Pencarian

Titisan Siluman Harimau 2

Pendekar Pulau Neraka 36 Titisan Siluman Harimau Bagian 2


wannya terjungkal sejauh dua tombak, namun mampu
berdiri di atas kedua kakinya meski dengan tubuh lim-bung. Sepasang matanya
bertambah nyalang menatap
ke arah Bayu. Saat itu pula Bayu telah bersiap menghantam-kan
pukulan yang berisi tenaga dalam kuat ketika terdengar teriakan nyaring dari
arah sampingnya.
"Hiyaaa...!"
"Ratna, jangaaaan...!" teriak Bayu kaget dan bermaksud mencegah Ratna Puspa
berbuat nekad dengan
menyerang lawannya.
Tapi peringatan itu agaknya sedikit terlambat. Me-
lihat ada orang mendekat dengan sikap mengancam,
manusia siluman langsung menerkam sambil menge-
luarkan auman dahsyat. Walaupun Bayu masih sem-
pat menyelamatkan nyawa Ratna, namun tak urung
satu sabetan cakar lawan berhasil merobek pinggang
Ratna Puspa. "Cras!"
"Begkh!"
"Aaaakh...!"
Ratna Puspa menjerit. Pedang yang tadi sempat di
pungutnya untuk menyerang lawan terpental entah ke
mana. Bersamaan dengan itu Roro Intan berteriak
sambil berlari kecil menghampiri Ratna Puspa, Kakaknya. Sedangkan Bayu dan
lawannya masing-masing
terhuyung-huyung setelah keduanya saling menya-
rangkan pukulan. Tangan kiri Bayu memapaki perge-
langan tangan lawan yang hendak mencakar lawan,
sedang tinju kanannya bersarang di dada lawan. Wa-
lau demikian sebelah tangan lawan yang bebas sempat merobek kulit dadanya.
"Hiyaaa...!"
Meski dalam keadaan terhuyung-huyung, lawan
langsung berbalik dan melompat hendak me-nyambar
Ratna Puspa kembali.
Dalam pada itu tak ada waktu lagi bagi Bayu untuk
menyelamatkan gadis itu. Tangan kanannya langsung
dikibaskan ke atas.
"Zwiiing!"
Seberkas sinar keperakan dari Cakra Maut lang-
sung menghantam ke arah lawan.
"Thakr !"
"Hei..."!"
Bayu tersentak kaget. Cakra Maut itu sama sekali
tak berhasil melukai lawan. Bahkan ketika senjata itu kembali melesat dan
menghantam, tetap saja tak berhasil menggores kulit lawan. Bukan main herannya
Pendekar Pulau Neraka. Selama ini senjatanya malang melintang di dunia
persilatan dan menjadi momok
yang menakutkan. Jarang ada yang lolos dari samba-
rannya. Tak heran bila telah banyak tokoh yang tewas oleh senjata itu.
"Graungrrr...!"
Walau pun tak mampu melukai kulit tubuh lawan
namun Cakra Maut itu cukup merepotkannya. Tenaga
dorongan senjata itu mampu membuatnya terhuyung-
huyung. Bukan mustahil bila keadaannya terus begitu
dia akan kerepotan sendiri. Belum lagi Bayu yang mulai bangkit dan mencecarnya
habis-habisan. "Hiyaaa...!"
"plak!"
"Bekgh!"
"Hugkh...!"
Satu pukulan telak yang dilancarkan Pendekar Pu-
lau Neraka menghantam dada lawan. Manusia siluman
itu terdorong sejauh tiga tombak. Terlihat kali ini dari sudut bibirnya menetes
darah kental. Bayu tak mau
menyia-nyiakan kesempatan. Begitu tangannya terki-
bas ke atas, Cakra Maut kembali melesat ke arah la-
wan. Bersamaan dengan tubuhnya mengikuti dari be-
lakang dengan satu serangan yang mengandung tena-
ga dalam kuat. "Graungrrr...!"
Dengan tak disangka-sangka lawan melompat ting-
gi dan terus kabur dari tempat itu.
"Keparat! Jangan harap kau bisa kabur se-
enaknya!" bentak Bayu geram.
"Paman...! Paman...." Roro Intan berteriak memanggil dengan suara cemas.
Mau tak mau terpaksa Bayu membatalkan niatnya
mengejar Manusia Siluman itu. Roro Intan menangis
terisak sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ratna
Puspa yang sudah tak sadarkan diri karena kehilangan banyak darah. Buru-buru
Bayu menghampiri dan me-notok beberapa jalan darah di tubuh Ratna Puspa un-
tuk menghentikan pendarahan yang terlalu banyak la-
gi. "Paman... apakah Kak Ratna masih bisa di-tolong?"
tanya Roro Intan cemas.
"Tenanglah Roro.... Kakakmu pasti akan sembuh!"
Bayu berusaha menenangkan hati Roro Intan. Se-
benarnya dia pun tak tahu, apakah gadis itu bisa ter-
tolong atau tidak. Keadaannya sangat kritis karena da-rahnya banyak terkuras.
Tengah Bayu merenung, dua
orang yang tersisa dari gerombolan Persekutuan Iblis Merah mendekat ke arahnya.
* * * 5 "Terima kasih atas pertolongan Anda, Ki sanak..."
kata salah seorang di antara mereka.
Bayu melirik sekilas. Yang berkata itu adalah seo-
rang gadis cantik dengan baju ketat. Dialah yang memimpin Persekutuan Iblis
Merah. Mereka pun agaknya
tak luput dari luka akibat cakaran lawannya tadi. Bisa jadi mereka memiliki ilmu
silat dan tenaga dalam yang lumayan sehingga mampu bertahan.
"Kalau kalian setuju, ikutlah dengan kami. Ke-tua kami punya seorang tabib yang
mungkin bisa mengobati luka teman gadismu itu..." lanjut wanita itu menawarkan
jasa. Bayu berpikir sejenak sebelum mengangguk setuju.
"Paman, mereka orang jahat. Kenapa Paman mau
saja ikut mereka?" protes Roro Intan dengan wajah masam.
"Tidak semua orang selamanya akan menjadi jahat, bukan" Kalau mereka berniat
baik mau menolong,
apakah kita harus curiga" Hal itu tidak baik, Roro.
Paman yakin mereka benar-benar bermaksud baik kali
ini," jelas Bayu.
Meski Roro Intan itu nampaknya kurang senang,
namun ketika mereka melangkah dia mengekor juga
dari belakang. Bayu memondong tubuh Ratna Puspa sementara
wanita anggota Persekutuan Iblis Merah yang tak lain Dewi Sukma Wening itu
berjalan di sebelahnya. Roro
sendiri tampak enggan beriringan dengan yang lain-
nya. Untunglah ada Tiren yang menemaninya hingga
membuatnya sedikit terhibur.
"Dia muncul begitu saja dan langsung menyerang kami tanpa sebab..." jelas Dewi
Sukma Wening tanpa diminta ketika dalam perjalanan mereka lebih banyak membisu.
Bayu meliriknya sekilas. Wajah cantik itu kini lebih berbinar kalau dia bersikap
lemah lembut seperti ini.
Kesan binalnya yang tadi tampak seolah sirna. Bayu
cuma tersenyum sendiri.
"Kalau Anda tak muncul, entah apa yang akan terjadi pada kami. Mungkin kami akan
gagal menjalan-
kan tugas, tapi... ahh, sebenarnya kali ini pun kami telah gagal menjalankan
tugas dari beliau..." lanjut Dewi Sukma Wening itu lirih.
"Tugas apa yang diberikan ketua kalian?"
"Beberapa hari lalu sepuluh anggota kami tewas dengan seluruh tubuh terkoyak
seperti di cakar harimau...."
"Jadi kalian ditugaskan untuk menangkap harimau itu?"
"Tidak. Ketua kami yakin bahwa itu bukan perbuatan binatang, melainkan seorang
tokoh persilatan yang menggunakan senjata seperti cakar harimau. Tapi tak
disangka setelah bertemu dengannya kami tak bisa
berbuat apa-apa. Ilmu silatnya hebat dan gerakannya pun amat cepat. Lebih dari
itu dia tak mempan senjata tajam," kata Dewi Sukma Wening.
"Hmmm... jadi kalian yakin dia pelakunya?"
"Ya...!"
Bayu terdiam sejenak dengan wajah geram.
Agaknya perubahan wajah Pendekar Pulau Neraka
itu tak luput dari perhatian gadis itu.
"Apakah Anda punya urusan dengannya?"
"Ya. Dia telah membunuh banyak anak buah Pa-
man bocah ini. Aku berjanji padanya untuk menyele-
saikan urusan ini sampai tuntas!"
"Kalau saja kita bisa bekerjasama...." Dewi Sukma Wening tak melanjutkan kata-
katanya. "Kenapa?"
"Ehhh... tidak!"
"Kalian ingin aku bekerja sama?"
Dewi Sukma Wening tak langsung menjawab. "Ka...
kalau Anda tak keberatan, ketua kami tentu akan me-
rasa senang dan merasa dihormati sekali...."
"Hmmm...!"
"Tapi tentu saja kami tak akan memaksa..." buru-buru Dewi Sukma Wening melarat
ketika mendengar
Bayu bergumam. "Siapa ketua kalian?"
"Beliau dikenal sebagai si Selendang Maut...."
Bayu bergumam. Nama itu pernah dikenalnya se-
bagai seorang tokoh wanita yang berilmu tinggi. Setiap kali kemunculannya, ilmu
silatnya seperti bertambah.
Entah sekarang barangkali kepandaiannya mungkin
berlipat ganda. Terutama senjata utamanya berupa selendang yang mampu kaku bagai
sebilah pedang pan-
jang, dan kembali lemas bagai tak bertenaga.
"Kenapa" Apakah Anda pernah mengenalnya?"
"Ya. Beliau termasuk tokoh hebat...."
"Anda terlalu melebihkan, Ki sanak. Di banding dengan nama Pendekar Pulau Neraka
mungkin beliau tak ada apa-apanya," sahut Dewi Sukma Wening itu sedikit merendah.
Bayu tersenyum.
"Kepandaianku tak seberapa di banding dengan
yang lain, masih banyak tokoh-tokoh yang berilmu
tinggi dan sulit diukur. Eh, rasanya lebih baik Anda memanggilku dengan sebutan
Bayu saja...."
"Bayu..." Hmm, baiklah kalau memang anda tak
keberatan. Anda pun cukup memanggilku dengan De-
wi. Namaku Dewi Sukma Wening...."
"Dewi Sukma Wening..." Nama yang bagus," puji Bayu.
Gadis itu tersenyum manis di puji demikian.
Belum lama mereka berjalan, tiba-tiba terlihat se-
seorang yang mendekat dari arah samping. Seorang
laki-laki separuh baya dengan wajah bersih berkesan ramah. Rambutnya yang
sebagian telah memutih di ge-lung ke atas. Melihat Bayu memondong tubuh seorang
gadis yang terluka parah, laki-laki itu langsung menegur dengan sikap ramah. * *
* "Kisanak, kulihat kawanmu terluka parah" Nama-
ku Jaladara dan mengerti sedikit soal obat-obatan. Kalau tak keberatan biarlah
ku coba untuk mengoba-
tinya." Sepasang alis Pendekar Pulau Neraka berkerut.
Laki-laki ini tak sedikit pun mengesankan bahwa dia mempunyai maksud-maksud
tertentu dari niat baiknya itu.
Beda halnya dengan Dewi Sukma Wening. Gadis
itu menaruh curiga melihat ada orang yang tak di ken-al dengan tiba-tiba saja
menawarkan jasa baiknya. Ta-pi dia tak berkata apa-apa ketika melihat bahwa Bayu
sedikit percaya dengan orang ini.
"Paman Jaladara, kalau kau mampu meng-
obatinya aku akan sangat berterima kasih sekali. Ta-
pi...." "Apakah kalian curiga padaku" He he he..., itu memang kusadari. Kita baru saling
mengenal dan dunia ini penuh dengan tipu muslihat manusia, tapi per-cayalah, aku
bermaksud baik. Pengetahuanku tentang
obat-obatan harus kusumbangkan untuk kepentingan
orang banyak. Kalau tidak demikian rasanya hidupku
tiada guna menyimpan kepandaian sendiri sementara
orang lain banyak yang menderita," sahut Jaladara.
Mendengar itu mau tak mau Bayu mesti percaya.
Paling tidak untuk keselamatan Ratna Puspa sendiri.
Kalau mesti mengikuti Dewi Sukma Wening ke mar-
kasnya, belum tentu keadaan Ratna Puspa akan lebih
baik. Apalagi perjalanan mereka agak jauh. Sementara ada orang lain yang
menawarkan jasa dan kelihatannya yakin mampu menyembuhkan luka Ratna Puspa,
apa salah di coba"
"Baiklah..." sahut Bayu.
"Bayu, apakah kau akan percaya begitu saja pada kata-katanya" Siapa tahu dia
bermaksud lain," sergah Dewi Sukma Wening tanpa basa-basi lagi.
Agaknya tadi dia berpikir bahwa Bayu punya piki-
ran yang sama dengannya tentang laki-laki itu, yaitu menaruh curiga dan menolak
niatnya itu. Tapi dengan tiada di sangka ternyata pemuda itu malah menyambut
baik niat laki-laki bernama Jaladara itu.
"Dewi, seperti aku percaya dengan niat baik-mu, begitu juga aku percaya pada
Paman Jaladara. Nyawa
Ratna Puspa harus ditolong secepatnya. Siapa tahu beliau mampu menolongnya,
sahut Bayu. "Terserah padamu saja. Tapi kami akan mene-
ruskan perjalanan ke markas. Selamat jalan, mudah-
mudahan temanmu itu cepat sembuh."
Bayu mengangguk. Diliriknya gadis itu sejenak se-
belum mereka melangkah pergi.
Dewi Sukma Wening pun agaknya berbuat hal yang
sama. Setelah melangkah beberapa tindak, dia melirik ke arah Bayu sambil
tersenyum. Kemudian berlalu
tanpa menoleh lagi.
"Temanmu itu agaknya terlalu menaruh curiga pa-da orang lain," gumam Paman
Jaladara. Bayu tak menyahut.
Paman Jaladara tersenyum, kemudian mengajak
mereka ke pondoknya yang tak jauh dari tempat itu.
Sebenarnya tuduhan Dewi Sukma Wening tak be-
nar bila Bayu sendiri pun tak menaruh curiga pada
Paman Jaladara. Tapi dia lebih mengutamakan kese-
lamatan Ratna Puspa. Walau demikian dia sama sekali tak melepaskan perhatian
terhadap gerak-gerik laki-laki itu. Namun sejauh ini tak terlihat tanda-tanda
bahwa orang itu punya niat buruk.


Pendekar Pulau Neraka 36 Titisan Siluman Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jaladara ternyata memang tabib yang hebat. Tak
berapa lama setelah mencekoki Ratna Puspa dengan
ramuan obatnya, gadis itu mulai siuman.
"Ohhh... di manakah aku ini...?"
"Ratna... kau berada di dekat kami, jangan banyak bergerak dulu. Lukamu sedang
dibalut." kata Bayu pelan. "Kak Ratna...!" panggil Roro Intan lirih.
Ratna Puspa menatap satu persatu. Ketika ter-
akhir menatap laki-laki separuh baya yang meng-
obatinya, wajahnya membias ragu. Bayu melihat peru-
bahan di wajah Ratna, lalu cepat menjelaskannya.
"Paman Jaladara inilah yang mengobatimu...."
"Terima kasih, Paman...."
"Sudahlah... ini sudah menjadi kewajiban manusia untuk saling tolong menolong
bukan" Ehh.... Ki sanak..." panggil Paman Jaladara ragu.
"Panggil saja saya Bayu, Paman...."
"Bayu... begini. Luka temanmu ini akan mengering
beberapa hari lagi. Kalau kalian sudi, kalian boleh tinggal di sini selama
beberapa hari menungguinya.
Atau kalau hendak mengantarkannya pulang, aku
mempunyai sebuah pedati. Kalian bisa mema-
kainya...."
"Terima kasih, Paman. Ini sungguh merepotkan.
Biarlah dia kugendong saja," sahut Bayu.
"Yah, terserah saja...."
"Paman akan menggendong Kak Ratna?" Roro tersenyum malu.
"Kenapa"!"
"Tidak apa-apa...." Roro masih tersenyum lucu. Bocah itu memalingkan wajah ke
Ratna Puspa, kakak-
nya. "Kakak nanti di gendong Paman Bayu saja, ya?"
Ratna Puspa tak memberikan jawaban. Wajahnya
terlihat jengah dan ragu. Bayu tersenyum kecil.
"Ya, ya... baiklah. Kalau Paman Jaladara tak keberatan, kami bermaksud meminjam
pedatimu saja. Nan-
ti sekembalinya akan ku pulangkan lagi ke sini."
"Tentu saja aku tak keberatan. Bukankah tadi telah kutawarkan pada kalian?"
"Terima kasih, Paman...?"
* * * Wanita itu tadinya sudah menunjukkan sikap ga-
rang. Namun setelah Dewi Sukma Wening men-
ceritakan seluruh kejadian yang mereka alami, perlahan-lahan terlihat parasnya
berubah datar. "Aku memang salah, Nini, dan tak becus apa-apa.
Kalau Nini bermaksud menghukum, aku pun siap me-
nerimanya," kata Dewi Sukma Wening pasrah.
"Sudahlah. Aku tak akan bertindak begitu ke-jam
pada anak buahku sendiri. Ceritakanlah lagi padaku tentang mereka, dan apa saja
yang kau ketahui tentang orang itu?" kata wanita itu dengan nada sedikit
memerintah yang berusia sekitar empat puluh tahun
itu. "Raut wajah orang itu seperti harimau, Nini. Pada jari-jari kaki dan
tangannya, tumbuh kuku-kuku yang kuat lagi runcing. Tubuhnya tak mempan senjata
tajam. Bahkan Cakra Maut pun tak melukainya."
"Jadi dengan cara bagaimana si Pendekar Pulau
Neraka mengalahkannya?"
"Pertarungan mereka belum selesai. Pendekar Pulau Neraka berhasil mendesak orang
itu. Namun dia terpaksa membiarkan lawannya kabur karena teman
gadisnya terluka parah." jelas Dewi Sukma Wening.
"Tadi kau katakan orang itu memiliki ilmu silat yang hebat, bahkan mampu
menghajar si Pendekar
Pulau Neraka. Bagaimana mungkin akhirnya dia yang
terdesak dan kabur?"
"Benar, Nini. Walau Cakra Maut pendekar itu tak mampu melukai lawan, namun dia
dan senjatanya lambat laun mendesak dan merepotkan orang itu. Aku
yakin, kalau pertarungan mereka dilanjutkan lawan-
nya itu pasti mampu ditaklukkannya.
Wanita setengah baya yang dalam dunia persilatan
di kenal sebagai Selendang Maut itu menganggukkan
kepala. "Kalau si Pendekar Pulau Neraka berhasil mende-saknya, dia tentu harus mampus di
tanganku!" desis wanita itu geram.
"Nini...!"
"Kenapa" Kau meragukan kemampuanku" Apa kau
beranggapan si Pendekar Pulau Neraka memiliki ilmu
silat lebih tinggi di bandingkan denganku"!"
"Bukan begitu, Nini. Tapi lawan kita kali ini bukan
orang sembarangan. Dalam pertarungan itu bukan sa-
ja tubuhnya kebal terhadap senjata tajam, bahkan pukulan-pukulan si Pendekar
Pulau Neraka yang meng-
gunakan tenaga dalam hebat pun seperti tak berarti
apa-apa baginya...."
"Diam kau, Dewi! Tak seorang pun boleh me-
remehkan kemampuan si Selendang Maut!" bentak
wanita itu sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Ampun Nini...!"
"Sudah! Sekarang siapkan anak buahmu yang lain.
Biar kali ini aku yang pimpin langsung rombongan.
Kau tak becus dan selalu menuruti ke-mauan anak
buahmu. Melihat gadis cantik saja, kalian langsung
lupa pada tujuan semula!"
"Sebenarnya aku tak bermaksud demikian, Nini...."
"Ya, ya... aku tahu. Kau hanya bermaksud menyenangkan anak buahmu bukan" Tapi
itu tindakan sa-
lah. Kalau kau senang, ya urusi dirimu sendiri baru anak buahmu kau pikirkan.
Bukankah selama ini mereka selalu mampu mencari kepuasan sendiri" Mereka
bukan anak kecil yang selalu harus di suapi."
"Iya, Nini!"
Dewi Sukma Wening langsung meninggalkan tem-
pat itu dan mengumpulkan anak buahnya yang lain.
Setelah berkumpul, mereka langsung berangkat untuk
mencari orang yang di maksud.
Selendang Maut sebenarnya bukan semata-mata
geram pada orang yang telah menewaskan beberapa
anak buahnya, melainkan ada maksud tertentu. Sela-
ma malang melintang di dunia persilatan, tak seorang pun yang pernah
mengalahkannya. Namanya amat di
segani dan di takuti bukan saja karena ketinggian ilmu silatnya tapi juga karena
kesadisannya dalam membunuh lawan.
Sudah lama sekali dia mendengar sepak terjang
Pendekar Pulau Neraka dan bermaksud menjajal ke-
pandaian pendekar itu. Namun belum ada kesempatan
untuk bertemu dengannya. Mendengar bahwa pende-
kar itu terlibat dalam usaha pencarian terhadap tokoh yang menewaskan anak
buahnya, si Selendang Maut
bersemangat untuk menemuinya dengan memimpin
sendiri anak buahnya. Kalaupun dia tak bertemu den-
gan pendekar itu, tapi tokoh yang diceritakan Dewi
Sukma Wening mampu menandingi pendekar itu. Ini
sudah merupakan tantangan yang tak bisa dielakkan-
nya sebagai orang yang merasa kepandaiannya tiada
yang menandingi.
* * * 6 Ratna Puspa dan Roro Intan sebenarnya tak suka
mereka dikembalikan kepada Paman Patisena. Tapi
Bayu tak punya pilihan lain. Dalam kondisi tubuh
yang lemah, Ratna Puspa lebih banyak menghambat
perjalanannya ketimbang memperlancar.
"Tapi Paman sudah janji mau mengajak Roro...."
kata Roro Intan dengan wajah cemberut.
"Bagaimana kalau kapan-kapan saja" Kali ini Paman menghadapi tugas yang bisa
mencelakakanmu nantinya."
"Paman bohong!" bantah Roro Intan sambil berlari ke kamarnya.
Bayu menghela nafas pendek. Dia segera mohon
pamit setelah segala sesuatunya beres. Namun tanpa
diketahuinya, Ratna Puspa kembali menyelinap lewat
jalan belakang dan mengikuti langkahnya dari jarak
jauh. Bayu sendiri sebenarnya merasa ada seseorang
yang mengikutinya dari jarak yang jauh tapi tak terpikir kalau itu langkah kaki
seorang gadis yang dikenalnya. Menjelang sore hari Bayu sampai di tepi hutan
tempat tabib itu berada. Setelah mengembalikan pedati yang dipinjamnya tadi,
Bayu mulai mengitari daerah
sekitar hutan itu. Agaknya dia menduga bahwa orang
yang dicarinya bersembunyi tak jauh dari tempat itu.
Tapi sampai malam tiba, yang dicarinya tak kunjung
terlihat. "Ahhh... sebaiknya kita istirahat di sini dulu Tiren.
Kau tentu lelah bukan?" tanyanya pada monyet kecil sahabatnya yang selalu berada
di dekat-nya. "Nguk! Nguuuk...!"
"Nah, istirahatlah. Aku akan membuat api dan menangkap kelinci hutan untuk
mengisi perutku yang
sudah keroncongan."
"Kaaakh...!"
"Hush, jangan ribut!"
Tiren langsung mencelat ke salah satu cabang po-
hon dan menghilang ke cabang pohon yang lain untuk
mencari buah-buahan pelengkap santap malam mere-
ka. Malam hampir larut ketika Tiren tiba-tiba mencelat ke arah Bayu dan mencolek
pemuda itu. "Ada apa?" tanya Bayu pelan ketika melihat Tiren menyeringai lebar.
"Nguk!"
Tiren menunjuk ke satu arah. Bayu cepat mengerti
dan memberi isyarat padanya untuk tidak berisik.
"Ssssst... jangan berisik. Nanti dia lari!"
Tiren mengangguk pelan.
Dengan segera Bayu mematikan api unggun, lalu
bersamaan melesat ke arah yang tadi ditunjuk Tiren.
"Hiyaaa...!"
"Krusaaak!"
"Auw...!"
Bayu tersentak kaget ketika sesosok tubuh yang
tadi dicengkeramnya dari balik semak-semak menjerit keras seperti suara seorang
wanita. Cepat-cepat Bayu menghampiri asal suara itu dan....
"Ratna Puspa"! Apa yang kau lakukan malam-
malam di sini?"
"Aku.... Aku...."
Ratna Puspa tergagap dan tak mampu melanjutkan
kata-katanya. Bayu menggelengkan kepala dan lang-
sung mengajaknya ke tempat tadi dia menyalakan api
unggun, lalu mulai menyalakan lagi api yang sempat
dimatikannya. "Ada apa kau sampai ke sini" Bukankah tabib itu mengatakan kau harus banyak
istirahat" Lukamu belum kering, kalau kau banyak bergerak lukamu bukan
semakin membaik tapi bisa bertambah parah!"
"Aku tak perduli...!"
"Jadi apa yang kau pedulikan?"
"Orang itu harus mati di tanganku!" desis Ratna Puspa geram.
Bayu Hanggara menggelengkan kepala mendengar
kata-kata itu. "Ratna, kau bicara apa" Dengan keadaanmu. yang sehat saja kau tak akan mampu
melawannya, apalagi
dengan tubuhmu yang lemah seperti sekarang ini. Itu sama saja artinya kau
mengantarkan nyawa secara
percuma." "Aku rela mengorbankan nyawa asalkan si keparat itu juga mati!"
"Nyawamu belum cukup untuk membuat ke-
matiannya."
"Aku tak perduli! Hidupku pun toh sudah tak be-
rarti lagi. Untuk apa lama-lama menderita kalau tiada guna" Lebih baik mati tapi
berguna bagi orang banyak."
"Kematianmu tak akan merubah apa-apa bagi ke-
baikan, malah kau akan meninggalkan penderitaan
bagi orang lain seperti Roro dan Pamanmu, Patisena, yang menyayangimu."
"Mereka tak menyayangiku!"
"Kau salah. Mereka justru teramat sayang padamu.
Roro Intan, tak mungkin dia berkeras ingin ikut denganku kalau saja kasih
sayangnya padamu terbalas.
Paman Patisena, mana mungkin dia tak sayang pada-
mu karena sejak kecil telah mengurus kalian. Seka-
rang pikirkan olehmu baik-baik, dengan dasar apa ke-nekatanmu ini kau lakukan"
Apakah bukan karena
kekasihmu yang tewas di tangan orang itu, sehingga
kau rela mengorbankan orang-orang yang mencintai-
mu, menyayangimu, masa depanmu, serta segalanya
yang masih mampu kau raih di depan mata"!"
Ratna Puspa terdiam beberapa saat lamanya men-
dengar kata-kata Bayu. Lama dia menundukkan wajah
ketika kembali terdengar Bayu berkata.
"Sadarlah, Ratna. Jangan turuti hawa nafsu yang membabi buta seperti itu.
Pulanglah, dan hi-dup baha-gia bersama Paman dan adikmu. Biar orang satu ini
menjadi urusanku...."
"Aku tak akan pulang...!"
"Kenapa" Kau belum tahu juga bahwa masih ada
sesuatu yang lebih baik kau lakukan daripada memi-
kirkan soal dendam yang sebetulnya bukan urusan-
mu." "Bukan begitu...."
"Lalu?"
"Paling tidak aku dapat melihat kematiannya. Itu sudah membuat hatiku lega."
"Dengan cara bagaimana?"
Ratna Puspa menatap Bayu sekilas, kemudian
mengalihkan pandangan pada api unggun di depan-
nya. Terdengar suara lirih.
"Bukankah kau bermaksud untuk mengejar dan
menyelesaikan persoalan ini sampai tuntas?"
"Ya...?"
"Dan itu berarti kau harus bertarung dengan-nya.
Aku yakin kau mampu mengatasi. Dan....
"Dan kenapa?"
"Kalau kau tak keberatan, aku ingin melihat saat itu....
"Itu sama saja kau mengikutiku!"
"Aku sudah mengatakan, kalau kau tak keberatan.
Kalau kau merasa bahwa nanti aku membebani lang-
kahmu, biarlah kau tak usah peduli dengan keselama-
tanku dan jangan larang aku untuk mengikutimu...."
Bayu berpikir keras. Mendengar kata-kata Ratna


Pendekar Pulau Neraka 36 Titisan Siluman Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Puspa, agaknya niat gadis itu tak bisa di-halangi lagi.
Selama dia bisa diatur, barangkali tak begitu menyu-litkan.
"Baiklah... kau boleh ikut denganku dengan syarat, harus mengikuti perintahku!"
ujar Bayu akhirnya.
Ratna Puspa tersenyum dan mengangguk cepat.
* * * Geger yang dilakukan oleh seorang tokoh yang
tingkah lakunya mirip harimau liar itu sungguh hebat.
Banyak sudah yang menjadi korbannya, namun tak
seorang pun yang mampu menaklukkannya. Kemun-
culannya selalu tiba-tiba, dan menghilang bagai sa-
puan angin tanpa seorang pun yang mengetahuinya.
Begitu juga halnya tentang asal-usul tokoh itu. Tak se-
patah kata pun keluar dari mulut-nya tentang siapa
dan apa tujuannya menewaskan banyak orang begitu.
Tokoh ini tak pernah bicara, karena dia langsung menyerang orang yang menjadi
sasarannya tanpa sebab.
Sudah tentu hal ini membuat gentar beberapa kalan-
gan yang merasa ilmu silat mereka tak seberapa, dan sekaligus membuat geram
beberapa tokoh persilatan
yang merasa orang terdekat mereka menjadi korban.
Sementara itu nama Tabib Jaladara lambat laun
mulai terkenal karena keampuhannya mengobati to-
koh-tokoh yang terluka akibat keganasan tokoh yang
tingkah lakunya menyerupai harimau itu. Dalam wak-
tu singkat saja berduyun-duyun orang datang kepa-
danya untuk berobat, yang pada akhirnya tidak cuma
terbatas pada luka akibat serangan tokoh itu tapi juga penyakit-penyakit yang
lain. Siang ini terlihat beberapa orang tampak se-dang
melakukan perjalanan di dekat hutan. Daerah itu tak begitu jauh dari kediaman
Tabib Jaladara. Tiga orang menunggang kuda di bagian depan. Wajah mereka seram
dengan masing-masing golok besar di punggung-
nya. Sementara di bagian belakang terdapat sebuah
pedati yang berjalan lambat. Dari dalam terdengar suara erangan orang yang
kesakitan. "Diamlah kau, Kudungga! Sebentar lagi kita akan sampai ke tempat tabib itu,"
kata salah seorang penunggang kuda yang paling depan.
"Guru, aku khawatir...." ujar orang yang ada di samping kiri.
"Kenapa?"
"Pada hari ini biasanya Tabib Jaladara tak mau di-ganggu. Banyak orang yang
sudah tahu hal ini."
"Hmmm... kalau saja dia tak mau mengobati anak-ku, akan kupenggal kepalanya!"
desis orang yang dipanggil guru tadi dengan geram.
"Tapi guru...."
"Tidak usah banyak bicara lagi. Diam saja!"
Si penunggang kuda yang berada di sebelah kirinya
itu terdiam dan tak bicara sepatah kata lagi. Pikirannya menerawang jauh. Memang
putra bungsu gurunya
ini tengah sakit parah hampir sebulan lamanya. Dia selalu mengerang-ngerang
tanpa tahu di mana letak
rasa sakitnya. Untuk itulah ketika mendengar nama
Tabib Jaladara yang telah banyak menyembuhkan
berbagai penyakit, mereka langsung berangkat. Tapi
hari ini seperti biasanya Tabib Jaladara tak mau mene-rima pasien. Dan hal itu
dipatuhi betul oleh mereka yang hendak berobat. Apa jadinya kalau setibanya di
Sana mereka memaksa tabib itu"
"Masih jauh lagi tempat tabib itu, Gondar?" tanya orang yang di depan.
"Sebentar lagi kita sampai, Guru," sahut penunggang kuda yang berada di sebelah
kirinya yang dipanggil Gondar.
"Hmmm... apa yang kau takutkan" Kau takut pada tabib itu"!" tanya orang pertama
yang dipanggil Gondar dengan sebutan Guru, seperti mengetahui apa yang
sedang berkecamuk dipikiran muridnya.
"Ti... tidak, Guru...!"
"Jawabanmu tak memuaskanku. Kau dengar Gon-
dar, nama Tunggadewa amat disegani di rimba persilatan. Begitu juga halnya
dengan perguruan kita Rajawa-li Perak. Jadi untuk apa takut" Tujuan kita benar.
Kalau si tabib tak mau mengobati anakku, berarti dia bukanlah orang pemurah yang
membiarkan orang
menderita di depan matanya begitu saja. Sangat tidak sesuai dengan apa yang kau
dengar tentang kemura-han hatinya, bukan?"
Gondar cuma mengangguk. Dia tahu betul, gu-
runya yang bernama Tunggadewa ini memang agak
sombong dan sering sesumbar tentang kehebatannya.
Tak ada gunanya berdebat, toh dia tak akan menyu-
rutkan niatnya semula.
Dalam pada itu tiba-tiba melesat satu sosok
bayangan di depan mereka. Gerakannya ringan dan
langsung menyerang diiringi auman dahsyat bagai
seekor harimau lapar.
"Auuum...!"
* * * "Awasss...!" Tunggadewa memberi peringatan pada murid-muridnya.
Namun walau dia telah memberi peringatan, tak
urung seorang muridnya yang berada di sebelah kanan terkena sambaran.
"Cras!"
"Aaaakh...!"
"Badar!" teriak Gondar cemas melihat sahabat-nya menjerit kesakitan sambil
memegangi dadanya yang
robek lebar. Tapi Gondar tak sempat lagi memperhatikan te-
mannya karena orang asing itu kembali melesat me-
nyerang mereka berdua dengan kecepatan tinggi.
"Sreeet!"
Tunggadewa dan Gondar langsung mencabut sen-
jata dan langsung membabat menyerang ke tubuh la-
wannya. "Thak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Tunggadewa terperanjat kaget. Pedang mereka tak
mampu melukai lawan sedikit pun. Bahkan dengan
sekali kibas, tubuh Gondar terjengkang sejauh tiga
tombak dengan dada remuk. Ketua Perguruan Rajawali
Perak itu mulai khawatir. Dengan waktu singkat dua
muridnya tidak ketahuan nasibnya apakah masih hi-
dup atau sudah tewas karena dia sendiri tak sempat
untuk melihat keadaan mereka. Menyesal dia mengapa
tak membawa murid-muridnya yang lain.
"Siapa kau" Kau akan menyesal berhadapan den-
ganku!" bentak Tunggadewa keras dengan nada tak senang.
Namun sosok Manusia Siluman yang sepintas mi-
rip seekor harimau itu tak menyahut, melainkan terus menerjang ke arahnya sambil
mengaum keras. "Graungrrr...!"
"Hup!"
"Bangsat!"
Tunggadewa bukan main kesalnya melihat hal itu.
Percuma saja dia bertanya dan memaki-maki, tapi la-
wan tetap diam membisu dan terus menyerangnya
dengan tiada henti.
Dua jurus baru berlangsung dan Tunggadewa me-
rasa bahwa nyawanya sedang berada di ujung tanduk.
Beberapa kali ujung kuku-kuku tangan dan kaki la-
wan yang runcing bagai mata pisau menyambar kulit
tubuhnya. Beberapa bagian tubuhnya luka hebat.
Hanya karena ilmu peringan tubuhnya yang telah
mencapai tingkat sempurna yang menyelamatkan
nyawanya sesaat. Tapi itu tak berlangsung lama. Keadaannya terus terdesak.
Rasanya lima kali gerakan lagi dia berkelit, kuku-kuku lawan akan menembus
jantung dan perutnya.
"Auuum...!"
Manusia siluman itu mengaum hebat ketika lompa-
tannya dapat dihindari lawan dengan untung-
untungan. Sepasang matanya yang merah menyala-
nyala memancarkan dendam dan kebencian, serta naf-
su membunuh. "Itu dia! Itu dia...!"
"Serang...!"
Pada saat kritis bagi Tunggadewa, tiba-tiba muncul
banyak orang di tempat itu. Melihat dari cara berpakaian, agaknya mereka adalah
tokoh-tokoh persilatan.
Beberapa orang di antara mereka sempat dikenalnya.
"Ruksadana, kau pun ada di sini"!" serunya pada seorang laki-laki tua yang
bersenjatakan arit.
"Ya, kita punya urusan yang sama. Si keparat ini punya hutang nyawa. Dia telah
banyak membunuh
murid-muridku!" geram laki-laki tua bernama Ruksadana, atau lebih dikenal
sebagai Clurit Sakti Bulan Terbelah.
"Kalau demikian, mari kita bahu membahu!" sahut Tunggadewa bersemangat.
"Bagus! Jahanam itu mesti mampus hari ini juga!"
"Tapi jangan gegabah. Ilmu silatnya hebat dan gerakannya pun luar biasa. Lebih
dari itu dia tak mempan senjata tajam, dan waspada terhadap kuku-kuku
kaki dan tangannya!" Tunggadewa memberikan nase-hatnya.
Tapi agaknya dia terlambat memberi peringatan
pada yang lain. Karena pada saat itu juga terdengar jeritan menyayat. Dua orang
pengeroyok Manusia Silu-
man itu tewas dengan dada robek. Seorang lagi me-
nyusul begitu tubuhnya melesat sambil melompat dan
mengaum keras. Agaknya sosok makhluk itu semakin
murka saja melihat kedatangan orang-orang yang
bermaksud mengeroyoknya.
"Hiyaaa...!"
Ruksadana melompat sambil membabatkan arit ke
leher lawan. Bersamaan dengan itu tubuh Tunggadewa
pun mencelat sambil membabatkan golok besarnya ke
pinggang lawan.
"Graungrrr...!"
"Thak! Thaaak...!"
"Cres! Cress!"
"Ukhhh...!"
Ruksadana dan Tunggadewa mengeluh pelan. Sen-
jata mereka tak mampu melukai lawan. Dengan see-
naknya lawan menangkis dan tangannya yang lain
menyambar dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa ke perut keduanya.
"Yeaaah...!"
Beberapa orang pengeroyoknya yang lain langsung
menghadang dan menyerang ke arah lawan-nya. Den-
gan demikian selamatlah nyawa Ruksadana dan Tung-
gadewa dari serangan berikut yang dilancarkan tokoh yang tengah mereka keroyok
itu. "Bedebah! Dia seperti bukan manusia saja!" desis Ruksadana.
"Sulit rasanya bagi kita untuk membunuhnya. Selain tak mengenal lelah, gerakan
serta kekuatannya
seperti tidak pernah berkurang," sahut Tunggadewa.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ruksadana.
"Sebaiknya kita serang lagi sambil mencari kelemahannya."
"Baiklah...!"
Keduanya kembali melompat dan menggabungkan
diri dengan yang lainnya menyerang lawan.
Di antara sekian banyak pengeroyok itu memang
terlihat bahwa kepandaian Ruksadana dan Tunggade-
wa lebih menonjol. Ujung golok besar Tunggadewa
mencecar ke arah mata, sementara arit Ruksadana
mengarah ke bagian tenggorokan.
"Hiyaaa...!"
Namun walau begitu terlihat Manusia Siluman itu
begitu tangkas melindungi sepasang matanya, dan ke-
tika senjata Ruksadana beberapa kali sempat meng-
hantam leher tetap tak berhasil melukai. Bahkan se-
rangan balik dari Manusia Siluman itu yang secara tak terduga membuat keduanya
kembali terlempar dengan
luka-luka akibat cakaran yang lebih parah.
"Graungrrr...!"
"Cres! Cras!"
"Aaaa...!"
Tiga orang termasuk Tunggadewa dan Ruksadana
robek perutnya dihajar cakaran orang asing itu. Kali ini agaknya dia tak memberi
kesempatan sekali lagi
pada mereka berdua untuk menyelamatkan diri. Sebe-
lum keduanya menyentuh tanah, Manusia Siluman itu
kembali melompat dengan auman dahsyat.
"Auuuum...."
"Yeaaa...!"
"Bekgh!"
* * * 7 Secara tak terduga tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring. Bersamaan dengan itu menderu angin ken-
cang ke arah Manusia Siluman itu dan membuatnya
jungkir balik di udara. Namun dengan gesit dia bersalto dan hinggap di tanah
dengan kedua kaki dalam po-
sisi berdiri. Sepasang matanya tajam menatap pada
rombongan baru yang muncul tiba-tiba. Berdiri paling depan adalah seorang wanita
berusia sekitar empat
puluh tahun dengan selendang panjang warna hitam
melilit di pinggang.
"Huh, inikah orangnya yang sangat meng-
hebohkan itu?" desis wanita itu yang tak lain dari si
Selendang Maut beserta anak buahnya.
Berbeda dengan lawan-lawan sebelumnya, Manusia
Siluman itu tak menyerang langsung. Dia terdiam be-
berapa saat menatap ke arah wanita itu dengan sek-
sama, sehingga kali ini semua yang berada di situ dapat melihat dengan jelas.
Wajahnya yang berkerut dengan sepasang mata
merah yang nyalang mirip seekor harimau. Pada kedua ujung bibirnya tampak
sepasang taring. Rambutnya
yang sebagian memutih dibiarkan lepas begitu saja se-panjang punggung.
Berdirinya agak bungkuk, dan ke-
dua tangannya terus membentuk cakar dengan kuku-
kuku yang runcing serta kelihatan keras.
"Ayo, seranglah aku! Bukankah kau terkenal ganas dan memiliki ilmu yang tiada
tandingan"!" ejek si Selendang Maut sambil tersenyum sinis.
"Grrr...!"
"Kenapa" Apakah kali ini kau takut menghadapi-
ku" Atau kebiasaanmu cuma mengaum?"


Pendekar Pulau Neraka 36 Titisan Siluman Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nini Selendang Maut, hati-hati! Dia ganas dan tak kenal ampun sama sekali!"
teriak Tunggadewa memperingatkan.
"Huh, ingin kulihat sampai di mana keganasan-
nya?" dengus si Selendang Maut sambil meloloskan selendang di pinggangnya.
"Ctar!"
Si Selendang Maut melecutkan selendangnya ke
arah lawan. Suaranya terdengar nyaring bagai petir
membelah angkasa. Manusia Siluman itu sempat ter-
kejut dan mundur beberapa langkah. Namun kesuda-
hannya dia menggeram dahsyat.
"Graungrrr...!"
"Ayo, seranglah aku! Pergunakan cakar-cakar-mu yang hebat itu untuk merencah
tubuhku?" ejek si Selendang Maut sambil melecutkan kembali senjatanya.
Kali ini tantangan wanita itu agaknya diterima si
orang asing. Dengan didahului auman dahsyat, tu-
buhnya melompat dengan kecepatan bagai kilat me-
nyerang lawan. "Hiyaaa...!"
"Ctar!"
Selendang di tangan wanita itu menghajar telak tu-
buh Manusia Siluman itu. Jangankan tubuh manusia
yang terdiri dari daging dan tulang, sebongkah batu besar sebesar kerbau pun
mungkin akan hancur dihantam ujung selendang yang disalurkan tenaga da-
lam hebat itu. Tapi orang asing itu cuma menggeram
ketika tubuhnya kembali terlontar ke belakang. Dan
ketika kedua kakinya menjejak tanah, secepat itu pula dia kembali menyerang.
"Graungrrr...!"
"Hmmm... kebal juga badanmu. Coba sekarang kau tahan pukulanku ini!"
"Yeaaa...!"
"Bet!"
"Plak!"
Dengan selendang di tangan kanan yang me-liuk-
liuk menyambar tubuh lawan, telapak tangan kirinya
siap menghantam. Tapi lawan kali ini ter-nyata telah memperhitungkannya.
Tubuhnya bergerak lincah
menghindari sambaran senjata lawan.
Lalu ketika telapak kiri si Selendang Maut meng-
hantam ke arah dada, tubuh orang asing itu mencelat ke atas. Kaki kanannya
menghantam wajah lawan.
Masih untung si Selendang Maut mampu berkelit dan
menghantamkan tinju kanan untuk menangkis.
"Sialan! Rupanya kau bukan manusia biasa. Ku-
litmu keras seperti batu!" umpat si Selendang Maut sambil mengeluh pelan
merasakan tangan kanannya
yang kesemutan.
Tapi agaknya si Selendang Maut kali ini tak mem-
beri kesempatan sedikit pun untuk berleha-leha. Ma-
nusia Siluman itu menyerang seperti tiada henti. Sambaran kedua cakarnya nyaris
merobek kulit tubuh la-
wan kalau saja Selendang Maut tidak cepat berkelit.
Untuk beberapa saat si Selendang Maut dibuat kewa-
lahan. Memasuki jurus kedua terlihat si Selendang Maut
menggeram sambil mengeluarkan seluruh kepan-
daiannya. Selendang di tangannya kini bukan lagi semata-mata seperti lecutan
sebuah cambuk, namun se-
kali-kali berubah kaku bagai pedang panjang yang
menyapu dalam sekejap berubah lemas meliuk-liuk,
ujungnya menyambar seperti hendak melilit.
"Graungrrr...!"
Dengan satu lompatan manis, Manusia Siluman itu
menerjang ke arah lawannya. Si Selendang Maut ter-
kesiap dan tak menyangka makhluk itu mampu berge-
rak begitu cepat, dan...
"Cras!"
"Begkh!"
"Ukhhh...!"
Bahu kiri si Selendang Maut robek dicakar Manu-
sia Siluman itu. Dia meringis kesakitan. Namun satu pukulan telak tinju kanannya
berhasil menghantam
perut Manusia Siluman itu dan membuatnya terjung-
kal beberapa tombak. Ketika dia bangkit sambil menggeram, terlihat dari sudut
bibirnya menetes darah kental. Agaknya pukulan yang dibarengi tenaga dalam se-
penuhnya itu mampu melukai tubuh lawan.
"Nini...!" teriak Dewi Sukma Wening yang sejak tadi berdiam diri sambil memburu
ke arah Selendang Maut.
"Jangan mendekat! Kembali ke tempatmu. Aku tak apa-apa!" bentak Selendang Maut.
"Tapi Nini... kau terluka!"
"Kukatakan kembali ke tempatmu semula!" bentak Selendang Maut lagi.
Dewi Sukma Wening tak bisa membantah lagi se-
lain kembali ke tempatnya semula. Sudah menjadi ke-
biasaan ketuanya itu bahwa dia tak suka dibantu bila sedang bertarung. Kecuali
oleh suatu sebab, misalnya dia tewas barulah anak buahnya boleh turun tangan.
"Auuum...!"
Manusia Siluman itu telah kembali melompat ke
arah Selendang Maut, sementara si Selendang Maut telah bersiap pula dengan
senjatanya. * * * "Ctar!"
"Beeet!"
"Kreeet...!"
Ujung selendang wanita itu berhasil melibat tubuh
Manusia Siluman itu dan menyentaknya hingga tu-
buhnya melambung jauh. Namun pada saat itu juga
orang asing itu berhasil merobek selendang lawan. Si Selendang Maut terkejut
sambil terhuyung ke belakang.
Selama ini tak seorang pun yang berhasil merobek
senjata andalannya itu. Selain terbuat dari serat sutra halus yang kuat, senjata
itu pun dipergunakan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau ada yang
berhasil merobek Selendang Mautnya, sama artinya ber-
hasil memukul tenaga dalamnya. Dan hal itu yang te-
lah dilakukan oleh Manusia Siluman itu.
"Tap!"
"Graungrrr...!"
Begitu kedua kakinya menyentuh tanah, se-cepat
itu pula Manusia Siluman yang tingkahnya menyeru-
pai harimau itu kembali melesat menyerang lawan se-
telah mencabik-cabik sebagian Selendang Maut yang
melilit tubuhnya.
"Nini...!" jerit Dewi Sukma Wening cemas melihat keadaan ketuanya.
Tapi terlambat. Cakar Manusia Siluman itu berha-
sil merobek perut si Selendang Maut.
"Aaaa...!"
"Graungrrr...!"
"Seraaaang...!" perintah Dewi Sukma Wening ketika melihat Manusia Siluman itu
bermaksud melancarkan
serangan berikutnya.
"Ayo, Ruksadana! Ini kesempatan kita untuk
menghajar Manusia Siluman itu kembali!" teriak Tunggadewa.
Sebenarnya tanpa dikomando pun tubuh Ruksa-
dana telah melesat begitu ucapan Tunggadewa selesai.
Bersama dengan yang lain, kembali mereka mengeru-
buti orang asing itu.
"Auuum...!"
"Cras! Crass!"
"Aaaa...!"
Namun kali ini terlihat Manusia Siluman se-makin
liar. Sekali dia berkelebat paling tidak dua atau tiga orang tewas dalam keadaan
yang mengerikan. Kalau
tidak dada robek, maka perut dengan isinya yang terburai keluar atau leher yang
nyaris putus. Tak heran bila dalam sekejap saja korban banyak berjatuhan.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu melesat cepat ke arah Tung-
gadewa yang langsung memapaki dengan kelebatan go-
lok besarnya. "Tunggadewa, awas...!" teriak Ruksadana memperingatkan.
"Tak!"
"Cras!"
"Aaaa...!"
Golok di tangan Tunggadewa ditangkis oleh sebelah
tangan Manusia Siluman itu, sementara tangan yang
lain menghantam leher lawan. Tunggadewa tak sempat
terpekik ketika lehernya robek dicakar Manusia Siluman itu
"Biadab!" maki Ruksadana sambil terus mencelat membabatkan aritnya.
Bersamaan dengan itu Dewi Sukma Wening pun
melompat menghajar lawan beserta beberapa orang
anak buahnya yang masih tersisa.
"Hiyaaa...!"
"Tak! Tak!"
"Breeet!"
"Aaaakh...!"
Kedua senjata Ruksadana dan Dewi Sukma Wening
menghantam telak di punggung dan tengkuk lawan.
Tapi percuma saja, sebab tak sedikit pun mampu
menggores kulit tubuh lawan. Apalagi sampai melu-
kainya. Namun serangan balasan yang diluncurkan
dari Manusia Siluman itu sungguh mengagetkan. Ca-
kar mautnya kembali meminta korban. Perut Ruksa-
dana kena disabet hingga terlihat isinya yang terburai keluar. Ruksadana meraung
kesakitan. Sementara tiga orang lainnya mengalami nasib
yang sama. Termasuk Dewi Sukma Wening yang sedi-
kit beruntung kehilangan lengan kirinya tidak sampai merenggut nyawanya.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu kembali menggeram dan
mengamuk sejadi-jadinya pada sisa-sisa pengeroyok-
nya. Jerit kematian kembali terdengar ketika beberapa tubuh melayang dalam
keadaan terkoyak.
"Keparat! Kali ini aku akan mengadu jiwa dengan-
mu!" desis si Selendang Maut sambil membalut pinggangnya yang robek dengan
selendang. "Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring wanita itu melompat cepat
mengirim satu pukulan jarak jauh. Di seputar tempat itu terasa angin menderu
kuat tertuju ke arah Manusia Siluman tersebut. Cabang-cabang serta dedaunan pa-
da pohon-pohon yang berada di dekatnya bergoyang
kencang bagai disapu angin topan.
"Argkhhh...!"
Manusia Siluman itu mengeluarkan suara kesaki-
tan yang parau dari kerongkongannya. Namun dengan
cepat tubuhnya yang terpelanting kembali melesat ke arah lawan saat menyentuh
tanah. "Graungrrr...!"
"Yeaaa...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Aaaakh...!"
Si Selendang Maut kembali menjerit kesakitan. Ke-
tika dia bermaksud memapaki serangan lawan, telapak tangan kanannya berhasil
menghantam dada lawan.
Namun sebaliknya cakar lawan merobek perutnya. Ke-
duanya terhuyung-huyung beberapa saat.
"Auuum...!"
"Nini, awassss...!"
Dewi Sukma Wening berteriak memperingatkan
sambil melesat menghadang Manusia Siluman itu yang
seperti tak merasakan sakit di tubuhnya. Padahal saat itu si Selendang Maut
tengah melilitkan selendangnya untuk menutupi bagian pinggang serta perutnya
yang robek. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhnya yang gemetar melawan rasa
sakit yang bukan kepa-lang. Namun demikian sorot matanya masih meman-
carkan kegarangan serta dendam membara.
Sementara itu walaupun Dewi Sukma Wening be-
rusaha mencegah lawan untuk membinasakan ketua-
nya, usahanya hanya sia-sia belaka. Tak banyak yang dapat dia lakukan untuk
mengulur-ulur waktu agar
ketuanya dapat terhindar dari kematian Manusia Si-
luman itu. Namun pada saat-saat kritis itu tiba-tiba melesat
satu bayangan yang bergerak bagai kilat memapaki serangan Manusia Siluman itu.
"Hiyaaa...!"
* * * 8 "Plak!"
"Ukh...!"
Terdengar keluh kesakitan. Keduanya terpental
bersamaan. Dan seperti biasanya Manusia Siluman itu kembali mendarat di atas
kedua kakinya. Tak jauh di hadapannya berdiri gagah seorang pemuda berambut
gondrong dengan baju rompi terbuat dari kulit hari-
mau yang pernah dikenalnya beberapa hari lalu dalam sebuah pertarungan.
"Grrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram. Seperti hal-nya
berhadapan dengan si Selendang Maut, kali ini dia pun tak langsung menyerang.
Mungkin karena pernah bertarung dan merasakan bahwa pemuda ini memiliki ke-
pandaian yang sempurna hingga membuatnya harus
berhati-hati. "Bayu, hati-hati...!" ingat Ratna Puspa yang juga sudah berada di tempat itu.
Pendekar Pulau Neraka mengangguk pelan.
"Nguk! Nguuuk...!"
Tampak Tiren melompat-lompat dengan wajah geli-
sah. "Tenang Tiren, aku tak apa-apa. Kau jagalah Ratna Puspa baik-baik..." ujar
Bayu. Walaupun sepasang matanya tak luput memperha-
tikan setiap gerakan yang dibuat lawan, namun Bayu
sempat melirik sekilas ke arah Dewi Sukma Wening.
Dilihatnya gadis itu tersenyum seperti mengucapkan
kata terima kasih atas pertolongannya di saat yang tepat tadi.
"Ayo, Ki sanak" Bukankah kau ingin melumat-kan setiap orang" Nah, kenapa kau
hanya diam saja?"
tanya Bayu pada lawannya.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram buas. Sepasang
matanya menyipit seperti menyiratkan kebencian luar biasa. Kemudian dengan satu
lompatan ringan tubuhnya mencelat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Auuum...!"
"Uta, haaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka dengan ringan ber-


Pendekar Pulau Neraka 36 Titisan Siluman Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelit ke samping dan kemudian menghantamkan pu-
kulan ke tengkuk lawan. Tapi Manusia Siluman itu
mampu menghindar dengan menekuk tubuhnya. Ke-
mudian dengan tiba-tiba Manusia Siluman itu balik
berguling di udara, cakar tangan kanannya nyaris merobek leher Bayu.
"Bet!"
Bayu mendengus geram. Nyaris saja dia terluka ka-
lau tak buru-buru membuang diri ke bawah. Namun
gerakan lawan cepat bukan main. Rasanya Bayu be-
lum sempat mengatur nafas, tiba-tiba serangan lawan
kembali menuju ke arahnya. Pendekar Pulau Neraka
melentik seperti ikan di darat. Tubuhnya mengapung
setinggi hampir dua tombak dalam keadaan berdiri.
"Graungrrr...!"
"Hiyaaa...!"
Manusia Siluman itu dengan cepat menyusul ke
atas sambil menggeram buas. Bersamaan dengan itu
tubuh Bayu meluncur ke bawah memapaki dengan
pengerahan tenaga dalam kuat.
"Plak!"
"Begkh!"
"Bret!"
"Ukh...!"
Pendekar Pulau Neraka meringis ketika kulit da-
danya tercakar lawan. Namun tinju kanannya pun
sempat menghantam telak. Terlihat lawan menjerit kesakitan dengan tubuh
terlempar sejauh tiga tombak.
Kali ini Manusia Siluman jatuh tidak di atas kedua kakinya. Ketika berusaha
bangkit terlihat darah kental keluar dari mulutnya. Walau demikian sama sekali
tak memperdulikan rasa sakit yang diderita.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu kembali mencelat menyerang
Bayu. Bayu terkesiap. Rasanya mustahil tubuh manu-
sia mampu menahan pukulannya yang bertenaga da-
lam kuat itu. Kalau pun dia memiliki tenaga dalam
tinggi, paling tidak gerakannya akan terhambat oleh rasa sakit yang dideritanya.
Tapi Manusia Siluman itu seperti tak terpengaruh oleh luka dalamnya sedikit
pun. Gerakannya masih tetap gesit seperti semula.
"Keparat! Manusia atau silumankah kau ini?" desis Bayu seperti tak percaya pada
penglihatannya sendiri.
Pendekar Pulau Neraka langsung mengibaskan
tangan kanannya ke atas.
"Zwiing!"
"Tak!"
"Uts!"
Walau sadar bahwa Cakra Maut tak mampu melu-
kai kulit lawan, tapi Bayu mencoba mengarahkan sen-
jata mautnya itu ke arah mata. Dengan sigap lawan
mengibaskan tangan menangkis, lalu tubuhnya me-
luncur menyambar wajah Bayu.
Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas, kemu-
dian bersalto dengan gerakan indah menyambar Cakra
Mautnya. Pada saat itu pula lawan berbalik menyerang setelah serangan pertamanya
gagal. "Auuum...!"
Justru pada saat itu si Selendang Maut mencuri
kesempatan dan melesat dengan gerakan cepat meng-
hantam Manusia Siluman itu dengan sisa-sisa tenaga
yang dimilikinya.
"Yeaaa...!"
Dewi Sukma Wening terkejut dan berteriak mempe-
ringatkan. "Nini...!"
* * * "Graungrrr...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Duk!"
"Aaaa...!"
Manusia Siluman itu berbalik dan dengan gesit
menangkis serangan Selendang Maut. Wanita itu ter-
pekik ketika perutnya robek di cakar lawan. Namun
pada saat yang bersamaan Pendekar Pulau Neraka
menyarangkan pukulan keras ke dada lawan. Kedua
tubuh itu terpental jauh.
"Nini..."!" Dewi Sukma Wening memburu Selendang Maut yang sekarat menahan
menunggu ajal. "De.... Dewi...!"
"Tenanglah Nini, aku akan memanggil Tabib Jaladara. Mudah-mudahan kau bisa
tertolong!"
"Ti... tidak perlu...." sahut si Selendang Maut terbata-bata.
"Tapi Nini...."
"Tak perlu... kau ingat-ingat saja pesanku ini. Ca...
cari anak-anakku yang tempo hari... ku ceritakan padamu." lanjut Selendang Maut.
Dewi Sukma Wening mendekatkan telinga ke bibir
Selendang Maut mendengar pesan-pesannya lebih lan-
jut. Sementara itu Bayu semakin geram saja melihat lawannya yang kuat luar
biasa. Walaupun tubuhnya
terlempar di hajarnya dengan pukulan yang mengan-
dung tenaga dalam kuat, namun dia masih bisa bang-
kit dan menyerang kembali.
"Keparat! Kau terimalah ini!" desis Bayu sambil mengibaskan Cakra Maut di
tangannya. "Zwiiing!"
Senjata berwarna keperakan itu mendesing ke arah
Manusia Siluman. Kali ini Bayu berharap bahwa senjatanya itu mampu mencari titik
kelemahan lawan, se-
bab dirasakannya betul. Berada pada jarak dekat dengan lawan amat membahayakan.
Maka ketika lawan
menyerang ke arahnya, Bayu lebih banyak menghindar
sambil terus menghajar dengan Cakra Maut.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram dahsyat. Seper-
tinya dia mengerti bahwa kali ini lawan tak bermaksud mengadakan kontak tubuh
pada jarak dekat dengannya, maka dia berusaha mendekat ke arah Bayu. Tapi
Cakra Maut yang saat ini terus menghantam pada se-
tiap juru pada tubuhnya membuat dia agak kerepotan.
"Hiyaaa...!"
Bayu melompat cepat ke bawah tubuh lawan ketika
Manusia Siluman itu menerjang ke arahnya. Sambil
bergulingan di tanah dia mengibaskan Cakra Maut
kembali. Dengan berharap penuh Bayu menghantam
pada telapak kaki lawan. Kalau kali ini tak berhasil ju-ga, tipis sudah
harapannya sebab seluruh tubuh yang lain sama sekali kebal terhadap senjatanya.
Malah pa-da sepasang mata lawan terlihat tak begitu ketat dilin-dungi seperti
memberi isyarat bahwa di bagian itu bukan merupakan titik kelemahannya.
"Crab!"
"Aaaa...!"
"Hei..."!"
Bayu tersentak kaget. Lawannya menjerit se-tinggi
langit dan ambruk di tanah sambil menggelepar-
gelepar. Darah mengucur deras dari se-belah telapak kakinya yang di tembus Cakra
Maut. Bayu tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Sebelum lawan berusaha
bangkit, kembali Cakra Maut melesat dan menghan-
tam telapak kaki yang satunya lagi. Dan saat itu juga terdengar lolongan
panjang. "Mampuslah kau bersama dengan dosa-dosa-mu!"
desis Bayu geram.
Namun Bayu sempat terkesima. Diperhatikan-nya
dengan seksama, tubuh Manusia Siluman itu berubah
perlahan-lahan. Wajahnya yang tadi berkerut sadis
dan menyeramkan mirip seekor harimau liar, berubah
menjadi bersih dengan senyum ramah. Matanya tak
lagi merah dan memancarkan kegarangan, tapi kemba-
li normal sebagaimana layaknya manusia biasa. Kedua taring di sudut bibirnya pun
kembali menjadi biasa.
Lalu kuku-kukunya yang runcing dan kuat berubah
menjadi kuku biasa. Dalam keadaan begitu Bayu be-
tul-betul bisa mengenali siapa orang itu.
"Tabib Jaladara"!" teriaknya kaget.
Mereka yang berada di situ tersentak kaget men-
dengar ucapan Pendekar Pulau Neraka.
"Astaga"!" ucap Dewi Sukma Wening.
"Ooooh...!" desah Ratna Puspa sambil mendekat ke arah Bayu.
Bayu belum sempat bertanya ketika tiba-tiba ter-
dengar panggilan lirih si Selendang Maut.
"Wisnupaksi, kaukah itu...?"
Tabib Jaladara yang sedang sekarat itu menoleh
pelan. Wajahnya terlihat pucat.
"Sur.... Surtiningsih"! Kau... kau... ohh, apa yang kulakukan padamu?"
Bayu belum paham melihat kenyataan itu. Begitu
juga yang lain. Bayu hanya menuruti saja ketika Tabib Jaladara minta didekatkan
dengan Selendang Maut.
Kedua manusia yang tengah menjelang maut itu
saling meremas jari sambil tersenyum.
"Wisnupaksi akhirnya kita dipertemukan juga..." lirih suara Selendang Maut yang
dipanggil Surtiningsih itu. "Ya... hanya keadaannya kini berubah lain. Maafkan
aku Surti...."
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Kita sama-sama
salah karena saling mengagulkan kepandaian masing-
masing. Semuanya jadi rusak karena nafsu ingin men-
jadi orang yang tak tertandingi...."
"Begitu juga aku. Dalam pengembaraanku setelah kita berpisah, aku menemukan
sebuah kitab tentang
ilmu yang mempelajari gerakan Siluman Harimau. Tapi ternyata aku salah
mempelajarinya. Ilmu itu tak mampu ku kendalikan. Sewaktu-waktu aku menjelma dan
merasakan diriku sebagai seekor harimau lapar yang
haus darah yang tak bisa ku tahan. Pada saat itu aku
tak bisa mengenali siapa-siapa...."
"Kenapa kau tak berusaha mencari jalan keluar-
nya?" "Sudah. Baik dengan cara bertapa atau dengan
ramuan obat. Itulah sebabnya pada saat-saat sadar
aku rajin mempelajari ilmu pengobatan dan mengganti namaku menjadi Jaladara agar
tak di kenali orang
lain. Tapi hasilnya tetap nihil...."
Tabib Jaladara atau Wisnupaksi menggeleng le-
mah. Kemudian dia menatap ke arah Selendang Maut
sambil berkata lirih.
"Bagaimana nasib kedua anak kita...?"
"Itulah yang kusesalkan. Setelah kita berpisah karena masing-masing merasa
memiliki kepandaian yang
hebat, aku menitipkannya pada Patisena. Kau masih
ingat bukan" Pembantu setia kita yang dipungut ke-
luargaku ketika masih kecil?"
"Ya, ya... aku ingat. Apakah kau sudah menemui mereka" Barangkali mereka sudah
besar sekarang,
dan... dan Ratna Puspa tentu sudah menjadi gadis
yang sangat cantik sepertimu...."
"Kakang Wisnupaksi, sebenarnya ketika kau pergi aku sedang mengandung saat itu.
Dan lahir bayi perempuan yang mungil dan manis...."
"Ooooh... anakku...."
"Ya... aku memberinya nama Roro Intan!"
* * * Ratna Puspa yang sejak tadi mendengarkan pembi-
caraan mereka tersentak kaget. Buru-buru dia me-
nunduk dengan wajah berbinar-binar.
"A... apakah yang kalian maksud aku dan adikku, Roro Intan yang dititipkan pada
Paman Patisena sejak
kecil...?"
Keduanya menatap Ratna Puspa. Surtiningsih atau
Selendang Maut yang lebih dulu tersenyum dengan
wajah penuh luapan kegembiraan.
"Kau... kau anakku Ratna Puspa"!"
"Ibu...!" pekik Ratna Puspa sambil memeluk tubuh wanita separuh baya itu.
"Dan... dan apakah kau ayahku?" lanjutnya dengan wajah tak percaya.
"Aku ayahmu, Nak..." sahut Wisnupaksi lirih.
"Ayah...?" ragu-ragu Ratna memeluk lelaki itu.
Selagi mereka melampiaskan perasaan suka cita
karena telah sekian tahun berpisah, Bayu meninggalkan tempat itu secara diam-
diam bersama Tiren. Tapi baru saja Bayu melangkah beberapa tindak, seseorang
menegurnya. "Apakah kau tak bermaksud pamit pada mereka?"
"Dewi Sukma Wening...?"
Dewi Sukma Wening menunduk sambil me-
mandangi tangan kirinya yang buntung.
"Mengharukan, bukan..." Beruntunglah mereka dibandingkan dengan diriku..."
lanjutnya lirih.
Bayu merasakan kedukaan yang dalam pada nada
bicara Dewi Sukma Wening. Tanpa sadar dia mendekat
dan duduk di sebelahnya.
"Ya... memang sangat mengharukan. Aku merasa
bersalah...."
"Kenapa merasa begitu?"
"Kalau saja orang tua itu tak mati di tangan ku...."
"Kaulah yang akan mati di tangannya. Lagi pula dengan demikian mereka selamanya
tak akan pernah
bertemu. Paling tidak kau punya jasa dalam memper-
temukan mereka."
"Entahlah... aku tak tahu. Tapi yang ku rasakan betul adalah kedukaan di batin
gadis itu. Baru saja dia
bertemu dengan kedua orang tuanya, tak lama lagi harus berpisah...."
"Itu sudah takdir. Aku pun bisa merasakan kehilangan kedua orang tuaku sejak
masih kecil..." lirih suara Dewi Sukma Wening.
Bayu tersenyum getir.
"Rasanya kehilangan kedua orang tua terlalu banyak di alami umat manusia. Dahulu
kukira cuma aku
saja yang merasakannya...."
"Apakah kedua orang tuamu pun telah tiada?"
Bayu tak sempat menjawab. Ketika itu terdengar
jerit tangis Ratna Puspa semakin keras. Keduanya menoleh dan melihat bahwa dua
insan yang saling me-
nyintai telah meninggal dalam pelukan Ratna Puspa
dengan wajah tenang.
"Sebaiknya kau bujuk dia..." ujar Dewi Sukma Wening.
Bayu melangkah pelan. Tiren mengikuti dari bela-
kang. Lama Bayu membujuk gadis itu dan menen-
tramkan hatinya.


Pendekar Pulau Neraka 36 Titisan Siluman Harimau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama kemudian mereka mengangkat kedua
mayat itu dan meletakkannya ke dalam pedati yang
berada di situ. Bayu telah berjanji pada Ratna Puspa untuk menemaninya beberapa
hari di tempat Paman
Patisena. Sekaligus untuk menepati janjinya pada Roro Intan.
Pedati itu mulai Bergerak pelan. Bayu masih sem-
pat melambaikan tangan pada Dewi Sukma Wening
yang tak bersedia ikut dengan mereka. Gadis itu bermaksud mengembara mengikuti
ke mana saja kakinya
melangkah. Dari jauh terlihat angin mempermainkan rambut-
nya bersama dengan dedaunan kuning yang bergugu-
ran. Harumnya sampai di hati Pendekar Pulau Neraka.
Bayu tersenyum, dan menarik nafas pendek sambil
melirik ke arah Ratna Puspa. Kemudian menghela ku-
danya. "Heaaa...!"
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
Pendekar Penyebar Maut 21 Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng Mentari Senja 8
^