Pencarian

Sengketa Sepasang Pendekar 1

Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Sepasang Pendekar Bagian 1


SENGKETA SEPASANG
PENDEKAR oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode :
Sengketa Sepasang Pendekar
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Angin bertiup begitu kencang menyebarkan udara dingin yang menusuk hingga ke
tulang. Malam ini langit begitu pekat sekali, tanpa terlihat setitik pun cahaya
bintang maupun rembulan. Malam yang membuat semua orang di Desa Harugating tidak
ada yang mau keluar dari dalam rumahnya. Membuat desa yang cukup besar dan padat
penduduknya itu jadi sunyi senyap, bagaikan sebuah desa mati yang ditinggalkan
penghuninya. Hanya kerlip cahaya lampu pelita di tiap beranda depan rumah saja,
yang menandakan desa itu masih berpenduduk.
Dalam kesunyian yang begitu mencekam, terlihat seseorang berjalan perlahan-lahan
memasuki Desa Harugaling. Sulit untuk mengenali wajahnya. Karena dia mengenakan
tudung dari bambu yang sudah usang dan cukup besar hingga menutupi hampir
seluruh wajahnya. Hanya pada bagian bibir dan dagu saja yang terlihat.
Pakaian yang dikenakan cukup ketat, berwarna hitam, hingga membuatnya hampir
tersamar di dalam kegelapan malam yang sangat pekat ini. Sebatang tongkat dari
bambu berwarna kuning, diayun-ayunkan di tangan kanannya. Sesekali dia
mengecutkan tongkatnya ke samping seperti ada sesuatu yang mengganggu langkah
kakinya dari samping
kanannya. Dan setelah dia berada cukup dalam di Desa Harugaling ini, ayunan
langkah kakinya terhenti.
Beberapa saat dia berdiri tegak dengan kepala sedikit
terangkat. Hingga terlihat sebentuk hidung yang kecil, namun sangat indah
mencuat ke atas.
"Hm...."
Sedikit dia menggumam kecil sambil meng-
gerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, seakan dia hendak merayapi sekitarnya dari
balik tudung bambu yang menutupi hampir seluruh wajahnya ini. Tidak seorang pun
yang terlihat di sekitarnya. Hanya rumah-rumah saja yang terdiam membisu.
"Sunyi sekali desa ini. Seperti tengah terjadi sesuatu...," gumamnya lagi dengan
suara perlahan menduga-duga.
Beberapa saat dia masih terdiam memandangi sekelilingnya yang sunyi seperti
tidak berpenghuni ini.
Dari suaranya, sudah bisa dipastikan kalau dia seorang laki-laki. Dan ketika
kakinya baru saja terayun hendak melangkah, tiba-tiba saja telinganya yang tajam
mendengar suatu suara. Dan belum juga dia bisa mengetahui suara apa yang
didengarnya barusan, mendadak saja...
Wusss! "Heh..."! Hup!"
Untung dia cepat melompat ke atas, hingga
terjangan sebatang anak panah yang meluruk cepat bagai kilat itu bisa dihindari.
Dan anak panah itu lewat di bawah telapak kakinya, langsung menancap pada daun
pintu sebuah rumah yang berada tepat di belakang laki-laki berhidung bambu ini.
Dengan gerakan yang sangat indah sekali, dia menjejakkan kakinya di tanah tanpa
menimbulkan suara sedikit pun juga. Tepat pada saat itu, terlihat sekitar
sepuluh orang laki-laki berusia muda berlompatan dari balik dinding dan atap
rumah yang ada di sekitar laki-laki berhidung bambu itu berada.
Sebentar saja dia sudah terkepung tidak lebih dari sepuluh orang yang semuanya
sudah menghunus golok di tangan kanan.
Belum juga lama laki-laki berhidung bambu itu terkurung, muncul seorang laki-
laki berusia lanjut, mengenakan baju jubah putih panjang yang bersih, dengan
sebatang tongkat kayu tergenggam di tangan kanan menyangga tubuhnya yang sudah
kelihatan agak membungkuk.
Walaupun usianya sudah lanjut dan rambutnya sudah memutih semua, tapi dari
caranya berjalan begitu ringan, sudah bisa dipastikan kalau orang tua ini
memiliki kepandaian yang tidak bisa dipandang dengan sebelah bola mata. Dia baru
berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan
laki-laki berhidung bambu ini.
"Siapa kau, Kisanak" Ada perlu apa kau datang malam-malam ke desa ini?" tegur
orang tua berjubah putih itu langsung.
"Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini, Ki," sahut laki-
laki bertudung bambu itu kalem. "Apakah kedatanganku mengganggu ketenangan
desamu ini...?"
"Lalu apa tujuanmu datang ke sini?" tanya orang tua berjubah putih itu lagi,
masih dengan nada suara yang dingin dan datar menggetarkan hati.
"Hanya sekadar singgah."
"Anak muda, bukannya aku tidak menginginkan kau berada di desa ini. Tapi untuk
kebaikanmu sendiri, sebaiknya kau segera tinggalkan desa ini sekarang juga,"
kata orang tua berjubah putih itu tegas.
Kalau saja tidak terlindung oleh tudung bambu yang berukuran cukup lebar itu,
pasti sudah terlihat
kening laki-laki bertudung bambu ini berkemyit mendengar kata-kata yang tegas
dan jelas bernada mengusir itu. Dan untuk beberapa saat mereka semua jadi
terdiam. Sementara orang tua berjubah putih yang tampaknya mempunyai pengaruh di
Desa Harugaling ini memandangi orang bertudung itu dengan sinar mata yang sangat
tajam menusuk. Tapi yang dipandangi seperti tidak peduli. Seakan-akan tidak ada
sedikit pun bahaya mengancam di
sekitarnya. Padahal semua orang yang mengepungnya ini sudah siap menyerang
dengan senjata terhunus di tangan masing-masing.
"Kenapa kau diam..." Cepatlah kau tinggalkan desa ini sebelum terjadi sesuatu
yang merugikan pada dirimu!" sentak orang tua berjubah putih agak lantang
suaranya. "Tidak mungkin aku kembali lagi, Ki. Aku harus melalui desa ini," sahut orang
bertudung bambu itu mantap.
"Hhh! Bandel juga kau rupanya. Apa yang kau andalkan, heh...?"
"Hm...."
Orang bertudung bambu itu hanya menggumam
saja sedikit Jelas dia sudah tahu kalau laki-laki tua berjubah putih ini sudah
gusar dengan sikapnya yang tetap tidak mau meninggalkan Desa Harugaling ini.
Sementara anak-anak muda yang mengepungnya sudah kelihatan tidak sabaran lagi.
"Maaf, aku harus melanjutkan perjalananku," ucap orang bertudung bambu itu.
Dan belum lagi kata-katanya menghilang dari pendengaran, dia sudah melesat
dengan cepat sekali ke atas. Tapi pada saat yang bersamaan, laki-laki tua
berjubah putih sudah melesat mengejarnya sambil
membabatkan tongkat kayunya dengan kecepatan bagai kilat, disertai pengerahan
tenaga dalam yang tinggi.
Wut! "Upts...!"
Kibasan tongkat kayu itu berhasil dihindari dengan memutar tubuhnya ke belakang.
Dan orang berhidung bambu ini kembali menjejakkan kakinya di tanah.
Tepat bersamaan dengan mendaratnya orang tua berjubah putih.
*** Perlahan orang bertudung bambu melepaskan
tudung yang menutupi hampir seluruh wajahnya itu.
Dan dalam siraman cahaya pelita yang redup dari rumah penduduk di sekitarnya,
terlihat seraut wajah tampan, dengan kumis tipis menghiasi bawah hidungnya. Dia
langsung menatap orang tua berjubah putih di depannya dengan sinar mata yang
teramat tajam sekali. Seakan dia tidak senang perjalanannya terhambat seperti
ini. "Ki, aku Klabang Ireng tidak suka diperlakukan seperti ini. Aku hanya sekadar
lewat, tapi kenapa kau seperti memusuhiku..." Apa maumu sebenarnya, Ki...?"
terdengar agak lantang suara anak muda yang mengenalkan dirinya bernama Klabang
Ireng ini. "Kalau kau mau menuruti kata-kataku, kau tidak akan mendapatkan kesulitan di
sini. Anak Muda.
Siapa pun kau, desa ini tertutup bagi pendatang.
Walaupun hanya sekadar lewat," sahut orang tua berjubah putih itu tegas.
"Kau kepala desa ini?" tanya Klabang Ireng agak sinis nada suaranya.
"Benar. Aku Ki Jamparut, Kepala Desa Harugaling ini. Dan aku yang berkuasa di
desa ini. Jadi kau tidak perlu membuat ribut di sini," sahut orang tua berjubah
putih yang ternyata Kepala Desa Harugaling, dan bernama Ki Jamparut ini tegas.
"Kenapa kau tutup desa ini?" tanya Klabang Ireng ingin tahu.
"Semua orang yang datang ke sini hanya membuat susah penduduk saja. Dan aku
berhak untuk menutup desa ini dari pendatang mana pun juga, termasuk kau...!"
"Baik, aku akan pergi dari sini. Tapi aku tidak mau kembali ke jalan semula,"
kata Klabang Ireng tegas.
"Kau tidak bisa melewati desa ini sebelum
melangkahi mayatku, Anak Muda!"
"Hm...."
Lagi-lagi Klabang Ireng menggumam perlahan.
Jelas sekali dari raut wajahnya kalau dia sudah tidak sabar lagi meladeni sikap
Kepala Desa Harugaling ini.
Dan gerahamnya sudah bergemeletuk menahan
kegeraman. Sementara Ki Jamparut sendiri sudah memberikan isyarat pada anak-anak
muda di sekelilingnya untuk siap menerima perintah.
"Maaf, aku tidak punya waktu berdebat
denganmu, Ki," ujar Klabang Ireng dingin.
Dan setelah dia berkata begitu, langsung saja dia melesat dengan cepat, berusaha
melewati hadangan Ki Jamparut di depannya. Tapi pada saat yang bersamaan, Ki
Jamparut sudah menggeser kakinya sedikit ke kiri sambil mengecutkan tongkat
kayunya ke depan, dengan disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
Bet! "Haiiit..!"
Tanpa diduga sama sekali, Klabang Ireng
melentingkan tubuhnya ke atas, hingga tongkat Ki Jamparut hanya lewat di bawah
kedua telapak kakinya. Dan langsung dia meluruk deras melewati kepala orang tua
itu. "Hadang dia...!" seru Ki Jamparut memberi
perintah. "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Setan! Hih...!"
Klabang Ireng benar-benar sudah tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Begitu
dua orang anak muda menyerangnya dengan berlompatan sambil
mengebutkan goloknya, dengan cepat sekali dia memutar tubuhnya di udara, lalu
bagaikan kilat tangan kanannya mengibas dua kali.
Dan saat itu juga....
Siap! Wusss! "Akh!"
"Aaa...!"
Dua kali jeritan seketika terdengar bersamaan dengan terlihatnya dua buah benda
berwarna hitam pekat yang langsung menghantam dada dua orang pemuda yang
menyerang Klabang Ireng. Dan kedua anak muda itu langsung terperai ke belakang.
Lalu keras sekali tubuh mereka jatuh menghantam tanah.
Tampak dada mereka berlubang seperti tertembus senjata hingga ke punggungnya.
Dan darah seketika memuncrat keluar dengan deras.
Hanya beberapa saat saja dua orang anak muda itu menggeliat sambil mengerang
meregang nyawa.
Kemudian mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati! Seketika
nyawa mereka lenyap dari
tubuhnya. "Keparat..! Kau bunuh muridku! Kau harus
mampus, Setan Keparat! Hiyaaat.!"
Sambil membentak nyaring, Ki Jamparut langsung saja melompat dengan kecepatan
bagai kilat menyerang anak muda yang kini sudah melepaskan tudung bambunya itu.
Dan tepat di saat Ki Jamparut mengebutkan tongkatnya ke arah kepala, Klabang
Ireng mengibaskan tangan kirinya yang memegang tudung bambu.
Plak! "Ikh..."!"
Ki Jamparut jadi terpekik kaget, begitu tongkatnya membentur tudung bambu anak
muda itu. Dia merasakan seperti tersengat ribuan lebah berbisa tangannya. Cepat dia melompat
ke belakang sambil memutar tubuhnya beberapa kali. Dan begitu manis sekali kedua
kakinya kembali menjejak tanah.
Sementara Klabang Ireng berdiri tegak sambil menaruh tudung bambunya di dada,
dengan tangan kiri memeganginya.
"Kau punya isi juga rupanya, heh..." Bagus! Aku tidak akan sungkan-sungkan lagi
menghadapimu!"
desis Ki Jamparut dingin menggetarkan.
"Hm...."
Tapi Klabang Ireng hanya menggumam saja sedikit Dan dia tetap berdiri tegak
seperti menanti serangan Kepala Desa Harugaling itu datang. Walaupun
perhatiannya tertuju pada Ki Jamparut, tapi dia juga memperhatikan orang-orang
yang ada di sekitarnya.
Dan tidak jauh di depannya, menggeletak dua orang yang berlubang dadanya,
terkena senjata rahasia yang dilepaskan Klabang Ireng tadi.
"Kau harus bayar nyawa muridku, Setan Keparat!
Hiyaaat..!"
Sambil berteriak lantang menggelepar, Ki
Jamparut melompat dengan kecepatan bagai kilat menerjang Klabang Ireng. Dan
tongkatnya langsung dikebutkan beberapa kali, mencecar bagian-bagian tubuh
lawannya yang mematikan.
"Hup! Yeaaah...!"
Tapi memang Klabang Ireng bukanlah anak muda sembarangan. Walaupun dia diserang
begitu gencar dan dengan kecepatan yang tinggi, tapi sedikit pun tidak tersirat
kegentaran di wajahnya. Meskipun dia menyadari dirinya sudah terkepung dengan
rapat Klabang Ireng berjumpalitan menghindari setiap serangan yang dilancarkan
Ki Jamparut. *** Beberapa kali sabetan tongkat Ki Jamparut
berhasil ditangkis Klabang Ireng dengan tudung bambunya. Dan setiap kali terjadi
benturan, Ki Jamparut selalu merasakan tangannya bergetar. Dan tulang-tulangnya
jadi terasa nyeri seperti mau rontok.
Tapi Ki Jamparut tidak menghiraukan lagi. Dia terus menyerang dengan jurus-jurus
tingkat tinggi yang begitu cepat dan sangat berbahaya.
Dan dalam waktu tidak beberapa lama saja, Ki Jamparut sudah menghabiskan lebih
dari lima jurus.
Tapi belum satu pun serangannya yang berhasil masuk ke sasaran. Bahkan sudah
beberapa kali pula dia harus berjumpalitan menghindari serangan balasan yang
dilancarkan lawannya ini. Walaupun senjatanya hanya berupa tudung bambu, tapi
Klabang Ireng sama sekali tidak kelihatan terdesak.
Bahkan setelah beberapa jurus lagi berlalu, terlihat Ki
Jamparut tidak sanggup lagi melakukan serangan.
Bahkan kini dia harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang dilancarkan
Klabang Ireng. "Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Klabang Ireng berteriak keras menggelegar. Dan pada saat itu juga
dia melentingkan tubuhnya sedikit ke atas. Lalu bagaikan kilat kaki kanannya
menghentak ke depan. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Klabang Ireng,
sehingga Ki Jamparut tidak dapat lagi menghidar.
Terlebih tubuhnya dalam keadaan miring, baru saja menghindari serangan pukulan
lawannya ini. Dan....
Diegkh!

Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Sepasang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akh...!"
Ki Jamparut jadi menjerit, begitu terasakan tendangan yang dilancarkan Klabang
Ireng tepat menghantam dadanya. Dan membuatnya terpental sejauh dua batang
tombak ke belakang.
Bruk! Keras sekali tubuh orang tua itu jatuh
menghantam tanah. Sementara Klabang Ireng sudah kembali berdiri tegak pada kedua
kakinya yang kokoh.
"Seraaang...! Hoek!"
Ki Jamparut memutahkan darah kental agak
kehitaman begitu berteriak memberi perintah pada murid-muridnya yang berjumlah
cukup banyak ini.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, anak-anak muda yang memang sejak tadi sudah
tidak sabaran itu langsung saja berlompatan menyerang Klabang Ireng dari segala
arah. Namun Klabang Ireng memang bukanlah orang sembarangan. Menghadapi
keroyokan berjumlah banyak seperti ini, dia langsung melentingkan tubuhnya ke
atas. Dan dengan
kecepatan bagai kilat, dia melesat berusaha untuk meninggalkan lawan-lawannya
ini. Tapi belum juga keinginannya terlaksana, Ki Jamparut sudah melemparkan beberapa
batu kerikil yang dipungutnya dari tanah, disertai dengan pengerahan tenaga
dalam yang sudah tinggi
tingkatannya. "Hih!"
"Haiiit..!"
Klabang Ireng terpaksa harus menggagalkan
keinginannya, cepat dia mengecutkan tudung bambunya beberapa kali menangkis
lemparan batu-batu kerikil yang meluruk begitu deras sekali bagai anak panah
mengincar tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Baru saja Klabang Ireng berhasil menangkis semua batu kerikil yang dilontarkan
Ki Jamparut, dua orang anak muda yang sejak tadi mengepungnya berlompatan dengan
cepat sekali sambil membabatkan goloknya bergantian.
"Hup!"
Klabang Ireng cepat meliukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang datang
mengancamnya. Dan begitu berhasil terlepas dari sambaran golok kedua lawannya, dia langsung
saja memutar tubuhnya sambil memberikan dua kali pukulan yang beruntun dengan kecepatan bagai
kilat Begitu cepatnya serangan balasan yang diberikan Klabang Ireng, hingga membuat
dua orang anak murid Ki Jamparut itu tidak dapat lagi menghindarinya. Dan
pukulan yang dilepaskan Klabang
Ireng tepat menghantam dada mereka, hingga membuatnya terpental cukup jauh ke
belakang. Dan hanya sebentar saja mereka menggeliat
Kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi dengan dada menghitam hangus seperti
terbakar. Ki Jamparut jadi tidak dapat lagi menahan
kemarahannya, melihat empat orang muridnya sudah menggeletak tidak bernyawa lagi
hanya dalam waktu begitu singkat
"Hup! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Ki Jamparut kembali melesat dengan kecepatan yang
sangat tinggi sekali menerjang ke arah Klabang Ireng. Dan kembali dia
mengecutkan tongkatnya secara beruntun. Tapi gerakan yang dilakukan Klabang
Ireng memang sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya seperti belut, begitu sulit
untuk dijamah. Walaupun begitu, dia agak kewalahan juga menghadapi serangan Ki
Jamparut kali ini, yang dibantu oleh murid-muridnya. Dan serangan yang datang
kali ini begitu gencar sekali, datang dari segala penjuru mata angin. Membuat
Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari
setiap serangan yang datang tanpa dapat lagi memberikan serangan balasan yang
berarti. "Phuih! Bisa terlambat nanti kalau mengurusi mereka terus. Aku harus bisa pergi
dari sini, huh...!"
Klabang Ireng jadi mendengus geram sendiri di dalam hati. Dan dia terus mencari
celah untuk bisa meloloskan diri. Baru saja dia berpikir begitu, kesempatan
langsung datang. Klabang Ireng tidak menyia-nyiakan begitu saja.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, dia langsung
melesat cepat menerobos daerah yang dianggapnya lemah. Saat itu juga tudung
bambunya dikibaskan.
Wut! Dua orang murid Ki Jamparut terpaksa harus berlompatan ke belakang, menghindari
terjangan Klabang Ireng. Dan ini memberikan kesempatan lebih besar lagi bagi
Klabang Ireng untuk bisa lolos dari keadaan yang tidak menguntungkan ini. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, dia cepat melesat dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah tinggi tingkatannya.
"Hiyaaa...!"
'Tahan dia...!" seru Ki Jamparut begitu melihat lawannya berhasil membuka
kepungan. Tapi teriakan perintah Ki Jamparut sudah
terlambat sedikit Klabang Ireng sudah berlari dengan kecepatan yang sangat
tinggi sekali, menghindari kepungan anak-anak muda Desa Harugaling. Dan
kesempatan ini tidak dibuang begitu saja. Klabang Ireng terus berlari dengan
kecepatan seperti angin.
Hingga dalam waktu sebentar saja bayangan
tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi. Ki Jamparut jadi kesal melihat
lawannya lolos begitu saja. Dia menghentakkan tongkatnya ke tanah.
"Kalian urus yang mati. Aku akan mengejar iblis keparat itu!" perintah Ki
Jamparut pada anak-anak muda muridnya itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Jamparut langsung melesat, berlari cepat
dengan mengerahkan ilmu meringkan tubuhnya yang sudah tinggi
tingkatannya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap
dari pandangan.
Sementara murid-muridnya membereskan teman-temannya yang tewas.
2 Klabang Ireng terus berlari cepat dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah tinggi tingkatannya, menembus
malam yang begitu pekat, tanpa sedikit pun tersiram cahaya bintang maupun bulan.
Dia bani berhenti berlari setelah dirasakan cukup jauh meninggalkan Desa
Harugaling. Perlahan dia memutar tubuhnya berbalik, memandang ke arah desa yang
masih kelihatan sunyi seperti tidak berpenghuni. Hanya kerlip lampu pelita saja
yang menandakan desa itu masih dihuni penududuknya.
Klabang Ireng baru menyadari kalau dia sekarang berada di lereng sebuah bukit
yang cukup lebat ditumbuhi pepohonan. Dan udara di lereng bukit ini terasa
begitu dingin, membuat tubuhnya bergidik menggigil. Klabang Ireng memakai lagi
tudung bambunya. Hingga wajahnya tampak kembali tertutup tudung bambu yang cukup
lebar ini. Sebentar dia mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Hm..., kalau tidak salah ini yang dinamakan Bukit Sampan," gumam Klabang Ireng
perlahan, bicara pada diri sendiri.
Kembali dia mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tidak ada yang bisa dilihat, di dalam kegelapan yang teramat pekat
ini. Hanya pepohonan saja yang terlihat menghitam. Tapi dari lereng ini, dia
bisa melihat jelas bentuk bukit yang memang mirip sekali dengan sebuah sampan
terbalik. Tidak salah
kalau bukit ini dinamakan Bukit Sampan.
"Aku sudah dekat. Mudah-mudahan saja tidak ada lagi rintangan yang
menghalangiku," gumam Klabang Ireng lagi.
Dia kembali memutar tubuhnya, dan terus
melangkah mendaki lereng bukit ini. Tidak terlalu sulit baginya untuk berjalan
terus di malam hari. Walau sedikit pun tidak ada penerangan yang menuntun
langkahnya. Klabang Ireng terus berjalan menembus pepohonan yang semakin
dirasakan lebat
"Heh..."!"
Tiba-tiba saja Klabang Ireng menghentikan
langkahnya dengan terkejut. Dari balik tudung bambunya, dia melihat seberkas
cahaya seperti api di depannya. Sesaat Klabang Ireng termenung diam.
Kemudian dia kembali mengayunkan kakinya,
melangkah dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi
tingkatannya. Hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya terayun
melangkah. "Hm, siapa dia...?" gumam Klabang Ireng,
bertanya-tanya di dalam hati begitu dia melihat seseorang duduk di depan api
unggun mem-belakanginya.
Klabang Ireng mengamat-amati orang itu.
Keningnya jadi berkerut dengan kelopak mata menyipit. Sulit untuk bisa
mengenalinya. Orang itu membelakangi, sehingga sukar untuk bisa melihat
wajahnya. Tapi dia yakin kalau dilihat dari bentuk tubuhnya yang ramping, orang
itu pasti wanita.
"Akan kucoba menegurnya. Mudah-mudahan saja dia tidak memusuhiku seperti yang
lainnya," gumam Klabang Ireng di dalam hati lagi.
Setelah mengambil keputusan, Klabang Ireng
melangkah keluar dari balik pohon tempatnya bersembunyi tadi. Sengaja dia tidak
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga baru saja dia berjalan beberapa
langkah, wanita yang duduk di depan api unggun itu langsung berpaling.
Tampaknya dia terkejut begitu melihat ada orang mendatanginya. Cepat dia berdiri
sambil memutar tubuhnya berbalik. Dan tangan kirinya langsung menggenggam gagang
pedang yang berada di
pinggang. Dari balik tudung bambunya yang lebar, Klabang Ireng agak tercengang juga
melihat raut wajah wanita itu. Sungguh dia tidak menduga kalau wanita itu begitu
cantik bagai bidadari yang baru turun di kayangan. Hingga membuatnya tertegun
beberapa saat, memandangi wajah yang begitu cantik.
"Maaf, kalau kedatanganku mengejutkanmu,
Nisanak," ucap Klabang Ireng dengan nada suara yang dibuat sopan.
"Siapa kau?" bentak gadis yang mengenakan baju warna hijau muda cukup ketat itu.
"Aku Klabang Ireng," sahut Klabang Ireng
memperkenalkan diri, sambil melepaskan tudung bambu yang menutupi hampir seluruh
wajahnya ini. Dan dia melangkah beberapa tindak ke depan, hingga jaraknya dengan gadis itu
tinggal sekitar enam langkah lagi. Senyumnya terkembang begitu manis sekali.
Tapi gadis cantik itu malah memasang wajah angker. Dia mendelik, seakan tidak
menyukai senyuman ramah yang diberikan Klabang Ireng.
"Mau apa kau datang ke Bukit Sampan ini?" tanya gadis itu lagi.
"Nisanak, sebelum aku jawab pertanyaanmu,
boleh aku tahu siapa namamu...?" ujar Klabang Ireng
dengan sikap yang ramah dan senyuman manis terkembang di bibir.
"Rara Sawit," sahut gadis itu memperkenalkan namanya.
"Nama yang cantik, secantik orangnya," puji Klabang Ireng tulus.
"Jangan memujiku, Kisanak," dengus Rara Sawit ketus. "Sekarang jawab
pertanyaanku. Mau apa kau datang ke Bukit Sampan ini?"
"Hanya sekadar lewat," sahut Klabang Ireng kalem.
"Hhh...! Rara Sawit jadi tersenyum sinis mendengar
jawaban yang tidak diinginkannya itu. Dia menggeser kakinya sedikit ke kanan,
sehingga cahaya api unggun yang dibuatnya bisa menerangi wajah Klabang Ireng
yang kini tidak tertutup tudung bambunya. Wajah tampan itu sempat juga membuat
Rara Sawit jadi agak tertegun. Tapi dia cepat bisa menguasai diri. Tidak ingin
langsung terpikat dengan ketampanan laki-laki ini.
"Kau pasti datang ke sini sama seperti yang lainnya. Kau juga mau mengakui
pewaris Pedang Dewa Naga, heh...?" terasa begitu sinis sekali nada suara Rara
Sawit. *** Klabang Ireng tampak terkejut setengah mati, ketika Rara Sawit menyebut Pedang
Dewa Naga. Begitu terkejutnya, sampai dia terlompat ke belakang dua langkah. Sedangkan Rara
Sawit semakin sinis senyumannya. Seakan dia begitu yakin kalau dugaannya tidak
meleset sedikit pun juga.
"Nisanak, siapa kau sebenarnya" Dari mana kau tahu tentang Pedang Dewa Naga...?"
tanya Klabang Ireng masih dengan keterkejutan yang amat sangat.
"Hhh! Sudah kuduga, kau datang ke bukit ini juga dengan maksud yang sama seperti
yang lainnya,"
dengus Rara Sawit semakin sinis, tanpa menjawab sedikit pun pertanyaan yang
dilontarkan Klabang Ireng.
Sementara Klabang Ireng yang sudah bisa
menguasai rasa keterkejutannya tadi, langsung ber-kerenyut keningnya mendengar
kata-kata yang begitu sinis dari gadis cantik ini. Seakan dia tidak percaya
dengan pendengarannya sendiri. Seorang gadis yang begitu cantik bagai bidadari
seperti ini bisa melontarkan kata-kata begitu sinis dan tidak sedap didengar
telinga. Tapi bukan kesinisan gadis itu yang membuat Klabang Ireng jadi terpaku. Sungguh
dia tidak mengetahui kalau kabar tentang Pedang Dewa Naga sudah tersebar begitu
luas. Bahkan selama dalam perjalanannya ke Bukit Sampan ini, sudah beberapa kali
dia terpaksa harus bertarung dengan orang-orang yang mencoba mengurangi
persaingan dalam
memperebutkan Pedang Dewa Naga.
Klabang Ireng sendiri tidak tahu, dari mana orang-orang persilatan itu bisa
mengetahui tentang Pedang Dewa Naga yang sebenarnya memang sedang
dicarinya. Dan sekarang, dia harus berhadapan dengan seorang gadis cantik yang
kelihatannya sama sekali tidak menunjukkan rasa persahabatan dan keramah-
tamahannya. Klabang Ireng merasa kalau dia tidak mungkin bisa mengajak damai
gadis ini, kalau tahu dia sendiri sebenarnya memang sedang mencari pedang pusaka
itu. Tapi keterkejutan dan
pertanyaan tadi, sudah membuat yakin kalau Klabang Ireng juga sedang mencari
Pedang Dewa Naga.
"Dengar, Kisanak. Kalau kau menginginkan
Pedang Dewa Naga, langkahi dulu mayatku," kata Rara Sawit tegas.
Namun Klabang Ireng hanya diam saja,
memandangi gadis itu dengan sinar mata yang cukup tajam. Seakan dia tengah
mengukur sampai di mana tingkat kepandaian yang dimiliki gadis cantik itu.
"Kenapa kau diam, heh..." Ayo, majulah kalau kau memang ingin pedang itu!"
bentak Rara Sawit garang.
"Aku tidak tahu siapa kau, Nisanak. Dan aku tidak pernah ada urusan denganmu.
Sebaiknya tidak perlu di antara kita saling menumpahkan darah," kata Klabang
Ireng mencoba untuk mendinginkan suasana yang sudah terasa menghangat ini.
"Phuih! Kau takut, heh...?" ejek Rara Sawit mencibir.
"Aku bukannya takut, tapi enggan berselisih dengan wanita," sahut Klabang Ireng
kalem. "Keparat..! Kau merendahkan aku, heh...?" geram Rara Sawit langsung memuncak
amarahnya. Sret! Cring...! Tanpa menunggu lagi, Rara Sawit langsung saja mencabut pedangnya yang tergantung
di pinggang. Saat itu juga kedua bola mata Klabang Ireng jadi terbeliak lebar, melihat pedang
yang sudah tergenggam di tangan gadis itu. Sebuah pedang yang berkilatan,
memancarkan cahaya putih keperakan.
Dan dari ujung pedang itu, mengepul asap tipis yang hampir tidak terlihat dengan
pandangan mata biasa.
"Nisanak, siapa kau sebenarnya?" tanya Klabang Ireng.
"Aku Rara Sawit, murid tunggal Eyang Sangga Langit," sahut Rara Sawit agak
lantang suaranya.
"Hm..., jadi kau murid pembunuh keparat itu rupanya," desis Klabang Ireng jadi
dingin suaranya.
"Setan! Berani kau menghina guruku, ya..." Kau harus tebus dengan nyawamu!
Hiyaaat..!"
Rara Sawit tidak dapat lagi menahan
kemarahannya, begitu telinganya mendengar nama gurunya disebut sebagai pembunuh


Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Sepasang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keparat. Dan tanpa menghiraukan lagi siapa pemuda itu, Rara Sawit langsung
melompat menerjang sambil berteriak nyaring.
Bet! "Upths!"
Klabang Ireng cepat melompat ke belakang, begitu pedang yang bercahaya putih
keperakan itu berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat. Dan hampir saja ujung pedang itu
merobek tenggorokannya, kalau saja dia tidak cepat menarik kepalanya ke
belakang. Namun belum juga Klabang Ireng bisa
menegakkan tubuhnya kembali, Rara Sawit sudah memberikan satu tendangan
menggeledek yang sangat dahsyat dengan tubuh dimiringkan ke kiri.
"Hap!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Klabang Ireng untuk menghindari tendangan gadis
ini. Cepat dia mengecutkan tudung bambunya ke depan. Dan....
Prak! "Heh..."!"
Klabang Ireng jadi terperanjat setengah mati, begitu melihat tudung bambunya
seketika hancur terkena tendangan kaki kanan gadis itu. Cepat dia melentingkan
tubuhnya ke belakang, sambil
berputaran beberapa kali. Dan manis sekali kedua kakinya menjejak tanah berumput
yang cukup tebal ini. Sementara Rara Sawit sudah siap hendak menyerang lagi.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak lantang menggelegar, Rara Sawit kembali melompat sambil memutar
pedangnya dengan kecepatan bagai kilat. Dan Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan
menghindari serangan dahsyat gadis ini. Begitu cepatnya putaran pedang itu,
hingga bentuknya lenyap dari pandanggan mata.
Dan yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya putih keperakan, seperti
mengurung seluruh tubuh Klabang Ireng.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Rara Sawit semakin meningkatkan serangannya, setelah beberapa jurus berlalu
belum juga dia bisa mendesak lawannya ini. Namun memang Klabang Ireng bukanlah
lawan yang ringan bagi gadis ini.
Walaupun tidak menggunakan senjata, Klabang Ireng teramat sulit untuk
dikalahkan. Bahkan sedikit pun Rara Sawit tidak bisa mendesaknya. Bahkan sudah
beberapa kali Klabang Ireng membuatnya jungkir balik, saat melancarkan serangan
balasan. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja,
pertarungan itu sudah berjalan hampir sepuluh jurus.
Tapi belum juga Rara Sawit bisa mendesak.
Sedangkan pedangnya benar-benar sudah lenyap bentuknya. Dan hanya kilatan-
kilatan cahaya saja yang terlihat berkelebat di sekitar tubuh Klabang Ireng yang
terus berjumpalitan menghindarinya.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Klabang Ireng melentingkan
tubuhnya tinggi-tinggi ke atas. Tepat di saat Rara
Sawit membabatkan pedangnya mengarah ke kaki.
Dan pedang yang memancarkan cahaya putih
keperakan itu lewat sedikit saja di bawah telapak kaki Klabang Ireng.
"Hap!"
Beberapa kali Klabang Ireng berputaran di udara.
Dan dengan cepat sekali dia meluruk ke bawah, dengan jari-jari tangan kanan
terkembang bagai hendak mencengkeram batok kepala gadis cantik lawannya ini.
"Haiiit...!"
Wuk! Namun Rara Sawit juga bukan wanita
sembarangan yang bisa dengan mudah dikecohkan begitu saja. Tepat di saat jari-
jari tangan kanan Klabang Ireng yang terkembang kaku seperti cakar burung elang
itu dekat, secepat kilat Rara Sawit mengebut-kan pedangnya ke atas kepala.
"Upths...!"
Cepat-cepat Klabang Ireng menarik tangannya, dan langsung dia memutar tubuhnya
ke atas menghindari tebasan pedang gadis ini. Setelah berputaran beberapa kali di udara,
Klabang Ireng kembali menjejakkan kakinya di tanah. Namun pada saat itu juga,
Rara Sawit sudah memutar pedangnya dan langsung dibabatkan ke pinggang pemuda
lawannya ini sambil berteriak keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa.
"Yeaaah...!"
Wusss! "Hap!"
*** Klabang Ireng terpaksa harus melompat ke
belakang, sambil memutar tubuhnya satu kali di udara, menghindari serangan yang
dilancarkan gadis cantik lawannya ini. Namun Rara Sawit tidak mau melepaskannya
begitu saja. Baru saja Klabang Ireng bisa menjejakkan kakinya di tanah, Rara
Sawit sudah kembali melancarkan serangan.
Namun kali ini Klabang Ireng tidak mau lagi tanggung-tanggung menghadapi gadis
ini. Begitu pedang yang berkilatan putih keperakan itu berkelebat mengarah ke
tenggorokan, dengan cepat dia mencabut seruling hitamnya yang sejak tadi
terselip di pinggang. Dan langsung dikebutkan untuk menangkis tebasan pedang
gadis ini. Trang! Kilatan bunga api memijar, begitu dua benda yang digunakan sebagai senjata
beradu keras di udara.
Tampak mereka sama-sama berlompatan ke
belakang, dan berputaran beberapa kali di udara sebelum menjejak tanah.
"Gila, gadis ini...! Kuat sekali pengerahan tenaga dalamnya," dengus Klabang
Ireng dalam hati.
Memang Klabang Ireng merasakan tangannya
agak bergetar juga ketika suling hitamnya ber-benturan dengan pedang Rara Sawit
Tapi perasaan itu juga ada di dalam diri Rara Sawit. Dia juga merasakan
tangannya jadi bergetar. Dan hampir saja pedangnya tadi terlepas, kalau tidak
segera melentingkan tubuhnya berputaran ke belakang.
Semula Rara Sawit mengira kalau hanya dia saja yang berbuat begitu. Tapi secara
bersamaan, Klabang Ireng juga melentingkan tubuhnya ke belakang, untuk
menghindari seruling hitamnya yang terlepas dari tangan. Mereka saling mengakui
ketangguhan masing-masing, walaupun hanya terucap di dalam hati. Dan untuk beberapa saat
lamanya mereka hanya berdiri tegak saling berpandangan dengan sinar mata tajam.
Seakan-akan mereka tengah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-
masing. "Akan kucoba dia dengan jurus 'Kupu-kupu Menari Menyengat Kumbang'," gumam Rara
Sawit dalam hati.
Setelah mendapat pikiran begitu, Rara Sawit langsung mengembangkan kedua
tangannya ke samping. Dan begitu dia mengecutkan tangan kanannya ke depan dengan pedang
berputar cepat, rubuhnya langsung melesat dengan kecepatan bagai kilat menerjang
Klabang Ireng. Wut! "Haiiit...!"
Klabang Ireng cepat meliukkan tubuhnya,
menghindari sambaran pedang gadis ini. Dan dia jadi terperangah juga, melihat
pedang itu meliuk lentur mengejar gerakan tubuhnya. Cepat-cepat Klabang Ireng
melompat ke belakang beberapa langkah. Tapi Rara Sawit tidak mau berhenti begitu
saja. Dengan gerakan-gerakan lembut namun sangat cepat, dia terus mencecar
pemuda berbaju serba hitam dengan jurus yang dinamakannya 'Kupu-kupu Menari
Menyengat Kumbang'.
Dan jurus ini rupanya membuat Klabang Ireng jadi kelabakan juga menghadapinya.
Setiap gerakan yang dilakukan Rara Sawit memang begitu lemah dan lembut sekali.
Bahkan terlihat seperti sedang menari.
Tapi setiap gerakan yang dilakukannya itu
mengandung ancaman yang tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Terlebih lagi
pedangnya yang bisa meliuk dan sukar sekali untuk diterka arah tujuannya. Klabang Ireng
terpaksa harus berjumpalitan menghindari setiap serangan aneh dari gadis ini. Beberapa kali
serangan yang dilancarkan Rara Sawit hampir mengenai tubuhnya. Tapi sampai saat
ini dia masih bisa mengatasinya, walaupun begitu kewalahan sekali.
Namun begitu serangan Rara Sawit sempat
terhenti sesaat, kesempatan yang sangat sedikit ini tidak disia-siakan begitu
saja. Klabang Ireng melentingkan tubuhnya ke atas, dan dengan
kecepatan bagai kilat dia meluruk turun sambil melontarkan satu pukulan keras
menggeledek dengan tangan kirinya sambil berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
*** 3 Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Klabang Ireng, hingga menimbulkan
hempasan angin yang begitu kuat bagai badai. Membuat Rara Sawit jadi terperangah
sesaat. Namun dengan cepat dia meliukkan tubuhnya ke kanan sambil mengecutkan
pedangnya ke atas kepala.
Tapi tanpa diduga sama sekali, Klabang Ireng memutar tubuhnya sambil
menghentakkan tangan kanannya yang memegang seruling hitam ke arah dada gadis
ini. Begitu cepatnya hentakan tangan kanan pemuda berpakaian serba hitam itu,
sehingga Rara Sawit tidak sempat lagi berkelit menghindarinya.
Dan dia terpaksa harus menangkis kibasan seruling hitam itu dengan tangan
kirinya tepat di depan dada.
Plak! "Akh...!"
Rara Sawit jadi terpekik merasakan sakit yang amat sangat pada pergelangan
tangan kirinya yang terhantam seruling hitam Klabang Ireng. Cepat dia
menjatuhkan diri, dan bergulingan beberapa kali di tanah, begitu Klabang Ireng
terus mencecarnya dengan mengecutkan serulingnya begitu cepat beberapa kali.
"Hup!"
Begitu punya kesempatan, Rara Sawit langsung melompat bangkit berdiri. Tapi pada
saat kedua kakinya baru menjejak tanah, Klabang Ireng sudah menyodokkan tangan
kirinya ke depan. Dan membuat
Rara Sawit jadi terperangah. Cepat dia mengecutkan pedangnya, berusaha
menghindari sodokan tangan kiri pemuda itu. Namun tanpa diduga sama sekali,
tangan kiri Klabang Ireng bisa meliuk berputar seperti ular. Dan langsung
meluruk deras ke dada yang membusung ini. Hingga....
Des! "Akh...!"
Kembali Rara Sawit terpekik, begitu sodokan tangan kiri Klabang Ireng menghantam
tepat pada bagian tengah dadanya. Membuat tubuhnya jadi terdorong ke belakang
beberapa langkah. Merah seluruh wajah gadis itu seketika. Betapa tidak, balum
pernah ada seorang pun laki-laki yang menyentuh dadanya. Tapi kini, Klabang
Ireng berhasil men-daratkan tangannya di sana. Rara Sawit jadi menggereng marah.
"Keparat...!"
Dan dia langsung mengibaskan pedangnya, membuat beberapa gerakan yang begitu
cepat dengan bibir mengeluarkan desisan aneh seperti ular. Begitu cepatnya
gerakan pedang itu, sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan,
disertai suara mencicit yang menggiriskan hati.
"Aph! Yeaaah...!"
Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan lagi, menghindari setiap serangan
yang dilancarkan Rara Sawit dengan begitu cepat dan memburu bagai badai.
Setiap kebutan pedangnya kali ini menyebarkan hawa dingin yang menusuk sampai ke
tulang. Ditambah lagi dengan udara malam yang memang sudah terasa begitu dingin
membekukan. Membuat gerakan
Klabang Ireng terasa jadi terhambat. Dan....
"Jebol dadamu! Yeaaah...!"
Sambil membantak keras menggelegar, Rara Sawit menghentakkan tangan kirinya
tepat menghantam ke dada pemuda berbaju hitam pekat ini. Begitu cepatnya pukulan
tangan kiri gadis itu, membuat Klabang Ireng tidak sempat lagi berkelit
menghindar. Dan pukulan yang keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu tepat
menghantam dadanya yang kosong.
Diegkh! "Akh...!"
Klabang Ireng jadi terpekik, begitu pukulan tangan kiri Rara Sawit menghantam
keras dadanya. Membuat tubuhnya jadi terpental cukup jauh ke belakang. Dan keras sekali
punggung pemuda itu menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping.
Sementara Rara Sawit yang sudah benar-benar marah, tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan ini.
Sambil berteriak keras menggelegar, gadis itu langsung melesat, meluruk deras
dengan pedang terhunus ke depan.
"Mampus kau, Setan Keparat! Hiyaaat..!"
Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Rara Sawit, hingga membuat kedua bola
mata Klabang Ireng terbeliak lebar, dalam keadaan diri telentang di antara
pecahan kayu pohon yang terlanda tubuhnya tadi. Dan dia merasa tidak ada lagi
kesempatan untuk bisa menyelamatkan selembar nyawanya.
Namun begitu ujung pedang Rara Sawit hampir menembus tenggorokan pemuda ini,
mendadak saja.... Siap! Trang! "Heh..."! Hup!"
*** Rara Sawit jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terlihat
secercah kilatan putih keperakan berkelebat begitu cepat sekali menghantam
pedangnya. Cepat dia melompat berputar ke belakang beberapa kali. Dan dengan
manis dia menjejakkan kakinya di tanah, sekitar dua batang tombak jauhnya dari
Klabang Ireng yang masing menggeletak dengan napas tersengal, akibat hantaman
keras bertenaga dalam tinggi di dadanya.
"Keparat...! Siapa berani main curang denganku, heh...?" bentak Rara Sawit
geram. Sunyi.... Tidak ada jawaban sedikit pun juga terdengar. Hanya gema suara gadis
itu saja yang terdengar. Rara Sawit mengedarkan pandangannya berkeliling. Tidak
seorang pun yang terlihat di sekitarnya. Hanya Klabang Ireng saja yang ada di
antara pecahan kayu pohon. Pemuda itu masih menggeletak, berusaha mengatur jalan
pernapasannya. Tampak perlahan Klabang Ireng mulai bisa bangkit duduk. Dia langsung mengambil
sikap bersemadi, duduk bersila dengan kedua telapak tangan
menempel erat pada kedua lututnya yang tertekuk.
Dan kedua bola matanya terpejam, sambil mengatur jalan pernapasannya. Dia
seperti tidak peduli pada Rara Sawit yang masih geram, akibat serangannya yang
mematikan pada Klabang Ireng tadi terhalang sesuatu seperti cahaya putih
keperakan. "Huh! Nyawamu tidak akan lepas dari tanganku, Klabang Ireng...!" desis Rara
Sawit dingin. Tatapan matanya begitu tajam, memandang lurus pada Klabang Ireng yang tengah
bersemadi, mencoba
menormalkan kembali jalan darah dan per-
napasannya di dada. Sementara Rara Sawit sudah bersiap kembali melancarkan
serangan pada pemuda itu. "Mampus kau, Klabang Ireng! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rara Sawit melompat dengan kecepatan bagai
kilat, mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dan pedangnya tertuju
lurus ke dada Klabang Ireng yang masih tetap duduk bersila bersemadi.
"Yeaaah...!"
Bet! Namun begitu Rara Sawit mengebutkan
pedangnya ke arah dada Klabang Ireng, kembali terlihat kilatan cahaya putih
keperakan berkelebat begitu cepat sekali ke ujung pedang gadis ini.
"Hih...!"
Namun kali ini Rara Sawit rupanya sudah bisa mengetahui akan datang serangan
itu. Dan dengan cepat sekali dia memutar pedangnya, lalu sambil membentak keras,
dia mengebutkan pedangnya menghantam cahaya putih keperakan yang datang hendak
menggagalkan serangannya pada Klabang Ireng. Dan....
Trang! Siap!

Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Sepasang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kilatan cahaya putih keperakan itu terpental balik ke arah semula, begitu
terkena sambaran pedang Rara Sawit. Dan pada saat yang bersamaan, Rara Sawit
melentingkan tubuhnya ke atas. Lalu cepat sekali dia menukik dengan pedang
terhunjam ke arah ubun-ubun kepala Klabang Ireng.
Dan pada saat ujung pedang gadis itu hampir menghunjam di kepala Klabang Ireng,
terlihat sebuah
bayangan kuning berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat, langsung meluruk
deras ke arah Rara Sawit yang meluncur dari atas. Seketika itu juga....
"Hup! Yeaaah...!"
Rara Sawit cepat melentingkan tubuhnya kembali ke atas, dan berputaran beberapa
kali dengan gerakan yang begitu indah sekali. Sementara bayangan kuning yang
datang bagaikan kilat itu lewat hanya sedikit saja di bawah tubuh gadis ini.
"Hap!"
Manis sekali Rara Sawit kembali menjejakkan kakinya di tanah, sekitar dua batang
tombak dari Klabang Ireng yang masih tetap duduk bersila melakukan semadi. Bibir
gadis itu langsung menyunggingkan senyuman sinis, begitu melihat seorang pemuda
lain sudah berada tidak jauh di sebelah kiri Klabang Ireng.
Seorang pemuda dengan wajah tampan, rambut panjang tergelung ke atas, dengan
bagian bawahnya dibiarkan terurai melewati bahu. Tidak terlihat satu senjata pun
tersandang di tubuhnya. Pemuda itu mengenakan baju dari kulit harimau, dengan
dua buah benda bersegi enam berupa cakra putih keperakan menempel pada
pergelangan tangan kanannya. Seekor monyet kecil berbulu hitam nangkring di
pundak kanannya.
"Akhirnya keluar juga kau, Pengacau Busuk...!"
dengus Rara Sawit dingin menggetarkan.
"Tidak pantas kau membunuh orang yang sudah tidak berdaya, Nisanak. Dan lagi,
tidak ada urusannya kau membunuhnya," kata pemuda itu kalem, tanpa menghiraukan
dengusan sinis gadis cantik ini.
"Apa pedulimu, heh..." Siapa kau sebenarnya?"
bentak Rara Sawit sengit.
"Aku memang, tidak akan peduli, kalau kau mau berlaku secara ksatria, Nisanak.
Tapi aku lihat kau ingin membunuhnya secara pengecut Dan itu
mendorongku untuk mencegahmu berbuat begitu,"
sahut pemuda itu tetap tenang nada suaranya.
"Phuih! Siapa kau...?" dengus Rara Sawit semakin ketus.
"Namaku Bayu," sahut pemuda itu mem-
perkenalkan diri.
Pemuda tampan yang mengenakan baju dari kulit harimau itu memang Bayu Hanggara.
Dia lebih dikenal dengan nama julukan Pendekar Pulau Neraka. Seorang pendekar
muda yang selalu
menggetarkan rimba persilatan dalam setiap kemunculannya. Dan kali ini dia tiba-
tiba muncul menyelamatkan nyawa Klabang Ireng dari ancaman maut gadis cantik di
depannya ini. "Kenapa kau selamatkan nyawanya dariku" Apa kau saudaranya...?" tanya Rara Sawit
lagi, masih dengan nada suara yang ketus.
"Aku tidak kenal sama sekali dengannya," sahut Bayu masih tetap tenang suaranya.
"Lalu, kenapa kau menolongnya" Sebaiknya kau cepat menyingkir dari sini. Atau
kau ingin menggantikan kepalanya?"
"Tenang, Nisanak. Aku tahu apa yang membuatmu begitu bernafsu ingin membunuhnya.
Sebaiknya antara kau dan dia tidak perlu saling bermusuhan.
Apalagi sampai saling mengadu jiwa," kata Bayu lagi, masih dengan nada suara
yang tenang sekali.
"Heh..."! Siapa kau sebenarnya...?" bentak Rara Sawit agak terkejut, mendengar
kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu barusan.
"Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku tahu apa yang
kalian semua ributkan. Aku hanya ingin mengatakan kalau apa yang kalian
perebutkan itu tidak ada artinya sama sekali. Aku tahu di mana adanya Pedang
Dewa Naga. Dan aku tahu persis siapa yang berhak memilikinya. Kalian sama
sepertiku. Masih muda, dan masih jauh jangkauannya. Sebaiknya tidak perlu
meributkan sesuatu yang bukan hak milik sendiri."
"Keparat..! Jangan berkhotbah di depanku! Dari mana kau tahu tentang Pedang Dewa
Naga, hah...?"
Bayu hanya tersenyum saja mendengar per-
tanyaan gadis cantik ini. Dia mengayunkan kakinya beberapa langkah ke depan,
hingga jaraknya dengan gadis itu tinggal sekitar enam langkah lagi.
Sementara agak jauh di belakangnya, Klabang Ireng sudah mulai membuka kelopak
matanya. Dia langsung melihat Rara Sawit kini berdiri berhadapan dengan seorang pemuda sebaya
dengannya, yang sama sekali tidak dikenalnya. Tapi dia langsung bisa menebak
kalau pemuda itu yang telah menyelamatkan nyawanya dari ujung pdang Rara Sawit
tadi. Klabang Ireng sengaja tidak segera bangkit berdiri, walaupun dirasakan seluruh
aliran darah dan jalan pernapasannya sudah kembali normal seperti semula. Dia
ingin tahu apa yang akan dilakukan Rara Sawit dan pemuda penolongnya itu.
*** Sementara Klabang Ireng memperhatikan, Rara Sawit sudah memasukkan pedangnya
kembali Ke dalam warangkanya yang tergantung di pinggang.
Sedangkan Bayu tampak tersenyum melihat raut wajah gadis itu kini tidak lagi
kelihatan garang seperti tadi. Bahkan tampak begitu cantik sekali, dengan
sinar mata yang bercahaya terang bagai bintang di langit yang kelam. Kembali
Bayu melangkah beberapa tindak semakin dekat dengan gadis ini. Dan senyumnya kembali terkembang
penuh rasa persahabatan. Entah kenapa, Rara Sawit malah membalasnya dengan senyum yang
manis pula. Tapi begitu tersadar, dia cepat memasang wajah angker lagi.
"Nisanak, boleh aku tahu kenapa kau mencari Pedang Dewa Naga...?" ujar Bayu
bertanya dengan suara yang dibuat begitu lembut sekali.
"Mau apa kau tahu urusanku?" Rara Sawit malah balik bertanya dengan nada suara
masih tetap terdengar ketus. Walaupun raut wajahnya tidak segarang tadi.
"Sepanjang perjalanan, aku banyak bertemu
dengan mereka yang menginginkan Pedang Dewa Naga. Dan sekarang, aku juga bertemu
denganmu yang hampir membunuh karena merebut pedang itu.
Kenapa kau membahayakan nyawa sendiri hanya untuk sebuah benda, Nisanak..."
Bukankah kau sendiri sudah memiliki pedang yang bagus?"
"Aku menginginkannya untuk guruku!" sahut Rara Sawit masih tetap ketus suaranya.
Tapi kali ini sudah mulai terdengar agak melunak.
"Untuk apa?" tanya Bayu terus mendesak ingin tahu.
"Guruku adalah pewaris tunggal Pedang Dewa Naga. Dan aku harus mendapatkannya
sebelum orang lain. Dengan pedang itu penyakit guruku akan sembuh," sahut Rara
Sawit lagi. "Hm, sakit apa yang diderita gurumu?" tanya Bayu lagi.
Rara Sawit tidak langsung menjawab. Dia seperti
keberatan menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka barusan. Dan dia hanya
memandangi wajah tampan pendekar muda itu saja. Sedangkan Bayu jadi tersenyum.
Dia tahu kalau pertanyaannya tadi tidak mungkin terjawab.
"Baiklah, Nisanak. Memang tidak seharusnya aku terlalu banyak bertanya padamu.
Tapi yang aku tahu, hanya ada seorang saja di dunia ini yang ternak mewarisi
Pedang Dewa Naga," kata Bayu diiringi senyuman kecil tersungging di bibir.
"Hanya guruku pewarisnya," sentak Rara Sawit cepat
"Dusta...!"
Tiba-tiba saja Klabang Ireng membentak keras, ambil melompat bangkit berdiri.
Rara Sawit dan Bayu langsung menatap pemuda yang mengenakan baju warna hitam
pekat itu. Klabang Ireng langsung melangkah menghampiri mereka, dan berdiri
tidak lauh di sebelah kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Bukan gurumu pewaris Pedang Dewa Naga. Tapi aku.... Akulah cucu Eyang Rampayak,
pembuat dan pemilik Pedang Dewa Naga. Aku yang berhak
memilikinya!" kata Klabang Ireng tegas, dengan suara yang keras dan lantang
menggelegar. "Enak saja kau bicara. Apa buktinya kau cucu Eyang Rampayak, heh...?" sentak
Rara Sawit sengit.
"Kau sendiri..." Apa buktinya gurumu yang paling berhak mewarisi Pedang Dewa
Naga" Eyang
Rampayak tidak punya murid seorang pun juga. Dan hanya punya satu putra. Dan aku
anak dari putra Eyang Rampayak. Hanya aku cucunya. Tidak ada orang lain lagi
yang berhak atas pedang itu...!"
"Aku yang berhak!" bentak Rara Sawit jadi kalap lagi.
"Aku...!" balas Klabang Ireng tidak mau kalah.
"Setan! Kau memang harus mampus!"
Cring! Wut! "Cukup...!"
Bayu langsung saja membentak, dan melompat ke tengah, begitu melihat mereka
sudah sama-sama mencabut senjatanya. Entah kenapa, mereka jadi terdiam melihat
Bayu berdiri di antara mereka berdua dengan tangan terentang lebar.
"Simpan kembali senjata kalian!" bentak Bayu lantang.
Rara Sawit dan Klabang Ireng saling berpandangan dengan tajam beberapa saat.
Kemudian mereka menyimpan kembali senjatanya. Entah kenapa, mereka jadi menuruti
kata-kata Pendekar Pulau Neraka ini. Sementara Bayu memandangi mereka satu
persatu secara bergantian. Dan dia menurunkan lagi tangannya yang sudah
terentang tadi.
"Kalian masing-masing mempertahankan pen-
dapat sendiri. Baik, aku memang tidak tahu mana yang benar di antara kalian
berdua. Dan ini harus dibuktikan, siapa di antara kalian yang paling berhak
memiliki Pedang Dewa Naga. Tapi bukan dengan cara saling mengadu jiwa," kata
Bayu tegas. "Huh!"
Rara Sawit hanya mendengus saja dengan raut wajah jengkel. Sementara Klabang
Ireng diam memandangi Pendekar Pulau Neraka.
"Aku akan buktikan, Kisanak," selak Klabang Ireng tegas.
"Dengan cara apa kau akan membuktikan...?"
dengus Rara Sawit sinis.
"Pedang Dewa Naga tidak akan bisa digunakan
oleh orang yang bukan satu darah dengan Eyang Rampayak. Dan aku akan buktikan
nanti kalau sudah menemukan pedang itu," sahut Klabang Ireng lantang.
"Sebelum kau yang memegangnya, aku yang akan mendapatkannya," desis Rara Sawit
bernada mengejek. "Sudah.... Kalian tidak perlu saling bermusuhan.
Aku tahu di mana adanya Pedang Dewa Naga. Dan kalau kalian ingin saling
membuktikan, aku akan tunjukkan di mana Pedang Dewa Naga berada," kata Bayu
menenangkan suasana yang hangat ini.
Rara Sawit dan Klabang Ireng saling ber-
pandangan. Kemudian mereka sama-sama me-
mandang pada Pendekar Pulau Neraka yang berada di tengah-tengah di antara mereka
berdua. Entah kenapa, mereka sama-sama mengangkat bahunya.
Seakan menyerahkan segala persoalannya pada Pendekar Pulau Neraka itu.
"Bagus. Malam ini kita sama-sama bermalam di sini. Besok pagi kalian berdua akan
kubawa ke tempat Pedang Dewa Naga," kata Bayu tersenyum.
Dan memang malam ini mereka semua bermalam di hutan lereng Bukit Sampan ini.
Namun antara Rara Sawit dan Klabang Ireng, tetap saja saling membuka garis
peperangan. Tidak ada seorang pun di antara mereka berdua yang memulai untuk
membuka suara. Sedangkan Bayu hanya bisa memperhatikan sambil menghangatkan tubuh di dekat api
unggun, menunggu sampai pagi datang.
*** 4 Pagi-pagi sekali, disaat matahari baru menam-pakkan cahayanya di ufuk timur,
Bayu sudah membawa Klabang Ireng dan Rara Sawit menuruni Bukit Sampan ini.
Mereka berdua berjalan bersisian dibelakang Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan
l'iren tidak lepas dari pundak pemuda berbaju kulit harimau ini. Tidak ada
seorang pun yang
mengeluarkan suara. Mereka berjalan agak cepat menuruni lereng bukit yang cukup
lebat ditumbuhi pepohonan ini.
Namun baru saja mereka sampai di kaki bukit, Bayu menghentikan langkahnya.
Klabang Ireng dan Rara Sawit ikut berhenti juga melangkah. Tampak di depan
mereka menghadang lebih dari lima puluh orang yang semuanya rata-rata masih
berusia muda. Hanya seorang saja yang kelihatan sudah tua. Dan orang tua yang mengenakan jubah
putih pantang itu berdiri paling depan. Sebatang tongkat kayu tergenggam di
tangan kanannya. Seakan untuk menyangga tubuhnya yang sudah agak membungkuk.
Klabang Ireng yang mengenali orang tua itu, langsung melangkah mendekat Pendekar
Pulau Neraka. "Kau kenal mereka, Klabang Ireng?" tanya Bayu seperti sudah bisa menduga.
"Ya," sahut Klabang Ireng. "Orang tua itu Ki Jamparut. Kepala Desa Harugaling.
Dan yang ada di belakangnya adalah murid-muridnya," sahut Klabang Ireng.
"Mau apa mereka menghadang?" tanya Bayu lagi dengan suara terdengar menggumam.
Seakan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.
"Untukku," sahut Klabang Ireng pelan.
Bayu berpaling sedikit, langsung menatap pada Klabang Ireng dengan kening
berkerut. Terasa aneh bagi Pendekar Pulau Neraka ini. Dia memang baru semalam
kenal dengan Klabang Ireng. Tapi tampaknya Klabang Ireng mempunyai banyak
persoalan yang tidak diketahuinya. Timbul berbagai macam pertanyaan di dalam
benak Pendekar Pulau Neraka ini.
Tapi dia tidak mau mempersoalkan lebih dulu, sebelum mengetahui persoalan
persisnya, antara Klabang Ireng dengan Kepala Desa Harugaling dan murid-muridnya
itu. Sementara Rara Sawit sudah berada di sebelah Pendekar Pulau Neraka ini. Dia
juga merasa heran dengan orang-orang yang menghadang jalan mereka ini.
"Siapa mereka, Kisanak?" tanya Rara Sawit
"Mereka ada urusan dengan Klabang Ireng," sahut Bayu tanpa berpaling sedikit pun
juga. Rara Sawit langsung saja menatap pada Klabang Ireng. Tapi yang dipandangi
seperti tidak peduli. Dia melangkah beberapa tindak mendekati Ki Jamparut yang
berdiri di depan murid-muridnya. Tatapan mata orang tua itu sangat tajam sekali,
seakan ingin melumat pemuda berbaju hitam yang sudah
menewaskan empat orang muridnya ini.
"Punya nyali besar juga kau berani muncul lagi di sini...," terdengar sinis
sekali nada suara Ki Jamparut.
"Maaf atas kejadian semalam, Ki. Kali ini aku tidak melewati desamu lagi. Aku
dan teman-temanku akan menuju ke utara," kata Klabang Ireng. Kali ini dia
berkata dengan nada suara yang sopan.
"Phuih!" Ki Jamparut menyemburkan ludahnya dengan sengit
Sedangkan Klabang Ireng diam saja.
"Kau tidak bisa lewat begitu saja, Anak Muda. Kau harus membayar nyawa murid-
muridku dengan nyawamu!" bentak Ki Jamparut lantang.
"Kalau kau membiarkan aku lewat, tentu tidak akan sampai kehilangan muridmu, Ki.
Sekarang aku harap kau tidak lagi membuka persoalan. Aku sedang enggan mengotori
tangan dengan darah," sambut Klabang Ireng tidak kalah lantangnya.
"Berani kau berkata begitu setelah membunuh muridku, heh..." Kau akan rasakan
akibatnya, Bocah!" bentak Ki Jamparut jadi berang.
"Maaf, Ki. Bukan maksudku untuk...!"
"Tutup mulutmu, Bocah! Kau harus mampus"
Hiyaaat..!"
Ki Jamparut tidak bisa lagi banyak bicara. Sambil membentak nyaring memutuskan
ucapan Klabang Ireng, dia langsung melompat dengan cepat
menerjang pemuda ini.
"Haiiit..!"
Klabang Ireng tidak dapat lagi menghindari bentrokan. Dia cepat melompat ke
samping, sambil meliukkan tubuhnya menghindari sabetan tongka kayu Kepala Desa
Harugaling ini. Sedikit saja tongkat itu lewat di samping tubuh Klabang Ireng.
Namun Ki Jamparut tidak berhenti sampai di situ saja. Dia terus menyerang dengan
jurus-jurus yang cepat dan sangat membahayakan jiwa anak muda berbaju hitam ini.
Sementara Bayu dan Rara Sawit tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka terpaksa
menjadi penonton, tanpa dapat membantu Klabang Ireng yang terus diserang dengan
kebutan-kebutan tongkat Ki Jamparut yang
begitu cepat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi tampaknya
Klabang Ireng masih bisa bertahan, walaupun dia hanya bisa berkelit dan
menghindari setiap serangan Ki Jamparut yang dahsyat ini.


Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Sepasang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Klabang Ireng melentingkan
tubuhnya tinggi-tinggi ke atas, tepat ketika Ki Jamparut mengecutkan tongkatnya
ke arah kaki. Dan langsung dia meluruk deras ke belakang sambil berputaran
beberapa kali di udara. Dan dengan manis sekali dia menjejakkan kakinya di tanah
sejauh dua batang tombak dari Ki Jamparut.
"Jangan menghindar terus kau, Bocah! Hiyaaat..!"
Ki Jamparut semakin kelihatan berang saja, karena serangan-serangannya tidak
mendapatkan hasil sedikit pun juga. Bahkan kini Klabang Ireng berhasil menjaga
jarak cukup jauh. Kepala Desa Harugaling itu kembali melompat sambil berteriak
keras menggelegar. Dan tongkatnya langsung dikejut-kan tepat mengarah ke kepala
Klabang Ireng. "Hih!"
Bet! Trak! Klabang Ireng cepat mencabut seruling bambu hitamnya, dan langsung dikebutkan ke
samping kelolanya. Hingga tongkat Ki Jamparut menghantam seruling hitam pemuda
itu. Dan pada saat itu juga, lubuh Klabang Ireng meliuk setengah berputar. Lalu
dengan kecepatan yang sangat luar biasa sekali, dia menghentakkan tangan kirinya
ke depan. Dan....
Diegkh! "Ugkh...!"
Begitu cepatnya hentakan tangan kiri Klabang
Ireng, sehingga Ki Jamparut tidak sempat lagi menghindarinya. Dan kepalan tangan
pemuda itu tepat menghantam perutnya. Membuat orang tua ini terlenguh dengan
tubuh terbungkuk. Dan pada saat itu juga, Klabang Ireng melepaskan satu pukulan
keras dengan tangan kanannya, setelah dia
menyimpan lagi serulingnya ke balik ikat pinggang.
"Hiyaaa...!"
Plak! "Akh...!"
Ki Jamparut jadi terpekik, begitu pukulan tangan kiri Klabang Ireng yang
mengandung sedikit pengerahan tenaga dalam itu menghantam tepat ke wajahnya.
Tampak orang tua itu terdongak, dan ter-huyung-huyung ke belakang. Seketika itu
juga darah merembes keluar dari sudut bibir dan lubang hidungnya. Walaupun tidak
sepenuhnya Klabang Ireng mengerahkan tenaga dalam pada pukulannya, tapi sudah
membuat Ki Jamparut terpaksa harus kehilangan muka di depan murid-muridnya
sendiri. "Keparat..!"
*** Ki Jamparut jadi geram setengah mati. Sambil menyeka darah yang mengalir keluar
dari mulut dan hidungnya, dia melangkah ke depan beberapa tindak.
Sementara Klabang Ireng tetap berdiri tegak tanpa terlihat memegang senjata.
Tampak sekali kalau Ki Jamparut tidak bisa lagi dihentikan amarahnya.
Terlebih lagi dia sudah mendapatkan pukulan yang cukup keras di wajahnya.
Membuat amarahnya semakin menggelegak di dalam dada.
Sementara Bayu dan Rara Sawit sama sekali tidak
bisa berbuat apapun juga. Mereka hanya diam dan melihat semua itu tanpa bicara
sedikit pun juga. Tapi diam-diam, Bayu terus memperhatikan murid-murid Ki
Jamparut yang sudah mulai bergerak mendekati tempat pertarungan gurunya dengan
Klabang Ireng ini.
"Kau harus mampus, Bocah Keparat..!"
Sambil menggeram marah, Ki Jamparut
melangkah mendekati Klabang Ireng. Dan begitu iraknya tinggal sekitar empat
langkah lagi, dia langsung menyodokkan tongkatnya tepat mengarah ke perut
"Haiiit..!"
Tapi dengan liukan tubuh yang begitu indah sekali, Klabang Ireng bisa
menghindari sodokan tongkat orang tua itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Ki
Jamparut memutar tubuhnya dengan cepat sambil menghentakkan kaki kanannya tanpa
menarik tongkatnya lagi. Sesaat Klabang Ireng terperangah.
Dan dia cepat melangkah mundur sambil menarik tubuhnya ke belakang.
Tepat pada saat itu juga, Klabang Ireng mencabut seruling hitamnya, dan langsung
dikebutkan ke kaki yang masih menjulur ke depan itu. Begi cepatnya sabetan
seruling hitam pemuda ini, sehingga Ki Jamparut tidak sempat lagi menyadarinya.
Dan... Tak! "Akh...!"
Ki Jamparut jatuh terguling seketika, begitu tulang keringnya terhantam seruling
hitam Klabang Ireng yang sangat keras, karena disertai dengan
pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Seketika tulang kaki orang tua itu hancur,
membuatnya tidak dapat lagi berdiri. Sementara Klabang Ireng
melompat menjauhi, sambil menyepakkan kakinya ke tongkat Ki Jamparut yang
tergeletak di tanah. Tongkat itu melayang jauh. Dan entah jatuh di mana.
"Bocah keparat...!" geram Ki Jamprut berang setengah mati, sambil meringis
menahan sakit yang amat sangat pada tulang kering kakinya. "Seraaang...!
Bunuh bocah setan itu...!"
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Belum lagi hilang teriakan Ki Jamparut, semua murid-muridnya sudah berlompatan
menyerang Klabang Ireng sambil berteriak-teriak, membuat suasana di kaki Bukit
Sampan ini jadi hiruk-pikuk seperti ada perang.
"Klabang Ireng, cepat ke sini...!" seru Bayu dengan suara yang keras disertai
sedikit pengerahan tenaga dalam.
Klabang Ireng berpaling sedikit ke arah Pendekar Pulau Neraka itu. Dia melihat
Bayu memanggil dengan melambaikan tangannya. Dan tanpa berpikir panjang lagi,
Klabang Ireng segera melesat mendekati Pendekar Pulau Neraka itu. Hanya sekali
lompatan saja, dia sudah berada di samping pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Tinggalkan tempat ini," kata Bayu tergesa.
"Baik," sahut Klabang Ireng.
"Hup!"
"Haaap!"
"Yeaaah...!"
Ketiga anak muda berkepandaian tinggi itu
langsung berlompatan dan terus berlari dengan cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatannya. Begitu cepatnya mereka
berlari, hingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh.
Membuat murid-murid Ki Jamparut tidak ada yang sanggup mengejar. Dan mereka
terpaksa kembali menghampiri gurunya yang masih duduk di tanah menahan sakit
pada kakinya yang hancur tulang keringnya.
"Cepat, bawa aku pulang!" perintah Ki Jamprut.
Tanpa banyak bicara lagi, empat orang muridnya segera menggotong dan membawanya
pergi dari kaki Bukit Sampan ini. Sedangkan yang lainnya mengikuti dari
belakang. Sementara Bayu, Klabang Ireng, dan Rara Sawit sudah sangat jauh
meninggalkan kaki Bukit Sampan. Mereka terus berlari dengan cepat mempergunakan
ilmu meringankan tubuh. Tampak Bayu berlari paling depan. Sesekali dia berpaling
melihat Klabang Ireng dan Rara Sawit yang terus tertinggal di belakang.
Setelah dirasa cukup jauh dan tidak ada lagi yang mengejar, Bayu baru
menghentikan larinya. Dia menunggu beberapa saat sambil melipat kedua tangannya
di depan dada. Sedikit pun tidak terlihat tetesan keringat di tubuhnya. Dan
tarikan napasnya juga begitu teratur sekali, sepertinya tadi sama sekali dia
tidak berlari sejauh ini. Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit langsung
menjatuhkan diri, duduk di rerumputan begitu sampai di dekat Pendekar Pulau
Neraka ini. Tiren mendekati gadis itu, dan langsung duduk di pangkuannya. Rara
Sawit mendiamkan saja monyet kecil itu duduk di pangkuannya.
Keringat mengalir deras membasahi sekujur tubuh mereka. Dan napas mereka agak
tersengal memburu cepat. Bayu tersenyum saja memandangi mereka yang seperti baru
dikejar setan tadi. Senyum Pendekar Pulau Neraka itu membuat Rara Sawit jadi
mendelik. "Kenapa kau tersenyum...?" bentak Rara Sawit dengan napas masih tersengal-
sengal. "Tidak apa-apa," sahut Bayu masih tersenyum.
"Jangan coba-coba merendahkan aku, ya...,"
dengus Rara Sawit memberengut.
Bayu hanya diam saja. Dan dia duduk bersila di depan mereka. Sikapanya begitu
tenang sekali, dengan senyuman masih terkembang mengukir
bibirnya yang agak memerah. Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit sudah mulai
bisa mengatur Jalan pemapasannya. Mereka kini sudah tenang kembali.
"Sudah cukup istirahatnya...?" tanya Bayu seraya bangkit berdiri.
Klabang Ireng langsung berdiri, diikuti Rara Sawit Tiren cepat melompat naik ke
pundak Bayu lagi. Dan tanpa bicara lagi mereka kembali melanjutkan perjalanannya
menuju ke utara. Sementara matahari sudah naik cukup tinggi, memancarkan
cahayanya yang terik membakar kulit. Namun ketiga anak muda itu terus berjalan
tanpa menghiraukan teriknya mentari. Dan begitu jauh mereka berjalan, belum ada
seorang pun yang membuka suara. Baru setelah mereka sampai di tepi sungai yang
tidak begitu besar, Rara Sawit mulai membuka suaranya.
"Bayu, kenapa kau tadi meminta Klabang Ireng meninggalkan mereka?"
"Hanya membuang-buang tenaga saja mengurusi mereka. Sedangkan perjalanan kita
masih cukup jauh," sahut Bayu seenaknya.
"Sebenarnya ada persoalan apa kau dengan
mereka, Klabang Ireng?" tanya Rara Sawit ingin tahu.
Tatapannya kini beralih pada Klabang Ireng.
"Aku sendiri tidak tahu. Semalam aku melewati
desa mereka. Dan mereka tidak mengizinkan aku melaluinya. Mereka langsung
menyerang ingin membunuhku. Terpaksa aku menewaskan empat
orang dari mereka. Ya, terpaksa...," sahut Klabang Ireng kalem.
"Tidak mungkin kalau tidak ada alasan mereka ingin membunuhmu, Klabang Ireng,"
kata Rara Sawit tidak percaya.
"Terserah kau, mau percaya apa tidak. Yang jelas, aku sendiri baru pertama kali
itu datang ke Desa Harugaling. Sama sekali aku tidak kenal dengan mereka," balas
Klabang Ireng agak ketus suaranya.
"Mungkin mereka kenal denganmu, Klabang Ireng.
Dan kau sendiri tidak kenal, atau mungkin juga sudah lupa," kata Bayu menengahi.
"Mungkin juga...," desah Klabang Ireng perlahan.
"Tapi aku benar-benar tidak tahu, Bayu."
"Klabang Ireng, kau mengaku cucu tunggal Eyang Rampayak. Pasti kau tahu dari
mana asalnya...,"
selak Rara Sawit seperti memancing.
"Tentu saja aku tahu," sahut Klabang Ireng tegas.
"Dari mana?" desak Rara Sawit.
"Desa Harugaling."
"Tepat dugaanku...!" sentak Bayu langsung
berhenti melangkah.
Rara Sawit dan Klabang Ireng jadi ikut berhenti, dan langsung menatap Pendekar
Pulau Neraka itu dengan pandangan dan sorot mata yang sukar untuk diartikan.
Sedangkan Bayu sendiri malah mengarahkan pandangannya ke Desa Harugaling yang
kini sudah tidak terlihat lagi dari tempat ini. Dan untuk beberapa saat mereka
jadi terdiam membisu. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka masing-masing.
"Apa yang kau duga, Kisanak?" tanya Klabang Ireng ingin tahu.
"Siapa nama ayahmu?" Bayu malah balik
bertanya. "Rakata Ireng," sahut Klabang Ireng.
"Dan ibumu?"
"Diah Permata."
"Heh..."!"
Entah kenapa, Rara Sawit jadi terlonjak seperti tersengat kala berbisa begitu
mendengar Klabang Ireng menyebut nama ibunya. Dan ini membuat Bayu maupun
Klabang Ireng jadi tersentak juga
memandangi gadis cantik ini.
"Kau jangan mengaku-aku. Diah Permata ibumu, ya...!" bentak Rara Sawit jadi
garang wajahnya.
"Heh..."! Dia memang ibuku!" sentak Klabang Ireng.
"Kau tahu, Diah Permata adalah guruku. Juga ibu angkatku!"
"Tidak mungkin! Ibuku tidak punya murid! Kau dusta! Pembohong...!"
"Kau yang pembohong!"
"Kau...!"
Seketika suasana jadi memanas. Klabang Ireng dan Rara Sawit sudah saling
berhadapan dengan wajah garang tidak mau mengalah. Dan ini membuat Bayu jadi
terlongong. "Cukup...!"
Bayu langsung membentak begitu melihat Rara Sawit sudah mau mencabut pedangnya.
Sedangkan Klabang Ireng juga sudah siap mencabut seruling hitamnya. Bayu cepat
melompat, dan berdiri di tengah-tengah mereka.
"Dengar, kalian masing-masing berkeras mengakui
pewaris Pedang Dewa Naga. Kalau kalian tidak mau menahan diri sedikit saja, aku
berani bertaruh tidak ada di antara kalian yang bisa memiliki Pedang Dewa Naga,"
kata Bayu jadi agak gusar.
Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya diam saja saling bertatapan dengan tajam.
Seakan mereka tidak mendengarkan kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu barusan.
"Baik.... Kalau kalian masih terus begini, aku akan pergi sendiri. Dan ingat,
kalian tidak akan bisa mendapatkan Pedang Dewa Naga," kata Bayu lagi, seraya
hendak melangkah pergi.
Tapi belum juga kakinya terayun, Klabang Ireng sudah melompat ke depannya
menghadang. Dan bersamaan dengan itu, Rara Sawit juga melompat menghadang
Pendekar Pulau Neraka ini.
"Kau selalu mencegah kami bertarung, Kisanak.
Terus terang, sejak semalam aku terus bertanya-tanya siapa kau sebenarnya"
Kenapa kau begitu tepat muncul disaat aku hampir saja memenggal batang
lehernya?" terasa dingin sekali nada suara Rara Sawit seraya melirik sedikit
pada Klabang Ireng.
"Katakan sejujurnya, siapa kau sebenarnya. Dan ada maksud apa kau menemui kami
berdua?" desak Klabang Ireng mengikuti Rara Sawit
"Aku hanya menjalankan tugas untuk menjemput kalian berdua," sahut Bayu diiringi
dengan senyum manis tersungging di bibir.
"Hanya ada satu orang yang harus kutemui. Dan dia namanya bukan Bayu, tapi
Pendekar Pulau Neraka," kata Klabang Ireng.
"Setan! Kau selalu mendahuluiku, Klabang Ireng!
Guruku yang menyuruhku menunggu di Bukit Sampan sampai Pendekar Pulau Neraka
datang. Hanya dia
yang bisa membawaku ke tempat penyimpanan
Pedang Dewa Naga!" sentak Rara Sawit sengit.
"Kau yang mengada-ada!" bentak Klabang Ireng seraya mendelik geram.
"Sudah! Kalian tidak perlu bertengkar. Aku Bayu, juga Pendekar Pulau Neraka,"
kata Bayu langsung memberi tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Pulau Neraka itu selain
berterus terang, melihat kedua orang yang memang harus dijemputnya ini terus-
menerus bertengkar. Dan Bayu tidak ingin ada di antara mereka sampai
mengeluarkan darah. Dia harus membawa mereka berdua ke tempat me-nyimpanan
Pedang Dewa Naga.
"Dengar, kalau kalian masih saja bertengkar, aku akan pergi sendiri dan tidak
akan membawa kalian ke tempat Pedang Dewa Naga. Hanya aku yang tahu di mana
tempatnya. Dan kalian seumur hidup tidak akan bisa melihat bentuk pedang
itu...!" agak lantang terdengar suara Bayu.
Klabang Ireng dan Rara Sawit terdiam. Memang mereka tidak tahu di mana adanya
Pedang Dewa Naga. Mereka hanya mendapat perintah untuk ke Bukit Sampan menemui
Pendekar Pulau Neraka yang akan membawa mereka sampai ke tempat
penyimpanan Pedang Dewa Naga. Dan memang
hanya Pendekar Pulau Neraka saja yang mengetahui di mana adanya pedang pusaka
yang menjadi rebutan dua orang remaja ini.
"Sekarang kalian boleh pilih. Terus bertengkar, atau mau menuruti kata-kataku!"
kata Bayu menjelaskan. Namun belum juga Klabang Ireng dan Rara sawit bisa membuka suaranya, tiba-tiba
saja terdengar suara tawa yang keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa di siang hari.
Membuat mereka jadi tersentak kaget setengah mati.
"Ha ha ha...!"
*** 5

Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Sepasang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara tawa itu demikian keras terdengar menggema, seperti datang dari segala
penjuru mata angin. Sukar untuk diketahui dari mana arah datangnya suara tawa
yang semakin lama menyakitkan telinga ini.
Bayu yang sudah berpengalaman dalam merambah kejamnya rimba persilatan, langsung
bisa merasakan kalau suara tawa itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang
tinggi. Dan sudah pasti ditujukan pada mereka bertiga. Bayu bisa merasakan
adanya bahaya kalau mendiamkan terus suara tawa itu.
"Cepat kalian ke belakangku...!" pinta Bayu.
Tanpa banyak tanya lagi, Klabang Ireng dan Rara Sawit berlompatan ke belakang
Pendekar Pulau Neraka. Mereka sudah merasakan telinganya begitu sakit mendengar
Tersiksa Seperti Di Neraka 1 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Kisah Sepasang Bayangan Dewa 5
^