Pencarian

Warisan Iblis 2

Pendekar Pulau Neraka 39 Warisan Iblis Bagian 2


"Anda terlalu merendah kisanak. Sebenarnya kami bermaksud kembali ke rumah
karena ayahanda kami
saat ini sedang mengadakan perayaan perkawinan ka-
kangku yang paling tua. Itulah sebabnya kami dipang-
gil pulang, dan aku bermaksud mengundangmu untuk
turut menghadirinya. Jangan tolak permintaanku ini
kisanak...."
Bayu masih menimbang-nimbang ketika Wangsa
Bangkalan beserta para pengawalnya mendekati.
"Betul kisanak, kami atas nama keluarga bermak-
sud mengundang anda," sahut Wangsa Bangkalan
sambil tersenyum kecil.
"Hmm... bagaimana Tiren" Apakah kau suka?"
"Kaaakh!"
Monyet kecil berbulu hitam itu menjerit keras ke-
mudian menepuk-nepuk kedua tangannya sambil
menganggukkan kepala.
Mereka yang melihat kelakuannya terkekeh geli.
Monyet kecil itu memang lucu sekali. Apalagi ketika
dia membuat ulah sambil menari-nari di pundak Bayu.
"Ah, agaknya dia pun suka pada kalian. Baik-lah..."
sahut Bayu. "Nguk! Nguk...!"
"Ha ha ha...!"
*** Adipati Bangkalan adalah seorang pembesar kera-
jaan yang amat terkenal saat itu. Selain ahli dalam ketatanegaraan beliau pun
gemar akan ilmu silat. Tak
heran bila di lingkungan kerajaan beliau sangat dis-
egani oleh pembesar-pembesar lainnya. Tak kurang
dari dua puluh orang para pengawal di kadipaten ada-
lah tokoh-tokoh persilatan yang bekerja pada beliau.
Selain itu juga pengawal-pengawal kadipaten sendiri
terdiri dari orang-orang yang trampil dalam hal ilmu bela diri yang digembleng
oleh seorang tokoh persilatan terkenal bernama Gagak Lumayung, atau lebih
dikenal sebagai Pendekar Jari Sakti.
Tak heran saat perayaan perkawinan putra tertua-
nya beliau mengadakan pertandingan silat dengan
mengundang tokoh-tokoh persilatan berbagai kalangan
untuk memeriahkannya. Sebagai tokoh yang selama
ini dikenal tegas dan jujur serta bijaksana, jelas tujuan beliau semata-semata
untuk persahabatan dan mem-pererat tali persaudaraan di samping segi hiburannya
di antara tokoh-tokoh persilatan.
Waktu Wangsa Bangkalan dan Cempaka Wangi
memperkenalkan Bayu Hanggara, bukan main se-
nangnya beliau. Sampai-sampai si Pendekar Pulau Ne-
raka itu di beri tempat di samping beliau. Itu adalah kehormatan yang bukan
kepalang baginya.
"Tak sangka pendekar terkenal sepertimu sudi datang ke tempat kami yang buruk
ini," kata Adipati Bangkalan merendah.
"Justru aku yang tiada menyangka bahwa orang
hina sepertiku mendapat kehormatan luar biasa dari
anda kisanak. Ini sungguh tak terduga. Jangan-jangan nanti malah menimbulkan
kecemburuan pada yang
lainnya," sahut Bayu.
"Ah, siapa yang tak kenal Pendekar Pulau Neraka"
Namamu sudah termahsyur di delapan penjuru angin.
Sudah sepantasnya kami mendapat kehormatan keda-
tanganmu."
Bayu sebenarnya jengah juga diperlakukan demi-
kian. Matanya tiada henti melirik tamu-tamu yang
lain. Kelihatannya dia betul-betul menjadi pusat perhatian saat ini. Bahkan
Gagak Lumayung sendiri yang
di kalangan kadipaten merupakan orang yang disegani
hanya mendapat tempat di sebelah Wangsa Bangkalan.
Kedudukan tempat yang utama saat itu adalah kedua
mempelai. Di sebelah pengantin laki-laki adalah sang Adipati, Bayu, Cempaka
Wangi serta tamu-tamu terhormat lainnya. Sementara di sebelah pengantin wani-
ta adalah istri sang Adipati, Wangsa Bangkalan, Gagak Lumayung serta undangan
lain yang merupakan tamu-tamu terhormat.
Sementara itu di hadapan mereka pada jarak tujuh
tombak terdapat sebuah panggung yang agak luas
tempat diselenggarakannya pertandingan, ilmu silat.
Siapa pun yang diundang ataupun tidak, boleh ikut
ambil bagian untuk memperebutkan hadiah se-ratus
kepeng uang emas yang dijanjikan sang adipati. Asal-
kan mereka mengikuti peraturan yang telah di kelua-
rkan. Pertandingan telah berlangsung tiga kali. Tiga
orang telah keluar sebagai pemenang. Satu merupakan
salah seorang pengawal kadipaten sedang dua lainnya
merupakan tokoh-tokoh persilatan.
"Kau suka melihat pertandingan ini?"
"Eh... ng... apa?" Bayu tersentak ketika Cempaka Wangi bertanya pelan padanya di
sela-sela ramainya
pertandingan. "Kau tentu suka melihat pertandingan seperti ini bukan?"
"Entahlah... sepertinya menarik juga...."
"Kenapa tidak ikut ambil bagian" Kau tentu bisa menang dan mengantungi hadiah
yang dijanjikan ayahanda ku?"
Bayu tersenyum kecil. Sementara Tiren di pang-
kuannya menepuk-nepuk kedua tangan sambil menye-
ringai lebar ke arahnya.
"Aku lebih suka menonton saja...."
"Sayang sekali... padahal kesempatan terbuka luas untuk siapa saja. Atau mungkin
orang sepertimu merasa malu berhadapan dengan mereka?"
"Itu pikiran buruk. Apakah kau pikir aku merasa paling jago di atas bumi ini"
Tidak. Sama sekali aku tak beranggapan begitu. Bahkan kalau mau berkata
jujur, kepandaianku tak ada secuil pun dibanding me-
reka yang memiliki ilmu silat hebat dan disegani."
"Lalu kenapa kau tak tertarik untuk ikut" Padahal banyak orang yang
memperebutkan hadiah itu. Dis-amping mendapat hadiah, mereka yang menang pun
akan mendapat nama tenar dan diakui sebagai salah
seorang tokoh persilatan yang disegani."
Bayu cuma tersenyum mendengar celoteh gadis itu,
dan tak menyahut apa-apa. Sulit untuk dijelaskan apa yang dilakukannya saat ini
dan ke mana tujuannya.
Barangkali dalam hal ini adalah pengabdian pada si
lemah yang teraniaya. Walaupun dalam hal ini tak ja-
rang dia melakukan kesalahan. Tapi kesalahan toh
adalah kodrat manusia yang tak bisa dielakkan.
Pertandingan di atas gelanggang semakin seru. To-
koh-tokoh yang berilmu tinggi mulai ikut ambil bagian.
Dan yang membuatnya sedikit heran adalah keikutser-
taan Gagak Lumayung. Memang tidak ada larangan
untuk itu, tapi apakah dia tak berpikir bila nanti men-galami kekalahan toh yang
malu bukan cuma dirinya
sendiri, melainkan juga sang adipati beserta seluruh jajaran pengawal kadipaten
yang selama ini menjadi
murid-muridnya.
"Paman Gagak Lumayung berilmu tinggi dan tak
seorang pun yang berani berhadapan dengan beliau,"
jelas Cempaka Wangi tanpa diminta.
"Hmm... lalu kenapa ayahanda mu tak meng-
ijinkan beliau yang mengajarkan kalian ilmu silat?"
tanya Bayu. "Justru kami kenal ilmu silat pertama kali dari beliau. Tapi ayahanda berpikir
lain mengingat ke-
dudukan beliau, maka kami pun dititipkan di Padepo-
kan Laksa Dahana. Selain belajar ilmu silat, Ki Tem-
bayat Danang mengajarkan agama serta kesusilaan,
serta sedikit ilmu ketatanegaraan. Beliau dulu adalah abdi kerajaan yang sangat
diandalkan sebelum mengundurkan diri."
Si Pendekar Pulau Neraka menganggukkan kepala.
"Coba lihat! Cuma tiga jurus, Paman Gagak Lu-
mayung telah mengalahkan lawannya!" seru Cempaka Wangi sambil bertepuk girang.
Di atas panggung terlihat Gagak Lumayung men-
gangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil mengita-ri tempat itu. Tak jauh
dari situ lawannya berusaha
bangkit sambil tertatih-tatih keluar dari gelanggang dan menyeka darah yang
meleleh di bibirnya.
Sampai saat seseorang mengumumkan nama-
nama pemenang, terlihat tak ada lagi penantang yang
berani tampil di arena. Mungkin juga takut melihat
yang menjadi pemenang adalah tokoh-tokoh persilatan
berilmu tinggi, atau juga punya alasan lain. Namun
karena pertandingan itu sendiri diusahakan berjalan
dengan seadil-adilnya, timbul masalah karena jumlah
pemenang yang akan diadu ternyata ganjil. Artinya salah seorang tak mempunyai
lawan, atau salah seorang
musti menghadapi dua lawan. Cara terakhir pasti tidak adil. Itulah sebabnya sang
adipati turun tangan untuk mengundang siapa saja yang berani melawan salah
seorang di antara para pemenang yang telah ada agar
pertandingan tetap berjalan dengan adil dan jujur.
Namun tak seorang pun di antara yang hadir me-
nyambutnya. "Maaf Kanjeng Adipati, saya ada usul jika diperke-nankan..." kata Gagak Lumayung
tiba-tiba. "Usul apakah itu...?"
"Biarlah hamba yang mengalah tak memiliki la-
wan..." "Maksudmu kau akan mengundurkan diri?"
"Tidak demikian Kanjeng Adipati. Maksud hamba
jika hamba yang mendapat bagian tak memiliki lawan
maka jika Kanjeng Adipati meng-ijinkan, hamba ber-
maksud memilih lawan yang kira-kira bisa disetujui
oleh semuanya...."
"Hmm... boleh juga. Asal kau tak memilih lawan yang lemah dan rendah ilmu
silatnya. Kalau begitu kau pasti menang dengan mudah," kata sang adipati
berkelakar. Semua yang berada di situ senyum-senyum kecil
mendengarnya. "Tentu saja tidak, Kanjeng Adipati. Hamba bermaksud memilih lawan yang setimpal
tentunya."
"Nah, siapa lawan yang akan kau pilih?"
"Tamu kita hari ini, yaitu Ki Bayu Hanggara yang saat ini duduk di sebelah
Kanjeng Adipati."
"Apa?" Adipati Bangkalan agak terkejut mendengar itu. Mereka yang berada di
situpun tak menduga hal
itu. Antara sikap gegabah melawan pendekar itu, serta keingintahuan sampai di
mana kehebatan ilmu silat si Pendekar Pulau Neraka yang selama ini sering digem-
bar-gemborkan, membuat semua mata menuju ke arah
Bayu seperti menanti jawaban pemuda itu.
* * * 5 Bayu Hanggara sendiri tak menduga hal itu. Sejak
tadi dia memang tak sempat memperhatikan sorot ma-
ta Gagak Lumayung yang cemburu melihat perhatian
seluruh keluarga sang adipati pada tamu mereka satu
ini. Tapi jika seorang tokoh persilatan berkata begitu, sama artinya dengan
suatu tantangan. Dan apakah
mungkin dia bisa menolak tantangan itu di hadapan
puluhan pasang mata yang saat ini menunggu jawa-
ban dari mulutnya"
"Eeeh, kenapa jadi begini" Bukankah aku tak ikut dalam pertandingan ini?"
"Kisanak, siapa saja boleh mengikuti pertandingan ini diundang ataupun tidak
asal mengikuti peraturan, yang telah ditetapkan. Yang menjadi masalah, apakah
anda sudi atau tidak memeriahkannya untuk meng-
hormati Kanjeng Adipati?" sahut Gagak Lumayung tegas. Bayu tak enak hati
mendengar kata-kata kepala
pasukan pengawal kadipaten itu. Sepertinya dia ber-
nafsu betul ingin menantangnya.
"Bagaimana kisanak" Apakah kau sudi menemani-
ku bermain-main satu atau dua jurus?" tanya Gagak Lumayung mencoba menegaskan.
"Ayolah, Bayu. Kami akan mendapat kehormatan
sekali bila kau pun turut memeriahkan perkawinan
putraku ini," sahut Adipati Bangkalan.
"Betul, Kakang Bayu. Kau harus ikut memeriah-
kannya. Anggaplah hal ini sebagai tanda per-
sahabatan antara kau dan kami!" timpal Cempaka
Wangi. Pemuda itu jadi tak enak hati mendengar suara-
suara itu. Akhirnya dia mengangguk pelan, dan dis-
ambut oleh semua orang dengan perasaan suka cita.
"Baiklah. Tapi terus-terang saya tak bermaksud
untuk memenangkan hadiah yang dijanjikan Kanjeng
Adipati. Semata-mata untuk menghormati dan turut
memeriahkan perkawinan putra beliau. Jadi kalah
atau menang tak saya persoalkan betul," sahut Bayu.
Gagak Lumayung sendiri menyetujui usul pemuda
itu, dan menawarkan pertandingan mereka pada ba-
bak terakhir setelah pertandingan-pertandingan pada
babak sebelumnya.
Bayu sendiri sekali lagi menyetujui saja.
Dan ketika saat-saat yang ditunggu oleh semua
yang hadir di situ tiba, mereka menunggunya dengan
hati berdebar-debar. Pendekar Pulau Neraka yang na-
manya belakangan ini menggegerkan rimba persilatan
akan berhadapan dengan Gagak Lumayung yang su-
dah terkenal memiliki ilmu silat tingkat tinggi.
"Silakan kisanak. Sebagai tamu kau berhak menyerang lebih dulu," kata Gagak
Lumayung ketika keduanya telah berada di atas arena pertarungan.
"Sebagai orang yang lebih muda, tentu aku harus mengalah pada anda kisanak.
Silakan lebih dulu...."
"Baiklah kalau itu keinginanmu."
"Hiyaaa...!"
Dengan kaki kanan terangkat, Gagak Lumayung
membentang dua jari tangan siap melancarkan seran-
gan ke arah lawan. Nama Pendekar Pulau Neraka tentu
saja dikenal semua orang sebagai tokoh muda yang
memiliki ilmu silat tinggi, maka Gagak Lumayung tak
mau gegabah. Dia langsung menyerang dengan menge-
rahkan segenap kepandaian yang dimilikinya.
"Bet!"
"Uts!"
"Yeaaa...!"
Tubuh Bayu berputar bagai gasing sambil bergerak


Pendekar Pulau Neraka 39 Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat ke arah Gagak Lumayung. Ketika lawan mencelat
ke atas menghindari serangannya, tubuh pemuda itu
melentik mengikuti dengan satu bentakan keras.
"Plak! Plak!"
"Ukh!"
"Hiyaaa...!"
Gagak Lumayung tersentak kaget. Tak ada waktu
dan kesempatan baginya untuk menghindar dari pu-
kulan lawan selain memapakinya. Tangannya terasa
linu dan kesemutan ketika menangkis tamparan pe-
muda itu. Tubuhnya mencelat mundur ke belakang
beberapa tindak. Tapi begitu kedua kakinya menyen-
tuh lantai, saat itu pula tubuh Bayu kembali mencelat sambil mengirim serangan
susulan. Gerakan yang diperagakan kedua tokoh itu cepat
dan bertenaga kuat membuat decak kekaguman mere-
ka yang menonton pertarungan itu. Bahkan untuk me-
reka yang tak memiliki tenaga batin yang kuat, kepa-
lanya terasa pusing menyaksikan pertandingan yang
cepat bukan main antara keduanya.
"Bleduk! "Yeaaa...!"
Tubuh Gagak Lumayung bergulingan di lantai
menghindari serangan Pendekar Pulau Neraka. Tapi
tubuh pemuda itu melentik dalam posisi miring den-
gan kedua kaki menendang tubuh lawan bergantian.
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Ukh!"
Kembali Gagak Lumayung meringis kesakitan. Da-
lam keadaan terdesak begitu, dia mencoba mengelua-
rkan pukulan jari sakti menghantam kaki lawan. Tapi
Bayu merasakan desir angin panas Serangan lawan,
maka tanpa berpikir panjang dia mengerahkan seba-
gian tenaga dalamnya ke arah kaki. Akibatnya sung-
guh fatal. Terdengar suara berderak ketika Gagak Lu-
mayung menjerit kesakitan sambil memegang dua jari
tangan kirinya yang patah.
Wajah kepala pasukan pengawal kadipaten itu be-
rubah garang. Dengan mendengus sinis dia mencabut
keris yang terselip di pinggang ketika Bayu tak meneruskan serangan dan memberi
peluang padanya untuk
menarik nafas. "Aku biasa bersenjata. Keluarkanlah senjatamu
agar pertarungan ini terasa lebih seru!"
"Biarlah untuk sementara aku bertangan kosong.
Nanti kalau kurasa tak mampu melayanimu tentu
akan kupergunakan senjataku," sahut Bayu tenang.
"Terserahmulah...."
"Hiyaaa...!"
Dengan bersemangat Gagak Lumayung kembali
menyerang si Pendekar Pulau Neraka. Untuk beberapa
jurus Bayu hanya meladeninya dengan jurus-jurus bi-
asa saja. Tapi gerakan-gerakan yang dibuat Gagak
Lumayung selanjutnya sungguh membuat pemuda itu
kaget. "Heh?"
Ujung keris Gagak Lumayung menyambar-
nyambar pada bagian tubuh yang mematikan. Gera-
kannya pun ganas dan kejam, serta betul-betul ditujukan untuk membunuh lawan.
"Kisanak, apakah kau ingin membunuhku?" tanya Bayu sedikit kesal.
"Kenapa" Apakah kau mulai takut?" sahut Gagak Lumayung terkekeh pelan.
Bukan main dongkolnya Bayu mendengar jawaban
itu. Untuk dua jurus berselang dia masih bisa meng-
hormati tuan rumah. Namun pada jurus berikutnya
pemuda itu mulai naik pitam ketika serangan-
serangan yang dilancarkan Gagak Lumayung semakin
ganas seperti betul-betul hendak mencabut nyawanya.
"Gagak Lumayung, jangan salahkan kalau aku ber-
sikap kasar padamu karena kaulah yang me-mulainya
lebih dulu!" bentak Bayu sambil melentik ke belakang menghindari serangan lawan
yang bertubi-tubi.
"Siapa yang akan menyalahkanmu" Ayo, hadapilah
seranganku kalau kau betul-betul pendekar tangguh
yang digemborkan banyak orang!"
"Baiklah kalau hal itu yang kau inginkan..."
"Hiyaaa...!"
*** Gerakan Pendekar Pulau Neraka cepat bukan
main. Gagak Lumayung sendiri sampai terkejut di-
buatnya. Tiba-tiba saja keris di tangannya terpental ketika pergelangannya
terasa kaku. Belum lagi habis
rasa terkejutnya, satu tendangan keras menghantam
perutnya. Tubuh Gagak Lumayung terangkat setengah tom-
bak. Masih untung dia mampu jatuh dengan kedua
kaki di lantai meski tubuhnya agak limbung. Namun
ketika dia kembali bersiaga dengan berjaga-jaga terhadap serangan lawan
berikutnya, Pendekar Pulau Nera-
ka telah raib dari tempat itu berikut monyet kecil yang tadi bersamanya. Dari
jauh terdengar suara lapat-lapat.
"Maaf Kanjeng Adipati, kami tak bisa berlama-lama di tempatmu ini karena masih
banyak yang harus di-kerjakan. Terima kasih atas penghormatan yang ka-
lian berikan padaku!"
Semua yang berada di situ terkagum melihat kece-
patan bergerak pemuda itu.
"Wah, hebat! Rasanya kalau dia mau pasti Ki Ga-
gak Lumayung dapat dikalahkan dengan mudah," kata
salah seorang yang menonton pertandingan itu.
"Iya, iya... kayaknya Ki Gagak Lumayung naik pitam dan bermaksud menyerang
pemuda itu secara
membabi buta. Ternyata malah membuat malu dirinya
sendiri!" sahut kawannya.
Hal seperti itupun tak luput dari perhatian Sang
Adipati sendiri. Beliau sangat menyayangkan sikap kepala pasukan pengawalnya itu
yang sembrono. Ternya-
ta terlihat bahwa dari pihaknya sendirilah yang me-
langgar aturan yang telah ditetapkan. Semua orang
yang dapat menyaksikan pertarungan itu bisa menilai
bahwa serangan Gagak Lumayung belakangan bukan-
lah pertandingan yang jujur, melainkan pertarungan
hidup mati. Dia begitu bernafsu untuk membuat Pen-
dekar Pulau Neraka tewas, atau paling tidak cidera.
"Saudara-saudara semua, hari ini ada yang mela-
kukan pelanggaran terhadap aturan yang telah dite-
tapkan. Walaupun itu adalah orangku sendiri, maka
tetap dia dikenakan hukuman yaitu tidak diperkenan-
kan mengikuti pertandingan selanjutnya karena diang-
gap gugur!" kata sang Adipati tegas.
"Maafkan kesalahan hamba Kanjeng Adipati..." sahut Gagak Lumayung menyadari
kesalahannya. Kepala pasukan pengawal kadipaten itu mening-
galkan arena dengan langkah pelan. Namun baru saja
pertandingan akan dilanjutkan, sekonyong-konyong
melesat sesosok bayangan di atas panggung diiringi
desir angin kencang yang membuat semua orang yang
berada di tempat itu terkejut.
"Walah, ada setan!" teriak seseorang.
"Setan goblok!"
"Iya, setan...."
Semua orang melihat seorang pemuda berambut
gondrong kusut masai berdiri tegak di atas panggung.
Sorot matanya tajam berkilat memancarkan kegaran-
gan. Tangan kanannya menggenggam sebatang pedang
besar yang terlihat tajam.
"Ayahanda, beliaulah orang yang kuceritakan ta-
di"!" seru Cempaka Wangi dan Wangsa Bangkalan
hampir berbareng.
"Pemuda yang menewaskan sisa-sisa Perompak
Tengkorak Darah?"
Cempaka Wangi dan Wangsa Bangkalan mengang-
guk serempak. Belum lagi Sang Adipati buka mulut, pemuda yang
berada di atas panggung itu berteriak lantang.
"Siapa yang merasa paling jago di antara kalian boleh maju menghadapiku!"
"Huh, sombong sekali dia!" sahut Senakrama, salah seorang peserta yang
memenangkan pertarungan tadi.
"Betul! Sepertinya dia merasa paling jago di kolong jagat ini!" timpal Wlijeng
Kono, atau lebih dikenal sebagai Dewa Tangan Delapan.
"Ayo, bukankah kalian datang ke sini untuk ber-
tanding"! Kenapa" Apakah kini kalian menjadi penge-
cut semuanya"!" bentak pemuda itu lagi dengan suara lantang.
Senakrama yang masih muda dan berjiwa panas
langsung menyambut tantangan itu setelah meminta
ijin sang adipati.
"Kanjeng Adipati, mohon ijin untuk meng-hadapi
pemuda ini."
"Hmm... silakan. Juga untuk kau kisanak, boleh
saja mengikuti pertandingan ini asalkan memegang pe-
raturan dengan teguh. Sebelumnya kau harus mem-
perkenalkan nama lebih dulu," kata Adipati Bangkalan pada pemuda itu.
"Huh, Nara Sudana tak peduli dengan segala atu-
ran! Kau cacing kurus, panggillah semua kawan-
kawanmu untuk maju. Kalau tidak kau akan mampus
penasaran!" sahut pemuda itu dengan sikap angkuh.
"Untuk menghadapi orang sepertimu cukup aku
seorang. Nah, majulah kau kisanak!" sahut Senakrama sambil mencabut goloknya
begitu melihat lawan mulai
mengacungkan pedang.
"Yeaaa...!"
Pemuda yang mengaku bernama Nara Sudana itu
tanpa basa-basi lagi langsung berteriak nyaring sambil memutar pedang. Senakrama
agak terkejut melihat kecepatan lawan bergerak. Namun dengan gesit pemuda
itupun mencoba berkelit sambil mengayunkan golok
menangkis. "Trak!"
"Breet!"
"Aaaa...!"
Terdengar jerit kematian yang disusul men-
celatnya tubuh Senakrama dari atas panggung. Ketika
tiba di tanah semua orang tersentak kaget. Pemuda itu tewas dengan perut robek
dan isinya terburai keluar.
"Hei!" Adipati Bangkalan serta semua yang hadir di situ tersentak kaget.
"Kejam!"
"Biadab!"
"Bunuh dia!"
Semua orang yang berada di situ berteriak-teriak
menuding ke arah Nara Sudana. Tapi pemuda itu ma-
lah tersenyum tipis dengan wajah sinis.
Adipati Bangkalan masih menahan sabar sambil
menarik nafas dalam-dalam.
"Kisanak, kau bukan saja melanggar peraturan tapi perbuatanmu kejam dan telengas
dan itu melanggar
hukum. Kau sudah sepatutnya mendapat hukuman!"
kata sang Adipati tegas.
"Ha ha ha...! Kau akan menghukumku tua bangka"
Majulah dan sini biar kuajarkan bagaimana caranya
menghukum orang."
Selesai berkata begitu Nara Sudana langsung men-
celat dari gelanggang ke arah sang Adipati.
' Kanjeng Adipati, awas!" teriak Gagak Lumayung sambil mencelat dan memapaki
serangan lawan untuk
melindungi junjungannya.
"Huh, mampuslah kau lebih dulu!" bentak Nara Sudana.
"Trak!"
"Duk!"
"Breeet!"
"Aaa...!"
Tubuh Gagak Lumayung terjungkal dengan darah
muncrat dari mulutnya. Pada saat menangkis pedang
lawan kerisnya terpental jauh dan Nara Sudana den-
gan cepat menyabetkan pedang ke lehernya. Tapi Ga-
gak Lumayung masih sempat menundukkan kepala.
Sekonyong-konyong satu tendangan telak menghan-
tam perutnya membuat kepala pasukan pengawal ka-
dipaten itu menjerit keras. Masih untung ujung pedang lawan tertahan ketika
beberapa orang pengawal langsung menghadang. Tapi mereka tewas dan ambruk di-
babat pedang pemuda itu.
"Keparat! Perbuatannya sungguh biadab! Kepung
dan jangan biarkan dia lolos. Bunuh di tempat!" teriak salah seorang anak buah
Gagak Lumayung memberi
perintah pada seluruh pengawal kadipaten.
Maka sebentar saja seluruh pengawal kadipaten te-
lah mengurung Nara Sudana. Tapi pemuda itu agak-
nya tak ingin berlama-lama. Sebelum mereka menye-
rang dia telah lebih dulu berkelebat dengan pedang di tangan menyambar-nyambar
ke arah mereka.
"Trak! Trak!"
"Breet!"
"Begkh!"
"Aaa...!"
Sebentar saja terdengar pekik kematian. yang dis-
usul dengan tumbangnya beberapa orang pengawal
kadipaten secara mengenaskan disabet ujung pedang
pemuda itu. "Hajar dia!"
"Bunuuuh...!"
Mereka yang tadi mengikuti pertandingan menjadi
kesal dan naik pitam. Seperti ada yang mengkomando,
semuanya mengurung pemuda itu dan bersiap melan-
carkan serangan bersama para pengawal kadipaten.
"Hiyaaa...!
Dengan satu teriakan nyaring semuanya bernafsu
ingin menghajar pemuda itu. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan tertawa
terbahak-bahak pemuda
itu mengamuk sejadi-jadinya. Gerakannya cepat bukan
main dan mengandung tenaga dalam kuat. Ketika tu-
buhnya berkelebat maka mendesir angin kencang yang
membuat pakaian lawan berkibar-kibar seperti ditiup
angin.

Pendekar Pulau Neraka 39 Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Breet! Breeet!"
"Aaa...!"
Pekik kematian kembali berkumandang di tempat
itu. Darah membanjir dan tubuh-tubuh bergelimpan-
gan dalam keadaan yang mengerikan. Amukan pemu-
da itu sungguh tiada tertahan. Ujung pedangnya
membabat lawan seperti membabat ilalang saja layak-
nya. Tentu saja hal ini membuat sang adipati menjadi prihatin.
"Wangsa Bangkalan dan kau Cempaka Wangi, ce-
pat selamatkan abang dan kakakmu! Pergi jauh-jauh
dari tempat ini. Atau kalau perlu bawa mereka ke pa-
depokan!" teriak Adipati Bangkalan di tengah-tengah amukan pemuda bernama Nara
Sudana itu. "Tidak ayahanda, aku akan tetap berada di sini dan
membereskan perusuh keparat itu!" bantah Wangsa Bangkalan.
"Betul ayahanda, kami harus tetap berada di sini dan menangkap si pengacau itu,"
timpal Dharma Bangkalan, putra tertua sang adipati yang saat ini
menjadi pengantin laki-laki.
"Tidak! Kalian harus mengungsi dari sini se-
cepatnya! Biar aku yang akan menghadapi pemuda
itu!" Tapi kedua putra sang adipati itu bukannya mematuhi perintah ayahandanya.
Keduanya langsung me-
nerjunkan diri dalam kancah pertarungan.
"Anak-anak bandel!" Dengusnya kesal sambil memalingkan perhatian ke arah Cempaka
Wangi. "Aku pun harus menempur pengacau itu ayahan-
da," kata gadis itu siap mencabut pedangnya.
"Tidak Cempaka Wangi! Kali, ini kau. harus mematuhi perintah ayahmu. Bawa pergi
kakakmu dari sini
cepat!" "Tapi ayahanda...."
"Tidak ada tapi-tapian! Cepat pergi! Aku tak mau melihat kalian semua tewas di
hadapanku!"
Walau hatinya mangkal namun gadis itu mematuhi
juga perintah ayahandanya. Sekilas matanya melirik
ke arah pertarungan. Puluhan mayat telah bergelim-
pangan bersimbah darah. Gadis itu menggeram hebat.
Ingin rasanya saat itu juga dia melompat dan mengga-
bungkan diri dengan yang lainnya menghabisi penga-
cau itu. "Kisanak, kali ini hadapilah aku!" bentak sang adipati sambil mencabut keris dan
menerjang ke arah la-
wan. "He he he...! Rupanya kau pun kepingin mampus
seperti mereka" Baiklah. Terima seranganku!"
"Hiyaaa...!"
Bersama kedua putra dan beberapa orang yang
tersisa, sang adipati mencoba menaklukkan pemuda
bernama Nara Sudana itu.
"Yeaaa...!"
"Trak!"
"Breeet!"
"Aa...!"
Kembali terdengar pekik kematian ketika tubuh
pemuda itu berkelebat. Lima orang tokoh persilatan
tewas bersimbah darah. Wangsa Bangkalan dan
Dharma Bangkalan terkejut ketika bahu mereka kena
disambar ujung pedang lawan. Masih untung kedua-
nya cepat berkelit dan cuma tergores. Kalau saja lambat sedikit bergerak niscaya
mereka akan kehilangan
sebelah lengan.
Sementara itu dalam gebrakan tadi Adipati Bang-
kalan baru merasakan hebatnya tenaga dalam lawan.
Tangannya terasa perih dan kesemutan ketika senjata
mereka beradu. Padahal siapa pun mengetahui bahwa Adipati
Bangkalan bukanlah orang biasa. Beliau memiliki ilmu silat tak rendah. Kalau
saja bukan karena ke-rendahan hatinya, tak mungkin beliau menolak jaba-
tan sebagai panglima kerajaan tempo hari. Tapi berhadapan dengan pemuda itu
betul-betul membuatnya
penasaran. Betapa tidak" Pemuda yang melihat dari
wajahnya paling tidak berusia tujuh belas tahun itu telah memiliki tenaga dalam
setingkat datuk-datuk per-
silatan. "Ha ha ha...! Satu dua tiga empat lima... ayo, majulah semua biar kalian lebih
cepat mampus!" ejek pemuda itu memandang sinis sambil memutar-mutar pe-
dangnya bagai kitiran.
Adipati Bangkalan mulai menyadari. Jumlah mere-
ka saat itu tinggal lima orang lagi. Selain kedua pu-
tranya, ada Wlijeng Kono serta Gagak Lumayung yang
telah kepayahan.
"Kisanak, tak ada angin tak ada hujan kau mem-
bantai dan membuat kerusuhan di tempatku ini. Ada
persoalan apa sebenarnya?" tanya Adipati Bangkalan.
"He he he...! Tak ada angin tak ada hujan semua keluargaku dibantai. Masihkah
ada pertanyaan lagi di antara kita?" sahut pemuda itu balik bertanya.
Sang Adipati akan melanjutkan kata-katanya na-
mun terpotong ketika pemuda itu telah berkelebat ke
arah mereka sambil membentak nyaring.
"Yeaaa...!"
"Trak! Trak!"
"Breet!"
"Aaaa...!"
"Wangsa...!" teriak Adipati Bangkalan begitu melihat putra keduanya menjerit
nyaring disabet ujung pedang lawan.
Perut pemuda itu robek dan nyawanya lepas seke-
tika. Bersamaan dengan itu Gagak Lumayung dan Wli-
jeng Kono mendapat giliran yang sama. Sementara
Dharma Bangkalan cuma kehilangan lengan kanannya
saja. "Keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" bentak Adipati Bangkalan' geram.
"Ha ha ha...! Siapa sudi mengadu jiwa denganmu"
Kaulah yang akan lebih dulu mampus menyusul me-
reka!" sahut Nara Sudana sambil ketawa mengejek.
"Hiyaaa...!"
Bersamaan dengan itu Adipati Bangkalan kembali
menyerang lawan dengan gerakan cepat mengandung
tenaga dalam hebat. Kali ini ujung kerisnya menyam-
bar-nyambar tubuh lawan seperti tiada henti. Dalam
keadaan kalap begitu Adipati Bangkalan hanya memu-
satkan perhatian dengan menyerang lawan habis-
habisan. Untuk dua jurus yang berlangsung Nara Sudana
sedikit terkejut. Serangan lawan yang ditujukan pada setiap daerah kematian di
tubuh begitu gencar. Lebih-lebih Dharma Bangkalan sendiri seperti mencuri, tiap
kelengahan dirinya. Tapi pada jurus selanjutnya pemuda itu menggertak rahang.
Tubuhnya berputar ba-
gai gasing. Dan sambil membentak nyaring ujung pe-
dangnya berkiblat dengan cepat ke hadapan kedua la-
wan. "Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Breet!"
"Aaaa...!"
Dengan pengerahan tenaga dalam kuat Nara Suda-
na menyampok senjata lawan hingga terpental. Ujung
pedangnya cepat berbalik dan menyabet leher kedua
lawan dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata.
Terdengar jeritan tertahan ketika leher Dharma
Bangkalan putus dan tulang rusuk Adipati Bangkalan
berderak dihantam pedang lawan. Keduanya ambruk
seketika menambah jumlah korban yang tewas hari
ini. Keramaian itu telah lenyap. Orang-orang yang menonton pertandingan itu
telah bubar sejak ter-jadinya pembantaian yang dilakukan pemuda itu tadi. Bau
an-yir darah bercampur dengan puluhan bangkai manu-
sia di tempat itu.
"Ha ha ha...! Siapa lagi yang akan mendapat giliran untuk mampus! Ha ha ha...!
Siapa pun di antara kalian yang memiliki kejagoan akan mampus di tangan-
ku! Akan mampus di tanganku...! Tunggulah giliran
kalian nanti!" teriak pemuda itu berulang-ulang sambil meninggalkan tempat itu.
*** 6 Langkah kaki keduanya seperti enggan untuk ber-
lalu dari situ. Cempaka Wangi berat untuk meninggal-
kan ayahanda serta ibunya yang tak ketahuan bagai-
mana nasibnya. Sedangkan kakak iparnya yang ber-
nama Pinang Sari cemas memikirkan bagaimana nasib
suaminya saat ini. Berkali-kali keduanya melirik ke belakang sambil terus
berjalan ke depan.
"Ke mana tujuan kita sekarang adik Cempaka?"
tanya Pinang Sari dengan suara bergetar.
"Entahlah. Yang ku tahu saat ini hanya ke Padepokan Laksa Dahana. Mudah-mudahan
Eyang Tembayat Danang mampu mencarikan jalan keluar dari kesuli-
tan ini." "Ah... tak seharusnya kita meninggalkan mereka
dalam keadaan kacau begitu. Bagaimana nasibnya Ka-
kang Dharma di sana...."
"Tenanglah Kak Pinang. Kakang Dharma memiliki
ilmu silat tinggi. Begitu juga dengan ayahanda. Mereka tak mudah dikalahkan
musuh. Apalagi di sana banyak
tokoh-tokoh persilatan yang sedang berkumpul. Tentu
saat ini mereka telah berhasil menangkap pemuda gila itu," kata Cempaka Wangi
menghibur kakak iparnya.
"Tapi hatiku cemas, Dik...."
Cempaka Wangi diam tak menjawab. Kalau ingin
berkata jujur, sebenarnya pun dia merasakan hal yang sama dengan kakak iparnya
itu. Hanya gadis satu ini
bisa menahan diri. Sejak berguru di padepokan itu sifat kekanak-kanakan
berangsur-angsur hilang dari di-
rinya. Pandangannya luas ke depan. Jika dia menim-
pali kecemasan hati kakaknya tentu suasana akan
semakin runyam. Dan kesedihan serta kecemasan me-
reka akan semakin bertambah.
"Berdo'a saja mudah-mudahan mereka dilindungi
oleh Yang Maha Kuasa..." sahut Cempaka Wangi akhirnya.
"Pemuda itu berilmu tinggi. Dalam beberapa gebrakan saja dia mampu menewaskan
banyak lawan. Ba-
gaimana mungkin ayahanda serta Kakang Dharma
mampu menandinginya?"
"Ayahanda bukan orang sembarangan. Beliau me-
miliki ilmu silat tinggi. Banyak tokoh-tokoh persilatan yang segan pada beliau.
Mudah-mudahan beliau
mampu mengatasinya."
"Aku pun berharap begitu..." sahut Pinang Sari ra-gu. Keduanya kembali berdiam
diri sambil memperce-
pat langkah. "Jauh lagi padepokan itu dari sini?"
"Kira-kira setengah hari perjalanan lagi. Apakah kakak masih kuat melanjutkan
perjalanan?"
Pinang Sari mengangguk ragu.
Cempaka Wangi tersenyum kecil. Saat ini hari telah
menjelang senja. Cukup jauh juga mereka telah berja-
lan. Telah melewati pinggiran hutan dan mulai mema-
suki wilayah bebukitan. Paling tidak sebelum tengah
malam mereka telah sampai di padepokan. Cempaka
Wangi memang sengaja mengambil jalan memintas me-
lewati daerah yang jarang dilalui orang. Dengan demikian mereka lebih cepat tiba
di padepokan Laksa Da-
hana. "Sebaiknya kita istirahat saja di sini..." kata Cempaka Wangi.
Pinang Sari memperhatikan di sekeliling tempat
itu. Terasa gelap dan menyeramkan. Sebagai seorang
gadis yang biasa dibesarkan di suasana kehidupan
mewah dan dimanja, hal ini merupakan penderitaan
batin baginya. Diliriknya sekilas Cempaka Wangi enakenakan duduk di atas batang
pohon yang roboh.
"Apakah kakak mau berdiri di situ saja" Duduklah barang sejenak, dan setelah
penatnya hilang baru kita melanjutkan perjalanan lagi."
Pinang Sari melangkah pelan dan duduk di sebelah
adik iparnya itu.
"Lapar" Sayang kita tak sempat membawa bekal
makanan tadi. Aku tak bisa menangkap kelinci hutan.
Kalaupun bisa, tak bisa memakannya dengan dibakar
saja," kata Cempaka Wangi mengeluh.
"Tak apa-apa. Perutku masih terasa kenyang...."
"Kalau begitu aku coba cari buah-buahan saja di sini. Siapa tahu ada sekedar
untuk pengganjal perut,"
kata Cempaka Wangi seperti tak mempedulikan jawa-
ban kakak iparnya itu.
"Cempaka!" panggil Pinang Sari bangkit ketika melihat gadis itu akan beranjak
dari duduknya. "Kenapa?"
"Tidak usah. Aku seram berada di tempat ini. Sebaiknya kau di sini saja."
"Tidak lapar?"
Pinang Sari menggelengkan kepala.
"Ya... terserah," sahut Cempaka Wangi kembali duduk.
Namun baru saja mereka hendak melepaskan pe-
nat, tiba-tiba melesat tiga sosok bayangan persis satu tombak di hadapan mereka.
Dengan gerak reflek Cempaka Wangi cepat bangkit sambil mencabut pedang-
nya. Pinang Sari bergetar ketakutan dan wajahnya seketika pucat melihat tampang
ketiga orang yang baru datang itu. Ketiganya hanya mengenakan cawat tanpa
baju. Tubuh mereka kurus kerempeng dengan kepala
botak. Yang satu sebelah matanya besar, di sebelahnya
berkaki pincang, dan yang terakhir tangan kirinya
pendek. "Siapa kalian"!" bentak Cempaka Wangi garang.
"Amboi, galak betul kalian. Tapi menambah gelora hatiku yang semakin menggebu-
gebu," sahut yang sebelah matanya besar sambil ketawa kecil.
"Bagianku yang di belakangnya saja, Karpala!" teriak yang berkaki pincang.
"Kalau aku pilih gadis yang galak ini!" sahut yang sebelah tangannya pendek.
"Sudah! Jangan serakah. Karena gadis ini cuma
berdua maka nanti akan kita bagi rata. Aku duluan
sebagai saudara tertua baru bagian kau Karpalu, dan
terakhir untukmu Karpali," kata si botak yang sebelah matanya besar itu
bergantian pada si kaki pincang dan si tangan kiri pendek yang masing-masing
bernama Karpalu dan Karpali.
"Ya, itu baru adil!" sahut Karpalu.


Pendekar Pulau Neraka 39 Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Huu, aku selalu saja harus mengalah," gerutu Karpali.
"Kurang ajar! Mulut kalian sangat kotor. Kalian ki-ra sedang berhadapan dengan
siapa saat ini"!" bentak Cempaka Wangi sambil menudingkan pedang pendek-nya.
"Amboi, bukan main galaknya membuat jantungku seperti berhenti berdetak.
Sebaiknya cepat ditangkap saja!" sahut Karpalu seenaknya.
"Ya, ya... lebih cepat lebih baik!" timpal Karpali sambil maju dua langkah.
"Jangan melangkah! Atau kalian akan mampus di
ujung pedangku ini!" gertak Cempaka Wangi.
"Hi hi hi...! Jangan bermain-main dengan senjata tajam itu Cah Ayu. Nanti akan
celaka sendiri!" sahut Karpala.
Selesai berkata begitu ketiganya langsung me-
lompat menjangkau kedua gadis itu. Pinang Sari yang
sejak tadi sudah ketakutan, bersembunyi di belakang
Cempaka Wangi sambil memeluk punggungnya erat-
erat. "Hiyaaa...!"
Cempaka Wangi menyabetkan pedang ke arah keti-
ganya. Tapi bukan main terkejutnya gadis itu ketika
dia cuma membabat angin. Sebaliknya terdengar jerit
ketakutan Pinang Sari yang telah berada dalam rang-
kulan Karpala. "Cempaka! Auw, tolong...!"
"Keparat! Lepaskan kakakku atau kepala kalian
yang botak itu akan menggelinding saat ini juga!" bentak Cempaka Wangi garang.
"He he he...! Kau lihat Karpali" Dia begitu galak membuat gairahku ingin
meledak-ledak. Sebaiknya cepat-cepat kita tangkap dia," sahut Karpalu.
"Ya, ya... tunggu apa lagi?"
Keduanya kembali melompat dengan gerakan rin-
gan. Tapi kali ini Cempaka Wangi bersiaga penuh. Be-
gitu keduanya sedikit lagi mendekat buru-buru dis-
abetkannya pedang pendek di tangan menghajar tubuh
lawan. "Yeaaa...!"
"Bet!"
"Plak! Tuk!"
"Ohh...!"
*** Bukan main hebatnya gerakan kedua orang ber-
saudara itu. Bagai sehelai kapas ditiup angin tubuh
mereka melayang menghindari sabetan senjata gadis
itu. Tangan kanan Karpalu cuma menepuk ringan tan-
gan Cempaka Wangi yang memegang senjata. Akibat-
nya sungguh hebat. Terasa ada sentakan keras, pe-
dang di tangan gadis itu terlepas. Belum lagi habis ra-sa terkejutnya tiba-tiba
satu tutukan di pinggang
membuat gadis itu jatuh lemas. Namun buru-buru
Karpali meraihnya.
"Hi hi hi...! Gadis cantik molek, kau akan menjadi pengantin kami malam ini!"
teriak Karpali kegirangan sambil memondong Cempaka Wangi mengikuti jejak
saudara tertuanya yang baru saja beranjak meninggal-
kan tempat itu diikuti oleh Karpalu.
"Keparat! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" teriak Cempaka Wangi sambil memaki-maki.
Tapi mana mau mereka melepaskan mereka begitu
saja. Walau sepanjang perjalanan kedua gadis itu berteriak-teriak, ketiganya
cuma terbahak-bahak kegirangan.
Mereka baru berlari kira-kira seratus tombak keti-
ka di suatu tempat melesat sesosok bayangan meng-
hadang. Ketiganya merandek sambil menyipitkan mata
melihat seorang pemuda tampan berwajah keras berdi-
ri tegak. Di pundaknya terdapat seekor monyet kecil
berbulu hitam. "Siapa yang akan membereskan kedua monyet ini?"
tanya Karpala berpaling ke arah Karpalu yang tak
membawa beban. "Kalian pergilah lebih dulu. Biar kuselesaikan kedua monyet ini. Tapi jangan
habisi sisa ku!" sahut Karpalu.
"He he he..., beres adikku!" sahut Karpala sambil melanjutkan langkah.
Namun baru berjalan beberapa langkah, pemuda
berambut gondrong dan berbaju kulit harimau itu ber-
kata dengan nada dingin serta mengancam.
"Boleh saja meninggalkan tempat ini tapi tinggalkan kedua gadis itu atau kalian
boleh gorok leher sen-
diri!" "He he he...! Bocah kurang ajar. Tak tahukah sedang berhadapan dengan siapa kau
saat ini"!" ejek Karpalu.
"Mungkin setelah mendengar nama kita yang ter-
mahsyur dia akan lari terkencing-kencing!" sahut Karpali.
"Bocah ketahuilah, kami yang bergelar Tiga Iblis Hutan Gundul. Nah, setelah
mendengar nama itu masih ingin coba-cobakah kau berlalu di hadapanku"
Pergilah dan kami akan menganggap bahwa antara ki-
ta tak terjadi apa-apa," kata Karpala.
"Tiga Iblis Hutan Gundul, kali ini bukan cuma kepala kalian saja yang akan
gundul bila kata-kataku tak dituruti. Tapi juga nyawa kalian akan kubuat
gundul!" desis pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara atau si Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kurang ajar!" maki Karpalu sambil terus me-lesat menyerang pemuda itu.
"Hiyaaa...!
"Uts, ha...!"
"Plak!"
Dengan gerakan manis, tubuh Pendekar Pulau Ne-
raka bergerak ke samping. Tangan kirinya menangkis
pukulan lawan, sedang tangan kanannya menghajar
ke arah dada. Bersamaan dengan itu kaki kanannya
menyabet kedua kaki lawan yang pincang dan terlihat
lemah. Tapi Karpalu bukanlah tokoh sembarangan. Tu-
buhnya menotol dengan ringan dan terus mencelat ke
atas mengirim jotosan ke batok kepala lawan. Tak ada pilihan bagi Bayu selain
menangkis. Terdengar Karpalu mengeluh kesakitan sambil memegangi tangannya
yang kesemutan akibat benturan kedua tangan tadi.
"Sungguh hebat kau bocah. Tapi jangan kira aku
tak mampu mematahkan batok kepalamu!" dengus
Karpalu. "Karpalu, apakah kau tak mampu mengurus bocah
itu"!" teriak Karpala kesal.
"Bukankah sudah kukatakan pergilah kalian lebih dulu. Serahkan bocah ini
padaku!" sahut Karpalu.
"Baiklah kalau begitu," jawab Karpala.
Bersama dengan saudara termudanya dia langsung
meninggalkan tempat itu bersamaan dengan serangan
kilat yang dilancarkan Karpalu ke arah Pendekar Pu-
lau Neraka. "Keparat! Kalian pikir bisa pergi begitu saja dari hadapanku" Huh, jangan harap
itu bisa kalian lakukan!" dengus Bayu.
Begitu selesai berkata demikian tangan kanannya
terkibas ke atas maka detik itu juga mendesing sinar keperakan dari Cakra Maut
yang melesat ke arah keduanya.
"Sing!"
"Hei, Cakra Maut!?"
Ketiga orang itu seperti terkejut dan menghentikan
gerakannya. Karpala dan Karpali dengan susah payah
menghindari gerakan senjata maut itu.
"Bocah, ada hubungan apa kau dengan si Cakra
Maut Eyang Gardika"!" bentak Karpala dengan wajah penuh selidik ketika baru saja
terhindar dari maut.
"Beliau adalah guruku. Kenapa rupanya?"
Ketiganya saling pandang sejenak. Kemudian se-
perti dikomando Karpala dan Karpali meletakkan gadis itu dari bopongan.
"Hmm... dulu aku pernah dikalahkan gurumu dan
berjanji tak akan mencampuri dan berhadapan den-
gannya ataupun murid beliau. Biarlah hari ini kami
mengalah. Nah, kau bawalah kedua gadis ini!" lanjut Karpala.
Setelah berkata begitu ketiganya langsung mening-
galkan tempat itu dengan gerakan cepat.
"Hei, tunggu...!" Bayu mencoba mencegah untuk meminta penjelasan, namun
ketiganya telah lenyap da-ri pandangan.
Pemuda itu menggelengkan kepala sambil melang-
kah ke arah dua gadis itu dan membebaskan totokan
mereka. * * * 7 "Bayu! Oh, untung ada kau. Kalau tidak entah apa yang terjadi pada kami!" teriak
Cempaka Wangi penuh kegembiraan.
"Kenapa kalian berdua di tempat ini?" tanya Bayu heran.
Kemudian Cempaka Wangi pun menceritakan apa
yang telah terjadi di kadipaten sejak kepergian pemuda itu hingga kepergian
mereka mengungsi karena hura-hara yang dilakukan pemuda bernama Nara Sudana.
Bayu terkejut mendengar cerita itu.
"Hmm... tak kusangka dia melakukan kekejaman
begitu. Apakah pihak kadipaten tak pernah bermusu-
han sebelumnya?"
"Kami tak pernah mengenal pemuda itu, dan aya-
handa sendiri tampaknya tak mengerti kenapa tiba-
tiba dia datang dan kemudian mengamuk tanpa ala-
san. Pemuda itu tak pernah mengatakan atasan apa
yang menyebabkan dia mengamuk di tempat kami," jelas Cempaka Wangi.
"Kalau demikian sebaiknya kau melanjutkan perja-
lanan ke padepokan biar aku ke kadipaten!" kata Bayu mengusulkan.
"Tapi...."
"Betul kisanak! Apakah tidak sebaiknya anda ikut, eh mengantarkan kami jika sudi
ke padepokan?" potong Pinang Sari masih menunjukkan wajah ketaku-
tan. Bayu tak langsung menjawab. Sebaliknya menga-
lihkan pandang pada Cempaka Wangi.
"Kami takut hal-hal seperti tadi akan terulang
kembali..." lanjut Pinang Sari.
"Hmm... aku khawatir terjadi apa-apa di kadipaten..." sahut Bayu ragu.
"Di sana berkumpul banyak tokoh-tokoh persila-
tan. Sedang ayahanda sendiri bukanlah orang semba-
rangan. Rasanya beliau dengan dibantu yang lainnya
mampu menangkap pemuda itu," kata Cempaka Wangi seperti menimpali kata-kata
kakak iparnya tadi.
Bayu bukannya tak mengerti maksud mereka. Se-
telah berpikir sejenak kemudian dia mengajukan suatu usul.
"Baiklah. Sebaiknya memang kuantar kalian ke
tempat tujuan untuk memastikan keselamatan kalian.
Tapi aku tak bisa berlama-lama karena secepat itu pu-la akan ke kadipaten.
Dan...." "Kenapa Bayu" Kau kelihatannya ragu?"
"Bisakah kau menggunakan ilmu lari cepat untuk
menyingkat waktu?"
"Tentu saja. Hal itulah yang menjadi masalah sebab kakakku ini tak bisa berjalan
cepat," jelas Cempaka Wangi.
"Tak jadi masalah. Mari kita berangkat!"
"Auw!"
Pinang Sari tersentak kaget ketika dengan tiba-tiba
tubuhnya disambar Pendekar Pulau Neraka dan di ba-
wa berlari dengan cepat. Sementara di sampingnya
Cempaka Wangi mengikuti dengan wajah yang sesekali
dipalingkan ke arah pemuda itu.
"Maaf, aku tak bermaksud kurang ajar. Tapi cuma dengan jalan ini perjalanan kita
akan lebih cepat sampai," jelas Bayu.
Pinang Sari sendiri setelah mengetahui niat pemu-
da itu tak lagi memprotes dengan wajah kesalnya. Se-
baliknya dia malah tersenyum sambil memejamkan
mata membayangkan kengerian dibawa berlari yang
bukan main cepatnya menurut perkiraannya.
Padahal saat menggunakan ilmu lari itu Bayu tak
seluruhnya mengeluarkan segenap kemampuannya
karena dia mensejajarkannya dengan kemampuan
Cempaka Wangi. Waktu bergerak pertama tadi terlihat
gadis itu tertinggal jauh dan tak mampu menyusul.
Untuk itulah dia terpaksa memperpendek jarak dengan
memperlambat larinya hingga mereka tetap bisa seir-
ing. Sepanjang perjalanan pemuda itu sama sekali tak
memperhatikan wajah Cempaka Wangi yang kesal dan
cemburu. Entah kenapa, gadis itu tiba-tiba dijalari
oleh suatu perasaan kurang senang melihat pemuda
itu membopong kakak iparnya. Padahal dia mengerti
dan tahu bahwa hal itu dilakukan Bayu untuk memas-
tikan keselamatan mereka serta ketepatan waktunya
tiba di kadipaten.
Tiba di padepokan Bayu cuma sempat berkenalan
sesaat dengan pimpinannya yaitu Ki Tembayat Da-
nang. Namun ketika dia bermaksud untuk meninggal-
kan tempat itu ternyata Cempaka Wangi beserta orang
tua itu dan tiga orang murid utamanya pun ingin turut serta pula, Bayu tak bisa
berkata apa-apa untuk men-cegahnya. Saat itu pula mereka kembali meninggalkan
padepokan setelah menitipkan Pinang Sari di sana.
"Tidak capek?" tanya Bayu pada gadis itu ketika dilihatnya keringat bercucuran
di pipi yang putih kemerahan itu.
Cempaka Wangi melirik sekilas kemudian menga-
lihkan perhatian lurus-lurus ke depan.
"Kalau capek kau bisa bilang istirahat pada guru-mu. Kalau aku tidak...."
"Tentu saja!" sahut Cempaka Wangi ketus.
"Heh! Kenapa rupanya?"
"Tanya saja pada dirimu sendiri! Kau kan laki-laki, dan biasanya laki-laki tak
akan pernah capek apalagi setelah membopong seorang gadis cantik."
"Hmm... agaknya kau kurang senang karena aku
membopong kakak iparmu itu?"
"Tidak! Aku tahu maksudmu baik."
"Lalu?"
Cempaka Wangi melirik kembali. Cuma sekilas,
dan segera mengalihkan perhatian ke arah lain.
"Apakah itu menjadi ganjalan di hatimu" Kalau
demikian aku minta maaf..."
"Tak perlu."
"Lho"!"
"Untuk apa kau minta maaf padaku" Minta maaf-
lah pada kekasihmu yang kau lupakan se-jenak!"
"Kekasihku?" Bayu bergumam sambil tersenyum kecil.
"Kenapa" Apakah kau ingin berdusta dengan men-
gatakan bahwa kau tak punya kekasih?"
"Tidak. Bukankah aku tak mengatakan apa-apa"!"
"Berarti apa yang kukatakan benar kan"!"
"Mungkin benar mungkin juga tidak. Tergantung
apa yang kurasa di dalam hati. Kalau aku merasa
bahwa perbuatanku tadi menyeleweng, tentu saja aku
merasa bersalah. Tapi sungguh, aku sama sekali tak


Pendekar Pulau Neraka 39 Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa bersalah dengan kekasihku karena aku tak
merasa bahwa perbuatanku tadi menyeleweng."
"Huh, mana mungkin kau bisa merasakan hati wa-
nita! Kalau saja kekasihmu melihat perbuatanmu tadi
jelas dia akan sakit hati!"
"Kenapa mempersoalkan hal itu" Pembicaraan kita jadi ngelantur tak karuan.
Apakah kau tidak cemas
memikirkan keadaan ayahanda serta saudara-saudara
di kadipaten?"
Mendengar kata-kata Bayu, Cempaka Wangi tak
berkata apa-apa lagi. Dan kebetulan saat itu kakak seperguruannya berteriak
memberitahu. "Lihat! Terjadi pertarungan di depan sana!"
*** Semuanya langsung melihat ke arah yang ditunjuk.
Dan Bayu serta Cempaka Wangi tersentak ketika men-
getahui bahwa yang sedang bertarung adalah orang-
orang yang pernah mereka kenal.
"Eyang, pemuda itulah yang mengacau di kadipa-
ten!" tunjuk Cempaka Wangi pada seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang
sedang bertarung dengan seorang laki-laki berwajah buruk berkepala botak yang
dikenalnya sebagai salah seorang dari Tiga Iblis Hutan Gundul.
"Tiga Iblis Hutan Gundul!" desis Bayu.
Si Pendekar Pulau Neraka menggelengkan kepala
seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dua
orang dari Tiga Iblis Hutan Gundul telah terkapar jadi mayat dengan tubuh penuh
sayatan pedang.
"Cempaka, apakah kau yakin pemuda ini yang
membuat kekacauan di tempatmu?" tanya Eyang Tembayat Danang meyakinkan.
"Betul Eyang. Mana mungkin aku salah mengenali
orang." "Hmm... agaknya bencana itu kini sedang terulang kembali..." gumam orang tua itu
sambil mengelus-elus jenggotnya.
"Bencana" Bencana apa yang eyang maksud-kan"!"
tanya Cempaka Wangi heran.
"Melihat dari gerakan ilmu silatnya aku ter-ingat pada salah seorang tokoh
misterius yang sulit dicari tandingannya saat itu. Tokoh itu seperti orang tak
waras. Dia membunuh siapa saja yang tak disukainya se-
perti orang kerasukan setan. Tak seorang pun mampu
menandinginya saat itu. Aku sendiri tak pernah meli-
hat tokoh itu selama ini karena hanya mendengar ceri-tanya saja dari kakek
guruku yang hidup sejaman
dengannya," jelas Eyang Tembayat Danang.
"Siapa nama tokoh itu, Eyang?"
"Iblis Maut."
Cempaka Wangi bergidik jantungnya mendengar
nama itu. Diliriknya sekilas orang tua itu. Tampak
berkali-kali dia menghela nafas. Dengan hati-hati gadis itu kembali bertanya.
"Apakah Eyang mampu mengatasi pemuda itu?"
"Entahlah... aku tak yakin. Kakek guruku sendiri ilmunya tak nempil sedikit pun
dengan si Iblis Maut.
Dan melihat apa yang dilakukan pemuda itu sama
persis dengan apa yang pernah diceritakan padaku du-
lu," sahut Eyang Tembayat Danang.
Diam-diam tanpa sadar Cempaka Wangi melirik ke
arah Bayu. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Pikiran itu masuk begitu saja
dalam benaknya. Jika gu-
runya saja kelihatan ragu berhadapan dengan pemuda
itu bisa dibayangkan ketinggian ilmu silatnya. Dan bagaimana bila pemuda itu
berhadapan dengan Bayu"
Lamunan gadis itu terusik ketika terdengar jeritan
yang menyayat. "Aaaa...!"
Terlihat lawan pemuda itu terlempar sejauh lima
tombak dengan pinggang nyaris terbelah dua.
"Ha ha ha...! Gundul-gundul picisan. Kalian kira bisa menjagoi semua orang
selagi aku masih hidup"
Puih! Jangan harap itu bisa terbukti. Ayo, siapa lagi yang mau mencoba-coba Nara
Sudana! Ke sini kalau
ingin mampus"!" bentak pemuda itu ke arah rombongan Ki Tembayat Danang.
Orang tua itu maju mendekati. Ketika jarak mereka
telah mencapai tiga tombak dia berhenti dan memper-
hatikan pemuda itu sekilas.
"Apakah kau juga ingin mampus orang tua busuk"
Ayo, seranglah aku! Ingin kulihat kepandaianmu. Ka-
lau ternyata kau hanya orang tua ke-jemur, kau boleh mampus saat ini juga!"
Sungguh gila pemuda itu! Tiba-tiba saja dia lang-
sung menyabetkan ujung pedangnya ke leher Ki Tem-
bayat Danang. "Hiyaaa...!"
"Eyaaaaang...!" Cempaka Wangi menjerit seperti memperingatkan.
Tapi sebenarnya peringatan itu tak perlu bagi Ki
Tembayat Danang. Sebagai orang tua yang kenyang
pengalaman di rimba persilatan tentu saja dia cepat
beraksi. Dengan cepat dia menundukkan kepala. Lalu
tubuhnya bersalto ke depan ketika pedang pemuda itu
dengan cepat berbalik dan menyabet pinggangnya.
"Bet!"
"Yeaaa...!"
Tapi kalau orang tua itu mengira bahwa serangan
lawan hanya mengandalkan kehebatan ilmu pedang-
nya, dia sungguh keliru. Sebab dengan tiada disangka tubuh pemuda itu dengan
cepat mengikuti ke mana
saja tubuhnya bergerak sambil mengayunkan kaki
menendang serta menjotoskan tinju pada jarak jang-
kauannya. "Hei!"
Ki Tembayat Danang terkejut. Hampir saja selang-
kangannya kena ditendang pemuda itu kalau tubuh-
nya tak cepat berputar menjauh. Tapi saat itu juga tubuh si pemuda bernama Nara
Sudana ikut berputar
sambil mengayunkan pedang mengincar kelemahan
gerak lawan. "Yeaaa...!"
"Bet!"
"Cres!"
"Eyaaang!"
Cempaka Wangi serta ketiga kakak seper-
guruannya tersentak kaget melihat ujung pedang Nara
Sudana merobek pinggang pimpinan padepokan Laksa
Dahana itu. Serentak mereka memburu dengan mak-
sud menolong. Tapi pada saat itu justru Nara Sudana
sedang melancarkan serangan susulan.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Sing!"
"Trak!"
"Bet!"
Nara Sudana tersentak kaget ketika selarik sinar
keperakan menahan laju pedangnya. Tapi pemuda itu
tak kehilangan gerak refleknya saat satu bayangan
berkelebat cepat menyerang dirinya. Pedang di tangan seketika disabetkan dengan
kecepatan gila hingga terdengar suaranya yang berciutan. Namun demikian
bayangan itu lebih cepat lagi bergerak di belakang sinar keperakan yang kembali
menyerang Nara Sudana
setelah tadi berkelit menghindari sabetan pedang la-
wan. "Trak!"
"Bet!"
Kembali Nara Sudana merasa tangannya sedikit
bergetar ketika pedangnya menghajar sinar keperakan
yang melesat amat cepat. Tapi kembali pula dia masih mampu menguasai diri dan
memapas sosok bayangan
yang mencoba menghajarnya. Dan seperti tadi, bayan-
gan itupun mampu berkelit lebih cepat dari kelebatan pedangnya. Kemudian
bersalto beberapa kali ke belakang.
"Kau! Kau... aku ingat! Kau adalah orang yang berada di dekat kedai itu bukan"!"
tunjuk Nara Sudana ketika melihat siapa sosok bayangan itu.
"Hmm... ingatanmu rupanya tajam juga. Betul,
akulah orangnya."
"Siapa kau" Apakah kaupun ingin mampus seperti
yang lainnya?"
* * * 8 "Bukankah kau sudah tahu siapa aku karena per-
nah kukatakan sebelumnya" Nah, soal mampus siapa
yang sudi" Tapi kalau kau mau, dengan senang hati
aku akan mengantarkannya," sahut sosok bayangan itu yang tak lain dari si
Pendekar Pulau Neraka.
"Hmm... melihat gerakanmu agaknya kau boleh ju-
ga menjadi lawanku. Tapi kau harus mampus karena
aku akan menjagoi seluruh rimba persilatan! Tak boleh ada seorang pun yang
menghalangi niatku, dan tak boleh ada yang jago selain diriku!" kata pemuda itu
kembali dengan sikap pongah.
"Kisanak, tujuanmu adalah sama seperti apa yang dipikirkan oleh kebanyakan
tokoh-tokoh persilatan.
Hanya sayang, caramu kurang benar...."
"Peduli dengan ocehanmu!" potong Nara Su-dana sambil menuding Bayu dengan ujung
pedangnya. "Kau telah membantai banyak orang seperti he-
wan...." "Membantai" Ha ha ha...! Orang-orangnya si Dasa Griwa kubuat mampus semua!
Beberapa perguruan silat kocar-kacir di tanganku, dan baru saja orang-orang sok
jago di gedung mewah itu semua kuhabisi dengan
pedangku ini! He he he...! Dan sekarang giliran kalian yang akan mampus dibantai
pedangku!" teriak Nara Sudana seperti orang kesurupan.
"Apa"! Kau telah membunuh seluruh orang di ka-
dipaten"!" teriak Cempaka Wangi seperti tak percaya.
"Kadipaten" Hi hi hi...! Semuanya mampus di tanganku. Bahkan Sang Adipati
sendiri mampus! Semua-
nya mampus! Mampus...!"
"Biadab! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" teriak Cempaka Wangi geram.
Gadis itu langsung mencabut pedang pendek-nya
dan menyerang Nara Sudana dengan kalap.
"Adik Cempaka, jangan!" teriak salah seorang kakak seperguruannya bermaksud
mencegah. "He he he...! Wanita celaka, apakah kaupun, ingin mampus"!"
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Sing!"
"Trak!"
Dengan sekali hantam pedang pendek di tangan
Cempaka Wangi terpental. Pedang besar di tangan Na-
ra Sudana dengan cepat berbalik dan menyambar le-
hernya. Gadis itu tergagap dan tak mampu berkelit.
Eyang Tembayat Danang beserta tiga muridnya yang
lain menarik nafas dan mencoba bergerak menolong
walaupun itu tak membantu menyelamatkan nyawa
Cempaka Wangi yang berada di ujung tanduk.
Pada saat itulah Cakra Maut di tangan Bayu men-
desing cepat bagai kilat menyambar pedang lawan se-
hingga Cempaka Wangi terhindar dari maut.
"Yeaaa...!"
Nara Sudana kali ini tak mau didahului lawan. Be-
gitu benturan kedua senjata itu terjadi, tubuhnya berkelebat cepat menyambar si
Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaa...!"
"Bet!"
"Uts!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka jungkir balik meng-
hindari hujan sambaran pedang yang bergerak cepat
bukan main serta mengandung tenaga dalam kuat.
Sedikit saja dia salah menghindar niscaya nyawanya
bisa ditebak kapan akan melayang.
"Eyang, biarkan pemuda ini bagianku. Jangan bi-
arkan seorang pun membantu karena akan memba-
hayakan keselamatan mereka sendiri!" teriak Bayu di sela-sela pertarungan ketika
sekilas matanya melirik gadis itu bermaksud kembali menyerang lawannya.
"Cempaka, kau dengar kata-katanya" Nah, cobalah menahan sabar dan relakan semua
yang terjadi..." ujar Eyang Tembayat Danang dengan suara lirih.
"Tapi Eyang, si keparat itu harus mampus di tanganku!"
"Percuma. Kau tak akan mampu melawannya, dan
hanya mengantar nyawa secara percuma. Pemuda itu
bukan manusia lagi, Cah Ayu. Menurut kakek guruku
siapa pun yang mempelajari ilmu silat si Iblis Maut
sama saja dia mendapat warisan Iblis. Hatinya tak
berperasaan dan tak mengenal kasihan. Yang ada di
benaknya hanya niat membunuh dan kesombongan,"
lanjut Eyang Tembayat Danang menyabarkan hati ga-
dis itu yang gundah.
"Tapi... apakah kita akan membiarkan Pendekar
Pulau Neraka seorang diri menghadapinya" Dia bisa
celaka Eyang?"
"Bagi seorang pendekar seperti dirinya tenaga kita ini bukan membantu malah akan
merepotkan dirinya
sendiri. Percayalah, dia pasti mampu mengatasi amu-
kan pemuda itu."
"Bagaimana Eyang begitu yakin dia mampu menga-
tasi pemuda itu?"
'Karena dia murid si Cakra Maut yang sama gilanya
dengan si Iblis Maut. Tapi syukurlah ternyata beliau memiliki murid yang mampu
mengharumkan namanya."
"Tapi kalau terjadi apa-apa dengan Ka... kang Bayu Eyang ?" tanya Cempaka Wangi
sempat terbata-bata mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu.
"Kau tampak mengkhawatirkan keselamatan murid
si Gardika itu" Apakah kalian punya hubungan de-
kat?" goda Eyang Tembayat Danang sambil tersenyum penuh arti.
"Ah, Eyang bisa saja. Apakah Eyang serta yang lain tak mencemaskan Pendekar
Pulau Neraka?" elak Cempaka Wangi.
"Tapi kecemasan kami mungkin kalah banyak di-
bandingkan dengan kecemasanmu terhadap pemuda
itu." "Eyang bisa sa...."
Ucapan Cempaka Wangi terpotong ketika menden-
gar si Pendekar Pulau Neraka mengeluh tertahan den-
gan tubuh limbung terhuyung-huyung.
"Eyang!?"
"Kaaaakh...!"
***

Pendekar Pulau Neraka 39 Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka tersentak kaget. Darah mengucur deras da-
ri bahu Bayu yang robek memanjang hingga ke siku
kiri. Di dada kirinya terlihat telapak tangan lawan yang berwarna hitam. Dari
mulutnya menetes darah kental.
"Kakang Bayu...!"
"Kaaakh...!"
Cempaka Wangi bermaksud mendekati si Pendekar
Pulau Neraka, tapi lengan Eyang Tembayat Danang le-
bih cepat lagi menarik tangannya. Sedangkan monyet
kecil berbulu hitam yang berteriak nyaring melihat
keadaan Bayu langsung melompat ke pundak pemuda
itu yang masih tegak berdiri dengan sorot mata garang.
Keadaan Nara Sudana sendiri tak jauh berbeda.
Perutnya robek melintang disabet Cakra Maut yang ta-
di mendesing ke arahnya. Ketika telapak tangannya
berhasil menghantam dada Pendekar Pulau Neraka,
kaki kanan Bayu menendang dadanya hingga terlihat
beberapa tulang rusuknya patah melesak ke dalam.
Daya tahan kedua orang itu memang sangat men-
gagumkan. Dalam keadaan terluka berat begitu kedu-
dukan mereka masih tetap tegak berdiri. Bahkan Nara
Sudana kembali berteriak mengguntur.
"Yeaaa...!"
Tubuhnya mencelat mengirim serangan pa-
mungkas terhadap Pendekar Pulau Neraka.
"Menjauh Tiren..." perintah Bayu pada monyet kecil berbulu hitam yang hinggap di
pundaknya dengan wajah sedih.
"Nguk!"
"Hiyaaa...!"
Begitu monyet itu melompat, saat itu pula tubuh
Bayu Hanggara melesat memapaki serangan lawan.
"Bet!"
"Begkh!"
"Crab!"
"Akh!"
Kejadian itu begitu cepat sekali berlangsung. Ter-
dengar keluhan pelan yang keluar dari mulut Nara Su-
dana. Keduanya menjejakkan kaki di tanah dalam po-
sisi saling membelakangi pada jarak dua tombak. Sua-
sana terasa hening.
"Eyang, Kakang Bayu..." sera Cempaka Wangi dengan wajah cemas.
"Tenanglah Nduk. Mudah-mudahan Gusti Allah
berkenan melindunginya," sahut Eyang Tembayat Danang dengan hati cemas.
Sebagai tokoh persilatan tentu saja dia mestinya
mampu melihat apa yang barusan terjadi. Tapi peristi-wa itu cepat sekali
berlangsung. Bahkan dia tak sem-
pat mengamati lewat pandangan mata. Hanya pengli-
hatan mata batin serta pendengarannya yang terlatih
mengetahui hal itu. Suara desir angin pertanda satu
serangan dapat dielakkan, dan suara pukulan serta
benda tajam menembus kulit yang disusul jerit terta-
han menandakan bahwa salah seorang diantara mere-
ka menjadi korban. Dalam keadaan terluka dalam be-
gitu satu kali lagi pukulan yang mengandung tenaga
dalam dilancarkan sudah cukup membuat mereka te-
was. Kelima orang itu menunggu beberapa saat. Ketika
keduanya kemudian ambruk, Cempaka Wangi berte-
riak sendu sambil memburu ke arah Pendekar Pulau
Neraka. "Kakang Bayu...!"
Pada saat yang bersamaan monyet kecil berbulu hi-
tam yang tadi menyaksikan pertarungan dengan serius
berteriak nyaring sambil melompat mendekati Bayu.
"Eyang, Kakang Bayu... apakah... apakah dia te-
was...?" tanya Cempaka Wangi.
Tak terasa air mata gadis itu meleleh. Terasa keha-
ruan yang menyesak dalam hatinya saat menunggu
gurunya itu memeriksa keadaan Bayu. Ketika melihat
orang tua itu tersenyum sambil menghela nafas lega,
gadis itu seperti tak sabaran menanti jawabannya.
"Bagaimana keadaannya, Eyang?"
"Syukurlah Gusti Allah masih melindungi nya-
wanya. Namun detak jantung serta gerak urat nadinya
lemah sekali. Dia terluka dalam yang cukup parah.
Agaknya pemuda itu merupakan lawan tangguhnya
kali ini, sehingga dia cukup menguras segenap ke-
mampuan yang dimilikinya," jelas Eyang Tembayat Danang.
Begitu mendengar penjelasan gurunya itu tak tera-
sa gadis itu tersenyum dengan wajah berseri sambil
menghapus air matanya.
"Sebaiknya lekas kita bawa ke padepokan untuk
diberikan pertolongan!" kata orang tua itu lagi.
"Baik, Eyang!" sahut Cempaka Wangi bersemangat.
Sebelum meninggalkan tempat itu Ki Tembayat
Danang memerintahkan ketiga muridnya itu untuk
mengubur semua mayat yang berada di tempat itu.
Termasuk juga pemuda bernama Nara Sudana. Agak
lama dia memandangi tubuh pemuda itu. Dari ubun-
ubun sampai ke selangkangannya nyaris terbelah dua
dihantam senjata Cakra Maut yang dilontarkan Pende-
kar Pulau Neraka itu. Kemudian di dada kirinya terdapat gambar lima buah jari
yang membuat tulang ru-
suknya semakin melesak ke dalam. Orang tua itu
mengerti bahwa pada saat-saat tertentu tadi Bayu berkelit ke kanan menghindari
satu pukulan serta satu
kelebatan pedang lawan dengan menghantamkan tan-
gan kirinya ke dada Nara Sudana. Akibatnya sungguh
fatal seperti yang terlihat kini!
Seminggu lamanya Bayu dirawat dengan telaten
oleh Cempaka 'Wangi di Padepokan Laksa Dahana. Be-
rangsur-angsur pula luka dalamnya mulai pulih walau
tak secara keseluruhan. Dan di saat-saat itu pula kea-kraban diantara mereka
mulai terlihat. Diantara derai gelak canda keduanya, Tiren hadir menyelingi
dengan seringai lucu dan teriakan nyaringnya yang menga-
getkan. Pada hari ke delapan pemuda itu bermaksud mo-
hon diri. Walau Eyang Tembayat Danang berusaha
mencegah namun niat pemuda itu seperti tak bisa di-
patahkan. Yang paling berat melepaskannya justru
Cempaka Wangi. Hampir setengah harian dia mengu-
rung diri terus di kamarnya ketika Bayu akan berpamitan. "Kenapa" Kenapa harus
pergi Kakang" Tak bisakah langkahmu sesaat terhenti" Untukku kakang, tak
bisakah?" tanya Cempaka Wangi dengan suara lirih dari balik pintu.
"Sulit untuk dijawab, Paka. Tapi kakiku seperti tak hendak berhenti
berpijak...."
"Katakanlah Kakang, adalah sesuatu yang bisa
menahan langkah kakimu" Maka walau itu seberat
apa pun niscaya akan kutempuh juga!"
Bayu menggeleng lemah. Isak tangis gadis itu yang
pelan terasa menusuk jantungnya. Tapi apakah dia
akan berhenti berjalan sementara masih banyak orang
yang membutuhkan tenaganya" Hidup ini kadang
aneh karena Dharma Bakti justru suka atau tidak ber-
benturan dengan keinginan pribadi. Seperti keinginan, cinta, dan panggilan batin
yang sulit dijelaskan dengan cara apa pun.
Pemuda berambut gondrong itu melangkah pelan.
Entah apa yang dirasanya saat ini. Cintakah dia pada Cempaka" Gadis itu cantik
dan bila dia tersenyum
maka sepertinya cahaya bulan kalah gemerlap dalam
lubuk hati setiap laki-laki normal sepertinya. Tapi kedua kaki dan niatnya tak
kenal kompromi. Walau dari
jauh Bayu menyadari bahwa gadis itu memanggil-
manggil namanya pelan sambil menitikkan air mata pi-
lu, pemuda itu tak pernah menoleh lagi ke belakang.
Hanya kata hatinya yang berkali-kali mengucapkan
kata sesal. "Maafkan aku Cempaka... maaf...."
"Nguk! Tiren mencowet pelan. Bayu tak tahu maksud nya
kali ini! SELESAI Scan/Ebook: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 1 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas 1
^