Pencarian

Iblis Pulau Hitam 2

Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam Bagian 2


keh. Namun seperti gelarnya, roman wajah orang
tua itu betul-betul mirip dengan boneka. Walau ia
tersenyum, bibirnya tetap terkatup rapat. Bahkan
tak di ketahui pasti apa pun lewat pantulan raut
wajahnya, karena wajahnya betul-betul kaku tan-
pa ekspresi. "Banyak kudengar tentang kelakuan buruk ka-
lian berdua belakangan ini. Dan hal itu membuat
pantat ku gatal. Lalu ketika kalian membantai
Perguruan Jari Sakti dan mengacau di kediaman
Bupati, gatal-gatal di seluruh tubuhku seperti tak terkendali dan ingin
memecahkan batok kepala
kalian. Biar tak ada lagi rintihan kesakitan, ke-
luarga yang ditinggalkan dan gadis-gadis tak pe-
rawan korban nafsu biadab kalian..." sahut si orang tua itu santai.
"Hemm, mau mencoba jadi malaikat penyela-
mat, orang tua" Silahkan. Tapi kau tak akan sem-
pat menyesal bila berhadapan dengan Iblis Pulau
Hitam, sebab kami tak akan pernah membiarkan
orang-orang sok jago sepertimu berlalu hidup-
hidup." "He he he he...! Tong kosong biasanya berbunyi nyaring, dan kedua manusia rendah
seperti kalian cuma sebangsa keledai dungu yang menganggap
dirinya harimau."
"Orang tua, kami memang harimau!" sahut
Manggala geram dan langsung melompat ke arah
Ki Misbah dengan satu serangan kilat mengan-
dung tenaga dalam kuat.
"He he he he...! Kalau keledai tetap saja keledai. Yang dungu tak akan berubah
pintar selagi dia berlaku sombong terhadap kedunguannya! Be-
gitu juga seperti kalian berdua!"
"Kau boleh berkata apa saja setelah berada di akherat sana nanti!" dengus
Manggala gusar setelah serangannya dapat dengan mudah dielakkan
lawan. Tubuhnya kembali berputar dan bersalto
beberapa kali di udara.
"Yeaaaaah...!"
"Plak!"
"Dess!"
Manggala terkejut setengah mati. Gerakan la-
wan gesit bukan main. Ketika kedua kaki mener-
jang dengan kuat, orang tua itu cuma menangkis
dengan tangan kiri. Lalu dengan seketika kaki ka-
nannya menendang ke perut lawan. Buru-buru
Manggala berkelit, tapi tak urung pinggangnya
terkena juga. "Bangsat!"
Ki Misbah terkekeh melihat wajah lawan yang
gusar penuh kemarahan.
"Kenapa" Apa sekarang kepalamu pun ingin di
jitak?" "Jangan merasa bangga dulu, orang tua. Kali
ini kau tak akan lolos lagi!" dengus Manggala garang.
Sementara itu Durbala yang melihat dalam se-
gebrakkan saja abangnya dapat dihajar merasa
perlu untuk turun tangan. Namun secepat kilat
Manggala menepiskan tangannya.
"Tidak usah, Durbala. Aku sendiri pun masih
mampu memberi pelajaran pada si cebol ini."
"Tapi, Kang...."
"Tidak perlu kataku!" bentaknya kesal.
Durbala cuma diam menurut saja. Dilihatnya
Manggala kembali memasang kuda-kuda dengan
tatapan penuh kebencian ke arah lawan. Dengan
satu teriakan panjang, tubuhnya kembali melesat
menyerang Lawan.
"Hiaaaat...!"
* * * Dalam segebrakan tadi sebenarnya membuat
keyakinan di hatinya semakin bertambah. Meski
lawan berhasil menendang pinggangnya, tapi ten-
dangan itu tak berarti apa-apa dan tak membuat
luka dalam yang serius. Dari situ ia dapat me-
nyimpulkan bahwa tenaga dalam orang tua bertu-
buh katai itu tak terlalu hebat dan masih berada
di bawahnya. Namun dari ilmu peringan tubuh,
lawan boleh diberi acungan jempol. Dia mampu
bergerak cepat dan menghindari serangan lawan
boleh dengan gerakan yang tak duga. Juga pada
saat kedua tangan atau kaki mereka berbenturan,
anggota tubuhnya lemas seperti tak bertenaga,
hingga Manggala merasa seperti menghantam
angin saja. "Hi hi hi hi....! keluarkanlah seluruh kepan-
daian yang kau miliki. Ingin kulihat. sampai se-
jauh mana kesaktian yang kalian pelajari dari to-
koh yang mendekam di Pulau Hitam itu." kata Ki Misbah sambil menghindari
serangan lawan dengan gerakan ringan.
Tubuhnya berputar ke atas, lalu dengan tiba-
tiba menukik seperti elang menyambar anak
ayam. Dan ketika Manggala menyongsongnya den-
gan satu tinju mautnya ke arah batok kepalanya,
dengan enaknya Ki Misbah menangkis. Dan ber-
tumpu pada itu, tubuhnya berkelebat pada bagian
lawan sambil menyarangkan sebuah tinju.
"Wuk! Bet!" "Uts..."
"Wussss...!"
"He he he he...! Ayo, kerahkan seluruh tenaga yang kau miliki, dan pilihlah
bagian terempuk dari tubuhku!" ejek Ki Misbah.
Bukan main gusar Manggala mendengar eje-
kan orang tua itu, ketika serangan orang tua Katai itu berhasil dihindarinya,
tangan kirinya segera
mengebut ke arah kepala lawan dibarengi tenaga
dalam kuat. Dalam perkiraannya orang tua itu
pasti akan terpelanting. Dan walaupun tidak te-
was, pasti akan terluka parah. Tapi siapa sangka
ia cuma menghajar angin.
Lain halnya dengan Ki Misbah. Ia segera men-
jatuhkan dirinya ke bawah dan seraya bergulingan
tubuhnya terus melentik ke atas dan bergerak
menjauh dengan bersalto menghindari serangan
Manggala yang berikutnya.
"Huh, kau membuat aku marah, cebol! Hari ini
kau tak akan lepas dari pedangku!" dengus Manggala sambil mencabut pedangnya
yang memiliki mala bergerigi.
"He he he he...! Apakah dengan senjata pemo-
tong rumput itu kau hendak membinasakan aku?"
"Benar. Kaulah rumputnya dan aku akan
menghirup darahmu!" bentak Manggala sambil terus menyerang lawan.
"Heaaaaat...
"Klap! klap!"
Dengan adanya pedang di tangan. gerakan
Manggala menyerang lawan semakin leluasa. Ter-
lihat perlahan-lahan Ki Misbah agak kerepotan
menghindari sambaran ujung pedang lawan. Sam-
pai pada satu kesempatan.
"Ciaaaat...!"
"Buk! Cresss!"
* * * 5 Ki Misbah terkejut. Saat tinjunya berhasil den-
gan telak menghantam dada lawan, tapi saat itu
pula ujung pedang Manggala berhasil merobek se-
dikit pundak kirinya. Darah mengucur deras. Ki
Misbah meringis menahan nyeri.
Manggala pun merasakan hal yang sama. Tinju
lawan yang bersarang di dadanya seperti hendak
meremukkan tulang-tulang rusuknya. Tubuhnya
terjajar beberapa langkah, namun ia masih sempat
kembali menyerang dengan pedang berkelebat di
tangannya. "Sekarang mampuslah kau, cebol!"
"Wuuk! Trang!"
"Yeaaaa...!"
Tubuh Manggala berputar-putar ke atas. Seca-
ra tak disangka-sangka Ki Misbah mengeluarkan
senjatanya dari balik bajunya, berupa keris berle-
kuk, dan langsung menangkis serangan Manggala.
Kedua senjata itu beradu. Namun seperti saat me-
reka berbenturan tangan, senjata di tangan Ki
Misbah itu pun seperti lemas tak bertenaga, tapi
dengan tiba-tiba melejit ke atas dan memapas le-
hernya. Karuan saja Manggala tersentak dan ce-
pat-cepat membuang tubuhnya ke belakang. Na-
mun ujung keris Ki Misbah terus mengejarnya.
Pada saat menjejakkan kaki kedua kalinya, tu-
buhnya melenting menjauhi lawan.
"Ciaaaat...!"
Tubuh Manggala dengan cepat kembali menye-
rang. Namun Ki Misbah sudah menduga hal itu.
Buru-buru ia membungkuk dan kaki kanannya
menendang dengan gaya berputar. Sedangkan ka-
ki kirinya menyentuh bumi hingga tubuhnya te-
rangkat ke atas ketika lawan hendak menyapu tu-
buhnya dari bawah dengan satu tendangan keras.
"Tring! Kleps!"
"Cress!"
"Uughk...!"
Manggala mengeluh kesakitan. Tak menduga
kecepatan gerak Ki Misbah sungguh luar biasa.
Begitu senjata mereka beradu kembali keris Ki
Misbah kembali melejit langsung menebas ke arah
leher. Untung Manggala sempat berkelit, meski
ujung keris itu sempat menyambar pangkal leher
dan menggores sedikit luka.
"Mampuslah kalian jahanam!" Ki Misbah sambil kembali mengirim serangan susulan.
"Yeaaaaa...!"
"Trang! Tring!"
Ki Misbah terpaksa menarik serangan ketika
dari arah belakang terdengar sebuah teriakan.
Durbala mencelat dengan satu serangan kilat ke
arahnya. "Bajingan busuk! Mau membokong, heh?"
"Huh, apa perduliku dengan membokongmu"
Yang jelas saat ini kau harus mampus!" geram
Durbala sengit sambil mengayunkan pedang di
tangannya. Mau tak mau Ki Misbah harus melayaninya.
Tapi kepandaian Durbala tak boleh dianggap re-
meh. Pada dasarnya kepandaian Manggala dan
Durbala tak beda jauh. Maka tak heran bila Ki
Misbah harus lebih berhati-hati lagi.
Sementara itu melihat Durbala menyerang la-
wannya. Manggala seperti mendiamkannya saja.
Dia bahkan ikut menyerang. Dan menghadapi dua
orang lawan berilmu tinggi seperti mereka, perla-
han-lahan terlihat Ki Misbah mulai terdesak.
"He he he he...! Sungguh hebat ilmu kalian.
Tapi jangan berbangga hati dulu bisa mengalah-
kanku," kata Ki Misbah berusaha memanas-
manasi mereka. "Tertawalah sepuasmu sebelum kami kirim ke
akherat untuk berjumpa dengan moyangmu!" sa-
hut Manggala mendengus sinis.
"Kali ini kau tak akan punya kesempatan un-
tuk unjuk gigi lagi, cebol busuk!" timpal Durbala.
Dan si tinggi besar berwajah hitam itu ingin mem-
buktikan ucapannya dengan menggempur lawan
lebih gencar. Pedang di tangannya seperti bersua-
ra menimbulkan bunyi yang mengilukan ulu hati
menyambar-nyambar mengikuti ke mana saja
orang tua itu bergerak. Sesekali Ki Misbah beru-
saha menangkis, namun Manggala pun berbuat
hal serupa dengan adiknya hingga menyulitkan
gerak si orang tua itu.
"Ciaaaaaat...!"
Manggala berteriak nyaring dengan ujung pe-
dang menyambar ke arah Ki Misbah. Tubuh Ki
Misbah berputar-putar di udara, tapi saat itu Dur-
bala melompat mengejarnya sambil menghu-
nuskan pedang. "Tring! Wuk!"
"Bret"!"
"Terima kematianmu, cebol!" teriak Manggala kembali ketika melihat ujung pedang
adiknya berhasil mengenai perut lawan.
Tubuh Ki Misbah terhuyung-huyung beberapa
tindak sebelum menyentuh tanah. Dengan sisa te-
naganya dia berusaha menangkis.
"Traaaang!"
"Craaaass!".
"Aaaaakhg...!"
Orang tua itu menjerit kecil saat ujung pedang
Manggala nyaris membuat paha kanannya bun-
tung. Tubuhnya ambruk ke tanah dan berguling-
gulingan menghindari serangan lawan.
"Mampuslah kau!" teriak Durbala geram pa-da saat tubuh Ki Misbah persis terhenti
di- dekatnya. Pedang di tangannya secepat kilat te-
rayun ke bawah.
"Bless!"
"Wuaaaaaayaa...!"
Ki Misbah menjerit keras saat ujung pedang
Durbala persis menembus ke jantungnya, dan me-


Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lesak sedalam tiga jengkal hingga menembus ke
tanah. Kemudian tak terdengar lagi suara di seki-
tar tempat itu. Ki Misbah tewas di tangan Sepa-
sang Iblis Pulau Hitam.
"Apa kataku" Kita tak boleh gegabah mengha-
dapi musuh berilmu tinggi seorang diri!" kata Durbala dengan wajah puas sambil
melirik ke arah
Manggala. Dicabutnya pedang di tubuh Ki Misbah dan
memasukkannya kembali ke sarungnya setelah
dibersihkan. "Guru pun telah berpesan begitu, bukan" Ka-
lau kita bertempur sendiri-sendiri seperti orang
pincang." "Sudahlah, jangan banyak omong. Kau pun
pernah melakukan kesalahan juga ketika di tem-
pat kediaman Bupati itu," sahut Manggala.
"Tapi aku merasa mampu mengatasi mereka!"
"Sampai si Pendekar Pulau Neraka datang dan
kau kewalahan."
"Ah, kalau saja tak ada pengacau-pengacau
keparat itu sudah kupenggal kepala si jahanam
itu!" sahut Durbala geram.
"Nah, kau mulai menganggap enteng lagi. Ha-
rus berapa kali kukatakan..." Pendekar Pulau Ne-
raka itu tidak bisa dianggap enteng. Dan jangan
sekali-kali menganggapnya ringan. Dia lah musuh
utama yang harus dibinasakan!"
"Tapi menghadapi kita berdua, dia bisa ber-
buat apa" Bukan begitu, Kakang Manggala?"
"He he he he...! Ya, ya... sejauh ini tak seorang pun yang tahan menghadapi
gempuran kita berdua."
"Tunggu apalagi" Mari kita cari si keparat itu?"
"Tunggu dulu, Durbala! Kesehatanmu masih
belum pulih benar."
"Aku sudah merasa sehat. Ayolah, sebelum dia
melarikan diri dari kita!"
"Kalau memang begitu, mari!"
Keduanya baru akan beranjak ketika dua
bayangan dengan tiba-tiba melesat ke hadapan
mereka pada jarak sepuluh tombak.
"Iblis Pulau Hitam! Hemm, bangsat-bangsat
keparat! Mau kemana kalian mencari korban hari
ini?" bentak suatu suara dengan lantang.
* * * Kedua orang bertubuh tinggi besar itu tertegun
beberapa saat kemudian. Namun begitu melihat
siapa yang muncul tak lain dari seorang laki-laki
muda bertubuh kekar dengan seorang gadis ber-
wajah cantik, mereka tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha ha...! Sungguh beruntung kita hari
ini. Susah-susah mencari mangsa ternyata malah
datang sendiri!" kata Manggala. "Durbala, kau uruslah bocah berwajah tak sedap
itu, aku akan mengurus si manis ini."
"Jangan khawatir, Kakang! Dalam sekejap dia
akan kubereskan!" sahut Durbala cepat. Kemu-
dian dengan langkah lebar dihampirinya dua
orang itu. Dengan wajah geram ditundingnya pe-
muda itu. "Bocah pentil, pergilah kau dari hadapanku secepatnya dan jangan kembali lagi.
Tapi lepaskan kekasihmu ini agar kami bisa mengampuni nya-
wamu!" Mendengar bentakan itu si pemuda yang tak
lain dari Mahendra, kakak si gadis berbaju hijau,
Dewi Ratih itu malah tersenyum kecil. Sepasang
matanya menatap Durbala dengan sikap menan-
tang. "Iblis keparat! Jauh-jauh kami datang mencari kalian untuk mengorek jantungmu!
Harap kau sa-dari itu. Jika pun saat ini kalian menyembah
sambil memohon ampun, tak nantinya aku kan
memaafkan dosamu yang telah lewat takaran itu."
"Apa?" Durbala tersentak dengan wajah geram.
Kedua bola matanya melotot garang. Dengan satu
hentakan keras tangan kanannya meninju Ma-
hendra. Sekali pukul tentu bocah ini agak terpen-
tal belasan tombak, pikirnya.
Tapi tak percuma Mahendra berguru pada to-
koh sakti jika menghadapi serangan enteng begitu
saja ia tak mampu menghindar. Sambil memiring-
kan tubuh ke kanan, tinju lawan lewat beberapa
senti di samping kepalanya. Dengan cepat kaki ki-
rinya menendang dada kanan lawan.
"Wuuk!"
Durbala mundur ke belakang sedikit. Lalu
sambil berbalik, kaki kanannya menyapu pinggang
lawan. Mahendra cukup menundukkan tubuh,
kemudian tinju kanannya menghantam selang-
kangan lawan. "Bet! Bet!"
"Kurang ajar! Betul-betul tak bisa dikasih hati rupanya!" bentak Durbala dengan
amarah meluap ketika dirinya baru saja terkena serangan lawan.
"Siapa yang butuh hatimu" Kami cuma butuh
jantung kalian!"
"Heaaaat...!"
Dengan satu teriakan keras Mahendra me-
nyambut serangan lawan dengan tenaga dalam
penuh. Duel sengit tak dapat dihindari lagi. Dalam beberapa gebrakan saja
Durbala segera mengetahui bahwa lawan berilmu cukup. Itulah sebabnya
dia tak berani gegabah dan mengeluarkan segenap
kemampuannya. Mahendra sendiri mulai merasakan bahwa te-
naga dalam lawan ada setingkat di atasnya. Angin
serangannya saja mampu membuat tubuhnya ber-
getar. Belum lagi gerakan lawan yang gesit seperti kijang berlari. Kalau saja
dia tak memiliki ilmu peringan tubuh tinggi pasti dalam beberapa gebra-
kan saja pukulan lawan telah menewaskannya.
Sementara itu Manggala telah menghampiri
Dewi Ratih. Dengan wajah yang dibuat semanis
mungkin, dia mulai merayu si gadis.
"Ha ha ha ha...! Tak sangka wajahku demikian
tampan sehingga gadis secantikmu tergila-gila pa-
daku. Kemarilah manis, bukankah kau datang
jauh-jauh hanya untuk mencariku" Ayo, kesinilah
cepat...."
"Cuiih! Jauh-jauh aku datang memang menca-
rimu, tapi bukan tergila-gila dengan wajahmu
yang seperti pantat kuali itu melainkan ingin men-
gorek jantungmu untuk hiasan kamarku!" balas
Dewi Ratih garang dengan wajah penuh amarah.
"Amboooi! Kau, datang untuk mengorek jan-
tungku" Nah, silahkan kekasihku....," sahut
Manggala enteng sambil membusung dadanya.
Merasa lawan menganggap remeh dirinya. De-
wi Ratih semakin geram saja. Dengan satu gera-
kan kilat dicabutnya pedang dan langsung menya-
betkan ke dada lawan.
"Zwiiing!"
"Wut! Wut!"
Tujuh kali sabetan pedang Dewi Ratih yang di-
lakukan dengan cepat semuanya kandas tanpa
sedikit pun mengenai sasaran. Tubuh Manggala
yang besar itu enteng saja bergerak ke sana ke
mari menghindar. Bahkan ketika ia mulai memba-
las, sempat Dewi Ratih kelabakan merasakan an-
gin pukulannya yang besar dan bertenaga kuat.
Kalau saja ia tak cepat-cepat mengibaskan pe-
dang, bukan tak mungkin serangan lawan berhasil
menjatuhkahnya.
"Ha ha ha ha...! Kau semakin membuatku ge-
mas saja, manis. Kemarilah cepat sebelum aku
menggunakan kekerasan terhadapmu,"
"Cuih! Aku akan mendekat setelah kukorek
jantungmu!" sahut Dewi Ratih.
"Hemm, agaknya kau memang ingin dipaksa.
Baiklah kalau itu yang kau inginkan!" dengus
Manggala. Wajahnya berupa kelam dan hawa ke-
marahan mulai terlihat.
Dengan satu lompatan kecil tubuhnya terang-
kat dan melayangkan satu tamparan ke pipi gadis
itu. Dewi Ratih menyambutnya dengan sabetan
pedang. Namun dengan cepat Manggala menarik
tangan dan menendang bahu kanan Dewi Ratih.
"Wuuk!"
Tubuh Dewi Ratih membungkuk menghindari
tendangan lawan, dan kembali ujung pedangnya
menyambar. Kali ini perut Manggala nyaris robek
kalau saja laki-laki berwajah hitam itu tak cepat-cepat melompat ke atas. Dalam
keadaan begitu kaki kirinya masih sempat menendang pergelan-
gan tangan kanan Dewi Ratih.
"Bet!"
"Huh, jangan harap bisa menjatuhkan pedang
dari tanganku! Bila tanganku putus pun, belum
tentu kau berhasil," ejek Dewi Ratih.
"Siapa yang butuh pedang bututmu itu! Seben-
tar lagi kau akan merasakan bahwa Iblis Pulau Hi-
tam tak bisa dipandang remeh," dengus Manggala.
Kali ini Manggala merapatkan kedua tangan di
dada, kemudian diturunkan sebatas pinggang.
Yang sebelah kanan terkepal, sedangkan tangan
kiri terbuka. Kemudian dia berteriak nyaring.
"Heaaaaat...!"
Dewi Ratih terkejut. Dari telapak kiri lawan
menderu angin kencang menghantam tubuhnya.
Gadis itu mencelat ke atas sambil bersalto bebera-
pa kali. Namun saat itu pula tubuh Manggala me-
nyambutnya dengan tinju kanan bersiap meng-
hantam batok kepala. Dewi Ratih yang mengetahui
hal itu cepat-cepat mengibaskan melindungi ba-
gian kepalanya. Ketika Manggala kembali menarik
serangan, dan mengayunkan kaki ke arah perut,
pedangnya masih mampu berkelebat melindungi.
"Yeaaa...!"
"Trang! Tuk!"
Seperti tadi Manggala menarik serangan ka-
kinya, dan dengan kecepatan yang sulit diikuti
oleh pandangan mata biasa, pedang bergeriginya
tercabut memapaki serangan lawan. Kemudian
pada saat yang bersamaan, tangan kirinya berge-
rak menotok urat leher si gadis. Dewi Ratih men-
geluh pelan sebelum tubuhnya ambruk lemas.
"He he he he...! Apa kataku. Sekarang kau tak bisa lagi lepas dari cengkeraman
ku!" Manggala terkekeh sambil membopong tubuh gadis itu.
"Cuiih! Lepaskan aku keparat! Aku masih
mampu menebas lehermu!" teriak Dewi Ratih
sambil memaki-maki.
"Percuma kau berteriak-teriak, manis. Lebih
baik kau diam. Sebab kalau tidak, aku akan ber-
tindak kasar padamu," sahut Manggala. Namun
gadis itu terus berteriak-teriak memaki-maki.
Sementara itu terlihat si gadis, Mahendra yang
sedang bertarung dengan Durbala jadi terganggu
konsentrasinya.
"Dewi Ratih! Bangsat, lepaskan adikku"!" teriaknya sengit lalu melompat hendak
menerjang Manggala. Namun saat itu pula Durbala yang te-
lah meloloskan pedang bergeriginya langsung me-
nebas kedua kaki lawan.
"Craaaas!"
Mahendra menjerit kesakitan. Tubuhnya am-
bruk sambil berguling-guling. Manggala tak me-
nyia-nyiakan kesempatan itu. Secepat pedangnya
tercabut, kembali terdengar pekikan Mahendra ke-
tika pedang lawan menghunjam ke jantungnya.
Tubuh itu meregang sesaat, sebelum akhirnya ter-
kulai lemah. Nyawanya langsung lepas dari raga.
"Kakang Mahendra...!" pekik Dewi Ratih melihat pemandangan yang mengenaskan di
depan matanya. "Diamlah. manis. Percayalah, kau tak akan
mengalami nasib seperti itu kalau menurut pada
kami. Bahkan kujanjikan sorga kenikmatan yang
belum pernah kau peroleh selama ini," kata Manggala sambil terkekeh-kekeh
membawa gadis itu
berlalu masuk ke dalam pinggiran hutan yang tak
jauh dari tempat itu.
Dari arah belakang Durbala menyusul sambil
tertawa terkekeh-kekeh. Sementara suara Dewi
Ratih yang menjerit-jerit dan memaki-maki, perla-
han-lahan hilang seperti ditelan kegelapan malam.
* * * 6 Dalam waktu singkat saja akibat yang ditim-
bulkan perbuatan sepasang Iblis Pulau Hitam
mengejutkan kalangan persilatan. Nama Iblis Pu-
lau Hitam dianggap sebagai ancaman yang mem-
buat tokoh-tokoh golongan putih menjadi geram
dan marah. Dalam waktu seminggu lebih, telah
banyak tokoh yang tewas di tangan mereka. Begitu
juga halnya dengan Perguruan-perguruan ilmu si-
lat yang terkenal, ambruk di tangan kedua tokoh
ini. Telah banyak pula tokoh-tokoh golongan putih
yang mencoba untuk menghentikan aksi mereka,
namun semuanya tewas dengan keadaan yang
mengenaskan. Salah satu diantaranya tokoh yang gemas


Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar sepak terjang Iblis Pulau Hitam adalah
Suropati. Tokoh ini merupakan ketua dari Pergu-
ruan Silat Elang Emas. Pada masa itu perguruan
mereka merupakan salah satu Perguruan Silat
yang disegani. Murid-muridnya terkenal di mana-
mana karena perbuatan mereka yang memusuhi
golongan hitam, dan tak segan-segan menolong
kaum yang lemah.
Hari ini Ki Suropati mengumpulkan murid-
murid utamanya di ruang depan yang luas dan le-
bar. Wajah-wajah mereka tampak geram dan se-
pertinya ingin secepatnya menumpas kedua tokoh
golongan sesat itu.
"Mereka berilmu tinggi dan sulit diukur ke-
mampuannya. Untuk itu kalian harus hati-hati
dan jangan gegabah," nasehat Ki Suropati.
"Tapi Guru, walau setinggi apa pun ilmu mere-
ka kami tidak takut, dan tetap seperti rencana
semula," sahut seorang muridnya.
"Bagus! Dalam membela kebenaran tak perlu
takut. Walau nyawa sebagai taruhannya. Tapi se-
kali lagi yang perlu kalian ingat, jangan gegabah.
Dan janganlah keberanian kalian menjadi sia-sia.
Kalau salah seorang diantara kalian merasa
kewalahan, maka temannya wajib membantu.
Berkelahi secara kroyokan memang tidak baik, ta-
pi jangan diartikan demikian dalam hal ini. Ang-
gaplah hal itu sebagai suatu gotong-royong. Go-
tong royong memerangi kebatilan itu merupakan
tindakan yang baik."
"Iya, Guru....!" sahut muridnya hampir bersamaan.
Sepasang mata laki-laki berusia sekitar enam
puluh tahun itu menatap ketujuh murid uta-
manya itu bergantian. Kemudian katanya setelah
menghela nafas pendek.
"Nah, sekarang. Mari kita sama-sama berang-
kat. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa senantia-
sa melindungi kalian semua..."
"Guru..." panggil seorang muridnya pelan.
"Apakah tidak lebih baik kalau kami saja yang mencari mereka" Kalau seandainya
guru ikut, kami khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Perguruan ini tak akan memiliki pengganti..."
Ki Suropati tersenyum.
"Apa maksudmu, Prahasta...?"
"Maksudku ..... ng..., apakah kami saja tak cukup untuk menghadapi mereka?"
"Apakah kau pernah melihatku berdiam diri
sementara kebatilan merajalela" Tidak, Prahasta!
Lebih banyak jumlah orang yang memerangi me-
reka, itu lebih baik. Walaupun aku harus tewas di
tangan mereka sekali pun, namun kematianku ti-
dak akan sia-sia. Begitu juga halnya dengan ka-
lian." Prahasta tak berkata-kata apa lagi mendengar
penjelasan orang tua itu. Setelah tak ada lagi yang mereka bicarakan, ketujuh
murid Ki Suropati segera berlalu dari ruangan itu. Namun baru saja
mereka bersiap-siap, tiba-tiba melesat dua buah
bayangan yang langsung diiringi suara tawa yang
menggelegar. "Ha ha ha ha ...! Perguruan picisan inikah yang akan menantang Iblis Pulau
Hitam?" Ki Suropati beserta murid-muridnya yang lain
langsung bersiaga. Pada jarak tujuh tombak di de-
pan mereka berdiri dua sosok tubuh tinggi besar
serta berkulit hitam bagai jelaga. Mengenakan ba-
ju loreng kuning dan hitam, amat kontras sekali.
Sepasang mata mereka menatap keadaan sekeli-
lingnya dengan pandangan meremehkan.
"Siapa kalian?" tanya Ki Suropati dengan suara datar.
"Bukankah kalian hendak mencari Iblis Pulau
Hitam" Nah, kamilah orangnya!" sahut salah seorang yang lebih tinggi.
"Hemm, jadi kalian yang bernama Iblis Pulau
Hitam" Bagus! Tak susah-susah lagi kami mencari
keparat busuk seperti kalian."
"He he he he...! Tua bangka bau tanah. Kuden-
gar kau berilmu tinggi. Ingin kubuktikan sampai
di mana kehebatanmu," sahut salah seorang dian-
tara Iblis Pulau Hitam yang bernama Manggala.
"Tak usah banyak basa-basi, Kisanak. Dosa
kalian telah lewat takaran. Aku tak akan pernah
membiarkan manusia-manusia seperti kalian hi-
dup dengan tenang," sahut Ki Suropati. Orang tua itu pun kemudian memberikan
isyarat. Dua orang
murid utamanya langsung berkelebat ke arah Iblis
Pulau Hitam. "He he he he...! Kau menganggap remeh den-
gan mengirim cecoro-cecoro ini untuk menghadapi
kami" Majulah kalian semua biar lebih cepat kami
menebas batang leher kalian!" sahut Durbala yang bertubuh lebih pendek dari
Manggala. "Sriiiing!"
Kedua Iblis Pulau Hitam itu langsung melo-
loskan pedang maut mereka dan menyambut se-
rangan dua murid utama Perguruan Elang Emas
yang bersenjatakan pedang pendek.
"Trang!"
"Wuuut...!"
"Ughk...!"
Kedua murid utama Ki Suropati itu terhuyung-
huyung sambil meringis ketika pedang di tangan
mereka terpental dihajar senjata lawan.
"Heaaaat!"
"Trang! Trang!"
Dua orang murid lainnya berusaha membantu
ketika kedua Iblis Pulau Hitam bermaksud meng-
habisi dua temannya yang pertama. Namun kedu-
anya dibuat terkejut. Dengan sekali hantam, pe-
dang di tangan terpental. Belum lagi sempat men-
guasai diri, Iblis Pulau Hitam telah mengayunkan
pedang. "Wuuut!"
"Trak!"
"Huh, kenapa tidak dari tadi saja kau turun
tangan?" dengus Manggala.
Pada saat-saat terakhir dengan tiba-tiba Ki Su-
ropati melesat dan menangkis pedang lawan den-
gan senjatanya berupa pedang pendek berbulu Ra-
jawali. Orang tua itu sempat terkejut merasakan
tangannya kesemutan. Bukan main hebatnya te-
naga dalam lawan, pikirnya di hati.
"Guru," kami masih mampu menghadapi dua
iblis ini!" seru salah seorang murid yang belum dapat kesempatan sambil menjura
hormat. Ki Suropati menatapnya sekilas, kemudian
mengalihkan pandangan pada murid-muridnya
yang lain. Walau menyaksikan sendiri kehebatan
lawan, namun tak seorang pun diantara mereka
menunjukkan wajah gentar. Malah senjata mereka
tergenggam erat dengan sikap bersiaga.
"Kalian ingin mencicipi Iblis ini?"
"Betul, Guru!" sahut mereka serempak,
Ki Suropati tersenyum. Kemudian katanya per-
lahan. "Setiap peraturan mana pun mengatakan bah-
wa pimpinan berhak mencicipi lebih dulu apa pun
yang datang padanya. Aku biasanya tidak demi-
kian bila mendapatkan sesuatu yang bagus dan
berguna. Tapi kali ini, biarlah aku mencobanya le-
bih dulu. Dan kalian belakangan, atau siapa saja diantara kalian yang tak ingin
mencicipi kehebatan kedua iblis ini, boleh angkat kaki dan berlalu segera."
Tak ada seorang pun dari muridnya yang buka
suara. Mereka mengerti apa yang dimaksud orang
tua itu. Biasanya kalau beliau merasa yakin bah-
wa lawan dapat dikalahkannya. maka murid-
muridnyalah yang akan maju. Tapi bila merasa
lawan sangat tangguh, maka ia tak mengizinkan
muridnya maju, melainkan beliau sendiri yang
menghadapi-nya. Demikian juga dalam hal ini.
Guru mereka menganggap bahwa kedua Iblis Pu-
lau Hitam itu berilmu tinggi. Dan buktinya telah
mereka lihat. "Nah, Kisanak berdua silahkan kalau hendak
bermain-main denganku barang sejenak," ujar Ki Suropati pada kedua lawannya
setelah menunggu
tak ada jawaban dari muridnya.
"He he he he...! Kau akan menghadapi kami
berdua seorang diri" Jangan menyesal, orang tua!
Walau kalian semuanya maju, belum tentu
unggul menghadapi kami!" ejek Durbala jumawa.
"Kau tak akan menyesal, orang tua!" timpal Manggala.
"Untuk menghadapi kalian berdua kurasa tu-
lang tuaku ini sudah cukup. Mengeroyok kalian
cuma membuat kami malu saja, sebab tenaga mu-
rid-muridku diperuntukkan bagi tugas yang lebih
besar," jawab Ki Suropati tenang.
Wajah Manggala mendengus sinis mendengar
ejekan itu, sementara Durbala yang sudah tak sa-
bar langsung mencelat sambil menghunus pedang
menyerang lawan.
"Orang tua busuk. Kau pikir bisa menganggap
enteng terhadap Iblis Pulau Hitam" Kau rasakan
ini!" "Wuk! Wuk!"
Lima kali sabetan pedang Durbala yang di-
lakukan secara cepat hingga sulit diikuti oleh ma-
ta biasa serta mengandung tenaga dalam kuat,
dengan mudah dielakkan Ki Suropati. Tubuh
orang tua itu berlekuk-lekuk seperti orang yang
sedang menari menghindari pedang lawan.
"He he he he...! Ilmu pedang beginikah yang
kalian andalkan untuk menjagoi dunia persila-
tan?" * * * Semakin gusar saja Durbala mendengar ejekan
itu. Telapak kirinya mendekap dada dengan posisi
miring. Tangan yang memegang pedang di tangan-
nya itu berputar-putar seperti baling-baling mem-
bentuk pusaran angin kencang. Dari telapak ki-
rinya pun meleset angin jarak jauh seperti meliuk-
liuk menyambar lawan.
"Kali ini tubuhmu akan ku lumatkan, keparat!"
maki Durbala geram.
Apa yang diucapkannya tak salah. Dan seperti
enggan mengulur-ulur waktu serta berlama-lama
bertarung dengan orang tua itu maka dikelua-
rkannya segenap kepandaiannya. Jadilah perta-
rungan itu sebagai suatu tontonan menarik yang
membuat decak kagum serta kecemasan murid-
murid Perguruan Elang Emas. Hanya beberapa
orang murid utama saja yang mampu menyaksi-
kan pertarungan itu karena penglihatan mereka
sudah terlatih. Sedangkan yang lain hanya dapat
menyaksikan kelebatan bayangan yang bergulung-
gulung saja. "Durbala, agaknya kau lamban sekali mengha-
bisi tua bangka ini. Biarlah kubantu," teriak Manggala tak sabaran lalu melompat
masuk ke dalam kancah pertarungan.
Beberapa orang murid Perguruan Elang Emas
terkejut melihat guru mereka dikeroyok. Pastilah
Ki Suropati akan terdesak hebat.
"Guru, kami terpaksa membantumu!" teriak salah seorang murid utama perguruan
itu. Tanpa menunggu jawaban gurunya, kelima murid utama
langsung ikut dalam kancah pertarungan,
Sebenarnya apa yang dirasakan orang tua itu
adalah bahwa ia mampu mengimbangi ilmu silat
lawan. Bahkan perlahan-lahan mulai menekan se-
telah mengetahui gerak-gerik tipu lawan. Pantas
saja Manggala cepat-cepat turun tangan untuk
membantu. Walau pun demikian orang tua itu tak
merasa gentar. Dalam bayangannya, kalau mereka
berasal dari satu perguruan yang sama, tentu ilmu
silatnya tak jauh berbeda. Itulah sebabnya Ki Su-
ropati tak bermaksud melarang murid-muridnya
ikut membantu. "Heaaaaa...!"
"Trak!"
"Trang!"
"Crasss!"
"Wayaaaa...!"
Terdengar pekik kesakitan yang disusul ter-
lemparnya dua murid utama dari arena pertarun-
gan. Perut mereka robek, isinya terburai keluar.
Begitu menyentuh tanah hanya menggelepar se-
saat, sebelum akhirnya kaku tak bergerak lagi.
Murid-murid yang lain terpana barang beberapa
saat sebelum amarah mereka kembali meluap-
luap. Ki Suropati sendiri menjadi heran. Seharusnya
Manggala tak bisa melakukan hal itu terhadap
muridnya sebab ia sendiri sedang mendesaknya.
Namun secara tak terduga tiba-tiba Durbala men-
gambil alih dan kesempatan sedetik itu digunakan
lawan untuk menghajar dua muridnya yang terde-
kat. Keanehan lain yang dilihat Ki Suropati itu adalah bahwa ilmu silat lawan
jadi berbeda kali ini.
Serangan mereka kompak saling susul menyusul,
kemudian saling jaga menjaga. Bila salah seorang
menyerang, maka yang lainnya telah siap pada se-


Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rangan berikut dengan memperkirakan mana la-
wan akan bergerak menghindar.
"Celaka!" teriak Ki Suropati setelah merasa bahwa serangan kedua lawan memiliki
gerak tipu yang tiada diduga.
"Mulai takut mampus, orang tua?" ejek Durbala. "Huh, aku lebih suka mampus dari
pada hidup jadi pengecut!"
"Bagus, kalau demikian. Dekatkan kepalamu
agar lebih mudah aku memenggalnya."
"Boleh kau ambil kepalaku setelah kutebas du-
lu lehermu!"
"Yeaaa...!"
"Cras! Cras!"
"Aaaaargk...!"
Dua orang murid utama Ki Suropati kembali
terlempar sambil menjerit kesakitan. Sesaat ke-
mudian keduanya terlihat mengejang. Keadaannya
hampir sama dengan yang pertama tadi.
"Guru, kami tak bisa mendiamkan hal ini! Ter-
paksa kami juga turun tangan!" teriak murid-
muridnya yang lain.
Lalu seperti dikomando oleh suara itu, sekitar
tiga puluh murid-murid Perguruan Elang Emas
langsung mengeroyok Iblis Pulau Hitam. Dalam
dada mereka penuh dengan gelora dendam dan
amarah yang meluap-luap. Perguruan Elang Emas
bukanlah perguruan picisan dan selama ini belum
pernah mereka tewas dengan mudah serta tentu
saja hal ini merupakan penghinaan berat. Diang-
gap seperti lalat yang gampang ditepuk kapan sa-
ja. "Heaaaat...!"
"Yeaaah...!"
"Trang!"
"Buk! Buk!"
"Sreet!"
Serbuan murid-murid Perguruan Elang Emas
hebat bukan main. Tapi amukan kedua Iblis Pulau
Hitam lebih dahsyat lagi. Seperti menebas rumput
liar, pedang itu berkelebat ke sana ke mari dan
memakan korban banyak. Sekali pedang itu berge-
rak, tiga atau empat korban akan tewas dengan
keadaan yang mengerikan.
Dalam tempo singkat, belasan murid Ki Suro-
pati tewas. Tentu saja hal ini membuat Ki Suropati menjadi sedih. Walau ia
berusaha mendesak kedua lawan, tapi dalam perpaduan serangan, mere-
ka sama sekali tak merasa direpotkan oleh ke-
royokan itu dan masih mampu meladeni serangan
orang tua itu. "Berhenti ....!" teriak Ki Suropati dengan suara menggelegar.
* * * 7 Seketika pertarungan terhenti, begitu terden-
gar teriakan keras Ki Suropati. Semua murid-
murid Ki Suropati cepat-cepat berlompatan mun-
dur. Mereka tampak keheranan, karena baru se-
kali ini Ki Suropati menghentikan pertarungan pa-
da saat mereka bertarung melawan musuh.
"Murid-muridku, dengarlah...!" seru Ki Suropati lantang. "Biarlah kedua lawan
ini bagianku. Kalau aku tewas nanti, keputusan ada di tangan ka-
lian. Kalian berhak untuk menentukan jalan hidup
kalian sendiri."
"Tidak, Guru. Kami akan tetap menggempur
kedua keparat ini sampai tetes darah terakhir!"
sahut murid-muridnya.
"Bagus! Tapi selagi aku masih berdiri tegak di sini, tak seorang pun boleh
membantuku!" kata Ki Suropati tegas.
"Tapi, Guru...!"
"Sudahlah.... Kalian tak boleh membantuku
sampai aku tewas, dan keputusan nanti berada di
tangan kalian. Jangan ada yang membantah. Ka-
lau ada yang berkeras, maka saat ini juga dia bu-
kan muridku lagi," lanjut Ki Suropati tegas.
Semuanya terlihat menunduk tanpa memberi-
kan jawaban. Tapi Ki Suropati mengerti, bahwa
mereka menurut akan kata-katanya walau mereka
berat melaksanakannya. Kemudian dia beralih ke-
pada kedua Iblis Pulau Hitam yang masih terse-
nyum mengejek. "Nah, Kisanak. Aku siap bertarung dengan ka-
lian kembali...!"
"He he he he...! Kalau kau mau menyembah
kaki kami dan mengatakan takluk, mungkin nya-
wa kalian bisa kuampuni," ejek Durbala.
"Kisanak, sudah jangan banyak bicara. Kalian
tahu hal itu tak akan pernah kulakukan. Bersiap-
lah kalian!" sahut Ki Suropati.
Melihat lawan meremehkannya, Durbala lang-
sung menyerang dengan kekuatan penuh. Kali ini
ia betul-betul mengarahkan segenap kemampuan
yang dimilikinya.
"Yeaaaah...!"
"Trang!"
"Plak!"
Untuk sesaat kedua Iblis Pulau Hitam tercekat.
Serangan Ki Suropati cepat bagai kilat serta men-
gandung tenaga dalam kuat. Ketika telapak ki-
rinya bermaksud menghajar kepala Durbala, la-
wan langsung memapakinya. Ia sedikit meringis.
Tangannya terasa kesemutan akibat benturan itu.
Dan pada saat yang bersamaan, pedang di
tangan Ki Suropati menebas leher Manggala yang
dengan cepat ditangkis dengan pedangnya sambil
menundukkan kepala dan balas menendang la-
wan. "Wuk!"
Tubuh Ki Suropati bersalto ke udara beberapa
kali. Namun saat itu juga Durbala bergerak me-
nyusul sambil menghunus pedang. Ujung senja-
tanya bergulung-gulung seperti hendak mengiris
seluruh permukaan tubuh lawan.
"Trang!"
"Wuuuut!"
Ki Suropati masih sempat menangkis serangan
lawan dengan permainan ilmu pedangnya yang li-
hai. Bahkan pada akhir serangan ia masih sempat
membalas walaupun luput. Tinju kiri Durbala
nyaris menghantam dada pada kesempatan perta-
hanannya terbuka. Namun Ki Suropati cepat me-
lindungi diri dengan memapakinya.
"Bughk!"
"Aaaaaargk...!"
Keduanya menjerit kesakitan dengan tubuh
terlontar pada arah yang berlawanan.
"Yeaaah...!"
"Guru ...!" pekik salah seorang murid sambil melompat menyerang lawan ketika
melihat Manggala hendak mencuri kesempatan dengan meng-
hunus pedang ke tubuh Ki Suropati.
"Trasss!"
"Trang!"
"Bughk!"
"Aaaaakh...!"
Pemandangan mengerikan terjadi dalam bebe-
rapa detik. Tubuh murid Ki Suropati yang berusa-
ha melindungi gurunya, terbelah dua manakala
berusaha menahan ayunan pedang lawan. Mata
pedang bergerigi itu terus menghantam Ki Suropa-
ti setelah membabat pinggang salah seorang mu-
ridnya. Ki Suropati masih sempat menangkis, na-
mun tendangan lawan seperti membuat tulang
dadanya remuk. Tak pelak lagi, Ki Suropati terbanting keras ke
atas tanah seperti seonggok bangkai. Walau demi-
kian nampaknya kegarangan Manggala tak cukup
sampai di situ saja. Begitu menjejakkan kakinya di tanah, dengan kecepatan yang
begitu tinggi sekali
dia kembali melesat untuk menghabisi nyawa Ki
Suropati. "Hiyaaaa...!"
Tapi belum juga tindakan Manggala terlaksa-
na, tiba-tiba saja terdengar suara bentakan keras
menggelegar. Membuat gerakan Manggala jadi ter-
henti seketika.
"Cacing keparat! Aku akan mengadu jiwa den-
ganmu!" teriak tiga orang murid Ki Suropati yang langsung menghadang, dengan
pedang terhunus
ke arah Manggala.
"Cacing-cacing busuk, mampuslah kalian!" desis Manggala geram. "Hiyaaa...!"
"Yeaaaah...!"
"Trang!"
"Crass!"
"Breet!"
Manggala benar-benar mengamuk pada tiga
orang lawannya ini. Pedangnya berkelebatan ce-
pat, membabat ketiga senjata lawan. Dan ketika
sekali lagi berkelebat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa. ketiga
lawannya menjerit kesakitan sebelum ambruk dengan perut robek dan
isinya terburai keluar.
"Wuaaaa...!"
Pada saat yang bersamaan terdengar jeritan
pendek perlahan. Manggala melirik dengan cepat
ke arah suara itu.
Ketika ia sedang menghadapi ketiga murid Ki
Suropati, maka kesempatan itu dipergunakan oleh
Durbala untuk menghabisi jiwa lawan. Ujung pe-
dangnya langsung menghunjam ke jantung Ki Su-
ropati yang telah tak berdaya, dan ketika senja-
tanya tertarik, terdengar tulang rusuk Ki Suropati berbunyi saat pedang Durbala
dicabut. Durbala
kembali berkali-kali menghunjam ujung pedang-
nya ke tubuh Ki Suropati dan seperti semula ma-
nakala ujung pedang itu dicabut maka isi perut-
nya seperti ikut keluar.
"Biadab! Iblis keparat!" teriak semua murid Ki Suropati dengan amarah yang
meluap. Tanpa dikomando lagi mereka langsung menyerang Durba-
la dan Manggala.
Melihat itu kedua Iblis Pulau Hitam malah ter-
kekeh-kekeh senang. Kemudian dengan menden-
gus sinis dan wajah menyiratkan kegarangan, ke-
duanya langsung mengayunkan pedang. Pekik ke-
sakitan dan jerit kematian langsung terdengar
yang di susul tumbangnya beberapa korban dalam
keadaan mengerikan. Dalam waktu singkat tempat
itu banjir darah dan mayat-mayat bergelimpangan.
"Ha ha ha ha...! Mampuslah mereka yang hen-
dak menentang Iblis Pulau Hitam!" Durbala terbahak-bahak setelah menewaskan
lawan terakhir-
nya. Tingkahnya itu diikuti oleh Manggala dengan
suara yang tak kalah kerasnya.
"Siapa pun yang mencoba menentang Iblis Pu-
lau Hitam dia harus mati!" katanya sambil mengacungkan pedang berlumuran darah
di tangannya. "Iblis Pulau Hitam, terimalah salam perkenalan
dariku!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang
disusul satu bayangan melesat ke arah Manggala.
Cepat-cepat dia berkelit sambil mengayunkan pe-
dang. Namun bayangan itu bergulung ke atas dan
langsung menyambar kepalanya.
"Wuuut!"
"Splak!"
Tubuh Manggala terjajar beberapa langkah ke-
tika tangannya berusaha memapaki tamparan la-
wan. Kemudian pada saat itu pula Durbala lang-
sung melesat dengan satu serangan kilat.
"Yeaaat...!"
"Bet!"
"Trang!"
Seperti halnya dengan Manggala, tubuh Dur-
bala terhuyung-huyung beberapa tindak ketika
pedangnya ditangkis oleh suatu benda yang amat
keras. Tangannya terasa perih serta kesemutan.
Belum lagi mereka sempat memperbaiki posisi,
bayangan itu telah kembali melesat menyambar.
"Iblis-iblis jahanam, mampuslah kalian seka-
rang...!" "Wuut!"
"Wuss!"
Tak percuma kedua orang bertubuh tinggi be-
sar dan berkulit hitam itu punya nama angker ka-
lau saja kepandaian mereka cetek. Sambil bersalto
ringan, keduanya langsung mengirimkan pukulan
jarak jauh pada waktu bersamaan. Bayangan itu
melejit menghindari, namun Manggala menyam-
barnya sambil mengayunkan pedang dengan tena-
ga dalam tinggi.
"Siapa pun yang bermain-main dengan Iblis
Pulau Hitam, dia harus mampus!!"
"Trang!"
"Wuuut!"
"Yeaaaah...!"
Pedang Manggala kembali membentur benda
keras seperti tadi. Namun kali ini cuma kesemu-
tan saja dan sempat didengarnya bayangan itu
mengeluh pendek meski masih sempat menya-
betkan senjatanya ke tubuh lawan. Namun Mang-
gala cepat berkelit. Pada saat itulah terdengar teriakan keras dari Durbala yang
mengirimkan se-
rangan susulan terhadap lawan.
"Trang!"


Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiyaaat...!"
Serangan kedua Iblis Pulau Hitam itu kini mu-
lai teratur dan kompak. Bila salah seorang selesai menyerang, maka detik itu
pula yang seorang lagi
melancarkan serangan. Dan bila ia berhenti maka
yang pertama kembali menyerang. Begitu seterus-
nya. Hingga walaupun bayangan itu memiliki ilmu
peringan tubuh setingkat lebih tinggi dibanding
mereka, namun perlahan-lahan terlihat ia mulai
terdesak. Kemudian pada suatu kesempatan,
ujung pedang Durbala nyaris merobek wajah la-
wan. "Uts!"
"Shaaat...!"
"Crasss!"
Bayangan itu mengeluh kesakitan. Walaupun
berhasil menghindari sembarangan ujung pedang
Durbala, namun pada saat yang bersamaan
Manggala berhasil merobek bahu kanannya.
Bayangan itu bersalto beberapa kali ke belakang.
Kemudian pada jarak enam tombak. Tegak berdiri
memandang tajam. Barulah keduanya dapat saling
melihat jelas. Bayangan tadi ternyata seorang laki-laki berusia sekitar tujuh
puluh tahun, berpakaian serba hitam dan rambut yang sudah berwarna pu-
tih. Wajahnya agak bulat dan dahinya licin. Tu-
buhnya pun agak gemuk. Di tangannya tergeng-
gam sebatang tongkat besi sepanjang lebih kurang
tujuh jengkal dengan hulu berbentuk kepala bu-
rung Rajawali berwarna keemasan.
"Siapa kau?" tanya Manggala be rang.
"Akulah pendiri Perguruan Elang Emas ini. Ka-
lian telah berbuat semuanya dengan menghabisi
seluruh murid-muridku. Untuk itu kalian harus
mampus!" sahut si orang tua.
"Hemm, kaukah yang bernama Ki Suganda
yang terkenal dengan gelar Elang Emas Penyapu
Jagat?" "Agaknya pendengaran kalian masih bagus
dan mata kalian masih jeli. Hanya sayang nurani
kalian yang telah busuk!"
"Orang tua, aku tak perduli ucapanmu. Kalau
kau merasa tak senang, kau boleh menuntut ba-
las. Kalau kau mau menyudahi sampai disini, ka-
mi pun akan membiarkan kau berlalu dengan se-
lamat," kata Manggala.
Walau pun baru sekali berhadapan dengan
orang tua ini, tapi nama Elang Emas Penyapu Ja-
gat telah sering di dengarnya lewat penuturan Gu-
runya. Beliau salah seorang tokoh kosen golongan
putih yang ilmu silatnya sulit di ukur kemam-
puannya. Kelebihan utamanya adalah ilmu perin-
gan tubuhnya yang telah mencapai tingkat sem-
purna. "He he he he...! Enak sekali bicaramu, Kisa-
nak. Perguruan Elang Emas, akulah yang mendi-
rikannya. Ki Suropati adalah murid tertua ku, dan
yang lainnya termasuk cucu muridku. Kalian da-
tang tanpa sebab, dan membasmi mereka tanpa
alasan. Bagaimana mungkin aku bisa mendiam-
kan hal ini?"
"Jadi kau akan menuntut balas?" tanya Durbala dengan senyum mengejek.
"Tidak. Hanya ingin meminta kepala kalian se-
bagai bukti ganti nyawa mereka!" sahut Ki Suganda dingin.
"Keparat...!" geram Durbala langsung memerah wajahnya.
Meskipun terdengar tenang, tapi kata-kata
yang dikeluarkan Ki Suganda membuat telinga
siapa saja yang mendengarnya bagai ditusuk pi-
sau. Dan ini membuat wajah Durbala jadi meme-
rah. "Huh, kau kira dengan mengandalkan nama
besarmu kami jadi takut" Kau pun akan menda-
pat gilirannya nanti," dengus Manggala juga ikut geram mendengar kata-kata Ki
Suganda tadi. Merasa bahwa lawan mampu dilukainya, ia
langsung melompat dengan satu serangan kilat.
Bersamaan dengan itu Durbala pun ikut menge-
rubutinya dengan pedang siap di tangan.
"Hiyaaa...!"
"Shaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Dikerubuti oleh dua orang berilmu tinggi itu,
Ki Suganda langsung mengerahkan segenap ke-
mampuannya. Tubuhnya bergerak bagai bayangan
dan sulit dikejar lawan. Walaupun penyerangan
Manggala dan Durbala sangat kompak, tapi ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki Ki Suganda be-
rada satu tingkat di atas mereka hingga sulit bagi kedua Iblis Pulau Hitam itu
untuk dapat menjatuhkan lawan dalam sekejap.
Bahkan beberapa kali Ki Suganda berhasil
mendesak mereka dengan jurus-jurus permainan
pedangnya yang dahsyat, berkelebatan cepat bagai
kilat, menyambar ke mana saja tubuh lawan ber-
gerak. Hingga beberapa jurus berlalu, masih terla-
lu sulit diperkirakan, siapa di antara mereka yang keluar sebagai pemenang dalam
pertarungan itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaaah...!"
Teriakan-teriakan keras menggelegar, terden-
gar begitu dahsyat memecah angkasa. Disertai
dengan suara denting senjata beradu. Terlihat ki-
latan-kilatan bunga api berpendar setiap kali sen-
jata-senjata mereka beradu. Dan tampaknya per-
tarungan itu masih akan terus berlangsung lebih
lama lagi. Sebuah pertarungan tingkat tinggi yang
begitu dahsyat dan menakjubkan. Karena masing-
masing sudah mengeluarkan jurus-jurusnya yang
dahsyat. * * * Pagi bersinar hangat saat ayunan langkah kaki
Bayu sampai di pinggiran hutan. Sejak tadi Tiren,
monyet sahabat kecilnya yang centil terus mence-
recet ribut di pundak Pendekar Pulau Neraka itu.
Lalu turun dari pundak pemuda berbaju kulit ha-
rimau ini dan berlari-lari kecil sambil memanjat
pohon-pohon. "Tiren, kau mau tinggal di situ" Aku akan te-
rus jalan!"
"Nguk...!"
"Kau tidak mau ikut..." Baiklah. Aku akan
meninggalkanmu disini.
Setelah berkata begitu Bayu bersiap-siap
menggenjot tubuhnya dan berlari kencang. Dari
belakang terdengar Tiren menjerit dengan suara
melengking sambil lari mengejar. Tapi Bayu sea-
kan tak mau menghentikan larinya. Saat melihat
depannya ada sebuah pondok kecil, Bayu bermak-
sud bersembunyi di tempat itu. Namun Bayu ter-
kejut ketika melihat sesosok tubuh seorang gadis
tergolek di sebuah balai bambu yang sudah reyot
di sana. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, gadis
itu dalam keadaan bugil. Dan sepertinya dia per-
nah mengenal gadis itu. Cepat-cepat ditutupinya
tubuh gadis itu dengan pakaian yang menggelatak
di lantai. Kemudian sambil mengurut-urut perla-
han, gadis mulai sadarkan diri.
"Ohh...!"
Bayu melirik sekilas. Perlahan-lahan kemu-
dian, dia bermaksud meninggalkan gadis itu. Tapi
entah kenapa, hatinya tiba-tiba ragu. Ada pera-
saan khawatir jika gadis itu mengalami lagi hal-hal buruk setelah
dipeninggalkannya nanti. Dia kenal
gadis itu. Kalau ingat sikap dan raut wajahnya
yang selalu menampakkan rasa ketidaksenangan
terhadap dirinya, kesal juga hatinya. Dua kali me-
reka bertemu, dua kali pula tak pernah dilihatnya
gadis itu sedikit memberikan senyum manisnya.
Tapi baru saja Bayu membalikkan tubuhnya,
tiba-tiba saja dia tersentak kaget, ketika menden-
gar gadis itu menangis terisak. Cepat dibalikkan-
nya tubuhnya, lalu melangkah menghampiri.
"Maaf, aku cuma ingin sekedar membantu. Ku-
lihat kau dalam keadaan tak sadarkan diri. Tak
ada maksud-maksud buruk di hatiku terhadap-
mu," katanya dengan suara pelan.
Tak terlihat reaksi gadis itu. Tangisnya sema-
kin keras terdengar sambil membenamkan diri di
balai bambu, Bayu jadi salah tingkah. Melihat se-
suatu yang tak beres di tubuh gadis itu, dia bisa memastikan apa yang telah
menimpanya. "Nisanak, kali ini aku tak mau kau menuduh-
ku berbuat yang tidak-tidak padamu. Walau aku
bukan orang baik-baik, tapi aku tak pernah me-
maksakan kehendak pada orang yang tak suka
padaku," lanjutnya.
Tetap saja gadis itu diam dan terus menangis
terisak. Bayu menunggu beberapa saat lamanya,
kemudian perlahan-lahan meninggalkan tempat
itu. Tapi baru saja dia sampai di depan pintu, tiba-tiba saja sebuah bayangan
hitam kecil menyambar
cepat bagai kilat.
"Utfs...!"
"Cieeeeeet...!"
Cepat-cepat Bayu menangkap, begitu menden-
gar suara jeritan yang sudah akrab di telinganya.
Sebentar dia menarik napas panjang, lalu mena-
ruh Tiren dipundak kanannya. Sahabat kecilnya
itu berteriak-teriak marah. Bayu terkekeh kecil.
"Salahmu sendiri, kenapa aku ajak tadi, kau
malah bermain-main di pohon!"
"Cieeeet! Cieeeeet!" Tiren menggerutu kesal.
Wajahnya terlihat lucu dengan kerut merut begitu.
"Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan.
Siapa tahu tiba-tiba buruan kita muncul."
Tapi baru beberapa langkah, gadis yang berada
digubuk tadi keluar dan memanggilnya dengan
suara lirih. Bayu berbalik dan tertegun sesaat.
Walau dalam keadaan lusuh sekali pun, namun
wajahnya tetap cantik mempesona.
"Kisanak, terima kasih atas pertolonganmu..."
"Ah, sudahlah. Aku cuma kebetulan lewat saja.
Eh, kemana kekasihmu itu?"
Perlahan gadis itu menundukkan wajahnya,
kemudian membuang pandangan jauh ke arah
lain. Terdengar suaranya yang lirih mengandung
kepedihan. "Dia sudah tewas di tangan Iblis Pulau Hitam."
"Oh..."!" desis Bayu terkejut. "Betul-betul ke-
parat mereka!" geramnya tak sadar.
Sedangkan gadis cantik itu hanya diam saja.
Pandangannya masih tertuju ke arah lain. Seakan
dia tidak sanggup lagi menentang sorot mata pe-
muda tampan berbaju kulit harimau itu.
"Mereka tak akan ku maafkan lagi. Kali ini kalian harus mampus di tanganku.
Telah banyak korban berjatuhan di tangannya." sambung Bayu mendesis geram.
"Kisanak, apakah kau mau memburu kedua
Iblis itu"!" tanya gadis cantik itu agak ragu-ragu terdengar nada suaranya.
"Benar!" sahut Bayu mantap.
"Kau tidak keberatan kalau aku ikut dengan-
mu, Kisanak" Mereka punya hutang nyawa pada-
ku...." "Aku rasa, sebaiknya kau pulihkan keseha-
tanmu dulu" Aku lihat kau masih sangat lemah."
"Tidak. Aku kuat. Aku masih sanggup me-
menggal kepala mereka!" sentak gadis itu tegas.
Bayu jadi tertegun memandangi gadis cantik
ini. Setelah berpikir sesaat, Pendekar Pulau Nera-
ka itu menganggukkan kepala menyetujui. Dalam
hatinya mengatakan percuma saja menghalang-
halangi keinginan gadis ini. Dan entah kenapa, ti-
ba-tiba hatinya merasa cemas jika kejadian buruk
menimpa gadis ini. Lebih-lebih dalam keadaan tu-
buhnya yang lemah, dengan mudah orang-orang
yang iseng akan memperdayainya.
"Tiren, kau mau carikan kami buah-buahan
segar?" pinta Bayu.
"Nguk...!"
Tanpa diminta dua kali monyet kecil berbulu
hitam itu langsung melompat dari pundak Bayu ke
atas cabang pohon. Dalam waktu singkat saja dia
sudah menghilang dari pandangan.
"Cerdik sekali dia...," puji gadis itu.
"Ya, memang dia sangat cerdik," sambut Bayu tersenyum bangga. "Ng...
Nisanak...."
"Bukankah kau telah tahu namaku" Jangan
panggil aku dengan sebutan lagi." selak gadis itu cepat.
"Baiklah, eh... Dewi Ratih...," entah kenapa, Bayu jadi tergagap.
"Ratih saja juga boleh," kata gadis cantik yang memang bernama Dewi Ratih itu
tersenyum. "Ya, ya.... Ratih. Nama yang bagus," gumam Bayu memuji. "Tapi aku minta kau juga
jangan memanggilku Kisanak. Bukankah kau juga sudah
tahu namaku. Gadis itu menoleh sekilas, kemudian terse-
nyum kecil. "Mulanya aku menganggap kau sama saja
dengan kami, murid-murid yang baru turun gu-
nung menjalankan amanat dari Guru. Sudah pasti
belum mampu menunjukkan kehebatan dan kete-
naran namanya. Tapi ternyata dugaanku salah.


Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepanjang perjalanan menuju tempat kediaman
Bupati, namamu amat dikenal. Siapa sangka aku
akan berhadapan dengan Bayu Hanggara, si Pen-
dekar Pulau Neraka yang belakangan ini namanya
sempat menggetarkan rimba persilatan."
"Kau terlalu memujiku, Ratih. Kepandaianku
tak seberapa, sebab di atas langit masih ada lan-
git." Dewi Ratih cuma tersenyum kecil. kemudian kembali terdiam.
"Cieeeeet...!"
"Ah, Tiren sudah kembali! Nah, lihat dia bawa buah-buahan segar."
Apa yang dikatakan Bayu memang benar. Ti-
ren kembali dari cabang pohon dan turun bersama
buah-buahan segar dan ranum. Untuk sesaat me-
reka beristirahat sambil menikmati buah-buahan
itu. Namun pendengaran Bayu yang tajam mera-
sakan kehadiran seseorang di tempat itu. Sambil
memakan buah, dia menggumam pelan, sambil
mengerahkan tenaga dalamnya yang sudah men-
capai tingkatan sempurna.
"Kisanak yang berada di atas pohon, turunlah!
Kalau kau hendak bergabung, aku tak akan pelit
untuk memberimu sebuah!"
Dewi Ratih mencari-cari ke sekeliling tempat
itu dengan sepasang mata indahnya. Demikian ju-
ga dengan Tiren. Tak berapa lama kemudian, ter-
dengar suara tawa cekikikan panjang yang disusul
sebuah bayangan melesat cepat ke arah mereka.
Tahu-tahu seorang perempuan tua sudah ber-
diri di dekat mereka. Wajahnya penuh keriput me-
nyeramkan dengan pipi yang sudah kempot. Ram-
butnya yang sebagian telah memutih digulung
dengan tusuk konde berbentuk naga sebanyak tu-
juh tusuk. Sementara di tangan kanannya terlihat
sebuah tongkat sepanjang satu tombak berwarna
hitam dan berbulu kepala naga.
* * * 8 "Hi hi hi hi...! Dua pasang muda mudi enak-
enakan berpacaran setelah menyebarkan malape-
taka. Kalian tak akan lepas dari tongkat maut Nini Surti," terasa begitu kering
sekali suara perempuan tua yang langsung mengenalkan dirinya ber-
nama Nyai Surti itu.
"Nyai Surti..."!" gumam Bayu agak mendesis.
"Hemm, pernah kudengar nama itu. Apakah kau
yang punya gelar Bianglala Naga Pertala?"
Bayu bangkit berdiri perlahan-lahan. Dan
langsung berhadapan dengan perempuan tua yang
mengaku bernama Nyai Surti itu. Sejenak Pende-
kar Pulau Neraka itu mengamatinya dari ujung
kepala hingga ke ujung kaki. Sedangkan yang di-
pandangi malah tersenyum. Tapi sorot mata nenek
itu mengandung kebencian yang dalam.
"Hi hi hi hi...! Agaknya matamu belum lamur,
Bocah. Nah, bersiaplah menerima kematianmu!"
dengus Nyai Surti, langsung mengacungkan tong-
kat. "Eeee...! Tunggu dulu, Nini Surti. Aku tak keberatan menerima kematian di
tanganmu, tapi je-
laskan dulu apa persoalannya" Setahuku di anta-
ra kita tak ada saling permusuhan."
"Sialan! Sekarang kau pura-pura pikun, heh"
Bukankah kau yang menghancurkan seluruh
anak murid Perguruan Jari Sakti" Nah, Si Panji
Narada yang menjadi ketuanya itu adalah menan-
tuku. Apa lagi alasanmu, Bocah?"
"Nini, aku tak tahu apa maksudmu. Bukankah
sepengetahuanku yang membantai seluruh murid
Perguruan Jari Sakti adalah Iblis Pulau Hitam"
Kenapa tiba-tiba kau menuduhku begitu?"
"Heh, bukankah kalian dari sepasang Iblis Pu-
lau Hitam itu?"
"Nini, namaku Bayu Hanggara, tapi orang-
orang selalu memanggilku Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan gadis ini adalah temanku," Bayu mencoba menjelaskan.
Tapi tampaknya Nyai Surti belum bisa mem-
percayai penjelasan Pendekar Pulau Neraka itu.
Dengan sorot mata yang tajam, dia mengamati
pemuda tampan berbaju kulit harimau ini dalam-
dalam. Kemudian beralih pada Dewi Ratih yang
sudah berdiri di samping Bayu sejak tadi. Gadis
itu hanya diam saja, meskipun dipandangi dengan
sorot mata yang begitu tajam penuh selidik.
"Ah, benarkah kalian bukan Iblis Pulau Hi-
tam...?" desah Nyai Surti, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Nini, aku berkata apa adanya. Bahkan kami
pun sedang mencari mereka untuk menuntut ba-
las," kata Bayu terus mencoba meyakinkan, kalau tuduhan perempuan tua ini tidak
benar. "Tapi orang-orang yang melihatnya, mengata-
kan mereka menuju ke arah sini..." lagi-lagi nada suara Nyai Surati terdengar
seperti bicara pada dirinya sendiri.
Sedangkan Bayu jadi terdiam. Dewi Ratih juga
tidak mengeluarkan suara sedikitpun juga. Tam-
pak jelas kening Pendekar Pulau Neraka itu berke-
rut. Tapi entah apa yang ada di dalam kepala pe-
muda tampan itu sekarang ini. Hanya dia sendiri
yang tahu. Sedangkan Nyai Surti tampak kebin-
gungan. Jelas sekali kalau dia jadi bimbang men-
dengar penjelasan Bayu tadi. Dia tidak tahu, apa-
kah tuduhannya tadi benar atau salah. Tapi dia
juga belum mau percaya begitu saja, walau-pun
pengetahuannya tentang orang-orang yang sedang
dicarinya sangat sedikit sekali. Sementara Bayu
sendiri terus berpikir dengan kening berkerut cu-
kup dalam. Kemudian katanya seperti pada di-
rinya sendiri. "Mereka sering memusuhi perguruan-
perguruan silat terkenal, dan menghancurkannya.
Tujuannya jelas, ingin mendapatkan nama tenar.
Kudengar tempo hari di sebelah selatan tempat ini
ada sebuah perguruan silat yang belakangan na-
manya amat terkenal yaitu Perguruan Mata Elang
Emas. Apakah tidak mungkin keduanya menya-
troni perguruan itu?"
"Ah, betul katamu, Bocah." selak Nyai Surti cepat. "Kalau demikian aku akan
kesana lebih du-lu." Seketika itu juga, dia melesat cepat, bagai kilat
meninggalkan tempat itu. Begitu cepat dan ting-ginya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki pe- rempuan tua itu, sehingga dalam sekejapan mata
saja sudah lenyap tak terlihat lagi bayangannya.
"Bayu, kita pun harus segera kesana!" kata Dewi Ratih bangkit berdiri dengan
wajah bersemangat.
"Benar, Ratih. Ayolah...," sahut Bayu langsung menyetujui.
* * * Dengan mempergunakan ilmu meringankan
tubuh, keduanya bisa tiba di tempat itu dengan
waktu singkat. Apa yang diperkirakan Bayu ter-
nyata benar terbukti. Murid-murid perguruan itu
semua tewas dengan cara yang mengerikan. Se-
mentara di satu sudut terlihat dua orang bertubuh
besar dengan kulit hitam sedang mengerubuti la-
ki-laki tua yang menggunakan pedang pendek. Ni-
ni Surti yang baru saja datang, langsung terjun
dalam kancah pertarungan.
Si Kakek yang sedang dikerubuti dua lawan-
nya tak lain adalah Ki Suganda, yang lebih dikenal dengan julukan Elang Emas
Penyapu Jagat, langsung berseru girang melihat kehadiran Nyai Surti.
"Nyai Surti..., bagus kau cepat datang. Kudengar merekalah yang menghancurkan
perguruan menantumu itu!"
"Hemm..., jadi inikah cecurut yang menama-
kan dirinya Iblis Pulau Hitam?" desis Nyai Surti, tidak dapat lagi menahan
kegeramannya. "Betul. Kini mereka telah menghancurkan pula
murid-muridku. Mau tak mau aku harus mengadu
jiwa. Harga kepala mereka berduapun rasanya be-
lum setimpal dengan perbuatan biadabnya ini."
Mengetahui bahwa kedua orang bertubuh ting-
gi besar itu adalah musuh yang dicari-carinya, Ni-
ni Surti langsung mengerahkan seluruh kepan-
daian yang dimilikinya untuk menghabisi lawan
secepatnya. Tongkat di tangannya berputar-putar
menimbulkan suara menderu dan angin kencang
menghantam lawan. Kedua Iblis Pulau Hitam yang
sejak tadi mendesak Ki Suganda, terpaksa mem-
bagi perhatian terhadap lawan barunya.
Sebenarnya Ki Suganda tak begitu suka diban-
tu bila sedang berhadapan dengan lawan. Namun
kali ini keadaannya sudah terdesak sekali. Bebe-
rapa kali tubuhnya kena dilukai lawan, hanya ka-
rena ilmu peringan tubuhnya yang sempurna me-
nyelamatkan selembar nyawanya. Tapi itupun
hanya soal waktu. Kalau saja pada saat itu Nini
Surti tak cepat datang, mungkin sebentar lagi Ki Suganda akan betul-betul
terdesak. Bisa jadi jiwanya hanya sampai di situ sebelum dendamnya
terbalas. Itulah sebabnya ia tak keberatan Nini
Surti ikut membantu. Kebetulan ada alasan yang
tepat bagi perempuan tua itu untuk menempur
kedua iblis itu.
"Bayu, aku tak mau tinggal diam disini saja!"
kata Dewi Ratih ketika mereka mendekat.
"Kedua Iblis itu telah merusak kehormatanku
berkali-kali. Mereka harus membayarnya dengan
nyawa mereka sendiri," lanjutnya.
Tanpa meminta persetujuan Bayu, Dewi Ratih
langsung menerjang lawan dengan garang.
"Iblis-iblis keparat! Kali ini kalian tak akan lepas dari kejaranku!"
"He he he he...! Nona manis, agaknya kau pun
berada di sini" Apakah kau tergila-gila pada kami
sampai kau menyusul ke sini?" sahut salah seorang di antara mereka, Durbala.
"Cuiih! Melihat tampangmu saja muak rasanya
perutku. Kalau belum mengorek jantungmu, hi-
dupku belum puas rasanya!"
"Ciaaaat...!"
"Trang!"
"Trak! Trak!"
"Ughk..!"
Dewi Ratih mengeluh kesakitan ketika pe-
dangnya ditangkis senjata Durbala. Masih untung
dia dapat melompat ke belakang ketika ujung pe-
dang Manggala menyambar pinggangnya.
Sementara pada saat yang bersamaan. Durba-
la menangkis serangan pedang Ki Suganda dan di-
lanjutkan dengan pedang bergerigi Manggala yang
menyampok tongkat Nini Surti. Kedua orang tua
itu betul-betul merasa penasaran sekali, sebab ke-
dua Iblis Pulau Hitam sama sekali tak merasa ke-
repotan walau dikeroyok. Kekuatan dan kecepatan
bergerak mereka tetap sama seperti menghadapi
Ki Suganda tadi. Bahkan dalam satu kesempatan
berikut, mereka berhasil mendesak kedua lawan-
nya. "Yeaaaah...!"
"Wut!"
"Trang!"
"Trak!"
Kembali kedua Iblis Pulau Hitam memapas se-
rangan senjata lawan. Kali ini serangan mereka
bukan main hebatnya karena mengerahkan selu-
ruh tenaga dalam yang dimiliki. Kulit tangan Ki
Suganda sampai terkelupas, dan tongkat Nini Sur-
ti malah patah dua. Namun begitu perempuan tua
itu bukannya gentar malah dengan memegang
masing-masing potongan tongkatnya, kembali ia
menyerang lawan dengan ganas.
"Wuut!" "Wuut!"
"Yeaaaah...!"
Nini Surti mencecar habis-habisan kedua la-
wannya. Pada saat yang bersamaan Dewi Ratih
kembali menyerang lawan sambil berteriak keras.
Ujung pedangnya menyambar Durbala yang saat
itu tengah kerepotan menghadapi dua serangan
lawan sekaligus, yaitu dari Ki Suganda dan Nini
Surti. "Ciaaat!"
"Trang!"
"Trak!"
"Crass!"
Kejadian itu begitu cepat terjadi. Dengan kece-
patan yang sukar diikuti mata biasa, ujung pe-
dang Manggala menyobek paha Nini Surti serta
menangkis pedang di tangan Dewi Ratih hingga
terpental. Bahkan kalau saja pada saat itu tak ada sebuah sinar perak yang
melesat cepat dan menangkis pedang lawan, niscaya leher gadis itu
akan terpisah jadi dua ditebas senjata lawan.
"Pendekar Pulau Neraka!" teriak Manggala geram. "Kau mau ikut mengeroyok kami"
Majulah, biar sekalian kami kirim kalian ke akherat!"
"Ha ha ha ha...! Akhirnya tokoh-tokoh kosen
yang disegani rimba persilatan berkumpul di sini
untuk menerima kematiannya!" sahut Durbala.
"Bagus! Bagus! Siapa yang lebih dulu ingin
mampus?" Bayu Hanggara melihat Dewi Ratih meringis
kesakitan, dengan kulit tangan terkelupas. Semen-
tara Nini Surti sedang menghentikan pendarahan
di pahanya, dan Ki Suganda terdiam barang seje-
nak memperhatikan mereka. Bayu maju perlahan
mendekati. "Kisanak, biarlah aku sendiri yang mewakili
mereka untuk memenggal kepala kalian!" kata


Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayu pelan, namun terasa dingin.
"Ha ha ha ha...! Sombong sekali kau, Bocah.
Mereka saja belum tentu mampu mengungguli
kami. Apalagi kau yang cuma punya nama ko-
song," sahut Manggala memanas-manasi.
"Untuk menghadapi kalian tak perlu kuguna-
kan nama kosong ku," balas Bayu santai. Kemu-
dian ia berpaling kepada orang tua itu.
"Kisanak berdua, kalau tak keberatan biarlah ku wakilkan kalian untuk mencopot
kepala kedua orang iblis ini," lanjutnya.
Ki Suganda dan Nini Surti mengerti. Dalam ge-
brakan tadi, tak mungkin rasanya mereka bisa
menang melawan kedua iblis itu. Kalaupun dite-
ruskan, paling tidak salah seorang diantara mere-
ka akan tewas. Bila Bayu yang tampil, walaupun
tidak mampu mengunggulinya, paling tidak dua
iblis itu akan kerepotan. Dan di saat itulah mereka bermaksud akan membokongnya
nanti. "Nah, iblis busuk, bersiaplah!" kata Bayu Hanggara. Cakra maut di tangannya kini
tergenggam erat. Dilihatnya kedua Iblis Pulau Hitam ber-
siaga dengan pandangan mata tak henti menga-
wasi geraknya. "Yeaaaaa...!"
"Heaaaat!"
Dengan satu teriakan kencang Bayu Hanggara
melempar cakra mautnya ke arah lawan. Dan ber-
samaan dengan itu tubuhnya melesat cepat den-
gan satu serangan kilat yang bertenaga kuat.
"Zwiing!"
"Trang!"
"Wuuut!"
Saat kedua lawan menghantamkan pedang un-
tuk memapaki cakra maut berwarna keperakan
itu, tinju kanan Bayu Hanggara menghantam dada
Iblis Pulau Hitam yang bertubuh lebih besar. Te-
tapi dengan manis Manggala dapat menghinda-
rinya sambil bersalto ke belakang. Bahkan satu
tendangan keras nyaris menghantam kepala Bayu
kalau saja ia tak memutar tubuhnya seperti
gangsing. Pada saat itu kaki kanannya berhasil
menghantam lambung lawannya yang lain. Seperti
temannya, Durbala mampu berkelit, bahkan den-
gan cepat mengirim serangan balasan dengan me-
nyabetkan pedangnya.
"Wuuut!"
"Yeaaaaaaa...!"
"Trang! Trang!"
Dari tangan kanan Bayu Hanggara melesat se-
rangkum angin kencang namun itu tak cukup un-
tuk menghentikan laju pedang lawan. Paling tidak
ia bisa menghindar lebih cepat daripada sambaran
senjata lawan dan menangkap kembali cakra
mautnya untuk memapaki serangan Manggala.
"Sheaaa...!"
Dengan satu teriakan keras telapak tangan
tersorong ke depan dan menderu angin kencang
menghantam keduanya. Tapi kedua lawan pun
membalas dengan bersamaan menggabungkan te-
naga dalam mereka. Pada saat itulah Bayu kemba-
li melepas cakra mautnya yang diikuti oleh keleba-
tan tubuhnya ke arah mereka.
"Hiyaaaa...!"
* * * "Wuss!"
"Trang!"
"Bughk!"
"Aaakh...!"
Begitu adu tenaga dalam tadi selesai, melesat
sinar berwarna keperakan menghantam Iblis Pu-
lau Hitam. Keduanya seperti mengerti tipu daya
Bayu. Sebab hanya Manggala saja yang menang-
kis, sedangkan Durbala berkelit menjaga serangan
lawan. Tapi agaknya ia salah perhitungan, sebab
Bayu cuma menyerang satu lawan saja. Lalu keti-
ka cakra maut tadi terpental dan kembali pada
pemiliknya. kembali dilemparkan ke arah Durbala.
Hingga kali ini terlihat Bayu membagi dua perha-
tian. Satu menyerang Manggala, sedangkan cakra
mautnya menyerang Durbala. Secara tak langsung
hal itu membuat keduanya agak kaget. Dan waktu
yang sepersekian detik itu cukup bagi Bayu Hang-
gara menyarangkan pukulan ke dada lawan, serta
cakra mautnya berhasil merobek bahu Durbala.
"Bangsat!" maki Durbala sambil meringis ke sakitan. Begitu juga halnya dengan
Manggala. Wajahnya terlihat menahan marah. Sambil
mendekap dadanya yang terasa nyeri, kembali ia
mengacungkan pedang sambil berbisik kepada
Durbala. "Agaknya ia mengetahui kelemahan kita. Kalau
dia pergunakan cara tadi untuk memisahkan kita,
jaga jarak jangan sampai terlalu jauh, tapi masih
dalam jarak jangkau serangan."
Durbala mengangguk. Kemudian dengan satu
teriakan keras, kembali keduanya bergerak me-
nyerang lawan. "Yeaaah...!"
"Trang!"
"Trak!"
"Wuuut!"
Bayu Hanggara belum melemparkan cakra
mautnya, tapi memegangnya untuk menangkis
kedua pedang lawan. Pikirnya, hal tadi tentu akan
membuat lawan lebih berhati-hati untuk menye-
rangnya. Dan ia bermaksud memanfaatkan ke-
sempatan tadi. Namun yang dihadapinya justru
jebakan hebat. Dalam pertarungan jarak dekat se-
perti ini, keduanya hebat bukan main. Lawan se-
perti terkurung dalam kelebatan pedang mereka.
Walau sejauh ini Bayu dapat menangkis setiap
semua serangan tapi ia tak yakin bisa bertahan
lama. "Hiyaaat...!"
Dengan satu teriakan keras, tubuh Bayu
Hanggara melesat jauh ke atas. Namun ujung pe-
dang Manggala berhasil merobek sedikit kulit
pinggangnya. Bayu Hanggara meringis kesakitan.
Namun bahaya lain segera menanti ketika ujung
pedang Durbala mengejarnya.
"Yeaaah...!"
"Trass!"
"Wuut!"
"Aaaarghk...!"
Dalam keadaan seperti itu dilemparnya cakra
maut ke tenggorokan lawan. Durbala berhasil
mengelak sambil mengegoskan kepala ke samping.
Namun tak urung senjata itu kembali merobek
pangkal lehernya. Sedang pedangnya sendiri ham-
pir mencederai kaki Bayu kalau seandainya ia tak
cepat-cepat mengangkatnya.
"Yeaaat...!"
"Shaaa...!"
"Bughk!"
"Trass!"
"Prak!"
Ketika tubuhnya melesat turun Bayu bersiap-
siap menyambut serangan Manggala. Kejadiannya
begitu cepat sekali. Pada saat yang bersamaan pu-
la Nini Surti dan Ki Suganda, serta Dewi Ratih
menyerang Manggala hingga mereka melupakan
Durbala. Tak ampun lagi, pedang Durbala melesat
cepat membabat kedua kaki Dewi Ratih dan terus
meluncur menyambar pinggang Nini Surti. Tapi
Manggala sendiri bukannya tak luput dari seran-
gan. Walau ujung pedangnya berhasil menyambar
bahu kiri Bayu dan terus bergerak merobek perut
Ki Suganda, ia sendiri mengalami nasib yang naas.
Kepalanya remuk dihantam tinju Bayu sedang
punggungnya terbelah disambar pedang Ki Su-
ganda. Dan pada bagian jantung serta lambung-
nya bolong ditusuk tongkat Nini Surti.
"Tap!"
"Heaaat!"
"Crass!"
"Trak!"
"Whuaaaa...!"
Bayu Hanggara tak mau membuang-buang
waktu dan kesempatan lagi. Begitu cakra mautnya
berputar kembali ke tangan, secepat itu pula me-
lesat lagi dan menyambar tubuh Durbala pada ba-
gian jantung. Terdengar tulang-tulang rusuknya
berderak patah ketika cakra maut bersegi enam
itu menembus hingga ke punggungnya. Lalu ber-
balik ke arah Bayu. Durbala menjerit lirih ketika tubuhnya berputar-putar
limbung sebelum akhirnya ambruk dengan nyawa lepas dari raga.
Bayu Hanggara membersihkan noda-noda. da-
rah pada cakra mautnya sebelum melekatkan
kembali di tangan. Kemudian ia melangkah pelan
ke arah Dewi Ratih dan menghentikan pendarahan
di kakinya. "Sudah kukatakan, kau tak perlu turun tan-
gan. Biar aku saja yang menghadapi mereka," kata Bayu seperti menyesali kejadian
itu. "Juga yang lainnya, mereka tewas sia-sia."
"Tidak. Mereka tidak tewas sia-sia. Mereka
puas dengan kedua Iblis itu telah tewas di tan-
ganmu walaupun harus dibayar dengan nyawa
mereka sendiri. Tapi itu lebih baik daripada kebia-daban mereka akan menimbulkan
korban nyawa yang lebih banyak. Sepertiku juga, kedua kaki
yang buntung ini tak membuatku menyesal," sa-
hut Dewi Ratih dengan haru.
"Entahlah, aku tak mengerti. Mungkin juga ka-
ta-katamu benar. Paling tidak benar menurut ke-
nyataan, sebab tanpa kehadiran mereka yang
membuat perhatian lawanku terkejut dan memba-
gi perhatiannya. Paling tidak aku akan cidera be-
rat," kata Bayu perlahan.
Matanya beredar berkeliling, memandangi
mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar tem-
pat itu. Begitu banyak tubuh-tubuh tak bernyawa
bergelimpangan saling tumpang tindih di sekitar-
nya. Bau anyir darah pun menyeruak masuk ke
dalam hidungnya, terbawa hembusan angin yang
lembut mengusik kulit.
"Nah, Ratih. Tugasku telah selesai. Kau tentu bisa pulang sendiri, bukan" Aku
akan melanjutkan perjalanan," kata Bayu lagi, seraya melirik sebentar pada gadis
Dewi Ratih. Baru saja Bayu akan memanggil Tiren, monyet
kecil sahabatnya yang berbulu coklat kehitaman
itu, sudah terdengar suara Dewi Ratih memanggil-
nya pelan. Terpaksa Bayu tidak jadi melangkah
pergi. "Bayu, tidak keberatankah kau menolongku
sekali lagi?"
"Apa...?" terdengar enggan nada suara Bayu.
"Bagaimana aku bisa berjalan ke tempatku da-
lam keadaan begini?" lirih sekali suara Dewi Ratih.
Bayu jadi tertegun memandangi gadis cantik
itu. Memang tidak mungkin Dewi Ratih bisa me-
nempuh perjalanan jauh dalam keadaan terluka
cukup berat begini.
"Plak!"
Bayu menepuk keningnya sendiri. Memang ti-
dak mungkin dia meninggalkan Dewi Ratih seo-
rang diri di tempat seperti ini, dengan keadaan tidak memungkinkan lagi untuk
bisa berjalan jauh
seorang diri. Dan Bayu terpaksa harus menghalau
perasaan hatinya pada gadis ini. Mau tidak mau,
dia harus membantu Dewi Ratih sekali lagi. Dan
tak berapa lama kemudian, keduanya segera ber-
lalu dari tempat itu meninggalkan bau anyir da-
rah, mayat-mayat yang bergelimpangan, dan keja-
dian yang hampir saja merenggut nyawa mereka.
Dari jauh terdengar Tiren menjerit keras seperti
memecah kesunyian.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
https://www.facebook.com/pages/Duni
a-Abu-Keisel/511652568860978
Mestika Golok Naga 3 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Pendekar Bayangan Setan 12
^