kembali
beriutut di samping tubuh Paman Jangir. Kepalanya
tertunduk dalam dengan bahu berguncang. Meskipun
batinnya menangis, tapi raut wajahnya memerah, menahan
kemarahan. Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat tubuh
bekas murid ayahnya, dan membawanya masuk ke dalam
rumah. Ayunan kakinya begitu perlahan dan gontai.
Sementara malam terus merambat semakin larut Tak lagi
terdengar suara selain deburan ombak menghantam karang.
Bayu meletakkan jasad Paman Jangir di atas dipan
kayu di kamar laki-laki tua itu. Lalu menutupinya dengan selembar kain yang
sudah lusuh dan pudar wamanya.
Dipandanginya tubuh tua yang terbaring tak bemyawa lagi.
Kini sudah tak ada lagi orang yang dapat dijadikan tempat mengadu. Satu-satunya
orang yang tahu perihal keluarganya sudah tewas.
"Akan kubalas kematianmu, Paman. Aku janji. .," ujar Bayu, agak tersendat
suaranya. *** 5 Sejak semalam, hingga matahari naik tinggi, Bayu
berdiri mematung di depan pusara yang tanahnya masih
merah. Di dalam gundukan tanah itu terbaring jasad Paman Jangir. Satu-satunya
bekas murid Padepokan Teratai Putih yang diketahui Pendekar Pulau Neraka.
Semula, Bayu mengunjungi Paman Jangir untuk me-minta kepastian,
apakah ibunya masih hidup atau sudah mati.
Tapi beberapa peristiwa yang dialaminya membuat
Bayu menunda maksudnya. Bahkan sampai Paman Jangir
tewas di tangan tukang pukul Juragan Basra dia tidak
sempat bertanya. Pendekar Pulau Neraka berpaling kerika
seekor monyet kecil mencericit di atas dahan pohon. Monyet kecil yang ternyata
adalah Tiren, meluncur turun dan
langsung hinggap di pundaknya.
Bayu memberikan senyuman tipis. Kemudian menepuk-nepuk kaki binatang
berbulu coklat itu.
"Kini tinggal kau satu-satunya sahabatku, Tiren," kata Bayu pelan.
"Nguk!" Tiren seperti mengerti.
Monyet cerdas itu memeluk leher Bayu erat-erat dan
menggosok-gosokkan wajahnya ke pipi Bayu. Begitu manja
sikapnya, seolah-olah hendak menghibur hati Pendekar
Pulau Neraka. "Aku harus membalas kematian Paman Jangir, Tiren,"
kata Bayu lagi. Suaranya masih terdengar pelan.
"Nguk!" lagi-lagi Tiren menyahuti dengan suara yang khas.
Sebentar Bayu menatap batu nisan pusara Paman
Jangir. Kemudian kepalanya mendongak sejenak. Dengan
perasaan berat, Pendekar Pulau Neraka memutar tubuh,
mulai berjalan perlahan-lahan meninggalkan pusara Paman
Jangir. Ayunan kaki Pendekar Pulau Neraka demikian
perlahan, seakan-akan tidak ada semangat hidup lagi. Baru kali inilah dia begitu
kehilangan. Setelah Eyang Gardika, dia sudah menganggap Paman Jangir sebagai
pengganti orang
tuanya. Tapi belum sempat mengucapkan kata-kata itu,
semua sudah terjadi. Paman Jangir kini terbaring di tempat peristirahatannya
yang terakhir. Ayunan kaki Pendekar Pulau Neraka terhenti ketika
melihat seorang wanita mengenakan baju biru, berdiri
menghadang. Sebentar Bayu mengamati wanita berparas
cantik yang sudah dikenalnya. Kemudian kembali berjalan
menghampiri. Pendekar Pulau Neraka menghentikan langkah setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan wanita
pemilik kedai di Pesisir Pantai Selatan ini
"Aku turut menyesal atas kejadian ini," ucap wanita cantik yang dikenali Bayu
bernama Nyai Sinah.
"Terima kasih," ucap Bayu seraya tersenyum getir.
"Sebenarnya ada persoalan apa antara Paman Jangir
dengan Juragan Basra?" tanya Nyai Sinah ingin tahu.
"Hanya persoalan biasa saja," sahut Bayu.
"Juragan Basra memang orang paling berkuasa di
sini. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya. Dia menguasai apa saja
yang ada di sini. Paman Jangir bukanlah korban pertama, tapi sudah banyak korban
kekejamannya,"
pelan sekali suara Nyai Sinah.
Bayu mengamati wajah janda cantik ini. Raut
wajahnya begitu mendung. Dan dari tekanan nada suaranya, Pendekar Pulau Neraka
bisa memastikan kalau Nyai Sinah
menyimpan suatu duka. Atau lebih tepat dikatakan sebagai sebuah dendam yang
tersimpan dalam di lubuk harinya.
"Sudah berapa lama dia berbuat seperti ini?" tanya Bayu lag.
"Entahlah. Yang jelas sudah lama sekali," sahut Nyai Sinah.
Bayu tercenung. Dia memang sudah lama tidak
menginjakkan kakinya lagi di Pesisir Pantai Selatan ini.
Pertama kaB keluar dari Pulau Neraka, memang tempat
inilah yang dipijaknya. Dan itu pula yang terakhir kali hingga sampai sekarang
Kesatria Baju Putih 19 Manusia Harimau Marah Karya S B. Chandra Pedang Keadilan 30
^