Pencarian

Sumpah Si Durjana 2

Pedang Siluman Darah 15 Sumpah Si Durjana Bagian 2


Ken Wijaksono untuk sesaat terdiam men-
dengar penuturan Iblis yang mengaku-aku seba-
gai ayahnya. Hatinya seketika bergolak, antara ucapan Iblis itu dengan
perasaannya sebagai manusia. Bagaimana mungkin orang yang telah me-
nolongnya harus dibunuh" Apakah itu suatu hu-
kum alam yang gila..." Tengah Ken Wijaksono
bimbang, kembali terdengar olehnya suara Iblis
itu berkata. "Bagaimana, Anakku" Kenapa kau ter-
diam" Kalau kau ingin menjadi orang yang sakti
mandraguna dan ditakuti, janganlah kau bertin-
dak dengan setengah-setengah. Lakukan segala
apa yang sekiranya kau anggap itu harus dilaku-
kan. Tantang kehidupan dengan jiwa besar dan
kemenangan. Keraskan pendirian, kuatkan ke-
mauan." "Baiklah. Aku akan menuruti apa yang te-
lah kau katakan. Kalau kau memang benar ayah-
ku. Tapi kalau kau bukan, jangan harap kau da-
pat lolos dari tanganku walau kau Iblis marah-
kiyangan sekalipun. Ingat itu, Gonderuwo!"
"Hua, ha, ha... Jangan kuatir, Anakku. Ke-
lak kau akan mendapatkan siapa adanya dirimu.
Kau akan mampu mengubah dirimu menjadi
Gondoruwo yang besar bila hal itu kau butuhkan
yaitu dalam keadaan terdesak."
Bersamaan dengan habisnya ucapan Gan-
darwo, seketika melesatlah sebuah sinar masuk
ke tubuh Ken Wijaksono melalui ubun-ubunnya.
Sesaat Ken Wijaksono melotot, tenggorokannya
bagaikan dicekik. Keringat dingin mengucur deras dari keningnya. Ingin rasanya
ia berteriak, namun hal itu tak dapat ia lakukan. Tubuhnya kembali menyala
terang, dan makin terang berwarna
membara. Tubuh Ken Wijaksono mengeluarkan
asap, mengepul-ngepul bagaikan mendidih. Me-
mang darahnya mendidih, bergelora laksana gu-
nung berapi yang hendak meletus. Napasnya
memburu, badannya kaku, mulutnya mengunci
dengan gigi-gigi saling beradu. Saking bergolaknya darah di tubuh Ken Wijaksono,
menjadikan Ken Wijaksono tak mampu menahannya. Pemuda
itu akhirnya tergeletak pingsan.
5 Tiga orang berwajah cacat yang berjuluk
Tiga Iblis Cacat Rupa nampak berlari-lari. Mereka sepertinya tengah menuju ke
suatu tempat. Wajah ketiganya rusak menyeramkan, makin tampak
menakutkan dengan roman muka yang tampak
tak ada kebahagiaan sedikit pun.
Tiga Iblis Cacat Rupa itu, berlari tanpa ba-
nyak kata-kata. Dan mereka berhenti manakala
tampak oleh mereka sebuah rumah yang mirip
dengan pondok. Kanan kiri rumah tertutup den-
gan tembok. Hanya depan rumah saja yang ter-
buka. Ketiganya sesaat memandang hening, den-
gan sorot mata yang seakan menaruh kebencian.
"Lompong Wulung, keluar kau!" berseru si Jereng. Matanya yang jereng memandang
aneh. Pandangannya nanar, ke mana ia memandang ke
mana pula arah matanya. Tak ada jawaban dari
dalam rumah, menjadikan ketiga iblis itu saling pandang.
"Kunyuk! Apa kau takut pada kami, Lom-
pong Busuk!" kini giliran si Bopeng berseru. "Ka-
lau kau benar seorang pendekar, keluarlah! Jan-
gan seperti tikus yang dikejar-kejar kucing. Kami datang untuk menagih janjimu."
Gembar gembor ketiga Iblis Cacat Rupa itu
bagaikan berlalu begitu saja, tak ada jawaban da-ri dalam rumah. Rumah itu masih
nampak sepi, gelap tak ada lampu secuil pun. Menyaksikan itu semua, geramlah hati ketiga
Iblis Cacat Rupa.
"Bedebah! Rupanya sekarang kau penge-
cut, Lompong busuk!" menggeretak marah si Sumbing. "Ayo kita serbu saja ke
dalam!" Berbareng ketiga iblis cacat serentak
menghambur masuk ke dalam pagar rumah.
Dengan langkah-langkah pasti, ketiganya mema-
ku di muka pintu saling pandang.
"Dobrak saja!" berkata Jereng. "Baiklah kalau kau tak mau keluar, kamilah yang
masuk!" seru si Sumbing. Sepontan kaki kanannya me-
nendang pintu dengan keras hingga pintu itu pun jebol. "Awas serangan!" seru si
Bopeng menya-darkan dua rekannya.
Dari dalam melesat beberapa tombak me-
nyerang ke arah mereka. Serta merta ketiganya
mencelat, menghindari serangan seraya mencaci
maki. "Kunyuk! Kau tak lebihnya seorang pengecut! Jangan harap kami mampu kau
akali, Ku- nyuk!" membentak Jereng. Tangannya segera
berkelebat cepat, tangkap salah satu tombak.
Dengan mata jereng ternyata si Jereng sangat tajam penglihatannya. Dilemparkan
tombak ke arah asal, seketika itu terdengar makian dari seseorang yang belum tampakkan mukanya.
"Bedebah! Rupanya kalian mencari mam-
pus!" "Anjing gudig! Kalau kau lelaki, keluarlah dari situ dan jangan hanya bisa
ngomong!" membentak marah si Sumbing, demi mendengar se-
ruan orang yang belum tampakkan rupa.
Tak berapa lama kemudian seberkas sinar
merah tiba-tiba muncul. Suara itu makin lama
makin dekat dan menerangi mereka. Ketiga Iblis
Cacat Rupa itu tersentak manakala tahu siapa
yang telah mengeluarkan sinar itu. Sinar itu keluar dari tubuh seorang pemuda,
yang berjalan ke arah mereka, ketiga Iblis Cacat Rupa, maka tersentak mundur
seraya membentak bertanya.
"Siapa kau!"
"Kalian telah menggangguku. Kalian harus
mati!" menggeretak anak muda itu. Matanya tajam menghunjam, memandang pada
ketiganya. Senyumnya sinis, mirip dengan senyum memba-
wa kematian. "Kalian tahu, akulah Anak Dewa!
Akulah yang bakal memimpin kalian! Bila kalian
menolak, maka jangan harap kalian akan hidup!
Lihat itu!"
Pemuda itu menunjukkan telunjuknya,
yang diikuti oleh ketiga Iblis Cacat Rupa memandang. Mata ketiganya seketika
membeliak kaget
manakala tampak oleh mereka sesosok mayat
mengering tergeletak di sudut ruangan yang me-
reka kenali siapa adanya.
"Rupanya kau yang telah membunuh orang
itu?" tanya ketiga Iblis kaget.
"Ya, kenapa?" jawab si pemuda. "Kalau kalian rewel pun aku akan mengirim kalian
ke ak- herat sepertinya."
"Sombong kau, Anak muda!" menggeretak si Sumbing marah. Ia merasa diremehkan
oleh pemuda itu. Namun pemuda itu bukannya takut,
malah pemuda itu ganda tertawa.
"Hem, apa kalian ingin bukti?" tanyanya dengan sinis.
Ketiga Iblis Cacat Rupa itu tersentak kaget,
manakala dilihat oleh mereka tangan pemuda itu
memancarkan sinar merah. Dan ketika telunjuk
Ken Wijaksono nama pemuda itu menunjuk, se-
ketika dari jari telunjuk memancarkan sinar me-
rah yang terasa panas tiada tara. Serta merta ketiga iblis itu melompat
menghindar dengan mata
mereka melotot kaget.
"Heh... Dari mana kau peroleh ajian Lulur
Raga itu?" tanya ketiga Iblis Cacat Rupa kaget, sebab setahu mereka hanya patih
Brah Amungkarti saja yang memiliki, tapi kenapa pemuda di hadapannya memiliki
juga" Pemuda itu ganda tertawa melihat ketaku-
tan Iblis Cacat Rupa. Tangannya masih mencerca
mereka dengan ajian tersebut, menjadikan ketiga Iblis Cacat Rupa harus berjuang
mati-matian untuk mengelakkannya. Tubuh ketiga Iblis itu ber-
jumpalitan, dipermainkan oleh serangan-
serangan yang dilancarkan Ken Wijaksono. Ken
Wijaksono bagai tak mau tahu, ia tetap mencerca dengan ajiannya yang bertubi-
tubi dan mengarah
bergantian pada ketiga Iblis Cacat Rupa.
"Hentikan! Kami mengakui keunggulanmu,
kami mau menjadi pengikutmu," berseru si Bopeng yang tampak telah kecapaian.
Napasnya ngos-ngosan dengan keringat bercucuran.
Mendengar permintaan si Bopeng, segera
Ken Wijaksono hentikan serangan. Matanya kem-
bali memandang pada ketiga iblis di hadapannya.
Senyumnya tersungging penuh kemenangan, lalu
dengan suara sinis berkata:
"Baik, aku ampuni kalian karena kalian te-
lah mengakui siapa aku adanya. Mulai hari ini ju-ga, kalian harus dapat
menaklukkan beberapa
perguruan silat. Ajak mereka untuk bergabung,
bila tidak mau kalian bunuh ketuanya atau han-
curkan saja perguruan itu."
"Daulat, Ketua. Hari ini juga, engkaulah
ketua kami!" menjawab ketiga iblis itu seraya menjura hormat, menjadikan Ken
Wijaksono sunggingkan senyum. Maka dengan meninggal-
kan gelak tawa berkepanjangan. Ken Wijaksono
segera berkelebat pergi tinggalkan ketiga iblis yang hanya terbengong
menyaksikan kepergiannya. Setelah sesaat terdiam Ketiga Iblis Cacat Ru-pa itu
pun segera tinggalkan rumah Lompong Wu-
lung, yang kembali sepi bagaikan tak berpenghu-
ni. *** Jaka Ndableg yang tengah berjalan menik-
mati suasana pagi, seketika matanya tertarik pa-da sebuah rumah yang pintunya
terbuka. Pintu rumah itu seperti dibuka dengan paksa, sehingga keadaan pintu rumah itu
berantakan. "Hem, sepertinya ada sesuatu di rumah
itu," bergumam Jaka dalam hati. Segera Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman
Darah berkelebat menuju ke rumah tersebut. Langkahnya
perlahan-lahan, sepertinya ia tak mau gegabah
untuk menghadapi hal yang dapat saja terjadi kalau ternyata rumah itu jebakan
untuk dirinya. Jaka sadar kalau musuhnya banyak menyebar di
mana-mana, walau pun temannya juga ada di
mana-mana. Bagai seekor kucing tengah mengintai tikus
Jaka Ndableg melangkah dengan tumit kakinya,
menjadikan langkahnya tak terdengar sama seka-
li. Matanya yang tajam laksana burung Raja wall, memandang tak berkedip pada
sekeliling rumah
itu. "Sepi... Ya, sepi rumah ini. Sepertinya tadi malam telah terjadi sesuatu di
sini," kembali Jaka bergumam.
Setapak demi setapak langkahnya mende-
kati ke pintu rumah. Diambilnya sebuah batu ke-
cil, lalu dilemparkan batu kecil itu ke dalam rumah. "Bletok!"
Terdengar suara batu beradu dengan ben-
da yang keras menyerupai batok kepala. Tak ada
reaksi yang keluar dari dalam rumah. Perlahan
Jaka menongolkan kepalanya melihat ke dalam.
Seketika matanya memandang pada sesosok tu-
buh yang hitam legam bagaikan terbakar duduk
di sudut ruangan itu.
"Sepertinya orang itu telah mati. Baik akan aku dekati," berkata Jaka. Segera
dengan tangan siap menghantamkan pukulan tenaga dalamnya
Jaka memasuki rumah itu. Memang benar, bah-
wa orang tersebut ternyata memang telah mati.
Tubuh orang tersebut hangus bagaikan terbakar,
menjadikan tubuhnya hitam legam laksana
arang. Jaka hanya mampu gelengkan kepala, ma-
nakala tahu keadaan orang itu. Serta merta ha-
tinya bergumam lirih, penuh kekeluan mengingat
betapa dunia ini sangat banyak kejadian-kejadian yang sukar untuk dicerna oleh
akal. "Gusti Allah, gerangan apa yang telah ter-
jadi" Sepertinya orang ini mati oleh pukulan yang sangat ganas. Hem, siapakah
yang memiliki pukulan ganas yang menyerupai pukulan Tapak
Bahanaku?"
Pertanyaan di hati Jaka, sepertinya tak ada
jawaban. Semua membisu, tak mau menceritakan
apa sebenarnya yang telah terjadi di rumah itu.
Perlahan Jaka membopong tubuh hitam legam itu
keluar, lalu menaruhnya di bawah sebuah pohon.
Setelah menaruh tubuh orang itu, segera Jaka
kembali masuk ke dalam untuk memeriksa apa
yang dapat dijadikan bahan untuk dirinya men-
genali siapa adanya orang tersebut Jaka segera
membongkar almari yang ada di dalam kamar.
Dibukanya satu persatu pakaian yang ada di situ dengan harapan dapat memperoleh
keterangan yang berguna untuk dirinya. Sekian lama Jaka
membongkar-bongkar seluruh isi almari, namun
Jaka tak menemukan sesuatu apapun yang ber-
guna. Hampir saja Jaka putus asa, manakala ma-
tanya yang tajam memandang pada bumbung
bambu yang terselip di pagar rumah.
"Mungkin di benda itu akan aku temui se-
gala rahasia ini."
Segera Jaka mengambil bumbung tersebut
dari selipan bilik rumah, lalu dibukanya tutup
bumbung dan dikeluarkan segala isinya. Lemba-
ran-lembaran daun lontar mengering keluar dari
dalam bumbung tersebut. Lembaran-lembaran
daun lontar itu terdapat tulisan yang ditulis dengan hurup jawa, berbunyi "Dunia
persilatan akan mendapatkan bencana dengan da-tangnya manusia yang mengaku Anak
Dewa, yang sebenarnya
keturunan Iblis Gondoruwo. Hanya ada dua orang


Pedang Siluman Darah 15 Sumpah Si Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mampu mencegah segala tindakannya. Per-
tama seorang pemuda yang memiliki senjata pe-
dang bernama Pedang Siluman Darah. Sedang
yang seorang lagi, adalah murid Sunan Kalijaga
yang bergelar Maling Siluman dengan ajiannya
Lampus Umur yang belum ada tandingannya.
Namun begitu, Maling Sakti tak akan mampu
membinasakan Anak Dewa karena ia masih seda-
rah kandungan. Kini semuanya tinggal menye-
rahkan nasibnya pada pendekar muda yang ten-
gah menggemparkan dunia persilatan dengan Pe-
dangnya Siluman Darah."
"Hem, jadi kini di dunia persilatan akan
muncul seorang pemuda sakti yang mengaku
anak Dewa. Apa sih keistimewaannya, sehingga
dia menyebut dirinya Anak Dewa" Aku jadi terta-
rik untuk menyelidikinya," gumam Jaka pada diri sendiri. "Hai, kenapa aku sampai
lupa untuk mengetahui siapa adanya penulis surat ini?"
Kembali Jaka membuka lipatan daun lon-
tar itu, lalu dibacanya kembali. Di situ tertulis nama seorang penulisnya
Lompong Wulung di-tujukan surat itu untuk para tokoh persilatan golongan lurus.
"Kalau begitu aku akan menyampaikan su-
rat ini pada para tokoh golongan lurus dulu, baru aku ingin menemui Maling
Siluman. Sebab menurut surat ini, Maling Silumanlah yang diincar oleh Anak Dewa
yang sebenarnya anak Iblis, Mengapa
bisa begini, sih" Aku akan mencoba menanyakan
pada Maling Siluman," berkata Jaka dalam hati.
Setelah mengubur mayat Lompong Wu-
lung, dan memeriksa kembali keadaan rumah ter-
sebut Jaka dengan segera berkelebat meninggal-
kan rumah itu dengan membawa surat dari daun
Lontar. *** Tengah Jaka berlari membawa surat yang
ditulis di daun lontar, seketika langkahnya terhenti manakala telinganya yang
tajam mendengar
seorang wanita menjerit-jerit meminta tolong. Ja-ka yang tak suka bila seorang
lelaki menyakiti
wanita apalagi hendak memperkosanya segera
membalikkan tubuhnya, kembali ke asal suara
itu. Tak sulit untuk Jaka menemukan di mana
asal suara tersebut, karena telinganya yang tajam
peka menerimanya.
Melotot mata Jaka seketika, manakala me-
lihat seorang lelaki muda tengah menggeret-geret tangan seorang gadis yang
menjerit-jerit minta di-lepaskan.
"Lepaskan aku, Kakang. Lepaskan...!"
"Tidak! Kau telah berbuat gila dengan
orang lain," membentak si pemuda sewot. Matanya memandang tajam dan liar,
sepertinya hen-
dak menghunjam pada mata si gadis. "Kau telah mengkhianati cintaku, Wulan. Kau
telah berani menyeleweng dengan lelaki lain."
Melihat kenyataan bahwa kedua sepasang
muda mudi itu hanyalah ribut masalah cemburu
buta, seketika bergelak tawalah Jaka. Hal itu
menjadikan kedua muda mudi itu tersentak ka-
get, dan langsung memandang pada Jaka. Si ga-
dis yang bernama Wulan, tersenyum genit pada
Jaka. Sedangkan pemuda yang sedari tadi meng-
geret-geret tangannya nampak melotot marah se-
raya membentak.
"Siapa kau. Kenapa kau tertawa?"
"Maaf, aku jadi teringat pada masa aku pa-
caran dulu. Seperti kau, aku pun seorang pemu-
da yang cemburuan. Sedikit-sedikit selalu cembu-ru bila melihat pacarku
berbincang-bincang atau duduk-duduk dekat dengan orang lain, ya seperti kaulah
persis," jawab Jaka seenaknya seraya geleng-gelengkan kepala dan bibir
tersenyum- senyum, lalu dengan bibir mengurai senyum Jaka
pun bermaksud pergi meninggalkan tempat itu
manakala pemuda pacar sang gadis berseru me-
nanggilnya. "Hoi, tunggu!"
"Ada apa lagi?" tanya Jaka seraya hentikan larinya dan balik kembali.
"Aku ada perlu denganmu," menjawab si pemuda.
"Perlu" Perlu apa" Aku takut nanti meng-
ganggu kalian."
"Tidak...."
"Ah, gampang lain waktu saja. Maaf, aku
terburu-buru. Nah selamat bercintrongg... Hua,
ha, ha...."
Jaka tertawa bergelak-gelak sembari me-
langkah kembali berlalu meninggalkan kedua pe-
muda-pemudi itu, yang kini hanya tersenyum-
senyum sembari gelengkan kepala melihat kela-
kuan Jaka. Sang pemuda hanya tersenyum-
senyum, sementara si gadis yang bernama Wulan
tampak terdiam. Entah karena apa, seketika hati Wulan terpaut manakala melihat
wajah Jaka. "Sungguh tampan wajah pemuda itu, polos
dan mengandung humor. Siapakah namanya" Ah,
aku tak dapat menghilangkan wajahnya yang
tampan itu, sepertinya tak akan menghilang dari pelupuk mataku," bergumam hati
Wulan, sehingga Wulan pun terdiam dengan bibir tersenyum-
senyum sendiri.
Melihat gadisnya tersenyum-senyum sendi-
ri, pemuda yang tak lain Ken Wijaksono seketika memandang tak berkedip seraya
kerutkan kening
penuh rasa cemburu dan bertanya.
"Kau tertarik pemuda itu?"
"Kenapa kakang terus menerus cemburu
begini rupa?" balik bertanya Wulan, sepertinya tak ingin mendengar pertanyaan
yang hanya itu-itu saja dari mulut Ken Wijaksono. "Apa sih yang menjadikan
kakang begitu cemburu buta?"
"Karena aku mencintai dan menyayangi-
mu," menjawab Ken Wijaksono, menjadikan Wulan tersenyum sinis. "Kenapa kau
tersenyum sinis begitu padaku, Wulan?"
"Ah, kakang terlalu berprasangka," mendesah Wulan mencoba menutupi apa yang ada
di hatinya. "Aku tak berprasangka. Itu benar, bukan?"
"Tidak! Bukankah sudah aku katakan
bahwa cintaku hanya untuk kakang. Semestinya
kakang jangan terlalu cemburu buta begitu. Apa-
lah artinya pengekangan, Kakang."
"Ah, sudahlah. Ayo kita pulang," mengajak Ken Wijaksono merasa kalah untuk
berdebat dengan Wulan. Wulan hanya tersenyum, menurut
melangkah pulang tanpa banyak bicara lagi.
6 Jaka Ndableg nampak berdiri kebingungan
manakala melihat sungai membentang di depan-
nya. Langkahnya untuk meneruskan ke tempat
para tokoh persilatan terhenti, ia tak dapat melompati sungai yang lebar itu.
Bila mengambil jalan memutar, jelas memerlukan waktu.
"Kuya, mengapa sungai sialan ini tiba-tiba menghadangku?" bergumam Jaka seraya
garuk- garuk kepala yang tak gatal. "Wow, aku ini seperti orang dungu saja. Kenapa aku
tak menggunakan
otakku yang sedari kecil aku pasang di jidat ini?"
Habis berkata begitu Jaka segera kembali
menuju ke dalam hutan untuk mencari sebatang
kayu yang bakal digunakannya untuk menyebe-
rang sungai. Tak lama Jaka mencari kayu, kemu-
dian ia pun kembali ke sungai untuk melakukan
uji cobanya yaitu berjoget ria di atas sebatang ca-bang pohon dalam usahanya
mengarungi sungai
yang luas. Ketika Jaka hendak melemparkan kayu itu
ke sungai, tiba-tiba dilihatnya tiga orang tengah menuju ke arahnya dengan
menaiki rakit bambu.
Jaka tak segera melempar kayu yang telah di-
genggamnya, ia menunggu mereka yang tengah
menaiki rakit seraya berseru.
"Ki Sanak sekalian. Bolehkah aku num-
pang di rakit yang kalian pakai itu" Biarlah aku akan membayar untuk itu."
Ketika orang penunggang rakit itu tak bica-
ra sepatah kata pun. Mereka terus mengayuh ra-
kit itu makin lama makin menepi.
"Jadi kalian membolehkan aku ikut bersa-
ma kalian untuk menyeberang?" tanya Jaka.
Ketiga orang itu tak menjawab, mereka
hanya menganggukkan kepala saja. Tanpa meng-
hiraukan mereka, segera Jaka melompat turun
dan menapakkan kakinya di atas rakit. Sesaat
rakit oleng oleh tekanan kaki Jaka, menjadikan
ketiga orang itu sedikit tersentak kaget. Dalam hati mereka menggumam, "Inikah
Pendekar Pe- dang Siluman Darah yang telah menggemparkan
dunia persilatan?"
"Ki Sanak sekalian, kenapa kalian tak ber-
bicara sepatah katapun" Apakah kalian tak me-
nyukai aku ikut bersama kalian?" tanya Jaka setelah rakit itu berjalan sampai di
tengah sungai yang sangat luas itu. Jawaban dari pertanyaan
Jaka... "Aoor...."
Tersentak Jaka seketika, manakala melihat
rupa ketiga orang itu. Rupa ketiga orang itu sangat menakutkan dan menyeramkan.
Mata mereka tak ada semua, begitu juga dengan hidung mere-
ka. Sementara mulut mereka lebar ke samping,
menganga memperlihatkan gigi-giginya yang
runcing-runcing.
"Gusti Allah, siapakah mereka ini?" gumam Jaka dalam hati.
Belum juga Jaka tersadar dari kagetnya,
serta merta ketiga mahluk menyeramkan itu se-
rentak menyerangnya. Ketika tubuh mereka ber-
kelebat, bau busuk seketika menyengat keluar
dari tubuh ketiga orang itu, bau bangkai.
"Siapa kalian, Ki Sanak?" kembali Jaka bertanya.
"Aooh...." kembali jawaban itu yang terdengar. Jaka tersentak manakala tangan
ketiga mahluk yang bau bangkai itu menyerang ke
arahnya. Serta merta Jaka berusaha menghindar,
namun tangan salah satu mahluk menyeramkan
itu tak dapat luput. Tangan itu menghantam telak
di dada sebelah kirinya. Seketika baju yang dike-nakan Jaka terbakar gosong,
dengan kulit dada
seketika menghitam. Tersentak Jaka melompat
mundur, mulutnya mendengus penuh kekesalan.
Namun dasar ia ndableg, walau marah Jaka
nampak masih tersenyum-senyum.
"Setan... Kalau kalian memang ingin me-
ngeroyokku, maka aku ingin kalian jawab dengan
sejujur-jujurnya. Nah, dengar pertanyaanku. Bila kalian menjawab dengan jujur
maka kalian akan
memperoleh hadiah dari diriku berupa tiket gratis ke neraka. Siapa yang telah
menyuruh kalian
bergentayangan di dunia?"
"Gooar...oaar..."
"Eh, rupanya kalian menjawab dengan be-
nar. Baiklah, aku akan memberikan tiket gratis
untuk kalian menuju ke neraka. Bersiaplah,
hiat...!" Tanpa banyak bicara lagi Jaka yang melihat ketiga mahluk penyerangnya
hendak kembali menyerang segera hantamkan ajian Getih Sak-
tinya. Seketika itu pula, menjeritlah ketiga mahluk itu. Tubuh mereka seketika
meleleh, daging-
nya menghilang dan ambruk tinggal tulang belu-
lang. Namun belum juga Jaka dapat tersenyum
panjang, tiba-tiba dari dalam air bermunculan
mahluk yang lebih menyeramkan. Mahluk-
mahluk itu berbadan hitam kecoklat-coklatan,
dengan mata nongol ke luar dan lidah merah
memanjang menjulur ke luar dari mulut mereka.
Melihat hal itu Jaka yang memang ndableg seke-
tika berseru. "Ladahlah, kenapa kalian yang sudah te-
nang di dasar sungai ini muncul ke permukaan"
Apakah kalian memang sengaja ingin sekedar me-
lancong piknik" Wah, bagaimana kalau kahan tak
memiliki transport untuk pulang?"
"Aor... Oaaoor..."
Mahluk-mahluk itu sepertinya mengerti ka-
ta-kata Jaka, terbukti mereka dengan segera
membuka serangan. Bagaikan anak-anak SMA
dan STM Budi Utomo, mereka pun berkelahi den-
gan cara keroyokan. Rupanya mode anak-anak
SLTA di Jakarta yang suka bertempur keroyokan,
dijadikan mode kaum iblis yang mengeroyok Ja-
ka. "Wadow... Kenapa iblis-iblis ini genit banget" Nih, untuk kalian...!" seru Jaka
manakala li-ma iblis itu menyerangnya. Segera Jaka sodorkan tangannya yang telah
dilampiri ajian Petir Sewu.
Seketika muka kelima mahluk iblis itu meledak,
terhantam petir yang keluar dari tangan Jaka.
Namun belum juga Jaka dapat mengatur napas,
mahluk-mahluk lain pun bermunculan menye-
rangnya. 'Tobat... Kenapa kalian suka bercanda den-
gan manusia seperti aku ini sih, Om Setan?" ucap Jaka dengan ndablegnya dan
konyol. Sementara
tubuhnya berkelebat-kelebat menghindari rang-
sekan mereka yang bertempur ala robot, atau ala orang-orang yang perutnya besar
karena banyak memakan uang haram milik pemerintah.
"Apakah memang di dunia Iblis tak pernah
ada istilah bercanda?" tanya Jaka masih ngeba-
nyol. "Kalau memang Oom-Oom sekalian ingin bercanda denganku, baiklah. Nih, aku
berikan sebuah pertanyaan pada kahan. Kenapa setan-


Pedang Siluman Darah 15 Sumpah Si Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setan seperti kalian pada suka air kencing?"
"Aoor..." berseru mahluk-mahluk itu marah, yang tak mau diam atau menjawab
perta- nyaan Jaka. Mungkin mereka merasa kesindir
oleh pertanyaan Jaka, mereka makin mengamuk
laksana tank-tank perang yang kini digelar di
Irak. "Waauh, kalau begini terus menerus aku tak akan mempunyai waktu lagi,"
keluh Jaka dalam hati. "Aku harus memanggil Ratu Siluman Darah. Hem... Dening
Ratu Siluman Darah. Datanglah!"
Mahluk-mahluk menyeramkan itu seketika
menyurut mundur manakala melihat Pedang Si-
luman Darah telah tergenggam di tangan Jaka.
Namun belum juga mereka dapat berbuat banyak,
Jaka dengan segera tebaskan pedang tersebut ke
arah mereka. Seketika mereka menjerit.
"Aooooooo...."
Tubuh mereka seketika itu pula hancur
terbabat Pedang Siluman Darah menjadi serpi-
han-serpihan debu yang beterbangan dan akhir-
nya terbawa oleh air sungai. Pedang Siluman Da-
rah masih tergenggam di tangan Jaka yang ber-
siap-siap, kalau-kalau mahluk-mahluk itu mun-
cul kembali. Rakit pun melaju membawa tubuh
Jaka yang di tangannya masih menggenggam Pe-
dang Siluman Darah menepi...
*** Malam kembali menyelimuti bumi, ketika
terdengar suara orang bertengkar di sebuah ru-
mah. Rumah itu milik pak tua, yang didiami pak
tua dan anak angkatnya, Ken Wijaksono.
"Kau harus mati di tanganku karena kau-
lah yang kelak menghalangi kemauanku!" terdengar suara anak muda berkata. Anak
muda itu tak lain Ken Wijaksono adanya. Di tangan Ken Wijak-
sono atau Anak Dewa tergenggam sebilah pedang.
Mata Ken Wijaksono memandang penuh rasa
pembunuhan pada pak tua yang juga tak mau ka-
lah memandang padanya.
"Ken... Apa kau sudah gila! Aku ini ayah-
mu. Ken?" berkata pak tua mencoba menyadarkan Ken Wijaksono anaknya. Namun
ternyata ucapannya berlalu begitu saja, sebab Ken Wijak-
sono hanya tersenyum sinis seraya kembali ber-
kata: "Kau bukan ayahku. Kaulah yang kelak menghalangi segala kemauanku. Setelah
kau aku singkirkan dari muka bumi ini, maka tinggal aku menyingkirkan dua orang lagi
yaitu Maling Siluman dan Pendekar Pedang Siluman Darah. Bila
semua telah aku lakukan, jadilah aku seorang
maha diraja di dunia. Hua, ha, ha...."
"Itu semua tak akan pernah terjadi. Ru-
panya kau telah dirasuki oleh Iblis yang telah
men-teror kerajaan ini. Keluar kau, Iblis! Jangan kau ganggu anakku!" membentak
pak tua. Ken Wijaksono tersenyum kecut.
"Wiraba, kenapa kau bersembunyi di desa
ini?" terdengar suara lain yang keluar dari mulut Ken Wijaksono, menjadikan pak
tua yang ternyata bernama Wiraba tersentak kaget. "Kau aku cari-cari, rupanya
kau bersembunyi. Kau telah ber-
buat menghancurkan kerajaanku, maka kau ha-
rus hancur pula."
"Gandarta Iblis! Rupanya kau masih pena-
saran. Walaupun kau telah kalah oleh Maling Si-
luman, mengapa kau tak kapok-kapok, Iblis..."
membentak Wiraba sengit.
"Hua, ha, ha... Aku bersumpah, tak akan
aku mati tenang bila belum menjiret leher para
pendekar itu. Aku akan menteror terus manusia
sampai mereka mengakui akulah raja diraja me-
reka. Akan aku musnahkan pendekar Maling Si-
luman dan pendekar Pedang Siluman Darah!"
Kembali Gandarta atau Gundoruwo tertawa
bergelak-gelak, lalu menghilang dan berganti sua-ra Ken Wijaksono kembali. Ken
Wijaksono nam- pak merandek, mendengus penuh amarah. Pe-
dang di tangannya seketika berkelebat, menye-
rang Ki Wiraba.
Ki Wiraba yang ternyata bekas seorang
pendekar yang pernah memporak-porandakan ke-
rajaan Gundoruwo bukanlah orang sembarangan.
Walau usianya telah lanjut, namun gerakannya
ternyata masih gesit dan lincah. Pedang di tangan Ken Wijaksono seperti tak ada
arti sama sekali
bagi Wiraba. Setiap kali pedang itu hendak menebas ke arahnya, secepat itu pula
Wiraba kelitkan tubuh dan balik menyerang.
Pertarungan dua musuh bebuyutan yang
kini menjadi bapak dan anak angkat kembali be-
rulang. Seperti dulu manakala Wiraba mampu
memporak-porandakan kerajaan Gundoruwo,
saat itu pula Wiraba nampak masih dapat menga-
tasi segala serangan yang dilancarkan musuhnya.
Bahkan kini Wirabalah yang balik mendesak sang
musuh, menjadikan musuhnya nampak keteter.
"Bedebah! Rupanya kau masih mampu, Wi-
raba!" membentak Ken Wijaksono marah. "Namun hari ini giliranmu mengalami
kehancuran, Wiraba. Hua, ha, ha...."
"Jangan takabur, Iblis! Mari kita buktikan siapa yang berhak hidup di dunia!"
balas Wiraba membentak marah. Tubuh tua itu masih berkelebat menyerang mendesak
sang musuh yang nam-
paknya kian keteter
"Hem, kau memang masih kuat, Wiraba.
Namun janganlah kau menyangka akan mampu
mengalahkan aku lagi. Lihat ini..." Ken Wijaksono hentakkan kakinya ke tanah
tiga kali. Tiba-tiba dari dalam tanah bermunculan mahluk-mahluk
tengkorak yang menyebarkan bau busuk. Mahluk
tengkorak sesaat memandang pada Ken Wijakso-
no, yang segera berseru memerintah. "Serang...!"
Tanpa banyak kata atau membandel, kese-
puluh mahluk tengkorak hidup itu segera berke-
lebat bareng menyerang Wiraba. Tersentak Wira-
ba kaget, melihat musuhnya dengan seketika
mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Ilmu Pe-
manggil Mayat, ternyata telah dimiliki oleh mu-
suhnya. Tak ada jalan lain, Wiraba harus menggu-
nakan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Diserangnya
mahluk-mahluk tengkorak hidup itu dengan aji-
an-ajian yang dimiliki.
"Luwung Geni. Hiat...!"
Telapak tangan Wiraba terbuka dengan ja-
ri-jari memegar. Dari tangan itu keluar segu-
lungan api yang menyala-nyala, menghantam ke-
sepuluh mahluk tengkorak hidup itu. Seketika
kesepuluh mahluk itu terbakar. Namun belum ju-
ga Wiraba tenang, dari dalam tanah tiba-tiba
muncul dua kali lipat mahluk-mahluk sejenis
menyerangnya. Segera Wiraba kembali hantam-
kan ajiannya, meledaklah kedua puluh mahluk
itu hancur. Namun seperti semula, satu hilang
dua terbilang. Kedua puluh mahluk itu menghi-
lang, muncul empat puluh mahluk keluar dari da-
lam bumi menyerang ke arahnya. Hal itu menja-
dikan tenaga tua Wiraba akhirnya terkuras habis.
Dan ketika melihat Wiraba lengah, segera Ken Wijaksono tebaskan pedangnya. Tak
ayal lagi, tubuh tua itu terhuyung-huyung dengan luka menganga
di tubuh belakang.
Mata Wiraba melotot penuh amarah, me-
mandang tajam pada Ken Wijaksono yang terse-
nyum kecut. Dengan sisa-sisa tenaganya, Wiraba
nekat menyerang dengan segenap ajiannya. Tan-
pa dapat dihindari oleh Ken Wijaksono, ajian yang dilontarkan Wiraba telak
menghantam tubuhnya.
Seketika tubuh Ken Wijaksono mental jauh. Ja-
tuh ke luar rumah dengan darah meleleh di sela-
sela bibirnya. Sementara Wiraba sendiri, ambruk
dan mati. Ternyata pedang yang digunakan oleh
Ken Wijaksono mengandung racun yang sangat
jahat. Kedua anak dan bapak angkat itu ambruk.
Bedanya kalau Wiraba langsung terbang ke akhe-
rat, sedangkan Ken Wijaksono hanya pingsan ka-
rena luka dalam yang berat.
7 Pikiran Maling Siluman atau Atma Kusuma
saat itu terasa tak enak. Bayangan pak tua itu selalu membayang di benaknya.
Dalam bayang- annya, pak tua tampak meratap meminta tolong
dengan luka-luka menganga di gegernya.
"Hem, ada gerangan apakah hingga aku se-
lalu dibayangi oleh pak tua itu?" bergumam hati Maling Siluman. "Ah, mungkin
memang pira-satku benar adanya. Baiklah aku akan datang ke
sana." Dengan terlebih menggunakan pakaian penutup tubuhnya yang serba hitam,
Maling Silu- man segera tinggalkan pondoknya untuk ber-
tandang ke rumah pak tua.
Larinya begitu cepat, sepertinya Maling Si-
luman tak ingin dirinya terlambat. Tubuh ber-
seragam hitam itu berkelebat menembus gelapnya
malam, menerobos semak belukar. Saking cepat-
nya Maling Siluman berlari, tak terasa angin yang dikeluarkan oleh kecepatan
larinya menjadikan
pohon-pohon bertiup dengan kencangnya. Itulah
ajian Bayu Langkah Sewu, sebuah ajian yang
sangat hebat dan belum ada tandingannya dalam
hal lari. Tersentak Maling Siluman, manakala meli-
hat apa yang telah terjadi di rumah pak tua. Di-dapatinya tubuh pak tua telah
terkulai menjadi
mayat dengan luka menganga di punggungnya.
"Pak tua... pak tua...!"
Segera Maling Siluman angkat tubuh yang
tergeletak itu. Dibawanya tubuh tua renta itu
menuju ke pembaringan, lalu dengan penuh ha-
rapan ditempelkannya telinga di dada pak tua.
Tak ada detak lagi.
"Siapakah yang telah berbuat begini" Di-
mana anak itu?" tanya Maling Siluman pada diri sendiri. "Hem, apa tidak mungkin
anak itu yang telah membunuhnya. Aku kira, anak itu telah di-pengaruhi oleh
ayahnya si Gondoruwo,"
Tengah Maling Siluman berpikir mengira-
ngira siapa pembunuh pak tua, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seruan-seruan yang
menyayat hati. Bersamaan dengan habisnya seruan-seruan itu,
seketika muncul mahluk-mahluk menyeramkan
dari dalam tanah yang langsung menyerang pa-
danya. Tersentak Maling Siluman, serta merta ia pun lemparkan tubuh ke angkasa
menghindar be-totan tangan mahluk-mahluk menyeramkan yang
bermaksud membetot kakinya.
"Setan! Rupanya mahluk-mahluk inilah
yang telah menjadi abdi anak itu. Hem, sia-sia
aku menolong anak durjana itu, kalau akhirnya
menjadi petaka. Aku rasa, Gondoruwo telah
mempengaruhinya. Dasar Iblis" menggerutu Mal-
ing Siluman seraya elakkan serangan yang men-
garah padanya. Mahluk-mahluk itu seperti kelaparan saja,
terus merangsek menyerang Maling Siluman, Mal-
ing Siluman yang telah mengetahui bahwa mah-
luk itu tak dapat dibuat main-main, serta merta babatkan pedang pusaka ke arah
mahluk-mahluk tersebut. Mahluk-mahluk menyeramkan itu seke-
tika menjerit, lalu menghilang dari pandangan
mata. Namun belum juga hilang rasa kaget Mal-
ing Siluman, seketika muncul mahluk-mahluk se-
rupa yang jumlahnya makin bertambah banyak.
Tersentak Maling Siluman kaget seraya
menggumam. "Gusti Allah, ternyata mahluk-mahluk ini
bukan mahluk-mahluk sembarangan. Apakah
aku akan mampu menghadapinya?"
Tengah Maling Siluman terjengah diam, ti-
ba-tiba mahluk-mahluk menyeramkan itu telah
kembali menyerangnya. Bau bangkai seketika
menyengat hidung, manakala kedua puluh mah-
luk iblis itu berkelebat. Secepat kilat Maling Siluman elakkan serangan,
babatkan pedangnya.
Mahluk-mahluk iblis itu kembali menjerit dan
raib dari pandangan. Tapi seperti semula, hilangnya dua puluh mahluk Iblis itu
muncullah dua kali lipat mahluk serupa lainnya.
Kini benar-benar kaget Maling Siluman di-
buatnya. Betapapun ia menggunakan senjata,
niscaya ia akan kehabisan tenaga juga. Maling Siluman mencoba mencari akal,
bagaimana menga-
lahkan mahluk-mahluk siluman itu. Dengan se-
gera Maling Siluman bacakan Ayatul Qhursi. Se-
ketika mahluk-mahluk menyeramkan itu tak
mampu bergerak, diam pada tempatnya. Namun
sungguh aneh dan benar-benar aneh. Mahluk-
mahluk itu tak lebur sama sekali. Hal itu menjadikan konsentrasi Maling Siluman
terpecah kare- na kaget, sehingga ia pun terlalai membaca ayatul Qhursi. Mahluk-mahluk itu
segera tersadar dari diam dan kembali menyerangnya.
"Gusti Allah, apakah aku pun akan mati
oleh mahluk-mahluk Iblis ini?" mengeluh Maling Siluman putus asa, manakala
keempat puluh mahluk Iblis itu menyerangnya kembali, segera
Maling Siluman hantamkan ajiannya Lampus
Umur tingkat pamungkas. Lebur seketika keem-
pat puluh mahluk Iblis itu. Namun sungguh men-
jadikan Maling Siluman membuka lebar-lebar,
takkala dari dalam tanah bermunculan mahluk-


Pedang Siluman Darah 15 Sumpah Si Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mahluk sejenis yang jumlahnya makin bertambah
banyak. Dari empat puluh, kini menjadi delapan
puluh hingga rumah itu pun seketika dipenuhi
oleh mahluk-mahluk Iblis yang menyeringai se-
perti mengejek pada Maling Siluman. Maling Si-
luman tak mau menyerah begitu saja. Sebagai
murid Sunan Kalijaga, ia telah digembleng oleh sang Sunan segala ilmu kanuragan
dan batin yang kuat. Kembali Maling Siluman hantamkan
ajian Lampus Umur tingkat pamungkas. Dan
kembali mahluk-mahluk Iblis itu lenyap, hancur.
Tapi sungguh-sungguh tak dapat dipikir oleh ak-
al, mahluk-mahluk itu kembali muncul dengan
jumlah yang bertambah banyak.
Menyaksikan hal itu, segera Maling Silu-
man lemparkan tubuh ke luar rumah seraya ber-
seru. "Mahluk-mahluk Iblis. Keluar kalian! Mari kita bertarung di sini.
Hiat...!" Kedatangan mahluk-mahluk Iblis itu dipa-
paki dengan hantaman ajian Lampus Umur ting-
kat pamungkas. Hancur leburlah mahluk-mahluk
iblis itu bersamaan dengan hancurnya rumah pak
tua menjadi debu. Kembali mahluk-mahluk itu
muncul, dan kini berjumlah hampir dua ratus
mahluk. Tenaga Maling Siluman benar-benar telah
terkuras karena mengumbar ajian Lampus Umur
secara beruntun. Kini Maling Siluman benar-
benar pasrah pada nasib. Daripada ia pulang atau lari meninggalkan tempat itu,
lebih baik ia bertarung mati-matian. Manakala mahluk-mahluk itu
hendak kembali menyerang Maling Siluman, tiba-
tiba berkelebat sebuah bayangan menghantam-
kan ajiannya ke arah mahluk-mahluk Iblis itu.
Seketika hancur tubuh mahluk-mahluk Iblis ter-
hantam ajian yang dilancarkan bayangan terse-
but. Bayangan itu seketika telah berdiri di sisi Maling Siluman yang tersentak
kaget seraya bertanya. "Siapakah engkau, Ki Sanak?"
"Janganlah menanyakan dulu siapa
adanya aku, yang penting sekarang bagaimana
menghancurkan mahluk-mahluk itu dan menja-
dikan mereka kapok," menjawab pemuda yang di-tanya oleh Maling Siluman dengan
senyum men- gembang di bibirnya.
Maling Siluman tak berkata lagi, manakala
dari dalam tanah kembali muncul ratusan mah-
luk Iblis. Maling Siluman tersentak kaget, saat mendengar pemuda di sisinya
berseru bagaikan
tak merasa takut sedikitpun.
"Ayoh, Oom-oom setan sekalian, apakah
kalian ingin merasakan kue molen yang empuk"
Mendekatlah ke mari, aku akan memberikan pada
kalian dengan gratis cuma-cuma."
"Ki Sanak, apakah engkau tidak sedang
bercanda?" tanya Maling Siluman terheran-heran menyaksikan tingkah pemuda di
sampingnya. "Tidak, Ki Sanak, lihatlah aku akan mem-
berikan pada mereka kue molen yang belum per-
nah mereka rasakan. Nah, lihatlah mereka ru-
panya menginginkan kue molen itu. Bersiaplah,
Ki Sanak. Kita akan bermain tak jidor dengan
Oom-Oom setan itu. Ya..." Pemuda yang tak lain si Jaka Ndableg berseru
memperingatkan pada
Maling Siluman, lalu tangannya dikiblatkan ke
arah mahluk-mahluk Iblis yang segera mengarah
ke arah mereka. "Ajian Jamus Kalimusada. Hiat!"
"Duar! Duar! Duar!"
Ledakan berturut-turut membahana, men-
jadikan seluruh alam raya seketika bagaikan ter-cekam ketakutan demi Jaka
Ndableg telah menge-
luarkan ajian yang sungguh-sungguh tak dapat
dikeluarkan dengan seenaknya. Bumi seketika
bergoyang bagaikan diolengkan, bersamaan den-
gan angin yang datang menderu-deru. Pohon-
pohon seketika tumbang, Jin marakayangan men-
jerit-jerit bagaikan terbakar panas api yang maha
dahsyat. Saking hebatnya ajian Jamus Kalimusada
yang dikeluarkan oleh Jaka Ndableg, sampai-
sampai seluruh ratu Siluman yang ada di alam-
nya muncul dan menemui Jaka. Mereka seketika
berkata sambil melelehkan air mata.
"Ampun, Tuan Pendekar, janganlah tuan
pendekar mengeluarkan ajian Jamus Kalimusada.
Oh, kami tak dapat tenang. Apapun yang tuan
kehendaki, sekali-kali janganlah tuan pakai ajian itu. Sungguh-sungguh kiamat
bagi dunia bila
ajian tersebut tuan pendekar gunakan. Sekali lagi atas nama rakyatku, tariklah
kembali ajian tersebut." "Baiklah. Aku akan menarik ajian Jamus Kalimusada, asal
kau mau tunjukan pada kami
siapa adanya pelaku dari semua ini?" tanya Jaka Ndableg.
"Maksud Tuan Pendekar?"
"Siapakah orangnya yang telah melakukan
ini semua" Kalau bangsamu, siapakah adanya?"
"Ampun, Tuan Pendekar, mahluk itu bu-
kan bangsa kami, tapi bangsa Jin Marakayangan
atau bangsa Iblis yang bernama Gondoruwo. Kini
ia telah bersemayam pada diri seorang pemuda
yang mengaku Anak Dewa," menjawab Sri Ratu siluman.
Dengan segera Jaka tarik kembali ajian
Jamus Kalimusada, sehingga alam pun seketika
tenang kembali. Bersamaan dengan itu, para ratu dan raja siluman menghilang
pulang kembali ke
alamnya masing-masing.
"Sungguh-sungguh ilmu yang dahsyat. Se-
lama hidupku, baru kali ini aku melihat ilmu
yang mampu membuat resah seluruh alam ini,"
bergumam Maling Siluman. "Siapakah sebenarnya tuan pendekar ini?"
Jaka tersenyum sembari menjura hormat.
"Hamba yang masih muda dan bodoh ini
bernama Jaka Ndableg."
"Apa..." Jadi kaukah Pendekar Pedang Si-
luman Darah yang tengah menggegerkan dunia
persilatan?" tanya Maling Siluman kaget, yang menjadikan Jaka Ndableg tersenyum
seraya mengangguk mengiyakan. "Pantas, kalau begitu."
"Ki Sanak sendiri. Kalau boleh aku tahu,
siapakah Ki Sanak adanya" Dan kenapa pula Ki
Sanak dikeroyok oleh mahluk-mahluk Iblis itu?"
tanya Jaka balik.
"Aku yang rendah ini bernama Atma Ku-
suma atau Maling Siluman."
"Ah, ternyata tuankah Maling Siluman itu?"
desah Jaka yang diangguki oleh Maling Siluman
atau Atma Kusuma. "Sungguh aku tak menyang-ka kalau hari ini dapat bertemu
dengan seorang pendekar penolong rakyat. Terimalah salam hor-
matku, sungguh aku telah berlaku tak sopan pa-
damu." Tersenyum Atma Kusuma atau Maling Siluman mendengar ucapan Jaka Ndableg.
Maling Siluman hanya mampu gelengkan kepala, lucu
melihat tingkah laku Jaka yang konyol. Dalam
hati Maling Siluman berkata, "Ah, ternyata dalam kekonyolannya tersimpan
kedigjayaan yang tinggi.
Pantas kalau namanya sangat disegani oleh lawan maupun kawan."
"Apakah Tuan Pendekar Maling Budiman
tidak mengerti siapa sebenarnya anak Dewa itu?"
tanya Jaka kemudian, menjadikan Maling Silu-
man tersentak dari lamunannya. Lalu dengan
perlahan sambil keduanya berjalan Maling Silu-
man menceritakan siapa adanya Anak Dewa ter-
sebut. Jaka yang mendengarkannya hanya mang-
gut-manggut mengerti, tanpa banyak komentar
atau pun menyela. Langkah keduanya begitu ce-
pat, sepertinya mereka hendak memburu.
Jaka pun segera menceritakan tentang pe-
nemuannya di rumah Lompong Wulung, yang
menjadikan dirinya mengerti tentang segala kejadian yang tengah menimpa kerajaan
itu. Di- tunjukkan surat yang terbuat dari daun lontar
pada Maling Siluman, yang segera menerimanya
dan membacanya.
8 Tergopoh-gopoh ketiga Iblis Cacat Rupa
berlari. Sepertinya mereka tengah dikejar-kejar oleh seseorang musuh mereka.
Napas ketiganya
memburu, dengan keringat bercucuran di kedua
keningnya. Wajah mereka yang biasanya sangar
menakutkan, kini nampak pucat pasi. Sekali-kali mereka menengok ke belakang,
lalu kembali mereka berlari dengan kencang sekencang-
kencangnya. "Apakah Maling Siluman ada di antara me-
reka, Sumbing?" tanya Jereng dengan napas
ngos-ngosan. "Aku kira tak ada," jawab Sumbing.
"Ah, kenapa kita mesti lari-ketakutan?" keluh Bopeng. "Ayo kita hadapi mereka.
Apakah kita mesti takut pada kroco-kroco dunia persilatan?"
tambahnya memberi semangat. Orang yang di-
maksud kroco-kroco oleh ketiga Iblis Cacat Rupa adalah para tokoh persilatan
yang bergabung menjadi satu. Mereka memang bentrok dengan
tokoh-tokoh persilatan yang telah tahu sepak ter-jang mereka.
"Lagi pula, kenapa kita mesti takut pada
Maling Edan itu?" menambah Sumbing memberikan keberanian pada kedua rekannya.
"Bukankah ada pimpinan kita si Anak Dewa?"
"Ah, benar. Ayo kita layani mereka. Kalau
kita terdesak, bukankah kita dapat segera me-
manggil si Anak Dewa hanya dengan cara menye-
but namanya?"
Sedang ketiganya bercakap-cakap, tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh suara-suara teriakan para tokoh persilatan yang telah
mendekat ke arah mereka. "Itu mereka, ganyang Iblis-Iblis itu!"
"Jangan biarkan hidup-hidup!"
Mendengar seruan-seruan para tokoh per-
silatan, seketika ketiga Iblis Cacat Rupa menggeretak marah. Dengan berani
karena merasa tak
ada orang yang ditakuti, serta merta ketiga Iblis Cacat Rupa berkelebat memapaki
mereka. Tak ayal lagi, pertarungan tawuran itu pun terjadi.
Namun walau dikeroyok oleh sebanyak itu, ketiga Iblis Cacat Rupa tak merasa
gentar. Ketiganya
menyerang dengan membabi buta. Korban dari
pihak persilatan aliran lurus pun berjatuhan. Hal itu menjadikan kemarahan
tokoh-tokoh tua yang
dengan segera menggempur ketiga Iblis Cacat Ru-
pa. Kini pertarungan makin seru, antara to-
koh-tokoh tua dari aliran lurus dengan Tiga Iblis Cacat Rupa. Rupanya pengalaman
memang lebih menentukan dalam hal ini, terbukti para tokoh
tua dapat dengan mudah mendesak ketiga Iblis
Cacat Rupa. Hampir saja ketiga Iblis Cacat Rupa dapat
mereka kalahkan, ketika secara tiba-tiba terdengar suara gelak tawa seorang yang
dibarengi dengan berkelebatnya sesosok tubuh yang langsung
menyerang ke arah tokoh-tokoh persilatan. Anak
muda itu ternyata si Anak Dewa, menjadikan ke-
tiga Iblis Cacat Rupa makin bertambah seman-
gatnya merasa tuannya datang menolong. Keti-
ganya pun segera balik menyerang para tokoh
persilatan. Tak ayal lagi, para tokoh persilatan pun kini yang terdesak mundur.
Apalagi si Anak
Dewa sangat tinggi ilmunya, sehingga sukar un-
tuk mengalahkannya. Walau para tokoh persila-
tan tahu bahwa si Anak Dewa bukanlah musuh
mereka, namun demi membela keadilan mereka
tak mau mengalah begitu saja. Dengan prinsip lebih baik mati untuk membela
kebenaran, daripa-
da mengalah untuk mengabdi pada Iblis, mereka
tampak gagah berani.
Melihat kegigihan para tokoh persilatan, si
Anak Dewa nampak tersentak kaget juga. Walau-
pun ia memiliki ilmu segudang, tapi kalau dike-
royok segitu banyaknya jelas tenaganya akan terkuras habis. Apalagi para
pengeroyoknya seperti tak mengenai takut, terus merangseknya.
"Kalau begini terus menerus, aku rasa aku"
pun tak akan mampu bertahan. Hem, lebih baik
akan aku panggil sekutu-sekutuku."
Segera si Anak Dewa yang mendapat julu-
kan dari kaum persilatan aliran lurus si Durjana, menghentakkan kakinya tiga
kali berturut-turut
ke tanah. Bersamaan dengan itu, dari dalam ta-
nah muncul ratusan mahluk menyeramkan me-
nyerang para tokoh persilatan.
Melihat para sekutunya datang, segera Ken
Wijaksono atau Anak Dewa melesat pergi diikuti
oleh ketiga Iblis Cacat Rupa meninggalkan tempat pertarungan tersebut. Kini para
tokoh persilatan itu berhadapan dengan mahluk-mahluk menyeramkan yang tak
mengenai kompromi. Tak ayal
lagi, dalam sekejap saja lumatlah para tokoh persilatan dibantai dengan sadis
oleh mahluk- mahluk Iblis tersebut. Tubuh mereka dicabik-
cabik dan dimakan dengan menggidigkan.
*** Jaka Ndableg dan Maling Siluman yang
siang itu tengah berjalan menyusuri hutan untuk memburu si Durjana, tersentak
manakala melihat
banyak tulang-tulang manusia berserakan. Tu-
lang-tulang itu seperti baru saja dikuliti, sehingga masih banyak daging-daging
yang melekat di situ.
Mata kedua pendekar pembela kebenaran itu ter-
belalak, tak percaya pada apa yang mereka lihat hingga sampai-sampai keduanya


Pedang Siluman Darah 15 Sumpah Si Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berseru kaget. "Gusti Allah, ternyata mahluk-mahluk itu
makin mengganas!"
"Ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut."
"Benar apa katamu, Saudara Maling Silu-
man," jawab Jaka, yang masih jongkok sembari memunguti tulang-tulang tersebut.
Keduanya segera mengubur tulang-tulang itu, sebagaimana
layaknya. "Kita harus bertindak cepat, jangan sampai didahului oleh mereka," gumam Jaka
Ndableg, yang diangguki oleh Maling Siluman.
Setelah keduanya mengubur tulang-tulang
tersebut, keduanya sesaat duduk-duduk di bawah
sebuah pohon. Angin bertiup dengan semilir,
menjadikan keduanya merasakan kantuk yang te-
ramat sangat. Tersentak Jaka manakala merasa-
kan hawa aneh di sekelilingnya. Ia sadar, kalau di situ tengah terjadi sesuatu
yang hendak mengan-cam jiwanya dan Maling Siluman.
Hawa kantuk makin merajah, menjadikan
Maling Siluman seketika tak mampu kuasai diri.
Maling Siluman pun akhirnya tertidur pulas. Jaka tersentak, segera ia duduk
bersila heningkan cipta dan melakukan meditasi.
"Hem, ternyata ada mahluk yang sengaja
menyirep. Baik. Maling Siluman dapat kalian aka-
li, namun aku si Pendekar Pedang Siluman Darah
tak akan mudah kalian tipu, Mahluk jelek!"
menggeretak Jaka dalam hati. Segera Jaka hen-
takkan napasnya kencang, ke arah Maling Silu-
man, seketika itu Maling Siluman terjaga dari tidurnya.
"Ada gerangan apa, Saudara Jaka?" ta-
nyanya terheran-heran, sepertinya ia baru saja
terjaga dari mimpi. Jaka hanya memberi isyarat
agar ia hati-hati.
Belum juga Maling Siluman mengerti apa
maksud Jaka, tiba-tiba sekelompok wanita can-
tik yang entah dari mana datangnya muncul me-
nuju ke arah mereka. Senyum wanita-wanita can-
tik itu nampak manis dan menggoda. Mungkin
kalau lelaki lain akan jatuhlah hati mereka.
"Siapa mereka, Saudara Jaka?" tanya Maling Siluman tak mengerti seraya kerutkan
kening. "Hati-hatilah, mereka itu sebenarnya mu-
suh kita. Mereka sengaja didatangkan oleh si
Anak Dewa untuk mempengaruhi kita biar kita ja-
tuh," jawab Jaka menerangkan.
"Kalau begitu mereka juga sebangsa mah-
luk Iblis itu?"
"Benar apa katamu, Maling Siluman. Lihat-
lah dengan mata batin yang tenang, kau pasti
akan melihat siapa adanya mereka."
Maling Siluman segera menurut apa yang
dikatakan Jaka. Segera Maling Siluman memu-
satkan segalanya pada satu tujuan, lalu dengan
segera dibukanya mata batin. Tampak olehnya,
bahwa wanita-wanita cantik tadi berubah meng
jadi Kolong Wewe. Buah dada mereka panjang
menjurai ke bawah, sementara mulut mereka le-
bar dengan taring-taring panjang menyeramkan.
Mata mereka yang tampak lentik, kini merupakan
mata yang lebar menakutkan berwarna merah
membara. "Bagaimana, Saudara Atma" Apakah kau
telah tahu?"
"Benar.... Mereka tak ubahnya para Kalong
Wewe," jawab Maling Sakti. "Kita harus menda-hului mereka."
"Baik, ayo kita mulai."
Tanpa diduga-duga oleh para Kalong Wewe
itu, Jaka Ndableg dan Maling Siluman telah ber-
kelebat menyerang mereka. Kalong Wewe itu ter-
sentak dan berusaha mengelak, namun hanta-
man ajian Lampus Umur dan Tapak Bahana telah
menghancur leburkan mereka yang seketika lebur
menjadi serpihan-serpihan debu.
Jaka dan Maling Siluman nampak tak mau
memberi hati pada para Kalong Wewe. Mereka te-
rus menghantamkan ajian yang mereka miliki
tanpa memberi kesempatan pada para Kolong
Wewe itu untuk balik menyerang.
Dihantam oleh dua ajian yang sangat dah-
syat itu, seketika para Kalong Wewe itu menjerit.
Tubuh mereka hangus terbakar, lalu hancur le-
bur menjadi abu. Sisa-sisa mereka yang masih
hidup, seketika lari pontang panting dan menghilang di balik pohon gebang. Jaka
dan Maling Si- luman tak mau membiarkan mereka begitu saja,
segera mereka pun menyerang pohon gebang itu
dengan ajian yang mereka miliki. Seketika terdengar pekikkan kematian, bersamaan
dengan am- bruknya pohon gebang itu lebur terhantam dua
ajian sekaligus.
Setelah merasa bahwa para demit itu be-
nar-benar telah tak ada segera kedua pendekar
itu berkelebat meninggalkan hutan untuk terus
mencari si Anak Dewa atau Ken Wijaksono.
*** Kerajaan Purba Wisesa seketika diguncang
oleh suatu pembunuhan sang Raja yang dilaku-
kan oleh Anak Dewa. Namun begitu, semua ra-
kyat tak ada yang berani menentangnya, sehingga Anak Dewa dengan segera dapat
menjadikan kerajaan takluk dalam kuasaannya. Perombakan
terjadi hari itu juga. Sebagai raja baru, jelas Anak Dewa tak mau menyia-nyiakan
kesempatan emas.
Diperintahkan pada para prajuritnya untuk me-
nangkap Maling Siluman dan Pendekar Pedang
Siluman Darah. "Prajurit, cari kedua pendekar itu. Tangkap mereka hidup-hidup atau pun mati,
segera!" "Daulat, Baginda Anak Dewa, segala titah
paduka akan kami junjung tinggi," menjawab sang Prajurit.
Hari itu juga, beberapa puluh prajurit kera-
jaan segera menjalankan tugasnya. Mereka harus
menemukan dua pendekar yang namanya sangat
kondang dan disegani baik lawan mau pun ka-
wan. Setelah menjadi Raja, Anak Dewa segera
mengangkat ketiga Iblis Cacat Rupa menjadi pa-
tihnya. Ditambah lagi dengan patih utama yang ia angkat dari bangsa Iblis, yaitu
Wulung Gembong.
Wulung Gembong adalah panglima prajurit di ke-
rajaan Gondoruwo, yang dapat meloloskan diri
manakala Wiraba menghancurkan kerajaan ter-
sebut. Kini Wulung Gembong diangkat kembali
dengan kedudukkan yang lebih tinggi.
Semenjak Anak Dewa menjabat jadi raja,
maka si Durjana itu pun dengan sewenang-we-
nang berbuat. Kesukaannya memperkosa anak-
anak gadis makin menjadi-jadi, menjadikan Wu-
lan makin lama-makin tak suka padanya. Diam-
diam Wulan mendendam pada Iblis Durjana. Se-
bagai seorang wanita, jelas Wulan tak mau
kaumnya dibuat semena-mena oleh Anak Dewa
kekasihnya. Namun untuk berbuat, Wulan tak
mampu menghadapi Anak Dewa atau si Durjana.
Wulan hanya berharap akan datang pemuda yang
ternyata Pendekar Pedang Siluman Darah.
"Kenapa akhir-akhir ini kakang berbuat
terlalu biadab?" tanya Wulan pada suatu hari manakala keduanya tengah duduk-
duduk mema-du kasih yang sebenarnya hambar bagi Wulan.
Jawaban dari pertanyaan itu hanyalah se-
nyum Hal itu makin menjadikan Wulan dongkol
dan dendam yang tiada takaran pada Ken Wijak-
sono. Sebenarnya dendam itu sejak lama bersa-
rang di hati Wulan. Ayahnya dibunuh dengan sa-
dis oleh pemuda ini, sedang kekasihnya juga begi-
tu. Jadi jelaslah, bahwa Wulan menuruti ke-
mauan Ken Wijaksono hanya untuk mencari ke-
sempatan membalas sakit hati dan dendamnya
pada pemuda ini.
*** Jaka dan Maling Siluman yang tengah
memburu si Durjana seketika hentikan langkah
manakala terdengar seruan prajurit, yang menyu-
ruh mereka berhenti.
"Hai, ada apa kalian mencariku?" tanya Maling Siluman heran, manakala melihat
prajurit kerajaan mencari-cari dirinya.
"Ampunkan kami, Pangeran Atma Kusu-
ma," menjawab ketua prajurit, dengan suara ter-sendat sepertinya berat.
"Kerajaan kini telah berubah total."
"Berubah" Berubah bagaimana maksud-
mu, Tirta?" tanya Maling Siluman belum juga mengerti.
Dengan terlebih turun dari kudanya dan
menyembah pada pangeran kerajaannya, Tirta
Jumena selaku ketua prajurit segera mencerita-
kan apa yang telah terjadi di kerajaan seminggu yang lalu. Tersentak Maling
Siluman dan Jaka
Ndableg, demi mendengar cerita yang dibeberkan
oleh Tirta. "Benarkah ucapanmu, Tirta?"
"Daulat, Kanjeng Pangeran," jawab Tirta kembali menyembah.
"Baiklah, aku dan saudara Jaka akan sege-
ra datang ke sana," berkata Maling Siluman. "Ayo Jaka, kita ke kerajaan.
Ternyata orang yang kita cari-cari telah membuat sebuah kekacauan di sa-na. Kita
tak usah repot-repot lagi mencari-
carinya." "Ayo..." jawab Jaka.
Maka dengan segera kedua pendekar pem-
bela kebenaran itu pun segera berkelebat men-
dahului prajurit yang mengenakan kuda menuju
ke kerajaan. "Rupanya memang apa yang menjadi ba-
yanganku benar adanya," mendesah Maling Siluman seraya berlari, diikuti oleh
Jaka yang berada di sampingnya.
"Maksudmu?"
"Dulu aku pernah membayangkan kalau
Ramanda Prabu akan meninggal oleh keturunan
patihnya yang ternyata Gondoruwo. Dan ternyata
segalanya benar terjadi."
"Kalau begitu, dulu kerajaan dipimpin oleh patih Iblis?"
"Benar apa yang engkau katakan. Bahkan
Brah Amungkarti jauh melebihi Iblis. Tindakan
serta perbuatannya melebihi tindakan Iblis. Dia juga menggauli ibunda manakala
Ramanda tengah tak ada, yang akhirnya ibunda lahir si Durja-na itu."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Jaka masih belum mengerti.
"Ya, namanya saja Gondoruwo. Bukankah
mahluk Iblis itu memang suka mengganggu wani-
ta?" tanya Maling Siluman seperti pada diri sendi-
ri. "Mulanya juga aku kaget tatkala Ramanda yang katanya hendak pergi menemui
raja sebe-rang tiba-tiba datang kembali. Tak aku sangka
kalau itu adalah tipu muslihat Iblis Gondoruwo."
"Lalu apakah Ibunda Ratu tak merasakan
kelainan?"
"Entahlah, Jaka," mengeluh Maling Siluman, menjadikan Jaka turut trenyuh. Kedua
orang pendekar itu terus berlari dan berlari dengan ajian yang mereka miliki,
sehingga lari mere-ka bagaikan tiupan angin saja.
Tak berapa lama kemudian, kedua pende-
kar itu sampailah di alun-alun kerajaan. Semua
mata rakyat memandang gembira kedatangan
Maling Siluman, yang bagi mereka adalah peno-
long sekaligus pembelanya.
Rupanya kedatangan kedua pendekar itu
telah diketahui oleh Anak Dewa. Maka kedatan-
gan kedua pendekar itu disambut oleh serangan
beruntun para prajurit. Berdesing-desing ratusan anak panah memburu tubuh kedua
pendekar tersebut. "Bedebah! Ternyata Anak Dewa tak lebihnya seorang pengecut!"
memaki marah Maling Siluman, sementara tangannya dengan segera ki-
baskan pedang membabat putus seluruh anak
panah. "Kalau memang Anak Dewa menghendaki nyawa kami, kami minta keluarlah dan
tangkap sendiri diri kami ini! Jangan seperti pengecut!"
Mendengar seruan Maling Siluman, marah-
lah Anak Dewa. Ia merasa dihina benar-benar di
hadapan para prajuritnya. Maka dengan amarah
yang meluap-luap di dada, Anak Dewa segera
berkelebat diikuti oleh keempat patihnya.
"Aku datang, Maling Busuk!" membentak Anak Dewa.
"Hem, rupanya kau memang telah dikuasai
oleh ayahmu yang Iblis. Menyesal aku dulu men-
gambilmu dari kuburan!"
Membeliak marah Anak Dewa hingga dari
tubuhnya seketika memancarkan sinar merah
membara laksana api. Tubuhnya mengepul men-
geluarkan asap, matanya memandang tajam den-
gan sorot mata penuh hawa kematian. Lalu den-
gan suara parau laksana suara Gondoruwo, si
Durjana membentak.
"Bedebah! Hari ini kalian akan aku lumat-
kan! Tentunya pemuda di sampingmu itu yang
bernama Pendekar Pedang Siluman Darah, Maling
busuk!" "Hem, suaramu lantang penuh dengan ke-
sombongan. Apakah nanti ilmumu dan kebera-
nianmu juga besar dan lantang?" Jaka ikut nim-brung berkata. Dasar Jaka Ndableg,
walau meng- hadapi musuh yang sudah diketahui kehe-
batannya masih saja ia cengar-cengir seperti tak memandang sebelah mata.
"Tubuhmu memang
memancarkan cahaya, yang dapat digunakan se-
bagai lampu penerang bila gelap gulita. Tapi kenapa otakmu kok gelap?"
"Bangsat! Lancang kau berkata padaku,
Anak edan!" menggeretak marah Anak Dewa
mendengar ucapan Jaka yang ceplas ceplos ba-


Pedang Siluman Darah 15 Sumpah Si Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gaikan orang gendeng. "Jangan salahkan kalau
wajahmu yang tampan akan hilang hari ini juga!"
"Hemm benarkah itu" Mau dikemanakan
wajahku yang tampan ini" Atau mungkin hendak
untuk mengganti wajahmu yang buruk dan bau
itu, Iblis dungu?" kembali Jaka ngelantur ngomong, menjadikan makin marah saja
si Durjana. "Pendekar Edan! Aku tak tenang bila belum
menyate tubuhmu!" menggeretak si Durjana. Namun hal itu bukannya menjadikan Jaka
takut atau gentar, malah ia bagaikan digelitik tertawa bergelak gelak seraya berkata.
"Wadow, sadis amat... Memangnya aku ini
apa, Mas?"
"Kunyuk! Akan aku buktikan, hiat...!"
Serta merta si Durjana menyerang Jaka,
dibarengi dengan keempat patihnya yang menye-
rang Maling Siluman. Pertarungan pun segera terjadi. Dua pendekar itu harus
menghadapi empat
orang musuh. Namun begitu, nampaknya mereka
seimbang, bahkan kedua pendekar itu malah
mendesak musuh-musuhnya. Menerima kenya-
taan itu, serta merta si Durjana menggereng se-
raya hentakkan kaki ke tanah tiga kali. Maka dari dalam tanah muncullah puluhan
mahluk menyeramkan mengeroyok dua pendekar.
Melihat hal itu, segera Jaka dan Maling Si-
luman bareng hantamkan ajian mereka. Luluh
lantaklah mahluk-mahluk itu hangus terbakar.
Namun untuk kedua kalinya, mahluk-mahluk itu
kembali muncul dari dalam tanah. Kali ini jumlah mereka makin bertambah banyak.
Jaka dan Maling Siluman yang telah beberapa kali menghadapi
mahluk-mahluk itu tak mau main-main. Segera
Jaka lemparkan tubuh ke belakang seraya berse-
ru pada Maling Siluman.
"Saudara Maling Siluman, minggirlah. Ha-
dapi mereka, biar aku yang menghadapi mahluk-
mahluk genit ini. Mereka semestinya diberi ha-
diah tiket ke neraka sebagai hadiah atas kegenitan mereka yang bila mengikuti
kontes pasti akan menjadi nomor urut super bawah."
Maling Siluman yang telah mengerti siapa
adanya Jaka Ndableg, segera menurut mundur
dan terus mencerca ketiga Iblis Cacat Rupa.
Sementara Jaka Ndableg, segera duduk
bersila seperti tak gentar menghadapi mahluk-
mahluk itu yang makin lama-makin mendekat.
"Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"
Mahluk-mahluk itu seketika menjerit dan
menghilang lenyap manakala melihat Pedang Si-
luman Darah telah tergenggam di tangan Jaka
Ndableg. Seketika Anak Dewa dan keempat patih-
nya terbelalak melihat pedang di tangan Jaka.
Mata mereka tak berkedip, menyaksikan pedang
yang dari ujungnya mengalir darah membasahi
batang pedang. Tiba-tiba, Jaka yang tengah me-
musatkan segalanya pada pedang tersentak ma-
nakala si Durjana menyerangnya secara cepat
tanpa diduga. Saking kagetnya Jaka, sehingga
Jaka pun segera tebaskan Pedang Siluman Da-
rah. "Wuut...!"
"Ah...!" memekik si Durjana kaget, berba-rengan dengan buntungnya tangan kiri
terpeng- gal Pedang Siluman Darah di tangan Jaka.
Tak dapat dibendung lagi kemarahan si
Durjana, menerima kenyataan itu. Karena saking
marahnya, sehingga tiba-tiba tubuhnya berubah
menjadi mahluk berbulu lebat menyerupai mo-
nyet namun tinggi dan besar. Jaka tersentak ka-
get, sehingga ia terpaku diam melihat hal itu. Manakala tangan mahluk semi
kingkong itu bergerak menyabetnya, Jaka pun terpental tak dapat
menghindar. Dadanya terasa sesak, kepalanya te-
rasa pening berkunang-kunang. Namun ketika
untuk kedua kalinya Gondoruwo itu hendak
menghantamnya lagi, dengan sisa-sisa tenaga Ja-
ka berkelebat memburu dengan pedang Siluman
Darah di tangannya.
"Hiat...."
"Wuut... Wuut... Wuuuut...!" Tiga kali Pedang Siluman Darah berkelebat membabat
tubuh Gondoruwo, yang seketika itu memekik lalu am-
bruk ke tanah dengan tubuh tercincang-cincang.
Tengah semuanya terpaku menyaksikan
kematian si Durjana atau Anak Dewa, seorang
gadis tiba-tiba berkelebat dan mengambil kepala si Durjana. Tanpa dapat dicegah,
tangan gadis yang bernama Wulan menghantam batok kepala
si Durjana hingga remuk.
Di pihak lain, keempat patih kerajaan si
Durjana menjerit manakala ajian Lampus Umur
tingkat pamungkas yang dilancarkan oleh Maling
Siluman menghantam tubuh mereka. Lebur seke-
tika tubuh keempatnya menjadi debu, beterban-
gan ditiup angin yang seketika itu datang.
Jaka tersentak kaget, manakala pipinya ti-
ba-tiba ada yang mencium. Setelah Jaka melihat, ternyata gadis Wulan yang telah
memberi ciuman padanya. Wajah Wulan merah tersipu-sipu di-
pandang Jaka, menjadikannya seketika tertun-
duk. "Kenapa kau menciumku?" tanya Jaka.
"Aku... aku... karena aku... aku mencintai-mu." Seketika semua yang ada di situ
tersenyum mendengar pengakuan Wulan yang jujur, ting-gallah Jaka yang geleng-
geleng kepala. Angin bertiup semilir, mengiringi kepergian
Jaka meninggalkan kerajaan Purba Wisdea. Di
belakangnya, nampak seorang gadis wanita muda
yang tak lain Wulan melepas kepergiannya den-
gan tatapan mata yang penuh kagum. Air mata
Wulan seketika meleleh, sepertinya tak rela kalau Jaka pergi meninggalkannya.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Iblis Pemburu Perawan 1 Pendekar Gila 19 Murka Sang Iblis Pendekar Pedang Sakti 9
^