Pencarian

Rahasia Suling Kematian 1

Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian Bagian 1


RAHASIA SULING KEMATIAN
Oleh Sandro S. Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam ep-
isode: Rahasia Suling Kematian
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Sayup-sayup dari kejauhan terdengar sua-
ra tiupan seruling, iramanya begitu mendayu-
dayu sepertinya mengajak para pendengarnya un-
tuk mengupas kepedihan. Entah karena apa, se-
tiap seruling itu ditiup maka akan terjadi sebuah petaka bagi yang mendengarnya.
Petaka itu adalah, kematian bagi para pendengarnya. Karena
hal tersebut, sehingga orang-orang persilatan me-
namakannya Seruling Kematian.
Sejauh ini, semua tokoh-tokoh persilatan
belum ada yang mengetahui siapa adanya peniup
seruling tersebut. Juga para tokoh persilatan di-
ajukan pada pertanyaan gerangan apa yang me-
nyebabkan orang tersebut meniup seruling?"
Dari kejauhan nampak serombongan orang
berjalan menapaki kaki mereka pada jalan seta-
pak di sisi gunung. Di sebelah mereka berjalan,
nampak jurang yang menganga. Sebelah lagi, bu-
kit-bukit batu cadas menjulang dengan angkuh-
nya. Bila dilihat dari pakaian yang mereka kena-
kan, jelas mereka adalah orang-orang keraton.
Paling depan, berjalan seorang lelaki tinggi besar dengan cambang bawuk yang
menutupi mukanya. Di sisinya berjalan dua orang lelaki lain.
Seperti orang yang di tengah, dua lelaki yang berjalan di kanan kiri orang
tersebut juga mempu-
nyai wajah yang beringas dengan kumis melin-
tang lebat. Berjalan di belakang ketiga orang ter-
sebut, empat orang bertelanjang dada dengan tu-
buh kekar. Di atas pundak mereka, tertandu se-
buah bangunan yang berbentuk rumah. Di bela-
kangnya lagi, seratus orang lelaki lain yang ber-
pakaian prajurit. Di tangan keseratus orang itu
tergenggam tombak dan pedang serta senjata
lainnya. Mata mereka garang, menyorot tajam ke
muka. Kala mereka tengah berjalan, tiba-tiba
orang yang berjalan paling depan yang di tengah
berseru: "Para prajurit! Kalian bersiaplah, sebab sebentar lagi kita akan
memasuki perbatasan Kurawan!"
"Ada gerangan apa memangnya di perbata-
san Kurawan, Kakang?"
"Adik Wong... Apakah adik Wong belum
mengerti?" balik bertanya lelaki yang berjalan di tengah.
"Sungguh aku belum tahu, Kakang Rane-
sa," jawab Wong dengan mata menyimpit, makin sempit. Ranesa sesaat terdiam
memandangkan matanya ke depan lurus-lurus, lalu dengan setengah
berbisik Ranesa berkata. "Di daerah perbatasan Kurawan, banyak sekali para begal
yang ganas dan liar."
"Hem, kalau begitu kita mesti hati-hati,
Kakang." "Bukan hanya hati-hati, Adik Wong. Kita
juga harus siap tempur. Biasanya mereka tak
akan memperdulikan siapa adanya kita. Bagi me-
reka, uang dan harta kita saja yang penting. Se-
dangkan nyawa kita, dianggapnya tak berharga
sama sekali."
"Hem, apakah mereka umumnya mempu-
nyai ilmu yang tinggi, Kakang?"
"Biasanya mereka memang berilmu tinggi,"
jawab Ranesa. "Kabarnya, mereka adalah orang-orang bekas prajurit Mataram. Jadi
mereka mahir dalam segala siasat perang."
"Hem, sungguh bukan begal sembarangan
kalau begitu."
"Itulah, mengapa aku beritahukan pada
para prajurit agar bersiap-siap."
Perlahan-lahan mereka melangkah, seakan
kaki-kaki mereka ada yang membebani. Wajah
para prajurit seketika tegang, bagaikan melihat
hantu saja. Mata mereka melotot tak berkedip,
memandang ke muka dengan tangan siap senjata
"Wahai para prajurit...! Apakah kalian telah siaga"!"
Kembali terdengar seruan Ranesa memberi
perintah. "Siaga, Panglima...." jawab seluruh prajurit.
"Ada apa, Ranesa...?" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita bertanya. Suara
itu berasal dari dalam tandu yang berada di atas pundak ke-
empat orang yang bertelanjang dada.
"Ampun, Tuan Putri. Hamba hanya mem-
peringatkan pada para prajurit agar bersiap-siap,"
jawab Ranesa sembari menyatukan tangannya ke
dada, dan membongkokkan tubuhnya ke muka.
"Kenapa mesti begitu, Ranesa?"
"Entahlah, Tuan Putri."
"Ya sudahlah, kita berdo'a saja agar semu-
anya selamat. Usahakan jangan mencari-cari per-
selisihan dahulu. Kalau kita yang diserang, apa
boleh buat. Sudahlah, kita berangkat!"
"Prajurit... Serang lagi...!"
Mendengar seruan Ranesa, keseratus pra-
jurit itu segera kembali melangkah setelah sesaat berhenti. Langkah demi langkah
mereka tapaki, tak ada gangguan setapak pun. Mereka agak te-
nang ketika telah memasuki Alas Mentaok, na-
mun mereka terus siap siaga untuk menghadapi
hal-hal yang tidak mereka inginkan. Dan mana
kala mereka menjejaki kaki-kaki mereka di ten-
gah hutan, tiba-tiba terdengar oleh mereka suara
raungan keras dan rintihan menyayat membuat
bulu kuduk keseratus prajurit itu merinding ber-
diri. Ranesa dan dua orang wakilnya nampak sia-
ga, menghunus pedang yang berada di pundak-
nya. "Siaplah kalian, nampaknya mereka mulai datang!" seru Ranesa kembali
memperingatkan pada semua prajurit. "Adik Wong, rupanya kita akan menghadapi para rampok itu.
Apakah kau telah siap?"
"Aku telah sedia, walaupun nyawaku un-
tuk taruhannya," jawab Wong dengan penuh ke-
waspadaan. "Percuma aku menjadi murid Kok
Siang Bun kalau harus takut menghadapi kroco-
kroco bekas Mataram."
"Aku mengerti," gumam Ranesa datar. "Bagaimana denganmu, Adik San" Apakah kau
juga telah siap?"
"Hua, ha, ha... dengan pedang pusaka Na-
ga Krida, pantang bagiku untuk takut pada sia-
papun. Apalagi pada kroco-kroco tentara Mata-
ram," jawab San Ing dengan angkuhnya, menan-
dakan bahwa pendekar dari Cina itu seakan me-
nyepelekan siapa adanya bekas prajurit-prajurit
Mataram. "Aku percaya pada kalian. Aku yakin, ba-
ginda raja mengambil diri kalian sebagai pengawal khusus ada sebabnya. Bukan
begitu adik Wong,
dan adik San?"
Wong dan San Ing tersenyum mengangguk.
Memang kedua pengawal Cina itu diutus
oleh raja mereka Nancu untuk mengiringi kebe-
rangkatan putrinya, Nancin Cu yang hendak me-
nemui seorang raja di wilayah Mataram. Raja
muda yang bergelar Prabu Amangkurat, adalah
orang yang menjadi sahabat Nancin Cu. Persaha-
batan mereka telah terjalin sejak Amangkurat
bertandang ke negeri Cina tiga tahun yang lalu.
Sejak pertemuan itu Nancin Cu seakan tak dapat
melupakan wajah Amangkurat yang tampan. Bila
tidur ia selalu gelisah, makan pun tak enak ra-
sanya. Hanya bayangan wajah Amangkurat saja
yang selalu melekat di kelopak matanya. Rasa
rindu yang mendayu-dayu itulah, yang menjadi-
kan Kaisar Nancu akhirnya mengirim utusan pa-
da kerajaan Mataram khususnya pada Amangku-
rat sebagai rajanya. Dulu memang Amangkurat
belum menduduki kursi singgasana raja. Dulu ia
adalah orang buronan mana kala kerajaan Mata-
ram dipimpin oleh Raja Rakai Pikatan. Mana kala
Rakai Pikatan telah wafat, maka Amangkuratlah
yang segera menggeser kedudukan itu. Ia meno-
batkan dirinya menjadi raja Mataram.
Ternyata utusan yang dikirim oleh Kaisar
Nancu mendapat tanggapan yang positif dari
Amangkurat yang waktu itu memang mengha-
rapkan bantuan dari kerajaan Cina tersebut un-
tuk menuju kedudukannya yang sekarang. Kare-
na mendengar laporan utusannya yang mengata-
kan bahwa Amangkurat menerima pinangannya,
Kaisar Nancu pun mengutus putrinya yang di-
kawal oleh seratus orang prajurit pilihan dan tiga orang pendekar menuju ke
pulau Jawa. Para prajurit pengawal putri raja Nancin
Cu, terus melangkah setapak demi setapak. Wa-
lau mereka nampak tenang, namun di hati mere-
ka terbersit rasa was-was juga. Mereka tidak se-
perti dua orang pimpinannya yang sombong, se-
bab mereka telah mendengar persis siapa-siapa
adanya prajurit-prajurit Mataram yang terkenal
ganas dan beringas tanpa kenal takut untuk mati.
Sudah banyak contoh yang menguatkan. Telah
banyak prajurit-prajurit kerajaan Mongol yang bi-
nasa manakala hendak melakukan infansi ke Pu-
lau Jawa. Mereka juga mengenal nama-nama
yang sering menjadi momok, seperti Walet Ireng,
Sumara Kerta, Kuda Maesan, Burit Geger, serta
tokoh wanita muda yang setiap tindakannya sela-
lu diluar dugaan bergelar Dewi Bayang Seda. Me-
reka tergabung dalam Panca Leluhur Sakti, yang
merupakan gabungan tokoh-tokoh pemberontak
Mataram. Sebenarnya Amangkurat telah beberapa
kali memperingatkan pada rekan-rekannya yang
tergabung dalam Panca Leluhur Sakti untuk
menghentikan sepak terjang mereka, dan memin-
tanya untuk terus membantu kedudukannya se-
bagai raja. Namun mereka seperti tak menggu-
brisnya, bahkan dengan berani-berani mereka
menentang. Hanya karena mereka me-lihat Eyang
Sindu Lelana, menjadikan mereka enggan untuk
memusuhi Amangkurat. Ditambah lagi karena
mereka telah terikat janji untuk tidak saling menjatuhkan.
* * * Tengah mereka melangkah, tiba-tiba dari
balik semak-semak dan atas pohon berloncatan
orang-orang bertopeng menghadang langkah me-
reka. Seketika mereka tersentak mundur, mata
mereka tajam mengawasi gerak gerik orang-orang
yang baru datang.
"Siapa kalian!" bentak Ranesa.
"Hem, kiranya keroco-keroco macam ini
yang sering membuat kelusuhan," dengus Wong
seraya menghunus pedangnya. "Apa keperluan
kalian menghadang kami, hah!"
"Hua, ha, ha... kaliankah yang hendak
menghadap Raja Amangkurat?" tanya seorang
berkedok yang berdiri paling muka di antara dua
puluh lima orang berkedok lainnya, mungkin di-
alah ketua mereka. "Serahkan apa yang kalian bawa pada kami, dan minggatlah
kalian dari sini.
Biar kami yang akan memberikannya pada bagin-
da Amangkurat."
Terbelalak mata Ranesa, Wang, juga yang
lainnya mendengar permintaan ketua orang ber-
kedok itu. Apalagi Nancin Cu yang berada di da-
lam tandu, hatinya seketika dag dig dug tak ka-
ruan. Nancin Cu nampak gelisah, takut kalau-
kalau para prajuritnya akan mengalami kekala-
han. "Oh Dewa Nancing, apakah para prajuritku akan dapat mengatasi semua ini?"
tanya hati Nancin Cu bimbang. "Bagaimana kalau para prajuritku mengalami kekalahan"
Bagaimana dengan
nasibku..?"
Tengah Nancin Cu gelisah hatinya, terden-
gar suara Ranesa kembali membentak. "Apakah
kalian tak tahu aturan! Atau barang kali kalian
memang sengaja mencari gara-gara, hah!"
Dibentak oleh Ranesa begitu rupa tidak
menjadikan ketua orang-orang berkedok itu ta-
kut, bahkan setelah saling pandang dengan anak
buahnya ia gelak tawa sembari balas mem-
bentak. "Kalianlah yang tak tahu sopan santun.
Kalian telah datang jauh-jauh, namun kalian tak
menghiraukan kami yang menguasai daerah ini.


Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perlu kalian ketahui, siapa saja yang memasuki
daerahku harus meninggalkan apa saja yang di-
bawa termasuk nyawa. Tapi kalian aku beri ke-
ringanan, kalian hanya cukup meninggalkan apa
kalian bawa. Bukankah kami telah memberikan
kebebasan pada kalian untuk hidup?"
"Bedebah! Kalian sangat meremehkan ka-
mi!" bentak Ranesa marah, merasa dirinya diremehkan begitu rupa. Ranesa yang
telah kondang nama besarnya di negeri Cina, seakan tak dapat
lagi membendung amarahnya demi direndahkan
begitu rupa. "Dengar oleh kalian. Lebih baik kami meninggalkan nyawa daripada
kami harus meninggalkan apa yang kalian minta."
"Bedebah! Kalian orang-orang Cina berani
lancang di daerah kekuasaan kami. Hem, jangan
harap kalian akan mampu mempertahankan se-
galanya. Tadi kami memberi keringanan pada ka-
lian, namun ternyata kalian seakan menolaknya.
Hem, jangan harap kalian akan kami ampun lagi."
"Sudahlah, Kakang. Percuma kita bersite-
gang dengan mereka, yang tak mempunyai penge-
tahuan. Mereka orang-orang dungu, yang biasa
hidup di hutan."
"Setan! Rupanya memang anjing-anjing Ci-
na banyak bacot!" bentak ketua orang-orang berkedok marah, demi mendengar ucapan
Wang yang sangat merendahkannya. "Anak-anak, serbu dan habisi mereka...!"
Seketika tanpa membuang waktu lagi ke-
dua puluh lima orang berkedok itu serentak ber-
kelebat mengepung mereka. Senjata golok dan
tombak siap di tangan masing-masing. Begitu ju-
ga dengan para prajurit kerajaan Cina, serempak
mereka pun menyiapkan senjata masing-masing.
"Bagaimana" Apakah kalian masih bersite-
gang mempertahankan apa yang kalian bawa?"
"Hem, sudah aku katakan, lebih baik kami
meninggalkan nyawa daripada kami harus menu-
ruti perintahmu!" bentak Ranesa marah.
"Bagus kalau itu yang kalian ingini, se-
rang...!" Serentak kedua puluh lima orang berkedok
itu berkelebat menyerang para prajurit Cina. Ser-
ta merta Ranesa pun segera berseru: "Prajurit, serang...!"
Pertarungan antara dua kelompok itu pun
tak dapat dihindari. Kedua kelompok itu, ba-
gaikan singa-singa kelaparan menyerang memba-
bi buta. Walau jumlah prajurit kerajaan Cina le-
bih banyak ketimbang penyamun, namun karena
di hati mereka tertekan keragu-raguan menjadi-
kan mereka bertempur dengan beban. Mereka se-
perti menghadapi senjata saja layaknya, sehingga
serangan-serangan mereka tak pernah memenuhi
sasarannya. Bahkan para begal itulah yang makin
mengganas. Merasa musuh ketakutan, para begal
makin meningkatkan kenekadannya.
Melihat hal itu, serta merta keempat orang
yang menandu putri Nancin Cu segera membawa
sang putri pergi menyelamatkan diri. Mereka me-
rasa khawatir kalau-kalau sang putri akan men-
galami musibah. Keempat prajurit penandu itu,
merupakan prajurit-prajurit yang setia pada Putri Nancin Cu yang sengaja dibawa
oleh Putri Nancin
Cu untuk menemaninya.
Melihat keempat prajurit pengusung itu
melarikan diri dengan asungannya, serta merta
ketua orang-orang berkedok berkelebat mengejar.
Namun belum juga ketua orang berkedok itu jauh
Ranesa telah pula mengejarnya. Dengan menggu-
nakan Hin-Kang atau ilmu meringankan tu-
buhnya Ranesa secepat kilat berlari dan tahu-
tahu telah menghadang pimpinan orang-orang
berkedok. "Bedebah! Rupanya kau ingin mati!" bentak ketua orang berkedok jengkel merasa
niatnya untuk mengejar terhalangi.
Ranesa tersenyum sunggingkan bibir demi
mendengar bentakan pimpinan orang-orang ber-
kedok. Setelah sesaat mengurai senyum, Ranesa
dengan nada datar berkata: "Aku tak mencari ma-ti, karena aku ingin hidup.
Kaulah yang mencari
mati, sebab kaulah yang telah membuat sega-
lanya. Apa perlumu menghadang langkah kami"
Apakah kau tak takut bila hal perbuatanmu dike-
tahui oleh baginda Amangkurat?"
Lelaki pimpinan orang-orang berkedok itu
tersenyum sinis, manakala mendengar Ranesa
menyebut nama Amangkurat. Sepertinya nama
Amangkurat bagi lelaki berkedok itu tak ada ar-
tinya, lalu dengan suara lantang lelaki berkedok itu kembali berkata setengah
membentak. "Kalau kau memang ingin memanggil
Amangkurat. Panggillah! Aku tak akan mundur
menghadapinya. Hua, ha, ha.... Amangkurat tak
lebihnya orang-orang sepertiku. Kalau Amangku-
rat melihat hal ini, pasti dia akan membantuku."
"Sombong!"
"Hua, ha, ha... Kau tak percaya?" Lelaki berkedok itu kembali sunggingkan senyum
mengejek. "Kalau kau mendengar siapa adanya kami, niscaya kau dan para
prajuritmu akan lari ter-kencing-kencing."
"Hem, mungkin hanya orang bodoh saja
yang mau digertak oleh manusia macammu. Tapi
aku, tidak," jawab Ranesa sengit. "Aku tak akan takut tentang siapa adanya
kalian, sebab aku merasa benar. Kebenaran selalu dalam lindungan
Yang Jagad Wenang."
"Bedebah! Jangan menyesal nantinya,'
menggertak pimpinan orang berkedok marah.
"Jangan lengah, hiat...!"
Melihat musuhnya berkelebat menyerang,
dengan segera Ranesa pun tak mau tinggal diam.
Seketika Ranesa menggerang bagaikan seekor ha-
rimau, lalu dengan melompat bagaikan terbang
Ranesa berkelebat memapakinya. Tanpa ayal lagi
pertarungan dua pimpinan itu pun seketika berja-
lan. Keduanya nampak penuh antusias untuk sal-
ing menjatuhkan, sehingga kedua pimpinan itu
tanpa segan-segan segera mengeluarkan jurus-
jurus yang sangat diandalkan.
Jurus demi jurus terus terlalui, sepertinya
kedua pimpinan itu tak mengenal lelah. Dari ju-
rus yang ringan, berubah menjadi jurus-jurus
yang berat, yang mengarah pada mati hidupnya
mereka. Namun begitu, keduanya nampak sama-
sama tangguh dan sama-sama gesit bagaikan dua
kekuatan yang tengah bertarung. Memang kedu-
anya merupakan dua kekuatan. Yang satu meng-
gunakan kekuatan Naga Api, sementara yang
lainnya menggunakan Garuda Sakti. Maka mere-
ka pun kini benar-benar telah meniru gerakan-
gerakan kedua hewan perkasa. Sang Naga Api
yang penjelmaan dari Ranesa, nampak mengga-
nas dengan semburan-semburan api dari mulut-
nya. Sementara sang Garuda yang merupakan
penjelmaan dari pimpinan orang-orang berkedok
yang tak lain Begal Sulasa nampak dengan gesit
mengelakkan serangan dan dengan gesit meng-
elakkan serangan pula membalas menyerang
dengan kepakan sayapnya yang menimbulkan le-
dakan-ledakan dahsyat.
Di pihak lain, nampak para prajurit kera-
jaan Cina yang kini dipimpin oleh dua tokoh uta-
ma yaitu San Ing dan Wang masih terus berusaha
membendung serangan-serangan anggota begal
berkedok yang nampaknya terus mengganas. Se-
pertinya para begal itu tak kenal takut, walau
menghadapi dua tokoh yang sudah terkenal di
daratan Cina. Bahkan mereka nampaknya makin
lama makin mengganas. Melihat hal itu, maka pa-
ra prajurit kerajaan Cinalah yang nampak keteter.
Mereka seakan dibayang-bayangi oleh ketakutan,
sehingga cara berperang mereka pun ngawur. Hal
itu menjadikan para begal makin bernafsu saja
untuk membunuh. Dan memang benar, mereka
kini dengan garang meng-hunjamkan senjata me-
reka. Korban berjatuhan dari pihak kerajaan Ci-
na, menjadikan para prajurit lainnya makin lama
makin bertambah susut semangatnya. Tanpa am-
pun lagi, mereka pun seketika menjadi bulan-
bulanan para begal. Maka dalam sekejap saja,
mayat bergelimpangan dari pihak kerajaan Cina.
Sebaliknya dari para begal, makin menjadi-jadi
keganasannya. Mereka bagaikan burung-burung
nazar yang tak pernah kenyang.
Di pihak lainnya pertarungan antara dua
orang pimpinan itu masih berjalan. Keduanya kini
benar-benar menguras segala ilmu yang mereka
miliki. Namun demikian, pertarungan mereka se-
pertinya tak akan berhenti. Kelebatan-kelebatan
tubuh keduanya begitu cepat, menjadikan tubuh
mereka bagaikan menghilang tertutup oleh war-
na-warna pakaian yang mereka kenakan. Namun
seperti pepatah, siapa yang lengah dialah yang
akan binasa. Rupanya pepatah itu pula yang te-
lah menentukan pertarungan mereka. Manaka-la
Ranesa lengah, dengan segera pimpinan begal
berkedok itu hantamkan ajiannya. Tak ayal lagi,
Ranesa pun seketika melengkingkan jeritan ma-
nakala ajian itu menghantam telak tubuhnya.
Tubuh Ranesa seketika membiru, beku bagaikan
tertimpa salju yang berjuta-juta kati. Tubuh itu
mati dengan menyedihkan, beku bagaikan di es.
Ya, Ranesa memang mati beku, terhantam ajian
Topan Salju yang dilontarkan oleh pimpinan begal
berkedok. Setelah melihat musuhnya mati, dengan
segera pimpinan begal berkedok itu pun berkele-
bat pergi setelah terlebih dahulu menendang tu-
buh Ranesa hingga melayang bagaikan terbang
dan ambruk kembali ke bawah jurang. Dengan
meninggalkan gelak tawa, pimpinan begal itu
kembali melesat untuk mengejar keempat orang
penandu yang membawa apa yang mereka perta-
hankan. 2 Keempat prajurit yang menandu putri Nan-
cin Cu nampak masih berlari dengan menandu.
Wajah mereka begitu tegang, sepertinya ada rasa
ketakutan yang amat sangat. Ya, mereka memang
ketakutan setengah mati. Bukannya mereka takut
mati, namun lebih dari itu yang mereka takuti.
Ketakutan mereka adalah keganasan para begal-
begal, apabila mereka tahu siapa adanya putri
Nancin Cu. "Kenapa kalian tidak menuju ke Kerajaan
Mataram saja?" tanya Nancin Cu pada keempat
pengusungnya. "Ke manakah tujuan arah yang harus kami
tempuh, Tuan Putri?"
"Teruslah ke Selatan di sanalah kerajaan
Mataram." "Ah, tidak mungkin, Tuan Putri," keluh mereka serentak, menjadikan Nancin Cu
seketika membuka tirai penutup tandunya. Mata Nancin
Cu yang lentik, ditambah dengan wajahnya yang
cantik jelita menjadikan anggun. Mata lentik itu
memandang lepas ke muka, yang terpapar ham-
paran rumput-rumput ilalang menghijau. Melihat
hal itu, seketika hatinya bergumam.
"Hem, memang patut keempat pengawalku
takut. Mereka rupanya sungkan menerobos ila-
lang yang tinggi. Mereka mungkin menduga-duga
kalau-kalau di ilalang itu juga akan ada bahaya."
"Tak adakah jalan lain...?" tanya Putri Nancin Cu seperti pada diri sendiri,
sementara ma- tanya masih terus memandang ke muka.
"Tak ada, Tuan Putri," jawab penandu di muka sebelah kanan.
"Kami rasa, memang tak ada," menambah
yang sebelah kiri. "Jalan lain satu-satunya, sekarang telah dijadikan
pertempuran antara para
prajurit dengan para gerombolan begal itu."
"Jadi tak ada jalan lain?"
"Benar, Tuan Putri."
"Kalau begitu, tak apalah menempuh jalan
lewat ilalang itu."
"Ah...." kembali keempat orang itu mendesah. "Kenapa" Apakah kalian takut...?"
"Bukannya kami takut mati, Tuan Putri,"
jawab orang yang di depan sebelah kiri. "Bagi ka-
mi, keselamatan Tuan Putri lebih utama daripada
nyawa kami yang tiada guna."
Tercenung masgul putri Nancin Cu men-
dengarnya. Hatinya bergetar, air matanya seketi-
ka menetes deras bagaikan membuang kepedihan
yang tengah dideritanya. Memang benar apa yang
dikatakan keempat penandunya yang setia. Mere-
ka memang sangat mengkuatirkan dirinya, dari-
pada memikirkan diri mereka. Hal itulah yang
menjadikan Putri Nancin Cu merasa sedih. Kini ia
terlunta-lunta di pulau Jawa, tanpa mengerti apa
yang bakal terjadi. Semua salahnya sendiri. Ya,
semua salahnya sendiri, mengapa ingin menemui
Amangkurat yang harus menempuh berbagai tan-
tangan" Bila ingat itu semua, seketika hati Nanci Cu jadi kesal, marah pada


Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Amangkurat. Bagaimana mungkin tidak marah, mereka datang jauh-
jauh tapi nyatanya dari pihak Amangkurat tak
ada seorang pun yang menjemput mereka. Seper-
tinya segala kejadian itu memang disengaja.
"Ah, Amangkurat... Kenapa ia tak me-
nyambut kedatanganku?" keluh hati Nancin Cu.
"Apakah memang sengaja Amangkurat hendak
mencelakai diriku?"
Tengah putri Nancin Cu melamun, tiba-tiba
penandu yang berada di belakang berteriak.
"Awas! Orang berkedok itu mengejar kita.
Ayo lari...!"
Dengan segera mereka pun berlari kembali.
Mereka tak menghiraukan lagi ilalang yang ter-
papar meninggi di depannya. Dengan segala ke-
nekadan mereka pun menerobos rumput ilalang.
Namun seketika mereka tersentak kaget, mana-
kala dengan tiba-tiba seseorang berkelebat mene-
robos masuk ke tandu. Belum juga keempat pe-
nandu itu hilang dari rasa kagetnya, orang terse-
but telah kembali berkelebat keluar dengan mem-
bopong tubuh Putri Nancin Cu yang terkulai. Ru-
panya Nancin Cu telah tertotok. Keempat orang
penandu itu segera bermaksud mengejar, ketika
tiba-tiba orang tersebut mengibaskan tangannya.
Dari kibasan tangan berhamburan ratusan ja-
rum-jarum mendesing-desing mengarah ke arah
mereka. "Awas Jarum...!" pekik salah seorang dari keempatnya.
Seketika mereka berhamburan, jumpalitan
berusaha mengelakkan serangan jarum-jarum be-
racun itu. Namun tak urung salah seorang dari
mereka terkena. Orang itu menjerit sesaat, ber-
guling-guling merambah ilalang dan akhirnya ter-
kulai. Ketiga temannya seketika tersentak, mana-
kala melihat apa yang dialami oleh rekannya. Tu-
buh temannya membiru, lalu dari tusukan jarum-
jarum itu makin lama makin membesar. Dari se-
besar jagung, membentuk sebesar kepalan ta-
ngan. Setelah benjolan-benjolan itu besar sebesar kepalan tangan, berjolan itu
pun akhirnya pecah.
Dan kembali ketiga orang itu terbelalak kaget, ketika dilihat apa yang keluar
dari pecahan benjolan tersebut. Ketiganya seketika melompat bagaikan
terpental, manakala ketiganya melihat binatang-
binatang yang menjijikkan keluar dari benjolan-benjolan yang pecah. Binatang-
binatang tersebut,
tak lain dari kelabang yang berwarna ungu. Itulah racun Kelabang Ungu.
"Awas...! Kalian jangan mendekatinya!" terdengar seruan seseorang, manakala
ketiganya tengah dilanda kekagetan. "Kalau kalian mendekat, niscaya tubuh kalian pun akan
terkena. Ke- labang itu sangat ganas bila mencium bau manu-
sia!" Ketika ketiga orang Cina itu menengok, seketika mereka tersentak kaget.
Ternyata orang yang memperingatkan mereka, tak lain daripada
pimpinan begal yang tadi mengejarnya. Wajah ke-
tiga orang Cina itu seketika pucat ketakutan. Me-
reka kini hanya pasrah untuk apa yang akan
pimpinan begal itu lakukan.
"Heh, rupanya kalian," terbelalak pimpinan begal itu, manakala makin mendekati
ketiganya. "Di mana barang yang kau bawa itu?"
"Kami membawa putri Kerajaan kami yang
ingin menemui Raja Amangkurat."
"Di mana sekarang?"
Ketiga orang Cina itu seketika terdiam di-
tanya begitu. Mata mereka memandang pada
pimpinan begal dengan pandangan mata tak per-
caya, lalu salah seorang dari ketiganya kembali
berkata. "Apakah pencuri putri Nan bukan anggota-
mu?" "Hei, kau ngomong apa?" tanya pimpinan
begal itu kaget.
"Putri Nan telah diculik oleh seseorang,"
jawab orang Cina itu sembari menengok ke bela-
kang. Namun ternyata orang yang tadi melempar-
kan jarum-jarum berbisa telah hilang dari pan-
dangannya. "Heh, cepat benar orang itu menghilang." "Siapa yang kau maksud?"
tanya pimpinan begal itu kaget.
"Orang yang telah membunuh temanku ini
dengan apa yang kau sebut racun Kelabang Un-
gu," jawab yang ditanya, menjadikan pimpinan begal seketika kerutkan kening.
Setelah memandang pada ketiga orang Cina itu, pimpinan begal
segera berkelebat pergi meninggalkan ketiganya
yang terbengong-bengong tak mengerti.
Pertarungan antara prajurit-prajurit kera-
jaan Cina yang dipimpin oleh Wang dan San Ing
masih terus berlanjut, walau korban telah banyak
berjatuhan. San Ing dengan pedang Naganya te-
rus mengamuk. Setiap kelebatan pedang di tan-
gan San Ing selalu membawa korban bagi pihak
musuh. Kini pihak begal yang tadinya berjumlah
dua puluh lima tinggal lima orang. Sementara da-
ri pihak prajurit kerajaan tinggal empat orang ditambah dua pimpinannya.
"Menyerahlah kalian.!" bentak Wang. Na-
mun kelima orang begal itu sepertinya tak men-
dengar. Bahkan kelimanya nampak makin nekad
saja menyerang. Hal itu menjadikan Wang dan
San Ing makin marah saja. Pedang di tangan ke-
dua pendekar Cina itu terus berkelebat men-cari
nyawa. Tak ayal lagi, dalam sekejap saja ke-lima
orang musuh-musuhnya habis terbabat oleh pe-
dang mereka. Namun perjuangan mereka tak lu-
put dari para prajurit-prajurit yang kini tiada sisa seorang pun. Seluruh
prajurit binasa.
Tertegun Wang dan San Ing melihat kese-
ratus prajurit-prajurit mereka mati. Tak terasa
dari kelopak mata mereka meleleh air mata. Me-
reka menangis, menangisi para prajurit yang gu-
gur demi membela kerajaan. Setelah sesaat hen-
ing membisu, kedua pendekar negeri Cina itu pun
segera berlalu meninggalkan para prajuritnya
yang telah gugur.
"Apakah kita akan kembali ke Cina?" tanya San Ing, manakala keduanya telah
berlalu jauh meninggalkan medan pertempuran sekaligus me-
ninggalkan korban yang berjatuhan.
"Tidak! Kita harus mencari tuan Putri Nan-
cin Cu dulu."
"Ke mana... ?"
"Bukankah kita punya kaki?" balik ber-
tanya Wang. San Ing terdiam, merasakan ucapan Wang
memang ada benarnya. Bukankah kita punya ka-
ki" Ya, lebih baik berjalan-jalan mencari Tuan Putrinya dari pada pulang dengan
tangan hampa. Mereka malu pada Kaisar Nan Cu, yang telah
mempercayai mereka untuk mengawal putrinya.
Mau ditaruh di mana muka mereka" Bagaimana
harus mempertanggungjawabkan pada rajanya"
"Baiklah, kita mencari tuan Putri," jawab San Ing menyetujui apa yang dikatakan
Wang. "Oh ya, di manakah Koko Ranesa?"
"Entahlah. Maka itu, marilah kita cari se-
muanya." Tanpa banyak berkata lagi, dua pendekar
negeri Cina itu pun segera melangkahkan kaki
mereka pergi. Tak lama kemudian setelah kedua-
nya berjalan, tiba-tiba mata mereka melihat sosok tubuh terkapar. Segera kedua
pendekar Cina itu
berlari menghampiri. Mata keduanya seketika
membeliak, mulut mereka seketika berseru kaget
menyebut nama orang yang tergeletak. "Koko,
Ran...!" Kedua pendekar itu seketika menangis kembali, keduanya segera
mengangkat tubuh Ranesa yang telah mati. Air mata kedua pendekar
itu kembali meleleh, perih dan pedih terasa me-
nyayat di hati keduanya.
"Koko Ran, mengapa kau tinggalkan kami?"
isak San Ing. "Siapakah yang telah berbuat semuanya
ini, Koko?" Wang pun ikut bertanya pada mayat Ranesa, yang hanya diam tanpa
dapat berkata-kata. "Jawab, Koko, Koko. Biar kami yang akan menuntut balas..."
Namun seperti semula, Ranesa yang telah
mati tak dapat menjawab. Tubuh itu telah kaku,
dingin bagaikan beku. Kedua pendekar negeri Ci-
na itu terus menangis, sambil menggali Hang
yang akan dijadikan tempat terakhir bagi Ranesa.
Setelah dirasa cukup, kedua pendekar itu segera
menyemayamkan tubuh Ranesa. Keduanya kem-
bali hening tanpa kata, menundukkan muka
memberikan penghormatan terakhir pada Ranesa.
"Kita cari orang yang telah membunuhnya,"
ajak Wang setelah sekian lama terdiam dalam
hening memberikan penghormatan terakhir. "Aku rasa, orang tersebut tak lain dari
pada pimpinan begal keparat itu."
"Memang benar! Ayo kita cari. Lebih baik
kita mati, daripada kita hidup terlunta-lunta di
daerah orang."
"Jangan putus asa, Saudara San. Kita tak
boleh berkata begitu, kita harus tegar menghada-
pi segala coba. Sebagai seorang pendekar, di ma-
na saja tempatnya sama. Demi membela kebena-
ran dan keadilan, kita tak perlu memandang apa
saja, baik itu ras atau derajat."
San Ing kembali terdiam, kemudian kedua
pendekar Cina itu pun kembali berkelebat pergi
meninggalkan gundukan tanah merah baru di
mana Ranesa beristirahat untuk yang terakhir ka-
linya.... 3 Lelaki yang membopong tubuh putri Nan-
cin Cu masih terus berlari dengan cepatnya, se-
pertinya tak ingin ada orang lain yang bakal me-
rebut apa yang telah ia peroleh. Orang tersebut
bertampang kumal, dengan cambang lebat pan-
jang mengurai dialah Datuk Raja Beracun. Datuk
Raja Beracun yang telah berlari sambil membo-
pong tubuh Nancin Cu, nampak terus memperce-
pat larinya. Ia tak ingin ada orang yang mengejarnya untuk merebut Nancin Cu
dari tangannya.
Datuk Raja Beracun berharap impiannya untuk
menurunkan Raja-raja yang kelak berkuasa di
tanah Andalas akan menjadi kenyataan. Ia masih
teringat akan wangsit yang diturunkan untuk di-
rinya. Wangsit itu mengatakan, "Siapa yang dapat memperistri Putri Nancin Cu
maka dialah yang
kelak akan mempunyai keturunan raja-raja yang
nantinya menguasai tanah Andalas."
Tengah Datuk Raja Beracun lari, terdengar
teriakan seseorang yang mengundang perhatian-
nya. "Datuk Raja Beracun, tunggu...!"
Datuk Raja Beracun tak hiraukan seruan
itu, ia yang sudah menduga siapa adanya orang
yang berseru makin tak menghiraukan. Datuk
Raja Beracun yakin kalau orang-orang di pulau
Jawa pun telah mendengar adanya desas desus
siapa adanya putri Nancin Cu, orang yang kelak
dapat menurunkan raja-raja di Nusantara khu-
susnya raja di pulau Andalas.
"Datuk Raja Beracun, tunggu...!" kembali orang tersebut berseru seraya
mempercepat larinya. Maka dalam sekejap saja, tubuh orang ter-
sebut telah berkelebat cepat dan tiba-tiba telah
menghadang langkah sang Datuk. "Berhenti!"
Melihat orang itu menghadangnya, dengan
geram sang Datuk membentak: "Apa urusanmu,"
orang usil!"
Lelaki bercadar itu tersenyum mengejek,
dan berkata: "Datuk, rupanya kau pun menghen-daki gadis Cina itu. Hem, aku pun
jadi ingin me- rebutnya dari tanganmu."
"Bedebah! Jangan bermimpi."
"Kenapa tidak, Datuk..,!" tiba-tiba terdengar suara orang lain membentaknya,
menjadikan sang Datuk seketika tersentak kaget dan paling-
kan muka memandang ke asal suara tersebut.
"Rupanya kalian bersekongkol hendak me-
rebut gadis ini. Hem, jangan kira kalian akan
mampu merebutnya, langkahi dulu mayatku."
"Begitu?" tanya orang yang baru datang
dengan sinis. Orang yang baru datang, ternyata
tak lain dari pada Begal Sulasa yang telah menge-
jar sang Datuk setelah mendengarkan keterangan
dari ketiga pengusung putri Nancin Cu. Seperti
Datuk Raja Beracun, kedua orang pengejarnya
pun telah mengerti siapa adanya putri Nancin Cu
yang menurut wangsit kelak akan menurunkan
raja-raja di pulau Andalas. Karena berpegangan
pada wangsit itulah, maka ketiga orang tersebut
segera memburunya. Kini putri tersebut berada di
tangan Datuk Raja Beracun, sehingga kedua
orang pengejar itu pun mau tak mau harus
menghadang Datuk Raja Beracun.
"Ya begitu, tak ada jalan lain," jawab sang
Datuk sinis. "Hem, kita bertiga," menggumam Begal Sulasa. "Tak apa. Yang penting adalah salah
seorang di antara kita harus dapat menjadi peme-
nangnya," orang bercadar menyarankan. "Bagaimana kalau kita langsung saling
serang?"

Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak mungkin. Pasti ada kecurangannya."
"Kau rupanya takut, Datuk?"
"Bedebah! Jangan kira aku takut mengha-
dapi kalian berdua. Ayo kalian maju bareng me-
ngeroyokku, Datu Raja Beracun tak akan mun-
dur menghadapi kalian." Habis berkata begitu, serta merta sang Datuk kibaskan
tangannya. Dari
kibasan tangan, keluar ratusan jarum berwarna
ungu melesat ke arah kedua orang tersebut.
"Awas serangan!" pekik Begal Sulasa memperingatkan pada rekannya yang dengan
segera berkelebat mengibaskan lengan bajunya.
"Datuk Edan! Rupanya kau memang ingin
segera mampus!" bentak orang bercadar marah.
Napasnya mendengus bagaikan memendam ke-
kesalan yang hendak ditumpahkan pada Datuk
Raja Beracun. "Terimalah pembalasan dariku.
Hiat...!" Segera orang bercadar itu hantamkan tangan kanannya ke arah Datuk Raja
Beracun. Sang Datuk terkesiap kaget, mana kala melihat
larikan sinar putih membersit dari telapak tangan orang bercadar.
"Ah, kaukah Rumajang?" Sang Datuk men-
geluh seakan ada rasa takut terbersit pada mimik
mukanya. "Kenapa kau ikut campur dalam uru-
san ini, Rumajang!"
"Hua, ha, ha... Ternyata matamu belum be-
gitu rabun, Datuk" Nah, bila kau telah tahu siapa aku, mestinya kau menyembah
dan dengan ikhlas
berikan gadis dalam boponganmu padaku."
"Enak saja kau ngomong! Aku yang cape-
cape, mengapa kau yang baru datang tiba-tiba
menginginkan hasil jerih payahku?" ejek sang Datuk Beracun. "Walau pun namamu
sudah se- tinggi langit, namun aku Datuk Raja Beracun tak
akan gentar sedikit pun menghadapimu. Apalagi
menghadapi begal kere macam temanmu itu."
"Setan! Rupanya kau memang harus kuberi
hajaran!" bentak Begal Sulasa marah, ia merasa ucapan sang Datuk sangat
meremehkan dirinya.
Betapapun juga, Begal Sulasa merupakan anggo-
ta Panca Leluhur Sakti yang tak dapat dipan-dang
enteng. Maka mendengar ucapan sang Datuk, da-
rah Begal Sulasa seketika mendidih. "Jangan
sombong, Datuk! Kalau kau memang jantan, ma-
ka hadapilah aku."
Sang Datuk yang memang telah siap-siap
akan menghadapi dua orang sekaligus dengan tak
mau kalah berkata lantang: "Majulah kalian berdua sekaligus, jangan tanggung-
tanggung biar aku dengan cepat membereskannya."
Tak dapat lagi dibayangkan kemarahan
dua tokoh dari pulau Jawa mendengar ejekan
sang Datuk. Serta merta keduanya berkelebat
menyerang sang Datuk. Serangan kedua orang
tokoh persilatan yang berbeda perguruan itu se-
pertinya kompak. Keduanya berganti-ganti me-
nyerang sang Datuk. Namun begitu, sepertinya
sang Datuk bagaikan tak kerepotan secuilpun.
Bahkan dengan tubuh menggendong tubuh
orang, sang Datuk masih lincah berkelit dan kala
ada kesempatan balas menyerang. Jurus demi ju-
rus terlalui oleh mereka dengan cepat. Ketiganya
seperti tak mengenai lelah, saling gempur dengan
jurus-jurus yang mereka miliki. Entah berapa pu-
luh jurus yang mereka keluarkan, karena saking
cepatnya mereka bergerak sehingga tanpa sadar
mereka terus bertempur dengan terus saling
mendesak lawan-lawannya ke belakang.
"Cilaka!" Datuk Raja Beracun tersentak kaget, mana kala tubuhnya kini telah
sampai di tepi jurang terdesak oleh kedua lawannya yang nampak makin beringas
saja. "Kalau begini terus menerus, maka tidak mungkin tidak akulah yang
akan kalah oleh mereka. Aku harus mencari ak-
al." Kedua orang penyerangnya tak memperha-
tikan gerak gerik sang Datuk, mereka terjebak
oleh serangan-serangan yang mereka lancarkan.
Melihat musuh-musuhnya terus mendesak ke
pinggir jurang, serta merta Datuk Raja Beracun
memekik keras. Lalu setelah berbuat begitu, tiba-
tiba tubuh sang Datuk mencelat mana kala kedua
musuhnya bareng menyerangnya. Tanpa dapat
direm atau dihindari, tak ayal kedua orang bertu-
tup muka itu meluncur deras ke bawah.
"Hua, ha, ha... Itulah untuk kalian. Sela-
mat berpisah, dan bahagialah kalian di akherat
sana." Setelah sesaat memandang ke bawah ju-
rang yang menelan dua tubuh musuhnya, Datuk
Raja Beracun dengan masih ganda tawa berkele-
bat meninggalkan tempat itu dengan masih mem-
bopong tubuh Nancin Cu. Nancin Cu walau dalam
keadaan tertotok, saat itu ternyata telah siuman
dari pingsannya, sehingga ia pun dapat menyak-
sikan betapa kedua orang bertopeng itu menemui
ajalnya dengan tragis. Mata Nancin Cu seketika
memejam rapat, tatkala melihat dua orang terse-
but meluncur ke bawah.
"Siapa sebenarnya orang ini" Sungguh licik
dan berilmu tinggi, sehingga dua orang yang aku
tahu salah satunya Begal yang menghadang para
prajuritku dapat dengan mudah dijatuhkan," batin putri Nancin Cu dengan perasaan
was-was. Ia memang perlu mengalami kecemasan, sebab Da-
tuk Raja Beracun merupakan orang baru dalam
penglihatannya. Setiap orang baru tentunya tak
dapat diterka pikiran dan perbuatannya.
"Anak manis, kau akan aku bawa ke pulau
tempatku tinggal. Di sana tak seperti di sini yang serba keras. He, he, he..."
Habis berkata begitu pada Nancin Cu yang masih tertotok dan berada
dalam bopongannya. Dengan meninggalkan gelak
tawa berkepanjangan Datuk Raja Beracun segera
berkelebat tinggalkan tempat itu, pergi.
* * * Selang tak begitu lama kemudian, nampak
dua orang dengan membawa senjata pedang di
pundaknya berjalan ke arah situ. Kedua orang
yang tidak lain Wang dan San Ing yang tengah
mencari tuan putri dan para musuhnya dengan
wajah setengah murung terus melangkah menuju
ke tempat tersebut. Sesaat keduanya berhenti,
berdiri dan memandang sekeliling tempat itu. Ma-
ta kedua pendekar Cina itu seketika membelalak,
mana kala melihat beberapa tapak kaki yang ma-
sih melekat jelas di tanah yang sedikit basah.
"Rupanya barusan ada yang bertempur di
sini, Saudara Wang."
"Ya, coba lihat bekas kaki-kaki ini. Bukan-
kah ini menggambarkan bahwa seretan kaki
orang perang?" balik bertanya Wang, matanya
mengerut penuh ketidakmengertian. "Mungkin di jurang itu ada orang yang kalah."
San Ing dan Wang segera menelusuri jejak-
jejak kaki yang masih tergambar jelas menapak di
tanah. Mata mereka terus melekat pada jejak-
jejak tersebut. Tak lama kemudian keduanya ter-
bawa oleh jejak kaki menuju ke jurang. Seketika
mata kedua pendekar Cina itu kembali menyipit,
tatkala dilihatnya jejak kaki itu hilang setelah berada di bibir jurang.
"Tak salah!" pekik Wang mengejutkan San Ing yang seketika menghampiri dan turut
memandang ke bawah jurang yang tajam, sehingga
hanya nampak gelap gulita.
"Memang benar, ternyata di bawah jurang
sana ada orang."
"Heh, benar!" Wang memekik manakala
menajamkan pendengarannya.
"Bagaimana, apakah perlu kita bantu?"
tanya San Ing, menjadikan Wang seketika menge-
rutkan kening. Bagaimana mungkin mereka akan
membantu" Bukankah jurang itu curam dan da-
lam" "Kau jangan bercanda, San" Mana mung-
kin kita dapat membantu mereka" Mereka yang
berilmu tinggi pun, aku rasa tak akan mampu
menundukkan jurang yang dalam dan curam ini,
apa-lagi kita?"
Terdiam San Ing demi mendengar perta-
nyaan Wang yang nadanya tak yakin. Memang
apa yang dikatakan Wang ada benarnya. Bagai-
mana mungkin mereka dapat membantu orang-
orang yang ada di dalam jurang yang dalam dan
curam" Sedangkan orang-orang yang berada di
dalam jurang adalah dua orang yang mempunyai
nama di dunia persilatan, ternyata mereka saja
tak mampu menolong diri mereka sendiri.
Tengah kedua pendekar Cina itu terdiam
tak mengerti harus berbuat apa, tiba-tiba terden-
gar seruan dua orang dari bawah jurang yang tak
nampak orangnya. "Ki Sanak yang berada di atas, dapatkah Ki Sanak menolong
kami?" "Hai, ternyata di bawah bukannya hanya
seorang. Ternyata mereka berdua," gumam San
Ing sedikit kaget. Dipandangnya Wang yang juga
memandang ke arahnya. "Bagaimana, Saudara
Wang" Apakah kita akan menolong mereka?"
"Bagaimana caranya, Saudara San" Se-
dangkan kita tak dapat berbuat banyak," lenguh Wang putus asa. "Apakah kita akan
mengorban-kan diri kita untuk menolong orang yang belum
kita ketahui siapa adanya dan bagaimana sifat
mereka" Aku takut nanti kita sendiri yang menga-
lami kesusahan. Kau mesti ingat, ini wilayah
orang bukan wilayah kita. Kita belum tahu satu
persatu sifat orang-orang Nusantara ini. Bayang-
kan saja, baru saja kita dihadapkan pada keja-
dian yang bagi kita tak masuk di akal,"
"Woi... Kalian yang berada di atas, apakah
kalian tak mendengar seruan kami?" terdengar kembali seruan orang yang berada di
bawah, menjadikan kedua pendekar Cina yang masih ter-
paku tak mengerti seketika kembali saling pan-
dang seolah-olah ingin mencari kepastian di anta-
ra mereka. Hati kedua pendekar Cina itu bimbang un-
tuk berbuat. Keduanya masih terbayang kejadian-
kejadian yang baru saja keduanya alami, yang di-
rasa sangat menekan jiwa keduanya. Keduanya
tak ingin kejadian yang tak diinginkan terulang
untuk kedua kali. Korban telah banyak, apa
mungkin diri mereka harus menjadi korban pula"
"Ah, kenapa Ki Sanak berdua hanya di-
am..."!"
"Kami bingung harus bagaimana. Apakah
Ki Sanak yang berada di bawah dapat mencarikan
kami jalan" Kalau memang Ki Sanak mampu
mencarikan jalan, mungkin kami pun akan mam-
pu untuk membantu Ki Sanak sekalian," jawab
San Ing dengan logat Cinanya yang masih kentara
menjadikan orang yang berada di bawah jurang
mengerutkan kening. Walau kekagetan orang
yang berada di bawah jurang tidak diketahui oleh
San Ing dan Wang yang berada di atas, namun
dari ucapan orang tersebut jelas menunjukkan
kekagetannya. "Ah, kiranya kalian pimpinan prajurit Ci-
na." "Hai, kalian mengenal kami," tersentak Wong kaget demi mendengar ucapan
orang yang berada di bawah. "Apakah kalian orang-orang
yang telah mengeroyok dan membegal prajurit
kami?" Tak ada jawaban yang terdengar dari dasar jurang, menjadikan San Ing dan
Wang kerutkan kening saling pandang. Kedua pendekar Cina itu
kini mengetahui siapa adanya orang yang berada
di dasar jurang itu. Hati mereka seketika diliputi rasa dendam benci yang
teramat dalam. Maka
dengan tanpa bicara lagi, kedua orang pendekar
Cina itu pun berkelebat pergi tanpa menghirau-
kan seruan orang-orang yang berada di dasar ju-
rang. 4 PULAU ANDALAS Datuk Raja Beracun yang telah menguasai
putri Nancin Cu dan membawanya ke pulau An-
dalas terus berusaha merayu putri tersebut agar
mau menjadi istrinya. Karena sesuai dengan
wangsit, bahwa siapa saja yang dapat memperistri
sang putri kelak keturunannya akan menjadi raja
penguasa tanah Andalas. Sudah beberapa kali
sang Datuk berusaha mempengaruhi sang putri.
Berbagai macam cara, atau ilmu hitam yang ia
miliki namun ternyata tak ada yang mempan se-
dikit pun. Karena telah berusaha sekian lama tak
mendapatkan hasil, sang Datuk hampir saja pu-
tus asa kalau saja pembantu setianya yang ber-
nama Datuk Begugu, tidak kembali memberi se-
mangat. "Jangan tuan putus asa dulu, sebab tidak
mungkin nantinya kalau tuanlah yang bakal
mendapatkan anugrah tersebut," kata Datuk Begugu memberi saran, manakala
didengarnya ke-
luhan tuannya yang seperti putus asa.
"Tapi aku sudah berusaha, Begugu. Dan
nyatanya, ah... Semuanya hanya impian," keluh Datuk Raja Beracun. "Bukannya
sekali aku mencoba pengaruhi dia, tapi sepertinya tak ada yang
dapat menggoyahkan tekadnya. Apakah tidak le-


Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bih baik aku perkosa saja?"
Tersentak kaget Datuk Begugu mendengar
ucapan tuannya. Ia tak menyangka kalau tuan-
nya yang sangat kokoh dan ulet akan prustasi
menghadapi putri Cina tersebut. Memperkosa, be-
rarti hubungan yang tidak selaras. Hal itu tidak
mungkin tidak akan menjadikan sebuah tekanan
jiwa, yang nantinya berkait dengan dendam.
"Ah, mengapa tuan begitu cepat putus
asa?" tanya Begugu tercenung. "Memperkosa itu tidak baik, Tuan."
"Alasannya...?"
"Maaf, hamba mungkin dalam hal ini terla-
lu lancang. Sekiranya hamba yang bodoh ini di-
anggap sok pintar, terlebih dahulu hamba kemba-
li meminta maaf."
"Hem, katakanlah. Bagiku kau sama saja
dengan diriku. Kau adalah pembantuku yang se-
tia, yang selalu memberikan saran yang baik. Ke-
jayaanku sebagai datuk, tak luput dari saran
yang kau berikan. Nah, katakanlah jangan kau
ragu, Begugu."
Datuk Begugu sesaat terdiam, tundukan
kepala sembari menarik napas panjang. Sesaat
kemudian sang Datuk pun menengadahkan wa-
jahnya, memandang pada tuannya yang nampak
menggurat rasa ketidak mengertian. Setelah kem-
bali menunduk Datuk Begugu pun akhirnya
membuka suara berkata: "Menurut hamba yang
telah tua, perkosaan itu tidak baik bagi diri kita.
Pertama, kita akan menanggung beban mental
yang berat kalau-kalau sampai orang yang diper-
kosa nanti membalas dendam. Kedua, hubungan
kita dengan yang diperkosa akan menjadikan se-
buah hubungan pertumpahan darah."
"Ah, apa mungkin nanti keturunanku be-
rani melawanku?" Datuk Raja Beracun mengelak seakan tak yakin dengan segala
ucapan Datuk Begugu. "Tak akan anak berani dengan orang
tua." "Itu menurut pendapat tuan. Tapi perlu tuan ingat, bukankah anak akan
lebih dekat dengan sang ibu?"
Terangguk-angguk kepala Datuk Raja Be-
racun mendengar keterangan pembantunya. Di-
rasakannya segala petuah pembantunya memang
benar adanya. Tapi dirinya juga telah berusaha
sedini mungkin untuk dapat menggugah hati pu-
tri raja Cina, dan nyatanya segalanya mengalami
hasil nihil. Namun bila niatnya untuk memperko-
sa putri raja Cina itu dilakukan, ia juga takut kalau-kalau segala ucapan Begugu
akan menjadi kenyataan. Lama Datuk Raja Beracun terdiam
membisu, angannya melayang pada khayalan un-
tuk dapat menjadikan dirinya orang yang terhor-
mat. Orang yang menurunkan raja-raja di pulau
Andalas. Hatinya bimbang, takut kalau lama ke-
lamaan akan ada orang lain yang berilmu lebih
tinggi darinya dapat merebut putri Nancin Cu.
Apakah tidak mungkin itu terjadi"
"Hem, sungguh aku terlalu penakut. Biar-
lah aku mati nantinya, asalkan margakulah yang
akan menjadikan namaku dihormati. Bukankah
margaku nanti yang menjadi raja" Persetan den-
gan segala balas dendam, bagiku yang utama aku
berhasil mendapatkan anak dari putri Nan yang
kelak akan menjadi raja," gumam hati Datuk Raja Beracun "Baiklah aku pura-pura
menuruti apa yang dikatakan oleh pembantuku."
"Memang benar apa yang kau katakan, Be-
gugu. Kini aku sadar, bahwa semestinya aku tak
boleh melakukan itu. Apakah kau dapat mem-
bantuku mencarikan seorang dukun yang dapat
memikat putri Raja Cina itu, Begugu?" tanyanya kemudian.
Datuk Begugu kembali terdiam hening, pi-
kirannya kini agak tenang. Sebenarnya di hati
Datuk Begugu ada rasa kasihan melihat Nancin
Cu. Putri raja Cina itu begitu mengibakan ha-
tinya. Putri itu setiap hari-harinya hanya mela-
mun dan menangis. Makanan yang dihidangkan
tak pernah disentuhnya, sehingga badannya ku-
rus kering. Pernah Begugu mencoba bertanya ba-
gaimana dengan diri putri tersebut. Jawabannya
sungguh mengejutkan, sang putri memilih lebih
baik mati daripada harus menjadi istri Datuk Ra-
ja Beracun yang jahat dan keji.
"Kenapa, Begugu" Kenapa kau terdiam me-
lamun?" Tersentak Datuk Begugu dari lamunannya,
mana kala mendengar pertanyaan Datuk Raja Be-
racun yang secara tiba-tiba itu. Maka dengan ga-
gap Datuk Begugu menjawab. "Am-ampun, ham-
ba tengah berpikir bagaimana supaya segala-nya
dapat segera terselesaikan. Baiklah, hari ini juga
hamba akan berusaha kembali mencarikan seo-
rang dukun pemikat."
"Hua, ha, ha... Bagus, bagus. Kalau kelak
aku mendapatkan putri tersebut, maka kau akan
aku beri hadiah yang cukup menarik. Kau akan
aku berikan separuh dari kekuasaanku. Dan kau
akan aku jadikan Raja Datuk Begugu, bagaima-
na?" "Terimakasih atas segala yang bakal tuan berikan. Tapi untuk sekarang-
sekarang ini, hamba lebih senang mengabdi pada tuan Datuk yang
terkenal sakti. Jiwa hamba tenang bila bersama
Datuk, sebab tuan Datuk sangat tinggi ilmunya,"
berkata Datuk Begugu dengan nada menyanjung,
menjadikan Datuk Raja Beracun kembali gelak
tawa senang. Saking senangnya sang Datuk,
sampai-sampai ia melupakan apa yang sebenar-
nya harus ia lakukan. Hari itu adalah hari Ming-
gu Manis, kala biasanya Datuk Raja Beracun me-
lakukan meditasi. Namun hari itu ia lupa. Hal ini akan menjadikan dirinya
berkurang ilmu yang
dimiliki. Bila sering melakukan kelalaian tidak
menjalankan nyepi, niscaya kemudaan sang Da-
tuk akan pudar dan akan tampaklah wajahnya
yang asli. Tersentak Datuk Raja Beracun mana
kala mengingat itu, serta merta ia berlari tinggalkan pembantunya yang hanya
terbengong- bengong tak mengerti menuju ke kamar khusus-
nya. Dengan napas memburu dan keringat dingin
bercucuran, Datuk Raja Beracun segera pusatkan
segalanya menuju satu titik temu. Setelah sesaat
hat itu dilakukan, dan keadaan menjadi hening,
terdengar sayup-sayup suara auman dahsyat me-
mecah ruangan gelap itu.
"Auuuummm...."
"Guru, ampunilah kelalaian murid." Geme-taran Datuk Raja Beracun seperti
ketakutan. Wa- jahnya yang tampak biasanya sadis, kini berubah
pucat memutih bagaikan tak berdarah setetes
pun. "Ampunilah kelalaian murid, Guru," Kata-kata itu diulang, dan diulangnya
sampai beberapa
kali. Ketiga kata ulang berulang itu mencapai se-
puluh kali, tampak sebuah bayangan keluar dari
balik dupa. Tubuh itu, jelas nampak sesosok tu-
buh harimau besar dan tinggi, tak lajim dengan
harimau biasa. Tubuh hari mau itu hampir sebe-
sar kerbau, dengan mata lebar dan gigi-giginya
yang menyeringai menakutkan.
"Kenapa kau teledor, Senta! Aku lapar,
Senta! Aku lapar!" terdengar seruan harimau itu dengan mata menyorot merah
marah. Liurnya yang berbau menyengat terasa menusuk hidung,
menjadikan rasa mual. "Kau harus mencarikan
darah untukku, darah perawan."
"Apakah tidak bisa ditunda, Guru?" tanya Datuk Raja Beracun.
"Tidak! Sekarang lakukan!"
"Tapi hari masing siang, Guru?" keluh Datuk Raja Beracun. Namun bagaikan tak mau
per- duli Harimau Iblis itu menggeram, mengeluarkan
aumannya yang melengking dan mendirikan bulu
kuduk. "Jangan kau ingkar, Senta! Ingat perjan-
jian yang telah kita lakukan. Bukankah kau akan
memberikan padaku sebaskom darah bila hari
Minggu Manis" Kenapa kau lalai" Apakah darah-
mu yang akan aku minum, hah!"
"Ampun, Guru. Baiklah, murid akan men-
carikannya. Murid minta, guru untuk bersabar
sesaat." "Aku tunggu sebelum matahari tenggelam,"
ucap harimau itu, sebelum pergi menghilang me-
ninggalkan Datuk Beracun yang kembali tersadar.
Dengan mengatur napasnya sesaat dan mengu-
capkan mantra, Datuk Raja Beracun me-lakukan
pangling ujud, seketika ujud sang Datuk berubah
menjadi harimau hitam legam. Tanpa menunggu-
nunggu lagi, harimau jejadian sang Datuk men-
gaung lalu berkelebat pergi tinggalkan kamar ter-
sebut lewat jendela.
* * * Harimau jejadian Datuk Raja Berbisa terus
menerobos hutan belantara, menuruni lembah
dan melompati sungai bagaikan terbang. Raung-
annya yang kencang, seketika menjadikan bulu
kuduk yang mendengarnya meremang berdiri.
Harimau itu dikenal oleh penduduk dengan se-
butan Datuk Kumbang, yang keluar pada waktu
hari Minggu Manis belaka.
Tengah Datuk Raja Beracun mencari
mangsa yaitu darah gadis, di rumah tepatnya di-
kerangkeng yang digunakan untuk menyekap pu-
tri Nancin Cu seorang lelaki muda datang mene-
mui gadis itu. Bila dilihat dari gerak-geriknya, jelas lelaki muda itu hampir
mirip dengan Datuk
Begugu tangan kanan Datuk Raja Berbisa. Na-
mun kenapa tiba-tiba saja menjadi muda dan
tampan" Lalu siapakah anak muda itu sebenar-
nya" Pemuda itu, tak lain dari Amangkurat sendi-
ri. Sengaja Amangkurat menyamar menjadi Datuk
Begugu agar supaya dirinya dapat menemui putri
Nancin Cu yang dibawa oleh Datuk Raja Berbisa.
Amangkurat tahu betapa ilmu Datuk Raja Berbisa
sangat tinggi, tak mungkin untuk melawannya.
Desas-desus bahwa akan datang di Nusantara
seorang wanita yang kelak melahirkan raja-raja di pulau Andalas memang sudah
tersebar sejak Amangkurat belum menjadi raja Mataram. Hal itu
setelah diketahui olehnya bahwa gadis itu putri
Raja Cina yaitu Nancin Cu, maka Amangkurat
pun segera menyelidikinya. Pantaslah kalau dulu
Amangkurat tak menampakkan diri.
Tersentak kaget Nancin Cu, mana kala me-
lihat siapa adanya lelaki yang mendatanginya.
Wajah lelaki itu sangat mengingatkan Nancin Cu
pada seseorang yang ia kenal. Nancin Cu kerut-
kan kening mencoba mengingat-ingat. Lalu den-
gan nada heran bercampur tak mengerti Nancin
Cu bertanya: "Siapakah kau" Dilihat dari jalanmu, se-
pertinya engkau ini mirip dengan Datuk Begugu.
Apakah kau anaknya?"
Amangkurat atau Datuk Begugu tersenyum
mendengar pertanyaan Nancin Cu. Amangkurat
perlahan makin mendekat, lalu dengan segera ia
pun membuka pintu kerangkeng setelah terlebih
dahulu mengawasi sekelilingnya. Dengan senyum
mengembang di bibir Amangkurat berkata pelan
setengah berbisik.
"Kau masih ingat aku, Nona Nan?"
"Hai, kau mengenal namaku?" desis Nancin Cu kaget. "Bukankah kau... kau," Nancin
Cu tak dapat meneruskan kata-katanya. Seketika hatinya berdegup kencang. Walau
matanya dapat di-
kibuli dengan topeng tua penutup wajah yang tiap
hari dipakai Amangkurat, namun gerak gerik dan
tutur kata Amangkurat jelas melekat dalam inga-
tannya. Kembali Nancin Cu mengingat-ingat keja-
dian di negerinya sana, mana kala untuk per-
tama kalinya Amangkurat memperkenalkan diri.
Suara Datuk Begugu memang persis dengan sua-
ra Amangkurat. "Apakah Amangkurat... Ah, tidak.
Walau mataku dapat kau dustai, namun kata ha-
tiku tidak, Amangkurat. Kau adalah Amangkurat,
ya Amangkurat yang aku cintai," desis hatinya berbunga. Tak terasa air matanya
meleleh, menjadikan Datuk Begugu atau Amangkurat seketika
tak tahan dengan segera membelai pipi kuning
langsat itu. Hal ini menjadikan Nancin Cu terge-
tar, ia merasa tak ada perbedaan dengan apa
yang pernah ia alami mana kala kejadian serupa
di negerinya. Dengan terisak dan kata terbata
Nancin Cu mendesah. "Amangkurat, kaukah ini?"
Amangkurat hanya dapat mengangguk
tanpa dapat berkata apa-apa. Hatinya trenyuh
berbaur dengan rasa iba, melihat air mata mele-
leh di pipi sang kekasih. Dengan lembut, diusap-
nya air mata itu menggunakan telunjuknya.
"Kenapa kau tak menjemputku, Koko
Amangkurat" Kenapa?" desak Nancin Cu ingin
tahu apa sebabnya Amangkurat tak menjemput
kedatangan mereka. "Apakah memang kau senga-
ja bersekongkol dengan orang-orang itu?"
Ditanya begitu rupa, menjadikan Amang-
kurat susah untuk berkata-kata. Dihelanya napas


Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang-panjang, lalu dengan suara berat lirih setengah berbisik Amangkurat pun
berkata: "Nona Nan, memang aku sengaja memerintahkan pada
seluruh teman-temanku untuk pura-pura menye-
rangmu. Tapi perlu kau ketahui, bahwa panglima
perangmu yang mati itu adalah mata-mata Datuk
Raja Berbisa yang disuruh menjemputku dari ne-
geri Cina."
Terbelalak seketika mata Nancin Cu kaget,
mana kala mendengar penuturan Amangkurat. Ia
tak menyangka, kalau ternyata kehadirannya di
pulau Jawa telah dikawal oleh seorang mata-mata
musuh. Walaupun akhirnya dirinya terperangkap
oleh Datuk Raja Berbisa, namun ia agak tenang
sedikit karena ternyata segala tindakan orang-
orang Mataram ada benarnya juga. Bayangkan
kalau tidak terjadi begitu, niscaya sudah sejak
awal dirinya terkena tipu muslihat Ranesa. Na-
mun bagaimana pun Nancin Cu tak mau segera
meyakini apa yang dikatakan oleh Amangkurat.
"Ah, mana mungkin" Bukankah ayahanda
telah mengambilnya dengan bayaran yang mahal
serta seleksi yang ketat?" tanya Nancin Cu seakan tak yakin. "Bagaimana mungkin
hal itu dapat terjadi?" Amangkurat tersenyum, melihat Nancin Cu kini tidak
menangis lagi. Perlahan didekapnya tubuh Nancin Cu erat, menjadikan Nancin Cu
sea- kan tersengal untuk bernapas. Walau dadanya te-
rasa sesak akibat desakan dada Amangkurat, tapi
Nancin Cu tersenyum juga. Dengan agak sedikit
manja diciumnya bibir Amangkurat. Darah
Amangkurat seketika tergetar hebat. Walaupun ia
tahu bahwa orang di hadapannya yang kini
menggurat bibirnya tak lain calon istri, tapi dia kini dalam kandang macan.
Kalau lengah sedikit
niscaya korbannya adalah nyawa.
Amangkurat mencoba bertahan dari amu-
kan badai yang menerjan-nerjang di lubuk ha-
tinya, namun ternyata badai itu lebih besar dan
lebih kuat menghantam. Tanpa ayal lagi, gelom-
bang nafsu yang dilancarkan putri Nancin Cu se-
ketika membobol benteng hati Amangkurat. Per-
lahan namun pasti, Amangkurat membimbing tu-
buh Nancin Cu ke luar dari ruang kerangkeng.
Tubuh putih mulus itu kini tak berbenang sehelai
pun, telanjang membugil. Sekejap saja, kedua
orang yang dilanda badai birahi itu akhirnya ter-
lelap dalam hening dan lenguhan-lenguhan pan-
jang yang mendayu. * * *
Betapa murkanya Datuk Raja Berbisa, ma-
na kala melihat apa yang telah kedua orang itu
perbuat. Walau keduanya telah mengenakan pa-
kaian masing-masing, namun Datuk Raja Berbisa
dapat menduga apa yang keduanya lakukan. Dari
keringatnya, jelas mereka habis melakukan apa
yang seharusnya tak perlu terjadi. Sang Datuk
yang saat itu membawa korban seorang gadis
dengan tubuh terkoyak-koyak matanya meman-
dang penuh hawa membunuh pada keduanya.
Sesaat Datuk Raja Beracun menggeram marah,
mimik mukanya menandakan kekesalannya. Da-
rah Datuk Raja Beracun sudah tak terbendung,
seakan hendak muncrat ke luar. Tapi seketika ia
ingat akan gurunya, serta merta dengan terlebih
dahulu membentak Datuk Raja Beracun pergi.
"Hem, aku tengah ada urusan dengan
guru. Kalau tidak, maka kalian akan aku cabik-
cabik seperti tubuh gadis ini!" geramnya marah, dengan tangan masih menyeret
tubuh gadis yang
koyak-koyak. "Tapi nanti pun akan kalian alami hal demikian!"
Habis berkata begitu Datuk Raja Beracun
segera kelebat pergi menuju ke ruang pemujaan.
Dicobanya untuk tenang melakukan meditasi
namun hatinya selalu gelisah dan bertanya-tanya
tentang siapa sebenarnya orang yang mengaku-
aku tangan kanannya.
"Memang aku mengenalnya baru beberapa
bulan belakangan ini. Dia mengaku bernama Da-
tuk Begugu. Hem, apakah kiranya dia juga mem-
punyai maksud sepertiku" Ah, aku telah kedulu-
an. Aku telah keduluan olehnya. Jadi aku tak
akan menjadi ayah dari raja-raja yang akan me-
mimpin pulau Andalas. Aku akan membunuh me-
reka. Bedebah! Mereka seolah-olah saling menyin-
tai. Datuk Begugu bajingan! Aku bunuh engkau!"
Hati Datuk Raja Beracun gundah gulana. Kesal,
marah, merasa ditipu mentah-mentah oleh orang
yang selama ini dijadikan tangan kanannya. Ka-
rena pikirannya tak tenang, menjadikan Datuk
Raja Beracun tak dapat segera menyambung kon-
tak batinnya dengan sang Guru. Kembali dico-
banya untuk tenang, namun bayangan kebencian
dan keputusasaan lebih melanda emosinya. Tiba-
tiba dari arah depannya yang berdiri dupa me-
lompat ke luar seekor harimau. Harimau itu yang
tak lain Siluman guru sang Datuk menggeram.
"Kenapa kau tidak segera menyajikan da-
rah itu padaku" Apakah kau belum dapat?" tanya Siluman Harimau. Matanya bersinar
menyala, sepertinya memendam api, entah api apa.
"Ampun, Guru. Semuanya sudah saya se-
diakan." "Mana...?" tanya Siluman Harimau dengan mimik muka bersinar terang, tak kelabu
seperti semula. Datuk Raja Beracun dengan menunduk
hormat segera tunjukkan darah yang mengem-
bang di dalam baskom. Dengan tertawa bergelak-
gelak layaknya manusia, Siluman Harimau itu
tanpa berkata lagi segera meminum darah itu
dengan lahapnya hingga dalam waktu singkat da-
rah itu ludes terminum semua. Siluman Harimau
itu sesaat terduduk kekenyangan, wajahnya tak
seganas tadi. Kini wajah itu bukanlah wajah ha-
rimau yang menakutkan, tapi berubah perlahan-
lahan menjadi wajah manusia. Segera sang Datuk
menyembah. "Sudah siapkah kau menerima penamba-
han ilmu?"
"Sudah, Guru," jawab Datuk Raja Beracun.
"Tapi nampaknya pikiranmu tak tenang,
kenapa?" tanya Siluman Harimau penuh selidik, menjadikan Datuk Raja Beracun
seketika terjengah menundukkan kepala. "Hem, kau seperti
orang yang patah semangat. Apa pula yang ten-
gah kau pikirkan" Adakah masalah yang sukar
untuk kau pecahkan" Atau barangkali ada mu-
suh yang ilmunya melebihi ilmu yang kau miliki?"
Setelah lama terdiam dengan tundukkan
muka, Datuk Raja Beracun akhirnya ceritakan
apa yang sebenarnya dipikirkan. Ia memikirkan
tentang kegagalannya untuk menjadi ayah dari
calon raja-raja yang kelak menguasai pulau Anda-
las, sesuai dengan wangsit yang dia terima.
"Muridku, memang wangsit itu telah me-
nyebar. Tidak kau saja yang menerimanya, na-
mun hampir seluruh kerajaan di Nusantara ini
mendengarnya. Hanya satu orang yang beruntung
mendapatkan hati gadis itu, karena memang ke-
duanya telah sekian lama bertemu."
"Siapakah orangnya, Guru?" tanya Datuk
Raja Beracun setelah tenang kembali dari keter-
kejutannya. Dalam hatinya seketika membersit
sumpah serapah pada Datuk Begugu tangan ka-
nannya yang telah mendapatkan gadis itu. "Begugu bajingan! Aku akan
membunuhnya!"
"Kau sudah tekad hendak membunuh pe-
muda itu?"
"Ah, ternyata guru telah mengetahui kein-
ginanku. Begitulah, Guru," jawab Datuk Raja Beracun setengah kaget, menjadikan
Siluman Hari- mau terkekeh gelengkan kepala.
"Memang itu yang harus kau lakukan se-
bagai pengikutku. Ketahuilah olehmu, bahwa pe-
muda itu tak lain dari pada turunan Penguasa
Laut Selatan. Dia adalah Amangkurat, raja dari
Mataram." "Apa...?" tersentak Datuk Raja Beracun kaget, manakala mengetahui siapa adanya
orang yang selama ini dikenalnya sebagai Datuk Begu-
gu, "Jadi... jadi dia seorang Raja?"
"Ya, kenapa" Kau takut?"
"Tidak, Guru."
"Bagus! Memang kau tak perlu takut pada-
nya. Di sini, Penguasa Laut Selatan tak akan da-
pat membantunya. Mumpung masih di sini, ber-
tindaklah. Sebagai muridku, kau harus berani
pantang untuk mengenal takut. Percayalah, kau
tak akan mati sekarang. Sekarang ini tak ada seo-
rang tokoh silat mana pun yang mampu menga-
lahkan dirimu, kecuali dia turunan siluman juga."
"Baiklah, Guru. Aku hendak membunuh
Amangkurat. Akan aku minum darahnya sebagai
tanda rasa kekecewaanku."
"Hem, bagus. Nah, lakukan apa yang men-
jadi tugasmu. Hua, ha, ha..." bergelak tawa Siluman Harimau mendengar
kesanggupan muridnya.
Maka setelah menerima sembah dari sang murid,
Siluman Harimau itu pun berkelebat pergi ke
alamnya kembali.
Asap dupa masih mengepul, menjadikan
ruangan itu seketika terpenuhi oleh gulungan-
gulungan asap. Bersamaan makin menebalnya
asap dupa, seketika tubuh Datuk Raja Beracun
berubah perlahan menjadi seekor harimau yang
besar. Setelah mengaum sesaat dengan auman
yang memekakkan telinga, Siluman Harimau itu
berkelebat menerobos dari jendela keluar menem-
bus sore hari yang agak gelap meremang.
* * * Lama harimau jejadian itu menunggu di
depan pintu rumahnya, namun ternyata orang
yang ditunggu-tunggunya belum juga muncul.
Tengah Datuk Raja Beracun yang telah menjelma
menjadi harimau jejadian itu menunggu kedatan-
gan kedua orang yang ada di dalam rumahnya,
terdengar suara Siluman Harimau berkata.
"Muridku, dua orang yang kau tunggu su-
dah tak ada di tempatmu, mereka telah melarikan
diri sebelum kau keluar. Kini mereka tengah me-
nuju ke arah Selatan. Mereka bermaksud menuju
ke pulau Jawa kembali."
Mendengar ucapan gurunya, tanpa banyak
kata lagi Datuk Raja Beracun yang telah menjadi
harimau segera berkelebat menuju ke arah Sela-
tan. Larinya bagaikan kilat, seakan terbang. Pikirannya telah dirasuki hawa
kemarahan dan pem-
bunuhan. Kekecewaan yang telah mengerak di
hatinya, seolah-olah menuntutnya untuk menghi-
sap darah Amangkurat.
"Tak akan aku tenang bila belum menghi-
sap darah Amangkurat sialan itu!"
Matanya yang tajam seketika memancar-
kan sinar bagaikan menerangi langkah larinya.
Tak lama harimau jejadian itu berlari, seketika
matanya memandang ke depan dengan beringas.
Tampak di depannya agak jauh berlari-lari dua
orang pemuda dan gadis.
"Hem, itu dia..." Harimau jejadian itu makin mempercepat langkahnya. Angin
desiran ke- lebatan larinya, menjadikan topan puting beliung
yang mampu menggoyangkan pepohonan. Hal itu
terasa oleh Amangkurat, yang seketika itu pula
palingkan muka ke belakang. Sesaat Amangkurat
tersentak kaget, darahnya seketika mendesir.
Amangkurat tahu kalau harimau itu tak lain dari
pada Datuk Raja Beracun.
"Hem, rupanya dia telah mengejar kami.
Aku harus menghadapinya. Mati atau pun hidup,
aku terpaksa menghadapi harimau itu," gumam
hati Amangkurat.
"Nancin Cu, kau menyingkirlah dulu."
"Kenapa, Kakang?"
"Kau pergilah lebih dahulu. Bila aku tak
menyusulmu, itu berarti aku telah binasa di tan-
gan Datuk Raja Beracun itu."
Terkesiap Nancin Cu, mana kala melihat
seekor harimau besar berlari kencang menuju ke
arah mereka. Mata harimau itu sepertinya me-
nyorotkan sinar merah membara bagaikan bola
api, menghunjam pada mata Nancin Cu.
"Menyingkirlah, Nancin."
"Tapi, kakang," Nancin Cu bermaksud me-
nolak. Hatinya bimbang dan ragu untuk mening-
galkan Amangkurat. Ia takut kalau-kalau Datuk
Iblis itu akan menjadikan tubuh Amangkurat ter-
koyak-koyak seperti gadis yang dibawanya.
"Aku katakan, menyingkirlah. Demi dirimu,
biarkan aku menghadapi iblis itu sendirian. Seda-
patnyalah kau berlari menyelamatkan dirimu dan
anak kita nantinya," perintah Amangkurat. Sesaat Nancin Cu terdiam memandang
lekat pada Amangkurat seakan penuh kebimbangan.
Amangkurat yang mengerti, segera dengan lem-
but kecup kening kekasihnya seraya berbisik


Pedang Siluman Darah 19 Rahasia Suling Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lembut. "Pergilah, jangan sampai kita berdua mati.
Ingat, menurut wangsit kaulah orang yang akan
menurunkan anak raja-raja nantinya. Aku hanya
titip anakku yang telah kutanam di rahimmu."
"Dengan senang hati, Kanda."
"Nah, berangkatlah pergi. Aku hanya ber-
do'a semoga Datuk Iblis itu tak akan mencela-
kaimu." Setelah sesaat kembali memandang pada
Amangkurat, dengan hati setengah ragu Nancin
Cu pun berangkat pergi meninggalkan kekasih-
nya yang kini masih berdiri tegak menanti keda-
tangan Datuk Raja Beracun. Mata Amangkurat
tajam menantang sorot mata harimau jejadian
itu. Mulutnya terkunci rapat, sepertinya tak ingin mengucap kata sepatahpun.
Mana kala harimau
jejadian itu makin mendekat, Amangkurat segera
melangkah mendekati.
"Amangkurat, hari ini juga riwayatmu akan
habis!" seru Datuk Raja Beracun marah masih
dalam bentuk harimau. "Kau telah menggagalkan segala cita-citaku. Kau telah
menipuku mentah-mentah dengan pura-pura jadi pembantuku.
Hem, licik kau Amangkurat!"
"Datuk Raja Beracun, kau memang tak
berhak menjadi seorang ayah dari raja-raja yang
kelak memimpin di pulau Andalas ini, kenapa kau
mesti marah dan prustasi?" jawab Amangkurat
tenang. "Ketahuilah olehmu, bahwa Nancin Cu
memang sudah digariskan oleh Yang Wenang un-
tukku bukan untukmu."
"Hem... Jangan banyak omong. Aku tak
akan tenang bila belum menghisap darahmu dan
darah kekasihmu itu, hiat...!"
Rupanya kemarahan Datuk Raja Beracun
tak terbendung lagi, sehingga tanpa banyak kata
lagi dia segera berkelebat menyerang Amangku-
rat. Sebagai salah seorang dari Panca Leluhur
Sakti, tidak menjadikan Amangkurat gentar di-
serang begitu rupa. Jiwa seorang pendekarnya
seperti tersenyum. Memang senyum bukan baha-
gia, namun senyum seakan dia dibangkitkan lagi
dari ketidurannya. Memang sejak menjadi raja,
Amangkurat telah melupakan dunia persilatan.
Amangkurat lebih banyak berkecimpung dalam
dunia ketatanegaraan. Walaupun demikian, bu-
kan berarti Amangkurat hilang segalanya. Il-
munya sebagai ketua Panca Leluhur Sakti bu-
kanlah ilmu yang ringan. Namun seperti kata pe-
patah, rejeki, maut, jodoh dan nasib bukan ma-
nusia yang menentukannya. Seperti juga perta-
rungan Amangkurat melawan Datuk Raja Berbi-
sa. Walau sesakti apapun Amangkurat, tapi kalau
nasibnya sedang jelek maka bukan kemenangan
yang ia peroleh. Kelicikan Datuk Raja Beracun
rupanya memang tersohor. Maka dengan kelici-
kan itu pula, Datuk Raja Beracun menjatuhkan
Amangkurat yang merupakan salah seorang to-
koh Panca Leluhur Sakti. Tubuh Amangkurat se-
ketika melesat, jatuh ke bawah jurang mana kala
hendak menghindari serangan jarum-jarum bera-
cun Kecubung Ungu yang di-lontarkan Datuk.
Datuk Raja Beracun sejenak terkesima me-
lihat musuhnya yang hendak dihisap darahnya
tiba-tiba tanpa ia duga melayang ke bawah ju-
rang. Gagallah cita-citanya untuk menghisap da-
rah Amangkurat. Maka sebagai pelampiasan ke-
marahannya, ditendangnya batu besar yang seke-
tika menggelinding jatuh ke bawah jurang de-
ngan harapan tubuh Amangkurat tertindih batu
tersebut. Setelah sesaat memaku di tempatnya, Da-
tuk Raja Beracun seketika teringat dengan Putri
Nancin Cu yang tadi berlari meninggalkan
Amangkurat. Segera Datuk Raja Beracun membu-
ru pergi mencarinya. Namun sungguh mem-buat
sang Datuk terheran-heran, sebab tiba-tiba Nan-
cin Cu telah lenyap menghilang. Merasa tak per-
caya dengan apa yang dilihatnya, Datuk Raja
Berbisa dengan penuh kekecewaan hancurkan
batu-batuan yang menutupi tempat-tempat yang
dianggapnya dapat untuk bersembunyi. Setelah
tak mendapatkan hasil, Datuk Raja Beracun
menggeram penuh kemarahan dan kekecewaan.
Suaranya seketika melengking bagaikan jeritan
histeris.... Di manakah Nancin Cu" Bagaimana pula
dengan nasib Amangkurat" Nah, ikuti terus kisah
ini pada bab selanjutnya.
5 DUA PULUH TAHUN setelah kejadian itu,
di sebuah lereng gunung Kerinci nampak seorang
pemuda bertubuh tegap dan dada berisi berte-
riak-teriak dengan tubuh sekali-kali berkelebat-
kelebat laksana burung elang. Gerakan pemuda
itu gesit, sekali-kali mencelat ke udara. Lalu menukik ke bawah dengan
lengkingan memekikkan.
Lengkingannya saja mampu meruntuhkan beba-
tuan, apa lagi tenaga anak muda tersebut, mung-
kin melebihi seribu ekor kuda jantan. Dan...
"Hiat...!"
"Bletar! Bletar! Bletar!"
"Duar, duar, duar!"
Kisah Si Pedang Kilat 1 Kampung Setan Karya Khulung Dewa Cadas Pangeran 1
^