Pencarian

Sumpah Si Durjana 1

Pedang Siluman Darah 15 Sumpah Si Durjana Bagian 1


SUMPAH SI DURJANA Oleh Sandro S. Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode: Sumpah Si Durjana
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Angin malam bertiup kencang, menerpa
pohon-pohon hingga seperti menari-nari. Bila dilihat secara seksama, maka
bayangan pohon itu
nampak seakan mampu berjalan. Bulan yang
bergayut di atas cakrawala lamat-lamat bersinar, tertutup awan hitam yang makin
lama makin menggumpal. "Jleger! Jleger! Jleger!"
Bulan pun menghilang, berganti dengan
gelap gulita yang terpecah oleh ledakan halilintar.
Tak lama kemudian, deras air hujan pun men-
curah membasahi bumi.
Pekuburan nampak sunyi-senyap, suasa-
nanya mencekam kelam. Apalagi ditambah den-
gan gemuruhnya air hujan, makin menambah se-
ramnya suasana pekuburan itu. Angin makin la-
ma bertiup makin kencang, menggoyang-
goyangkan segala apa saja yang ada di pekuburan itu. "Kretek... Dum"
Pohon kamboja yang tumbang itu seperti
membahana kedengarannya, ambruk menimpa
kuburan yang berada di bawahnya. Bersamaan
dengan ambruknya pohon kamboja, terdengar se-
ruan tangis bayi memecahkan malam.
"Oaaa... Oaaa... Oaaa!"
Bayi itu seperti baru terlahir, atau barang
kali ia kedinginan hingga menangis. Sungguh su-
atu misteri kehidupan yang sukar dicerna oleh
akal pikiran yang sehat. Dari dalam kuburan
yang berada di bawah pohon kamboja yang tum-
bang, bayi itu tiba-tiba muncul ke atas....
Dari kejauhan nampak seseorang berlari-
lari menuju ke arah situ. Napasnya tersengal-
sengal, sepertinya ia telah berlari jauh dan cukup jauh. Sementara di
belakangnya, terdengar jerit-jerit orang banyak. Ternyata lelaki yang di
tangannya menggenggam bungkusan adalah seorang
maling. Dia telah berhasil mencuri di rumah ke-
diaman seorang saudagar yang pelit. Maling itu
adalah maling Derma, maling yang hasil curian-
nya bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk
dibagi-bagi pada orang-orang yang membutuh-
kannya. Maling itu bernama Atma Kusuma, atau
Radenmas Panji Keling. Dia adalah seorang anak
raja. Ayahnya Prabu Sukma Lelana adalah raja
dari Kerajaan Purba Wasesa. Atma Kusuma yang
melihat penderitaan rakyatnya merasa sedih. In-
gin ia menyalahkan ayahnya yang kurang perha-
tian, namun selaku seorang anak ia tak berani.
Memang sejak patih kerajaan dipegang oleh Patih Brah Amungkarti, kehidupan
rakyat Purba Wisesa makin lama makin memburuk. Kelaparan me-
landa di mana-mana, penyakit busung lapar pun
mewabah. Betapa sedihnya hati sang Pangeran
melihat hal itu, sampai-sampai sang Pangeran
Atma Jaya meneteskan air mata.
"Sungguh-sungguh Ramanda telah lalai
dengan kewajiban. Betapa berdosanya diriku ini
bila membiarkan kejadian ini terus-menerus. Aku harus berbuat sesuatu, ya
harus!" mengguman
hati Atma Kusuma, manakala melihat kesengsa-
raan rakyatnya. "Tapi apa yang harus aku lakukan?" Pikiran Atma Kusuma seketika
bimbang. Ia tak mengerti harus berbuat bagaimana untuk
menolong rakyatnya. Sambil melangkah pulang
ke kerajaan, Atma Kusuma terus berpikir men-
coba mencari jalan bagaimana untuk dapat mem-
bantu rakyatnya yang menderita. Lama sang pan-
geran itu termenung, sehingga langkahnya pun
begitu terseret seperti berjalan dengan angan
yang kosong. Tiba-tiba, sang pangeran itu tersenyum dengan hati bergumam
manakala menda-
patkan suatu ide.
"Ah, kenapa aku sedari tadi tidak berpikir sampai di situ" Sungguh bodoh aku
ini. Kalau sa-ja aku mempunyai pikiran seperti ini dari dulu, niscaya aku tak
akan pusing. Ya, aku akan mencuri... Walau itu suatu perbuatan dosa, namun
demi rakyatku aku akan melakukannya."
Sejak saat itu, tekad di hati Atma Kusuma
telah membulat. Mencuri merupakan jalan satu-
satunya untuk membantu rakyatnya yang mende-
rita. Dan sejak itu pula, Ati Kusuma melakukan
aksi pencurian. Yang dicuri adalah orang-orang
yang kaya tapi kikir. Hal itu mengundang perha-
tian sang Raja yang tidak menyangka kalau itu
adalah anaknya sendiri.
*** Malam itu rembulan tak muncul untuk
menerangi bumi. Sang rembulan sepertinya eng-
gan untuk menampakkan diri, entah karena apa.
Seharusnya tanggal-tanggal seperti ini, merupa-
kan tanggal dimana bulan akan dengan senyum-
nya menemani malamnya kehidupan. Tapi saat
itu, tidak! Yang ada hanya awan hitam kelam,
membentuk sebuah lukisan raksasa yang mem-
buat suasana malam makin nampak menyeram-
kan. Seperti hari-hari biasanya, Atma Kusuma
berkutat dengan pakaian seragam malamnya. Di-
tutupi segala tubuhnya dari ujung kaki sampai ke ujung rambut dengan kain hitam,
hanya matanya saja yang tampak.
Pelan-pelan sekali Atma Kusuma membuka
pintu jendela kamarnya, lalu ia pun melompat turun dan menghilang pergi setelah
kembali menu- tup daun jendela. Langkahnya begitu hati-hati, sepertinya ia tak ingin seorang
penjaga istana mengetahuinya. Atma Kusuma menyelusup dari
satu pohon ke pohon yang lain, lalu ia pun me-
lompati pagar. "Hoop, ya!"
Tubuhnya berkelebat bagaikan terbang,
mencelat melompati pagar yang tingginya hampir
lima tombak. Tubuh berkain hitam itu, menapak-
kan kakinya dengan enteng di atas tanah di seberang tembok yang mengelilingi
istana dan lari
menghilang dalam gelapnya malam.
Malam itu giliran seorang tuan tanah kikir
yang menjadi perhatian Atma Kusuma. Tuan ta-
nah itu, merupakan lintah darat yang sangat
mencekik leher dan menghisap darah rakyat. Hu-
tang rakyat, dilipat gandakan dengan renten-
renten yang makin membelit.
"Hem, orang ini harus aku kuras habis har-
tanya, biar dia tahu rasa. Aku heran, mengapa sejak patih Brah Amungkarti yang
menjabat patih banyak orang-orang tak berperikemanusiaan
muncul" Apa mungkin ini sebuah taktik dari
Brah Amungkarti" Sungguh Ramanda tak mem-
perhatikan hal ini. Kenapa Ramanda mengangkat
patih orang sepertinya, yang belum diketahui asal mulanya" Kalau Brah Amungkarti
hendak berbuat jahat, niscaya dengan mudah Ramanda ter-
gulingkan. Ah, itu bukan urusanku. Sekarang
yang penting bagiku adalah menolong rakyatku
yang menderita," gumam hati Atma Kusuma, yang tampak mengendap-endap di sisi
rumah tuan tanah itu. "Aku harus dapat berbuat banyak untuk rakyatku. Hoop...
hampir saja aku ketahuan oleh mereka."
Atma Kusuma segera sisipkan tubuh me-
rapat di tembok, manakala tiga orang peronda
nampak berjalan tak jauh darinya. Matanya me-
mandang tajam, dengan napas tertarik perlahan-
lahan. Ketika ketiga orang peronda itu telah jauh, Atma Kusuma kembali tampakkan
tubuh, Matanya memandang ke atas genting, sepertinya ada sesuatu di sana.
"Hem, aku harus beraksi dari atas sana.
Kalau aku beraksi dari bawah, bukan tidak
mungkin peronda itu akan memergoki aku," bergumam Atma Kusuma dalam hati. "Hoop,
ya..." Tubuh Atma Kusuma berkelebat bagaikan
terbang, hinggap tepat di atas wuwungan rumah
itu tanpa mengeluarkan suara. Matanya kembali
mengawasi sekelilingnya sesaat, sebelum akhir-
nya ia jongkok. Perlahan-lahan, satu demi satu
genting rumah itu dibukanya. Tiga genting, empat hingga akhirnya enam genting
terbuka. Atma Kusuma sesaat memandang ke bawah, tepat ma-
tanya menatap pada dua sosok tubuh yang ten-
gah tertidur pulas.
Hem, aku rasa ini si lintah darat itu den-
gan istri mudanya. Heran, kenapa masih banyak
wanita yang mau dengan lintah darat yang sudah
ketahuan kebusukkannya?" guman hati Atma
Kusuma sembari gelengkan kepala manakala
mengingat keadaan rakyatnya benar-benar sudah
berada di bawah garis kemiskinan. "Aku harus segera berbuat, Hoop...ya!"
Tubuh Atma Kusuma seketika melayang ke
bawah, dan berdiri tepat di hadapan kedua sua-
mi istri yang telah pulas tidur. Sesaat Atma Kusuma meneliti kebenaran tidur
tidaknya lintah
darat itu. Setelah merasa yakin, segera Atma Kusuma yang sering dijuluki oleh
para korbannya dengan julukan Maling Siluman beraksi. Dibu-
kanya pintu almari dengan pedang, sehingga pin-
tu almari itu seketika berantakan. Setelah pintu almari itu terbuka, segera
Maling Siluman itu
mengambil kantong yang telah ia persiapkan. Di-
kurasnya seluruh uang dan harta yang ada di da-
lam almari, yang dimasukkan ke dalam kantong.
Setelah merasa cukup, Maling Siluman itu segera
berkelebat keluar dari rumah menggondol hasil
curiannya. Malam itu juga, dibagi-bagikan hasil cu-
riannya pada seluruh rakyat yang dirasa sangat
memerlukan. Dan setelah merasa cukup usa-
hanya, tanpa banyak kata lagi Maling Siluman
kembali pergi meninggalkan rumah-rumah pen-
duduk. Esok pagi, seluruh rakyat gempar dengan
apa yang dialami oleh mereka. Tiba-tiba saja, di depan pintu rumah telah
tergeletak bungkusan
uang dan barang-barang yang dapat dijual. Seke-
tika seluruh rakyat bertanya-tanya, siapakah
yang telah menolong mereka" Dan mereka akhir-
nya menyadari, pastilah Maling Siluman itu yang telah berbuat semuanya.
Senang bagi rakyat yang telah dibantu oleh
Maling Siluman, namun sangat tak senang bagi
lintah darat yang telah menjadi korbannya. Lintah darat itu segera mengadukan
pada sang Raja mengenai hal itu. Sang Raja yang selalu diojok-
ojoki oleh mentrinya, saat itu juga gusar dan marah. Saat itu pula, seluruh
prajurit disebar untuk sedapatnya menangkap Maling Siluman.
"Edan! Patih itu, patih itu lagi. Hem, jangan harap aku dapat kalian tangkap.
Kalau pun aku kalian tangkap dan dihukum mati sekali pun, aku senang karena telah membantu
kehidupan rakyatku." bergumam hati Atma Kusuma, yang telah mendengar pembicaraan
patih kerajaan den-
gan ayahhandanya. "Untuk sementara, aku akan beraksi di tempat-tempat maksiat.
Tidak mung- kin, kalau tempat-tempat itu mendapat pengawa-
san dari kerajaan. Hem, akan aku buat pusing
kau, Patih busuk!"
Tengah Atma Kusuma menyadap pembica-
raan ayahandanya dengan Sang patih kerajaan,
tiba-tiba ayahandanya mengetahui dirinya. Den-
gan mata melotot marah, ayahandanya memang-
gilnya. "Atma, ke mari kau!"
"Daulat, Ayahanda...." menjawab Atma seraya melangkah menghampiri. Di wajahnya
tak tampak rasa takut, sepertinya ia telah siap untuk menerima hukuman apa yang
bakal ayahhandanya berikan.
Atma Kusuma segera mengahaturkan sem-
bah, lalu duduk bersila dengan muka menunduk
di hadapan sang ayah. Sementara patihnya berdi-
ri di samping kanan ayahandanya. Sorot mata
sang patih, sepertinya menaruh hawa permusu-
han dengannya. "Anak tak tahu sopan santun! Apa perlumu
menyadap pembicaraanku dengan paman patih,
hah!" bentak Prabu Sukma Lelana marah, merasa anaknya telah berlaku tidak sopan.
"Apakah kau sengaja menyadap pembicaraan untuk kau beri-tahukan pada Maling
Siluman itu" Apakah kau
tak tahu kalau itu perbuatan tidak baik!"
"Ampun, Ramanda. Atma mengerti. Atma
tadi tidak sengaja mendengarkan percakapan ra-
manda dengan paman patih, sebab Atma tengah
berjalan hendak pergi ke luar," menjawab Atma Kusuma dengan kepala masih
menunduk. Wa- laupun ia seorang yang sangat menentang pada
tindakan ramandanya, namun sebagai seorang
anak ia pun merasa harus berbakti pada orang
tuanya.

Pedang Siluman Darah 15 Sumpah Si Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar kau tidak sengaja"!"
"Benar, Ayahanda,"
"Awas kalau kau berbuat seperti tadi lagi.
Tak akan aku segan-segan menghukummu, men-
gerti!" "Daulat, Ayahanda," jawab Atma Kusuma.
"Sekarang pergilah!"
"Terimakasih, Ayahanda. Ananda mohon
diri," berkata Atma Kusuma. Setelah menyembah, Atma Kusuma beringsut dari
hadapan ayahandanya, pergi.
Dicobanya untuk dapat menenangkan piki-
ran dengan cara jalan-jalan melihat-lihat kam-
pung-kampung penduduk. Atma Kusuma me-
mang sengaja melihat-lihat kampung-kampung
penduduk. Atma Kusuma memang sengaja tidak
meminta pengawalan dari prajurit, bahkan ia
memilih jalan kaki ketimbang naik kuda. Ke ma-
na kakinya melangkah, maka itu tujuannya. Kini
hatinya lega karena telah mampu membantu ra-
kyatnya. Kehidupan rakyatuya kini tidak seperti dulu lagi. Tak ada jerit anak-
anak kelaparan, tak ada lagi jerit kematian.
"Ah, sungguh hatiku bangga dapat berbuat
demikian. Namun bukan hanya rakyat di sekitar
kerajaan saja yang harus aku bantu. Aku pun ha-
rus membantu rakyat yang ada di pedalaman.
Aku dengar mereka malah lebih buruk keadaan-
nya. Sungguh-sungguh memprihatinkan. Hem,
semuanya mulai nanti malam akan dijaga ketat
oleh prajurit. Setan patih keparat itu! Awas, kalau sampai aku tahu dia berbuat
jelek, tak akan aku ampuni nyawanya."
Dengan membawa hati gundah dan pikiran
yang melayang memikirkan nasib rakyat di peda-
laman, Atma Kusuma terus melangkah pergi
mengikuti ke mana langkah kakinya.
Tak terasa olehnya, ia telah melangkah cu-
kup jauh dan jauh meninggalkan istana. Mana
kala ia telah jauh melangkah dengan membawa
pikirannya, tiba-tiba ia disontakkan oleh tiga
orang bertampang menyeramkan menghadang
langkahnya. Ketiga orang itu datang secara tiba-tiba, dan telah berdiri di
hadapannya dengan ma-ta mengandung kebencian. Hal itu menjadi-kan
Atma Kusuma yang tak mengenal ketiganya
hanya dapat kerutkan kening seraya bertanya.
"Siapakah Ki Sanak bertiga adanya" Dan
maksud apa Ki Sanak bertiga menghadang lang-
kahku?" Ketiga orang bertampang buruk dan me-
nyeramkan itu, tak menjawab. Bahkan sorot mata
mereka makin menghunjam tajam laksana sebi-
lah belati. Orang-orang itu sepertinya bermaksud tak baik. Walaupun ketiganya
sangat menyeramkan, dengan segala ciri tersendiri. Satu berwajah penuh bekas
cacar, bernama si Bopeng. Seorang
lagi bermuka lonjong dengan mulut sumbing,
bernama Sumbing. Dan satu orang lagi matanya
jereng, bernama si Jereng. Ketiganya terkenal
dengan julukan Tiga Iblis Cacat dari Lawangan.
Mendapatkan ketiga orang itu tak menja-
wab, kembali Atma Kusuma lontarkan perta-
nyaan serupa. "Siapakah Ki Sanak bertiga" Dan maksud apa Ki Sanak bertiga
menghadang lang-kahku?"
"Kaukah yang bernama Atma Kusuma, mu-
rid dari Sunan Kalijaga?" tanya si Sumbing dengan sinis, menjadikan bibirnya
yang sumbing makin tampak menyeramkan menunjukkan gigi-
giginya yang kuning dan bau busuk.
"Benar apa yang Ki Sanak ucapkan. Aku
memang bernama Atma Kusuma, murid dari Kan-
jeng Sunan Kalijaga. Ada apakah...?"
"Kau harus mati," membersit si Bopeng berkata, menjadikan Atma Kusuma seketika
itu melototkan mata kaget. Mulut Atma Kusuma se-
ketika itu memekik tertahan karena kagetnya.
"Ah... Apakah aku telah bersalah pada ka-
lian, sehingga kalian menginginkan aku mati" Rasanya aku tak pernah berbuat
jahat pada kalian, dan juga tak pernah ada silang sengketa antara
kita, bukan?"
"Kami tak perduli. Kami hanya menjalan-
kan tugas!" menggeretak si Jereng, yang makin menjadikan Atma Kusuma
membelalakkan matanya karena kaget. Betapa tidak! Ketiga Iblis Cacat itu tiba-
tiba bermaksud membunuhnya atas
perintah seseorang, yang belum ia kenal nama
dan mukanya. Hal itu menjadikan tanda tanya di
hati Atma Kusuma, yang mengira-ngira siapa
adanya orang yang bermaksud menghendaki ke-
matiannya dengan cara menyuruh pada Tiga Iblis
Cacat yang terkenal kejam dan bengis.
"Hem, sungguh-sungguh perbuatan penge-
cut. Mengapa harus menyuruh Tiga Iblis Cacat
untuk membunuhku" Aku rasa, ini semua adalah
tindakan patih pengecut itu. Bangsat! Kapan
akan aku dapati kesalahanmu, Patih bajingan!"
menggeretak hati Atma Kusuma marah. Sementa-
ra matanya memandang tak berkedip pada ketiga
Iblis Cacad. "Sudah siapkah kau mati, Anak muda?"
tanya si Bopeng dengan senyum menyeringai.
"Kalau aku boleh tahu, siapakah yang telah menyuruh kalian untuk membunuhku?"
tanya Atma Kusuma. "Apakah itu penting untuk seseorang yang
hendak mati" Hua, ha, ha... Aku rasa, percuma
kau mengetahuinya, sebab sebentar lagi kau akan kami kirim ke akherat." bergelak
tawa si Sumbing dengan congkaknya, seperti meremehkan siapa
adanya pemuda yang kini berdiri di hadapannya.
Atma Kusuma sebagai murid Sunan Kalija-
ga, merasa tak gentar sekuku hitam pun. Ia telah mendapat gemblengan baik ilmu
kanuragan maupun ilmu agama dari sang Sunan. Hatinya
tenang, sebab ia serahkan segalanya pada Yang
Maha Kuasa. Dengan senyum mengembang di bi-
bir, Atma Kusuma pun berkata.
"Tak mengapa kalau kalian memang hen-
dak membunuhku. Tapi aku meminta syarat."
"Apa syaratmu, Anak muda?" tanya si Juling,
"Sederhana," menjawab Atma Kusuma.
"Syaratku, beri aku tahu siapa orang yang telah menyuruh kalian untuk
membunuhku."
"Hanya itu?" tanya si Sumbing dengan senyum mengejek.
"Ya, hanya itu."
Ketiga Iblis Cacat itu sesaat saling pandang
satu sama lain. Merasa mereka bakal mampu
membunuh Atma Kusuma, mereka pun dengan
tanpa berpikir lagi segera memberi tahu siapa
adanya orang yang telah menyuruh mereka untuk
menghabisi nyawa Atma Kusuma.
"Agar kau tidak mati penasaran, baiklah
akan aku beri tahu siapa yang telah menyuruh
kami untuk membunuh dirimu. Yang telah me-
nyuruh kami, tak lain adalah ayahmu," menjawab si Bopeng yang disertai gelak
tawa oleh kedua rekannya.
Tersentak Atma Kusuma mendengarnya.
Namun sebagai seorang yang telah dididik oleh
Sunan Kalijaga, Atma Kusuma tak mau begitu sa-
ja mempercayai omongan ketiga Iblis Cacat itu.
Maka dengan nada kesal setengah membentak,
Atma Kusuma berkata:
"Dusta! Kalian telah mendusta. Hem, ja-
ngan harap aku rela kalian bunuh kalau kalian
tak mau memberi tahu siapa sebenarnya orang
yang telah menyuruh kalian untuk membunuh-
ku!" "Bedebah! Sombong kau, Anak muda! Tak akan Tiga Iblis Cacat gagal dalam
setiap menjalankan tugas! Bersiaplah kau untuk kami kirim
ke akherat!" balas membentak si Juling.
"Kalau kalian mampu, lakukanlah!"
"Monyet! Rupanya kau menantang kami!
Bersiaplah, Anak muda! Jangan sampai kau ter-
lengah," mendengus marah si Sumbing, bersamaan dengan melompatnya kedua rekannya
me- nyerang Atma Kusuma.
Diserang langsung oleh tiga orang yang
namanya telah menggentarkan siapa saja yang
mendengarnya, tidak menjadikan Atma Kusuma
keder. Sebagai murid dari Sunan Kalijaga, pan-
tang baginya harus mengalah pada manusia-
manusia hamba iblis. Pertarungan pun berjalan
dengan serunya, menjadikan tempat itu seperti
terserang oleh angin prahara kala mereka menge-
luarkan segala kekuatan yang mereka miliki.
Meskipun demikian, nampaknya Atma Ku-
suma bukanlah tandingan dari Tiga Iblis Cacat
yang namanya sudah kelewat kesohor. Atma Ku-
suma yang murid Sunan Kalijaga, bagaikan bu-
rung Rajawali yang gagah menyerang dengan ce-
pat dan menghindar dengan gesit. Serangan-
serangan Tiga Iblis Cacat, dengan mudah di-
elakkannya. Bahkan kini Atma Kusuma yang ba-
lik menyerang dan mendesak ketiga Iblis Cacat
itu. Terbelalak mata ketiga Iblis Cacat manaka-la melihat kenyataan yang ada.
Ternyata orang yang dianggapnya sepele, jauh melebihi orang
yang mereka anggap sangat bahaya. Kini mereka
sadar akan siapa yang tengah mereka hadapi.
Ternyata nama besar Sunan Kalijaga bukanlah
isapan jempol belaka. Jangankan Sunan Kalijaga
sendiri yang turun tangan, muridnya saja telah
mampu menghadapi mereka bahkan kalau Atma
Kusuma mau ia mampu dengan mudah menja-
tuhkan ketiga musuh-musuhnya. Namun ru-
panya Atma Kusuma masih menahan sabar, se-
hingga Atma Kusuma masih memberikan kelong-
garan pada Tiga Iblis Cacat itu. Tubuh Atma Ku-
suma seketika berkelebat cepat, lalu tanpa dapat dicegah oleh ketiga Iblis
Cacat, Atma Kusuma telah menotok ketiganya dengan cepat dan tepat.
Seketika ketiga iblis itu terkulai jatuh ke tanah dengan badan seperti tak
bertulang. "Aku minta kalian mau memberi tahu siapa
yang telah menyuruh kalian," kata Atma Kusuma seraya berjalan menghampiri ketiga
musuhnya yang terduduk ngejuprak di tanah dengan wajah
penuh ketakutan. Keringat dingin seketika mem-
banjiri kening ketiga Iblis Cacat. Atma Kusuma
tersenyum, berusaha meyakinkan pada ketiga Ib-
lis Cacat untuk mau memberi tahu siapa adanya
orang yang telah menyuruh mereka untuk mem-
bunuh dirinya. "Kenapa kalian sepertinya takut untuk mengatakan siapa orang itu"
Kalian tak perlu takut, aku akan menyembunyikannya bila
telah tahu siapa adanya orang tersebut. Bukan-
kah kalian bisa ngomong bahwa kalian tidak atau belum menemukan aku"
"Benar apa yang kau katakan. Baiklah, aku
akan mengatakannya padamu tapi aku minta
nanti kami dibebaskan!" si Bopeng akhirnya berkata mewakili kedua rekannya.
"Hem, baik. Sekarang katakanlah!"
"Orang yang menyuruh kami, tak lain dari-
pada patih ayahmu!"
"Sudah aku duga sebelumnya," desah Atma Kusuma seperti berkata pada diri sendiri
demi mendengar jawaban si Bopeng. "Nah, aku akan membebaskan kalian. Tapi ingat!
Jangan sekali-kali kalian mengakali aku, kalau kalian tidak ingin batok kepala
kalian aku pecahkan!"
Habis berkata begitu, dengan cepat Atma
Kusuma bergerak membuka totokannya yang te-
lah menjadikan ketiga Iblis Cacat itu lumpuh.
"Tok... tok... tok!"
Tiga kali totokan pembuka itu berturut-tu-
rut. Dan tiga kali itu pula tangan Atma Kusuma
menekan urat nadi di tubuh ketiga Iblis Cacat.
Saat itu juga ketiga Iblis Cacat pulih seperti
sedia kala. Tanpa berkata lagi, ketiganya segera ngacir pergi meninggalkan Atma
Kusuma yang hanya geleng-geleng kepala melihat hal itu.
2 Sebagai orang yang mendapatkan didikan
dari Sunan Kalijaga, Atma Kusuma tak sombong
dan angkuh serta bertindak telengas. Segalanya
dipikirkan dengan masak-masak. Seperti halnya
masalah patih kerajaan, yang ia tahu adalah
orang yang bermaksud jahat padanya dan telah
menyuruh pada Tiga Iblis Cacat untuk menying-
kirkan dirinya. Namun bagaikan tak mengerti sa-
ja, Atma Kusuma bertindak tanduk seperti biasa.
Ia menghormati sang patih, layaknya seperti tak menaruh sakwa sangka.
Sang patih yang tidak mengetahui kejadian
sebenarnya, menyangka kalau Atma Kusuma be-
nar-benar tak tahu maksud buruknya. Sang patih
selalu membalas dengan senyum bila Atma Ku-
suma menyapanya, walau senyum itu senyum
bengis. Namun begitu, Atma Kusuma tak meng-
gubrisnya. Dibiarkan semua berlalu, bagaikan ia tak mengusik apa sebenarnya yang
terkandung pada senyum sang patih.
Melihat anak dan patihnya nampak rukun,
hati sang raja bungah. Ia menyangka kalau anak
dan patihnya berpikiran searah dan setujuan.
Hingga pada suatu hari, sang raja memanggil At-
ma Kusuma anaknya untuk berbincang-bincang.
Telah sekian lama sejak kematian istri yaitu ibu Atma Kusuma, baginda jarang
sekali ngobrol dengan anak satu-satunya. Segala perhatiannya di-
curahkan pada kerajaan dan ambisi, yang hal itu tanpa disadari olehnya ditentang
secara diam-diam oleh sang anak.
"Anakku."


Pedang Siluman Darah 15 Sumpah Si Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Daulat, Ramanda," menjawab Atma Ku-
suma seraya menyembah.
"Ayah lihat, kau begitu akrab dengan pa-
man patih. Aku senang melihatnya, sebab kau
tentunya akan dapat belajar banyak darinya. Ba-
gaimana menurut pendapatmu, Anakku?"
Walau dalam hatinya memaki-maki sengit,
namun sebagai seorang anak, Atma Kusuma tak
mau mengutarakan kejengkelannya pada sang
ayah. Ia bukanlah anak kecil lagi, yang selalu
mengadu segalanya pada orang tua. Ia adalah
anak dewasa, yang mau tak mau harus menang-
gung beban dirinya di atas pundaknya sendiri.
Dengan mengangguk Atma Kusuma menjawab:
"Begitulah, Ramanda."
"Begitu bagaimana, Anakku?" tanya sang raja belum mengerti akan maksud ucapan
anaknya. "Katakanlah dengan terus terang apa yang ada dalam hatimu."
"Dia memang baik, Ramanda," menjawab
Atma Kusuma, menjadikan senyum ayahanda se-
ketika mengembang.
"Itulah, mengapa Rama mengangkat di-
rinya menjadi patih di sini. Dia orangnya baik, sopan dan penuh kewibawaan.
Jarang seorang patih seperti dirinya, mau merakyat."
Mendengar ucapan ayahnya, seketika hati
Atma Kusuma membatin.
"Hem, rupanya Ramanda telah terpengaruh
dengan kedoknya. Ramanda tak mengetahui siapa
adanya keparat itu. Sungguh kasihan ayahku...
Kapan aku akan mampu membuka kedoknya itu."
"Kenapa kau terdiam, Anakku?" tanya sang raja pada anaknya, menjadikan Atma
Kusuma yang terdiam seketika kaget. Dan dengan suara
terbata Atma Kusuma berkata:
"Ti-tidak, Ramanda. Memang paman patih
orangnya baik, supel dan mau merakyat. Memang
kita beruntung mendapatkan dia, yang punya
wawasan yang baik dan luas."
Makin melebar saja senyum sang raja
mendengar penuturan anaknya. Ternyata sang
anak sehaluan dengannya, menilai bahwa patih-
nya memang orang yang baik dan mempunyai
wawasan yang tinggi. Kepala sang raja mengang-
guk-angguk, hatinya senang.
"Anak ku, ke mana saja kau selama ini"
Ramanda lihat, kau selalu pergi ke luar istana.
Apa yang engkau lakukan di luar?"
"Ampun, Ramanda. Ananda pergi ke luar
hanya untuk membuang rasa sepi. Entahlah, se-
jak kepergian ibunda, ananda selalu merasakan
kesepian. Kerajaan ini bagi ananda kurang cocok, sehingga untuk menghibur hati,
ananda keluar melihat-lihat alam."
Sang raja kembali angguk-anggukkan ke-
pala mendengar penuturan anaknya. Bibirnya
masih mengurai senyum, sementara matanya
berbinar-binar. Ia bangga dengan anaknya, yang
walau pun anak tunggal namun tidaklah manja.
Manakala ia menatap terus pada wajah sang
anak, kembali bayangan istrinya menggurat pada
wajah Atma Kusuma. Bila telah begitu, maka tan-
pa sadar sang raja menangis. Ia menangis atas si-fatnya akhir-akhir ini pada
sang anak. Kembali ingatannya melayang pada janjinya pada sang istri sebelum
istrinya meninggal.
"Kanda, kalau aku meninggalkan kanda,
aku mohon kanda mau mengasuh anak kita Atma
Kusuma dengan baik. Janganllah kanda me-
marahi atau melukai perasaannya, kasihan dia.
Dia masih terlalu remaja yang kekanak-kanak-
kan. Dia perlu bimbingan. Dia anak kita satu-
satunya, hasil dari benih cinta kasih kita ber-
dua." "Aku berjanji, Dinda. Aku akan menya-yanginya dengan sepenuh hati. Dia
adalah anak- ku dia adalah darah dagingku. Dia anak kita sa-
tu-satunya?" tanya istrinya, yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh sang
baginda menjadikan
istrinya seketika memeluk dengan penuh kasih
sayang. Sang raja seketika menangis, manakala
istrinya telah meninggal dalam dekapannya. Iste-rinya meninggal dalam keadaan
mengandung muda... Sejak kematian istrinya, sang raja selalu
berusaha menyayangi anaknya Atma Kusuma.
Sesuai dengan janji yang telah ia ucapkan. Na-
mun setelah kedatangan patih baru itu, pikiran-
nya seketika berubah pada sang anak. Perhatian-
nya berkurang, malah ia sering memarahi sang
anak walau belum tentu Atma Kusuma bersalah.
*** Malam itu adalah malam bulan purnama
kesembilan, sehingga cahaya bulan tidak begitu
terang. Seperti hari-hari biasanya, malam itu pun Atma Kusuma beraksi untuk
membantu rakyatnya yang kekurangan. Maling Siluman atau Atma
Kusuma malam itu tengah berlari menerobos ma-
lam, manakala terdengar olehnya dari sebuah
rumah terdengar teriakan-teriakan meminta to-
long. "Toooolllooooong! Toloooong..."
Tersentak Maling Siluman menghentikan
langkahnya. "Hem, ada suara orang meminta tolong,
kedengarannya dari arah Selatan. Aku harus ke
sana, hiat....!" Sekali kelebat, tubuh Maling Siluman telah menghilang dengan
cepatnya. Maling
Siluman atau Atma Kusuma, terus berlari menuju
ke arah usalnya suara itu.
Suara jeritan itu makin lama makin dekat,
menjadikan Atma Kusuma atau Maling Siluman
makin mempercepat larinya. Maling Siluman se-
gera hentikan langkah, manakala tampak sege-
rombolan manusia yang terpaku memandang tak
dapat berbuat apa-apa pada rumah di hadapan
mereka. Sepertinya mereka terkena ilmu sirep,
sehingga mereka walau berdiri namun tidur.
"Hem rupanya orang-orang itu terkena ilmu
sirep. Akan aku bangunkan mereka. Aku rasa,
tengah terjadi apa-apa di dalam rumah itu.
Hiaat.... wuhh...."
Maling Siluman tiupkan napas dari jarak
jauh ke arah orang-orang yang terpaku diam yang seketika itu tersadar dari
tidurnya. Serta merta mereka segera memburu masuk ke dalam rumah
di mana masih terdengar rintihan seorang wanita.
Maling Siluman pun tak tinggal diam, ia segera
meloncat menerobos masuk.
Tersentak semuanya termasuk Maling Si-
luman, melihat apa yang tengah terjadi. Seekor
makhluk yang sangat menyeramkan menyerupai
manusia namun berbulu lebat seperti monyet,
tengah mengangkangi wanita yang terkulai lemas
dengan tubuh yang tak bertutup sehelai pun.
Makluk menyeramkan itu menyeringai, matanya
memerah laksana api memandang pada orang-
orang yang ada di situ.
"Gondoruwo....!" memekik semuanya setelah tahu makhluk itu.
Mahluk gondoruwo itu seketika tersentak.
Namun belum juga mereka hilang kagetnya, tan-
gan berkuku hitam panjang itu telah menghan-
tam ke arah mereka. Seketika itu, lima orang
warga memekik dengan dada robek tercakar oleh
kuku beracun gondoruwo. Tubuh orang-orang
yang terkena seketika membiru, lalu kejang se-
saat dan mati. Melihat hal itu, Maling Siluman yang telah
berada di tempat itu segera kibaskan tangan ma-
na kala tangan sang gondoruwo hendak kembali
menyerang. Tersentak sang gondoruwo, tangan-
nya dirasa panas bagai disulut api. Mata gondo-
ruwo itu tajam memandang pada Maling Siluman,
yang kini telah berdiri dengan mata memandang
tajam pula ke arahnya.
"Siapa kau!"
Tersentak Maling Siluman, manakala
mendengar bentakan makhluk yang sering dis-
ebut gondoruwo itu. Bukan hanya Maling Silu-
man saja yang tersentak kaget, seluruh orang
yang ada di situ pun kaget mendengar gondoruwo
itu membentak. Setahu mereka gondoruwo tak
akan bisa berkata bila dalam keadaan wujud se-
perti itu. Maling Siluman tersenyum kecut, manaka-
la mengenali suara itu. Suara yang seringkali ia dengar. Maling Siluman berusaha
mengingat-ingat pemilik suara itu, namun sepertinya mengalami kebuntuan.
Pikirannya seketika mencari akal untuk menjebak mahluk gondoruwo itu. Maka
dengan segera Maling Siluman pun menjawab:
"Aku akan mengatakan siapa aku, kalau
kau pun mau menunjukkan wujudmu yang asli.
Aku tahu dan kenal suaramu, namun aku tak in-
gin gegabah menuduh. Nah, tunjukkan ujudmu
dalam bentuk manusia!"
"Hua, ha, ha... Kau rupanya pintar. Baik,
aku akan tunjukkan ujudku dalam bentuk ma-
nusia. Aku tak akan takut menghadapimu, Mo-
nyet kecil!"
Bersamaan dengan habisnya suara gondo-
ruwo, seketika tubuh berbulu lebat itu perlahan-lahan mengalami perubahan. Kini
makin tersen- tak saja Maling Siluman melihat hal itu, ternyata dugaannya benar bahwa mahluk
yang bernama Gondoruwo yang suka mengganggu wanita adalah
patih kerajaannya.
"Hem, kalau begitu, Iblis ini yang dulu
mengganggu ibunda manakala ayahanda tak ada
di istana. Bedebah, rupanya itu maksudnya men-
jadi patih. Dasar Iblis... Hari ini juga, aku harus melenyapkannya." bergumam
hati Maling Siluman. "Hem, rupanya kau cecunguknya yang telah membuat keresahan
dan menyiksa rakyat ke-
rajaan ini," menggeretak marah Maling Siluman,
menjadikan patih Brah Amungkarti tersentak.
Ucapan Maling Siluman sungguh tajam dan pe-
das, menjadikan marah patih Brah Amungkarti
yang dengan lantang membentak.
"Siapa kau, monyet kecil!"
"Akulah Maling Siluman yang akan me-
nyingkirkanmu dari dunia ini, Iblis!"
Terbelalak semua yang ada di situ, mana-
kala mengetahui bahwa orang bertutup serba hi-
tam adalah orang yang selalu membantu rakyat.
Nama Maling Siluman memang telah terkenal
dengan segala tindakannya yang suka membantu
rakyat. Meski demikian, rakyat belum mengetahui tampang dari sang penolong. Kini
mereka tahu siapa orang yang menamakan dirinya Maling Si-
luman, yang kini dengan berani menghadapi patih Brah Amungkarti yang ternyata
mahluk Iblis Gordoruwo.
"Hem, rupanya kau cecunguknya yang te-
lah membuat resah. Hari ini juga, akan aku re-
mas tubuhmu."
"Jangan sombong, Iblis busuk! Kaulah
yang harus aku singkirkan agar kerajaan ini te-
nang seperti sedia kala. Rupanya kau pula yang
telah menumbuhkan lintah-lintah penghisap da-
rah rakyat."
"Kunyuk! Lancang mulutmu!" membentak
marah Brah Amungkarti marah. "Kubunuh kau, monyet!"
Bersamaan dengan habisnya suara patih
Brah Amungkarti, sang patih segera melompat
menyerang Maling Siluman yang dengan cepat
berkelebat menghindari serangan. Dengan cepat, Maling Siluman berlari ke luar
ruangan menuju halaman. Melihat Maling Siluman lari ke luar, serta
merta Brah Amungkarti pun segera memburu ke
luar. "Jangan lari, Maling!"
"Aku tak lari, Iblis busuk! Aku menunggu-
mu di luar!"
"Bedebah! Kalau kau tak aku binasakan,
maka kaulah duri dalam daging. Kau akan mem-
buat kesusahanku!"
"Hua, ha, ha... Rupanya kau takut bila se-
luruh rakyat akan mencincang tubuhmu." bergelak tawa Maling Siluman, menjadikan
makin ber- tambah marah patih Brah Amungkarti. Dengan
didahului menggeram bersamaan dengan berubah
ujudnya kembali ke bentuk semula, Brah
Amungkarti atau gondoruwo menyerang secara
cepat Maling Siluman.
Diserang begitu cepat oleh gondoruwo, Mal-
ing Siluman gandakan tawa. Dengan entengnya
Maling Siluman elakkan setiap serangan gondo-
ruwo. Hal itu menjadikan sang gondoruwo makin
mendengus penuh amarah. Ditingkatkan seran-
gannya dengan harapan dapat segera men-
jatuhkan Maling Siluman. Namun seperti semula,
Maling Siluman dengan masih bergelak tawa en-
teng saja mengelakkannya. Malah kini Maling Si-
lumanlah yang mendesaknya.
Merasa dirinya telah terpepet, serta merta
gondoruwo itu bersuit melengking. Napasnya
memburu, membunyikan suara asing kedenga-
rannya. Saat itu pula, dari bawah tanah bermun-


Pedang Siluman Darah 15 Sumpah Si Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

culan mahluk-mahluk menyeramkan. Mahluk-
mahluk berbentuk manusia tanpa daging me-
lekat di tubuhnya, seketika itu menyerang Maling Siluman.
Terbelalak mata semua yang melihatnya,
manakala melihat apa yang muncul dari dalam
tanah itu. "Percuma kalian membantuku. Mereka bu-
kan musuh kalian, biar aku saja. Kalian mundur-
lah. Sia-sia tenaga kalian." berseru Maling Siluman pada warga, yang seketika
menurut mundur menjauh. Namun mereka pun telah siap dengan
senjata, kalau-kalau mahluk-mahluk menyeram-
kan itu menyerang mereka.
Maling Siluman tersentak kaget, manakala
seranganya tak berarti apa-apa bagi mahluk-
mahluk menyeramkan itu. Setiap mahluk itu di-
hantam, mahluk itu menjadi dua. Dari dua men-
jadi empat, makin bertambah banyaklah mahluk-
mahluk menyeramkan itu mengeroyok Maling Si-
luman. "Gusti Allah, apakah aku mampu menghadapi mereka semua?" keluh Maling
Siluman dalam hati.
Manakala Maling Siluman tengah dalam
kebimbangan atas kemampuanya, tiba-tiba ter-
dengar suara berkata digendang telinganya. Suara itu jelas sekali, dan begitu ia
kenal betul. Pemilik suara itu adalah gurunya Sunan Kalijaga.
"Anakku, kau tak kan mampu mengalah-
kan mereka bila kau bertarung dengan hati bim-
bang dan ragu. Tenangkanlah hatimu. Dan pu-
satkan segalanya pada Yang Maha Kuasa Allah
Subhanahu Wata alla. Tentunya kau masih ingat
dengan apa yang aku katakan. Hadapi segala Iblis dan Syetan dengan segala
ketenangan, lahir
maupun batin. Hadapi mereka dengan Ayyatul
qursi, niscaya mereka akan hilang dari alam ini.
Lakukanlah anakku."
"Terima kasih, Guru, Hamba akan selalu
mengingat semua itu!"
Terkejut Maling Siluman manakala sebuah
tangan tanpa daging berkelebat menyerang ke
arahnya. Hampir saja mukanya terkena sabetan
tangan berbau bangkai, kalau saja Maling Silu-
man tidak segera lemparkan tubuh ke belakang
beberapa tombak. Sesaat Maling Siluman pejam-
kan mata, mulutnya membaca do'a surat Qhursi.
"Allahhula ilaha ila huwal hayyul qoyyuum, Laata khuzuhu sinnatun walaa nauum,
Lahuma fissamaa waati wamaa fil ardhi
Manza ladzi yas fau indhahuu Illa biizni
Ya'lamuma baena aidhim wama khalfahum
Walaa yuhit tuna bisaiin min ilmihi illa bi-masya Wasyia qhursiyihus sama wati
wama fil ardhi Walla yauudhuhu hifzuhumma wahuwal ali-yul adzhim."
Bersamaan dengan habisnya ayattul Qhur-
si, seketika itu pula mahluk-mahluk menyeram-
kan itu memekik bagaikan terbakar oleh panas
api neraka. Belum sempat sang gondoruwo sadar
dari rasa panas yang menyengat tubuhnya, sece-
pat kilat Maling Siluman hantamkan pukulan ja-
rak jauhnya yang bernama Lampus Umur. Den-
gan Lampus Umur tingkat pemungkas, mele-
daklah tubuh gondoruwo itu hancur menjadi de-
bu. Maling Siluman pejamkan mata, hatinya
berbisik mengucapkan syukur kehadiran Yang
Maha Kuasa. Setelah melihat semuanya telah ber-
lalu, segera Maling Siluman berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
3 Atma Kusuma atau Maling Siluman tersen-
tak kaget, manakala didengarnya tangis bayi me-
mecah keheningan malam yang tergusur oleh si-
raman air hujan. Dengan sedikit rasa takut, Maling Siluman segera berkelebat ke
arah suara itu.
Matanya seketika terbelalak kaget, manakala me-
lihat seberkas sinar menyilaukan memancar ke
arahnya. Setelah didekati, makin bertambah ka-
get Maling Siluman setelah tahu apa yang me-
mancarkan sinar menyilaukan itu. Sinar itu ke-
luar dari tubuh sang bayi yang tergeletak di atas makam ibundanya.
"Gusti Allah... Allahu Akbar, Allah Maha
Besar. Tiada kuasa selain Allah. Hem, apakah
memang kodrat dari-Mu ya Allah hingga bunda
melahirkan di dalam kubur?" mendo'a Maling Siluman, manakala melihat suatu
keganjilan. Beta-
pa tidak kaget. Bayi itu sungguh-sungguh keluar dari liang kubur ibundanya yang
telah mati. Dengan segera bayi itu diambilnya, lalu dengan berlari kencang
bagaikan terbang Maling Siluman pergi membawa bayi itu menuju ke sebuah tempat.
Sejak matinya patih Brah Amungkarti yang
ternyata gondoruwo, Maling Siluman tidak lagi
mau menjadi warga istana. Ia ingin meneruskan
tugasnya membantu para pakir miskin, sesuai
dengan gelarnya Maling Siluman.
Nama Maling Siluman, seketika menjadi
buah bibir di kalangan rakyat yang menyukainya
dan menganggap Maling Siluman adalah Dewa
Penolong. Sebaliknya bagi para lintah darat dan tuan tanah, nama Maling Siluman
adalah musuh yang harus dibasmi.
Malam itu Maling Siluman tengah menja-
rah di rumah milik seorang tuan tanah yang kikir, manakala para penjaga
memergoki dirinya. Maling Siluman yang enggan untuk menurunkan
tangan, hanya berlari meninggalkan para penge-
jarnya dengan membawa hasil curiannya yang
akan dibagikan pada rakyat yang membutuhkan-
nya. Maling Siluman berlari menerobos hujan,
sampai akhirnya ia menemukan bayi aneh anak
ibundanya yang telah mati.
Maling Siluman dengan membopong bayi
itu, terus berlari menerobos malam. Dia segera
menuju ke sebuah rumah penduduk yang tak be-
gitu jauh dari tempatnya berlari. Hati-hati sekali Maling Siluman mengetuk pintu
rumah, dengan harapan kedatangannya tidak diketahui oleh pen-
duduk yang lain.
"Sampurasun...."
"Rampes..." menjawab suara seorang lelaki, lalu terdengar suara langkah kaki
mengenakan bakyak menuju ke muka. Sesaat kemudian pintu
rumah itu pun terbuka.
Seketika wajah pemilik rumah pucat, ma-
nakala melihat orang berkerudung hitam telah
berdiri di hadapannya. Hampir saja orang itu
kembali menutup pintu, manakala Maling Silu-
man segera berkata.
"Pak, aku tak bermaksud jahat padamu.
Akulah Maling Siluman."
"Maling Siluman" Jadi kaukah Maling Si-
luman itu ...?" mengerut kening Pak tua kaget.
Maling Siluman menganggukkan kepala
mengiyakan. "Aku mohon, janganlah bapak mencerita-
kannya pada orang lain. Cukup bapak saja yang
mengetahui siapa adanya aku. Ini untuk bapak,
semoga keluarga bapak dapat makan."
Maling Siluman segera menyodorkan se-
bungkus uang dan perhiasan pada pak tua itu,
yang seketika melototkan mata tak percaya. Hing-ga pak tua itu hanya mampu
bengong, menjadi-
kan Maling Siluman tersenyum seraya berkata
kembali. "Jangan bapak ragu, aku menolong dengan
ikhlas." "Oh, terimakasih, Tuan." akhirnya pak tua itu dengan tangan gemetar dan mata
berkaca-kaca bahagia menerima uang dan perhiasan yang
diberikan oleh Maling Siluman padanya. Tengah
pak tua terbengong-bengong mendapatkan uang
sebanyak itu, tiba-tiba Maling Siluman kembali
berkata. "Pak tua, aku ingin meminta tolong pada-
mu." "Tentang apa, Tuan" Kami orang tak punya apa-apa."
"Aku tak meminta harta atau jasa yang
berlebihan dari bapak, sebab pertolonganku ber-
sipat ikhlas. Aku hanya ingin menitipkan anak
dalam gendongan ini pada bapak. Bukankah ba-
pak belum dikaruniai anak?"
"Oh, benar... Memang aku belum dikarunia
anak seorang pun," menjawab pak tua itu dengan berbunga-bunga hatinya, manakala
mendengar penolongnya hendak memberikan bayi padanya.
Pak tua itu tersentak, manakala melihat bayi
yang berada di gendongan Maling Siluman. Bayi
itu memancarkan sinar menyala terang, menyi-
laukan mata yang melihatnya. Sampai-sampai
pak tua itu bergumam saking kagetnya.
"Jagat Dewa Batara! Inikah bayi titisan
Dewa?" Maling Siluman hanya tersenyum mendengar gumamam pak tua.
"Jadi bapak mau merawat bayi ini?"
"Dengan senang hati. Tuan," menjawab pak tua dengan mata berbinar-binar bahagia.
"Sung- guh beruntung aku bila dapat merawat anak De-
wa ini," bergumam hati pak tua.
"Baiklah, Pak tua. Aku titip anak ini. Kelak aku akan membantu biaya untuk ini
semua." "Ah, tak usahlah, Tuan."
Maling Siluman hanya tersenyum lalu den-
gan seketika berkelebat pergi menghilang dalam
gelapnya malam. Pak tua membelalakkan mata,
melotot kaget melihat orang yang telah memberi-
kan uang dan bayi anak Dewa itu padanya. Sege-
ra pak tua masuk ke dalam, menutup pintu me-
nuju ke kamarnya di mana sang istri tidur.
"Bune... Bune. Bangunlah, aku mempero-
leh anak,"
Istrinya tersentak bangun mendengar seru-
an suaminya. Serta merta, sang istri terbelalak seraya bertanya.
"Anak, Pakne?"
"Ya, lihatlah. Anak ini adalah anak Dewa."
"Anak Dewa...?" gumam istrinya bertanya.
"Iya... Lihat tubuh anak ini. Tubuhnya ber-cahaya, Bune."
"Wah, benar, Pakne. Oh Dewata Yang
Agung, sungguh dia anak Dewa, Pakne?"
Dengan suka cita, kedua suami istri tua
yang belum dikaruniai anak menimang-nimang
bayi itu sambil berdendang ria penuh kebaha-
giaan. Sungguh tiada terkira kebahagiaan kedua
orang tua itu. Ternyata, mereka memperoleh anak juga.
*** Hari demi hari terlalui oleh kedua suami is-
tri tua itu dengan hati bahagia. Mereka mengasuh bayi itu, bagaikan mengasuh
anak sendiri. Hari
berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan
berganti tahun, dan tahun pun berganti windu.
Pertumbuhan bayi itu begitu cepat, sepertinya
bayi itu memang benar-benar anak Dewa. Dalam
usia lima belas tahun, bayi yang diberi nama Ken Wijaksono berkembang tumbuh
menjadi seorang
pemuda yang lincah dan pintar. Salah satu dari
keanehannya, ia telah mahir dalam segala ilmu
kanuragan tanpa dibimbing oleh seorang guru
pun. Kedua orang tua asuhnya pun kaget, ma-
nakala mereka tahu bahwa sang anak telah mahir
dalam ilmu kanuragan. Maka ketika keduanya
melihat sang anak berlatih ilmu silat, dengan terheran-heran kedua orang tua itu
bertanya pada sang anak. "Ken, Anakku, dari mana kau memperoleh
ilmu bela diri itu?"
"Ah, Ken tahu sendiri. Ayah. Bagi Ken, ilmu silat adalah suatu olah raga. Ya,
sebagai pengge-rak badan. Ayah."
Tersenyum seraya geleng kepala sang ayah
mendengar ucapan anak angkatnya. Ia menyadari
kalau anak angkatnya adalah anak Dewa, yang
sudah pasti akan menyerupai Dewa. Bagaimana
menurut dia Dewa itu, maka anaknya pun pasti
begitu juga. Kalau Dewa segalanya bisa tanpa belajar, anaknya pun mampu
melakukan sesuatu
tanpa belajar pula. Lebih tersentak kaget kedua orang tua itu, manakala Ken
Wijaksono hantamkan tangannya ke batu. Mulanya kedua orang itu
menjerit, takut kalau-kalau tangan sang anak
akan luka atau remuk. Namun ketakutan mereka
seketika hilang, berganti dengan rasa kagum yang mendalam manakala melihat apa
yang terjadi. Bukan tangan anaknya yang remuk, tapi batu
itulah yang hancur menjadi serpihan-serpihan
debu. Sungguh tak masuk di akal.
Begitulah yang dilakukan Ken Wijaksono
setiap hari, belajar dan belajar memperdalam il-mu silat dan ulah kanuragan.
Tanpa bimbingan
orang lain, tanpa guru seorang pun. Dan karena
merasa dirinya melebihi Dewa, jadilah Ken Wijaksono tumbuh sebagai seorang
pemuda yang som-
bong dan takabur.
Kegemaran Ken Wijaksono, adalah menya-
bung ayam. Berhari-hari dia mengasuh ayam-
ayamnya, memberi makan dan mendidik sang
ayam untuk menjadi ayam tarung. Kalau sudah
begitu, maka segalanya seperti terlupakan. Ken
Wijaksono berkutat dengan ayam-ayamnya, ayam
untuk disabung.
Bila sang ayam sudah benar-benar dapat
dijadikan ayam sabungan, yaitu memenuhi syarat
segalanya Ken Wijaksono pun membawa ayamnya
ke arena persabungan. Memang ayamnya benar-


Pedang Siluman Darah 15 Sumpah Si Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar ayam hebat, tak mau kalah dengan ayam-
ayam orang lain. Begitulah, Ken Wijaksono meng-
hidupi dirinya dan kedua orang tuanya dengan
cara menyabung ayam.
*** Hari itu seperti biasanya Ken Wijaksono
melakukan penyambungan ayam. Entah karena
apa, ayamnya ternyata harus mengalami keka-
lahan. Ken Wijaksono tersentak kaget, sebab ia
tak menyangka ayamnya akan kalah sedang uang
seperser pun ia tak memegangnya.
"Ayo Ken, kau harus membayar padaku,"
berkata Tunggoro meminta bayaran.
"Aku tak punya uang," menjawab Ken Wijaksono tenang.
"Heh, kenapa begitu. Ken?"
"Diam! Sudah aku katakan, aku tak punya
uang!" membentak Ken Wijaksono, menjadikan Tunggoro tersinggung. Mata Tunggoro
memerah karena marah, lalu dengan mendengus Tunggoro
membentak. "Dasar anak setan!"
"Apa kau bilang, Kunyuk!"
"Anak Setan kau!" jawab Tunggoro marah.
"Bangsat! Kubunuh kau, Kunyuk!"
Tak ayal lagi, kedua orang anak muda itu
pun berkelahi. Ken Wijaksono nampak beringas,
serangannya mengarah pada hal-hal yang mema-
tikan. Tunggoro tak mau mengalah begitu saja, ia pun berusaha merangsek Ken
Wijaksono. Namun
rupanya Tunggoro bukanlah tandingan Ken Wi-
jaksono, yang mampu mempelajari segala ilmu si-
lat dengan sendirinya. Mata Ken Wijaksono seke-
tika berubah membiru, menyorot bagaikan sinar
matahari. Dari badannya keluar sinar yang me-
nyala merah membara. Menjadikan semua yang
melihatnya tersentak kaget, serta merta semua
berseru tertahan.
"Anak Dewa!"
"Hua, ha, ha... Memang akulah anak Dewa.
Maka itu, kalian harus menurut padaku. Jangan
sekali-kali kalian membantah, atau kalian minta seperti ini."
Secepat kilat Ken Wijaksono menghantam-
kan tangannya pada Tunggoro yang saat itu ten-
gah terbelalak kaget. Tak ayal lagi, Tunggoro pun seketika menjerit. Tubuhnya
hangus, lalu ambruk dan mati.
Bergidig semua yang melihatnya, tanpa da-
pat berbuat apa-apa. Mereka juga ngeri untuk
bertindak. Hal itu diketahui oleh Ken Wijaksono, yang dengan lantang berseru.
"Mulai hari ini, kalian harus mengakui aku sebagai ketua kalian. Kahan harus
memberikan padaku uang dan barang-barang berharga la-
innya. Kalau tidak, maka kalian akan menjadi seperti si Tunggoro ini, mengerti!"
"Mengerti, Ken..." jawab semuanya dengan ketakutan.
"Bagus! Serahkan uang yang kalian pegang
padaku, cepat!"
Tanpa berani membantah, orang-orang itu
pun segera menyerahkan uang yang mereka mili-
ki pada Ken Wijaksono yang tertawa bergelak-
gelak menerimanya.
"Ingat! Mulai hari ini, akulah pimpinanmu.
Hua, ha, ha...."
Tubuh Ken Wijaksono berkelebat pergi me-
ninggalkan orang-orang yang hanya tebengong-
bengong tanpa dapat berbuat apa-apa. Mereka
baru tahu siapa adanya anak Dewa yang sering
diceritakan dari mulut ke mulut oleh penduduk.
Mereka tadinya menyangka kalau itu adalah
hanya cerita kosong belaka. Namun kini mereka
telah mengetahui kenyataannya, bahwa anak De-
wa itu benar-benar ada.
Jadi jelas, bahwa segala ramalan orang-
orang paranormal itu benar adanya. Anak Dewa
itu kini telah menampakkan diri, sebagai Ken Wijaksono. Namun apa bila mereka
mengingat ra- malan tersebut, makin takut saja mereka. Menu-
rut ramalan, anak Dewa akan membuat sebuah
petaka besar di dunia persilatan. Adakah itu benar" Ikuti saja kisah ini...
4 Sebuah bayangan berkelebat menembus
malam yang gelap, berlari menuju ke sebuah
kampung. Bayangan itu milik seseorang lelaki,
dengan tubuh terbungkus pakaian serba hitam.
Sejenak bayangan yang ternyata Maling Siluman
berhenti, memandang ke belakang dan kemudian
kembali berlari.
Meskipun kerajaan kini telah tenang dan
aman dari gangguan Gondoruwo yang pernah
membuat bencana, namun profesinya sebagai
Maling Derma terus ia lakukan. Ia berusaha terus
membantu orang-orang yang melarat. Hanya den-
gan cara itulah ia mampu membantu rakyatnya
yang sangat menderita oleh kelaparan dan ke-
miskinan. Ketika ia tengah berlari, dilihat olehnya se-
buah sinar memancar dari rumah penduduk yang
pernah ia singgahi. Seketika itu, Maling Siluman teringat akan bayi yang lima
belas tahun silam
diberikan pada kedua orang tua.
"Mungkinkah anak tersebut telah dewasa?"
bergumam Maling Siluman dalam hati. "Aku ingin melihatnya, bagaimana rupa anak
tersebut sekarang." Segera Maling Siluman kelebat menuju ke arah sinar itu
muncul. Bagaikan kilat, Maling Siluman berlari hingga dalam waktu yang singkat
dirinya telah berdiri di ambang pintu.
"Sampurasun...." sapanya.
"Rampes... Siapakah di luar?" terdengar suara orang tua menyahuti.
"Aku pak tua. Aku Maling Siluman," menjawab Maling Siluman.
Tak berapa lama kemudian, pintu rumah
itu pun terbuka dari dalam. Pak tua yang mem-
buka pintu tersenyum seraya menganggukkan
kepala hormat manakala dilihat olehnya Maling
Siluman. "Slamat malam, Pak tua."
"Malam, tuan pendekar. Ada gerangan apa
tuan datang?"
"Aku ingin melihat anak itu, Pak tua."
Tengah kedua orang itu bercakap-cakap,
terdengar suara anak muda berseru menanya pa-
da pak tua. "Siapa yang datang, Ayah?"
"Suara siapakah itu pak tua?" tanya Maling Siluman.
"Itu anak Dewa, yang aku beri nama Ken
Wijaksono," menjawab pak tua.
Dari dalam rumah, keluar seorang pemuda
tampan yang tubuhnya memancarkan sinar me-
rah. Pemuda itu adalah adiknya, walau bukan
seayah namun satu kandungan. Mata Maling Si-
luman terbelalak, mana kala melihat pemuda
yang berdiri di hadapannya. Pemuda itu terse-
nyum menghormat.
"Siapakah paman ini, Ayah?" tanya pada pak tua.
"Dia teman ayah. Dia bernama Maling Si-
luman," jawab pak tua.
"Maling Siluman..." Bukankah Maling Si-
luman yang selalu membantu orang miskin itu,
Ayah?" tanya Ken Wijaksono, seperti ia ingin me-mastikan kebenaran orang di
hadapannya. ia te-
lah mendengar nama Maling Siluman, baik dari
ayahnya maupun dari teman-temannya yang te-
lah menjadi anggota.
"Benar, Nak. Dialah Maling Siluman yang
ayah ceritakan padamu."
"Oh, kalau begitu aku menyampaikan hor-
mat." Tersenyum Maling Siluman melihat anak tersebut. Anak itu ramah, namun di
balik kera-mahannya, tersembunyi sifat yang ingin selalu
berkuasa, manakala Maling Siluman menatap
mata pemuda itu, seketika hatinya membatin.
"Sungguh-sungguh anak yang berbahaya,
kalau tak mampu mendidiknya. Sorot mata anak
ini, menunjukkan ambisi yang berlebihan. Hem, apakah ia mengikuti darah ayahnya
yang Iblis itu" Kalau memang ya, tak dapat aku bayangkan
apa yang bakal menimpa kerajaan ini dan dunia
persilatan. Semoga bapak guru telah mengeta-
huinya, agar aku dapat meminta petunjuk dari
beliau tentang anak ini."
"Kenapa paman ini tidak masuk saja" Aku
ingin sekali melihat rupa dari paman ini. Kenapa paman tak mau membuka penutup
mukanya?" Tersentak kaget Maling Siluman menden-
gar permintaan Ken Wijaksono, yang sepertinya
mengandung sesuatu maksud di balik ucapannya
itu. Sebagai seorang pendekar yang telah malang melintang di dunia persilatan,
dan juga murid da-ri Sunan Kalijaga Maling Siluman tak mau me-
nunjukkan kekagetannya. Maka dengan suara
halus layaknya orang menggumam, Maling Silu-
man berkata: "Hem, apakah itu penting, Anak muda?"
"Penting, Paman. Aku rasa paman lebih
baik membuka penutup muka dari pada harus
menyembunyikan diri. Bukankah nama paman
telah kondang" Apa perlunya paman takut?"
Makin tersentak saja Maling Siluman men-
dengar perkataan Ken Wijaksono. Belum pernah
ia mendengar ucapan seorang anak muda yang
lancang seperti anak ini. Apakah mungkin anak
muda ini mempunyai maksud pada Maling Silu-
man" Maling Siluman yang tak menghendaki
identitas dirinya diketahui hanya mendesah, se-
raya berkata kembali! "Ah, sudahlah. Bukankah kau telah mengenalku" Aku Maling
Siluman, ya maling Siluman. Tak perlu aku membuka tutup
mukaku, semestinya kau pun memahami hal itu.
Ken Wijaksono?"
Mendengar ucapan Maling Siluman, seke-
tika Ken Wijaksono tertawa bergelak-gelak hingga tubuhnya berguncang-guncang
terbawa oleh gelak tawa. Hal itu menjadikan Maling Siluman dan pak tua
terbelalak kaget.
"Hai, rupanya nama Maling Siluman hanya
isapan jempol!"
"Ken, Kau jangan lancang, Anakku?" berseru pak tua kaget. Ia tak menyangka kalau
anak angkatnya akan lancang berbicara dengan orang
yang telah menyelamatkan nyawanya. Memang
Ken Wijaksono tak mengetahui siapa adanya
orang di hadapannya, namun semestinya ia
menghormatinya.
"Aku tak lancang. Aku hanya ingin melihat
wajah Maling Siluman sebenarnya. Kalau me-
mang ia bermaksud baik, mana mungkin ia me-
nutup mukanya!"
"Jadi kau memaksaku untuk membuka
penutup mukaku?"
"Benar! Aku memang ingin melihat wajah-
mu yang tertutup kain hitam itu. Burukkah wa-
jahmu, atau mungkin busuk!"
Tersentak Maling Siluman mendengar uca-
pan Ken Wijaksono, yang sangat pedas dan me-
nyakitkan. Namun kembali Maling Siluman hanya
mendesah dalam hati. "Gusti Allah, rupanya anak ini benar-benar menuruni
ayahnya. Hem, apakah
ini bukan suatu tanda bencana yang bakal me-
nimpa kerajaan?"
"Maaf, aku tak dapat meluluskan permin-
taanmu," jawab Maling Siluman dengan tenangnya, menjadikan Ken Wijaksono
melototkan mata
marah. Sepertinya, Ken Wijaksono merasa dirinya adalah orang yang harus
ditakuti. Dirinya adalah keturunan Dewa, yang segala ucapannya harus
dijalankan oleh yang diperintah. Seperti teman-
temannya, mereka pun menuruti apa yang dikata
oleh Ken Wijaksono. Ken Wijaksono menyamakan
teman-temannya dengan Maling Siluman. Ba-
ginya, semua orang di muka bumi ini harus me-
nyembah dan tunduk pada dirinya. Maka mana-
kala mendengar ucapan Maling Siluman yang
menentangnya, marahlah Ken Wijaksono.
"Bedebah! Kalau kau tak mau membuka
cadarmu, maka akulah yang akan membukanya
sendiri. Maaf, hiat...!"
Tanpa dapat dicegah oleh ayahnya dan
Maling Siluman, Ken Wijaksono yang menganggap
dirinya yang harus ditakuti segera bergerak cepat.
Tangannya berusaha menjambret kain penutup
muka Maling Siluman, namun secepat kilat Mal-
ing Siluman segera egoskan tubuh menghindar
seraya berseru:
"Anak tak tahu diri! Percuma kau dulu aku
tolong! Kalau mengerti tindakanmu seperti Iblis, dulu aku tak menolongmu."
Tersentak kaget Ken Wijaksono mendengar
makian Maling Siluman. Segera ia hentikan se-
rangan, melompat mundur dan berdiri di sisi
ayahnya seraya bertanya.
"Benarkah akan apa yang paman itu kata-
kan, Ayah?"
Dengan mata menangis, pak tua itu men-
ganggukinya. "Jadi siapa sebenarnya aku?" gumam Ken Wijaksono bertanya. Ia kaget melihat
ayahnya mengangguk. Mata Ken Wijaksono yang tadinya
bersinar-sinar, seketika meredup. Ditatapnya bergantian sang ayah dan Maling
Siluman, seper-


Pedang Siluman Darah 15 Sumpah Si Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinya ingin bertanya tentang siapa sebenarnya dirinya itu.
"Memang benar apa yang dikatakan oleh
pendekar Maling Siluman, Nak. Kau sebenarnya
bukan anakku, tapi ditemukan oleh pendekar
Maling Siluman di tengah kuburan. Sungguh kau
telah berdosa besar bila berani padanya. Tanpa
dia, mungkin kau tak akan selamat seperti seka-
rang. Entah kau akan dimakan apa malam itu.
Maka itulah, Anakku. Kau janganlah terlalu sem-
brono pada pendekar Maling Siluman, yang seca-
ra tidak langsung merupakan orang yang telah
menyelamatkan dirimu."
Tergetar hati Ken Wicaksono mendengar
penuturan ayahnya. Serta merta ia jatuhkan diri bersujud di kaki Maling Siluman
seraya menangis sesenggukan sesali dirinya yang tak tahu balas
budi itu. "Hukumlah saya... Hukumlah! Saya telah
berani lancang pada tuan pendekar yang telah
berjasa. Oh, sungguh aku anak tak tahu balas
budi." "Tak perlu kau tangisi. Aku menyadari kalau kau memang tak mengerti.
Sudahlah, yang penting kau berbuat kebajikan saja aku sudah
senang." menjawab Maling Siluman. "Pak tua, tolong jaga anak ini baik-baik. Aku
akan selalu membantumu bila diperlukan. Ini untuk sekedar
ucapan terima kasihku padamu yang telah men-
gasuh anak ini."
Disodorkan sekantong uang pada pak tua,
yang saat itu menolaknya seraya berkata. ''Kami tak dapat menerimanya, Tuan
pendekar. Jasa tuan telah banyak kami terima. Kini kamilah yang seharusnya membantu, karena
kami rasa tuan telah cukup banyak membantu kami"
"Baiklah, Pak tua. Kalau itu memang mau-
mu, aku pun tak dapat memaksa. Aku mohon
pamit," berkata Maling Siluman. Setelah terlebih dahulu mengusap rambut Ken
Wijaksono, Maling
Siluman pun berkelebat pergi meninggalkan ru-
mah pak tua yang memandang kepergiannya den-
gan gelengan kepala. Sementara Ken Wijaksono,
hanya mampu memandang kepergian Maling Si-
luman dengan linangan air mata. Perasaannya
sebagai seorang manusia tersengat juga, manaka-
la merasa dirinya telah berlaku kurang ajar pada tuan penolongnya.
Setelah meninggalkan rumah pak tua, Mal-
ing Siluman pun seperti biasanya segera melaku-
kan tugasnya. Malam itu adalah giliran rumah
Datuk Lutung Gerek, seorang datuk sesat yang
juga membuka praktek dukun cabul. Datuk itu
juga menjadi tuan tanah yang kelewat kejamnya.
Bila tanah penduduk tak dapat dibelinya, maka
dengan kekerasanlah yang ia gunakan.
"Datuk ini memang benar-benar keterla-
luan. Sifatnya tak ada beda dengan Iblis. Mungkin karena ia penganut Iblis, jadi
ia pun mempunyai sifat Iblis pula," berkata hati Maling Siluman seraya
mengendap-endap mendekati rumah sang
Datuk. Setelah dirasa aman, segera Maling Silu-
man berkelebat melompati pagar rumah sang Da-
tuk dan hinggap di atas wuwungan genting ru-
mah itu. Sesaat matanya memandang sekeliling,
lalu setelah dirasa aman Maling Siluman itu sege-ra membuka satu persatu
genting. Setelah dirasa cukup, segera Maling Siluman berkelebat masuk
turun ke bawah. Namun sungguh tak dinyana,
kalau ternyata Datuk Lutung Gerek ternyata be-
lum tidur. Datuk Lutung Gerek serta merta ter-
sentak, lalu membentak. "Siapa kau!"
"Aku Maling Siluman," jawab Maling Siluman yang sudah merasa tak ada gunanya
lagi menyembunyikan diri. "Berikan uang serta perhiasan yang kau miliki padaku."
"Enak saja kau bilang! Langkahi dulu
mayatku, Hiat...!"
Datuk Lutung Gerek yang memang sudah
gedeg dengan berita-berita Maling Siluman, serta
merta cabut golok yang tergantung di dinding
kamar. Dengan didahului pekikkan. Datuk Lu-
tung Gerek segera menyerang membabi buta. Go-
lok di tangannya berkelebat cepat, tak ubahnya
seperti mempunyai mata. Golok itu menusuk-
nusuk ke arah jantung lawan.
Maling Siluman membersit, lemparkan tu-
buh ke atas lalu balik dengan tangan siap meng-
hantam. Bersamaan dengan itu, Datuk Lutung
Gerek berteriak menjadikan seketika para penga-
walnya tersentak dan langsung menyerbu ke arah
suara itu. "Huh bahaya kalau begini. Aku harus sege-
ra bertindak!" membatin Maling Siluman, lalu dengan segera ia hantamkan
pukulannya ke arah
Datuk yang seketika itu tersentak dan berusaha
menghindar. Namun sungguh malang, pukulan
yang dilontarkan Maling Siluman ternyata lebih
cepat bertindak.
"Bug, bug, bug!"
Tiga kali pukulan berturut-turut menghan-
tam tubuh Datuk Lutung Gerek, yang seketika itu pula terhuyung-huyung ke
belakang dengan darah meleleh di kedua sela-sela bibirnya. Tubuh
sang Datuk terjajar ke tembok, perlahan menyo-
sot turun ambruk ke bawah dan mati.
"Gusti Allah, sungguh aku telah membu-
nuhnya. Oh..." Maling Siluman merasa terpukul manakala mengetahui bahwa dirinya
telah menurunkan tangan keras. Dia menyesal, namun bila
tidak begitu maka dirinya yang menjadi korban.
Setelah mengambil barang-barang yang sekiranya
perlu, Maling Siluman segera pergi meninggalkan rumah itu.
*** Sang Raja yang mendapat laporan tentang
kematian Datuk Lutung Gerek, seketika merasa
terkejut. Pikirannya kini berkecamuk macam-
macam pertanyaan, siapakah sebenarnya Maling
Siluman itu" Maling Siluman telah menghancur-
kan dua orang yang paling dekat dengan dirinya.
Pertama patihnya, lalu kini Datuk Lutung Gerek.
Sungguh perbuatan yang tak dapat dimaafkan
oleh sang Raja.
Walau tindakkan Maling Siluman bertu-
juan membantu rakyatnya, namun bagi sang raja
tindakan itu tidak berdasarkan pada tempatnya.
Tindakan Maling Siluman harus dihentikan, na-
mun untuk menghentikannya sangatlah tidak
mudah. Sang raja belum tahu siapa sebenarnya
Maling Siluman, dan apa tujuannya berbuat begi-
tu rupa. Maka untuk mendapatkan dan untuk me-
nangkap Maling Siluman, sang raja segera mem-
buat sayembara yang isinya "Barang siapa yang mampu menangkap Maling Siluman
Hidup atau mati, dia akan mendapatkan kedudukan di kera-
jaan." Berita itu sempat sampai di telinga pak tua dan anak angkatnya. Ken
Wijaksono. Mereka
bimbang harus berbuat bagaimana. Mereka tahu
siapa adanya Maling Siluman, namun mereka
masih menghargai jasa Maling Siluman yang telah
membantu mereka.
"Bagaimana, Ayah" Apakah aku harus ikut
dalam sayembara ini?"
Ditanya seperti itu oleh sang anak, seketika
pak tua hanya terdiam tanpa dapat berkata apa.
Hatinya yang merasa berhutang budi, sangatlah
susah untuk memungkirinya. Pak tua hanya
mampu terdiam bisu, dan bisu tanpa dapat bi-
cara sepatah pun. Hal itu menjadikan anaknya
kembali bertanya.
"Ayah, bagaimana menurut ayah?"
"Aku bingung, Anakku. Kalau kau mengi-
kuti sayembara itu dan kau mampu menangkap
Maling Siluman, secara tidak langsung kau telah berbuat yang tidak mengerti
balas budi. Tapi bila kita membiarkannya, jelas kita telah menentang
kerajaan. Sebagai seorang rakyat kita memang
diperlukan. Tapi sebagai seorang manusia priba-
di, kita akan selalu mengingat balas budi seseorang." Ken Wijaksono seketika
terdiam. Ia juga memikirkan tentang sebab akibatnya, tentang ha-ti nurani dan
keberadaannya. Sungguh suatu pi-
lihan yang susah, yang mesti dipikirkan dengan
penuh seksama. Mungkin karena tak mengerti
harus berbuat apa. Ken Wijaksono hanya pergi ke luar meninggalkan sang ayah.
Angin malam bertiup dengan kencang, se-
perti menusuk dingin terasa di tulang. Ken Wijaksono masih berjalan dengan
pikiran yang bim-
bang, menyusuri malam gulita tanpa sinar. Ma-
nakala ia terus berjalan, tiba-tiba terdengar oleh-
nya seseorang berkata. Suara itu tanpa ujud,
menjadikan Ken Wijaksono seketika itu tersentak kaget dan mencari siapa gerangan
orang yang bicara itu.
"Ken Wijaksono, kau mendengar suaraku?"
"Ya, aku mendengar. Siapa kau...?" tanya Ken Wijaksono.
"Ken Wijaksono, kau adalah keturunanku.
Maka kau harus menuruti apa yang akan aku pe-
rintahkan padamu," berkata suara itu kembali, menjadikan Ken Wijaksono tersentak
kembali. "Keturunanmu" Hai, apakah kau tidak
ngelantur" Aku adalah anak Dewa, mana mung-
kin kau mengaku-aku nenek moyangku" Kalau
kau benar nenek moyangku, jelas kau harus se-
perti aku. Akulah orang yang sakti."
"Hua, ha, ha... Bukan hanya jadi orang
sakti saja, Anakku. Kau harus melebihi diriku,
dan memang kau melebihi diriku. Kau sakti man-
dra guna, tak akan ada yang dapat menandingi
dirimu." "Kau menyebut anak padaku, siapakah di-
rimu?" tanya Ken Wijaksono seraya kerutkan kening. "Kau jangan bercanda, atau
barang kali kau hendak mempengaruhi aku?"
"Tidak, Anakku. Aku memang ayahmu.
Aku sengaja mencetakmu di rahim permaisuri Ra-
ja Sukma Lelana. Aku berharap, kelak kau akan
menjadi orang yang paling sakti, itulah sebabnya kau aku lindungi dari kematian
bersama ibumu. Kau kumunculkan ke permukaan bumi, manaka-
la saatnya kau lahir. Ibumu telah mati, sedang-
kan aku tak dapat keluar dari duniaku dunia Ib-
lis. Maka itulah, aku hendak meminta-mu untuk
menggantikan diriku."
Termakan juga rupanya hati Ken Wijakso-
no mendengar penuturan Iblis yang memang
ayahnya yaitu Genderuwo, yang mati di tangan
Maling Siluman. Hati kecilnya gundah, tak tahu
harus berbuat bagaimana. Ingin ia menolak uca-
pan Iblis, tapi rasanya ada sesuatu yang meng-
hendaki dirinya untuk mempercayai segala kata-
kata Iblis itu.
"Baiklah kalau memang benar itu adanya.
Apa yang hendak engkau perintahkan padaku"
Dan siapa dirimu adanya?" tanya Ken Wijaksono, setelah sekian lama terdiam
dengan pikirannya.
"Hua, ha, ha... Itu bagus. Nah, dengarlah.
Aku bernama Gandarta atau Gordoruwo. Kau
adalah titisanku, maka kau harus maha sakti me-
lebihi diriku. Aku telah menitis di tubuhmu sejak saat ini. Bunuh Maling Siluman
atau Atma Kusuma dan orang tua angkatmu. Karena mereka-
lah yang kelak akan menghalangi semua tujuan-
mu. Bila semua telah kau bereskan, singkirkan
raja bodoh itu. Kau harus menjadi raja di raja.
Kuasai seluruhnya, termasuk semua perguruan-
perguruan silat. Bila ada yang membangkang,
bunuh saja!"
Golok Bulan Sabit 12 Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur Pedang Langit Dan Golok Naga 20
^