Pencarian

Tumbal Ajian Sesat 1

Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat Bagian 1


TUMBAL AJIAN SESAT Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Tumbal Ajian Sesat
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Pergiwa memandang saudara-saudaranya den-
gan tajam, seolah ingin memastikan semangat
mereka yang telah bulat. Padahal dia sendiri merasa tidak yakin apakah mampu
melakukannya. "Apakah kau tidak mau ikut Pergiwa?" tanya
Somantri saudara tertua mereka.
"Kenapa tidak" Seperti juga kalian, aku pun
sangat mendendam kepada Pendekar Pulau Nera-
ka yang telah membunuh ayah kita. Tapi dengan
kemampuan kita seperti sekarang ini, aku tidak yakin kita dapat
mengalahkannya...."
"Hm, jadi kau menunggu apa lagi" Harus bera-
pa tahun lagi kita berguru agar bisa membalas
sakit hati orangtua kita?" tanya Bagira dengan nada tak senang.
Pergiwa memandang saudara nomor duanya
itu sekilas. Bagira memang berangasan dan selalu tidak pernah sabar kalau
mempunyai keinginan.
Apalagi hal ini menyangkut soal dendam kesumat mereka bersama.
"Aku mempunyai peta...."
"Aaah! Selalu itu yang kau bicarakan! Apa kau
pikir dengan peta mainanmu itu kau berangan-
angan akan memperoleh harta karun yang meru-
pakan kitab ilmu silat peninggalan tokoh sakti!"
potong Bagira kesal.
"Kenapa kalian selalu tidak pernah percaya...?"
tanya Pergiwa sedikit kesal mendengar cemoohan saudaranya itu.
"Apa kau pikir kami bisa mempercayai begitu
saja keteranganmu itu" Sudahlah, Pergiwa. Jan-
gan terlalu banyak berangan-angan! Peta yang
kau peroleh itu hanya buatan orang iseng belaka!"
sahut Bagira semakin jengkel saja dengan sikap adiknya itu.
"Benar, Pergiwa. Kalau memang peta yang kau
temukan itu benar, tidak mungkin pengemis tua
itu mau memberikannya begitu saja padamu. Apa
dia tidak bernafsu untuk mempelajari warisan tokoh sakti yang dikatakannya
sangat hebat itu?"
sahut Somantri mendukung pendapat Bagira.
Pergiwa terdiam sambil menghela napas pen-
dek. Kemudian melirik pada adiknya, Palguna.
"Apakah kau pun tak mempercayai kata-
kataku, Palguna?" tanyanya pelan.
Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu
memandang abangnya sekilas, kemudian men-
gangkat bahunya.
"Aku sependapat dengan Kakang Somantri dan
Kakang Bagira. Kalau memang peta itu sangat
berharga dan merupakan petunjuk tempat di ma-
na bersemayamnya tokoh sakti yang konon ka-
tanya telah berusia ratusan tahun dan mening-
galkan kitab ilmu silat yang sangat dahsyat, tentu pengemis tua itu tak akan
memberikannya begitu saja dan sebagai imbalan sepiring nasi yang kau berikan
padanya...," sahut Palguna.
"Nah, sekarang bagaimana sikapmu" Kau mau
ikut atau tidak"!" tanya Bagira menegaskan.
Pergiwa berpikir beberapa saat lamanya.
"Tidak usah terlalu banyak berpikir. Persoa-
lannya sudah jelas, dan jawabannya pun mudah.
Kau mau ikut atau tidak"!" kembali Bagira men-
gulangi pertanyaannya dengan nada sedikit jengkel.
"Dendam orangtua kita adalah dendam kita
bersama. Kenapa aku musti tidak ikut" Kalau
memang keputusan kalian telah bulat, apa boleh buat!" sahut Pergiwa.
"Seharusnya kau mengatakannya dari tadi dan
jangan berbelit-belit. Dengan begitu urusan akan cepat selesai!" dengus Bagira
sambil bersungut-sungut kesal.
"Sudah! Sudah! Tidak perlu bertengkar segala
untuk urusan ini," kata Somantri menengahi.
"Apa yang harus kita kerjakan sekarang?"
tanya Pergiwa. Somantri memandang ke arah Palguna dengan
tajam. "Apa yang kau peroleh, Palguna?" tanyanya.
"Menurut apa yang kudengar, Pendekar Pulau
Neraka saat ini sedang berada dalam perjalanan menuju ke timur. Jika kita
perkirakan dari Desa Gedong tempat yang dia lalui, maka kini dia menuju..., Desa
Kayutiga!" sahut Palguna.
"Bagus! Berarti kita akan menunggunya di sa-
na!" sahut Somantri sambil bangkit berdiri dan mencabut golok yang terselip di
dinding ruangan itu.
Saudara-saudaranya yang lain pun mengikuti
hal yang sama. Kini di pinggang mereka masing-
masing terselip sebuah golok yang sangat tajam.
Keempat orang itu berdiri sejenak di pekarangan rumahnya ketika seorang laki-
laki tua bertubuh kurus dengan wajah penuh keriput, menghampiri
mereka dengan wajah sedih.
"Apakah Aden tetap bersikeras untuk menan-
tang Pendekar Pulau Neraka?" tanya orang tua
itu. "Benar, Paman Sampuro. Kalau terjadi apa-apa
terhadap kami, harap Paman sudi menjaga dan
memelihara rumah ini sebagaimana mestinya,"
sahut Somantri.
Orang tua yang dipanggil Paman Sampuro itu
memandang keempatnya dengan harapan mereka
mengurungkan niatnya itu. Namun setelah bicara begitu, Somantri lalu mengajak
adik-adiknya berlalu dari tempat itu tanpa menoleh lagi. Ki Sampuro hanya bisa
memandang kepergian mereka
dengan wajah murung. Perlahan-lahan dia meng-
geleng-gelengkan kepalanya sambil menghela na-
pas panjang. "Dasar anak-anak keras kepala. Kenapa sifat
mereka menuruni adat ayahnya yang keras kepa-
la dan merasa dirinya hebat itu...?" gumam Ki
Sampuro sambil melangkah masuk ke dalam ru-
mah yang kini terasa lengang dan sepi itu.
*** Desa Kayutiga terletak dalam wilayah Kadipa-
ten Bumiagung yang terkenal ramai dan banyak
dikunjungi orang dari berbagai tempat. Setelah melewati desa itu, barulah mereka
akan tiba di kadipaten. Sehingga sebagai suatu daerah yang
merupakan jalan pintas menuju kadipaten, jelas bahwa Desa Kayutiga termasuk
wilayah yang terus berkembang dan ramainya tak kalah dengan
di kadipaten sendiri.
Hari belum lagi terlalu siang ketika pemuda
berwajah tampan berambut gondrong dan mema-
kai baju terbuat dari kulit harimau itu tiba di mulut desa. Pemuda itu tak lain
dari Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka. Dia memandang
berkeliling dan menghentikan kudanya di muka
sebuah kedai yang terlihat ramai dikunjungi
orang. Setelah menambatkan kudanya di depan,
Bayu melangkah masuk perlahan-lahan. Bebera-
pa orang memandangnya sekilas, kemudian kem-
bali melanjutkan santapannya. Bayu melangkah
menuju ke sebuah meja yang kosong.
"Pelayan, tolong sediakan sepiring nasi beserta lauk-pauknya...!" katanya pada
seorang pelayan yang mendekatinya.
Pelayan itu cepat mengangguk dan segera ber-
lalu untuk menyediakan pesanan Bayu.
Pendekar Pulau Neraka memandang ke sekelil-
ing ruangan dan mengamati pengunjung yang be-
rada di tempat itu sekilas sambil menunggu pe-
sanannya tiba. Di pojok ruangan terlihat dua
orang laki-laki yang memiliki penampilan sangat berbeda sekali. Yang seorang
memiliki wajah ga-
lak dengan berewok lebat, serta mengenakan baju warna merah menyala. Tangan
kirinya yang menggenggam sebatang pedang yang warang-
kanya terukir indah. Yang seorang lagi memiliki wajah bersih dan berkesan
terpelajar, serta memakai baju berwarna putih dan rapi. Tangan ka-
nannya yang menggenggam sebatang pedang, di-
letakkan di atas meja. Seperti pedang yang dimiliki oleh si berewok tadi, pedang
miliknya pun memiliki warangka yang indah berwarna keperakan.
Kedua orang itu sejak tadi memandang Pendekar
Pulau Neraka dengan seksama.
"Hm, kenapa mereka memandangku begitu ru-
pa...?" gumam Bayu dalam hati sambil memaling-
kan wajah dan tidak mempedulikan mereka.
Dia bukannya tidak mengetahui bahwa sejak
tadi mereka memperhatikannya terus. Si berewok tampak memperlihatkan sorot mata
dendam dan amarah, sedangkan kawannya yang berbaju putih
tampak lebih tenang. Seolah-olah sinar matanya tidak menafsirkan apa-apa.
Sehingga hal itu
membuat Bayu terus bertanya-tanya di hati. Na-
mun karena dia tidak ingin membuat persoalan
dengan mereka, maka pemuda itu lebih baik me-
milih diam dan tidak mempedulikan mereka.
Hingga ketika pesanannya tiba dia mulai mela-
hapnya, tidak ada reaksi dari kedua orang itu.
Bayu melirik mereka sekilas, dan kedua orang itu agaknya masih tetap
mengawasinya tanpa berbuat apa-apa.
Setelah selesai makan dan membayar harga
makanannya pada pemilik kedai itu, Bayu bang-
kit dan segera berlalu. Dia menoleh sekilas. Du-gaannya ternyata benar, kedua
orang itu pun bangkit dan mengikutinya dari belakang.
"Biarlah aku sengaja memperlambat lari kuda-
ku. Mungkin ada yang ingin mereka selesaikan
padaku...," pikir Bayu.
Maka tidak heran jika Bayu akhirnya secara
sengaja memperlambat lari kudanya hingga me-
reka tiba di pinggir desa. Di sebuah tempat yang sepi, dua orang yang
mengejarnya dengan menunggang kuda itu mulai memperlihatkan gejala
niat mereka. Keduanya memacu kudanya dengan kencang
hingga melewati Bayu dan berhenti persis di depannya.
"Kisanak, berhentilah kau...!" bentak si bere-
wok dengan wajah garang.
Dengan sikap tenang Bayu menghentikan lari
kudanya, kemudian memandang keduanya den-
gan wajah heran.
"Kisanak, siapakah kalian berdua ini dan ada
keperluan apa mencegat perjalananku?" tanya
Bayu sopan. "Cuiiih! Tidak usah banyak mulut segala kau,
keparat! Cabutlah senjatamu! Hari ini kita selesaikan segala hutang-piutang
nyawa!" sentak si berewok garang dengan mata melotot lebar.
"Kebo Genggong, sabarlah kau sedikit! Kenda-
likanlah amarahmu itu...!" kata kawannya yang
berbaju putih dengan suara pelan.
"Kala Kembara, kenapa kau ini" Sudah jelas ki-
ta telah bertemu dengan si keparat itu. Untuk apa berbaik-baik segala"!" sahut
si berewok yang dipanggil Kebo Genggong itu geram.
Namun kawannya yang bernama Kala Kembara
itu tidak mempedulikan. Dia turun dari punggung kudanya dan melangkah mendekati
Bayu. "Kisanak, kaukah yang berjuluk Pendekar Pu-
lau Neraka?" tanyanya dengan nada perlahan dan sikap sopan.
"Benar. Apakah ada sesuatu yang bisa kuban-
tu?" sahut Bayu.
"Ya...."
"Apa itu?"
"Kami menginginkan jiwamu itu!" sahut Kala
Kembara dingin.
Bayu tidak begitu terkejut mendengar jawaban
itu. Melalui sikap Kebo Genggong yang berangasan dia sudah menduga maksud mereka
terha- dapnya. "Hm, itu suatu hal yang berat, sobat. Mungkin
aku tidak bisa membantumu...."
"Kalau demikian maka kami terpaksa memak-
sanya!" "Maaf, kalian menginginkan sesuatu yang tidak
bisa kuberikan, dan aku berhak mempertahan-
kannya, " sahut Bayu sambil melompat turun dari punggung kudanya.
Bayu melangkah mendekati laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun itu sehingga jarak mereka hanya terpaut tiga langkah
lagi. "Kisanak, cabutlah senjatamu dan pertahan-
kanlah jiwamu...!" kata Kala Kembara dengan sorot mata tajam.
"Ayo, cepaaat..!" bentak Kebo Genggong yang
agaknya sudah tidak sabar mendengar debat
omongan itu dari tadi.
Bayu hanya tersenyum tipis.
"Kisanak, setiap orang punya alasan mengin-
ginkan sesuatu. Maka kalian pun tentu demikian.
Apakah alasannya sehingga kalian mengingin-
kan jiwaku ini?"
"Keparat...!" setelah membunuh saudara seper-
guruan kami apa kau pikir bisa lolos begitu saja dari sini" Huh, orang-orang
boleh takut padamu tapi jangan coba-coba terhadap kami...!"
Setelah berkata begitu Kebo Genggong lang-


Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sung menyerang Pendekar Pulau Neraka. Ama-
rahnya yang meluap-luap sejak tadi agaknya ti-
dak tertahan lagi, sehingga dengan garang dia
mengeluarkan segenap kemampuannya untuk
menghabisi lawan secepatnya.
"Yeaaah...!"
*** Wut! Plak! "Hiiih!"
Kepalan tangan Kebo Genggong menghantam
ke arah wajah Pendekar Pulau Neraka. Bayu me-
miringkan kepalanya sehingga serangan lawan
lewat beberapa jengkal dari wajahnya. Namun kepalan tangan Kebo Genggong
langsung menyapu
ke pangkal leher dan membuat pemuda itu harus
mundur ke belakang sambil merendahkan kepa-
lanya. Bersamaan dengan itu tangan kirinya me-
nangkis, namun dengan ganas Kebo Genggong
mengayunkan satu tendangan berat ke perut
Pendekar Pulau Neraka.
"Uts...!"
"Yeaaah...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka bergerak miring
ke kanan untuk berkelit dari serangan lawan, untuk kemudian melenting menjauhi
Kebo Geng- gong. Namun pada saat itu juga Kala Kembara
membentak nyaring sambil melompat menye-
rangnya. "Maaf, Sobat. Kami terbiasa untuk maju ber-
dua. Yeaaah...!"
Bayu tidak menyangka akan hal itu sehingga
keadaannya tidak begitu menguntungkan. Den-
gan terpaksa dia menangkis serangan lawannya.
Plak! Wuk! "Uhhh...!"
Tap! Tap! Ketika Kala Kembara mengayunkan kepalan
tangannya yang berisi tenaga dalam penuh dan
menghantam ke arah dada, mau tak mau Pende-
kar Pulau Neraka terpaksa menangkis dengan te-
naganya kalau tidak mau celaka dia. Namun pada
saat itu keadaan Pendekar Pulau Neraka tengah
mengapung di udara dan dia pun tidak mengira
bahwa Kala Kembara akan menyerangnya selagi
dia belum siap. Tidak heran maka dia mengeluh
kesakitan ketika kedua tangan mereka berbentu-
ran. Meskipun begitu Pendekar Pulau Neraka ma-
sih sempat menekuk kedua kaki dan kepalanya
untuk menghindari serangan susulan berupa
tendangan keras ke arah atas dan bagian bawah
tubuhnya. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, saat itu
juga tubuhnya kembali melenting setinggi dua
tombak ke arah batang pohon di dekatnya untuk
menghindari sapuan tendangan menyilang yang
dilakukan Kala Kembara. Melihat kesempatan itu, Kebo Genggong tidak mau menyia-
nyiakan kesempatan ini. Tubuhnya langsung melompat me-
nyerang sambil mengerahkan tenaga dalamnya
kuat-kuat "Yeaaah...!"
Tap! "Huuup...!"
Bayu sudah menduga keadaan itu maka dia
segera membuat taktik. Begitu Kebo Genggong
dan Kala Kembara melompat bersamaan, saat itu
juga kedua kakinya menotok di batang pohon.
Menggunakan tenaga lompatan itu tubuhnya ber-
putar ke arah lawan sambil mengayunkan ten-
dangan keras. Des! Des! "Aaakh...!"
Kedua orang itu terjungkal sambil terhuyung-
huyung kesakitan. Mereka berusaha bangkit
sambil mendekap dadanya yang terkena tendan-
gan keras. Kebo Genggong yang berangasan su-
dah langsung mengamuk.
Sringngng! "Keparat! Mampuslah kau! Yeaaah...!"
Bettt! Bettt! Merasa tidak unggulan menggunakan tangan
kosong, Kebo Genggong langsung mencabut pe-
dangnya dan mengeluarkan jurus pedang yang
sangat diandalkannya untuk secepatnya mengha-
bisi lawannya. Pendekar Pulau Neraka cepat menguasai keadaan. Tubuhnya bergerak
lincah ke sa-na kemari menghindari sambaran pedang Kebo
Genggong. Namun hal itu tidak lagi bisa diandalkan ketika Kala Kembara pun mulai
mendesak- nya dengan jurus-jurus pedangnya.
"Pendekar Pulau Neraka, keluarkanlah senja-
tamu! Kalau tidak kau akan mati sia-sia!" bentak Kala Kembara mulai kesal karena
lawan belum juga mau mengeluarkan senjatanya. Hal itu tentu saja sangat meremehkan mereka.
Tapi Kebo Genggong mana mau mengerti hal
itu. Lawan menggunakan senjata atau tidak da-
lam menghadapinya, tidak menjadi alasan ba-
ginya untuk merasa sungkan.
"Mampuslah kau...!" desisnya geram ketika
ujung pedangnya menyambar bagian bawah tu-
buh lawan. Pendekar Pulau Neraka melipat kedua kakinya
dalam keadaan memiringkan tubuh karena pada
saat yang bersamaan, Kala Kembara membabat
bahu kirinya. Bet! Wuk! "Uhhh...!"
Pendekar Pulau Neraka menghela napas pen-
dek sambil mengeluh pelan. Paduan ilmu pedang
kedua lawannya tidak bisa dianggap enteng. Me-
reka betul-betul hebat. Dan lebih dari itu, keduanya bersungguh-sungguh untuk
mencabut nya- wanya. Sudah barang tentu dia tidak bisa mem-
biarkan hal itu berlangsung terus.
"Kisanak, aku peringatkan kalian! Bukankah
sebaiknya pertarungan ini dihentikan saja?"
"Keparat! Seenaknya saja kau bicara setelah
membunuh saudara seperguruan kami. Huh, ka-
lau kau belum mampus kami tidak akan pernah
hidup tenang!" geram Kebo Genggong.
"Bagaimana denganmu, Kala Kembara?"
"Tidak usah banyak bicara! Pertahankan saja
jiwamu itu...!" sahut Kala Kembara tidak mempedulikan tawaran Bayu.
"Banyak orang yang telah terbunuh di tangan-
ku, dan sebagai manusia tentu saja aku bisa salah membunuh. Tapi kebanyakan dari
mereka je- las-jelas menyimpang dan merugikan banyak
orang. Aku telah memperingatkannya sebelum
akhirnya membunuh orang itu. Dan hal itu pun
kulakukan pada kalian."
"Setan! Apa kau pikir dirimu itu malaikat yang
mampu mencabut nyawa manusia seenakmu
sendiri"! Heh, kau tidak perlu berkotbah di de-panku. Setinggi apa pun
kepandaian yang kau
miliki itu, jangan harap kami akan takut!" geram Kebo Genggong semakin garang.
Setelah berkata demikian kembali dia menye-
rang lawan dengan ganas. Demikian pula halnya
dengan Kala Kembara. Meskipun dia tidak banyak bicara, namun dari caranya
menyerang yang bukan main ganasnya, Bayu bisa menyimpulkan
bahwa Kala Kembara pun memiliki dendam yang
sama dengan Kebo Genggong. Dia menghela na-
pas pendek, namun tidak bisa berbuat apa-apa
lagi untuk mencegah tindakan mereka.
Kedua orang itu memiliki ilmu pedang yang
hebat Apalagi saat mereka menyerang secara bersamaan. Dan Pendekar Pulau Neraka
bukannya tidak menyadari hal itu. Kalau dia terus berusaha mengelak dan menghadapi mereka
dengan tangan kosong maka kemungkinan terluka atau tewas di
tangan mereka besar sekali. Maka....
"Yeaaah...!"
Singngng! "Heh"!"
Takkk! Takkk! Karena tidak mempunyai pilihan lain terpaksa
Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan ka-
nannya. Maka Cakra Maut di tangan kanannya
meluncur dengan cepat bagai kilat menyambar-
nyambar tubuh lawan.
Kebo Genggong dan Kala Kembara tersentak
kaget ketika mereka melihat benda berbentuk segi enam meluncur deras menghantam
pedang di tangan mereka hingga patah menjadi dua bagian.
Dan.... Desss! Desss! "Aaakh...!"
Bersamaan dengan itu pula satu tendangan ke-
ras yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka
membuat keduanya terjungkal sambil memun-
tahkan darah segar. Keduanya berusaha untuk
bangkit berdiri sambil memegangi dadanya yang
nyeri. Sementara itu Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak memperhatikan mereka
dengan Cakra Maut di tangan kanannya siap untuk dilontarkan.
"Bunuhlah kami! Ayo, bunuhlah kami...!" te-
riak Kebo Genggong gemas karena lawannya tidak juga bergerak untuk menghabisi
nyawa mereka. "Apalagi yang kau tunggu, Pendekar Pulau Ne-
raka" Bunuhlah kami! Kau pikir kami seorang
pengecut"!" timpal Kala Kembara sambil menden-
gus geram. Bayu diam membisu dan tidak menyahut sepa-
tah kata pun. "Keparat! Kau pikir bisa menakut-nakuti den-
gan sikapmu itu" Huh, Yeaaah...!"
Singngng! Cras! "Hokh...!"
"Kebo Genggong...!"
*** 2 Kejadian itu cepat sekali berlangsung. Dengan
amarah yang meluap-luap, Kebo Genggong men-
gerahkan sisa-sisa tenaganya yang masih ada
kemudian dengan nekat menyerang Pendekar Pu-
lau Neraka. Tubuh Bayu berkelebat bagai kilat
sambil melontarkan Cakra Maut ke tubuh Kebo
Genggong. Yang terlihat kemudian adalah tubuh
Kebo Genggong yang ambruk ke bumi dengan da-
da berlubang bermandikan darah. Kala Kembara
tersentak kaget dan buru-buru mendapati sauda-
ra seperguruannya itu sambil menjerit keras memanggil namanya. Namun Kebo
Genggong tidak bisa diselamatkan lagi, nyawanya telah lepas melayang.
"Pendekar Pulau Neraka, aku akan mengadu
jiwa denganmu...!" geram Kala Kembara sambil
berpaling. Namun Pendekar Pulau Neraka telah lenyap
dari tempat itu bersama kuda tunggangannya.
Hal itu membuat Kala Kembara semakin geram
saja. "Ke mana pun kau akan kucari! Aku akan
membuat perhitungan denganmu...!" teriaknya
dengan suara menggelegar.
Setelah itu terlihat perlahan-lahan Kala Kem-
bara mengangkat tubuh Kebo Genggong yang te-
lah menjadi mayat dan membawanya pergi dari
tempat itu sambil menuntun kuda Kebo Geng-
gong. Sementara itu Pendekar Pulau Neraka lang-
sung melompat ke punggung kudanya dan mele-
sat cepat dari tempat itu sambil menyarungkan
kembali Cakra Mautnya. Hal itu memang sengaja
dilakukannya untuk menghindari bertambahnya
korban. Sebab dia tidak yakin, bila tetap berada di tempat itu Kala Kembara
pasti tetap akan berusaha untuk membunuhnya meski menyadari
bahwa keadaannya tidak memungkinkan. Hal itu
terbukti dengan Kebo Genggong tadi. Apalagi setelah kematian saudara
seperguruannya itu. Sudah pasti Kala Kembara tetap bersikeras hati hendak
mengadu jiwa. Maka selagi dia sadar, Bayu langsung saja meninggalkan tempat itu.
Pemuda itu kini telah berada di perbatasan de-
sa Kayutiga. Setelah merasa yakin bahwa Kala
Kembara tidak mungkin menyusulnya, dia segera
memperlambat lari kudanya. Namun justru pada
saat itu melesat empat sosok tubuh di hadapan-
nya. Sikap mereka menunjukkan tidak bersaha-
bat. Itu terlihat dari sorot mata mereka yang garang.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Pulau Nera-
ka?" tanya salah seorang dari mereka yang bertubuh sedang dengan nada dingin.
"Benar. Siapakah kalian dan ada keperluan
apa menghadang perjalananku?" sahut Bayu den-
gan ramah. "Masih ingatkah kau dengan seseorang yang te-
lah kau bunuh sepuluh bulan yang lalu?"
"Kisanak, aku tidak mungkir banyak orang
yang terbunuh di tanganku. Tapi aku tidak punya waktu untuk mengingat-ingat satu
persatu nama dan wajah mereka...."
"Keparat! Kau telah membunuh ayah kami, ta-


Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hu!" dengus orang yang berada di belakang laki-laki yang pertama bicara tadi.
Wajah orang itu tampak keras dan matanya
melotot garang. Jelas dia seorang yang berangasan dan tidak sabaran dengan kata-
kata itu. "Aku tidak tahu telah membunuh ayah kalian,
yang ku tahu kebanyakan dari mereka yang ku-
bunuh adalah orang-orang yang membuat keka-
cauan dan tindakannya merugikan orang banyak.
Itu pun karena mereka memaksaku untuk bertin-
dak keras. Sebaiknya kalian berpikir tenang dan coba renungkan apakah ayah
kalian orang baik-baik atau memang tindakannya selalu meresah-
kan orang banyak," sahut Bayu dengan tenang.
"Kau tidak perlu menggurui kami! Apa pun
yang diperbuatnya, itu bukan urusanmu. Uru-
sanmu hari ini adalah mempertanggungjawabkan
perbuatanmu itu. Kau harus mati, Pendekar Pu-
lau Neraka!" sentak laki-laki berwajah garang itu.
"Tidakkah kalian bisa berpikir lebih tenang dan menilai sesuatu dengan benar"
Jangan menuruti
hawa nafsu. Dan lebih dari itu aku sedang tidak bersemangat untuk berkelahi.
Maafkan aku, Sobat"
Setelah berkata begitu, Bayu bermaksud
menghela kudanya, namun laki-laki berwajah ga-
rang itu sudah langsung melompat ke hadapan-
nya sambil mencabut golok dan menebas leher
kuda tunggangannya.
"Kau pikir bisa menghindar seenaknya saja"
Mampuslah kau. "Hiiih...!"
"Heee...!"
Takkk! Begitu golok di tangannya berkelebat, saat itu juga kuda tunggangan Bayu
meringkik keras
sambil menaikkan kedua kaki depannya ke atas.
Laki-laki itu tersentak kaget Dia bermaksud
menarik pulang serangannya, namun sebelah ka-
ki kuda itu lebih cepat menghantam pergelangan tangannya.
"Aaakh...!"
"Bagira...! Kau tidak apa-apa?" laki-laki pertama buru-buru menghampiri
saudaranya itu dan
memeriksa pergelangan tangannya yang patah
akibat hantaman kaki kuda tunggangan Pendekar
Pulau Neraka. "Tanganku...! Tanganku...!" laki-laki yang di-
panggil Bagira itu mengeluh kesakitan sambil
menunjukkan pergelangan tangan kanannya yang
membiru. "Kurang ajar! Pendekar Pulau Neraka, kau ha-
rus membayar semua ini. Yeaaah...!" sambil
membentak nyaring, laki-laki itu mencabut golok yang terselip di pinggangnya dan
langsung melompat menyerang lawan.
Perbuatan itu diikuti oleh kedua orang sauda-
ranya. Sehingga tampak Bayu dikeroyok tiga
orang dalam waktu yang bersamaan.
*** Bayu mendesah kecil sambil menggeleng le-
mah. Dia tidak punya pilihan selain menghadapi lawan-lawannya itu. Mereka tampak
begitu bernafsu sekali untuk membinasakannya. Dengan
menepuk pantat kuda tunggangannya sehingga
hewan itu melompat ke depan, tubuh Pendekar
Pulau Neraka bersalto di udara sekaligus meng-
hindari tebasan golok-golok lawan.
"Hup!"
Bettt! Bettt! Namun baru saja Pendekar Pulau Neraka luput
dari serangan pertama, maka serangan berikut-
nya telah kembali menyambar leher, dada, dan
bagian perutnya. Bayu tersentak untuk sesaat, namun dengan lincah dia berkelit
dengan tubuh meliuk-liuk bagai orang yang sedang menari.
Wuttt! Plakkk! "Uts...!"
Saat tubuhnya melompat ke atas untuk meng-
hindari dua tebasan senjata lawan, Pendekar Pulau Neraka menjauh ke belakang.
Baru saja ke- dua kakinya menjejak ke tanah, satu tusukan
maut menyambar jantungnya. Pemuda itu menge-
lak ke kanan sambil menghantam pergelangan
tangan lawan dengan tangan kirinya.
"Yeaaah...!"
Tap! Rrrt...! "Kakang Somantri, jangaaan...!"
Pada saat yang bersamaan, seorang lawan yang
lain melompat dengan senjata terhunus ke arah
Pendekar Pulau Neraka. Dengan cepat pemuda itu menangkap pergelangan tangan
lawan di dekatnya dan menariknya keras sambil menekuk tan-
gannya. Golok dalam genggaman lawan terlepas
dan tubuhnya menjadi tameng dari serangan la-
wan yang satunya lagi. Laki-laki itu berteriak keras dengan wajah pucat pasi.
Namun gerakan yang dilakukan saudaranya sedemikian cepatnya
dan tidak mampu lagi untuk ditarik kembali. Akibatnya....
Blesss...! "Aaa...!"
"Palguna...! Palguna...!"
Tidak ampun lagi golok di tangan lawan me-
nembus ke jantung saudaranya yang dijadikan
tameng oleh Pendekar Pulau Neraka. Saudaranya
itu memekik kesakitan. Bayu melepaskannya,
dan laki-laki yang bernama Somantri itu tersentak kaget dengan wajah tidak
percaya bahwa dia telah membunuh adiknya sendiri. Sambil mencabut goloknya dia
menubruk tubuh adiknya yang
bermandikan darah sambil memanggil-manggil
namanya berkali-kali.
"Kurang ajar! Kau harus menebus nyawa adik-
ku, Keparat! Yeaaa...!" Bagira menerjang Pendekar
Pulau Neraka sambil mengayunkan golok di tan-
gan kirinya. Bersamaan dengan itu, kedua saudaranya yang
lain langsung bangkit dan ikut menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan serangan
yang gencar dan membabi buta. Meski serangan-serangan me-
reka hebat dan bertenaga kuat, namun terlihat
bahwa Pendekar Pulau Neraka dengan mudah
dapat mengelak. Hal itu karena mereka tidak lagi memperhatikan sasarannya serta
taktik yang jitu, sehingga berkesan bahwa serangan yang mereka
lakukan asal pukul saja.
"Hup!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka meliuk ke
samping ketika ayunan golok Somantri menebas
kepalanya dari atas ke bawah. Tubuhnya lang-
sung melompat ke depan ketika Bagira membabat
pinggangnya. Pada saat yang bersamaan, seorang lawannya yang lain menghunuskan
golok ke arah jantung. Desss! Crasss! "Aaakh...!"
"Bagira...!" kembali Somantri menjerit kaget ketika melihat salah seorang
adiknya memekik ke-
sakitan sambil mendekap perutnya yang robek.
"Kakang Bagira, kau..., kau...!" sentak sauda-
ranya yang lain dengan wajah pucat.
"Pergiwa, apa yang kau lakukan..."!" bentak
Somantri dengan amarah yang meluap-luap ke-
pada adiknya yang tinggal seorang itu.
"Aku..., aku...," ucap Pergiwa tergagap sambil menyesali dirinya atas apa yang
telah terjadi pada saudaranya itu.
Apa yang menimpa Bagira memang bukan ke-
salahan Pergiwa. Ketika mengayunkan golok ke
arah lawan, saat itu juga tubuh Pendekar Pulau Neraka mencelat ke atas sambil
bersalto beberapa kali. Sebelah kakinya dengan keras menendang
punggung Bagira yang berada di hadapannya.
Tubuh Bagira terdorong ke depan dan langsung
disambut golok adiknya itu tanpa bisa dielakkan lagi.
"Ini semua gara-garamu...! Kau harus mampus
di tanganku, Bangsat! Kau harus mampusss...!
Yeaaah...!" teriak Pergiwa nyaring.
Seperti orang kesurupan dia mengamuk sejadi-
jadinya menyerang Pendekar Pulau Neraka. Na-
mun dengan sikap tenang Bayu mengelakkan se-
rangan-serangan itu dengan mudah.
Sementara itu Somantri mendengus geram.
Sambil meludah ke tanah, dia mendengus geram.
"Puih...! Hari ini kalau tidak aku yang mati
maka kau yang akan binasa!"
Tubuh Somantri langsung melesat menyerang
lawannya kembali dengan gencar. Bayu mengelak
ke kanan sambil merendahkan tubuh untuk
menghindari sambaran golok Pergiwa. Kaki ki-
rinya menghajar pergelangan tangan Somantri
yang tengah menggenggam senjatanya. Namun
dengan cepat laki-laki itu merendahkan tangan
dan balik menyambar kaki lawannya. Pendekar
Pulau Neraka menekuk kaki kirinya dan me-
nyambar pundak lawan dan langsung menariknya
dengan sentakan kuat untuk diadukan dengan
saudaranya yang saat itu tengah mengayunkan
goloknya. "Hiiih...!"
"Pergiwa, jangan...!" teriak Somantri mempe-
ringatkan dengan wajah pucat.
Pergiwa tersentak kaget Buru-buru dia menarik
serangannya. Agaknya laki-laki itu kali ini lebih waspada dengan tipu muslihat
lawannya. Namun
Pendekar Pulau Neraka tidak berhenti sampai di situ. Begitu melihat Pergiwa
mengurungkan niatnya untuk mengayunkan golok, secepat itu pula
kaki kiri Pendekar Pulau Neraka bergerak meng-
hantam tengkuk dan punggung Somantri dengan
kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa.
Duk! Begkh! "Aaakh...!"
Blesss! "Aaa...!"
Tubuh Somantri melesat ke depan sambil men-
jerit kesakitan. Dadanya langsung menyambar
ujung golok yang masih dipegang adiknya.
"Kakang Somantriii...!" bukan main terkejutnya Pergiwa melihat keadaan itu.
Dua kali dia dipermainkan lawan yang menga-
kibatkan kematian dua orang saudaranya di tan-
gannya sendiri. Ujung golok di tangannya sampai menembus punggung belakang
Somantri. Pergiwa
memapah tubuh saudaranya itu sambil menangis
tersedu-sedu. Masih terlihat wajah Somantri yang terbelalak menahan rasa sakit
dan marah sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir-
nya. *** "Kuharap ini bisa menjadi pelajaran yang ber-
guna bagimu. Tidak ada gunanya kita menu-
rutkan dendam dan hawa nafsu yang tidak pada
tempatnya. Dan sebaiknya kau dapat berpikir lebih jernih lagi...," kata Pendekar
Pulau Neraka menasihati sambil membalikkan tubuh dan melangkah pelan menaiki
kudanya. "Pendekar Pulau Neraka, jangan pergi kau...!"
sentak Pergiwa garang.
Bayu memandang ke arah anak muda itu. Dili-
hatnya Pergiwa berdiri tegak memandangnya den-
gan sorot mata tajam berbinar-binar penuh ke-
bencian. Di tangannya tergenggam goloknya yang telah berlumuran darah.
"Kisanak, aku peringatkan kau agar tidak lagi
terjadi pertumpahan darah di antara kita. Pulanglah kau...."
"Tutup mulutmu! Setelah apa yang kau laku-
kan terhadap saudara-saudaraku ini, lantas seenaknya saja kau berkata begitu.
Hutang nyawa harus dibayar nyawa. Nah turunlah kau, hadapi-
lah aku kalau kau memang jantan!"
"Kisanak, pikirkanlah kata-kataku sebelum
kau menyesal. Pulanglah...."
"Keparat! Apa kau pikir aku takut denganmu"
Huh, yeaaah...!" geram Pergiwa sambil melompat menerjang lawannya.
Bayu mendesah kecil sambil mengayunkan ka-
ki kanannya memapaki serangan senjata lawan.
Begitu sejengkal lagi ujung golok lawan akan menebas kakinya, Pendekar Pulau
Neraka memi- ringkan kakinya sedikit, lalu bagaikan belitan seekor ular, dengan lincah kaki
kanannya menghantam pergelangan lawan.
Plak! Desss! Golok di tangan Pergiwa terpental dan dia sen-
diri menjerit kesakitan sambil memegangi tan-
gannya yang membiru. Namun belum lagi dia
menyadari apa yang telah terjadi, mendadak
ujung kaki Pendekar Pulau Neraka telah meng-
hantam dadanya dengan telak dan membuat tu-
buhnya terjungkal ke belakang sambil memun-
tahkan darah segar.
"Seharusnya kau memang lebih baik menyusul
saudara-saudaramu saja. Tapi aku masih berbaik hati dengan kekerasan kepalamu
itu. Mudah-mudahan hajaranku tadi bisa membuat kepalamu
lebih dingin sehingga otakmu bisa berpikir te-
nang...," kata Bayu sambil mendengus pelan.
"Keparat! Aku tidak takut mati! Bunuhlah
aku...! Ayo, bunuhlah akuuu.... Hoakh...!" Pergiwa berteriak-teriak dengan
amarah yang meluap-luap
dan berusaha bangkit untuk menghajar Bayu.
Tapi baru saja melangkah dua tindak, dia men-
jerit kesakitan sambil memuntahkan darah segar.
Tubuhnya tersungkur ke depan sambil menahan


Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasa nyeri di dadanya. Agaknya tendangan yang
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka membuat lu-
ka dalam yang cukup parah.
"Kisanak, pulanglah kau dan lupakan segala
dendam di hatimu. Jangan paksa aku untuk ber-
tindak keras terhadapmu...," kata Bayu sambil
menaiki kudanya.
"Keparat kau Pendekar Pulau Neraka! Aku ti-
dak akan pernah melupakan peristiwa ini seumur hidupku. Ke mana pun kau berada
akan kucari dan dendam ini harus terbayarkan!"
"Kisanak, kau akan termakan oleh dendammu
itu. Hal itu akan lebih menyiksa dirimu sendiri...,"
sahut Bayu tenang sambil memacu kudanya ber-
lalu dari tempat itu.
"Kau ingat itu, Pendekar Pulau Neraka! Aku
akan mencarimu ke mana pun kau pergi! Kau
akan membayar semua ini dengan nyawamu! Kau
akan mampus di tanganku...! Kau akan mampus
di tangankuuu...!"
Pergiwa kembali berteriak-teriak dengan nada
penuh amarah yang meledak-ledak. Namun kesu-
dahannya dia sendiri yang tersiksa ketika rasa sakit di dadanya semakin hebat
dan membuat tubuhnya limbung kemudian ambruk sambil ber-
guling-gulingan. Beberapa kali dia memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Bayu sempat menoleh sekilas dan melihat la-
wannya itu tergeletak tidak berdaya lagi. Mungkin telah tewas atau juga pingsan.
Tapi dia tidak mempedulikannya lagi dan sudah langsung me-
macu kudanya kencang-kencang untuk segera
berlalu dari tempat itu.
Ada perasaan sedih di hatinya, karena melaku-
kan itu terhadap mereka. Dia ingin menghindar, namun mereka tidak memberi
kesempatan padanya sedikit pun. Terpaksa dia harus memper-
tahankan diri kalau tidak ingin nyawanya me-
layang karena mereka begitu kalap serta bermaksud menghabisinya.
Hari telah mulai gelap ketika dia tiba di tepi sebuah hutan. Bayu memutuskan
untuk berhenti dan beristirahat di tempat itu. Setelah mengumpulkan ranting-ranting kering yang
cukup ba- nyak, pemuda itu mulai membuat api unggun.
Hawa dingin mulai merambat turun, dan Bayu
mendekatkan dirinya pada nyala api unggun un-
tuk menghangatkan tubuhnya. Sambil menekuk
kakinya, dia mendekap kedua lututnya dan me-
natap kosong ke arah nyala api itu.
"Mudah-mudahan Wulandari saat ini sudah le-
bih sehat...," gumamnya perlahan di dalam hati.
Keadaan Wulandari memang sudah agak mem-
baik setelah diobati tabib terkenal beberapa
minggu yang lalu. Meskipun belum sehat betul
Wulandari bersikeras pergi ke suatu tempat un-
tuk urusan pribadinya. Bayu telah berusaha un-
tuk mencegah kepergiannya tapi Wulandari tetap
pada pendiriannya. Dan Bayu bermaksud mene-
mani gadis itu dalam perjalanannya, tapi Wulandari bersikeras menolaknya. Gadis
itu akhirnya memang pergi seorang diri. Tapi mana bisa Bayu membiarkannya begitu
saja. Sore harinya Bayu
berangkat menyusul gadis itu. Tapi dia tidak tahu ke arah mana gadis itu pergi
sehingga sampai detik ini jejaknya belum bisa diketahuinya.
"Hi hi hi...! Kasihan, sungguh kasihan...! Seorang pemuda gagah dan tampan
melamun seo- rang diri di malam yang dingin begini...!"
Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang
merdu membelah keheningan malam. Bayu terke-
jut dan mencari-cari sumber suara itu.
"Heh"!"
*** 3 Bayu telah berusaha mencari-cari ke sekeliling, tapi yang terlihat hanya
pepohonan dan kegelapan malam. Tidak terlihat sedikit pun sosok tubuh atau siapa
pun di tempat ini. Namun Bayu
berusaha tenang dan tidak mempedulikannya.
Sikapnya seolah-olah tidak mempedulikan keha-
diran orang lain di tempatnya.
"Hi hi hi...! Bocah gagah, bocah bagus...!"
agaknya kau memiliki keberanian yang hebat Ti-
dakkah kau merasa takut berada di tempat ini
seorang diri" Jangan-jangan nanti kau dicekik
kuntilanak yang kelaparan!" kembali terdengar
suara tawa nyaring yang merdu.
Bayu tersenyum kecil. Dia mengetahui betul
bahwa itu adalah suara seorang wanita. Bahkan
dari nada suaranya dia bisa mengetahui bahwa
pemilik suara itu adalah seorang wanita muda.
Kalaupun dia tidak mempedulikannya itu karena
dia memang telah mengetahui di mana wanita itu bersembunyi, dan tidak mau
menunjukkan keter-kejutannya pada wanita itu.
"Kalau kuntilanak sepertimu, untuk apa aku
takut" Kurasa malah setiap laki-laki ingin bertemu dengan kuntilanak sepertimu,"
sahut Bayu tenang. "Hi hi hi...! Belum apa-apa kau sudah mem-
buat aku tertarik, Bocah. Jarang aku bisa tertarik pada orang lain. Kebanyakan
dari mereka lari setelah bertemu denganku, sebab aku tidak akan
membiarkan mereka melihatku. Aku akan mela-
hap dan mencincang mereka hidup-hidup...!" sa-
hut suara itu dengan nada menakut-nakuti.
"Apakah kau menginginkan aku takut pada-
mu" Kalau benar, baiklah aku memang takut.
Tapi jangan kau kira aku akan kabur dari sini.
Aku masih merasa enak dan tidak ingin mening-
galkan tempat ini!" sahut Bayu seenaknya seperti hendak mengejek orang itu.
"Hi hi hi...!"
Tap! "Hmmm...!"
Mendadak saja sesosok tubuh telah berdiri di
hadapan pemuda itu sambil cekikikan.
Bayu menggumam pelan dengan sikap tidak
peduli. Dia mendongakkan wajahnya untuk meli-
hat orang itu, dan....
"Heh...!"
"Kenapa" Kau takut melihatku, bukan" Kenapa
kau memalingkan mukamu" Aku tahu meskipun
kau mengatakan takut padaku tapi sesungguhnya
kau hanya mengejek aku dengan menunjukkan
bahwa kau tidak takut. Nah, ayo lihatlah aku kalau memang kau berani! Kenapa
malah mema- lingkan wajah?"
Bayu memang segera berpaling, tapi bukan ka-
rena takut melainkan jengah. Sesosok tubuh di
hadapannya memang seorang wanita muda dan
berwajah cantik. Namun penampilannya sungguh
seronok sekali. Rambutnya panjang sampai ke lutut dan dibiarkan terurai lepas
begitu saja. Tapi bukan itu yang membuat Bayu terpaksa memalingkan muka
melainkan karena..., gadis itu sama sekali tidak mengenakan penutup tubuhnya!
"Nisanak, tidakkah kau bisa sedikit lebih sopan dari ini...?" tanya Bayu sambil
tetap memalingkan wajahnya.
"Kurang ajar! Apa kau kira kedatanganmu ke
sini cukup sopan"!" bentak wanita muda itu dengan suara pedas.
"Maksudku pakailah pakaian yang sopan un-
tuk menutupi bagian tubuhmu yang terlarang
itu...." "Pakaian" Apa itu pakaian" Kulit yang melekat
ini adalah pakaian terbaik bagi suku kami!" sahut gadis itu seenaknya.
"Hm, begitukah..." Kalau memang demikian,
terserah kau saja," kata Bayu sambil beranjak
dan bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Hei, mau ke mana kau"!" sentak gadis itu kes-
al karena pemuda itu sama sekali tidak mempe-
dulikannya. "Aku mau pergi...," sahut Bayu tenang tanpa
menoleh. "Huh, kau pikir bisa pergi dari tempat ini seenakmu saja"!" dengus gadis itu.
"Apa maksudmu" Aku bisa pergi kapan saja
aku suka dan tidak seorang pun bisa menghalan-
ginya," sahut Bayu sambil melompat ke punggung kudanya.
Bersamaan dengan itu gadis cantik tersebut
langsung bersuit nyaring.
"Heh..."!"
Bayu tersentak kaget Suitan nyaring yang dila-
kukan gadis itu ternyata bukan sembarangan.
Suaranya memekakkan telinga dan membuat ku-
da tunggangannya meringkik keras sambil men-
gangkat kedua kaki depannya. Bayu buru-buru
menenangkan kuda itu sambil menepuk-nepuk
lehernya. Dan ketika kuda itu telah tenang kembali, dia dikejutkan oleh
peristiwa lain. Di tempat itu telah berkumpul lebih dari dua puluh orang gadis
berambut panjang serta..., dalam keadaan bugil!
"Oh, apakah aku sedang bermimpi..."!" ucap
Bayu sambil mengucek-ucek matanya berkali-
kali. Namun ketika pada akhirnya dia mencubit len-
gannya untuk lebih meyakinkan bahwa dia me-
mang tidak sedang bermimpi, pemuda itu bin-
gung sendiri. "Hi hi hi...! Sekarang apa kau pikir bisa pergi sesuka hatimu dari tempat ini?"
ejek gadis yang tadi bicara dengannya sambil melompat ke hadapan pemuda itu.
"Nisanak, jangan memaksaku...."
"Tutup mulutmu! Kau telah berada dalam wi-
layah Suku Dayang, karena itu kau kini adalah
tawanan kami. Kalau kau coba-coba untuk mela-
wan, maka kematianlah yang akan kau terima!"
sentak gadis itu memotong kata-kata Bayu.
"Tawanan" Hm, aku semakin tidak mengerti
dengan apa yang kalian bicarakan!"
"Kau telah memasuki wilayah kami tanpa izin
dan itu sudah cukup bagi kami untuk menang-
kapmu. Kau akan mendapat hukuman yang se-
timpal!" dengus gadis itu geram.
Bayu terbingung-bingung beberapa saat la-
manya, tapi kemudian dia tertawa sendiri seperti orang gila.
"Kalian cukup hebat bersandiwara. Tapi aku
tidak ada waktu untuk meladeninya. Maaf, aku
harus buru-buru melanjutkan perjalananku yang
tertunda...," kata Bayu sambil menghela kudanya.
Tapi saat yang bersamaan gadis itu membentak
nyaring. "Tangkap dia...!"
"Heh..."!"
*** Bayu tersentak kaget ketika melihat gadis-
gadis itu mengurung dirinya sambil menghu-
nuskan tombak-tombak runcingnya. Sikap mere-
ka jelas tidak bersahabat. Tidak terlihat sedikit pun senyum tersungging di
bibir mereka. "Nisanak, aku tidak ingin mempersulit dirimu
sendiri. Biarkan aku akan pergi dari sini dengan tenang...," sahut Bayu sambil
memandang pada gadis itu. "Ringkus dia...!" sahut gadis itu sebagai jawabannya.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Bersamaan dengan itu belasan ujung tombak
gadis-gadis yang mengepungnya itu menyambar
dirinya. Bayu melompat ke atas sambil menghalau ku-
danya menjauhi serangan-serangan mereka. Tu-
buhnya hinggap di salah satu cabang pohon yang berada di dekatnya tadi.
"Hiiih...!"
"Yeaaah...!"
Dengan tidak disangka-sangka beberapa orang
lawannya langsung melesat ke atas sambil men-
gayunkan tombak di tangannya.
Tas! Crab! "Uhhh...!"
"Yeaaah...!"
Cabang pohon yang dipijaknya langsung patah
dihantam ujung tombak lawan. Sementara bebe-
rapa ujung tombak lainnya menancap di dahan
pohon yang dipijaknya. Namun tubuh Bayu telah
melesat jauh ke bawah. Baru saja dia menjejak-
kan kedua kakinya, mendadak kembali bersiut
angin kencang. Lima orang gadis-gadis berambut panjang itu mengayunkan ujung
tombak di tangannya menghantam bagian kepala, dada, dan
bawah tubuh Pendekar Pulau Neraka. Pemuda itu
terkejut dan buru-buru melompat ke belakang.
Tubuhnya terus berputar-putar sambil melompat
ke samping untuk menghindari kejaran serangan-
serangan lawan yang gencar.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka membentak nyaring
sambil menyorongkan kepalan tangannya meng-
hantam salah seorang lawan yang terdekat. Na-
mun lawannya itu malah menyambutnya dengan
tusukan tombak di tangannya. Sebelum ujung
tombak itu menyentuh kepalan tangannya, Pen-
dekar Pulau Neraka bergerak ke kanan sambil
menarik tangannya dan menangkap batang tom-
bak itu dengan tangan kirinya. Tangan kanannya menghantam pergelangan tangan
lawan. Bersamaan dengan itu, tangan kirinya menyentak ke-
ras dan kaki kanannya menendang perut lawan.
Tap! Bettt! "Uhhh...!"
Desss! "Aaakh...!"
Gadis itu menjerit keras ketika tubuhnya terjerembab jatuh. Saat itu juga kawan-
kawannya

Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung mengayunkan tombak mereka mengha-
jar Pendekar Pulau Neraka. Tapi Bayu telah siap menyambutnya dengan tombak
rampasan di tangannya.
"Hiyaaa...!"
Trak! Trangngng! Wukkk! Pendekar Pulau Neraka membentak keras. Be-
berapa tombak lawan terpental dihajarnya, dan
terdengar mereka mengeluh kesakitan sambil
mengusap-usap telapak tangannya yang terkelu-
pas. Gadis-gadis itu tersentak kaget melihat seran-
gan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Me-
reka tersentak mundur ketika pemuda itu men-
gayunkan ujung tombak ke hadapan mereka. Be-
berapa orang menggeram sambil mengayunkan
tombak di tangannya. Kembali Pendekar Pulau
Neraka menyapu senjata di tangan mereka den-
gan ganas. "Hiiih...!"
Trang! Tring! "Uhhh...!"
Seperti tadi, tombak-tombak di tangan mereka
terpental dan gadis-gadis itu mengeluh kesakitan sambil merasakan telapak tangan
mereka yang mengelupas. Pendekar Pulau Neraka mengancam mereka
sambil memutar-mutar ujung tombak itu ke mu-
ka lawan-lawannya.
"Jangan paksa aku untuk bertindak keras. Ka-
lau kalian tetap memaksa, maka aku tidak akan
segan-segan menyakiti kalian...!" ancam pemuda itu dengan wajah serius.
Gadis-gadis itu terdiam dengan wajah bingung.
Mereka menyaksikan sendiri bagaimana dengan
sekali hajar, pemuda di hadapannya itu mampu
membuat senjata-senjata mereka terpental. Dan
kini dengan tombak di tangannya itu, tentu tidak ada kesukaran baginya untuk
mencelakakan mereka.
"Apa yang kalian tunggu lagi"! Serang dia...!"
bentak gadis yang agaknya pimpinan mereka itu
dengan suara melengking garang.
Maka tanpa diperintah dua kali, mereka kem-
bali menyerang Pendekar Pulau Neraka. Kali ini terlihat mereka bersungguh-
sungguh seperti tadi dan bermaksud meringkus pemuda itu.
"Yeaaah...!"
Trang! Trak! "Hup!"
Begitu mereka serentak maju bersamaan, Pen-
dekar Pulau Neraka langsung memapaki sambil
mengayunkan tombak di tangannya dan meng-
hantam senjata-senjata lawan sehingga berpentalan. Setelah itu kaki kirinya
bergerak cepat menghantam dua orang lawan yang terdekat.
Desss! Desss! "Aaakh...!"
Kedua gadis itu berteriak kesakitan. Tubuh
mereka jatuh terjerembab. Tapi Pendekar Pulau
Neraka tidak berhenti sampai di situ saja. Ketika tubuhnya melompat ke atas
sambil menangkis
beberapa senjata lawan, kedua kakinya kembali
menendang. Begkh! Duk! "Aaakh...!"
Tiga orang kembali tersungkur sambil menjerit
keras! "Huh, kau pikir bisa berbuat seenakmu saja di
sini" Yeaaah...!"
Gadis yang sejak tadi memberi perintah itu
agaknya geram juga melihat tidak seorang pun
anak buahnya yang mampu meringkus Pendekar
Pulau Neraka, sehingga dia merasa perlu untuk
turun tangan sendiri menghajarnya. Maka sambil membentak nyaring dia menyerang
Pendekar Pulau Neraka dengan melakukan gerakan indah dan
ringan. Tiba-tiba saja telah tergenggam sebilah pedang yang cukup panjang di
tangan kanannya
dan menyambar-nyambar tubuh pemuda itu.
Bettt! Bettt! "Uts...!"
Cras! Bukan main terkejutnya Pendekar Pulau Nera-
ka melihat serangan lawan. Sama sekali tidak
pernah disangkanya bahwa gadis itu mampu ber-
gerak sedemikian cepatnya. Sehingga ketika
ujung pedangnya menyambar ke arah leher, Pen-
dekar Pulau Neraka menundukkan kepala. Tapi
gadis itu mengayunkan satu tendangan ke arah
dada membuatnya terpaksa mengayunkan tom-
bak di tangannya. Gadis itu menarik pulang ka-
kinya. Tubuhnya berbalik cepat sambil men-
gayunkan pedang menyambar kedua kaki lawan.
Tidak ada waktu lagi bagi Pendekar Pulau Neraka untuk mengayunkan tombak di
tangannya. Tubuhnya melesat cepat di atas sambil berjumpalitan dan menekuk kedua
kakinya. Tapi bersamaan
dengan itu tubuh gadis itu pun melesat ke atas mengikutinya sambil memutar tubuh
bagai gas-ing, lalu tiba-tiba saja dadanya terasa perih. Ketika Pendekar Pulau
Neraka menjejakkan kedua
kakinya di tanah, gadis itu telah berdiri di hadapannya pada jarak lima langkah
sambil menghu- nus pedang yang ujungnya masih terlihat noda
darah. "Aku bisa mencabut nyawamu kalau saja aku
mau...!" dengus gadis itu dengan sombong.
"Hm, ilmu pedang yang hebat!" puji Pendekar
Pulau Neraka sambil tersenyum kecil.
"Aku tidak butuh pujian dari seorang tawanan!
Sekarang jangan coba-coba membantah lagi. Ka-
rena kau adalah tawananku dan harus ikut pada
semua perintahku!" kata gadis itu menegaskan.
"Nisanak, berapa kali aku harus mengatakan
padamu, kalau aku tidak bisa mengikuti keingi-
nanmu itu. Kalau memang aku melanggar wi-
layah mu, maka aku minta maaf. Itulah sebabnya aku ingin buru-buru meninggalkan
tempat ini. Tapi untuk menjadi tawananmu"! Maaf, kua-
nggap kau sungguh keterlaluan...," sahut Bayu
tenang. Setelah berkata demikian Bayu langsung me-
langkah dengan tenang untuk mendekati ku-
danya. Gadis itu merasa bahwa pemuda itu me-
remehkannya. Maka dengan geram dia melompat
menyerang dari belakang.
Trangngng! Wuttt! Wuttt! "Hup!"
Merasakan desiran angin serangan, Pendekar
Pulau Neraka langsung mengayunkan tombak di
tangannya untuk menangkis senjata lawan. Tu-
buhnya berbalik dan ujung tombak itu menghajar tubuh si gadis dan memaksanya
untuk bergerak lincah menghindari serangan-serangan gencar
yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Agak-
nya Pendekar Pulau Neraka memang ingin mem-
buktikan pada gadis itu bahwa dia tidak bisa seenaknya memerintah orang.
Pendekar Pulau Nera-
ka sama sekali tidak memberi kesempatan pada
gadis itu untuk memperbaiki kedudukannya.
"Yeaaah...!"
"Uts...!"
"Hiiih!"
Ujung tombak di tangan Pendekar Pulau Nera-
ka berputar-putar menyambar ke mana saja la-
wan bergerak menghindar. Sehingga terlihat gadis itu kerepotan menghindarinya.
Beberapa kali dia mencoba menangkis tombak di tangan lawannya,
namun pedangnya seperti menghantam tombak
baja yang amat tebal dan membuat tangannya
kesemutan dan jantungnya berdetak lebih ken-
cang. Tapi Bayu kagum dengan kehebatan gadis
itu. Meski tenaga dalamnya tidak terlalu hebat, namun gerakannya sangat gesit
Dia mampu bergerak bagai lesatan anak panah. Terbukti ketika keadaannya tengah
terdesak, gadis itu melompat ke bawah sambil bergulingan. Padahal Pendekar
Pulau Neraka telah menunggunya dengan ten-
dangan sebelah kaki kiri. Tapi gadis itu lebih cepat lagi bergulingan
menghindari. Bahkan ketika ujung tombak Pendekar Pulau Neraka menghajar
pinggangnya, tubuh gadis itu melenting ke atas dan dengan cepat mengayunkan
pedangnya ke wajah lawannya.
Trang! Dengan cepat Pendekar Pulau Neraka menang-
kis serangan lawan dengan pangkal tombaknya
dan balas menyapu pinggang gadis itu dengan
pengerahan tenaga kuat Tubuh gadis itu merun-
duk untuk kemudian melesat ke belakang sejauh
lima langkah. Baru saja dia akan kembali melompat menyerang lawan, maka saat itu
juga terdengar bentakan nyaring.
"Sekar Mayaaang..., hentikan perbuatanmu
itu...!" "Ayah. Oh...!" gadis itu tersentak kaget dan cepat menghentikan serangannya.
Wajahnya ter- tunduk dalam dan dia diam mematung dengan
sikap bersalah ketika seorang laki-laki tinggi besar hadir di tempat itu sambil
memandang tajam ke arahnya.
Laki-laki itu berusia sekitar enam puluh tahun dan memiliki jenggot panjang yang
telah memutih. Rambutnya juga panjang dan memutih di-
biarkan lepas begitu saja hingga batas pinggang.
Hingga kalau saja orang tidak melihat kumis dan jenggotnya yang panjang, tentu
saja sepintas lalu akan menduga dia seorang perempuan. Laki-laki
itu tidak memakai baju dan hanya sedikit kain yang menutupi bagian terlarang di
pangkal pa-hanya. Dengan memegang tongkat panjang di
tangannya, dia memandang gadis-gadis itu den-
gan sikap marah. Gadis-gadis itu seperti mengerti apa yang akan mereka perbuat,
diam membisu dan menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Apa yang kalian lakukan ini, he..."! Apa yang kalian lakukan di sini terhadap
orang asing itu..."!" bentak laki-laki tua itu dengan suara menggelegar.
Bayu tersentak kaget. Suara laki-laki tua itu
agaknya bukan sekadar membentak belaka. Ber-
sama suara itu pula dia mengerahkan tenaga ba-
tinnya yang kuat. Bayu sendiri merasakan jan-
tungnya berdetak lebih kencang dan kulitnya se-
perti terbakar dengan gendang telinganya seolah mau pecah.
Yang terjadi pada gadis-gadis itu ternyata lebih parah lagi. Beberapa orang di
antara mereka menjerit kesakitan sambil mendekap telinga dan hi-dungnya yang
mengucurkan darah segar. Mereka
lalu ambruk ke tanah sambil berguling-gulingan menahan rasa sakit.
"Ampun, Ki Guntur Agung...! Ampunilah kesa-
lahan kami...!" rintih mereka dengan suara memelas.
*** 4 "Kisanak, hentikanlah perbuatanmu...!" kata
Bayu dengan sopan.
Meskipun dia berkata pelan namun Bayu men-
gerahkan tenaga batinnya lewat suara itu sehing-ga mampu membuat orang tua itu
terkejut dan menghentikan teriakannya. Dia memandang ke
arah Pendekar Pulau Neraka dengan tajam, ke-
mudian terlihat perlahan-lahan tersenyum tipis.
"Kalau memang kau menginginkan demikian
tentu saja dengan senang hati kukabulkan...,"
sahut orang tua itu tenang seperti tidak terjadi apa-apa di tempat itu.
Bayu sedikit heran dengan sikap orang tua
yang tadi dipanggil Ki Guntur Agung itu. Kenapa dia seolah-olah begitu patuh
dengan kata- katanya" "Mereka memang nakal dan suka mengganggu
orang. Maafkan kelakuan mereka, Kisanak. Aku
tahu betul, jika engkau hendak melukai mereka
maka dengan mudah hal itu bisa kau lakukan se-
jak tadi," lanjut orang tua itu dengan sikap hormat
Bayu membalas salam hormat orang tua itu
sambil memperkenalkan dirinya.
"Orang tua, namaku Bayu Hanggara. Maaf ka-
lau memang aku memasuki wilayah kalian tanpa
seizinmu. Hal itu sama sekali tidak sengaja karena kebodohanku...."
"Tidak mengapa, Anak Muda. Namaku Guntur
Agung, dan aku adalah ketua suku Dayang yang
menguasai lembah ini. Dan yang tadi bertemu
denganmu itu adalah anak bungsuku yang ber-
nama Sekar Mayang. Dia memang bandel sekali
dan suka mengganggu orang...," sahut Ki Guntur Agung.
"Terima kasih, Ki Guntur. Kalau demikian aku
pamit dulu untuk melanjutkan perjalananku...,"
kata Bayu sambil memberi salam hormat pada
orang tua itu. "Kisanak, tidakkah kau berminat untuk mam-
pir barang sejenak di gubuk kami" Barangkali sekadar menghilangkan dahaga atau
mengisi perut, kami memiliki banyak makanan dan minuman di
tempat kami. Silakan...!"
Bayu tersenyum sambil memandang orang tua
itu. Ada kekuatan yang dipancarkan orang tua itu
untuk membuatnya tidak mampu menolak kein-
ginannya. Tapi Bayu menyadari bahwa hal itu
bukan kebetulan semata. Orang tua itu seper-
tinya ingin mengujinya dengan sorot matanya
yang tajam mengandung daya sihir kuat. Untuk
sesaat Bayu merasakan tubuhnya lemah tidak
berdaya. Tidak ada gairah dan semangat hidup


Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam dirinya. Tapi pemuda itu cepat sadar dan perlahan-lahan dia mengerahkan
tenaga batinnya untuk melawan pengaruh sihir orang tua itu.
"Ki Guntur, terima kasih. Tapi ada sesuatu
yang harus kukerjakan dan musti buru-buru...!"
sahut Bayu sambil tersenyum tipis dan balas
memandang orang tua itu dengan tajam.
"Hm, bukankah di tempat ini sangat dingin"
Kau tentu akan sangat tersiksa sekali. Cobalah rasakan...," lanjut Ki Guntur
Agung sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke muka.
Bersamaan dengan itu mendesir angin dingin
yang mampu melinukan sumsum tulang dan
membuat geraham bergemeletukan. Beberapa
orang gadis itu buru-buru menjauh melihat kea-
daan itu. "Kisanak, kau ternyata salah sebab saat ini
udara belum terasa dingin, malah sangat panas...!
Cobalah kau rasakan!" sahut Bayu sambil mengi-
bas-ngibaskan tangannya ke depan.
Ki Guntur Agung kini merasakan sebaliknya,
angin panas nyaris membakar kulitnya kalau saja dia tidak buru-buru menghindar.
Orang tua itu mencoba memapaki dengan pukulan berhawa
dingin yang dilancarkannya. Namun cuma mam-
pu bertahan sesaat sebab pukulan berhawa pa-
nas yang dikerahkan pemuda itu sedemikian
kuatnya sehingga memaksanya untuk melompat
ke sana kemari menghindarinya.
"Ki Guntur, kurasa cukuplah kau merasakan
hawa di tempatmu ini. Aku hendak mohon pamit
dulu...," sahut Bayu sambil menarik kembali pukulannya.
"Hm, aku benar-benar kagum padamu, Kisa-
nak silakan...!" kata orang tua itu sambil menyi-lakan Bayu untuk berlalu.
"Terima kasih, Ki Guntur Agung. Kuharap kita
bisa bertemu kembali di lain waktu...," sahut
Bayu sambil melompat ke punggung kudanya dan
berlalu dari tempat itu secepatnya.
Ki Guntur Agung memandangnya sampai pe-
muda itu hilang dari pandangannya. Dia menghe-
la napas pendek sambil mendesah pelan.
"Hm, usianya masih sangat muda tapi kepan-
daiannya sudah demikian hebat. Pastilah dia bukan orang sembarangan di dunia
persilatan...,"
gumamnya pelan.
"Ki Guntur Agung...!" panggil salah seorang gadis yang berada di tempat itu.
"Hm...," orang tua itu berpaling sambil bergu-
mam pelan. "Ni Sekar Mayang tidak ada di tempat...," lanjut gadis itu.
"Apa"!" sentak Ki Guntur Agung sambil menca-
ri-cari di sekeliling tempat itu.
"Kami telah mencarinya, tapi dia tidak ada...,"
sahut gadis itu kembali.
"Cepat cari dia! Tidak usah kembali kalau ka-
lian tidak menemukannya...!" bentak Ki Guntur
Agung garang. "Baik, Ki...," sahut gadis-gadis itu serentak.
Tidak berapa lama kemudian mereka segera
berlalu meninggalkan tempat itu.
*** Bayu memacu kudanya dengan kencang agar
secepat mungkin dia bisa keluar dari lembah itu.
Setelah dirasakannya cukup jauh, pemuda itu
berhenti dan memandang ke sekeliling tempat itu.
Tiba-tiba dia tersenyum kecil sambil menggeleng pelan.
"Kenapa kau mengikutiku..."!" tanyanya den-
gan suara keras.
Tak terdengar sahutan. Sepertinya pemuda itu
tidak waras karena bicara sendiri.
Tapi sebenarnya dia mengetahui bahwa seseo-
rang berada di tempat itu dan sejak tadi mengikutinya.
"Pergilah kau dan jangan lagi mengikutiku.
Apakah kau ingin mengatakan bahwa tempat ini
pun termasuk dalam wilayah mu sehingga dengan
seenaknya kau menganggapku tawananmu..."!"
lanjut Bayu dengan suara lebih keras.
Saat itu juga melesat turun sesosok gadis ber-
wajah cantik dengan rambut panjang terurai, dan tanpa mengenakan selembar
pakaian pun! Di
tangan kanannya tergenggam sebatang pedang
panjang. Gadis yang tidak lain Sekar Mayang itu menundukkan kepalanya tidak
berani memandang wajah pemuda itu.
"Kenapa kau mengikutiku...?"
Gadis itu diam membisu tidak menjawab sepa-
tah kata pun. "Hm, gerakanmu cukup hebat dan tiada dua-
nya. Kurasa aku pun tidak mampu mengimban-
ginya. Kalau kau menginginkan aku mengalah,
maka kukatakan aku pasti kalah jika bertarung
denganmu. Nah, pergilah...!" sahut Bayu meren-
dah agar urusannya itu cepat selesai.
"Aku tidak ingin bertarung denganmu...," sahut Seka Mayang pelan.
"Jadi apa maumu?"
"Ayah pasti akan memarahiku karena perbua-
tanku tadi. Aku..., aku tidak berani pulang...,"
sahut gadis itu lirih.
"Perbuatan apa yang kau maksud?"
"Mengganggumu dan mengerahkan pasukan
untuk kepentingan diri sendiri. Apalagi aku mengatakan bahwa kau adalah
tawananku, padahal
itu tidak dibenarkan. Bahwa ayah selalu melarang kami untuk bertemu dengan orang
luar. Siapa yang melanggar peraturan itu pasti akan menda-
patkan hukuman berat. Kau harus menolongku!"
sahut gadis itu memandang wajah Bayu dengan
penuh harap. "Apa yang bisa kubantu?"
"Kau harus menjelaskan pada ayahku bahwa
kau telah memaafkan semua kesalahanku...."
"Hm, aku tidak bisa!" sahut Bayu tegas.
Gadis itu memandangnya dengan wajah tidak
percaya. Kemudian dia berucap lirih.
"Kalau begitu aku tidak mau kembali...."
"Terserahmu. Kau boleh pergi ke mana saja
kau suka. Siapa yang mau melarangmu?"
"Aku akan ikut denganmu...."
"Apa"!" pekik Bayu karena terkejut mendengar
jawaban gadis itu.
"Aku mau ikut denganmu!" sahut gadis itu te-
gas seperti tidak merasakan bahwa kata-katanya itu membuat Bayu tersentak kaget.
"Tidak bisa! Aku mau pergi sendiri dan kau ti-
dak boleh mengikutinya!" sahut Bayu tegas.
"Kenapa tidak" Bukankah kau tadi mengata-
kan bahwa aku boleh pergi ke mana saja aku su-
ka, dan tidak seorang pun yang bisa melarang-
nya" Kenapa kau sekarang malah melarangku"!"
tanya gadis itu seperti menuduh pemuda itu tidak menepati ucapannya.
"Tapi maksudku bukan seperti itu. Kau boleh
pergi ke mana saja kau suka asal tidak mengikutiku!" sambung Bayu mengulangi
kata-katanya sambil menekan pada si gadis hal-hal yang tidak boleh dilakukannya.
"Hm, kau sama saja seperti apa yang dikatakan
oleh ayahku...," sahut gadis itu bergumam pelan sambil berpaling.
"Apa yang dikatakan oleh ayahmu itu...?" tanya Bayu tertarik.
"Orang asing itu pembohong dan tidak bisa di-
percaya. Itulah sebabnya kami dilarang mendekat pada mereka...," sahut gadis itu
menjelaskan. "Kata-kata ayahmu itu salah. Karena tidak se-
muanya orang asing itu mempunyai sifat bu-
ruk...," sergah Bayu.
"Tapi aku baru saja membuktikannya. Kau ti-
dak menepati kata-katamu sendiri!" tuding gadis itu keras.
"Tapi itu lain...!" sahut Bayu mencoba mem-
bantah. Gadis itu tidak menjawab, melainkan meman-
dang pemuda itu dengan seksama dengan sikap
tetap mendakwanya. Bayu menggeleng lemah
sambil menghela napas pendek. Perlahan dia me-
nambatkan kudanya dan mengumpulkan kayu-
kayu kering. Gadis itu pun mengikuti perbuatannya. Bahkan membantunya ketika
pemuda itu mulai membuat api unggun. Bayu diam membisu
dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Kenapa kau tidak mau berpaling kalau bicara
denganku...?" tanya gadis itu sedikit kesal.
"Kau tanyakanlah saja pada dirimu sendiri.
Apakah pantas seorang wanita berkeliaran dalam keadaan sedemikian?"
"Tapi di tempat kami hal ini adalah biasa!"
sanggah gadis itu.
"Tapi di luar kau akan menjadi bahan tontonan
orang banyak!" sahut Bayu kesal.
"Jadi harus bagaimana...?" tanya gadis itu ti-
dak mengerti. "Pakailah baju dan tutupi bagian tubuhmu dari
pangkal leher sampai mata kaki!" sahut Bayu
seenaknya. "Tapi saat ini aku tidak punya apa pun untuk
menutupi tubuhku. Lalu dengan apa aku harus
menutupinya...?"
"Itulah sebabnya kau tidak boleh ikut dengan-
ku!" sahut Bayu menegaskan.
Aku tidak boleh ikut denganmu karena pe-
nampilanku yang begini ini?" tanya gadis itu menegaskan.
"Ya...."
"Kalau begitu setelah aku menutupi tubuhku
berarti boleh ikut denganmu, bukan?"
Bayu tersentak kaget. Kenapa dia sebodoh itu
menjawab" Gadis ini kelihatannya cerdik dan
otaknya cerdas meski pengalamannya tidak ba-
nyak. Bahkan kalau mendengar kata-katanya
berkesan polos. Dia hanya mengerti sebatas kata-kata yang diucapkan lawan
bicaranya dan tidak mengerti makna-makna di balik kata-kata itu.
Dan kini Bayu terjebak dengan kata-katanya sendiri.
"Maksudku bukan begitu...," ucap Bayu tidak
jadi meneruskan kata-katanya ketika melihat gadis itu memandangnya dengan heran
bercampur dakwaan. Seolah-olah menuduhnya telah dua kali berkata tidak benar di
hadapannya. "Berarti kata-kata ayahku benar, bahwa orang
asing itu tidak bisa dipercaya...," gumam gadis itu lirih.
"Ya, aku memang tidak bisa dipercaya. Karena
itu kau tidak boleh mengikutiku!" sahut Bayu
kesal. Gadis itu memandangnya kembali dengan sek-
sama. Namun seperti tadi, Bayu sama sekali tidak mau berpaling padanya. Dia
tetap membelakangi
gadis itu. "Aku tidak percaya sebab ayahku tidak hanya
berkata seperti itu. Beliau juga mengatakan bah-wa orang asing yang laki-laki
suka berbuat tidak baik pada gadis-gadis sepertiku. Tapi aku tidak tahu berbuat
tidak baik seperti apa yang dimak-sud beliau. Yang jelas itu pasti akan
menyakiti di-riku...," lanjut gadis itu.
"Aku telah mengusirmu berkali-kali dan kau
pasti merasa sakit hati. Oleh sebab itu aku telah berbuat tidak baik terhadapmu.
Ayahmu benar, oleh sebab itu pergilah kau sebelum aku menya-
kiti lebih keras lagi!" sahut Bayu mendongkol.
"He he he...! Sekar Mayang, meskipun kau ti-
dak tahu apa-apa tapi aku yakin sekali bahwa
pemuda itu baik dan tahu sopan-santun...!" ucap seseorang yang mendadak tiba-
tiba terdengar suara tawanya yang nyaring lalu diikuti melesatnya sesosok tubuh
dengan ringannya ke hadapan pemuda itu.
"Heh..."!"
*** Bayu langsung bangkit berdiri dengan sikap
siaga untuk menghadapi segala kemungkinan.
Tapi kemudian dia kembali bersikap tenang keti-ka mengetahui siapa yang hadir di
tempat itu. Orang tersebut tidak lain dari Ki Guntur Agung, ayah gadis itu. Tapi sungguh
hebat gerakannya
sehingga Bayu sama sekali tidak mengetahui ke-
hadirannya di tempat itu.
"Ki Guntur Agung, syukurlah kau datang ke
sini. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana
dengan sikap keras kepala putrimu itu. Dia ingin ikut denganku, mudah-mudahan
kau bisa melarangnya," kata Bayu berharap orang tua itu
mampu menyelesaikan persoalannya.
"Ayah, maafkan kelakuanku. Tapi pemuda ini
telah memaafkannya sehingga Ayah tidak boleh
menghukumku...," kata Sekar Mayang membela
diri. Ki Guntur Agung memandang keduanya den-
gan seksama secara bergantian dengan kedua
tangannya berada di belakang sejak tadi. Dia sendiri tidak beranjak dari
tempatnya berdiri sejak tadi.
"Bayu, putriku telah berbuat kesalahan karena
mengganggumu, oleh sebab itu dalam suku kami
dia patut mendapat hukuman. Apakah kau setuju
dengan hal itu?" tanya Ki Guntur Agung perlahan.
"Sebelum kujawab pertanyaanmu, aku hendak
bertanya lebih dulu. Beratkah hukuman yang
akan diterimanya?"
"Dalam adat kami berat atau tidaknya huku-
man itu tergantung dari bagaimana seseorang itu menerimanya. Nah, sebagai
seorang pendekar
yang mendukung sikap-sikap bijaksana, tentulah kau tidak menolak jika seseorang
yang telah berbuat kesalahan harus mendapat hukuman" Se-
bab dalam suku kami perbuatan putriku ini jelas merupakan kesalahan!" sahut Ki
Guntur Agung. Bayu berpikir sejenak. Orang tua itu ternyata
tidak sebodoh apa yang terlihat dari penampilannya. Tidak ada jawaban lain yang
bisa dilakukannya selain mengangguk dan membenarkan kata-


Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata orang tua itu.
"Dalam adat kami hukuman harus dijatuhkan
oleh ketua suku, yaitu aku sendiri. Tapi hari ini kau mendapat kehormatan untuk
membantuku...."
"Bantuan apakah yang bisa kuberikan, Ki Gun-
tur?" "Menyetujui hukuman yang akan kuberikan
pada putriku," sahut Ki Guntur Agung.
"Maaf, orang tua. Aku tidak bisa membantumu
sebelum aku mengetahui jenis hukuman yang
akan menimpa putrimu nanti. Kalau dia menda-
pat hukuman berat, tentu saja aku tidak bisa
menambah beban yang dideritanya," sahut Bayu
tegas. "Kalau aku memberikan hukuman ringan ba-
ginya apakah kau akan menyetujuinya?" tanya Ki Guntur Agung membalikkan kata-
kata pemuda itu. "Ng..., kurasa jawabannya ya...," sahut Bayu
ragu karena merasa terjebak oleh kata-katanya
sendiri. "Sungguh-sungguhkah kau mau membantu-
ku?" "Baiklah...!" sahut Bayu mantap.
"Bawalah putriku mengembara bersamamu...."
"Orang tua, maaf. Kalau hal itu aku tidak bisa!"
sahut Bayu cepat memotong pembicaraan orang
tua itu. "Aku mengerti apa yang kau rasakan, juga
mengerti kenapa kau menjawab demikian. Namun
sebelumnya, tolong dengarkan dulu penjelasanku.
Aku sudah tua dan sebagai seorang kepala suku
pastilah harus digantikan oleh putriku satu-
satunya itu. Tapi kepala suku harus pula mereka yang me-
miliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Telah lama aku memikirkan hal itu.
Sedangkan putriku belum memenuhi syarat untuk itu. Dia terlalu polos dan tidak
banyak mengerti tentang pengala-
man hidup dan bergaul. Begitu tadi melihatmu
aku lantas mengetahui bahwa kau seorang yang
baik dan bisa dipercaya. Bayu aku tidak akan
mempercayakan putriku kepadamu kalau saja
aku yakin kau memiliki kelakuan yang buruk.
Bawalah dia mengembara bersamamu untuk
mencari pengalaman hidup yang berguna baginya
kelak. Setelah kau rasa cukup, kau boleh men-
gantarkannya kembali padaku...."
Bayu termenung beberapa saat lamanya, ke-
mudian memandang wajah orang tua itu dengan
lesu. "Ki Guntur, banyak hal yang membuatku tidak
bisa mengajak putrimu turut serta...," sahutnya lirih.
"Aku mengerti bahwa dia harus bisa menye-
suaikan diri dengan lingkungan kehidupan ka-
lian. Untuk itulah aku bawakan baginya satu stel pakaian lengkap untuknya...,"
sahut Ki Guntur
Agung sambil mengangsurkan satu stel pakaian
wanita kepada putrinya dan menyuruh gadis itu
mengenakannya. Bayu memperhatikan sejenak ketika gadis itu
telah berpakaian kemudian tersenyum kecil.
"Nah, bagaimana pendapatmu sekarang...?"
tanya Ki Guntur Agung kembali.
"Ki, terus terang agar kalian ketahui bahwa
aku telah bertunangan dengan seorang gadis lain.
Apa jadinya kalau dia melihat putrimu berjalan bersamaku...?" sahut Bayu
akhirnya berterus terang agar mereka mengerti keberatannya.
"Hm, hal itu tidak menjadi masalah. Kau bisa
menjelaskannya kalau dia melihatmu. Tunan-
ganmu pasti bisa mengerti. Bayu anggaplah bah-
wa perbuatanmu nanti sebagai pertolongan ter-
hadap kami. Kaulah orang yang bisa kupercaya
untuk saat ini," sahut Ki Guntur Agung enteng.
Bayu berpikir beberapa saat lamanya. Berat
hatinya untuk mengajak Sekar Mayang, namun
Ki Guntur Agung terus memaksanya sehingga
membuatnya menjadi tidak enak hati. Apalagi ketika orang tua itu mulai
mengungkit-ungkit soal
janjinya tadi. Maka akhirnya dia terpaksa men-
ganggukkan kepalanya tanda setuju.
"Baiklah..."
"Terima kasih, Bayu. Sekar Mayang, jagalah di-
rimu baik-baik...!" setelah berkata demikian tubuh Ki Guntur Agung melesat cepat
dari tempat itu dan membuat desah kekaguman di hati Bayu.
*** 5 Berjalan bersama gadis itu memang tidak mu-
dah dan hal itu disadari betul oleh Bayu. Sekar Mayang dengan seenaknya saja
memeluk tubuhnya ketika mereka hendak tidur.
"Kenapa?" tanyanya merasa tidak bersalah ke-
tika Bayu menepisnya pelan.
"Sekar Mayang, satu hal yang perlu kau keta-
hui bahwa tidak patut antara laki-laki dan wanita tidur dengan cara demikian
sebelum mereka menikah. Hal itu amat tabu!" jelas Bayu.
Mula-mula Sekar Mayang tidak bisa menerima
hal itu sehingga terpaksa Bayu menjelaskan sedikit tentang adat kesopanan dan
tata krama per-
gaulan di dunia mereka sehingga gadis itu akhirnya mengerti juga.
Hina Kelana 31 Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong Dewa Sinting 1
^