Pencarian

Irama Pencabut Nyawa 1

Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa Bagian 1


IRAMA PENCABUT NYAWA Oleh: Teguh S. Cetakan pertama, 1992
Penerbit Sanjaya Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini.
tanpa izin tertulis dari penerbit.
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Hari belum lagi gelap ketika Bayu tiba di se-buah
desa. Dari papan nama yang terpampang di perbata-
san dia mengetahui bahwa desa ini bernama Jaranan.
Tapi sungguh aneh, dari pertama tiba dia tak melihat satu manusia pun
berkeliaran. Desa ini, sepi seperti tak berpenghuni. Obor-obor yang biasanya
menyala di depan rumah belum menyala. Pemuda berambut gon-
drong itu mengerutkan dahi melihat suasana itu.
"Hmmm... kenapa desa ini" Apakah tidak berpeng-
huni?" tanya Bayu di dalam hatinya.
"Nguuuk."
"Apakah kau yakin desa ini tak berpenghuni, Ti-
ren?" tanya Bayu sambil berpaling menatap Tiren.
Monyet kecil berbulu hitam yang sejak tadi berada
di pundaknya berteriak pelan. Namun agaknya Bayu
telah mengerti betul arti dari suaranya itu.
"Ya, kau benar. Aku pun merasakan bahwa mereka
sepertinya sedang dilanda ketakutan. Tapi apakah ka-
rena kedatangan kita?"
"Nguk! Nguk!"
"Hmm..., tidak mungkin. Kalau pun mereka takut
itu pasti karena melihat tampangmu yang lucu!" goda Bayu sambil tersenyum
melirik sahabat kecilnya.
Monyet kecil itu agaknya mengerti bahwa Bayu
menggodanya. Tangannya langsung menjewer telinga
Pendekar Pulau Neraka.
"Hei, jangan keras-keras! Telingaku bisa copot nanti!" teriak Bayu sambil
terkekeh. "Kaaak...!"
"Ha ha ha ha...!"
"Nguk! Nguk!"
Tiren tampak bersungut-sungut sambil mele-
paskan jewerannya. Bayu masih terkekeh. Tapi tiba-
tiba wajahnya berubah serius ketika mendengar tangis bayi dari salah satu rumah.
"Kau dengar, Tiren" Sepertinya ada suara tangis bayi. Coba kita ketuk pintu
rumahnya. Siapa tahu mereka mau berbaik hati memberikan tumpangan mengi-
nap buat kita," kata Bayu sambil melangkah pelan ke arah suara tangis bayi yang
didengarnya tadi.
Dari luar terlihat cahaya penerangan dari dalam
rumah yang baru saja dinyalakan. Masih terdengar
suara sang ibu yang berusaha mendiamkan bayinya
yang semakin rewel.
Bayu berdiam diri beberapa saat menunggu suasa-
na reda. Tapi yang ditunggu tak kunjung tiba. Tangis bayi itu semakin keras.
. "Diamkan anakmu! atau kau ingin si keparat itu menuju ke sini?" terdengar
bentakan dari dalam.
"Iya, iya... aku juga sedang mendiamkannya. Kena-pa kau sekarang jadi pemarah
begitu?" "Apakah kau ingin kita semua celaka...?"
"Kenapa musti begitu" Kita tak punya sesuatu yang bisa diambilnya."
"Jangan banyak bicara, Karsih! Semua orang men-
getahui bahwa si keparat itu tak memilih-milih bulu.
Sekarang kau bisa mendiamkan anakmu atau kita
menjadi pusat perhatiannya?"
Tak terdengar sahutan dari suara perempuan tadi
selain suara bujukan yang ditujukan pada bayinya.
Bayu jadi tak enak hati untuk mengetuk pintu rumah
itu. Dia ingin berbalik namun kakinya tersandung
bangku kecil. "Brak!"
"Siapa..."!"
Terdengar bentakan dari dalam. Bayu sengaja tak
menyahut dan menempelkan telunjuk ke bibir untuk
memberi isyarat pada sahabat kecilnya yang bernama
Tiren untuk tidak mengeluarkan suara.
"Sebaiknya kita buru-buru saja meninggalkan ru-
mah ini," bisiknya sambil melangkah pelan.
"Bedebah! Jangan kira kami takut padamu. Ayo,
tunjukkan dirimu di hadapanku!"
Tiba-tiba saja pintu terbuka dan dari dalam keluar
seorang laki-laki berusia muda menggenggam golok di
tangan. Wajahnya terlihat garang penuh kemarahan.
Bayu terkesiap tak sempat menghindar. Dia hanya
bisa menggerakkan tangan sambil tersenyum berusaha
menjelaskan. "Maaf Ki sanak, kami tak bermaksud mengganggu
ketenangan kalian. Tadinya kami bermaksud menum-
pang menginap tapi karena suasananya mungkin tidak
mengijinkan, baiklah kami pergi saja..."
"Huh" Siapa yang percaya pada mulut manis-mu"
Di depan kau katakan akan pergi. Tapi. di belakang
kau akan membokong diam-diam!"
"Ki sanak, harap tidak menuduhku yang bukan-
bukan. Kami berdua sama sekali tak bermaksud bu-
ruk...." "Phuih! Kau kira aku takut padamu" Orang-orang
boleh takut padamu tapi jangan harap padaku. Walau
kau bermulut manis sekalipun aku tak perduli. Hari
ini biar kita tentukan, kau atau aku yang akan mam-
pus!" Setelah berkata begitu, pemuda tadi langsung me-
nyerang Bayu. "Yeaaah...!"
"Uts! Sabar, Ki sanak. Sabar...."
"Telah cukup lama kami bersabar tapi kali ini tidak lagi!"
"Ada persoalan apa sebenarnya?" tanya Bayu sambil berkelit menghindari serangan
orang itu yang mem-
babi buta. "Phuih! Masih bisa juga kau berkelit dari per-
buatan terkutukmu dengan berpura-pura bodoh. Ta-
nyakan nanti pada setan-setan di neraka sana!"
Bayu menggeleng-gelengkan kepala melihat si-kap
orang itu. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja dia diserang dan dituduh
macam-macam. Tentu saja
pemuda yang bergelar Pendekar Pulau Neraka terhe-
ran-heran. Melihat dari gerakan orang itu agaknya dia memili-
ki sedikit kepandaian ilmu silat. Tapi dari beberapa gerakan saja Bayu cepat
menyadari bahwa kepandaian
pemuda itu tak seberapa. Lebih-lebih saat dia sedang kalap seperti sekarang.
Gerakannya tak teratur, sehingga dalam satu kesempatan mudah saja bagi Bayu
untuk menangkis serangan-serangannya.
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Bet!"
"Maaf, Ki sanak. Aku tak bermaksud mencelakai-
mu tapi golokmu ini bisa menimbulkan korban, se-
baiknya jangan kau pergunakan," kata Bayu sambil menangkap pergelangan tangan
lawan dan menarik
senjata pemuda itu hingga terlepas dari genggaman.
"Yeaaah...!"
Walau goloknya telah berpindah ke tangan Bayu
dan pergelangan tangannya ditangkap si Pendekar Pu-
lau Neraka, pemuda itu bukannya takluk dan menye-
rah. Kepalan tangan kirinya langsung menghajar Bayu.
Melihat hal itu bukan main geramnya Pendekar Pu-
lau Neraka. Sambil memiringkan tubuh, tangan ka-
nannya cepat menangkis. Dan sebelah kakinya lang-
sung menyapu kaki lawan. Tak ampun lagi, pemuda
itu terbanting dengan keras.
"Gusrak!"
Sambil mengeluh pelan dia berusaha bangkit. Ber-
samaan dengan itu seorang perempuan muda berwa-
jah cantik berlari dari arah dalam. Sambil menggen-
dong bayi dalam pangkuannya, wanita itu menjerit
dengan wajah cemas.
"Oh, Kakang...! Apa yang terjadi padamu..."!"
Wanita itu begitu cemas sampai dia berteriak den-
gan suara yang agak keras dan memilukan hati. Pa-
dahal pemuda yang tak lain dari suaminya tidak men-
galami cedera berat. Entah karena suaranya tiba-tiba saja beberapa penduduk desa
keluar dari rumah sambil menghunus senjata di tangan. Wajah mereka terli-
hat garang memandang ke arah Bayu. Salah seorang
coba meyakinkan pemuda yang tadi berhadapan den-
gan Pendekar Pulau Neraka.
"Kau tidak apa-apa, Kardi"
* * * "Syukurlah kalian cepat datang. Aku tidak apa-
apa." "Hmm..., Ki sanak. Kalau kau bermaksud jahat
terhadap orang-orang di desa ini pergilah cepat sebab kami tak sudi kau
perlakukan sesuka hatimu," kata seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
tahun dengan suara dingin.
Bayu semakin tak enak hati saja melihat sua-sana
itu. Dipandanginya mereka sekilas, dan tak satu pun
dari wajah-wajah itu yang menunjukkan sikap bersa-
habat. Semuanya berwajah geram dan penuh kegaran-
gan. Rasanya bila ada satu perintah yang keluar dari mulut seseorang maka
laksana air bah mereka akan
menyerbu ke arahnya.
"Ki sanak, kejadian ini barangkali cuma salah pa-
ham. Kedatanganku ke sini sama sekali tak bermak-
sud buruk."
"Dusta! Dia telah mencelakakan Kang Kardi!" bentak wanita yang sedang
menggendong bayinya itu den-
gan wajah sengit.
"Kalau aku bermaksud mencelakakan dirinya, apa-
kah suamimu bisa bangkit lagi, Nyai?" tanya Bayu dengan suara lunak.
"Huh! Kau hanya berpura-pura saja! Melihat diri-mu telah terkepung maka nyalimu
berubah ciut. Tapi
hari ini jangan harap mereka percaya dengan mulut
manis mu!"
Bayu menghela nafas pendek. Tuduhan wanita itu
sungguh tidak beralasan sama sekali selain dari fitnah yang ingin dilontarkan
pada dirinya. Lagipula bila dia terus menjawab dan berusaha mengelak, keadaan
akan semakin keruh. Dan bisa jadi tuduhan mereka
akan semakin kuat bahwa dia adalah tamu yang
membuat malapetaka bagi seluruh penduduk desa ini.
Berpikir begitu Bayu bermaksud membalikkan tu-
buh. Namun bersamaan dengan itu beberapa orang
pemuda desa bergerak mengepungnya dengan sikap
mengancam. "Ki sanak, aku telah jelaskan bahwa ini cuma salah paham belaka kenapa harus
dibuat menjadi begini"
Kedatanganku ke sini cuma bermaksud menumpang
menginap tapi ternyata mereka salah paham, dan aku
sama sekali tak bermaksud mencelakai suami wanita
ini melainkan untuk membela diri. Nah, karena keha-
diranku ternyata tak dikehendaki, ijinkanlah aku me-
ninggalkan desa ini," kata Bayu menjelaskan.
"Hmm... apakah bisa kupercaya kata-katamu?"
tanya laki-laki setengah baya tadi yang agaknya begitu dihormati oleh orang
lain. "Aku tak memaksamu untuk percaya, Ki sanak.
Apa yang kukatakan tadi adalah hal yang sebenarnya,"
sahut Bayu. "Ki Sentanu, bajingan ini tak boleh dipercaya! Dia akan membuat keonaran kalau
tidak kita adili sekarang juga. Akan banyak lagi korban yang jatuh karena
ulahnya. Apakah akan dibiarkan pergi begitu saja...?"
Laki-laki yang dipanggil Ki Sentanu itu menoleh
pada wanita yang sedang menggendong bayinya. Ke-
mudian dengan suara lunak dia bertanya.
"Nyi Karsih, sebagai kepala desa aku punya kewajiban untuk menentukan persoalan
salah atau tidak
menyangkut keamanan desa. Memang betul kita harus
curiga pada setiap pendatang asing. Apa lagi sejak kekacauan yang melanda desa
tetangga kita belum lama
ini. Tapi bukan berarti kita harus menuduh setiap
orang yang datang ke desa ini adalah pengacau sebe-
lum melihat bukti yang jelas," jawab Ki Sentanu dengan sikap arif.
Laki-laki yang ternyata adalah kepala desa Jaranan
kemudian memalingkan wajah ke arah Bayu.
"Nah, Ki sanak. Sebelum mereka berubah pikiran, sebaiknya cepatlah kau
tinggalkan desa ini. Kami tak bermaksud mengusirmu tapi setiap pendatang asing
di desa ini patut dicurigai sejak terjadinya peristiwa keonaran di beberapa desa.
Terlebih-lebih seorang pemu-
da sepertimu. Tadinya Bayu bermaksud ingin minta pen-jelasan.
Namun melihat sikap mereka yang tak bersahabat dia
mengurungkan niat dan bermaksud meninggalkan de-
sa itu secepatnya.
Belum lagi Bayu berjalan sepuluh langkah se-
konyong-konyong terdengar jeritan panjang dari se-
buah rumah yang berada di ujung desa. Semua yang
berada di tempat itu memalingkan wajah dan melihat
kepulan asap dan nyala api yang membakar rumah
penduduk. "Apa kataku! Si keparat ini ternyata tak datang sendiri!" teriak wanita yang
sedang menggendong bayi pada Ki Sentanu.
"Tangkap pemuda itu, dan sebagian segera ke sa-
na!" perintah Ki Sentanu cepat.
"Yeaaah...!"
"Mampuslah kau lebih dulu, Keparat!"
Dengan amarah yang meluap beberapa orang pen-


Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk desa yang sejak tadi telah menunjukkan sikap
bermusuhan menyerang Bayu, sementara yang lainnya
mengikuti Ki Sentanu ke arah kebakaran itu.
"Tunggu! Kalian salah menilai orang."
Ucapan si Pendekar Pulau Neraka terputus ke-tika
ujung senjata mereka bertubi-tubi menghantam ke
arahnya. Terpaksa Bayu berkelit ke sana ke mari
mempertahankan selembar nyawanya. Pemuda beram-
but gondrong itu bukan main kesalnya melihat sikap
orang-orang ini. Namun walau demikian dia sedikit
mengerti akan kecurigaan mereka terhadap orang as-
ing, serta kecemasan akan malapetaka yang bakal me-
nimpa meski dia tak mengerti apa itu sebenarnya.
Tapi dia pun tak bisa menghindar terus-terusan
dengan cara begini. Walau orang-orang itu sama sekali bukan lawan yang sepadan,
lama-kelamaan tentu dia
akan kehabisan nafas. Atau paling tidak akan terluka.
Lagipula dia bukan termasuk orang yang sabar. Lebih-
lebih diperlakukan begitu. Maka dengan kesal Bayu
mulai membalas.
"Orang-orang picik tak tahu diri! Kalian kira dengan membunuhku malapetaka tak
akan mengganggu
kalian lagi" Huh!"
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Duk!"
"Ugkh!"
Sekali Bayu berkelebat, lima buah golok berhasil
dirampasnya, dan sebagian lain dihajarnya hingga terlepas dari genggaman Lalu
ketika tubuhnya kembali
berkelebat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, para pengeroyoknya mengeluh
kesakitan. Tubuh mereka terpental sambil mendekap perut.
"Kalian uruslah diri kalian sendiri. Aku akan pergi dari sini!" desis Bayu
sambil melemparkan golok-golok di tangannya.
Pendekar Pulau Neraka itu bermaksud berkelebat
dari situ secepatnya. Tapi monyet kecil berbulu hitam yang sejak tadi berada di
pundaknya, melompat dan
menunjuk-nunjuk sesuatu sambil berteriak.
"Nguk! Nguk!"
"Sudahlah, Tiren. Untuk apa menolong orang yang akan mencelakakan kita. Biar
sekalian mereka mampus dimakan api!" dengus Bayu kesal.
"Kaaakh...!"
"Aaaakh...!"
"Tolooong...!"
* * * Bayu tersentak kaget. Dalam sekejap kebakaran
tadi semakin meluas. Dan orang-orang yang berada di
dalam rumah serabutan lari keluar menyelamatkan di-
ri sambil berteriak-teriak ketakutan. Suara itu diting-kahi oleh jerit kematian
dan gelak tawa dari segerombolan orang-orang berwajah seram.
"Nguk!"
"Iya, aku tahu dan kali ini biarlah mengalah. Lagipula toh mereka orang-orang
desa yang tak memiliki
kepandaian apa-apa. Mana mungkin aku bisa mem-
biarkan pembantaian terhadap si lemah terjadi di de-
pan mataku," sahut Bayu ketika monyet kecil sahabatnya menarik-narik tangannya.
"Kaaakh...!" Tiren menjerit senang.
Sambil menggendong sahabatnya, Bayu langsung
menggenjot tubuh dengan menggunakan. ilmu lari ce-
patnya menuju peristiwa yang dilihatnya dari jarak
jauh. Apa yang diduganya memang terbukti. Segerombo-
lan orang sedang membuat kekacauan di desa ini. Me-
reka merampok dan membakar beberapa buah rumah.
Beberapa orang penduduk mencoba mempertahankan
hak mereka. Tapi sebagian tewas bergelimpangan da-
rah dihajar gerombolan itu. Sementara di sudut lain terlihat beberapa orang
wanita sedang diseret ke balik semak-semak oleh beberapa orang laki-laki
berwajah kasar. "Bedebah laknat! Perbuatan mereka betul-betul seperti binatang!" maki Bayu.
Tubuh Pendekar Pulau Neraka langsung me-lompat
dan menghajar orang-orang yang hendak melakukan
perbuatan mesum terhadap wanita-wanita desa.
"Hiyaaa...!"
"Begkh!"
"Aaa...!"
"Siapa kau"!"
Melihat serangan Bayu yang sangat mengagetkan,
tentu saja membuat kawan-kawannya yang lain sangat
terkejut. Dan sekejap mereka melihat beberapa orang terpental sambil memuntahkan
darah dari mulutnya.
Salah seorang bertubuh besar yang agaknya kepala ge-
rombolan itu langsung membentak garang.
"Huh! Peduli apa kau tahu siapa aku. Yang jelas aku adalah malaikat maut yang
akan menendang kalian ke neraka!" sahut Bayu sambil mendengus sinis.
"Keparat...! Rupanya ada juga orang yang sok berani jadi pahlawan di hadapanku.
Hei, bocah! Mungkin kau belum mendengar nama Rampok Sungai Alur.
Nah, kamilah orangnya! Sebelum kupecahkan kepala-
mu dengan gada berduri ku ini, bersujudlah minta
ampun. Siapa tahu akan berbaik hati mengampuni ji-
wamu!" bentak orang bertubuh besar itu sambil men-gacungkan senjatanya yang
berupa gada berduri ber-
bentuk buah kelapa di ujungnya.
"Ha ha ha ha...! Menyerahlah kau, Bocah. Atau kepalamu akan kami rencah beramai-
ramai!" sambut
anak buah Rampok Sungai Alur sambil tertawa berge-
lak. "Kaaakh...!"
Mendengar itu monyet kecil di pundak pemuda be-
rambut gondrong itu memekik nyaring sambil menju-
lurkan lidahnya mengejek kawanan Itu.
"Ha ha ha ha...! Kau lihat, Tiren" Wajahmu lebih cantik ketimbang mereka, dan
sikapmu lebih baik dari mereka. Kata apakah yang lebih pantas untuk mereka
selain dari binatang berujud manusia?" ejek Bayu sambil terkekeh.
"Bedebah! Rupanya kau ingin mampus, Bocah!
Anak-anak, rencah bocah keparat itu!" teriak kepala Rampok Sungai Alur dengan
wajah geram. "Yeaaah...!"
* * * 2 Tanpa membuang waktu lagi kawanan Rampok
Sungai Alur langsung menyerang Bayu bertubi-tubi.
Tapi dengan gerakan yang sangat mantap sekali, pe-
muda berambut gondrong yang bergelar Pendekar Pu-
lau Neraka langsung menyambutnya. Terhadap mereka
yang jelas-jelas telah menunjukkan niat jahatnya, dan kini malah ingin
merencahnya beramai-ramai, tentu
saja Pendekar Pulau Neraka tak bertindak setengah-
setengah. Kekesalannya yang tadi ditumpahkan pada
para pengeroyoknya.
"Hiyaaa...!"
"Begkh!"
"Duk!"
"Aaaa...!"
Dengan gerakan yang begitu cepat dan sulit diikuti
oleh pandangan mata biasa, Bayu berkelit dari serangan lawan dan balas
menyarangkan pukulan dengan
telak. Tak ampun lagi, sekali dia bergerak lima orang anak buah Rampok Sungai
Alur terpental sambil memuntahkan darah segar.
"Keparat! Rupanya kau memiliki kepandaian juga, heh...! Pantas berani berlagak
di hadapanku. Tapi
mengganggu urusan Rampok Sungai Alur kau sung-
guh gagah, bocah. Aku Weling Ijo yang akan merencah
batok kepalamu!" bentak kepala Rampok Sungai Alur itu sambil melompat dan
mengayunkan senjatanya.
Bersamaan dengan itu seluruh anak buahnya se-
perti melupakan tujuan mereka semula dan sudah ikut
terjun mengeroyok pemuda itu. Agaknya kemarahan
pimpinan mereka yang bernama Weling Ijo membuat
kemarahan mereka pada Bayu semakin bertambah.
Dan barangkali juga merupakan isyarat bila Weling Ijo telah menggempur lawan
berarti mereka harus mem-pertaruhkan nyawa demi membuat musuh binasa.
"Yeaaah...!"
"Hiya...!"
Untuk sesaat Bayu agak terkesiap melihat cara me-
reka bertarung. Serangan-serangan mereka membabi
buta tapi tidak menjadikan gerakan mereka kacau ba-
lau. Sepertinya serangan itu memang ditujukan untuk
penyerangan bersama dan dengan Weling Ijo sebagai
ujung tombak yang sangat berbahaya. Terlebih-lebih
dengan senjata gada berdurinya yang mengancam ke-
selamatan siapa saja yang menjadi lawannya.
"Sekarang jangan harap kau bisa lari dariku!" dengus Weling Ijo sambil tersenyum
sinis melihat Bayu tak berkutik untuk membalas serangan mereka.
Tapi kalau Pendekar Pulau Neraka belum memba-
las serangan gencar itu, bukan berarti bahwa dia tak mampu membalas. Diam-diam
Bayu mengagumi barisan serangan yang mereka lakukan. Begitu teratur dan kompak.
Salah seorang menyerang, maka ketika dia
menghindar dari serangan balasan Bayu, seorang ka-
wannya telah langsung menyerang dari arah lain. Begi-tu seterusnya. Kalau saja
rata-rata mereka memiliki
ilmu silat dan tenaga dalam tinggi, niscaya tentu Pendekar Pulau Neraka itu akan
berhadapan dengan la-
wan yang amat tangguh.
Namun ilmu silat yang mereka miliki masih jauh di
bawahnya. Dan jika ada yang bisa diperhitungkan itu
cuma. Weling Ijo, kepala Rampok Sungai Alur. Dan ke-
tika orang bertubuh besar itu mengejeknya demikian,
Bayu cuma tersenyum sinis.
"Siapa yang sudi lari darimu" Aku bahkan ingin
melihat kalian lari terbirit-birit!" balas Bayu sambil tersenyum tipis seperti
mengejek. "Hiyaaaa...!"
"Sing!"
"Heh! Cakra Maut..."!
Weling Ijo tersentak kaget ketika melihat lawannya
mengibaskan sebelah tangan ke atas. Pada saat itu ju-ga melesat sebuah benda
bersinar keperakan yang
mendesing cepat bagai kilat menyambar kawanan itu.
"Crab! Crab!"
"Aaa...!"
"Berhenti!" bentak Weling Ijo lantang menggelegar.
Kepala Rampok Sungai Alur mendatangi beberapa
orang anak buahnya yang tewas disambar senjata
maut yang melesat dari tangan pemuda gondrong ber-
baju kulit harimau itu. Kemudian dengan wajah penuh
tanda tanya dia berpaling pada Bayu.
"Ki sanak, siapa kau sebenarnya" Di dunia ini se-tahuku cuma dua orang yang
memiliki senjata itu, yai-tu si Cakra Maut yang bernama Gardika, dan belakan-
gan seorang pemuda bergelar Pendekar Pulau Neraka.
Melihat usiamu tentu kaulah yang bergelar Pendekar
Pulau Neraka. Apakah dugaanku benar?" tanya Weling Ijo dengan suara yang lebih
lunak. "Hmm... sebenarnya aku tak suka menyebutkan
nama sekedar untuk pamer. Tapi dugaanmu benar,
Weling Ijo. Orang-orang menyebutku Pendekar Pulau
Neraka," sahut Bayu.
"Tak sangka, ternyata kali ini kami terbentur dengan batu cadas. Ki sanak,
maafkan kelancangan ka-
mi...." "Ki sanak, maaf... aku tak mengerti ke mana arah pembicaraanmu?"
"Hm... begini. Mengingat nama besarmu, biar-lah kami mengalah dan menyudahi
urusan sampai di si-ni...."
"Begitu lebih baik. Aku pun sebenarnya lebih me-nyukai penyelesaian cara
begini...."
Namun ketika Weling Ijo mengajak anak buah-nya
untuk segera berlalu dari tempat itu, salah seorang penduduk desa cepat-cepat
membuka suara sambil
menatap Bayu. Tapi jelas sekali kalau bicaranya ditujukan pada Weling Ijo.
"Ki sanak, orang seperti mereka tak bisa di-biarkan begitu saja. Kalau benar Ki
sanak seorang pendekar
yang digdaya yang ternama, sudah sepatutnya mence-
gah perbuatan-perbuatan mereka yang biadab. Kalau
mereka dibiarkan pergi, maka akan banyak lagi keka-
cauan yang mereka perbuat."
Bukan main geramnya Weling Ijo mendengar kata-
kata itu. Kalau saja di situ tidak ada Pendekar Pulau Neraka, mungkin tubuhnya
akan langsung melompat
dan merobek mulut orang itu, tapi kali ini dia cuma
berbalik dan menatap Bayu seperti menanti keputusan
pemuda berbaju kulit harimau.
"Ki sanak semua, aku tak berhak mengadili orang yang sudah mengadakan
perdamaian. Siapakah yang
bisa menduga apa yang mereka lakukan esok hari" Be-
lum tentu mereka melakukan kejahatan. Lalu apakah
aku harus menghukum orang-orang yang belum keli-
hatan bersalah" Kurasa hari ini telah cukup. Beberapa orang penduduk desa telah
tewas, tapi di pihak mereka pun banyak yang tewas. Dan mereka telah
mengembalikan harta benda kalian semua. Kalau mereka mem-
punyai maksud begitu, bagaimanakah aku harus
menghukum" Lagipula bukan kewajibanku untuk
menghukum mereka," sahut Bayu.
Tapi jawaban itu ternyata belum memuaskan me-
reka. Sebagian penduduk masih menggerutu kesal.
Saat itulah terdengar suara keras dengan nada-nada
bersyair mengalun dari kegelapan cabang-cabang po-
hon. * * * Wahai, sungguh nikmat kejahatan Yang berampun
dengan kecemasan hati semua orang. Kalau kebai-
kan dibalas dengan kejahatan. Manakah kebaikan
dan kejahatan yang terang "
Semua yang berada di bawah serentak mendon-
gakkan wajahnya ke atas.
Pada sebuah cabang pohon yang agak tinggi terli-
hat seorang pemuda berambut gondrong dengan wajah


Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampan. Di tangannya terlihat sebuah seruling yang tadi dimainkannya sejenak.
Pakaian yang dikenakan
indah dan tampaknya terbuat dari sutera halus ber-
warna kuning bercampur merah.
"Siapa kau, Ki sanak. Dan apa maksud perkataan
mu tadi"!" tanya Weling Ijo membentak.
Meski kepala Rampok Sungai Alur itu bukan-lah
orang pintar, tapi dia tak bodoh. Perasaaannya mengatakan bahwa syair pemuda itu
menyindir dirinya.
"Namaku tak penting, Weling Ijo. Yang paling penting saat ini adalah melihat
kepengecutan se-
seorang...." sahut pemuda itu terkekeh kecil.,
Bukan main geramnya Weling Ijo. Jelas sudah
bahwa kata-kata itu ditujukan kepadanya. Tapi dia
masih mampu menahan amarahnya dan coba mereda-
kan suasana. "Ki sanak, di antara kita tak ada persoalan apa-apa. Kalau kau tak punya
kepentingan maka kami
akan segera berlalu dari sini."
"Ha ha ha ha...! Setelah membuat kerusuhan ka-
lian akan berlalu begitu saja" Ki sanak, tanyakan pada semua penduduk desa ini
apakah mereka rela melepaskan kalian begitu saja. Kalau mereka tak setuju,
biarlah aku mewakili mereka untuk memberi hukuman
pada kalian!" Mendengar kata-kata itu, serentak sebagian besar penduduk desa
menimpali dan mendukung
kata-kata pemuda itu.
"Akuuur...! Mereka harus mendapat ganjaran yang
setimpal!"
"Orang-orang ini harus dibuat mampus!"
"Biang pengacau harus dibasmi sampai habis!"
"Nah, kalian dengar mereka" Ternyata aku harus
bertindak sekarang," sahut pemuda itu langsung melesat turun dan mengirim satu
serangan ke arah Weling
Ijo. "Bedebah! Kau pikir aku takut padamu" Mampuslah kalau kau ingin mampus
lebih dulu!" desis Weling Ijo geram sambil mengelak dan balas menyerang lawan
dengan senjata gada berdurinya.
Melihat pertarungan itu Bayu jadi serba salah. Ka-
lau dia membela kawanan Rampok Sungai Alur, sudah
jelas itu tidak menguntungkan. Keadaannya akan ter-
sudut. Tapi bila mendukung pemuda itu, hati kecilnya seperti tak bisa
membenarkan tindakannya. Bukankah
seharusnya orang yang sudah menawarkan niat baik-
nya harus disambut dengan sikap bijaksana" Apakah
keputusannya tadi kurang bijaksana"
"Ki sanak semua, hal ini tidak akan menyelesaikan persoalan" Kenapa tidak
dibiarkan saja mereka pergi dengan damai?" tanya Bayu berusaha memberi penje-
lasan pada penduduk desa.
"Ki sanak, kalau kau tak sudi menolong kami pergilah sesuka hatimu. Sekarang
telah ada orang yang
lebih ringan tangan dan mengerti akan kecemasan
kami!" sahut salah seorang penduduk desa.
"Betul! Pergilah kau dari sini secepatnya!" sahut yang lain.
Dan beberapa prang penduduk yang lain menimpa-
li dengan nada serupa.
Bayu menggelengkan kepala sambil mendesah kes-
al. "Mari, Tiren. Agaknya kali ini kita tidak menemu-kan penduduk desa yang
murah hati. Lebih baik kita
meninggalkan tempat ini akan lebih baik untuk kita...."
kata Bayu sambil menyongsongkan lengan pada mo-
nyet kecil berbulu hitam sahabat-nya.
Tanpa menoleh lagi Bayu langsung berkelebat me-
ninggalkan desa itu.
Sementara itu pertandingan antara pemuda berwa-
jah tampan yang enggan menyebutkan namanya ten-
gah berlangsung alot dengan Weling Ijo. Kepala Ram-
pok Sungai Alur seperti orang kerasukan setan menye-
rang lawannya bertubi-tubi. Gada berduri di tangan-
nya berkali-kali nyaris membuat tubuh lawan remuk.
Walau demikian tak terlihat sedikit pun bahwa pe-
muda itu terdesak oleh serangan Weling Ijo. Bah-kan
dia masih sempat mengejek sambil menghindar dari
serangan lawan dengan gerakan gesit.
"Ha ha ha ha...! Weling Ijo, hanya seginikah ke-mampuanmu" Kau sungguh tak
pantas menjadi kepa-
la rampok. Tapi lebih cocok kalau menjadi kepala rombongan banci!"
"Keparat! Ingin kulihat sampai di mana kebisaan-mu bocah!" maki Weling Ijo.
Secepat itu pula dia bersuit nyaring. Dan bersa-
maan dengan itu anak buahnya langsung membuat
barisan dan mengeroyok pemuda itu.
"Ha ha ha ha...! Rupanya kau takut mati juga, Laler Ijo" Ayo, kerahkan semua
anak buahmu. Kalau
masih ada yang bersembunyi, suruh keluar dan serang
aku beramai-ramai!" ejek pemuda itu.
Bukan main gusarnya Weling Ijo mendengar ejekan
pemuda itu. Lebih-lebih saat dirinya disebut Laler Ijo.
"Yeaaah...!"
Dengan satu teriakan keras tubuhnya melesat
kembali menyerang lawan. Teriakan itupun agaknya
sebagai komando bagi anak buahnya untuk mulai pe-
nyerangan. Jurus yang digunakan kali ini adalah sama
dengan yang dipergunakan saat menyerang Bayu tadi.
"He he he he...! Kau menggunakan jurus cacing ke-panasan ini untuk menyerangku"
Sungguh lucu, Laler
Ijo" Kalau aku belum menyaksikannya, mungkin aku
akan terkejut dan menganggap kalian hebat. Tapi
sayang, karena tadi aku sempat melihat dan mengeta-
hui kelemahannya. Maka jangan heran kalau dalam
sekejap serangan kalian kupatahkan!"
"Bicaralah sepuasmu kalau kau sudah mampus!"
geram Weling Ijo sambil melayangkan gada berdurinya
ke wajah pemuda itu, disertai dengan pengerahan te-
naga dalam yang sudah mencapai tingkatan yang ting-
gi. "Uts!"
"Hiyaaa...!"
"Trak! Trak!"
"Duk!"
"Aaaakh...!"
* * * Sambil mengelak serangan Weling Ijo, tubuh pe-
muda itu berkelebat cepat menghindari dua serangan
yang menyusul dari anak buah Rampok Sungai Alur.
Tiga serangan lain yang menyusul ditangkisnya dengan suling, kemudian tubuhnya
berputar dengan cepat
sambil melayangkan tendangan kilat. Lima orang lang-
sung terpental sambil menjerit keras. Begitu tiba di tanah nyawa mereka langsung
melayang! "Keparat! Kali ini aku akan mengadu jiwa dengan-mu!" dengus Weling Ijo semakin
geram. "Yeaaah...!"
"Laler Ijo, kalau mau mampus bawalah anak bini-
mu ikut serta!" teriak pemuda itu mengejek.
Tubuhnya mencuat ke atas dengan ringan bagai
sehelai kapas ditiup angin. Kemudian melesat turun
dengan kecepatan kilat. Dua orang anak buah Rampok
Sungai Alur mencoba memapaki dengan ujung golok
mereka. "Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Suling di tangan pemuda itu dengan cepat me-
nangkis dan menghantam senjata lawan hingga ter-
pental. Kaki kiri pemuda itu dengan cepat menendang
ke arah dada. Terdengar derak tulang dada kedua la-
wannya yang patah disusul pekik kematian mereka.
"Yeaaah...!"
Sambil membentak nyaring tubuh pemuda itu te-
rus menghantam sisa anak buah Rampok Sungai Alur
yang lain sambil sesekali menangkis serangan Weling
Ijo. Agaknya serangan pemuda itu yang lebih di-
tujukan pada anak buah Weling Ijo mampu membuat
barisan serangan itu porak poranda. Dalam sekejap
terlihat serangan mereka telah kacau dan tak teratur lagi karena masing-masing
sibuk menyelamatkan diri.
Bukan main geramnya Weling Ijo melihat keadaan
itu. Satu persatu anak buahnya tewas tanpa mampu
dicegahnya. Hanya dengan senjata suling yang terbuat dari besi putih di
tangannya, pemuda itu mampu menangkis senjata mereka. Bahkan setiap kali
senjatanya bentrok, Weling Ijo merasa tangannya kesemutan. Dia
langsung menyadari bahwa tenaga dalam pemuda itu
berada di atasnya. Bukan cuma itu, tapi ilmu merin-
gankan tubuh lawan pun jauh melebihinya. Sehingga
sulit bogi mereka untuk mengimbanginya.
Tak heran bila dalam tempo singkat seluruh anak
buah Rampok Sungai Alur dibabat habis oleh pemuda
itu. "Sekarang giliranmu, Laler Ijo! Walau kau menyembah kakiku berkali-kali
nyawamu tak akan
kuampuni. Bersiaplah menjemput kematianmu!" kata pemuda itu sambil tersenyum
sinis setelah menewaskan dua orang anak buah Weling Ijo yang terakhir.
"Huh! Jangan harap aku akan menyembah kaki-
mu, Keparat! Walau kau memiliki kepandaian tinggi
aku tak takut padamu!"
"Bagus! Tahan seranganku ini!"
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Sebelum pemuda itu bergerak menyerangnya, Wel-
ing Ijo telah lebih mendahului membentak nyaring.
Kali ini dia tak mau menyerang tanggung-tanggung.
Seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan-
nya sehingga terlihat serangannya begitu ganas dan
bertenaga kuat.
Namun dengan gerakan yang lebih cepat pemuda
itu berkelit. Kepalanya ditundukkan ketika senjata lawan menghantam. Bersamaan
dengan itu kaki kirinya
menendang ke dada lawan.
"Yeaaaah...!"
"Uts!"
Tubuh Weling Ijo mencuat ke atas dengan gerakan
jungkir balik dan tangan kanannya kembali menghan-
tamkan gada berduri ke batok kepala lawan. Tapi tu-
buh pemuda itu lebih cepat lagi bergerak ke kiri. Dengan satu gerakan yang
membuat tubuhnya berputar di
udara, pemuda itu menghantamkan sulingnya ke
punggung lawan. Weling Ijo tak menyangka bahwa la-
wan mampu bergerak secepat itu. Dia tersentak kaget
dan berusaha menghindar. Tapi suling di tangan si
pemuda telah dialiri tenaga dalam yang kuat itu tak
mampu lagi dihindari.
"Begkh!"
"Kraaak!"
"Aaaa...!"
Tak ampun lagi! Suling pemuda itu menghantam
pinggang Weling Ijo dan membuat tulangnya patah.
Weling Ijo memekik kesakitan ketika tubuhnya am-
bruk. Belum lagi lawan berusaha bangkit dengan nafas
megap-megap kaki pemuda itu telah menghantam da-
da kirinya. Kali ini Weling Ijo cuma mengeluh pelan.
Nyawanya putus seketika dengan mata melotot dan li-
dah terjulur keluar ketika kaki kanan pemuda itu me-
remukkan tulang dadanya hingga melesak ke jantung.
"Mampuslah kau, dan biang bencana musnah sa-
lah satunya!" dengus pemuda itu sambil me-nyeringai bengis.
Kematian Weling Ijo disambut para penduduk den-
gan sorak sorai gembira. Mereka mengelu-elukan pe-
muda itu dan menganggapnya sebagai dewa penyela-
mat. "Hidup dewa penyelamat kita!"
"Hiduuuup...!"
"Ki sanak, sebaiknya menginaplah di sini ma-lam ini. Sebentar lagi malam tiba.
Kau tentu lelah. Atas nama seluruh penduduk desa ini kami mengucapkan
terima kasih yang sedalam-dalamnya atas pertolon-
ganmu," kata Ki Sentanu pada pemuda itu.
"Terima kasih, Ki sanak. Memang benar apa yang
kau katakan itu. Kalau kalian tak keberatan untuk
menerimaku di desa ini sungguh kebetulan sekali."
"Kami akan menjamu sepuas-puasmu!" sahut yang lain.
"Benar! Kalau kau sudi tinggal di desa ini, kami
bahkan lebih merasa suka sekali!" sahut yang lain.
Pemuda itu cuma tersenyum-senyum gembira me-
lihat sambutan meriah terhadap dirinya. Seperti seo-
rang pangeran saja layaknya, mereka berebutan me-
nawarkan rumahnya untuk tempat menginap pemuda
itu. * * * 3 Bayu menggeliat sambil menggerak-gerakkan ba-
dan ketika matahari pagi telah bersinar di ufuk timur.
Pemuda berambut gondrong itu mengucek-ucek ma-
tanya sesaat. Ketika dilihatnya monyet kecil berbulu hitam yang selalu berada
tak jauh darinya kini menghilang. Pemuda itu cepat melon-cat turun dari cabang
pohon tempatnya berbaring tadi.
"Tiren, ke mana kau?" panggilnya dengan suara yang agak keras.
Namun yang dipanggil tak kunjung tiba. Pemuda
itu menggaruk-garuk kepalanya dengan wajah kesal
sambil memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Ke-
mudian dengan satu gerakan ringan dia mencelat ke
salah satu cabang pohon kecil yang terletak tak jauh dari situ. Kemudian dengan
beberapa kali loncatan,
kakinya mendarat di ujung cabang sebuah pohon yang
paling tinggi. Dari situ Bayu mengedar pandangan ke
seluruh tempat.
"Hm... di sebelah sana agaknya ada sebuah sungai kecil. Aku akan ke sana dan
mandi sepuas-puasnya,"
gumam pemuda itu dengan wajah berseri-seri.
Baru saja dia meloncat turun dari cabang itu, Tiren
muncul sambil menunjuk ke arah yang sama pada
tempat yang akan ditujunya.


Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nguk! Nguk!"
"Oh, rupanya kau telah melihatnya, ya" Kema-
juanmu sungguh pesat sekarang. Biasanya kau takut
air, kali ini malah mengajakku untuk mandi...."
"Kaaakh!"
Tiren menjerit keras sambil menarik-narik lengan
Bayu. Si Pendekar Pulau Neraka mengerutkan kening.
"Ada apa, Tiren" Apakah kau melihat sesuatu?"
tanya Bayu curiga.
Monyet kecil sahabatnya itu mengangguk cepat.
Tanpa membuang waktu Bayu langsung menyambar-
nya dan berkelebat cepat menuju tempat yang ditun-
juk sahabat kecilnya itu.
Tempat yang ditunjuk Tiren memang agak jauh bila
ditempuh oleh orang yang tak memiliki ilmu lari cepat.
Tetapi hal itu tak jadi masalah bagi Bayu. Ilmu lari cepatnya telah mencapai
tingkat tinggi.
Belum lagi mereka tiba di tempat yang dituju, pen-
dengarannya yang tajam mendengar teriakan-teriakan
seorang wanita dari kejauhan.
"Hmm... aku mengerti maksudmu, sahabat. Kau
ingin aku menolong wanita itu bukan?" tanya Bayu sambil tersenyum kecil.
"Nguk!"
Tiren mengangguk cepat. Baru saja selesai dia
menganggukkan kepala, kembali monyet kecil berbulu
hitam itu tersentak kaget ketika Bayu menggenjot tu-
buh dan berlari lebih cepat dibandingkan tadi.
Tiba di tepi sebuah sungai kecil yang berair jernih, Bayu melihat seorang laki-
laki sedang menindih tubuh seorang wanita dengan nafsu kotornya. Sementara di
sampingnya berdiri seorang laki-laki lain yang tertawa bergelak-gelak
menyaksikan perbuatan kawannya itu.
"Ha ha ha.... Kenapa menundukkan wanita satu ini saja kau sulit sekali, Soma"
Apa perlu aku yang turun tangan lebih dulu mengajarimu?" tanya laki-laki yang
tadi tertawa-tawa.
"Diamlah kau, Margana! Tidakkah kau melihat ku-
da betina ini liar sekali"! Sebentar lagi pun dia akan takluk padaku," sahut
laki-laki yang sedang menggelu-ti wanita itu.
"Bajingan keparat! Lepaskan aku! Lepaskan aku!
Toloooong...!" Teriak wanita itu sambil menggeliat-geliat dan berusaha
melepaskan diri dari dekapan laki-laki di atasnya yang seperti kerasukan setan.
"Ha ha ha ha... berontaklah sesuka hatimu tapi
jangan harap kau bisa lepas dari tanganku!"
"Auw! Bajingan! Kubunuh kau! Kubunuh kau!"
maki wanita itu ketika laki-laki itu mulai mengge-
rayangi lekuk-lekuk tubuhnya.
Kedua tangan wanita itu ditangkap tangan kiri laki-
laki yang tadi dipanggil Soma, dan sebelah tangannya yang lain dengan leluasa
merobek-robek pakaian wanita itu sambil menggerayangi bukit kenyal yang tersibak
lebar membuat sepasang matanya semakin lebar melotot, dan air liurnya menetes.
"Sudahlah Soma. Lebih baik kau totok saja wanita itu maka kau tak akan susah
payah lagi!" saran kawannya sambil sesekali melirik ke arah tubuh wanita
yang molek dan tersingkap lebar.
"Siapa sudi berbuat begitu" Tak ada kenikmatan
yang ku peroleh. Tapi dengan cara begini kau akan
merasakan perbedaannya!" sahut Soma sambil terkekeh-kekeh.
Pada saat itulah ketika Soma melepaskan penutup
tubuh bagian bawah wanita itu dan siap akan melak-
sanakan perbuatan kotornya, Bayu yang baru tiba
langsung membentak dengan suara menggeledeg.
"Bajingan kotor, hentikan perbuatan bejad kalian!"
Kedua orang itu langsung tersentak kaget. Soma
yang nafsu kotornya tadi telah sampai ke ubun-ubun,
tiba-tiba saja mereda dan berubah garang ketika tu-
buhnya bangkit dan melihat siapa orang yang meng-
ganggu kesenangannya itu.
"Siapa kau, keparat"! Berani betul mengganggu kesenangan orang lain"!" bentaknya
sengit. Belum lagi Bayu menyahut dilihatnya wanita yang
seluruh pakaiannya telah tercabik-cabik itu berusaha bangkit dan bermaksud
melarikan diri. Namun dengan
gerakan cepat salah seorang dari keduanya menotok
tubuh wanita itu hingga ambruk tak berdaya.
* * * "Kalian tak perlu tahu siapa aku. Lepaskan wanita itu atau kalian pulang tinggal
nama?" gertak Bayu dengan suara yang ditekan penuh ancaman.
Mendengar itu bukannya kedua laki-laki yang wa-
jahnya penuh dengan bopeng itu takut, mereka malah
tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha ha.... Kau dengar, Margana" Baru kali ini Sepasang Setan Burik diancam
oleh bocah kencur!"
sahut Soma, yang mengenakan ikat kepala warna kun-
ing. "Mungkin dia belum tahu siapa kita. Atau juga bocah bau kencur yang belum
mengetahui luasnya dunia
dan sudah menganggap dirinya jago!" timpal Margana.
"Ha ha ha ha.... Aku memang bocah bau kencur
yang paling jago. Orang seperti kalian tak ada seujung kuku dibanding denganku.
Sekali tendang mungkin
kedua wajah kalian yang rusak itu akan bertambah
rusak," balas Bayu dengan nada mengejek.
Sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang begitu
sombong untuk memancing kemarahan mereka. Dan
ternyata pancingannya mengena. Kedua orang itu
mendelikkan mata dan menggeram dengan murka.
"Bocah sepertimu memang harus cepat-cepat
mampus!" bentak Soma sambil menghantamkan puku-
lan jarak jauh ke arah Bayu.
Pukulan itu kelihatannya ringan saja. Tapi akibat-
nya sungguh hebat. Kalau saja Bayu tak cepat melom-
pat tentu nasibnya akan sama dengan tanah tempat-
nya tadi berpijak yang terbongkar sedalam tiga jengkal.
"Hmm... agaknya kau memiliki kepandaian juga.
Tapi jangan merasa menang sebelum me-rasakan pu-
kulanku ini," dengus Soma sambil terus menyerang lawannya.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaaa...!"
Dengan gerakan mantap tubuh Bayu berkelit
menghindari serangan lawan. Kepalan kanannya
menghantam dada lawan. Tapi dengan gerakan yang
tak sengit Soma menghindar sambil mengangsurkan
telapak tangan kirinya menangkis.
"Des!"
"Akh!"
Laki-laki berwajah bopeng berusia sekitar empat
puluh tahun itu mengeluh kesakitan sambil memegan-
gi telapak tangannya yang terasa sakit akibat benturan tadi. Sungguh dia tak
memperkirakan bahwa lawan
memiliki tenaga dalam yang kuat.
"Kenapa tidak dadamu saja yang kau sodorkan
agar kau lebih cepat mampus?" ejek Bayu.
"Keparat! Jangan harap kau bisa mempermalukan
kami begitu saja bocah. Kali ini kau harus mampus!"
sentak Margana dan langsung menyerang Bayu den-
gan tangan kosong.
Kali ini Bayu tak bisa bermain-main lagi. Serangan
Margana betul-betul ganas dan mengandung tenaga
dalam kuat. Bukan itu saja, laki-laki berwajah penuh bopeng itu pun memiliki
gerakan yang cukup gesit.
Sedikit saja dia salah menghindar sudah pasti tubuh-
nya bisa remuk dihantam kepalan tangan lawan.
"Yeaa...!"
"Uts, ha...!"
"Keparat. Apakah kebisaanmu cuma berkelit"! Ayo, keluarkan seluruh kepandaianmu
dan balas serangan-seranganku kalau kau memang mampu!" Bentak Mar-
gana ketika dilihatnya Bayu cuma menghindar dari se-
rangannya yang bertubi-tubi.
"Oh, apakah kau ingin kugebuk seperti kawanmu
itu" Baiklah. Nah, coba tahan seranganku!"
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring Bayu merubah gerakan.
Tubuhnya melayang ke arah Margana dengan kedua
tangan ke depan. Tentu saja hal ini kelihatannya sebagai serangan main-main.
Tapi bagi Margana mana dia
peduli. Dengan cepat kepalan tangan kanannya meng-
hajar dada lawan.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Plak!"
"Des!"
"Akh!"
Margana menjerit kesakitan ketika kaki kanan
Bayu yang dibuat menangkis pukulannya, tiba-tiba
menghantam ke arah dada.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil
mendekap dada. Dari mulutnya mengalir darah kental.
Tapi serangan Bayu tak berhenti sampai di situ. Tu-
buhnya melompat bagai harimau, dan dengan bertum-
pu pada kedua jangan, kedua kakinya menghantam
kepala dan lutut lawan.
"Duk!"
"Gusrak!"
"Aakh!"
Margana kembali menjerit keras ketika sebelah ka-
ki Bayu menghantam kepalanya. Tidak cukup keras,
tapi membuat pandangannya berkunang-kunang. Be-
lum sempat menyadari diri, tiba-tiba tubuhnya me-
layang dan jatuh bedebum ke tanah ketika sebelah ka-
ki Bayu menghantam kedua lututnya di bagian bela-
kang. Tapi pada saat yang bersamaan pula melompat
Soma dan bermaksud menolong kawannya itu dengan
menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaa...!"
"Oh, rupanya kau belum kapok juga" Baik kau pun akan terima bagian yang sama,"
ujar Bayu tersenyum kecil.
Tanpa menunggu serangan lawan tiba, tubuhnya
bergerak cepat menyambut dengan satu serangan ber-
tenaga dalam kuat.
"Hiyaaaa...!"
"Plak!"
"Begkh!"
"Ukh...!"
Kepalan tangan Soma berhasil dihindarinya dengan
menundukkan kepala. Tapi saat itu juga Soma men-
gayunkan kaki ke wajah Bayu. Pendekar Pulau Neraka
membuang tubuh ke belakang. Kaki Soma yang sebe-
lah lagi dengan cepat menghantam. Justru hal itu yang diharapkan Bayu. Kaki
kanannya menghantam tulang
kering lawan, dan kaki kirinya menendang pantat So-
ma hingga orang itu tersedak dengan tubuh mencelat
ke atas setinggi setengah tombak dan mengeluh kesa-
kitan. Belum lagi kedua kakinya menjejak tanah, kembali
Bayu meloncat mengirimkan tendangan telak meng-
hantam perutnya. Soma menjerit kesakitan ketika tu-
buhnya terpental sejauh dua tombak. Dari mulutnya
muncrat darah segar.
"Pergilah cepat dari sini sebelum kuremukkan kepala kalian!" bentak Bayu sambil
memelototkan mata.
Kedua orang yang menyebut dirinya Sepasang Se-
tan Burik berusaha bangkit dengan susah payah dan
tertatih-tatih. Keduanya memandang pemuda itu den-
gan wajah yang amat penasaran.
"Ki sanak, siapa kau sebenarnya" Urusan ini tak cukup sampai di sini. Suatu saat
penghinaan ini akan terbalas berikut dengan bunganya!" desis Soma geram.
"Hmmm... kalian bermaksud menuntut balas" Ba-
gus! Orang-orang menyebutku Pendekar Pulau Neraka.
Carilah aku jika kalian merasa tak puas dengan keja-
dian ini!"
Mendengar pemuda itu menyebutkan gelarnya, ke-
duanya tersentak sesaat. Tapi cepat mendengus kem-
bali dengan wajah penuh dendam.
"Baiklah. Pendekar Pulau Neraka, namamu tak
akan pernah kami lupakan. Suatu saat nanti Sepasang
Setan Burik akan menagih hutang ini...."
"Eit, jangan seenaknya pergi begitu saja," sentak Bayu ketika melihat mereka
siap akan meninggalkan
tempat itu. "Ada apa, Ki sanak" Apakah kau akan membunuh
kami saat ini juga?" tanya Soma.
Meski suaranya terdengar lantang dan sinis, tapi
sempat bergetar juga hatinya. Jangan-jangan pemuda
itu berubah pikiran dan menghabisi mereka saat ini
juga dari pada memikirkan dendam yang entah kapan
datangnya. Siapa yang tak kenal dengan Pendekar Pu-
lau Neraka" Tokoh itu biasanya telengas terhadap la-
wan-lawannya dan jarang meninggalkan lawan pergi
begitu saja. "Hmm... bukan. Soal itu kalian masih ku berikan kesempatan. Tapi persoalan gadis
ini. Kalian telah merobek-robek pakaiannya, maka kalian pula yang harus
menggantinya. Aku tidak memaksa, tapi sebaiknya to-
long tanggalkan pakaian kalian..." pinta Bayu dengan nada tegas.
Kedua orang berwajah penuh bopeng itu saling
pandang sesaat, kemudian.
"Tapi...."
"Itu juga termasuk persyaratan, Ki sanak! Kalau kalian tak memenuhinya maka
lebih baik kita selesai-kan persoalan kita sekarang saja!" desis Bayu dengan
sikap mengancam.
Karena tak punya pilihan lain, akhirnya mereka
melepaskan bajunya masing-masing. Untuk melawan
pemuda itu dalam keadaan terluka parah begini sung-
guh suatu perbuatan bunuh diri, meskipun mereka
berdua mengeroyoknya.
* * * Setelah keduanya meninggalkan tempat itu, Bayu
mendekati wanita tadi perlahan-lahan.
"Ni sanak, pakailah salah satu baju ini untuk me-lindungi tubuhmu yang terbuka
begini," katanya sambil melempar kedua baju yang dipegangnya ke tubuh
wanita muda yang tergolek itu.


Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana aku bisa memakainya dalam keadaan
tertotok begini?"
"Ah, aku lupa...." seru Bayu sambil mendekat untuk membebaskan totokan wanita
itu. "Jangan mendekat!"
Bayu tersentak mendengar bentakan wanita itu.
"Kenapa Ni sanak" Bukankah kau sedang tertotok
dan aku bermaksud akan membebaskan totokanmu?"
"Bagaimana aku tahu kau tidak mempunyai nafsu
kotor seperti mereka?"
"Aku akan membebaskan totokanmu dan setelah
itu akan pergi meninggalkanmu begitu saja," sahut Bayu kesal.
"Bukan itu maksudku!"
"Jadi apa?"
"Kau mencari kesempatan saat keadaanku sedang
tertotok begini?"
Bayu menghela nafas kesal dan membalikkan tu-
buh sambil melangkah pelan meninggalkan tempat itu.
"Hei, mau ke mana kau?" bentak wanita itu.
"Untuk apa aku berlama-lama di sini" Tujuanku
cuma ingin menolongmu dari perbuatan mereka. Dan
karena mereka telah pergi, untuk apt aku di sini lagi.
Toh kau tak memerlukan pertolonganku lagi, bukan?"
sahut Bayu tanpa membalikkan tubuh.
"Kau akan meninggalkan aku begitu saja dalam
keadaan tertotok begini?"
"Bukankah kau yang menghendaki begitu?"
"Brengsek! Aku tidak mengatakan begitu?"
"Dengan caramu melarangku untuk membebaskan
totokan itu, apa namanya?"
Wanita itu terdiam sesaat. Kemudian katanya lirih.
"Bebaskanlah totokanku... tapi ingat! Jangan palingkan wajahmu ke sini!"
Bayu seperti tersentak. Pantas saja wanita itu ma-
rah padanya. Tanpa sadar dia telah memandangi tu-
buhnya yang setengah telanjang itu dengan leluasa.
Pantas saja gadis itu marah karena bukit kenyalnya
yang halus mulus terlihat jelas oleh pemuda Itu. Bayu sendiri seperti orang
bodoh tadi dan memandanginya
begitu saja tanpa malu-malu.
'"Ba... baik..." kata Bayu sambil melangkah mun-dur. Kemudian dengan tangannya
dia meraba-raba ba-
gian tubuh wanita itu untuk mencari urat yang terto-
tok. "Ouw! Kurang ajar!"
Gadis itu menjerit garang ketika tangan Bayu me-
nyentuh salah satu bukit kembarnya yang kenyal dan
padat. Buru-buru dia melepaskan dengan wajah serba
salah. "Maaf Ni sanak... aku betul-betul tak sengaja."
"Huh, semua laki-laki sama saja! Pura-pura ber-
buat salah padahal niatnya telah menggebu-gebu!"
dengus gadis itu cepat bangkit dan menyambar kedua
baju di dekatnya setelah dibebaskan dari totokannya.
"Tapi aku...."
"Jangan berbalik! Aku sedang berpakaian, go-blok!"
bentak gadis itu garang ketika dilihatnya Bayu ber-
maksud membalikkan tubuh ke arahnya.
"Hhhh... pusing, pusing! Begini salah begitu salah.
Semuanya jadi serba salah..." keluh Bayu menghela nafas sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tak
gatal dan melangkahkan kaki meninggalkan tempat
itu. "Nguk! Nguk!"
"Kau sih yang jadi penyebabnya!" tuding Bayu pada sahabat kecilnya itu.
"Mau ke mana lagi kau sekarang"!" bentak gadis itu garang sambil bertolak
pinggang. "Mau pergi!" sahut Bayu ketus.
"Aku ikut!" sahut gadis itu sambil merendengi ja-lannya.
Bayu melirik sekilas. Sungguh lucu kelihatannya.
Baju yang dikenakan gadis itu kebesaran. Tapi itu ma-
sih biasa dibandingkan dengan pakaian bagian bawah.
Seperti wanita di jaman primitif gadis itu membuat penutup tubuhnya bagian bawah
dengan baju yang satu
lagi. Bayu bisa memaklumi karena sekilas tadi dia
sempat melihat penutup tubuh bagian bawah gadis itu
keadaannya sangat tidak memadai akibat perbuatan
Sepasang Setan Burik.
"Kenapa ketawa"!" bentak gadis itu ketus.
"Karena aku ingin ketawa...."
"Kau pikir aku tontonan ya"!"
"Barangkali iya...."
"Brengsek!" bentak gadis itu sambi} melayang-kan kepalan tangan menghantam dada
si Pendekar Pulau
Neraka. "Duk!"
Pukulan itu terlihat ringan saja. Bahkan seperti
main-main, sehingga Bayu tak berusaha menangkis.
Tapi alangkah terkejutnya dia ketika merasakan da-
danya nyeri akibat pukulan itu. Tubuhnya terhuyung-
huyung beberapa tindak ke belakang sambil mendekap
dada. * * * 4 Tubuh Pendekar Pulau Neraka mencelat beberapa
tombak ke belakang sambil bersalto dengan ringan.
Belum lagi dia sempat mengatur pernafasannya, seko-
nyong-konyong gadis itu kembali melesat dengan ke-
cepatan yang sulit diikuti mata biasa dan menyerang-
nya. "Hiyaaa...!"
"Perempuan laknat! Ternyata kau adalah iblis keji!"
desis Bayu dengan wajah garang.
"Hi hi hi hi...! Cuma segitukah kemampuan Pendekar yang digembar-gemborkan
sempat menggegerkan
rimba persilatan di delapan penjuru angin?"
"Bedebah! Siapa kau sebenarnya"!"
"Aku..." Bukankah tadi kau telah menyebutkan-
nya?" "Huh, siapa pun kau adanya kau akan mendapat
balasan yang setimpal!" dengus Bayu sambil jungkir balik menghindari serangan
lawan. Kali ini dia tak bisa menganggap lawan rendah.
Walau pukulan yang dikeluarkannya terlihat le-
mah, tapi akibatnya sungguh fatal seperti yang dirasakan-nya tadi. Dadanya masih
terasa sosok akibat pu-
kulan itu. Ada hal yang membuat Bayu tak habis pikir ten-
tang gadis ini. Pertama, kalau dia memiliki dendam ke-sumat terhadapnya kenapa
pukulannya tadi tak ber-
maksud untuk menewaskan dirinya" Padahal pada se-
rangan selanjutnya pukulan itu mampu menghancur-
kan sebatang pohon dengan cara yang mengerikan.
Sebatang pohon besar tampak retak-retak dan tum-
bang menjadi beberapa potongan dihantam pukulan
wanita itu. Yang kedua, setelah beberapa kali menye-rangnya
terlihat bahwa ilmu silat gadis itu tak rendah. Bahkan kalau mau dengan mudah
dia bila mengalahkan Sepasang Setan Burik. Tapi kenapa tadi dia seperti orang
yang kelihatan tak berdaya"
"Ni sanak, siapa kau sebenarnya dan apa maksud
perbuatanmu yang aneh-aneh ini?" tanya Bayu dengan suara lunak.
"Maksudku jelas, ingin mengorek jantungmu!"
"Kenapa tadi tak kau lakukan?"
"Aku ingin pertarungan yang adil dan jujur!"
"Dengan perbuatanmu tadi apakah itu bisa di-
anggap adil dan jujur?"
"Salahmu sendiri kenapa lengah!"
"Karena kukira kau bukan musuhku!"
"Di situlah kesalahanmu! Kau terlalu percaya pada orang yang baru dikenal dan
itu bisa membahayakan
jiwamu kalau tak sering waspada."
"Baiklah, kau menang. Tapi aku tak biasa membu-
nuh lawan jika tak tahu sebab-sebabnya. Dasar apa
kau ingin mengorek jantungku" Apakah di antara kita
ada dendam?"
"Buatku tak perlu ada persoalan dendam segala
kalau ingin mengorek jantungmu!"
"Dasar sinting! Kalau begitu tak ada gunanya aku meladenimu!" dengus Bayu sambil
berbalik dan menangkap Tiren dari ranting sebuah pohon, dan berke-
lebat dari tempat itu secepatnya.
"Aku tak ada waktu meladeni segala urusanmu, Ni sanak!" lanjutnya sambil
berteriak nyaring.
"Huh, apa kau pikir bisa lari dariku"! Jangan mimpi!" Setelah berkata begitu
gadis itu pun langsung menggenjot tubuh mengejar Pendekar Pulau Neraka
sambil mengerahkan ilmu lari cepat yang dimilikinya.
Tadinya Bayu menyangka bahwa gadis itu tak akan
mampu mengejarnya. Tapi dugaannya itu ternyata sa-
lah. Pada jarak lima tombak di belakang terlihat gadis itu terus mengejarnya.
"Sialan! Hebat juga ilmu lari cepatnya. Tapi ingin kulihat sampai di mana
kemampuan kuntilanak itu.
Tiren, pegang leherku erat-erat!" kata Bayu.
Setelah berkata begitu si Pendekar Pulau Neraka
langsung menghempas tenaga dan mengerahkan selu-
ruh kemampuan ilmu lari cepat yang dimilikinya. Tu-
buhnya berkelebat bagai sapuan angin kencang. Da-
lam hati dia menduga gadis itu kini telah tertinggal jauh. Dan ketika dia
menoleh ke belakang....
"Hah! Brengsek"! Siapa dia sebenarnya?" sentaknya kaget ketika melihat gadis itu
masih terus mem-
buntuti di belakangnya.
Kali ini jarak mereka memang terpaut agak jauh,
tapi rasanya tak mungkin Bayu bisa menghindar dan
bersembunyi dari kejarannya. Tak mungkin rasanya
mereka terus-terusan begini. Maka dengan kesal Bayu
menghentikan larinya dan menunggu gadis itu sambil
bertolak pinggang dan memasang wajah garang.
"Hmmm... apakah kau akan menyerah?" tanya gadis itu sambil tersenyum mengejek.
"Huh, siapa sudi! Aku justru ingin menggaplok
pantatmu!"
"Nah, kenapa tak kau lakukan?"
"Hiyaaaa...!"
Dengan satu bentakan nyaring tubuh Pendekar Pu-
lau Neraka berkelebat cepat menyerang gadis itu tanpa basa-basi. Bersamaan
dengan itu dia mengibaskan
tangan kanannya. Tak pelak lagi Cakra Maut di perge-
langan tangannya itu melesat cepat menghantam la-
wan. "Sing!"
"Uts! Gila! Apakah kau ingin membunuhku"!" bentak gadis itu terlihat kesal
sambil jungkir balik menghindari serangan senjata maut itu dan serangan yang
dilancarkan Bayu terhadap dirinya.
"Bukankah kau pun ingin membunuhku" Dari pa-
da orang membunuhku lebih dulu lebih baik kau yang
mampus lebih dulu!" desis Bayu dengan wajah serius penuh ancaman.
Hal ini memang betul-betul dibuktikannya. Seran-
gan yang dilakukan si Pendekar Pulau Neraka betul-
betul ganas seperti menghadapi musuh bebuyutan
yang akan mengancam dirinya. Tentu saja hal ini
membuat si gadis kalang kabut menyelamatkan selem-
bar nyawanya. "Yeaaaa...!"
Kepalan tangannya berkali-kali menghantam. Dari
situ tak terasa desir angin atau sinar apa pun yang keluar. Tapi bila terkena,
akibatnya sungguh berbahaya.
Sebongkah batu sebesar kerbau yang terkena pukulan
itu hancur berkeping-keping menjadi potongan kecil.
Bayu bukannya takut menghadapi pukulan lawan,
tapi dia memang sengaja menghindar dan sebisa
mungkin untuk tidak memapakinya. Perhatiannya be-
tul-betul ditujukan untuk melumpuhkan pertahanan
gadis itu. "Hiyaa...!"
"Sing!"
"Breet!"
"Auw...!"
Gadis itu menjerit kaget ketika seberkas cahaya
keperakan menerpa menyambar pinggangnya tanpa bi-
sa dicegah. Jantungnya nyaris berhenti berdetak!
* * * Plak!" "Des!"
"Gusrak!"
Dalam keadaan demikian dia pasrah dan men-
ganggap jiwanya tak tertolong lagi. Tapi menyadari
bahwa tak sedikit pun rasa sakit yang dirasakannya,
gadis itu cepat bereaksi. Tapi terlambat. Saat itu kepalan tangan Bayu
menghantam ke arah dada. Dengan
gerakan tergagap dia menangkis. Pukulan itu memang
tak sepenuhnya menghantam dadanya. Tapi akibatnya
tubuh gadis itu terdorong ke belakang dan dengan
mudah Bayu menendang perutnya. Tubuh yang telah
hilang keseimbangannya itu langsung terjerembab ja-
tuh. Ternyata serangan Bayu tidak hanya sampai di si-tu. Setengah jengkal
sebelum tubuh gadis itu menyen-
tuh tanah, dua buah jari tangannya cepat menotok
urat gerak di tubuh gadis itu.
"Tuk!"
"Nah, sekarang diamlah kau di sini! Aku tak perduli, apakah kau akan diperkosa
atau dicabik-cabik he-
wan buas. Itu sudah nasibmu karena kau memang
menghendakinya!" desis Bayu sambil bersungut-
sungut kesal. "Kurang ajar! Apakah kau akan mempermalukan
aku dalam keadaan begini"!" jerit gadis itu melengking mengetahui bahwa bajunya
robek lebar dan menam-pakkan dua bukit kembarnya sebagian, ketika tadi
disambar Cakra Maut si Pendekar Pulau Neraka.
"Bukankah kau yang menghendakinya" Kita ber-
temu saat keadaanmu begitu, maka aku punya kewa-
jiban untuk mengembalikan keadaanmu semula.
Sayang, sekarang kedua orang bermuka bopeng itu tak


Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada. Kalau tidak kau akan ku tinggalkan persis seperti tadi!"
"Sialan! Lepaskan totokanmu ini!" bentak gadis itu.
"Untuk apa" Agar kau bisa memuaskan niat ko-
nyolmu untuk membunuhku" Huh, pasrahkan saja di-
rimu pada nasib. Selamat Tinggal!"
Bayu memanggil sahabatnya, monyet kecil berbulu
hitam itu. Setelah hewan itu berada di pundaknya, dia melangkahkan kaki
meninggalkan tempat itu tanpa
menoleh lagi. "Hei, mau ke mana kau"!"
Bayu tak memperdulikan teriakan gadis itu. Jan-
gankan menyahut, untuk menoleh pun tidak.
Gadis itu terus berteriak-teriak sambil memaki-
maki, dan Bayu terus berjalan tak memperdulikannya.
Baru ketika jarak pemuda itu nyaris tak terlihat gadis itu berteriak memohon
dengan suara memelas.
"Bayu, kali ini aku memohon. Lepaskan aku, dan
jangan tinggalkan aku dalam keadaan begini...."
Walaupun suara itu tak terlalu keras tapi Bayu
masih bisa mendengarnya. Lebih-lebih saat itu angin
bertiup ke arahnya. Pemuda itu menoleh sambil me-
mandang ke arah sahabat kecilnya itu.
"Bagaimana pendapatmu Tiren" Apakah kuntila-
nak itu masih perlu dikasih hati?"
"Nguk! Nguk!"
"Hmm... walau kau binatang tapi hatimu lebih mu-lia dariku. Kalau tak ada kau
pasti akan ku-biarkan
perempuan celaka itu menjalani nasibnya yang buruk
dalam keadaan demikian. Baiklah, kita akan kembali
dan membebaskannya," sahut Bayu.
Sekali menggenjot tubuh dengan menggunakan Il-
mu lari cepatnya, Bayu telah tiba kembali di tempat
itu. Tanpa basa-basi dia langsung melepaskan totokan di tubuh gadis itu. Dan
tanpa bicara sepatah kata pun kembali melangkahkan kaki meninggalkannya.
"Tunggu...!"
Si Pendekar Pulau Neraka menoleh dan meman-
dang gadis itu sekilas tanpa menyahut.
"Terima kasih..." kata gadis itu sambil menundukkan kepala dengan wajah malu.
Bayu cuma mendengus kecil, kemudian kembali
memalingkan tubuh dan berjalan meninggalkan gadis
itu. Walau dia tahu bahwa gadis itu mengikuti dari belakang, namun tak sedikit
pun pemuda itu mau meno-
leh. Lama hal itu berlangsung sampai mereka tiba di
mulut suatu desa. Gadis itu masih terus mengintilnya dari belakang. Bayu
menghela nafas kesal. Dalam keadaan pakaiannya yang demikian apa kata orang-
orang desa melihat mereka" Jangan-jangan dia akan dituduh
orang gila! Paling tidak, membawa seorang gadis gila.
"Apa sih maumu"!" bentaknya kesal sambil menghentikan langkah dan melotot garang
pada gadis itu.
"Aku tidak mau apa-apa...."
"Jadi kenapa mengikutiku terus sejak tadi" Apa
kau ingin membokongku lagi"!"
"Maaf... sebenarnya aku tak bermaksud begitu..."
sahut gadis itu dengan suara pelan.
"Jadi apa maumu"!"
"Aku... aku...."
"Bicara yang betul!" bentak Bayu galak.
"Galak betul sih...?"
"Orang sepertimu tak bisa dikasih hati. Sekali aku lemah kau pasti akan mencari
kesempatan untuk
mencelakai ku lagi!"
"Sekarang tidak...."
"Huh!"
"Aku... aku... ingin minta pertolonganmu...."
"Siapa yang sudi menolong orang sepertimu!"
"Aku... aku akan membayar berapa pun yang kau
minta...."
"Huh, aku tak butuh apa-apa darimu!"
"Tak bisakah hatimu sedikit lunak...."
"Apa untungnya aku bersikap lunak pada wanita
brengsek sepertimu"!"
"Bayu... eh maaf aku memanggil namamu begitu
saja. Aku betul-betul butuh pertolonganmu, sebab
hanya kaulah orangnya yang bisa menolongku. Apa
pun yang kau minta akan kuberi, bahkan aku rela
menjadi budakmu asal kau meluluskan permintaan-
ku..." ujar gadis itu dengan suara memelas.
Mendengar itu tersentuh juga hati Bayu. Gadis itu
bersedia jadi budaknya asal dia menolongnya, tentu ini persoalan yang amat
serius. Tapi dia tak langsung percaya begitu saja. Apalagi gadis itu tadi sempat
meni-punya. "Pertolongan apa?" tanya Bayu lunak.
"Oh, apakah kau betul-betul bersedia menolong-
ku"!" tanya gadis itu dengan wajah girang.
"Jangan banyak omong! Pertolongan apa yang kau
minta dariku"!"
"Membawa kepala seseorang padaku!"
"Apa"!"
"Kepala seseorang yang dulu amat kukasihi sepe-
nuh hati, tapi kini ku benci sedalam lautan!"
Bayu terdiam beberapa saat lamanya sambil me-
mandang wajah gadis itu. Sempat terlihat sepasang
mata indah gadis itu memancarkan dendam membara
saat dia menyebutkan permintaannya itu. Mau tak
mau Bayu bisa merasakan amarah yang terpendam
dan telah menyatu di seluruh tubuh gadis itu pada seseorang.
"Kenapa mesti aku" Dengan kepandaian yang kau
miliki sekarang jarang orang bisa mengalahkanmu...."
"Tapi orang itu memiliki kepandaian yang lebih
tinggi dibandingkan denganku. Aku tahu betul karena
dia adalah kakak seperguruanku...."
"Kakak seperguruanmu"!"
Gadis itu mengangguk.
"Ceritanya panjang. Ketika mendiang guru masih
ada kami menjalin asmara. Ah... aku memang betul-
betul terpikat dengan rayuannya. Selain berwajah
tampan, berilmu tinggi, dia pun pandai merayu. Sam-
pai-sampai aku rela menyerahkan kehormatanku pa-
danya ketika dia berjanji akan mengawiniku kelak. Hal itu terjadi berkali-kali
tanpa sepengetahuan guru.
Sampai..." gadis itu menghentikan ceritanya.
Bayu menunggu beberapa saat dan melihat sekilas
air mata merembang di kelopak mata gadis itu.
"Dia kabur meninggalkanmu..." tebak Bayu hati-hati dengan suara pelan.
"Pada akhirnya memang begitu. Sampai aku hamil
dan guru mengetahuinya. Tapi beliau bijaksana dan
menyuruh kakak seperguruanku untuk mengawiniku.
Tapi dasar laki-laki buaya pengecut, dia malah kabur dan mencuri kitab sakti
ten-tang pukulan maut Pugel
Sayuto tingkat lanjutan yang selama ini disembunyi-
kan guru kami dengan hati-hati sekali. Aku sempat
memergokinya dan mengingatkan akan janjinya untuk
mengawini aku serta perintah guru. Tapi seperti ber-
hadapan dengan musuh besar, dia malah menyerang-
ku habis-habisan sampai aku tergeletak tak berdaya.
Untunglah guru cepat menolongku, tapi anak yang be-
rada di rahimku tak tertolong lagi...."
Gadis itu menyudahi ceritanya. Air matanya ter-
tumpah ruah membasahi kedua pipinya yang putih
halus. Bayu tak tahu, apakah dia harus percaya bahwa
itu cerita sungguh-sungguh atau tipu muslihat belaka.
Dia cuma mendiamkan untuk mendengarkan lanjutan
cerita gadis itu.
"Setelah keadaanku agak membaik, aku turun gu-
nung dan bertekad mencarinya untuk meminta per-
tanggung jawabannya. Guru telah melarang, tapi aku
pergi secara diam-diam. Sepanjang perjalanan banyak
kudengar sepak terjangnya yang amat memalukan.
Memperkosa gadis-gadis cantik dan isteri orang lain, merampok serta berbuat
kejahatan. Dia memang pintar hingga orang sulit mengenalinya. Selain berganti-
ganti nama dia pun memang pandai sekali menyamar.
Tapi aku tak akan tertipu!"
"Siapa namanya yang asli?"
"Kamajaya. Tapi orang-orang yang yakin bahwa
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya itu dikerja-
kan oleh satu orang, yaitu dia menyebutnya sebagai
Penyair Muka Kumala."
"Hmm... Penyair Muka Kumala" Baru kudengar
nama itu...."
"Bagaimana Bayu" Apakah kau sudi menolongku?"
"Kenapa kau yakin bahwa aku yang bisa meno-
longmu?" "Entahlah. Tapi sepanjang perjalanan banyak ku-
dengar nama Pendekar Pulau Neraka sebagai pendekar
muda yang memiliki ilmu hebat dan tak pernah terka-
lahkan. Aku merasa yakin kaulah orang yang bisa me-
nolongku untuk membasmi si keparat. Setelah menge-
tahui ciri-ciri tentang diri-mu, aku pun mulai mencarimu. Dan tadi pagi barulah
aku menemuimu. Aku tak
tahu bagaimana caranya menarik perhatianmu sampai
kedua orang itu muncul. Maka ku pancinglah mereka
agak menjauh, dan... ah, perbuatanku memang keter-
laluan dan sangat menjijikkan!"'sahut gadis itu tersipu malu.
Bayu masih terdiam belum memberikan jawa-
bannya. "Bagaimana Bayu?"
"Aku akan memikirkannya lebih dulu...."
"Apakah kau masih berpikir sementara jelas-jelas dia telah berbuat kejahatan
yang nyata" Anggaplah
kau menolong orang banyak dari perbuatannya yang
tercela, dan aku sebagai perantara yang meminta per-
tolonganmu, dan aku juga akan membalas jasamu.
Bagaimana?"
"Aku mau bukan berarti aku ingin jasa yang kau
tawarkan!"
"Aku tak peduli! Yang penting si keparat itu harus
mampus walau harus menjadi budakmu sekalipun.
Aku berjanji Bayu! Bila si keparat itu mampus maka
aku bersedia kau suruh apa pun. Anggaplah aku seba-
gai budakmu!"
"Sudah! Sudah! Mari kita berangkat. Tapi kau tidak bisa berpakaian dengan cara
begitu. Kau tunggu di sini biar aku carikan pakaian di desa sana!" kata Bayu
sambil terus melesat meninggalkan gadis itu.
"Kau tidak akan meninggalkan aku, bukan"!"
"Kata-kataku boleh kau pegang!" balas Bayu sambil berteriak.
Gadis itu tersenyum haru sambil matanya tak ber-
kedip memandang Pendekar Pulau Neraka yang terus
berkelebat hingga lenyap dari pandangan. Tapi dia ternyata tak menunggu lama
sebab tak lama kemudian
pemuda itu kembali sambil membawa seperangkat pa-
kaian wanita. Setelah mengganti pakaian, keduanya
segera meninggalkan tempat itu.
* * * 5 Siang ini terlihat dua pengendara kuda berpacu
kencang melewati halaman belakang istana kerajaan
yang luas. Yang seorang adalah pemuda berwajah
tampan dan gagah, serta mengenakan pakaian yang
bagus. Sementara di sebelahnya seorang gadis berwa-
jah jelita dengan rambut panjang yang hitam berikat
kepala merah. Kulitnya yang putih terlihat kemerah-
merahan dibakar terik matahari. Beberapa tetes keringat mengalir di pipinya.
Melihat cara mereka berpa-
kaian agaknya kedua orang ini pastilah berasal dari
orang-orang persilatan.
"Kakang Gandasena, ayo coba kau kejar aku!" teriak gadis cantik itu sambil
memacu kudanya lebih
kencang. "Awas kau Ratih! Sebentar lagi pasti akan ter-
susul!" sahut pemuda yang dipanggil Gandasena.
Setelah berkata begitu tampak dia mengeprak ku-
danya sambil berkali-kali berteriak keras. Melihat caranya menunggang kuda
agaknya memang dia lebih
mahir dibanding gadis itu karena sebentar saja terlihat gadis itu mulai
tersusul. "Nah, apa kataku! Kau pasti akan tersusul!" lanjut pemuda itu sambil tertawa
senang. "Siapa bilang"! Jarak kita masih dua tombak lagi.
Kudamu mana mungkin bisa mengimbangi larinya Ki
Sengkolo!"
"Kata siapa tidak bisa" Kalau aku yang menung-
gangi Ki Sengkolo mungkin kau tak mampu mengejar-
ku. Tapi karena kau yang menunggangi-nya maka
akan kau lihat sebentar lagi kau pasti akan tersusul!"
"Jangan banyak omong, Kakang! Ayo buktikan ka-
ta-katamu itu!"
"Baik! Heaa...!"
Melihat pemuda itu kembali mengeprak kudanya
dengan bersemangat, gadis itu pun tak kalah sigap.
Kuda berwarna hitam mengkilat yang bernama Ki
Sengkolo itu dipacunya sambil berteriak keras.
"Heaaa...!"
Keduanya terus berpacu hingga tak terasa telah
berada jauh dari halaman belakang istana tadi. Namun seperti tak memperdulikan
keadaan mereka, gadis itu
masih terus bersemangat memacu kudanya karena
pemuda di belakangnya sebentar lagi akan menyusul.
Agaknya dia merasa yakin bisa mengungguli kuda si
pemuda. Namun apa yang dibayangkannya ternyata tak ter-
bukti. Pemuda di belakangnya semakin memperpendek
jarak. Lalu ketika jarak mereka tinggal satu tombak la-gi dengan tiba-tiba
Pendekar Binal 13 Dewa Arak 19 Perjalanan Menantang Maut Menuntut Balas 15
^