Pencarian

Tumbal Ajian Sesat 2

Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat Bagian 2


Mereka kemudian tidur pada tempat terpisah
pada jarak agak jauh.
Dan agaknya gadis itu cepat tanggap pada apa
yang dikatakan pemuda itu. Buktinya ketika me-
reka bangun pagi-pagi sekali dan Bayu menga-
jaknya untuk menunggang kuda, dia sama sekali
tidak berani memegang pinggang Bayu. Padahal
kuda itu berlari demikian kencang. Kalau saja dia tidak memiliki keseimbangan
tubuh yang hebat
niscaya sudah sejak tadi gadis itu terkapar ke belakang.
"Kenapa kita ke tempat ini...?" tanya gadis itu ketika Bayu membawanya pada
salah seorang pe-tani yang banyak memelihara kuda tunggangan.
"Aku akan membelikanmu seekor kuda dan
kemudian baru mengganti pakaian yang kau ke-
nakan?" jelas pemuda itu.
"Apakah pakaian yang kukenakan ini aneh ba-
gimu?" tanya Sekar Mayang.
"Tidak. Tapi terlalu buruk dan sudah lusuh.
Kau akan lebih cantik bila memakai pakaian yang lebih pantas," sahut pemuda itu.
Sekar Mayang mematut-matut dirinya dengan
pakaian yang agak kekecilan dan lusuh yang di-
kenakannya itu. Sepintas orang akan melihatnya seperti seorang pengemis.
Setelah membayar harga kuda yang disetujui,
gadis itu menunggang kuda berwarna coklat yang kelihatan gagah serta perkasa.
Sama sekali dia tidak merasa kesulitan sehingga menambah keka-
guman di hati pemuda itu saja.
"Melihat caramu berkuda tentu hewan itu tidak
asing lagi padamu...," kata pemuda itu seperti pa-da dirinya sendiri.
"Ya, di tempat kami kuda memang sudah tidak
asing lagi. Setiap wanita pasti mahir menunggan-ginya," sahut Sekar Mayang
dengan wajah cerah.
Keduanya segera memacu kudanya ke bagian
desa yang agak ramai. Bayu membelikan pakaian
warna biru muda terbuat dari bahan halus untuk gadis itu. Dan ketika Sekar
Mayang keluar dengan pakaian barunya itu, Bayu tersenyum kecil.
"Nah, dengan begitu kau kelihatan cantik...!"
pujinya. "Terima kasih. Aku kini mengerti setelah meli-
hat pengemis-pengemis yang banyak berkeliaran
di desa ini. Kau tentu tidak ingin aku terlihat seperti pengemis-pengemis itu,
bukan?" sahut gadis itu sambil menduga apa yang terlintas di benak pemuda itu.
"Sebagian begitu dan sebagian lagi karena kau
putri kepala suku maka sudah sepatutnya kau
berpakaian secara layak dan bagus. Sebaiknya
rambutmu yang panjang diikat dan pedangmu itu
selipkan saja di pinggang," sahut Bayu sambil
memberitahukan apa yang pantas dilakukan ga-
dis itu. "Bagaimana sekarang?" tanya Sekar Mayang
setelah melakukan apa yang diperintahkan Bayu
tadi. "Nah, kini kau lebih cantik lagi...!" puji Bayu kembali.
"Aku.... Aku lapar...," kata gadis itu ketika mereka keluar dari toko yang tadi
dimasuki keduanya.
"Ya, aku juga mulai merasa lapar. Sebaiknya
kita mencari kedai dan makan dulu...," sahut
Bayu sambil mengajak gadis itu memasuki se-
buah kedai yang cukup besar di desa itu.
Gadis itu hanya menurut saja ketika pemuda
itu mengajaknya masuk ke dalam kedai itu. Bola matanya memperhatikan keadaan di
seputar ruangan kedai. Di situ terlihat beberapa orang tengah bersantap. Dua orang laki-
laki yang berwajah kasar terkekeh-kekeh kecil sambil menge-
dipkan sebelah mata pada gadis itu. Sekar
Mayang menatap mereka dengan tidak mengerti.
"Kenapa mereka tertawa-tawa dan menger-
dipkan mata padaku...?" tanyanya pada Bayu
dengan wajah bingung.
"Diamkan saja dan jangan pedulikan. Mereka
sedang menggodamu karena kau cantik dan me-
narik...," sahut Bayu.
Sekar Mayang buru-buru mengalihkan perha-
tian, namun kedua laki-laki itu malah penasaran dan mendekati mereka terus.
"He he he...! Bocah cantik, siapa namamu"
Maukah kau menemaniku makan di meja sa-
na...?" tanya salah seorang dari kedua laki-laki itu sambil menjawil dagu Sekar
Mayang. Gadis itu diam saja dan memperhatikan kedu-
anya dengan heran. Melihat keadaan itu, kedua
laki-laki itu merasa bahwa gadis itu tidak menolak kejahilan mereka. Maka dengan
sangat ber- nafsu, salah seorang dari mereka bermaksud me-
remas dada si gadis. Namun sebelum hal itu terjadi, Bayu telah menangkap
pergelangan tangan-
nya dan menatap tajam ke arah keduanya.
"Kisanak, jangan berbuat kurang ajar! Pergilah kalian dari sini...!" tegas
terdengar suara Bayu.
"He, kau berlagak jago di sini" Kurang ajar...!"
kawannya membentak dan langsung menghan-
tamkan kepalan tangannya ke dada Bayu.
Plak! Wuttt! Desss! Dukkk! "Aaakh...!"
*** Pendekar Pulau Neraka cepat menangkis se-
rangan lawan dengan tangan kirinya. Orang itu
mengeluh kesakitan ketika lengan tangannya be-
radu dengan Pendekar Pulau Neraka yang lang-
sung menekuk tangan orang yang tadi ditangkap-
nya. Dengan kesal orang itu diadukannya dengan kawannya hingga menjerit
kesakitan. Beberapa
buah meja dan kursi hancur berantakan.
"Aduh, maaf Den. Tolong kalau membuat keri-
butan jangan di sini. Lebih baik keluar sajalah...!"
kata pemilik kedai itu dengan wajah cemas penuh ketakutan.
"Kisanak, maafkan keributan kecil ini. Tapi aku akan mengganti kerusakanmu...!"
sahut Bayu sambil mengeluarkan dua keping uang emas.
Si pemilik kedai melotot kegirangan dan buru-
buru menangkap uang emas itu. Kerusakan yang
terjadi amat kecil dibandingkan dengan imbalan yang diterima pemilik kedai itu.
Bahkan dengan uang itu dia bisa membeli sepuluh buah kursi
dan meja. "Eeeh, apakah engkau tidak jadi makan" Kisa-
nak...! Eh, terima kasih...," si pemilik kedai akhirnya bergumam pelan setelah
dia berteriak- teriak memanggil Bayu dan Sekar Mayang yang
terus berlalu meninggalkan kedai itu tanpa mempedulikan panggilan pemilik kedai
itu. "Kurang ajar! Berhenti kau, hei Keparat..!" ma-ki orang yang tadi dihajar
Pendekar Pulau Neraka.
Srakkk! "Kau akan merasakan akibatnya karena berani
berurusan dengan orang-orang Gagak Paksi!"
dengus kawannya sambil melompat ke depan dan
menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan men-
cabut golok yang terselip di pinggangnya.
Tapi sebelum pemuda itu bergerak, Sekar
Mayang telah lebih dulu bertindak. Tubuhnya
bergerak gesit menghindari tebasan golok lawan.
Tangan kirinya menghantam pergelangan tangan
sehingga membuat genggaman golok di tangan la-
ki-laki berangasan itu terlepas. Kemudian secepat kilat gadis itu menghajar dada
lawan dengan satu tendangan keras.
Dukkk! "Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya laki-laki itu tersungkur.
Kali ini keadaannya lebih parah karena tendan-
gan gadis itu sedemikian kerasnya membuat da-
danya terasa nyeri dan memuntahkan darah se-
gar. "Gadis liar...! Kau akan rasakan akibatnya,
yeaaah...!" bentak kawan laki-laki tadi yang langsung menyerang Sekar Mayang
dengan kalap. "Uts...!"
Tap! Desss...! "Hokh...!"
Sekar Mayang bergerak ke kiri sambil memi-
ringkan tubuh sehingga tebasan golok lawan le-
wat begitu saja di depannya. Tangan gadis itu
menyikut dadanya dan diikuti oleh hantaman ke-
palan tangan kanan yang membuat lawan ter-
jungkal sambil terdesak kesakitan. Tubuhnya terjerembab dan tidak bergerak lagi.
Entah pingsan atau mati!
"Hebat! Sungguh hebat ilmu silatmu, Nisanak.
Tapi kenapa musti berlaku keras terhadap mere-
ka...?" tegur seseorang yang hadir di tempat itu sambil memuji tindakan gadis
itu. Bayu dan Sekar Mayang langsung berpaling
dan melihat seorang laki-laki bertubuh besar
dengan kumis melintang di tempat itu. Di ping-
gangnya terselip sebilah golok yang berukuran panjang. Si pemuda mengetahui
bahwa laki-laki
itu berkata dengan suara menyindir. Maka dia segera menyahut dengan sikap sopan.
"Kisanak, maafkan sikap kawanku tadi. Nama-
ku Bayu, dan kami hanya kebetulan mampir un-
tuk mengisi perut di kedai ini. Tapi kedua ka-
wanmu itu telah berbuat kurang ajar terhadap
kawanku ini, sehingga terpaksa aku menghajar-
nya," jelas Bayu kepada laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan itu.
"Hm, namamu Bayu..." He, di mana pernah
kudengar nama itu. Ah, tidak salah lagi, kau Pendekar Pulau Neraka, bukan"!"
tebak orang itu
dengan wajah cerah.
*** "Kisanak, begitulah orang-orang menye-
butku...," sahut Bayu dengan sikap sopan.
"Oh, maafkan sikap anak buahku, Bayu. Mere-
ka memang sungguh keterlaluan! Aku Ki Balade-
wa, Ketua Perguruan Gagak Paksi!" sahut laki-
laki itu dengan sikap sangat hormat sekali.
"Sudahlah. Kuanggap selesai persoalan ini. Ka-
lau demikian kami permisi dulu," kata Bayu sambil mengajak Sekar Mayang berlalu
dari tempat itu.
"Eh, maaf Bayu. Kalau tidak keberatan, kami
bermaksud hendak mengundangmu ke tempat
kami. Bagaimana" Mudah-mudahan kalian tidak
menolaknya," lanjut Ki Baladewa dengan penuh
harap. "Ki Baladewa, aku akan suka sekali dengan
undanganmu itu. Tapi maafkanlah karena kami
harus buru-buru. Barangkali lain waktu kami bi-sa memenuhi undanganmu...," sahut
Bayu meno- lak dengan cara halus.
Mendengar jawaban itu Ki Baladewa tidak bisa
memaksa lagi. Dia hanya mampu memandang
keduanya sambil menggeleng kepala.
"Hm, aku melihat wajah orang itu sangat ka-
gum begitu mengetahui siapa kau sebenarnya.
Pendekar Pulau Neraka, begitukah orang-orang
menyebutmu?" tanya Sekar Mayang.
Bayu mengangguk pelan.
"Kau agaknya orang terkenal yang sangat di-
hormati, Kakang.... Eh, bolehkan aku menyebut-
mu Kakang Bayu?"
Bayu tersenyum sekilas kemudian tersenyum
kecil. "Kau boleh memanggilku dengan sebutan apa
saja yang kau suka...," sahutnya datar.
"Kakang, aku masih heran. Kenapa kau begitu
marah dan sampai menghajar kedua orang itu?"
tanya Sekar Mayang heran.
"Sekar, ketahuilah bahwa kedua orang itu telah membuat kurang ajar terhadapmu.
Seorang gadis tidak boleh diperlakukan begitu oleh laki-laki yang tidak dikenalnya. Itu
namanya tidak sopan dan kurang ajar! Mereka patut mendapat hajaran...," sahut
Bayu menjelaskan.
Sekar Mayang mengangguk mengerti menden-
gar penjelasan itu.
"Bagaimana kalau laki-laki yang kita kenal me-
lakukan hal itu?" tanya Sekar Mayang lagi.
"Tergantung...."
"Tergantung bagaimana, Kakang Bayu...?"
"Tergantung apakah kau merasa senang atau
tidak. Tapi tetap saja itu tindakan yang tidak sopan. Dari semua sikap yang
tidak sopan antara
laki-laki dan wanita, hal itu menjadi biasa setelah mereka menikah...," sahut
Bayu menjelaskan secara gamblang.
Sekar Mayang kembali mengangguk mengerti
mendengar penjelasan pemuda itu.
Mendadak saat itu terdengar jeritan panjang
seorang wanita muda sambil berlari-lari ke tengah jalan dengan wajah panik.
"Bayiku, tolooong...! Tolong bayiku diculik
orang! Tolooong!" teriaknya berulang-ulang.
"Ke sana! Kejar dia! Kejaaar...!" teriak seseorang yang langsung melompat ke
arah yang ditun-juknya tadi.
Mendengar teriakan laki-laki itu, beberapa
orang penduduk desa itu langsung mengikutinya
dari belakang sambil berteriak-teriak kalap.
"Hajar dia...! Bunuuuh...!"
"Sekar, ayo kita kejar orang itu...!" teriak Bayu.
"Baiklah...," sahut gadis itu sambil memacu
kudanya kencang.
"Heaaah...!"
Kedua orang itu menghela kuda-kuda mereka
dengan kencang seolah ingin mendahului pendu-


Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duk desa yang tengah mengejar seseorang yang
mereka curigai sebagai penculik bayi wanita mu-da tadi yang berteriak-teriak
histeris. "Sekar, kau ke arah sana dan aku menyusuri
jalan ini! Kita bertemu di depan sana. Tapi kalau
berpisah, kita kembali ke desa tadi. Kau menger-ti"!" teriak Bayu tidak
mempedulikan jawaban gadis itu karena dia telah memacu kudanya dengan kencang ke
arah kanan. "Iya, iya...!" sahut gadis itu bingung. Namun
meskipun demikian dia tetap memacu kudanya
ke arah kiri. Dia masih tidak mengerti apa yang diinginkan
pemuda itu, namun ketika melihat para pendu-
duk desa yang berlari lurus, gadis itu mulai menduga bahwa Bayu bermaksud
mengepung pencu-
lik bayi yang tengah mereka kejar dengan mendahului penduduk desa itu.
Bayu telah jauh memacu kudanya, namun je-
jak penculik bayi yang dikejarnya tidak kunjung terlihat Pemuda itu jadi bingung
sendiri sambil menghentikan lari kudanya dan memasang kup-ing dengan tajam agar
mampu mendengar lebih
jelas. "Kakang...!"
"Hm...," Bayu menggumam pelan ketika Sekar
Mayang telah tiba di tempat itu.
"Apakah penculik bayi itu telah kau temukan?"
Bayu menggeleng lemah sambil melompat ke
punggung kudanya.
"Aneh...!" desisnya pelan.
"Kenapa?" tanya Sekar Mayang bingung.
"Kalau benar dia penculik bayi itu maka akan
celaka orang-orang...."
"Kenapa?"
Ilmu larinya cepat sekali. Padahal dia baru saja
menculik bayi itu tapi aku tak mampu mengejar-
nya. Tapi kau lihat sendiri, kita telah berlari cepat dan berada jauh dari desa
itu namun jejaknya
pun tidak kutemui!" sahut Bayu sambil mengge-
leng-gelengkan kepala.
"Kakang, jangan cepat menduga begitu. Siapa
tahu bayi yang telah diculik itu dilarikan saat ibunya tengah tidak sadarkan
diri lalu penculik itu leluasa mengambilnya...."
"Maksudmu bayi itu telah lama dilarikannya?"
Sekar Mayang mengangguk.
"Lalu kenapa laki-laki tadi menunjukkan ke sa-
tu arah. Seolah-olah dia yakin betul bahwa si
penculik itu baru saja menculik seorang bayi?"
"Siapa tahu malah dia penculiknya. Setelah
menculik bayi, lalu dia menyembunyikannya di
suatu tempat kemudian sambil berteriak-teriak
menunjuk ke satu arah agar orang banyak ke si-
ni, lalu dengan leluasa dia melarikan diri," jelas Sekar Mayang.
"Keparat! Kita telah ditipunya mentah-mentah
kalau begitu. Eh, tunggu dulu!"
"Ada apa?" tanya Sekar Mayang.
"Sekilas rasa-rasanya aku pernah melihat laki-
laki yang menuju ke arah sini!" desis Bayu sambil mengingat-ingat. Namun setelah
sekian lama tidak juga kunjung diingatnya.
"Sebaiknya kita ke desa tadi untuk membukti-
kan apakah dugaanku tadi benar atau salah...,"
ajak Sekar Mayang setelah yakin bahwa Bayu ti-
dak mampu mengingatnya.
"Ya, kalau benar. Dengan begitu kita akan se-
makin tahu apakah dugaanmu benar atau salah,"
sahut Bayu sambil menghela kudanya perlahan-
lahan. Bayu memandangi gadis itu beberapa kali keti-
ka mereka berkuda, kemudian tersenyum kecil
ketika gadis itu pun menoleh padanya. Sekar
Mayang jadi ikut-ikutan tersenyum.
"Kenapa kau tersenyum, Kakang...?"
"Tidak aku hanya mengagumimu. Kau tidak
saja cantik dan polos, tapi juga pintar. Mudah-mudahan kau mampu menjadi kepala
suku yang adil serta bijaksana seperti yang diharapkan
ayahmu," sahut Bayu memuji.
"Terima kasih, Kakang...," sahut Sekar Mayang
tersenyum malu-malu.
"Ada satu hal yang aku inginkan...."
"Apa itu?"
"Maukah kau mengabulkannya"
"Kalau kuanggap baik, kenapa tidak?"
"Tapi sebelumnya aku ingin bertanya dan kau
harus menjawabnya, yaitu apakah perbedaan an-
tara kita dengan hewan...?"
"Tentu saja banyak, Kakang!" sahut Sekar
Mayang cepat "Salah satunya?"
"Binatang itu tidak sedap dipandang, bodoh,
bebal, dan banyak yang lainnya.
"Binatang juga tidak mempunyai sopan-
santun, budaya, adab, serta rasa malu. Hal itu di-tunjukkan dengan aurat mereka
yang terbuka, kawin sembarangan pada betina atau jantan ma-
na pun yang mereka sukai, dan sama sekali tidak merasa malu ditonton orang
banyak. Nah, kita
bukannya binatang. Kita manusia, punya perada-
ban, punya akal, dan punya budaya. Kita harus
menjaganya dengan baik. Lalu salah satu yang
terlihat jelas membedakan kita dengan binatang adalah, dengan menutupi tubuh
kita," jelas Bayu.
"Apakah Kakang memintaku untuk terus men-
genakan pakaian?" tanya Sekar Mayang mendu-
ga- "Syukurlah kau sudah pintar menebak. Tapi
permintaanku lebih dari itu, yaitu suruhlah ra-kyat sukumu mengenakan pakaian
agar kita ber- beda dengan binatang. Bisakah kau penuhi?"
"Tentu saja, Kakang! Bahkan aku telah berpikir begitu sebelum kau minta!" sahut
Sekar Mayang cepat Bayu tersenyum kecil. Gadis itu pun terse-
nyum. Keduanya memacu kuda mereka perlahan-
lahan! *** 6 Apa yang diduga Sekar Mayang memang benar.
Mereka bertanya-tanya tentang laki-laki yang tadi berteriak sambil menunjuk ke
satu arah itu. Tidak seorang pun dari penduduk desa itu yang
mengetahuinya. Dan mengetahui kenyataan itu
semakin membuat Bayu geram saja. Dia merasa
dibodohi padahal si penculik berada di depan matanya sendiri saat itu. Sepanjang
perjalanan tidak henti-hentinya pemuda itu menggeram dengan
wajah kesal. Tapi Sekar Mayang selalu menghi-
burnya. Dan keadaan itu seperti berbalik pada
mereka. Seharusnya Bayu yang memberi pelaja-
ran bagaimana seharusnya bersikap dengan baik
pada gadis itu, tapi kini dengan arifnya, malah Sekar Mayang yang
menyadarkannya. Menyadari
hal itu Bayu jadi tersenyum-senyum sendiri dan mengakui bahwa naluri kewanitaan
ternyata masih melekat erat di sanubari gadis itu.
Namun ketika mereka kembali melewati bebe-
rapa buah desa, penculik-penculik semakin san-
ter saja menjadi momok yang menakutkan. Dan
yang membuat pemuda itu menjadi geram, kare-
na si penculik sangat lihai dan sulit ditangkap.
Beberapa orang pemuda-pemuda desa yang gagah
berani telah mencoba mengadakan ronda siang
maupun malam untuk menangkap penculik bayi
itu, namun penculikan bayi tetap saja terjadi.
Tentu saja hal ini membuat mereka geram dan
dendam bukan main.
"Kurang ajar...! Penculik bayi itu lihai sekali sehingga sampai saat ini kita
belum juga mampu menangkapnya!" desis Bayu geram ketika mereka
tiba di sebuah desa dan tempat itu hangat oleh cerita-cerita mengenai si
penculik bayi. "Kakang, bagaimana kalau si penculik itu kita
pancing?" tanya Sekar Mayang mengusulkan.
"Pancingan bagaimana" Kok malah cengar-
cengir?" "Kakang kelihatannya gelisah dan kesal. Ba-
gaimana kalau tenangkan hati baru kemudian
kukatakan rencanaku...."
Mendengar nasihat gadis itu Bayu malah ikut-
ikutan tersenyum. Dia menghela napas pendek,
kemudian berkata dengan suara datar.
"Nah, aku kini lebih tenang. Coba ceritakan
rencanamu..."
"Kita bersembunyi di rumah salah seorang ke-
luarga yang mempunyai bayi atau hendak yang
melahirkan. Ketika si penculik itu muncul, lalu kita sergap. Kita sudah punya
gambaran bahwa penculik itu laki-laki dan masih berusia muda..."
"Tapi bagaimana caranya mendekati keluarga
itu" Salah-salah malah kita yang dituduh akan
menculik!"
Sekar Mayang tersenyum.
"Kakang, bukankah nama Pendekar Pulau Ne-
raka disegani dan dihormati banyak orang" Tidak ada salahnya sedikit
membanggakan diri untuk
rencana yang akan dijalankan. Kita datangi kepa-la desa dan ceritakan
rencananya. Siapa tahu kepala desa bisa membantu untuk menjelaskan pa-
da keluarga tersebut akan niat baik kita," sahut Sekar Mayang menjelaskan.
Bayu memandang gadis itu sambil mengang-
guk pelan. "Hm, baik juga rencanamu. Kau betul-betul
cerdas dan berbakat jadi kepala suku yang baik,
Sekar!" puji Bayu.
"Sudahlah, simpan dulu pujian itu. Lebih baik
kita bekerja, maka hasilnya akan lebih baik lagi.
Ayo, kita temui dulu kepala desa ini!"
"Baiklah. Ayo...!" sahut Bayu sambil mengajak
gadis itu menemui kepala desa yang berada di wilayah ini.
Laki-laki muda itu tampak gelisah sambil ber-
jalan mondar-mandir di depan rumahnya. Sese-
kali dia duduk di bale-bale, namun tidak berapa lama telah berdiri kembali.
Beberapa kali dia melirik ke dalam seolah meyakinkan bahwa sega-
lanya akan berjalan dengan lancar.
Seorang pemuda berusia sekitar tujuh belas
tahun tampak berada di depan sebuah kamar
sambil mempersiapkan segala sesuatunya seba-
gaimana layaknya menolong seseorang melahir-
kan. "Kang Dadang, tenang saja. Lebih baik me-
nunggu di sini...," kata pemuda itu sambil me-
manggil laki-laki yang berada di luar.
Dadang memang gelisah. Hari ini dia akan
menjadi seorang ayah. Dan menunggu kelahiran
anak pertama memang amat menggelisahkan.
Terlebih lagi setelah mendengar penculikan bayi yang demikian santer belakangan
ini diberbagai desa.
Meskipun kepala desa telah menghubunginya
dan mengatakan bahwa rumahnya akan aman di-
jaga oleh dua pendekar hebat, namun hatinya
masih belum tenang.
Kini dia memandang pemuda itu dengan sikap
curiga. Sejak tadi dia memang tidak pernah mengalihkan perhatian sedikit pun
terhadap pemuda itu.
Nyai Lasinah yang membantu kelahiran anak
pertamanya hari ini membawa pemuda bernama
Damuri. Perempuan tua yang selama ini dikenal
sebagai dukun beranak dari desa sebelah menga-
takan bahwa pemuda itu adalah cucunya yang
baru tiba dari desa lain. Padahal selama ini Dadang belum pernah melihatnya.
Nyai Lasinah hanya mengatakan Damuri diperlukan untuk
membantunya. Sehingga ketika pemuda itu me-
nyuruhnya masuk, dengan cepat Dadang ke da-
lam tanpa berkata apa-apa.
"Sebentar lagi, Kang...," kata-kata Damuri yang bermaksud menghibur Dadang
berhenti ketika
dari dalam terdengar jeritan seorang bayi yang menangis kencang atas
kehadirannya di bumi ini.
"Anakku! Oh, anakku...!" sentak Dadang sam-
bil melompat girang ke dalam kamar.
Mendadak pada saat itu terdengar teriakan
nyaring dari arah luar.
"Tolooong...! Anakku diculik, tolooong...!"
*** Bayu dan Sekar Mayang yang berada tidak be-
gitu jauh dari rumah Dadang tersentak kaget.
"Mayang, kau tetap di sini dan aku akan meli-
hat apa yang terjadi di sana!" kata Bayu sambil melesat pergi dari tempat itu.
"Baik, Kakang...!" sahut gadis itu cepat
Setelah pemuda itu melesat pergi dari tempat
itu, Sekar Mayang langsung ke dalam untuk me-
meriksa keadaan bayi Dadang.
"Apa yang telah terjadi Nisanak...?" tanya Da-
dang ketika melihat gadis itu di ambang pintu.
Sekar Mayang menghela napas lega. Dia meli-
hat bayi Dadang sehat Istrinya pun memandang-
nya sambil tersenyum. Begitu juga dengan Nyai
Lasinah. "Entahlah. Bayu sedang memeriksanya...," sa-
hutnya datar. "Jangan-jangan bayinya Nyi Murtinah...," kata
Dadang sambil tertegun.
"Nyi Murtinah" Siapa dia?" tanya Sekar
Mayang. "Apakah kepala desa tidak memberitahukan
kalian berdua?" sahut Dadang balik bertanya.
Sekar Mayang menggeleng meskipun dia tidak


Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu yakin. "Bayi Nyi Murtinah baru berusia tiga bulan.
Kasihan kalau dia menjadi korban...," desah Dadang.
"Aku ingin membantu tapi Kakang Bayu..., dia
mengatakan bahwa aku harus menjaga kalian di
sini. Siapa tahu si penculik itu malah ke tempat ini," sahut Sekar Mayang.
Mereka menunggu beberapa saat lamanya di
tempat itu hingga Bayu kembali dengan wajah le-
su. "Bagaimana, Kakang...?" tanya Sekar Mayang cepat sambil memburu pemuda itu
di depan pintu. "Penculik itu kabur...," sahut Bayu lesu.
"Bayi siapa yang diculiknya?"
"Seorang wanita bernama..., Nyi Murtinah."
"Astaga! Kasihan wanita itu...!" desis Dadang
serta mereka yang berada di tempat itu.
"Si penculik membayar dua orang untuk men-
gecohku...," lanjut Bayu geram.
"Mengecoh bagaimana?" tanya Sekar Mayang.
"Ketika wanita muda berteriak-teriak, kulihat
dua orang berlari dengan arah yang berbeda. Sebagian penduduk mengejar seorang
dan seorang lagi kukejar. Mereka ternyata hanya membawa
sebatang kayu yang diselimuti kain, sedangkan
penculik yang sebenarnya berhasil kabur tanpa
diketahui ke mana larinya. Aku telah mencari-cari ke sekeliling desa ini namun
tidak menemui jejaknya," jelas pemuda itu.
"Keparat!" desis Dadang geram terhadap kedua
kaki tangan si penculik.
"Lalu ke mana kedua orang itu sekarang?"
tanya Sekar Mayang.
"Yang seorang terluka parah dan dalam kea-
daan tidak sadarkan diri dihajar oleh penduduk desa, sedangkan yang seorang lagi
kuserahkan kepada kepala desa untuk diadili.
Aku telah memaksanya untuk mengatakan di
mana si penculik itu berada, namun mereka sama
sekali tidak mengetahuinya. Kedua orang itu adalah pengemis, dan mereka sama
sekali belum pernah bertemu dengan orang yang menyuruhnya
itu sebelumnya. Walaupun aku telah memaksa,
hasilnya tetap saja nihil. Mereka benar-benar tidak mengetahui di mana penculik
itu berada,"
sahut Bayu kembali dengan wajah lesu bercam-
pur geram. "Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang...?"
tanya Sekar Mayang.
Bayu menghela napas sambil melangkah pelan
ke beranda depan diikuti oleh Sekar Mayang.
"Apa yang diinginkan si penculik itu sebenar-
nya" Apakah sekadar membuat kekacauan atau-
kah tumbal untuk mendapatkan ilmu hitam...,
he"!"
"Kau menemukan sesuatu, Kakang?" tanya Se-
kar Mayang ketika melihat perubahan wajah pe-
muda itu. Bayu memandangnya dengan seksama.
"Sudah berapa banyak bayi yang berhasil dicu-
liknya...?"
"Yang kita ketahui saja lebih dari sepuluh
orang...," sahut Sekar Mayang dengan wajah se-
dih. "Ya, kita tak mengetahui yang lainnya...," timpal Bayu kembali lesu.
"Kau menduga tentang apa, Kakang...?"
"Kurasa ini ada kaitannya dengan tumbal un-
tuk mendapatkan ilmu hitam...!" desis pemuda
itu lirih. "Ilmu hitam" Ilmu apa itu?"
"Ilmu yang diperoleh dengan jalan tidak baik
dan menyusahkan orang lain untuk menda-
patkannya. Seperti si penculik bayi itu...."
"Apakah Kakang yakin bahwa si penculik itu
sedang menjalankan syarat untuk mendapatkan
ilmu hitam?"
"Entahlah, mungkin benar, tapi mungkin juga
salah...."
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang,
Kakang...?"
Bayu tidak langsung menjawab melainkan me-
lirik orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka menatap dirinya sejak dari
tadi dengan wajah penuh harap. Pemuda itu kembali memaling-
kan wajah ke arah Sekar Mayang.
"Tidak keberatankah kau kalau kita menunggu
mereka barang sehari atau dua hari...?"
"Kenapa aku mesti keberatan?"
Bayu tersenyum tipis.
"Kalau begitu syukurlah...."
*** Sesosok tubuh itu terus berlari dengan ken-
cang menembus kegelapan malam dan menerobos
semak belukar di pinggiran hutan yang tidak terlalu lebat. Dari mulutnya tidak
henti-henti terdengar tawanya yang menyeramkan.
"Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka, kembali
kau terkecoh! Ha ha ha...! Setelah urusan ini selesai maka kau akan menjadi
tumbal yang terak-
hir! Ha ha ha...!"
Sesosok tubuh itu berusia sekitar dua puluh
lima tahun. Wajahnya tak buruk namun berkesan
sadis dan menunjukkan sinar mata yang menye-
ramkan seperti menyiratkan dendam kesumat
yang mendalam di hatinya. Kedua tangannya
membopong seorang bayi yang sejak tadi terus
menangis. Laki-laki muda itu terus berian menjauh ke
kaki sebuah gunung yang menjulang tinggi. Tan-
pa mempedulikan keadaan di sekelilingnya dia terus mendaki lereng gunung itu
hingga ke pun- caknya. Langit terlihat gelap karena sejak sore ta-di mendung terus menebal.
Beberapa kali terlihat kilat membelah angkasa ditingkahi geledek yang keras.
Pemuda itu tiba di mulut sebuah gua ketika rintik hujan mulai turun.
"He he he...! Eyang Denowo, hari ini kau akan
bangkit dari tidur panjangmu! Kau akan menurut pada perintahku, dan kita akan
mengejutkan jagat ini...!" teriaknya sambil tertawa girang.
Ruangan di dalam gua itu terlihat suram. Satu-
satunya penerangan hanya sebuah obor yang ter-
gantung di salah satu dinding ruangan. Di ten-
gah-tengah ruangan gua itu terdapat sebuah altar batu berbentuk segi empat
dengan tinggi sekitar lima jengkal dari permukaan tanah. Di atasnya
terlihat sesosok tubuh tergeletak diam tak bergerak.
"He he he...! Sabarlah sebentar lagi, Eyang.
Kau akan bangkit dan kita akan mengejutkan ja-
gat ini!" lanjut pemuda itu sambil terkekeh-kekeh.
Dia memperhatikan dengan seksama tubuh
yang tergeletak di altar itu. Pakaiannya compang-camping dan kulitnya hitam
serta kotor. Rambutnya panjang dan hitam lebat tidak terurus. Tu-
buhnya kurus dengan tulang rusuk yang berton-
jolan. Kuku-kuku kaki dan tangannya panjang
dan runcing. Pemuda itu menyalakan pedupaan sehingga
asapnya mengepul memenuhi ruangan gua. Dia
sendiri duduk bersila dengan bayi yang berada di depannya. Mulut pemuda itu
komat-kamit membaca mantra. Perlahan-lahan dia mengeluarkan
sebilah pisau tajam dari balik pinggangnya dan diletakkan di dekat si bayi.
"Eyang Denowo, hari ini kau akan bangkit! Hari ini kau akan bangkit untuk
mematuhi segala perintahku...!" kata pemuda itu dengan suara berat dan
mengandung daya sihir yang kuat.
Bersamaan dengan suara geledek menggelegar
dan cahaya kilat yang menerangi ruangan gua itu untuk sesaat, pemuda itu berdiri
tegak sambil mengangkat tubuh si bayi dengan tangan kiri.
Sementara tangan kanannya menggenggam pisau.
Si bayi yang sejak tadi kedinginan masih terus menangis ketika tubuhnya diangkat
di atas tubuh seorang yang tergeletak di altar itu. Lalu sambil komat-kamit
membaca mantra, si pemuda itu
mengangkat pisau di tangan kanannya tinggi-
tinggi, dan....
Blesss...! Tubuh bayi itu ditikamnya! Si bayi menjerit keras, namun dengan sadis si pemuda
mencabik- cabik tubuhnya hingga darahnya bertetesan ke
bawah. Setelah darah si bayi tumpah memenuhi tubuh
di bawahnya, si pemuda mencampakkannya begi-
tu saja membentur dinding gua itu. Dia melumuri darah di tubuh mayat yang
tergeletak di altar
sampai rata sambil membaca mantra.
"Eyang Denowo, hari ini darah bayi yang telah
genap membasuh tubuhmu dua puluh orang. Se-
perti usiamu yang telah dua ratus tahun, maka
kau akan bangkit! Demi roh-roh liar yang bersemayam dalam jagat ini, maka
bangkitlah kau!
Tunduklah pada segala perintahku! Aku adalah
penguasamu, aku adalah jiwamu, dan kau adalah
pembantuku! Bangkitlah Eyang Denowo, bangkit-
lah...!" Kilat kembali membelah angkasa diiringi gele-
dek menggelegar. Hujan mengguyur bumi dengan
derasnya. Si pemuda memperhatikan dengan sek-
sama. Wajahnya terlihat cerah dan sepasang ma-
tanya melotot gembira ketika melihat jari-jari tangan dan kaki mayat yang
dipanggilnya Eyang De-
nowo itu bergerak-gerak.
"Ayo, bangkit! Bangkitlah cepat..!" teriaknya
dengan girang. Perlahan-lahan Eyang Denowo bangkit dan du-
duk di atas altar itu. Kelopak matanya yang tadi
terkatup, perlahan-lahan terbuka dan memancar-
kan sinar kesadisan yang membuat takut siapa
saja yang memandangnya. Pemuda itu terkejut
untuk beberapa saat lamanya. Namun dengan
mantap dia membalas tatapan mata itu sambil
berkata dengan suara berat.
"Eyang Denowo, hari ini kau telah bangkit dan
aku yang membangkitkan mu! Aku Pergiwa yang
telah membangkitkan mu! Untuk itu kau harus
patuh terhadap perintahku...!" kata si pemuda
yang menyebut namanya Pergiwa.
Eyang Denowo berdiri tegak dengan mulut ter-
katup. Bola matanya masih memandang tajam ke
arah pemuda itu. Kemudian terdengar suaranya
yang berat dan parau.
"Par... giwa, a... ku patuh pa... damu...!"
"Bagus! Bagus...! Menurut catatan di peta yang ada padaku maka dahulu kala kau
adalah seorang tokoh sakti yang tidak terkalahkan. Ilmu ke-saktianmu hebat tiada
tara. Maka dengan kesak-
tianmu itu kau harus membantuku!" sahut pe-
muda itu tegas.
"Apa yang bisa kubantu untukmu...?" sahut
Eyang Denowo dengan suaranya yang serak dan
berat. "Aku mempunyai dendam yang dalam terhadap
seorang yang bernama Pendekar Pulau Neraka.
Kau harus membunuhnya untukku! Dia harus
mampus! Kau ingat itu..."!"
"Pendekar Pulau Neraka akan mampus...!"
ulang Eyang Denowo.
"Bagus! Bagus...! Ha ha ha...! Kakang Soman-
tri, Kakang Bagira, serta adikku Palguna..., hari ini akan kita balas dendam
kita terhadap si keparat itu! Salah kalian sendiri, kenapa dulu tidak percaya
pada kata-kataku! Aku telah membuktikan bahwa isi peta itu benar! Aku telah
membuktikannya...! Ha ha ha...! Tapi jangan khawatir, aku akan bereskan
segalanya...!" teriak Pergiwa dengan suara menggelegar nyaring seakan hendak
meruntuhkan dinding-dinding gua itu.
Beberapa saat kemudian kedua orang itu ber-
lari-lari kencang menuruni bukit Beberapa kali Pergiwa tampak tertinggal.
Kecepatan bergerak
Eyang Denowo sungguh luar biasa.
Namun laki-laki tua yang kelihatan masih be-
rusia sekitar empat puluh tahun itu menung-
gunya dengan sabar, lalu dengan cepat disam-
barnya tubuh Pergiwa dan dibawanya menuruni
lereng gunung dengan berlari kencang!
*** 7 Di ujung Desa Pasirjaya, hujan masih turun
dengan deras. Tidak seorang pun penduduk yang
mau keluar dalam cuaca seperti ini. Semuanya
tenggelam dalam lelap dan mimpi indah sambil
menyelimuti diri dari hawa dingin yang turun seperti menggigit sumsum tulang.
Kesunyian dan ketenangan desa seperti tersen-
tak ketika dari kejauhan terdengar teriakan-
teriakan panjang dengan nada ketakutan. Mula-
mula terdengar sayup-sayup, namun lama-
kelamaan semakin semarak karena setiap rumah
mulai ambruk satu persatu.
"Tolooong...! Tolooong...!"
"Ada apa?" tanya beberapa orang dengan wajah
kaget. "Ada orang gila mengamuk. Tolooong, dia
membunuh banyak orang dengan kejam!"
"Kurang ajar...!" geram beberapa pemuda desa
sambil mencabut senjata tajam mendatangi orang gila yang dikatakan itu.
Apa yang dikatakan orang-orang sedang berla-
rian menyelamatkan diri itu memang benar. Dua
orang asing yang sama sekali bukan penduduk
desa itu mengamuk sejadi-jadinya. Mereka meng-
hancurkan beberapa rumah yang menghalangi ja-
lannya. Beberapa orang penduduk yang dekat
dengan mereka binasa terkena hantaman puku-
lan-pukulannya. Tentu saja hal itu semakin
membuat geram pemuda-pemuda desa itu. Den-
gan serentak mereka mengepung kedua orang gila itu.


Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei, Iblis Laknat! Menyerahlah kau untuk me-
nerima hukuman!" bentak salah seorang dari pe-
muda-pemuda itu garang sambil menghunuskan
goloknya yang tajam.
"Ha ha ha...! Kecoa-kecoa busuk. He, ke sinilah kalian kalau mau mampus di
tangan Pergiwa.
Ayo, ke sini!" bentak salah seorang dari kedua
orang gila yang berusia muda itu sambil balas
mengacungkan golok.
"Keparat!" maki seseorang. Bersama dua orang
kawannya dia langsung melompat menyerang ke-
dua lawannya itu.
"Hup...!"
"Uts...!"
Crasss! Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Terdengar pekikan ketiga pemuda desa itu ke-
tika tubuh mereka terpental sambil bermandikan darah. Golok di tangan Pergiwa
menyambar leher salah seorang di antara mereka setelah dia berhasil mengelakkan
sambaran senjata lawan. Semen-
tara seorang lagi yang tidak lain dari Eyang Denowo, langsung menyambar kedua
lawannya den- gan mengibaskan kuku-kuku tangannya yang
runcing. Kedua pemuda desa itu sempat terkejut ketika golok mereka sama sekali
tidak mampu melukai kulit tubuh lawannya. Dan keduanya ti-
dak sempat lagi menyelamatkan diri ketika Eyang Denowo menghajar dada mereka
hingga robek lebar.
"Keparat! Dia telah membunuh tiga orang ka-
wan kita. Ayo, kita hajar keduanya beramai-
ramai...!" teriak salah seorang pemuda desa lainnya memberi aba-aba.
Maka dengan amarah yang meluap-luap, lebih
dari lima belas orang pemuda desa itu langsung menyerang kedua lawannya yang
sedang menga- muk dengan garang.
"Hiyaaa...!"
Crakkk! Brettt! "Aaa...!"
Dengan geram Pergiwa memapaki serangan
mereka sambil bergerak ke sana kemari menghin-
dari tebasan golok lawan-lawannya. Lalu dengan cepat dia menghunuskan golok
menyambar dua orang yang terdekat Kembali terdengar jeritan
panjang ketika kedua orang itu ambruk berman-
dikan darah saat ujung golok lawan menebas leh-er mereka. Sementara apa yang
dilakukan Eyang
Denowo lebih dahsyat lagi. Tubuhnya yang tidak mempan senjata tajam, membuatnya
leluasa membantai lawan-lawannya. Sekali saja dia ber-
gerak, maka dua jiwa melayang. Sedangkan orang itu mampu bergerak secepat kilat.
Sehingga tidak mengherankan bila dalam waktu singkat saja
korban banyak berjatuhan.
"Lariii...! Kita tidak mampu menghadapi mere-
ka. Kedua orang itu bukan manusia melainkan
iblis!" teriak salah seorang memberi komando.
Dua orang pemuda desa yang tersisa langsung
mengambil jurus seribu dan lari secepatnya me-
ninggalkan tempat itu. Namun kedua orang la-
wannya tidak membiarkannya begitu saja. Terle-
bih-lebih Eyang Denowo. Tubuhnya langsung me-
lesat dengan ringan mengejar keduanya.
Brettt..! "Aaakh...!"
Kedua orang itu menjerit setinggi langit ketika punggung mereka robek dicakar
Eyang Denowo dari belakang. Keduanya tersungkur ke depan
sambil bermandikan darah. Nyawa mereka me-
layang beberapa saat kemudian.
"Lari...! Selamatkan diri kalian...!" teriak yang lainnya memberi peringatan.
Maka penduduk desa Pasirjaya yang tadi te-
nang, kini sibuk menyelamatkan diri sambil
membawa apa saja yang mereka sambar. Namun
kedua orang itu agaknya tidak membiarkan me-
reka pergi begitu saja. Sebagian penduduk desa itu mereka hadang dan dibantai
dengan kejam, sementara sebagian lagi berhasil menyelamatkan diri.
"Ha ha ha...! Ayo, larilah kalian! Larilah sejauh-jauhnya dan katakan bahwa
Pergiwa akan meng-
getarkan jagat ini...! Ha ha ha...!" teriak pemuda bertubuh sedang itu sambil
berteriak dengan suara menggelegar diiringi hujan dan geledek yang masih terus
turun. *** Desa Watumekar termasuk kawasan yang cu-
kup ramai penduduknya. Selain itu di daerah ini pun terdapat sebuah perguruan
silat yang namanya cukup termashur di rimba persilatan, yai-tu Perguruan Bambu
Kuning yang diketuai oleh
Ki Pergola. Orang tua yang berusia sekitar enam
puluh tahun itu terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat sehingga tidak heran
bila dia dijuluki Pendekar Pedang Maut. Senjatanya yang khas
terbuat dari bahan yang sederhana, gagang pe-
dang dan warangkanya terbuat dari bambu kun-
ing yang amat langka. Selain berusia ratusan tahun karena merupakan warisan
turun-temurun, bambu kuning itu pun tidak pernah pudar war-
nanya dan sedikit pun tidak menunjukkan tanda-
tanda keropos. Pagi yang cerah menyelimuti desa itu ketika
semalam hujan turun dengan lebatnya meng-
guyur bumi. Penduduk desa itu mulai keluar satu persatu untuk mencari nafkah.
Sementara itu dua orang bertampang lusuh memasuki desa itu
dengan langkah perlahan-lahan. Yang seorang
adalah pemuda bertubuh sedang dengan golok
terselip di pinggangnya, sedangkan yang seorang lagi adalah laki-laki kurus
dengan pakaian compang-camping. Sorot mata mereka tajam menu-
suk. Dan tidak sedikit pun senyum tersungging di bibirnya. Beberapa orang yang
berpapasan dengan keduanya langsung menyingkir dengan pera-
saan seram. Salah seorang bocah berusia tujuh tahun ten-
gah berlarian sambil berkejaran dengan dua
orang kawannya. Secara tidak sengaja dia mena-
brak laki-laki bertubuh kurus itu. Laki-laki itu menggeram buas. Anak kecil itu
terhenyak ketakutan dengan wajah ketakutan.
"Ma... maaf, Pak...," katanya dengan suara ge-
metar. "Hhh...!"
Tappp! Sambil menggeram marah, laki-laki itu lang-
sung mencengkeram tengkuk anak kecil itu dan
mengangkatnya tinggi-tinggi. Lalu....
Plas! "Aaa...!"
Tanpa mengenal rasa kasihan tubuh anak itu
dihempaskannya keras menghantam sebuah
dinding rumah yang langsung jebol berantakan.
Anak kecil itu memekik keras, tubuhnya remuk
begitu menyentuh tanah. Nafasnya mengap-
mengap untuk beberapa saat sebelum nyawanya
lepas dari raga.
"Anakku...! Keparat kau...!" seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun
yang tidak lain dari bapak anak itu tersentak kaget.
Dengan cepat dia mengejar anaknya dengan
amarah yang meluap-luap bercampur rasa sedih
yang mendalam. Melihat kelakuan pendatang itu, beberapa
penduduk desa langsung mengepungnya dengan
senjata terhunus dan sikap marah.
"Hei, Iblis Keparat! Perbuatanmu sungguh bi-
adab! Menyerahlah kau untuk menerima huku-
man!" bentak salah seorang dengan garang.
"Hei, kau! Minggirlah kalau tidak ingin mam-
pus!" sahut si pemuda yang berada di samping
laki-laki bertubuh kurus itu dengan sikap tak kalah garangnya.
"Keparat! Kalian rupanya benar-benar iblis
laknat Lebih baik kau mampus dulu!" sahut
orang tadi sambil menghunuskan golok menyam-
bar pemuda itu.
Wuttt! "Uts...!"
Ketika golok itu menyambar ke arah dada,
dengan cepat pemuda itu mengelak ke samping.
Lalu dengan cepat dia mencabut golok dan me-
nyambar leher lawannya.
Crasss! "Aaa...!"
Orang itu menjerit keras. Tubuhnya langsung
ambruk bermandikan darah dengan leher nyaris
putus. Hal ini membuat yang lainnya menjadi kalap dan menyerang keduanya dengan
garang dan amarah yang meluap-luap.
Namun melihat penduduk desa mengeroyok-
nya, kedua orang yang berwajah kumuh dan sa-
dis itu bukannya menjadi takut. Mereka malah
menyambutnya dengan bersemangat sambil ter-
tawa-tawa. "Ha ha ha...! Ayo, maju kalian semua! Maju ka-
lau mau ingin cepat mampus!"
"Yeaaah...!"
Bettt! Crasss! "Aaa...."
Korban kembali berjatuhan dengan sekali ber-
kelebat Gerakan kedua orang itu cukup gesit untuk menghindar dari serangan-
serangan. Lalu dengan tiba-tiba menyerang dengan cara yang tidak terduga. Tubuhnya ringan
sekali melayang,
lalu melesat dengan cepat sambil mengayunkan
cakar mautnya menyambar lawan. Dia seperti ti-
dak peduli dengan senjata-senjata lawannya yang menghantam tubuhnya dengan
telak. Tak satu
pun dari senjata-senjata itu yang mampu melukai kulit tubuhnya.
"Gila! Laki-laki kurus itu memiliki ilmu kebal.
Percuma saja kita membacoknya!" desis salah
seorang penyerangnya dengan wajah kaget Pa-
dahal dia telah membacok punggung laki-laki bertubuh kurus itu dengan
mengerahkan tenaga da-
lamnya. Brettt! "Aaa...!"
Orang itu langsung menjerit kesakitan ketika
dengan tiba-tiba cakar lawan berhasil merobek
perutnya sehingga isinya terurai keluar. Tubuhnya langsung ambruk bermandikan
darah. Bebe- rapa orang kawannya yang hendak membantunya
kembali ambruk dengan dada robek terkena ca-
karan laki-laki kurus itu.
Sepak terjang laki-laki kurus itu sangat dah-
syat Dalam waktu singkat dia telah berhasil me-newaskan sepuluh orang lawannya.
Hal itu mem- buat yang lainnya berpikir dua kali untuk menyerangnya. Bahkan banyak di antara
penduduk de- sa itu yang langsung lari menyelamatkan diri.
Sementara sisanya yang tinggal beberapa orang
itu habis dihajar oleh kedua orang itu tanpa am-
pun. "Ayo, siapa lagi yang mau mampus"! Majulah
ke sini! Hari ini tidak seorang pun yang boleh menghalang-halangiku! Aku Pergiwa
adalah penguasa jagat..!" teriak pemuda yang berada di sebelah laki-laki
bertubuh kurus itu sambil menepuk dada dengan sombong.
Sambil melangkah pelan memasuki desa, me-
reka menghajar siapa saja yang berani mendekat.
Sepak terjang kedua orang itu membuat pendu-
duk desa menjadi gempar dan ketakutan. Mereka
sibuk menyelamatkan diri, sementara yang bera-
da di dalam rumah langsung mengunci pintunya
rapat-rapat "Kisanak, hentikan perbuatan biadabmu...!"
"Huh apakah kalian mau mampus juga" Ayo,
majulah ke sini"!" bentak Pergiwa dengan garang, ketika tujuh orang pemuda
seusianya melompat
ke hadapannya. *** Ketujuh orang pemuda itu masing-masing
menggenggam sebatang pedang bambu kuning.
Mereka adalah murid-murid Perguruan Bambu
Kuning. Mendengar keributan di tengah desa, mereka langsung ke tempat ini dan
menghadang ke- dua orang laki-laki itu. Salah seorang yang bertubuh tegap dan memakai baju
kuning maju tiga
langkah sambil menatap tajam ke arah Pergiwa
dan kawannya. "Kisanak, tindakanmu sungguh biadab dan ti-
dak memiliki belas kasihan. Kalian adalah iblis-iblis yang musti dilenyapkan
dari muka bumi ini!"
geram pemuda berbaju merah.
"Hei, kutu busuk! Tutup mulutmu! Lebih baik
kau menyingkir dari hadapanku, kalau tidak in-
gin mampus!" sahut Pergiwa balas membentak.
"Keparat! Agaknya kalian memang patut diberi
pelajaran. Lihat serangan ini!" bentak pemuda
berbaju merah itu geram sambil melompat meng-
hunus pedangnya.
Sringngng! Trak! Wuttt! Pergiwa langsung menyambutnya dengan gesit.
Ketika senjata mereka beradu, terlihat pemuda
berbaju merah itu mengeluh menahan rasa sakit


Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada telapak tangannya. Hal itu membuktikan
bahwa tenaga dalam lawan lebih tinggi satu tingkat dibandingkan dengannya. Namun
hal itu ti- dak membuatnya patah semangat. Dia kembali
menyerang lawannya dengan dahsyat.
Sementara itu murid-murid Perguruan Bambu
Kuning yang lainnya langsung menyerang kawan
Pergiwa yang tidak lain dari Eyang Denowo. Laki-laki bertubuh kurus itu
menggeram buas dan me-
lompat bagai seekor harimau liar. Dari mulutnya terdengar erangan-erangan
mendirikan bulu
roma. "Hup!"
Trak! Brettt...! Dua orang langsung mencabut pedangnya dan
langsung menghantamkan ke perut dan pinggang
lawannya. Tapi alangkah terkejutnya mereka ke-
tika senjata itu seperti menghantam dinding baja yang tebal. Lalu dengan cepat
Eyang Denowo mengayunkan cakarnya ke tenggorokan mereka.
"Aaa...!"
"Keparat! Mampuslah kau, yeaaah...!" dua
orang kawannya langsung membabatkan pedang-
nya dengan geram dan amarah yang meluap-luap
begitu melihat kawannya tewas dengan cara yang mengerikan. Sementara itu kedua
orang lagi mengepung dari kiri dan kanan.
Eyang Denowo sama sekali tidak bergeming
melihat keadaan itu. Tanpa mempedulikan pe-
dang lawannya yang membabat pinggang dan pe-
rutnya, dia memapaki kedua senjata lawan yang
berada di depannya dengan pergelangan tangan.
Takkk! "Heh"!" seperti kawannya tadi, kedua orang itu tersentak kaget ketika merasakan
pedang mereka seperti menghantam benda yang sangat keras.
Brettt! Brettt!
"Aaa...!"
Pada saat keduanya tertegun, Eyang Denowo
langsung mengibaskan tangan dengan keras. Dua
orang lawan di depannya menjerit tertahan ketika leher mereka robek lebar.
Begitu juga dengan lawan yang berada di sebelah kanannya. Perut me-
reka robek tersambar kuku kaki kanan Eyang
Denowo yang sangat tajam.
"Yeaaah...!"
"Aaa...!"
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, laki-laki
kurus itu langsung melompat menyerang lawan-
nya yang tinggal seorang lagi. Bersamaan dengan itu, Pergiwa pun baru saja
menyelesaikan perta-rungannya. Pedang di tangan lawannya terlepas
saat senjata mereka beradu. Kaki kanannya langsung menyodok ke arah perut Pemuda
berbaju merah itu terpekik ketika tubuhnya terjungkal ke belakang. Dengan buas Pergiwa
melompat mengejar dan menyabetkan goloknya ke arah perut La-
wannya kembali terpekik. Isi perutnya terurai keluar, dan tubuhnya menggelepar-
gelepar sesaat sebelum diam tidak berkutik.
Trak! Brettt! "Aaa...!"
Sementara itu sisa murid Perguruan Bambu
Kuning tidak punya pilihan lain untuk menangkis serangan lawan selain
mengayunkan pedangnya.
Tapi hal itu percuma saja, sebab dengan sekali tepis pedangnya berhasil dibuat
terpental oleh lawan. Kaki kanan laki-laki kurus itu menyodok ke arah dada.
Kuku-kukunya yang panjang dan
runcing langsung menembus ke jantung lawan.
Lalu dengan sadis, ujung kakinya itu mengoyak
dada lawan sehingga isinya terurai berantakan.
"Keparat! Jahanam! Mampuslah kau...!"
Bersamaan dengan itu terdengar bentakan
nyaring yang penuh luapan amarah. Tanpa meno-
leh Eyang Denowo langsung menangkis dengan
tangannya. Tubuhnya mencelat ke atas sambil
berputar. Tangan kanannya menyodok ke dada
lawan yang baru datang itu.
"Hiiih!"
"Uts...!"
Brettt! Orang itu terkejut setengah mati melihat kece-
patan lawan bergerak. Dia bermaksud mengelak
dengan merendahkan tubuhnya, namun tetap sa-
ja kuku tangan lawan berhasil merobek dadanya
sedikit Ketika dia berguling-gulingan menyela-
matkan diri, Eyang Denowo telah berputar di atas tubuhnya bagai seekor elang
mengincar mang-sanya.
"Yeaaah...!"
Orang itu membentak nyaring. Dari telapak
tangannya melesat selarik sinar merah pudar ke arah lawan. Namun dengan gesit
Eyang Denowo berkelit menghindar. Eyang Denowo menggeram
hebat, dan bersamaan dengan itu dari telapak
tangannya melesat sinar lembayung yang berha-
wa panas menerpa tubuh lawannya tanpa bisa di-
elakkan lagi. Blarrr! "Ki Sontang Perwira...!" terdengar seseorang
berteriak dengan wajah terkejut.
*** 8 Seorang laki-laki tua berusia sekitar enam pu-
luh tahun diikuti dengan beberapa orang bersenjata pedang bambu kuning mendapati
sesosok tubuh yang hancur berantakan dihajar pukulan
Eyang Denowo. Orang tua yang memakai baju pu-
tih tampak terhenyak. Seolah dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lama
dia tertegun sebelum akhirnya berdiri tegak memandang tajam ke arah laki-laki kurus itu.
"Siapa kau sebenarnya" Kesaktianmu sungguh
hebat, namun kelakuanmu lebih hebat lagi den-
gan mengacau dan membunuh orang-orang tanpa
sebab?" tanya orang tua itu dengan suara tajam menusuk.
Eyang Denowo diam tak menjawab. Dia me-
mandang orang tua itu dengan tatapan mata ta-
jam. Pergiwa langsung melangkah mendekati se-
hingga jarak mereka hanya lima langkah.
"Aku Pergiwa penguasa jagat ini! Kuperintah-
kan kau tunduk dan mencium kakiku...!" katanya dengan pongah.
"Pemuda keparat! Kau pikir siapa dirimu bera-
ni memerintah Ki Pergola, he"!" sahut orang itu mengeram marah sambil
menyebutkan namanya.
"Siapa yang peduli denganmu, he" Ciumlah
kakiku atau kau bakal mampus!" bentak Pergiwa
hebat. "Setan! Kepandaian kawanmu itu memang he-
bat sehingga dia dengan mudah berhasil membi-
nasakan kawanku. Tapi ingin kulihat, sampai di mana kepandaianmu!" desis Ki
Pergola yang tidak lain adalah Ketua Perguruan Bambu Kuning itu
sambil menyodokkan ujung warangka pedang
bambu kuningnya ke dada lawan.
"Uts...!"
Dengan gesit Pergiwa mengelak ke samping,
namun tiba-tiba ujung sarung pedang lawan telah berada dekat dengan lehernya.
Cepat-cepat dia
menjatuhkan diri, dan terpaksa melompat ke be-
lakang sambil berteriak ketika ujung pedang lawan hampir saja menyodok dadanya.
"Eyang Denowo, bunuh dia...!"
"Yeaaah...!"
Takkk! "Heh..."!"
Saat itu juga Eyang Denowo langsung melom-
pat memapaki serangan lawan. Ki Pergola memu-
tar warangka pedangnya sambil menyambar dada
lawan. Namun dengan gesit Eyang Denowo me-
nangkis dengan tangan kirinya. Ki Pergola tersentak kaget. Padahal dia telah
mengerahkan tenaga dalamnya yang paling tinggi untuk menghantam
lawan, namun tangannya bergetar hebat seperti
menghantam dinding baja yang amat tebal. Belum lagi habis rasa kagetnya,
mendadak ujung kuku kaki lawan yang runcing nyaris merobek perutnya kalau saja
dia tidak cepat melompat ke belakang.
"Hup!"
"Yeaaah...!" Eyang Denowo langsung melompat
mengejar lawan tanpa memberi kesempatan sedi-
kit pun untuk lolos. Cakar tangan kirinya me-
nyambar dada lawan. Ki Pergola memutar tubuh-
nya sambil mengibaskan ujung warangka pe-
dangnya ke batok kepala lawan. Namun bukan-
nya mengelak, Eyang Denowo malah menangkap-
nya. Lalu bersamaan dengan itu kaki kirinya menyambar perut lawan.
"Uts...!"
Sringngng! "Yeaaah...!"
Tubuh Ki Pergola bergerak ke samping dan te-
rus melompat ke belakang sambil menarik pe-
dangnya dari warangka yang masih dalam geng-
gaman lawan. Dengan warangka pedang lawan
yang berada di tangannya, Eyang Denowo lang-
sung melesat cepat menghajar lawan.
Tras! Trak! Brettt! "Aaakh...!"
Dengan cepat Ki Pergola membabat warangka
pedangnya, dan batang pedangnya terus memba-
bat pergelangan tangan lawan. Eyang Denowo ti-
dak berusaha menghindar, dan hal itu tentu saja membuat Ki Pergola terkejut.
Pedang pusakanya sama sekali tidak mampu
melukai lengan lawan. Malah cakar kiri lawan
nyaris mengoyak dadanya kalau saja Ki Pergola
tidak cepat-cepat menjatuhkan diri. Tak urung
dadanya berhasil digores cakar lawan yang sangat tajam.
"Celaka...! Kuku-kukunya mengandung ra-
cun...!" desis Ki Pergola tersentak kaget ketika di sekitar goresan di dadanya
itu terlihat berwarna ungu kehitam-hitaman.
Ki Pergola berusaha menotok jalan darah di se-
kitar goresan luka untuk menghilangkan rasa sakit serta menghambat jalannya
racun ke jantung.
Namun keadaan Ki Pergola demikian kritis, se-
bab pada detik itu juga lawan telah melompat
menyerangnya dengan kecepatan kilat Beberapa
orang muridnya yang cemas melihat keadaan gu-
runya itu, berusaha menolong dengan mengha-
dang serangan lawan. Namun hal itu sepertinya
tidak menghalangi Eyang Denowo untuk mengha-
jar guru mereka, sebab kecepatan bergerak laki-laki kurus itu tidak mampu
diimbangi oleh mu-
rid-murid Perguruan Bambu Kuning.
Sementara itu dengan tabah Ki Pergola berusa-
ha bertahan sambil bersiap memapaki serangan
lawan. Dia mengeluh dalam hati, sebab merasa
yakin bahwa dia tidak akan mampu melawan se-
rangan lawan meskipun dengan senjata pusaka di tangannya. Racun akibat cakaran
lawan sangat dahsyat Walaupun Ki Pergola telah menotok jalan darahnya, agar racun itu tidak
menyebar ke seluruh tubuh, namun tetap saja tangan kanannya
mulai kesemutan dan sukar digerakkan. Semen-
tara jantungnya sendiri mulai terasa sakit seperti dihimpit benda keras.
"Yeaaah...!"
Plakkk! Wuttt! "Heh..."!"
*** Pada saat-saat yang kritis bagi jiwa Ki Pergola, tiba-tiba melesat sesosok tubuh
putih yang langsung menangkis serangan lawan. Tubuh Eyang
Denowo melenting cepat dan langsung menyam-
bar lawan yang baru datang itu dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa.
Namun lawan barunya itu dengan gesit menghindari serangannya, lalu dengan tiba-
tiba telah berada di atas kepala sambil mengayunkan satu tendangan menggele-dek.
Tubuh Eyang Denowo berputar ke samping
menghindari serangan. Tapi tiba-tiba....
Dukkk! Satu hajaran keras membuat tubuh Eyang De-
nowo terjajar beberapa langkah ke belakang. Tidak terdengar keluh kesakitan dari
mulutnya. Dia sudah bersiap untuk menyerang lawan barunya
itu kalau saja Pergiwa tidak melarangnya.
"Eyang Denowo, hentikan dulu seranganmu...!"
Eyang Denowo menggeram keras, namun dia
amat patuh dan tegak berdiri mengawasi lawan-
nya itu. Sementara Pergiwa tertawa girang ketika mengetahui siapa orang yang
baru datang itu.
"Pendekar Pulau Neraka, agaknya kau datang
menjemput mautmu sendiri...!"
Orang yang baru datang itu memang adalah
Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.
Bersamanya juga terlihat seorang gadis cantik berambut panjang dan lebat dengan
pedang panjang yang terselip di pinggangnya. Gadis itu tidak lain dari Sekar
Mayang. "Pergiwa, hm.... Kenapa tidak terpikir olehku
bahwa kerusuhan yang selama ini terjadi adalah ulahmu...," sahut Bayu dingin.
"Ha ha ha...! Dasar pendekar tolol, padahal aku pernah beberapa kali berada di
depan hidungmu dengan melakukan penculikan-penculikan bayi
itu. Tapi dengan mudah aku mengecohmu. Dan
hari ini bukan saja aku akan mengecohmu me-
lainkan akan melenyapkanmu selama-lamanya!"
sahut Pergiwa sambil tertawa penuh kemenangan.
"Hm, jadi kaukah yang menculik bayi-bayi itu"
Kau apakan tubuh-tubuh tak berdosa itu?" tanya Pendekar Pulau Neraka dingin.
"Inilah dia jawabannya!" sahut Pergiwa singkat sambil menunjuk ke arah Eyang
Denowo. Pendekar Pulau Neraka segera mengerti ke
mana arah pembicaraan pemuda itu. Wajahnya


Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlihat geram.
"Pergiwa, kau betul-betul iblis berwujud manu-
sia. Hatimu kejam dan tidak mengenal perikema-
nusiaan. Tega benar kau membunuh bayi-bayi
tak berdosa itu, demi keinginan untuk menuruti dendam kesumat di hatimu!" desis
Pendekar Pulau Neraka.
"Ha ha ha...! Kau boleh berkata apa saja yang
kau suka, tapi sebaiknya kau siapkan saja dirimu sendiri untuk menjemput ajalmu,
karena seben- tar lagi Eyang Denowo akan menghajarmu sampai
mampus! Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka
yang katanya sangat hebat, hari ini akan mampus di tangan Pergiwa!" sahut
Pergiwa dengan suara keras dan tertawa terbahak-bahak.
Bayu mencibir mendengar kata-kata pemuda
itu. Dia kemudian berpaling ke arah Sekar
Mayang. "Sekar, maukah kau membantuku untuk me-
lenyapkan iblis keparat ini"!"
"Tentu saja. Dengan senang hati akan kulaku-
kan, Kakang...!" sahut gadis itu cepat.
"Huh, segala gadis ingusan hendak kau andal-
kan untuk menghadapiku!" dengus Pergiwa sinis.
Bayu cuma tersenyum di hati. Dia tahu betul
kehebatan Pergiwa, dan tidak mungkin dalam
waktu seminggu dia mampu menambah kepan-
daiannya dengan cepat.
Ilmu silat Sekar Mayang memang tidak begitu
hebat, tapi bukan berarti berada di bawah kepandaian Pergiwa. Lagi pula gadis
itu sangat cerdik dan memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat hebat Meski
Pendekar Pulau Neraka bisa me-
rasakan bahwa tenaga dalam Pergiwa berada di
atas gadis itu. Paling tidak kalau mereka bertarung, Sekar Mayang mampu bertahan
puluhan jurus. Dan kalau gadis itu cerdik dengan mencari peluang kelemahan lawan lalu
bergerak cepat,
bukan tidak mungkin Pergiwa dapat dikalahkan-
nya. Sementara itu mendengar kata-kata yang di-
ucapkan Pendekar Pulau Neraka, Pergiwa menjadi cemas sendiri dan langsung
memerintahkan Eyang Denowo untuk menyerang musuh besar-
nya itu. "Eyang Denowo, inilah dia orangnya yang ber-
nama Pendekar Pulau Neraka. Dialah musuh be-
sar kita yang harus dilenyapkan segera. Kau harus bertarung habis-habisan
dengannya! Kau ha-
rus membuatnya mampus...!" teriak Pergiwa be-
rulang-ulang dengan suara seperti mengandung
daya sihir. Selesai dengan kata-katanya itu, Eyang Deno-
wo menggeram buas dan langsung melompat me-
nyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!"
Bersamaan dengan itu Sekar Mayang pun me-
lompat menyerang Pergiwa.
"Uts...!"
Pendekar Pulau Neraka sedikit terkejut melihat lawannya mampu bergerak secepat
kilat menyerangnya. Hampir saja kuku tangan kiri lawan
berhasil merobek tenggorokannya kalau saja dia tidak menundukkan kepalanya ke
belakang lalu tubuhnya melenting sambil mengayunkan kedua
kakinya menendang perut lawan yang tengah
mengapung di atasnya.
Dukkk! Tubuh Eyang Denowo terlempar ke atas, na-
mun dalam keadaan berputar, lalu melesat turun dengan deras menyambar tubuh
Pendekar Pulau Neraka. Bayu mendecak kagum sambil mengge-
lengkan kepala melihat kekebalan tubuh lawan-
nya. Padahal tendangannya tadi sangat kuat dan mampu menghancurkan batu karang.
Namun Eyang Denowo sepertinya tidak merasakan sakit
sama sekali. Bettt! "Uhhh...!"
Pendekar Pulau Neraka mengeluh pelan ketika
cakar tangan kiri lawan nyaris merobek mukanya.
Namun dengan begitu dia bisa merasakan hawa
racun yang kuat yang ada di kuku-kuku lawan-
nya dan hal itu membuat dirinya harus lebih hati-hati lagi agar cakar lawan
jangan sampai meng-
gores di tubuhnya.
Wukkk! Desss! "Aaakh...!"
Ketika tubuhnya bergerak ke samping untuk
menghindari cakaran tangan kiri lawan, saat itu juga tubuh Eyang Denowo
berputar. Ujung kaki
kanannya yang memiliki kuku-kuku runcing
mengibas dua kali dalam gerak meluruk ke atas
ke bawah. Pendekar Pulau Neraka terpaksa me-
lompat ke belakang. Namun pada saat itu dengan tiba-tiba, tumit lawan dengan
telak menghajar
dadanya. Pendekar Pulau Neraka mengeluh kesa-
kitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah karena dadanya seperti dihantam
godam yang san-
gat berat. Namun masih untung dia mampu ber-
diri tegak di atas kedua kakinya meski dengan
kuda-kuda yang limbung. Dari sudut bibirnya
menetes darah segar. Tapi saat itu juga tubuh
Eyang Denowo telah melesat cepat menyerang ke
arahnya. Lawan seperti tidak ingin memberi ke-
sempatan sedikit pun padanya untuk bernapas.
Singngng! Srettt! "Aaakh...!"
*** Merasa bahwa dengan tangan kosong dia bisa
celaka walaupun mampu menghindari serangan-
serangan lawan, maka pemuda itu langsung men-
gebutkan tangan kanannya dengan kuat. Eyang
Denowo tersentak kaget. Wajahnya tampak pucat
begitu melihat benda berwarna keperakan melesat cepat ke arahnya. Tapi orang itu
sepertinya tidak mau menarik serangannya, seolah-olah dia ingin menguji sampai
di mana kekebalan tubuhnya
terhadap senjata tajam. Dan ketika Cakra Maut
itu menyambar dadanya, kedua orang itu sama-
sama terkejut! Eyang Denowo terpekik kesakitan sambil menggelepar-gelepar.
Tubuhnya untuk sesaat limbung. Namun kemudian orang itu bangkit sambil meraung-
raung dengan kemarahan yang
memuncak. Dadanya tampak robek dan mengelu-
arkan darah segar terkena sambaran Cakra Maut.
Baru kali ini ada senjata tajam yang mampu me-
robek kulit tubuhnya.
Pendekar Pulau Neraka tampak juga terkejut,
karena melihat Cakra Mautnya tidak berhasil
membinasakan Eyang Denowo. Biasanya Cakra
Mautnya itu sangat ampuh, dan mampu menem-
bus tubuh lawan. Tapi tidak halnya dengan Eyang Denowo, Cakra Maut itu hanya
mampu merobek kulit luarnya saja tanpa mampu menembus tu-
buhnya. Eyang Denowo bersiap-siap menyerang Pende-
kar Pulau Neraka. Kuku-kuku tangannya yang
panjang dan runcing menyambar-nyambar ke se-
gala arah. Dari kuku yang panjang dan tajam itu mengepul uap putih yang sangat
menyesakkan dadanya. Dengan melentingkan tubuhnya, Pen-
dekar Pulau Neraka berhasil menghindari seran-
gan-serangan itu. Eyang Denowo sangat murka
melihat serangan-serangannya berhasil dihindari lawan dengan mudah.
Dalam kemarahannya yang meluap-luap itu,
Eyang Denowo kembali mengerahkan segenap ke-
kuatan dalam dirinya untuk membinasakan la-
wan. Telapak tangannya disorongkan ke muka
dan dari telapak tangannya itu melesat selarik sinar lembayung menghajar
Pendekar Pulau Nera-
ka. Bayu berusaha menghindari serangan itu tapi terlambat. Dadanya dengan telak
terkena pukulan jarak jauh lawan. Tubuh Pendekar Pulau Neraka
terjajar dua langkah dan dari bibirnya menetes darah segar.
Melihat lawan terluka Eyang Denowo mening-
katkan serangannya. Kuku-kuku tangannya yang
runcing dan tajam menyambar-nyambar ke wajah
Pendekar Pulau Neraka dengan kecepatan yang
sulit diikuti mata biasa, dengan susah payah
sambil berguling-gulingan Pendekar Pulau Neraka menghindari serangan itu. Dan
pada suatu kesempatan dia berhasil melepaskan diri dari serangan lawan. Secepat
kilat Pendekar Pulau Ne-
raka mengibaskan tangan kanannya ke wajah la-
wannya itu. Singngng! Crab! "Aaakh...!"
Eyang Denowo tersentak kaget melihat benda
keperakan berbentuk segi enam melesat cepat ke arahnya. Tanpa mampu dihindari
lagi Cakra Maut itu berhasil menancap tepat di mata kanannya.
Eyang Denowo meraung-raung setinggi langit
dengan suara menggelegar, tubuhnya langsung
limbung dan dari matanya mengalir darah segar.
Pendekar Pulau Neraka tidak menyia-nyiakan ke-
sempatan itu. Sambil berteriak keras dia kembali menyerang lawan dengan pukulan
mautnya. "Yeaaah...!"
Buk! Buk! "Aaa...!"
Eyang Denowo kembali terpekik keras ketika
pukulan maut Pendekar Pulau Neraka berhasil
menghantam kepalanya dengan telak. Tubuhnya
menggelepar-gelepar sesaat sebelum akhirnya di-am untuk selama-lamanya.
Bersamaan dengan
binasanya Eyang Denowo, tubuh Pendekar Pulau
Neraka menjadi lemas dan dia jatuh terduduk.
"Kakang, kau tidak apa-apa...?" tanya Sekar
Mayang dengan tergopoh-gopoh menghampiri
pemuda itu. "Aku.... Aku tidak apa-apa. Bagaimana Pergi-
wa...?" "Dia sudah kubuat mampus, Kang! Ilmu silat-
nya ternyata tidak seberapa, sehingga dengan
mudah aku berhasil membinasakannya...!" sahut
Sekar Mayang sambil menyandarkan pemuda itu
di bawah sebatang pohon.
"Ah, syukurlah. Aku tahu kau hebat dan bisa
diandalkan...."
"Kakang, kau terluka dalam. Sebaiknya kita ke
tempat ayahku. Beliau mampu merawatmu den-
gan baik," kata Sekar Mayang dengan wajah ce-
mas sambil menyeka darah yang menetes dari
sudut bibir Bayu.
"Apakah itu berarti kau telah siap pulang...?"
"Kakang, jangan pikirkan itu dulu. Pikirkanlah keselamatanmu sekarang...!" sahut gadis itu
sambil memapah tubuh Bayu menaiki kudanya.
Pada saat itu beberapa orang murid Perguruan
Bambu Kuning menghampiri keduanya.
"Kisanak, guru kami menghaturkan banyak te-
rima kasih atas pertolongan kalian menyingkirkan kedua manusia iblis ini," kata
salah seorang dari mereka.
"Oh, ya. Bagaimana keadaan gurumu...?" tanya
Bayu. Namun agaknya pemuda itu tidak perlu me-
nunggu jawaban murid Ki Pergola karena dilihatnya orang tua itu diam tak
bergerak, sementara
beberapa orang muridnya yang lain menangis te-
risak-isak sambil memangku tubuh orang tua itu.
"Racun itu telah merenggut nyawanya, meski-
pun beliau telah berusaha, namun racun itu sangat dahsyat..," jelas orang itu.
Pendekar Pulau Neraka tertunduk lesu. Bola
matanya memandang sayu ketika perlahan-lahan
dia mendekati orang tua itu. Lalu ketika murid-murid Perguruan Bambu Kuning
berpamitan un- tuk mengebumikan jenazah gunanya itu, Bayu
masih tetap duduk terpaku.
"Kakang, kenapa kau bersedih" Apakah orang
tua itu saudaramu?" tanya Sekar Mayang heran.
-Bayu menggeleng.
Lalu kenapa kau musti bersedih" Bukankah
dia bukan saudaramu?"
"Kita patut bersedih karena dia tewas untuk
membantu orang banyak dari kekacauan yang di-
timbulkan dua iblis tadi...," jelas Bayu.
"Tapi bukankah kita yang membinasakan ke-
dua iblis itu" Kenapa musti bersedih pada orang tua itu?"
"Usaha yang dilakukannya mulia, jadi bukan
berarti kita harus melupakannya begitu saja karena dia gagal dan tewas. Hukum
peradaban ma- nusia lebih menekankan perasaan halus seorang
manusia dengan dasar cinta dan kasih sayang
kepada sesamanya. Merasa bahwa semua manu-
sia itu adalah saudara...," jelas Bayu singkat sambil melompat ke punggung
kudanya. Sekar Mayang masih bingung, dan sambil
mengejar Bayu yang telah lebih dulu melesat dengan memacu kudanya kencang, gadis
itu berpikir keras tentang apa yang dikatakan Bayu tadi, lalu
memperbandingkannya dengan pelajaran hidup
yang diperolehnya selama melakukan perjalanan
dengan pemuda itu.
SELESAI Scan: Clickers Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel


Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Document Outline
*** *** *** 2 *** *** *** 3 *** *** 4 *** *** *** 5 *** *** *** 6 *** *** *** 7 *** *** *** 8 *** *** SELESAI Istana Yang Suram 18 Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong Hamukti Palapa 2
^