Pencarian

Warisan Iblis 1

Pendekar Pulau Neraka 39 Warisan Iblis Bagian 1


WARISAN IBLIS Oleh: Teguh S. Cetakan pertama, 1992
Penerbit Sanjaya Agency, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini.
tanpa izin tertulis dari penerbit.
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Laut Utara terlihat tenang. Angin bertiup semi-lir
menyapu sebuah kapal dagang yang sedang berlayar.
Beberapa buah layar berkibar-kibar menambah suasa-
na damai dan tentram. Di angkasa terlihat langit biru bersih dengan beberapa
gerumbulan awan putih. Siang
ini terasa betul-betul cerah.
Di buritan kapal terlihat Juragan Sasmita Pura du-
duk pada sebuah kursi menikmati keindahan alam. Di
sebelahnya terdapat istrinya yang cantik jelita beserta seorang pembantu wanita
yang masih muda dan ber-tampang rupawan. Sementara di depannya terlihat
seorang bocah laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun. Beliau adalah putra
Juragan Sasmita Pura yang bernama Nara Sudana.
"Ayah, apakah bulan depan aku boleh ikut lagi?"
tanya Nara Sudana memohon.
Juragan Sasmita Pura tersenyum pasti.
"Boleh saja kau ikut dengan ayah agar kelak kau bisa meneruskan usaha perniagaan
ayah ini."
"Tapi aku kurang suka berniaga, yah. Aku hanya
senang melihat-lihat negeri lain."
"Untuk apa" Apakah kau ingin menjadi pengemba-
ra gembel?" goda Juragan Sasmita.
"Tentu tidak. Aku akan mengamalkan ilmu yang telah kupelajari selama ini," sahut
Nara Sudana cepat.
Kembali Juragan Sasmita tersenyum. Putranya
yang satu ini memang aneh sekali. Tidak seperti anakanak lain sebayanya yang
senang berkelahi, adu ke-
tangkasan, serta bercita-cita menjadi orang kaya yang sangat dihormati. Dia
malah begitu suka mempelajari
kesusasteraan dan ingin mengembara ke negri lain un-
tuk menambah ilmu pengetahuannya.
"Apakah kau yakin bahwa niatmu itu bisa diterima orang lain?" tanya Juragan
Sasmita kembali.
"Tentu saja! Kalau mereka bisa baca tulis, orang-orang tentu tidak akan bodoh,
dan dengan begitu ne-
gara akan kuat."
"Tapi saat sekarang mereka tak memerlukan hal
itu, Nak...."
"Kenapa tidak"!"
Juragan Sasmita menghela nafas. Kemudian ka-
tanya dengan suara pelan.
"Mereka perlu sesuatu untuk melindungi diri-nya sendiri. Entah itu dengan
membekali diri dengan kepandaian berkelahi, atau menjadi penguasa yang
mampu menyewa jago-jago bayaran, lalu dengan sedi-
kit harta untuk melengkapi kehidupan mereka...."
"Jadi menurut ayah orang hidup hanya untuk di-
rinya sendiri" Kemanakah rasa kemanusiaan mereka
melihat orang-orang lain yang bodoh, menderita, dan
tersiksa?"
"Nak, kau masih terlalu muda untuk mengetahui
semuanya. Bila tiba waktunya kau tentu akan menger-
ti..." sahut ibunya.
Nara Sudana memalingkan wajah ke arah ibunya
dengan rona bingung tak mengerti.
"Kenapa, bu" Apa bedanya saat ini dengan kelak"
Apakah kini aku tak mampu mencerna segala sesuatu
yang ada di depanku?"
"Tidak. Kau hanya belum cukup bekal untuk men-
cernanya dengan baik. Hatimu penuh dengan seman-
gat menyala, tapi matamu masih samar-samar melihat
ke arah lain...."
Mendengar kata-kata itu Nara Sudana semakin
bingung saja. Dia mohon diri pada ayah ibunya, untuk meninggalkan tempat itu.
Langkahnya pelan menapak tiap sudut kapal da-
gang milik ayahnya ini sambil terus memikirkan apa
yang diucapkan orang tuanya tadi. Betulkah dia tak mengerti" Kenapa musti
menunggu sampai dia lebih
besar" Apakah pada usianya kini tak mampu mencer-
na segalanya yang terbentang di depan mata"
"Aku prihatin, Kang...."
Juragan Sasmita Pura melirik istrinya yang mende-
sah lirih sambil memperhatikan putra mereka satu-
satunya. Tak perlu khawatir, Cendani. Dia akan mengerti
sendiri kelak bila waktunya tiba...."
"Tapi kapan, Kang...?"
Juragan Sasmita tak langsung menjawab. Dia
menghela nafas beberapa saat.
"Kenapa kau memikirkan hal itu?"
"Mengapa tidak" Dia putra kita satu-satunya. Kakang sudah berusia lanjut, dan
kelak pastilah perniagaan ini turun padanya. Kalau mulai dari sekarang dia tak
menyukai pekerjaan ini, bagaimana mungkin dia
dapat melanjutkan usahamu?"
"Ya... aku pun sering memikirkan hal itu. Mungkin ada baiknya kita mengirim dia
pada salah seorang
guru...." "Guru" Maksud kakang dia akan belajar ten-tang
kesusasteraan lagi?"
"Tidak. Tapi aku bermaksud mengirimnya ke pade-
pokan Laksa Dahana. Bukankah padepokan yang di-
pimpin Ki Tembayat Danang itu sangat terkenal" Mu-
rid-murid yang belajar di sana tidak melulu tentang ilmu silat, tapi juga soal
adat dan agama."
"Itu usul yang bagus, Kang!" sahut Cendani, istrinya.
"Tapi kalau Den Nara tak berada di rumah, saya
merasa sepi..." sahut Wulandari, pembantu wanita yang telah dianggap keluarga
sendiri oleh keluarga Ju-
ragan Sasmita. "Tapi kita bisa menjenguknya sebulan sekali, Wulan," jawab Cendani sambil
tersenyum. Wulandari baru saja akan melanjutkan kata-
katanya ketika terdengar seorang awak kapal berteriak nyaring.
"Semua bersiap! Ada bahaya mengancam...!"
*** Juragan Sasmita terkejut. Dari situ dia bisa meli-
hat ke laut lepas. Sebuah kapal berukuran besar me-
nuju ke arah mereka. Pada benderanya yang berwarna
merah terlihat gambar tengkorak.
"Perompak laut!" desisnya.
"Juragan, silahkan masuk ke dalam. Kami akan
menahan mereka!" kata Kebo Lanang, kepala pasukan pengawal kapal ini.
"Apakah tak ada jalan lain berdamai dengan mere-ka?" "Maaf juragan, mereka
adalah Perompak Tengkorak Darah yang terkenal kejam. Mereka tak pernah kenal
damai sebelum menghabisi korbannya."
"Ohh..." Juragan Sasmita mengeluh pelan.
"Anakku! Anakku...!" teriak Cendani cemas.
"Tenanglah, Nyi. Nara Sudana sedang dikawal ke
sini!" sahut Kebo Lanang menjelaskan.
Juragan Sasmita beserta keluarganya segera ber-
sembunyi di dalam suatu ruangan kapal itu.
Sementara Perompak Tengkorak Darah terus men-
dekat ke arah mereka.
"Gulung layar cepat! Dan kayuh sekuat tenaga kalian untuk menghindari mereka!"
teriak Kebo Lanang memerintahkan awak kapalnya.
"Ki Kebo Lanang, sebagian awak kapal telah ber-
siap menghadapi mereka," lapor Aradea, tangan kanan Kebo Lanang.
"Bagus! Bersiaplah kalian, dan lawan mereka sampai titik darah penghabisan bila
tak ada kesempatan
lagi bagi kita untuk menghindar dari mereka."
"Baik, Ki!"
Sementara itu kapal Perompak Tengkorak Darah
telah semakin dekat dengan mereka. Puluhan perom-
pak-perompak di dalamnya bersorak-sorai penuh an-
caman membuat sebagian awak kapal dagang itu ber-
getar hati mereka. Apalagi ketika belasan orang pe-
rompak-perompak itu siap bergelayutan pada seutas
tambang yang diikatkan di tiang kapal untuk menye-
rang mereka dengan senjata terhunus.
"Seraaang...!" teriak salah seorang perompak.
"Yeaaa...!"
Begitu mendengar teriakan itu, belasan perompak
yang telah siap bergelayutan langsung melesat ke kap-al dagang itu. Dan yang
lainnya menyusul satu persa-
tu. "Seraaang...!" teriak Kebo Lanang memerintahkan anak buahnya.
Maka tak pelak lagi. Siang yang damai itu di-
pecahkan oleh teriakan-teriakan menggelegar yang
kemudian disusul oleh jerit kesakitan dan kematian.
Korban mulai berjatuhan.
"Hantam mereka...!" teriak Aradea sambil menghunuskan pedangnya ke sana ke mari.
Puluhan orang awak kapal dagang itu berjuang
mati-matian melawan belasan Perompak Tengkorak
Darah yang tangkas dan trampil bertarung di atas
kapal. Perlahan-lahan terlihat mereka mulai terdesak hebat. Apalagi ketika kapal
perompak itu telah ber-himpitan, maka bagai tanggul jebol, sisa-sisa perom-
pak yang tadi masih berada di kapalnya langsung me-
lompat ke kapal dagang itu dan menghabisi seluruh
awak kapal. "Bedebah!" maki Kebo Lanang geram melihat anak buahnya banyak yang tewas.
Laki-laki bertubuh besar itu mengamuk sejadi-
jadinya. Pedang di tangannya telah banyak memakan
korban. Tak percuma dia dipercaya sebagai kepala
keamanan kapal ini. Ilmu silatnya lumayan hebat, dan mulai terlihat beberapa
orang perompak agak jerih
menghadapinya. Namun saat itu juga muncul sosok bayangan me-
nyerangnya. "Hiyaaa...!"
Kebo Lanang cepat berbalik dan menangkis seran-
gan lawan. "Trak!"
"Ukh!"
"Hmm... cuma segitukah kemampuan orang anda-
lan di kapal ini?" dengus sosok bayangan yang baru muncul.
Kebo Lanang yang merasakan tangannya linu me-
nangkis senjata lawan berupa golok besar itu, menggeram garang. Sepasang matanya
menyipit. Orang ini
masih terhitung berusia muda, namun wajahnya me-
mancarkan kebengisan. Apalagi dengan adanya codet
yang melintang di pipi kanan-nya.
"Siapa kau"!"
"Aku tangan kanan Dasa Griwa, pemimpin Perom-
pak Tengkorak Darah. Namaku Rintang Kala."
"Hmm... kalian terlalu merendahkan ku dengan
mengirim kau. Kenapa tidak sekalian si Dasa Griwa
sendiri yang menghadapiku!?"
"Ha ha ha...! Besar mulutmu, keparat!" sahut satu suara.
Kebo Lanang langsung berbalik. Seorang dengan
sosok tinggi besar berdiri gagah di tepi kapal. Wajahnya penuh brewok dan kaki
kirinya yang buntung di-
ganti sebuah besi yang ujungnya runcing. Tangan ka-
nannya menggenggam sebuah golok besar.
"Kaukah yang bernama Dasa Griwa?"
"Ha ha ha...!" Aku berbaik hati menyambut tantan-ganmu meskipun kau harus
mampus!" dengus Dasa
Griwa. Selesai berkata begitu tubuhnya dengan cepat me-
lesat ke arah Kebo Lanang sambil mengirim suatu serangan kilat.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaaa...!"
Kebo Lanang langsung bersiaga. Sambil menun-
dukkan kepala, pedangnya menyambar perut lawan.
Namun Dasa Griwa agaknya telah memperhitungkan
hal itu. Golok besarnya langsung memapaki.
"Trak! Duk!"
"Ukh!"
Kebo Lanang menjerit kecil. Gerakan lawan sung-
guh cepat dan sama sekali tak diduganya. Kaki kanan
Dasa Griwa menghantam perutnya. Kebo Lanang ter-
huyung-huyung beberapa tindak.
"Mampus!" bentak Dasa Griwa sambil mengirim serangan susulan.
"Trak! Cras!"
"Aaa...!"
Kebo Lanang menjerit kesakitan. Dia cuma sempat
menangkis sekali karena selanjutnya kaki kiri Dasa
Griwa langsung menyambar dadanya. Pemimpin pasu-
kan pengawal di kapal dagang itu tewas beberapa saat kemudian setelah
menggelepar-gelepar kesakitan.
"Keparat! Kalian harus membayar kematian-nya!"
bentak Aradea begitu melihat kematian Kebo Lanang.
Tanpa berpikir panjang pemuda itu langsung me-
nyerang Dasa Griwa dengan pedang terhunus.
"Hiyaaa....!"
Namun detik itu juga Rintang Kala, yang me-
rupakan tangan kanan pemimpin Perompak Tengkorak
Darah itu bergerak cepat menghadang.
"Hus, segala ikan teri hendak berlagak di hadapan sekumpulan hiu! Kaulah yang
mampus lebih dulu!"
"Trak!"
"Bet!"
Aradea tersentak. Ketika senjata mereka beradu,
terasa tangannya linu dan kesemutan. Belum lagi dia
sempat menyadari bahwa tenaga dalam lawan lebih
tinggi setingkat, tahu-tahu Rintang Kala dengan kecepatan yang sulit diikuti
mata biasa menghunuskan
ujung golok besarnya ke tenggorokan lawan. Masih ba-
gus Aradea mampu membuang dirinya ke belakang.
"Yeaaaa...!"
"Trak! Duk!"


Pendekar Pulau Neraka 39 Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akh!"
Serangan Rintang Kala selanjutnya sulit dielakkan.
Walaupun Aradea berhasil menangkis sabetan senjata
lawan, namun tak urung kaki Rintang Kala berhasil
menghantam pinggangnya dengan telak. Tubuh Aradea
terpental melewati tepi kapal dan tercebur ke luar
sambil menjerit keras.
"Bagus Rintang Kala!" puji Dasa Griwa sambil terkekeh-kekeh.
"Terima kasih ketua...."
"Tumpas mereka semua, dan sikat barang-barang
berharga yang ada"!" perintah Dasa Griwa selanjutnya dengan garang.
"Baik, ketua!" sahut Rintang Kala tangkas.
*** Setelah kehilangan pemimpinnya, sekejap saja se-
luruh awak kapal dapat mereka tumpas. Beberapa
orang yang ciut nyalinya menyabung nyawa dengan
melompat dari kapal dan berenang di sepanjang lautan luas.
"Ha ha ha...! Biarkan mereka, tak usah dikejar.
Orang-orang itu akan mampus dengan sendirinya. Ce-
pat angkut barang-barang ini!" teriak Dasa Griwa memberi perintah. Setelah itu
dia sendiri memeriksa
seluruh kapal itu.
Dasa Griwa menemukan sebuah ruangan di dalam
kapal itu. Dengan serta merta ditendangnya pintu.
Terdengar pekikan kaget wanita dari dalam. Wajah
pemimpin Perompak Tengkorak Darah itu menyeringai
dengan hidung kembang kempis. Buru-buru dia me-
langkah masuk. Namun saat itu juga terdengar teria-
kan nyaring yang disusul dua sosok bayangan lang-
sung menyerangnya.
"Hiyaaaa...!"
"Uts!"
"Plak! Duk!"
"Aaua...!"
Tak percuma Dasa Griwa sebagai pemimpin pe-
rompak yang paling ditakuti di seantero lautan utara ini kalau dia berkepandaian
rendah. Walau sedikit kaget, namun dengan tangkas dia menangkis serangan
itu. Tangan kirinya menangkap pergelangan lawan,
sementara kaki kanannya menendang ke arah perut
lawan yang satu lagi setelah menundukkan kepala
menghindari sabetan pedang.
Kedua sosok bayangan itu menjerit ketika tubuh
mereka melayang bagai sepotong ranting dilempar.
"Ha ha ha...! Tikus-tikus geladak mau coba-coba terhadap Dasa Griwa, mampuslah
bagian kalian!" dengus pemimpin Perompak Tengkorak Darah itu sambil
terbahak dan terus melangkah ke dalam.
Dasa Griwa terkejut barang sejenak. Namun dia
cepat menyeringai lebar manakala melihat Juragan
Sasmita Pura sedang mendekap istri dan putranya.
Sementara pembantu wanita mereka meringkuk di de-
kat kakinya. Wajah-wajah mereka pucat ketakutan.
"Hua ha ha...! Mimpi apa aku semalam! Sekali tepuk dua kenikmatan tertangkap. Ke
sini, datanglah
pada Dasa Griwa, kalian berdua pasti akan mendapat
kenikmatan luar biasa."
Dasa Griwa melangkah ke dekat mereka. Tangan-
nya bermaksud menjamah tubuh Cendani. Dalam
keadaan begitu tiba-tiba saja keberanian Juragan
Sasmita timbul.
"Plak!"
"Enyah kau dari tempatku ini!" bentaknya sambil menepis tangan kasar Dasa Griwa.
Tapi wajahnya sedikit meringis saat tangannya te-
rasa pedih akibat benturan dengan tangan Dasa Gri-
wa. Sebaliknya pemimpin Perompak Tengkorak Darah
itu malah tertawa semakin lebar.
"Ha ha ha...! Kaukah pemilik seluruh barang berharga di kapal ini" Nah,
relakanlah sebab sekarang
semuanya menjadi milikku. Termasuk dua wanita can-
tik ini!" "Keparat! Langkahi mayatku dulu baru kau boleh
menerima bangkai mereka!" maki Juragan Sasmita geram.
"Ha ha ha...! Apa susahnya melangkahi mayat-
mu?" Setelah berkata begitu Dasa Griwa menyorong-kan
kepalan tangan kanannya ke dada Juragan Sasmita.
"Hup!"
"Duk!"
"Ukh!"
"Kakang...!" jerit Cendani ketika melihat suaminya terlempar membentur dinding
akibat tonjokan tinju ki-ri pimpinan Perompak Tengkorak Darah.
Pada saat tinju kanan Dasa Griwa melayang, Jura-
gan Sasmita mencoba menangkis. Namun dengan tiba-
tiba tinju kiri lawan menghantam perutnya dengan te-
naga kuat. Akibatnya Juragan Sasmita menjerit keras.
Dari mulutnya muncrat darah segar.
"Hmm... itulah upahnya kalau membandel. Ke sini kau!" bentak Dasa Griwa garang
sambil me-narik lengan Cendani.
"Lepaskan! Lepaskan aku keparat!"
"Huh, kau kira ada yang bisa menghalangi keinginan Dasa Griwa"!"
Sambil menyeringai lebar Dara Griwa meng-
hempaskan tubuh Cendani ke atas ranjang yang ter-
dapat dalam ruangan itu. Kemudian dengan gemas di-
tindihnya tubuh itu sambil mencabik-cabik pakaian-
nya dengan kasar.
Cendani berteriak-teriak sambil berusaha me-
lepaskan diri. Namun tubuh Dasa Griwa yang besar
dan kuat itu tak mampu beringsut dari atas tubuh-
nya. "Keparat! Bajingan laknat, lepaskan! Le-
paskaaan...!"
"Lepaskan ibuku! Lepaskan ibuku...!" bentak Nara Sudana yang sejak tadi cuma
terpaku ketakutan.
Bocah laki-laki berusia sepuluh tahun itu seperti
tersentak melihat keadaan itu. Rasa takutnya tiba-tiba saja sirna, dan dengan
beraninya dia mengambil sepotong kayu lalu menghajar punggung pimpinan Perom-
pak Tengkorak Darah.
"Prak!"
Nara Sudana terhenyak. Kayu di tangannya patah
jadi dua. Tiba-tiba saja dilihatnya Dasa Griwa berbalik
dan meradang ke arahnya dengan wajah geram.
"Bocah keparat! Rupanya kau ingin mampus me-
nyusul bapak moyangmu!"
"Plak!"
"Aaaa...!"
Tanpa rasa perikemanusiaan sedikit pun Dasa
Griwa melayangkan kaki ke tubuh Nara Sudana. Bo-
cah itu memekik nyaring. Tubuhnya terpental mengha-
jar dinding kayu ruangan yang langsung jebol.
"Anakku! Anakku...!" teriak Cendani berusaha bangkit.
"He he he...! Biarkan anakmu mampus. Se-baiknya kau bersenang-senang dulu
denganku!"
Dasa Griwa langsung menangkap pergelangan len-
gan Cendani dan kembali menghempaskan tubuhnya
ke atas ranjang. Wanita itu berteriak-teriak histeris sambil berusaha berontak
sekuat tenaga. Mulanya Da-sa Griwa masih belum panik, namun ketika Wulandari
yang juga tiba-tiba bangkit keberaniannya dan memu-
kul-mukul tubuh pimpinan Perampok Tengkorak Da-
rah itu, Dasa Griwa mulai naik pitam. Hampir saja dia bermaksud menghantam
pembantu wanita keluarga
Juragan Sasmita itu. Namun begitu melihat wajahnya
yang rupawan, Dasa Griwa menyeringai lebar.
"Ha ha ha...! Agaknya kau tak sabaran. Baiklah, kau tunggu giliran sementara
kami bersenang-senang
lebih dulu."
"Baji...!"
"Tuk!"
Wulandari tak sempat meneruskan makiannya ke-
tika dengan tiba-tiba urat gerak dan suaranya ditotok Dasa Griwa. Tubuhnya
langsung ambruk bagai tak
bertulang. Bersamaan dengan itu Dasa Griwa kembali
meneruskan nafsu setannya ter-hadap istri Juragan
Sasmita yang berusaha melepaskan diri darinya. Na-
mun lama-kelamaan perlawanan wanita itu melemah
seiring dengus nafas Dasa Griwa yang membara. Air
mata wanita itu terus meleleh pilu. Batinnya menjerit keras.
Dasa Griwa memang kepala perompak yang tak
pernah mengenal rasa kasihan. Setelah selesai mem-
boyong seluruh barang berharga di kapal itu, dia pun kemudian membakar dan
menghabisi segala yang ada
di kapal itu, termasuk penghuninya.
Gema tawanya melingkupi lautan yang kembali
bergelombang tenang. Kapal berbendera tengkorak itu
menjauh meninggalkan kepulan asap hitam dari kapal
dagang yang perlahan-lahan tenggelam.
* * * 2 Awan di langit tampak mendung, dan angin bertiup
mulai kencang. Siang yang terik itu dengan perlahan-
lahan berubah kelabu, dan gelombang laut mulai
menggila. Sementara itu di tengah lautan terlihat sepotong
kayu yang dipermainkan ombak sejak tadi. Dipeluk
oleh seorang bocah berusia sepuluh tahun yang tak
lain dari Nara Sudana. Agaknya bocah itu mampu ber-
tahan hidup di tengah lautan yang luasnya tak terkira itu. Ketika tubuhnya
dihantam Dasa Griwa, dia langsung terhempas ke dalam laut. Tapi bocah yang tabah
itu tak kehilangan semangat. Melihat sepotong kayu
yang terapung di dekatnya. dia berusaha meraih dan
mencoba kembali ke kapal. Dasar bocah tak mampu
berenang, malah dia terbawa arus angin yang menjau-
hi kapal itu. Bocah itu cuma bisa berteriak-teriak dengan suara parau memanggil
ayah dan ibunya.
"Ayah... ibu... bagaimana nasib kalian" Ohh.... Tuhan, berilah kekuatan padaku
untuk terus bertahan
hidup," sebutnya berulang-ulang.
Sekujur kulit Nara Sudana mulai membiru kedin-
ginan, dan pecah-pecah diterpa panas matahari siang
yang panas. Begitu juga dengan wajahnya yang pucat.
Bibirnya berdarah dan kulitnya mengelupas. Tapi te-
kad bocah itu kuat sekali. Dengan sekuat tenaga dipe-luknya potongan kayu itu
erat-erat seolah menyatu
dengan tubuhnya.
"Ya Tuhan, lindungilah aku dari keganasan ulam
ini!" do'anya ketika melihat ombak yang mulai meng-gunung menghempaskannya
berkali-kali. Bocah itu tak henti-hentinya berdo'a ketika kesa-
darannya mulai hilang saat kepalanya terasa sakit luar biasa. Hempasan-hempasan
itu betul-betul tak tertan-dingi oleh semangat hidupnya yang menyala-nyala.
"Ohh... aku tak ingin mati! Aku musti hidup! Aku musti hidup! Akan kucari mereka
dan kuhabisi satu
persatu. Akan... ohh...."
Nara Sudana tak mampu lagi meneruskan kata-
katanya. Kesadarannya hilang, dan daya tahan tubuh-
nya telah betul-betul lemah. Tubuh kecil itu diper-
mainkan ombak yang menggila satu harian itu tanpa
ketahuan hidup atau mati.
Menjelang subuh dini hari barulah laut kembali te-
nang. Sang Surya seperti tersenyum di ufuk timur
yang memerah. Rasanya hanya kebesaran Yang Maha Pencipta saja
yang menyebabkan tubuh bocah laki-laki itu terdam-
par di sebuah pulau terpencil di tengah lautan yang
maha luas. Alamnya indah dan banyak terdapat bukit-
bukit kecil serta pepohonan walaupun luasnya tak se-
berapa. Ketika perlahan-lahan matahari beranjak siang,
Nara Sudana menggeliat sambil merintih pelan.
"Ohh...."
Bocah itu merasakan tubuhnya sakit bukan kepa-
lang. Kepalanya berdenyut-denyut tak karuan. Perla-
han dia merayap menjauhi pantai yang masih mengge-
nangi sebagian tubuhnya.
"Di manakah aku ini" Tempat macam apa ini"
Apakah aku telah berada di sorga...?" tanyanya dengan suara pelan.
Bocah itu berusaha bangkit. Namun baru saja dia
tegak, tubuhnya kembali ambruk.
"Ohh... aku harus kuat! Aku harus kuat, dan tak boleh lemah. Aku harus terus
hidup untuk membalas
sakit hati dan dendam keluargaku! Aku harus hi-
dup...!" katanya membulatkan tekad.
Setelah menghirup udara sepenuhnya, bocah itu
kembali berusaha bangkit dengan mengerahkan sege-
nap sisa tenaga yang dimilikinya. Namun baru saja
melangkah dua tindak, dia kembali ambruk. Agaknya
semangat hidup bocah itu betul-betul luar biasa. Wa-
laupun terus jatuh bangun, dia tetap memaksakan diri berjalan memasuki pulau
itu. "Ohh... tempat apakah itu" Agaknya sebuah goa.
Barangkali aku bisa berlindung di situ."
Begitu melihat sebuah celah di antara bebukitan
kecil, bocah itu bertambah semangat. Perlahan-lahan disibakkannya semak-semak
yang menghalangi.
Di dalam goa itu suasananya agak gelap dan pen-
gap. Namun ketika dia terus melangkah ke dalam,
ruangannya bertambah luas dan cahaya yang datang
dari celah-celah langit goa menyebabkan sinar mata-
hari menerangi. Di sudut ruangan itu terdapat sebuah kolam kecil yang penuh
berisi air yang jernih berasal
dari celah dinding goa. Air itu tak mengumpul di kolam itu semua, sebab pada
celah yang lain terlihat air men-galir ke luar entah ke mana.
Melihat air yang jernih itu Nara Sudana jadi mulai
merasakan tenggorokannya yang kering dan terbakar
sejak tadi. Buru-buru dia menciduk air itu dan mera-
sakan tubuhnya sedikit lebih segar.
"Ahh... segar sekali air ini. Tapi perutku lapar. Di mana aku bisa memperoleh
makanan di sini?" tanya bocah itu sambil memutar pandangan ke seluruh
ruangan goa itu.
Nara Sudana tersentak kaget ketika matanya meli-
hat tumpukan tulang belulang manusia tak jauh dari
kolam itu. Setelah diamati, ternyata tulang itu milik satu orang yang telah


Pendekar Pulau Neraka 39 Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusia lama. "Ohh... siapakah orang yang malang ini" Apakah dia orang pertama yang datang ke
pulau ini dan tak
dapat keluar" Kalau demikian, apakah aku musti ter-
kurung selamanya di sini sampai tubuhku tinggal tu-
lang belulang?" keluh batin Nara Sudana.
Diamatinya sekali lagi tulang belulang yang telah
rapuh itu. Tengkorak di atas sebuah batu datar yang
agak mencuat sekitar satu jengkal dari permukaan ta-
nah. Melihat pada posisi tulang paha dan kakinya bo-
cah yang berotak cerdas itu cepat memperkirakan
bahwa sebelum tulang belulang itu run-tuh tentu so-
sok tubuh ini sedang dalam keadaan duduk bersila.
Kalau demikian....
"Pfuh! Pfuh!"
Bocah itu tiba-tiba berpikir sesuatu dan member-
sihkan debu tebal yang menyelimuti batu datar tempat tulang-belulang itu
terkumpul. Ternyata dugaanya benar. Pada batu itu tertulis sebuah nama yang
dipahat sebesar jari telunjuk, dan beberapa baris kata.
Di sini aku tinggal bersama dendam yang tak terbalas karena racun keparat yang
menggerogoti tubuhku.
Walau dia sudah mampus, tapi dendam ku kepada semua orang sedalam lautan. Barang
siapa yang menemukan tempatku ini, kuwariskan segala kepandaianku untuk
memusnahkan kesombongan orang-orang yang
berkepandaian tinggi.
tertanda Iblis Maut Nara Sudana terhenyak. Dadanya berdebar keras.
Mana kepandaian yang akan diturunkan orang ini"
Tanyanya di hati. Membaca kata-katanya yang men-
gandung keyakinan, pastilah dia tokoh persilatan be-
rilmu tinggi. Bocah itu memutar pandang ke sekeliling.
"Hei!"
Dia tersentak girang ketika melihat dan menyadari
bahwa seluruh dinding goa dalam ruangan ini penuh
dengan gambar-gambar yang kelihatannya dipahat
oleh jari. Diamat-amatinya barang beberapa saat, dan kembali wajah bocah itu
semburat cerah.
"Hmm... melihat gambar-gambar ini, kelihatannya seperti orang yang sedang
menari" Tapi mana mungkin
Eyang Iblis Maut menciptakan tarian untuk memba-
laskan dendamnya. Aku yakin mungkin gerakan-
gerakan ini adalah bagian dari ilmu silat yang dimilikinya," duga Nara Sudana
setengah yakin.
Tanpa sadar dia mengikuti gerakan-gerakan itu sa-
tu persatu secara acak tanpa mempedulikan keadaan
tubuhnya yang lemah. Wajahnya tampak segar penuh
rona kehidupan sekaligus dendam dan kebencian.
"Tunggulah pembalasan dariku keparat-keparat jahanam!" dengus Nara Sudana sambil
menyipitkan ma-ta dan mengerutkan wajah sedemikian rupa.
Agaknya dendam di hati bocah itu yang membara
membuatnya mampu mengalahkan keadaan tubuhnya
yang tadi lemah tak berdaya. Keyakinan untuk hidup
berkobar-kobar dalam hatinya. Dan tanpa mengenal
lelah dia terus mengikuti gerakan-gerakan yang tergurat di dinding goa dari hari
berganti minggu, berganti bulan, dan tahun.
"Yeaaaaa...!"
** * Sementara itu tak terasa waktu telah berlalu tujuh
tahun sejak peristiwa yang menimpa keluarga Juragan
Sasmita. Selama itu pula Perompak Tengkorak Darah
terus malang-melintang tanpa ada yang mampu meng-
halanginya. Banyak sudah tentara-tentara kerajaan
yang dikirim untuk menghabisi mereka, namun semu-
anya tak ada yang pernah kembali lagi. Raja bukan
main prihatin melihat keadaan itu. Soalnya pelayaran di laut itu sangat penting
bagi perdagangan dengan
negeri lain. Dengan adanya Perompak Tengkorak Da-
rah yang tak kenal kompromi dan merampas serta
membunuh setiap kapal-kapal yang lewat di laut itu,
mau tak mau perdagangan antar pulau dan negeri
yang melewati laut itu tak bisa berjalan lancar. Bahkan lambat laut terasa sepi.
Dasa Griwa yang menjadi ketua Perompak Tengko-
rak Darah semakin besar kepala saja. Bahkan karena
gilanya akan kekuasaan dia bermaksud menyerang ke-
rajaan dan menjadi raja baik di lautan maupun di da-
rat. "Ha ha ha...! Bagaimana pendapat kalian" Bukankah lebih pantas kalau aku
yang menduduki jabatan
raja itu?" tanyanya pada seluruh anggota Perompak Tengkorak Darah yang saat itu
sedang merayakan ke-
menangan mereka setelah menumpas kapal perang ke-
rajaan. "Bagus ketua! Anda sangat cocok sekali menjadi ra-ja!" sahut salah seorang anak
buahnya. "Betul! Dasa Griwa lebih pantas menjadi raja!"
"Raja yang sekarang lemah dan prajurit-prajuritnya seperti penari-penari
kerajaan yang gemulai!"
"Dasa Griwa penguasa laut dan daratan!"
"Hidup Dasa Griwa!"
"Hiduuup!"
Sorak-sorai gegap gempita langsung menyambut
niat Dasa Griwa itu.
Rintang Kala yang menjadi tangan kanan Dasa
Griwa langsung naik di atas salah sebuah tiang. Sam-
bil berdiri tegak, dia berucap lantang.
"Dengarkan semua! Seminggu dari sekarang kita
akan langsung menyerang wilayah kerajaan. Kekuatan
kita cukup dibandingkan dengan pengawal-pengawal
kerajaan. Kita harus menang, dan nama Perompak
Tengkorak Darah akan berkibar ke seantero negeri.
Siapkan diri kalian mulai sekarang!!"
"Akuuuur!"
"Kita musnahkan orang-orang di kota raja!"
"Kita rampas semua barang berharga milik mere-
ka!" "Hidup Tengkorak Darah!"
"Hidup ketua Dasa Griwa!"
"Hiduuup!"
Kembali terdengar sahutan bersemangat dari selu-
ruh anggota Perompak Tengkorak Darah. Rintang Kala
tersenyum sinis. Terbayang dalam benaknya nama
Tengkorak Darah akan ditakuti oleh Seantero golongan di negeri ini, dan akan
menjadi gerombolan yang paling berkuasa pada jaman ini.
Namun ketika semua kembali tenggelam dalam
pesta pora itu sekonyong-konyong terdengar bentakan
nyaring. "Dasa Griwa tak akan pernah jadi raja, karena dia akan mampus seperti bangkai di
sampah!" Tentu saja semua yang berada di tempat itu men-
jadi kaget. Lebih-lebih Dasa Griwa. Wajahnya berkerut dan sepasang matanya
melotot garang. Dia langsung
bangkit dari singgasananya.
Terlihat di antara kumpulan anak buahnya yang
tadi sedang duduk bersila, berdiri seorang pemuda
berkulit coklat dan bertubuh kekar. Rambutnya gon-
drong dan kusut masai seperti tak pernah diurus. Wa-
jahnya tampak keras, dan sorot matanya berkilat ta-
jam penuh kebencian.
"Siapa kau, dan dari mana bisa masuk ke tempat
ini"! Aku tak mengenalmu sebelumnya"!" bentak Dasa Griwa garang.
Salah seorang anggota perompak Tengkorak Darah
yang duduk tak jauh dari pemuda itu tiba-tiba saja
berlutut dan memohon ampun.
"Ampunkan hamba, Paduka Dasa Griwa. Hamba
tak tahu siapa pemuda ini. Tapi melihat kejujuran dan kepandaiannya, hamba
memberanikan diri mengam-bilnya sebagai anggota dalam pasukan hamba. Tapi
kali ini hamba tak mengerti, kenapa dia bersikap begi-ni. Mohon ampun untuk
hamba dan dirinya, Padu-
ka...." Pemuda itu melirik ke arah orang itu.
"Paman, kalau nanti ada orang yang akan kuam-
puni jiwanya itu adalah kau. Pergilah dari tempat ini sebelum banjir darah
menelan dirimu!"
"Nara Sudana, tutup mulutmu! Aku tahu kau me-
miliki ilmu silat tinggi, tapi kau bukan tandingan
orang-orang ini. Maka sebelum mereka marah, berlu-
tutlah memohon ampun!" bentak orang itu.
Pemuda yang dipanggil Nara Sudana itu bukannya
takut mendengar kata-kata itu. Wajahnya semakin ga-
rang dan tangan kanannya bersiap meraih pedang
yang tersandang di punggung. Kemudian katanya den-
gan suara dingin.
"Paman, agaknya kau tak bisa melepaskan diri dari jiwa anjing orang-orang itu.
Kalau demikian ku cabut kata-kataku, dan kaulah yang lebih dulu mampus!"
"Sret!"
"Duk!"
"Aaaa...!"
Semua orang yang berada di situ tersentak ka-get.
Dasa Griwa sendiri hampir tak percaya bahwa tubuh
malang yang ditendang pemuda itu melesat cepat ke
arahnya. Masih untung Rintang Kala cepat bergerak
memapaki. "Plak."
Tubuh orang yang di sebelah pemuda itu ambruk
ke lantai. Tubuhnya nyaris terbelah dua dengan darah yang mengucur deras. Yang
melihat itu kembali terkejut dan timbul kemarahan mereka. Sambil bersiap me-
nunggu perintah, mereka mencabut senjata masing-
masing. Tapi Dasa Griwa mengacungkan tangan. Dita-
tapnya pemuda itu lekat-lekat. Pedang di tangannya
berkilat tajam, dan tak terlihat sedikit pun noda darah.
Pimpinan Perompak Tengkorak Darah itu mulai me-
nyadari bahwa pemuda itu berilmu tinggi, dan dia tak main-main dengan kata-
katanya tadi. "Siapa kau, dan apa maksudmu dengan semua
ini?" tanya Dasa Griwa dengan suara lunak.
"Jangan banyak mulut. Serahkan kepalamu saat
ini juga, atau tempat ini akan banjir darah dan me-
nenggelamkan mu!"
"Ha ha ha...! Sungguh hebat kau, bocah. Aku suka dengan sikapmu yang gagah.
Suatu kehormatan besar
kalau kau mau menjadi pengawal pribadiku."
"Dasa Griwa keparat, tentu saja aku akan senang menjadi pengawal pribadimu itu.
Nah, serahkan dulu
uang muka untukku dengan mempersembahkan kepa-
lamu!" sahut Nara Sudana mengejek.
Mendengar itu tentu saja seluruh anggota perom-
pak Tengkorak Darah yang berada di situ mendidih da-
rahnya. Mereka nyaris akan menghajar pemuda itu ka-
lau saja Dasa Griwa tak buru-buru memberi isyarat
dengan tangannya.
"Tapi ketua, pemuda ini sangat kurang ajar sekali.
Kalau tak diberi pelajaran dia akan semakin berting-
kah!" tukas Rintang Kala.
"Sebentar. Aku masih mempunyai kepentingan
dengannya," sahut Dasa Griwa sambil kembali mengalihkan perhatian pada pemuda
itu. "Pemuda, kudengar tadi namamu Nara Sudana bu-
kan" Nah, ceritakan padaku kenapa kau begitu men-
ginginkan kepalaku?"
"Dasa Griwa tak usah berbasa-basi segala. Keda-
tanganku ke sini menagih hutang nyawa ayah dan
ibuku yang kalian bunuh secara biadab!"
"Hmm... ayah ibumu" Kuakui, telah banyak manu-
sia yang tewas di tanganku, tapi mana mungkin kuin-
gat mereka satu persatu. Coba kau jelaskan siapa me-
reka" Siapa tahu kau salah tuduh...."
"He he he...! Mana mungkin aku bisa salah. Dasa Griwa pemimpin Perompak
Tengkorak Darah cuma sa-tu-satunya di dunia ini. Kaulah orangnya yang tujuh
tahun lalu menyerang kapal kami. Kau bunuh ayahku
dan kau perkosa ibuku, kemudian kau bakar dan
tenggelamkan seluruh orang yang berada di kapal itu.
Hari ini aku menagih hutang nyawa mereka pada ka-
lian semua."
Agaknya pemuda itu betul-betul sudah muak den-
gan segala basa-basi Dasa Griwa. Dengan gerakan ce-
pat, dia membabatkan pedangnya pada beberapa
orang anak buah Perompak Tengkorak Darah yang pal-
ing dekat dengannya.
"Cras! Cras!"
"Hiyaaa...!"
"Aaaa...!"
Kecepatan bergerak pemuda itu luar biasa. Dalam
sekejapan mata saja enam orang langsung tewas di
tangannya. Dan pada serangan berikut-nya kembali
pedangnya memakan korban lima Orang nyawa me-
layang dengan tubuh penuh Iuka sayatan.
"Keparat! Kau hadapilah aku!" teriak Rintang Kala langsung menerjang dengan
senjata di tangan.
Sebenarnya Dasa Griwa sangat menyayangkan hal
ini. Setelah mengetahui bahwa pemuda itu memiliki
kepandaian hebat, dia bermaksud membujuknya un-
tuk mau menjadi tangan kanannya. Memiliki tangan
kanan sepertinya tentulah amat membanggakan seka-
ligus dapat diandalkan. Tapi kini keadaan berubah cepat. Dendam pemuda itu tak
bisa ditawar-tawar lagi.
Sorot matanya yang tajam seperti hendak menelan se-
mua orang yang berada di tempat ini.
Sementara itu Rintang Kala terkejut bukan main.
Belum pernah selama malang melintang berhadapan
dengan lawan-lawan dia menemukan yang sepadan
kepandaiannya. Pemuda itu bukan lagi sepadan, tapi
dengan mudah menghalau serangannya.
Kalau saja saat itu dia tak dalam keadaan dike-
royok niscaya dalam satu jurus saja Rintang Kala nyaris binasa. Justru dalam
menghadapi serangan balik
pemuda itu, beberapa anak buahnya harus merelakan
diri mereka sebagai perisai.
"Gila! Kepandaian dan kekuatannya seperti setan!"
desis Rintang Kala.
Tangan kanan Dasa Griwa itu melihat bahwa pe-


Pendekar Pulau Neraka 39 Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda itu dengan mudahnya menghajar lawan-
lawannya seperti membabat rumput saja layaknya. Je-
rit kematian dan pekik kesakitan mewarnai di tempat
itu. Ruangan ini berada dalam barak utama yang me-
rupakan tempat kediaman Dasa Griwa. Tak jauh dari
tempat itu berjejer puluhan rumah yang merupakan
perkampungan bajak laut itu. Tentu saja mendengar
suara gaduh dari rumah utama, mereka langsung ke-
luar dengan senjata terhunus menyerbu ke tempat ke-
diaman Dasa Griwa. Pemandangan yang menakjubkan
terlihat bagai semut mengerubungi gula. Lebih dari seratus orang anggota bajak
laut telah mengurung tem-
pat itu dan begitu melihat seorang pengacau yang se-
dang membasmi sebagian anak buah Perompak Teng-
korak Darah, tanpa dikomando mereka langsung me-
nerjunkan diri dan berebutan menyerang pemuda itu.
*** Pada mulanya Nara Sudana sempat terkejut meli-
hat jumlah lawan yang banyak luar biasa itu. Tapi pemuda itu tak cepat gugup dan
kehilangan akal, Tu-
buhnya seperti mengapung di udara saat dia bergerak
cepat menyambar beberapa buah obor yang terpan-
cang di dinding ruangan.
"Hiyaaaa...!"
"Brak!"
Obor-obor di tangannya itu melayang ke tiang-tiang
kayu dan dinding-dinding rumah yang mudah terba-
kar. Hingga dalam tempo tak lama api berkobar kian
cepat melahap rumah utama ini.
"Apiii...! Apiii....'"
"Cepat padamkan! Ambil air...!"
Beberapa orang yang berada di belakang kerumu-
nan kawan-kawannya yang sedang mengeroyok pemu-
da itu mundur teratur sambil berlari ke tepi pantai
yang tak begitu jauh dan menciduk air melalui timba-
timba kayu guna memadamkan api.
"Mampuslah kalian semua! Mampuslah kalian...!"
teriak Nara Sudana sambil mengeluarkan suara tawa
yang menyeramkan.
Pedang pemuda itu seperti tiada henti mencari
korban. Nara Sudana betul-betul mengamuk seperti
kesetanan. Tak ada seorang pun yang selamat bila be-
rada di dekatnya. Pedangnya seperti malaikat penca-
but nyawa yang telah menewaskan lebih dari empat
puluh anggota Perompak Tengkorak Darah.
Melihat hal itu tentu saja Dasa Griwa tak bisa ting-
gal diam. Simpatiknya pada pemuda itu kini berubah
menjadi amarah yang bukan kepalang garangnya.
Sambil membentak nyaring kepala Perompak Tengko-
rak Darah itu berkelebat ke arahnya dengan senjata
terhunus. "Bocah keparat, kau terimalah kematianmu!"
"Hiyaaa...!"
"Anjing Dasa Griwa, kenapa tidak sejak tadi kau maju lebih dulu" Kalau tidak
tentu kau yang lebih du-lu mampus!" sahut Nara Sudana tak kalah garang.
Walaupun dalam keadaan sedang dikeroyok begitu,
tapi hebatnya Nara Sudana masih mampu memapaki
serangan Dasa Griwa bahkan membabatkan pedang-
nya ke perut lawan.
"Yeaaa...!"
Kepala Perampok Tengkorak Darah itu kaget bukan
main. Tangannya terasa kesemutan ketika senjata me-
reka tadi beradu. Dilihatnya pemuda itu malah tenang-tenang saja seperti tak
merasakan sakit sedikit pun.
Bahkan dia masih mampu mengirim serangan susu-
lan. Kalau saja Dasa Griwa tak cepat berkelit niscaya perutnya akan robek di
sabet pedang lawan.
"Mampuslah kau keparat!" bentak Nara Sudana terus bersalto mengejar lawan.
Ujung pedang pemuda itu menyambar-nyambar ke
sana ke mari melindungi dirinya dari keroyokan lawan, dan sekaligus mengirim
serangan susulan yang ditujukan kedua arah yaitu pada pengeroyoknya yang terdiri
dari bajak laut-bajak laut Tengkorak Darah dan Dasa Griwa sendiri.
"Hiyaaa...!"
"Trek! Trak!"
"Bret!"
Bukan main kagetnya Dasa Griwa. Dengan kecepa-
tan yang sulit diikuti mata biasa, ujung pedang Nara Sudana merobek bajunya dan
mengiris sedikit kulit
dadanya. Kalau saja saat itu gerakan si pemuda tak
dihambat oleh dua orang anak buahnya, niscaya nya-
wa kepala Perompak Tengkorak Darah berada di ujung
tanduk. "Keparat-keparat laknat, mampuslah kalian lebih dulu!" bentak Nara Sudana
memalingkan perhatian sesaat pada anak buah Dasa Griwa.
"Bret! Bret!"
"Aaa...!"
Pekik kematian kembali terdengar seiring ro-
bohnya lima sosok tubuh dengan nyawa melayang. Na-
ra Sudana terus mengamuk meng-ayunkan pedangnya
ke sana ke mari. Kembali belasan tubuh lawan tum-
bang disabet kelebatan pedangnya.
Melihat amukan Nara Sudana seperti tak ter-tahan,
beberapa orang perompak segera melarikan diri tanpa
mempedulikan keadaan kawan-kawannya. Melihat hal
itu yang lain pun menyusul tanpa mempedulikan te-
riakan Dasa Griwa yang menahan mereka. Hingga da-
lam sekejap saja tempat itu tinggal belasan orang termasuk Dasa Griwa sendiri.
"Rintang Kala pengecut, kenapa kau malah melarikan diri"!" bentak Dasa Griwa
garang ingin mengejar tangan kanannya itu.
"Jangan harap kau bisa lari dariku keparat!" desis Nara Sudana geram langsung
melesat mengejar sambil
mengirim serangan maut.
Mau tak mau Dasa Griwa terpaksa meladeni amu-
kan pemuda itu dibantu belasan anak buahnya yang
masih setia. "Maaf Dasa Griwa, dia datang hanya untuk-mu!
Buat apa aku musti mengorbankan nyawa segala"!"
Kau hadapilah dia sendiri!" teriak Rintang Kala me-mimpin kawan-kawannya mening-
galkan tempat itu
dengan sebuah kapal yang cukup besar.
"Keparat!" gumam Dasa Griwa.
"Kini tibalah ajalmu, jahanam!" maki Nara Sudana.
Pedang pemuda itu menyambar-nyambar tubuhnya
bagai tiada henti membuat Dasa Griwa sedikit cemas.
Seluruh tubuhnya telah dibungkus kelebatan pedang
lawan. Ketika dia coba menangkis, pedangnya malah
terpental dihantam senjata lawan.
"Tak!"
"Mampus!" bentak Nara Sudana.
"Breet! Breet!"
"Aaaa...!"
Pada saat-saat yang kritis itu, nyawa Dasa Griwa
masih bisa selamat karena anak buahnya menjadi
tumbal untuk menghalangi serangan lawan. Namun
tak urung dia terpekik kesakitan ketika perutnya kena diserempet ujung pedang
lawan. Dasa Griwa mengambil kesempatan untuk me-
larikan diri ketika pemuda itu sedang sibuk menghajar sisa-sisa anak buahnya.
Tapi Nara Sudana tak mung-
kin membiarkannya begitu saja. Pedangnya langsung
terbang menghajar punggung kiri Dasa Griwa.
"Siiiut! Grab!"
"Aaaa...!"
Terdengar jerit kematian kepala Perompak Tengko-
rak Darah ketika pedang yang dilempar Nara Sudana
tepat menembus hingga ke jantung. Bersamaan den-
gan robohnya tubuh Dasa Griwa, sisa anak buahnya
pun ambruk dihajar pukulan bertenaga dalam kuat
yang dilancarkan Nara Sudana.
Setelah mencabut pedangnya, pemuda itu lang-
sung mengejar sisa anak buah Dasa Griwa yang mela-
rikan diri. * * * 3 Desa Luragung terletak di pesisir pantai yang ba-
nyak dikunjungi oleh kapal-kapal dagang antar pulau
maupun negeri lain. Tak heran bila di tempat itu menjadi ramai, baik penghuni
baru yang terus berdatangan untuk mengadu nasib maupun penduduk asli yang tetap
bertahan di kampung halamannya itu.
Siang itu seperti biasa terlihat banyak orang berla-
lu-lalang di sepanjang jalan utama dengan urusannya
masing-masing. Di antara mereka terlihat seorang pe-
muda berambut gondrong dengan wajah tampan dan
keras, serta mengenakan baju yang terbuat dari kulit harimau. Di pundaknya
terdapat seekor monyet kecil
berbulu hitam yang tampaknya begitu jinak dan ber-
sahabat. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Bayu
Hanggara alias si Pendekar Pulau Neraka!
"Kau lapar Tiren?" tanyanya pada monyet kecil itu.
"Nguk! Nguk!"
"Baiklah. Aku pun merasa perutku melilit-lilit tak karuan. Sebaiknya kita cari
kedai dulu baru melanjutkan perjalanan."
"Kaaaakh...!"
Monyet kecil yang dipanggil Tiren itu menjerit ke-
ras. Bayu tersentak sambil mengikuti arah telunjuk Tiren. "Dasar! Kalau mau
tunjuk kedai tidak usah pakai menjerit segala!" bentak Bayu kesal.
"Nguk!"
Monyet kecil itu menyeringai lebar menunjuk-kan
wajahnya dengan malu-malu.
Hari ini kedai itu tampak ramai. Banyak pengun-
jung yang datang ke situ. Tak heran, sebab bila diperhatikan kedai ini adalah
satu-satunya yang terbesar
dan terlengkap di desa ini. Ruangan dalamnya luas
dan banyak terdapat meja dan bangku-bangku. Kedai
inipun memiliki penginapan yang cukup untuk bebe-
rapa orang. "Pak, tolong sediakan nasi rames dengan se-
bumbung tuak!" pesan Bayu setelah mengambil tempat agak di sudut ruangan.
"Baik, Den!" sahut pelayan kedai yang tadi meng-hampirinya.
Sepeninggal pelayan itu Bayu mengedar pandangan
ke sekeliling. Tak seorang pun yang merasa heran atas kehadirannya, sebab banyak
di antara mereka pun berasal dari kaum persilatan dari berbagai macam aliran dan
urusan. Melirik sekilas pada sekelompok orang yang ber-
kumpul pada sebuah meja yang tak jauh darinya,
Bayu tadinya tak tertarik mendengar perbincangan
mereka. Lebih-lebih karena perutnya memang sudah
keroncongan. Dia ingin cepat makan kemudian berlalu
dari desa ini. Tapi ketika salah seorang di antara yang bermulut dower bercerita
dengan penuh semangat,
mau tak mau terusik juga hatinya untuk mencuri den-
gar pembicaraan mereka.
"Aku tak melihat, tapi kalian tahu tidak" Salah seorang kawanku adalah anak buah
bajak laut Tengkorak Darah. Dia melihat sendiri kedahsyatan pemuda
itu. Luar biasa!" kata si mulut dower dengan wajah yang meyakinkan.
Empat orang kawannya yang sedang menenggak
tuak terpaku barang sesaat dengan wajah tak percaya.
Cerita itu sesungguhnya tak masuk di akal. Bagaima-
na mungkin seorang pemuda mampu mengkocar-
kacirkan anak buah Perompak Tengkorak Darah yang
amat ditakuti" Jangankan seorang pemuda tak dikenal
seperti cerita kawannya itu, sedangkan jago-jago dari kerajaan yang dikirim
membasmi mereka lengkap dengan prajurit pilihan hanya pulang tinggal nama. Juga
beberapa orang tokoh persilatan golongan putih yang merasa prihatin dengan
perbuatan bajak laut-bajak
laut itu, turun tangan dan bermaksud membasmi me-
reka. Tapi tak seorang pun di antara mereka yang terdengar kembali pulang.
"Aku tak percaya!" bantah kawannya yang berku-mis tipis dan bertubuh tegap
sambil menenggak tuak-
nya. "Huh, kau memang tak pernah percaya. Tapi kalau mendengar sendiri dari
mulut mereka yang berhasil
menyelamatkan diri dari amukan pemuda itu, baru
kau percaya," sahut si mulut dower.
"Mustahil! Coba bayangkan, dengan seorang diri dia berhasil membuat anak buah
Dasa Griwa kocar-kacir" Padahal jumlah mereka tak kurang dari tiga ratus orang!"
"Bisa saja Boneng!" sahut seorang kawannya yang bermata juling.
"Mana mungkin!"
"Di dunia ini apa yang tak mungkin" Siapa tahu
pemuda itu merupakan jelmaan dewa yang diturunkan
ke bumi untuk membantu kita."
"Pfuih! Kau ini ngomong apa"!" bentak si Boneng.
"Kenapa tidak"!" balas si mata juling tak mau kalah. "Sudahlah... kenapa hal ini
saja menjadikan kita berselisih. Kalian boleh percaya atau tidak, itu urusan
kalian sendiri," kata si mulut dower tak acuh.
Agaknya orang ini sudah putus asa melihat kawan-
kawannya tak juga percaya akan ocehannya.
"Kau sering berdusta, mana mungkin aku percaya dengan ceritamu," kata kawannya
satu lagi seperti menjawab kata hatinya.
"Kali ini aku tidak berdusta, sobat. Kalau aku salah berarti kawanku itulah yang
bercerita dusta padaku,"
tangkis si mulut dower dengan mimik serius.
Obrolan mereka terhenti ketika lima orang bertam-
pang seram memasuki kedai itu. Sikap mereka kasar
dan ingin menunjukkan kegarangannya dengan mem-
perhatikan seluruh pengunjung kedai satu persatu
dengan tatapan garang. Seorang yang berada paling
depan berusia sekitar tiga puluhan dan bersenjata golok besar di punggungnya
menyentak-kan kursi sambil
berteriak lantang pada salah seorang pelayan.
"Sediakan lima guci arak tulen untuk kami cepat!"
"Ba... baik, Den...!"
Kelimanya langsung menarik kursi dan duduk me-
lingkari sebuah meja. Sementara sorot mata mereka
Seperti tiada henti mengawasi semua pengunjung ke-
dai. Kemudian salah seorang di antara mereka berucap dengan suara pelan.
"Hmm... masih untung kita bisa lolos dari ke-
jarannya. Kalau tidak entah apa yang terjadi. Mungkin kita sudah binasa..."
Laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang
agaknya merupakan pemimpin mereka mendengus ge-


Pendekar Pulau Neraka 39 Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ram. "Huh, kalau saja ada kesempatan ingin kupatah-
kan batang lehernya!"
"Tapi Rintang Kala... pemuda itu betul-betul luar biasa. Amukannya seperti tak
tertahan. Entah bagaimana nasib Dasa Griwa. Kalau dia bisa mengejar dan
membunuh kawan-kawan yang lain tentu dia telah
membinasakan Dasa Griwa," sahut salah seorang kawannya.
"Bisa jadi..." sahut laki-laki yang dipanggil Rintang Kala.
"Lalu apa yang akan kita lakukan saat ini?" tanya seorang lagi.
"Tak ada yang bisa kita lakukan selain bersem-
bunyi dari kejarannya!" sahut yang wajahnya penuh brewok.
"Huh, sebenarnya aku tak takut, tapi melawan juga hanya mengantar nyawa secara
percuma!" dengus
yang bertubuh kurus dan berambut panjang.
"Tapi ke mana kita akan bersembunyi" Pemuda itu sepertinya akan terus mencari
kita sampai ke ujung
langit sekalipun!" tanya seorang lagi yang wajahnya pucat.
"Kadang aku menyesal...."
"Jangan jadi pengecut kau, Badungan! Tak perlu menyesali apa .yang sudah
dilakukan. Yang penting
saat ini bagaimana caranya menyelamatkan selembar
nyawamu!" potong Rintang Kala kesal.
Yang lainnya mengangguk-anggukkan kepala men-
dengar kata-kata itu.
Namun pada saat itu terdengar satu suara yang
bernada sinis menyahuti pembicaraan mereka.
*** "He he he...! Baru sekarang ku tahu bahwa perom-
pak-perompak Tengkorak Darah berjiwa pengecut dan
lari dari kejaran lawan!"
Kelima orang yang tak lain dari anggota Perompak
Tengkorak Darah langsung memalingkan wajah pada
seorang laki-laki bertubuh kurus dengan muka lon-
jong. Melihat dari wajahnya yang cakap dan bersih
agaknya laki-laki itu paling tidak berasal dari kalangan bangsawan atau
hartawan. Lebih-lebih melihat pakaiannya yang rapi dan bagus. Usianya paling
sekitar dua puluh lima tahun. Tangan kanannya memegang
sebuah kipas yang terbuat dari gading gajah.
Di samping pemuda itu duduk seorang gadis ber-
baju hijau. Wajahnya cantik rupawan dengan kulit pu-
tih halus. Rambutnya yang panjang cuma diikat sehe-
lai pita merah muda. Di pinggangnya terlihat sebatang pedang pendek.
Sementara di sekeliling mereka terlihat beberapa
orang laki-laki berwajah garang dengan masing-masing bersenjatakan golok.
Agaknya mereka adalah para
pengawal pasangan muda-mudi itu.
"Siapa kau"!" bentak Rintang Kala sambil bangkit dan mendekati mereka.
Keempat kawannya melihat keadaan itu langsung
bersiaga dengan wajah kurang senang di belakang Rin-
tang Kala. Pemuda berpakaian bagus itu cuma tersenyum se-
perti menganggap remeh kalian orang sisa anak buah
Perompak Tengkorak Darah.
"Aku tuan besarmu yang akan menjewer kuping
kalian..." sahut pemuda itu santai.
"Kurang ajar!"
Salah seorang kawan Rintang Kala yang bera-
ngasih langsung mencabut golok besarnya dan menya-
betkan ke arah pemuda itu.
"Bet!"
"Trak!"
"Huh, jangan coba-coba berbuat sembarangan pa-
da majikanku!" bentak salah seorang pengawal pemuda itu yang langsung mencabut
golok dan memapaki
serangan tadi. "Piwarang, menyingkirlah kau. Biar kuberi pelajaran orang tak tahu diri ini!"
sela pemuda itu sambil berdiri dan mengembangkan kipasnya.
"Tapi Den Wangsa Bangkalan...."
"Tenanglah Piwarang... apakah kau pikir aku tak mampu memberi pelajaran pada
kunyuk ini?" potong pemuda yang dipanggil Wangsa Bangkalan itu sambil
tersenyum sinis.
"Bangsat! Orang sepertimu harus dibuka matanya
lebar-lebar agar bisa berbuat sopan pada orang lain!"
maki salah seorang bekas perompak Tengkorak Darah
kembali mengayunkan golok besarnya.
Wangsa Bangkalan terkekeh pelan. Tubuh pemuda
itu cuma berkelit sedikit ke kiri dan tangan kanannya menghantam pergelangan
lengan lawan. Sementara kipas di tangan kiri menyabet ke pinggang lawan.
"Plak! Breet!"
"Ukh!"
Perompak Tengkorak Darah itu terkejut sambil
mendekap pinggang kanannya yang robek. Wajahnya
meringis kesakitan bercampur dendam dan luapan
amarah luar biasa.
"Kurang ajar...!" makinya kembali menyerang pemuda itu.
"Hmm... agaknya kali ini kau betul-betul tak bisa dikasih hati. Baiklah kalau
itu maumu."
"Hiyaaa...!"
"Plak! Duk!"
"Aaaa...!"
Kali ini tubuh perompak Tengkorak Darah itu ter-
pental ke belakang pada jarak kurang lebih tiga tom-
bak. Tubuhnya menabrak dinding kedai hingga han-
cur. Masih terlihat sekilas dia menggelepar-gelepar
dengan mulut penuh darah.
Pemuda itu terkekeh sambil mengibas-ngibaskan
pakaiannya dari debu. Gerakannya tadi sama sekali
tak disangka lawan. Tubuhnya ringan mencelat ke atas dengan kaki kiri menangkis
pergelangan lawan yang
memegang senjata, sedangkan kaki kanan menendang
ke ulu hati dengan keras.
"Juragan... aduh, juragan. Sebaiknya jangan berkelahi di sini. Kedai saya nanti
rusak, dan... dan bi-
asanya..." sela si pemilik kedai sambil memohon-mohon pada pemuda berbaju keren
itu. Tapi salah seorang pengawal pemuda itu tiba-tiba
membentak dengan mata melotot.
"Orangtua, apakah kau tidak melihat siapa jura-
ganmu ini"! Mereka adalah putra-putri Adipati Bang-
kalan yang termahsyur itu. Apa kau pikir beliau tak
mampu mengganti segala kerusakan ini"! Pfuih, mere-
ka bahkan mampu membeli sepuluh kali kedai seperti
ini bahkan dirimu pun mampu dibelinya!"
"Jangan keterlaluan Paman Ketitir..." sela si gadis yang sejak tadi hanya diam
memperhatikan kejadian
itu. "Tapi Den Ayu... mereka harus tahu siapa aden berdua agar tak sembarangan
bicara...."
"Sudahlah... nah pak, maafkan kekasaran pa-
manku tadi. Kami akan mengganti kerusakan yang di-
perbuat kakangku," kata si gadis pada pemilik kedai itu. Tapi si orang tua
pemilik kedai begitu mengetahui bahwa kedua orang muda-mudi ini adalah putra-
putri Adipati Bangkalan yang terkenal itu, mana berani dia menerima ganti rugi dari
mereka. Bisa-bisa nanti sang Adipati murka dan dia tak bisa berdagang lagi di
sini. "Ti... tidak. Te... terima kasih, Den...."
"Ambillah, pak..." ujar gadis itu kembali sambil mengangsurkan kira-kira lima
kepeng uang emas di
tangannya. Pemilik kedai itu masih ragu menerima. Saat itulah
Rintang Kala yang tadi mendiamkan saja anak buah-
nya di hajar pemuda itu tiba-tiba angkat bicara.
"Hmm... pantas! Rupanya kalian anak-anak menak
yang baru kenal dunia luar, tapi sudah demikian som-
bong. Kau, kutunggu di luar!" katanya menuding ke arah Wangsa Bangkalan sambil
terus meninggalkan
ruangan kedai itu dan beranjak ke halaman depan di-
ikuti anak buahnya yang lain.
"Baik!" sahut Wangsa Bangkalan bersemangat.
"Kakang... jangan terlalu menyombongkan diri.
Apakah kau tidak ingat pesan eyang?" Ingat adiknya dengan wajah kesal.
"Tenanglah Cempaka Wangi. Orang-orang itu me-
mang sudah seharusnya diberi pelajaran. Per-tama,
mereka adalah orang-orang sesat yang selama ini men-
jadi musuh kerajaan dan juga musuh semua orang
yang pernah menjadi korban mereka. Dan yang kedua,
sikap mereka tadi sombong sekali. Seolah mereka pikir tempat ini akan menjadi
miliknya dalam sekejap seperti saat mereka berada di lautan. Nah, itu sudah
cukup bagiku untuk memberi hajaran bagi mereka!"
Gadis bernama Cempaka Wangi itu tak bisa berka-
ta apa-apa lagi mendengar alasan abangnya. Tapi se-
benarnya pun dia mengerti bahwa abangnya tak akan
bisa dilarang kalau dia sudah punya keinginan. Begitu juga ketika beberapa orang
pengawal mereka mencoba
melarang dia bertarung, tetap saja Wangsa Bangkalan
berkeras akan memberi pelajaran pada mereka dengan
tangannya sendiri.
Sementara itu semua pengunjung kedai tertarik
sekali melihat pertarungan ini. Hampir semua mengu-
tuk perompak-perompak Tengkorak Darah dan menge-
lu-elukan pemuda itu. Bukan karena mereka putra-
putri sang Adipati, tapi siapa yang tak kenal Perompak Tengkorak Darah yang
kekejaman mereka nyaris diku-tuk oleh semua penduduk di wilayah ini.
"Bunuh mereka jangan dikasih kesempatan untuk
lari!" "Cincaaang...!"
"Gantung kelima-limanya!"
Walau semua yang berada di situ mengutuk mere-
ka, Rintang Kala dan kawan-kawannya begitu teguh.
Semangat mereka tetap tak tergoyah. Begitu juga keti-ka Wangsa Bangkalan lebih
dulu menyerang, Rintang
Kala menyambutinya dengan mantap. Pertarungan itu
memang disengaja terjadi antara mereka berdua. Kalau pemuda itu melarang para
pengawalnya ikut campur,
begitu juga halnya dengan Rintang Kala. Dia memerin-
tahkan agar anak buahnya tak perlu turun tangan se-
lagi mereka bertarung.
*** Pertarungan antara keduanya telah berlangsung
lebih dari tiga jurus. Terlihat keduanya sama kuat.
Namun pada jurus-jurus selanjutnya Rintang Kala te-
lah berada di atas angin. Padahal bagi mereka yang berasal dari kalangan
persilatan pasti akan melihat bah-
wa keduanya memiliki ilmu silat yang tangguh. Bah-
kan kalau diperhatikan dengan seksama, gerakan
Wangsa Bangkalan yang indah mengandung tipuan
yang mematikan. Hanya sayang bahwa pemuda itu
melakukan dengan kaku seperti orang yang baru saja
belajar ilmu silat.
Tidak demikian halnya dengan Rintang Kala. Bela-
san tahun malang melintang bersama Perompak Teng-
korak Darah, membuatnya tak cepat gugup dengan se-
rangan lawan. Pengalamannya lebih teruji, dan terbuk-ti banyak membantu dalam
setiap pertarungan. Seperti yang terjadi hari ini.
"Hiyaaaa...!"
"Trak! Bret!"
"Ukh...!"
Wangsa Bangkalan menjerit pelan. Dalam suatu
kesempatan tubuh lawan berkelebat cepat menyambar
kepala sambil mengayunkan senjata. Pemuda itu me-
nunduk sambil menghindar ke belakang, tapi dengan
tak disangka-sangka ujung golok besar Rintang Kala
berubah haluan dan menyambar bahu kanan Wangsa
Bangkalan. Masih untung cuma sedikit tergores kare-
na dia masih sempat berkelit.
"Pelajaran pertama untuk anak-anak yang kurang
ajar!" ejek Rintang Kala sinis.
"Huh, siapa bilang aku kalah olehmu! Kau akan rasakan ini!" bentak Wangsa
Bangkalan kembali menyerang dengan kalap.
Kali ini pemuda itu mengerahkan segenap kepan-
daian yang dimiliki. Terbukti gerakan kipas yang dija-dikannya senjata itu
menimbulkan desir angin ken-
cang dan menyambar-nyambar tubuh lawan dengan
pengerahan tenaga dalam kuat.
Tapi serangan Rintang Kala pun bukan main he-
batnya. Baru kali ini terbuka mata semua orang akan
kehebatan salah seorang anggota Perompak Tengkorak
Darah. Tubuh Rintang Kala bergerak bagai sapuan an-
gin dengan golok besar di tangan berdengung me-
nyambar-nyambar ke arah Wangsa Bangkalan.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
"Trak!"
"Bret!"
"Duk!"
"Akh...!"
Ketika dalam satu kesempatan. keduanya berteriak
nyaring dan bersiap menyerang lawan, Wangsa Bang-
kalan mencoba menangkis senjata Rintang Kala. Tapi
dia terkejut ketika kipasnya di buat hancur beranta-
kan. Belum lagi habis rasa terkejutnya, ujung senjata lawan meluncur deras
menghantam leher. Masih untung pada saat kritis itu Wangsa Bangkalan mampu
menyelamatkan lehernya dengan berkelit ke belakang.
Namun tak urung ujung senjata lawan menghajar da-
danya. Dan bersamaan dengan itu kaki kanan Rintang
Kala menghajar perut Wangsa Bangkalan. Pemuda itu
terlempar sejauh beberapa tombak sambil menjerit ke-
ras. Agaknya Rintang Kala betul-betul bernafsu untuk menghabisi pemuda yang
dianggapnya sombong itu.
Begitu kakinya menyentuh tanah, saat itu pula tubuh-
nya kembali melesat dengan kecepatan bagai kilat
mengayunkan senjata ke arah Wangsa Bangkalan.
Semua orang yang melihat itu tercekat. Wangsa
Bangkalan pasti tewas. Bahkan para pengawalnya tak
mungkin mampu menandingi kecepatan bergerak Rin-
tang Kala. Gadis bernama Cempaka Wangi sendiri su-
dah berteriak cemas.
"Hiyaaa...!"
"Sing!"
"Trak!"


Pendekar Pulau Neraka 39 Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * * 4 Namun pada saat-saat yang kritis itu tiba-tiba me-
lesat seberkas sinar keperakan yang memapaki senjata Rintang Kala dan membuatnya
terpental jauh.
Laki-laki berusia tiga puluh tahun dengan codet di
pipi kanannya itu menggeram melihat kehadiran seo-
rang pemuda berambut gondrong berwajah tampan be-
rada di tempat itu sambil tersenyum. Di pundaknya
terlihat seekor monyet kecil berbulu hitam. Pemuda itu sendiri mengenakan baju
yang terbuat dari kulit harimau.
Ketika pemuda yang berbaju kulit harimau itu
mengibaskan tangan, maka sinar keperakan yang tak
lain dari sebuah senjata berbentuk cakra bersegi enam menempel di pergelangan
tangan kanannya. Melihat
itu sebagian mereka yang berada di situ tersentak kaget. "Pendekar Pulau
Neraka...!"
Rintang Kala selama hidupnya lebih banyak berada
di laut hingga jarang mendengar ,nama tokoh-tokoh
persilatan yang berada di darat, hingga dia tak terlalu terkejut mendengar nama
itu. Bahkan dengan sikap
menganggap remeh, dia pura-pura tak tahu.
"Huh, siapa lagi kau budak gembel"! Apakah kau
ingin membela majikanmu itu"!"
"Dia bukan majikanku, dan kau tak perlu tahu
siapa aku. Yang jelas aku paling tak suka pada kalian berdua. Tapi pengecualian
untukmu karena kau ada-
lah Perompak Tengkorak Darah yang kudengar sering
menimbulkan kekacauan!"
"He he he...!" Satu lagi kulihat malaikat kesasar sepertimu. Tapi orang-orang
sepertimu biasanya mene-
mui ajal secara mengenaskan. Nah, pergilah dari sini sebelum timbul rasa muakku
padamu!" bentak Rintang Kala.
Orang itu sengaja menggertak lawan. Padahal dia
sendiri merasakan dalam sekelebatan saja senjatanya
di buat terpental oleh senjata lawan. Tapi sebagai bekas Perompak Tengkorak
Darah mana mau Rintang.
Kala menunjukkan kegentarannya di depan orang ba-
nyak. Maka dia sengaja berbuat begitu pada si pemuda berbaju harimau yang tak
lain dari Bayu Hanggara
atau Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa yang mengatakan aku malaikat kesasar"
Agaknya matamu telah lamur kisanak. Aku memang
malaikat sesungguhnya yang akan mengantarmu ke
neraka!" ejek Bayu sambil tersenyum sinis.
"Huh, kau boleh pentang bacot sesukamu setelah
kukirim ke akherat!"
Setelah berkata begitu agaknya kemarahan Rintang
Kala tak dapat ditahan lagi. Dia langsung menyerang
lawan setelah anak buahnya melempar sebatang golok
besar ke tangannya.
"Hiyaaa...!"
"Hmm... betul-betulkah kau ingin merasakan nik-
matnya siksaan neraka?" ejek Bayu lagi.
"Jangan banyak bacot! Putus lehermu!"
"Uts, ha...!"
Sambil menundukkan kepala Bayu menghindari
sabetan senjata lawan yang ditujukan ke lehernya. Ta-pi dengan tak terduga kaki
kanan Rintang Kala me-
nendang ke ulu hati. Tubuh Bayu mencelat ke bela-
kang sambil bersalto dengan gerakan indah. Pada saat
itulah kaki kanannya sempat menghajar betis kaki la-
wan. "Plak!"
"Akh...!"
"Begkh!"
Rintang Kala menjerit tertahan. Tubuhnya ter-
jerembab setelah berputar satu kali di udara. Namun dalam keadaan demikian, Bayu
masih sempat menghajar pinggang kanannya lewat tendangan kaki kiri sebelum kedua
kakinya menyentuh tanah. Kembali Rintang
Kala menjerit keras ketika tubuhnya terlempar ke kiri.
"Keparat!" maki Rintang Kala cepat bangkit.
Disekanya darah yang menetes di sudut bibir. Ten-
dangan lawan memang tak cukup kuat, kalau tidak
niscaya dia tak akan pernah bangkit lagi. Tapi walau begitu cukup membuat isi
perutnya seperti diaduk-aduk.
"Hmm... agaknya kau masih belum puas juga" Ke
sinilah cepat mendekat pada tuan besarmu!" ejek Bayu.
"Yeaaa...!" "Hiyaaa...!"
"Hei! Main keroyokan sekarang" Hmm... boleh juga kalau kawan-kawanmu ingin
berbagi kesenangan denganmu."
"Bet!"
"Plak! Plak!"
"Begkh!"
"Akh!"
Tubuh Bayu berkelebat dengan kecepatan yang su-
lit diikuti oleh mata biasa. Tahu-tahu senjata di tangan mereka terpental jauh,
dan disusul dengan jerit kesakitan. Kelimanya terpental dengan darah muncrat
dari mulutnya. Salah seorang di antara mereka langsung
menemui ajal. Orang itu adalah korban Wangsa Bang-
kalan yang tadi dihajarnya di dalam kedai. Agaknya dia
memaksakan diri untuk menyerang si Pendekar Pulau
Neraka, dan terpaksa menemui kematiannya.
"Huh, kali ini aku akan mengadu jiwa denganmu!"
dengus Rintang Kala kembali bangkit dengan wajah
garang. "Siapa yang sudi mengadu jiwa denganmu" Kalau
kau mau mengadunya, adulah dengan jiwa kawan-
kawanmu itu. Siapa tahu mereka mau, dan kalian te-
taplah berjiwa binatang seperti sekarang!"
"Keparat! Bersiap-siaplah kau untuk mampus!"
bentak Rintang Kala.
"Yeaaaa...!"
Bersama dengan ketiga anak buahnya, kembali
mereka menyerang Bayu dengan tangan kosong.
Bayu sendiri masih tenang-tenang saja di tempat-
nya. Dia yakin bahwa walau mereka berempat tak
mungkin mampu melukai dirinya, sebab tadi ketika
bersenjata pun mereka tak mampu, apalagi kini ber-
tangan kosong. Namun dengan tidak disangka saat itu juga mele-
sat satu bayangan yang memapaki serangan mereka.
Orang-orang yang berada di situ terkejut. Angin gerakan bayangan itu mampu
membuat mereka yang me-
miliki ilmu silat rendah bergoyang limbung. Sedangkan debu-debu di sekitarnya
membumbung tinggi dan
daun-daun kering berterbangan ke mana-mana.
"Breeet!"
"Aaaa...!"
*** Bersamaan dengan itu terdengar pekik ke-matian
yang menyayat. Ketika desir angin itu ter-henti, ketiga Perompak Tengkorak Darah
ambruk dengan pinggang
nyaris putus. Dan di tempat itu telah tegak berdiri seo-
rang pemuda berusia tujuh belas tahun berkulit coklat dengan rambut gondrong
kusut masai seperti tak teru-rus. Sorot matanya tajam menusuk dan amat mengeri-
kan seperti membawa dendam dari alam kubur. Di
tangannya tergenggam sebatang pedang besar, namun
tak terlihat sedikit pun noda darah.
Rintang Kala yang melihat kehadiran pemuda itu,
wajahnya langsung pucat dan tubuhnya gemetaran.
"Ka... kau..."
"Huh, kau pikir bisa bersembunyi dari Nara Suda-na, keparat! Tak satu pun dari
kalian boleh hidup di dunia ini. Ke mana pun kalian bersembunyi akan ku-kejar!"
"A... aku tak bersalah...."
"Berdoalah sebelum mampus!" potong pemuda itu dingin.
"Ta...."
"Yeaaaa...!" Pemuda yang menyebut dirinya Nara Sudana itu bergerak cepat.
Walau Rintang Kala berusaha berkelit dengan se-
genap kecepatan yang dimiliki, namun tetap saja ter-
dengar jerit tertahan.
"Akh! "Pluk!"
"Ohh...!"
Beberapa orang yang menyaksikan pertarungan itu
berseru kaget ketika melihat kepala perompak Tengko-
rak Darah itu menggelinding jatuh. Tubuhnya yang
tanpa kepala itupun menyusul kemudian.
"Ayaaah... ibuu, dendam kalian sudah terbalas hari ini! Tenanglah di akhirat
karena anakmu tak akan
membiarkan mereka lolos seorang pun. Orang-orang
itu harus membayar mahal apa yang telah mereka
perbuat terhadap kita!" teriak pemuda bernama Nara Sudana dengan suara lantang
sambil menengadahkan
wajah ke langit.
Beberapa orang yang mendengar teriakannya ber-
getar tubuh mereka. Bahkan dua tiga orang tampak
pingsan sambil mendekap telinganya yang mengucur-
kan darah. Setelah puas berkaok-kaok, pemuda itu mengge-
rang buas sambil menatap setiap orang yang berada di dekatnya. Mereka yang
pengecut nyalinya langsung
ciut dan perlahan-lahan menjauhi tempat itu.
Bayu Hanggara masih tetap tegak di tempatnya se-
perti tak bergeming. Dua jarinya masih menutupi te-
linga monyet kecil berbulu hitam untuk melindunginya dari pengaruh getaran suara
pemuda itu tadi. Ketika
pemuda itu mengalihkan pandangan ke arahnya, Bayu
bersiaga atas segala kemungkinan.
"Siapa kau"! Apakah kau juga anak buah si Dasa
Griwa"!" bentak pemuda itu galak.
"Aku bukan siapa-siapa. Cuma pengembara biasa yang tak berharga..." sahut Bayu
asal-asalan. "Hmm..." Pemuda itu menggumam.
Setelah itu dia mengedarkan pandangan pada yang
lain. Entah apa yang dipikirkan dan dilakukannya, ti-ba-tiba saja dia
meninggalkan tempat itu seperti da-tangnya tadi. Berkelebat bagai sapuan angin
serta menimbulkan angin kencang. Tahu-tahu ketika semua-
nya reda, pemuda itu raib entah ke mana.
"Gila! Bukan manusia barangkali itu orang!" ujar salah seorang di antara yang
melihat pertarungan tadi.
"Iya, iya..." timpal kawannya.
"Jin barangkali?"
"Hus! Masak jin seperti itu."
"Eh, kan ada jin yang mirip seperti manusia. Bahkan kadang menyerupai gadis
cantik." "Alaaah! Sudah jangan bermimpi. Coba kalau me-
reka tadi mengamuk, kamu tidak bakal ketemu binimu
di rumah!"
Kawannya itu cuma terkekeh sambil meng-garuk-
garuk kepalanya yang tak gatal.
Sementara itu diam-diam Bayu meninggalkan tem-
pat itu sambil menggendong Tiren di pangkuannya.
Kasihan monyet itu, dia merasa terkejut dan sempat
pucat ketika mendengar gelegar suara pemuda berna-
ma Nara Sudana tadi yang menumpahkan segenap pe-
rasaan hatinya yang pilu.
"Kisanak...."
"Nguk!"
Tiren yang lebih dulu tersentak ketika Bayu meno-
leh ke belakang. Terlihat gadis yang tadi bersama si pemuda Wangsa Bangkalan
menghampiri dengan
langkah perlahan.
"Ada apa nisanak?"
"Aku... ng... kami ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikan hatimu menolong
kakangku...."
"Ah, hal itu sudah biasa. Bukankah setiap manusia harus saling tolong menolong?"
"Ng... dia bermaksud mengundangmu kalau kau
tak keberatan kisanak."
"Mengundangku ke mana?"
"Ke tempat kediaman kami. Tak jauh lagi dari desa ini..."
Bayu berpikir sejenak. Sebenarnya dia tak suka
pada pemuda itu. Kesan yang diperolehnya tadi adalah bahwa pemuda itu bersifat
angkuh dan merasa dirinya
hebat. Orang seperti itu biasanya sering mencemooh orang lain yang dianggapnya
hina dan rendah derajat-nya. "Maaf nisanak, kami harus melanjutkan per-
jalanan..." sahut Bayu menolak dengan halus.
"Sayang sekali... padahal aku, eh kami akan mera-sa mendapat kehormatan bertemu
dengan seorang pendekar terkenal seperti anda kisanak."
"Siapakah yang merasa dihormati nisanak" Kalau
kalian merasa dihormati oleh seorang gembel seperti-
ku, sungguh tak pantas sekali. Aku cuma seorang
pengembara biasa yang tak punya kebiasaan apa-apa."
Kisah Sepasang Rajawali 27 Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka Iblis Sungai Telaga 5
^